Data Loading...

Guru PAUD Bertato Flipbook PDF

Guru PAUD Bertato


110 Views
4 Downloads
FLIP PDF 433.08KB

DOWNLOAD FLIP

REPORT DMCA

KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan sehingga dapat menghasilkan sebuah karya lain

yang

sangat diharapkan

untuk dapat terwujud. Terimakasih

dipersembahkan kepada keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa, serta kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian buku ini, Besar harapan penulis agar buku ini dapat menjadi sebuah bacaan menarik yang mampu menghadirkan satu aspek positif, terutama bagi pendidik anak, orangtua atau mereka yang akan membina sebuah rumah tangga.

Penulis

DAFTAR ISI 1. Tentang aku 2. Dunia Baru 3. Markas Kami 4. Sebuah Tragedi 5. Tak Lagi Di Sana 6. Bersama Vero 7. Sebuah Keputusan 8. Naik Tahta 9. Unhappy Ending 10. Asa Baru 11. Cinta Tak Terduga 12. Nana oh Nana 13. Rahasia 14. Terkuak 15. Gerbang Terakhir

GURU PAUD BERTATO Oleh: Andrean FN 1. Tentang Aku Hening suasana di ruangan dengan dinding bercermin itu ternyata tak bertahan lama. Sunyinya terpecahkan oleh suara gemuruh derap langkah yang makin keras menggema. Derap langkah itu pun kini diiringi riuh rendah suara anak-anak perempuan dan laki-laki. Pintu ruang terbuka dan sebuah salam terucap dalam teriakan bersama “selamat pagi...!” Belum usai salam itu terjawab, gerombolan bocah itu pun menyerbu ke satu arah bagai sekumpulan bison yang sedang dikejar oleh kawanan singa lapar. Bruk! Tubuhku yang tak terlalu besar jatuh terlentang karena tertubruk dan tertimpa oleh manusia-manusia kecil yang sangat agresif itu. Terdengar tawa dan teriakan mereka silih berganti memanggil namaku. Aku hanya bisa ikut tertawa dan berusaha membebaskan diri dari kerumunan. Ya, itu adalah sebuah penyerbuan. Penyerbuan itu bukan kali pertama yang aku hadapi. Itu telah terjadi berulang kali. Mungkin bahkan sudah menjadi tradisi di setiap sesi. Bisa dikatakan, itu adalah tata cara penyambutan di ruang ajarku. Ruang tempatku mengajar memang menjadi tempat di mana mereka dapat mengekspresikan rasa mereka secara enerjik dan riang. Ruang persegi beralas matras itupun tak lagi lengang. Udara dingin dari penyejuk ruang tak lagi terasa menusuk tulang. Namaku Toni. Profesiku adalah guru di sebuah Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Bisa dibilang, ini sebuah profesi yang tak lazim di kalangan pria. Apalagi bagi pria bertato penggemar musik cadas, yang sering bergaul bersama beberapa jenis tongkrongan. Tapi itu memang salah satu peranku di dunia yang berbeda. Di mata murid PAUD dan TK, aku adalah seorang guru idola. Posisiku di sekolah juga sebagai satu-satunya pengajar pria. Sudah jelas kalau aku yang paling ganteng di sana, karena memang belum ada guru pria lainnya. Hingga saat ini, jumlah pria sebagai guru PAUD bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar dari mereka masih menganggap pekerjaan ini adalah pekerjaan perempuan yang tak sesuai untuk laki-laki. Sebagian yang lain mengaku tak punya cukup kesabaran atau rasa percaya diri. Ada juga yang bilang kalau pekerjaan ini membuat mereka jadi lemah gemulai. Malah ada yang berkata, daripada menjadi guru PAUD mendingan dagang somay. Lho, emang apa salahnya jualan somay? Seakan pekerjaan itu rendah sekali derajatnya. Jujur aku heran dan tak setuju dengan argumentasi mereka.

Seorang pengajar pria di PAUD bisa memposisikan diri sebagai sosok ayah bagi anak-anak. Terutama bagi mereka yang memang lebih dekat dengan sosok ayah atau sosok laki-laki. Padahal, merekapun akan menjadi seorang ayah di suatu hari nanti. Peran seorang ayah juga menuntut seorang lakilaki untuk bersikap lembut dan menggunakan hati. Untuk menjadi seorang ayah, kita juga tak harus jadi lemah gemulai. Meski demikian, malas bagiku untuk mendebat mereka. Karena kutahu itu akan sia-sia belaka. Menurutku, profesi guru sendiri sejatinya harus dijalani dengan hati. Menjadi seorang guru tidak cukup hanya bermodal otak atau selembar kertas akademi. Tak sedikit yang berprofesi menjadi guru bukan karena ada hati di pekerjaan itu. Banyak alasan seseorang memilih menjadi guru. Di antaranya, mereka menjadi guru karena tuntutan hidup, ada yang karena profesi turun temurun, bahkan ada yang karena menjadi guru adalah sebuah cita-cita klasik, selain menjadi dokter dan insinyur. Bagiku sendiri, profesi ini menjadi sebuah passion. Aku suka berada di antara anak-anak, bermain dan belajar bersama mereka. Berada di antara anak-anak merupakan dunia tanpa lara, dunia penuh suka. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai pendidik di PAUD ini amat kunikmati. Meski aku harus berada di antara ibu-ibu, aku tak akan malu untuk bernyanyi dan menari. Karena bidang yang kuajarkan adalah program motorik kasar, maka berbagai pergerakan dan aktivitas fisik kerap kulakukan. Tapi yang pasti, selama melakukan kegiatan aku selalu berusaha mengamankan tato besar di lengan kananku ini. Sebisa mungkin lengan baju yang pendek tak boleh tersingkap. Sedapat mungkin tato ini tak terungkap. Saat ada beberapa kegiatan lain seperti saat berenang pun aku terpaksa harus pergi menyelinap. Maklumlah, tato masih menjadi sebuah image buruk di mata masyarakat umum negeri ini. Tato selalu dihubungkan dengan kejahatan atau tindakan tak terpuji. Padahal, tidak sedikit penjahat yang berdasi. Mereka yang korupsi pun selalu berpakaian rapi. Pembentukan opini ini sudah sebegitu kuatnya meski itu harus mengenyahkan sebuah tradisi. Aku sendiri mulai bekerja di bidang pendidikan anak, saat aku baru menyelesaikan pendidikan sekolah menengah ku. Bahkan waktu itu, aku yang lulusan STM harus bersaing dengan mereka yang menyandang gelar Diploma dan Sarjana. Berbekal bahasa Inggris yang pas-pasan dan modal nekat, aku memberanikan diri untuk melamar pekerjaan sebagai pengajar di sebuah institusi pendidikan anak berlisensi asing. Sejak dulu, aku memang senang berinteraksi dengan anak-anak dan suka sekali saat bisa memberikan pengetahuan baru kepada mereka. Entah karena memang

nasibku mjur atau si pemilik sekolah yang waktu itu mewawancaraiku merasa iba padaku, akupun diterima menjadi pengajar di sekolah yang menggunakan bahasa Inggris itu. Tentunya, diterimanya aku menjadi pengajar di sana menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Bagaimana tidak, aku harus bersaing dengan banyak orang dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi. Menyisihkan mereka bagiku merupakan sebuah bukti. Pengalaman inilah yang mulai membuka pandanganku, jika selembar surat yang menyatakan status akademi itu bukan harga mati. Setidaknya, rasa percaya diriku mulai membara. Tapi tentu aku tak bermaksud untuk menganggap bahwa pendidikan lanjut itu tak berharga. Kelak, akupun akan melanjutkan pendidikanku juga. Tapi yang pasti, itu kulakukan bukan sekedar untuk mencari gelar. Kulakukan itu untuk memperdalam ilmu, yang kemudian dapat mengembangkanku sebagai seorang pengajar. Untuk mencapai itu, aku akan berusaha keras dan berjuang tanpa gentar.

2. Dunia Baru Hari ini adalah hari Rabu, hari keduaku di sekolah ini. Hari pertama kerja sebenarnya hari Senin. Namun, di hari itu aku hanya perlu datang ke Kantor Pusat untuk menemui manajemen pusat. Menurut pemegang lisensi atau pimpinan di kantor pusat yang mewawancaraiku sebelumnya, aku ditempatkan di salah satu cabang yang sudah dibuka sambil menunggu cabang baru siap beroperasi. Aku tergabung dalam satu tim pengajar bersama dua pengajar baru lainnya, Mardi dan Eva. Mardi adalah seorang sarjana lulusan sastra Jerman di sebuah universitas di Jakarta. Sedangkan Eva adalah Sarjana di bidang Hubungan Masyarakat, juga berasal dari Jakarta. Mereka berdua memiliki alasan yang berbeda saat bergabung dengan lembaga pendidikan ini. Mardi, dengan logat Jawanya yang masih terasa kental, memiliki orientasi untuk menjadikan pengalamannya di sekolah ini sebagai batu loncatan menuju lembaga pendidikan yang bertaraf internasional. Mimpinya yang lain adalah menjalankan sekolahnya sendiri. Memang jika kuperhatikan, Mardi adalah seorang yang sangat optimis dan visioner. Dari tutur kata dan pandangannya tentang berbagai hal, ia memang tampak orang yang berpengetahuan. Meski demikian, Mardi juga sosok yang humoris, sekaligus sensitif untuk hal-hal yang bersifat sosial. Hal lain dari seorang Mardi adalah gaya bicaranya yang sedikit kemayu. Hal ini sering jadi bahan pembicaraan di antara pengajar lain, kecuali aku tentunya. Aku memang tak mau ambil pusing dengan pembawaan atau orientasi seseorang. Bukan menjadi hakku untuk mengurusi hal itu. Sedangkan Eva, merupakan gadis dari keluarga berada. Hal ini kudapat dari Mardi yang memang lebih sering ngobrol dengannya dibandingkan aku dengannya. Eva melamar ke sekolah ini untuk mengisi waktu luang sambil menunggu pekerjaan yang lebih sesuai dengannya, atau meneruskan pendidikannya lagi. Memang itu tak disampaikannya saat wawancara. Tapi itu yang ia katakan saat kami makan siang bersama. Eva merupakan sosok yang lembut dan jauh dari kesan enerjik dan periang. Padahal, setidaknya itu dua klasifikasi karakter yang dibutuhkan oleh sekolah ini. Entah mengapa ia bisa diterima. Mungkin ada pertimbangan lain dari Boss besar saat itu. Tapi aku merasa kalau Eva takkan bertahan lama. Mungkin itu hanya perasaanku saja, entahlah. Seminggu sudah perjalanan kami di sekolah cabang ini. Bagiku, ini adalah pengalaman baru di sebuah dunia yang baru. Ternyata hari-hari awalku tak semudah yang kukira sebelumnya. Gambaran akan adanya pelatihan

khusus untuk bekal kami perform di kelas sesungguhnya ternyata hanya isapan jempol belaka. Kami dibiarkan mencari ilmu sendiri. Sebuah pepatah “malu bertanya sesat di jalan” benar-benar terpakai saat itu. Jika tak mau bertanya tentang suatu hal, maka jangan harap itu akan disampaikan. Tampaknya para ‘senor’ di tempat itu sudah bersekongkol untuk menggunakan hukum rimba. Hal ini akhirnya kuketahui di tahuntahun belakangan. Jika nanti aku punya kesempatan, cara seperti itu takkan pernah kuterapkan. Alih-alih membimbing atau mengajari kami teori atau tehnik dasar, mereka malah seakan-akan membiarkan kami menyiapkan sendiri materi untuk mengajar. Mereka bahkan memberi target agar kami langsung tampil mengajar di kelas sesungguhnya di hari keempat kami, tanpa peduli apakah kami siap atau tidak. Saat tantangan itu disampaikan, aku orang pertama yang menyanggupi, disusul kemudian Mardi dan Eva. “Lu gila juga ya Ton, langsung bilang oke pas ditanya sanggup atau nggak. Gua salut sama lu” kata Mardi sambil mengacungkan jempol. “Gua masuk sini nggak punya bekal pendidikan apa-apa bro. Modal gua cuma nekat aja. ya jurus itu yang gua pakai” jawabku sekenanya yang disambung dengan tawa kami bertiga. Beruntung kami bertiga cukup kompak. Kami berlatih terus dan bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. Akhirmya kami pun menyeleaikan tantangan yang diberikan, yang dimulai dari aku sendiri sebagai yang pertama mendapat giliran mengajar, diikuti oleh Mardi dan terakhir Eva. Jika diibaratkan sebuah peperangan. Kami bertiga diterjunkan ke medan pertempuran dan ditugaskan untuk bertempur tanpa dibekali tehnik berperang dan senjata untuk membela diri. Kami harus mencari senjata kami sendiri dan menentukan sendiri strategi apa tang akan kami pakai di tengah pertempuran itu. Pilihan kami

memang hanya terus berperang

untuk hidup atau menyerah dan mati. Di akhir pertempuran hanya aku dan Mardi yang mampu bertahan, Eva mengundurkan diri setelah di harihari terakhirnya ia tampak tertekan dan sempat menangis. Menurut informasi dari Mardi, orangtua Eva sempat marah setelah tahu apa yang dialami oleh Eva dan meminta Eva untuk meninggalkan pekerjaan itu. Dua bulan berlalu, aku dan Mardi semakin solid dalam melakukan kerjasama. Mardi memang seorang yang punya potensi dan jiwa di bidang pendidikan ini. Tak heran jika ia begitu ambisius mengejar mimpinya. Dalam waktu yang ada, ia sudah menunjukkan kelasnya. Ia bahkan tampak lebih bisa membawa suasana saat mengajar dibanding mereka yang

mengaku senior itu. sedangkan aku sendiri juga berusaha untuk tidak terlalu jauh ketinggalan. Peran Mardi sangat membantuku dalam pematangan diri. Aku banyak belajar darinya tentang pengembangan materi. Mardi tetap memberi acungan jempol pada semangat belajar dan keberanianku, mengingat latar belakangku yang jauh di bawah mereka semua yang ada di situ. Para senior pada akhirnya mengakui jika kami bedua tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Di bulan ketiga, kami dipindahkan ke cabang lain, karena cabang tersebut sedang membutuhkan tenaga bantuan. Di samping itu, cabang baru sebagai tempat kami ditempatkan nanti, rupanya masih mengalami kendala di perizinan. Di cabang yang kami bantu saat ini memiliki suasana yang berbeda. Para pengajar di tempat itu lebih hangat dan friendly. Polah mereka tidak pongah. Omong mereka tak sombong. Sikap mereka amat cakap. Tekanan justru datang dari pimpinan cabang, yang merupakan sosok yang memperhatikan detil dan punya tuntutan tinggi. Orangtua murid di daerah sekolah itu juga memiliki tipe orangtua yang banyak tuntutan untuk anak mereka. Sehingga, kerap kali ini menjadi beban tersendiri kala keinginan mereka terkadang terlalu mengintervensi keberlangsungan operasional kegiatan. Sekali lagi, aku beruntung memiliki Mardi sebagai partner kerja, serta mendapat tuan rumah yang baik dan solid di sana. Seluruh tuntutan dan target operasional pun dapat terlaksana dengan baik, tanpa ada keluhan dari orangtua. Dengan kondisi seperti ini, maka pimpinan cabang meminta agar variasi-variasi kegiatan semakin ditingkatkan dan performa yang baik tetap dipertahankan. Kami pun menerima hal itu sebagai tantangan dan dengan kerjasama yang baik, semua tantangan itu dapat terselesaikan dengan baik. Sebulan keberadan kami di sana pun telah memberikan nuansa yang berbeda. Apa yang kami lakukan berdua itu menghasilkan apresasi dari pihak pimpinan cabang. Kabar itupun segera sampai di telinga pimpinan pusat yang langsung menghubungi kami berdua untuk menyampaikan

apresiasi

dan

ucapan

terimakasih.

Tentunya,

ini

merupakan satu poin positif lagi bagiku dan Mardi yang kini menjadi ‘rebutan’ cabang-cabang lain. Mengingat cabang itu lokasinya tak terlalu jauh dari tempat tinggal Mardi. Maka tak jarang aku main ke rumahnya. Mardi rupanya merupakan orang yang gemar bercerita. Ia pun tak segan-segan untuk menceritakan berbagai hal, mulai dari keluarganya, masa kuliahnya, maupun hal-hal lainnya. Aku sendiri bukan orang yang suka menceritakan apa-apa tentang keluarga

atau masa laluku. Jika terpaksa, aku hanya menceritakan sebagian kecil yang sekiranya layak untuk diceritakan. Untungnya, Mardi juga memahami hal itu. Jadi ia memposisikan dirinya yang lebih banyak bercerita, sedangkan aku sebagai pendengar setia.

3. Markas Kami Hari-hari

yang

dinanti

telah

tiba. Akhirnya cabang

tempat

kami

ditempatkan telah resmi beroperasi. Selama sebulan di tempat baru, praktis kegiatan kami hanya promosi dan promosi. Sepertinya persiapan awal di lokasi ini tidak berjalan sesuai rencana. Pergerakan di sini terkesan lambat. Animo masyarakat tak sekuat wilayah di cabang lain. Mungkin karena setting di lokasi ini adalah daerah niaga dan jauh dari perumahan. Tak tahulah aku, pasti segalanya sudah diperhitungkan sebelumnya. Kalaupun kenyataannya sekarang berbeda, ya berarti salah htung atau ada faktor lain yang menyebabkannya. Ini memang bukan ranah kami untuk melibatkan diri. Tugas kami hanya ikut serta dalam kegiatan promosi yang dilakukan di setiap hari. Rasa bosan kian terasa di antara kami. Sudah beberapa bulan kami menempati tampat kami ini. hanya beberapa murid yang terjaring and the show must go on. Kami tetap melaksanakan tugas kami untuk membuka kelas sesuai degan kelompok umur yang terdaftar. Jika dibanding dengan cabang-cabang lain, kondisi di sini jauh sekali tertinggal. Suka atau tidak, suasana ini berpengaruh terhadap kualitas performa kami yang kurasa tidak optimal, meski tidak bisa dibilang jelek juga. Mardi yang awalnya optimis mulai merasakan penurunan semangat dan itu jelas terlihat olehku. Kalau aku sendiri lebih memilih tetap memperjuangkan apa yang ada di depan mata. Oh ya, pada bulan kemarin kami sempat mendapat teman baru di sini, nama panggilannya Septi. Awalnya kami merasa senang karena ada warna baru dalam tim kerja. Apalagi, Septi termasuk orang yang enak untuk diajak ngobrol. Selain itu, Septi juga sering membawa macam-macam makanan untuk kami samtap bersama. Tapi rasa senang kami rupanya tak bertahan lama. Septi mengundurkan diri karena merasa tidak ada perkembangan seperti yang ia harapkan. Ia berharap untuk segera mengajar dengan suasana yang ramai. Tapi karena kondisi di cabang kami ini masih sangat sepi, ditambah dengan lokasi sekitar sekolah yang memang termasuk daerah macet, Septi memutuskan untuk berhenti di bulan keduanya. Tinggallah kami berdua lagi seperti biasanya. Sudah 6 bulan kami menjalankan operasional cabang kami ini. Belum ada perkembangan yang berarti di tempat ini. Hari ini ada pengajar baru yang bergabung bersama kami. Ia seorang perempuan tomboy, panggil saja ia Risti. Meski baru kena satu sama lain, namun ternyata kami lekas akrab dan serasa sudah lama kami berteman. Risti merupakan lulusan Fakultas

Hukum di sbeuah Universitas di Jakarta. Risti orangnya heboh, humoris dan jauh dari kesan feminin. Kami bertiga sangat cocok dan bisa saling mengisi satu sama lain. Setidaknya, rasa bosan kami tidak terasa dengan kehadiran Risti. Seperti halnya Septi, Risti juga sering mambawakan kami makanan yang ia masak sendiri. Lengkap sudah kemeriahan di antara kami. Kehadiran Risti memberikan nuansa yang berbeda di kelas. Segalanya jadi lebih meriah. Namun harus diakui perkembangan di cabang ini masih jauh dari yang ditargetkan. Jika seperti ini terus, bukan tidak mungkin cabang ini akan ditutup. Bulan ini memasuki bulan ke delapan. Kondisi tidak jauh berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Satu hal yang tidak kami inginkan terjadi. Mardi dipindahtugaskan ke cabang lain yang baru buka dan ternyata mendapat respon yang luar biasa. Hal itu menimbulkan mereka kurang tenaga pengajar siap pakai. Alhasil, Mardi meninggalkan kami berdua. Suasana pun berangsur menurun karena memang kami bertiga sudah cukup dekat dan solid. Ketiadaan Mardi tentunya membuat pekerjaan kami menjadi lebih berat. Meski akhirnya datang bala bantuan dua pengajar baru bernama Lina dan Siska, namun peran memang Mardi tak tergantikan. Terlebih baik Lina dan Siska tergolong lama dalam proses beradaptasi dan keinginan belajarnya pun relatif rendah. Aku yang ditunjuk sebagai Team Leader menggantikan Mardi berusaha semaksimal mungkin untuk mendongkrak performa mereka berdua. Minimal, beban kerja yang ada tidak tertumpu padaku dan Risti saja. Meski tidak terlalu signifikan, perkembangan di tempat kami terus terjadi. Hal ini tentunya menjadi pemicu kami, khususnya bagiku yang cukup bangga dengan kepercayaan yang diberikan kepadaku saat ini. Sejauh yang aku tahu, hanya ada 2 orang yang memiliki latar belakang pendidikan setingkat sekolah menengah. Aku termasuk yang paling berhasil dalam hal pengembangan diri. Seorang yang lain merupakan titipan orang dalam dan menjadi rekrutan awal sekolah cabang pertama. Dari penilaianku, sejak dulu hingga kini itu orang masih berjalan di tempat. Dalam artian kemampuan dan performanya tidak mengalami kemajuan yang berarti. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memimpin tim kerja dan menempatkan diri sebagai teman yang baik bagi mereka. Memasuki akhir bulan ke sembilan, penambahan murid di cabang kami berjalan cukup baik. Memang pendaftaran murid baru di sekolah kami dilakukan di setiap bulannya. Artinya, kami punya kesempatan untuk menjaring murid baru di setiap bulannya. Oleh karena itulah kami harus

melakukan promosi secara berkala dan tanpa henti. Perkembangan saat ini juga telah kami laporkan kepada kamtor pusat. Tentunya ini mendapat respon yang baik dari pihak manajemen pusat. Pada intinya, hal ini menjadi angin segar bagi kami dan semua pihak. Pimpinan cabang kami saat ini, sebut saja Mr. X, yang juga merupakan atasan kami langsung, jarang sekali hadir dan mengontrol kami. Profesi sebagai pebisnis membuat Mr. X lebih fokus ke usaha utama yang dijalankannya. Sedangkan sekolah ini mungkin sekedar sampingan saja untuknya. Meski demikian, aku dan tim kerja selalu menjalankan seluruh aktifitas dengan baik dan selalu memberi laporan kerja kepada kantor pusat yang menjadi pengawas operasional cabang kami. Memasuki bulan ke sepuluh, murid kami kian bertambah. Hal ini menjadi penyemangat kami untuk melakukan segalanya dengan lebih baik lagi. Meski kami memiliki kendala dalam komunikasi langsung dengan atasan kami, namun segalanya akhirnya kami serahkan kepada kantor pusat. Kami menganggap, induk kami selama ini memang manajemen pusat, meski mereka juga tak bisa untuk mengintervensi terlalu dalam. Hal ini mengingat secara hukum dan berdasarkan struktur organisasi, pimpinan kami sesungguhnya adalah pemilik cabang. Namun bagi kami, sosok ini antara ada dan tiada. Secara struktural dia memang ada, tapi di lapangan atau di kenyataanya dia tak pernah menampakkan diri. Aku sendiri memprediksi cepat atau lambat hal ini tentu aan jadi permasalahan tersendiri. Karena bagiku sebagai koordinator tim kerja, ada beberapa kebijakan yang seharusnya langsung turun dari seorang pimpinan.

4. Sebuah Tragedi Seperti yang sudah kuperkirakan sebelumnya, ketiadaaan pimpinan langsung di lapangan membuat operasional berjalan kurang lancar. Banyak keputusan atau kebijakan dari seorang pimpinan yang sifatnya darurat tidak dapat kami dapatkan. Seringkali hal ini menimbulkan kendala tersendiri di lapangan. Kamipun pada akhirnya terpaksa menyampaikan keluhan dan laporan ke pihak pusat. Aku sebagai team leader harus mengambil inisiatif sebagai yang terdepan dalam penyampaian keluhan ini. Rupanya hal ini juga terpantau oleh pihak manajemen pusat. Kami berempat kemudian mengadakan pertemuan dengan manajemen pusat, yang dipimpin langsung oleh sang pemegang lisensi atau boss besar. Setelah mengumpulkan keterangan dan melalui prosedur yang berlaku, maka kemudian kantor pusat mengambil sebuah keputusan untuk memutuskan hubungan kerjasama dengan pemilik cabang kami dan mereka segera mencari pimpinan baru untuk menggantikan Mr. X. Kamipun sekali lagi masih di bawah pimpinan kantor pusat, sampai adanya pimpinan baru. Seperti biasanya, operasional sekolah tetap berjalan dan sejauh ini tidak ada kendala apapun. Kelas tetap berjalan dengan maksimal dan orangtua murid pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan manajemen

sekolah.

Untuk

segalakebutuhan

operasional

langsung

diarahkan dan disediakan oleh kantor pusat. Perkembangan performa Lina dan Siska juga semakin terlihat. Kira-kira 1 bulan berikutnya atau tepat 1 tahun semenjak cabang kami berdiri, seorang pimpinan baru hadir. Ia adalah seorang perempuan setengah baya, panggil saja ia Ibu W. Tentunya keberadaan ibu W ini memberikan harapan baru bagi kami. Ya, kami berempat berharap agar ibu W bisa memimpin kami untuk bergerak lebih maju dan semakin maju. Komunikasi di antara kami juga berjalan dengan baik. Ibu W sendiri merupakan sosok yang rapi dan teliti, terutama dalam hal menajemen keuangan. Wajar saja, latar belakang ibu W memang di bidang ekonomi. Ibu W memiliki 2 orang anak berusia 10 dan 7 tahun. Suaminya adalah seorang pengusaha yang kabarnya memiliki sebuah pabrik entah dimana, aku sendiri tak sempat bertanya. Dua bulan awal kerjasama kami di sekolah berjalan dengan lancar. Promosi untuk menjaring murid baru lebih digalakkan, sehingga publikasi tentang keberadaan kami di lingkungan itu pun semakin luas. Alhasil, beberapa atensi mulai kami dapatkan. Sepertinya ini sebuah awal yang baik dari kerjasama kami di cabang ini. Pihak kantor pusat sendiri juga memberikan

dukungan moril bagi kami. Senang rasanya bisa merasakan suasana positif seperti saat ini. Tim pengajar yang kupimpin menunjukkan semangat kerja yang kian meningkat. Kami membuat berbagai rencana, baik itu rencana jangka pendek maupun jangka panjang. Bagiku, tanda-tanda baik untuk kemajuan cabang ini hanya tinggal menunggu waktu saja. Pada suatu hari, tempat kami menjadi tuan rumah rapat gabungan seluruh cabang yang dihadiri pemilik cabang dan salah satu staf pengajar yang biasanya diwakili oleh team leader. Penunjukan tempat kami sebagai tuan rumah digagas oleh kantor pusat, yang sekaligus bertujuan untuk memperkenalkan ibu W sebagai atasan kami yang baru. Semua perwakilan cabang hadir saat itu. Mardi juga turut serta sebagai perwakilan dari cabang tempat ia mengajar. Senang rasanya bertemu dengannya lagi. Banyak yang kami bahas bersama, terutama tentang penggantian atasan kami.

