Data Loading...
Benarkah Ulama 4 Madzhab Meyakini Allah Berada Diatas Arasy Flipbook PDF
21001
107 Views
78 Downloads
FLIP PDF 804.69KB
Halaman 1 dari 72
Halaman 2 dari 72
Halaman 3 dari 72
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Benarkah Ulama 4 Madzhab Meyakini Allah Berada Di Atas Arasy?
Penulis : Muhammad Ajib, Lc., MA 72 hlm
Judul Buku Benarkah Ulama 4 Madzhab Meyakini Allah Berada Di Atas Arasy?
Penulis
Muhammad Ajib, Lc., MA Editor
Aufa Adnan asy-Syaafi’iy Setting & Lay out
Fayyad & Fawwaz Desain Cover
Syihabuddin, Lc Penerbit Rumah Fiqih Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Jakarta Cet Pertama 25 Oktober 2021
Halaman 4 dari 72
Daftar Isi
Daftar Isi ...................................................................................... 4
Muqadddimah .............................................. 6 A. Beberapa Kesalahan Salafi Wahabi ............................................ 9
1. Memahami Sifat Istawa Secara Makna Dzahir ... 10 2. Menterjemahkan Sifat Istawa ............................ 12 B. Kaidah Ulama Salaf Dalam Memahami Sifat Istawa .....................17
1. Menetapkan Sifat Sesuai Lafadz Dalam al-Quran & as-Sunnah........................................................... 17 2. Tidak Menentukan Makna & Kaifiyah ................ 22 3. Meniadakan Makna Dzahir ................................ 27 4. Menyerahkan Makna Hakikat ............................ 31 C. Ulama Salaf 4 Madzhab & Sifat Istawa ....................................... 39
1. Imam Abu Hanifah (w. 150 H) ............................ 40 2. Imam Malik bin Anas (w. 179 H) ........................ 42 3. Imam asy-Syafi’iy (w. 204 H) .............................. 43 4. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) .................. 45 5. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) ........... 47 6. Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H) ......... 48 7. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H)......... 49 8. Imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) ........................ 50 9. Imam al-Ghazali (w. 505 H) ................................ 51 10. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H) ............. 52 11. Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) ...................... 54
Halaman 5 dari 72
12. Imam al-Izz Ibnu Abdissalam (w. 660 H) .......... 55 13. Imam an-Nawawi (w. 676 H) ............................ 56 14. Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali (w. 695 H) ....... 58 15. Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) .......................... 59 16. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) ............................ 59 17. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) ........... 61 18. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) .......... 62 19. Imam Abdul Baqi al-hanbali (w. 1071 H).......... 63 20. Imam as-Safarini al-Hanbali (w. 1188 H) .......... 64 Referensi .................................................................................... 66 Muhammad Ajib, Lc., MA .............................................................. 68
Halaman 6 dari 72
Muqadddimah
احلمد هلل القدمي األول اآلخر الباقي بال.بسم هللا الرمحن الرحيم وأشهد أن سيدان. أشهد أن ال إله إال هللا وحده ال شريك له.هناية اللهم صل وسلم.ونبينا حممدا عبده ورسوله ال نيب وال رسول بعده وابرك على سيدان حممد وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم إبحسان : أما بعد.إىل يوم القيامة Segala puji bagi Allah subhaanahu wa ta’aala yang memiliki sifat-sifat sempurna yang tak terbatas kesempurnaannya. Dialah tuhan yang qadim dan yang disucikan dari sifat huduts serta musyabahatil khalqi. Dialah tuhan yang wajib dan berhak untuk disembah. Dialah tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Dialah tuhan yang menghendaki terjadinya segala sesuatu. Tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali hanya Allah subhaanahu wa ta’aala. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi yang mengajarkan tauhid kepada umatnya. Beliau adalah orang yang
Halaman 7 dari 72
paling tahu tentang Allah subhaanahu wa ta’aala. Pembahasan masalah ayat-ayat mutasyabihat dan hadits-hadits mutasyabihat seringkali dijadikan oleh Salafi Wahabi untuk mengklaim bahwa apa yang menjadi keyakinan mereka selama ini adalah akidahnya ulama salaf. Banyak perkataan para ulama salaf yang dipelintir atau dipoles oleh Salafi Wahabi agar sekilas mirip dengan akidah mereka. Melalui tema inilah mereka banyak mengelabuhi orang awam dan juga para thalibul ilmi. Telah kita ketahui bersama bahwa kelompok Salafi Wahabi ketika memahami ayat-ayat mutasyabihat dan hadits-hadits mutasyabihat mereka menggunakan metode yang disebut dengan Itsbat Makna Dzahir. Artinya sifat-sifat Allah ta’aala seperti istawa, wajh, ‘ain, yad dan nuzul dipahami sesuai dengan makna dzahir lafadznya. Oleh sebab itu Salafi Wahabi sampai punya kesimpulan bahwa Allah ta’aala itu berada di atas Arasy. Parahnya, Salafi Wahabi ini mengklaim bahwa keyakinan Allah ta’aala berada di atas Arasy adalah merupakan akidahnya para ulama salaf. Sungguh ini adalah klaim dusta belaka!. al-Imam Syaikhul Islam Badruddiin Ibnu Jama’ah as-Syafi’iy rahimahullahu ta’aala (w. 733 H) telah berkata dalam kitabnya Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Tha’til bahwasanya:
ومن انتحل قول السلف وقال بتشبيه أو تكييف أو محل اللفظ
Halaman 8 dari 72
على ظاهره مما يتعاىل هللا عنه من صفات احملدثني فهو كاذب يف إيضاح الدليل يف قطع حجج. بريء من قول السلف،انتحاله )93 :أهل التعطيل (ص Barangsiapa yang menisbatkan diri pada ulama salaf namun berkata dengan perkataan tasybih, takyif atau memahami lafadz dengan dzahirnya, padahal Allah ta’alaa suci dari sifat-sifat makhluk, maka dia telah berdusta dalam penisbatannya pada ulama salaf dan dia telah berlepas diri dari ucapan ulama salaf.1 Oleh sebab itu dalam buku ini akan kita bahas mengenai klaim dusta Salafi Wahabi yang mengatakan bahwa ulama salaf 4 madzhab meyakini Allah ta’aala berada di atas Arasy. Semoga Allah ta’aala senantiasa menjaga serta menjauhkan diri kita dan keluarga kita semua dari pemahaman akidah yang menyimpang dan menyesatkan. Dan juga semoga Allah ta’aala senantiasa membimbing dan meneguhkan hati kita pada ajaran akidah ulama salaf yang murni, suci dari Tasybih dan Tajsim. Aamiin. Muhammad Ajib, Lc., MA.
Ibnu Jama’ah, Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Ta’thil, Daru as-Salam, Mesir, Hal. 93. 1
Halaman 9 dari 72
A. Beberapa Kesalahan Salafi Wahabi Perlu digaris bawahi terlebih dahulu bahwasanya para ulama salaf termasuk Asy’ariyah, Maturidiyah & Atsariyah semuanya sepakat untuk menerima, beriman serta meyakini surat Thaha ayat yang ke 5, yaitu:
.5 :استَ َوى} طه َّ {الر ممحَ ُن َعلَى الم َع مر ِش م Ar-Rahman (Allah yang maha pengasih) istawa atas Arasy. (Thaha: 5) Pada intinya dapat disimpulkan bahwa para ulama salaf termasuk Asy’ariyah, Maturidiyah & Atsariyah semuanya menerima sifat istawa sebagai salah satu sifat bagi Allah subhanahu wa ta’aala. Nah, Namun yang jadi masalah besar sebetulnya adalah cara memahami makna sifat istawa pada surat Thaha ayat 5 tersebut. Salafi Wahabi ketika membaca ayat tersebut maka dalam keyakinan mereka Allah ta’aala itu bersemayam, bertempat atau berada di atas Arasy. Sebab mereka meyakini lafadz istawa secara dzahir maknanya. Artinya lafadz istawa itu dipahami oleh mereka sesuai dengan makna, arti atau terjemah dari dzahir lafadznya. Oleh sebab itulah dalam pandangan kami bahwa kelompok Salafi Wahabi itu telah melakukan kesalahan besar dalam memahami ayat tersebut. Setidaknya ada 2 kesalahan besar yang menjadi
Halaman 10 dari 72
penyebabnya. 1. Memahami Sifat Istawa Secara Makna Dzahir Kesalahan besar yang pertama dari kelompok Salafi Wahabi adalah memahami sifat istawa secara dzahir maknanya. Jadi lafadz istawa dipahami secara dzahir lafadznya dengan makna bersemayam, bertempat, berada atau menetap di atas Arasy. Jadi intinya surat Thaha ayat yang ke 5 itu oleh kelompok Salafi Wahabi dipahami secara dzahir lafadznya atau secara tekstual:
.5 :استَ َوى} طه َّ {الر ممحَ ُن َعلَى الم َع مر ِش م Ar-Rahman bersemayam, duduk, bertempat di atas Arasy. (Thaha: 5) Oleh sebab itulah kelompok Salafi Wahabi sampai punya kesimpulan dan meyakini bahwa Allah ta’aala itu berada di atas Arasy. Kesimpulan ini muncul karena mereka memahaminya sesuai dengan makna dzahir dari lafadz istawa. Parahnya, Salafi Wahabi ini mengklaim bahwa keyakinan Allah ta’aala berada di atas Arasy itu adalah merupakan akidahnya para ulama salaf. Sungguh ini adalah klaim dusta belaka!. Padahal al-Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’aala (w. 676 H) dalam kitabnya al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibni al-Hajjaj telah menukil perkataan al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu ta’aala (w. 544 H) bahwa ulama salaf itu telah sepakat untuk tidak memahami sifat-sifat Allah ta’aala secara dzahir
Halaman 11 dari 72
makna lafadznya:
ال خالف بني املسلمني قاطبة فقيههم وحمدثهم:قال القاضي عياض ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر هللا تعاىل يف "أأمنتم من يف السماء" وحنوه ليست على:السماء كقوله تعاىل )24 /5( شرح النووي على مسلم.ظاهرها Al-Qadhi ‘Iyadh telah berkata: Tidak ada perbedaan diantara seluruh kaum muslimin dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, ahli kalam, ahli ilmu dan para pengikutnya bahwa lafadz yang secara dzahir menyebutkan bahwa Allah di langit seperti firmannya “a’amintum man fissamaa’” dan yang semisalnya tidak boleh dipahami secara makna dzahir lafadznya.2 Pernyataan di atas diperkuat juga oleh al-Imam Badruddiin Ibnu Jama’ah as-Syafi’iy rahimahullahu ta’aala (w. 733 H) yang telah berkata dalam kitabnya Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Tha’til bahwasanya:
ومن انتحل قول السلف وقال بتشبيه أو تكييف أو محل اللفظ على ظاهره مما يتعاىل هللا عنه من صفات احملدثني فهو كاذب يف إيضاح الدليل يف قطع حجج. بريء من قول السلف،انتحاله )93 :أهل التعطيل (ص Barangsiapa yang menisbatkan diri pada ulama an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibni al-Hajjaj, Daru Ihyaat-Turats al-Arabiy, Bairut, Jilid 5, Hal. 24. 2
Halaman 12 dari 72
