Data Loading...

5_6165916524004507847 Flipbook PDF

5_6165916524004507847


108 Views
18 Downloads
FLIP PDF 1.69MB

DOWNLOAD FLIP

REPORT DMCA

http://pustaka-indo.blogspot.com

Demokrasi Madinah

http://pustaka-indo.blogspot.com

Model Demokrasi Cara Rasulullah

i

Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasulullah

ISBN 979-3210-12-5 Diterbitkan oleh Penerbit Republika Jl.Warung Buncit Raya No.37, Jakarta, 12510. Telp.7803747 Cetakan I, Maret 2003

Editor Mohammad Shoelhi Desain dan Tata Letak:

http://pustaka-indo.blogspot.com

Kumara Dewatasari

Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved

ii

Daftar Isi Pengantar Penerbit ............................................... v Pengantar Editor ................................................. ix 1 Piagam Madinah, Konstitusi Pertama di Dunia ....................... 1 1 Perspektif HAM dalam Piagam Madinah dan Konteks HAM Masa Kini ................... 15 1 Demokrasi dalam Piagam Madinah ......... 2 7 1 Menata Harmoni dalam Perbedaan .......... 35 1 Perdamaian di Bawah Piagam Madinah ... 43

http://pustaka-indo.blogspot.com

1 Piagam Madinah Menjamin Kebebasan Beragama ..................................................... 53 1 Mereka Meneruskan Amanat Piagam Madinah ....................................................... 61 1 Perspektif Syar’i dan Yuridis Antara Piagam Madinah dan Piagam Jakarta ..................... 71 1 Upaya Mewujudkan Konstitusi yang Adil dan Demokratis ........................................... 87 Lampiran 1 Teks Piagam Madinah .................. 9 9 Lampiran 2 Teks Piagam Jakarta .................... 111

iii

http://pustaka-indo.blogspot.com

iv

Pengantar Penerbit

http://pustaka-indo.blogspot.com

U

mat Islam boleh berbangga karena du­nia pertama kali mengenal undang-un­dang dasar (konstitusi) tertulis dari Du­ nia Islam. Konstitusi tersebut dirancang oleh pe­ negak Islam, Muhammad Rasulullah, dan di­ kenal luas sebagai Piagam Madinah. Semenjak itu hingga pada zaman modern sekarang, substansi Piagam Madinah telah menjadi spirit bagi pen­tingnya keberadaan konstitusi sebuah negara. Keberadaan Piagam Madinah yang monumental itu telah diakui para ahli sejarah baik dari Barat maupun dari Timur. Sejarawan Mont­gomery Watt menamainya The Consti­tu­ tion of Medina, R.A. Nicholson menyebutnya Char­ter, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai Agreement, Zainal Abidin Ahmad sebagai Piagam dan Ma­jid Khaduri menamainya Treaty. Piagam Madinah telah menjadi bukti bah­ wa sebuah tatanan negara atau tatanan hu­bung­

v

http://pustaka-indo.blogspot.com

an antar-kelompok masyarakat dalam ting­katan apapun membutuhkan adanya sebuah per­ janjian atau kesepakatan atau konstitusi yang harus dipatuhi bersama. Tanpa adanya kons­ titusi, kehidupan bernegara dan berma­ sya­ ra­ kat tidak akan teratur. Dalam realitas em­piris, seperti dialami oleh sejumlah negara, bah­ wa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang plural selama ini diakui tidak mudah. Na­mun, menurut catatan sejarah, masyarakat Ma­di­nah yang plural dengan berbagai keyakinan dan tradisi yang heterogen itu dapat hidup aman, tertib, teratur dan sejahtera di bawah na­ ung­ an Piagam Madinah. Lebih jauh lagi, pia­ gam ini mengatur hak dan kewajiban serta sistem hubungan antara pemimpin dan yang di­pim­pin, antara negara dan rakyat, serta cara penyelesaian konflik vertikal dan horisontal. Sayang, wacana tentang Piagam Madinah se­ lama ini kurang banyak diminati, hal ini ba­rangkali disebabkan oleh terbatasnya data dan in­formasi tentang Piagam Madinah, selain pu­ bli­ kasinya juga sangat terbatas. Oleh karena itu, buku ini diterbitkan sebagai upaya untuk memperbanyak informasi tentang Piagam Madinah agar khalayak luas dapat mengetahuinya. Memang dirasakan ada kebutuhan informasi semacam ini, terlebih ketika masyarakat sibuk kembali

vi

mempersoalkan keberadaan konstitusi kita. Informasi yang disajikan dalam buku ini berasal dari artikel yang pernah diterbitkan oleh harian umum Republika. Penyajian infor­ ma­­ si tersebut dalam bentuk buku dirasakan da­pat memberikan manfaat lebih besar karena de­ngan secara demikian masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih utuh. Semoga buku ini bermanfaat. Selamat membaca.

Jakarta, medio Februari 2003

http://pustaka-indo.blogspot.com

Penerbit

vii

http://pustaka-indo.blogspot.com

viii

Pengantar Editor

http://pustaka-indo.blogspot.com

S

udah jamak diketahui bahwa pada inti­ nya ajaran Islam melingkupi dua hal, yak­ ni hubung­an vertikal dengan Tuhan, dan hubungan horisontal dengan sesama manusia dan lingkungan hidup. Akan halnya dengan hu­ bungan horisontal, Islam mengajarkan umatnya agar mengembangkan prinsip perbaikan kualitas diri dan masyarakat sebagai upaya men­ capai tingkat peradaban, harkat dan martabat yang tinggi. Dan ini sudah dicontohkan Na­bi selama memimpin masyarakat plural di Madinah. Pembentukan masyarakat yang beper­adab­ an tinggi itulah yang terus diupayakan oleh Na­ bi dengan gigih selama di Madinah. Nabi mem­perhatikan bagaimana struktur sosial ma­ syarakat Madinah harus dibangun agar menjadi masyarakat yang berpengaruh baik ke dalam maupun ke luar. Mereka hidup bermasyarakat dengan menggunakan aturan-aturan tertentu

ix

dan dilaksanakan dengan penuh kepatuhan. Kepatuhan itu timbul secara sehat karena. Nabi menggunakan ikatan ke­percayaan sebagai dasar hubungan dan pe­merintahan masyarakat. Kasih sayang dija­di­kan sebagai dasar hidup masyara­ kat. Itulah se­bab­nya, Nabi relatif tidak pernah meng­ alami ke­ sulitan untuk melakukan kerja­ sama lintas golongan. Kerjasama semacam ini dijadikan seba­gai sumber tenaga dan kekuatan untuk mem­bangun kehidupan masa depan.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Ketertiban masyarakat diupayakan de­ngan membentuk kesepakatan bersama yang di­ ke­ nal dengan Piagam Madinah. Piagam Ma­dinah tidak lain merupakan dasar konsep Islam ten­ tang tata ketertiban pemerintahan dan ma­ syarakat, yang selanjutnya ikut memberikan andil dalam pencapaian peradaban tertinggi oleh umat Islam. Piagam ini dibuat dengan menenmpatkan kepemimpinan di tangan umat Islam, semangat kerjasama di tengah masyara­ kat plural, netralisasi konflik internal dan pe­ wu­judan peran dan citra kepemimpinan sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Piagam Madinah yang telah menjadi tonggak penting sejarah kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini pada intinya berisi sebuah tatanan atau sistem keamanan sosial. Sistem tersebut sekurangnya menentukan tiga hal. Pertama,

x

http://pustaka-indo.blogspot.com

bahwa setiap kelompok masyarakat wa­ jib menghindari dan meng­hukum tindak ke­jahatan. Kedua, bahwa setiap ke­lompok harus ber­sedia bersatu padu dalam ali­ansi untuk se­cara kompak bekerjsaama da­ lam menghentikan dan jika perlu menumpas tin­dak agresi dan tindak suapmenyuap. Ketiga, bahwa anggota ma­ syarakat harus bersedia menerima akibat dari se­ gala perbuatan yang merugikan masyarakat. De­ngan berfungsinya sistem keamanan sosial sedemikian itu tata hu­bungan dengan lingkung­an internal maupun eksternal dapat dikembangkan. Di dalam lapangan kepemimpinan, Nabi me­nempuh strategi yang bertumpu pada pengu­ a­­saan urusan dalam negeri, luar negeri, sumber eko­nomi dan militer. Hal itu dapat dimengerti ka­ re­ na urusan dalam negeri berkait dengan peng­­aturan hubungan antarkelompok masyara­ kat; urusan luar negeri berkaitan dengan peng­ ambilan keputusan hubungan antarnegara da­ lam berbagai aspek kepentingan; urusan sumber ekonomi berkait dengan kemampuan pembia­ yaan segala kebutuhan pemerintahan ma­sya­ra­ kat; sedangkan urusan militer berkait dengan peng­uasaan komando dalam mengatasi ganggu­ an pemberontakan dari dalam atau penyerang­an dari luar.

xi

http://pustaka-indo.blogspot.com

Itulah strategi yang ditempuh Nabi ber­da­ sarkan jejak-jejak langkah perjuangan yang te­lah dicontohkannya. Model kehidupan peme­ rin­ tahan masyarakat pada era Madinah itu me­ru­ pakan model ideal yang selalu didambakan ma­ syarakat mana pun. Persoalannya: mung­kin­kah umat Islam pada masa kini dapat mewujudkan tata masyarakat dengan model ideal seperti itu? Yang jelas, tampaknya umat Islam hingga ki­ ni masih enggan becermin pada keteladanan se­ jarah. Pengabaian keteladanan sejarah ini diperburuk pula oleh kelemahan gerakan inte­ lektual di dunia Islam yang cenderung meng­ ikuti teori-teori yang berasal dari Barat secara apa adanya. Kecenderungan ini pada giliran selanjutnya menimbul–kan ketidakmampuan mereka me­ nyetarafkan diri dengan kecenderungan pe­ mikiran dan kepentingan global, yang kini di­ pim­­ pin Barat. Singkatnya, di alam pemikiran pun umat Islam terkooptasi. Hanya beberapa saja —untuk tidak mengatakan terlalu sedikit— in­telektual Islam yang bersedia bekerja keras da­ lam ideasi dan sekaligus aksi untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan dan keumatan. Mo­tivasi untuk memikul tanggungjawab sosial ke­umatan dalam seluruh aspek dan sektor ke­ hidupan lebih banyak diselewengkan untuk men­ capai

xii

kepentingan sesaat ke–timbang untuk me­ raih kebangkitan kembali Islam. Mengingat demikian pentingnya babakan era Madinah dan fungsi Piagam Madinah, buku ini disusun sebagai upaya menyegarkan kembali semangat Piagam Madinah di saat umat Islam kini mengalami kerinduan akan hadirnya ke­pe­ mimpinan Islam di pentas dunia seperti di era Ma­dinah. Konon, sejarah itu berputar.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Buku ini mengupas sisi kesejarahan ke­du­ dukan Piagam Madinah sebagai konstitusi ter­ tu­­lis pertama di dunia, yang adil, yang menga­ yomi seluruh kelompok masyarakat dan ber­ hasil membentuk karakter (character building) masyarakat Madinah. Selain itu, buku ini men­ coba melakukan kajian perbandingan an­ tara Piagam Madinah dan Piagam Jakarta baik da­ lam rumusannya maupun dalam kondisi so­sial yang melatarbelakanginya. Ada yang me­ nga­ takan, ”Piagam Jakarta itu berwawasan Pia­gam Madinah”. Dalam era reformasi seperti sekarang ini, fenomena tuntutan atau keinginan untuk me­ lak­sanakan syari’at Islam dalam kehidpan ber­ masyarakat dan bernegara mencuat dan dianggap sebagai hal yang sah-sah saja, dan bahkan se­ mestinya diapresiasi secara positif. Itulah se­ babnya, buku ini mengetengahkan sekilas urai­an

xiii

tentang upaya mewujudkan konstitusi yang adil yang dipaparkan Dr. Hidayat Nur Wahid.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Tak kalah penting, perhatian pun diberi­ kan dalam buku ini terhadap isu-isu mutakhir dalam hubungan in­ternasional, seperti isu hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, yang tak jarang diguna­kan oleh Barat sebagai instrumen untuk mengebiri negara lemah dan megukuh­ kan hegemoni Barat itu sendiri. Perbedaan an­ tara HAM versi Barat dan versi Islam dijelaskan da­lam buku ini untuk memberikan perspektif da­lam pemakna­an penghormatan atas nilai-ni­lai HAM dan ope­rasionalisasinya. Begitu juga hal­ nya dengan isu de­mokrasi. Semua tinjauan itu tidak terlepas da­ri sudut pandang Piagam Ma­ dinah. Belakangan ini tidak jarang terdengar Islam dituding sebagai agama yang ”berwajah buruk”, yang mengizinkan kekerasan, tidak to­ leran dan tidak mengakomodasi pluralitas, dan sebagainya. Betulkah sedemikian buruk purwa­ rupa Islam? Padahal, seperti diuraikan dalam bu­ku ini, bahwa sejak awal konsep kehidupan ber­­masyarakat dalam Islam lebih mengutama­ kan harmoni sosial. Model tatanan masyarakat se­­demikian ini konon baru pertama kali di­per­ kenalkan ke dunia oleh Islam yang ditandai de­ngan keberadaan Piagam Madinah. Dari pi­

xiv

agam ini dapat diketahui bahwa Islam ternyata ada­ lah agama perdamaian dan kesejahteraan. Sisi perdamaian dan kesejahteraan dalam Islam ini telah dibuktikan secara nyata dalam operasionalisasi Piagam Madinah. Kupasan tentang Piagam Madinah tentu­ nya luas sekali. Kendati demikian, buku ini di­ harapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi se­ putar Piagam Madinah dalam batas-batas me­madai. Semoga buku ini dapat memperkaya khazanah wacana tentang Piagam Madinah. Jakarta, Februari 2003 Mohammad Shoelhi

http://pustaka-indo.blogspot.com

Editor

xv

http://pustaka-indo.blogspot.com

xvi

Piagam Madinah, Konstitusi Pertama di Dunia

http://pustaka-indo.blogspot.com

H

ijrah Rasulullah dari Mekkah ke Ma­di­ nah, pada tahun ke-23 kenabian atau 622 Masehi, membuka era baru bagi Na­­ bi Muhammad saw dalam me–nyemaikan Islam. Nama Madinah, yang digunakan untuk meng­­ ganti Yatsrib tidak sekadar berarti ‘kota’. Na­ma itu punya pengertian lebih luas, yaitu ka­was­ an tempat menetap dan bermasyarakat mereka yang memiliki tamaddun (peradaban dan bu­ da­ ya), yang mencakup dawlah (negara) dan hukumah (pemerintahan). Di belakang kata Madinah, ditambahkan ka­ ta Mu–nawwarah atau Madinah al-Munaw­wa­ rah. Artinya, negara dan pemerintahan yang di­ beri cahaya wahyu Ilahi, atau menurut istilah alFarabi, al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama).

1

Oleh karena itu, di Madinah selain bertugas sebagai Rasul yang mengemban risalah Allah, Na­bi Muhammad saw juga berperan se­ba­gai ke­ pala negara, yang warganegaranya ti­dak hanya ter­diri dari kaum muslimin saja me­la­inkan juga mu­syrikin, kaum Yahudi, Nasrani, ser­ta kabilahkabilahnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Untuk mempersatukan warganegara yang majemuk itu, baik latar belakang sosio-kultural maupun keagamaan, dipandang perlu adanya su­atu perjanjian yang disepakati bersama. Atas pertimbangan itu kemudian dibuat sebuah perjanjian dan ditandatangani Nabi Mu­hammad saw dalam kedudukannya sebagai Ra­ sulullah dan pemimpin tertinggi sebuah negara. Per­ janjian itu disebut Piagam Madinah. Untuk pertama kalinya, dalam piagam itu di­ sebutkan dasar-dasar masyarakat yang partisipatif dan egaliter dengan ciri utama: peng­ akuan terhadap agama dan harta benda kaum muslimin dan Yahudi serta unsur masyarakat lainnya dengan kewajiban me­ wu­ jud­ kan per– tahanan bersama. *** Jika naskah Piagam Madinah ini dikaji se­ cara lebih dalam, kita akan mendapat gambaran tentang karakteristik ummah (masya­rakat) dan

2

http://pustaka-indo.blogspot.com

ne­ gara Islam pada masa-masa awal kelahiran dan perkembangannya. Karakteristik tersebut meliputi: a. Masyarakat pendukung piagam ini ada­ lah masyarakat majemuk, terdiri atas berbagai ikatan keluarga besar, suku dan agama. Seba­ gai­ mana di– ketahui tribalisme (kesukuan) me­ me­ gang peran penting dalam tata hidup orang-orang Arab pra-Islam. Ikatan darah merupakan ba­sis esensial kelompok, yang identifikasinya berupa kesetiaan paripurna pada suku dan solidaritas kesukuan yang tak terbatas (ashabiyah). Piagam Madinah tetap mengakui eksistensinya, dan masingmasing kepala suku dapat me­lan­jutkan kepemimpinannya. Akan tetapi, dalam hu­bungan antar-kelompok itu kemudian di­ cip­ takan suatu kepemimpinan baru dengan Mu­ ham­ mad sebagai pe– mimpinnya. Ia juga meng­­ hapuskan kesetiaan sempit kepada suku dengan kesetiaan kepada masyarakat yang lebih luas, dengan mengalihkan perhatian sukuisme kepada pembangunan negara baru, yang warganegaranya merdeka, dan berdiri sendiri, bebas dari pengaruh

3

dan kekuasaan manusia lainnya (Pasal 1 Piagam Madinah). Adapun tali per– satuannya adalah politik dalam rangka mencapai cita-cita bersama (pasal 17, 23, dan 42).

http://pustaka-indo.blogspot.com

b. Masyarakat pendukung piagam ini yang semula terpecah-belah dikelom– pokkan menjadi dua (a) muslim dan (b) non-muslim. Kelom­ pok pertama adalah kaum muhajirin Quraisy, pa­ ra pengikut Nabi dari Makkah (Pasal 2), dan kabilah-kabilah Arab lainnya, tiga dari Aws dan lima dari Khazraj, yang kemudian dikenal dengan sebutan Anshar (pasal 3-10). Ke­ lompok kedua adalah sejumlah kabilah Ya­ hudi dan pembantu-pembantunya (Pasal 25-35), wa­lau ketiga kabilah Yahudi yang utama - Banu Qainuqa, Banu Quraizhah dan Banu Nadzir - ti­dak tercantum karena ketiganya telah me­la­ku­kan desersi dan dilikuidasi pada musim panas 627 M.