Satu

hal

lain

yang

menjadi

pengalaman

menarik

adalah

perkenalanku dengan salah satu staf pengajar dari cabang Bandung, namanya Vero. Sosok gadis itu bertubuh tinggi, berambut panjang dan berparas ayu. Segeralah aku melibatkan diri dalam percakapan dengannya. Mengingat waktu kami yang memang tak banyak di hari itu, aku meminta nomer Vero agar mudah untuk melakukan komunikasi di kemudian hari. Mardi hanya tersenyum simpul melihat pendekatan yang ku lakukan terhadap Vero. “Cakep tuh anak Bandung tadi Ton” kata Mardi padaku. Aku sendiri hanya menganggukkan kepala tanda setuju. “Lu pepet terus aja Ton” katanya lagi sambil tertawa. “Tapi lu ada saingannya lho. Si Budi anak Karawaci juga ngincer dia. Tapi kayaknya lu lebih punya peluang bro. Soalnya Vero lebih pilih ngobrolnya sama lu” Mardi menjelaskan. “Oh gitu… ternyata si Budi juga naksir toh? Hmm, siapa takut?” balasku penuh percaya diri. Akupun menceritakan pada Mardi perihal pendekatanku ke Vero. Mardi ternyata memberi info padaku kalau Vero sempat menanyakan namaku pada Mardi yang saat rapat duduk di dekat Vero. Mendengar itu, rasanya aku jadi keGR -an juga. Saat itu aku memang sedang singgah di rumah Mardi dan kami berdua juga membuat janji untuk bertemu Risti di satu tempat yang ditentukan oleh Mardi. Sore itu, sekumpulan awan tampak berwarna putih. Meski langit berwarna biru, udara tak terasa cukup bersih. Jalan di depan rumah Mardi tak terlalu lebar. Tampak beberapa bocah kecil saling menggoda dan saling mengejar. Satu anak terlihat mengambil kerikil lalu melempar. Bocah yang lain dengan sigap berkelit dan menghindar. Aku jadi teringat kenangan masa

kecil. Waktu itu kami bermain apa saja hingga baju kami terlihat dekil. Kami terus bermain dan tak akan pulang jika belum dipanggil. Sesampainya di rumah, omelan ibu menjadi sebuah bagian dari rutinitas usai bermain. Beruntung ibuku tak pernah memukul atau mencubit seperti ibu dari temanku yang lain. Mardi tampak sudah siap mengeluarkan motor dari rumahnya. Sesaat kemudian, kamipun meluncur meninggalkan bocah-bocah yang semakin banyak jumlahnya. Bersama Risti dan Mardi merupakan sebuah momen yang menyenangkan bagiku. Mereka benar-benar mampu membuat suasana apapun menjadi lebih meriah dan dan tak kaku. Mardi memutuskan bertemu di warung makan lesehan di mana terdapat pondok kayu yang dibangun di atas sebuah kolam ikan besar. Suasana di tempat makan saat itu relatif sepi. Dari 5 pondok ukuran kecil yang tersedia, hanya ada kami dan satu pondok lain yang diisi oleh 4 orang yang tampaknya satu keluarga. Kami menikmati menu ikan bakar, sambal dan lalapan, serta es jeruk yang semuanya habis tak tersisa. Sebakul kecil nasi putih pun ikut ludes menyisakan wadahnya saja. Kami masih menghabiskan waktu di tempat itu sambil menunggu perut kami dapat bergerak dengan lebih leluasa. Selang kurang lebih satu jam berlalu, kami memutuskan untuk pulang dan berpisah satu sama lainnya. Pagi itu aku berangkat ke tempat kerja seperti biasanya. Sudah menjadi kebiasaan jika aku datang lebih awal, terutama karena aku yang pegang kunci pintu ruang sekolah. Sesampainya di depan pintu masuk ruang sekolah, alangkah terkejutnya aku melihat situasi yang ada. Pintu sekolah kami terpasang rantai dengan ukuran sedang serta sebuah gembok besar yang menguncinya. Rantai itu terlihat dililitkan beberapa kali di gagang pintu depan dengan kuatnya. Sementara di dinding pintu tertempel dua buah kertas berukuran A4 dengan pernyataan “Sekolah ini disegel dan ditutup

dikarenakan

permasalahan

hukum

di

antara

pihak

yang

bersengketa “. Tak hayal akupun tertegun dan hanya bisa terdiam untuk beberapa lama. Aku sama sekali bingung dengan apa yang terjadi. Yang kutahu, tak ada sedikitpun informasi atau kejanggalan selama ini. Tak lama kemudian datanglah Risti bersama Lina dan Siska. Mereka sangat terkejut melihat situasi yang ada. Risti malah terlihat sangat emosional dan sempat menangis saat itu. Karena kami telah terkumpul semuanya, lantas kubagi tugas pada mereka. Aku menjadi orang yang akan menghubungi kantor pusat untuk melaporkan kejadian pagi ini. Risti aku tugaskan untuk menghubungi ibu W dan kemudian membantu tugas Lina. Untuk Lina aku

beri tugas menghubungi murid yang terjadwal hadir di hari itu, terutama untuk sesi yang pertama. Sedangkan Siska aku tugaskan untuk mengawasi di sekitar area, menjaga kemungkinan ada murid yang terlanjur berangkat atau datang ke lokasi dan ternyata memang benar adanya. Mengapa aku putuskan untuk menghubungi kantor pusat, karena aku punya firasat kalau permasalahan ini timbul di antara pihak pusat dan atasan kami yang lama, yakni Mr. X. Entah apa permasalahan intinya nanti coba aku tanyakan pada orang pusat. Tapi yang jelas, sepertinya ini tak ada sangkut pautnya dengan ibu W. jika memang demikian adanya, kasihan sekali ibu W ini. Ibarat sebuah pepatah, ia tak makan nangka tapi kena getahnya. Kejadian pagi ini membuka mataku bahwa dalam menjalankan sebuah usaha, hal seperti ini sangat lumrah terjadi. Hanya saat ini aku menjadi orang yang langsung menghadapinya, bukan membacanya lewat surat kabar atau menyaksikannya di televisi. Untuk penanganan situasi darurat, tampaknya kami sudah bisa mengatasi. Kami berusaha secara maksimal untuk melakukan tugas yang telah dibagi. Satu jam sudah kami menunggu dan kami hanya duduk berjajar di depan pintu. Ibu W tidak dapat hadir karena kondisinya kurang sehat di hari itu. Tak lama kemudian, perwakilan dari kantor pusat datang untuk membantu. Kulihat ada tiga orang di dalam mobil, yaitu pak Albert seorang manager di kantor pusat, Tian staf bagian marketing dan pak Martono sopir di kantor pusat. Ketiganya lalu turun dari mobil dan bergerak mendekat. Setelah mendokumentasikan situasi yang ada, pak Albert dengan dibantu oleh Tian memotong rantai yang melilit gagang pintu dengan alat yang dibawanya. Tulisan yang menempel dipintu pun juga dicopotnya. Setelah itu, baik rantai dan kertas tadi dibawa ke kantor untuk jadi bukti, begitu katanya. Akhirnya pintu sekolah kami buka lalu kami menyalakan lampu dan mempersiapkan

operasional

seperti

biasa.

Pak

Albert

kemudian

mengumpulkan kami di satu ruangan untuk mengajak berbicara. Ia menjelaskan bahwa di antara atasan kami yang lama dan pihak kantor pusat memang ada satu hal yang kini menjadi sebuah perkara. Di sistem administrasi pengelola gedung, nama yang terdaftar masih atas nama Mr. X. Proses pemindahan kuasa atau pengalihan nama hanya dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan dan penandatanganan di antara Mr. X, kantor pusat dan pihak pengelola. Hal inilah yang belum ada titik temunya, mengingat ada permasalahan administrasi yang harus diselesaikan di antara keduanya. Ini persis sama seperti dugaanku sebelumnya. Jika

seperti ini, tentunya ada proses Tarik ulur di antara kedua pihak. “Aaaahh… sepertinya permasalahannya akan berlarut-larut” pikirku dalam hati. Kejadian yang kami alami waktu itu menjadi perhatian seksama dari ibu W. Wajarlah, ibu W belum lama mengambil alih kepemilikan cabang ini. Baru saja bergerak maju, kini ia dihadapkan oleh sebuah permasalahan yang menempatkannya sebagai korban. Kami hanya bisa berharap agar permasalahan ini dapat segera teratasi dan kami bisa bekerja dengan tenang dan semakin berkembang. Ibu W tampaknya sudah menyampaikan keberatannya secara tertulis agar hal ini mendapat perhatian khusus dari pihak-pihak yang berperkara. Memang sedikit atau banyak hal ini juga mengganggu psikologis kami. Setiap datang di pagi hari, kami selalu menerka-nerka apakah pintu kami akan digembok lagi. Jika ini terus terjadi, orangtua murid pun pasti akan berpikir dua kali untuk menyekolahkan anaknya di tempat kami. Sebulan sudah kejadian penyegelan itu kami lewati. Kini kami mulai tenang menjalankan operasional sekolah kami. Di suatu hari, seperti biasanya aku selalu datang lebih pagi. Namun hari ini aku harus tekejut sekali lagi. Di depan sekolah kami sudah berkumpul beberapa orang pria yang tak dikenal. Sebagian dari mereka duduk di lantai sambil merokok, yang lainnya berdiri berkeliaran di area kami. Saat aku datang, semua mata mereka menatapku tajam. Aku coba acuhkan dan terus mendekati pintu untuk membukanya. Salah seorang di antara mereka datang dan berkata “Pagi mas, kalau boleh tahu situ siapa ya?” tanyanya. “Seharusnya saya yang tanya situ siapa dan mau apa? ujarku menjawabnya. “Kami yang jaga di wilayah ini, kami ditugaskan untuk menghalangi siapapun yang masuk sini” tegasnya dengan nada terkesan mengintimidasi. “Maaf mas, saya akan tetap masuk. Saya ngajar disini dan saya bertanggungjawab atas tempat ini” tegasku tak mau kalah. “Ceritanya lu nantang nih?” bentak orang itu dan bergerak makin mendekat. Aku hanya diam

menatapnya

tanpa

mengalihkan

pandanganku

sedikitpun.

Sebenarnya tak pernah aku punya pikiran konyol untuk melawan mereka. Tapi setidaknya aku nggak mau menunjukkan ketakutanku, karena itu akan jadi santapan empuk bagi mereka. Untung salah satu dari mereka menahan pria tadi untuk berbuat yang tidak-tidak. Reaksiku rupanya memancing mereka yang lain ikut berkerumun di sekitarku. Sebagian yang lain berusaha mengancamku untuk tidak melawan dan salah satu dari mereka berhasil merebut kunci pintu sekolah dari tanganku.

Di saat yang sama, ketiga teman kerjaku terlihat datang dan langsung beranjak mundur sambil menunjukkan ekspresi ketakutan mereka. Seketika aku mendekati mereka dan membawa mereka menjauh dari lokasi itu. Hal yang pertama yang kulakukan adalah menenangkan mereka, terutama Risti yang lebih mudah terpengaruh oleh situasi. Setelah itu aku membagi tugas seperti yang pernah kulakukan sebelumnya. Kamipun menjalankan peran kami masing-masing dan kemudian tetap berada tak jauh dari lokasi sekolah kami. Kali ini kami harus menunggu lebih lama dari waktu sebelumnya. Setelah hampir putus asa menunggu kabar, akhirnya telepon yang dinanti datang juga. Pak Albert mengatakan bahwa pihak pusat telah melaporkan hal ini ke pihak berwajib yang kabarnya akan segera datang. Sedikitnya ada perasaan lega di hati kami mendengar kabar ini. Hanya yang sedikit aku sesalkan adalah ketiadaan orang pusat untuk hadir di saat yang lebih genting dari sebelumnya. Malah, seharusnya kami malah tidak terlibat dengan hal seperti ini. Tak lama berselang, datanglah sebuah mobil polisi dan turunlah 3 orang petugas menghampiri sekumpulan orang itu. kami tetap di posisi kami dan hanya melihat dari jarak tertentu. Tampak petugas itu berbicara dengan tegas pada mereka yang tampak terdiam. Lalu petugas kepolisian tersebut meminta orang-orang itu untuk duduk berkumul menjadi satu. Tak lama kemudian datang sebuah mobil bak terbuka dari kepolisian. Lantas sekumpulan orang itu diminta naik ke bak mobil itu dan petugas itupun membawa mereka entah kemana. Melihat situasi sudah kondusif, kami bergerak mendekat. Salah satu petugas berkomunikasi dengan kami dan menyatakan jika gerombolan tadi adalah preman di sekitar sini yang jadi orang suruhan dari seseorang. Kami juga diminta untuk hadir ke kantor polisi terdekat untuk memberi kesaksian. Setelah melakukan komunikasi dengan pihak kantor pusat, kami membuka pintu kami dan melakukan beberapa pekerjaan ringan. Hari itu kami hanya beroperasi setengah hari saja. Namun kami tak bisa langsung pulang. Kami harus ke kantor polisi bersama perwakilan kantor pusat untuk membuat laporan dan memberikan kesaksian. Setelah yang menjemput kami tiba, kami segera meluncur bersama. Di sepanjan jalan menuju kantor polisi, kami melakukan koordinasi agar apa yang akan kami sampaikan jelas dan benar adanya. Aku sendiri pastinya akan memberikan keterangan yang lebih banyak dibanding ketiga rekanku, mengingat aku yang pertama kali menghadapi para preman itu.

Mobil kami sampai dan parkir di halaman samping kantor polisi itu. Aku, ketiga rekanku dan pak Albert berjalan beriringan memasuki ruang depan kantor polisi yang tampak sepi. setelah melalui beberapa prosedur dan pengisian data, kami segera menuju sebuah ruang untuk diambil kesaksian kami satu per satu. Ini pengalaman pertamaku berada di dalam ruang kantor polisi. Meski di sini aku sebagai saksi dari pihak pelapor, tapi berdebar juga rasa diri ini. ketiga rekanku malah terlihat sangat tegang. Beberapa kali pak Albert dan pihak kepolisian berusaha meyakinkan mereka untuk lebih tenang. Untuk memberikan sebuah kesaksian, ketenangan memang sangat dibutuhkan agar apa yang hendak diceritakan dapat tersampaikan dengan lebih jelas dan akurat. Aku sendiri merasa sudah bisa menguasai diri untuk hal ini. Kini giliranku untuk memberikan kesaksian. Aku masuk ke dalam ruangan yang tak terlalu luas itu. Tampak di situ 2 buah meja yang masing-masing terdapat 2 kursi saling berhadapan. Sebuah lemari kayu berdiri kokoh di sisi lain ruangan. Aku menggambil posisi di salah satu kursi dimana seorang petugas sudah berada di situ. Usai mengucapkan salam, aku segera diminta keterangan awal mengenai identitasku oleh petugas yang kulihat dari seragamnya bernama Suyono itu. Petugas itu kemudian menanyakan beberapa hal terkait kejadian hari ini. Setiap apa yang kusampaikan langsung diketik olehnya. Ada sedikit ketegangan saat proses tanya-jawab itu. Semoga ketegangan tidak mengacaukan keterangan dari ketiga temanku nanti. Tak kukira kami akan menghabiskan waktu cukup lama di kantor kepolisian. Langit di luar sudah tampak gelap. Saat beranjak keluar dari tempat itu, rasa letih, tegang, lega sekaligus lapar bercampur menjadi satu. Pak Albert mengajak kami untuk makan malam sekaligus membahas kesaksian kami hari ini dan rencana selanjutnya. Tentu ajakan untuk makan ini tak mungkin kami tolak mengingat saat itu kami memang butuh energi untuk menyegarkan kami kambali. Segera kami makan dengan lahap dan minum sebanyak mungkin bagai orang yang berhari-hari tak bertemu makanan dan minuman. Usai makan, kami melakukan sedikit pembicaraan dan melakukan koordinasi untuk kegiatan esok hari. Akhirnya diputuskan besok kami libur agar dapat beristirahat seharian. Pihak pusat rupanya telah menghubungi semua murid di jadwal besok untuk pemberitahuan libur sehari itu. Libur sehari ini kami manfaatkan semaksimal mungkin untuk beristirahat untuk menghilangkan kepenatan, keletihan dan rasa tegang kami.

Keesokan harinya kami kembali bekerja seperti biasa. Hari demi hari berjalan, segalanya berangsur pulih seperti sedia kala. Kamipun kembali bersemangat untuk mengatur kembali rencana awal kami dan melakukan evaluasi. Berita tentang kejadian yang kami alami rupanya telah sampai di telinga Mardi. Entah dari mana ia mendapat kabar itu. Yang jelas, ia minta agar kami bertemu di akhir pekan ini, yang merupakan akhir dari bulan ini. Jika seperti ini, biasanya Mardi akan mentraktir kami karena pada hari itu kami telah menerima gaji bulanan kami. Kami menyetujui waktu dan lokasi untuk pertemuan nanti. Di pertemuan kali ini, kami akan berkumpul semua termasuk Lina dan Siska. Kejadian yang kami alami berlakangan ini ternyata bukan menjadi akhir dari segala permasalahan. Di saat kami sedang menjalankan kelas kedua kami di hari itu, tiba-tiba datanglah dua orang laki-laki berkemeja rapi lengkap dengan dasinya, seorang wanita mengenakan blazer hitam, serta dua orang petugas keamanan. Mereka langsung masuk ke dalam ruang sekolah tanpa permisi. Mereka tampak sangat tidak bersahabat. Salah seorang di antara laki-laki berdasi, datang menghapiri Risti yang saat itu sedang ada di meja penerima tamu. Laki-laki itu berkata dengan lantangnya agar semua kegiatan kami dihentikan. Risti yang panik segera memanggilku yang saat itu sedang mempimpin jalannya kelas bersama Lisa dan Siska. Belum sempat aku meninggalkan kelas untuk menghampiri Risti, tampak olehku seorang pria buncit berdasi memasuki ruang kelas dan berdiri bertolak

pinggang

seraya

mmeminta

kami

untuk

berhenti

dan

meninggalkan area. Sebagai seorang yang bertanggungjawab terhadap operasional harian, aku merasa terrganggu dan tersinggung atas sikap pria itu. “Maaf, bapak siapa? Emang nggak bisa bicara lebih sopan lagi pak?” tanyaku sambil menatap pria itu dan meghampirinya. Pria itu malah mengatakan kalau ia tidak ada urusan denganku dan meyuruhku untuk diam dan keluar ruangan. Aku yang tesulut emosiku lantas balik menghardik dan mengatakan kalau aku bertanggungjawab di sini. Seorang petugas keamanan datang mendekat dan menahanku agar tidak mendekat ke atah pria buncit itu. Kemudian datanglah wanita ber-blazer yang memintaku untuk ikut dengannya agar bisa mendengarkan penjelasannya. Dengan rasa marah dan bingung aku putuskan untuk mengikuti wanita itu ke arah ruang depan. Di sana Risti sudah tampak menangis, sementara Lina berusaha menenangkan Risti. Siska tampak sedang menghubungi kantor pusat menggunakan telepon sekolah. Wamita itu menjelaskan bahwa mereka dari

pihak pengelola gedung dan menjelaskan sedang ada permasalahan dengan hak pengggunaan tempat ini yang di data mereka masih atas nama Mr. X. Rupanya

mantan

atasanku

itu

melakukan

‘perlawanan’

dengan

menggunakan pihak pengelola untuk memberhentikan dan menutup sekolah kami. Orangtua murid yang tadinya sedang menunggu anaknya belajar, terpaksa dibimbing keluar oleh Lina. Sementara aku sedang mendengarkan wanita dari kantor pengelola itu berbicara, datanglah si buncit berdasi yang mengambil dengan kasar telepon yang disodorkan oleh Siska. Ia berbicara dengan nada membentak kepada pihak kantor pusat yang sepertinya boss besar kami. Setelah itu ia menutup telepon dengan keras sekali. Aku yang berada di ruang yang sama sempat terpikir untuk berdiri dan memberikan ‘hadiah’ atas ‘kesantunan’ dari si buncit berdasi itu. Petugas keamanan yang tadi menahan gerakku sewaktu di kelas, kembali bergerak cepat untuk menghalangiku bereaksi. Akupun hanya bisa terdiam menahan emosi sambil menatap tajam ke arah si buncit yang sangat arogan itu. Salah seorang pria berdasi teman si buncit menyadari jika arogansi rekannya telah memancing situasi menjadi panas, segera membawa rekannya itu keluar ruangan. Lalu ia kembali dan menghampiriku. “Maaf mas kalau sikap pak Hendy agak kasar. Beliau adalah direktur di kantor kami dan orangnya memang bertemperamen tinggi” kata pria itu berusaha menenangkan emosiku. “Dia nggak sopan pak! kurang ajar tuh orang! Masa nggak bisa menghargai orang sama sekali. Jujur saya nggak peduli dia siapa dan ada urusan apa dengan atasan saya. Tapi masa saya diperlakukan kayak gitu di tempat saya sendiri? Binatang aja harus diperlakukan dengan baik, lha emang kami ini apaan?” ucapku dengan penuh emosi. Akupun ditenangkan oleh Siska yang datang menghampiri. Siska membisikkan kepadaku bahwa pihak pusat meminta kami untuk menuruti saja kemauan pengelola dan kami diminta untuk pulang saja. Maka dengan berat hati, aku mengajak ketiga rekanku untuk pulang meninggalkan tempat kami. Rasa kesal, kecewa, dan bingung terasa menggulung-gulung dalam diriku. Sesak terasa di dada. Berat nafas ini terasa. Masih terbayang wajah dan kelakuan si buncit tadi. Jika tak pikir panjang, mungkin aku sudah nekat untuk menghajar mahkluk arogan itu. Kini kami berkumpul di sebuah kedai makan sekedar untuk menangkan diri dan menyegarkan badan dengan memsan minuman dingin dan beberapa menu makanan ringan. Dengan situasi yang tidak menentu ini, aku berbicara pada ketiga rekanku

untuk

tidak

berbuat

apa-apa

dan

meliburkan

diri

sampai

ada

pemberitahuan dariku. Aku katakana pada mereka kalau aku sendiri yang akan mencari keterangan jelas perihal nasib sekolah kami selanjutnya. Setidaknya itu tanggungjawabku sebagai team leader. Setelah tak begitu lama berselang, kami pun segera berpisah untuk pulang ke rumah masingmasing.

5. Tak Lagi Di Sana Permasalahan antara pihak pusat dan Mr. X yang melibatkan pihak pengelola gedung, ternyata tak bisa diselesaikan begitu saja. Pihak pusat sekarang malah harus berurusan pula dengan ibu W yang mengajukan protes keras dan meminta investasinya kembali. Memang, semakin besar sebuah bisnis, semakin kompleks pula resiko dan permasalahannya. Dengan kondisi seperti itu, maka bisa dipastikan cabang sekolah kami benar-benar ditutup untuk selamanya. Kalaupun dilanjutkan, pilihannya harus pindah ke lokasi baru. Artinya, dibutuhkan sebuah investasi besar lagi dan tentunya juga seorang investor atau pemilik cabang sekolah yang baru, karena ibu W sudah tidak mau melanjutkan kerjasamanya. Aku sendiri dan ketiga temanku masih beberapa kali harus bolak-balik ke kantor pusat untuk adakan pertemuan internal. Menurut rencana, kami akan dipisah menjadi dua kelompok dan ditempatkan di lokasi yang berbeda. Aku dan Risti ditempatkan di cabang di mana Mardi berada. Aku yakin ini hasil lobby dari Mardi kepada atasannya. Jika tidak, mana mungkin kami berdua yang dipasangkan untuk ditempatkan di sana? Namun aku sengaja tak membahas hal ini dengan ketiga temanku. Sedangkan Lina dan Siska ditempatkan di cabang baru di daerah Tangerang. Melihat kenyataan di mana kami akhirnya dapat berkumpul bertiga lagi, ada perasaan senang namun juga sedih. Senang karena kami dapat bersatu dan bekerjasama lagi. Di saat yang bersamaan, kesedihan juga kurasakan mengingat kami tak lagi di sana, di tempat kami sendiri. Bagaimanapun keadaan cabang kami sebelumnya, tempat itu sudah menjadi awal perjuangan kami. Di sana kami memulai perjuangan kami membangun markas kami dari nol. Yang menjadi sisi ironisnya adalah kami harus terusir dari sana di saat perkembangan cabang kami mulai terlihat signifikan. Menurutku, seenak-enaknya berada di cabang lain, tetap terasa lebih nyaman di tempat kami sendiri. Tapi apa mau dikata, memang harus beginilah jalannya. Pemilik cabang di sini selalu berada di lokasi sekolah dan terjun langsung dalam operasional harian. Tak heran segalany aberjalan dengan baik dan terkoordinir. Terlebih ada sosok Mardi yang sangat bisa diandalkan. Aku sendiri yakin akan mampu mengembangkan diri di sini. Selain jadwal di sini padat dan ramai yang menjadi tantangan tersendiri buatku, aku juga bekerja dalam tim kerja yang sudah nyambung denganku. Dua pengajar lain di sini bernama Evi dan Rina. Mereka berdua adalah sosok yang ramah, mudah

bergaul dan sangat membantu selama proses adaptasi kami di sana. Jika ritme kerjanya seperti ini, maka aku bisa prediksikan kalau pencapaian kami akan bagus. Aku yakin itu. Tak terasa sudah 4 bulan aku di tempat ini dan seperti dugaanku sebelumnya, pencapaian kami boleh dibilang luar biasa. Kami berhasil mencapai jumlah murid dan jadwal kelas terbanyak dibanding cabang lainnya. Meski terhitung sangat padat, kualitas yang kami berikan sangat terjaga. Kami tak melulu mementingkan kuantitas dan sisi komersil dalam menjalankan sekolah ini. Kualitas SDM dan program yang disampaikan harus berjalan beriringan dengan tingkat kepuasan dari orangtua murid. Hal ini selalu kami evaluasi setiap bulannya berdasarkan kuisioner yang kami bagikan kepada orangtua serta dari observasi internal kami. Sungguh aku mempelajari banyak hal selama di sini. Tingkat kemampuan dan rasa percaya diriku pun terasa semakin meningkat. Hal ini menjadi motivasiku untuk melakukan yang lebih baik lagi. Kini memasuki 1 tahun aku tergabung di tempat ini. Hingga saat ini, kualitas kami masih yang terdepan. Mengingat tingginya tingkat kepuasan dari orangtua, maka mulai banyaklah masukan untuk membuat tingkat pendidikan level yang lebih tinggi. Tak sedikit pula yang mengajukan untuk membuka program pendidikan yang berbeda yang masih di bawah paying manajemen ini. keinginan itu makin banyak datang dari kalangan orangtua murid yang anaknya sudah berada di tingkatan tertinggi di sekolah ini. Mereka maunya nggak kemana-mana dan nggak dengan siapa-siapa lagi selain dengan kami. Tentunya ini menjadi angin segar bagi atasan kami. Guna merespon keinginan dan kebutuhan orangtua yang semakin tinggi, maka dibentuklah tim kerja baru untuk mempersiapkan lahirnya lembaga pendidikan baru ini. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, Mardi ditunjuk menjadi motor dari tim kerja ini. Memang Mardi adalah sosok yang paling pas dengan tugas dan tanggungjawab ini. Kemampuan dan visinya memang patut diacungi banyak jempol. Di sisi lain, Mardi juga sudah mengenal dengan baik lingkungan dan kemauan pasar di lingkungan itu. Antara Mardi dan pimpinan di sini, sebut saja ibu T, sudah sama-sama bersinergi dan saling tahu satu sama lain. Jadi ini adalah sebuah awal yang baik. Tentunya dengan pembentukan ‘tim sukses’ ini, maka mau tak mau harus diadakan perombakan dan peremajaan tim kerja juga. Maka diadakanlah rapat internal untuk hal ini. Ibu T kemudian menunjukku sebagai team leader di tempat ini, karena Mardi yang sebelumnya berada di posisi itu

harus ditarik keluar dari struktur organisasi sekolah dan difokuskan untuk mempersiapkan proyek sekolah baru. Mardi akan dibantu oleh Evi dan Rina, yang juga ditarik keluar serta harus mengikuti beberapa pelatihan untuk melengkapi pengetahuan mereka. Aku dan Risti kini kembali bersama dan sekali lagi ditinggal oleh Mardi. Tak apalah, kami sudah terbiasa akan hal ini. Selama satu minggu ini aku melakukan beberapa wawancara yang terjadwal untuk merekrut dua atau tiga pengajar baru untuk tergabung dalam tim kerjaku. Setelah mewawancarai beberapa kandidat, maka pilihan kami jatuh pada dua sosok pengajar perempuan bernama Lula dan Sintha. Mereka kunilai yang paling pas untuk mengisi posisi yang lowong di tim kerja. Satu pengajar lagi yang sedang kucari adalah pengajar pria. Memang ini akan lebih sulit, tapi aku yakin pasti akan mendapatkannya nanti. Terlebih aku sendiri yang melakukan pendekatan. Harapanya adalah pendekatan antar pria akan lebih mujarab untuk menjaring pengajar pria. Sebenarnya ada kandidat versiku untuk pengajar pria. Tapi untuk meluluskan kandidat ini perlu meyakinkan semua pihak, baik manajemen sekolah, pengajar lainnya, serta orangtua murid juga. Pasalnya sosok yang ingin kujadikan kandidat ini adalah Eko, seorang office boy di sekolah ini. Memang pilihanku ini boleh dibilang anti mainstream, mengingat biasanya pencarian kandidat pengajar melalui seleksi yang berlapis. Namun ada satu hal yang menjadi perhatianku terhadap Eko ini. Dia terlihat senang berada di antara anak-anak dan dia terlihat tulus, alami, tanpa dibuat-dibuat atau merasa sok peduli. Eko juga sosok yang periang dan humoris. Ini jadi nilai lebih di mata anak-anak, karenanya Eko mudah untuk melakukan pendekatan persuasif kepada anak. Ia juga punya semangat belajar yang bagus. Di salah satu kesempatan ia pernah bilang ingin belajar untuk bisa menjadi seorang asisten dari pengajar. Bagiku, ini adalah sebuah poin yang berharga. Singkat kata, akhirnya aku dapat meyakinkan pihak manajemen untuk menjadikan Eko sebagai bagian dari tim kerja. Hanya sebagai jalan tengah, Eko tidak diberikan tanggungjawab untuk mengajar dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Untuk sementara waktu, ia hanya bertugas mambantu operasional kelas, seperti menyiapkan materi dan bahan ajar, serta memeriahkan suasana kelas. Porsi latihan bagi Eko sendiri aku berikan lebih padat dan lebih sering dibanding Lula dan Sintha yang sudah berpengalaman dan kebetulan cepat sekali untuk beradaptasi. Dengan formasi kami saat ini, kami tetap dapat menampilkan kinerja yang baik di