salaf namun berkata dengan perkataan tasybih, takyif atau memahami lafadz dengan makna dzahirnya, padahal Allah ta’alaa disucikan dari sifatsifat makhluk, maka dia telah berdusta dalam penisbatannya pada ulama salaf dan dia telah berlepas diri dari ucapan ulama salaf.3 Jadi intinya kesalahan besar dari kelompok Salafi Wahabi yang pertama adalah memahami sifat istawa sesuai dengan makna dzahir lafadznya. Kenapa salah? Sebab memahami sifat Allah ta’aala secara makna dzahir lafadznya itu telah dilarang oleh ijma’ para ulama salaf. Maka dalam hal ini Salafi Wahabi itu tidak sesuai dengan pemahaman akidahnya ulama salaf. 2. Menterjemahkan Sifat Istawa Kesalahan besar yang kedua dari kelompok Salafi Wahabi adalah menterjemahkan sifat istawa ke dalam bahasa Indonesia. Kesalahan yang kedua ini sebetulnya muncul akibat kesalahan yang pertama tadi. Artinya gara gara mereka memahami lafadz istawa secara makna dzahirnya maka muncullah terjemahan “bersemayam” dari lafadz istawa. Dan ini adalah bentuk kesalahan murakkab dari kelompok Salafi Wahabi. Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam menterjemahkan ayat istawa dengan terjemahan “bersemayam”. Sebab menterjemahkan al-Quran itu Ibnu Jama’ah, Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Ta’thil, Daru as-Salam, Mesir, Hal. 93. 3
Halaman 13 dari 72
salah satu tujuannya adalah memberikan kemudahan pada orang awam dalam memahami alQuran untuk setiap lafadznya. Namun dalam memahami konteks ayatnya tentu harus meruju’ pada tafsir atau penjelasan para ulama salaf. Tujuannya adalah agar supaya ketika membaca terjemahan al-Quran tidak salah dalam mengambil kesimpulan. Sebab antara terjemahan dengan tafsir itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Musibah besar adalah ketika Salafi Wahabi membaca terjemahan ayat istawa tersebut tanpa meruju’ pada penjelasan para ulama salaf yang ahli di bidang itu. Maka kemudian gara gara Salafi Wahabi memahaminya sesuai terjemahannya dalam bahasa Indonesia yaitu “bersemayam” maka muncullah pemahaman secara tekstual bahwa Allah ta’aala benar-benar bersemayam, berada, bertempat atau menetap di atas Arasy. Hal ini kemudian mengundang perhatian besar bagi para ahli ilmu diantaranya seperti tim Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran untuk mengkaji ulang terjemahan “bersemayam” pada surat Thaha ayat 5 tersebut. Maka pada tanggal 31 Agustus 2020 lalu telah diadakan webinar bedah terjemah al-Quran dengan tema “Pemaknaan Ayat-Ayat Mutasyabihat Dalam Terjemahan al-Quran Kemenag Edisi
Halaman 14 dari 72
Penyempurnaan Tahun 2019”.4 Diantara kesimpulan yang dipaparkan oleh salah satu narasumber dalam webinar tersebut adalah lafadz istawa pada surat Thaha ayat 5 itu lebih utamanya dan lebih aman untuk tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kenapa lafadz istawa tidak boleh diterjemahkan? Alasannya karena diantara para ulama salaf itu ada yang melarang menterjemahkan sifat-sifat Allah ta’aala ke dalam bahasa lain. Sebab jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain akan menimbulkan kekhawatiran pemahaman secara tektual. Larangan menterjemah sifat-sifat Allah ta’aala ke dalam bahasa lain telah dinukil oleh seorang ulama besar yaitu al-Imam adz-Dzahabi rahimahullahu ta’aala (w. 748 H). Dalam kitabnya al-Uluw Lil ‘Aliyyil Ghaffar beliau tidak mau menterjemah sifat-sifat Allah ta’aala. Artinya beliau melarang menterjemahkan sifat-sifat Allah ta’aala ke dalam bahasa lain:
: العلو للعلي الغفار (ص.وال نرتجم عن صفاته بلغة غري العربية )208 Dan kami tidak menterjemah sifat-sifat Allah
Acara ini dihadiri oleh 5 narasumber yaitu Dr. Muchlis M. Hanafi, MA., Dr. Abdul Ghafur Maimoen, MA., KH. Abdul Wahab Ahmad, MA., Dr. Abbas Mansur Tamam, MA. Dan Dr. Dora Amalia, M. Hum. 4
Halaman 15 dari 72
ta’aala dengan bahasa selain bahasa arab.5 Begitu pula al-Imam al-Baihaqi as-Syafi’iy alAsy’ariy rahimahullahu ta’aala (w. 458 H) juga berkata dalam kitabnya al-Asma’ wa as-Shifat bahwasanya Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullahu ta’aala (w. 198 H) telah melarang mentafsirkan atau menterjemahkan sifat-sifat Allah ta’aala ke dalam bahasa lain:
ما وصف هللا تبارك وتعاىل به نفسه يف:عن سفيان بن عيينة يقول . ليس ألحد أن يفسره ابلعربية وال ابلفارسية،كتابه فقراءته تفسريه )117 /2( األمساء والصفات للبيهقي Dari Imam Sufyan bin Uyainah beliau berkata: Apapun yang disifatkan oleh Allah terhadap dirinya dalam al-Quran maka dengan membacanya itulah tafsirnya. Tidak boleh bagi seseorang untuk menafsirkannya dengan bahasa arab atau dengan bahasa persia.6 Jadi bisa kita simpulkan bahwa ketika membaca sifat-sifat Allah ta’aala dalam al-Quran dan Hadits lebih utamanya untuk tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jadi dibiarkan saja seperti lafadznya dalam al-Quran dan Hadits. Sebagai contoh surat Thaha ayat yang ke 5 untuk lafadz istawa lebih utamanya tidak kita terjemahkan Adz-Dzahabi, al-Uluw Lil ‘Aliyyil Ghaffar, Maktabah Adhwa’u as-Salaf, Riyadh, Hal. 208. 6 Al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Shifat, Maktabah as-Sawadiy, Saudi Arabia, Jilid 2, Hal. 117. 5
Halaman 16 dari 72
ke dalam bahasa indonesia:
.5 :استَ َوى} طه َّ {الر ممحَ ُن َعلَى الم َع مر ِش م Ar-Rahman (Allah yang maha pengasih) istawa atas Arasy. (Thaha: 5) Jadi intinya kesalahan besar kelompok Salafi Wahabi yang kedua adalah menterjemahkan sifat istawa ke dalam bahasa Indonesia. Kenapa salah? Sebab menterjemah sifat istawa ke dalam bahasa lain telah dilarang oleh para ulama salaf. Maka dalam hal ini Salafi Wahabi itu tidak sesuai dengan pemahaman akidahnya ulama salaf.
Halaman 17 dari 72
B. Kaidah Ulama Salaf Dalam Memahami Sifat Istawa Salah satu cara yang ditempuh para ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dan hadits-hadits mutasyabihat adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah metode Tafwidh Makna. Agar lebih mudah memahami kaidah-kaidah tersebut maka bisa kita lihat dari 4 poin di bawah ini. 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. Ke-empat kaidah di atas dalam ilmu akidah kita kenal dengan istilah metode Tafwidh Makna. 4 kaidah di atas jika kita telusuri dalam kitab-kitab para ulama salaf maka akan kita dapati redaksi atau ibarah dari qoul para ulama ternyata mengarah pada salah satu dari ke-empat poin tersebut. 1. Menetapkan Sifat Sesuai Lafadz Dalam alQuran & as-Sunnah Biasanya ibarah yang kita temukan dari para ulama rata-rata mereka menggunakan ungkapan Itsbatu asShifat, Imroruha Kama Ja’at dan Imroruha Kama
Halaman 18 dari 72
Warodat. al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ariy rahimahullah (w. 324 H) dalam kitabnya Risalah Ilaa Ahli ats-Tsughur Bibabil Abwaabi menyebutkan bahwa:
وأمجعوا على التصديق جبميع ما جاء به رسول هللا صلى هللا عليه ووجوب، وما ثبت به النقل من سائر سنته،وسلم يف كتاب هللا ورد كل ما مل حيط،العمل مبحكمه واإلقرار بنص مشكله ومتشاهبه رسالة إىل أهل.به علما بتفسريه إىل هللا تعاىل مع اإلميان بنصه )166 :الثغر بباب األبواب (ص Para ulama salaf telah ijma’ untuk membenarkan semua apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalam al-Quran dan yang shahih dari as-Sunnahnya, wajib mengamalkan ayat-ayat muhkam dan wajib menetapkan lafadz yang musykil atau sifat mutasyabihat serta mengembalikan pengetahuan tentang tafsirnya/maknanya kepada Allah ta’aala dengan tetap mengimani lafadz nashnya.7 al-Imam al-Baihaqi as-Syafi’iy al-Asy’ariy rahimahullahu ta’aala (w. 458 H) telah berkata dalam kitabnya al-Asma’ wa as-Shifat bahwasanya:
، وليس معىن اليد عندان اجلارحة:وقال أبو سليمان اخلطايب رمحه هللا فنحن نطلقها على ما جاءت وال،إمنا هو صفة جاء هبا التوقيف Abu al-Hasan al-Asy’ariy, Risalah Ilaa Ahli ats-Tsughur, Imadatul al-Bahtsi al-Ilmiy: Saudi, Hal. 166. 7
Halaman 19 dari 72
وننتهي إىل حيث انتهى بنا الكتاب واألخبار املأثورة،نكيفها وسئل األوزاعي. وهو مذهب أهل السنة واجلماعة.الصحيحة ومالك وسفيان الثوري والليث بن سعد عن هذه األحاديث اليت األمساء. أمروها كما جاءت بال كيفية: فقالوا،جاءت يف التشبيه )161 /2( والصفات للبيهقي Al-Imam al-Khattabi asy-Syafiiy rahimahullah telah berkata: Sifat Yad bagi Allah ta’aala maknanya bukanlah tangan anggota tubuh/jarihah. Akan tetapi Yad adalah sebuah sifat yang datang dengannya sebuah penjelasan/dalil. Kami menetapkan sifat tersebut sebagaimana lafadznya tanpa kaifiyah. Cukup sampai pada apa yang dikatakan al-Quran dan as-Sunnah as-Shahihah. ini adalah madzhabnya Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam al-Auza’i, Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits pernah ditanya tentang Mutasyabihat, mereka menjawab: Biarkanlah seperti lafadz yang ada tanpa kaifiyah.8 al-Imam Syaikhul Islam Badruddiin Ibnu Jama’ah as-Syafi’iy al-Asy’ariy rahimahullahu ta’aala (w. 733 H) telah berkata dalam kitabnya Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Tha’til bahwasanya:
إثبات مجيع ما أثبت هللا تعاىل لنفسه أو صح ذلك عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من األمساء والصفات دون حتريف أو تبديل دون زايدة أو نقصان دون نفي وإنكار شيء مهما كان غريبا عند Al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Shifat, Maktabah as-Sawadiy, Saudi Arabia, Jilid 2, Hal. 161. 8
Halaman 20 dari 72
: إيضاح الدليل يف قطع حجج أهل التعطيل (ص.بعض العقول )39 Menetapkan seluruh asma’ dan sifat yang ditetapkan oleh Allah ta’aala bagi dirinya atau yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tanpa tahrif (distorsi), tanpa tabdil (mengganti), tanpa menambahkan atau mengurangi dan tanpa meniadakan sifat atau mengingkari sifat meskipun dinilai aneh secara akal.9 al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 620 H) telah berkata dalam kitabnya Dzammu at-Takwil bahwasanya:
ومذهب السلف رمحة هللا عليهم اإلميان بصفات هللا تعاىل وأمسائه اليت وصف هبا نفسه يف آايته وتنزيله أو على لسان رسوله من غري زايدة عليها وال نقص منها وال جتاوز هلا وال تفسري وال أتويل هلا مبا بل.خيالف ظاهرها وال تشبيه بصفات املخلوقني وال مسات احملدثني . وردوا علمها إىل قائلها ومعناها إىل املتكلم هبا.أمروها كما جاءت )11 :ذم التأويل (ص Madzhab ulama salaf adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah ta’aala dan nama-namanya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah tanpa menambah-nambahi, tanpa mengurangi, tanpa berlebihan, tanpa tafsir/makna, Ibnu Jama’ah, Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Ta’thil, Daru as-Salam, Mesir, Hal. 39. 9
Halaman 21 dari 72
tanpa takwil yang menyelisihi dzhahir lafadznya, tanpa tasybih/menyerupakan dengan makhluknya. Akan tetapi biarkanlah seperti lafadz yang ada. Dan menyerahkan ilmunya dan maknanya kepada Alllah & Rasulnya.10 al-Imam adz-Dzahabi rahimahullahu ta’aala (w. 748 H) telah berkata dalam kitabnya Siyar A’lami anNubala’ bahwasanya:
وتفويض معناه إىل قائله، واإلمرار، اإلقرار:فقولنا يف ذلك واببه )183 /7( سري أعالم النبالء.الصادق املعصوم Perkatan kami dalam bab mutasyabihat adalah menetapkan sifat, membiarkan sesuai lafadznya serta menyerahkan maknanya kepada Allah & Rasulnya.11 al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta’aala (w. 774 H) telah berkata dalam kitabnya TafsiruL Qur’anil ‘Adzim bahwasanya:
"مث استوى على العرش" فللناس يف هذا املقام:وأما قوله تعاىل وإمنا نسلك يف هذا.مقاالت كثرية جدا ليس هذا موضع بسطها املقام مذهب السلف الصاحل مالك واألوزاعي والثوري والليث بن سعد والشافعي وأمحد وإسحاق بن راهويه وغريهم من أئمة املسلمني من غري تكييف وال تشبيه،قدميا وحديثا وهو إمرارها كما جاءت Ibnu Qudamah, Dzammu at-Takwil, ad-daru as-Salafiyah, Kuwait, Hal. 11. 11 Adz-Dzahabi, Siyar A’lami an-Nubala’, Darul Hadits, Kairo, Jilid 7, Hal. 183. 10
Halaman 22 dari 72
. والظاهر املتبادر إىل أذهان املشبهني منفي عن هللا.وال تعطيل )383 /3( تفسري ابن كثري Adapun firman Allah “Kemudian Allah istawa atas Arasy” maka para ulama memiliki pembahasan yang Panjang dan tempatnya bukan di sini. Namun kami mengikuti jalannya para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam al-Auza’I, Imam ats-Tsauri, Imam alLaits, Imam asy-Syafi’iy, Imam Ahmad, Imam Ishaq bin Rahwaih dan yang lainnya bahwa membiarkan sebagaimana lafadznya, tanpa kaifiyah, tanpa tasybih dan tanpa ta’thil. Makna dzahir yang terlintas dalam pikiran orang harus ditiadakan dari Allah ta’aala.12 Dari beberapa keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa para ulama salaf itu tidak meyakini makna dzahir yang nampak pada lafadz tersebut. 2. Tidak Menentukan Makna & Kaifiyah Biasanya ibarah yang digunakan oleh para ulama salaf dalam kitab mereka adalah Bila Kaif, Bila Makna, Duna Bahtsin ‘Anil Makna, Bila Tafsir dan Wala Nufassiru. Ketika para ulama salaf tidak menentukan makna apapun maka secara otomatis juga tidak akan ada yang namanya kaifiyah. Pemahaman seperti inilah yang diyakini oleh para Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Daru al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, Jilid 3, Hal. 383. 12
Halaman 23 dari 72
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan Asyariyah, Maturidiyah dan Atsariyah. al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 620 H) mengatakan dalam kitab Lum’atul I’tiqad bahwa:
قال اإلمام أبو عبد هللا أمحد بن حممد بن حنبل رضي هللا عنه يف «إن هللا ينزل إىل مساء الدنيا» أو:قول النيب صلى هللا عليه وسلم وما أشبه هذه األحاديث نؤمن هبا،»«إن هللا يرى يف القيامة )6 : ملعة االعتقاد (ص.ونصدق هبا بال كيف وال معىن Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu anhu pernah berkata terkait hadits “Sesungguhnya Allah Yanzilu ke langit dunia” atau “Sesungguhnya Allah bisa dilihat nanti di akhirat” dan hadits-hadits mutasyabihat yang semisalnya: Kami beriman dengannya dan membenarkannya tanpa menentukan kaifiyah dan tanpa menentukan makna.13 al-Imam al-Baihaqi as-Syafi’iy al-Asy’ariy rahimahullahu ta’aala (w. 458 H) telah berkata dalam kitabnya al-Asma’ wa as-Shifat bahwasanya:
واآلاثر عن السلف يف،{الرمحن على العرش استوى} بال كيف وعلى هذه الطريق يدل مذهب الشافعي رضي هللا.مثل هذا كثرية /2( األمساء والصفات للبيهقي. وإليها ذهب أمحد بن حنبل،عنه Ibnu Qudamah, Lum’atul I’tiqad, Wizaratu as-Syu’un alIslamiyah wa al-Awqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad: Saudi, Hal. 6. 13
Halaman 24 dari 72
)308 Firman Allah: “Allah istawa atas Arasy” tanpa kaifiyah. Atsar para ulama salaf yang seperti ini banyak sekali. Dengan cara inilah Imam asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal menunjukkan madzhabnya.14 al-Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 695 H) mengatakan dalam kitabnya Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin bahwa:
أحاديث الصفات متر كما:قال اإلمام أمحد بن حنبل رضي هللا عنه وكل ما يعقل ويتصور فهو.جاءت من غري حبث عن معانيها وجيب أن نصف هللا تعاىل مبا وصف. وهو حمال،تكييف وتشبيه به نفسه أو وصف به رسوله صلى هللا عليه وسلم وإمراره كما جاء )33 : هناية املبتدئني يف أصول الدين (ص.وإن مل يعقل معناه Dan telah berkata al-Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu anhu: Hadits-hadits mutasyabihat dibiarkan seperti lafadz yang warid tanpa menentukan maknanya. Apapun yang kita pikirkan dan kita gambarkan dalam benak kita itu merupakan bentuk takyif dan tasybih. Dan itu mustahil bagi Allah ta’aala. Dan wajib bagi kita mensifati Allah ta’aala dengan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan baginya atau yang telah ditetapkan oleh rasulnya kepadanya serta membiarkannya seperti lafadz aslinya Al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Shifat, Maktabah as-Sawadiy, Saudi Arabia, Jilid 2, Hal. 308. 14
Halaman 25 dari 72
meskipun tanpa diketahui maknanya.15 al-Imam al-Baihaqi as-Syafi’iy al-Asy’ariy rahimahullahu ta’aala (w. 458 H) telah berkata dalam kitabnya al-Asma’ wa as-Shifat bahwasanya:
ما وصف هللا تبارك وتعاىل به نفسه يف:عن سفيان بن عيينة يقول . ليس ألحد أن يفسره ابلعربية وال ابلفارسية،كتابه فقراءته تفسريه )117 /2( األمساء والصفات للبيهقي Dari Imam Sufyan bin Uyainah beliau berkata: Apapun yang disifatkan oleh Allah terhadap dirinya dalam al-Quran maka dengan membacanya itulah tafsirnya. Tidak boleh bagi seseorang untuk menafsirkannya dengan bahasa arab atau dengan bahasa persia.16 al-Imam adz-Dzahabi rahimahullahu ta’aala (w. 748 H) juga menukil hal yang sama dalam kitabnya alUluw Lil ‘Aliyyil Ghaffar bahwasanya:
: العلو للعلي الغفار (ص.وال نرتجم عن صفاته بلغة غري العربية )208 Kami tidak menterjemah sifat-sifat Allah ta’aala dengan bahasa selain bahasa arab.17 al-Imam
al-Baihaqi
as-Syafi’iy
al-Asy’ariy
Ibnu Hamdan, Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin, Maktabatu ar-Rusyd, Hal. 33. 16 Al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Shifat, Maktabah as-Sawadiy, Saudi Arabia, Jilid 2, Hal. 117. 17 Adz-Dzahabi, al-Uluw Lil ‘Aliyyil Ghaffar, Maktabah Adhwa’u as-Salaf, Riyadh, Hal. 208. 15
Halaman 26 dari 72
rahimahullahu ta’aala (w. 458 H) telah berkata dalam kitabnya al-I’tiqad bahwasanya:
ويف اجلملة جيب أن يعلم أن استواء هللا سبحانه وتعاىل ليس ابستواء وال مماسة لشيء من،اعتدال عن اعوجاج وال استقرار يف مكان ابئن، لكنه مستو على عرشه كما أخرب بال كيف بال أين،خلقه وأن، وأن إتيانه ليس إبتيان من مكان إىل مكان،من مجيع خلقه وأن، وأن نفسه ليس جبسم، وأن نزوله ليس بنقلة،جميئه ليس حبركة ، وأن عينه ليست حبدقة، وأن يده ليست جبارحة،وجهه ليس بصورة . فقلنا هبا ونفينا عنها التكييف،وإمنا هذه أوصاف جاء هبا التوقيف االعتقاد واهلداية إىل سبيل الرشاد على مذهب السلف )117 :وأصحاب احلديث للبيهقي (ص Secara umum wajib diketahui bahwasanya istiwa’nya Allah ta’aala atas Arasy bukan bermakna berdiri tegak, bertempat di suatu tempat atau menyentuh sesuatu. Akan tetapi kita katakan Allah istawa atas Arasy sebagaimana lafadz yang ada tanpa kaifiyah, tanpa mengatakan di mana. Allah ta’aala itu terpisah dari makhluknya (tidak menyatu/hulul). Sifat ityan bukan bermakna datang dari suatu tempat ke tempat lain, sifat maji’ bukan bermakna bergerak, sifat nuzul bukan bermakna berpindah. Dzat Allah ta’aala itu bukan jism, sifat wajh bukan bermakna bentuk/gambar, sifat yad bukan bermakna jarihah/anggota tubuh, sifat ‘ain bukan bermakna bola mata. Sesungguhnya semua sifat ini adalah sifat yang datang dari syara’ lalu kami
Halaman 27 dari 72
tawaqquf/diam. Kami mengatakan sifat-sifat tersebut sebagaimana lafadznya tanpa kaifiyah.18 Dari beberapa keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa para ulama salaf itu tidak menentukan makna apapun ketika membaca sifatsifat Allah subhanahu wa ta’aala. Dan mereka juga meniadakan kaifiyah bagi Allah subhanahu wa ta’aala. 3. Meniadakan Makna Dzahir Biasanya ibarah yang digunakan oleh para ulama salaf dalam kitab mereka adalah laisa ‘ala Dzahirihi dan Nafyu al-Ma’na adz-Dzahir. al-Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’aala (w. 676 H) dalam kitabnya al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibni al-Hajjaj telah mengatakan bahwa:
ال خالف بني املسلمني قاطبة فقيههم وحمدثهم:قال القاضي عياض ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر هللا تعاىل يف "أأمنتم من يف السماء" وحنوه ليست على:السماء كقوله تعاىل )24 /5( شرح النووي على مسلم.ظاهرها Al-Qadhi ‘Iyadh telah berkata: Tidak ada perbedaan diantara seluruh kaum muslimin dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, ahli kalam dan para pengikutnya bahwa lafadz dzahir yang menyebutkan bahwa Allah di langit seperti firmannya “a’amintum man fissamaa’” dan yang semisalnya tidak boleh Al-Baihaqi, al-I’tiqad, Darul Aafaq al-Jadidah, Bairut, Hal. 117. 18
Halaman 28 dari 72
dipahami secara dzahir lafadznya.19 al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu ta’aala (w. 852 H) telah berkata dalam kitabnya Fathul Bari bahwasanya:
ابب قول هللا تعاىل تعرج املالئكة والروح إليه وقوله تعاىل إليه غرض البخاري يف هذا: وقال بن بطال.يصعد الكلم الطيب وقد تقرر.الباب الرد على اجلهمية اجملسمة يف تعلقها هبذه الظواهر فقد كان وال.أن هللا ليس جبسم فال حيتاج إىل مكان يستقر فيه ومعىن االرتفاع إليه. وإمنا أضاف املعارج إليه إضافة تشريف.مكان /13( فتح الباري البن حجر.اعتالؤه مع تنزيهه عن املكان )416 Bab tentang firman Allah ta’aala: “Para malaikat dan malaikat jibril naik kepadanya” dan “KepadaNyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik”. Imam Ibnu Batthal berkata: Maksud Imam al-Bukhari menyebutkan bab ini adalah untuk membantah kelompok Jahmiyah dan Mujassimah yang memahaminya secara dzhahir lafadznya saja. Padahal Allah ta’aala bukanlah jism, Maka Allah tidak butuh tempat untuk berada. Allah sudah ada sebelum tempat itu ada. Sesungguhnya penyebutan naik ke atas itu maksudnya untuk memuliakan Dzat Allah. Makna Allah maha tinggi maksudnya tingginya
an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Daru IhyaatTurats al-Arabiy, Bairut, Jilid 5, Hal. 24. 19
Halaman 29 dari 72
Allah dengan meniadakan tempat bagi-Nya.20 al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta’aala (w. 774 H) telah berkata dalam kitabnya TafsiruL Qur’anil ‘Adzim bahwasanya:
"مث استوى على العرش" فللناس يف هذا املقام:وأما قوله تعاىل وإمنا نسلك يف هذا.مقاالت كثرية جدا ليس هذا موضع بسطها املقام مذهب السلف الصاحل مالك واألوزاعي والثوري والليث بن سعد والشافعي وأمحد وإسحاق بن راهويه وغريهم من أئمة املسلمني من غري تكييف وال تشبيه،قدميا وحديثا وهو إمرارها كما جاءت . والظاهر املتبادر إىل أذهان املشبهني منفي عن هللا.وال تعطيل )383 /3( تفسري ابن كثري Adapun firman Allah “Kemudian Allah istawa atas Arasy” maka para ulama memiliki pembahasan yang Panjang dan tempatnya bukan di sini. Namun kami mengikuti jalannya para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam al-Auza’I, Imam ats-Tsauri, Imam alLaits, Imam asy-Syafi’iy, Imam Ahmad, Imam Ishaq bin Rahwaih dan yang lainnya bahwa membiarkan sebagaimana lafadznya, tanpa kaifiyah, tanpa tasybih dan tanpa ta’thil. Makna dzahir yang terlintas dalam pikiran orang harus ditiadakan dari Allah ta’aala.21
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Darul Ma’rifah: Bairut, Jilid 13, Hal. 416. 21 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Daru al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, Jilid 3, Hal. 383. 20
Halaman 30 dari 72
