Data Loading...
Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia Flipbook PDF
Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia
107 Views
83 Downloads
FLIP PDF 1.86MB
S E J A R A H PERKEMBANGAN
INTELEKTUAL
IDISINDONESIA LAM DARI ABAD XIX SAMPAI MASA KONTEMPORER
Dr. Miftahuddin, M.Hum.
SEJARAH PERKEMBANGAN INTELEKTUAL ISLAM DI INDONESIA DARI ABAD XIX SAMPAI MASA KONTEMPORER Oleh: Dr. Miftahuddin, M.Hum. ISBN: 978-602-6338-70-9 Edisi Pertama, September 2017 Diterbitkan dan dicetak oleh:
UNY Press
Jl. Gejayan, Gg. Alamanda, Komplek Fakultas Teknik UNY Kampus UNY Karangmalang Yogyakarta 55281 Telp: 0274 - 589346 E-Mail: [email protected] © 2017 Miftahuddin Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Anggota Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) Editor: Muhammad Hasan Desain Sampul: Rika Fajar Rahmadi Tata Letak: Arief Mizuary Isi di luar tanggung jawab percetakan Miftahuddin Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia dari Abad XIX sampai Masa Kontemporer --Ed.1, Cet.1.- Yogyakarta: UNY Press 2017 vi + 154 hlm; 15,5x23 cm ISBN: 978-602-6338-70-9 1. Sejarah Perkembangan Intelektual Islam di Indonesia dari Abad XIX sampai Masa Kontemporer 1. Judul Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memper banyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.
2.
Ketentuan Pidana Pasal 72: Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidanakan dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil Pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberi keteguhan dan kesabaran untuk menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa shalawat serta salam penulis haturkan ke haribaan Nabi Muhammad Saw. yang telah memberikan bimbingan moral dan akhlak kepada umat manusia serta membawa agama Islam sebagai agama tauhid yang diridhoi-Nya. “Karya sejarah tidak akan pernah usang diterjang waktu”, karena sejarah sebagai rekaman masa lalu umat manusia ia tetap relevan untuk diketahui jika sadar bahwa hari depan berkaitan erat secara kesinambungan dengan hari sekarang, dan hari sekarang berkaitan erat pula kesinambungannya dengan hari kemarin. Oleh karena itu, buku ini sebagai tulisan sejarah diharapkan dapat menjadikan media pencerahan bagi kalangan pembaca dan umumnya masyarakat. Paling tidak, dengan hadirnya buku ini diharapkan dapat mengurangi dari begitu banyak informasi sejarah yang tersimpan di perpustakaan dan belum diketahui khalayak pembaca secara luas. Buku yang berada di hadapan pembaca ini hadir berkat dukungan dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor UNY yang telah menerima usulan penulisan buku bagi dosen di lingkungan UNY. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dosen Prodi Ilmu Sejarah FIS UNY yang telah membantu menunjukkan literatur dan memberi pinjaman buku yang berhubungan dengan tulisan ini sehingga penulis merasa ringan dalam penyusunan tulisan. Tidak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis tujukan kepada keluarga (istri dan anak-anak) yang telah bersabar menyemangati sehingga tulisan ini bisa terwujud.
iii
Akhirnya, dengan segala kelemahan dan kekurangan serta kemampuan yang penulis miliki, tentu saja tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, sewajarnya apabila penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan ini. Semoga kritik dan saran para pembaca dapat memberi manfaat dan menjadi bekal pengetahuan bagi penulisan selanjutnya, serta para pembaca umumnya untuk menyempurnakan penulisan ini di masa yang akan datang. Amin Ya Rabbal ‘alamin. Yogyakarta, Agustus 2017 Penulis,
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... iii DAFTAR ISI.........................................................................................................................v PENDAHULUAN................................................................................................................ 1 BAB I
AWAL PEMBUMIAN ISLAM DI NUSANTARA.................................................... 5 A. Model Awal Islamisasi di Nusantara .......................................................... 5 B. Pendidikan sebagai Sarana Pengembangan Intelektual Islam................16 C. Awal Pertumbuhan Intelektual Islam.......................................................21
BAB II DINAMIKA INTELEKTUAL ISLAM ABAD XIX SAMPAI PERTENGAHAN ABAD XX..........................................................................................................35 A. Kehidupan Sosial-Keagamaan Umat Islam Abad ke-19...........................35 B. Wacana Intelektual Islam Abad ke-19......................................................45 1. Akar Pembaruan Islam di Indonesia ................................................45 2. Keilmuan Islam di Pesantren: Akar Islam Tradisional ......................57 C. Kondisi Sosial-Keagamaan Umat Islam Awal Abad ke-20........................64 D. Islam Modern vs Islam Tradisional...........................................................67 E. Relasi Islam dan Negara...........................................................................75 1. Pandangan Kaum Tradisionalis ........................................................75 2. Pemikiran Islam Soekarno................................................................77 3. Pemikiran Mohammad Natsir .......................................................... 80 BAB III WACANA INTELEKTUAL ISLAM MASA KONTEMPORER................................85 A. Islam dan Kondisi Sosial-Politik Masa Orde Baru ....................................85 B. Peran Kaum Intelektual dalam Pembaruan Islam ...................................97 1. Konsep Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid...............100 2. Islam Rasional Harun Nasution: Kritik Atas Pembaruan Islam ......108
v
3. 4. 5. 6. 7.
Pribumisasi Islam Gus Dur..............................................................113 Reaktualisasi Islam Munawir Sjadzali.............................................121 Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo....................................................124 ICMI dan Gerakannya......................................................................129 “Teologi Kerukunan” Azyumardi Azra.............................................131
C. Peran Anak Muda NU dalam Pembaruan Islam.....................................134 D. Menilik Ulang Konsep Pembaruan dalam Islam....................................141 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................145
vi
PENDAHULUAN
Dalam sejarah dapat disaksikan bahwa peran para intelektual Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan jika ingin melihat perkembangan Islam itu sendiri. Demikian pula, mengetahui pemikiran dan keberadaan para intelektual Islam di Indonesia adalah penting apabila ingin mengetahui corak Islam atau praktik keberagamaan Islam yang ada di Indonesia. Untuk itu, tulisan ini mencoba menyuguhkan perkembangan pemikiran Islam yang ada di Indonesia, khususnya dari abad ke-19 sampai masa kontemporer. Pada dasarnya tulisan ini ingin menyuguhkan pemikiran Islam modern di Indonesia, sehingga abad ke-19 diambil sebagai batasan awal. Diketahui, bahwa abad ke-19 adalah mulai muncul pemikiran modern Islam atau awal pembaruan Islam di Indonesia. Sementara itu, mengambil batasan sampai masa kontemporer yang dimaksud adalah pemikiran Islam kekinian di Indonesia. Tanpa mengabaikan periode-periode perkembangan dan pemikiran Islam di Indonesia sebelumnya, diharapkan dengan melihat perkembangan intelaktual Islam sejak abad ke-19 sampai kekinian, maka akan diketahui seperti apa corak atau model Islam yang ada di Indonesia. Selanjutnya, dapat diterangkan bahwa sejarah intelektual atau sejarah pemikiran itu sendiri merupakan terjemahan dari history of thought, history of ideas, atau intellectual history. Sejarah pemikiran dapat pula didefinisikan sebagai the study of the role of idea in historical events and process. Sementara itu, jenis pemikiran bisa bermacam-macam, bisa mengenai politik, agama, ekonomi, sosial, hukum, filsafat, budaya, dan sebagainya.1 Dalam buku ini, pemikiran agama (Islam) adalah bagian yang akan dipaparkan. Demikian pula dapat dijelaskan bahwa fokus sejarah intelektual adalah sejarah yang memaparkan dan mempelajari ide-ide. Alam pikiran manusia pada masa 1 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 189-190.
1
lalu pada hakikatnya menjadi perhatian utama sejarah intelektual. Biasanya alam pikiran itu mempunyai struktur-struktur, dan struktur-struktur ini dianggap lebih dapat bertahan lama dan mempunyai pengaruh langsung terhadap perbuatan manusia dari pada struktur sosial-ekonomi.2 Sejarah intelektual dapat juga berarti sejarah yang mempelajari etos, jiwa, ide, atau nilai-nilai yang mempengaruhi kehidupan manusia atau masyarakat bahkan bangsa dan negara, dari zaman dahulu hingga sekarang.3 Sejalan dengan pengertian-pengertian di atas, bahwa tulisan ini adalah bagian dari sejarah intelektual, yang dalam konteks ini mengungkapkan perkembangan pemikiran Islam sekaligus para tokoh intelektual Islam yang terlibat di dalamnya. Pada akhirnya dapat disaksikan bahwa pemikiran para tokoh intelektual Islam itulah yang banyak dijadikan rujukan dalam praktik keberagamaan di Indonesia. Dalam kenyataannya dapat dilihat pula bahwa praktik keberagamaan Islam mainstream di Indonesia yang sebenrnya merujuk pemikiran para tokoh intelektual Islam adalah Islam yang menyejukkan dalam praktik dan Islam yang rahmatan lil alamin. Dapat dikatakan pula, bahwa para intelektual Islam di Indonesia adalah orang-orang yang dapat dikategorikan, menurut Selo Soemardjan, mempunyai atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, yang terkait kepada hal-hal rohani, seperti kesenian atau ide-ide demi seni atau ide itu sendiri. Para intelaktual Islam di Indonesia dapat dipahami sebagai bagian komunitas yang dipandang atau yang memandang dirinya sebagai intelektual, yang mempunyai kemampuan untuk sungguh-sungguh berpikir bebas. Yang membedakan seorang intelektual dari seorang non-intelektual, bukanlah kemampuan untuk memakai kesanggupan nalarnya, karena tiap orang normal diwarisi dengan kemampuan itu. Akan tetapi, yang membuat seorang intelektual menonjol di tengah yang non-intelektual adalah kemampuan berpikir bebas sebagai lawan dari kecenderungan mengikuti saja pikiran orang lain. Lebih lanjut dikatakan, konsep bebas yang dimaksud adalah, bahwa seorang intelektual mempunyai pengamatan yang cermat terhadap gejala-gejala di suatu lingkungan, mempunyai pemahaman tentang gejala-gejala 2
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 327.
3
Leo Agung, Sejarah Intelektual, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 2.
2
itu dan korelasinya dengan gejala yang lain, dan pada akhirnya dapat merumuskan suatu kesimpulan yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bahasa yang jelas.4 Jadi, pengertian tersebut tampaknya tergambar pada diri para intelektual Islam atau para pemikir Islam yang ada di Indonesia.
4
Selo Soemardjan, “Peranan Cendekiawan dalam Pembangunan Nasional”, Prisma, No. 11, November 1976 tahun V, hlm. 3-4.
3
BAB I AWAL PEMBUMIAN ISLAM DI NUSANTARA
A. Model Awal Islamisasi di Nusantara Sejak awal Islam hadir di Nusantara bisa disambungkan dengan Islam yang ada di Timur Tengah. Jejak-jejak itu bisa dilacak dari pendakwa yang menyebarkan Islam di Nusantara. Meskipun tidak langsung diimpor dari Timur Tengah, melainkan dari beberapa negara yang terislamisasi terlebih dahulu, tetapi kehadiran pendakwah Islam di Nusantara sangat menyadari betul tradisi yang berkembang di Nusantara. Islam yang dibawa tampak bukannya memberangus tradisi yang ada, tetapi bahkan merevitalisasinya menjadi medium dakwah yang efektif dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Islam Nusantara memiliki kesinambungan tradisi, meski dipilih dan dijeda oleh letak geografis yang berbeda. Jaringan kiai dan guru tempat menimba ilmu, di samping kesamaan kitab atau buku rujukan juga menjadi perekat ideologi.5 Para sarjana dan peneliti tentang proses kedatangan dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu hampir sepakat dengan kenyataan bahwa Islamisasi kawasan ini umumnya terjadi melalui jalan damai. Diketahui, para pedagang Muslim sudah berada di Nusantara sejak paling kurang pada abad ke-7. Orang Arab sudah mulai tiba di Kepulauan Indonesia pada abad ke-76, bahkan kemungkinan abad ke-5. Penemuan di Champa (tahun 1036), 5 Ahmad Fawaid Sjadzili, “Islam Nusantara: Pertautan Doktrin dan Tradisi”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 26 Tahun 2008, hlm. 9. 6
Keberadaan komunitas Arab di Nusantara sejak abad ke-7 ini sejalan dengan pandangan sejumlah ahli Indonesia yang sepakat dengan teori-teori Arab. Dalam seminar-seminar kedatangan Islam ke Indonesia yang diadakan pada 1963 dan 1978, mereka menyimpulkan bahwa Islam datang secara langsung dari Tanah Arab bukan dari India, bukan pada abad ke-12 atau ke-13, melainkan pada abad pertama
5
di Phanrang (tahun 1025-1035), dan di Leran (tahun 1082), membuktikan kebenaran yang mengatakan bahwa orang Arab sudah mencapai Kepulauan Indonesia jauh sebelum abad ke-16.7 Tentu saja ada sedikit kasus tentang penggunaan kekuatan oleh penguasa Muslim Melayu-Indonesia untuk mengonversi rakyat atau masyarakat di sekitarnya menjadi Islam, tetapi secara umum pengislaman berlangsung melalui cara-cara damai. Tingkat penerimaan Islam pada satu bagian atau bagian yang lainnya bergantung tidak hanya pada waktu pengenalannya, tetapi tak kurang pentingnya pada waktu budaya lokal yang dihadapi Islam. Misalnya, di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritim dan sangat terbuka terhadap kehidupan kosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah dan dalam daripada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih tertutup.8 Sebagai kawasan perantara yang dilintasi semua rute-rute perdagangan maritim besar yang mengaitkan Tiongkok dengan India, dan lebih jauh dengan Laut Tengah, dunia Melayu tersentuh oleh semua ideologi dan agama yang pernah berkembang di jaringan itu. Kedua agama besar dari anak benua India, yaitu agama Hindu dan secara sekunder agama Budha, yang masuk ke Jawa masing-masing pada abad ke-5 dan ke-8, telah mempengaruhi secara mendalam peradaban kawasan ini. Demikian pula, rute perdagangan itu sejak dini juga dilalui oleh saudagar-saudagar Islam (di Kwantung memiliki masjid sejak abad ke-8, namun negara-negara Islam baru timbul di Nusantara pada penghujung abad ke-13).9 Jumlah negara yang menganut agama Islam itu berlipat ganda selama abad ke-14, ke-15, dan ke-16 di sepanjang jaringan perdagangan besar tersebut di atas. Pola khusus penyebaran Islam ini memberikan warna khas pada negara-negara Islam angkatan pertama yang lazim dikenal dengan nama kesultanan-kesultanan Melayu. Kesultanan tersebut adalah negara pelabuhan dengan wilayah agraris yang sangat terbatas, karena kegiatannya Hijrah atau abad ke-7. Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 28. 7
Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 43. 8
Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 18-19.
9
Henri Chambert Loir dan Claude Guillot (ed.), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 227.
6
sepenuhnya terpusat pada perdangan internasional. Penduduknya sangat beragam dan mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, wilayah penggunaan bahasa Melayu berkembang sejajar dengan Islam di semua pelabuhan Nusantara. Budaya baru yang berdasarkan Islam dan berciri dagang ini terutama berkembang di daerah-daerah pesisir, sementara pengaruhnya terhadap penduduk pedalaman sangat terbatas.10 Islamisasi Nusantara merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner. Manakala Islam segera memperoleh konversi banyak penguasa lokal, Islam kemudian berkembang di tingkat rakyat bawah. Islamisasi pelbagai kelompok etnis yang hidup di pelbagai wilayah yang berbeda benar-benar bukan merupakan bentuk konversi tunggal dan seragam, melainkan suatu proses panjang menuju kompromi yang lebih besar terhadap eksklusivitas Islam; proses ini, yang masih dapat diamati secara jelas, masih terus berlanjut sampai saat ini. Pelbagai faktor memberikan sumbangan terhadap proses menuju kompromi ini. Perkembangan keilmuan dan pembelajaran Islam secara lokal, kontak keagaamaan dan intelektual dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah, dan perubahan sosial, ekonomi, dan politik, memberikan kontribusi penting dalam pencapaian kompromi lebih besar dengan Islam.11 Sementara itu, dalam perkembangan Islam awal di Indonesia, antara pertengahan abad ke-9 dan akhir abad ke-14, Barus merupakan bandar metropolitan yang menjadi awal terbangunnya pusat pendidikan Islam. Berbagai ideologi dan agama berpapasan di Barus. Sebagian penduduk Barus beragama Hindu Brahma, Buddha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Kini, tempat pertemuan budaya yang luar biasa itu meninggalkan sejumlah kuburan orang Islam lama lengkap dengan inskripsi yang tersebar di beberapa pekuburan yang tidak berjauhan. Kebanyakan pekuburan itu berasal dari abad ke-14 dan awal abad ke-15, dan beberapa diantaranya adalah orang-orang bergelar syekh. 12 Kebanyakan inskripsi pada batu nisannya berbahasa Arab, dan sebagian kecil berbahasa Parsi. Pada abad ke-15 10
Ibid., hlm. 228.
11
Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 21.
12
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 29.
7
Islam sedang berkembang sebagai kekuatan yang besar dan menjadikan Indonesia kawasan yang paling dinamis dan Barus terkenal sebagai eksportir minyak wangi barus (bukan kapur barus) yang sangat disukai oleh pengeran dan bangsawan Arab, Parsi, dan Cina. Bangsawan Cina menyukai minyak wangi Barus itu sejak abad ke-6.13 Pada waktu sebelumnya, kerajaan Sriwijaya diketahui telah mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan ke-8, sedangkan Selat Malaka sudah mulai dilalui pedagang-pedagang Muslim dalam pelayaran ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur. Sementara itu, Sriwijaya yang kekuasaannya ketika itu meliputi daerah Kedah, melindungi orang-orang Muslim tersebut. Orang-orang Muslim diperkirakan sejak abad ke-7 telah memiliki perkampungan di Kanton. Baru pada abad ke-12 Sriwijaya, yang sejak abad ke-7 sampai abad ke-12 menunjukkan kemajuan dalam bidang ekonomi dan politik, mulai menunjukkan kemundurannya yang prosesnya terbukti pada abad ke-13. Kemunduran dalam bidang perdagangan serta politik kerajaan Sriwijaya dipercepat pula oleh usaha-usaha kerajaan Singasari di Jawa yang mulai mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275. Pengiriman Arca Amoghapaca sebagai perlambangan ayah Raja Kertanegara sekitar tahun 1286, merupakan pengukuhan kekuasaannya terhadap kerajaan Melayu di Sumatera.14 Sejalan dengan kelemahan yang dialami kerajaan Sriwijaya, pedagang-pedagang Muslim yang disertai para mubaligh lebih berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan dagang dan keuntungan politik. Mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul; dan yang menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam, seperti Samudara Pasai di pesisir timur laut Aceh, Kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh Utara kini. Daerah lainnya yang diperkirakan masyarakatnya sudah banyak yang memeluk agama Islam adalah Perlak.15 Fakta-fakta Islamisasi di Indonesia pada kenyataannya dapat diuraikan tidaklah membedakan mana “awal masuk” dan “masa perkembangannya” 13
Ibid., hlm. 30.
14
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 1-3. 15
Ibid., hlm. 3.