mata manajemen. Alhasil, jumlah murid berbanding lurus dengan pendapatan sekolah di setiap periode. Semakin lama tim kerja yang kubentuk ini semakin kuat. Bahkan kami harus merekrut dua pengajar paruh waktu sekaligus guna merotasi pengajar yang diturunkan di jadwal yang sangat rapat dan padat. Setiap target pencapaian yang dipasang oleh manejemen di stiap periode waktu pasti dapat kami tembus. Bonus dan kepercayaan dari atasan pun menjadi ganjaran positif bagi kami. Namun hal itu tak pernah menjadikan kami lalai atau lupa diri. Kami selalu menjaga kinerja kami dengan tolok ukur yang telah kami jalankan selama ini. tim kerja kami boleh dibilang cukup solid, meski tidak terikat secara hati seperti aku, Mardi dan Risti. Setidaknya, tim kerja ku dapat melewati rintangan serta konflik yang terjadi di antara mereka. Aku anggap itu hal biasa dalam sebuah dinamika hubungan antar manusia Tak terasa proyek sekolah baru telah dimulai. Konsentasi dari manajemen kini sedang tertuju kesana. Ibu T sempat mengatakan dalam rapat internal bahwa operasional harian untuk sementara dipegang oleh adiknya, Suci, karena ia harus berada di tempat baru untuk mengawasi dan memimpin jalannya sekolah baru tersebut. Bagi kami ini menjadi sebuah tantangan, terutama untuk menunjukkan bahwa kami dapat dipercaya untuk menjalankan operasional, meski tanpa kehadiran Ibu T di tempat. Sebaliknya, kami pun tetap menghormati Suci sebagai perwakilan dari manajemen. Rupanya, Suci merupakan sosok yang baik, ramah dan enak untuk diajak bicara. Tentunya ini memberikan suasana kerja yang positif bagi kami. Benar saja, performa kami kian meningkat hingga kami telah mencapai batas maksimal untuk menampung dan mengatur jadwal ajar. Sungguh ini merupakan kebanggaan bagi kami. Hasil kerja baik kerja kami ini secara tak langsung menyebar di seluruh cabang. Alhasil, tempat kami sering mendapat kiriman pengajar baru untuk menimba ilmu atau sekedar studi banding. Aku yang bertanggungjawab untuk melatih setiap staf pengajar baru selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi setiap yang datang. Aku selalu ingat masa awalku bersama Mardi, dimana kami tak mendapat perlakuan yang semestinya sebagai staf baru yang ingin menimba ilmu. Maka aku senantiasa membagi pengalaman dan ilmu kepada mereka yang dikirimkan ke tempatku. Kemampuanku melatih dan membina orang baru rupanya tercium dan akhirnya diamati oleh pihak kantor pusat. Dalam satu kesempatan aku

mendapat tawaran untuk masuk ke dalam jajaran staf kantor pusat, khususnya di divisi Training & Development. Tentu ini menjadi sebuah tantangan sekaligus perwujudan impanku. Tantangan dalam arti setelah aku berhasil memimpin dan memajukan sebuah cabang, kini aku punya kesempatan untuk memimpin tim kerja dalam sekala yang jauh lebih besar, mencakup seluruh cabang. Selain itu, aku juga punya kesempatan untuk membantu seluruh cabang untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam hal performa dan kualitas kerja pengajarnya. Tentunya ini akan mendongkrak hasil yang dicapai oleh cabang terkait. Sedangkan perwujudan mimpi adalah dengan posisi yang baru, aku akan dapat mewujudkan keinginanku untuk membantu setiap individu yang ingin belajar dan mengambangkan diri di bidang yang kukuasai ini. Akupun juga punya otoritas untuk membuat dan mengembangkan sistem pelatihan dan pengembangan yang lebih baik. Maklum, sosok yang sekarang berada di posisi ini bukan orang yang berlatar belakang pendidikan atau bahkan tidak punya pengalaman sedikitpun dalam hal pengajaran. Aku sendiri tak tahu apa yang menjadi dasar pertimbangan dipilihnya orang ini untuk menduduki posisi krusial ini. Satu perwujudan lain adalah, dengan berada di posisi itu, tentunya secara materi akan ada peningkatan dan ini dapat aku gunakan sebagai modal untuk melanjutkan pendidikanku, seperti yang sudah aku inginkan selama ini. Aku belum memberikan jawaban pasti untuk penawaran ini. Namun aku telah meminta waktu untuk menentukan jawabanku. Ini menjadi dilema bagiku. Di satu sisi aku merasa bersalah karena aku akan meninggalkan tim kerja dan segala yang aku pimpin selama ini. Tapi di sisi lain, aku merasa ini adalah kesempatan berharga bagiku, bahkan merupakan sebuah kehormatan mengingat belum pernah ada staf dari cabang yang mendapat kepercayaan untuk mengisi posisi ini. Aku perlu berpikir dalamdalam untuk mengambil sebuah keputusan yang akan mempegaruhi masa depanku nanti. Aku rasa aku perlu meminta pendapat Mardi untuk hal ini. Dialah orang yang paling tepat untuk diajak bicara dan berdiskusi lebih jauh. Tapi mengingat Mardi tampak sedang sibuk dengan urusan proyek barunya, aku menunda untuk berbicara dengannya. Mungkin aku akan cari waktu yang tepat atau bila perlu aku bisa main ke rumahnya sekaligus membicarakan hal ini.

6. Bersama Vero Di saat bimbang untuk menentukan langkah ke depan, tempatku kedatangan staf pengajar dari Bandung untuk studi banding dan pengembangan diri. Ada dua pengajar yang datang dan dua-duanya perempuan. Salah satu pengajar dari Bandung itu bernama Mecca. Ia berpostur mungil, berkulit putih dan merupakan sosok yang amat santun. Sedangkan seorang lagi adalah sosok yang sudah kukenal sebelumnya. Kedatangan gadis satu ini membuat pagiku cerah berbunga-bunga. Ya, dia adalah Vero, si cantik berpostur tinggi yang sempat kudekati saat rapat lebih dari setahun yang lalu. Pagi itu, baik Vero dan Mecca mengenakan polo shirt warna cerah dan celana jeans biru. Kehadiran Vero di tempatku adalah untuk mendampingi Mecca yang merupakan staf pengajar baru di Bandung, sekaligus untuk melakukan diskusi perihal pengembangan program ajaran yang dapat diterapkan di masing-masing tempat. Tentunya diskusi ini memberikan kesempatan lebih intens bagiku untuk bersama Vero. Yang pasti, aku punya waktu lebih banyak untuk berbicara dengannya. Jika dilihat, Vero pun memberikan lampu hijau terhadap pendekatanku. Setidaknya, tidak ada penolakan yang terlihat darinya. Untungnya, aku tak terlena dalam keindahan ini dan melalaikan tanggungjawabku sebagai team leader. Sebenarnya setelah perkenalan dan pendekatan awal kepada Vero saat rapat di tempatku dulu, aku sempat beberapa kali berkomunikasi dengannya. Dan sejauh itu, Vero sangat enak untuk diajak ngobrol. Kamipun sempat bertemu kala aku sengaja main ke Bandung sebanyak dua kali untuk bertemu dengannya.

Vero pun sempat juga bertemu

denganku saat ia sedang berada di Jakarta. Pertemuan-pertamuan itu memang belum membuahkan hasil apa-apa, mengingat kami masih malumalu untuk bergerak labih jauh. Namun, tak bisa dipungkiri kalau kami memiliki ketertarikan satu sama lain. Oleh karena itu, kedatangannya kali ini ibarat babak lanjutan dari langkah-langlah kami sebelumnya. Dari jadwal yang diberikan oleh pihak manajemen Bandung, Vero dan Mecca punya waktu selama 2 minggu di Jakarta. Tiga hari pertama waktu kami lebih banyak diisi oleh pelatihan dasar bagi Mecca sekaligus Eko yang aku sertakan juga dalam pelatihan. Di tiga hari tersebut, 3 orang pengajar dari cabang Bogor juga ikut dalam latihan dasar. Ramai dan seru menwarnai hari-hari latihan kami. Tentunya kegiatan ini cukup menyedot energi dan focus berpikirku. Belum ada kesempatan untuk melakukan diskusi empat mata bersama Vero. Rencananya diskusi itu akan aku atur

di hari keempat atau kelima, sementara Mecca dan Eko bisa berlatih bersama staf lain yang akan dikoordinir oleh Risti. Pagi ini aku sudah sampai di lokasi sekolah jauh lebih awal dari biasanya. Ini karena aku harus berangkat bersama dengan saudara yang hendak bepergian dan kebetulan kami searah. Aku berjalan perlahan sambil menunduk, tanpa memperhatikan sekitarku. Tujuanku adalah pergi ke belakang gedung untuk ngopi atau menikmati makanan ringan untuk sarapan. Selagi asyik melangkah, terdengar sebuah suara “Sst... sst...” Suara itu berasal dari sisi sebelah kananku. Akupun memalingkan wajah ke arah suara tersebut. Tampak Vero sedang berdiri di sisi jalan sambil bersandar di tembok tanaman yang memang ada di sisi depan gedung. Wajah cantik itu tersenyum ke arahku. Aku balas senyuman manis Vero. “Lumayan sarapan pagi dengan senyuman manis” pikirku ngaco. “Kamu nginep di gedung ya? Pagi-pagi udah ada di sini?” godaku. Vero tak menjawab. Ia hanya mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum menggoda. “Kamu mau kemana?” ia malah balik bertanya padaku. “Mau sarapan atau nggak ngpi di warung belakang. Kamu mau ikut Vero?” tanyaku. “Ayo lah” jawabnya singkat sambil mendekat padaku. Kami jalan berdua dengan jarak di antara kami yang sangat dekat. “Kamu kenapa pagi-pagi banget udah sampai?” tanyaku lagi. “Iya, soalnya aku lagi sendirian. Mecca semalam balik ke Bandung, ada urusan keluarga katanya. Ntar malam baru balik ke Jakarta lagi” jelas Vero dengan logat Sundanya yang kental. “Ya udah, aku temenin aja kamu. Mau nggak?” tanyaku iseng. “Mau nggak ya? Hmm…Mau bangettt…!” jawabnya sambil merapat padaku. Kini malah aku yang merasa deg-degan. “Ah, senjata makan tuan nih” pikirku. Vero tak menjauhkan dirinya dan tetap terus merapat padaku. Kini tangan kirinya malah menggandeng lengan kananku. “Hmm…. Mampus dah gua” kataku dalam hati Pagi itu kami sarapan berdua. Menu kami adalah mie instant rebus dan goreng serta teh hangat. Kebetulan penjual di warung itu adalah orang Sunda. Maka klop lah Vero dan akang itu ngobrol dalam bahasa Sunda yang tak kumengerti sedikitpun artinya. Saat Vero pergi sebentar untuk membeli sesuatu di warung sebelah, tiba-tiba si akang mie itu bilang padaku “Bang, itu pacarnya tadi bilang kalau belum lama jadiannya ya? Itu ceweknya tinggalnya nggak terlalu jauh dari kampung saya” tegasnya. Aku yang mendengar itu hanya bisa manggut-manggut keheranan. Yang aku heran bukan karena mereka tinggal berdekatan, tapi kata-kata sebelumnya yang mengatakan kalau kami belum lama jadian. Entah cerita apa lagi yang

dikarang oleh Vero. Tapi aku malah berharap kalau cerita itu benar-benar menjadi kenyataan. Hari itu aku lewati khusus berdua dengan Vero. Di saat jam kerja kami serius bicara soal materi-materi yang ingin dibahas oleh Vero di ruang rapat atau lebih tepatnya ruang untuk menerima tamu khusus. Ruang itu memang tak terlalu luas, namun memang dibuat nyaman dan aman dari gangguan saat sedang ada tamu atau saat kami rapat. Meski aku harus berusaha keras untuk menjaga konsentrasi saat berbicara dengannya. Tapi pikiran ini tetap menerawang kemana-mana. Apalagi dengan tatapan mata yang tajam dari Vero yang memperhatikanku serius saat aku sedang berbicara. Jarak kami berbicara memang tak terlalu jauh. Kami berdua duduk di sofa yang sama, yaitu sofa dengan dua dudukan. Saat aku sedang fokus menjelaskan variasi program marketing dan sistem operasional di tempatku ini, Vero yang tampak memandangku dengan serius sekonyong-konyong bergerak mendekat dan… cup! Sebuah kecupan mendarat di bibirku. “Alamaaaak….” Jeritku dalam hati. Buyarlah seketika segala apa yang aku sedang dan ingin katakan. Aku tertegun sejenak dan memandangi Vero yang cuma tersenyum simpul. Sesaat kami tenggelam dalam kehangatan yang kami ciptakan berdua. Serasa kehangatan itu menepikan dinginnya suhu ruang ini. Getaran asmara kini tak mampu kami tahan lagi. Kami tak perlu mengutarakannya lewat kata. Kami mengatakannya lewat rasa semata. Kami sadar kalau kami harus mengendalikan diri dan kamipun mampu untuk menaklukan rasa kami untuk tidak berubah menjadi nafsu. Kini kami kembali saling menatap. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kami sudah tenggelam dalam pelukan. Sejenak setelahnya, Kami sama-sama menarik diri dan tersenyum kami bersama. Vero menggenggam tanganku dan akupun meraih tangannya dan mengecupnya. Aku mengambil nafas dalam-dalam. “Ayo kita serius ngomongin kerjaan lagi” ajakku yang disambutnya dengan anggukan kepala. Kamipun melanjutkan diskusi kami sambil berusaha melupakan sejenak apa yang telah terjadi di antara kami. Sisa hari itu berjalan lancar dan mengalir dengan tenang. Sudah lebih dari setengah jam dari waktu jam pulang kerja. Kondisi jalan raya tampak cukup padat sore itu. Aku dan Vero duduk berdua di bangku belakang taksi yang membawa kami pergi ke tempat dimana Vero tinggal untuk sementara. Selama di Jakarta, Vero dan Mecca menempati sebuah apartemen milik atasan mereka yang biasanya disewakan. Kebetulan masa sewa dari pihak penyewa apartemen itu sudah habis dan baru akan terisi

lagi dalam waktu sebulan ke depan. Sekitar 45 menit kemudian, kami sampai di lokasi yang kami tuju. Aku mengikuti Vero yang berjalan di depanku menuju ke unit tempat ia menginap. Kami naik ke lantai 6 dan lalu berjalan menyusuri lorong yang sepi. Sesampainya di depan pintu unit tersebut, Vero segera membuka pintu dan mengajakku untuk masuk. Ruang pertama yang tampak olehku adalah ruang tamu yang tak terlalu luas dengan satu set sofa minimalis berwarna coklat muda, serta meja kaca dengan sebuah vas bunga di atasnya. Tampak pula sebuah dapur kering di sisi lain ruangan itu. Di bagian yang lebih dalam tampak dua buah pintu yang menandakan terdapat dua buah kamar di situ. Aku henyakkan badanku di atas sofa dengan ukuran tak terlalu panjang itu. Sesaat nyaman sekali bersandar di sofa itu. Tampak olehku Vero membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman ringan yang ditawarkannya tadi. Dengan dua buah kaleng minuman soda dingin, Vero berjalan mendekat ke arahku. Ia duduk di sampingku dan menyodorkan minuman itu padaku. Kubuka dan kuteguk minuman dingin berwarna hitam dalam kemasan kaleng berwarna merah itu. Terasa dingin di tenggorokan dan di dadaku. Ah, segar nian rasanya. Kuteguk sekali lagi dan bersendawalah kami berdua. Sesaat kami terlibat dalam pembicaraan ringan sambil menonton televisi yang entah sedang menayangkan acara apa. “Kamu benar belum punya cewek Ton?” tanya Vero padaku. “Nggak percaya kamu?” tanyaku balik. “Hmm… nggak tahu deh percaya apa nggak. Tapi kayaknya kamu nggak bohong sih” ucap Vero. “Belum Vero… saat ini aku belum punya pacar” jelasku kemudian. “Kamu sendiri? Punya pacar kah?” tanyaku pada Vero. “Punya, orang Bandung juga” jawabnya singkat. Aku mengernyitkan dahi tanda heran atas pengakuannya berusan. “Terus, kenapa ini terjadi?” tanyaku penasaran. “Hmm, nggak tahu deh. Aku nggak tahu harus jawab apa. Yang aku rasakan ada sesuatu denganku saat kenal kamu dan aku ngga bisa bohongi diriku sendiri” ujarnya dengan lugas. “Setidaknya rasa ini belum pernah ada sebelumnya” lanjutnya sambil menyandarkan kepalanya di pundakku. “Kamu sendiri gimana?” tanya Vero sambil melirik ke arahku. “Aku orang yang percaya pada feeling-ku sendiri. Saat pertama lihat dan bicara dengan kamu, aku merasa ingin lebih dekat dan tahu lebih jauh tentang kamu. Sama seperti yang kamu rasakan, aku juga nggak pernah merasakan hal yang sama saat bertemu dengan cewek lain” jawabku. “Jadi kita ada di satu frekuensi dong” ujar Vero sambil mencubit pipiku. Akupun tersenyum

sambil mengusap rambut Vero yang panjang dan lembut itu. Entah mengapa aku tak merasa terganggu atau risih dengan kenyataan bahwa Vero telah memiliki pasangan. Juga tak pernah terpikir olehku untuk mencurangi siapapun yan gmenjadi pasangan Vero saat ini. Mungkin Vero benar bahwa terkadang ada rasa yang tak mampu kita dustakan. Meski ini juga bukan sebuah pembenaran. Kami melewati waktu berdua hingga malam tiba. Kini saatnya aku pulang. Selain esok hari kami harus kembali bekerja, Mecca juga sedang dalam perjalanan kembali ke Jakarta. Berat rasa hati ini untuk meninggalkan Vero. Bukan karena ia kawatir karena Vero bakal seorang diri, tapi ia memang tak ingin berpisah dengannya. Lucu sebenarnya mengingat esok hari pun mereka akan bertemu lagi. Vero sendiri pun sedari tadi seakan tak rela untuk dittinggalkan dan ia malah menghalangi pintu keluar agar aku tak bisa melangkah pergi. Gadis cantik itu berdiri di depan pintu sambil tetap tersenyum. Kudekati Vero dan kukecup kening gadis itu. Sebuah pelukan kini terjadi diantara kami berdua. Setelah berapa lama diam dalam dekapan, aku menatap gadis dengan mata yang indah itu. Kecupan di bibir menjadi penanda akhir cerita hari itu dan sekaligus sebagai pembuka akses pintu keluar.

7. Sebuah Keputusan Beberapa hari belakangan terasa penuh semangat dan suka cita. Semua tugas kerja pun dapat terselesaikan sesuai dengan harapan. Seperti biasa, hasil pencapaian kami melampaui target yang dicanangkan. Senangnya saat ini menjadi berlipat ganda karena disaksikan oleh Vero yang terlihat amat berbinar-binar atas keberhasilan kami. Kami pun merayakan keberhasilan kami dengan makan bersama di pujasera setempat. Sore itu kami tenggelam dalam suasana yang riuh rendah. Berbagai candaan dan gurauan saling telempar dari masing-masing kami. Vero sengaja duduk di sampingku. Hingga kini tak ada mengetahui hubungan kami berdua, bahkan Mecca sekalipun. Namun kegembiraan ini sepertinya tak akan lama. Keputusan untuk langkah selanjutnya sudah harus aku ambil. Ingin rasanya aku segera sampaikan. Tapi aku harus yakin kapan saat yang tepat untuk itu. Vero yang saat itu masih bersamaku setelah semua orang pulang, menjadi orang pertama yang kuberitahu tentang hal ini. Ia menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Ia malah mengatakan jika aku menjadi bagian dari kantor pusat, aku bisa pergi ke cabang Bandung untuk memberi pelatihan dan pengembangan, yang sudah dijadwalkan di bulan depan. Tentunya jika aku sudah berada di kantor pusat sebelum jadwal itu, maka secara pasti, akulah orang yang akan ditugaskan ke sana, berkaca pada pengalaman dan kemampuanku. Orang kedua yang kuberitahu tentang rencana kepindahanku adalah Risti. Sengaja aku ajak Risti untuk makan siang berdua, terpisah dari rekanrekan

lain

yang

sudah

biasa

pergi

makan

bersama.

Saat

aku

menyampaikannya, Risti sangat terkejut dan sempat berlinang air mata karenanya. Ia tak menyangka jika rekan seperjuangannya kini mengambil langkah yang berbeda dengannya. Aku coba tenangkan Risti dan mengatakan bahwa ini justru kesempatan baginya untuk membuktikan kemampuannya dalam memimpin tim di sini. Tongkat estafet cepat atau lambat harus dialihkan ke yang lain dan Risti ada di daftar teratas untuk mengambil alih. Awalnya Risti ragu dengan kemampuannya. Tapi setelah aku yakinkan jika aku akan tetap mendukungnya dan mempersiapkan segala

hal

untuk

mempermudah

tugasnya,

diapun

bersedia

dan

menyanggupi. Kami pun berpelukan dan Risti menyampaikan ucapan selamat untukku. Setelah Risti mengetahui rencanaku, ia mulai menyediakan waktu khusus untuk belajar dan menggali lebih dalam tentang hal-hal apa saja yang

sekiranya harus ia kuasai jika ia mengambil alih posisiku. Akupun dengan senang hati memberikan masukan dan trik-trik khusus yang sesuai dengan kemampuan dan gaya kerja Risti. Secara keseluruhan, Risti mulai bisa memahami segala rencana dan sistem kerja yang aku siapkan. Secara tak langsung, aku juga menyiapkan staf lain untuk mengambil tanggungjawab yang lebih besar dari biasanya. Hal ini tentunya akan mempermudah Risti dalam pengawasan dan koordinasi. Satu hal yang positif adalah, semua staf menunjukkan kecakapan mereka dalam mengemban tanggungjawab yang diberikan. Kemajuan pesat juga ditunjukkan oleh Eko yang sudah mampu mengambil tanggungjawab untuk mengajar kelas secara penuh. Tentu ini suatu pencapaian yang menggembirakan buatku.

Suci yang merupakan adik dari Ibu T justru belum aku beri tahu soal rencanaku. Memang sebaiknya aku memberitahunya belakangan. Karena jika Suci tahu, itu sama artinya aku memberitahu manajemen mengingat Suci adalah keluarga dari pihak manejemen. Tapi aku merencanakan untuk memberitahunya besok, di saat mengerjakan laporan bulanan yang biasanya memang kami kerjakan berdua. Aku yakin kalau perpindahanku tak akan menjadi masalah besar atau dalam arti akan dihalang-halangi. Aku tahu persis manajemen di sini sangat mendukung apapun yang menjadi langkah maju bagi karyawannya. Hal ini pula yang membuatku berjanji untuk melakukan yang terbaik dan akan tetap membantu sekolah ini semaksimal mungkin. Mardi aku sudah beritahu saat tak sengaja bertemu di pagi hari. Kam imakan pagi berdua dan aku sampaikan segala yang ingin aku katakana kepadanya. Ia tampak senang dengan kenyataan yang ada. Ia sangat mendukungku dan malah memintaku untuk berjanji tak akan menyianyiakan kesempatan berharga itu. Ia percaya aku mampu berkembang di sana, terutama dengan karakterku yang selalu siap menerima tantangan. Akupun mengucapkan terimakasih atas semangat dan dukungan yang diberikan oleh Mardi. Aku juga mengucapkan selamat dan harapan yang baik untuk keberlangsungan proyek barunya. Lega rasanya sudah bisa berbagi rasa dengan orang yang tepat dan sosok yang kita hormati. Siang itu, usai makan siang aku mengerjakan laporan bulanan bersama Suci di ruang kerjanya. Sambil mengerjakan laporan aku coba ngobrol tentang berbagai hal termasuk kemampuan Risti yang semakin bagus. Tujuanku adalah untuk membangun suasana positif sebelum aku menyampaikan hal yang menjadi pokok pembicaraan. Selang berapa lama,

akhirnya laporan itu selesai kami susun dan segera kami rapikan. Kemudian aku sampaikan pada Suci kalau aku ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting. Akupun lantas mengatakan rencanaku itu padanya dengan lugas dan tanpa basa-basi. Suci pun lantas terperangah dan tak mempercayai apa yang baru saja aku sampaikan. Ia diam untuk beberapa saat sambil menanyakan “Benar nih?” secara berulang-ulang. Akupun meyakinkan bahwa aku telah mempersiapkan Risti untuk mengambil alih tugas ini dan Risti mampu untuk melakukannya. Pada akhirnya pihak atasan pun tahu akan rencana kepindahanku. Kami segera mengadakan rapat besar untuk melakukan penugasan baru dan pelepasanku. Satu hal yang kutangkap dari perkataan ibu T adalah ia sangat menghargai apa yang sudah aku lakukan dan ia mendukung penuh keputusanku untuk masa depan yang lebih baik. Ia bahkan sempat bergurau dengan mengatakan tubuhku boleh pindah tapi otakku tetap di sini. Aku justru menangkap bahwa ini sebuah apresiasi bagiku atas buah pemikiranku selama masa kerjaku di sini. Sempat ada isak tangis saat masing-masing menyampaikan kesan dan sepatah kata untukku. Suasana haru kian terasa saat Risti yang menyampaikan ucapan dengan berlinang air mata. Vero pun tampak terbawa suasana meski ia tahu hal ini lebih awal dibandingkan semua yang ada di sini. Di akhir acara, aku mengucapkan terimakasih kepada semua yang ada di situ dan berjanji akan tetap menjaga ikatan pertemanan yang baik. Acara ditutup dengan makan dan foto bersama.

Terhitung hari ini aku sudah tidak lagi mengajar di tempat Ibu T. Kini aku sedang menunggu hari dan tanggal aku masuk ke kantor pusat. Kemungkinan aku baru bisa memulai kerjaku di kantor pusat di awal minggu depan. Untuk sementara aku menikmati hari-hariku di rumah sambil memikirkan berbagai ide baru untuk pekerjaanku nanti. Selain itu, kemeja formal dan celana bahan menjadi contoh dari berbagai hal yang perlu kupersiapkan. Maklumlah, selama ini aku hanya perlu berbaju casual dalam pergi kerja, karena aku harus ganti dengan seragam pengajar. Sedangkan di kantor pusat, aku harus menyesuaikan outfit-ku, yaotu berpakaian yang lebih rapi. Di hari-hari awal pastinya aku akan merasa sedikit jengah dengan pakaian kerjaku. Namun aku yakin akan dapat terbiasa dengan pakaian formal. Aku berpikir untuk pergi ke Bandung mumpung aku punya banyak waktu. Akupun lantas menghubungi Vero yang tampak antusias dengan rencana

kedatanganku. Maka esok paginya aku segera pergi ke Bandung. Tempat yang aku tuju selalu sama, yakni di sebuah pusat perbelanjaan terkenal yang ada di Bandung. Entah mengapa, meski banyak tempat yang lebih bagus untuk dituju, tapi kami selalu memilih lokasi itu untuk tempat pertemuan kami. Secara tak langsung, Plaza itu menjadi sebuah tempat bersejarah bagiku. Selain area tempat kami bertemu, lokasi kami untuk makan pun selalu di tempat yang sama. Kadang kami mencoba untuk beralih ke tempat lain, tapi pilihan kami selalu kembali ke gerai yang menu andalannya adalah bakso Malang itu. Sungguh sebuah ketidaksengajaan yang berulang, yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Siang itu aku sedang menikmati menu yang biasa kupesan. Vero yang duduk di hadapanku tampak cantik dengan turtleneck sweater warna marun dan jeans birunya. Rambutnya yang biasanya dibiarkan terurai kini diikatnya ke belakang, sehingga kedua anting bulatnya tampak terlihat menawan. Segera setelah menikmati makan siang kami, Vero mengajakku ke

daerah

Lembang

untuk

mengunjungi

temannya

yang

sedang

mengadakan pembukaan sebuah properti baru. Kamipun meluncur ke daerah berhawa dingin tersebut. Sesampainya di lokasi, aku dikenalkan kepada teman Vero yang bernama Melissa. Kami segera menikmati suasana, berkeliling di sepanjang area hingga sore menjelang dengan udara yang semakin dingin. Lalu Vero mengajakku untuk pulang di saat langit sudah semakin gelap. Mengingat aku tak punya kerabat di Bandung, jadi aku rencanakan untuk mencari penginapan dengan skala biasa untuk sekedar beristirahat di malam hari. Namun Vero malah menawarkan agar aku menginap di rumahnya

saja.