al-Imam Syaikhul Islam Badruddiin Ibnu Jama’ah as-Syafi’iy rahimahullahu ta’aala (w. 733 H) telah berkata dalam kitabnya Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Tha’til bahwasanya:
ومن انتحل قول السلف وقال بتشبيه أو تكييف أو محل اللفظ على ظاهره مما يتعاىل هللا عنه من صفات احملدثني فهو كاذب يف إيضاح الدليل يف قطع حجج. بريء من قول السلف،انتحاله )93 :أهل التعطيل (ص Barangsiapa yang menisbatkan diri pada ulama salaf namun berkata dengan perkataan tasybih, takyif atau memahami lafadz dengan dzahirnya, padahal Allah ta’alaa suci dari sifat-sifat makhluk, maka dia telah berdusta dalam penisbatannya pada ulama salaf dan dia telah berlepas diri dari ucapan ulama salaf.22 al-Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 695 H) mengatakan dalam kitabnya Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin bahwa:
وال حتله احلوادث.وأن هللا تعاىل ليس جبوهر وال عرض وال جسم وال نتأول، وأنه استوى على العرش بال كيف.وال حيل يف حادث . بل نكل علمه إىل هللا تعاىل.ذلك وال نفسره وال نكيفه وال نعطله ، ولفظه صريح.وكذا القول يف حديث النزول وغريه مما سنده صحيح هناية املبتدئني يف أصول الدين.إذا استحال محله على ظاهره Ibnu Jama’ah, Idhahu ad-Dalil Fii Qath’i Hujaji Ahli at-Ta’thil, Daru as-Salam, Mesir, Hal. 93. 22
Halaman 31 dari 72
)31 :(ص Sesungguhnya Allah ta’aala itu bukan berupa jauhar, ‘aradh dan jism. Tidak ada makhluk yang bertempat di Dzatnya dan juga Dia tidak bertempat pada makhluk. Sesungguhnya Allah istawa di atas Arsy tanpa kaifiyah. Kami tidak mentakwil, tidak menafsirkan tidak membagaimanakan dan juga tidak meniadakan sifat istawa. Akan tetapi kami serahkan ilmunya (maknanya) kepada Allah ta’aala. Begitu juga kami katakan dalam masalah hadits sifat nuzul dan lainnya dengan sanad yang shahih dan lafadz yang jelas. Maka mustahil membawanya pada makna dzahir lafadznya.23 Dari beberapa keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa para ulama salaf itu semuanya sepakat meniadakan makna dzahir dari setiap lafadz sifat bagi Allah subhanahu wa ta’aala. Dalam artian ketika membaca ayat-ayat mutasyabihat atau hadits-hadits mutasyabihat seperti istawa, nuzul, yad dan ain tidak dipahami sebagaimana makna dzahirnya. Alias makna dzahirnya itu dihilangkan atau ditiadakan. 4. Menyerahkan Makna Hakikat Biasanya ibarah yang digunakan oleh para ulama dalam kitab mereka adalah was-sukuut ‘anil murod, wa yufawwadhu ma’nahu ilallahi ta’aala, wa yuroddu ma’nahu aw ilmuhu ilallahi ta’aala, lam Ibnu Hamdan, Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin, Maktabatu ar-Rusyd, Hal. 31. 23
Halaman 32 dari 72
tu’lam haqiqituhu dan yuwakkal ma’nahu ilallahi ta’aala, nakilu ma’nahu ilallahi ta’aala atau ‘alaa muradhillah. al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu ta’aala (w. 852 H) telah berkata dalam kitabnya Fathul Bari bahwasanya:
إال، وأسلمها اإلميان بال كيف والسكوت عن املراد:قال البيهقي ومن الدليل على ذلك اتفاقهم.أن يرد ذلك عن الصادق فيصار إليه فتح. فحينئذ التفويض أسلم.على أن التأويل املعني غري واجب )30 /3( الباري البن حجر Imam al-Baihaqi telah berkata: “Metode yang lebih selamat adalah beriman tanpa kaifiyah serta diam dari menentukan makna, kecuali jika ada penjelasan makna dari syara’ maka boleh dipakai. Bukti akan hal itu adalah bahwa para ulama sepakat tidak wajibnya menggunakan takwil. Maka dari itu Tafwidh Makna lebih selamat”.24 al-Imam Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi alMaturidi rahimahullahu ta’aala (w. 1097 H) telah berkata dalam kitabnya Isyaraatul Maram min Ibaraatil Imam Abi Hanifata an-Nu’man bahwasanya:
وهللا على العرش استوى بال:قال اإلمام أبو حنيفة رمحه هللا تعاىل وهذا. انتهى.كيف من غري أن يكون له حاجة واستقرار عليه فتفويض علمها إىل هللا تعاىل أتويل أيضا لكنه.مذهب السلف Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Darul Ma’rifah: Bairut, Jilid 3, Hal. 30. 24
Halaman 33 dari 72
واختاره. وهو مذهب السلف يف مجيع الصفات املتشاهبات.إمجايل إشارة املرام من عبارات اإلمام.مالك والشافعي وأمحد بن حنبل )156 :أيب حنيفة النعمان (ص Imam Abu Hanifah rahimahullahu ta’aala pernah berkata: “Allah istawa atas Arasy tanpa kaifiyah, tanpa bermakna membutuhkan Arasy dan tanpa bertempat di atas Arasy”. Ini adalah madzhab ulama salaf. Mentafwidh atau menyerahkan ilmunya kepada Allah ta’aala juga bisa disebut takwil ijmali. Ini adalah madzhabnya ulama salaf dalam memahami semua sifat mutasyabihat. Dan ini pendapat yang dipilih juga oleh Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal.25 al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 620 H) telah berkata dalam kitabnya Dzammu at-Takwil bahwasanya:
ومذهب السلف رمحة هللا عليهم اإلميان بصفات هللا تعاىل وأمسائه اليت وصف هبا نفسه يف آايته وتنزيله أو على لسان رسوله من غري زايدة عليها وال نقص منها وال جتاوز هلا وال تفسري وال أتويل هلا مبا بل.خيالف ظاهرها وال تشبيه بصفات املخلوقني وال مسات احملدثني . وردوا علمها إىل قائلها ومعناها إىل املتكلم هبا.أمروها كما جاءت )11 :ذم التأويل (ص Kamaluddin al-Basnawi, Isyaratul Maram min Ibaraati alImam Abi Hanifah an-nu’man, Daru al-Kutub al-Ilmiyah: Bairut, Hal. 156. 25
Halaman 34 dari 72
Madzhab ulama salaf adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah ta’aala dan nama-namanya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah tanpa menambah-nambahi, tanpa mengurangi, tanpa berlebihan, tanpa tafsir/makna, tanpa takwil yang menyelisihi dzhahir lafadznya, tanpa tasybih/menyerupakan dengan makhluknya. Akan tetapi biarkanlah seperti lafadz yang ada. Dan menyerahkan ilmunya dan maknanya kepada Alllah & Rasulnya.26 al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 620 H) telah berkata dalam kitabnya Lum’atul I’tiqad bahwasanya:
:قال اإلمام أبو عبد هللا حممد بن إدريس الشافعي رضي هللا عنه ومبا، وآمنت برسول هللا، على مراد هللا،آمنت ابهلل ومبا جاء عن هللا )7 : ملعة االعتقاد (ص.جاء عن رسول هللا على مراد رسول هللا Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy radhiyallahu ‘anhu telah berkata: Aku beriman terhadap apapun (sifat-sifat Allah) yang datang dari Allah sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh Allah ta’aala. Dan Aku beriman terhadap apapun (sifat-sifat Allah) yang datang dari Rasulullah sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.27 Ibnu Qudamah, Dzammu at-Takwil, ad-daru as-Salafiyah, Kuwait, Hal. 11. 27 Ibnu Qudamah, Lum’atul I’tiqad, Wizaratu as-Syu’un alIslamiyah wa al-Awqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad: Saudi, Hal. 7. 26
Halaman 35 dari 72
al-Imam al-Qurtubi rahimahullahu ta’aala (w. 671 H) telah berkata dalam kitabnya al-Jaami’ Li Ahkamil Qur’an bahwasanya:
وقد كان السلف األول رضي هللا عنهم ال يقولون بنفي اجلهة وال بل نطقوا هم والكافة إبثباهتا هلل تعاىل كما نطق،ينطقون بذلك ومل ينكر أحد من السلف الصاحل أنه استوى.كتابه وأخربت رسله وإمنا، وخص العرش بذلك ألنه أعظم خملوقاته.على عرشه حقيقة /7( تفسري القرطيب. فإنه ال تعلم حقيقته.جهلوا كيفية االستواء )219 Para ulama salaf generasi awal radhiyallahu ‘anhum tidak mengatakan jihah/arah bagi Allah ta’aala. Mereka mengatakan sebagaimana yang dikatakan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Tidak ada satupun ulama salaf yang mengingkari bahwa Allah istawa atas Arasy secara lafadz hakiki (bukan takwil). Arasy dikhususkan penyebutannya sebab Arasy adalah makhluk yang paling besar. Para ulama salaf tidak mengetahui kaifiyah istiwa’. Sesungguhnya hakikat makna istawa tidak diketahui.28 Masih di kitab yang sama pada jilid ke 6 al-Imam al-Qurtubi rahimahullahu ta’aala (w. 671 H) meniadakan makna bertempat bagi Allah ta’aala:
أي هم، "فوق عباده" فوقية االستعالء ابلقهر والغلبة عليهم:ومعىن Al-Qurtubi, al-Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, Daru al-Kutub alMisriyah, Jilid 7, Hal. 219. 28
Halaman 36 dari 72
)399 /6( تفسري القرطيب.حتت تسخريه ال فوقية مكان Makna firman Allah “wahuwa fauqo ibaadihi” maksudnya adalah lafadz fauqiyah bermakna menguasai dan mengalahkan. Bisa juga bermakna mereka di bawah kendali Allah ta’aala bukan bermakna di atas suatu tempat.29 al-Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 695 H) mengatakan dalam kitabnya Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin bahwa:
وال حتله احلوادث.وأن هللا تعاىل ليس جبوهر وال عرض وال جسم وال نتأول، وأنه استوى على العرش بال كيف.وال حيل يف حادث . بل نكل علمه إىل هللا تعاىل.ذلك وال نفسره وال نكيفه وال نعطله حنن نؤمن أبن هللا على العرش كيف شاء بال حد وال:وقال أمحد ومن قال إنه بذاته يف كل مكان.صفة يبلغها واصف أو حيده حاد
)30 : هناية املبتدئني يف أصول الدين (ص.أو يف مكان فكافر Sesungguhnya Allah ta’aala itu bukan berupa jauhar, ‘aradh dan jism. Tidak ada makhluk yang bertempat di Dzatnya dan juga Dia tidak bertempat pada makhluk. Sesungguhnya Allah istawa di atas Arsy tanpa kaifiyah. Kami tidak mentakwil, tidak menafsirkan tidak membagaimanakan dan juga tidak meniadakan sifat istawa. Akan tetapi kami serahkan ilmunya (maknanya) kepada Allah ta’aala. Imam Ahmad berkata: Kami beriman bahwa Allah Al-Qurtubi, al-Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, Daru al-Kutub alMisriyah, Jilid 6, Hal. 399. 29
Halaman 37 dari 72
istawa atas Arsy seperti yang dikehendakinya tanpa ada batas dan tanpa dibatasi oleh pembatas. Siapa yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat atau ada di suatu tempat maka dia telah kafir.30 Dari beberapa keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa para ulama salaf itu menyerahkan makna sifat kepada Allah ta’aala. Artinya ketika membaca ayat-ayat mutasyabihat atau hadits-hadits mutasyabihat para ulama salaf ternyata menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah ta’aala. Istawa ya istawa, maknanya serahkan saja kepada Allah ta’aala. Jadi istawa maknanya bukan yang anda tentukan di kepala anda (bertempat). Kesimpulannya jika kita bandingkan secara seksama antara metode ulama salaf (Tafwidh Makna) dengan metode Salafi Wahabi (Itsbat Makna). Metode “Tafwidh Makna” Ulama Salaf: 1. Menetapkan sifat bagi Allah subhanahu wa ta’aala dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. (Itsbat Sifat Kama Warodat/Imroruha Kama Jaa'at). 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. (Bila Makna Wala Kaif). 3. Meniadakan makna dzohir. (Nafyu al-Ma'na adz-Dzohir al-Mutabaadir Ilaa adz-Dzihni). 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah Ibnu Hamdan, Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin, Maktabatu ar-Rusyd, Hal. 30. 30
Halaman 38 dari 72
subhanahu wa ta’aala. (Tafwidh Makna). Metode “Itsbat Makna/Tafwidh Kaifiyah” Salafi Wahabi: 1. Menetapkan sifat bagi Allah subhanahu wa ta’aala dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. (Itsbat Sifat Kama Warodat/Imroruha Kama Jaa'at). 2. Menetapkan makna & kaifiyah. 3. Menetapkan makna dzohir. 4. Hakikat kaifiyahnya diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’aala. (Tafwidh Kaifiyah).