8
atau “awal masuk” dan “pengaruh kemudian”. Kedatangan Islam ke Indonesia telah berproses melalui beberapa tahapan: tahap individuals (pribadi-pribadi) kemudian community (kelompok, komunal), society (masyarakat), ke state (negara-negara kerajaan), dan terakhir membentuk majority (mayoritas). Dari perkembangan tahapan tersebut, bisa dibedakan antara tahap kedatangan awal sebagai pribadi-pribadi (individuals) dan kedatangan sebagai rombongan/massa (commnity).16 Berbeda dengan Melayu, Pulau Jawa sebagai tempat berkembang Islam sejak dini mempunyai dasar agraris. Di Jawa seperti juga di daerah-daerah lain di Nusantara, kaum Muslim pertama-tama mengambil alih kekuasaan di pelabuhan-pelabuhan (kesultanan Demak didirikan pada awal abad ke-16), tetepi kemajuan Islam berbenturan dengan suatu kekuatan politik dan budaya yang tangguh, yaitu kerajaan Majapahit, yang menguasai daerah pedalaman. Ketika perlawanan Majapahit dapat dipatahkan setelah dilancarkan beberapa ekspedisi, barulah Islam masuk ke pedalaman Jawa. Namun, beberapa puluh tahun kemudian, kekuasaan Islam direbut kembali oleh masyarakat pedalman yang agraris. Sesudah itu, walaupun tetap berstatus agama resmi, Islam berada dalam suatu lingkungan kultural di mana kepercayaan-kepercayaan lama masih bercorak dengan kuat. Islamisasi daerah pedalaman agraris berlangsung dengan sangat lamban, dan harus berkompromi dengan kepercayaan-kepercayan kuno (Hindu-Budha).17 Jadi, dalam perkembangan Islam selanjutnya, pulau Jawa adalah bagian yang penting untuk dilihat terkait dengan pembentukan corak Islam. Penyebaran Islam di Jawa ditandai dengan hadirnya beberapa ulama, seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Jawa, khususnya Jawa Timur, yang sebelumnya singgah di Kerajaan Pasai. Semasa kerajaan Aceh Besar, Syarif Hidayatullah juga datang ke Jawa, dan bertemu dengan Sunan Ampel yang selanjutnya ditugaskan untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat. Ketiga wali penyebar Islam di Jawa Timur ini menjadi penyebar Islam semasa akhir kerajaan Majapahit yang sudah dalam keadaan melemah akibat Perang Paregreg.18 16 Moeflich Habullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, Tt.), hlm. 11. 17
Henri Chambert Loir dan Claude Guillot (ed.), op. cit., hlm. 228.
18
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 68.
9
Maulana Malik Ibrahim penyebar Islam di Gresik dan sekitarnya, Maulana Ishaq ke Banyuwangi dan menikahi putri raja Blambangan, Sekardadu, yang kelak melahirkan Raden Paku atau Sunan Giri atau Prabu Satmoto yang menyebarkan Islam berpusat di Giri Gajah. Maulana Ishaq kembali ke Pasai, sedangkan Maulana Malik Ibrahim menetap dan meninggal di Gresik. Sunan Ampel, putra Syekh Ibrahim Asmaraqandi, menyebarkan Islam di Surabaya. Jika dilihat dari bukti-bukti di atas, jelas bahwa Jawa Timur adalah pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Demikian pula, adanya makam Fatimah Binti Maimun di Gresik pada zaman Kerajaan Kahuripan Airlangga dan Syaikh Ibrahim Asmaraqandi di zaman Kerajaan Majapahit adalah bukti historis yang menunjukkan hal itu.19 Pelembagaan Islam di Jawa memang tidak dapat dilepaskan dari peran wali, yang di dalam konsepsi orang Jawa disebut sebagai Walisanga. Melalui peran Walisanga inilah Islam berkembang dan melembaga di dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak tradisi yang dinisbahkan sebagai kreasi dan hasil cipta rasa Walisanga yang hingga sekarang tetap terpelihara di tengah-tengah masyarakat. Mula-mula para wali itu mengembangkan Islam di daerah sekitar tempat tinggalnya. Sunan Ampel mengembangkan Islam di Surabaya, tepatnya di daerah Ampel Denta, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Giri di Giri Gajah, Sunan Derajat di Derajat, Sunan Muria di Muria, Sunan Kudus di daerah Kudus, Sunan Kalijaga di Kadilangu dan sekitarnya, dan Sunan Gunungjati di daerah Cirebon dan sekitarnya.20 Sementara itu, sufisme adalah gambaran yang paling visible dalam dunia Islam sejak abad ke XIII dan sesudahnya. Tanpa sufisme, Islam tidak akan menjadi “Agama Jawa”. Sufisme yang demikian toleran terhadap tradisi Jawa, dan Walisanga-lah sebagai agen-agen unik Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam.21 Berdasarkan catatan Alwi Shihab, sejarah Islamisasi di Nusantara, dalam kaitannya dengan peranan Walisanga dapat diklasifikasikan ke dalam dua tahap. Tahap pertama, kehadiran Walisanga yang berhasil 19
Ibid., hlm. 69.
20
Ibid., hlm. 70-71.
21
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantra: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 53-54.
10
memantapkan dan mempercepat proses Islamisasi yang sebegitu jauh dari tempat turunnya wahyu ini, meski keberhasilan tersebut terbatas pada wilayah-wilayah tertentu. Tahap kedua, yang berlangsung pada abad ke-14 M ditandai dengan kedatangan tokoh-tokoh asyraf, keturunan ‘Ali dan Fatimah binti Rasulullah Saw. yang lazim dikenal dengan sebutan ‘alawiyyin. Pada periode ini, dakwah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara dan bahkan ke Asia Tenggara. Perkembangan tersebut mencapai puncaknya pada abad ke-15 hingga abad ke-17 M.22 Sejak Walisanga memulai kegiatan dakwah mengajak orang-orang memeluk Islam, bersama pejuang dakwah Islam lainnya, mereka bersatu padu dalam irama Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah. Disebutkan bahwa kalangan aliran-aliran Islam yang dikenal dengan nama Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah adalah orang-orang yang memagang teguh tradisi Rasulullah Saw. Sementara itu, secara riil akidah yang dianut adalah sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ary, atau yang terkanal dengan aliran Asy’ariyah dalam teologi. Aliran ini merumuskan konsep akidah berikut argumentasinya berdasarkan tolok ukur pengikut sejati Nabi Saw, yaitu akidah yang dianut oleh para sahabat Nabi Saw. dan generasi tabi’in berikutnya.23 Dalam sebuah hasil kajian tentang Syi’ah di Indonesia memang ditegaskan bahwa umumnya penganut Islam di Indonesia adalah paham Sunni. Penganutnya yang sering disebut sebagai Ahl Al-Sunnah berkembang turun temurun. Sebagai paham keagamaan, Sunni mewarnai secara dominan kehidupan beragama Islam di Indonesia, sehingga paham Islam lain bisa kelihatan jelas. Karakteristik Sunni yang menonjol dan tetap dipertahankan terhadap mazhab lain ialah pengakuan terhadap keberadaan Khulafa al-Rasyidin, termasuk di dalamnya Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib.24 Ditegaskan pula, dalam konteks perkembangan Islam di Indonesia, jelas pada penelitian-penelitian mutakhir, tidak ada bukti akurat yang bisa dipegangi, bahwa pada pertengahan abad ke-9 M telah terdapat entitas politik 22
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Iman, 2009), hlm. 34. 23
Ibid., hlm. 41-42.
24
A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 71.
11
Muslim Syi’ah. Bahkan, jika dilihat dari perspektif perkembangan Syi’ah secara global, pada masa ini, kaum Syi’ah pada umumnya berada di bawah perlindungan Dinasti Abbasiyah25 yang bermazhab Sunni. Kembali ke perbincangan akidah Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah, bahwa paham ini terkenal moderat, sehingga tidak aneh apabila Islamisasi di Nusantara berjalan dengan mudah. Para Walisanga membawakan Islam dengan santun, sehingga dapat diterima semua kalangan. Misalnya, Islam disebarkan dengan pendekatan kebudayaan. Penyebaran melalui seni budaya, pendidikan, dan pernikahan dengan penduduk lokal adalah cara yang ditempuh Walisanga. Di Jawa, seni wayang Hindu yang berisi lakon-lakon seperti Rahmayana, perang Bratayuda, atau cerita Punakawan yang sudah kuat mendarah daging dalam tradisi masyarakat Jawa, diberi sentuhan, warna, dan simbol-simbol keislaman. Misalnya, struktur dan bentuk bagian-bagian tubuh wayang (kepala, tangan, dan kaki) dibuat simbol-simbol huruf Arab: alif, mim, ha, lam, dal, dan sebagainya. Ajian kalimasada, kalimah syahadat, diambil dari kata syahadatain, diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi (hari kelahiran Nabi), yang terkenal dengan sakaten. Tidak hanya itu, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga merekayasa alat-alat gamelan Jawa dengan memasukkan simbol-simbol keislaman. Sunan Giri mendirikan pesantren untuk orang-orang kecil dan menciptakan jenis-jenis permainan rakyat. Jelungan, jamuran, gendi perit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, dan ilir-ilir adalah jenis-jenis permainan anak-anak berjiwa agama ciptaan Sunan Giri dalam rangka Islamisasi di kalangan bawah.26 Karya Sunan Kalijaga dalam rangka dakwah Islam, misalnya, sumbangan dalam bentuk Sokoguru Masjid Demak yang terbuat dari tatal, Gamelan Nagawilaga, Gamelan Guntur Madu, Gamelan Nyai Sekati, Gamelan Kyai Sekati, Wayang Kulit Purwo, Baju Taqwa, tembang Dhandanggula, kain batik motif garuda, dan syair puji-pujian pesantren. Selain itu, Sunan Kalijaga juga mengubah beberapa lakon wayang agar Islam mudah diterima di kalangan masyarakat, di antaranya yang terkenal adalah lakon Jimat Kalimasada, Dewa Runci, dan Petruk Dadi Ratu. Lakon 25 Azumardi Azra, “Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas”, Pengantar, dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, (Bandung: Mizan, 2000), hlm.13. 26
Moeflich Habullah, op. cit., hlm. 23.
12
Jimat Kalimasada inilah yang paling sering dipentaskan. Dengan lakon ini Sunan Kalijaga mengajak masyarakat Jawa di pedesaan maupun kota keprajan untuk mengucapkan syahadat, masuk agama Islam. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Bahkan, kebiasaan kenduri pun jadi sarana syiar dakwahnya.27 Cara lain dalam mengajak masyarakat dekat dengan Islam juga dilakukan oleh Sunan Kudus. Sunan Kudus berusaha memasukkan kebiasaan masyarakat Kudus yang masih didominasi penganut Hindu ke dalam syariat Islam secara Halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Hal ini merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu. Demikian pula, Sunan Kudus membangun sebuah menara sebagai tempat mengumandangkan azan dengan desain seperti bangunan Hindu yang saat itu dikenal dengan nama Menara Kudus.28 Sementara itu, memasuki abad ke-17 dan ke-18, sejarah Nusantara mencatat arus gerakan neo-sufisme (sufisme ortodoks29) yang berkembang melalui proses transmisi intelektual oleh para ulama Nusantara yang belajar di Timur Tengah, yakni Makah dan Madinah. Melalui jaringan intelektual yang ada, para ulama memperkenalkan pemikiran Islam yang tengah berkembang di Timur Tengah kepada masyarakat Muslim Nusantara. Di wilayah Melayu-Nusantara, di antara para ulama yang berpengaruh bagi lahirnya gerakan neo-sufisme ini adalah Nur al-Din al-Raniri30, Abd al-Rauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Maqassari, dan Syekh Ahmad al-Mutamakkin (Jawa). Gerakan ini selanjutnya dilanjutkan para ulama lain di abad ke-18, seperti Abd. Al-Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Kiai Rifa’i Kalisasak, Nawawi al-Bantani, dan lain sebagainya.31 27
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisanga: Misi Pengislaman Jawa, (Yogyakarta: Media Pustaka, 2007), hlm. 181. 28
Ibid., hlm. 130.
29
Sufisema ortodok adaah sufisme yang diamalkan sesusi dengan syariat atau adanya harmonisasi dengan syariat dalam praktik bertasawuf. 30
Nur al-Din al-Raniri dianggap sebagai tokoh perintis gerakan pembaruan Islam atau neo-sufisme. 31 Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (16451740), (Jakarta: Samha, 2002), hlm. 33.
13
Dalam konteks sejarah Jawa, kebangkitan Islam antara lain bisa dilihat melalui karya-karya sastra keraton yang ditulis pada periode ini. Pada paruh pertama abad ke-18, tepatnya pada masa kekuasaan Pakubuwana II, Islam dan karya-karya yang dihasilkan menempati posisi yang sangat penting, sebagai basis utama dari wacana yang muncul berkaitan dengan budaya dan politik Jawa. Dapat dicatat, misalnya Cerita Iskandar, Cerita Yusuf, dan Kitab Uslubiyah merupakan karangan Ratu Pakubuwana I. Karya-karya tersebut diadopsi dari karya sastra yang sama dan sudah beredar baik di Nusantara, khususnya di Melayu, maupun dari tradisi Islam di negara Muslim lain bahkan dari kisah al-Qur’an dan al-Hadis.32 Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa ada beberapa saluran Islamisasi yang berkembang di Nusantara ini, yaitu saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Islamisasi melalui saluran perdagangan dapat dilihat bahwa kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negara-negara bagian barat, tenggara, dan timur benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Dikatakan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak.33 Kemudian, islamisasi melalui saluran perkawinan dapat diterangkan bahwa dari sudut pandang ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri para saudagar itu. Sebelum menikah mereka diislamkan terlebih dahulu, sementara setelah mereka mempunyai keturunan lingkungan mereka semakin meluas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Muslim. Demikian pula, Islamisasi di Nusantara ini juga dipermudah dengan berkembangnya tasawuf. Dengan tasawuf, bentuk Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran 32
Ibid.
33
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 201.
14
mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru ini mudah dimengerti dan diterima.34 Perlu ditegaskan bahwa sufisme dan proses islamisasi di Indonesia adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ajaran tasawuf, yang cenderung mistis, telah menunjukkan kemampuannya dalam menyelaraskan ajaran Islam lewat medium-medium yang telah ada dalam komunitas yang sarat budaya. Bahkan, sedemikian erat hubungan di antara keduanya sehingga dapat dikatakan bahwa Islam yang kali pertama dikenal di Nusantara adalah Islam (bercorak) tasawuf. Islamisasi melalui saluran pendidikan dapat dilihat dengan adanya tempat pembelajaran agama atau pondok pesantren yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiyai-kiyai, dan ulama-ulama. Misalnya, Raden Rahmat mendirikan pesantren di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Sementara itu, keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajar agama Islam. Di sisi lain, islamisasi melalui jalur kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukkan wayang. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukkan, tetapi meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat sahadat. Yang terakhir, islamisasi jalur politik dapat dilihat di Maluku dan Sulawesi Selatan. Di tempat itu, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam inilah yang secara politis benyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam untuk masuk Islam.35 Integrasi Islam dengan dinamika politik di kerajaan selanjutnya bisa dijelaskan dalam corak proses awal Islamisasi di Nusantara. Jadi, Islamisasi berlangsung sejalan dengan pembentukan kerajaan-kerajaan, yang berbasis pada keterlibatan secara intensif beberapa wilayah Nusantara dalam perdagangan jarak jauh (long distance trade) di Samudra Hindia sejak awal abad ke-13. Berdirinya kerajaan Samudra Pasai dan Malaka di pantai utara 34
Ibid., hlm. 202.
35
Ibid., hlm. 203.
15
Sumatra—untuk hanya menyebut dua kasus—memperlihatkan dengan jelas pola perkembangan Islam demikian. Faktor penting lain yang membawa tampilnya kerajaan secara menentukan dalam proses Islamisasi adalah budaya politik Nusantara yang sangat menekankan peran dominan kerajaan dalam kehidupan masyarakat.36
B. Pendidikan sebagai Sarana Pengembangan Intelektual Islam Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1354 sudah merupakan pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan sekaligus keduniawian. Halaqah ajaran Islam diduga sudah dilakukan di koloni-koloni tempat pedagang Islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Sementara itu, proses halaqah ajaran Islam dilakukan di masjid istana bagi anak-anak pembesar negara oleh pihak kerajaan, di masjid-masjid lain, serta mengaji di rumah-rumah guru dan surau-surau untuk masyarakat umum. Berawal dari halaqah inilah berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam.37 Kegiatan kajian tentang Islam, khususnya menyangkut hukum-hukum Islam, dilakukan di istana kerajaan yang sepenuhnya didukung penguasa Samudra Pasai, Sultan Malik al-Zahir. Bahkan, lebih dari itu, Samudra Pasai juga dikunjungi banyak ulama dari negera-negara Islam yang berperan sebagai tenaga pengajar di lingkungan kerajaan. Mengikuti Ibnu Batuttah, tercatat beberapa nama, seperti al-Qadi al-Sharif al-Shirazi dari Persia, Taj al-Din al-Isfahani dari Isfahan, dan Amir al-Dawlasah dari India. Karena itu, di Nusantara, Samudra Pasai telah diakui sebagai pusat pendidikan Islam terkemuka, dan menarik banyak kalangan masyarakat berkunjung untuk belajar Islam.38
36
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Akar
Historis dan Awal Pembentukan Islam, Jilid I, (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), hlm. 194. 37
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 105. 38
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), Jilid I, op. cit., hlm. 212.
16
Setelah Kerajaan Samudra Pasai mundur dalam bidang politik, maka digantikan Malaka, namun tradisi pendidikan Islam di Pasai terus berlanjut dan berfungsi sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Di Malaka sendiri selain sebagai pusat politik Islam, juga giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam. Sebagaimana di Pasai, pendidikan Islam di Malaka dilangsungkan di masjid Istana bagi keluarga pembesar, di masjid-masjid, di rumah-rumah, serta surau-surau bagi masyarakat umum.39 Jadi, pelaksanaan pendidikan Islam nampaknya masih terbatas di lingkungan istana kerajaan, setidaknya belum terlembaga dalam sebuah institusi yang sengaja dirancang. Sementara itu, keberadaan Hamzah Fansuri yang lahir pada pertengahan abad ke-15 di Barus dan meninggal di Mekah tahun 1527, menjadi bukti adanya kegiatan pendidikan Islam yang berkualitas di Barus. Barus setelah berkembang menjadi bandar kosmopolitan dari pertengahan abad ke-10 sampai dengan abad ke-15, juga menjadi pusat pendidikan agama Islam di Nusantara. Kebanyakan inskripsi pada batu nisannya berbahasa Arab, dan sebagian kecil berbahasa Persia. Dengan demikian, Hamzah Fansuri yang lahir di Barus dapat dipastikan menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Pada abad-abad itu, Islam sedang berkembang sebagai kekuatan yang besar dan menjadikan kawasan yang paling dinamis.40 Selanjutnya, pada masa kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda diketahui begitu memperhatikan pengembangan agama Islam dengan menjadikan masjid-masjid sebagai pusatnya, seperti Masjid Bait al-Rahman, dan pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasehatnya, misalnya, yang terkenal di antaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Selanjutnya dayah berkembang menjadi semacam perguruan tinggi. Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf al-Sinkili adalah ulama-ulama yang mengajar di pendidikan ini. Para penuntut ilmu yang datang dari luar Aceh untuk belajar kepada mereka adalah seperti Syaikh Burhanuddin, yang berasal dari Ulakan-Pariaman-Minangkabau.
39
Musyrifah Sunanto, op. cit., hlm. 105-106.
40
Zamakhsyari Dhofier, Traidisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 30-32.
17
Setelah tamat ia pulang dan mendirikan lembaga pendidikan Islam yang disebut surau.41 “Dayah” sering disebut juga “meunasah” atau “rangkang”. Meunasah awalnya lebih merupakan tempat ibadat yang kemudian berfungsi sebagai tempat pendidikan awal bagi anak-anak masyarakat Aceh untuk belajar membaca al-Qur’an. Setelah di meunasah, mereka, atau murid, melanjutkan pendidikan agamanya ke tingkat lebih tinggi di rangkang, yang biasanya didirikan di lingkungan mesjid. Jenjang pendidikan kemudian berlanjut di dayah, sebuah lembaga pendidikan Islam bagi mereka yang bermaksud mendalami ilmu agama Islam. Berbeda dengan rangkang yang masih berada di lingkungan mesjid, dayah berdiri sendiri sebagai tempat dilaksanakannya pendidikan yang terpisah dari lingkungan mesjid. Perkembangannya kemudian, dayah menyelenggarakan pendidikan dengan penekanan khusus di bidang-bidang tertentu dalam ilmu keislaman tradisional. Maka dikenal, misalnya, dayah tafsir untuk bidang tafsir al-Qur’an, dayah fiqh untuk mendalami hukum Islam, dan demikian seterusnya. 42 Kemudian, surau adalah lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Minangkabau. Surau pada awalnya, sebelum Islam dating, berfungsi sebagai tempat menginap anak-anak bujangan. Setelah Islam datang surau dipergunakan untuk tempat shalat, pengajaran, dan pengembangan Islam. Dengan kata lain, surau berfungsi semacam sebuah masjid berukuran kecil karena tidak digunakan untuk shalat jum’at. Sebagaimana telah disinggung, bahwa ulama yang pertama melakukan Islamisasi surau adalah Syaikh Burhanuddin (1641-1691) setelah kembali menuntut ilmu keislaman kepada Abd Rauf al-Sinkili di Aceh.43 “Surau”—sebuah kata Minangkabu berarti “tempat”, atau lebih tepatnya “tempat ibadat”. Surau di Ulakan diakui memiliki kedudukan penting dalam proses Islamisasi di Minangkabau. Sejalan kharisma Burhanuddin sebagai pendiri surau, dan sekaligus pengikut tarekat Syattariyah, tradisi Minagkabau bahkan kerap memenempatkan Ulakan sebagaiu basis Islamisasi di wilayah tersebut. Dalam perkembangannya, surau Ulakan ini memang telah 41
Musyrifah Sunanto, op. cit., hlm. 107.