Saat

aku

menanyakan

apakah

orangtuanya

memperkenankan, ia hanya mengatakan jika tidak akan menjadi soal untuk hal itu. Karena ia sudah mengatakan seperti itu, maka kamipun segera meluncur ke daerah Cimahi, dimana Vero tinggal. Taksi berinisal dua huruf itu membawa kami ke rumah Vero, melalui berbagai jalan yang tak aku pahami. Hanya satu area yang aku masih ingat, yaitu kami melewati daerah miter serta rel kereta api yang juga kami lalui. Rumah Vero sudah tampak di depanku. Rumah dengan model bangunan lama itu tampak asri dan memberikan kesan nyaman sebagai sebuah hunian. Kami tak langsung masuk, melainkan ngobrol berdua di teras depan. Beberapa lama saat kami sedang bercengkrama, muncul orangtua Vero

yang

segera

dikenalkan

kepadaku.

Mereka

terlihat

ramah

menyambutku. Terlebih setelah tahu aku berasal dari luar kota. Segelas

kopi dihidangkan kepadaku untuk menemani malam dinginku. Kami asyik ngobrol hingga larut malam, hingga kami masuk untuk beristirahat. Aku ditunjukkan tempatku untuk beristirahat, yang berada di bagian belakang rumah. Kamar itu cukup lega dan sangat nyaman untuk beristirahat malam ini. Jujur malam itu aku tak dapat tidur. Aku coba untuk memejamkan mata, namun mata ini tetap jauh dari rasa kantuk. Mungkin ini karena kopi yang aku minum tadi. Di malam yang hening itu, sayup-sayup terdengar suara orang sedang berbicara. Sepertinya itu suara Vero dan maminya. Sayang aku tak mengerti seluruhnya apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi ada tertangkap olehku saat mami dari Vero menanyakan statusku, yang tak dijawab oleh Vero dan mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Aku juga mendengar pesan sang mami agar Vero berhati-hati. Sisa pembicaraan aku tak dapat memahaminya karena masalah bahasa yang digunakan. Pagi itu aku telah bangun dan sudah selesai mandi. Aku menunggu sesaat di kamar, hingga Vero datang dengan membawa sepiring nasi goreng dan segelas teh. Vero sudah rapi karena memang hari itu adalah hari kerja. Setelah meletakkan piring dan gelas di atas meja, Vero mendekat padaku dan memberi kecupan di bibirku. Kulihat ia sempat mengawasi situasi sebelum melakukannya. Mungkin ia tak mau ada yang melihat apa yang ia lakukan. Tercium wangi tubuh Vero olehku. Ingin rasanya berlama-lama di dekatnya untuk menikmati wangi itu. Namun aku sadar jika aku tak mau membuat Vero terlambat hadir di tempat kerja. Aku segera menyantap sarapanku dan kami pun berangkat bersama. Kami akhirya berpisah di jalan dan aku kembali ke Jakarta. Siang hari itu aku sudah berada kembali di Jakarta dan berhadapan lagi dengan hiruk pikuk kota ini. Aku langsung kembali ke rumah dan beristirahat, karena perjaanan pulang terasa tadi lebih lama dari biasanya. Sore hari kuperiksa ponselku, ada pesan masuk dari Vero yang menanyakan bagaimana perajalanan pulangku tadi. Segera aku balas pesan itu dengan menyatakan kalau aku sudah sampai di rumah dengan selamat. Andai saja aku dan Vero tidak tinggal di kota yang berbeda, pasti akan lebih nyaman buatku untuk dapat betemu dengannya kapan saja. Rasanya tak sabar juga bagiku untuk segera masuk ke kantor pusat. Semakin cepat aku masuk ke pusat, semakin cepat pula aku kan berangkat ke Bandung. Tapi tampaknya aku harus lebih fokus ke pekerjaanku dibanding dengan kisah kasihku. Aku tak ingin timbul masalah karena ini.

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang juga. Kini aku resmi bergabung dengan jajaran kantor pusat. Sambutan hangat kudapatkan dari orang-orang di sana yang semuanya sudah kukenal dengan baik. Maklum, semasa masih bertempat di cabang yang lama, aku sering mondar-mandir ke kantor pusat mengingat operasional sekolah saat itu masih di bawah naungan kantor pusat. Di saat aku kini masuk menjadi staf di sana, memori itu masih terekam jelas. Berbagai hal yang sifatnya kurang atau dengan kata lain kekecewaaan terhadap kantor pusat juga masih kuingat selalu. Ini yang akan menjadi pedomanku selama aku bekerja di sini, agar kekecewaan itu tak semakin menyebar dan menguat di antara cabang-cabang yang ada. Ya, harus ada perubahan. Divisi training & development yang aku masuki masih dipimpin oleh sosok yang sejujurnya diragukan oleh seluruh cabang. Secara kemampuan dan pengalaman memang tak dimiliki sosok ini. Malahan ia sebenarnya lebih pas ditempatkan di divisi marketing atau administrasi. Setidaknya latar belakang pendidikannya akan menguatkan hal itu. Tapi entahlah, aku bukan pembuat kebijakan di sini. Tapi yang jelas, masuknya aku di divisi training & development mendapat sambutan hangat dan dukungan moril dari pihak cabang. Mereka berharap, dengan adanya orang yang berpengalaman terjun ke lapangan terlebih orang di bidang pengajaran, maka ia akan lebih peka terhadap permasalahan dan kendala yang kerap dihadapi di operasional harian sekolah. Tentunya hal ini tak akan dirasakan oleh mereka yang belum pernah berhadapan langsung dengan operasional sekolah. Lagi-lagi aku memiliki pedoman untuk menyemangati kinerjaku. Di langkah awal kerjaku, aku menyusun rencana kegiatan dan ide-ide yang perlu dilakukan agar aplikasi program di lapangan lebih dinamis. Hal ini sempat dipertanyakan oleh koordinator divisiku. Ia menyarankan agar mengulang materi yang lama saja sehingga pekerjaan akan lebih mudah. Sebagai orang yang lebih tahu soal medan pengajaran, aku memberikan argumentasiku dengan berbagai sudut pandang. Aku malah mengatakan akan bertanggungjawab jika terjadi sesuatu atas ide-ide pengembangan ini. Akhirnya ia pun tak bisa mengelak terhadap hal ini. Setelah adanya kesepakatan di antara kami, maka aku segera mengaplikasikan ide pengembangan ini dan mensosialisasikannya ke seluruh cabang. Tak disangka, respon dari cabang ternyata luar biasa positif. Pihak cabang merasa ada angin segar dengan pengembangan program ini. Pengaplikasian kegiatan di lapangan pun menuntut para pengajar untuk lebih kreatif dan

inovatif. Hal ini yang di garis bawahi oleh para pimpinan cabang. Ini membuaku makin bersemangat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik lagi. Jika diibaratkan seorang pemain sepakbola, aku adalah pemain yang saat dimainkan dapat mengubah pola permainan menjadi lebih baik serta enak untuk ditonton. Apresiasi pun kudapat pimpinan kantor, yang mengatakan kalau ia mendengar sambutan positif dari seluruh cabang atas kinerjaku. Tanpa bermaksud sombong atau besar kepala, respon seperti ini belum pernah disampaikan oleh cabang kepada kantor pusat sebelumnya. Perkembangan performaku membuat sang koordinator divisi semakin kecil perannya. Sejatinya, aku tak pernah ingin cari muka atau berusaha tampil lebih baik darinya. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk cabang dan nama besar sekolah ini, dengan kemampuan dan pengalaman yang aku miliki. Tentunya jika berdasar pada hal itu, sudut pandang kami jelas berbeda. Hubungan kami terasa makin renggang dan terkesan formalitas belaka. Soal ini aku sama sekali tak memedulikannya. Yang lebih aku pedulikan adalah bagaimana membuat segalanya menjadi lebih baik, tidak hanya bagi kantor pusat tapi juga untuk seluruh cabang. Karena cabang-cabang sekolah itulah yang sebenarnya menjadi ujung tombak dari lembaga pendidikan ini. Merekalah yang berjuang langsung di medan tempur. Merekalah yang berhadaan langsung dengan murid dan orangtua. Merekalah yang menerima langsung segala keluhan dan permasalahan yang ada. Oleh karena itu, aku merasa mereka benar-benar harus didukung secara penuh. Perbedaan orientasi kami

semakin

menguat. Aku

bekerja dengan

menggunakan sudut pandang di dalam dan di luar kantor pusat. Dengan kata lain, aku mempertimbangkan bagaimana sebuah progam disusun jika aku sebagai pelaksana di lapangan dan aku sebagai sang penyusun program. Di sini yang kulihat adalah soal kesesuaian atau sinergi tidaknya suatu program di antara semua pihak. Sedangkan sang koordinator hanya menggunakan satu sudut pandang yaitu bagaimana membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit. Padahal menurutku, kesulitan yang dilihatnya justru karena ketidakpahamannya. Ia tak mengerti apa yang dihadapinya. Jika ibarat sebuah medan perang, yang dilakukannya hanyalah untuk bisa bertahan di medan perang, tanpa memikirkan lebih jauh bagaimana cara untuk memenangkan peperangan itu. Perang dingin di antara kami sepertinya tak bisa mencair. Aku melihat jika ia tak berusaha untuk mencari solusi untuk memperbaiki kerjasama kami. Akupun lebih mementingkan bagaimana menjalankan kepercayaan yang

diberikan kepadaku untuk berada di posisi ini. Boleh dibilang, saat ini aku adalah penghubung antara cabang dan kantor pusat. Jika ini tak dijaga, maka hubungan kerjasama di antara kedua belah pihak tak akan bertahan lama. Cabang akan merasa dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan dan tak ada akses untuk menyampaikan aspirasi mereka. Ini yang aku coba tepis. Aku sedang membangun sebuah jembatan agar kami masing-masing dapat terhubung dengan baik dan semakin baik lagi. Jika terpaksa ini menjadi sebuah konflik terbuka, aku siap untuk adu ide dan argumentasi. Dengan demikian pimpinan bisa menentukan siapa yang punya visi lebih baik untuk mendukung kemajuan lembaga pendidikan dan yang lebih penting adalah merealisasikan tanggung jawab moral kepada anak-anak. Aku takkan main-main dengan apa yang kukerjakan saat ini. Jika ternyata sambutan yang ada justru sebaliknya, lebih baik aku kembali ke cabang di mana aku berasal. Setidaknya di sana aku dapat mengekspresikan segala yang kumau untuk anak-anak. Entah itu dalam mengajar atau menyusun program seperti ini, selama itu berkaitan dengan anak-anak, aku selalu melakukannya dengan hati. Ini bukan soal kebutuhan atau pencitraan semata. Prinsipku adalah aku hidup dari dunia pendidikan anak, maka aku juga harus memberikan kehidupan bagi dunia pendidikan anak itu sendiri. Terobosan-terobosan baru yang aku terapkan mulai menampakkan hasil di seluruh cabang. Performa para pengajar dinilai semakin meningkat dan lebih hidup. Selain itu, program yang aku susun pun bersifat adaptif, dalam arti bisa diterapkan dan diadaptasikan di semua cabang yang memiliki setting dan karakter yang berbeda. Dalam menyusun program, aku memang memperhatikan segi alur, fleksibiltas, fungsi, kemudahan dalam penerapan dan lain sebagainya. Jadi aku nggak mau asal menyusun, apalagi sekedar meng-copy apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Berbagai kebiasaan lama yang bagiku tak produktif dan monoton mulai aku ganti sedikit demi sedikit. Aku tak peduli jika aku dinilai sebagai penjilat atau sejenisnya. Bagiku, pimpinan kami bukan orang bodoh yang melihat hanya dari sisi hasil, tapi juga dari sebuah proses kerja yang baik. Aku yakin soal itu, bahkan sangat yakin.

8. Naik Tahta Hampir setahun sudah aku menjadi bagian dari divisi training & development. Perkembangan sistem pelatihan dan variasi program sudah lebih optimal. Hari itu sang koordinator belum terlihat di kantor, entah kemana dia pergi aku tak tahu. Selepas ngobrol sambil ngopi pagi bersama rekan kerja yang lain, aku segera masuk karena waktu bekerja sudah dimulai. Komputer aku aktifkan dan aku segera mengetik kerangka program untuk 1 tahun ke depan. Setidaknya aku punya gambaran apa yang akan aku terapkan di tahun ajaran selanjutnya. Jadi apabila ada perubahan sesuai situasi yang berlaku, aku tinggal menyesuaikan saja. Kira-kira satu jam berlalu, aku menerima panggilan dari sekertaris pimpinan yang mengatakan jika beliau mengehendaki aku menemuinya di ruangan pribadinya. “Hmm… ada apa gerangan?” pikirku. Seingatku tidak ada jadwal rapat antara aku dengan si boss hari ini. Tanpa menunda waktu lebih lama, aku segera beranjak dari tempatku. Sebelum menuju ke ruang pimpinan, aku memastikan kepada sekertaris kantor apakah bisa langsung menghadap

atau

perlu

menunggu

terlebih

dahulu.

Gadis

cantik

berkacamata dan berlambut gelombang itu memberi isyarat untuk langsung menuju kesana. Aku mengangguk dan lalu mendekat ke arah pintu ruang berwarna putih itu. Aku mengetuk pintu ruangan sebanyak tiga kali. Terdengar suara dari dalam mempersilahkanku untuk masuk. “Pemisi bu. Vanya bilang, ibu meminta saya untuk menghadap” ucapku sambil menutup kembali pintu ruang itu. “Oh iya. Duduk Ton” jawab si boss sambil tersenyum. kini aku duduk di hadapan pimpinan perusahaan yang memegang lisensi untuk sekolah ini. Ibu pimpinan lalu mulai menjelaskan alasan kenapa aku dipanggil menghadapnya. Ia menjelaskan bahwa sang koordinator divisiku tak lagi bekerja di kantor ini. Ia mengundurkan diri mulai hari ini dengan alasan ingin beristirahat dari segala kesibukan. Meski aku tak begitu suka dengannya, tapi aku kaget juga mendengar berita ini. Pasti ada alasan lain yang membuatnya mengundurkan diri. Setelah itu, akupun diinformasikan jika ia sempat bermasalah juga dengan salah satu cabang karena respon dia dalam menangani keluhan. Hmm… semakin jelaslah bagiku kemungkinan yang terjadi. Di pembicaraan itu ada juga kabar baik yang aku terima. Ibu pimpinan menunjukku untuk mengambil alih posisi koordinator divisi. Aku tersentak dan tak menyangka aku naik jabatan secepat ini. Tentu saja aku mengucapkan rasa terimakasihku kepada si boss dan berjanji akan

melakukan

yang

terbaik.

Rupanya

ibu

pimpinan

mempercayai

kemampuanku dan itu disampaikannya langsung kepadaku saat itu. Sejurus dengan pengangkatan ini, tentunya aku membutuhkan seorang asisten untuk membantu pekerjaanku. Aku sampaikan hal ini kepada pimpinan dan beliau menyambutnya dengan baik dan memintaku untuk mencari kandidatnya. Akupun mengatakan kalau aku membutuhkan seseorang yang berasal dari salah satu cabang, bukan dari luar sekolah. Hal ini untuk mempermudah pemahaman dan proses adaptasi. Segera aku membuat daftar kandidat siapa-siapa yang sekiranya yang bisa aku ajukan menjadi asistenku. Ada lima nama yang aku cantumkan di daftarku. Kelima nama ini tentunya harus aku ajukan terlebih dahulu kepada pimpinan untuk menjadi bahan pertimbangan. Setelah berpikir dan menimbang dari berbagai aspek, aku sudah mendapat kelima nama itu. Di daftar teratas ada nama Risti yang pasti tak mungkin akan kulupakan. Salah

satu

pertimbanganku

atas

Risti

adalah

kami

sudah

lama

bekerjasama dan kami saling tahu gaya kerja kami masing-masing. Selain itu, Risti juga kunilai bekerja dengan hati. Itulah hal mendasar yang aku cari dari para kandidat. Aku tak mencari orang yang pintar atau orang yang rajin. Aku bisa membina orang bodoh untuk menjadi pintar dan memaksa orang

malas

untuk

menjadi

rajin.

Tapi

untuk

membuat

orang

menggunakan hatinya, itu bukan perkara mudah. Itu terjadi secara natural, itu tak bisa dibuat-buat. Nama lain dalam daftar kandidatku adalah Rani. Ia adalah pengajar di salah satu cabang di Jakarta. Aku mengenalnya saat ada rapat gabungan yang biasa diadakan oleh kantor pusat. Biasanya Rani lah yang datang mewakili cabangnya. Orangnya asyik juga, nggak kaku. Ia juga punya visi yang bagus untuk pengembangan program. Pernah suatu waktu di salah satu rapat, ia membicarakan beberapa ide yang menurutku saat itu bagus untuk diterapkan. Bagiku, jika seseorang menghasilkan sebuah ide untuk pengembangan sebuah program pengajaran, maka ia pasti sudah melalui sebuah proses dalam dirinya. Tidak semua orang bisa berada di posisi itu. Hanya orang-orang tertentu dan yang pasti bukan mereka yang bekerja karena uang. Nama ketiga adalah Agus. Aku suka karakter Agus yang ceria, banyak ide alias kreatif, serta berani menerima tantangan. Sudah sering aku mendengar kabar soal kemeriahan dan ragam acara yang diadakan di cabang tempat Agus berada. Keberadaan Agus di divisiku tentu akan memberi warna tersendiri dan aku juga akan sangat terbantu dalam hal

pengayaan materi program. Sedangkan kedua nama lain, yaitu Elis dan Ita, kumasukkan dalam daftar kandidat karena mereka kunilai cukup aktif dan baik dalam hal melatih pengajar baru. Dari beberapa orang yang pernah bekerja bersama mereka berdua, selalu menyampaikan penilaian yang positif tentang mereka berdua. Tentunya jika salah satu di antara mereka yang terpilih, maka sudah jelas aku akan terbantu dalam hal pelatihan dan pengembangan staf pengajar yang baru bergabung. Setelah mantap dengan lima nama tersebut, segeralah daftar itu kuajukan ke pimpinan melalui si cantik Vanya, yang pagi itu tampak elok mengenakan atasan kemeja putih bermotif bunga-bunga biru serta blazer berwarna biru tua. Aku kembali ke meja kerjaku untuk meneruskan penyusunan kerangka program. Kira-kira tiga puluh menit selanjutnya, Vanya menghampiriku dan mengatakan Ibu pimpinan mau berbicara denganku. Aku berjalan di belakang Vanya yang mengenakan knee length skirt atau rok selutut berwarna bitu tua, serta sepatu heels pendek warna senada. Pintu ruang pimpinan diketuknya dan lalu segera dibukanya. Akupun masuk dan duduk di hadapan pimpinan, sedangkan Vanya pergi meninggalkan kami.untuk kembali ke meja kerjanya. Aku mendengarkan penuturan ibu pimpinan yang menjelaskan bahwa pada prinsipnya ia menyetujui smeua nama yang ada di daftarku. Yang jadi pertimbangan sekarang adalah kesiapan mereka masing-masing dan yang lebih penting adalah apakah pimpinan mereka akan melepaskan begitu saja kepergian aset berharga milik mereka? Menurut pendapat beliau, Ibu T tidak mungkin akan melepas Risti mengingat ia sudah kehilangan diriku sebelumnya.

Untuk

keempat

nama

lainnya,

aku

diminta

untuk

mengajukan surat pengajuan resmi ke masing-masing pemilik cabang. Beliau juga mengingatkan agar aku memberikan batas waktu konfirmasi jawaban atas surat pengajuan itu, sehingga pihak pusat bisa mengatur jadwal dan segala hal yang perlu disiapkan. Aku menyatakan kesiapanku dan segera pergi meninggalkan ruang kerja pimpinan. Semua surat pengajuan telah aku buat dan baru saja usai kukirimkan. Aku beri waktu mereka untuk memberi jawaban maksimal 3 hari setelah surat itu diterima. Di surat itu aku menyampaikan bahwa waktu 3 hari yang diberikan adalah untuk kepastian jawaban mereka apakah bersedia atau tidak. Selanjutnya, staf terpilih akan mengikuti seleksi dan wawancara dengan pimpinan terlebih dahulu. Staf terpilih baru akan resmi pindah di awal bulan depan, atau kurang lebih 3 minggu dari sekarang. Aku kembali memikirkan siapa yang kira-kira akan dipilih oleh pimpinanku. Aku juga

baru menyadari ketepatan alasan yang disampaikan atasanku mengenai Risti. Tak mungkin memang membiarkan posisi itu dipegang oleh sembarang orang. Terkecuali jika Risti memang telah mempersiapkan pengalihan itu. Tapi sepertinya itu mustahil untuk saat ini. Akupun tak pernah dikabari Risti jika ada persiapan seperti itu. Tiga hari berlalu, hari ini adalah hari di mana manajemen cabang harus menyampaikan jawaban mereka. Sengaja aku tak mau menghubungi mereka masing-masing untuk menanyakan apa kemungkinan jawaban mereka. Aku tak mau dinilai melakukan intervensi atau memberi pengaruh tertentu kepada keputusan mereka. Biarlah itu terproses seperti apa adanya. Kira-kira lima belas menit kemudian, aku menerima surat jawaban dari keempat cabang tersebut. Dari empat cabang yang kukirim pengajuan, hanya dua cabang yang mengkonfirmasi kesediaannya. Kedua cabang itu adalah tempat Rani dan Elis berada. Sedang cabang tempat Agus dan Ita menyatakan tidak siap untuk saat ini, mengingat mereka sulit untuk cari pengganti dari yang bersangkutan dalam waktu dekat ini. Surat jawaban mereka segera kulaporkan kepada atasan. Baik Rani dan Elis sudah kuhubungi untuk jadwal pertemuan di kantor pusat. Ada beberapa lembar dokumen penyeleksian yang mereka perlu isi dan setelah itu mereka melakukan wawancara dengan pimpinan. Mereka masing-masing dijadwalkan dalam waktu yang berbeda. Rani diatur untuk datang jam 09.00 WIB, sedangkan Elis pukul 09.30 WIB. Saat ini jam di kantor menunjukkan pukul 08.30 WIB. Kuteguk kopi panas yang baru saja aku siapkan. Panas minuman itu menghangatkan tubuhku di dinginnya ruang ini. Manisnya kopi ini kuharap akan semanis waktu-waktuku hari ini. Usai kunikmati, kuletakkan kembali cangkir kopi itu di atas meja. Tak lama kemudian, terdengar suara seseorang di luar sana. Ternyata itu Rani yang telah tiba. Rani langsung menemuiku dan memberi salam kepadaku. Sosok berambut lurus sebahu itu duduk di hadapanku. Aku menyapa dan menanyakan kabar gadis yang mengenakan rok A-line skirt warna hitam sepanjang lutut dan blouse warna merah marun itu. Ia menjawab dengan lembut dan menyatakan jika ia telah siap untuk mengikuti proses yang ada. Tanpa membuang waktu, aku berikan lembar isian yang harus dikerjakannya dan mengantarnya ke ruang rapat. Ruang itu memang disiapkan untuk penyeleksian kandidat. Selain tenang, ruang itu juga nyaman untuk mengerjakan

sesuatu

yang

meninggalkan Rani sendiri.

butuh

konsentrasi.

Akupun

berlalu

Sekitar tiga puluh menit kemudian, datanglah Elis. Gadis berpotongan rambut pendek dengan layer dan belah tengah ini tampak bernampilan lebih casual. Ia mengenakan celana panjang chino berwarna gelap yang dipadukan dengan atasan warna putih dan cardigan warna abu-abu, serta flat shoes atau sepatu model rata berwarna hitam. Elis kini sudah duduk di hadapanku. Aku ngobrol ringan dengannya sambil menunggu selesainya Rani mengerjakan lembar isian. Rupanya, tak lama berselang, Rani datang ke ruanganku dengan membawa lembaran yang telah terisi. Rani dan Elis pun lantas saling menyapa satu sama lain. Sekarang giliran Elis yang aku antar menuju ruang rapat dan Rani menunggu di ruanganku. Sambil menunggu wawancara disiapkan, aku gunakan waktu yang ada untuk ngobrol dengan Rani. Gadis bermata bulat dan indah itu tampak antusias dengan kesempatan yang aku berikan untuk ikut dalam seleksi ini. Beberapa menit kemudian, Rani mendapat kesempatan untuk mengikuti tahap selanjutnya, yaitu wawancara. Rani masuk ke ruangan pimpinan bersama Vanya. Sementara itu, rupanya Elis telah selesai dengan lembar isiannya dan aku memintanya untuk menunggu di ruanganku. Kamipun melanjutkan obrolan kami yang sempat terputus tadi. Gadis manis ini memiliki karakter yang sangat berbeda dengan Rani. Elis terkesan lebih tomboy, sedangkan Rani memang lebih feminin. Jika dilihat dari bahasa tubuh dan cara dia berbicaranya yang lugas, Elis memang cocok jika diberikan peran sebagai trainer atau staf pelatih. Rani sendiri lebih merupakan seorang pemikir dan konseptor, maka ia pas sekali untuk membantuku dalam pengembangan program. Setidaknya asumsiku ini telah kutuliskan semua dalam lampiran pengamatan yang kulaporkan kepada atasan bersama daftar nama kandidat. Tinggal bagaimana pimpinan melihat kesesuaiannya. Akhirnya kedua kandidat telah usai mengikuti wawancara. Kini mereka berdua dipersilahkan untuk pulang dan menunggu hasil seleksi yang akan diumumkan selambat-lambatnya dua hari ke depan. Kini aku berdiskusi dengan ibu pimpinan untuk membahas proses seleksi yang dilakukan langsung oleh beliau. Dalam diskusi itu, pak Albert sang Manager di kantor ikut serta dalam diskusi. Berbagai pandangan yang disampaikan oleh pimpinan rupanya sama seperti yang aku pikirkan. Pendapat kami sama, yaitu kedua kandidat, Rani dan Elis merupakan kombinasi yang pas jika disatukan di divisi yang aku pimpin. Kemudian ibu pimpinan meminta pendapat pak Albert mengenai proses seleksi ini. Tak disangka, pak Albert justru menyarankan agar keduanya direkrut bersamaan. Salah satu alasan yang disampaikan pak Albert adalah formasi tim ini akan dibutuhkan

mengingat dalam waktu-waktu ke depan kami akan dihadapkan dengan pembukaan beberapa cabang dalam jadwal yang berdekatan. Masukan

dari

pak

Albert

menambah

keyakinan

pimpinan

untuk

mengambil keputusan bulat, yaitu merekrut Rina dan Elis. Keduanya akan bergabung di awal bulan depan. Itu berarti sekitar 1 minggu lebih dari hari ini. Aku segera berkoordinasi dengan Vanya untuk mempersiapkan surat keputusan dari pusat dan dikirimkan kepada pimpinan cabang terkait. Setelah itu, kantor pusat juga harus membuat surat pengumuman kepada seluruh cabang atas hasil seleksi dan pengangkatan staf baru di divisi training & development. Hmm… ternyata manisnya hari ini memang semanis kopiku yang masih tersisa ini.