Halaman 39 dari 72
C. Ulama Salaf 4 Madzhab & Sifat Istawa Akhir-akhir ini kami perhatikan kelompok Salafi Wahabi sangat gencar sekali membagikan tema tema akidah khususnya dalam masalah sifat-sifat mutasyabihat seperti sifat istawa. Mereka menukil banyak ibarah dari ulama salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sebetulnya tidak ada yang salah dalam nukilan yang disampaikan oleh kelompok Salafi Wahabi tersebut. Yang salah itu adalah memahami ibarah ulama salaf sesuai dengan dzahir lafadznya. Dan kita dari awal sudah tahu bahwa kelompok Salafi Wahabi itu memang memahami sifat sesuai makna dzahir lafadznya. Bahkan ada satu hal yang lebih parah lagi dari nukilan mereka. Sebagian ibarah perkataan ulama salaf ada yang mereka potong atau dibuang teksnya. Nah, lalu bagaimana caranya agar kita tidak tertipu dengan ajaran akidah kelompok Salafi Wahabi yang sering sekali menukil ibarah perkataan ulama salaf dalam masalah istawa? Caranya mudah sekali. Yaitu dengan cara menerapkan 4 kaidah Tafwidh Makna. Mari kita buktikan bersama bahwa para ulama salaf seperti ulama 4 madzhab ternyata tidak meyakini Allah ta’aala bertempat atau berada di atas Arasy. Sebab para ulama itu tidak memahami lafadz istawa secara dzahir makna.
Halaman 40 dari 72
1. Imam Abu Hanifah (w. 150 H) al-Imam Akmaluddin al-Babarti al-Hanafi rahimahullahu ta’aala (w. 786 H) telah berkata dalam kitabnya Syarhu Washiyati al-Imam Abi Hanifah bahwasanya:
نقر أبن هللا:قال اإلمام أبو حنيفة رمحه هللا تعاىل يف كتابه الوصية .تعاىل على العرش استوى من غري أن تكون له حاجة واستقرار عليه ولو كان حمتاجا.وهو حافظ العرش وغري العرش من غري احتياج إىل اجللوس والقرار فقبل خلق العرش أين هللا؟ تعاىل هللا عن ذلك وذهبت املشبهة واجملسمة والكرامية إىل أنه تعاىل. انتهى.علوا كبريا )87 : شرح وصية اإلمام أيب حنيفة (ص.متمكن على العرش Imam Abu Hanifah rahimahullahu ta’aala telah berkata dalam kitab al-Washiyah: “Kami meyakini bahwa Allah istawa atas Arasy, tanpa bermakna membutuhkan Arasy dan tanpa bertempat di atas Arasy”. Dialah yang menjaga Arasy dan makhluk selain Arasy tanpa membutuhkan sesuatu. Seandainya Allah membutuhkan duduk atau menetap di atas Arasy lalu sebelum diciptakannya Arasy Allah ada di mana? Maha suci Allah dari semua hal itu”. Saya berkata: “Kelompok Musyabbihah, Mujassimah dan al-Karramiyah berpendapat bahwa Allah ta’aala berada atau menetap di atas Arasy”.31 al-Imam Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi rahimahullahu ta’aala (w. 1097 H) telah berkata Akmaluddin al-Babarti, Syarhu Washiyati al-Imam Abi Hanifah, Daru al-Fath: Bairut, Hal. 87. 31
Halaman 41 dari 72
dalam kitabnya Isyaraatul Maram min Ibaraatil Imam Abi Hanifata an-Nu’man bahwasanya:
وهللا على:قال اإلمام أبو حنيفة رمحه هللا تعاىل يف كتابه الوصية .العرش استوى بال كيف من غري أن يكون له حاجة واستقرار عليه فتفويض علمها إىل هللا تعاىل أتويل. وهذا مذهب السلف.انتهى وهو مذهب السلف يف مجيع الصفات.أيضا لكنه إمجايل إشارة املرام. واختاره مالك والشافعي وأمحد بن حنبل.املتشاهبات )156 :من عبارات اإلمام أيب حنيفة النعمان (ص Imam Abu Hanifah rahimahullahu ta’aala telah berkata dalam kitab al-Washiyah: “Allah istawa atas Arasy tanpa kaifiyah, tanpa bermakna membutuhkan Arasy dan tanpa bertempat di atas Arasy”. Saya berkata: “Ini adalah madzhab ulama salaf. Mentafwidh atau menyerahkan ilmunya kepada Allah ta’aala juga bisa disebut takwil ijmali. Ini adalah madzhabnya ulama salaf dalam memahami semua sifat mutasyabihat. Dan ini adalah pendapat yang dipilih juga oleh Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal”.32 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Kamaluddin al-Basnawi, Isyaratul Maram min Ibaraati alImam Abi Hanifah an-nu’man, Daru al-Kutub al-Ilmiyah: Bairut, Hal. 156. 32
Halaman 42 dari 72
2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 2. Imam Malik bin Anas (w. 179 H) al-Imam al-Baihaqi as-Syafi’iy rahimahullahu ta’aala (w. 458 H) telah berkata dalam kitabnya alAsma’ wa as-Shifat bahwasanya:
: كنا عند مالك بن أنس فجاء رجل فقال:عن حيىي بن حيىي يقول : {الرمحن على العرش استوى} فكيف استوى؟ قال،اي أاب عبد هللا االستواء غري: مث قال.فأطرق مالك برأسه حىت عاله الرحضاء والسؤال عنه، واإلميان به واجب، والكيف غري معقول،جمهول األمساء والصفات. فأمر به أن خيرج. وما أراك إال مبتدعا،بدعة )305 /2( للبيهقي Dari Yahya bin Yahya beliau berkata: Kami sedang bersama Imam Malik bin Anas dan tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata: Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), “Ar-Rahmanu Alal ‘Arsyi istawa”, Bagaimana istiwa’nya Allah? Imam Malik lalu menundukkan kepalanya hingga keringatnya bercucuran, Lalu beliau berkata: “Sifat istiwa’ itu diketahui (ada dalam al-Quran), Kaifiyahnya tidak masuk akal (ditiadakan), mengimani sifat istawa itu wajib dan bertanya tentang istawa itu termasuk bid’ah, Saya melihatmu adalah termasuk orang yang ahli bid’ah”. Lalu Imam Malik memerintahkan untuk
Halaman 43 dari 72
mengeluarkan laki-laki tersebut.33 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 3. Imam asy-Syafi’iy (w. 204 H) al-Imam al-Baihaqi as-Syafi’iy rahimahullahu ta’aala (w. 458 H) telah berkata dalam kitabnya Manaqibu asy-Syafi’iy bahwasanya al-Imam asySyafi’iy rahimahullahu ta’aala (w. 204 H) telah berkata:
والعرش. {الرمحن على العرش استوى} وكل ما عال فهو مساء:قال فهو على العرش سبحانه وتعاىل كما أخرب بال،أعال السماوات ليس كمثله شيء وهو. غري مماس من خلقه، ابئن من خلقه،كيف )398 /1( مناقب الشافعي للبيهقي.السميع البصري Imam asy-Syafi’iy berkata: “Ar-Rahmanu Alal ‘Arsyi istawa”. Setiap yang tinggi maka disebut dengan langit. Dan Arasy adalah langit yang paling tertinggi. Dan Allah istawa atas Arasy seperti yang dikabarkan dalam al-Quran tanpa kaifiyah. Allah itu al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Shifat, Maktabah as-Sawadiy, Saudi Arabia, Jilid 2, Hal. 305. 33
Halaman 44 dari 72
terpisah dari makhluk dan tidak bersentuhan dengan makhluknya. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, Dialah yang maha mendengar lagi maha melihat.34 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. Keyakinan Imam asy-Syafi’iy seperti halnya di atas dinukil pula oleh al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 620 H). Dalam kitabnya Lum’atul I’tiqad beliau berkata bahwasanya al-Imam asy-Syafi’iy menyerahkan maksud ayat tersebut kepada Allah ta’aala:
:قال اإلمام أبو عبد هللا حممد بن إدريس الشافعي رضي هللا عنه ومبا، وآمنت برسول هللا، على مراد هللا،آمنت ابهلل ومبا جاء عن هللا )7 : ملعة االعتقاد (ص.جاء عن رسول هللا على مراد رسول هللا Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy radhiyallahu ‘anhu telah berkata: Aku beriman terhadap apapun (sifat-sifat Allah) yang datang dari Allah sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh al-Baihaqi, Manaqibu asy-Syafi’iy, Maktabah Dar at-Turast, Kairo, Jilid 1, Hal. 398. 34
Halaman 45 dari 72
Allah ta’aala. Dan Aku beriman terhadap apapun (sifat-sifat Allah) yang datang dari Rasulullah sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.35 4. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) al-Imam Abu Bakr al-Khallal rahimahullahu ta’aala (w. 311 H) dalam kitabnya al-Aqidah Riwayatu Abi Bakr al-Khallal mengatakan bahwasanya:
كان اإلمام أمحد بن حنبل يقول "إن هللا عز وجل مستو على العرش ومل يزل. وكان يقول يف معىن االستواء هو العلو واالرتفاع."اجمليد والعايل، فهو فوق كل شيء.هللا تعاىل عاليا رفيعا قبل أن خيلق عرشه وإمنا خص هللا العرش ملعىن فيه خمالف لسائر.على كل شيء والعرش أفضل األشياء وأرفعها فامتدح هللا نفسه أبنه على.األشياء وال جيوز أن يقال استوى مبماسة وال.العرش استوى أي عليه عال وهللا تعاىل مل يلحقه تغري وال. تعاىل هللا عن ذلك علوا كبريا،مبالقاة . وال تلحقه احلدود قبل خلق العرش وال بعد خلق العرش.تبدل )108 :العقيدة رواية أيب بكر اخلالل (ص Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah istawa atas Arasy yang mulia. Beliau juga pernah mengatakan bahwa makna istiwa’ adalah al-‘Uluw (maha tinggi) dan alIrtifa’ (maha agung). Allah subhanahu wa ta’aala Ibnu Qudamah, Lum’atul I’tiqad, Wizaratu as-Syu’un alIslamiyah wa al-Awqaf wa ad-Da’wah wa al-Irsyad: Saudi, Hal. 7. 35
Halaman 46 dari 72
senantiasa maha tinggi dan maha agung sebelum diciptakannya Arasy. Allah di atas segala sesuatu dan maha tinggi atas segala sesuatu. Sesungguhnya Allah mengkhususkan penyebutan Arasy untuk suatu makna yang berbeda dengan segala sesuatu. Arsy itu makhluk paling utama dan paling tinggi, maka Allah memuji dirinya bahwa Dia istawa atas Arasy dengan makna maha tinggi. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah istawa bermakna menyentuh Arsy atau berpapasan dengan Arasy. Maha suci Allah dari hal itu. Allah itu tidak berubah-ubah dan tidak bergantiganti. Dan Allah itu tidak diliputi oleh beberapa batas baik sebelum diciptakannya Arasy maupun setelah diciptakannya Arasy.36 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. Keyakinan Imam Ahmad bin Hanbal seperti halnya di atas dinukil pula oleh al-Imam Ibnu Qudamah alHanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 620 H) telah berkata dalam kitabnya Dzammu at-Takwil bahwasanya: Abu Bakr al-Khallal, al-Aqidah Riwayatu Abi Bakr al-Khallal, Daru Qutaibah, Damaskus, Hal. 108. 36