42
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), Jilid I, op. cit., hlm. 212.
43
Musyrifah Sunanto, op. cit., hlm. 109.
18
berperan penting sebagai pusat pendidikan Islam yang banyak dikunjungi Muslim Minangkabau. Dan, seperti halnya Burhanuddin, mereka yang belajar di Ulakan ini juga segera mendirikan lembaga pendidikan serupa di daerah asal mereka masing-masing. Khusus untuk konteks Minangkabau, tercatat misalnya surau Tuanku Nan Tuo di Cangking dan surau Pemansiangan. Keduanya didirikan mengambil model surau yang pertama kali dibangun di Ulakan.44 Selanjutnya, pelembagaan Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peran wali, yang di dalam konsep Jawa disebut sebagai Walisanga. Melalui peran Walisanga inilah Islam berkembang di dalam kehidupan masyarakat sehingga banyak tradisi yang dinisbahkan sebagai kreasi dan hasil cipta rasa Walisanga yang hingga sekarang tetap terpelihara di tengah-tengah masyarakat. Di dalam pelembagaan Islam, Walisanga menggunakan beberapa tahapan. Pertama, mendirikan masjid, yang berarti membangun tempat sujud. Ada dimensi lain dari pengertian masjid dilihat dari fungsinya, yaitu tempat pertemuan keagamaan, tempat untuk kesamaan hak dan perkawanan yang intim, serta menjadi pusat kebudayaan Islam. 45 Dalam proses penyebaran Islam, pendirian masjid di Jawa oleh para wali, tidak hanya dalam fungsi sebagai tempat beribadah tetapi juga sebagai tempat pengajian. Dari masjidlah penyebaran Islam dimulai. Di dalam masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat strategi untuk pengembangan komunitas Islam. Sebagai tempat ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam masjidlah segala aktivitas pengembangan komunitas Islam berlangsung. Di dalamnya dilakukan penyusunan strategi, perencanaan, dan aksi di dalam kerangka penyebaran Islam di tengah kehidupan masyarakat. Di Jawa, raja yang memiliki perhatian terhadap pengembangan Islam, khususnya melalui masjid, adalah Sultan Agung.46 Kedua, para wali mendirikan pesantren. Secara etimologi akar kata pesantren adalah santri, atau bisa saja berasal dari bahasa Persia atau India, yakni shastri yang berarti orang yang sedang belajar. Ada kemungkinan kata shastri tersebut kemudian dibahasakan menjadi santri, sehingga 44
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), op. cit., hlm. 214.
45
Nur Syam, op. cit., hlm, 69-72.
46
Ibid., hlm. 73-74.
19
tempat yang dihuni santri kemudian disebut pesantren, yang berarti tempat belajar. Di dalam khazanah penyebaran Islam, setiap wali memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama wali tersebut. Misalnya pesantren Ampel, pesantren Bangkuning, Pesantren Derajat, pesantren Giri, dan sebagainya. Pesantren para wali itulah yang kemudian berkembang secara kelembagaan menjadi seperti sekarang. Di antara para wali, mula pertama yang mengembangkan sistem pesantren adalah Syaikh Maulana Ibrahim yang secara berturut-turut diadopsi oleh para wali berikutnya.47 Lembaga pendidikan Islam pesantren di Jawa tentu saja sebagai basis perkembangan intelektual. Dalam dunia pesantren diakui bahwa ia adalah lembaga lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan Islam. Pesantren di Jawa usianya setua Islam di Jawa sendiri. Pesantren sendiri erat kaitannya dengan Walisanga. Wali pertama, Maulana Malik Ibrahim, dianggap orang yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa tahun 1399 sebagai wahana untuk menggembleng mubaligh dalam rangka menyeberkan Islam di Jawa.48 Jadi, asal-usul pesantren, sebagaimana disebutkan, tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisanga abad ke-15 sampai abad ke-16 di Jawa. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur), salah satu dari tokoh Walisanga, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di Tanah Jawa. Walisanga adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad ke-16 yang telah berhasil mengombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Adapun yang sering dikenal dengan Walisanga secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Posisi mereka dalam kehidupan sosiokultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan bahwa Islam tidak akan pernah menjadi the religion of Java jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisanga tidak mengakar dalam masyarakat.49
47
Ibid., hlm. 24-25.
48
Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 56. 49
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 56-57.
20
Maulana Malik Ibrahim melembagakan pendidikan yang unik di Jawa, yang pada masa-masa berikutnya dikenal sebagai “pesantren”. Tidaklah sulit baginya untuk mendirikan sebuah pesantren, sebab ia telah memiliki banyak pengikut setia serta kekayaan dari hasil usaha dagangnya. Seharian penuh dia membawa masyarakatnya ke lahan pertanian, sementara malam harinya dia mengajar mereka pelajaran-pelajaran dasar, khususnya AlQur’an dan Hadis di lembaganya ini. Sangat mungkin pendirian sistem pendidikan ini terilhami pendidikan Hindu yang dilakukan di candi-candi terpencil yang dilihatnya di India dan Jawa. Barangkali berdasarkan fenomena ini perkembangan pesantren di hari kemudian diasumsikan sebagai hasil perpaduan antara elemen-elemen budaya Hindu, Jawa, dan Islam.50 Pesantren—nama lembaga pendidikan Islam—berkembang lepas dari kontrol kekuasaan kerajaan, khususnya setelah Mataram berkuasa pada abad ke-17. Ini tentu merupakan konsekuensi pembentukan corak “tradisi dialog” di Jawa, yang mengandaikan kondisi keterpisahan—bahkan kerap ketegangan—antara pemegang otoritas agama, para ulama, dan pemegang otoritas politik, para raja. Dalam hal ini, kebijakan penguasa kerajaan Mataram, khususnya sejak Sultan Agung, yang berhasrat menjadikan kraton Mataram sebagai satu-satunya pusat kekuasaan di Jawa, mono-kraton, memang tidak disertai penghancuran pusat-pusat pendidikan Islam. Lembaga pesantren justeru makin berkembang sebagai basis terciptanya corak keislaman masyarakat lokal-pedesaan. Para ulama, atau di Jawa dikenal kiyai, selanjutnya tampil sebagai “perantara budaya” (cultural broker)—istilah Clifford Geertz, seorang antropolog tentang Jawa—melakukan transmisi ajaran-ajaran universal Islam ke dalam kehidupan masayarakat lokal di pedesaan.51
C. Awal Pertumbuhan Intelektual Islam Periode sejak akhir abad 16 sampai akhir abad 19 memunculkan tonggak-tonggak intelektualitas yang cemerlang melalui berbagai karya ulama yang monumental dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Pada abad 17 misalnya dikenal dua “gelombang” intelektualitas; gelombang Hamzah 50
Ibid., hlm. 62-63.
51
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), Jilid I, op. cit., hlm. 215.
21
Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan corak “wahdat al-wujud” yang kental. Sementara itu, gelombang kedua intelektualitas Islam abad 17 diwakili tokoh-tokoh ulama pemikir, yang merupakan sufi dan ahli fiqh sekaligus, seperti Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari.52 Gelombang intelektualitas Islam Nusantara ini berlanjut pada abad 18 dan 19, yang memunculkan sejumlah pemikir-ulama seperti Abdusshamad al-Palimbani (sekitar 1704-1789), Daud bin Abdullah al-Patani (w. sekitar 1850), M. Arsyad al-Banjari, M. Nafis al-Banjari, Nawawi al-Bantani (1813-1897), Raja Ali Haji (1808-1870), Ahmad Rifai Kalisalak, M. Mahfuzh al-Termasi, M. Saleh Umar Darat as-Samarani (Semarang), Ahmad Khatib al-Sambasi (Sambas, Kalimantan Barat), `Abd al-Samad ibn Muhammad Salih al-Kalantani (Tuan Tabal, w. 1891), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1852-1916), Ahmad al-Patani (1856-1906), Hasan Mustafa, Tok Kenali (Muhammad Yusuf, 1868-1933), dan banyak lagi. Semua mereka ini menghasilkan karya-karya intelektual yang sangat bernilai tinggi.53 Sebagaimana disebutkan di atas, petumbuhan intelektual atau pemikiran Islam pertama di Nusantara sampai abad ke-17 tidak terlepas dari sosok ulama-ulama besar, seperti Hamzah al-Fansuri, Sayamsuddin al-Din al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Makasari, dan kelompok Walisanga di Jawa. Terkait dengan ulama-ulama tersebut telah banyak diungkap beberapa sarjana, di antaranya adalah Azyumardi Azra dan Alwi Shihab. Alwi, misalnya, dalam bukunya secara khusus mengungkap tokoh-tokoh tersebut berkaitan dengan tasawuf,54 sedangkan Azra mengkaitkannya dengan jaringan ulama di Timur Tengah.55 Hamzah al-Fansuri adalah seorang ulama besar. Dia diriwayatkan melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mengunjungi beberapa pusat 52
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), Jilid 2, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Tradisi, Intelektual, dan Sosial, (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), hlm. 9. 53
Ibid.
54
Lihat Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Iman, 2009). 55
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII danXVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005).
22
pengetahuan Islam, termasuk Makkah, Madinah, Yerusalem, dan Baghdad. Dia juga dilaporkan melakukan perjalanan sambil menyebarkan ajaran-ajarannya ke Pahang, Kedah, dan Jawa. Hamzah menguasai bahasa Arab, Persia, dan barangkali juga Urdu. Dia adalah penulis produktif, yang menghasilkan buku yang berkaitan dengan bukan hanya risalah-risalah keagamaan, tetapi juga karya-karya prosa yang sarat dengan gagasan-gagasan mistis. Mengingat karya-karyanya, dia dianggap sebagai sebagai salah seorang tokoh sufi awal paling penting di wilayah Melayu-Indonesia dan juga seorang perintis terkemuka tradisi kesusastraan Melayu.56 Sebagaimana Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1040H/1630M) juga penulis produktif dan menguasai beberapa bahasa. Dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab, dan sebagian besar karya-karyanya berkaitan dengan kalam dan tasawuf. Sifat hubungan Hamzah dengan Syam al-Din, kebanyakan ahli berpendapat, adalah bersahabat. Ini menyiratkan semacam hubungan guru dan murid. Syamsuddin adalah murid Hamzah. Mereka berdua dikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran keagamaan yang sama. Keduanya merupakan pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdah al-wujud dari tasawuf. Keduanya sangat dipengaruhi terutama oleh Ibn ‘Arabi dan al-Jili, dan dengan sangat ketat mengikuti sistem Wujudiyah mereka yang rumit. Mereka, misalnya, menjelaskan alam raya dalam pengertian serangkaian emanasi-emanasi neo-Platonis dan menganggap setiap emanasi sebagai Tuhan itu sendiri.57 Syaikh Hamzah al-Fansuri dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani, adalah pelopor tasawuf panteisme yang sangat berpengaruh berkat karya-tulisnya, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia, dengan murid dan pendukung yang cukup banyak. Di bawah pengaruh dan dominasi intelektual al-Sumatrani sebagai mufti dan penasehat Sultan Iskandar Muda, aliran panteisme berkembang lebih luas. Namun, setelah al-Sumatrani dan Sultan wafat perkembangan tersebut mengalami kemerosotan. Tatkala Sultan Iskandar II naik takhta, Syaikh Nuruddin al-Raniri yang telah menjalin hubungan baik dengan Sultan diangkat menjadi mufti.58
56
Ibid., hlm. 198.
57
Ibid. hlm. 199-200.
58
Alwi Shihab, op. cit., hlm. 79.
23
Sejak Syaikh Nuruddin al-Raniri tampil, tepatnya pada abad ke-17, sejarah Islam di Nusantara merupakan periode penting dalam tradisi intelektual Islam. Pada masa ini terjadi perubahan wacana keislaman khususnya soal sufisme, yakni mulai tumbuh wacana tasawuf ortodok. Pertumbuhan wacana tasawuf ortodok tidak lepas dari jalinan yang semakin intensif antara ulama Melayu-Nusantara dengan ulama Timur Tengah. Tasawuf ortodok merupakan gerakan pembaruan yang menjadikan sufisme “sejalan dengan syariat”. Ulama Nusantara yang terkenal mengembangkan tasawuf ortodok, di antaranya Nuruddin al-Raniri (tercatat menulis 15 karya), Abdurrauf al-Sinkili (22 karya), dan Yusuf al-Makassari (karya yang paling populer, Zubdah al-Asrar). Al-Raniri selain menghasilkan banyak karya dalam bidang tasawuf, juga menulis karya monumental fiqh ibadah pertama dalam bahasa Melayu, al-Sirath al-Mustaqim. Sedangkan Abdurrauf menghasilkan fiqh mu`amalah pertama dalam bahasa Melayu, Mir’at al-Thullab; dan tafsir 30 juz pertama dalam bahasa Melayu, Tarjuman al-Mustafid. Karya-karya yang mewakili ortodoksi Islam ini beredar dalam waktu yang lama, sehingga memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektual-sosial Islam di Nusantara.59 Penting dikemukakan, Abdurrauf juga menghasilkan karya-karya sufistik; salah satunya adalah Daqa’iq al-Huruf yang merupakan penjelasan sufistik tentang simbolisme huruf dan angka. Abdurrauf telah berhasil menyajikan eksposisi dan eksplanasi Sufisme secara brilian, jenius, dan otentik. Selain itu, sebagai wujud dari kapasitasnya dalam penguasaaan bahasa Arab, Abdurrauf juga menulis sebuah karya berbahasa Arab berjudul Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi. Kitab ini merupakan rujukan penting di dunia melayu sejauh menyangkut reintrepretasi doktrin wahdat al-wujud. Seperti diketahui, pada masa sebelumnya di Aceh, doktrin ini telah menimbulkan perdebatan sengit antara Nuruddin al-Raniri dan para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Melalui Tanbih al-Masyi inilah, Abdurrauf mencoba berdiri di tengah-tengah untuk meredakan konflik intelektual tersebut.60
59
Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed. Jilid 2), op. cit., hlm. 9.
60
Ibid.
24
Mereka menentang keras, terutama al-Raniri, aliran sufisme wahdatul wujud (panteisme) yang dikembangkan oleh Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Pada abad ke-18, juga pada periode selanjutnya, neo-sufisme menjadi tradisi intelektual Islam yang semakin mendapat tempat di masyarakat muslim Nusantara. Jadi, di antara para ulama yang berpengaruh bagi lahirnya gerakan neo-sufisme ini adalah Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Maqassari, dan Syekh Ahmad al-Mutamakkin (Jawa). Gerakan ini selanjutnya dilanjutkan para ulama lain di abad ke-18, seperti Abd. Al-Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Kiai Rifa’i Kalisasak, Nawawi al-Bantani, dan lain sebagainya.61 Tasawuf sunni yang merujuk pada model al-Ghazali, yang ketat memegang syariat Islam, dikembangkan di Aceh oleh al-Raniri beserta murid-muridnya. Sementara itu, di Jawa ajaran ini dikembangkan oleh Walisanga. Walisanga sendiri, menurut penelusuran Alwi, berasal dari komunitas yang sama, yakni sebagai keturunan dari Syaikh Ahmad bin Isa Muhajir dari Hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan Nabi dari Arab Saudi dan daerah Arab lain yang tidak menganut Syiah. Komunitas tasawuf Sunni kemudian dikembangkan lewat tarekat dan pesantren oleh murid-murid dan keturunan Wali Sanga. Pemikiran al-Raniri yang cenderung sangat menentang aliran panteisme pada umumnya, bersandar pada pemikiran sebagai berikut: a. Panteisme persis sama dengan pendapat-pendapat filosof, agama Zoroaster, dan ajaran Reinkarnasi dalam hubungan dengan Khaliq dan makhluk. Hal ini tercermin dalam ungkapan, “tiada perbedaan antara Khalik dan makhluk”. b.
Panteisme mempraktikkan ajaran al-hulul-nya orang-orang ateis, yaitu percaya pada Tuhan berada “di dalam makhluk”.
c.
Panteisme percaya bahwa wujud Allah Swt. adalah basith (simpel).
d. Panteisme mengikuti doktrin “Al-Qur’an adalah sebuah makhluk” sesuai dengan aliran Mu’tazilah.
61
Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 33.
25
e.
Panteisme percaya bahwa “alam bersifat qadim” seperti halnya ajaran-ajaran sebagai filosof.62
Al-Raniri adalah penulis yang produktif dan terpelajar. Dia menulis tidak kurang dari 29 karya. Al-Raniri terkenal dengan perintis pembaruan Islam di Nusantara. Oleh karena itu, pemikirannya berbeda dengan pendahulunya, Hamzah al-Fansuri yang diketahui tidak mementingkan kedudukan syariat. Sebaliknya, al-Raniri menekankan pentingnya syariat, misalnya, dalam praktik tasawuf dengan menulis Al-Sirath Al-Mustaqim. Dalam karya ini, dia menegaskan tugas utama dan mendasar setiap Muslim dalam hidupnya.63 Al-Raniri adalah benar-benar orang yang bermartabat tinggi. Dia adalah seorang sufi, ahli teologi, dan ahli faqih (hukum). Sebagai seorang faqih perhatian utamanya adalah penerapan praktis aturan-aturan paling mendasar dari syariat. Al-Raniri merupakan suatu mata rantai sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara. Dia merupakan salah seorang penyebar terpenting pembaruan Islam di Nusantara. Pembaruan yang dimaksud adalah, bahwa Islam selama ini telah dibawa ke jalan yang sesat, sehingga perlu untuk diadakan suatu pembaruan. Misalnya, dalam karya-karya polemiknya, dia melawan bahwa paham Wujudiyah adalah “sesat”. Al-Raniri merupakan orang pertama di Nusantara yang menjelaskan perbedaan antara penafsiran dan pemahaman yang salah mapun benar atas doktrin-doktrin dan praktik-praktik sufi.64 Menurut al-Raniri, penerapan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai Hadis Nabi Saw. Untuk itu, dia mengumpulkan dalam karyanya Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tartib, yang berisi sejumlah hadis yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu agar penduduk Muslim mampu memahaminya secara benar. Dalam risalah ringkas ini, dia menginterpolasikan hadis-hadis dengan ayat-ayat Al-Quran untuk mendukung argumen-argumen yang melekat pada hadis-hadis tersebut. Karya ini merupakan rintisan dalam bidang 62
Alwi Shihab, op. cit., hlm. 88-89.
63
Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 218.
64
Ibid., hlm. 222-223.