9. Unhappy Ending Tak terasa sudah dua tahun kami bertiga di tim ini bekerjasama. Penanganan cabang baru yang semakin bertambah jumlahnya menuntut kami untuk lebih bisa menjaga performa kami seiring dengan tetap terjaganya kualitas program yang kami terapkan. Dalam hal pelatihan dan pengembangan pun kami sudah memiiki sistem kerja yang baik dan terarah. Aku sangat senang dengan formasi ini. Kami bisa saling membagi tugas dengan baik untuk menyelesaikan pekerjaan, baik yang dilakukan di dalam kota, maupun saat salah satu dari kami harus menjalankan tugas ke luar kota dalam waktu yang relatif panjang. Kami bertiga secara bergiliran mengunjungi kota yang berbeda, sesuai di mana cabang baru akan dibuka. Biasanya kami akan berada di sana selama dua pekan hingga sebulan lamanya. Dari beberapa kota yang menjadi bagianku, kota Bandung menjadi tempat yang paling berkesan bagiku. Ya, memang karena faktor Vero yang membuat waktuku selama hampir sebulan menjadi lebih berarti. Kunjunganku ke Bandung memang berbeda dengan kunjungan di cabang baru. Di cabang Bandung yang memang sudah berdiri beberapa tahun lalu, sedang melakukan perombakan tim pengajar secara besar-besaran. Pengajar senior dipindahtugaskan ke cabang kedua di Bandung yang dibuka dua tahun setelah pembukaan cabang pertama di kota itu. Vero yang masih menetap di cabang pertama menjadi pendamping tetapku sehari-hari. Kedekatan kami semakin erat. Sementara hubungan kami juga belum tercium oleh staf di sana, juga oleh pemilik cabang Bandung. Oleh karena itu aku harus menjaga sikap agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Vero benar-benar membuatku senang untuk selalu berada di dekatnya. Ia selalu berusaha menjadi tuan rumah yang baik, serta menjadi sosok yang hangat di dinginnya udara kota Bandung. Vero memang telah merebut hatiku. Tapi jika berpikir tentang status hubunganku sebenarnya, aku malah tak bisa menemukan jawaban yang pasti. Aku tahu kalau sejak kami berkenalan dan hingga saat ini, Vero telah memiliki kekasih dan sepertinya ia tak mau menyudahi hubungan itu. Akupun tak mungkin bisa memaksakan kehendakku soal ini. Suatu hari saat aku sedang duduk berdua bersama Vero menikmati malam di kamar hotel tempatku menginap, terlintas di benakku untuk menanyakan soal keberlanjutan hubungan ini. “Vero, aku mau nanya sesuatu. Kali ini kamu harus jawab ya” ujarku kepadanya. “Soal hubungan kita? Kenapa kamu nanya itu terus? Kenapa kamu nggak bisa nikmati apa adanya aja? Emang

kenapa kalau kita jalanin seperti ini aja? Vero terus memberondongku dengan pertanyaannya. Terdengar nada Vero berubah lebih tinggi. “Bukannya aku nggak nikmati hubungan kita. Cuma akan lebih baik kan kalau aku dan kamu tahu mau kemana nanti arah tujuan kita” jelasku coba menenangkannya. Ternyata usahaku tak berhasil. Vero malah menjadi lebih emosional. “Kita jalanin aja seperti air mengalir. Kamu dari dulu tahu kan kalau aku udah punya pacar. Aku nggak mau putus dari dia Ton. Tapi ada sesuatu yang bikin aku ingin dekat dengan kamu, ada rasa yang membuat aku ingin jalan sama kamu, dan aku ingin menjalani ini seperti apa yang kita jalani saat ini. Akankah kamu bilang aku egois karena tak mau kehilangan semuanya? Yes, indeed I am selfish. Kamu keberatan Ton?” tanyanya sambil menatap tajam ke arahku. Belum sempat aku merespon pertanyaannya, ia sudah menghadirkan sebuah pertanyaan lagi. “Apa kamu bisa menjamin hubungan kita ke depan Ton? Kalaupun jawabmu kamu bisa, aku enggak Ton. Bagiku nggak ada jaminan apapun. Karena itu aku mau nikmati selagi nikmat itu masih ada” tegasnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Apa ini nggak berarti kamu bermain-main dengan hati, Vero?” tanyaku perlahan. “Aku nggak pernah main-main dengan hati Ton. Nggak akan pernah. Memang keputusan yang aku ambil sangat beresiko. Kamu bilang aku cari masalah, terserah… tapi aku nggak pernah mau mainin perasaanku dan perasaan kamu” Vero berkata dengan nada yang bergetar. Matanya kini mulai basah karena air mata. “I love you without knowing why…” ucapnya sambil terus menatapku dan berlinangan air mata. “I love you too Vero. Tapi sampai kapan kita mau seperti ini? Pertanyaan itu terus melintas di benakku. Maaf kalau itu mengusik rasamu” ungkapku sambil memegang tangannya. Vero melepaskan tangannya dari peganganku. Ia menatapku tajam dan terdiam sesaat. “Kamu mau pertanyaan itu hilang dari pikiranmu Ton? Kamu mau tahu sampai kapan kita begini? Jawabannya mungkin lebih baik sampai di sini. Sekarang kamu akan terbebas dari tekanan pertanyaanmu itu. Kamu nggak perlu kawatir soal aku. Aku punya kehidupanku sendiri Ton. Kehidupan yang selama ini sudah aku jalani. You have to worry about yourself. Just go and find your own life! Katanya sambil siap beranjak pergi. Aku berusaha menahannya dan mencegahnya agar tidak pergi. Vero menarik dirinya dengan keras. “That’s enough Ton. We’re done…” ujarnya sambil terus menangis. Ia pun berlalu tanpa aku bisa menahannya. Aku tahu betul siapa Vero. Jika ia memang mau pergi, tak ada yang bakal bisa

menghalanginya. Kini aku duduk terdiam, diam sediam-diamnya. Aku pandangi langit malam yang kosong tanpa bintang yang tampak olehku. Langit itu kosong, sekosong hati dan pikiranku. Langit itu gelap, segelap kisahku. Malam itu aku tak mampu untuk memejamkan mataku. Pikiranku terus mencoba mencari tahu mengapa ini bisa terjadi. Salahkah aku jika aku menanyakan hal itu padanya? Bodohkah diriku jika membuatnya untuk memilih? Benarkah aku jika membiarkannya berlalu? Aku tak tahu. Aku benar-benar tak bisa menjawabnya. Serasa kamar ini tak membantuku untuk menenangkan diriku. Aku beranjak pergi keluar kamar dan terus berjalan ke luar area hotel, tanpa tahu kemana aku kan pergi. Yang dipikiranku saat itu, aku hanya ingin menenangkan diri meski aku sendiri tak tahu harus bagaimana dan kemana. Aku terus berjalan dan mungkin sudah cukup jauh aku telah meninggalkan area hotel. Aku berhenti di warung kopi pinggir jalan. Aku memesan segelas coklat hangat dan menikmatinya sambil mengistirahatkan otot-otot tubuhku. Aku coba hubungi ponsel Vero tapi tak aktif. Aku kirim sebuah pesan permohonan maaf padanya dan berharap ia akan membacanya nanti. Aku masih duduk di warung itu. Malam itupun aku lalui sambil ngobrol dengan siapapun yang ada di tempat itu. Setidaknya aku melupakan sejenak rasa penat dan gelisahku. Mentari pagi kan hadir sebentar lagi dan aku putuskan untuk kembali. Rasa kantuk, lelah dan galau beradu menjadi satu di dalam diriku. Aku tak tahu apakah aku kan sanggup untuk tetap optimal menjalankan tugasku. Sepanjang hari itu aku tak mampu menjaga energi dan konsentrasiku. Vero sendiri tak hadir hari itu. Kabar dari sekolah, ia sedang kurang sehat dan izin selama 2 hari karena sedang berada di rumah neneknya. Aku mencoba melakukan tugasku dan berharap hari itu segera cepat berlalu. Aku beruntung tak ada hal yang diinginkan terjadi hari ini. Namun ada satu kabar dari pusat bahwa tugasku di sini akan digantikan oleh Elis karena aku harus kembali ke Jakarta untuk kemudian terbang ke kota Palembang untuk menjalankan tugas baru. Rencananya malam nanti Elis tiba di Bandung dan akan menginap di hotel yang sama denganku. Aku sendiri belum menerima kabar apapun dari Vero sejak kejadian semalam. Tak mungkin aku ke rumahnya karena alasan dia sedang berada di rumah neneknya merupakan kode kalau ia tak ingin ditemui oleh siapapun, bahkan oleh pihak sekolah sekalipun.

Hari itu kami pulang lebih cepat dari biasanya, karena pihak sekolah ingin mengadakan acara perpisahan untukku. Kami menghabiskan waktu untuk makan dan bersenang-senang di sebuah tempat makan yang bernuansa alami. Suasana malam itu cukup hangat dan menyenangkan, kecuali minus Vero yang bagiku merupakan sebuah kehilangan yang amat besar. Terlebih ia mungkin tak tahu jika hari ini adalah hari terakhirku di Bandung. Tapi apa mau dikata, akupun tak punya cara bagaimana aku bisa menghubunginya. Di hadapanku saat ini ada beberapa orang yang mengharapkan kegembiraanku di malam yang khusus mereka ciptakan untukku. Setidaknya sandiwara malam ini harus kuperankan dengan baik, tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka semua yang ada di sini. Aku kembali ke hotel setelah melakukan perpisahan dengan semuanya. Elis sudah tiba di hotel dan menungguku untuk melakukan koordinasi. Rencananya, aku kembali malam ini bersama mobil kantor yang mengantar Elis dari Jakarta. Pak Martono, sopir kantor kabarnya masih tidur untuk mengumpulkan kembali energinya. Taksi yang membawaku telah sampai di lobby hotel. Aku segera turun dan langsung menuju ke kamarku. Kamar Elis sendiri terletak persis di sebelah kamarku. Belum aku jauh melangkah, kudengar suara Elis memanggilku. Tampak ia berjalan dari arah luar lobby hotel menghampiriku. Kami segera terlibat dalam obrolan sambil berjalan mencari tempat yang pas untuk kami duduk di ruang tunggu hotel itu. Beberapa lama setelah kami ngobrol, kami segera menuju kamar kami karena aku harus segera menyiapkan semua barangku. Pak Martono rupanya sudah bangun dan sedang ngopi sambil menunggu aku siap untuk jalan. Aku sampai di rumah sekitar 2 pagi dan segera lelap dalam tidurku. Hari sudah beranjak siang, jam di kamar menunjuk pukul 10 pagi. Hari ini memang aku diberi izin libur sehari untuk beristirahat. Kulihat ponselku, ada sebuah pesan dari Vero. Segera kubuka dan kubaca. Toni, aku baru dengar ternyata kamu harus balik ke Jakarta secepat itu. Maaf aku nggak bisa ikut acara perpisahan dan nggak sempat ucapin apa-apa. I just wanna say thank you for everything. Mulai sekarang kita jalani hidup kita masingmasing. Biarlah yang kita jalani kemarin menjadi kenangan kita berdua. Hanya itu yang aku mau sampaikan. Aku rasa kita nggak perlu berkomunikasi dulu untuk sementara waktu ini. Kamu juga nggak perlu balas pesan ini. Sekali lagi, makasih ya Ton. Aku terdiam sejenak. Entah apakah harus senang atau sedih menerima pesan ini. Tapi kenyataan pahit ini memang harus kuhadapi. Ku memang

tak mampu tuk membohongi diri jika aku merasa kehilangan dan rindu akan dirinya. Tapi aku juga nggak mau terbelenggu oleh mimpi yang tak mungkin dapat kuwujudkan. Seperti yang Vero katakan kemarin, aku harus mencari dan menjalani hidupku selanjutnya. Aku menghela nafas panjang. Kurebahkan kembali tubuhku meski ku tak ingin tertidur lagi. Terbayang kenangan-kenangan yang tergambar jelas di benakku. Mengapa dada ini sesak terasa? Mengapa mata ini basah seketika? Mengapa yang kucinta tak bisa kupunya? Mengapa aku yang dia rasa tak menjadi utama? Mungkin aku terlalu pengecut untuk tetap maju memperjuangkannya. Mungkin aku terlalu hampa untuk menjamin nafas hidupnya. Jika aku saja tak

mampu

meyakinkan

diriku,

bagaimana

bisa

berharap

untuk

menyakinkannya? Benarkah aku hanya sekedar menikmati rasa hatinya? Benarkah aku tak punya kendali tuk tentukan arah kemana? Adakah tanya yang bisa kujawab? Adakah keberanian untuk menatap? Nyatanya aku tak cukup berani. Mungkin malah aku memang tak punya nyali. Ibarat pertandingan, aku bermain tanpa strategi. Terkesan aku hanya suka berhaha-hihi.

Aku

cuma

sekedar

memegangnya

namun

tak

menggenggamnya erat. Aku ingin mendekap tapi tak mampu membuatnya mendekat. Kini ia telah pergi. Entah arah kemana yang ia jalani. Yang pasti, ia tinggalkan aku sendiri. From now on, go and find you own life Tony… 365 Hari Selanjutnya. Setahun sudah sejak aku dan Vero tak bersama. Dunia kerja dan dunia asmara ku ternyata tak berputar dengan kecepatan yang sama. Dalam pekerjaan aku dan tim semakin solid. Tapi untuk membuka hati ini terasa amat sulit. Meski ada Nina di Palembang dan Via di Batam yang membuka pintu untukku di masa yang berbeda. Aku tetap saja tak beranjak tuk memasukinya. Untuk soal ini aku hanya jalan di tempat. Sementara untuk kerja aku sudah jauh melompat. Aku terus alihkan fikirku untuk bekerja, meski aku bukan orang yang gila kerja. Memang aku punya banyak kenal perempuan. Tapi mereka hanya sebatas teman. Kalaupun dekat mungkin hanya sebagai sahabat. Di sekitar enam bulan ini ada hal yang cukup mengganggu di lingkungan kerjaku. Posisi pimpinan diganti oleh kerabat ibu. Orang ini, sebut saja dia Tuan Arogan, memang memiliki karakter yang angkuh, tak bersahabat dan hanya berorientasi pada bisnis semata. Ia tak peduli dengan aspek pendidikan atau terlebih tanggung jawab moral pada anak-anak. Yang ia ingin tahu adalah bagaimana seluruh cabang dapat mendatangkan keuntungan yang lebih banyak dibanding masa sebelumnya. Hubungan

pusat dengan cabang semakin tak harmonis. Mereka sekarang tak sekedar kritis, tapi lebih terkesan sinis. Selalu saja ada yang jadi masalah. Si boss pun tak bergeming dan terus berulah. Situasi yang dulu manis kini menjadi kian kritis. Aku yang sejak dulu berusaha membangun hubungan dengan cabang kini kena getahnya. Bagaimana tidak, aku dan rekan se tim yang selalu berhadapan langsung dengan mereka yang ada di cabang. Kami yang selalu mendapat keluhan, kami yang langsung menghadapi kritikan. Situasi ini menjadikan ku semakin gerah. Aku lantas putuskan memberi target waktu sebulan bagiku untuk bertahan. Sepertinya aku harus mengambil langkah mundur dari jabatanku karena aku tak lagi kerja dengan perasaan nyaman. Aku tak ingin jadi orang yang tak berperasaan. Beberapa cabang mulai menghentikan kerjasamanya satu per satu. Kondisi ini terkamuflase dengan adanya beberapa cabang baru. Namun sebenarnya kami tak bergerak maju. Kehancuran kami hanya tinggal menunggu waktu. Aku tak mau saat itu terjadi aku masih berada di situ. Surat pengunduran diriku telah aku ajukan kepada Tuan Arogan dan dia sama sekali tak keberatan dengan pengajuanku. Padahal setelah itu semua cabang mempertanyakan bagaimana bisa pihak pusat melepaskan aset berharga mereka begitu saja. Berita pengunduran diriku memang mengejutkan semua pihak. Secara diam-diam, aku masih membantu mereka agar tetap bisa leluasa bergerak. Aku bergerilya dari cabang satu ke

cabang

lainnya

untuk

memberikan

pengkayaan

materi

dan

pengembangan program. Beberapa lama pergerakan dalam hening ini kujalani, Ini semata-mata karena tanggung jawab moralku kepada mereka semua. Mereka memulai dari nol dan nyaris berujung anti klimaks. Akhirnya memang situasi tak tertolong lagi. Lembaga pendidikan itu akhirnya runtuh dan sebagian besar para pemilik cabang berganti baju dan mengibarkan bendera yang lain. Beruntung Ibu T yang sebelumya telah mendirikan lembaga pendidikan lain yang dimotori oleh Mardi. Kini lembaga itu semakin menancapkan kukunya dan sayapnya semakin berkembang

hingga

mampu

mengambil

alih

cabang-cabang

yang

membutuhkan induk semang baru, Mardi sendiri juga tak lagi bergabung dengan ibu T. Kabarnya sempat ada sedikit masalah di antara kedua belah pihak. Entah dimana atau kemana gerangan Mardi saat ini. Aku sendiri mencoba mencari jalan lain. Di samping melayani beberapa tempat untuk pelatihan program motorik secara lepas, aku mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini.

Kesempatan ini mejadi hal yang menarik bagiku, mengingat sudah lama aku tak terjun langsung ke kelas untuk mengajar. Meski aku yakin kemampuanku tak akan hilang, tapi memang aku butuh waktu untuk beradaptasi lagi dengan situasi ini. Sejatinya, aku memang suka dunia pengajaran, khususnya mengajar di bidang yang aku dalami. Aku suka berada di antara anak-anak. Aku tak akan pernah bosan dengan keceriaan dan segaka hal yang ada pada anak-anak. Melakukan kegiatan bersama anak-anak selalu aku jalankan dengan sepenuh hati. Aku beruntung bertemu dengan pemilik sekolah yang memiliki visi dan misi yang sesuai dengan jalan pikiranku. Orientasi orang yang aku sebut sebagai ibu R ini sungguh ideal untuk mereka yang menjalankan usaha di bidang pendidikan anak usai dini. Terlebih ibu R memiliki perangai yan gamat baik, lembut dan sangat menghargai setiap orang. Beberapa kali pertemuan aku lakukan dengan beliau untuk membahas kerjasama di antara kami. Sebagai orang yang telah berpengalaman, tentu aku memantaskan diri untuk tidak bisa dipandang sebelah mata. Posisi tawarku pun harus diperhitungkan. Namun ini bukan soal materi semata, tapi berkenaan dengan keleluasaan ku dalam menjalankan program. Aku memang cenderung idealis dan punya pakem sendiri dalam melakukan pekerjaanku.

10. Asa Baru Jika menilik dari posisi, mungkin orang bilang keputusanku ini merupakan sebuah kemunduran. Tapi jika aku mengacu pada kemampuan dalam mengajar, ini justru sebuah tantangan baru dan proses pembelajaran lebih lanjut. Hal ini karena lingkungan dan tuntutan yang berbeda membuat dinamikanya menjadi berbeda. Aku senang dengan penawaran dan kesempatan ini. Duniaku serasa kembali berseri. Semangatku terasa semakin tinggi. Energiku seakan semakin terisi. Aku akan melakukan yang terbaik entah itu untuk sekolah

dan untuk anak-anak. Akupun

mempersiapkan ide dan gagasan yang sekiranya dapat aku aplikasikan di tempat baruku. Aku

yakin

tak kehabisan ide

untuk melakukan

pengembangan programku. Di sekolah itu, meski aku menangani berbagai kelompok usia, namun aku lebih difokuskan untuk mengembangkan usia balita. Tentu ini bukan masalah besar bagiku, mengingat aku memulai karirku juga mengajar di rentang usia seperti ini. Yang menjadi satu hal menarik adalah, aku merupakan satu-satunya pengajar pria di sekolah itu. Ini juga bukan menjadi masalah, karena sejak dulu pegajar pria memang lebih sulit ditemukan, terlebih untuk mengajar anak di usia balita. Dengan sudut pandang yang masih dipakai oleh kebanyakan laki-laki untuk pekerjaan ini, bagiku justru sebaliknya. Laki-laki yang mampu melakukan pekerjaan ini adalah mereka-mereka yang istimewa. Mereka tak lagi mengedepankan otot, gengsi atau segala hal yang bersifat maskulin. Mereka pakai hati, kelembutan, kesabaran dan mengedepankan sosok ayah yang ideal. Bagaimana jika orang tak setuju dengan pandanganku ini? Tak masalah. Toh aku sudah buktikan kalau pekerjaan ini telah menghidupiku dan menghidupkanku. Bagiku, anak-anak adalah sumber segala ide. Mereka adalah sumber segala keceriaan. Mereka adalah polos yang sebenarnya. Mereka adalah kejujuran yang nyata. Tak ada kegalauan atau kepenatan apapun yang tak runtuh oleh tawa mereka. Tak ada kesedihan dan amarah yang tak luluh oleh senyum mereka. Jika seseorang tak luluh oleh senyum dan tawa anak-anak mereka, coba periksa otak dan hatinya, apakah keduanya itu masih ada di sana. Aku tak butuh waktu lama untuk dapat beradaptasi di tempat baruku ini. aku langsung dapat melebur dengan seluruh pengajar, orangtua, apalagi terhadap anak-anak di sana. Bekerja di tempat ini sungguh sangat menyenangkan,

suasana

yang

nyaman

dengan

orang-orang

yang

menyenangkan membuat waktu berjalan teramat cepat dan tak pernah

membosankan. memanusiakan

Apalagi

kami

manusia.

Itu

dipimpin

oleh

benar-benar

sosok menjadi

yang

sangat

pengalaman

berhargaku. Aku yang di sekolah dipanggil dengan pak Toni, menjadi satu warna baru di kehidupan sekolahku. Akupun tak mau terlena dengan kenyamanan yang ada. Seperti sudah menjadi karakter dan janjiku, aku akan selalu melakukan yang terbaik. Sekolah tempat aku bekerja, merupakan sebuah gedung berlantai 4 dengan bangunan yang cukup megah. Gedung besar itu berwarna biru muda dengan sentuhan warna putih dan biru tua di beberapa bagian. Halaman depan yang luas dengan area parkir di samping kiri dan kanan gedung manambah kemegahan sekolah itu. di bagian belakang gedung terdapat lapangan terbuka yang biasanya dipergunakan untuk kegiatan olehraga dan upacara. Di bagian dalam terdapat pula area bermain bebas, serta lapangan tertutup. Pendeknya, untuk soal fasilitas sekolah di sini sudah sangat lengkap dan memadai. Kendati demikian, masih ada juga beberapa penambahan fasilitas yang diadakan oleh pihak sekolah. Ini semua bukan untuk ajang gengsi atau unjuk kemegahan, namun semata-mata untuk memenuhi kebutuhan proses tumbuh kembang dari anak-anak. Salah satu fasilitas baru dan menjadi ikon tersendiri adalah ruang di mana tempat aku mengajar. Ruang itu cukup luas dengan bentuk ruang persegi tanpa pilar atau tiang penyangga yang mengganggu. Bentuknya sangat simetris dan dengan ukuran yang sengat ideal. Di ketiga sisi ruang terdapat lapisan cermin besar yang mampu merefleksikan setiap ekspresi yang ditampilkan oleh setiap anak. Jika aku berada sendiri di ruang itu, kesunyian dan hawa dingin adalah dua hal yang tak dapat dihindari. Meski ruang itu minim perabotan, namun lapisan cermin dan alas pengaman di lantai cukup baik untuk meredam suara dan menetralisir gema. Kalau soal suhu udara jangan ditanya. 3 pendingin ruang di sini selalu bekerja maksimal dalam dan keadaan yang terawat baik. Segala yang tersedia membuat pekerjaanku berjalan dengan baik. aku sendiri yang meramu dan mengaplikasikan ide dan programku. Muridmurid dari berbagai kelompok usia akan datang ke ruangku dengan antusiasme dan kegembiraan mereka yang meledak-ledak. Di setiap kesempatan atau saat hadir untuk menjalankan program motorik, mereka seperti memiliki kebiasaan yang terkondisikan. Mereka selalu beramairamai akan berlari ke arahku dan menubrukku hingga terjatuh dan tertindih oleh tubuh mereka. itu kami lakukan untuk sekedar bersenangsenang, tanpa bermaksud tidak hormat atau apapun itu. ‘Boleh dibilang,

ini semacam ritual yang selalu kami lakukan di awal kegiatan. Setelah itu, mereka akan berbaris atau duduk rapi di atas matras menunggu instruksi dariku. Jadi, tak pernah ada masalah soal itu. Seperti halnya pagi ini, aku kedatangan murid kelas TK Kecil yang tampak sudah semakin mendekat. Ini dapat kutandai dari suara tawa dan canda mereka saat menuju ke ruang ini. Akupun bersiap duduk tegak untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Benar saja, pintu terbuka dan ucapan selamat pagi terlontar bersama memecah keheningan ruang ini. Dalam hitungan detik, tubuhku terpental ke belakang bagai diterjang ombak dan akupun terlentang dan menahan tumpukan bocah-bocah yang sudah berada di atasku. Yang bisa kulakukan adalah tetap tertawa sambil membebaskan

diri

dari

kerumunan

itu.

Ini

tradisi

kami

yang

menyenangkan. Selanjutnya mereka sudah mengambil posisi mereka, yaitu duduk menghadap cermin. Kegiatan kami per sesi berlangsung kurang lebih 45 menit hingga 1 jam, tergantung dari kebutuhan program terkait. Hari ini kami berlatih melompat dan meloncat dengan rintangan. Selain itu, tentunya aku akan menyusun

perlatan

bermain

agar

mereka

dapat

mengekspresikan

keinginan mereka untuk bergerak, sekaligus untuk melatih kemampuan motorik kasar mereka. Salah satu murid di kelas ini yang banyak bercakapcakap denganku adalah Kirana. Dia agal gadis kecil berwajah cantik dan berambut panjang sepunggung. Matanya yang besar tampak selalu ceria dan bersinar. Seperti biasa, jika ada jadwal untuk programku, rambut lurusnya diikat ke belakang untuk memudahkannya dalam bergerak serta tak mengganggu pandangannya. Di hari-hari lain, biasanya ia mengenakan bando di kepalanya. Ia sering membicarakan berbagai hal saat bertemu denganku. Hari ini, topik yang diceritakannya adalah boneka barunya. Ia mengatakan kalau ia memiliki boneka beruang yang baru dan sama dengan bonekanya yang lain. “Jadi sekarang Kirana punya boneka kembar. Mereka beruang yang sama” begitu celotehnya. Saat kutanya siapa nama kedua boneka kelinci itu, ia menjawab Mimi dan Momo. Hari ini ia masih seperti biasa, enerjik dan ceria. Ia bisa bermain dengan siapa saja kawan yang dimilikinya. Meski demikian, ia tampak lebih akrab dengan dua temannya, yaitu Tasya dan Aurel. Senang rasanya bisa melihat mereka menikmati apa yang aku ajarkan dan terlebih jika aku dapat melihat perkembangan mereka selama mengikuti kegiatan ini.

Dari kelas mereka ini saja dapat terlihat perbedaan kualitas gerak mereka sebelum dan sesudah mereka mengikuti programku. Mereka tampak sudah bisa menjaga keseimbangan dan kontrol tubuh saat melakukan gerakan tertentu. Saat bermain dengan alat peraga, misalnya tangga panjat setinggi 180 cm pun tampak sudah lebih percaya diri dan bisa menetralisir rasa takut mereka. Kenyataan seperti itu adalah sebuah pengalaman berharga dan sesuatu yang tak bisa dibayar dengan uang. Sungguh merupakan sebuah penghargaan tertinggi bagi seorang pengajar jika pencapaian sekecil apapun dari anak dapat terpantau dan diapresiasi oleh orangtua atau pihak penyelenggara pendidikan. Tanpa mengesampingkan pentingnya materi, menghargai tanpa merupiahkan adalah jauh lebih berarti.

11. Cinta Tak Terduga Tak terasa, sudah hampir enam bulan aku mengajar di sini. Sejak bekerja di sini, aku lebih banyak punya waktu luang di sisa hariku dan itu aku gunakan untuk setidaknya menikmati musik kegemaranku, musik cadas, entah sekedar dari audio player di rumah atau pergi nongkrong bersama kawan-kawan lamaku. Sebagai seorang yang masih muda, aku tetap menjalankan kehidupan pribadiku sebagai Toni, bukan sebagai seorang guru. Walaupun predikat itu selalu akan terbawa olehku kemana-mana. Tapi aku tetap manusia yang perlu pemenuhan akan kebutuhan diri. Salah satunya, ya nongkrong bersama teman, sambil menikmati live music di sebuah tempat dalam setting tempat apapun itu. Biasanya saat nongkrong dan menikmati musik itu, aku dan teman-teman mengkonsumsi bir berkadar alkohol yang relatif ringan. Meski aku juga minum, tapi tujuanku tidak sekedar mabuk-mabukan, apalagi kemudian membuat onar. Kami cukup tahu diri untuk tidak berbuat bodoh. Kami juga selalu bisa menjaga diri selama ini. Kebetulan aku juga berkumpul dengan teman-teman yang tak ‘bersumbu pendek’ yang mudah untuk meledak jika ada sdikit gesekan. Sebaliknya, kami justru

saling

menjaga dan

mengingatkan jika terjadi sesuatu. Pendeknya, aman terkendali. Biasanya kami lebih sering berkumpul di akhir pekan atau hari-hari tertentu saat ada acara khusus atau perayaan kecil-kecilan. Satu waktu, disaat aku sedang hangout bersama kumpulan, kebetulan waktu itu ada teman yang sedang manggung bersama band-nya. Seperti biasa, kami memesan beberapa botol bir sebagai hidangan kami. Di tengahtengah acara, di antara hentakan musik rock dan kepulan asap rokok yang mengisi udara di ruangan, aku beranjak dari tempat dudukku untuk menghampiri rekanku yang duduk di sisi lain ruangan. Saat sedang berjalan, aku berpapasan dengan sesorang yang wajahnya tak asing bagiku. Aku yang sedang memegang botol bir di tangan kiriku melihat sosok itu juga memegang botol yang sama di tangan kanannya. “Eh, Pak Toni ya?” tanya sosok itu terkesan basa-basi. “Eh, papanya Clara ya?” ujarku membalas sapaannya. Ya, dia adalah salah satu orangtua murid di sekolahku. Saat itu, meski situasi jadi serba kikuk, tapi tak ada lagi perlunya bersandiwara. Kami ngobrol sejenak dan lalu sama-sama memisahkan diri. Kejadian ini pertama kali kualami sejak aku bergerak di bidang pendidikan anak usia dini. Bagiku apa yang kulakukan di luar lingkungan kerja adalah dunia dimana aku menjadi diriku sendiri. Di dunia itu, akupun berhak melakukan

apapun selama itu tidak merupakan tindakan kriminal atau sesuatu yang mencelakakan anak-anak. Terkadang, kita tak menyadari kalau kita memang harus menjalankan beberapa peran yang berbeda dalam kehidupan

sehari-hari.