4

Jadi, kendati piagam ini ditandatangani se­ki­tar tahun pertama Hijriah (623 M) sebelum ter­­jadinya perang Badar, namun selama 10 ta­hun masa pertumbuhannya telah mengalami beberapa penambahan dan pengurangan, termasuk pada pasal

tentang orang-orang Yahudi yang ikut menandatanganinya. c. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib sa­ ling menghormati, dan wajib bekerjasama an­ tara sesama mereka, serta tidak seorang pun di­ per­ lakukan secara buruk (Pasal 12, 16). Bahkan, orang yang lemah sekali pun di antara mereka harus dilindungi dan dibantu (Pasal 11).

http://pustaka-indo.blogspot.com

d. Negara mengakui, melindungi, dan men­ja­min kekebasan menjalankan ibadah dan aga­ ma baik bagi orangorang muslim maupun non-muslim, khususnya Yahudi (Pasal 25-33). e. Setiap warganegara mempunyai ke­ du­duk­an yang sama di depan hukum (Pasal 34, 40, 46). Demikian pula, hukum harus ditegakkan dengan adil. Siapa pun tidak boleh melindungi kejahatan, apalagi berpihak kepada orang-orang yang melakukannya. Demi tegaknya ke­ adil­an dan kebenaran, siapa pun pelaku keja­hat­­an harus dihukum (Pasal 13, 22, 36 dan 43). f. Hukum adat dengan berpedoman pada ke­ benaran dan keadilan, tetap

5

diberlakukan (Pasal 2, 10 dan 21). g. Negara menganut asas pacta sun ser– vanda (perjanjian harus dihormati) se– lama perjanjian itu berlaku (Pasal 33, 46). h. Semua warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Me­reka berkewajiban mempertahankan negara de­ngan harta dan jiwa mereka, dan mengusir setiap agresor yang meng– ganggu stabilitas negara (Pa­ sal 24, 36, 37, 38 dan 44). Demikian juga, tang­ gungjawab dalam melaksanakan tugas dila­kukan bersama-sama (Pasal 18).

http://pustaka-indo.blogspot.com

i. Perdamaian adalah tujuan utama. Na­ mun, pencapaiannya tidak boleh me– ngorbankan kebenaran dan keadilan (Pasal 45). Perdamaian an­ tara orang mukmin bersifat tunggal. Apabila ter­jadi peperangan di jalan Allah (fi sabilillah), seorang mukmin tidak dibenarkan mengadakan per­ damaian secara terpisah dari mukmin yang lain. j. Sitem pemerintahan adalah desentrali­ sa­ si dengan Yatsrib sebagai pusatnya (Pasal 39). Ma­­salah internal kelompok diselesaikan kelompok masing-masing. Namun, jika masalahnya me­ nyangkut kepentingan kelompok lain, penye­ le­

6

saiannya haruslah diserah–kan kepada Mu­ ham­ mad sebagai pemegang pucuk pimpinan ne­ gara yang merupakan pemutus terakhir (Pasal 23 dan 42). ***

http://pustaka-indo.blogspot.com

Muhammad ibn Ishaq, lahir di Madinah pada 85 H (704 M), dan wafat di Baghdad pada 151 H (768 M), telah merekam Piagam Madinah dalam Sirah Rasul Allah. Buku yang sangat ber­ harga ini kini tidak dapat dijumpai lagi secara utuh. Kita hanya mengetahuinya melalui bukubuku lain yang menyebutkan bahwa sumber rujukannya adalah buku karya Ibnu Ishaq tersebut. Demikianlah misalnya, Ibn Hisyam (wafat 213H/828M), mengutip naskah perjanjian kenegaraan itu dalam bukunya yang berjudul sama seperti judul buku ibn Ishaq Sirah Rasul Allah. Para sejarahwan Barat maupun Timur menghargainya sebagai dokumen politik yang paling lengkap dan paling tua usianya. Piagam Madinah jauh mendahului Konstitusi Amerika Serikat (1787) yang biasanya dipandang sebagai konstitusi pertama di dunia, yang dipelopori De­ claration of Human Rights (5 Juli 1775). Ia juga mendahului Konstitusi Prancis (1795) yang di­ pelopori Les droits de l’homme et du citoyen

7

(Agustus 1789). Bahkan ia juga mendahului kon­vensi (konstitusi tidak tertulis) Inggris yang dise­but Magna Charta (15 Juni 1215). Pendeknya, Piagam Madinah meliputi segala pernyataan yang memelopori setiap konstitusi tersebut, baik bersifat proklamasi, deklarasi maupun lainnya. ***

http://pustaka-indo.blogspot.com

Piagam Madinah jelas merupakan dokumen amat berharga. Para sarjana orientalis, se­ per­ ti Julius Wellhausen, Leon Caetani, Hubert Grimme atau Montgomery Watt menyepakati oten­ tisitasnya. Tapi mereka berbeda pendapat tentang kapan naskah ini dibuat dan ditanda­ tangani. Ibn Ishaq sendiri, perawi utama piagam ini, tidak menyebutkan tanggalnya. Wellhausen dan Caetani mengatakan, piagam ini dibuat pa­ da permulaan periode Madinah. Sedang Grim­ me berpendapat, piagam ini dibuat setelah terja­ di perang Badar pada tahun ke-2 H/624 M. Namun, argumentasi yang dikemukakan Grimme dipandang lemah. Sebab, tak dira­gu­ kan lagi, perjanjian itu ditandatangani antara ta­ hun ke-1 H./623 M, karena suku `Aws, Kha­z­raj dan sekutunya kaum Yahudi pada tahun ke-2 H ikut bertempur melawan kaum kafir Makkah di Badar.

8

Pendapat yang paling tepat adalah seperti yang diungkapkan Watt. Menurut dia, piagam ter­ sebut sekurang-kurangnya merupakan ga­ bung­an dari dua dokumen yang berbeda. Pert­a­ ma, ini ditunjukkan oleh pengulangan beberapa pa­sal­nya. Kedua, ini juga ditunjukkan oleh ke­ nyataan bahwa sebagian dokumen tambahan itu berasal dari tahun 627 M. Ketiga, tiga suku utama Yahudi (Banu Qai­ nuqa’, Banu Quraizhah dan Banu Nadzir) — yang semula ikut menan–datangani piagam ini — ti­dak disebutkan lagi, karena ketiga kabilah ini te­lah melakukan desersi dan dilikuidasi pada 627 M. Dengan demikian, piagam ini merupa­ kan hasil modifikasi dengan menghilangkan be­ be­ rapa pasal yang dianggap tidak relevan dan men­cantumkan pasal-pasal yang dianggap masih relevan.

http://pustaka-indo.blogspot.com

*** Pada Syawwal tahun ke-5 H atau 627 M, terjadilah perang Khandaq atau perang al-Ah­ zab. Perang tersebut merupakan peristiwa pen­ ting dalam sejarah Islam, karena merupakan ti­ tik penentuan agama Islam selanjutnya. Dalam pe­perangan tersebut, kaum muslim mendapat­ kan cobaan besar yang tiada tara bandingannya dan diabadikan dalam Alquran surat al-Ahzab

9

ayat 10-11. Sebab utama terjadinya perang Khandaq itu adalah pengkhianatan kaum Yahudi Banu Na­ dzir dan Banu Wa’il yang mengusulkan kepada kaum Quraisy untuk memerangi Rasulullah SAW. Sebelumnya, mereka juga telah mencoba un­ tuk berhadapan langsung dengan kaum muslim, namun mereka merasa tidak mampu. Hasutan kaum Yahudi ini akhirnya mengha­ – silkan perjanjian angkatan perang antara kaum Qu­raisy dengan tentaranya sebanyak enam ribu orang, dan kaum Yahudi yang menyerahkan se­ luruh hasil panen kurma Khaibar selama se­tahun penuh guna persiapan logistik perang un­ tuk menumpas kaum muslim sampai ke akar­nya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Peristiwa Khandaq ini akhirnya menya­dar­ kan kaum muslim, khususnya Nabi Mu­ham­mad sendiri, bahwa ternyata golongan Yahudi mem­ buktikan dirinya sebagai orang yang tidak se­tia pada janji sebagaimana tercantum dalam Piagam Madinah. Oleh sebab itu, dipandang perlu pengatur­ an kembali tentang hak dan kewajiban dan un­ sur pengikat kesatuan yang lebih menjamin ke­setiaan dan loyalitas terhadap negara. Yang be­ nar-benar dapat diharapkan dan diyakini kese­tia­annya ialah mereka yang mempunyai ke­ sa­ maan motif penggerak dalam berbuat. Dan

10

me­reka ini, tidak diragukan lagi, adalah kaum mu­slimin. ***

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dengan pertimbangan itu, sejak perang Khandaq, warganegara diklasifikasikan men– jadi dua golongan, yaitu muslim dan dzimmi atau Ahlal-Dzimmah. Dzimmi ialah orang-orang non-muslim yang menyatakan diri tunduk dan patuh di bawah kekuasaan negara Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara Islam di bawah pimpinan Muhammad SAW te­ lah membuat kategorisasi antara golongan mu­ slim dan non-muslim. Tetapi kategorisasi ini se­ benarnya bukan menguntungkan golongan mu­ slim, melainkan menguntungkan golongan nonmuslim. Golongan muslim diwajibkan mema­ suki dinas militer dan melaksanakan pertem­ pur­an baik di wilayah negeri sendiri maupun di luar ne­­ geri; sedang golongan non-muslim dibe­bas­kan dari kewajiban itu, meski — sebagai warga­ne­gara— mereka tetap mendapat hak dan perlindungan atas keselamatan jiwa dan harta mi­lik mereka. Lebih jauh, piagam ini menjamin hak asasi ba­ik warga–negara muslim maupun non-muslim dan tidak ada perbedaan mengenai hak dan pri­ velese antara kaum muslim dengan non-muslim

11

dalam kaitannya dengan hak-hak asasi. Pem­ bedaan apa pun yang dilakukan antara kedua­ nya, semuanya hanya terbatas pada pertang­ gung­jawaban politik saja.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Setelah Makkah dibebaskan (fath Makkah) pa­da tahun ke-8 H, negara Madinah berkem– bang menjadi sebuah negara yang wilayah ke­ kuasaannya meliputi seluruh jazirah Arab. Se­ iring dengan luasnya wilayah kekuasaan negara itu, permasalahan yang harus dihadapi oleh pe­ merintah juga menjadi makin banyak dan kompleks. Dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya, negara membutuhkan biaya besar untuk menjaga keselamatan negara dan rakyatnya, juga untuk meningkatkan ke– sejahteraan warganegaranya. Untuk meng– himpun dana ini, maka sistem iuran seperti yang tercantum dalam Piagam Madinah (pasal 24 dan 38) sudah tidak memadai lagi. Sebagai penggantinya diperlukan pungutan tetap terhadap kekayaan yang dimiliki warganegara. Warganegara muslim dikenakan pungutan zakat atas hasil pertanian, peternakan dan harta yang berkembang yang telah mencapai nishab. Sementara itu, Ahl Dzimmi dikenakan pajak yang cukup lunak, disebut jizyah atau pajak kepala (Q.S. 9:29) sebesar setengah dinar seta­ hun, dan kharaj atau pajak tanah, yang dalam

12

Al­ quran disebut sebagai pendapatan berupa pajak yang merupakan karunia Allah (Q.S. 23:74, 23: 74). Dari paparan di atas, dapat ditarik ke– simpulan, bahwa perkembangan hukum ketata­ ne­ ga­ raan (Islam) melalui tahapan-tahapan sesuai de­­ ngan tuntutan waktu dan keadaan (kontekstual). Demikianlah yang dialami oleh sejarah per­ kembangan Kitabun Nabi atau Piagam Ma­dinah. Empat belas abad yang lalu, Muhammad SAW telah meletakkan dasar-dasar tata ke­hi­dup­an sosial yang ideal, yang membuka wawasan baru bagi kehidupan politik dan peradaban dunia masa itu. l

http://pustaka-indo.blogspot.com

Rachmat Taufiq Hidayat, 07/04/1995.

13

http://pustaka-indo.blogspot.com

14

Perspektif HAM dalam Piagam Madinah dan Konteks HAM Masa Kini

http://pustaka-indo.blogspot.com

S

ebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, bah­wa Muhammad diutus sebagai Rasul ketika dunia mengalami ‘kegelapan’ se– bagaimana tecermin dalam kehidupan jahiliyah bangsa Arab. Peradaban manusia saat itu berada pada titik yang paling rendah, khususnya penegakan hak asasi manusia (HAM) yang tak dihiraukan. Ini ditandai antara lain dengan pembunuhan setiap bayi perempuan yang lahir. Kesewenang­an dan penindasan menjadi jamak dalam kese­ha­rian umat manusia. Oleh karena itu, Rasul Muhammad diutus ke tengah kan­ cah kehidupan umat manusia, terutama bangsa Arab, untuk memberikan pencerahan. Dr Mushlih Abdul Karim, MA, anggota De­ wan Syariah Partai Keadilan, pada suatu

15

kesempatan menyatakan bahwa salah satu wa­ risan paling berharga bagi umat manusia dari kerasulan Muhammad ada­lah Piagam Madinah yang berisikan sistem dan nilai kehidupan ber­ masyarakat dan bernegara. Me­lalui Piagam Ma­ dinah, Rasulullah meletak­kan pondasi peme­rin­ tahan negara dalam pers­pek­tif Islam, khu­susnya mengenai urusan dalam ne­ geri, luar ne­ geri, perekonomian, dan pertahanan-keamanan (mi­­ liter).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Sistem pemerintahan yang dibangun Islam dalam per–kembangannya pun mengalami ber­ ba­ gai tahap pengujian seperti terlihat dalam je­jak-jejak sejarah yang ditapaki selama perju­ ang­an Muhammad dalam menyebarkan Islam. Peng­ujian itu pada akhirnya melahirkan ke­ter­ andalan dan keunggulan sistem yang dibangun ter­sebut sebagaimana tecermin dari makin so­ lidnya sistem pertahanan dan ketahanan negara Ma­ dinah hingga dicapainya masa kejayaan Islam pada abad pertengahan. Sejak hijrah dari Makkah ke Madinah, da­ sar-dasar kehidupan masyarakat yang dibangun Mu­hammad adalah peletakan dasar-dasar per– satuan masyarakat yang plural. Strategi yang ditempuh adalah mempersaudarakan para pen– datang (Muhajirin) dan penduduk setempat (An­­shor). Dengan ikatan ini, Nabi mampu me­

16

nang­kis segala upaya kaum munafikin yang gi­ gih memecah belah umat Islam.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Kecerdikan Rasulullah tampak pula dari pene­ rapan asas toleransi saat Islam tumbuh berkembang semakin kuat di Madinah. Pada waktu yang sama, rasa ukhuwah pun menjadi kian mapan di kalangan kaum muslimin. Segala aspek da­lam sistem keamanan sosial dituang– kan dalam se­buah kesepakatan komunal antara muslimin, Yahudi, Nasrani, musyrikin dan se– genap kabilah, yang kemudian dikenal dengan Piagam Ma­dinah. Piagam ini mengatur antara hak dan ke­ wajiban, tanggungjawab, prinsipprinsip umum dan skala prioritas kehidupan yang harus diselesaikan di antara masyarakat Madinah yang lintas-etnis, ideologis dan kultural. Cendekiawan Nurcholish Madjid pada sebuah forum diskusi pernah menukil pendapat Giovanni Pico della Mirandola, tokoh humanis Eropa za­man Renaisans. Ia menyatakan bahwa ia mene­mu­kan catatan dalam mushaf Arab Mu­ slim bah­wa tidak ada sesuatu yang menak­jub­kan le­bih daripada penghormatan pada manusia dan hak-hak asasinya. Dengan menukil penda­ pat tersebut, Cak Nur menunjukkan bahwa sesung­ guh­nya pandangan seorang tokoh humanis ter­ kemuka, nyata-nyata mengakui tampilnya se­

17

http://pustaka-indo.blogspot.com

orang muslim (baca: Muhammad) sebagai orang yang sangat memahami harkat dan mar­ tabat ke­manusiaan, yang merupakan esensi HAM. Le­ bih jauh, Cak Nur juga mengingatkan bah­wa ru­ musan-rumusan HAM yang dijadikan pa­tokan saat ini hanyalah pemikiran manusia modern yang tak lengkap dan padu, tanpa substansi dasar HAM seperti dikemukakan dalam agamaagama. Pendapat senada disampaikan pakar hukum tatanegara yang juga Menkeh-HAM, Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, In­donesia perlu menggali konsep-konsep dasar HAM dengan merujuk pada sumber doktrin ke­ agamaan, utamanya Islam, mengingat mayoritas pen­duduk Indonesia adalah muslim. Pendapat tersebut terasa relevan dengan kenyataan sebagian besar negeri muslim yang lebih cen­ derung menerapkan nilai-nilai HAM dari Barat, kendati tidak memungkiri upaya re­ vitalisasi HAM di beberapa negara muslim yang giat mengaktualisasikan konsep HAM versi Islam. Padahal, konsep Islam tentang HAM be­ gitu kokoh, baik secara tekstual maupun da­lam apli­ kasi operasionalnya di Madinah, jauh se­ be­lum Deklarasi Universal Hak Asasi Ma­nusia PBB, 10 Desember 1948.