26
hadis di Nusantara dan, karenanya, menunjukkan pentingnya hadis dalam kehidupan kaum Muslim.65 Pengaruh al-Raniri dalam bidang sejarah juga tidak kalah besarnya. Dia penulis pertama di tanah Melayu yang menyajikan sejarah dalam konteks universal, dan yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan sejarah Melayu. Buku-buku sejarahnya, yang secara kolektif dinamakan Bustan al-Salatin, merupakan karya terbesarnya, yang memcerminkan minat khusus pengarangnya terhadap sejarah. Karya ini terdiri atas tujuh buku, menunjukkan bagaimana dia berhasil memanfaatkan tradisi historiografi Ialam. Dua buku pertama karya ini mengetengahkan sejarah dunia terutama dari sudut pandang teologis. Sementara buku pertama ditulis dengan mengikuti pola dari karya Al-Kisa’i, Qishash al-Anbiya, yang membicarakan tentang penciptaan pena, buku, Nur Muhammad, dan semacamnya. Buku kedua dirancang mengikuti karya al-Thabari, Ta’rikh al-Rasul wa al-Mulk, dan pembahasannya mulai dengan sejarah bangsa Persia, Yunani, dan Arab di masa pra-Islam, diikuti dengan sejarah annalistik Islam hingga tahun penghukuman mati al-Hallaj pada 309/921.66 Sementara itu, Abdurrauf Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, sebagaimana terlihat dari namanya, adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil, di wilayah pantai barat-laut Aceh. Ayah al-Sinkili, Syaikh Ali (al-Fansuri) adalah seorang Arab, yang setelah mengawini seorang wanita setempat dari Fansur bertempat tinggal di Sinkel, dan di sinilah Abdurrauf dilahirkan. Al-Sinkili pasti tahu tentang ajaran Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin serta fatwa dan penganiayaan yang dijatuhkan al-Raniri atas para pengikut meraka. Al-Sinkili berusaha melepaskan dirinya dari kontroversi itu. Meski semangat tulisan-tulisan al-Sinkili menunjukkan bahwa dia berbeda dari Hamzah maupun Syamsuddin, tetapi tidak terlihat ada penentangan dari ajaran-ajaran mereka. Dia juga mempunyai sikap yang sama terhadap al-Raniri hanya secara tidak langsung dia mengkritik cara al-Raniri menjalankan pembaruannya, karena dia tidak berselisih paham dengan ajaran-ajarannya secara langsung.67
65
Ibid., hlm. 225-226.
66
Ibid., 227.
67
Ibid., 231-232.
27
Al-Sinkili adalah ulama pertama di wilayah Melayu-Indonesia yang menulis mengenai fiqh mu’amalat. Melalui Mir’at al-Thullab, dia menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun Mir’at al-Thullab tidak digunakan lagi di Nusantara dewasa ini, tetapi di masa lampau karya tersebut beredar luas. Kedudukan penting al-Sinkili bagi perkembangan Islam di Nusantara tak terbantah dalam bidang tafsir Al-Quran. Dia adalah ‘alim pertama di bagian dunia Islam yang bersedia memikul tugas besar mempersiapkan tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu.68 Sementara itu, Yusuf al-Maqassari adalah ulama yang luar biasa. Dia terutama adalah seorang sufi. Seperti al-Raniri dan al-Sinkili di Kesultanan Aceh, al-Maqqasari memainkan peranan penting dalam politik Banten. Tidak hanya itu, dia pun melangkah ke garis terdepan dalam peperangan melawan Belanda setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa. Seperti kebanyakan ulama dalam jaringan ulama internasional pada abad ke-17, al-Maqassari tidak memanfaatkan organisasi tarekat untuk menggerakkan massa, terutama untuk tujuan perang.69 Al-Maqassari menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab yang sempurna. Hampir semua karyanya yang dikenal membicarakan tentang tasawuf. Konsep utama tasawuf al-Maqassari adalah pemurnian kepercayaan (a’qidah) pada Keesaan Tuhan. Ini merupakan usahanya menjelaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Al-Maqassari menekankan Keesaan Tuhan (tawhid) itu tak terbatas dan mutlak. Tauhid adalah komponen penting dalam Islam; orang yang tidak percaya pada tauhid adalah kafir. Dia membandingkan tauhid murni dengan sebuah pohon berdaun; pengetahuan makrifat adalah cabang-cabangnya dan daun-daunnya, sedangkan ibadat adalah buah-buahnya. Orang yang tidak mempunyai makrifat itu bodoh (jahil), dan orang yang tidak menjalankan ibadat itu berdosa (fasiq).70 Mewakili gelombang berikutnya adalah Abdus Samad al-Palimbani. Dia sangat berpengaruh di Melayu Nusantara dalam menyebarkan paham neo-sufisme. Dua karya utamanya adalah Hidayah al-Salikin fi 68
Ibid., hlm. 246.
69
Ibid., hlm. 288.
70
Ibid., hlm. 289.
28
Suluk Maslak al-Muttaqin dan al-Sair al-Salikin ila Ibadah Rabb al-Alamin.71 Dia adalah yang paling menonjol dan berpengaruh di antara para ulama Palembang terutama melalui karya-karyanya yang beredar luas di Nusantara. Al-Palimbani memantapkan karirnya di Haramayn dan tidak pernah kembali ke Nusantara. Namun, dia tetap menaruh perhatian besar terhadap Islam dan kaum Muslim di wilayah Melayu-Indonesia. Di Haramayn, al-Palimbani terlibat dalam komunitas Jawa dan menjadi kawan perseguruan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abd al-Wahab Bugis, Abd al-Rahman al-Batawi, dan Dawud al-Fatani. Keterlibatannya dalam komunitas Jawi membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan-perkembangan sosio-religius dan politik Nusantara.72 Al-Palimbani tercatat juga sebagai ulama Melayu-Indonesia yang paling menonjol dalam jaringan ulama abad ke-18. Namun, peranan pentingnya dipandang dari sudut perkembangan Islam di Nusantara tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya, yang dibaca secara luas di wilayah Melayu-Indonesia. Dalam karya-karyanya, al-Palimbani menyebarkan bukan hanya ajaran-ajaran pokok tokoh neo-sufi, tetapi juga menghimbau kaum Muslim melancarkan jihad melawan orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang terus menggiatkan usaha-usaha mereka menundukkan entitas-entitas politik Muslim di Nusantara.73 Tokoh neo-sufi lain adalah Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Peranan penting Muhammad Arsyad terletak bukan hanya keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan juga pada kenyataan bahwa dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga Islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru ke Kalimantan Selatan. Arsyad al-Banjari adalah orang yang melakukan Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Tercatat bahwa Islam di Kalimantan baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak di Jawa datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya dengan kalangan elite istana Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk agama Islam pada sekitar 1526 dan 71
Alwi Shihab, op. cit., hlm.88.
72
Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 308.
73
Ibid., hlm. 314.
29
diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Pangeran Samudra diberi gelar Sultan Surian Syah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.74 Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan. Dia mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya di desanya sendiri dari ayahnya dan para guru setempat. Dia menjadi terkenal karena ketika berumur tujuh tahun mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna, sehingga mendorong Sultan Tahlil Allah (1700-1745) untuk mengajaknya tinggal di istana. Di kemudian hari, sultan menikahkannya dengan seorang wanita, tetapi ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad Arsyad al-Banjari ke Haramayn guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya Kesultanan. Arsyad belajar bersama al-Palimbani dan beberapa murid Melayu-Indonesia lainnya.75 Dengan mempertimbangkan karya-karya dan kegiatan-kegiatannya setelah Muhammad Arsyad kembali ke Nusantara, dapat diasumsikan bahwa dia adalah seorang ahli dalam bidang fikih atau syariat, terutama karena adanya fakta bahwa bukunya yang paling termashur, yang berjudul Sabil al-Muhtadin adalah buku fikih. Di samping itu, dia juga menguasai tasawuf, karena diketahui bahwa dia menulis sebuah karya berjudul Kanz al-Ma’rifah, yang membahas tentang tasawuf. Jadi, Muhammad Arsyad mendapatkan keahlian baik dalam ilmu lahir (al-zhahir) maupun ilmu batin (al-bathin). Dia menerima ajaran tarekat Sammaniyah dari al-Sammani, dan dia dianggap sebagai ulama paling bertanggung jawab atas tersebarnya Sammaniyah di Kalimantan.76 Semangat pembaruan dalam pribadi Muhammad Arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasannya dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali ke Martapura, Kalimantan Selataan. Salah satu hal pertama yang dilakukannya adalah mendirikan lembaga pendidikan Islam yang sangat penting untuk mendidik kaum Muslim guna meningkatkan pemahaman mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam. Untuk tujuan itu, Muhammad Arsyad meminta Sultan Tahmid Allah II (1773-1808) memberikan sebidang besar tanah tak terpakai di luar ibukota Kesultanan. Muhammad Arsyad dan Abd al-Wahab 74
Ibid., hlm. 314-315.
75
Ibid., hlm. 316.
76
Ibid., hlm. 316-317.
30
al-Bugisi, yang menikah dengan putrinya, membangun sebuah pusat pendidikan Islam, yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Sumatra Barat atau pesantren di Jawa. Sebagaimana surau atau pesantren, pusat pengetahuan Muhammad Arsyad terdiri atas ruangan-ruangan untuk kuliah, pondokan para murid, rumah para guru, dan perpustakaan.77 Demikian pula, Muhammad Arsyad juga mengambil langkah penting lain untuk menguatkan Islamisasi di wilayahnya dengan jlan memperbaharui administrasi keadilan di Kesultanan Banjar. Di samping menjadikan doktrin-doktrin hukum Islam sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal, Muhammad Arsyad, dengan dukungan Sultan, mendirikan pengadilan Islam terpisah untuk mengurus masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai diperkenalkannya jabatan mufti yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial. Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad berusaha menjalankan hukuman Islam di wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar.78 Selanjutnya, di Jawa, Syekh Ahmad Mutamakkin terkenal dengan tokoh neo-sufisme. Diterangkan bahwa guru utama Syekh Ahmad Mutamakkin adalah Syekh Muhammad Zayn al-Yamani. Dalam menempuh jalan sampai ke Haramayn, tampaknya Syekh Ahmad Mutamakkin mengikuti rute perjalanan Abdurrauf al-Sinkili dan Yusuf al-Makasari, yang menyusuri kawasan timur dan selatan Arabia (termasuk Yaman) sebelum sampai ke Haramayn. Jika Mutamakkin mengikuti jejak dua tokoh tersebut, maka dapat dicatat bahwa ada beberapa tempat yang disinggahinya, yaitu Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makah dan Madinah. Tampaknya sebelum sampai Timur Tengah, Mutamakkin sempat bertemu dengan Muhammad Yusuf al-Makasari di Banten sekitar 1691tahun.79 Sebagaimana disinggung bahwa kiprah al-Mutamakkin termasuk dalam karakteristik neo-sufisme. Hal ini diperkuat dengan catatannya yang banyak mengutip hadis-hadis dalam mejelaskan paham keagamaannya. Sementara dilihat dari gelarnya, yaitu al-Mutamakkin, yang dapat diartikan tingkat kedudukan seorang yang utama atau kokoh dalam pendirian 77
Ibid., hlm. 319.
78
Ibid.
79
Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 109-110.
31
dan kuat memegang kebenaran, maka seolah dia diyakini sebagai wali pemimpin para wali di dunia yang dalam thabaqat wali disebut dengan wali Qutb. Al-Mutamakkin merupakan generasi yang dapat dianggap berhasil dan jernih dalam mensinkronkan antara tasawuf dengan aspek mistisme/kabatinan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, dapat disebut bahwa dia melakukan praktik tasawuf falsafi dan tasawuf sunni dalam satu tindakan tasawuf amaly. Dia juga mendialektikakan dengan tradisi lokal, dan inilah bentuk upaya al-Mutamakkin menjernihkan Islam Jawa dengan kebenaran bertauhid. Mereka yang tidak memahami secara langsung pemikiran dan paham keagamaan al-Mutamakkin tentu akan dengan mudah menuduh yang bukan-bukan. Inilah yang termasuk menjadi latar belakang terjadinya polemik sebagaimana tergambar dalam Serat Cebolek.80 Namun, dapat ditegaskan bahwa dalam praktik syari’ahnya, al-Mutamakkin, mengikuti paham kebanyakan di Jawa yaitu syafi’iyah, sementara teologinya dalam kerangka Asy’ariyah meskipun ia memberikan penyempurnaan dengan mengutip pendapat-pendapat ulama falsafi yang rasional, seperti Ibnu Arabi. Meskipun demikian, rasionalisasi al-Mutamakkin tidak seradikal Syekh Siti Jenar yang mengesampingkan dampak sosialnya. Begitu pula, meski al-Mutamakkin dalam tasawufnya lebih cenderung tasawuf falsafi amaly dan hubungannya dengan praktis syari’ah ia menerapkan tasawuf amaly dan hubungan sosial yang tepat sebagaimana ia sangat berhati-hati dalam menerima seorang murid.81 Dalam hal tarekat, al-Mutamakkin diinisiasi dalam beberapa tarekat, seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Syatariyah, Khalwatiyah, Ahmadiyah, dan tidak menutup kemungkinan jenis tarekat yang lain. Jaringan ulama Timur Tengah yang melingkupi al-Mutamakkin menunjukkan bahwa tarekat-tarekat yang berkembang saat itu satu sama lainnya lebih cenderung berinteraksi dan saling mengisi sehingga tidak menutup kemungkinan seseorang memiliki beberapa tarekat. Hal ini juga didukung dengan gerakan neo-sufisme yang mencoba menjembatani ketegangan antara ahl al-Hadis dan fuqaha dengan para sufi. Oleh karena itu, al-Mutamakkin berperan dalam mengusung neo-sufisme ini ke tanah jawa.82 80
Ibid., hlm. 114-115.
81
Ibid., hlm. 197.
82
Ibid., hlm. 198.
32
Yang perlu ditegaskan bahwa al-Mutamakkin menunjukkan tasawuf hanya untuk kalangan terpilih. Menurutnya, mistis hanya dapat dialami dengan kesetiaan penuh baik secara lahir maupun batin kepada doktrin hukum Islam. Al-Mutamakkin terlalu bersemangat dalam usahanya mendamaikan antara aspek-aspek eksoteris dan esoteris Islam dengan mensinkronkan antar tradisi. Namun, al-Mutamakkin mencegah para kelana di jalan Tuhan (salik) tidak menempuh jalan sendiri dalam mencari kebenaran, akan tetapi harus mencari seorang guru atau syekh terpercaya dan berpengalaman.83
83
Ibid., hlm. 199.
33
BAB II DINAMIKA INTELEKTUAL ISLAM ABAD XIX SAMPAI PERTENGAHAN ABAD XX
A. Kehidupan Sosial-Keagamaan Umat Islam Abad ke-19 Sebelum mengungkapkan apa yang dilakukan umat Islam rentang abad ke-19, maka penting untuk melihat kondisi Hindia Belanda pada abad ini. Diketahui, bahwa hingga sekitar tahun 1800 tidak ada perubahan fundamental dalam pola struktur ekonomi. Perubahan fundamental baru tampak ketika pada awal abad ke-19 orang Barat muncul dalam samarannya yang baru, yaitu dalam peran sebagai organisator terpercaya. Daendels, Raffles, dan van den Bosch menunjukkan tiga tahap proses penetrasi ekonomi Indonesia oleh pemerintah dan ekonomi Barat.84 Dalam hal ini, Daendels (1808-1811) menjalankan pemerintahannya dengan memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat sebelumnya oleh VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, hak-hak bupati mulai dibatasi, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam maupun wajib kerja hendak dihapuskannya. Hal ini tidak hanya akan mengurangi pemerasan oleh para penguasa, tetapi juga lebih selaras dengan prinsip kebebasan berdagang.85 Sementara itu, pada masa Raffles (1811-1816) diberlakukanlah sistem pajak tanah dengan tujuan membebaskan petani dari pungutan pajak secara paksa dan mendorong petani mempertinggi produksi mereka dengan cara memberi
84 W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Ellizabet, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 67. 85
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 291.
35
hasil bersih dari panen mereka.86 Dengan didasarkan pada prinsip-prinsip liberal, kesejahteraan rakyat hendak dicapainya dengan memberikan kebebasan serta jaminan hukum kepada rakyat sehingga tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa, serta ada dorongan untuk menambah penghasilan serta perbaikan tingkat hidup.87 Selanjutnya, pada masa pemberlakuan “Sistem Tanam Paksa”, van den Bosch diketahui mewajibkan penduduk untuk menanam tanaman untuk pasar dunia dan sampai sedemikian jauh hal ini menandai pembalikan ke arah pungutan pajak secara paksa yang dihapuskan oleh Raffles. Dampak pemerintah pada kehidupan desa, sampai sedemikian jauh melebihi pengaruh yang diberikan oleh penguasa pribumi, yang di wilayah luas membiarkan ekonomi desa dalam keadaan utuh. Secara khusus, perluasan Sistem Tanam Paksa menjadi sistem sawah untuk tujuan menyelingi penanaman padi dengan tebu. Jadi, pada paruh pertama abad ke-19 konsekuensi tertentu dari penetrasi Barat mulai tampak jelas. Dalam bidang ekonomi akibat yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah penduduk di Jawa dan diperkenalkannya ekonomi uang. Pabrik-pabrik gula yang didirikan pihak asing menggunakan tenaga kerja Indonesia, sehingga membuat uang berputar di antara penduduk dengan bentuk upah.88 Perkembangan sebagaimana telah disebutkan semakin cepat selama fase kebijakan ekonomi yang disebut periode Liberal, yaitu dari tahun 1870 sampai 1900. Sistem Liberal ini ditandai dengan diterbitkannya “UndangUndang Agraria” pada tahun 1870. Undang-undang ini di satu pihak berusaha melindungi petani dari penguasaan golongan asing, tetapi pada waktu yang sama membuka peluang investasi modal Barat dalam pertanian swasta dengan skala besar. Pada periode ini tanaman tebu, kopi, teh, dan pohon kina dikembangkan di Jawa dan tembakau di Deli. Perusahaanperusahaan swasta dapat menyewa sawah-sawah yang beririgasi dari pemilik bangsa Indonesia untuk penanaman tebu secara bergantian dengan penanaman padi oleh penduduk pribumi. Proses ini membuat semakin melemahnya pemilikan tanah penduduk pribumi, karena lahan ini menjadi penting bagi penanaman tebu yang memandang desa sebagai 86
W. F. Wertheim, op. cit.
87
Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 292.
88
W. F. Wertheim, op. cit., hlm. 68.
36
suatu unit tunggal. Sementara itu, komunitas desa adalah sebagai perusahaan umum yang memiliki lahan atas dasar komunal sehingga mereka merasa diwajibkan berbicara hanya dengan pemimpin desa, bukan dengan para pemilik secara individual. Para petani desa memperoleh pendapatan dalam bentuk sewa yang dibayar oleh pemilik perkebunan dan mereka dapat pula memperoleh hasil lebih di perkebunan sebagai pekerja harian atau musiman.89 Seiring dengan perubahan di wilayah Hindia Belanda akibat adanya serentetan kebijakan para pemimpin kaum kolonial sejak awal abad ke-19, sebagaimana telah disinggung, rentang waktu ini juga terjadi rentetan sejarah perang atau perlawanan dalam pelbagai bentuk. Kesemuanya menjadi bukti, bahwa bangsa Indonesia mampu mengadakan reaksi yang dahsyat terhadap Belanda. Yang perlu ditegaskan adalah, bahwa dari peristiwa Saparua sampai Perang Aceh semua reaksi yang penuh dengan kekerasan mempunyai nada religius. Reaksi mereka adalah mulai dari keluhan bahwa Belanda mempersulit kehidupan beragama sampai proklamasi kemerdekaan.90 Jadi, di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Oleh karena itu, dengan tidak melepaskan kaitannya dengan ajaran agama, timbullah aneka perlawanan, seperti Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), dan lainnya. Demikian pula, tingkat keberagamaan masyarakat di Nusantara semakin meningkat pada pertengahan abad ke-19, yaitu dengan semakin bertambahnya jemaah haji dari Indonesia. Pada tahun 1859 mereka sudah mencapai jumlah sekitar 2000 orang. Apalagi setelah dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, jumlah jemaah haji semakin meningkat.91 Dapatlah dijelaskan, bahwa gerakan kaum Padri dimotivasi oleh paham keagamaan Wahabi. Diketahui, pada awal abad ke-19 gerakan Wahabiah dengan puritanismenya melanda Sumatra Barat, dan paham ini berhasil menjiwai kaum Padri. Oleh karena itu, dalam gerakannya, kaum Padri bertujuan membersihkan agama Islam dari pengaruh-pengaruh 89
Ibid.
90
Sartono Kartodirdjo, op cit., hlm. 371.
91
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 93.