Seringkali

memang

kita

dituntut

untuk

menunjukkan perwujudan yang berbeda di setiap peran kita. Bahkan mungkin masing-masing peran saling bertolak belakang. Sekali lagi, tak sedikit orang yang tak setuju denganku. Tapi biarlah, toh aku juga tak memaksa mereka untuk setuju atau menyukai apa yang aku perbuat. Sebaliknya, akupun tak mau ambil pusing dengan bagaimana cara orang menjalankan hidupnya. Selama itu tak menggangguku, terserah saja apa mau mereka. Tapi kalau sama-sama asyik, mari kita jalan bersama. Langit malam terlihat pekat. Namun cuaca tampak bersahabat. Kulihat bintang bertebaran dan bulan dalam bentuk lingkaran. Aku sedang dalam lajuku menuju tempat yang kutuju. Motor merahku kupacu tak terlalu laju. Itu karena aku memang tak tak perlu buru-buru. Kunikmati saja santaiku dengan melalui ramai kotaku. Tak berapa lama lagi aku kan sampai di tempat itu. Lokasi tempat kami berkumpul kini sudah ada di depanku. Kuparkirkan motorku di sisi kiri jalan yang di batasi dengan beberapa batu. Di ruang dalam tampak sudah terlihat beberapa orang. Yang pasti makin malam makin banyak yang akan datang. Di meja yang sudah kami pesan sudah ada beberapa teman yang telah menunggu. Ada Adi orang Cinere, ada Soni orang Mampang, Iwan yang tinggal di Bintaro dan Tulus yang rumahnya di Pasar Minggu. Kami pun saling menyapa dan segera tenggelam dalam kemeriahan malam itu. Seperti yang kuduga, semakin malam tempat itu semakin ramai dengan manusia. Kawanku pun semakin banyak jumlahnya. Malam itu, salah satu temanku sedang main musik bersama band-nya. Frans, temanku yang mau bermusik ria ini datang membawa beberapa rekannya. Kami saling mengenal dan duduk bersama. Di antara mereka ada satu yang cukup menyita perhatianku. Salah satu dari teman Frans yang hadir adalah seorang wanita berpostur sedang, berambut panjang lurus melebihi bahu. Matanya lebar berbinar. Bibirnya

tipis

dan

senyumnya

sangat

manis.

Posturnya

sedang,

pembawaanya terlihat sangat tenang. Namanya Rana. Saat itu Rana mengenakan turtleneck warna hitam tanpa lengan serta celana jeans wana gelap. Ia terlihat cantik dan elegan dengan warna hitam. Saat itu, sebagian besar dari kami memang mengenakan pakaian serba hitam, meski itu tak kami rencanakan sebelumnya. Aku yang duduk tepat di dekatnya tak

mampu menampik betapa harum wangi tubuh wanita ini. Gayanya saat merokok mengingatkanku pada Vero. Walau aku sendiri bukanlah seorang perokok, aku tak pernah mempermasalahkan seorang wanita dewasa yang merokok, meski itu adalah kekasihku sekalipun. Malam itu kami terbius dalam hingar bingarnya musik yang dimainkan. Kami terlibat dalam percakapan apa saja. Termasuk antara aku dan Rana. Waktu terus berlalu hingga tembang terakhir telah usai dimainkan oleh temanku. Kami kembali berkumpul dalam kelompok yang lebih besar. Tak lama setelah itu, rombongan Frans harus memisahkan diri karena mereka harus pindah ke lokasi lainnya. Rana yang sebelumnya datang bersama mereka juga ditawarkan Frans untuk ikut serta. Namun sepertinya Rana enggan untuk berpindah tempat, meski ia sempat ragu saat Frans menanyakan bagaimana aia pulang nanti. “Entar gua naik taksi aja. Nggak masalah kok Frans” katanya. “Kalau mau naik motor, biar bareng sama gua” ujarku sontak menawarkan ide. Tak disangka Rana menganggukkan kepala, dengan menatap Frans sambil menunjuk ke arahku. Kamipun meneruskan waktu kami di tempat itu. satu per satu kawan kami bepergian. Kini tinggal kami berempat, aku, Rana, Soni dan Tulus. Kedua manusia yang kusebutkan terakhir tadi memang rumahnya tak jauh dari kawasan Kemang, tempat kami nongrong malam itu. Tak terasa waktu kami sudah sampai di penghujung waktu. Saat itu jam di ponselku menunjukkan pukul 02.15 WIB. Kami berempat berpisah di tempat parkir. Soni dan Tulus pergi berdua dengan motor mereka, sedangkan aku dan Rana masih di sekitar lokasi itu. Rani masih perlu untuk membeli rokok di warung pinggir jalan. Setelah itu kami masih sempatkan diri makan nasi goreng yang masih mangkal di dekat situ. Tak kusangka perjumpaanku pertama dengan Rana berjalan lancar, dalam arti aku dan dia bisa menghabiskan waktu berdua tanpa ada prasangka apapun meski kami baru pertama bertemu. Usai makan dan selesai dengan rokoknya, Rana mengajakku untuk pulang. Sebelum beranjak ke tempat parkir, ia sempatkan dulu untuk menelpon seseorang. Lalu ia menepuk bahuku untuk menandakan saatnya untuk pergi. Kami berdua menuju parkir motor yang terletak di seberang tempat kami makan tadi. Tak butuh waktu lama, aku dan Rana sudah meluncur di atas motor menuju sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari situ. Rana memutuskan untuk naik taksi dari tempat itu, mengingat lokasi ia tinggal memang cukup jauh ke arah barat, berlawanan denganku yang ke arah timur. Setelah menitip pesan kepada sang sopir untuk berhati-hati dan

mendokumentasikan nomer lambung taksi tersebut, aku melepas Rana pulang. Ternyata pertemuanku dengan Rana berkelanjutan layaknya drama berseri. Kami sering bertemu, entah itu kala bersama rekan-rekan nongkrongku atau sekedar berduaan saja. Tampaknya Rana memang tak punya banyak teman, meski ia bukan tipe orang yang tertutup juga. mungkin ia hanya selektif saja untuk dekat dengan seseorang. Jika memang demikian, berarti aku tergolong lolos seleksi dong? Boleh lah sedikit sombong dan berharap. Dari pertemuan kami yang terjadi beberapa kali itu, yang kurasa adalah Rana tampak nyaman saat bersamaku. Ia tak perlu jaim atau harus menjaga tingah lakunya saat bersamaku. Ia pun mulai terbuka kepadaku. “Ton, gua mau cerita sama lu ya. Gua jarang lho mau cerita tentang kehidupan pribadi gua sama orang lain” ucapnya sambil meminum hot cappuccino-nya. “Cerita apa Ran? Gua orang yang bisa dipercaya kok” jawabku berusaha meyakinkannya. “Gua orangnya gak mau banyak cerita tentang diri gua dan gua juga bukan tipe orang yang suka nanya tentang diri orang. Jadi ya kayak selama jalan sama lu, gua kan begitu-begitu aja” ucapnya sambil mulai mencari posisi yang pas untuknya. “Iya sih. Gua juga pikir gitu. Tapi gua malah senang kalau ketemu orang kayak gitu, jadi nggak ribet” responku. Rana menyetujui ucapanku dan kami melakukan toss dengan tangan kami. “Lu nggak cuma mau ngomong itu doang kan Ran?” tanyaku sambil tersenyum. “Enggaklah. Itu baru intro doang” jawabnya sambil ikut tersenyum. “Gua mau kasih tahu lu, status gua udah pernah married. Gua single parent Ton. Anak gua satu, cewek umur 4 tahun lebih, panggilannya Nana” jelasnya sambil menatap dan mengaduk minumannya. “Terus kalau boleh tahu, lu pisah sama suami karena apa?” tanyaku dengan hati-hati mengingat ini adalah hal yang sangat sensitif. “Gua cerai sama dia karena dia abusive. Dia kasar banget Ton sama gua. Sering ada kekerasan di rumah tangga gua. Yang terakhir pas Nana masih bayi, gua sampai udah pasrah. Gua pikir gua bakal mati saat itu. Untung ketahuan pembantu gua, terus dilaporin ke satpam sama ke nyokap. Keluarga gua marah banget, hampir urusannya panjang saat itu. Akhirnya gua cerai sama dia dan Nana ikut gua” ungkapnya dengan nada yang kian bergetar. Tampak ia berusaha menahan air matanya agar tak berjatuhan. Kuberikan tisu kepadanya dan ia menerimanya.

“Sekarang mantan suami lu ada dimana Ran?” tanyaku ingin tahu. “Mati!” jawabnya singkat. Dia orangnya pemakai Ton, dia mati overdose” imbuhnya. “Oh gitu” timpalku. “Terus gimana lu jalani hidup lu selama ini Ran? Maksud gua cara lu menghidupi dan membesarkan Nana” tanyaku pada Rana. “Gua bantu usaha nyokap, kami punya butik dan usaha di bidang fashion dan ada usaha lain lah yang lebih kecil” jawabnya. “Sekarang lu tinggal sama siapa?” tanyaku lagi. “Gua tinggal berdua sama Nana di apartemen yang gua bilang waktu itu. Ada sih baby sitter yang jagain Nana. Kadang-kadang gua sama Nana nginep di rumah nyokap di Puri Indah. “Berarti udah sekitar 4 tahun lu jadi single parent ya Ran? Gak kepikiran berumah tangga lagi?” tanyaku sedikit ragu. “Kenapa lu nanya gitu?” tanyanya sambil menatapku. Sontak aku merasa serba salah, karena kawatir pertanyaanku telah menyinggung perasaannya. “Wah, salah pertanyaan ya gua?” tanyaku balik dengan nada bersalah. “Enggak, bukan gitu maksud gua Ton. Gua pingin tahu kenapa lu tanya itu ke gua? Kalau orang lain selalu dihubungkan dengan Nana yang butuh sosok ayah lah atau keluarga kamu akan lebih lengkap lah, apa lah… jujur gua gak suka dengan omongan kayak gitu. Kalau lu punya alasan yang sama, mending lu ganti omongan aja Ton” ujarnya dengan tegas. Aku terdiam sejenak dan mengambil nafas panjang. “Bukan ke sana juga sih arah pembicaraan gua Ran. Tapi ya udahlah, skip aja, daripada lu jadi sensi” ujarku sambil tersenyum

menggoda.

Yang

kuajak

bicara

hanya

mengacungkan

jempolnya. Aku pandangi wanita di sebelahku itu. Mungkin tak akan ada yang mengira jika wanita cantik ini telah memiliki anak. Ia tampak masih sangat muda, walau memang ia sebenarnya masih muda. “Kenapa lu lihatin gua Ton?” tanyanya padaku. “Jangan bilang lu iba ke gua karena pengalaman pahit gua. Gua bakal pulang sekarang” katanya ketus. “Woi, woi… sabar dulu bu, sabar… lu sensi banget ya?” tanyaku mencoba untuk membuatnya lebih santai. “Gua rese orangnya ya Ton? Mungkin karena itu gua jarang dekat sama cowok” ujarnya tanpa melihat ke arahku. “Ya bagi gua lu punya alasan tersendiri untuk memilih bagaimana lu mau bersikap. Tinggal gimana orang yang sama lu, bisa imbangi nggak. Ngadepin orang kayak lu harus sabar. Untuk ngomong dan bertindak harus lihat momentumnya pas atau nggak. Jadi orientasinya adalah proses, bukan hasil akhir” jelasku. “Lu sendiri yakin bakal mau ikutin proses itu walaupun belum tahu hasilnya gimana?” tanya Rana balik. “Gua orang yang biasa fokus pada proses. Bagi gua proses yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Tapi kalau hasil yang baik belum tentu melalui sebuah proses yang baik, karena bisa aja hasil itu didapat dari proses yang instant” ujarku berteori. “Lu udah punya cewek belum Ton?” tanya Rana tiba-tiba. “Belum, kenapa emangnya?” jawabku sambil merasa ingin tahu. “Enggak kenapa-napa. Gua cuma pengen nanya itu doang” ujarnya tanpa peduli akan rasa penasaranku. “Gua cuma perlu tahu itu dulu tentang lu. Kan gua udah bilang kalau gua orangnya gak mau tahu diri orang. Kadang yang diomongin suka beda sama kenyataannya” jawabnya lagi. “Lu nggak marah kan kalau gua jutekin terus-terusan?” tanyanya padaku. “Ah, santai aja lah” responku menenangkannya. “Baguslah kalau gitu. Anterin gua ke Pejaten mau gak? Gua janji ketemuan sama nyokap mau beli sesuatu buat Nana” ujarnya kepadaku yang kusambut dengan anggukan kepala. Selepas itu, kamipun segera meluncur.

12. Nana oh Nana Hari ini kami pulang lebih awal dari sekolah karena sekolah kami akan melakukan pembersihan total di seluruh area. Kegiatan ini memang dilakukan 3 bulan sekali di luar pembersihan reguler yang dilakukan setiap harinya. Tampak beberapa murid masih ada di lobby sekolah dengan didampingi oleh seorang guru piket dan petugas keamanan. Memang seperti

itulah

prosedur yang

ditetapkan

oleh

pihak sekolah

soal

penjemputan murid. Salah seorang di antara murid yang kulihat adalah Kirana dan rupanya ia juga melihat ke arahku. “Pak Toni…!” serunya memanggil namaku. Akupun melambaikan tanganku sambil bergerak mendekat. “Kirana belum dijemput?” tanyaku padanya sambil melakukan salam toss dengannya. “Belum pak. Tapi sebentar lagi oma sampai katanya” ucap dia coba menjelaskan. “Oh gitu, ya udah. Kirana tunggu di sini aja ya, jangan kemana-mana sampai oma datang” tegasku pada Kirana yang menganggukkan kepalanya. Aku berjalan meninggalkan Kirana yang melambaikan tangannya padaku. Tak berapa lama aku melihat ia segera dibimbing oleh guru piket untuk mendekat ke arah sebuah mobil yang merapat. Beberapa menit kemudian sekolah sudah mulai sepi dari suara anak-anak. Yang terdengar hanya suara beberapa karyawan yang tampak sibuk untuk mempersiapkan pembersihan. Aku sendiri sudah berkemas untuk segera pulang. Kubawa motorku keluar dari area parkir sekolah dan segera kupacu dalam kecepatan sedang. Jarak antara sekolah dan rumahku sebenarnya tak terlalu jauh, waktu tempuhnya berkisar 45 menit. Sepulang dari kerja tak ada yang aku ingin lakukan selain mendengar musik sambil beristirahat. Rencananya, malam nanti aku telah berjanji untuk bertemu dengan Rana, ibu muda yang cantik itu. Rana mengajakku ke Kemang ke tempat yang biasa kami datangi berdua. Sepertinya malam nanti akan ramai mengingat esok hari adalah hari libur. Beberapa menit sudah aku tiba di rumah. Kini saatnya aku beristirahat untuk menyimpan tenaga agar malam nanti energiku bisa terisi penuh. Baru saja aku merebahkan badan dan ingin memejamkan mata, terdengar suara pesan masuk ke ponselku. Kuraih ponselku dan kulihat pesan dari siapa gerangan. Tertera nama Vero di situ. Aku segera membuka pesan yang berbunyi: Hai Ton. Gimana kabar kamu? Maaf aku ganggu waktumu bentar. Aku cuma mau bilang kalau aku akan pindah ke Bali dan mungkin menetap di sana. Aku sudah menemukan jalanku yang baru. Oh ya, aku nggak akan pakai nomer ini lagi dan maaf kalau aku nggak bisa kasih kamu

nomerku yang baru. Mungkin ini komunikasi terakhir kita. Aku nggak akan mungkin lupa tentang kamu Ton. Hanya, aku mungkin memilih untuk tidak mengingatnya, karena memang itu yang lebih baik. Tapi Aku pingin bilang untuk yang terakhir kali, I miss you a lot. Pesan Vero pun berakhir sampai di situ. Ini membuatku serba salah. Ingin kuabaikan begitu saja, tapi aku tak kuasa. Ingin kuperjelas lagi tapi ku tak bisa. Kupejamkan mataku dan terbayang senyum dan tatap mata Vero. Setidaknya aku masih punya gambaran dirinya di benakku. Karena hanya itulah yang kumiliki darinya. Yang pasti aku akan selalu mendukung apapun yang Vero cari dalam hidupnya. Seperti halnya aku yakin jika ia juga akan selalu mendukung jalan hidupku. Rasa terakhir yang ia sampaikan tadi juga seperti aku rasakan. Selalu ada ruang di hati ini untukmu Vero, meski saat ini ada rasa baru yang mulai mengisi ruang lain dalam hati ini. Baju hitam dan celana jeans sepertinya sudah menjadi semacam seragam wajib saat nongkrong. Kalau bagiku, itu karena hampir semua baju di lemari pakaianku memang berwarna hitam atau warna gelap. Jadi aku memang tak punya banyak pilihan lain. Malam ini, polo shirt warna hitam polos dan jeans biru yang menjadi pilihanku. Tak lupa kukenakan juga jaket warna hijau tentara atau army green yang menjadi pasangan tetap untuk bermotor. Aku masih di jalan saat Rana sudah tiba di lokasi. Memang tadi sempat ada sedikit kendala dengan ban motorku yang membuatku harus mampir ke bengkel untuk beberapa saat. Saat aku tiba di lokasi, Rana tampak sudah mengambil posisi di sudut favoritnya. Ia pun juga sudah memesan minumannya. “Kenapa

motor

lu

tadi

Ton?”

tanya

Rana

padaku

yang

baru

menghempaskan pantat di kusi.”Iya Ran, ban belakang gua bocor tadi. Sebenarnya emang udah waktunya ganti ban sih. Jadi sekalian aja gua ganti bannya” ujarku menjelaskan. “Jadi aman dong buat antar gua pulangnya? Eh, tapi nggak apa-apa kan kalau lu antar gua sampai di apartemen gua?” tanyanya sambil tersenyum. “Ogah ah, ntar nggak dibayar ongkosnya” candaku. Rana meninju lenganku sambil tertawa. “Gua bayar deh. Mau berapa lu, hah?” tanyanya sambil pura-pura marah. “Gak perlu bayar gak apa-apa deh. Yang penting senyum dulu dong” godaku sambil memandang ke arahnya. “Itu doang? Idih… gampang banget” katanya lantas tersenyum manis ke arahku. “Jangan salah boss, dapetin senyum lu itu bukan soal gampang lho, lu kan jutek mulu bawaanya” ucapku yang disambut dengan lemparan sebutir kacang ke arahku.

Malam itu kami menikmati suasana hingga di penghujung waktu. Kami pun keluar lokasi yang segera ditutup. Rana masih belum mau untuk pulang. Seperti biasa, ia membeli rokok mentolnya di seberang jalan. Lalu ia mengajakku untuk duduk di teras toko yang telah tutup. Ia menyalakan rokoknya dan menghembuskan sekepulan asap ke udara. “Lu kerja apaan sih Ton?” tanyanya sambil melirik ke arahku. “Gua guru Ran” jawabku singkat. “Hah, guru? Guru apaan lu?” tanyanya keheranan. “Guru PAUD” ujarku lagi. “What?” ia terkejut hingga terbatuk-batuk. “Seriously?” tanyanya lagi sambil kini menatapku tajam. “Iya beneran Ran. Kenapa? Gua gak ada tampang jadi guru PAUD ya” tanyaku yang kini giliran merasa penasaran. “Gua gak nyangka aja kalau anak metal kaya lu bisa ngadepin bocah-bocah kecil, cerita dong dikit” ucapnya sambil kegelian. “Gua udah lama bergerak di bidang pendidikan anak Ran. Udah berapa posisi pernah gua dudukin waktu di tempat kerja yang lama, dari ngajar sampai jadi kepala divisi training & development. Terus karena situasinya udah gak sehat lagi, gua keluar dari situ. Terus gua sempat kasih pelatihan lepas buat beberapa sekolah” ungkapku sambil menghirup secangkir coklat hangat yang kami pesan dari warung di seberang jalan. “Kalau sekarang?” tanyanya lagi sambil ikut menikmati minuman coklatnya. “Sekarang gua ngajar lagi, masih di kelompok usia balita & TK” jawabku. “Ngajar dimana lu sekarang? tanyanya lagi sembari terus meneguk minumannya. Akupun menyebut nama sekolah tempatku bekerja. Tiba-tiba Rana tersedak dan ia terbatuk-batuk. Aku berusaha membantu untuk menenangkannya. “Nggak apa-apa Ton, gua nggak apa-apa kok” ujarnya meyakinkanku. Kini ia malah tersenyum lebar. “Kenapa lu senyum-senyum?” tanyaku keheranan. Ia diam sejenak dan tampak memikirkan sesuatu. “Hmm... gua masih coba bayangin saat lu ngajar anak-anak, terus ngebandingin lu sama kalau lagi hangout nonton teman kita yang lagi nge-jam” ujarnya. “Ya itu kan peran yang berbeda yang harus gua jalanin Ran” ujarku berusaha menjelaskan. “Berarti lu ntar pasti jadi ayah yang hebat deh” katanya tersenyum sambil menatap tajam ke arahku. Aku yang dilihat Rana seperti itu jadi salah tingkah. “Ya, yang dipikirin dapat calon istri dulu aja deh” candaku untuk menetralisir rasa kikukku. “Hmm… lu mau nggak Ton misalnya gua temuin sama anak gua” tanyanya tiba-tiba. “Ketemu Nana? Mau banget lah. Kapan Ran?” tanyaku balik. “Sekarang kita balik dan lu nginep di apartemen gua, gimana?” tanyanya sambil memegang tanganku. Aku diam sejenak dan lalu menganggukkan kepalaku tanda menyetujui ajakannya.

Rana sudah berada di belakangku dan aku segera memacu motorku dengan kecepatan sedang. Tangan Rana kurasakan melingkar di perutku. Untung ia tak memegang bagian dadaku, karena ia akan merasakan betapa berdegupnya jantungku. Ini bukan pertama kali aku memboceng Rana, tapi tak pernah kurasakan kedekatan seperti malam ini. Serasa motor ini melayang tinggi tak bergulir di atas aspal jalan. Kuterus mencoba menjaga konsentrasiku ke arah laju motorku. Di tengah jalan Rana minta berhenti sejenak dan akupun merapat ke pinggir jalan.

“Gua boleh coba bawa

motornya gak Ton? Mumpung jalanannya sepi” ucapnya mengajukan ide yang tak terduga. Kamipun saling bertukar posisi. Rana segera memacu motorku dengan penuh hati-hati. Ia mengaku sudah lama tak mengendarai motor. Aku hanya berpesan agar ia berhati-hati sambil berharap agar tak terjadi apa-apa terhadap kami. Akhirnya kami tiba dengan selamat di komplek apartemen Rana. Kami harus melalui bagian bawah gedung dengan jalan yang berkelok untuk dapat menemukan lokasi parkir kendaraan roda dua yang memang bukan skala prioritas di situ. Setelah memakirkan motorku, kami berjalan melintasi sunyinya area parkir bawah tanah itu. Rana menggenggam tanganku, mungkin karena ia sedikit takut dengan suasana di situ. Kami berdua segera masuk ke salah satu tower yang ada di area itu. Lift yang sunyi itu membawa kami berdua ke lantai 8. Selama di dalam lift Rana memegang lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Wangi rambutnya masih tercium olehku meski sedari tadi ia mengenakan helm dan berangin-angin di sepanjang jalan. Sebenarnya aku berharap agar perjalanan kami ke lantai 8 itu bisa berlangsung lebih lama agar momen yang kurasakan bisa lebih maksimal. Sayang kemajuan tehnologi ini tak sejalan dengan isi hatiku. Kami berjalan perlahan menuju pintu unit tempat Rana yang kini tinggal beberapa langkah lagi. Rana berhenti sejenak sebelum membuka pintu itu. “Welcome to my place” ujarnya lirih sambil tersenyum dan menatap ke arahku. Ia maju mendekat ke arahku dan semakin dekat. Kini wajah kami berhadapan sangat dekat. Dapat kurasakan hembusan nafas halusnya menyentuh wajahku. Kami saling menatap dan entah siapa yang memulainya, tiba-tiba bibir kami sudah saling bersentuhan. Getaran yang terasa terbungkus dalam dekapan hangat meski itu hanya sesaat. Kami saling menarik diri meski sebenarnya kami pun tak rela. Rana tampak tersenyum sambil membuka pintu. Aku memeluknya dari samping dan ku kecup rambut halusnya.