18

Persepsi HAM menurut Barat dan Islam

http://pustaka-indo.blogspot.com

Rumusan HAM yang pada masa kini ba­nyak diguna­kan sebagian bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pasal 16 HAM PBB tentang kawin cam­pur antaragama, dan pasal 18 yang ber­isi­ kan konsep tentang kebebasan ber­agama atau ber­­ganti agama. Pasal 16 menentu­kan perka­win­­ an lelaki dan wanita yang tidak boleh dibatasi atas dasar suku, bangsa dan aga­ma. Selain itu, sejumlah konsep yang sering meng­ atasnama– kan HAM, seperti homoseksual, lesbianisme, aborsi, dan sejenisnya juga bertentangan dengan hakikat kemanusiaan. Se­ mentara, pasal 18 menegaskan perlunya perlindungan atas hak murtad. Semua itu menunjuk­kan bahwa HAM PBB tidak mewakili kepen­ting­an seluruh umat manusia, dan kalangan du­nia Islam sejauh ini karena alasan itu menolak konsep HAM tersebut. Karena alasan itu pula, pemberlakuan ni­ lai-nilai HAM PBB tidak boleh dipaksakan, terlebih-lebih untuk kepentingan politik ter– tentu. Merujuk kenyataan ini, Ketua KISDI, Ah­ mad Sumargono, pernah mengemukakan pendapatnya yang sangat tidak setuju dengan pe­ nerapan pasal-pasal HAM PBB, apalagi di ne­ gara yang penduduknya mayoritas muslim se­ perti Indone­ sia. ”Barat cenderung subjektif, ha­nya melihat kepentingan mereka dalam soal

19

HAM. Isu HAM lebih lanjut menjadi legitimasi Barat untuk meng­ ambil tindakan terhadap negara-negara yang lebih lemah,” tegasnya. Sumargono pun menengarai adanya ja­ ri­ ng­an internasional yang berkedok HAM tetapi di­landasi kepentingan politik. Ia menunjuk ba­ nyak kasus pelanggaran HAM yang menimpa umat Islam tidak direspon secara memadai, na­ mun bila kasus serupa menimpa umat lain bu­ kan kepalang gegernya dunia. Dalam penerapan HAM, Barat menyikapi dengan standar ganda. Sayangnya, jangankan di seluruh dunia Islam, da­lam level sebuah negara muslim saja, hingga saat ini umat Islam belum memiliki Komite Islam untuk HAM, yang berani menantang setiap tudingan pelanggaran HAM semena-mena dari Barat.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Urgensi Penegakan HAM versi Islam Islam adalah agama yang sejak lahir telah menata ulang bagaimana manusia hidup secara ideal, khususnya dalam hubungan dengan se­ samanya. Dalam kaitan itu, pakar HAM, Marcel A. Boisard pernah menyampaikan pendapatnya tentang konsepsi tanggung jawab sosial untuk mengakui, memelihara dan menetapkan ke– hormatan diri sebagai prinsip kehormatan manusia. Menurut dia, tak ada agama atau

20

http://pustaka-indo.blogspot.com

ideologi yang menekankan secara kuat arti HAM sebelum Islam. Kendati demikian, di– sesalkan mengapa HAM dalam perspektif Islam kurang intensif dalam publikasi maupun operasionalisasi sehingga HAM dalam perspektif Islam kurang fungsional untuk mempengaruhi perkembangan teori, kesadaran dan tindakan dalam penegakan HAM. Bahkan hal ini telah membawa akibat berupa kesalahpahaman ter– hadap Islam itu sendiri. Barat kerap menuduh Islam sebagai agama yang tidak hanya kurang memberikan perhatian pada persoalan HAM, bahkan Barat beranggapan Islam identik dengan keke­rasan dan terorisme. Itulah sebagian sisi dari stereotip Barat tentang HAM dan Islam. Stereotip tersebut jelas keliru. Dalam tataran konseptual-ideologis, Islam telah menunjukkan pandangan yang demikian jelas tentang HAM sebagaimana di– paparkan dalam Piagam Madinah. Namun, upaya mengembangkannya ke tingkat yang lebih fungsional masih menjadi ganjalan serius. Persoalan ini menjadi semakin rumit tatkala pengaruh Islam dalam tataran teoretik-praksis terhadap pro­ gram aksi penanganan masalah HAM dinilai masih lemah.

21

http://pustaka-indo.blogspot.com

Sementara itu, konstelasi politik inter– nasional yang dibangun Barat pun selama ini me­nempatkan negara-negara dalam Dunia Islam sebagai pihak yang seringkali dihukum - dengan tuduhan seperti biasa - karena pelanggaran HAM. Pada­hal, sesungguhnya itu hanya tafsiran unilateral Ba­rat yang kemudian menimbulkan implikasi isu HAM yang justru menimbulkan konflik. Konflik tersebut didorong pula oleh perebutan dominasi atas sumber-sumber eko­ nomi, dan juga hegemoni terhadap bangsa lain. Realitas empiris HAM yang lahir dari motivasi untuk tampil sebagai penguasa dunia ini dapat menafikan hak asasi bangsa lain dan itu jelas berseberangan dengan nilai-nilai hakiki HAM. Itulah sebabnya, politik praktis semacam ini berpotensi merugikan bangsa yang kurang mam– pu berperan dalam berbagai persoalan dunia akibat keterbatasan penguasaan atas sumberdaya strategis iptek dan akses informasi. Dalam ba­hasa lain, pemahaman HAM se­cara berlebih­ an cenderung menjadi alat bagi ne­gara adi­kuasa un­ tuk memaksakan kehendak politiknya me­ ngu­asai negara-negara berkembang dengan se­ gala cara. Atas pertimbangan ini, program aksi HAM perlu diprioritaskan sekurang-kurang­ nya ka– rena dua alasan. Pertama, untuk mem­per­besar

22

pengaruh HAM versi Islam dalam te­o­ri, kesa­ daran dan tindakan, alasan ini berka­it­an dengan persoalan paradigma pemikiran. Kedua, untuk menjawab realitas meningkatnya kesadaran atas kemuliaan harkat dan martabat manusia, alasan ini merupakan ekspresi Islam sebagai rahmatan lil’aalamiin dan sekaligus ko­mitmen umat Islam sendiri untuk bersikap konsisten terhadap nor– ma HAM sebagaimana di­gariskan dalam Piagam Madinah.

http://pustaka-indo.blogspot.com

HAM dalam Perspektif Islam Dalam perspektif Islam, HAM diletakkan se­ bagai hurumat (kemulyaan, kelapangan, peng–­ hormatan). Dengan pengertian ini, pada ha­ kikatnya manusia didudukkan sebagai ma­khluk yang dimuliakan Tuhan, dan kemuliaan ma­nusia itu tampak pula pada anasir penciptaannya yang sempurna. Manusia dalam kemuliaannya ditandai dengan kewajiban untuk meng­ abdi kepada Tuhan dan berhubungan baik de­ ngan sesamanya serta memelihara kewajiban dan tanggungjawab secara vertikal dan horisontal. Dengan demikian manusia dalam Islam bu­ kanlah sang pemilik hak asasi melainkan yang dititipi hak asasi untuk ditegakkan ber­ samasama manusia lainnya.

23

http://pustaka-indo.blogspot.com

Fundamental HAM dalam Islam telah dirumuskan Muhammad dalam Piagam Madi­ nah yang berisi: Pertama, perlunya kohesivitas ma­syarakat plural. Tali pengikat persatuan ada­ lah politik dalam rangka mencapai cita-cita ber­ s­a­ma (pasal 17, 23, dan 42). Kedua, ma­sya­rakat yang semula terpecah belah dipersa­ tukan da­ lam ke­ lompok Muslim, dan non-Muslim. Tali pengikat sesama Muslim adalah persau­ da­ ra­ an seagama, di antara mereka harus tertanam rasa solidaritas yang tinggi (pasal 14, 15, 19, dan 21). Ketiga, negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadat bagi pemeluk aga­ ma yang berbeda-beda (pasal 25-30). Ke­ empat, hu­kum adat (tradisi masa lalu) dengan pedoman pada keadilan dan kebenaran tetap diberla­ku­kan (pasal 2 dan 10). Kelima, semua warga ne­ gara mempunyai hak dan kewajiban dan tanggungjawab yang sama dalam menjalakan tugas negara (pasal 18, 24, 36, 37, 38, dan 44). Keenam, se­tiap warga ne­ gara mempunyai kedudukan yang sama di ha­ dap­an hukum (pasal 34, 40, dan 46). Ketujuh, semua warga wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan se­cara zalim, bahkan orang yang lemah harus di­lindungi dan dibantu (pasal 11, 16). Kedelapan, hukum ha­rus ditegakkan. Siapa pun tidak boleh melindungi

24

http://pustaka-indo.blogspot.com

apalagi berpihak kepada orang yang me­lakukan kejahatan. Demi tegaknya keadilan dan ke­ benaran, siapa pun pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (pasal 13, 22 dan 43). Kesembilan, perdamaian adalah tujuan uta– ma. Namun dalam mengupayakan perdamai­an tidak boleh mengorbankan keadilan dan ke­ benaran (pasal 45). Kesepuluh, hak setiap orang harus dihormati (pasal 12). Kesebelas, penga­ kuan atas hak milik individu (pasal 47). Ruh yang hidup dalam HAM versi Islam seba­gaimana ditegaskan dalam Piagam Madi­nah tersebut adalah: pengakuan adanya hak hi­dup, hak kemerdekaan, hak persamaan, hak ke­adil­ an, hak perlindungan hukum, hak perlindungan dari kezaliman penguasa, hak perlindungan dari penyiksaan, hak untuk berlindung, hak untuk melaksanakan kerja sama dalam ke­ hidupan sosial, hak-hak minoritas, hak kebe­bas­an berfikir dan berbicara, serta hak-hak eko­nomi. Sebegitu banyak nilai HAM dalam Islam, ti­ga yang sangat relevan dengan tuntutan ke­hidupan saat ini yang penuh dengan arogansi, tirani, dan hegemoni kekuasaan adalah hak persamaan, hak keadilan, dan hak perlindungan. Dengan adanya Piagam Madinah, sejak awal Islam dan umat Islam sesungguhnya sudah me­ ngembangkan kesadaran dan pengakuan bah­

25

wa manusia adalah makhluk mulia dan ter­hor­ mat baik secara individual maupun secara ko­ munal, yang hak asasinya harus diberikan peng­ hormatan.l

http://pustaka-indo.blogspot.com

Mohammad Shoelhi, 10/02/2003.

26

Demokrasi dalam Piagam Madinah

http://pustaka-indo.blogspot.com

D

emokrasi seolah sudah menjadi tren per­­ adaban dunia kontemporer. Ia ba­ nyak dikagumi layaknya bidadari. Se­ perti diutarakan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, di Amerika demokrasi dilambangkan dalam ar­ sitektur gedung kapitol seperti yang ada di Wa­ shington D.C. dan setiap ibukota negara bagian. Pem­bangunan gedung model arsitektur kapitol itu merupakan usaha pembangunan kembali ge­ dung serupa di zaman Yunani kuno. Tak terkecuali, klaim demokrasi pun menjadi anutan sakral siapa pun. Nazisme ciptaan Hi­ tler menyebut dirinya demokrasi dan para pen­­ dukung Nazi berkeras meyakinkan dunia bah­­ wa Hitler terpilih sebagai pemimpin nasio­ nal lewat pemilihan yang bebas. Begitu pula Komunisme Rusia mengklaim dirinya sebagai sistem yang pa– ling demokratis di antara semua sistem yang ada.

27

UNESCO pada tahun 1949 menyatakan, ‘’Mung­ kin untuk kali pertama dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang pa­ ling baik dan wajar untuk semua sistem organi­ sasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pen­dukung-pendukung yang berpengaruh.’’ Ti­ dak hanya pemerintah, lembaga-lembaga swas­ta pun turut andil dalam menyebarkan opini global tentang nilai-nilai demokrasi universal.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Freedom House di Amerika Serikat, misal– nya, mem­­buat rating indeks negara demokratis. Untuk tahun 1997/1998, hanya 8,7 persen dari 48 negeri-negeri Islam digolongkan sebagai ne­ geri demokratis, 30 persen tergolong semide­ mo­ kratis, dan sebagian besar (60,9 persen) digolongkan sebagai negara otoriter. ”Fakta” ini dihadapkan pada kondisi negara-negara nonmuslim yang 23,3 persen otoriter, 30,1 persen semi-demokratis, dan 46,6 persen demokratis. Dengan logika simplistis, lawan kata de­ mo­ krasi adalah totalitarianisme. Jika tidak de­ mo­ kratis, sebuah negara pasti totaliter. To­ ta­ li­ tarianisme memiliki kesan buruk, kejam, dan be­ngis. Akibatnya, negara-negara komunis se­ka­­ lipun tidak ketinggalan ikut memakai istilah de­ mokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai ‘’De­ mokrasi Sosialis’’ atau ‘’Demokrasi Kerak­yatan’’. Bahkan, mereka menyebut demokrasi Ing­ gris

28

dan Amerika sebagai penganut paham plu­tokrasi (demokrasi yang didominasi oleh orang-orang kaya). Dalam ketegangan tesis Samuel Hunting­ ton, seperti dipaparkan dalam artikelnya ber­ judul Clash of Civilization, demokrasi seolah men­ jadi rebutan agenda kepentingan antara Ti­mur dan Barat. Dua kutub itu seolah tengah bere­but makna, siapa yang paling pantas me­ nyandangkan demokrasi dalam predikat sosiobudaya komunitasnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dalam konteks lokal, demokrasi menjadi idaman. Namun dalam agenda peradaban glo­ bal, demokrasi ternyata menjadi ‘sosok’ yang aneh. Antara epistemologi (landasan), ontologi (in­frastruktur), dan aksiologi (gerak komunal), se­ olah paradoksial alias tidak berkesesuaian dengan kenyataan. Apakah ini memungkinkan ada gugatan lain; bahwa dalam segi ini, janganja­ ngan demokrasi terbagi lagi menjadi: de­ mokrasi yang konsekuen dan demokrasi double standard atau bahkan demokrasi multi-standar. Dari sinilah kita menaruh ‘curiga’ sekaligus menggugat wujud maupun epistemologi de­ mokrasi. Akibatnya, dalam prasangka negara ber­kembang, demokrasi sudah dipelintir men– jadi bagian tak terpisahkan dari hegemoni keku­ a­saan global.