37
kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam yang ortodoks. Diberantaslah perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama.92 Waktu Inggris memegang kekuasaan sementara, mereka berhasil menyingkirkan kaum Padri dari Padang dan sekitarnya dengan segala tipu muslihat. Akan tetapi, ketika Hindia Belanda pada tahun 1816 datang kembali, daerah tersebut didominasi oleh kaum Padri. Kekuasaan kaum Padri sebagai penguasa dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen, mengerahkan tenaga wanita dan anak-anaknya untuk “dijual” sebagai tenaga kerja, antara lain di Sumatra Timur. Daerah kekuasaan kaum Padri meliputi daerah yang sebelumnya wilayah kekuasaan kerajaan Minangkabau; berbatasan dengan Tapanuli, Siak, Indragiri, Jambi, dan Indrapura. Gerakan revivalisme ini ternyata mempunyai kekuatan mobilisasi yang besar, sehingga para penguasa daerah menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol atau Alam Panjang. Imam bonjol dalam memimpin gerakan dibantu oleh Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan. Dalam menghadapi perjuangan kaum Padri, Belanda lama-kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agama, akan tetapi juga melakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonial sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka.93 Anthoni Reid menyebutkan bahwa Gerakan Padri di Minangkabau adalah puncak dari gerakan Islam modern di Indonesia, dan hal ini merupakan bukti pertama yang jelas mengenai dinamisme baru Islam pada abad ke-19 di Asia Tenggara. Jadi, sebuah kelompok Islam yang keras tampaknya sudah ada di Minangkabau pada abad ke-18, tetapi baru menjelma menjadi kegiatan agresif dengan kembalinya pada 1808 tiga orang haji yang diperkirakan dipengaruhi oleh militan Wahabi di Arab. Intervensi militer Belanda di pihak kepala-kepala adat konservatif pada tahun 1820an dan 1830-an berangsur-angsur mengubah perjuangan Padri menjadi perjuangan bela tanah air, mewakili kepentingan yang lebih luas dari pada kepentingan militan-militan yang menjadi titik tolak gerakan itu. Meski kaum Padri akhirnya dihancurkan oleh militer pada 1837, warisan mereka 92
Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 377.
93
Ibid., hlm. 378.
38
tidak diragukan lagi sangat penting dalam membawa Islam di Indonesia lebih dekat kepada Islam Asia Barat, dan bersamaan dengan itu menempatkan dengan kokoh kampium-kampium utamanya di barisan depan di pihak kelompok yang menentang kekuasaan Belanda.94 Jika di Sumatra ada gerakan kaum Padri, maka gerakan perlawanan terhadap Belanda di Jawa terkenal dengan Perang Diponegoro. Sebab Perang Diponegoro tidaklah tunggal. Perang ini pada dasarnya adalah bentuk akumulasi kekesalan masyarakat terhadap kondisi sosial-ekonomi yang berkaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Ada serentetan bentuk pajak atau sistem pajak tradisional yang telah menjadi beban berat secara turun-temurun, seperti pajak tanah, pajak halaman pekarangan, pajak jumlah pintu, pajak ternak, pajak pindah nama, pajak penyewa tanah atau menerima jabatan. Di samping itu, ada juga pajak atau pungutan yang ditarik pada tempat pabeyan (tol), yang kebanyakan disewakan kepada Cina. Semua lalu lintas dengan pengangkutan barang dikenakan pajak, sampai-sampai seorang ibu yang menggendong anaknya juga dikenakan pajak.95 Semua itu menjadikan mudahnya mobilisasi masyarakat untuk menentang Belanda ketika ada pemimpin yang menggerakkannya. Faktor lain adalah yang berkaitan langsung dengan pribadi Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin perang. Diketahui, bahwa Pangeran Diponegoro sebagai keturunan Hamangkubuwono III dari ibu seorang kebanyakan (bukan bangsawan) banyak dikecewakan oleh sikap-sikap penguasa kerajaan. Jelasnya, dalam banyak hal Pangeran Diponegoro tidak suka dengan gaya hidup yang ada di Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, di tengah-tengah suasana hidup bergaya serba mewah dan modern di lingkungan keraton, Pangeran Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo, menjalankan ibadah Islam dengan tekun, banyak pula yang bermistik. Suatu ilham yang diterimanya adalah, bahwa dia memperoleh perintah agar menyelamatkan tanah Jawa. Tugas yang diterimanya lewat ilham itulah yang memberikan otoritas kepadanya untuk memimpin gerakan
94
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta: Obor dan KITLV, 2011), hlm. 230-231. 95
Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 381.
39
pada satu pihak, dan menjadi tuntutannya yang keras dalam berunding dengan Belanda pada pihak lain.96 Sementara itu, sebab secara langsung meledaknya Perang Diponegoro adalah adanya provokasi yang dilakukan penguasa Belanda, seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar makam kramat. Timbulah protes dari Diponegoro dan masyarakat mencabut patok-patok untuk pembuatan jalan dan menggantikannya dengan tombak-tombak sebagai simbol perlawanan. Selanjutnya, Residen Smissaert berusaha mengadakan perundingan, tetapi Pangaran Diponegoro tidak muncul, dan hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Usaha Asisten Residen Chevallier untuk menangkap pengeran digagalkan oleh barisan rakyat di Tegalrejo.97 Kemudian, untuk Perang Aceh sendiri dipicu akibat terusiknya kedaulatan kerajaan Aceh oleh Belanda. Diketahui, walaupun pada awal abad ke-19 hegemoni kerajaan Aceh di Sumatra Utara sudah sangat menurun, tetapi kedaulatannya masih diakui oleh negara-negara Barat. Traktat London 1824 bahkan menjamin kemerdekaannya. Akan tetapi, pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah kontrak antara Aceh dan pemerintah Hindia Belanda yang berisi kebebasan perdagangan. Kontrak itu memberi kedudukan kepada Belanda di Aceh dan diperkuat lagi dengan Traktat Siak yang ditandatangani pada tahun itu juga. Terang saja, Sultan Aceh menentang isi traktat tersebut karena bertentangan dengan hegemoni Aceh. Akhirnya, jatuhlah pertempuran antara Aceh dan Belanda yang mengakibatkan Deli, Serdang, dan Asahan jatuh ke tangan Belanda.98 Kedudukan kerajaan Aceh semakin terusik lagi seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869. Pelabuhan Aceh menjadi sangat strategis karena berada dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme memuncak dan negara-negara Barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru. Kondisi ini mendesak Inggris dan Belanda untuk mengadakan perundingan. Berdasarkan Traktat Sumatra tanggal 2 November 1871 pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh, sedangkan Inggris memperoleh 96
Ibid., hlm. 382.
97
Ibid.
98
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 249.
40
kebebasan perdagangan di daerah Siak. Traktat ini jelas memberi peluang kepada Belanda untuk memperluas agresinya. Selanjutnya, Belanda memaklumkan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Itulah awal dari Perang Aceh yang menurut waktu dan ruang, tidak ada taranya dalam sejarah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Perang ini disebut juga perang rakyat karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial. Pejuang Aceh dipersenjatai ideologi perang sabil sepanjang berlangsungnya perang, sehingga mempersulit Belanda.99 Dalam bidang pendidikan, karena adanya pengabaian perhatian negara kolonial terhadap pendidikan kaum pribumi hingga paruh pertama abad ke-19, maka sekolah-sekolah Islam tradisional (pesantren) mempu berperan sebagai institusi pendidikan yang utama di Hindia. Pada saat kekuatan ekonomi Liberal lebih memfokuskan perhatiannya pada pendidikan kaum pribumi, kebijakan-kebijakan kolonial terhadap Islam yang bersifat kontradiktif dan diskriminatif dibarengi dengan ketidakpercayaan kalangan santri terhadap institusi-institusi Barat, maka memberi tambahan bagi institusi-institusi Islam untuk bertahan hidup.100 Ketika gerakan Liberal menyentuh sektor pendidikan yang merekomendasikan harus meningkatkan dan memajukan sekolah-sekolah misi Kristen secara gradual dengan jalan memasukkan pengajaran-pelajaran sekuler, maka hal ini tidaklah berlaku bagi sekolah-sekolah tradisional Islam. Kebijakan mengucilkan sistem sekolah Islam dalam kenyataannya merupakan kelanjutan dari sikap favoritisme pemerintah kolonial terhadap keluarga-keluarga non-Muslim dan priyayi non-santri dalam akses ke sekolah-sekolah pemerintah. Demikian pula, pengucilan sekolah-sekolah Islam tradisional oleh sistem pendidikan kolonial adalah akibat dari sikap-sikap negatif yang secara umum berkembang di kalangan komunitas Muslim yang taat beribadah (santri). Sikap kaum Muslim ini terjadi terutama setelah berlangsungnya serangkaian pemberontakan berdarah yang dilakuan oleh kaum pribumi yang melibatkan ulama dan para santrinya.101
99
Ibid., hlm. 250.
100
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm. 113. 101
Ibid., hlm. 114-115.
41
Karena dihambat atau enggan untuk masuk sekolah pemerintah, maka pilihan yang paling mungkin bagi keluarga-keluarga Muslim yang taat sampai akhir abad ke-19 ialah masuk sekolah-sekolah tradisional Islam. Jumlah sekolah semacam itu, berdasarkan laporan pemerintah tahun 1831 mengenai lembaga-lembaga pendidikan pribumi di Jawa, adalah sekitar 1.853 dengan sekitar 16.556 siswa. Namun, menurut van der Chijs, kebanyakan dari sekolah ini hanya mengajarkan mengaji Qur’an dan hanya sejumlah kecil sekolah yang mengajarkan penulisan Arab. Dari tahun 1873, Kantor Inspeksi Pendidikan Pribumi (yang didirikan oleh J.A. van der Chijs) mengeluarkan laporan tahunan mengenai jumlah sekolah dan siswa Islam. Berdasarkan laporan-laporan itu, jumlah pesantren dilaporkan rata-rata sekitar 20-25.000, sementara jumlah siswanya sekitar 300.000.102 Sementara itu, pada akhir abad ke-19, jumlah pribumi yang naik haji semakin meningkat. Paling tidak terdapat dua alasan kondusif yang membuat jumlah orang naik haji pada akhir abad ke-19 meningkat. Pertama, diperkenalkannya kapal uap, dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, dan beroperasinya perusahaan-perusahaan kapal swasta yang berorientasi laba yang turut membantu lalu lintas haji. Kedua, memburuknya kondisi-kondisi sosio-ekonomi di Hindia dan semakin ketatnya kontrol atas aktivitas-aktivitas keagamaan, setelah terjadinya pemberontakan-pemberontakan pribumi, yang justru mendorong gairah revivalisme keagamaan.103 Dorongan revivalisme keagamaan bersama-sama dengan kesadaran Muslim akan potensi kelangkaan ulama (karena banyak dari mereka yang terbunuh dalam pemberontakan-pemberontakan) menjadi motivasi tambahan bagi keluarga-keluarga Muslim yang kaya untuk mengirimkan anak-anak mereka ke pusat-pusat belajar Islam di Timur Tengah. Faktorfaktor ini menyebabkan meningkat pesatnya jumlah orang yang naik haji pada dekade-dekade terakhir abad ke-19. Sementara pada tahun 1850-an dan 1860-an, jumlah rata-rata orang-orang Hindia yang naik haji setiap tahun ke Makah sekitar 1600, pada tahun 1870-an, angka itu meningkat
102
Ibid., hlm. 116.
103
Ibid., hlm. 118.
42
menjadi 2600, dan melonjak menjadi 4600 pada tahun 1880-an, dan mencapai lebih dari 7000 pada akhir abad itu.104 Karena meningkatnya arus orang Nusantara yang naik haji ke Makah, maka koloni Jawah (Ashhab al-Jawiyyin) pada akhir abad itu merupakan koloni yang terbesar dan paling aktif di Makah. Konvergensi beragam orang Jawah di haramain menciptakan sebuah identitas kolektif dan sebuah kesadaran akan kesatuan kultur Islam yang sama-sama mereka miliki. Identitas dan kesadaran bersama ini memunculkan terbentuknya sebuah komunitas epistemik Jawah yang khas, yang berpusat pada sosok ulama yang reputasinya diakui bahkan di mata orang-orang asli Arab. Selain sebagai para penasehat keagamaan bagi saudara-saudara setanah airnya, ulama ini juga menghasilkan tulisan-tulisan keagamaan baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu dan menjadi referensi utama bagi pemikiranpemikiran Islam di Hindia.105 Untuk selanjutnya, hingga akhir abad ke-19, “reformisme Islam” menjadi wacana dan ideologi yang dominan di kalangan jaringan ulama internasional di Haramain. Reformisme Islam merupakan proyek historis ulama yang dimulai pada abad ke-17 dalam usaha untuk menata kembali umat Muslim dan memperbaharui perilaku individu. Proyek historis ini didasarkan pada gagasan pemurnian kepercayaan dan praktik Islam dengan kembali kepada sumber yang otentik, yaitu Qu’ran dan Sunnah, serta memiliki kecenderungan kuat untuk menolak kebudayaan Barat. Dengan meneruskan trayek jaringan ulama dari abad-abad sebelumnya, Ulama Hindia yang menjadi figur-figur penting di haramain pada abad ke-19, di antaranya ialah, Muhammad Arsjad al-Banjari (1710-1812), Muhammad al-Nawawi al-Bantani (1815-1898), dan Syeikh Achmad Khatib (1860-1916). Sebagai bagian dari jaringan ulama internasional, ulama Hindia di koloni Jawah tidak luput dari ideologi yang dominan pada masa itu. Pengaruh dari paham reformisme Islam ditunjukkan oleh koreksi yang dilakukan oleh M. Arsjad al-Banjari terhadap arah kiblat dari beberapa masjid Jakarta dan penolakannya untuk mengajarkan wihdatul wujud (paham pantheisme) yang dipraktikkan oleh sebuah tarekat tertentu di Banjarmasin. Pengaruh
104
Ibid., hlm. 119.
105
Ibid., hlm. 119-120.
43
reformisme ini akan lebih jelas tampak dalam karya-karya dan sikap-sikap politik dari Nawawi dan Khatib.106 Selain terpengaruh oleh gagasan reformisme Islam, jaringan ulama internasional pada akhir abad ke-19 mulai terpengaruh oleh sebuah gelombang baru “modernisme Islam”. Modernisme Islam merupakan proyek dari generasi Islam baru yang terpengaruh Barat untuk menyesuaikan diri dengan peradaban modern, namun dengan tetap mempertahankan kesetiaan terhadap kebudayaan Islam. Dengan kata lain, modernisme Islam merupakan sebuah titik tengah (interstitial space) antara “Islamisme” dan”sekularisme”, yang mungkin saja akan bergerak kembali ke arah Islamisme atau bergerak ke arah sekulerisme seperti halnya yang terjadi di Turki di bawah Turki Muda, atau tetap berada dalam posisi moderat di antara kedua titik ekstrem itu.107 Ideologi baru ini (modernisme Islam) pertama kali didukung oleh kelompok Ottoman Muda di Turki pada tahun 1860-an dan 1870-an, lantas menyebar ke bagian-bagian dunia Muslim yang lain. Selain komitmennya terhadap prinsip-prinsip Islam, kelompok Ottoman Muda ini menyerukan kepada rejim khilafah Ottoman yang tengah memudar untuk mentransformasikan dirinya menjadi sebuah pemerintahan konstitusional dengan meniru bentuk-bentuk negara dan peradaban Eropa. Seruan yang serupa juga muncul di India. Seorang pemikir Muslim India yang modernis, Sayyid Ahmad Khan, berargumen bahwa agar kaum Muslim India bisa bertahan di bawah kekuasaan Inggris, mereka harus mengembangkan model pendidikan baru agar bisa menghasilkan sebuah generasi baru pemimpin Muslim.108 Gerakan intelektual yang baru itu juga terinspirasi oleh ajaran dari seorang pemikir Islam pengelana yang terkemuka, Jamal al-Din al-Afghani (1839-97), yang pernah tinggal di Mesir pada tahun 1870-an (persis sebelum dia memulai aktivitas Pan-Islamnya). Perhatian utama dari pemikir ini ialah bagaimana mengatasi kelumpuhan dan perpecahan Islam yang terus terjadi, dan menghidupkan kembali kejayaan Islam. Dalam pandangannya, untuk membebaskan masyarakat-masyarakat Muslim dari cengkeraman kolonial niscaya harus dilakukan pembaharuan terhadap kepercayaan dan 106
Ibid., hlm. 121.
107
Ibid., hlm. 124.
108
Ibid., hlm. 123.
44
praktik Islam karena agama baginya merupakan basis moral bagi kemajuan teknik dan saintifik serta solidaritas politik dan kekuasaan. Dia yakin bahwa Islam pada hakikatnya memang cocok untuk menjadi basis bagi masyarakat saintifik modern sebagaimana halnya dia pernah menjadi basis bagi kejayaan Islam di abad pertengahan. Namun untuk bisa mencapai kondisi tersebut, ummat Muslim harus menggunakan interpretasi rasional atas kitab sucinya. Usaha ini, menurutnya, harus didasarkan pada semangat solidaritas Islam, karena satu-satunya cara untuk merespons cengkeraman kolonial secara kuat ialah dengan mempertautkan perlawanan lokal dari negeri-negeri Muslim dengan persatuan Muslim seluruh dunia.109
B. Wacana Intelektual Islam Abad ke-19 1. Akar Pembaruan Islam di Indonesia Telah disinggung, bahwa pembaruan Islam pertama di Nusantara ditandai dengan munculnya pemikiran Nur al-Din al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Sinkili pada abad ke-17. Inti dari pembaruan ini adalah mengkritisi pemikiran tasawuf heterodok (tasawuf falsafi) dan menawarkan bentuk ajaran tasawuf yang ortodok (tasawuf sunni). Wacana pembaruan Islam di Indonesia baru muncul kembali pada masa-masa pertama abad ke-19 dengan mengusung gagasan “reformisme Islam”. Para pelajar ilmu-ilmu keislaman terkemuka yang kembali dari Makah membawa gagasan-gagasan Wahhabiyah ke kampung halamannya. Mereka memprakarsai gerakan pemurnian yang sama dan mulai mengecam pengaruh kebiasaan lokal yang dipandang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Berkat terilhami para pengikut gerakan Wahhabiyah, mereka mengorganisasikan dan menyebarluaskan gagasan pembaruan sedemikian rupa sehingga mereka tampil sebagai tantangan serius bagi kaum adat.110 Anggota Gerakan Wahabi, atau para pengikut Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1703-1787), menyebut dirinya Muwahhidun (kelompok Unitarian atau pendukung Tauhid). Sejak awal, pencetus gerakan ini mendapat dukungan langsung dari Bani Sa’ud, terutama dari amir setempat 109
Ibid., hlm. 125-126.
110
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 131.
45
di Darya. Tujuan utama gerakan ini adalah mengembalikan agama untuk memurnikannya dari penambahan dan pengurangan ajaran-ajarannya. Ajarannya kebanyakan dipungut dari dan dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah (1263-1328) terhadap taqlid, walaupun dia adalah anggota salah satu di antara empat mazhab Hanbali. Dalam kebanyakan bukunya dia menegaskan mengikuti apa yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis. Melalui karya-karya tulis ini dia menyerang para sufi yang memperkenalkan dan mengamalkan bid’ah seperti pemujaan terhadap wali-wali, ziarah kubur, termasuk ziarah ke makam Nabi. Dengan memanfaatkan dan mengelaborasi ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah, kelompok Wahhabi menyerang dan mengutuk pemujaan wali-wali dan semua bid’ah yang berasal dari para sufi sebagai penyimpangan dan kekafiran.111 Perlu diketahui bahwa Ibnu Taimiyyah (lahir 1263 M) adalah seorang ulama yang wawasan intelektualitasnya tidak saja terbatas pada Al-Qur’an dan Hadist, tetapi juga bidang-bidang matematika, sejarah, teologi, bahkan kesusastraan. Dalam rangka menyikapi kondisi keagamaan saat itu, gerakan mula-mula yang dilakukan Ibnu Taimiyyah adalah pembersihan bid’ah dan mistisisme sufi. Upaya-upaya purifikasionis yang dilakukan Ibnu Taimiyyah adalah untuk mengajak umat Islam kembali kepada ajaran Islam secara kaffah (sempurna) dan bersih dari penyelewengan doktrinal.112 Sebuah upaya yang tak kalah penting tentang apa yang dilakukan Ibnu Taimiyyah adalah mendobrak kejumudan dan kebekuan umat Islam, sebagai akibat merajalelanya taklid buta (mengikuti tanpa mengetahui dasar hukumnya). Pada masa ini, gema pintu ijtihad telah tertutup, menjadikan masyarakat memandang bahwa ijtihad adalah suatu kemaksiatan. Kondisi umat Islam yang demikian sudah barang tentu tak dapat dilepaskan dari “prostitusi” ulama terhadap kemungkinan perkembangan pikiran umat dalam memahami keadaan. Persyaratan-persyaratan untuk melakukan ijtihad telah dibuat sedemikian ketatnya sehingga tak seorang pun mampu menjangkaunya. Menurut Ibnu Taimiyyah, bahwa ijtihad adalah hak
111 Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammdiyah Terhadap Kolonialisme Belanda, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Al-Wasat, 2010), hlm. 95. 112
Suharsono, Gerakan Intelektual: Jihad Untuk Masa Depan Umat Islam, (Yogyakarta: Al-‘Arsy, 1992), hlm. 46-47.