Suasana di dalam tampak gelap. Nampak cahaya remang dari sebuah lampu pijar kecil di sudut kiri ruang yang tampaknya adalah sebuah ruang tamu. Di sisi kanan tampak sebuah meja makan berukuran sedang dan sebuah lemari besar memenuhi dinding. Di balik dinding itu sepertinya ada ruang lain yang aku tak tahu ruang apa, karena untuk menuju ke sana aku harus berbelok arah. Lampu di dalam sengaja dibiarkan padam karena memang kami tak berencana untuk duduk di ruang itu. Kami terus melangkah menuju lorong yang lurus dari arah pintu masuk. Tampak di situ terdapat 3 pintu, di samping kiri dan kanan serta tepat di depan. Rana menjelaskan bahwa yang di sebelah kiri itu adalah kamar Nana. Kamar yang ada di depan adalah kamarnya, sedangkan yang ada di sisi kanan adalah kamar utuk tamu atau kerabat yang sedang berkunjung. Tangan kami masih perpegangan kala Rana menjelaskan ruang-ruang itu. Ia kini berdiri di dekatku. Aku merapat mendekatinya dan kini kupegang kedua tangannya. Entah mengapa malam ini terasa sangat spesial bagi kami berdua. Tak ada kata yang terucap dari masing-masing bibir kami untuk menegaskan rasa kami. Namun kami cukup paham dengan getaran rasa dan bahasa tubuh kami. Apalagi Rana memang bukan orang yang gampang percaya dengan sebuah kata. Namun kini ia sudah ada dalam genggamku. Ia telah sudi dalam belaiku. Kami merapat tak berjarak. Jantung kami laju berdetak. Mata kami saling menatap. Kamipun kini saling mendekap. Getaran jiwa memicu asmara kami berdua. Pelukan erat dan ciuman hangat menjadi pengantar mimpi indah kami malam ini. Tak rela rasanya tuk melepaskannya meski jarak kamar kami hanya beberapa langkah saja. Tapi inilah yang terbaik bagi kami untuk saat ini. Aku terbiasa bangun pagi meski itu hari libur sekalipun. Di pagi ini, akupun sudah membersihkan diri dan berpakaian rapi. Aku tinggal menunggu panggilan dari Rana untuk bertemu Nana dan sarapan pagi bersama. Tak berapa lama, suara ketukan terdengar di pintu kamarku. Kubuka pintu itu dan Rana pun masuk menghampiri. Ia tampak segar dan cantik pagi ini. “Morning Ton” ucapnya sambil mengecup pipi kiriku. “Udah siap belum?” tanyanya padaku. “Udah dong” jawabku yakin. Kamipun berjalan bergandengan tangan ke arah meja makan. Pandangan mataku belum beralih dari kekagumanku atas Rana, tiba-tiba terdengar suara nyaring yang tak asing lagi di telingaku. “Pak Toni…! Kok pak Toni ada di rumah Kirana?” Betapa kagetnya melihat sosok kecil bersuara nyaring itu kini telah berdiri di hadapanku. Ya, itu Kirana, muridku yang selalu bercerita tentang segala hal. Saking kagetnya

sontak aku menarik tanganku dari gandengan Rana. Kirana yang melihat hal itu, tampak tersenyum menggoda. “Pak Toni pacaran sama mama ya?” tanyanya polos. Aku hanya bisa tersenyum memandang bocah kecil yang masih tersenyum kegirangan. “Hai Kirana, pak Toni nggak tahu lho kalau Kirana tinggal di sini” sapaku mencoba berbasa basi. Segera aku memandang ke arah Rana yang tertawa geli melihat pemandangan yang ada. “Kaget ya pak Toni?” tanyanya sambil menggoda. Aku pun menggelengkan kepala sambil tersenyum. Kami segera makan pagi bersama. Suasana diriku menjadi kikuk dan serba salah. Jelas sekali pada saat ini aku tak bisa melepaskan figurku sebagai seorang ‘pak Toni’ di depan Kirana. Apalagi bagi Kirana, aku adalah salah satu guru favoritnya. Aku masih menyimpan segudang pertanyaan yang ingin aku ajukan pada Rana. Baru kusadari jika Kirana memang mirip dengan Rana, terutama kedua mata bulat indahnya dan senyum manisnya. Usai sarapan, Kirana segera menunjukkan harta karunnya, terutama kedua boneka beruang kembarnya, Mimi dan Momo. Aku yang sudah sangat dekat dengan Kirana tak perlu lagi berbasa-basi dan segera terlibat dalam obrolan seru. Rana tampak tersenyum melihat tingkah kami berdua. Ia bahkan sempat mengabadikan foto kami berdua. Beberapa lama setelah aku bermain bersama Kirana, kami sempat ngobrol bertiga soal hal-hal yang ada di sekolah. Kemudian Rana meminta Kirana bersama pengasuh barunya untuk segera masuk ke kamarnya. Seperti biasa, aku dan Kirana melakukan salam toss saat kami akan berpisah seperti saat di sekolah. Aku segera menghampiri Rana yang kini menatapku sambil tertawa. “Kenapa pak Toni? Kok kelihatannya bingung banget tadi? Coba lu bisa lihat ekspresi lu tadi Ton” katanya sambil tertawa geli. Aku meraih sebuah bantal di sofa dan melemparkan padanya. “This is crazy” kataku sambil menggelengkan kepala. “Gua sama sekali nggak nyangka kalau selama ini yang lu sebut Nana itu adalah Kirana” ujarku. Lalu Rana mengatakan sesuatu yang tak kusadari sebelumnya. “Gua sadar kalau lu itu gurunya Nana waktu semalam lu sebut nama sekolah lu. Gua kaget, itu kan sekolahnya Nana juga. Makanya gua sampe keselek waktu itu kan?” jelasnya. “Oh waktu itu… kenapa lu gak bilang langsung ke gua?” tanyaku. “Gua langsung ingat Nana suka cerita tentang gurunya yang namanya pak Toni. Gua pikir, seru kali kalau gua temuin lu sama Nana langsung tanpa kasih tahu sebelumnya” jelasnya lagi sambil tetap tersenyum. “Oh makanya lu nawarin gua untuk kenalan sama Nana, terus lu ajak gua ke sini malam itu juga” tegasku. “Yes! Karena kalau lu ke

sininya pas malam, ruang tamu ini pasti gelap. Jadi, lu kan nggak bisa lihat fotonya Nana di sini” ucapnya tampak senang karena berhasil menjebakku. Aku masih belum sepenuhnya terbebas dari rasa kagetku saat bertemu Kirana. Rana datang merapat padaku. Tangannya melingkar ke belakang leherku dan ia merapatkan wajahnya ke wajahku. “Ton, gua senee..ng banget lihat Nana sama lu tadi. She looked very happy at that moment. Jarang banget dia seceria itu di rumah, kalau ada teman gua atau tamu lain, walaupun yang udah dia kenal sekalipun” kata Rana sambil matanya berkaca-kaca. “Pertama, gua memang cinta sama anak-anak. Kedua, Kirana itu emang menyenangkan anaknya. Gua sayang sama Kirana” jawabku tenang. “Sama anaknya doang sayangnya? Sama mamanya enggak?” goda Rana sambil tersenyum. Kucium bibir Rana dengan lembut dan kupeluk dia erat. “Terimakasih ya Ton. Gua udah lama nggak ngerasa kayak gini” katanya dengan sedikit terisak. Aku

sedikit

menarik

badanku

sehingga

kami

sekarang

kembali

berhadapan. Kupegang kedua pipinya yang tampak sudah basah dengan air mata. “Rana, gua tadi bilang kalau gua sayang sama Kirana. Kalau lu mau kasih gua kesempatan, gua mau jadi bagian hidup lu. Gua sayang lu Ran” kataku sambil mengecup keningnya. “Lu nggak masalah dengan status gua Ton?” tanyanya lirih. “Rana, dengerin ya. Gua bukan orang yang suka mempermasalahkan status atau embel-embel apapun. Gua bukan siapa-siapa kok Ran. Yang gua bisa tawarin ke lu cuma gua itu tulus dan gua siap untuk menjalani hubungan. Rana diam sejenak dan lalu menganggukan kepalanya tanda setuju. “Iya, gua mau Ton” Rana menegaskan anggukan kepalanya dengan sebuah pernyataan. Kamipun teggelam kembali dalam sebuah pelukan. Kali ini pelukan itu penuh warna. Pelukan itu juga penuh rasa. Itu sebuah pelukan dengan ikatan janji. Itu pelukan yang menautkan dua hati. Tak terasa sudah beberapa menit kami saling berpelukan. Kami pun kini duduk berdampingan. Rana menyandarkan kepalanya di pundakku. Ia memegang tanganku dan memainkan jari-jariku. “Ton, pertama kali kita ketemu, gimana persepsi lu tentang gua? tanya Rana padaku. “Ya pasti yang jadi kesan pertama adalah penampilan lu secara fisik. Cantik, mata lu bagus banget, pembawaan lu nyantai. Tapi setelah berapa kali jalan, baru gua lebih tahu gimana lu.” Kataku menjelaskan. “Akhirnya baru tahu ya kalau gua tuh jutek dan nyebelin” tambahnya sambil tersenyum. “Bener banget” jawabku singkat yang direspon dengan beberapa tonjokan ringan di lengan. “Kalau gua pertama kali kenal sama lu, gua lihat lu tuh orangnya

biasa aja, dalam arti natural gitu, gaya lu gak dibuat-buat. Gua tuh respect sama orang yang cara ngelihat ke gua itu nggak terkesan kurang ajar, nakal atau sok jaim karena gua cantik atau sexy atau apalah, ngerti kan maksud gua? Makin ke sini makin nyaman aja jalan sama lu” ungkap Rana. Terdengar pintu kamar dibuka dan Kirana tampak berlari mendekati kami. “Mama, katanya kita mau beli buah sama es krim yang di kotak itu. Kita beli sekarang aja yuk, kita ajak pak Toni juga” kata Kirana tampak merayu Rana. “Nana tanya dulu dong ke pak Toni. Pastikan dulu, pak Toni mau apa enggak” tegas Rana kepada anaknya sambil membelai rambutnya. “Pak Toni mau nggak ikut Kirana sama mama beli buah sama es krim?” tanyanya penuh harap kepadaku. “Mau dong” jawabku singkat yang sudah cukup membuatnya meloncat kegirangan. Setelah bersiap-siap, aku, Rana, Kirana dan sang baby sitter segera berangkat menuju lokasi yang dituju. Di sepanjang jalan Kirana tak henti-hentinya berbicara tentang segala hal denganku. Di pusat perbelanjaan ia juga selalu berjalan berdampingan denganku dan seringkali menarikku ke berbagai arah untuk menunjukkan sesuatu yang menarik baginya. Saat kami kembali ke apartemen, Kirana tertidur di pangkuanku. Ia pasti kelelahan setelah berbicara dan bergerak tiada hentinya. Tubuhnya sengaja aku gendong hingga sampai ke ruang kamarnya. Kirana tertidur pulas dan aku tak sempat untuk berpamitan pulang kepadanya. Aku hanya menitipkan salam melalui Rana yang memberikanku bekal sebuah pelukan dan kecupan untuk kubawa pulang dan kusimpan dalam hati. Kehidupan di hari ini sejatinya sudah membekali ku dengan sebuah kisah kasih baru nan menawan yang tak mungkin akan terlupakan.

13. Rahasia Mendapat kesempatan untuk menjalin hubungan dengan Rana merupakan hal terbaik yang kuperoleh dari sang Maha Kuasa. Namun di sisi lain, kami terpaksa harus merahasiakan hubungan kami ini. Alasannya sudah pasti, di tempat kerjaku hal seperti ini menjadi sebuah ketidakpatutan yang telah pula diatur di peraturan sekolah. Untuk ini kami, khususnya Rana berusaha sekeras mungkin untuk bisa memberi pengertian kepada Kirana untuk tidak membicarakannya di lingkungan sekolah. Hal itu bukan soal mudah mengingat kepolosan dan kejujuran seorang anak yang terkadang mengatakan apapun yang ada dipikirannya. Sejak aku menjalin hubungan dengan Rana, ia lebih sering menjemput Kirana saat pulang sekolah. Setidaknya ini menjadi satu hal positif baik bagi Kirana maupun bagiku sendiri. Satu perubahan positif lain yang tejadi di antara kami adalah kami merubah gaya berkomunikasi kami dengan sebutan aku dan kamu saat memanggil satu sama lain. Salah satu alasannya adalah untuk memberikan nuansa positif bagi Kirana. Sekarang ini, saat menjemput anaknya, Rana datang lebih awal sebelum jam pulang sekolah. Biasanya ia sempatkan untuk datang ke ruanganku atau kami berbicara di lobby sekolah. Tentunya gaya bicara dan bahasa tubuh kami terpaksa kami jaga. Seringnya kami ngobrol memang sempat memunculkan pertanyaan dari staf di front office ataupun bagian keamanan. “Pak Toni kelihatan akrab sama mamanya Kirana. Emang udah kenal atau gimana pak?” itu pertanyaan yang biasa mereka ajukan. Aku sendiri sempat membicarakan hal ini dengan Rana. Mau tak mau, kami harus menciptakan skenario untuk menyikapi jika ada pertanyaan atas seringnya kami bicara berdua. Kami sepakat menggunakan alasan kalau kami sudah saling kenal sebelumnya melalui seorang teman yang kebetulan sama-sama kami kenal. Begitulah kira-kira sandiwara itu kami siapkan. Sekirannya Kirana keceplosan mengatakan jika aku sering main ke rumahnya, aku bisa punya alasan kalau Rana adalah temanku yang biasa aku kunjungi. Segala hal aku usahakan agar hubungan kami tetap terjaga. Meski di siang hari saat Rana menjemput Kirana aku hanya bisa berbasabasi saja, tapi di kesempatan lain aku toh bisa ‘balas dendam’ kepada Rana. Sore ini, aku sedang berada di sebuah restoran cepat saji yang menyediakan makanan khas Itali. Rana yang duduk berhadapan denganku tampak terlihat sedikit murung. “Kamu kenapa Ran? Kok kelihatan murung gitu?” tanyaku pada Rana. “Mama kemarin kan nginep di tempatku, dia nanya ke aku soal kamu. Dia tahu cerita kamu dari Nana” ucapnya

kelihatan tak bergairah. “Terus kenapa emang, ada masalah kah?” tanyaku ingin tahu. “Males aja dengar responnya Ton. Jadi males juga buat diomongin” ucapnya tampak kesal sambil mengaduk-aduk minumannya. Aku yang melihat perubahan emosinya tak ingin memaksanya untuk membicarakannya lebih lanjut. Ku pegang tangan Rana dan ku tatap matanya yang indah itu. ”Kalau kamu belum siap, kamu nggak usah paksain diri buat ngomongin itu sekarang. Udah kita bahas yang lain aja” ujarku berusaha menenangkannya. Untuk merubah suasana, aku coba menceritakan kegiatan di sekolah yang kami adakan tadi. Kebetulan kelas Kirana yang tadi ada di jadwalku. Aku ceritakan keceriaan kami di kelas tadi. Setidaknya caraku ini bisa mengalihkan kemurungan Rana. Ia pun mulai menunjukkan kembali senyuman manisnya. Ia pun menceritakan perubahan Kirana di rumah semenjak kami berhubungan. Ia merasa menjadi lebih dekat dengan Kirana, terutama saat menjelang tidur, Kirana sering membuat ceritanya sendiri dan berandai-andai tentang kami bertiga. Mendengar ini, aku hanya bisa menarik nafas panjang. Ingin rasanya saat ini kupeluk mereka berdua. Rana kini memegang tanganku. Ia hanya diam dan menundukkan kepalanya. “Kamu ingat saat kamu bilang soal proses yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik? Kita kan sekarang sedang berproses, menurutmu apa proses kita ini sudah cukup baik? Menurutmu apa nanti bisa berujung ke sesuatu yang baik atau malah sebaliknya?” tanya Rana tanpa melihat ke arahku. “Aku termasuk orang yang optimis Ran. Jadi kalau kamu tanya aku seperti itu, aku akan jawab kalau aku akan berjuang bersamamu untuk mencapai titik terbaik. Aku nggak punya apa-apa yang bisa kujanjikan selain kegigihanku untuk mempertahankan hubungan kita” tegasku berusaha meyakinkan Rana. “Aku percaya kamu kok. Aku tahu kamu nggak akan menyerah. Aku cuma mau meyakinkan diriku kalau aku nggak akan sendirian kalau aku harus melawan arus” ujarnya sambil meletakkan tanganku di pipinya. “Kita bakal hadapi ini bersama Ran. Kamu nggak boleh biarin diri kamu sendiri yang terbebani oleh apapun yang menyangkut hubungan kita ini” ucapku mencoba memberikan keyakinan padanya. Arus deras yang kuhadapi ini dari mamaku sendiri Ton. Mama nggak setuju hubungan kita. Ia menolak mentah-mentah semua argumentasiku. Ia sendiri juga ngasih alasan yang nggak bisa aku terima. Kami berdebat soal ini semalam. Andai papa masih hidup, pasti papa bakal belain aku” ucapnya sambil menyeka

matanya yang mulai basah. “Kenapa coba, begitu aku pilih seseorang yang pas untuk dampingi aku, malah jadi perdebatan. Padahal sebelumnya, aku dipaksa untuk segera cari pasangan. I hate this situation” Aku mendekat pada Rana dan memeluknya. Tak ada yang lebih baik yang harus kulakukan selain memberikan keyakinan padanya kalau ia tak sendiri. “Menurut mamamu, ia yakin itu yang terbaik di matanya. Tapi masalahnya yang jalanin hidupmu adalah kamu. Hidup ini kan sebuah pilihan. Jika menurutmu ini adalah pilihan terbaik, kamu harus memperjuangkannya tanpa perlu membuktikan apapun pada siapapun. Kamu cuma perlu buktikan pada dirimu sendiri kalau kamu akan tetap bertahan dengan pilihanmu. Saat ini kamu punya seorang Toni yang tak akan membiarkan kamu menghadapi ini sendiri. Aku pilih kamu dengan segala konsekuensinya Ran” tegasku sambil menatapnya. Rana kini menatapnya juga “Meski dengan resiko kehilangan pekerjaanmu?” tanyanya balik. “Sekarang kita masih bisa merahasiakan hubungan kita dari pihak sekolah. Tapi seperti pepatah bilang sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga” imbuhnya lagi. “Selama tupai itu masih bisa melompat, ya biar aja dia melompat terus. Kalau nanti dia jatuh, ya emang lagi nggak bagus aja nasibnya” timpalku sekenanya. “Ih, orang lagi serius juga” kata Rana sambil melotot ke arahku. “Hehehe, sabar ya ibu yang cantik. Begini lho. Maksudku kita jalani aja dengan cara seperti ini dulu. Andaikan nanti rahasia ini terbongkar, mungkin itu sudah waktunya, jadi ya dihadapi saja. Bukan maksudku untuk jumawa atau meremehkan sesuatu. Tapi aku sadar kalau pilihanku sekarang ini pasti akan menghadapkanku pada sebuah resiko. Jadi untuk apa diabaikan atau dihindari?” ucapku menjelaskan arti perkataanku sebelumnya. Rana tersenyum sangat manis sambil menatap ke arahku. Bibirnya mengucapkan sebuah kalimat singkat tanpa suara “I love you” Kami berdua berpisah di tempat itu. Rana harus pergi ke salah satu butiknya untuk membereskan sebuah urusan. Aku sendiri memilih pulang dan beristirahat. Sesampainya di rumah, aku merebahkan diri di kasurku. Terpikir olehku kenyataan yang ada kalau hubunganku dengan Rana ternyata tak disetujui oleh mamanya. Agak berat memang mengingat mamanya adalah satu-satunya orangtua yang masih ia miliki. Semenjak papa Rana meninggal tak lama setelah perceraian Rana, mamanya berjuang untuk mendampingi Rana, mengasuh Kirana sekaligus mempertahankan usaha yang dimiliki keluarganya. Apalagi Rana adalah anak satu-satunya

yang ia miliki. Tentu ia akan mati-matian memperjuangkan hidup Rana, setelah sebelumnya mengalami kegagalan. Terlebih pernikahan pertama itu adalah merupakan pilihan Rana, yang saat itu masih terhitung masih sangat muda. Tapi meski yang kuhadapi ini bukan perkara yang mudah, aku akan tetap berada di samping Rana. Ia telah menjatuhkan pilhannya padaku. Pengalaman pahit dan segala hal yang dirasakan sebelum ini membuat Rana menjadi seorang yang sensitif dan mengisolasi hatinya. Aku sendiri tak tahu bagaimana ia bisa melihat sesuatu dariku untuk bisa dipercayainya. Aku tak menampik kalau ini sebuah kehormatan bagiku dan aku tak akan menyia-nyiakan apa yang sudah disediakan bagiku. Jika hubunganku dengan Vero berakhir karena aku mempertanyakan sebuah kepastian, kini aku justru sedang memperjuangkan sebuah kepastian bersama Rana. Soal kemungkinan rahasia hubunganku terkuak dan diketahui oleh pihak sekolah, aku memang tak akan ambil pusing. Di depan mataku sudah tergambar sebuah peringatan keras dari pihak manajemen sekolah, bahkan mungkin juga sebuah pemberhentian. Aku takkan bergeming. Jika itu terjadi, aku akan upayakan agar aku bisa mendapatkan pengganti pekerjaanku

berdasarkan

pengalaman

dan

kemampuanku.

Tanpa

bermaksud takabur, aku sangat percaya diri dengan apa yang aku punyai sejauh ini. Aku yakin bisa melakukan sesuatu dengan segala yang ada pada diriku. Jadi, aku tak perlu menyesali dengan apa yang akan terjadi padaku nanti. Karena, dalam sebuah pilihan, memang harus selalu ada yang dikorbankan.

14. Terkuak Kedekatan kami tetap terjaga meski kami harus didesak dari sisi kiri dan menghindar dari sisi kanan. Selain jalan berdua, entah itu sekedar makan atau nongkrong di tempat biasa di malam hari, kami juga sering menghabiskan waktu bertiga dengan suasana yang selalu menyenangkan. Kirana tampak bahagia saat kami bersama. Rana bilang kalau Kirana tak pernah sebahagia ini saat bepergian dengannya atau dengan oma. Mungkin sosok seorang ayah yang memang selama ini tak pernah hadir di dalam kehidupannya, kini ada di lingkar hidupnya. “Gimana aku bisa tega menghilangkan kebahagian ini begitu saja dari Nana, Ton. Apa yang dirasakan Nana belum tentu sama jika aku bersama pria lain” ungkap Rana suatu waktu. Akupun melihat demikian adanya. Kedekatan yang aku jalin selama di lingkungan sekolah menjadi dasar dari rasa yang ada pada Kirana. Tentunya tak begitu saja sebuah rasa atau kedekatan dibangun oleh seorang anak pada lelaki dewasa, jika ia tak merasakan kepercayaan dan ketulusan dari orang tersebut. Seorang anak memiliki kepekaan yang lebih tinggi dari orang dewasa pada umumnya. Maka dari itu jika Kirana bisa dekat denganku, tentu itu jadi suatu hal yang istimewa. Akupun merasakan kebahagian yang sama dari ibu dan anak itu. Jelas sekali mereka tampak lebih hidup di hidup mereka. Apa yang mereka tampilkan bukan sesuatu yang dibuat-buat. Itu sebuah rasa yang selama ini tersampaikan. Sebuah bahagia yang selama ini terabaikan. Kedekatan ku dengan Rana ternyata sudah membuat pihak sekolah sedikit gerah. Padahal mereka hanya melihat itu berdasarkan seringnya kami ngobrol berdua di area sekolah. Itu pun dengan batasan-batasan yang sudah kami buat berdua. Mungkin ekspresi dan bahasa tubuh kami yang terlihat lebih lepas dari sekedar kenalan biasa. Tak paham aku apa yang mereka lihat pada kami, yang jelas aku diminta menghadap pihak manajemen yang menyampaikan keberatan akan hal itu dan akupun menerima surat teguran. Seperti yang sudah aku teguhkan pada diriku, aku akan tetap ada di jalanku. Tak mungkin aku mengorbankan hubunganku demi karirku. Sebisa mungkin aku masih akan bertahan dan berada di jalur ini, sampai nanti tak ada lagi jalan lain selain berhenti atau diberhentikan. Apa itu diartikan aku tak mengindahkan peraturan sekolah? Terserah bagi setiap orang yang memandangnya. Aku menceritakan hal ini pada Rana dan ia malah menertawakanku. “Nah lho, ditegur kan kamu. Makanya jadi orang jangan nakal. Kamu itu kan

seorang guru, harus kasih contoh yang benar, bukannya malah pacarin orangtua murid” goda Rana sambil tertawa geli. Aku hanya bisa meringis mendengar godaanya. “Habis orangtua muridnya cakep banget sih” balasku menggodanya. “Alaaah, gombaaaal” ujar Rana sambil berlagak menjauhkan diri. “Terus kamu gimana besok ngadepin teman kerjamu?” tanyanya kemudian. “Ya biasa aja. kalau mereka nanya ya aku jawab. Kalau mereka diam, ya cuekin aja” kataku singkat. “Tapi aku nggak bakal stop untuk ngobrol sama kamu lho. Aku akan tetap seperti biasa, nggak apa-apa kan?” tanya Rana. “Ya nggak apa-apa, itu mah terserah aja. Justru mending kita bersikap biasa aja, nggak usah berlebihan meresponnya. Tapi ya nggak perlu terkesan nantangin juga, main cantik aja” ujarku. Di hari-hari selanjutnya kami tetap berbicara berdua. Hanya, frekuensi dan kedekatannya sedikit lebih terjaga. Kendati demikian, ada saja yang menanyakan soal teguran dari sekolah kepadaku. “Pak Toni, emang kenapa sampai ditegur sih? Ada yang sirik kali” tanya Abdul seorang office boy saat membersihkan ruanganku. Lain lagi dengan Restu, seorang petugas kantin yang bertanya padaku sambil berbisik saat aku sedang makan siang “Maaf pak Toni, saya dengar pak Toni di tegur ya karena ngobrol sama mamanya Kirana. Kalau saya sih nggak setuju kalau pakai teguran segala. Kan pak Toni nggak ngapa-ngapain, cuma ngobrol doang. Lagian, pak Toni kan emang udah kenal duluan?” Aku hanya bisa tersenyum dan menjawab seadanya. Rupanya teguran itu sudah menjadi rahasia publik. Ya sudahlah, kita lihat saja bagaimana akhirya nanti. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kerahasiaan hubungan kami. Namun, mungkin sudah menjadi sebuah kenyataan hidup yang telah digariskan, hubungan kami pada akhirnya diketahui juga oleh pihak sekolah. Ini berawal dari Kirana yang tanpa sengaja membongkar rahasia kami, dengan mengatakan kalau kami memang berpacaran. Memang keterangan dari Kirana ini sifatnya masih bisa diperdebatkan. Tapi ternyata ada sebuah pengakuan dari orangtua murid yang mendapati kami sedang bermesraan di luar sekolah. Hal itu diperkuat pula dengan adanya foto kami sedang berduaan. Saat aku melihat foto yang ditunjukkan oleh pihak sekolah, foto itu diambil saat aku dan Rana sedang berada di restoran Itali, di mana saat itu Rana mengungkapkan soal pertentangannya dengan mamanya. Akupun kini tak bisa mengelak lagi. Sekarang pilihannya hanya berhenti atau diberhentikan. Ternyata pihak manajemen meminta aku untuk mengundurkan diri. Akupun menyetujui dan tak memberikan bantahan.

Aku tak memusingkan soal pesangon atau apapun jika aku yang mengundurkan diri. Aku hanya berpikir jika aku yang mengundurkan diri, langkahku ke depan akan lebih mudah, tanpa mengalami kendala dari pengalaman sebelumnya. Saat itu juga aku langsung mengemasi barangku dan siap untuk pergi. Sebelum pergi, aku sempatkan dulu untuk berpamitan kepada semua orang, terutama mereka yang kukenal dengan baik. Mereka sangat terkejut dengan apa yang kusampaikan. Ekpresi kesedihan dan berusaha memberi semangat berbaur menjadi satu. Sebagian besar dari mereka justru memberikan selamat kepadaku atas hubungan yang kujalin dengan Rana. Hal itu tentu menghapus rasa sedihku karena harus berpisah dengan mereka dan berganti dengan rasa bangga. Kebetulan saat itu baru usai jam pulang sekolah dan Rana pun masih berada di lobby sekolah. Rupanya ia tadi tak melihatku di ruangan dan sengaja menungguku disitu. Ia melihatku membawa barang yag lebih banyak dari biasanya. Aku menghampirinya dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Seketika ia terkejut mendengar berita yang kusampaikan dan langsung memelukku. Semua mata yang ada di sekitar situ mendadak sontak menatap kami berdua yang sedang berpelukan. Aku dan terlebih Rana sudah tak peduli lagi dengan apapun yang dipersepsikan oleh orangorang. Mereka semakin bertanya-tanya saat melihat Rana mencium pipiku. Memang itu dilakukan Rana secara sengaja sambil berkata “I’ve had enough. I’m done!” Setelah itu, Rana memintaku untuk menunggu, sedangkan ia masuk kembali ke meja front office dan membicarakan sesuatu yang tampaknya sangat serius. Melihatnya seperti itu, aku memutuskan tak mau ikut campur. Aku menebak kalau Rana menyatakan ia menarik Kirana dari sekolah ini. Itulah arti dari perkataan dia terakhir tadi. Sambil aku menunggu Rana dengan santai, beberapa staf dan petugas keamanan datang untuk menyalamiku. Aku menyambutnya dengan salam dan pelukan hangat kepada mereka. Ternyata Rana sudah datang mendekat. Seketika mereka memberi salam hormat kepada Rana. Tak disangka, Rana yang di dalam tadi tampak serius dan emosional, ia berubah sangat ramah kepada para staf dan petugas keamanan yang ada bersamaku tadi. “Bapak, ibu, kami pamit dulu ya. Terimakasih sudah sangat baik kepada Kirana dan pak Toni. Doakan kami ya bapak, ibu. Permisi” begitulah Rana menyampaikan ucapan terimakasihnya yang disambut sangat hangat oleh mereka.

“Kamu yang sabar ya Ton” ucap Rana sambil mengecup pipiku, saat kami ada di parkiran. “Kita ketemu di restoran Itali kemarin ya, biar kita ngobrol sambil makan” ujar Rana yang kemudian masuk ke dalam mobilnya. Kirana sendiri sudah terlebih dahulu berada di dalam mobil. Aku yang tadi menjawab dengan kata setuju, langsung bergegas menuju ke motor yang kuparkir. Setelah meletakkan barang bawaanku di motor, aku segera memacu motorku untuk menyusul mobil Rana yang sudah terlebih dahulu meninggalkan area sekolah. Sejenak aku berhenti sebelum keluar dari area sekolah, aku pandangi gedung sekolah itu untuk terakhir kalinya. Lalu aku beranjak pergi sambil menekan klakson motorku sebagai tanda perpisahan kepada petugas parkir dan bagian keamanan yang ada di sekitar situ. Rana dan Kirana sudah duduk di posisi yang selalu menjadi favorit Rana. Kirana tampak sedang asyik melihat dan membalik-balik buku menu. Begitu melihatku, ia segera memanggil namaku sambil melambaikan tangannya. Aku mendekati gadis cilik yang cantik itu dan aku kecup keningnya. Hal yang sama juga kulakukan pada Rana. Tenyata menu makanan sudah dipesan oleh Rana dan kini kami bertiga menunggu makanan pesanan kami tiba. Akhirnya saat itu datang juga Ton” ucap Rana kepadaku. “Ya dan kita sudah menunjukkan yang terbaik. Tanpa kesedihan dan penyesalan sedikitpun, karena memang ini pilihan kita” ujarku sambil mencubit pipi Rana. “Kamu terlihat sangat bisa menguasai diri kamu tadi. Kalau aku nggak bisa tuh. Langsung emosi aja bawaannya” ujar Rana sambil tersenyum. Tak lama berselang, seorang pramusaji datang dan membawa pesanan kami. Maka segeralah kami menyantap makanan yang tersedia. Entah memang karena lezatnya makanan atau memang karena kami yang teramat lapar setelah kejadian di sekolah tadi, kami makan semua makanan dengan lahapnya. Usai makan kami duduk nyaris tak bergerak karena teramat kenyangnya. “Nana, mama mau tanya sesuatu deh. Nana mau nggak punya papa

pak

Toni?”

tiba-tiba

Rana

menanyakan

pertanyaan

yang

mengagetkanku dan Kirana sendiri. Kirana diam sesaat melihat ke arahku dan ke arah Rana. Lalu ia tersenyum dan berkata “Mauu… Kirana mau pak Toni jadi papa Kirana. Jadi ntar Kirana panggilnya papa Toni deh” jawaban yang keluar dari mulut gadis kecil itu adalah kata-kata yang paling aku nantikan seumur hidupku. Terlihat Rana tersenyum dan matanya berkaca-kaca mendapati respon dari anaknya. Ia lalu menggenggam tanganku dan menciumnya. Aku lantas memeluk Rana. Dapat kurasakan kebahagiaan yang ada pada dirinya.