29

Apa yang terjadi kemudian? Demokrasi men­jadi ‘rentan’ diperalat semata untuk kedok neo-kolonialisme. Negara-negara Barat meng– gunakan demokrasi sebagai alat untuk menekan negara-negara berkembang, terutama negara Islam untuk tunduk kepada keinginannya. Set­ i­dak­nya, di balik hegemoni ini terdapat kepen­ tingan ekonomis —di samping politis— untuk me­nguasai pasar global seluas-luasnya termasuk pasar negara-negara berkembang. Untuk men­ capai hal itu, dibutuhkan suatu rezim yang le­ mah, yang dapat ditekan oleh para pemilik modal atau badan-badan keuangan internasional.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Realitas Piagam Madinah Menyandingkan Piagam Madinah dengan konteks demokrasi bukanlah padanan yang te­ pat, untuk tidak dibilang terlalu sempit. Pa­ danan yang pas bagi Piagam Madinah adalah hu­bungan agama dan negara. Dalam arti, masih ba­nyak sisi yang belum tersorot dari berbagai fe­ nomena kehidupan bermasyarakat dan berne­ga­ ra dalam konteks demokrasi an sich. Menurut Ali Bulac —pemikir asal Turki— apa yang ditekankan dalam Piagam Madinah bukanlah sebuah utopia yang artifisial atau se­ buah latihan politis-teoretis. Ia telah memasuki sejarah tertulis sebagai sebuah dokumen

30

hukum yang diterapkan secara sistematis dan konkret dari tahun 622 hingga 632 (Kurzman, 2001: 279). Ber­bagai realitas demokrasi, seperti tripilar demokrasi; isogoria, isonomia, maupun isokratia, pemberdayaan rakyat, ataupun peng– hargaan terhadap pluralitas masyarakat bisa kita temukan pada dokumen itu.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Gagasan John Locke dengan tiga hak alami manusia — life, liberty, dan property, atau pun ide Franklin D Rosevelt tentang four freedom yang dikampanyekannya — freedom of speech and expression, freedom of worship, freedom from fear dan freedom from want — jauh sebelumnya telah digagas oleh Islam. Dalam ba­hasa Syafii Maarif, Piagam Madinah mempu­ nyai tujuan strategis bagi terciptanya keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosioreligius dan budaya seluas-luasnya. Substansi piagam itu menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan telah batal dengan sendirinya. Negara Madinah merupakan contoh kong­ kret tentang kerukunan hidup bernegara mau­ pun hidup beragama. Piagam Madinah — meminjam istilah demokrasi— meru–pakan sebuah kon­ sen­ sus bersama antara berbagai golongan, baik ras, suku maupun agama, yang paling de­ mokratis se­ pan­ jang sejarah. Piagam Madinah te­lah me­wariskan kepada kita prinsip-

31

prinsip yang tahan banting dalam menegakkan ma­sya­rakat pluralistik yang harmonis. Terlebih bagi ke­pentingan kon­vergensi dan rekonstruksi so­ si­ al masyarakat agar mempunyai landasan moral-re­ligius yang kokoh dan anggun (Maarif, 1996: 154).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Tak berlebihan rasanya jika ukiran sejarah di atas merupakan karya terbesar (magnum opus) seorang Muhammad Rasulullah. Beliau ada­lah perpaduan sosok sakralitas wahyu dan pro­ fanitas dunia nyata: sebagai nabi, nega­ ra­ wan, legislator, penyeru moral, pembaharu, ah­li politik dan ekonom (Hakim, 1995: 371). Beliau mendirikan negara dari titik awal dan di te­ngahtengah bangsa yang tidak memiliki penga­laman politik selain organisasi kesukuan. Tak luput, beliau pun berhasil menetapkan norma-norma hukum yang lebih kosmopolit dan manusiawi daripada hukum yang telah ada saat itu. Berkat piagam inilah, menurut Tor Andre, Islami­­ cist asal Swedia, Islam secara berangsur-ang­­ sur tampil sebagai imperium dunia dan aga­ma dunia.

Demokrasi Transendental Demokrasi sebagai sistem bernegara tidak bisa kita pungkiri adanya. Apalagi untuk me­ nutup mata terhadap realitas tersebut. Tinggal kita memilah, demokrasi bagaimana yang

32

hendak kita terapkan. Demokrasi bisa kita ambil sebagai sebuah sistem politik utuh dengan se­ gala kelebihan dan kekurangannya. Tapi, hanya se­ batas tataran pranata sosial-politik an sich. Se­baliknya, kita menolak tegas ‘demokrasi’ de­ ngan embel-embel ideologi tertentu. Apa yang diajarkan oleh Nabi dalam praktek Negara Madinah menunjukkan adanya kehidupan ‘demokratis’ berdasarkan aturan wahyu Ilahi.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Itulah Demokrasi Transendental, sebuah sis­tem pranata sosial-politik modern dalam ke­ hidupan bernegara yang banyak digandrungi orang. Disebut transendental karena kelang­ sung­­an sistem ini bukan berlandaskan kepen­ ting­an dan kekuasaan manusia belaka. Semua per­masalahan manusia tidak mungkin bisa dise­ lesaikan dengan ‘kehendak’ manusia sendiri. Terdapat nilai-nilai ketuhanan yang omni presence. Tak lain, ini demi kemaslahatan orangbanyak. Hanya dengan nilai-nilai dan ajaran ketuhananlah, berbagai kemaslahatan manusia bakal tercukupi. Dengan demikian umat Islam —dalam ba­ hasa Kuntowijoyo— harus menjadi makhluk yang berjalan dengan mata hati menghadap ke be­lakang, tetapi dengan mata fisik menghadap ke depan. Dengan cara ini kita akan selalu dapat menghadirkan struktur Nabi sampai kapan pun.

33

Sementara, fondasi dan pilar-pilar demokrasi itu pada prinsipnya telah disediakan dalam Piagam Madinah sebagaimana tecermin dalam pasalpasalnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Demokrasi bukanlah jaminan sukses hidup ber­negara. Bahkan, sebagai sebuah sistem, de­ mokrasi memiliki tingkat relativitas keberhasil­ an yang cukup riskan (untuk tidak menyebut belum ada contoh kongkret satu negara yang paling demokratis sekalipun). Andaikan kita mau belajar demokrasi dari Amerika Serikat, yang mengklaim diri sebagai kampiun demo­ kra­ si, ada baiknya kita renungkan perkataan Stro­be Talbolt dalam bukunya, Democracy and the International Interest. Kata dia, sejak terben­ tuk­­ nya negara federasi pada tahun 1776, AS me­merlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus per– budakan, 144 tahun untuk memberi hak pilih pada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang ‘’melindungi’’ seluruh warganegara. Sungguh, sebuah sistem demokrasi ma– terialis yang pembentukannya butuh banyak waktu dan uang!!!l Lutfi Lukman Hakim, 08/05/2002.

34

Menata Harmoni dalam Perbedaan

http://pustaka-indo.blogspot.com

H

eterogenitas kini nenjadi realitas kehi­ dupan yang tidak mungkin dihindari. Se­mangat pos-modernisme telah meng­ gerakkan arus dekonstruksi terhadap ni­lai-nilai mapan yang dominan. Dan, pluralitas tum­ buh bagai aneka bunga di taman kota: hidup harmonis dalam perbedaan. Banyak pengamat khawatir, pluralisme akan mengganggu nilai-nilai Islam yang telah ma­pan. Tetapi, tak kurang yang melihat itu sebagai cara pandang yang keliru terhadap Islam. Sebab, Islam sangat menghargai perbedaan. Seperti pernah dikemukakan Dr Kun­ to­ wijoyo, Islam justru tumbuh menjadi agama be­sar dalam se– mangat pluralisme Piagam Madinah menjadi tonggak dem­ o­ krasi dan pluralisme paling awal di dunia.

35

Menurut sejarawan Dr Achmad Syafi’i Maarif, kar­ya monumental Rasulullah SAW itu punya tu­juan strategis bagi terciptanya keserasian po­ litik dengan mengembangkan toleransi sosio-­ religius yang seluas-luasnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Sejarah mencatat, negara Madinah menjadi contoh kongkret keserasian hidup bernegara dan beragama. Sejumlah pengamat Barat pun mengakui, Piagam Nabi itu merupakan sebuah konsensus bersama antara berbagai golongan, ras, suku, maupun agama, yang paling demo­ kratis sepanjang sejarah. Piagam Madinah, me­ nurut Syafi’i, telah mewariskan kepada kita prin­ sip-prinsip yang tahan banting dalam m­ e­ na­ta masyarakat pluralistik yang harmonis ber­ landaskan moral religius yang kokoh dan ang­gun. Itu pula yang dilihat oleh KH Ali Yafie. ”Dengan Piagam Madinah, Rasulullah telah membuktikan bahwa Islam adalah agama rah– mat bagi seluruh umat manusia. Pesan-pesan Islam pun dapat diterima oleh semua kalangan, termasuk pe­me­luk Yahudi dan Nasrani, sehingga tercipta suatu ta­ tanan yang adil dan damai,” ujarnya. Yang menarik, piagam tersebut menjadi per­setujuan bersama yang diadakan oleh Rasu­ l­ullah dengan berbagai pihak di Madinah untuk hidup bersama dan membentuk suatu masya­

36

rakat yang dipimpin Nabi SAW. ”Keper­ca­yaan yang besar kepada Nabi dari kalangan Yahudi, Nasrani dan kaum Anshor (penduduk asli Madi­ nah) serta Muhajirin menunjukkan bahwa Nabi adalah sosok yang amanah dan mampu me­mim­ pin mereka dalam tatanan yang plural. Karena itulah, mereka semua meminta Nabi menjadi imam mereka,” kata Alie Yafie.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Figur Rasulullah, menurut Dr Koma­ ru­ d– din Hidayat, memang menjadi variabel pen­ ting suksesnya pelaksanaan kesepakatan dalam piagam itu, dan figur inilah yang tidak tergantikan. Ma­syarakat Madinah saat itu, menurut dia, adalah cerminan masyarakat teokrasi karena ada sosok yang disucikan, yakni Rasulullah yang menjadi penentu hukum dan keputusan akhir. Tak lain karena Rasulullah adalah manifestasi dan wakil Tuhan. Lebih dari itu, negara Madinah tidak ha­ nya membuktikan bahwa Rasulullah memang se­orang negarawan, legislator, penyeru moral, pem­baharu, ahli politik dan ekonom; tapi juga se­ kaligus mematahkan tuduhan Barat bahwa Islam anti-demokrasi. Sebab, sebelum negara demokrasi menemukan bentuknya di Barat, Rasulullah justru telah meletakkan dasar-dasar demokrasi yang sanggup menjawab kebutuhan bermasyarakat dan bernegara.

37

http://pustaka-indo.blogspot.com

Sebagai sebuah produk peradaban, Piagam Ma­ dinah banyak memberi pelajaran penting ba­gai­mana umat beragama membangun suatu tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi. Menurut intelektual muda Haedar Nashir, ta­ tanan yang didambakan itu dapat tercapai karena substansi piagam itu memenuhi syaratsya­rat yang memungkinkan terwujudnya suatu kons­telasi masyarakat yang berkeadilan dan ber­­ keadaban. Piagam Madinah menjadi jendela ba­ gaimana umat manusia membangun sistem per­ adaban yang tercerahkan dan memberi manfaat bagi semua orang. Ia menjadi aturan main agar tercapai semacam etika kolektif bagi ke­hidupan bersama. Memang, substansi Piagam Madinah me­ne­­ gas­kan suatu cita-cita terciptanya tatanan ma­­ syarakat zaman Nabi yang Islami dan sekaligus dapat menjadi tempat berlindung bagi umat lain dari berbagai suku dan agama. Piagam tersebut, me­nurut Haedar, menjadi contoh suatu sistem dan konstitusi yang mewadahi ma­sya­rakat yang plural. Karena itu, tidak berlebihan sosiolog Barat, Robert N Bellah, menyebutnya sebagai konstitusi termodern pada zamannya. Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, setidak– nya ada dua nilai penting yang dapat diambil dari Piagam Madinah dan masih relevasn hingga

38

saat ini. Pertama, Nabi meletakkan prinsip integrasi sosial dan politik dalam sebuah ne­ gara Madinah. Ini merupakan nilai penting dan merupakan peristiwa sejarah yang luar biasa mengingat masyarakat Madinah saat itu bersifat majemuk. Kedua, adalah dasar penghormatan yang kokoh bagi sebuah kehidupan yang toleran dengan menjamin hak-hak kaum non-Muslim. Ini diwujudkan dengan perlindungan pada kehi­ dup­ an dan harta benda mereka. ”Inilah sumbangan terbesar Piagam Madinah yang kemudian diadopsi oleh kehidupan modern dalam wu­jud hak asasi manusia,” katanya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Meskipun demikian, tambah Azyumardi, piagam tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pembenar bagi pembentukan negara Islam. Se­ bab, Rasul sendiri dalam piagam itu tidak me­ nyebut negara yang didirikannya sebagai ne­gara Islam. Istilah daulah Islamiyah baru mun­cul saat Islam berhadapan dengan konsep Barat yang disebut nation state. Karena itu, jika hendak dijadikan model, yang dapat diambil dari Piagam Madinah ada­ lah nilai-nilai penting yang ada di dalamnya. Ini pula yang ditekankan KH Alie Yafie jika In­ donesia ingin keluar dari krisis multidimensio­ nal saat ini, bangsa Indonesia harus kembali ke

39

fitrahnya yang murni dengan cara menghayati dan memahami ajaran agamanya lalu meng­ amal­kannya dalam kehidupan sehari-hari. ”Ma­ syarakat yang dipimpin Rasulullah itu dapat men­jadi model untuk membangun suatu tatanan yang adil, aman dan beradab. Piagam Madinah sangat relevan kita jadikan acuan,” kata­nya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Tetapi, piagam itu kini justru cenderung disalah-artikan oleh beberapa kalangan ketika berbicara tentang hubungan antara agama dan negara. Bagi kalangan yang berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah entitas yang satu dan tak terpisahkan, dan karenanya meng­ hendaki terwujudnya negara Islam, berargu­men bahwa tuntutan mendirikan negara Islam se­ sung­guhnya telah ditekankan Nabi SAW dalam piagam tersebut. Klaim seperti itu, menurut Haedar, justru menunjukkan bahwa pemahaman mereka ter­ ha­dap Piagam Madinah terlalu reduksionis. Itu sama artinya mereka memperlakukan piagam tersebut secara sederhana dan sangat simplistis. Perlakuan seperti itu hanya akan mempersempit pesan Piagam Madinah dan Islam yang universal menjadi pesan yang terbatas yang hanya cocok dan berlaku bagi pemeluk Islam saja. Tentang ini Komaruddin malah melontar– kan pertanyaan mendasar, apakah memang ada

40

hubungan antara negara dan agama dalam Islam. Dan, apa sebenarnya cita-cita politik ma­sya­rakat Islam. Kalau pun ada, lanjutnya, bentuknya seperti apa, sistemnya bagaimana, dan dalam konteks apa. ”Semua itu masih remang-remang, dan menjadi perdebatan yang tidak henti di kalangan intelektual Islam,” katanya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dengan demikian, menurut dia, upaya membawa Piagam Madinah ke dalam sebuah negara Islam kini hanya akan mengalami jalan buntu. Pasalnya, tidak ada sejengkal tanah pun yang berada di luar batas nasionalisme. Ditam­ bah lagi dengan kondisi sekarang di mana antar negara lebih mementingkan kerja sama global dan sumbangan dunia Islam hanya berupa sumber daya alam serta tenaga yang kurang teram­pil. Ini berbeda dengan pada masa kejayaan Islam yang banyak memberikan sumbangan per­ adaban. Menjadikan Piagam Madinah sebagai landasan konstitusional dalam pendirian negara Islam, bagi Haedar, sama artinya dengan me­la­ ku­kan strukturalisasi Islam untuk ke–pentingan terbatas. Padahal, lanjutnya, permasalahannya bukan pada bagaimana membawa pesan Islam itu ke dalam bentuk pelembagaan dengan cara strukturalisasi agama, tetapi bagaimana pesan piagam itu dijadikan sebagai agenda

41

kultural bersama, yakni membangun peradaban (tamaddun) yang adil. Dan, ini adalah agenda kultural, bukan struktural.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Karena itu, kata Komaruddin, yang perlu diambil dari piagam Nabi itu adalah spirit su­ pre­ masi hukum dan universalitasnya. Jika di­ jadikan sebagai blue print pendirian negara Islam, menurut dia, upaya penerapannya akan meng­alami kegagalan. Sebab, Indonesia adalah ne­gara bangsa yang diatur berdasarkan nasio­ nalitas dan undang-undang sebagi produk DPR/MPR. Ini berbeda dengan kondisi Negara Madinah di mana segala sesuatunya bersumber pada Rasul. Bagi umat Islam Indonesia saat ini, menurut Haedar, yang penting adalah bagaimana agar spirit Piagam Madinah dapat tetap menjiwai kehidupan sehari-hari, baik kehidupan ber­ masyarakat maupun bernegara. Untuk itu, ka­ ta­ nya, agenda kultural harus dijadikan acuan bersama dalam membangun masyarakat madani yang bukan sekadar demokratis, tapi juga bisa diterima semua kalangan disertai penegakan hukum dan keadilan bagi semua tanpa pandang bulu. l Hery Sucipto, Indah Wulaningsih, Ahmadun Yosi Herfanda, 29/06/2002.