46
mutlak bagi mereka yang mampu dan sudah barang tentu terjangkau kapasitas intelektual manusia.113 Walaupun Ibnu Taimiyyah lahir dari ajaran Hanbali, tetapi dia tidak mau bila dikatakan sebagai pendukung madzhab itu. Dia sendiri telah melepaskan belenggu taqlid dan telah menjadi imam mujtahid dengan paham pendirian menurut batas-batas Al-Qur’an dan Sunnah Raulullah saw. Ajaran Ibnu Taimiyyah yang paling pokok adalah mensucikan akidah Islam sehingga sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., dengan semboyan “kembali” kepada Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, semua yang menyimpang dari garis Al-Qur’an dan Sunnah diserangnya dengan berani. Dia juga menyerang kaum filsafat, seperti Ibnu Sina dan Ibnu al-Arabi, dan menyerang kaum sufi dan mutakalimin yang dipandangnya muncul dari lembah yang sama. Imam al-Gazali pun tidak luput dari kecamannya karena menurut penelitiannya dua kitabnya yang terkenal, Al-Munqiz Minadholaal dan Ihyaa Ulumuddin, berisikan sejumlah hadits yang tak sah (palsu).114 Sementara itu, gerakan “pembaruan” yang dimotori oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab An-Najdi dikenal dengan sebutan “Gerakan Wahabi”. Ibnu Abdul Wahab dilahirkan di Najed, yang terletak di jantung padang pasir Arab. Pada masa kecilnya, dia telah ditempa dengan pendidikan agama. Sebagai seorang petualang intelek, ia telah melakukan penjelajahan-penjelajahan yang efektif ke berbagai wilayah Irak dan Persia. Sekembalinya ke rumah, dia mengajarkan tentang doktrin-doktrinnya sendiri, yang pada waktu itu memperoleh peringatan dan bahkan tantangan dari kalangan keluarganya sendiri. Posisi yang tidak menguntungkan ini bagi perkembangan dakwahnya memaksa dirinya untuk pindah ke Dairiyah, yang kemudian menjalin hubungan dengan kepala suku Su’ud dan segera menerima pandangan-pandangannya.115 Dari kawasan inilah, Ibnu Abdul Wahab menggelarkan ide-idenya tentang pemurnian agama, yang lepas sama sekali dari unsur-unsur takhayul dan intelektualitas sufinya, walaupun dia sebelumnya adalah seorang sufi. Perubahan pemikiran dan pendiriannya tak dapat dilepaskan dari 113
Ibid., hlm. 47.
114
Ibid., hlm. 50.
115
Ibid.
47
pengaruh-pegaruh tulisan Ibnu Taimiyyah yang dikenal sebagai penjaga gawang umat Islam dari pesona sufisme. Di atas segalanya, gairah puritanikalnya telah membawa lebih banyak warna dan arah hidup keagamaannya sendiri. Ibnu Abdul Wahab telah menyerang kepercayaan-kepercayaan masyarakat terhadap kekramatan para wali serta praktik-praktik ritualitas yang bersangkut-paut dengan kepercayaan tersebut.116 Selanjutnya, pemikiran dan ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah dan Wahhabi dapat menyebar ke Nusantara melalui beberapa tokoh setelah kembali dari belajar di Haramain. Misalnya, pada tahun 1802 tiga orang haji pribumi kembali pulang dari Makah ke kampung halaman mereka di wilayah Minangkabau. Ketiga orang haji itu adalah Hadji Miskin, Hadji Muhammad Arif, dan Hadji Abdurrahman yang tampaknya telah sangat terpengaruh oleh gagasan-gagasan Gerakan Wahabi di Jazirah Arab.117 Arti penting yang sebenarnya dari gerakan Wahhabi bagi modernisme Islam pada umumnya adalah karena gejala revivalisnya, sejak dari penegasannya tentang pemurnian agama. Sementara itu, tiga orang haji dari Minangkabau tersebut membawa gagasan-gagasan gerakan yang sama ke wilayah mereka masing-masing. Mereka mengawali gerakan puritan sejenis dengan berusaha melenyapkan adat karena bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang murni. Sama sebagaimana kelompok Wahhabi, mereka mampu mengorganisasikan diri dengan semboyan menerapkan agama Islam yang benar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Tindakan ini disusul dengan penaklukkan setiap nagari kira-kira secara sistematik satu demi satu di mana mereka menerapkan secara ketat hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.118 Gerakan pembaruan dan pemurnian berikutnya dikenal dengan Gerakan Rifa’iyah yang berada di Jawa. Geraakan ini merupakan gerakan pemurnian dan pembaruan Islam pada abad ke-19 yang dipimpin Syeikh Haji Ahmad Rifa’i (1786-1875). Gerakan ini dimulai setelah Ahmad Rifa’i pulang dari belajarnya di Haramain. Gerakan Rifa’iyah adalah gerakan sosial keagamaan, yang muncul pada tahun 1850, di Desa Kalisalak, Kabupaten
116
Ibid., hlm. 51.
117
Ibid.
118
Ibid., hlm. 96.
48
Batang, Jawa Tengah. Ahmad Rifa’i dilahirkan pada tahun 1786, di Desa Tempuran, Kaliwungu, Kabupaten Kendal.119 Setelah menempuh pendidikan agama di lingkungan kelahirannya, pada tahun 1833, Rifa’i pergi ke Haramain untuk menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Semarang, dan kemudian menetap di Makah selama delapan tahun. Selama menetap di kota ini, Rifa’i belajar ke sejumlah ulama, seperti Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abu Ubaydah, Syaikh Abdul Azis, Syaikh Usman, Syaikh Abdul Malik, dan Syaikh al-Barawi. Pada saat ini pengaruh Wahhabi cukup kuat di Haramain. Sejak 1803, para ulama di Makah benyak yang mengkuti paham ini dan terlibat pengaturan badah haji agar terhindar dari syirik dan bid’ah. Pengaruh Wahhabi juga dimiliki Kiai Rifa’i, walaupun dalam aspek-aspek tertentu. Pengaruh Wahhabi hanya tampak dalam bidang tauhid dan pola pemurnian Islam yang cenderung radikal. Hal ini tercermin pada sikap Rifa’i terhadap pola keberagamaan masyarakat setempat yang dalam banyak hal dipandang bid’ah.120 Sementara itu, pada tahun-tahun terakhir abad ke-19, gagasan pembaruan Islam mulai diperkenalkan di Indonesia, baik secara langsung oleh para jemaah haji yang menyampaikan kepada masyarakat secara lisan maupun secara tidak langsung melalui berbagai penerbitan dan jurnal yang tersebar di kalangan kaum Muslim santri di Indonesia. Dengan demikian, semakin banyak saja kaum Muslim Indonesia yang secara perlahan menyadari apa yang tengah berlangsung di dunia Islam lain, khususnya Mesir. Sementara itu, gagasan pembaruan yang dikembangkan Jamaluddin al-Afghani (w. 1897), Syaikh Muhammad ‘Abduh (w. 1905), dan penerusnya Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935) mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.121 Jamaluddin al-Afghani dilahirkan pada tahun 1839 yang bertepatan dengan masuknya tentara Inggris ke Afghanistan. Ayahnya teraniaya karena tanahnya di Kaner dirampas raja, sehingga dia mulai hidup baru dengan kemelaratan. Sejak Jamaluddin dilahirkan ke dunia sampai usia tiga tahun kemudian, suasana perang mulai dirasakan. Rumah ayahnya 119 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 142-143. 120
Ibid., hlm. 143-144.
121
Alwi Shihab, op. cit., hlm. 128-129.
49
sendiri diliputi dengan suasana tegang, karena negerinya diserang musuh. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila rasa yang mula-mula ada dalam pribadi Jamaluddin al-Afghani adalah rasa benci kepada penjajah Inggris sampai ke tulang sumsum.122 Dalam bidang intelektual, sejak masa kecil al-Afghani sudah diajari mengaji Al-Qur’an. Ketika bertambah besar, dia diajari bahasa Arab yang mencakup ilmu nahwu dan saraf, ma’ani dan bayan, serta tarikh. Bahasa Arab sendiri adalah bahasa agamanya dan bahasa nenak moyangnya. AlAfghani berkembang pemikirannya, sehingga ayahnya mendatangkan guru untuk mengajarkan ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih dan usul-nya, dan dilengkapi dengan tasawuf. Oleh karena itu, dalam usia 16 tahun, banyak yang telah dipelajari al-Afghani. Demikian pula, pokok-pokok pelajaran filsafat dan etika dipelajarinya, ditambah dengan ilmu pasti dan ilmu Ketuhanan. Setelah itu, dia dikirim ayahnya ke India selama satu tahun lebih untuk belajar kepada ulama-ulama besar agar menambah kematangannya. Di India, al-Afghani mulai mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam menurut sistem pelajaran Eropa modern.123 Karena semangatnya dalam mendalami keilmuan, maka tidak salah apabila Jamaluddin al-Afghani disebut sebagai tokoh terkemuka Islam abad ke-19 dan katalisator utama bagi reformasi Islam. Dia merupakan seorang aktivis yang tak kenal lelah, menjelajah dunia Muslim, mengajak reformasi internal guna mempertahankan diri, dan pada akhirnya mengusir Barat. Dia juga orator, guru, jurnalis, dan aktivis politik. Al-Afghani hidup dan menyebarkan pesan reformasinya di Afghanistan, Mesir, Turki, Persia, India, Rusia, Prancis, dan Inggris. Al-Afghani berusaha menjebatani kesenjangan antara kaum modernis sekuler dan kaum tradisionalis agama. Dia percaya bahwa kaum Muslim dapat memukul mundur Barat tidak dengan mengabaikan atau menolak sumber kekuatan Barat (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi justru dengan meraih kembali dan mengedepankan lagi nalar, ilmu pengetahuan, dan teknologi, yang menurutnya adalah bagian tak terpisahkan dari Islam dan merupakan prestasi peradaban Islam. AlAfghani juga menarik para ulama dengan pernyataan kaum Muslimin
122
Hamka, Said Jamaluddin Al-Afghani, (Jakarta: Bulang Bintang, 1981), hlm. 18.
123
Ibid., hlm. 19.
50
perlu mengingat bahwa Islam adalah sumber kekuatan dan bahwa kaum Muslimin harus kembali lebih taat lagi pada petunjukknya.124 Al-Afghani menolak kepasifan, fatalisme, dunia ala-Sufisme populer, dan kecenderungan sekuler Barat untuk membatasi agama hanya pada kehidupan pribadi atau ibadat. Oleh karena itu, dia mengkhotbahkan, bahwa “Islam adalah pandangan hidup yang lengkap, meliputi ibadah, hukum, pemerintahan, dan masyarakat”. Di sisi lain, bahwa yang dinamakan Muslim sejati adalah orang yang berjuang untuk mewujudkan kehendak Tuhan dalam sejarah, dan oleh karenanya Muslim sejati adalah orang yang berusaha mencoba sukses baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan akherat nanti. Sebagaimana kaum revivalis pada abad sebelumnya, al-Afghani berpendapat bahwa kekuatan dan daya hidup umat tergantung kepada penegasan identitas dan solidaritas ke-Islam-an.125 Inti program reformasi Islam al-Afghani adalah seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad. Dia mengecam stagnasi dan kejumudan dalam Islam, yang menurutnya diakibatkan oleh pengaruh sufisme maupun keterbelakangan ulama yang tidak memiliki keahlian yang diperlukan untuk merespon masalah-masalah modern dan melarang orang lain untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Karena interpretasi al-Afghani yang holistik tentang Islam, reformasi Islam secara tak terpisahkan terkait dengan pembebasan dari cengkraman kolonial. Penegasan kembali identitas dan solidaritas Muslim adalah prasyarat untuk memulihkan kemerdekaan politik dan budaya.126 Al-Afghani adalah seorang pemikir dan aktivis politik penganut mazhab Hanafi asal Afghanistan, pengusung gerakan Pan-Islamisme yang berusaha menyatukan dunia Islam dalam satu semangat untuk meninggalkan kemunduran dan mendorong kemajuan. Bersama Muhammad Abduh, Al-Afghani menerbitkan majalah al-Urwatul Wusqa untuk menyebarkan pikiran-pikiran modernnya. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku yang isinya berusaha menyadarkan kaum muslim dari ketertinggalan dunia Barat. Langkah Al-Afghani kemudian “mendapatkan ideologis dan 124 John L. Esposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lusrus” (al-Shirat al-Mustaqim), terj. Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 159. 125
Ibid., hlm. 159-160.
126
Ibid., hlm. 161.
51
teologisnya” terutama dari muridnya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Modernisme Abduh menyatakan kemunduran Islam diakibatkan oleh stagnasi berpikir umat, yaitu sikap jumud dan kebekuan berpikir yang menghalangi kemajuan. Karenanya penting bagi umat Islam untuk meninggalkan sikap-sikap taqlid dan mengembangkan semangat berfikir untuk membuka kembali pintu ijtihad yang sudah tertutup. Rasionalisme modern sejalan dengan perintah penggunaan akal pikiran dalam Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.127 Selanjutnya, Syekh Muhammad Abduh adalah pewaris gerakan Salafiyah Afghani, di samping Rashid Ridha. Muhammad Abduh dilahirkan di suatu desa di Mesir Hilir pada tahun 1848. Karir pertama pengamalan intelektualnya adalah mengajar di Al-Azhar Kairo, kemudian di Dar AlUlum dan juga di rumahnya sendiri. Di antara buku yang diajarkannya ialah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Mukaddimah Ibnu Khaldun, dan sejarah Kebudayaan Eropa karangan Guizot, yang diterjemahkan AlTahtawi ke dalam bahasa Arab di tahun 1857.128 Pada tahun 1884, Muhammad Abduh bersama-sama dengan Jamaluddin al-Afghani mengeluarkan majalan al-Urwah al-Wusqa. Ideide pembaruannya banyak termuat di majalah ini. Menurut Muhammad Abduh, sebab yang membawa kepada kemunduran Islam adalah adanya faham jumud yang terdapat di kalangan umat Islam. Sikap jumud ini, menurutnya, dibawa ke dalam tubuh Islam oleh orang-orang bukan Arab yang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Lewat kekuasaan ini membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti pemujaan yang berlebihan pada syekh dan wali, kepatuhan membuta pada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta penyerahan bulat dalam segala-galanya pada kada dan kadar.129 Bagi Muhammad Abduh, sebagaimana disuarakan juga oleh Muhammad Abd al-Wahab dan Jamaluddin al-Afghani, bahwa masuknya berbagai macam bid’ah ke dalam Islam-lah yang membuat umat Islam lupa 127
Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 233. 128
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 58-61. 129
Ibid., hlm. 62-63.
52
akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itulah yang mewujudkan masyarakat yang jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat Islam, faham-faham asing lagi salah itu harus dikeluarkan dari tubuh Islam. Umat harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat di zaman salaf, yaitu di zaman sahabat dan ulama-ulama besar.130 Akan tetapi, perlu ditegaskan bawa bagi Muhammad Abduh tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli itu, sebagaimana dianjurkan oleh Muhammad Abd al-Wahab. Hal ini dikarenakan, bahwa zaman dan suasana umat Islam sekarang telah jauh berubah dari zaman dan suasana umat Islam zaman klasik, ajaran-ajaran asli itu perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang. Untuk menyesuaikan dasar-dasar itu dengan situasi modern perlu diadakan interpretasi baru, dan untuk itu perlu pintu ijtihad dibuka. Ijtihad menurut pendapatnya bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Hanya saja, yang dimaksudnya bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad. Hanya orang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan yang boleh mengadakan ijtihad.131 Sebagaimana diungkapkan, bahwa Muhammad Abduh merangkul ide-ide modernitas yang pada pokoknya ditujukan untuk kemajuan masyarakat Muslim. Fondasi dasar modern yang ideal diusulkan olehnya sebagian besar didasarkan pada rasionalisme, liberalisme, nasionalisme dan universalisme Islam. “Abduh percaya struktur budaya Islam yang kaku akan menghalangi apa yang pada dasarnya logis dan cair dalam agama.” Praktik Islam pada dasarnya berakar pada premis ontologis kebenaran rasional dan logis, serta pengajarannya adalah jelas. Dia membuat kerangka penting untuk mereformasi tuntutan untuk perubahan dan “menganjurkan konsep Islam yang lebih modern”, membuat upaya yang signifikan untuk mencerahkan tradisi dan ide-ide klasik. Perjuangan itu merupakan landasannya untuk kebangkitan cita-cita Islam dalam masyarakat modern, dan perluasan kebebasan dan kebangkitan Islam politik.132 130
Ibid., hlm. 63.
131
Ibid., hlm. 64.
132
Ahmad N. Amir, Abdi O. Shuriye, Ahmad F. Ismail, “Muhammad Abduh’s Contributions To Modernity”, Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1. No. 1. April 2012, hlm. 66.
53
Abduh menganjurkan perlunya menerima modernitas sebagai landasan bangunan dan peradaban Islam, dan “hal itu hanya bisa dilakukan apabila Islam direformasi sesuai dengan kondisi modern, sehingga dapat diyakini, bahwa karakter sejati sebagai sebuah agama dunia akan menjadi jelas.” Cita-cita dan inspirasi Abduh dapat dilihat dari berbagai dampak yang ia buat dalam bidang tafsir, hadis, filsafat, ilmu pengetahuan, ‘aqidah (teologi Islam), penguasa tradisional dan komentar dan gerakan Islam modern.133 Memang Muhammad Abduh adalah seorang pengagum peradaban Eropa. Berulang kali ia pergi ke Inggris dan Prancis untuk mencari inspirasi. Ia yakin bahwa jika Islam dimodernisasi dan direformasi, maka akan mudah sekali bergema ide-ide Barat modern ke seluruh dunia Islam. Ia bermaksud menafsirkan syari’at Islam dengan satu cara yang bebas dari pengaruh penafsiran klasik dan berusaha membuktikan bahwa islam dan kebudayaan barat modern tidak bertentangan.134 Muhammad Abduh percaya kepada kemampuan akal manusia. Agama hampir saja bertindak sebagai pelengkap dan pembantu akal. Akal menduduki posisi yang menentukan. Di atas segala-galanya, Islam adalah agama akal dan seluruh doktrin-doktrinnya dapat dibuktikan secara logis dan rasional.135 Sikapnya yang menolak taqlid buta menyebabkan Abduh menyerukan penafsiran baru terhadap Islam yang membuktikan relevansinya terhadap pemikiran dewasa ini dan kehidupan dalam dunia modern. Abduh menegaskan bahwa tidak ada konflik antar agama dan akal ataupun ilmiah modern. Perubahan dalam praktik Islam adalah suatu hal yang mungkin dan perlu. Pembaruan Islam dan masyarakat Muslim semestinya didasarkan bukan secara mudah kepada modernisasi sekuler pihak Barat. Abduh mengemukakan dasar pemikiran yang rasional bagi integrasi yang selektif dari pihak Islam terhadap ide-ide dan lembaga-lembaga modern. Kebutuhan masyarakat Muslim modern dapat diselesaikan melalui Perubahan pandangan Islam sepanjang hukum dan sosial.136 133
Ibid., hlm. 66.
134
Maryam Jameelah dan Margaret Marcus, Islam dan Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 181-182 135
Ibid., hlm. 183.
136
John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. M. Joesoef Sou’yb, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 68.