Akupun tak lupa untuk memeluk Kirana. Misalnya ini adalah situasi resmi, tentu kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Kamipun lantas menikmati momen bahagia itu bertiga sambil beberapa kali berfoto bersama. Rana mengajakku untuk menginap di apartemennya malam ini. Akupun menyanggupi dan mengatakan akan ke sana, namun aku mengatakan harus pulang terlebih dahulu. “Aku sama Kirana ikut kamu ke rumahmu ya, boleh kan?” tanya Rana yang membuatku cukup kaget. Tak kusangka ia mengajukan diri untuk berkunjung ke rumahku. Sungguh ini sebuah pengalaman baru dan sangat mendebarkan bagiku. Rumahku yang berada di komplek perumahan biasa kini sudah tampak di depanku. Ku geser pagar besi hitam kesamping agar lebih leluasa saat aku memasukkan motorku ke halaman rumah. Mobil Rana terparkir di depan rumahku. Rumahku yang lebar depannya berkisar 17 meter dengan dinding berwarna biru muda itu tampak ramah menyambut tamu pentingku hari ini. Mamaku yang kini keluar dari dalam rumah tampak bingung memandang mobil asing yang terparkir di depan rumah. “Ma, kenalin ini Rana temanku dan gadis kecil ini namanya Kirana” aku memperkanalkan keduanya kepada mamaku. “Cantiknya kamu nak, persis kayak mamanya” ucap mamaku yang membuat Rana dan Kirana tersenyum malu. “Tuh benar kan, mamaku seleranya sama kayak aku” candaku pada Rana yang disambut dengan cubitan darinya. Perkenalan di antara mama, Kirana dan Rana berjalan lancar. Rana dan mama membicarakan banyak hal, khususnya mengenai keseharian di rumah ini. Kirana tampak asyik mengamati ikan hias di aquarium yang ada di ruang tamuku. Adikku, Doni yang masih berusia remaja kebetulan baru pulang dari sekolah dan turut kuperkenalkan kepada Rana. Sepeninggal papa 7 tahun lalu, kami memang hidup bertiga di rumah itu. Sementara kakak perempuanku, Vonny sudah 4 tahun tinggal bersama suaminya di kota Malang. Setelah berkemas, aku izin kepada mama untuk bermalam di rumah Rana. Mamaku adalah orang yang berpikiran terbuka akan segala hal. Sehingga ia tak pernah kawatir akan apapun yang aku lakukan, karena ia tahu jika anak-anaknya dapat mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan. Kamipun segera meluncur bertiga. ”Mama kamu orangnya asyik ya. Enak kalau diajak ngobrol. Kayaknya nyambung aja misalnya kita ngomongnya rada ngaco gitu” ungkap Rana tentang mamaku. “Ya begitulah mamaku. Makanya temen-temen ku pada betah kalau lagi main ke rumah. Misalnya mereka ngomongin soal musik, mamaku juga nyambung” ujarku. “I like her” kata Rana terdengar jujur.

“Thank you” ujarku sambil membelai pipi Rana yang sedang mengemudi mobilnya. Rana terlihat tersenyum. Sementara Kirana tampak tertidur pulas di bangku belakang. Gadis kecil itu adalah segalanya bagi Rana. Ia lah alasan Rana untuk menjalani hidupnya. Apa yang menjadi kebahagian Kirana merupakan kebahagian Rana juga. Semoga Kirana dapat menjadi saksi kebahagiaan yang dirasakan oleh mamanya. Aku sendiri merasa amat sayang terhadap mereka berdua. Aku berjanji akan melakukan segalanya untuk kebahagiaan mereka.

15. Gerbang Terakhir Meja makan berukuran sedang dengan alas kaca di bagian atas serta lapisan pelindung motif bunga kini tampak tak kosong lagi. Makanan dan minuman untuk sarapan pagi telah tersedia di atasnya. Kami bertiga menikmati makanan yang ada seperti kami menikmati indahnya suasana di pagi itu. Biasanya, Kirana hanya ditemani mamanya saat sarapan. Kalaupun bertiga, mungkin dengan oma atau dengan sang pengasuh. Kini kami juga bertiga. Tapi arti bertiga bagi Kirana saat ini jauh berbeda. Ini bertiga yang memberi rasa bahagia. Ini bertiga sebagai keluarga sebenarnya. Kejam rasanya jika kebahagian ini terengut darinya. Tak rela rasanya jika keceriaan ini dirampas darinya. Kirana berhak untuk mendapat kasih sayang yang tak lengkap dalam hidupnya. Satu per satu tahapan kami lalui. Satu per satu rintangan kami lewati. Kami akan selalu menghormati arti sebuah proses. Kami juga tahu semuanya tak akan mudah untuk menjadi beres. Kami kan selalu bergandengan tangan. Kami kan selalu bersama menaklukan rintangan. Rana dan Kirana adalah paket lengkap untuk hidupku. Mereka juga mau hati mereka terisi oleh kehadiranku. Seperti pagi ini yang terasa menyenangkan bagi mereka dan juga aku. Tak terasa semua makanan yang tadinya tersedia sudah habis tak tersisa. Terimakasih Tuhan atas makanan dan segala yang kau cipta. Rana, aku dan Kirana mulai merapikan perlengkapan makan dan meja secara bersama-sama. Hari ini sang pengasuh memang izin libur sehari untuk sebuah urusan keluarga. Tapi tak mengapa, justru ini menambah waktu yang berkualitas bagi kami bertiga. Kami bertiga kini berada di ruang tamu untuk sekedar menikmati waktu santai. Rana duduk di atas sofa, sedangkan aku dan Kirana memilih duduk di atas lantai. Kirana asyik memainkan salah satu boneka beruangnya. Entah itu Mimi atau Momo, aku tak tahu jelas yang mana. “Mama, kapan Nana bisa panggil papa Toni? Tanya Kirana tiba-tiba. Rana tampak bingung harus menjawab apa. “Hmm… kapan ya? Coba Nana tanya ke pak Toni deh” jawabnya ragu dan memilih melemparkan tanggungjawab itu kepadaku. Kirana pun kini menatap ke arahku. “Eh… pak Toni harus jawab sekarang ya Kirana?” tanyaku sambil melempar senyum padanya. Kirana hanya menganggukkan kepala tanpa bersuara. “Hmm… kapan ya? Begini deh. Pak Toni mau pindah sekolah dulu buat ngajar. Kirana harus pindah sekolah juga kan?” rayuku coba mencari alasan. “Tapi Kirana maunya sekolah yang ada pak Toni nya” ucapnya. Rana menatapku kebingungan. “Oke, nanti pak

Toni cari sekolah yang sama, biar Kirana bisa ikut kelas pak Toni juga. Begitu kan mau Kirana?” tanyaku sambil mengusap kepala gadis kecil itu. Kirana mengangguk sambil tersenyum senang. Kirana tanpa sengaja tertidur di pangkuanku saat kami menonton sebuah film. Aku segera mengangkat dan memindahkannya ke kamarnya. Setelah itu, akupun beranjak dari kamar Kirana dan kembali ke ruang tamu. Aku duduk di samping Rana, yang kini merebahkan kepalanya ke pangkuanku. “Gantian ya, habis anaknya sekarang mamanya” katanya sambil tersenyum menggoda. “Tapi kalau ketiduran aku nggak mau gendong ya, ntar digelindingin aja” balasku tak mau kalah. Rana tertawa lalu meletakkan tanganku di pipinya. “Emang kamu mau ngelamar kerja di sekolah mana Ton? Soalnya Nana bakal beneran gak mau sekolah lho kalau gak ada kamu di situ. Nana udah pernah bilang gitu juga ke aku waktu habis aku Tarik dia dari sekolah lama” tanya Rana sambil tetap berbaring di pangkuanku. “Rencana aku mau hubungi kenalanku yang punya sekolah. Dulu aku pernah kerja sama dia juga. aku juga ada beberapa teman yang mungkin bisa aku hubungi. Aku rasa bisa kok nanti diatur” ujarku sambil mengusap rambut Rana. “Kalau misalnya kamu gak mau ngajar, kita bisa kok jalanin butikku atau kita lanjutin lagi event organizer yang pernah aku bikin dulu. Tapi passion kamu emang di pendidikan anak sih” kata Rana mencoba menawarkan solusi. “Oh kamu pernah bikin E.O juga? Kenapa berhenti?” tanyaku. “Waktu itu aku gak banyak terlibat, yang ngurusin saudaranya Kiki, mantan suami gua. Setelah kasus perceraian itu, E.O aku tutup aja. Soalnya gak bisa fokus juga kan buat ngapa-ngapain” jelasnya. “Oh, gitu ceritanya. Menarik sih, tapi gini… pertama, seperti yang kamu bilang, passion aku memang di pendidikan anak. Jadi aku mau coba tetap di bidang yang aku sangat kuasai dan nikmati. Kedua, kalau jalanin butik kamu untuk sekarang ini mungkin kurang tepat, karena situasinya aku belum dapat lampu hijau dari mamamu. Itu akan semakin memperburuk persepsinya ke aku Ran. Kalau soal E.O itu menarik, kita harus lanjutkan itu. Aku punya teman yang pas banget buat urusan ini. Aku yakin bisa jalan, orangnya sangat bisa dipercaya” jawabku. “Ya udah, aku percaya kok kamu bisa temukan apa yang kamu cari. Aku selalu suka gimana optimisnya kamu” ucap Rana sambil terseyum dan melihat ke arahku. Kukecup mama dari Kirana itu sebagai ucapan terimakasih atas kepercayaannya padaku. Aku menatap wajah yang tersenyum bahagia itu. “Eh Ran, jadi nama Kirana itu diambil dari nama

Kiki dan Rana ya? Aku baru sadar waktu kamu sebut nama Kiki tadi” tanyaku pada Rana. “Iya. Kebetulan aku juga suka nama itu. Waktu aku kecil, aku juga suka dipanggil Nana. Kenapa Ton? Mau ganti namanya biar bisa nyambung dengan namamu? Nirana atau Tirana gitu? Hehe…” Rana berkata-kata sambil memejamkam matanya. “Ah, enggaklah. Kirana itu kan satu-satunya yang tersisa dari hubungan kamu dengan Kiki. Itu nggak boleh dan jangan pernah untuk diubah dengan maksud apapun. Jadikan itu sebagai penghormatan buat dia. Bagaimanapun juga, dia adalah ayah kandung Kirana dan nama itu kalian pilih di saat kalian bahagia kan? Jadi, biar kebahagiaan itu masih tersisa. Aku nggak mau ambil alih posisi Kiki untuk hal-hal tertentu, karena memang aku nggak punya hak” tegasku. Rana kini bangkit dari posisi tidurnya hingga kini ia duduk tegak di hadapanku. “Aku suka kamu selalu pegang teguh prinsip kamu Ton. Apa yang kamu bilang barusan bisa bikin aku berbesar hati dan itu nggak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku selalu saja diliputi kepahitan dan emosi jika mengaitkan diri soal Kiki. Bersama kamu aku bisa lebih tenang dan bawa diri. Aku nggak salah pilih kamu untuk dampingi aku dan Nana. “I love you Ton” ucapnya sambil memelukku. Aku senang jika Rana dapat mengalami perkembangan dan semakin kuat dalam menguasai dirinya. Ini berarti proses yang selama ini aku coba jaga dan lakukan bisa berjalan dengan baik. Ini sebuah hal yang amat berharga baik buat aku maupun Rana. Sebab, tak ada yang mudah dalam hal memperbaiki cara orang bersikap dan berperilaku. Sosok dalam dekapanku ini makin berarti dalam hidupku. Aku tak pernah memperkirakan akan melalui jalan ini dalam hidupku. Tapi aku akan mencoba untuk selalu siap menghadapi apapun yang diberikan oleh-Nya. Rana dan Kirana adalah pemberian terbaik yang pernah kudapatkan dari sang pemberi kehidupan. Semoga kami bisa selalu bersama. Semoga semesta mendukung kami senantiasa. Tak mungkin aku tak mensyukuri apa yang telah kumiliki saat ini. Tak mungkin juga aku tak menguntai asa dalam doa. Ku tak akan lelah tuk jaga hati ini agar bisa selalu bisa memberi rasa pada mereka. Tak lama setelah itu, aku coba menghubungi Ibu T dan menceritakan situasi dan kebutuhanku saat ini. Selain itu, aku juga menghubungi Rani dan Elis untuk mencari tahu apakah ada yang mereka bisa bantu dengan situasiku saat ini. Sayang aku tak punya nomer Mardi yang baru karena nomer lamanya sudah tak aktif lagi. Risti sendiri kabarnya menurut informasi Ibu T sudah pindah ke pulau Sumatera. Aku hanya bisa berharap

agar teman-teman baikku itu dapat memperoleh kesuksesan di jalan mereka masing-masing. Sementara aku harus menunggu kabar lebih lanjut dari ibu T yang sedang mengusahakan agar aku dapat bergabung dengannya lagi. Demikian juga dengan Kirana yang kemungkinan bisa langsung terdaftarkan di sana. Sore itu aku menanyakan pada Rana apakah aku masih perlu bermalam lagi atau aku dapat pulang terlebih dahulu dan kembali keesokan harinya. Rana mengatakan jika ia masih mengharapkan agar aku masih mau tetap di situ sampai esok pagi. Rana juga mengatakan jika ia ingin mengajakku untuk jalan bertiga bersama Kirana nanti untuk makan malam di suatu tempat. Akupun menuruti kemauan Rana yang sepertinya memang tak ingin aku tinggalkan terlalu cepat. Aku yang saat itu sedang duduk di sofa ruang tamu membayangkan apakah nantinya aku memang akan tinggal bersama mereka di sini? Atau siapkah mereka untuk hidup lebih sederhana namun lebih bersahaja? Aku tak tahu dan sepertinya belum saatnya untuk mencari tahu. Sesuai rencana sebelumnya, malam ini kami bertiga pergi untuk menikmati makan malam kami di sebuah restoran yang menyediakan berbagai makanan oriental atau Chinese food. Kami memesan menu favorit kami masing-masing. Seperti biasa, kami menikmati makanan kami dengan lahapnya. Kami juga tak lupa membawakan makanan untuk pengasuh Kirana yang sudah kembali sore tadi. Selagi kami bersiap untuk pulang, Rana menerima telepon dari sesorang. Ia mengangkatnya, ternyata itu telepon dari mamanya. Rana berbicara tak cukup lama dan kemudian mengalihkan teleponnya kepada Kirana. Rupanya oma sedang kangen dengan cucunya. Kirana tampak antusias menceritakan kegiatan kami bertiga selama ini. Lalu terlihat ia hanya mengangguk dan mengatakan kata ‘iya’ berulang kali. “Mama mau nginep di tempatku malam ini Ton. Sepertinya kamu memang harus pulang dulu” ujarnya tampak sedikit kecewa. “Tapi aku mau kamu janji ke aku untuk datang besok pagi. Karena aku mau kamu ketemu sama mama besok. Aku mau kita bicara tentang rencana kita” kata Rana. “Ya, aku janji. Aku pasti datang menemui mamamu besok” janjiku pada Rana. “Malam ini biar aku coba bicara dulu dengan mama. Moga-moga Kirana juga bisa tunjukin kebahagiaan dia saat ini” kata Rana penuh harap. Kirana tampak sudah selesai erbicara dengan omanya. “Nana nanti bilang ke oma ya kalau Nana seneng banget ada pak Toni bersama kita” ucap Rana sambil membelai rambut anaknya. “Tadi Nana udah bilang ma. Nana juga bilang

ke oma kalau Nana nanti mau panggil papa Toni” celoteh bocah cantik itu. Tentu saja jawaban Kirana membuat Rana tersentak. “Nana udah kasih tahu oma? Terus oma bilang apa?” tanya Rana penasaran. “Oma tanya, Nana happy nggak sama pak Toni? Terus Nana bilang happy” jawab Nana terus terang. “Ih, anak mama ini pinter banget sih?” kata Rana sambil memeluk dan mencium Kirana berulang kali. “Kata oma nanti oma mau bicara sama mama. Nanti mama bilang happy juga ya ma…” cetus Kirana sambil tersenyum penuh arti. “I will. Mama pasti bilang ke oma kalau mama happy banget kalau ada pak Toni di rumah kita” tegas Rana sambil kembali mencium anaknya. “Semoga ini jadi awal yang baik ya Ran” ujarku sambil memeluk Rana. Rasa kesal Rana sepertinya sudah terhapus oleh sebuah asa yang teramat besar. Ia pasti tak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja. Aku juga berpesan agar ia berbesar hati dan menjaga emosi. Rana berjanji padaku untuk hal itu. Suasana jalan saat itu cukup ramai, meski tak terlalu padat juga. Aku dalam perjalanan pulang menuju rumah. Taksi yang membawaku cukup gesit melewati sisi jalan yang terkadang cukup padat. Setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan rumahku. Saat aku masuk, mama sedang di ruang TV bersama Doni adikku. Aku segera nimbrung bersama mereka dan kamipun saling berbagi cerita tentang berbagai hal. Aku juga menceritakan perkembangan hubunganku dengan Rana. Aku sekaligus menceritakan rencanaku besok untuk menemui orangtua Rana. Mamaku justru lebih tegang dibanding aku sendiri. Kalau Doni adikku hanya diam sambil manggut-manggut seolah memahami arah pembicaraan kami. Aku hanya

berharap

bertanggungjawab

agar

Doni

dan

bisa

kelak menjadi

juga sosok

menjadi yang

laki-laki hebat.

yang

Mamaku

mengatakan kalau ia akan berdoa untuk mendukung rencanaku esok hari. Terimakasih Ma… Pagi ini aku sudah rapi dan siap untuk berangkat. Mama mempersiapkan sarapanku plus dengan wejangan-wejangan sebagai vitamin tambahan. Sebelum makan, mama mengajak berdoa bersama sekaligus mendoakan kelancaran pertemuanku hari ini. Baru aku selesai dengan makananku, ponselku berbunyi dan kulihat sebuah panggilan dari Ibu T. Segera aku angkat dan aku jawab penggilan itu. Ibu T memberiku kabar kalau ia menerimaku bekerja di tempatnya, hanya aku tak ditempatkan sebagai pengajar. Aku digabungkan dalam tim training & development dan dapat bergabung mulai minggu depan. Sedangkan mengenai Kirana, ia bisa bergabung sebagai murid baru di term berikutnya yang baru akan di mulai

bulan depan. Bagiku ini sebuah keajaiban di saat akhir. Ibarat sebuah gol kemenangan di penghujung waktu pertandingan atau injury time. Pastinya ini juga berkat doa mama yang amat tulus mengharapkan kebaikan bagi anaknya. Aku makin semangat menuju ke tempat Rana. Berita gembira yang kudapat tadi membuat energi dan gairahku semakin tinggi. Namun aku tak mau jadi gegabah dan kehilangan konsentrasi selama di jalanan. Tak lama lagi aku akan sampai di komplek apartemen Rana. Aku hubungi Rana dan mengatakan jika aku sudah ada di bawah. Hal ini memang harus kulakukan untuk dapat memperoleh akses menuju ke unit tempat Rana tinggal. Lift yang membawaku ke lantai 8 sudah terbuka dan aku berjalan mendekati pintu unit Rana. Ada debaran di jantungku saat makin dekat dengan ptintu itu. Aku mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di balik pintu itu. Kini aku berhenti di depan pintu dan terdiam sejenak. Aku mulai meggerakkan tanganku untuk mengetuk pintu. Tiga kali pintu itu aku ketuk dan beberapa detik kemudian pintu pun terebuka. “Pak Toni…. teriak Kirana melihat kedatanganku. Ia lantas memelukku layaknya tak bertemu dalam waktu yang lama. Kamipun segera masuk ke ruang tamu. Di sofa kulihat Rana sedang duduk dan segera berdiri menghampiriku sambil tersenyum. Aku kecup pipi Rana sebagai ucapan salam jumpaku. Selepas itu Rana memintaku untuk duduk dan ia pun berlalu menuju kamar Kirana.”Ma, Toni udah datang ma” ucapnya lembut memanggil mamanya. Selang tak berapa lama, kulihat seorang perempuan yang melewati usia paruh baya berjalan di samping Rana. Ia tampak masih terlihat anggun dan menawan di usianya. Jelas sudah kecantikan Rana dan Kirana diwariskan oleh mamanya. Sorot mata perempuan ini menandakan jika ia adalah sosok yang tegas dan kuat. Meski dulu ia selalu menjemput Kirana saat pulang sekolah, tapi aku tak pernah melihatnya karena omanya Kirana hanya menunggu di mobil saja. “Pagi tante, saya Toni” ucapku memperkenalkan diri. “Saya mamanya Rana” balasnya dengan suara datar. Aku dipersilahkan duduk. “Ma, ini Toni yang sering aku dan Nana certain. Mungkin mama udah pernah lihat di sekolah Nana dulu” kata Rana yang duduk di sisiku. “Ya, tante. Saya gurunya Kirana dulu. Sekarang saya sudah tidak mengajar di tempat itu lagi dan akan segera pindah di sekolah lain. Rencananya Kirana juga akan terdaftar di sana. Rana tampak terkejut mendengar penyampaianku barusan. Tapi ia mampu menguasai dirinya dengan baik. Lalu oma Kirana menanyakan beberapa hal tentang aku, yang kemudian aku jawab dengan

lugas dan apa adanya. Ia juga ingin agar aku menceritakan tentang keluargaku. Sudah beberapa menit kami bicara dan sejauh itu situasi masih terbilang aman. Tiba saatnya aku ditanya tentang keseriusanku dalam menjalin hubungan dengan Rana. Hal ini tak boleh dijawab begitu saja mengingat ini adalah bagian terpenting dalam pembicaraan kami. “Saya serius dalam menjalin hubungan kami tante. Berbekal kedekatan dan pengetahuan yang ada, saya akan menjadi ayah, guru dan jua teman buat Kirana. Selama saya menjalin hubungan, saya bisa katakan kalau baik Rana dan Kirana bisa merasakan kebahagiaan yang mungkin selama ini belum terlengkapi. Oleh karena itu, saya minta restu dari tante untuk dapat menjadi pasangan yang dibutuhkan Rana dan menjadi papa yang baik bagi Kirana” jelasku setenang mungkin. “Begini ya Toni. Kamu sudah tahu kan kalau Rana pernah mengalami kegagalan yang fatal dalam pernikahannya terdahulu? Dan itu adalah murni pilihan dia sendiri waktu itu, tanpa mau dibantah. Itu sangat menyakitkan buat dia dan juga saya sebagai orangtuanya. Maka dari itu, saya benar-benar berhati-hati saat Rana mulai memilih pasangan. Saya nggak mau kejadian yang sama terulang lagi. Tante nggak mau kecolongan lagi. Dulu tante masih kuat menghadapi itu. Tapi kalau terjadi lagi sekarang ini, mungkin saya bisa langsung mati. Jadi berat bagi saya untuk membiarkan Rana begitu saja memilih pasangan hidupnya yang baru. Saya harap kamu bisa ngerti situasinya” ucap mama Rana dengan penuh penekanan. Rana tampak terdiam sambil memegang erat lenganku. Sementara Kirana sedang asyik di kamar bersama pengasuhnya. Aku sendiri hanya menganggukkan kepala untuk merespon setiap pembicaraan mama Rana. “Tante sudah mendengar soal kamu dari Rana dan kami sempat bersitegang karena itu. Cucu saya satu-satunya, Nana, lebih sering lagi cerita tentang pak Toni hampir di setiap pulang sekolah atau sewaktu dia main ke tempat saya. Hanya menurut saya, wajar bila saya masih sangat kawatir. Saya nggak bisa mengabaikan kehati-hatian saya soal pasangan hidup Rana, nggak bisa. Tapi saya juga nggak bisa membohongi hati nurani saya melihat betapa bahagianya Rana dan cucu saya saat ini. Mereka berdua nggak pernah sebahagia ini sebelumnya” ungkapnya sambil matanya mulai berkaca-kaca. “Rana, kalau kamu memang yakin dengan Toni, kalau kamu merasa kamu bahagia bersama dia, mama merestui kamu nak. Orangtua mana yang

nggak mau melihat anaknya bahagia?” ucapan terakhirnya itu membuat suasana menjadi meledak. Tangisan Rana pun pecah seketika. Begitu pula dengan mamanya. Mereka saling berpelukan erat dan larut dalam tangis mereka. “Terimakasih ma…. Terimakasih ma….” kata itu terucap berulang kali dari mulut Rana. Itu momen saat Rana meluapkan segala emosinya yang tertahan selama ini. Mungkin ia tak menyangka kalimat persetujuan akan terlontar dari mulut mamanya saat itu juga. Aku sendiri berusaha menyeka mataku yang juga mulai basah dengan butiran air mata. Aku hampiri Rana dan mamanya. “Tante, saya ucapkan terimakasih atas persetujuan tante. Ini benar-benar sangat membahagiakan saya” kataku sambil berlutut di depannya. Mama Rana memegang pundakku dan berkata “Kamu jaga Rana baik-baik ya Ton. Saya titip Rana dan Nana ke kamu. Tolong jangan kecewakan saya” ucapnya kini sambil memegang kepalaku. “Saya janji tante, saya janji” tegasku kepadanya. Kini Rana mendekat padaku dan kamipun berpelukan erat. Mama Rana segera memanggil Kirana untk datang “Nana… Nana, kemari sayang” Kirana pun berlari menghampiri kami. “Nana, dengar oma ya. Nana sekarang udah boleh panggil papa Toni” katanya sambil tersenyum dan memeluk cucunya itu. Seketika suasana pun kembali haru. Aku memacu motorku dengan kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya. Aku merasa ingin sekali menyampaikan kabar baik ini kepada mamaku. Ia harus tahu tentang kebahagiaan ini. Meski demikian aku tetap harus waspada agar dapat kembali pulang dengan selamat. Beruntung lalu-lintas saat itu tidak terlalu macet, sehingga perjalanan pulangku tak perlu menempuh waktu yang terlalu lama. Tapi meski demikian perasaan ingin segera tiba di rumah membuat waktu seakan berjalan sangat lambat. Jarak yang hendak ditempuh pun terasa lebih jauh dari biasanya. Kini aku telah sampai di depan rumah. Kubuka pintu gerbang dan kuparkirkan motorku di halaman rumah. “Ma… Mama…” aku memanggilmanggil mamaku. Ternyata mamaku sedang ada di kamarnya. Aku ketuk kamar mamaku dan ia membukanya. “Gimana Ton?” tanyanya dengan penih harap. Aku mendudukkan mamaku di tepi ranjang dan segera berlutut di hadapannya. “Ma, berkat doa mama, aku dapat restu dari mama nya Rana” kataku sambil bersujud. Mamaku terdengar mengucapan syukur dan ia membimbingku untuk berdiri dan memelukku erat. “Selamat ya nak, ini berkat dari Tuhan. Sekarang kamu harus janji untuk tidak mengecewakan siapapun termasuk dirimu sendiri. Ingat itu” katanya

sambil menatap ke arahku. “Aku janji ma, aku janji” jawabku. Kamipun kembali berpelukan.

41 hari selanjutnya… Sebuah motor berhenti di depan sebuah rumah yang tampak sepi. Pengendara mengeluarkan sebuah paket kiriman berukuran tipis dari salah satu keranjang yang ada di sisi belakang motornya. Tak lama berselang keluar seorang bocah laki-laki berusia 13 tahun untuk menerima paket tersebut. Ia pun segera berteriak memanggil sebuah nama “Kak… kak Rani… ini ada paket” Seorang perempuan muda berambut lurus sebahu dan bermata bulat ini menerima dan segera membuka paket itu. ternyata itu sebuah undangan pernikahan. Dibukalah undangan itu dan ia pun tersenyum lebar membaca nama yang terera di undangan itu: TONI & RANA