42

Perdamaian di Bawah Piagam Madinah

http://pustaka-indo.blogspot.com

M

enurut catatan sejarah, sebuah karya besar telah disumbangkan Islam bagi kehidupan umat manusia, khususnya dalam menciptakan sebuah masyarakat yang ideal dan harmonis, penuh semangat persatuan dan kesatuan. Karya besar itu adalah Piagam Madinah, yang dirumuskan dan dilaksanakan Ra­ sulullah dalam menata masyarakat yang plural dengan keyakinan agama yang heterogen di Madinah. Mewujudkan konsep pembangunan masyarakat sedemikian ini nyaris mustahil, sebab kondisi dasar pada waktu itu tidak mendukungnya. Hingga pertengahan abad ke-7 Masehi, bangsa Arab hidup berkabilah, membentuk ke­ rajaan-kerajaan, dan gemar berperang. Dalam kehidupan mereka, perang sangatlah popular dan acap berlangsung lama untuk memperebutkan

43

kekuasaan dan sumber ekonomi. Ke­kuatan dan kemampuan perang merupakan faktor penentu dalam memegang puncak keku­a­saan. Kekuatan dan kemampuan tak tertan­dingi tercatat dimiliki oleh suku Quraisy. Sebelum Islam, kondisi bangsa Arab me­ mang sangat kacau, tak mengenal sistem peme­ rin­tahan dan kedaulatan yang ajeg. Mereka ti­ dak mempunyai kesatuan bangsa, ikatan tanah air, kesatuan politik, serta dasar dan tujuan yang sama. Ambisi politik, kerakusan ekonomi, dan tribalisme yang ditandai sentimen klan dan kesukuan mendominasi kehidupan mereka.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dalam hal keyakinan agama, mereka me­ nyembah roh dan berhala. Ka’bah tempat ber­haji pun dijadikan tempat penyembahan berhala. Mereka percaya pada paranormal dan juru ramal. Selain bangsa Arab, di Madinah juga ber­ mukim bangsa Yahudi. Mereka terdiri dari dua ke­ lompok besar. Pertama, Yahudi pendatang seperti Bani Nadir, Bani Qainuqa, dan Bani Quraizhah. Kedua, keturunan Arab yang meme­ luk agama Yahudi atau yang kawin dengan Ya­ hudi pendatang seperti Bani Auf, Bani Khazraj, Bani Saidah, Bani Hars, Bani Jusyam, Bani Najjar, Bani Amr, dan Bani Nabit.

44

Berikutnya adalah orang-orang Nasrani. Mereka hidup di wilayah-wilayah yang menjadi pengaruh Islam. Agama Nasrani pada mulanya masuk ke Yaman melalui misi orang-orang Syria. Sekitar abad 5 Masehi, misi Nasrani di­ pim­ pin Faymiyun (Phemion) menyebarkan agama Kristus itu di Najran. Menyusul kemudian, penyebaran Nasrani oleh Hegus Habsyi dari Etiopia yang juga didukung oleh negara.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dengan demikian, di Jazirah Arab hidup komunitas bangsa yang plural dengan keyakin­ an agama yang heterogen. Setiap penganut aga­ ma berupaya keras menyebarkan agamanya hingga dipeluk khalayak luas. Selain itu, mereka juga berkepentingan menguasai berbagai sumber ekonomi, bahkan juga berkepentingan mengunggulkan nilai-nilai budaya dan cita-cita politik mereka masing-masing. Dalam kondisi seperti itulah, Islam datang melakukan transformasi sosial untuk menjunjung tinggi peradaban. Semua itu dimulai Nabi dari Madinah. Di sini kaum Anshar dan Muha­jirin dipersatukan dalam ikatan persaudaraan Islam. Pasal 2 Piagam Madinah menegaskan, Ans­har dan Muhajirin merupakan satu komunitas yang diikat tali akidah, bukan garis darah, sehingga mereka bersatu dalam perasaan, pikir­an, tujuan, dan cita-cita kolektif. Ikatan di luar aki­dah hanya

45

dipergunakan selama hal itu da­pat membantu membangun sistem keamanan sosial. Di bawah naungan Piagam Madinah, ber­ bagai golongan dan kelompok dalam ma­sya­ra­ kat, termasuk Yahudi dan Kristen, dibe­rikan hak perlindungan dan diajak untuk hidup se­ cara rukun dan damai. Piagam Madinah mem­be­rikan jaminan bahwa umat Islam bersedia men­­ jalin hubungan dengan golongan dan ke­lom­pok lain secara adil. Sebagai konseku­en­si­nya, golongan Yahudi mengikatkan diri mereka sen­diri untuk membantu tegaknya pertaha­n­an-ke­amanan di Madinah (Pasal 24 dan Pasal 47).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Membangun dengan Sistem Keamanan Sosial Hubungan antar-penganut agama diatur dalam Pasal 25-35. Bagi Yahudi agama Yahudi dan bagi mukminin pun agamanya sendiri. Se­ arah dengan jaminan kebebasan agama, Pasal 25 piagam ini juga membatasi tanggungjawab ter­ hadap tindak kejahatan, kecuali terhadap orang-orang yang tidak adil dan penuh dosa. Da­ lam perspektif Piagam Madinah, tindakan mereka pada hakikatnya menyakiti diri mereka sendiri dan keluarganya. Pasal ini sama sekali tidak melindungi para pelaku tindak kejahatan dan perbuatan tidak adil, pelakunya dijatuhi

46

hukuman.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pada saat itu di Madinah berlaku sistem riba yang menjadi dasar ekonomi masyarakat, dan berbagai praktik sosial lain yang berten­ tangan dengan nilai-nilai kemanusian. Pada saat yang sama, Islam masuk ke Madinah dan tidak mempunyai alternatif lain kecuali ha– rus menghentikan segala kondisi lama yang bobrok. Berbagai bentuk kekacauan sosial yang bersumber dari khamar (minuman keras) dihentikan dengan menghancurkan kendi-ken– di tempat menyimpan khamar. Hukum qi– shash pun diberlakukan. Ketentuan hukum ini dikukuhkan dalam Pasal 21 Piagam Madinah, yang juga melarang siapapun membantu dan/atau melindungi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum. Pasal 3 piagam ini menekankan tang– gungjawab kolektif semua mukminin untuk melaksanakan keadilan dan keamanan dalam ma­sya­rakat. Oleh karena itu, Rasulullah tidak membangun berbagai satuan kekuatan yang terorga­nisasi seperti angkatan kepolisian, untuk mengejar dan menghukum para pelanggar hu­ kum. Karena menghukum para pelaku kejahat­ an merupakan perintah Allah dan sudah di­ gariskan secara tegas, maka kewajiban keaga­ ma­ an berlaku bagi setiap mukmin untuk

47

melaksanakan hukuman tersebut, ada atau tidak ada sebuah lembaga khusus. Hal ini diperkuat de­ngan Pasal 13 yang menentukan agar setiap mukmin menentang segala bentuk penyimpang­ an sosial dan penyebaran ketidakdilan serta ge­ rakan pemberontakan.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Penyelesaian perselisihan di antara mereka hanya disandarkan pada hukum Allah, tidak lagi atas dasar adat istiadat. Meskipun demi­ kian, tidak berarti perbedaan pendapat dan pandangan tidak diperbolehkan. Perbedaan didorong oleh Rasululahh dengan tujuan menja­ dikan umat Islam berbeda dengan Yahudi. Ten­ tu saja tidak asal beda. Nabi melarang umat­ nya meniru Yahudi karena sikap meniru itu bertentangan dengan ketinggian orang-orang beriman terhadap yang tidak beriman. Umat Islam tidak diperbolehkan meng­ ada­ kan perdamaian secara sepihak, tanpa se­ pe­ngetahuan dan dukungan dari mukmin lain­ nya (Pasal 17). Persyaratan perdamaian harus adil untuk semua. Tanggungjawab memu­ tus­ kan peperangan dan perdamaian terletak sepenuhnya pada diri Nabi. Ketika Nabi menya­ ta­ kan perang, maka pada saat itu seorang mukmin ti­dak boleh mengadakan perdamaian de­ngan pi­hak musuh. Mukmin yang satu harus melin­dungi mukmin yang lain (Pasal 18). Nabi

48

ber­ sabda, ”Orang beriman adalah pelindung satu sa­ma lainnya.”

http://pustaka-indo.blogspot.com

Tidak hanya sebatas itu, ketentraman ke­ hidupan sosial juga diciptakan Nabi dengan mem­batasi kegiatan aliansi. Kaum Anshar dan Muhajirin yang bersaudara itu tidak diperbo­ lehkan beraliansi tanpa seizin saudaranya yang lain. Lagi pula, Nabi pun menentukan pada prin­sipnya aliansi tidak boleh melebihi hak-hak per­lindungan yang dimiliki seseorang. Aliansi antara Anshar dan Muhajirin diatur dalam Pasal 23, bahwa Rasulullah adalah referensi satu-satunya terhadap berbagai perselisih­ an orang-orang beriman. Pasal ini menyebut­ kan, jika terjadi perbedaan tentang segala sesuatu, maka hal itu dikembalikan kepada Allah dan Muhammad. Meskipun demikian, Piagam Madinah di­ su­ sun atas dasar sikap gotong-royong, saling ba­hu-membahu, saling menyayangi dan meng­ hor­mati antara generasi muda dan tua, antara golongan miskin dan kaya, antara penguasa dan rakyat, antara Mukminin dan Yahudi, Kristen serta Musyrikin. Itulah sebabnya sebagai warga dalam lingkungan masyarakat Islam, kaum Ya­ hudi dan Kristen tunduk pada ketentuan Piagam Madinah. Pasal 45 menentukan bahwa perdamaian yang telah disepakati harus se­pe­

49

nuhnya dipatuhi. Masing-masing pihak me– lak­ sa­ nakan kewajiban yang menjadi beban tanggungjawabnya. Dengan semangat Piagam Madinah, Ra­ sulul­lah berupaya mencegah munculnya konflik da­ lam masyarakat. Golongan dan individu tidak di­ pandang secara kategoris melainkan dalam perspektif terminologis yang sama. Yang membedakan di antara mereka adalah kesalehan.

Semangat persaudaraan

http://pustaka-indo.blogspot.com

Islam di Madinah begitu kuat sehingga me– nimbulkan integritas internal yang kuat pula sebagaimana tecermin dari sikap warganya yang selalu siap memenuhi setiap panggilan bela negara. Ditetapkan dalam Pasal 45, bahwa perjan– jian antara Islam dan Yahudi mencakup pula hubungan dengan sekutu masing-masing. Pasal ini menekankan pentingnya penghormatan pada upaya perdamaian. Setiap inisiatif perdamaian perlu disambut oleh setiap komponen dalam masyarakat. Pasal ini mewajibkan setiap ke– lompok membangun persaudaraan dengan sekutu-sekutu lain, tetapi umat Islam tidak me– masukkan sekutu Quraisy karena dalam status harby (memerangi/memusuhi umat Islam). Pasal ini melarang kelompok Yahudi melindungi

50

atau membantu kaum Quraisy. Pada waktu itu Ra­sulullah telah membuat rencana untuk me­ lakukan pencegatan terhadap setiap kafilah da­ gang Quraisy yang melintasi Madinah bagian ba­ rat dalam perjalanan dari Mekkah menuju Sy­ria. Pasal ini diadakan untuk mencegah terja­ dinya konflik antara Yahudi dan Islam.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Adalah kebiasaan Yahudi membentuk aliansi dan aktivitas militer. Oleh karena itu, Piagam Madinah pun disusun tidak terlepas dari nuansa latar belakang ini. Pasal 29 menentukan larangan bagi Yahudi meninggalkan Madinah kecuali seizin Rasulullah. Pembatasan terhadap gerakan mereka dimaksudkan untuk mencegah aktivitas militer Yahudi, termasuk ke­terlibatan langsung atau tidak langsung dalam perang antarsuku, sebab hal itu dapat mempengaruhi stabilitas keamanan dan ekonomi domestik Madinah secara keseluruhan. Berdasarkan pasal 42, Yahudi mengakui ko-eksistensi damai serta kekuasaan legislatif yang lebih tinggi. Sementara itu, kelompok Ya­ hudi tidak dibenarkan merujuk kepada hukum Islam dalam menyelesaikan setiap kasus, ke­cuali bila kasus itu terjadi antara mereka dan umat Islam. Sedangkan dalam urusan mereka sendiri, mereka merujuk pada Taurat dan keputusan Rabi, atau mengangkat Muhammad sebagai

51

hakim mereka. Kendati keadaan sosial, khususnya di Ma­ dinah, sedemikian plural dan heterogen, tetapi segala potensi konflik kepentingan dapat di– redam dan diken­ dalikan. Seluruh komunitas sanggup hidup ber­ dampingan dalam suasana damai, berkat Pia­ gam Madinah yang disusun oleh Nabi Muham­mad SAW. l

http://pustaka-indo.blogspot.com

Mohammad Shoelhi, 29/06/2002.

52

Piagam Madinah Menjamin Kebebasan Beragama

http://pustaka-indo.blogspot.com

S

etiap kali berbicara mengenai negara da­ lam hubungannya dengan Islam, atau yang diidealkan Islam, orang akan selalu merujuk pemerintahan/negara pada zaman Ra­ sulullah di Madinah. Berikutnya adalah peme­ rin­ tahan empat khalifah penerus Rasulullah — Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Yang terakhir ini seringkali disebut sebagai Khulafaur Rasyidin — para khalifah yang mendapatkan petunjuk (dari Allah). Negara pada masa Rasulullah bercorak teo­ kratis, sedangkan zaman Khulafaur Rasyidin ber­corak republik demokratis — kepala negara di­pilih oleh rakyat. Dalam surat-suratnya, Nabi Mu­hammad selalu menyebutkan: dari Muham­ mad Rasulullah. Sedangkan Khulafaur Rasyidin menyebutkan: dari Amirul Mukminin (pemim­

53

pin para mukmin). Setelah Khulafaur Rasyidin, corak maupun bentuk negara berubah-ubah menurut perkem– bangan zaman. Dari sejak pemerintahan Bani Umayyah di Damsyik (Damaskus), Bani Abbasi­ yah di Baghdad, dan kemudian Bani Us­ma­ni­yah di Istambul, negara berbentuk kekhalifahan de­ ngan corak monarki absolut. Kemudian, ketika Khalifah Usmaniyah bubar dan negara-negara Islam merdeka dari penjajahan, muncullah se– jumlah negara berbentuk republik atau kerajaan.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Munculnya beragam bentuk, corak mau­ pun model negara berpenduduk Muslim itu ba­ rangkali karena memang tidak ada teks —baik Alquran maupun Hadis— yang mengatur hal itu. Alquran hanya menggarisbawahi, kepada umat Islam diperintahkan untuk athi’ullah wa rasulihi wa ulil amri minkum (taatilah Allah, Ra­ sul-Nya, dan pemimpinmu). Dengan kata lain, umat Islam diperintahkan untuk menerapkan hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis. Itulah yang juga dilaksanakan pada masa pe­merintahan Rasulullah Muhammad SAW di Ma­dinah. Kepada umat Islam, Rasulullah mene­ rapkan hukum-hukum Islam berikut sanksisank­ sinya. Namun, dalam hubungan dengan ketatanegaraan di mana terdapat multi etnis,

54

kabilah, dan agama (kepercayaan), Rasulullah —sebagai kepala negara dan pemerintahan— memberlakukan aturan-aturan lain, yang ke­mu­ dian dikenal dengan Piagam Madinah.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Seperti diketahui, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, di kota itu sudah terda­ pat tiga golongan besar: Muslimin, Yahudi, dan Musyrikin. Muslimin terdiri dari kaum Muha­jirin dan Anshar. Kaum Muhajirin adalah pendatang yang hijrah dari Makkah. Mereka adalah orang-orang Qurai­sy Makkah yang telah masuk Islam, terdiri dari beberapa kelompok, antara lain Banu Hasyim dan Banu Muthalib. Kaum Anshar adalah pen­du­duk asli Madinah yang sudah masuk Islam. Mereka kebanyakan dari Kabilah Aws dan Khazraj. Golongan Musyrikin merupakan orangorang Arab yang masih menyembah berhala. Go­longan Yahudi terdiri dari keturunan Yahudi pen­ datang dan keturunan Arab yang masuk agama Yahudi atau kawin dengan orang Yahudi pendatang. Tiga kelompok Yahudi pendatang adalah Banu Nadir, Banu Qaynuqa’, dan Banu Qurayzhah. Di tengah kemajemukan penghuni Kota/­ Ne­gara Madinah itu, Rasulullah SAW berusaha mem­bangun tatanan hidup bersama, mencakup se­mua golongan yang ada di Madinah. Sebagai

55

langkah awal, beliau mempersaudarakan para Muslim Muhajirin dengan Anshar. Persaudara­ an itu bukan hanya tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari, tapi hingga ke tingkat waris-mewarisi. Kemudian diadakan perjanjian hidup ber­ sama secara damai di antara berbagai golongan yang ada di Madinah, baik antara golongan-go­ longan Islam, maupun dengan golongan-golong­ an Yahudi.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Kesepakatan-kesepakatan antara golong­ an Muhajirin dan Anshar, dan perjanjian de­ ngan golongan Yahudi itu, secara formal, ditulis da­ lam suatu naskah yang disebut shahifah. Shahifah dengan 47 pasal inilah yang kemudian di­se­ but dengan Piagam Madinah. Piagam yang men­jadi payung kehidupan berbangsa dan ber­ negara —dengan multi etnis dan agama— ini, menurut sejumlah sumber, dibuat pada tahun pertama Hijrah dan sebelum Perang Badar. Di antara pasal-pasal yang menjamin ke­ bebasan golongan Yahudi (non-Muslim) adalah: Kaum Yahudi adalah satu umat dengan Muk­ minin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan ba­ gi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan ke–

56

lu­ar­ganya (Pasal 25). Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Me­ reka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh warga Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji tidak berkhianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya (Pasal 3). Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (be­ pergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad adalah Rasulullah SAW (Pasal 47).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Meskipun umat non-Muslim diberi kebe– basan, tidak harus mengikuti hukum-hukum Islam, namun mereka (Ahlul Kitab/Yahudi) tetap diharuskan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan Imam Ah­mad dan Muslim, dikemukakan, di de– pan Rasulullah SAW lewat orang-orang Ya­hudi mem­bawa seorang hukuman yang dijemur dan di­ pukuli. Lalu Rasulullah memanggil mereka dan bertanya, ‘’Apakah demikian hukuman