54
Pandangan Abduh pada dasarnya sejalan dengan gurunya, Jamaluddin al-Afghani. Afghani menegaskan Islam itu mempunyai karakter yang dinamik, kreatif, dan progresif. Islam bukan imitasi yang simpel dari masa silam dan bersikap pasif, akan tetapi agama yang beralaskan akal dan aksi. Islam yang sebenar-benarnya itu mencakup kebaktian kepada Tuhan dalam negara dan masyarakat. Afghani menekankan bahwa Islam itu lebih dari sekedar agama menurut istilah pihak Barat. Islam adalah agama dan peradaban. Selanjutnya, Islam itu sebuah ideologi yang memberikan rasion d’etre bagi umat Islam, baik bagi individu maupun bagi masyarakat dalam kehidupan sosiopolitik. Kekuatan masa depan dan kelanjutan masyarakat tergantung pada penegasan identitas Islam dan pembentukan solidaritas Islam. Afghani percaya revitalisasi Muslim dari masyarakat jajahan itu akan bisa dicapai bukan dengan kebodohan dan penolakan terhadap apa yang berbau Barat, akan tetapi dengan perjuangan yang langsung dan aktif beserta konfrontasi. Bagi Afghani, kebangkitan dan reformasi umat Islam sangat tergantung pada permasalahan politik, yakni kebebasan dari kukungan kekuasaan kolonial.137 Kemudian, ketika melihat pemikiran Muhammad Abduh tentang pembaruan pada dasarnya bersifat agama, dan memang segi ini yang ditekankan oleh para pembaru umumnya di Indonesia, sekurang-kurangnya pada permulaan. Abduh menegakkan ijtihad, menolak taqlid, dan melihat kepada Rasul serta para Sahabat sebagai contoh dalam mengerjakan ibadah. Masalah-masalah ini juga ditekankan oleh para pembaru di Indonesia. Oleh karena itu, dipandang dari sudut ini maka pembaruan di Indonesia tampaknya merupakan produksi dari perkembangan di Mesir.138 Akan tetapi, para pembaru di Indonesia sepertinya tidak berhenti hingga Abduh saja. Banyak di antara mereka yang menggali lebih dalam dari sumber-sumber yang dipergunakan Abduh sendiri, yaitu Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Mereka juga berusaha untuk menafsirkan sendiri sumber dasar Islam (al-Qur’an dan Hadis), sehingga kesimpulan mereka bisa saja diambil lepas dari pendapat Abduh atau pandangan ulama lain. Misalnya, fatwa kalangan ulama pembaru di Minangkabau tentang harato 137
Ibid., hlm. 66.
138
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Cetakan ke-5, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 317.
55
musabalah yang tidak terkait pada faraidh didasarkan pada pemikiran sendiri. Tentang agama, para pembaru di Indonesia mengambil langsung dari Al-Qur’an dan Hadis, sehingga tidak mudah menduga berapa jauh pengaruh Abduh atau ulama lain terhadap gerakan pembaruan di Indonesia.139 Dari pemaparan di atas tampak bahwa pada umumnya, prinsip utama yang dikembangkan oleh para pembaru dapat dilacak dalam dua aliran yang saling berhubungan. Pertama, aliran skripturalisme, yaitu aliran yang menyerukan kembali kepada kitab suci dan yang menekankan otoritas eksklusif al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menentukan hal yang merupakan ajaran dan praktik Islam yang sesungguhnya. Para pengikut aliran ini mengajak kaum Muslim kembali ke pola hidup Islam yang awal dan sederhana, menyucikan agama mereka dari pengaruh politeisme, dan melawan konservatisme yang secara keras mempertahankan pemberlakuan hanya satu mazhab hukum. Kedua, aliran ini berkaitan dengan dan bahkan memperkuat aliran pertama, adalah gagasan penafsiran kembali ajaran Islam sebagai tandingan atas penafsiran lama yang masih berpengaruh pada masa itu karena penafsiran yang terakhir ini tidak lagi mampu memberikan daya hidup bagi kaum Muslim. Dengan demikian, aliran pemikiran ini mencurahkan perhatiannya kepada upaya-upaya menjawab tantangan yang datang dari Barat.140 Sering diwacanakan bahwa kelahiran dan perkembangan pembaruan Islam di Indonesia adalah erat kaitannya dengan reaksi langsung terhadap kemunduran Islam sebagai agama dan keterbelakangan para pengikutnya. Sementara itu, gelombang invasi intelektual, budaya dan politik Barat, dan masuknya gagasan-gagasan modernisme Islam dari luar negeri, terutama yang datang dari Mesir, menjadi faktor berikutnya. Tampaknya yang menjadi persoalan utama pembaruan Islam di Indonesia adalah keinginan kuat untuk membersihkan Agama Islam dari semua unsur keagamaan yang tidak murni dan yang dari masa ke masa telah tersinkretisasikan ke dalamnya, dan untuk membebaskannya dari kekakuan mazhab sehingga ia sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dunia modern. Mengenai hal ini
139
Ibid., hlm. 317-318.
140
Alwi Shihab, op. cit., hlm.129.
56
mereka yakin, bahwa jawabannya adalah kembali kepada sumber Islam yang benar yang hanya dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan Hadis.141
2. Keilmuan Islam di Pesantren: Akar Islam Tradisional Berbeda dengan kaum pembaru, sebagaimana telah dipaparkan di atas, tradisi keilmuan pesantren berkiblat pada pemikiran-pemikiran seperti Imam Syafi’i dalam hal fiqih, Abu Musa al-Asy’ari dalam hal pemikiran tauhid (teologi), dan Syekh Juneid dalam pemikiran tasawuf. Oleh karena itu, tradisi keilmuan pesantren sering disebut dengan tradisional, sedangkan tradisi keilmuan yang berkiblat kepada pemikiran Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Ridha disebut dengan modern atau pembaru. Hanya saja Zamakhsyari Dhofier menegaskan, bahwa ketradisionalan pesantren tidaklah karena terlalu banyaknya elemen non-Islam (baik yang berasal dari kepercayaan animisme maupun Hindu Buddhisme) sebagaimana banyak disangkakan, tetapi karena keterkaitan mereka terhadap aliran ulama Islam yang paling berpengaruh di seluruh dunia Islam.142 Model intelektal Islam yang berbasis pesantren juga tidak bisa melepaskan peran Walisanga. Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud,143 Walisanga merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI, sebagai arsitek pesantren, yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosiokultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisanga tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan ajaran Islam yang diperkenalkan Walisanga di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada 141
Alfian, op. cit., hlm. 92
142
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 69. 143
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 54-58.
57
prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara. Transmisi Islam yang dipelopori Walisanga merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu menyerap elemen-elemen budaya lokal dan asing, tetapi dalam waktu yang sama masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.144 Demikian pula, proses pergumulan Islam dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisanga. Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah yang menjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantra. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam.145 Tampaknya Walisanga sadar, bagaimana seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekskan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktik keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Lebih konkrit, kontekstual Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan 144
Ibid, hlm. 67.
145
Abdul Mun’im DZ, “Pergumulan Pesantren dengan Kebudayaan”, dalam Badrus Sholeh (ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES 2007), hlm. 41.
58
tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secra kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar shalih li kulli zaman wa makan146 (cocok untuk setiap zaman dan tempat). Mungkin benar bahwa Islam di Asia Tenggara secara geografis adalah periferal, Islam nominal, atau Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang terdapat dan berkembang di pusatnya, yaitu Timur Tengah. Akan tetapi, Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajaran perlu diuji secara kritis. Jadi, tidak berarti tradisi intelektual yang berkembang di Asia Tenggara sejak masa awalnya terlepas dari “tradisi besar” Islam. Bahkan, khususunya sejak abad ke 17, dapat disaksikan semakin tingginya intensitas dan kontak intelektual keagamaan antara Timur Tengah dengan Nusantara, yang pada esensinya bertujuan mendekatkan “tradisi lokal” Islam di Asia tenggara dengan “tradisi besar” (tradisi normatif dan idealistik) sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam al-Qur’an dan Sunnah.147 Kalangan pesantren sering menamakan sistem nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan “Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah”. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sendiri pertama-tama adalah mengacu pada golongan Sunni. Dengan demikian dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al-Asy’ari, dan kemudian tersebar antara lain melalui karya-karya Imam Ghazali. Meskipun menamakan diri Ahlu al-Sunnah tetapi kaum santri tidak banyak yang menyadari adanya golongan-golongan lain di luar mereka, kecuali Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah menjadi target kutukan kalangan pesantren bahkan sampai sekarang. Sedangkan golongan Syi’ah yang merupakan
146
M. Imdadun Rahmat, “Islam Pribumi, Islam Indonesia”, dalam M. Imdadun Rahmat (et al.), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. xx-xxi. 147
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya 2000), hlm. 8.
59
golongan terbesar di luar Ahlu al-Sunnah, tidak begitu disadari kehadirannya oleh kaum santri.148 Konsep tentang Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah itu lebih terasa dalam hal fiqih. Kaum santri dalam hal fiqih mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqih, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syafi’i. Pembelaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang taqlid yang berposisi menjadi lawan ijtihad. Sedang ijtihad diperjuangkan oleh organisasi reformis di Indonesia, yaitu terutama Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Oleh karena itu, kalangan pesantren, dengan menamakan diri Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah membedakan diri dari golongan reformis itu.149 Perkataan Ahlusunnah waljama’ah sering diartikan sebagai “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama”.150 Sementara itu, watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga i’tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljamaah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam).151 148 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, t.t), hlm. 33-34. 149
Ibid., hlm. 34-35.
150
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm.148.
151
Ibid, hlm. 65.
60
Pemikiran Aswaja sangat toleransi terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Dalam hal ini Aswaja sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, bukan saja yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat (Madzhab Hani, Malik, Syafi’i, dan Hanbali), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti imam Daud al-Dhahiri, Imam Abdurrahman al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri, dan lain-lain.152 Diketahui, ulama di Indonesia pada abad ke-16 dan ke-17 banyak yang mengadakan hubungan surat-menyurat dengan para ulama di Saudi Arabia. Mereka juga seringkali mengundang para ulama India dan negeri-negeri Arab dengan membawa buku-buku tafsir, fiqih, dan lain-lain. Banyak pula ulama Aceh dan derah-daerah lain yang pergi ke Makah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian tinggal beberapa lama di beberapa Kota Hijaz dan Yaman untuk memperdalam pengetahuan agama mereka. Namun demikian, baru pada abad ke-19 pesantren-pesantren di Jawa dapat meluluskan ulama yang mencapai taraf internasional dan mereka ini banyak yang berhasil menjadi guru besar di Makah dan Madinah. Satu hal yang sangat menarik adalah, akhirnya para pelajar dari Indonesia yang melanjutkan pelajarannya di Saudi Arabia mengelompok sedemikian rupa dan memilih guru besar di Makah dan Madinah yang berasal dari Indonesia.153 Sekitar abad ke-19 lahirlah corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Bermula dari dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah ternyata berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya akumulasi kekayaan masyarakat inilah mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anak untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama dibukalah terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan. Demikianlah terjadi massifnya pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Makah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfuz Tremas, Kiai Abdul Gani Bima, Kiai Arsyad 152 Husein Muhammad, “Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah: Yang Toleran dan Anti Ekstrem”, dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta: LKiS, 1999) hlm. 40. 153
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 129.
61
Banjarmasi, Kiai Abdus Shamad Palembang, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, dan sederetan nama-nama lain. Mereka telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin Karya Arsyad Banjari, Nihayatuz Zein dan ‘Uqudul Lujjain karya Nawawi Banten, dan semacamnya.154 Keilmuan pesantren, misalnya, juga bisa dilacak dari ketokohan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Dia dilahirkan di Kalimantan dan menetap di Makah sejak perempat kedua abad ke-19 dan tetap mengajar di Masjid al-Haram sampai meninggalnya dalam tahun 1875. Syekh Sambas sangat terkenal di Indonesia karena dianggap berhasil mengkoordinasi ajaran-ajaran dua organisasi tarekat yang paling berpengaruh di Indonesia, yaitu Tarekat Qadariyyah dan Naqsabandiyyah, yang terkenal dengan Tarekat Qadariyyah wa Naqsabandiyyah. Syekh Sambas menulis buku fath al-‘Arifin yang cukup masyhur dan menjadi bacaan penting bagi pengamal tarekat di wilayah Asia Tenggara.155 Meskipun Syekh Sambas di Indonesia lebih dikenal sebagai seorang pemimpin tarekat, namun sebenarnya ia seorang sarjana dalam Islam yang menguasai hampir semua cabang pengetahuan Islam. Makah pada waktu itu merupakan pusat kebangunan Islam dan berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin tarekat yang memiliki pengetahuan yang tinggi dalam berbagai cabang ke-Islaman. Syekh Sambas adalah seorang dari mereka. Selain ia mendidik dan mewariskan pemimpin-pemimpin tarekat bagi perkembangan Islam di Asia Tenggara, Syekh Sambas juga mendidik ahli-ahli Islam dalam bidang lain. Sementara itu, Syekh Nawawi adalah seorang muridnya.156 Untuk itu, tidak aneh apabila Syekh Nawawi menampilkan sebuah tafsir yang tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan, dan tidak seperti Muhammad Abduh. Dalam hal ini Abduh lebih dipengaruhi oleh ide-ide para pemikir Muktazilah, Nawawi sangat dipengaruhi oleh pemikiran para ulama Sunni abad pertengahan, seperti karya-karya 154 Ahmad Fawaid Sjadzili, “Islam Nusantara: Pertautan Doktrin dan Tradisi”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 26 Tahun 2008, hlm. 13. 155
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 131.
156
Ibid.
62
Ibn Umar Kasir al-Quraisi (lahir pada tahun 1300), Jalal al-Din Mahalli (w. 1460), Jalal al-Din al-Suyuti (w. 1505), dan yang sejenisnya. Lagi pula, Abduh tampaknya lebih mengembangkan kekuatan analitis, sedangkan Nawawi lebih bersandar pada Al-Qur’an, Hadis, pendapat para sahabat, dan ulama salaf terpercaya.157 Selain Nawawi al-Bantani, ada juga tokoh yang lain, seperti Mahfuz al-Tirmasi (w. 1919). Dia terkenal dengan salah satu arsitek pesantren. Keahlian Mahfuz adalah dalam bidang hadis. Mahfuz pindah ke Makah pada tahun 1880, kemudian belajar di Madinah, Makah, Mesir, dan sebagian besar kegiatan mengajarnya dilakukan di Makah. Murid-muridnya sebagian besar datang dari Asia Tenggara dan Asia Selatan, khususnya dari India dan Indonesia.158 Ada beberapa ulama dan pemimpin pesantren berpengaruh dari Indonesia, yang nantinya berperan sebagai genarasi penerus keilmuan tradisional Islam, yang memperoleh manfaat besar dari ajaran Mahfuz al-Tirmasi. Meraka adalah K.H. Hasyim Asy’ari (1817-1947), K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang (1888-1971), Muhammad Bakir bin Nur (1887-1943) dari Yogyakarta, K.H. Asnawi Kudus (1861-1959), Mu’ammar bin Kiai Baidawi dari Lasem, Jawa Tengah, dan Ma’sum bin Muhammad Lasem (1870-1972).159 Mahfuz adalah seorang guru yang sangat menarik. Meskipun tidak terdapat catatan secara pasti tentang jumlah muridnya, tetapi dapat diasumsikan bahwa muridnya mencapai lebih dari 4.000 orang dari berbagai generasi dan bangsa. Khususnya di Indonesia, tampak bahwa jaringan Mahfuz dengan ulama pesantren sedemikian signifikan, sehingga membawanya pada posisi tertinggi dalam tradisi pesantren. Signifikansi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti posisinya sebagai seorang guru Hadis kenamaan, yang sangat berbeda dengan ulama sesamanya, dan watak transmisi Hadis yang sejalan dengan tradisi pesantren, dalam arti sebagai model gurunya.160
157
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 129-130.
158
Ibid., hlm. 161.
159
Ibid., hlm. 179.
160
Ibid., hlm. 181.
63
C. Kondisi Sosial-Keagamaan Umat Islam Awal Abad ke-20 Dengan dimulainya abad ke-20, sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu zaman Etis. Semboyan dari zaman ini adalah kemajuan. Kata-kata yang menandakan kemajuan, seperti perkembangan, pendidikan, dan memajukan kesejahteraan. Zaman baru merupakan zaman ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan. Sementara itu, perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari Politik Etis. Pendidikan ini tidak hanya memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi alat utama untuk “mengangkat” bumiputra dan menuntun mereka menuju modrnitas serta persatuan Timur dan Barat. Oleh karena itu, pada penghujung abad ke-19 dan khususnya dua dekade pertama abad ke-20, pendidikan gaya Barat berkembang luas.161 Namun demikian, meskipun sekolah-sekolah modern “yang sekuler” telah meluas dan beragam pembatasan telah diberlakukan terhadap pendidikan Islam, seperti mengeluarkan ‘Ordonansi Guru’ yang mewajibkan para guru Islam untuk mengajukan permohonan ijin mengajar kepada pihak pemerintah, tetapi sekolah-sekolah tradisional Islam masih bisa bertahan hidup. Adanya penolakan terhadap aparatur ideologi kolonial serta tekanan modernisasi mendorong kalangan ulama yang mapan untuk mengembangkan mekanisme defensif dengan cara menunjukkan komitmennya untuk mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai tradisi keagamaan pribumi yang otentik. Jadi, sekolah-sekolah (tradisional) Islam yang telah ada sejak lama terus diorganisir dan dihidupkan oleh ulama konservatif-tradisionalis. Di tengah meningkatnya jumlah sekolah-sekolah modern sekuler serta munculnya madrasah di daerah-daerah perkotaan, pesantren tradisional (surau dan sejenisnya) mempertahankan basisnya di daerah pedesaan yang lebih tradisional dan agak terpencil.162 Di sisi lain, meskipun proses masuk ke sekolah-sekolah pemerintah telah menjadi lebih mudah setelah diterapkannya Politik Etis, namun jumlah sekolah-sekolah itu tak mencukupi untuk bisa mengakomodasi 161
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Terj. Hilmar Farid, (Jakarta: Grafiti, 1997), hlm. 35-37. 162
Yudi Latif, op. cit., hlm. 132.
64
jumlah pelajar pribumi yang ingin belajar di sana. Pada saat yang sama, banyak kaum Muslim yang tetap enggan untuk masuk sekolah-sekolah sekuler. Oleh karena itu, madrasah merupakan sebuah pendidikan alternatif bagi mereka yang tak bisa atau tak ingin masuk sekolah pemerintah (yang sekuler). Dalam banyak kasus, perintis awal dari madrasah ini memulai aktivitas-aktivitasnya di sekolah tradisional, hingga mereka mampu secara berangsur-angsur melakukan pembaharuan terhadap sekolah itu, atau malah mendirikan sebuah sekolah baru yang berdiri sendiri. Dengan mengadopsi metode-metode, kurikulum dan aparatus pendidikan Barat, kemunculan madrasah ini memperlihatkan adanya sebuah usaha baru dari ummat Islam untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dimunculkan oleh sistem sekolah gaya Barat.163 Dengan demikian, madrasah berada pada posisi di antara sekolah agama yang tradisional dengan sekolah modern yang sekuler. Berdirinya perhimpunan-perhimpunan reformis-modernis telah melahirkan jaringan madrasah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran umum (seperti aritmatika, sejarah, sastra, geografi dan sebagainya) dan penerapan metode organisasi yang modern (seperti jam pelajaran yang reguler, ujian, pemberian nilai, ijazah), memperkerjakan para guru “orang biasa” (bukan ulama), dan bahkan memberikan pendidikan kepada para siswa perempuan. Dengan begitu, madrasah dijalankan selaras dengan proyek kemadjoean, namun pada saat yang bersamaan masih berakar pada cara pandang Islam.164 Kemunculan madrasah merepresentasikan suatu trayek sejarah Islam yang baru. Madrasah merupakan perwujudan dari rencana kaum reformis-modernis untuk memulihkan dan meremajakan kembali masyarakat Islam. Karena kampanyenya untuk mereformasi masyarakat Muslim melalui jalan kembali kepada sumber asli Islam, sekolah ini merepresentasikan ide-ide reformisme Islam. Karena adopsinya terhadap pendekatan-pendekatan dan instrumen-instrumen modern, seperti rasionalisme modern, kurikulum pendidikan Barat, dan aparatus modern, sekolah ini merepresentasikan ide-ide modernisme Islam. Karena pengajarannya yang memasukkan pengetahuan agama maupun pengetahuan saintifik modern, madrasah berfungsi sebagai ladang persemaian utama bagi pembentukan 163
Ibid., hlm. 141.