Halaman 47 dari 72
سألت أاب عبد هللا عن: أخربان املروذي قال:وقال أبو بكر اخلالل قال وأخربين علي بن. منرها كما جاءت: فقال،أخبار الصفات سألت أاب عبد هللا عن األحاديث:عيسى أن حنبال حدثهم قال اليت تروى "إن هللا تبارك وتعاىل ينزل كل ليلة إىل السمآء الدنيا وأن نؤمن: فقال أبو عبد هللا،هللا يرى وإن هللا يضع قدمه" وما أشبهه )21 : ذم التأويل (ص.هبا ونصدق هبا وال كيف وال معىن Telah berkata Imam Abu Bakr al-Khallal: Imam alMarwadzi bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits mutasyabihat, Beliau menjawab: “Kami biarkan seperti lafadznya”. Ali bin Isa juga mengatakan bahwa Hanbal bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang hadits “Allah yanzilu (turun), Allah yuro (bisa dilihat), Allah yadha’u qadamahu (meletakkan telapak kakinya) lalu beliau menjawab: Kami mengimaninya dan membenarkannya tanpa kaifiyah dan tanpa makna”.37 5. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ariy rahimahullah (w. 324 H) dalam kitabnya al-Ibanah ‘An Ushuli adDiyanah mengatakan bahwa:
وابملعىن،وأن هللا تعاىل استوى على العرش على الوجه الذي قاله استواء منزها عن املماسة واالستقرار والتمكن واحللول،الذي أراده Ibnu Qudamah, Dzammu at-Takwil, ad-daru as-Salafiyah, Kuwait, Hal. 21. 37
Halaman 48 dari 72
)21 : اإلابنة عن أصول الداينة (ص.واالنتقال Sesungguhnya Allah ta’aala istawa di atas Arsy sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Allah dan sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh Allah. Yaitu istiwa’ tanpa menyentuh, tanpa bertempat, tanpa menetap, tanpa menyatu dan tanpa berpindah.38 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 6. Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H) al-Imam Abu Mansur al-Maturidi rahimahullah (w. 333 H) dalam kitabnya at-Tauhid menyebutkan bahwa:
فيجب القول ب "الرمحن على العرش استوى" على ما جاء به مث ال نقطع أتويله على شيء. وثبت ذلك يف العقل.التنزيل وكذلك يف كل أمر ثبت. ونؤمن مبا أراد هللا به.الحتماله غريه جيب نفى الشبه عنه واإلميان مبا.التنزيل فيه حنو الرؤية وغري ذلك Al-Asy’ariy, al-Ibanah ‘An Ushuli ad-Diyanah, Darul Anshar: Kairo, Hal. 21. 38
Halaman 49 dari 72
التوحيد للماتريدي.أراده من غري حتقيق على شيء دون شيء )74 :(ص Wajib mengatakan “ar-Rahmanu ‘Alal Arsyi Istawa” seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan telah ditetapkan secara akal. Kemudian kami tidak menentukan takwilnya dengan makna tertentu sebab lafadznya ihtimal (mengandung makna banyak). Kami mengimaninya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Begitu juga dalam memahami sifatnya lainnya seperti ar-Ru’yah dan lainnya. Wajib menafikan tasybih dan wajib beriman sesuai yang dikehendaki oleh Allah tanpa menentukan makna sesuatu apapun.39 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 7. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H) Al-Imam Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi rahimahullahu ta’aala (w. 429 H) beliau adalah seorang ulama yang bermadzhab Asy’ariy, dalam kitabnya al-Farqu Baina al-Firaq wa Bayanu al-Firqah Abu Mansur al-Maturidi, at-Tauhid, Daru al-Jami’aat alMisriyah: Iskandariyah, Hal. 74. 39
Halaman 50 dari 72
an-Najiyah mengatakan bahwa:
خالف قول.وأمجعوا على أنه ال حيويه مكان وال جيرى عليه زمان وقد قال أمري.من زعم من الشهامية والكرامية أنه مماس لعرشه إن هللا تعاىل خلق العرش إظهارا لقدرته:املؤمنني علي رضي هللا عنه قد كان وال مكان وهو اآلن على ما: وقال أيضا.ال مكاان لذاته )321 : الفرق بني الفرق (ص.كان Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan juga tidak diliputi oleh waktu. Berbeda dengan pemikiran asy-Syihamiyah dan al-Karramiyah yang meyakini Allah itu bersentuh dengan Arasy (bertempat). Padahal Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib radhiyalllahu anhu pernah berkata: “Sesungguhnya Allah ta’aala itu menciptakan Arasy untuk menunjukkan kekuasannya, bukan sebagai tempat untuk Dzatnya. Allah itu ada tanpa tempat dan Dia sekarang sama seperti dahulu.40 8. Imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu ta’aala (w. 463 H) telah berkata dalam kitabnya at-Tamhid bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
وفيه دليل على أن هللا عز وجل يف السماء على العرش من فوق الذي عليه أهل: قال أبو عمر.سبع مسوات كما قالت اجلماعة Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farqu Bainal Firoq, Darul Aafaq al-Jadidah: Bairut, Hal. 321. 40
Halaman 51 dari 72
السنة وأئمة الفقه واألثر يف هذه املسألة وما أشبهها اإلميان مبا جاء عن النيب صلى هللا عليه وسلم فيها والتصديق بذلك وترك التحديد التمهيد ملا يف املوطأ من. وال يفسرون شيئا.والكيفية يف شيء منه )129-148/7( املعاين واألسانيد Hadits tersebut menunjukkan bahwa Allah azza wa jalla di langit di atas Arasy dari atas 7 langit seperti yang dikatakan beberapa ulama. Telah berkata Abu Umar (Ibnu Abdil Barr): Pendapat yang diyakini oleh Ahlussunnah dan para ahli fiqih dan ahli hadits terkait hadits mutasyabihat adalah beriman denga napa yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam serta membenarkannya. Dan meniadakan pembatasan sifat dan meniadakan kaifiyah. Dan mereka tidak menafsirkannya sedikitpun.41 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 9. Imam al-Ghazali (w. 505 H) al-Imam al-Ghazali rahimahullahu ta’aala (w. 505 Ibnu Abdil Barr, at-Tamhid, Wizarat Umumi al-Awqaf, Maghrib, Jilid 7, Hal. 129-148. 41
Halaman 52 dari 72
H) telah berkata dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddiin bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
العلم أبنه تعاىل مستو على عرشه ابملعىن الذي أراد هللا تعاىل )108 /1( إحياء علوم الدين.ابالستواء Pengetahuan bahwa Allah ta’aala istawa atas Arasy adalah istiwa’ yang sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh Allah ta’aala.42 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 10. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H) Syaikh Abdul Qadir al-Jilani rahimahullahu ta’aala (w. 561 H) telah berkata dalam kitabnya al-Ghunyah Lithalibi Thariqi al-Haq bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
وأنه استواء الذات،وينبغي إطالق صفة االستواء من غري أتويل على العرش ال على معىن القعود واملماسة كما قالت اجملسمة al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddiin, Darul Ma’rifah, Bairut, Jilid 1, Hal. 108. 42
Halaman 53 dari 72
وال على، وال على معىن العلو والرفعة كما قالت األشعرية،والكرامية ، ألن الشرع مل يرد بذلك،معىن االستيالء والغلبة كما قالت املعتزلة وال نقل عن أحد من الصحابة والتابعني من السلف الصاحل من الغنية. بل املنقول عنهم محله على اإلطالق،أصحاب احلديث )124 /1( لطاليب طريق احلق Sebaiknya memutlakkan lafadz istiwa’ tanpa takwil. Sesungguhnya istiwa’ dalam ayat adalah istiwa’ dzat atas Arasy maknanya bukan duduk atau bersentuhan dengan Arasy seperti perkataan Mujassimah al-Karramiyah. Bukan pula bermakna alUluw seperti perkataan Asy’ariyah. Bukan pula bermakna istaula seperti perkataan Mu’tazilah. Sebab makna tersebut tidak ada dalam syariat dan tidak ada nukilan dari paa sahabat. Tetapi yang ada dari salaf adalah memutlakkannya sesuai lafadznya.43 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah Lithalibi Thariqi al-Haq, Daru al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, Jilid 1, Hal. 124. 43
Halaman 54 dari 72
11. Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 620 H) telah berkata dalam kitabnya Dzammu at-Takwil bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
ومذهب السلف رمحة هللا عليهم.وأنه عز وجل استوى على العرش اإلميان بصفات هللا تعاىل وأمسائه اليت وصف هبا نفسه يف آايته وتنزيله أو على لسان رسوله من غري زايدة عليها وال نقص منها وال جتاوز هلا وال تفسري وال أتويل هلا مبا خيالف ظاهرها وال تشبيه وردوا. بل أمروها كما جاءت.بصفات املخلوقني وال مسات احملدثني ويروى: وقال بعضهم.علمها إىل قائلها ومعناها إىل املتكلم هبا )11-17 : ذم التأويل (ص.ذلك عن الشافعي رمحة هللا عليه Dan sesungguhnya Allah azza wa jalla istawa atas Arasy. Madzhab ulama salaf adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah ta’aala dan nama-namanya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah tanpa menambah-nambahi, tanpa mengurangi, tanpa berlebihan, tanpa tafsir/makna, tanpa takwil yang menyelisihi dzhahir lafadznya, tanpa tasybih/menyerupakan dengan makhluknya. Akan tetapi biarkanlah seperti lafadz yang ada. Dan menyerahkan ilmunya dan maknanya kepada Alllah & Rasulnya. Sebagian ulama berkata: Hal demikian juga diriwayatkan dari Imam asy-Syafi’iy
Halaman 55 dari 72
rahimahullah.44 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 12. Imam al-Izz Ibnu Abdissalam (w. 660 H) al-Imam Tajuddin as-Subki rahimahullahu ta’aala (w. 771 H) telah berkata dalam kitabnya Thabaqat asSyafi’iyah al-Kubra bahwasanya Imam al-Izz Ibnu Abdissalam menggunakan metode Tafwidh Makna:
استوى:قال الشيخ عز الدين بن عبد السالم رمحه هللا ورضي عنه استواء.على العرش اجمليد على الوجه الذي قاله وابملعىن الذي أراده فتعاىل هللا.منزها عن املماسة واالستقرار والتمكن واحللول واالنتقال طبقات الشافعية.الكبري املتعال عما يقوله أهل الغي والضالل )219 /8( الكربى للسبكي Imam al-Izz Ibnu Abdissalam berkata: ”Allah istawa ata Arasy sesuai dengan maksud dan makna yang dikehendaki oleh Allah. Istiwa’ bukan bermakna menyentuh, bertempat, menetap, menyatu dan Ibnu Qudamah, Dzammu at-Takwil, ad-daru as-Salafiyah, Kuwait, Hal. 11-17. 44