57

terha­dap orang yang berzina yang kalian dapat dalam kitab kalian?’’ Mereka menjawab, ‘’Ya.’’ Rasulullah kemudian memanggil seorang ulama mereka dan bersabda, ‘’Aku bersumpah atas nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah demikian kamu dapati hukuman kepada orang yang berzina di dalam kitabmu?’’

http://pustaka-indo.blogspot.com

Ulama (Yahudi) itu menjawab, ‘’Tidak. De­ mi Allah jika engkau tidak bersumpah lebih da­ hulu niscaya tidak akan kuterangkan. Hukuman ba­gi orang yang berzina di dalam kitab kami ada­ lah dirajam (dilempari batu sampai mati). N­ a­ mun, karena banyak di antara pembesarpem­ besar kami yang melakukan zina, maka kami biarkan, dan apabila seorang berzina kami tegakkan hukum sesuai dengan kitab. Kemu­dian kami berkumpul dan mengubah hukum ter­ sebut dengan menetapkan hukum yang ri­ngan dilaksanakan, bagi yang hina maupun pem­besar yaitu menjemur dan memukulinya.’’ Rasulullah lalu bersabda, ‘’Ya Allah, se– sungguhnya saya yang pertama menghidupkan perintah-Mu setelah dihapuskan oleh mereka.’’ Selanjutnya Rasulullah me–netapkan hu­ kum rajam, dan dirajamlah Yahudi pezina itu. Dari riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang Yahudi (non-Muslim) tetap

58

di­ wajibkan menjalankan hukum-hukum Tau­ rat. Mereka juga dilarang membuat-buat hukum sen­diri, meskipun mereka menyepakatinya. Itulah substansi relijiusitas dari Piagam Madinah. Piagam yang dibuat Rasulullah, ter­ kait dengan posisi penduduk Madinah yang me­ nunjukkan bahwa kelompok non-Muslim memperoleh jaminan keadilan dalam menja­lan­ kan aga­manya. Hal ini akan menjaga integritas bang­sa Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan pe­nganut agama, meskipun kaum Muslimin me­­ru­pakan mayoritas. Piagam Madinah adalah jamin­­ an integrasi bangsa dan persamaan hak dan kewajiban bagi masyarakat plural. l

http://pustaka-indo.blogspot.com

Ikhwanul Kiram Mashuri, 29/06/2002

59

http://pustaka-indo.blogspot.com

60

Mereka Meneruskan Amanat Piagam Madinah

http://pustaka-indo.blogspot.com

K

etika berada di Madinah dan kemudian membentuk sebuah negara, pertamatama yang dilakukan Rasulullah adalah menjalin ukhuwah Islamiyah, yakni memper­ sau­ darakan kaum pendatang (Muhajirin) de­ ngan penduduk setempat (Anshor). Selanjutnya, beliau juga menciptakan ukhuwah wathoniyah, mempersatukan kaum Muslimin dengan orangorang Yahudi dan Nasrani dalam kerukunan. Dalam hal ini, Nabi membuat perjanjian ter­ tulis berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda mereka. Disebutkan dalam per­­ janjian ini bahwa orang-orang Yahudi ber­pegang pada ajaran mereka dan orang-orang Islam pun berpegang pada agama mereka. ‘’Inilah dokumen politik yang telah diletak– kan Nabi Muhammad sejak lebih 15 abad lalu dan telah menetapkan adanya kebebasan

61

beragama, kebebasan menyatakan pendapat: ten­tang keselamatan harta benda dan larangan melakukan kejahatan,’’ tulis Muhammad Hu­ sein Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad. Nabi, melalui dokumen —yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah— itu, kata Hae­ kal, ”Telah membukakan pintu bagi kehi­ dup­an politik dan peradaban manusia masa itu.” Dunia yang selama ini hanya menjadi permainan tangan-tangan tirani, lanjut Haekal, te­lah diubah lewat Piagam Madinah.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Perubahan tatanan masyarakat itu ternyata membawa pengaruh besar. Seluruh Kota Ma– dinah dan sekitarnya benar-benar menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh penduduk yang multi suku dan agama itu. Masing-masing pemuluk agama bisa menjalankan ajaran agamanya dengan tenang. Dari Kota Yatsrib — nama lain dari Madinah— inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Jumlah pemeluknya terus bertambah. Sekalipun Piagam Madinah kemudian dikhianati orang-orang Yahudi, namun prinsip yang tertulis dalam Piagam itu minimal telah menjiwai semangat umat Islam. Tidak heran ketika Khalifah Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad SAW, Islam telah menyebar ke segenap penjuru jazirah Arab. Seluruh jazirah

62

Arab sudah terhimpun di bawah panji-panji Islam. Dan kesatuan politis pun dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari kesatuan relijius. Maka pada saat itu tibalah waktunya bagi umat Islam melakukan dakwah ke Irak dan Syam. Inilah langkah awal pembentukan kemaharajaan Islam. Seperti Abu Bakar, penggantinya Khalifah Umar bin Khattab pun menerapkan prinsipprinsip yang telah digariskan Rasulullah. Di masa Umar inilah kemaharajaan Islam semakin meluas, berjaya, dan menerobos hingga ke Per­ sia, Mesir dan Palestina, selain Irak dan Syam.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Perlu dicatat, meskipun kemaharajaan Islam begitu meluas, tapi kaum Muslimin sesuai dengan prinsip Piagam Madinah tak pernah memaksa penduduk negara-negara tersebut agar memeluk Islam. Karena, sesuai prinsip Islam yang ditetapkan Alquran, tidak ada paksaan dalam beragama. Setelah pengaruh Islam menyebar ke ber­ bagai wilayah, terutama pada masa Khalifah Umar, kekhalifahan Islam pun semakin tegak. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kemaharajaan Islam itu kemudian bisa bertahan selama berabad-abad? Mengapa berbagai per– golakan seperti semasa Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah (Bani Umaiyah) dan

63

kemudian antara Bani Umaiyah dengan Bani Abbasiyah, tidak sanggup meruntuhkan pe­ ngaruh Islam sebagaimana terjadi pada ke– maharajaan Iskandar Agung dan Mongol?

http://pustaka-indo.blogspot.com

Menanggapi hal ini, menurut Haekal dalam buku Pemerintahan Islam, sulit untuk menjelaskan sebab-sebabnya secara rinci. ”Namun se­ ca­ ra garis besar, saya dapat menunjukkan sa­tu se­bab yang sangat menentukan. Yakni, se­sungguhnya orang-orang Arab terdorong ber­perang bukan semata-mata untuk mendapatkan materi, tapi ada yang jauh lebih penting dari hal itu. Yaitu, keyakinan bahwa mereka mengemban satu misi atau risalah yang harus disampaikan pada seluruh dunia ini demi kebenaran dan keadilan,” jelas sejarahwan kondang Mesir itu. Menurut Haekal, keyakinan umat Islam yang demikian telah menegakkan kemaharajaan Islam sehingga sampai bertahan berabad-abad. Tapi, lanjutnya, ketika keyakinan itu memudar, keretakan demi keretakan mulai merasuki sekujur sendi-sendi kemasyarakat Islam dan nasibnya pun sama seperti dialami kemaharajaan Byzantium dan Persia sebelumnya. Bagi umat Islam, demikian Haekal, misi yang telah dipelopori Rasulullah itu mereka anggap sebagai amanat untuk disampaikan kepada pihak lain adalah persaudaraan dan persamaan.

64

Mereka berpandangan, bahwa pada ha­ke­ katnya Tuhan seluruh manusia itu satu, Tuhan yang Esa. Di hadapan Tuhan yang Esa ini, se­ mua manusia adalah sama. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non-Arab kecuali ke– takwaannya. Di samping persaudaraan dan persamaan ini, mereka adalah orang-orang bebas merdeka.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pada masa Rasulullah, prinsip-prinsip lu­ hur itu tersebar luas di semenanjung Arab. Se­ telah menetap di negara-negara yang mereka tun­dukkan, kaum Muslimin mulai menerapkan prinsip-prinsip mulia tadi pada penduduk se­ tempat. Salah satu yang menjadi dasar kebijakan pemerintahan mereka adalah toleransi ber– agama. Mereka tidak memaksakan seorang pun di antara penduduk negara yang ditaklukkan agar memeluk Islam. Mereka juga memberikan berbagai ke– bebasan yang sudah berlaku pada saat itu: kebebasan berpikir, kebebasan mengeluarkan pendapat, serta sejumlah kebebasan lainnya. Di sam­ping itu mereka juga menghormati segala ben­tuk ibadah dan akidah. Sedangkan keadilan mereka jadikan sebagai dasar pemerintahan. Dalam menerapkan keadilan ini, tidak ada beda antara Muslim dan non-Muslim. Semua diperlakukan sama dan sederajat.

65

Dengan sikap demikian, tidak heran ba­ nyak orang tertarik kepada Islam. Bukan hanya itu, mereka yang non-Muslim juga benar-benar menikmati berbagai kebebasan. Hal ini tidak per­ nah mereka alami sebelumnya, baik di Romawi maupun di negara Arab sendiri. Itulah yang mendorong mereka berbondong-bondong masuk ke dalam lingkungan agama baru, Islam. Mereka ingin ikut menikmati prinsip-prinsip kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang ditetapkan Islam.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Prinsip toleransi dan kebebasan inilah yang juga diberlakukan Khalifah Umar bin Khattab. Dikisahkan, ketika Khalifah Umar merebut kota suci Jerusalem pada 638 M atau 6 tahun setelah Nabi wafat, ia pun mendirikan mas­jid di kota suci itu, yang sekarang dikenal dengan nama Baitul Muqdis. Ketika tentara Islam memasuki Jerusalem dan mengambil alih kekuasaan kota itu dari orang Kristen yang te­lah memerintah di sana sejak masa Kon­s­tantinopel, Umar datang sendiri ke kota suci itu. Setelah uskup dari makam Kristus menye­ rahkan kunci kota kepada sang Khalifah, ia pun mengundang Umar untuk menunaikan shalatnya dalam gereja mereka. Tetapi, ketika Umar melihat bagian dalamnya yang dihiasai berbagai simbol Kristen, dia dengan sopan me­

66

ngatakan, ”Saya akan shalat di luar pintu ini saja.” Selesai shalat uskup pun bertanya kepada Umar, ”Mengapa Tuan tidak mau masuk ke gereja kami?” Umar pun menjawab, ”Jika saya sudah shalat di tempat suci kalian, para peng­ ikut saya dan orang-orang yang datang ke sini pada masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini dan mengubahnya menjadi masjid. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan ini dan supaya kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat di luar.”

http://pustaka-indo.blogspot.com

Tindakan Khalifah Umar itu ternyata membuat kagum sang uskup terhadap agama Islam. Begitu pula rakyat Palestina yang meng­ elu-elukan kedatangannya. Apalagi setelah kota suci itu diperintah Islam, mereka mendapatkan kebebasan dan diperlukan dengan baik, diban­ dingkan saat diperintah oleh Constantin. Prinsip-prinsip yang sama juga diterapkan oleh khalifah-khalifah berikutnya. Ali bin Abi Thalib, misalnya, ketika menjadi khalifah me­ nerapkan hukum terhadap penduduknya sesuai dengan agama yang mereka anut. Menantu Nabi ini, dalam menerapkan keadilan di bidang hu­ kum tidak pernah membedakan status sosial. Ba­ik mereka yang punya kedudukan tinggi mau­ pun rakyat jelata diperlakukan sama. Bah­kan, ia

67

pernah menegur seorang hakim karena da­lam suatu persidangan ia mendapatkan panggilan kehormatan Abu Hasan, sedangkan tertuduh seorang Yahudi dipanggil dengan nama biasa. Se­lanjutnya, hal serupa juga terhadi pada Kha­ lifah Umar bin Abdul Azis.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Meskipun ia memerintah hanya dua tahun, ta­ pi keadilannya tercatat dalam tinta emas dalam sejarah Islam. Tak lama setelah menjadi khalifah, Umar membasmi sistem feodalisme yang diterapkan dan dipraktekkan oleh Bani Umaiyah. Baginya, sistem feodalisme berten­ tang­­ an dengan ajaran Islam murni, yang memberlakukan manusia sama di sisi Allah. Bebe­ rapa tanah luas milik kerabatnya sendiri di­ be­ rikannya kepada Baitul Maal yang dapat dinikmati rakyat luas. Dalam masa pemerintahannya ia berhasil mengembalikan kepemimpinan Islam seperti yang dipraktekkan pada masa Nabi dan para Khu­ lafaur Rasyidin. Di samping itu, Umar memerintahkan supaya menghentikan pemu­ ngutan pajak dari kaum Nasrani yang masuk Islam. Dengan begitu berbondong-bondonglah kaum Nasrani memasuki agama Islam karena penghargaan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, dan juga karena daya tarik pribadi Umar bin Abdul Aziz sendiri.

68

Di antara kebijaksanaan Umar yang terpuji ialah, mengembalikan gereja kepada kaum Na­srani yang diambil alih oleh khalifah se­be­ lumnya dan kemudian diubah menjadi masjid. Ke­tika Umar menjadi khalifah, dan orang Na­ s­rani mengketahui bahwa Umar seorang yang adil, maka mereka menuntut supaya gereja me­ reka dikembalikan kepada mereka. Umar mem­ ba­ talkan kebijakan khalifah sebelumnya yang te­lah menjadikan gereja menjadi sebuah masjid. Menurut pendapat Umar, apa yang dila­ kukan khalifah sebelumnya itu tidak adil karena bertentangan dengan toleransi agama yang di­ ajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan de­mikian, kaum Nasrani merasa hakhak mereka tidak diabaikan, mereka pun me– ngucapkan terima kasih kepada Umar. Semua ini menunjukkan betapa pemimpin masyarakat generasi penerus Nabi begitu patuh dan konsisten dalam menegakkan hak warganya sesuai amanat Piagam Madinah. l

http://pustaka-indo.blogspot.com

Alwi Shahab, 29/06/2002

69

http://pustaka-indo.blogspot.com

70

Perspektif Syar’i dan Yuridis Antara Piagam Madinah dan Piagam Jakarta

http://pustaka-indo.blogspot.com

A

pakah ada hubungan antara Piagam Ma­ dinah dan Piagam Jakarta, dua peris­tiwa sejarah yang terpisah rentang wak­tu 15 abad hijriah? Tentunya ada. Karena umat Islam di Indonesia kini adalah sebagian pe­nerus dari umat Islam yang dibangun Mu­ham­mad saw di kala itu. Tulisan ini dimaksudkan untuk me­ nyumbangkan pemikiran tentang hu­ bungan aga­ma dan negara serta sikap dan pan­dangan syar’i umat Islam Indoneisa terha­ dap negara Republik Indonesia - dengan pende­katan disi­ plin ilmu fiqh, khususnya mazhab Syafi’i dan lebih khusus mazhab Imam al-Ma­ wardi yang banyak pengaruhnya dalam tata ke­hi­dupan di Indonesia, dengan ciri bahwa urusan aga­ma me­ ru­pakan bagian yang tak terpisahkan dari tata

71

pemerintahan. Piagam Madinah Piagam Madinah diperkenalkan secara aka­ demis oleh H. Munawair Syadzali MA (mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan IV dan V) dalam rangkaian kuliahnya di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta yang dibukukan de­ngan judul Islam dan Tata Negara (UI Press, 1990).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dikatakannya antara lain bahwa umat Islam memulai hidup bernegara setelah Nabi hi­ jrah ke Yatsrib yang kemudian berubah nama men­ jadi Madinah untuk pertama kali lahir su­ a­ tu komunitas Islam yang bebas dan merdeka... te­ tapi umat Islam di kala itu bukan satu-satu­nya komunitas... di antara penduduk Madinah ter­ dapat juga komunitas lain, yaitu orang-orang Ya­hudi dan suku-suku Arab yang belum mau menerima Islam dan masih memuja berhala. Dengan kata lain, umat Islam di Madinah merupakan bagian dari suatu masyarakat majemuk... belum cukup dua tahun dari kedatangan Nabi di kota itu, beliau mem– permaklumkan su­ atu piagam yang mengatur kehidupan dan hu­bungan antara komunitas yang merupakan kom­ ponen-komponen masyarakat majemuk di Madinah. Piagam tersebut lebih dikenal sebagai Piagam Madinah.

72

Selanjutnya dinyatakan: ”Banyak di anta­ra pemimpin dan pakar ilmu politik Islam ber­ang­ gapan bahwa Piagam Madinah adalah kons­titusi atau undang-undang dasar bagi Negara Islam pertama. Isi piagam terdiri atas 47 pasal yang oleh Mu­nawir disimpulkan sebagai batu-batu dasar bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat ma­jemuk di Madinah, yaitu: 1). Semua pemeluk Islam, meskipun ber­ asal dari banyak suku merupakan satu komunitas.

http://pustaka-indo.blogspot.com

2). Hubungan antara sesama anggota ko­ mu­nitas Islam dan anggota komunitas lain di­ dasarkan atas prinsip (a) ber– tetangga baik, (b) sa­ ling membantu dalam menghadapi musuh ber­ sama (c) membela mereka yang teraniaya (d) sa­ ling menasihati dan (e) kebebasan beragama. Piagam Madinah mengandung beberapa aspek kenegaraan. Ada tiga aspek yang dija­di­ kan acuan dalam membahas Piagam Jakarta di sini, yaitu: 1). Rasulullah saw mengadakan perjanjian an­tara umat Islam yang beliau pimpin dengan umat beragama lain untuk

73

hidup bersama da­ lam suatu wilayah tertentu, yakni wilayah Ma­di­nah yang disebut Madinah al-Munawarah atau Madinatun Nabi. Umat Islam pada waktu itu adalah kaum Muhajirin (suku Quraisy) dan kaum Anshor yang berasal dari berbagai suku: Banu Auf, Banu Harits - Banu Khazraj, Banu Sa’idah, Banu Jusyam, Banu Najjar, Banu Amir bin Auf, Banu Nabit dan Banu Aus. Sedang umat non-Islam adalah umat Yahudi dan keluarga suku-suku tersebut, ditambah suku-Banu Tsa’labah, warga Jafnah serta Banu Syutaibah serta kaum Yahudi dari kedua sku tersebut.

http://pustaka-indo.blogspot.com



74

Dalam ilmu fiqh, perjanjian atau kesepakatan semacam itu disebut shulhu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi r.a.: as-shulhu jaizun bainal muslimin illa shulhan harrama halalan au ahalla haraman, wal muslimuna ‘inda syuruthihim illa syarthan harrama halalan au ahalla haraman. Kesepakatan diperbolehkan antara orang Islam kecuali dalam ke­ se­pa­kat­an/perjanjian mengharamkan yang ha­ lal atau menghalalkan yang haram dan orang Islam h­a­rus menepati

persyaratan perjanjian itu.

http://pustaka-indo.blogspot.com

2). Piagam itu lebih bersifat suatu pernya­ ta­an atau dekrit sepihak dari Rasulullah; dan sung­­ guh pun dalam naskahnya disebut ”surat per­ janjian”, namun tidak jelas ada orang lain atau pihak Yahudi yang turut menandata­nganinya. Ini menunjukkan otoritas Rasulullah, terbukti dari rumusan Pasal 1 yang menempat­kan Rasululaah saw sebagai pemimpin umat Islam, sedangkan Pasal 23, 36 dan 42 diangap se­ bagai ”penengah, pemberi izin dan hakim” ba­gi semua pihak. Dan tentu saja bentuk dan ga­ya piagam itu belum secanggih konstitusi mo­dern, misalnya UUD 1945. Untuk dianggap sebagai preambule konstitusi, di dalamnya me­ ngandung rincian unsur perdata dan pidana yang disebut menyediakan ruang bagi setiap suku yang mengakui perjanjian itu. 3). Kaum Muslimin merupakan umat yang ber­satu dan utuh, dan senantiasa taat pada ke­ se­ pakatan itu, baik terhadap sesamanya mau­ pun terhadap kaum Yahudi sekutunya. Daerah Yatsrib beserta penghuninya selalu dilindungi ber­ sama. Dengan kata lain, Piagam

75

Madinah ber­ sifat mengikat bagi Rasulullah saw dan umat Islam. Ke– taatan umat itu tidak hanya bersifat aqli (sekadar rasio atau moral positif) saja me­ lainkan juga syar’i (mengandung unsur ibadah).

Pandangan dan sikap untuk senantiasa ta­at pada persyaratan atau kesepakatan bagi umat Islam, baik pada zaman Rasulullah saw mau­ pun umat Islam masa kini, sandarannya ada­lah Pasal 2 yang berasal dari hadits yang berkaitan dengan aspek pertama, yaitu al-mus– limuna ”inda syuruthihim” (umat Muslim harus menepati janji).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Piagam Jakarta Piagam Jakarta adalah dokumen tertanggal 22 Juni 1945, disusun oleh Panitia Perumus dari BPPK yang beranggotakan sembilan orang ”ba­ pak pendiri” Republik Indonesia: Ir. Soe­ kar­ no, Dr Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moe­ zakir, H Agus Salim; Mr. Ahmad Soebardjo, Wachid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin. Piagam Jakarta merupakan puncak ungkapan citarasa bangsa Indonesia tentang:

76

1). Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan dihapuskannya penjajahan di atas dunia (alinea 1). 2). Rasa bahagia bahwa perjuangan perge­ rakan kemerdekaan Indonesia sudah mencapai ke depan pintu gerbang Ne– gara Indonesia (ali­nea 2). 3). Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa bertekad menyatakan kemerde– kaan (ali­nea 3). 4). Membentuk suatu pemerintahan Negara In­ do­ nesia yang berdasarkan Pancasila (alinea 4).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Marilah kita kaji bersama Piagam Jakarta ini dengan acuan ketiga aspek dalam Piagam Ma­ dinah yang telah dipaparkan di atas. 1). Bercermin pada Piagam Madinah, dari su­dut ilmu fiqh dapat dikatakan bahwa Piagam Jakarta adalah satu bentuk ”shulhu” pula, yaitu suatu pernyataan yang rumusannya disepakati dari wakil-wakil bangsa Indonesia untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia dan menyusun kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu hukum dasar negara Indonesia, dan

77

sebagainya. Para wakil itu atau orangorang yang dianggap sadar akan dirinya mewakili bang­ sa Indonesia waktu itu yang berjumlah sembilan orang, delapan beragama Islam dan satu beragama Nasrani.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bagi kedelapan orang Islam itu, apa pun latar belakang pendidikannya, serta ideologi yak­ni jalan pikiran dan keyakinan tentang cara meng­ atur kehidupan bernegara yang mereka anut dari pandangan fiqh (bukan pandangan sosio-politik ideologi seperti biasa digunakan) mereka harus dianggap sebagai ”mukallaf yang adil”, yakni orang yang cukup dan cakap (bevoged en bekwaam, Belanda) untuk melaku­ kan perbuatan hukum, termasuk menandata­ ngani perjanjian. Maka, piagam itu adalah suatu ben­tuk shulhu antara wakil-wakil bangsa Indo­ nesia yang beragama Islam dengan wakil dari me­reka yang tidak beragama Islam. Di sini letak kesamaan antara Piagam Ma­ dinah dan Piagam Jakarta. Adapun perbedaannya adalah: Rasulullah saw seorang diri berha­dap­an dengan beberapa pihak suku di Madinah, se­ dang di Jakarta delapan orang Muslim ber­ha­ dapan dengan seorang non-Muslim; dan kurang le­bih demikian pula perbandingan jumlah pe­ me­ luk agama para wakil rakyat di lembaga-

78

lem­baga perwakilan sejak BPUPK, PPKI, KNI, Konstituante dan MPR/DPR. Maksudnya, tanggungjawab umat Islam terhadap keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara Indonesia tentunya lebih besar daripada umat lain, karena memang jumlahnya lebih besar.

http://pustaka-indo.blogspot.com

2). Piagam Jakarta berisi berbagai pernya­ taan yang sifatnya umum namun mendasar, di­ tandatangani sembilan wakil bangsa Indonesia ser­ta dimaksud sebagai preambule dari Hukum Dasar Indonesia yang kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI disahkan sebagai Pem­ bukaan UUD Negara Republik Indonesia; yakni dengan beberapa perubahan minor pada katakata ”Hukum Dasar Negara Indonesia” men­jadi ”Undang-undang Dasar Negara Indo­ nesia dan ”Ketuhanan dengan kewajiban men­ ja­ lankan syari’at Islam bagi pemeluknya” di­ ganti menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, tanpa mengurangi nilai yang ter– kandung bila dibandingkan bentuk dan materi pe­ru­musan kedua piagam itu dapat dikatakan bahwa jika Piagam Madinah adalah ”minikonstitusi” dalam upaya menumbuhkan suatu ”em­ bryo negara” karena belum jelas mana

79

wilayah Yat­srib atau Madinah pada waktu itu, maka Pia­gam Jakarta adalah suatu ”konsep yang utuh dari preambule sebuah konstitusi negara Indo­ nesia” berwilayah dari Sabang sampai Merauke yang sebelumnya disebut Nederlands Indie.

http://pustaka-indo.blogspot.com

3). Kiranya umat Islam sepanjang sejarah yakin dan percaya, bahwa Rasulullah saw dan para sahabat senantiasa taat menepati isi perjanjian yang tercantum dalam Piagam Madinah. Pertanyaannya: Bagaimana umat Islam Indo­ne­sia harus memandang dan bersikap terhadap ”shul­ hu” atau kesepakatan yang terkandung da­ lam Piagam Jakarta? Bukankah piagam itu meng­ikat dalam keadaannya sudah menjadi Pem­bukaan UUD 1945 dengan hilangnya kata-ka­ ta ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” setelah pengesahannya da­lam sidang PPKI? Penalaran dengan ilmu fiqh akan memberi jawaban: ”Ya.. dan bahkan ikatan itu lebih ku­at, bersandarkan alasan-alasan syar’i dan yuridis.

80

Landasan Syar’i 1). Badan Penyelidik Persiapan Kemer­ de­ kaan (BPPK) atau nama resminya Dokuritsu Jum­bi Choosakai dibentuk Penguasa Jepang. Pe­ nguasa semacam ini oleh fiqh disebut Dzu Sya­ukah atau sultan kafir (van Vollenhoven da­lam Des Adatrecht menyebutnya ”de leitelijk po­ tenttat”) sama dengan Penguasa Hindia Be­landa sebelumnya. Umat Islam wajib taat pa­danya sepanjang perintah mereka tidak menjurus pada kekufuran.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Para ulama biasa mengutip syair ibnu Ru­ slam dalam Kitab Zubad pada Muqadimah bait ke-29: wa lam yajuz fi ghoiri makdlil kufri khu­ ru­ jana ‘ala waliyyil amri (kecuali dalam pemak­sa­an kekufuran, kita tidak boleh melawan pengu­ asa). Artinya, semua pelembagaan yang dibentuk penguasa kafir adalah sah, maka hasil tu­ gasnya tentu sah pula sepanjang tidak me­ nying­gung inti akidah Islam, termasuk hasil dari Dokuritsu Jumbi Choosakai itu. 2). Proklamasi kemerdeklaan dalam pandangan fiqh adalah istilah yaitu pengambil-alih­ an kekuasaan sebagai alternatif ketiga da­lam cara in’iqod alimamah, menegakkan ke­pemim­pin­ an dalam bentuk negara. Ini karena

81

per­ nya­ taan kemerdekaan tanpa ada peralihan ke­ ku­ a­ saan tak ada artinya. Pengangkatan Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pa­da 18 Agustus 1945 oleh Panitia Per­ siapan Ke­merdekaan Indonesia (PPKI) adalah suatu bai’at yakni alternatif pertama.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 terjadi dua peristiwa syar’i yang memenuhi syarat bagi in’iqod al-imamah, yang menyebabkan keberadaan RI harus dianggap sah. Karenanya menjelang Pertempuran Surabaya, KH Hasyim Asy’ari memfatwakan antara lain bahwa mem– bela Republik Indonesia adalah suatu kewajiban syar’i dan mereka yang gugur membela negara RI adalah syuhada di sisi Allah swt. Adapun PPKI sendiri dianggap ahlul halli wal aqdi yakni badan atau dewan yang berhak mengangkat dan melepas jabatan (antara lain kepala negara) dan memang demikian yang terjadi, van Vollenhoven menyebutnya ”het tot losmaken en binden bevoegden, als een kiescollege voor een nieuw staatshoofd” (mereka yang ber­wenang melepas dan mengikat jabatan sebagai dewan pemilih kepala negara baru). Jadi, pe­ngo­lahan Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD RI terjadi sesudah merdeka

82

dan dilakukan lembaga milik umat dan bangsa Indonesia sendiri.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pembukaan UUD 1945 serta batang tu– buhnya tetap merupakan bentuk ”shulhu”, bahkan bersifat lebih mengikat bagi umat Islam Indo­ne­sia dan umat beragama lain. Maka semua produk legislatif MPR/DPR juga dari DPR/DPRD adalah pelaksanaan shulhu yang juga mengikat secara syar’i dan aqli bagi umat Islam Indonesia. 3). Penghapusan kata-kata ”dengan kewa­ jib­­ an menjalankan syariat Islam bagi pe­me­luk­nya dalam Piagam Jakarta dan diganti menjadi ”Ketuhan Yang Maha Esa” dan ”Syariat Islam bagi Kepala Negara” dalam batang tubuh UUD, sedikit pun tidak mengurangi arti serta ikatan syar’i maupun aqli bagi umat Islam Indonesia kepada piagam yang disempurnakan itu (Pembu ­ ka­ an dan Batang Tubuh UUD 1945), sebab tan­ pa adanya ru­musan itu pun, sifat dan ke­du­duk­an hukum dari kehidupan bernegara adalah far­ dhu kifayah. Na­ mun karena sudah menjadi kesepakatan, ma­ ka ketentuan untuk ”kewajib­ an menjalankan syari’at Islam bagi peme­ luk­ nya” haruslah didasarkan pada undang-un­ dang, seperti keputusan

83

DPR RI tentang UU Per­kawinan dan UU Peradilan Agama. Dalam hubungan ini, dengan penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta itu menjadikan rumusan Pancasila sebagai ”hadiah terbesar umat Islam bagi kemerdekaan Indonesia”. Ini karena ia menghapus keraguan akan niat baik para pemimpin yang beragama Islam di Jawa tentang maksud dan tujuan kemerdekaan Indonesia.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Alasan Yuridis Dalam sejarah, konstitusi RI mengalami berbagai perubahan. Dari 27 Desember 1945 sampai 15 Agustus 1950, misalnya, Indonesia menjadi Negara Serikat dengan Konstitusi RIS. Setelah itu RIS bubar dan kembali bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUDS. Dalam UUDS disepakati akan dicarikan dasar negara yang lebih mantap melalui Konstituante. (Semua konstitusi itu dalam pandangan fiqh adalah shulhu yang di– hasilkan lembaga perwakilan rakyat yang sah waktu itu). Karena Konstituante tak memperoleh kesepakatan (buntu), dijatuhkanlah Dekrit Presiden RI untuk kembali pada UUD 1945, pada 5 Juli 1955. Dalam pertimbangannya (ali­ nea kelima) berbunyi: bahwa kami berkeyakin­

84

an Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Yuridis bahwa Piagam Jakarta telah lebur dan menyatu dalam Pembukaan serta Batang Tubuh UUD 1945. Hanya saja sementara ini bunyi aliena tersebut sering dilupakan. Bahkan yang alergi terhadap Piagam Jakarta menyebut piagam itu berpotensi menumbuhkan persoalan SARA dan cenderung menentang Pancasila dan UUD 1945. Gejala ini jelas berlawanan dengan maksud Dekrit Presiden RI itu.

Penutup

http://pustaka-indo.blogspot.com

Membandingkan Piagam Madinah dan Pia­gam Jakarta dengan titik berat pada konsep shulhu, kiranya dapat meyakinkan kita, bahwa keterikatan umat Islam pada Piagam Jakarta yang sudah menjelma menjadi Pembukaan UUD 1945 adalah mutlak. Ini berarti keterikat­an umat Islam pada Pancasila dan UUD 1945 adalah mutlak pula. Petunjuk dari Departmen Agama men– jelaskan bahwa umat Islam memandang ke– hidup­ an bernegara sebagai suatu ibadah. Namun, pa­ dangan itu tak boleh dipaksakan kepada umat beragama lain. Sebaliknya, umat

85

Islam tak perlu mengikuti pandangan sekuler dalam kehidupan bernegara yang dianut umat beragama lain. l

http://pustaka-indo.blogspot.com

Zaini Ahmad Noeh, 07/04/1995

86

Upaya Wujudkan Konstitusi yang Adil dan Demokratis (Kasus Amandemen Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945)

http://pustaka-indo.blogspot.com

S

etiap bulan Juli, bangsa Indonesia selalu mengenang peristiwa bersejarah: dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno. Memori sejarah itu sering ditafsirkan dalam pemahaman yang ambigu, karena bangsa ini memang relatif belum matang dalam kehi­dup­an bernegara, di samping pula tak sedikit ke­pentingan politik mutakhir yang ingin me­nung­gangi celah peristiwa sejarah. Misalnya, banyak pihak yang menafsirkan De­krit Presiden Soekarno merupakan tonggak pen­ting, karena kembalinya UUD 1945 sebagai kons­titusi resmi Negara Kesatuan Republik In­ donesia (NKRI). Tak banyak orang yang tetap meng­ ingat dengan jernih, betapa langkah

87

darurat Soekarno sesungguhnya telah menjegal pro­ses demokrasi yang sedang berlangsung dan ham­pir mencapai konsensus dalam Konstitu­an­ te. Sedangkan Konstituante merupakan lembaga perwakilan rakyat, manifestasi kongkrit dari ha­ sil pemilu pertama sejak kemerdekaan bang­sa.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Sejak Dekrit 5 Juli itu, Indonesia mema­ suki masa ‘Demokrasi Terpimpin’, sebuah sistem yang sama sekali tidak demokratis alias oto­ ritarian. Sehingga, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menyatakan berpisah haluan dengan Soekarno sempat berkomentar dalam bukunya Demokrasi Kita, bahwa ‘segala sesuatunya ada pada masa Demokrasi Terpim­ pin, kecuali demokrasi itu sendiri’. Dalam konteks sejarah yang ambigu itulah per­ silangan pendapat tentang Piagam Jakarta acap­ kali menyertai. Sebab, dalam dekritnya Pre­ siden Soekarno tegas menyatakan: ‘bahwa Pia­ gam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan’. Anehnya, sebagian masyarakat me­ nerima kembalinya UUD 1945, namun enggan mengakui keabsahan Piagam Jakarta yang digaransi oleh Presiden Soekarno sendiri. Latar belakang sejarah Dekrit yang kelabu membuat pemahaman sebagian orang atas le­ gitimasi historis Piagam Jakarta menjadi kabur.