Halaman 56 dari 72
berpindah. Maha suci Allah dari apa yang dikatakan para ahli bid’ah dan orang sesat”.45 )13. Imam an-Nawawi (w. 676 H al-Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’aala (w. 676 H) dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab bahwasanya bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
اختلفوا يف آايت الصفات وأخبارها .هل خياض فيها ابلتأويل أم ال .فقال قائلون :تتأول على ما يليق هبا ،وهذا أشهر املذهبني للمتكلمني .وقال آخرون :ال تتأول ،بل ميسك عن الكالم يف معناها ،ويوكل علمها إىل هللا تعاىل .ويعتقد مع ذلك تنزيه هللا تعاىل وانتفاء صفات احلادث عنه .فيقال مثال :نؤمن أبن الرمحن على العرش استوى وال نعلم حقيقة معىن ذلك واملراد به ،مع أان نعتقد أن هللا تعاىل ليس كمثله شيء ،وأنه منزه عن احللول ومسات احلدوث .وهذه طريقة السلف أو مجاهريهم .وهي أسلم .فإن دعت احلاجة إىل التأويل لرد مبتدع وحنوه أتولوا حينئذ .وعلى هذا حيمل ما جاء عن العلماء يف هذا .وهللا أعلم .اجملموع شرح املهذب (/1 )25 Para ulama salaf berbeda pendapat terkait masalah ayat-ayat mutasyabihat dan hadits-hadits mutasyabihat, apakah boleh ditakwil atau tidak. Beberapa ulama salaf mengatakan bahwa boleh Tajuddin as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyah al-Kubra, Hajr Lii at-Thiba’ah wa an-Nasyr, Jilid 8, Hal. 219. 45
Halaman 57 dari 72
ditakwil sesuai dengan makna yang layak bagi Allah ta’aala. Ini adalah pendapat para ulama mutakallim (ahli kalam). Beberapa ulama lainnya mengatakan tidak boleh ditakwil. Bahkan hendaknya menjaga diri dari membicarakan maknanya, dan hendaknya menyerahkan maknanya kepada Allah ta’aala. Serta meyakini bahwa Allah disucikan dari sifat-sifat makhluk. Misalnya kita berkata: “Kami beriman bahwa Allah istawa atas Arasy, dan kami tidak tahu hakikat maknanya serta maksudnya. Dan meyakini bahwa Allah itu tidak ada sesuatupun yang menyerupainya, Allah disucikan dari bertempat dan sifat-sifat makhluk”. Keyakinan seperti ini adalah madzhab ulama salaf atau mayoritas ulama salaf. Metode ini lebih selamat. Namun jika diperlukan takwil untuk membantah syubhat para ahli bid’ah maka boleh menggunakan takwil. Maka perkataan beberapa ulama salaf tentang takwil harus dipahami atas dasar alasan tersebut (membantah syubhat para ahli bid’ah).46 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah
an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Darul Fikr, Jilid 1, Hal. 25. 46
Halaman 58 dari 72
ta’aala. 14. Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali (w. 695 H) al-Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 695 H) mengatakan dalam kitabnya Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin bahwa:
وال حتله احلوادث.وأن هللا تعاىل ليس جبوهر وال عرض وال جسم وال نتأول، وأنه استوى على العرش بال كيف.وال حيل يف حادث . بل نكل علمه إىل هللا تعاىل.ذلك وال نفسره وال نكيفه وال نعطله حنن نؤمن أبن هللا على العرش كيف شاء بال حد وال:وقال أمحد ومن قال إنه بذاته يف كل مكان.صفة يبلغها واصف أو حيده حاد )30 : هناية املبتدئني يف أصول الدين (ص.أو يف مكان فكافر Sesungguhnya Allah ta’aala itu bukan berupa jauhar, ‘aradh dan jism. Tidak ada makhluk yang bertempat di Dzatnya dan juga Dia tidak bertempat pada makhluk. Sesungguhnya Allah istawa di atas Arsy tanpa kaifiyah. Kami tidak mentakwil, tidak menafsirkan tidak membagaimanakan dan juga tidak meniadakan sifat istawa. Akan tetapi kami serahkan ilmunya (maknanya) kepada Allah ta’aala. Imam Ahmad berkata: Kami beriman bahwa Allah istawa atas Arsy seperti yang dikehendakinya tanpa ada batas dan tanpa dibatasi oleh pembatas. Siapa yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat atau ada di suatu tempat maka dia telah kafir.47
Ibnu Hamdan, Nihayatul Mubtadi’in Fii Ushuliddiin, Maktabatu ar-Rusyd, Hal. 30. 47
Halaman 59 dari 72
15. Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) al-Imam adz-Dzahabi rahimahullahu ta’aala (w. 748 H) telah berkata dalam kitabnya Siyar A’lami anNubala’ bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
قد فسر علماء السلف املهم من األلفاظ وغري املهم وما أبقوا:قلت وهي، وآايت الصفات وأحاديثها مل يتعرضوا لتأويلها أصال،ممكنا أو حتما لبادروا إليه فعلم قطعا،أهم الدين فلو كان أتويلها سائغا أن قراءهتا وإمرارها على ما جاءت هو احلق ال تفسري هلا غري ذلك ونسكت اقتداء ابلسلف معتقدين أهنا صفات هلل،فنؤمن بذلك )508 /8( سري أعالم النبالء.تعاىل استأثر هللا بعلم حقائقها Aku berkata: Para ulama salaf menafsirkan lafadzlafadz dalam al-Quran. Adapun ayat-ayat sifat-sifat mereka tidak mentakwilnya. Ini masalah yang paling penting, seandainya ada takwil amak mereka akan bersegera dalam mentakwilnya. Sesungguhnya membaca sifat tersebut sesuai dengan lafadznya adalah jalan yang benar tanpa ditafsirkan. Kami mengimaninya dan tidak membahasnya sebab mengikuti ulama salaf. Kami meyakini bahwa sifatsifat Allah hanya diketahui hakikat maknanya oleh Allah ta’aala saja.48 16. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta’aala (w. 774 Adz-Dzahabi, Siyar A’lami an-Nubala’, Darul Hadits, Kairo, Jilid 8, Hal. 508. 48
Halaman 60 dari 72
H) telah berkata dalam kitabnya TafsiruL Qur’anil ‘Adzim bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
"مث استوى على العرش" فللناس يف هذا املقام:وأما قوله تعاىل وإمنا نسلك يف هذا.مقاالت كثرية جدا ليس هذا موضع بسطها املقام مذهب السلف الصاحل مالك واألوزاعي والثوري والليث بن سعد والشافعي وأمحد وإسحاق بن راهويه وغريهم من أئمة املسلمني من غري تكييف وال تشبيه،قدميا وحديثا وهو إمرارها كما جاءت . والظاهر املتبادر إىل أذهان املشبهني منفي عن هللا.وال تعطيل )383 /3( تفسري ابن كثري Adapun firman Allah “Kemudian Allah istawa atas Arasy” maka para ulama memiliki pembahasan yang Panjang dan tempatnya bukan di sini. Namun kami mengikuti jalannya para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam al-Auza’I, Imam ats-Tsauri, Imam alLaits, Imam asy-Syafi’iy, Imam Ahmad, Imam Ishaq bin Rahwaih dan yang lainnya bahwa membiarkan sebagaimana lafadznya, tanpa kaifiyah, tanpa tasybih dan tanpa ta’thil. Makna dzahir yang terlintas dalam pikiran orang harus ditiadakan dari Allah ta’aala.49 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Daru al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, Jilid 3, Hal. 383. 49
Halaman 61 dari 72
yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala. 17. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullahu ta’aala (w. 795 H) telah berkata dalam kitabnya Fadhlu Ilmi as-Salaf ‘Alaa Ilmi al-Khalaf bahwasanya beliau menggunakan metode Tafwidh Makna:
والصواب ما عليه السلف الصاحل من إمرار آايت الصفات وال.وأحاديثها كما جاءت من غري تفسري هلا وال تكييف وال متثيل وال.يصح من أحد منهم خالف ذلك البتة خصوصا اإلمام أمحد وإن كان بعض. وال ضرب مثل من األمثال هلا،خوض يف معانيها من كان قريبا من زمن اإلمام أمحد فيهم من فعل شيئا من ذلك إمنا اإلقتداء أبئمة. فال يقتدى به يف ذلك،اتباعا لطريقة مقاتل اإلسالم كابن املبارك ومالك والثوري واألوزاعي والشافعي وأمحد بيان فضل علم السلف على علم.وإسحق وأيب عبيد وحنوهم )4 :اخللف (ص Pendapat yang benar sesuai pemahaman ulama salafusshalih adalah membiarkan sifat mutasyabihat seperti lafadznya tanpa menentukan tafsir/makna, tanpa kaifiyah dan tanpa penyeruapaan. Tidak ada satupun ulama salaf yang menyelisihi pendapat ini
Halaman 62 dari 72
apalagi Imam Ahmad. Dan juga tidak mendalami maknanya. Jika ada ulama salaf yang menyelisihi pendapat tersebut maka tidak perlu diikuti. Sebab ittiba’ itu kepada para imam seperti Ibnul Mubarak, Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’iy, Ahmad Ishaq, Abu Ubaid dan lain-lain.50 18. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu ta’aala (w. 852 H) telah berkata dalam kitabnya Fathul Bari bahwa beliau meyakini metode Tafwidh Makna:
فمنهم من محله على ظاهره.وقد اختلف يف معىن النزول على أقوال ومنهم من أنكر صحة. تعاىل هللا عن قوهلم. وهم املشبهة،وحقيقته وهو مكابرة. وهم اخلوارج واملعتزلة،األحاديث الواردة يف ذلك مجلة والعجب أهنم أولوا ما يف القرآن من حنو ذلك وأنكروا ما يف احلديث ومنهم من أجراه على ما ورد مؤمنا به على.إما جهال وإما عنادا وهم مجهور.طريق اإلمجال منزها هللا تعاىل عن الكيفية والتشبيه )30 /3( فتح الباري البن حجر.السلف Para ulama berbeda pendapat dalam masalah makna sifat Nuzul. Diantara mereka ada yang memahaminya secara makna hakikat dzahir lafadznya, mereka ini adalah kelompok Musyabbihah. Maha suci Allah dari ucapan mereka. Ada juga yang mengingkari hadits nuzul, mereka ini Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi as-Salaf ‘Alaa Ilmi al-Khalaf, Maktabah Syamilah, hal. 4. 50
Halaman 63 dari 72
adalah Khawarij dan Mu’tazilah. Anehnya mereka mentakwil ayat sifat dan menolak hadits sifat karena bodoh dan membangkang. Diantara mereka ada juga yang membiarkan lafadznya seperti dalam hadits dengan mensucikan Allah dari kaifiyah dan tasybih. Mereka ini adalah mayoritas ulama salaf.51 19. Imam Abdul Baqi al-hanbali (w. 1071 H) al-Imam Abdul Baqi al-Hanbali rahimahullahu ta’aala (w. 1071 H) telah berkata dalam kitab al-‘Ain wa al-Atsar Fii ‘Aqaidi Ahli al-Atsar bahwasanya beliau meyakini metode Tafwidh Makna:
ُ وال حتلُّه.وجيب اجلزم أبن هللا تعاىل ليس جبوهر وال جسم وال عرض فمن اعتقد أو قال إن.حيل ىف حادث وال ينحصر فيه ُّ احلوادث وال بل جيب اجلزم أبنه سبحانه وتعاىل ابئن.هللا بذاته ىف مكان فكافر وهو كما كان قبل خلق، فكان وال مكان مث خلق املكان.من خلقه ومنها نزول الرب سبحانه وتعاىل كل ليلة إىل السماء الدنيا.املكان يثبت احلنابلة.من غري تشبيه بنزول املخلوقني وال متثيل وال تكييف ما أثبته رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وميرون اخلرب الصحيح الوراد العني واألثر يف. ويكلون علمه إىل هللا تعاىل،بذكره على ظاهره )34 :عقائد أهل األثر (ص Dan wajib hukumnya meyakini bahwa Allah ta’aala bukan jauhar, bukan jism dan bukan ‘aradh. Tidak ada makhluk yang bertempat di Dzatnya dan Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Darul Ma’rifah: Bairut, Jilid 3, Hal. 30. 51
Halaman 64 dari 72
juga Dia tidak bertempat pada makhluknya juga tidak diliputi oleh makhluknya. Barangsiapa meyakini bahwa Dzat Allah ta’aala berada di suatu tempat maka dia telah kafir. Hendaklah seseorang meyakini bahwa Allah subhaanahu wa ta’aala tidak menyatu dengan makhluknya. Allah itu ada sebelum adanya tempat. Lalu Allah menciptakan tempat dan Dia tetap seperti dahulu sebelum adanya tempat. Dan nuzulnya Allah ta’aala setiap malam ke langit dunia itu tidak seperti turunnya makhluk (tanpa tasybih, tanpa tamtsil & tanpa takyif). Para ulama Hanabilah Atsariyah menetapkan sifat yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yaitu dengan cara itsbat lafadz yang warid dan menyerahkan ilmunya (maknanya) kepada Allah ta’aala.52 20. Imam as-Safarini al-Hanbali (w. 1188 H) al-Imam Syamsuddin as-Safarini al-Atsariy rahimahullahu ta’aala (w. 1188 H) mengatakan dalam kitab Lawami’u al-Anwar al-Bahiyah wa Sawati’u al-Asrar al-Atsariyah bahwa beliau meyakini Tafwidh Makna:
فمذهب السلف يف.استواء الرب على عرشه وعلوه على خلقه بل جيب اإلميان هبا وتفويض.آايت الصفات أهنا ال تؤول وال تفسر )219 /1( لوامع األنوار البهية.معناها املراد منها إىل هللا تعاىل Allah istawa atas Arasy dan maha tinggi atas makhluknya. Madzhab ulama salaf dalam masalah Abdul Baqi al-Ba’li, al-‘Ain wa al-Atsar Fii ‘Aqaidi Ahli al-Atsar, Darul Ma’mun Litturats, Hal. 34. 52
Halaman 65 dari 72
ayat mutasyabihat adalah tidak ditakwil dan tidak ditafsirkan. Akan tetapi wajib mengimaninya serta menyerahkan makna aslinya kepada Allah ta’aala.53 Nah sekarang mari kita terapkan 4 kaidah ulama salaf dalam memahami ibarah di atas: 1. Menetapkan sifat bagi Allah ta’aala sesuai sifat yang ada dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah. 2. Tidak menetapkan makna & kaifiyah. 3. Meniadakan makna dzahir. 4. Makna hakikatnya diserahkan kepada Allah ta’aala.
As-Safarini, Lawami’ul Anwar al-Bahiyah , Mu’assasah alKhafiqin: Damaskus, Jilid 1, Hal. 200-240. 53
Halaman 66 dari 72
Referensi Al Qur’an Al-Kariim
Al Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. Al Jami’ As Shahih (Shahih Bukhari). Daru Tuq An Najat. Kairo, 1422 H An Nisaburi, Muslim bin Al hajjaj Al Qusyairi. Shahih Muslim. Daru Ihya At Turats. Beirut. 1424 H At Tirmidzi, Abu Isa bin Saurah bin Musa bin Ad Dhahak. Sunan Tirmidzi. Syirkatu maktabah Al halabiy. Kairo, Mesir. 1975 As Sajistani, Abu Daud bin Sulaiman bin Al Asy’at. Sunan Abi Daud. Daru Risalah Al Alamiyyah. Kairo, Mesir. 2009 Al Quzuwainiy, Ibnu majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu majah. Daru Risalah Al Alamiyyah. Kairo, Mesir. 2009 Abu Hanifah, al-Fiqhu al-Abshat , Maktabah alFurqan al-Imarat al-Arabiyah. Ibnu Asakir, Tabyin Kadzibi al-Muftari , Darul Kitab al-Arabi: Bairut. Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farqu Bainal Firoq, Darul Aafaq al-Jadidah: Bairut. Al-Ghazali, Ihyaa’ Ulumiddiin, Darul Ma’rifah: Bairut. An nawawi , Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf. Al Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Darul Ihya Arabiy.
Halaman 67 dari 72
Beirut. 1932 Ibnu Qudamah, Lum’atul I’tiqad , Wizaratu asySyu’uun al-Islamiyah wal-Awqaf. Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, Darul Fikr. Ibnu Ruslan, az-Zubad Fii al-Fiqhi asy-Syafi’iy, Darul Ma’rifah: Bairut. Al-Bajuri, Tuhfatul Murid Syarh Jauharatu atTauhid , Darul Kutub al-Ilmiyah. Tajuddin as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah alKubra, Jilid 3, Hal 365. Asad Hamzah Abdul Qadir, Nailul Maraam Syarh Aqidatil Awwam, Darul Asyairah: Yaman. Hisyam al-Kamil Hamid Musa, Fathul ‘Allaam Syarh Mandzumah Aqidatil Awwam, Darul Manar: Kairo. An-Nawawi, Tahdzibul Asma’ wa al-Lughaat , Darul Kutub al-Ilmiyah. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari , Darul Kutub al-Ilmiyah.
Halaman 68 dari 72
Muhammad Ajib, Lc., MA HP
082110869833
WEB
www.rumahfiqih.com/ajib
EMAIL
[email protected]
T/TGL LAHIR
Martapura, 29 Juli 1990
ALAMAT
Tambun, Bekasi Timur
PENDIDIKAN S-1
S-2
: Universitas Islam Muhammad Ibnu Suud Kerajaan Saudi Arabia - Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab : Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta Konsentrasi Ilmu Syariah
Muhammad Ajib, Lc., MA, lahir di Martapura, Sumatera Selatan, 29 Juli 1990. Beliau adalah putra pertama dari pasangan Bapak Muhammad Ali dan Ibu Siti Muaddah. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya (SDN 11 Terukis) di desa kelahirannya, Martapura, Sumatera Selatan, ia melanjutkan studi di MTsN Martapura, Sumatera Selatan selama 1 tahun dan pindah ke MTsN Bawu Batealit Jepara, Jawa Tengah. Kemudian setelah lulus dari MTsN Bawu Batealit Jepara beliau lanjut studi di Madrasah Aliyah Wali Songo Pecangaan, Jepara. Selain itu juga beliau belajar di Pondok Pesantren Tsamrotul Hidayah yang diasuh oleh KH. Musta’in Syafiiy rahimahullah. Di muka | daftar isi
Halaman 69 dari 72
pesantren ini, beliau belajar kurang lebih selama 3 tahun. Setelah lulus dari MA (Madrasah Aliyah) setingkat SMA, beliau kemudian pindah ke Jakarta dan melanjutkan studi strata satu (S-1) di program Bahasa Arab (i’dad dan takmili) serta fakultas Syariah jurusan Perbandingan Madzhab di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam Arab) (th. 2008-2015) yang merupakan cabang dari Univ. Islam Muhammad bin Saud Kerajaan Saudi Arabia (KSA) untuk wilayah Asia Tenggara. Setelah lulus dari LIPIA pada tahun 2015 kemudian melanjutkan lagi studi pendidikan strata dua (S-2) di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, fakultas Syariah dan selesai lulus pada tahun 2017. Berikut ini beberapa karya tulis beliau yang telah dipublikasikan dalam format PDF dan bisa didownload secara gratis di website rumahfiqih.com, diantaranya: 1. Buku “Mengenal Lebih Dekat Madzhab Syafiiy” 2. Buku “Ternyata Isbal Haram, Kata Siapa?”. 3. Buku “Dalil Shahih Sifat Shalat Nabi SAW Ala Madzhab Syafiiy”. 4. Buku “Hukum Transfer Pahala Bacaan alQuran”. 5. Buku “Maulid Nabi SAW Antara Sunnah & Bid’ah”. 6. Buku “Masalah Khilafiyah 4 Madzhab Terpopuler”. 7. Buku “Bermadzhab Adalah Tradisi Ulama Salaf”.
Halaman 70 dari 72
8. Buku “Praktek Shalat Praktis Versi Madzhab Syafiiy”. 9. Buku “Fiqih Hibah & Waris”. 10.Buku “Asuransi Syariah”. 11.Buku “Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafiiy”. 12.Buku “Fiqih Puasa Dalam Madzhab Syafiiy”. 13.Buku “Fiqih Umrah”. 14.Buku “Fiqih Qurban Perspektif Madzhab Syafiiy”. 15.Buku “Shalat Lihurmatil Waqti”. 16.Buku “10 Persamaan & Perbedaan Tata Cara Shalat Antara Madzhab Syafi’iy & Madzhab Hanbali”. 17.Buku “33 Macam Jenis Shalat Sunnah”. 18.Buku “Klasifikasi Shalat Sunnah”. 19.Buku “Ibu Hamil & Menyusui Bolehkah Bayar Fidyah Saja”. 20.Buku “Fiqih Aqiqah Perspektif Madzhab Syafiiy”. 21.Buku “Mengenal Ahli Waris” 22.Buku “Mengetahui Bagian Pasti Ahli Waris” 23.Buku “Mengetahui Syarat Bagian Pasti Ahli Waris” 24.Buku “Mengetahui Konsep Hijab Ahli Waris” 25.Buku “Praktek Cara Menghitung Warisan” Saat ini beliau masih tergabung dalam Tim Asatidz di Rumah Fiqih Indonesia (www.rumahfiqih.com), yang berlokasi di Kuningan Jakarta Selatan. Rumah Fiqih adalah sebuah institusi nirlaba yang bertujuan melahirkan para kader ulama di masa mendatang, dengan misi mengkaji Ilmu Fiqih perbandingan yang original, mendalam, serta seimbang antara
Halaman 71 dari 72
madzhab-madzhab yang ada. Selain aktif menulis, juga menghadiri undangan dari berbagai majelis taklim baik di masjid, perkantoran ataupun di perumahan di Jakarta, Bekasi dan sekitarnya. Secara rutin juga menjadi narasumber pada acara YAS’ALUNAK di Share Channel tv. Selain itu, beliau juga tercatat sebagai dewan pengajar di sekolahfiqih.com. Beliau saat ini tinggal bersama istri tercinta Asmaul Husna, S.Sy., M.Ag. di daerah Tambun, Bekasi. Untuk menghubungi penulis, bisa melalui media Whatsapp di 082110869833 atau bisa juga menghubungi beliau melalui email pribadinya: [email protected].
Halaman 72 dari 72
RUMAH FIQIH adalah sebuah institusi non-profit yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan pelayanan konsultasi hukum-hukum agama Islam. Didirikan dan bernaung di bawah Yayasan DaarulUluum Al-Islamiyah yang berkedudukan di Jakarta, Indonesia. RUMAH FIQIH adalah ladang amal shalih untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Rumah Fiqih Indonesia bisa diakses di rumahfiqih.com