88

Pa­dahal, landasan sejarah perumusan dan pe­ nye­ pakatan Piagam Jakarta jauh lebih lama dibandingkan pemberlakuan Dekrit. Tanpa ke­ munculan Dekrit Presiden Soekarno sekali­pun, Pia­gam Jakarta telah mewarnai wacana pe­mi­kir­ an kebangsaan para pendiri republik ini. Ma­ri kita tata kembali ingatan sejarah kita.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Kita patut belajar dari para pendiri bangsa yang lebih mengedepankan argumentasi inte­lek­ tual dan visi kebersamaan daripada taruhan ke­ kuasaan dalam merumuskan kesepakatan bang­ sa (national enggagement). Berdasarkan risalah sidang BPUPKI, jelas yang dimaksud dengan Piagam Jakarta bukanlah semata tujuh potong kata yang menjadi mo­mok bagi sebagian orang, yaitu ketentuan tentang ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya’. Itu hanyalah sebagian kecil da­ ri gentlemen agreement di antara tokoh-to­ koh nasional dari berbagai aliran. Sekalipun ia sungguh sangat penting, sebab poin itulah titik kom­promi yang diterima oleh founding fathers kita. Bagian terbesar dari Piagam Jakarta justru menandaskan: pengakuan kemerdekaan sebagai hak universal dan perlawanan semesta terhadap segala bentuk kolonialisme; pernyataan kemer­ de­kaan Indonesia sebagai buah perjuangan, bu­

89

kan pemberian negara asing; penyepakatan da­ sar-dasar bagi berdirinya negara Republik In­do­ n­esia yang merdeka; serta tujuan bersama yang ha­rus diperjuangkan seluruh rakyat Indo­nesia bersama masyarakat dunia yang beradab.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Ya, Piagam Jakarta itu tak lain adalah Pem­ bukaan UUD 1945 seutuhnya sebagaimana disepakati Panitia Sembilan BPUPKI hingga ha­ ri kemerdekaan 17 Agustus 1945. Satu hari ke­ mudian, 18 Agustus 1945, sidang darurat Pa­nitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) meng­ hapus klausul imperatif terhadap umat Islam itu atas usulan Hatta yang telah dida­tangi seorang opsir Kaigun Jepang dan diganti de­ngan ‘Yang Maha Esa’. Karena itu, dapat dipahami sewajarnya upaya untuk mengembalikan UUD 1945 kepada semangat otentiknya dengan mengusulkan ma­ suk­ nya klausul Piagam Jakarta dalam proses Perubahan UUD yang sedang berlangsung di PAH I MPR. Usulan perubahan ditujukan kepada Pasal 29 UUD 1945, bukan pada Pembukaan UUD 1945 — tempat asli Piagam Jakarta yang ki­ ni tiba-tiba disakralkan kembali. Pasal alternatif yang disodorkan Fraksi PPP dan PBB adalah: ‘Negara berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya’.

90

Usulan itu memancing perdebatan panas, ter­utama bagi mereka yang memiliki pemahaman sejarah mendua seperti dijelaskan di mu­ ka. Namun, kontroversi mungkin segera berlalu karena pembahasan di PAH I MPR tampaknya su­dah mengerucut. Terdengar kabar dua tokoh dari Fraksi PPP dan PBB yang selama ini vokal mendesakkan klausul Piagam Jakarta dalam perubahan UUD 1945, akhirnya berkompromi.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dengan begitu, sungguh tak beralasan ke­ khawatiran akan ancaman deadlock pada Si­ dang Tahunan MPR akibat perdebatan pasalpa­sal krusial. Bayang-bayang kebuntuan itu te­ lah dipergelap dengan kemungkinan skenario ke­ luarnya Dekrit Presiden Megawati yang mem­ ba­ talkan proses amandemen konstitusi seluruhnya, lalu memberlakukan kembali UUD 1945 sebagaimana ‘aslinya’. Andai benar begitu, ma­ ka mirip dengan langkah drastis Presiden Soe­karno 43 tahun yang lampau, yang kemudian terbukti berhasil memberangus demokrasi, dan bahkan kemudian menghancurkan rezimnya sendiri. Sementara itu, Fraksi Reformasi (gabung­ an PAN dengan PK) yang tetap mengusulkan ama­n­demen Ayat 1 Pasal 29 UUD 1945 dalam rumusan yang lebih inklusif, yakni: ‘Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan

91

kewajiban menjalankan ajaran agama bagi ma­ sing-masing pemeluknya’. Rumusan itu bisa di­ sebut sebagai klausul ‘Piagam Jakarta yang ber­ wawasan Piagam Madinah’.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dengan usulan ini, phobi yang biasanya di­ kemukakan kelompok anti-Piagam Jakarta yai­ tu adanya diskriminasi dan kekhawatiran dis­ in­ te­ grasi terjawab tuntas. Dengan pendekatan Piagam Madinah, maka berbagai kelompok aga­ma mendapat hak yang sama untuk melak­ sa­nakan ajaran agamanya. Dan terbukti Piagam Madinah justru menjadi faktor penting terjadi­ nya integrasi masyarakat Madinah yang plu­r­al itu. Selain itu kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi para pemeluknya jelas dinya­takan dalam Alquran misalnya QS As Syuro: 13, QS An Nissa: 59, dan Al Maidah: 41-47. Selain itu keperluan untuk mempertegas identitas relijius dari bangsa ini semakin men­ desak. Justru ketika di era reformasi sekarang ini Indonesia dinyatakan negara terkorup dan pa­ ling rendah kemampuannya dalam memun­cul­ kan keadilan hukum di Asia. Paham materialisme dan sekulerisme telah melanda hampir se­­luruh sektor kehidupan bangsa, dan terbukti mem­­ bawa kerusakan fisik dan moral yang berat. Banyak orang bingung mencari landasan kehidupan yang lebih kokoh secara moral yang

92

akan menjamin eksistensi suatu bangsa. Pe­gang­ an itu terutama bersumber dari ajaran aga­ma. Sehingga, penerapan agama secara benar dan menyeluruh dapat menjadi alternatif peme­ cah­ an krisis nasional yang multidimensional. Im­ plementasi ajaran agama dalam kehidupan ma­syarakat tak perlu terjebak silang pendapat sis­ tem ‘teokrasi’ atau ‘demokrasi’. Sebab, demokrasi yang anti-tuhan sama berbahayanya dengan teokrasi yang tidak demokratis.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Prinsip-prinsip kehidupan bernegara yang terkandung dalam Piagam Madinah dan Piagam Jakarta dalam bentuk yang utuh sangat relevan untuk diaktualisasikan kembali. Masa transisi yang penuh ketidakpastian menuntut pe­ ngu­ atan falsafah kebangsaan dan keumatan kita. De­ngan mewarisi semangat pencarian kebenar­ an yang dilakukan para pendiri bangsa, kita da­ pat mencermati kaitan historis antara Piagam Madinah dengan Piagam Jakarta. Piagam Madinah yang merupakan sunnah Rasulullah SAW itu, pada hakekatnya memuat prinsip-prinsip kehidupan beragama dan bernegara secara generik dan universal. Sementara Piagam Jakarta — sekali lagi dalam bentuknya yang utuh — merupakan upaya pengejawantah­ an kehidupan beragama dan bernegara sesuai kon­teks keindonesiaan. Kedua

93

piagam politik itu (political charter) hendaknya menjadi inspirasi politik kebangsaan baru.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Kita semua menyadari tantangan umat dan bangsa dewasa ini jauh berbeda dengan masa awal kemerdekaan. Saat ini, pergesekan ideologi sudah beralih rupa. Arus globalisasi, materialisme dan sekulerisme merambah ke segenap sektor kehidupan bermasyarakat dan bernega­ra. Tawaran ideologi Islam secara khusus — yang disalahkaprahi sebagai motif utama di ba­lik usul Piagam Jakarta — mendapat reaksi keras. Tak cuma dari kalangan non-Muslim, na­ mun dari sebagian kaum muslimin sendiri yang diam-diam telah menjadi sekuler tanpa di­ sadari. Untuk itu penggalian kembali nilai-nilai otentik yang terkandung dalam Piagam Ma­ dinah dan Piagam Jakarta yang seutuhnya sa­ ngat diperlukan. Tantangan praksis, misalnya bagaimana umat pada tingkat individu, profesi, dan organi­sasi dalam berbagai aktifitas mampu melaksanakan ajaran agamanya secara kaafah dan menjadi rahmatan lil alamin. Sebab, kewajiban itu juga sudah ada semenjak Rasulullah SAW men­ syariatkannya pada 14 abad lalu tanpa harus dikaitkan dengan masalah amandemen UUD ‘45.

94

http://pustaka-indo.blogspot.com

Juga tantangan ini terlihat dalam pem– berlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darus­ sa­ lam. Kewajiban menjalankan syariat hanya di­ tu­ jukan kepada umat Islam dan terbukti tidak di­ paksakan kepada umat lain, dan bahkan tidak membuat umat non-Muslim menjadi tidak nyaman hidup di Aceh, karena pemberlakuan syariat Islam itu. Ketentuan yang digodok sejak era Presiden Habibie, Gus Dur, dan ditandatangani Presiden Megawati itu diputuskan secara terbuka melalui legislasi di DPR tanpa dikaitkan de­ngan Piagam Jakarta yang parsial (7 kata sa­kral) itu. Menarik untuk diawasi dan didorong efek­tivitas syariat dalam meredam konflik, memajukan masyarakat dan menghilangkan ketimpangan sosial. Tetapi jangan sebaliknya, konflik terus direkayasa untuk menggagalkan implementasi syariat. Ada contoh menarik dari masyarakat Hin­du di Provinsi Bali yang telah menerapkan hu­kum agama Hindu berdasarkan Peraturan Dae­ rah setempat. Ketentuan itu toh tidak dianggap in­ konstitusional. Pemberlakuan desa adat Banjar, bahkan polisi adat Pencalang, dipercaya men­ ciptakan keamanan tersendiri bagi ma­ sya­ rakat Bali, asal tidak bersifat diskriminasi ter­ ha­ dap minoritas non-Hindu. Salah satu ritual keagamaan di sana adalah Hari Raya Nyepi,

95

tat­kala seluruh pelosok Bali menghentikan ke­ giatan, sampai bandar udara internasional pun berhenti beroperasi. Meskipun Bali termasuk ju­ risdiksi nasional Republik Indonesia, ternyata ber­laku ketentuan khusus. Bukankah tidak ada yang menaruh kecurigaan terhadap penerapan ajaran agama Hindu di Bali? Lalu, mengapa curiga dan takut dengan ajaran Islam?

http://pustaka-indo.blogspot.com

Fenomena melaksanakan syariat itu mesti­ nya diapresiasi positif, menemukan akar historis budaya lokal bagi pemecahan masalah sosial. Per­ soalannya jelas, masyarakat menyaksikan penegakan hukum di republik ini tidak jalan. Ter­jadi sandiwara dan mafia peradilan di satu pi­ hak, serta anarki massa di pihak lain. Solusi pelaksanaan ajaran agama bisa menjadi terobosan, bila dikelola secara bertanggungjawab. Penerapan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat selayaknya diseriusi, karena de­mo­ krasi adalah tes ujian bagi penerapan nilai-nilai yang dianut semua komponen bangsa. Keadilan pa­tut diberikan bagi semua pemeluk agama. Ti­ dak ada tempat bagi mereka yang tidak ber­agama atau yang memusuhi agama. Karena ne­ge­ri ini dibebaskan dari belenggu penjajahan dengan modal utama spirit keagamaan. Negeri ini juga dimakmurkan dan disejahterakan dengan

96

pengamalan nilai-nilai spiritual keagamaan. Amandemen UUD 1945 harus dituntas­ kan sehingga kita mempunyai UUD yang sungguh reformis, adil, dan mengokohkan integrasi kita sebagai bangsa dan negara. l

http://pustaka-indo.blogspot.com

Hidayat Nur Wahid, 29/06/2002

97

http://pustaka-indo.blogspot.com

98

Lampiran 1 Teks Piagam Madinah

S http://pustaka-indo.blogspot.com

ebagai produk yang lahir dari rahim peradaban Islam, Piagam Madinah diakui sebagai ben­tuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plu­ral, adil, dan berkeadaban. Di mata pa­ra sejarahwan dan sosiolog ternama Barat, Piagam Ma­ dinah yang disusun Rasulullah itu dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di dunia. Berikut petikan lengkap terjemahan Pia­gam Ma­dinah yang terdiri dari 47 Pasal. Preambule: Dengan nama Allah Yang Ma­ha Pe­ngasih dan Maha Penyayang. Ini adalah pia­ gam dari Mu­hammad, Rasulullah SAW, di ka­ langan mukminin dan mu­slimin (yang ber­asal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan ber­juang bersama mereka.

99

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain. Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu mem­ bayar diat di antara mereka dan mereka membayar te­ busan tawanan de­ ngan cara yang baik dan adil di antara mukminin. Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) me­ reka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka se­perti semula, dan setiap suku membayar tebusan ta­ wanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara me­ reka (seperti) semula, dan setiap suku membayar te­ busan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin. Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (ke­ bia– saan) me­ reka, bahu-membahu mem– bayar diat di antara mereka (se­ perti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

100

Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin. Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (ke– bia­ saan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar te­ busan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara muk­ minin.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebia­ saan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin. Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebia­ saan) mereka, bahu-membahu mem– bayar diat di antara me­reka (seperti) semula, dan setiap suku membayar te­ busan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

101

Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (ke– biasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara me­ reka (seperti) semula, dan setiap suku membayar te­ busan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin. Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak bo– leh mem­ biarkan orang yang berat menanggung utang di an­tara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibo­ leh­ kan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa per­ setujuan dari padanya. Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau me­nuntut sesuatu secara zalim, ja­hat, melakukan permu­ suhan atau kerusakan di ka– langan mukminin. Kekuatan me­ reka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka. Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh mem­ bunuh orang beriman lainnya lantaran (mem­bunuh) orang kafir. Tidak boleh

102

pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (mem­bunuh) orang ber– iman. Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (per­lin­ dungan) diberikan oleh mereka yang de­ kat. Se­ sungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain. Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang meng­ ikuti kita berhak atas per– tolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut ser– ta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka. Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang ber– sama kita harus bahu-membahu satu sama lain. Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam pepe­ rang­ an di jalan Allah. Orangorang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

103

Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman. Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bu­nuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Se­ genap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menye– diakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya pe– nyesalan dan tebusan. Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muham­mad SAW. Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

104

Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutusekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya. Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperla– kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperla– kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperla– kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperla– kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperla– kukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya. Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperla– kukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

105

Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesung– guhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat). Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Tsa’labah). Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini. Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu da– lam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalah­ an) seku– tunya. Pembelaan diberikan kepada

106

pihak yang teraniaya. Pasal 38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama muk­minin selama dalam peperangan. Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya ”haram” (suci) bagi warga Piagam ini. Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (di– perlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak berkhianat. Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perse– li­sih­an di antara pendukung Piagam ini, yang dikha­wa­tirkan menimbulkan bahaya, di­ serahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muham­ mad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini. Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka. Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahumembahu dalam menghadapi penye– rang kota Yatsrib.

107

http://pustaka-indo.blogspot.com

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) di­ ajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masingmasing sesuai tugasnya. Pasal 46: Kaum Yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pen– dukung Piagam ini. Se­ sungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggungjawab atas per– buatannya. Sesungguhnya Allah pa– ling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini. Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah

108

http://pustaka-indo.blogspot.com

aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.l

109

http://pustaka-indo.blogspot.com

110

Lampiran 2 Teks Piagam Jakarta

Pembukaan

http://pustaka-indo.blogspot.com

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indo­ nesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, de­ ngan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan de­ ngan didorong oleh keinginan luhur, supaya berke­hidup­an kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

111

http://pustaka-indo.blogspot.com

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pe­ merintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksa­ nakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, per­ damaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hu­kum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu su­ sunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang di­pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya­wa­ratanperwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadil­an sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta 22 Juni 1945 Panitia Sembilan: 1. Soekarno 2. Mohammad Hatta

112

3. Muhammad Yamin 4. Achmad Soebardjo 5. Abikoesno Tjokrosoejoso 6. Haji Agus Salim 7. A.A. Maramis 8. Abdul Kahar Muzakkir

http://pustaka-indo.blogspot.com

9. Wachid Hasyim

113