164
Ibid., hlm. 142.
65
‘ulama-intelek’ yang akan menjadi pasangan utama bagi inteligensia dalam mengarahkan masyarakat Hindia mengarungi jalan kemadjoean.165 Jadi, keberadaan madrasah adalah seiring dengan munclnya gerakan modern Islam di Indonesia. Diketahui, bahwa munculnya gerakan modern Islam Indonesia adalah berawal dari keberaniannya untuk mempertanyakan kesahihan beberapa paham dan praktik keagamaan masyarakat. Sekalipun pengaruh Wahabi telah merembet ke Indonesia pada dekade kedua dan ketiga abad ke-19, khususnya lewat gerakan Padri di Sumatra Barat, namun gerakan modern Islam dalam arti yang sebenarnya muncul di Jawa pada dekade kedua dan ketiga abad ke-20. Muhammadiyah, AlIrsyad, dan Persatuan Islam (Persis) adalah wakil utama dari gerakan itu di bidang sosial keagamaan dan sosio-kemanusiaan. Organisasi-organisasi inilah yang mula-mula mengembangkan pendidikan model madrasah. Sedangkan di bidang politik terutama diwakili oleh Sarekat Islam (SI) dengan para ideolog puncaknya HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim.166 Berbeda dengan SI yang memusatkan perhatiannya pada masalah politik di negeri jajahan, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis lebih banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan pelayanan kemanusiaan. Hanya saja, di antara ketiga gerakan modern Islam ini, tampaknya Muhammadiyah yang mampu mengembangkan dirinya dengan sangat pesat ketimbang Al-Irsyad dan Persis yang tidak pernah membesar, sekalipun sumbangan dalam pemikiran modern tidaklah dapat dikatakan kecil. Bila dibandingkan dengan Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang tidak begitu mempersoalkan nasionalisme dalam kaitannya dengan Islam, Persis lewat pena A. Hasan khususnya, bukan saja mempersoalkan tapi telah mengutuk nasionalisme sebagai kelanjutan dari budaya jahiliyah atau ashabiyah (kesukuan) yang jelas-jelas dilawan Islam sejak masa-masa dini. Akan tetapi, persoalannya apakah nasionalisme Indonesia sama dengan ashabiyah sebagaimana dibayangkan.167
165
Ibid.
166
A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 115 167
Ibid., hlm. 116.
66
D. Islam Modern vs Islam Tradisional Dalam sejarah intelektual Indonesia, awal abad ke-20 tercatat mulai adanya perdebatan antara golongan Islam pembaru atau modern dan golongan Islam tradisional. Yang tampak adalah, bahwa ajaran-ajaran muslim pembaru (reformis) dan modernis abad ke-19 dan abad ke-20 berlawanan dengan seluruh bangunan kepercayaan dan amalan muslim tradisional. Banyak di antara kepercayan muslim tradisional dinyatakan sebagai “bid’ah”, bukan ajaran asli Islam. Kaum puritan yang lebih ketat di kalangan mereka mengerahkan segala usaha untuk memberantas semua unsur lokal dalam kehidupan keagamaan dan bahkan sampai soal-soal furu’ (cabang), seperti niat atau ushalli, tahlilan, slametan, dan ziarah kubur, dalam peribadatan yang dianggap tidak pernah diajarkan Nabi.168 Pengetahuan tekstual kiai, teutama fiqih, ilmu terpenting dalam khazanah keilmuan tradisional, juga diserang oleh para kaum pembaru. Kaum modernis mempertanyakan relevansinya dan menyatakan bahwa fiqih banyak mengandung bid’ah. Fiqh tradisional, misalnya, menuntut sikap taqlid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang, yaitu Syafi’i, dari empat imam madzhab fiqih ortodoks abad pertengahan (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali). Ajaran-ajaran ini dipelajari melalui berbagai karya yang bersifat ulasan (syarah) dan ulasan atas ulasan (hasyiyah) atas karya-karya abad pertengahan, yang dalam pandangan kaum pembaru, menjadi tabir penghalang antara masa sekarang dan masa Nabi. Oleh karena itu, gerakan pembaruan menolak taqlid dan menganjurkan kembali pada sumber asli, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, yang harus diinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang memenuhi syarat.169 Dalam sejarah Indonesia, yang sering disebut dengan golongan pembaru yang dimulai awal abad ke-20 adalah, seperti pemikiran yang dimotori beberapa ulama dari daerah Minangkabau (Syaikh Ahmad Khatib, Syekh Thaher Djalaluddin, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), dan Haji Abdullah Ahmad), gerakan dari kalangan Masyarakat Arab dan terutama Al-Irsyad, Muhammadiyah, dan Persatuan 168
Martin van Bruinessens, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Cetakan ke-5, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 19. 169
Ibid., hlm. 20.
67
Islam.170 Inti dari gerakan kaum pembaru tersebut adalah lebih memberi perhatian pada sifat Islam pada umumnya. Bagi mereka Islam sesuai dengan tuntatan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama itu tidak akan menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains, kedudukan wanita. Islam adalah agama universal, yang dasar-dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para Nabi, baik yang dikenal maupun yang tidak, yang diutus kepada semua bangsa, dan tugas mereka diselesaikan oleh Muhammad, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia.171 Golongan pembaru hanya mengakui Al-Qur’an dan Hadis saja sebagai sumber-sumber dasar pemikiran mereka. Mereka berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, pintu ijtihad, masih tetap terbuka, sehingga mereka menolak taqlid. Ini tidak berarti bahwa mereka menyalahkan dan menolak para pendiri mazhab dan imam lain yang mengikutinya, tetapi berpendapat bahwa fatwa dan pendapat para imam ini, sebagaimana juga pendapat siapa pun, dapat diteliti terus. Dalam pikiran para pembaru berlakunya suatu fatwa, pemikiran atau perbuatan hendaklah dinilai dengan dasar Al-Qur’an dan Hadis.172 Oleh karena itu, kalangan modern bersedia mencontoh cara berorganisasi dan sistem pendidikan serta pemikiran Barat, termasuk yang berasal dari para misionaris Kristen, selama hal-hal ini tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Adanya organisasi pendidikan sosial dan politik, gerakan kepanduan, gerakan misi Islam serta sistem pendidikan modern memperlihatkan pengakuan mereka terhadap manfaat cara dan teknik Barat. Misalnya, Muhammadiyah dan Persatuan Islam mendirikan sekolah-sekolah sejenis dengan sekolah-sekolah pemerintah, kecuali sekolah tinggi.173 Pandangan umum menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi sosial-keagamaan yang didirikan untuk mengadaptasikan Islam dengan situasi modern di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) di Yogyakarta, pada November 1912, sebagai 170 Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990). 171
Ibid., hlm. 322.
172
Ibid., hlm. 325.
173
Ibid., hlm. 326.
68
respon terhadap berbagai saran kolega dan murid-muridnya untuk mendirikan sebuah lembaga yang permanen. Muhammadiyah juga dikenal luas sebagai gerakan yang terutama sangat dipengaruhi oleh gagasan modern dan reformis pembaru Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905). Gerakan ini dimaksudkan untuk memurnikan Islam di Indonesia dari praktik-praktik khurafat tradisional yang tidak Islami. Dalam rangka memajukan program pembaruannya, Muhammadiyah menyerukan agar kaum Muslim kembali kepada Islam yang murni dan menafsirkan unsur-unsur kebudayaan Barat di dalam kerangka ajaran pokok Islam.174 Sebelum kemunculan Muhammadiyah, Indonesia tergabung ke dalam dunia Islam secara nominal. Masalah Islamisasi yang lebih menyeluruh baru dihadapi secara lebih terorganisir dan sungguh-sungguh setelah kehadiran Muhammadiyah. Adalah Muhammadiyah yang berkontribusi terhadap bangkitnya generasi baru Muslim Indonesia. Dengan Muhammadiyah, Dahlan sebagai orang yang memiliki ilmu agama yang memadai, baik di dalam negeri maupun di pusat Islam di Makah, dan sebagai orang yang memiliki kamauan yang kuat, Dahlan memulai perjuangan melawan apa yang dipandangnya sebagai praktik-praktik yang bertentangan dengan agama.175 Dahlan bertekad untuk mengajukan konsep dan gagasannya dengan cara yang halus. Pemikirannya lebih menyangkut hal-hal substantif dengan tujuan yang jauh lebih penting ketimbang sekedar isu-isu ritual formalistik. Hal yang menjadi perhatian utama Dahlan adalah menyangkut kehidupan religius, ketidakefisienan pendidikan agama, aktivitas misionaris kristen, dan sikap tidak peduli bahkan anti agama dari kaum cerdik pandai. Masingmasing isu tersebut dirasakan Dahlan telah mengakibatkan kemunduran Islam di Indonesia. Dengan kepribadian Dahlan yang menyenangkan dan bersahabat, landasan dasar Muhammadiyah diletakkan dengan sukses. Salah satu pelajaran yang paling penting dari kepemimpinan Dahlan adalah komitmen kuatnya kepada sikap moderat dan toleransi beragama.176 Gerakan yang senanda dengan Muhammadiyah adalah Persatuan Islam (Persis). Persis didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920-an. 174
Alwi Shihab, op. cit., hlm. 105.
175
Ibid., hlm. 310-311.
176
Ibid.
69
Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok yang berasal dari Sumatra tetapi telah lama tinggal di Bandung. Topik pembicaraan dari kenduri ini bermacam-macam, seperti masalah-masalah agama yang dibicarakan di majalah Al-Munir di Padang, majalah Al-Manar di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jamiat Khair, dan isi pembicaraan yang disampaikan oleh Pakih Hasjim dari Surabaya di Bandung dalam kunjungan untuk keperluan dagang.177 Perhatian Persis terutama adalah bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya, yaitu dengan cara mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pemflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Terutama penerbitan yang dapat menyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikirannya. Lagi pula penerbitan inilah yang dijadikan referensi guru-guru dan propagandis-propagandis organisasi lain seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah. Dalam kegiatan ini Persis beruntung memperoleh dukungan dan partisipasi dari dua orang tokoh yang penting, yaitu Ahmad Hasan dan Mohammad Natsir.178 Sebelum Persis muncul sebenarnya ada gerakan pembaru lain yang dimotori kalangan masyarakat Arab, yaitu Al-Irsyad. Gerakan Al-Irsyad, sebagaimana yang digagas Ahmad Surkati, adalah gerakan modern Islam yang tampil untuk mengkritisi tradisi-tradisi lama, sebagaimana yang dilakukan para sayyid, dalam kehidupan sosial-keagamaan.179 Diketahui, bahwa akibat perbedaan faham yang mendasar antara golongan sayyid dan non-sayyid, mendorong Ahmad Surkati, yang mewakili golongan non-sayyid, keluar dari Jamiat Khair, lalu mendirikan Sekolah Al-Irsyad Al-Islamiyah yang bertempat di Jati Petamburan Jakarta dengan bantuan pemuka-pemuka masyarakat Arab pada waktu itu. Sekolah tersebut dibuka pada hari Ahad, 15 Syawal 1332 bertepatan dengan tanggal 6 September 1914.180 177
Deliar Noer, op. cit., hlm. 95-96.
178
Ibid., hlm. 97.
179
Kritik terhadap tradisi yang dilakukan para sayyid dapat dilihat dalam Syeik Ahmad as-Surkati al-Anshori, Tiga Persoalan: Ijtihad dan Taqlid, Sunnah dan Bid’ah, Ziarah Kubur Tawasul dan Syafa’ah, (Surabaya: Al-Irsyad Al-Islamiyyah, 1988). 180
Hamid Elansari, Selajang Pandang Perdjoangan Al-Irsjad pada Zaman
70
Dalam keseluruhan, tujuan Al-Irsyad adalah, pertama mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan pelajaran agama dan ilmu-ilmu umum yang sesuai dengan zaman dalam bingkai semangat kemerdekaan. Kedua, menghidupkan petunjuk dari Al-Qur’an dan al-Sunnah dan memberantas segala khurafat yang tersebar dengan cara membuat bid’ah pada agama Islam. Tujuan inilah yang menyebabkan kaum Irsyadi menentang kaum Alawiyin karena dianggap terlalu mengangkat diri dan memandang rendah di luar golonganya sekalipun kepada para ulama maupun orang terkemuka.181 Setelah pemikiran dan gerakan Islam diramaikan oleh kaum modernis dengan terbentuknya beberapa organisasi pembaruan, maka muncullah respon dari kaum tradisionalis. Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi yang kemudian terbentuk. Sebagaimana disebutkan, bahwa NU didirikan oleh kiai tradisionalis yang menyaksikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis. Pengaruh Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang semakin meluas telah memarjinalisasikan kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pimpinan dan juru bicara komunitas muslim dan ajaran kaum pembaru sangat melemahkan legitimasi mereka. Jadi, NU didirikan untuk mewakili kepentingan-kepentingan kiai, visualisasi vis a vis pemerintah dan juga kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang hadir lebih dahulu.182 Faqih Hasyim, pedagang dan penyebar aktif paham reformis asal Minangkabau yang menetap di Surabaya pada akhir tahun 1910-an, adalah orang yang memancing respon keras dari kalangan tradisional. Ternyata, ketika sejumlah ulama tradisional di Surabaya membentuk sebuah perhimpunan dan mendirikan sebuah sekolah agama yang dimotori Kiai Wahab Hasbullah, yang diberi nama Tashwirul Afkar, pada tahun 1924, adalah bentuk reaksi langsung terhadap propaganda Faqih Hasyim. Tashwirul Afkar inilah umumnya yang dianggap sebagai cikal bakal NU. Diketahui Kiai Wahab adalah orang yang aktif dalam berbagai organisasi dan lingkungan intelektual yang ada pada waktu itu dan juga berkerja sama dengan para pembaru sebelum terjadi perselisihan pada tahun 1920-an. Akibat Keemasanja, (Bogor: t.p., 1964), hlm. 20. 181
Ibid., hlm. 27.
182
Martin van Bruinessens, op. cit., hlm. 22.
71
perselisihan inilah menjadikan Kiai Wahab mengambil posisi tradisionalis secara lebih tegas.183 Kongres al-Islam tahun 1922 di Cirebon menjadi panggung perdebatan yang keras, yaitu muncul dan terdengar tuduhan-tuduhan “kafir” dan “syirik”. Ketika pertikaian masih berlanjut, Kiai Wahab Hasbullah mengusulkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk membuat sebuah gerakan yang mewakili para ulama tradisional. Kiai Hasyim Asy’ari enggan menyetujuinya. Akan tetapi, dua tahun kemudian, situasi di Timur Tengah mengubah pandangan itu. Situasi itu adalah munculnya peristiwa besar yang menyangkut agama Islam setelah tahun 1924, yaitu penghapusan khalifah oleh Turki dan serbuan kaum Wahabi ke Makah. Timbul masalah mengenai siapa yang akan menjadi penerus khalifah Islam dunia, Kairo atau Makah.184 Dari permasalahan di atas, yang penting bagi Islam tradisionalis Indonesia adalah bagaimana mempertahankan tata cara ibadah keagamaan yang dipertanyakan oleh kaum Wahabi puritan, yaitu membangun kuburan, berziarah, membaca do’a seperti dalail al-khairat, dan ajaran madzhab Syafi’i yang dianut oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia, juga kepercayaan terhadap para wali. Kongres Al-Islam Indonesia yang dilangsungkan sesudah tahun 1924 makin menampakkan perbedaan pandangan antara kaum pembaru dengan kaum tradisionalis.185 Pada bulan Januari 1926, sebuah Kongres Al-Islam di Bandung, suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaru di Cianjur memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaru ke Makah (Hijaz). Satu bulan kemudian, Kongres Al-Islam tidak menyambut baik gagasan Kiai Wahab yang menyarankan agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktik keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia, namun ditolaknya. Penolakan itu terjadi karena sebagian kaum reformis menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Saudi Arabia. Kondisi inilah yang telah menyebabkan kaum tradisionalis menjadi terpojok dan terpaksa memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka 183
Ibid., hlm. 23.
184
Andrée Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna,Cetakan II, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 10. 185
Ibid.
72
sendiri, yaitu membentuk sebuah komite, Komite Hijaz, untuk mewakili mereka di hadapan Raja Ibn Sa’ud. Untuk memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan untuk membentuk sustu organisasi yang mewakili Islam tradional, yaitu Nahdlatoel Oelama (NO).186 “Persetruan” atau perbedaan pendapat antara kalangan modernis dan tradisionalis tampaknya terus berlanjut, walaupun pada umumnya, kedua pihak mulai menyadari bahwa perbedaan mereka terletak dalam soal furu’ (cabang), sedangkan dalam hal pokok, usul, mereka sefaham. Sekitar tahun 1935, mereka mulai berseru pada perlunya persatuan, dengan mengemukakan perlunya toleransi, serta tekanan bahwa mereka tergolong saudara, yaitu umat Nabi Muhammad. Banyak di antara mereka yang mengadakan perjalanan propaganda bersama untuk kepentingan Islam.187 Sebelumnya, sekitar pertengahan tahun 1930-an, sebenarnya telah berkali-kali terlihat ada tanda-tanda kemauan baik dari kedua belah pihak. Pada Muktamar ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin, Kiai Hasyim Asy’ari mengajak umat Islam Indonesia agar menahan diri dari saling melontarkan kritik sektarian satu sama lain, dan mengingatkan bahwa satu-satunya perbedaan yang sebenarnya hanyalah antara mereka yang beriman dan kafir. Ajakan ini, walaupun ditujukan terutama kepada pengikutnya sendiri juga membangkitkan respon positif dari kalangan pembaru.188 K.H. Machfoezh Siddiq, yang pada tahun 1937 menjadi Ketua Umum Tanfidziah, menerbitkan sebuah buku penting. Dalam buku tersebut dia mengemukakan bahwa taqlid dan ijtihad tidak benar-benar berlawanan secara diametral sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka yang terlibat dalam polemik sebelumnya. Rumusannya, yang mendamaikan kaum tradisionalis dan pembaru yang sedang berselisih paham, disambut baik oleh kaum pembaru. Kelompok yang terakhir ini kemudian mengurangi kritik mereka terhadap berbagai praktik keagamaan tradisionalis.189 Oleh karena itu, tidak aneh apabila Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama bersama-sama mampu menseponsori diciptakannya suatu federasi Islam yang baru, MIAI, Madjlisul Islami A’laa Indonesia, atau Majelis 186
Ibid., hlm. 11.
187
Deliar Noer, op. cit., hlm. 337.
188
Martin van Bruinessens, op. cit, hlm. 44.
189
Ibid.
73
Agung Islam Indonesia, yang didirikan di Surabaya pada bulan September 1937. Tak dapat disangkal MIAI segera diikuti oleh kebanyakan organisasi Islam yang lebih kecil, orang Indonesia maupun Arab. Namun dalam kenyataannya perbedaan-perbedaan pendapat antara kaum tradisionalis dan reformis tetap berkelanjutan.190 Sampai pasca kemerdekaan perdebatan antara kaum modernis dan tradisionalis sebenarnya belumlah selesai. Diketahui bahwa sesaat setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dan sesuai dengan manifes politik pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, pada bulan November 1945, semua golongan Islam telah menyepakati untuk bersama-sama membuat wadah politik yang tunggal yang diberi nama Partai Politik Masyumi. Masyumi dalam konteks ini adalah kelanjutan dari MIAI yang dibubarkan ketika Jepang memerintah Indonesia.191 Kebersamaan elemen-elemen Islam ini pun tidak langgeng bertahan. Perselisihan antara kaum tradisionalis yang diwakili NU dan kaum modernis mencuat kembali. Dilaporkan bahwa benih-benih pertikaian mulai muncul sejak tahun 1949 ketika Masyumi semakin dikuasai oleh Muhammad Natsir, dari Persis, organisasi reformis yang kecil tetapi sangat vokal. Dalam konteks ini, Majlelis Syuro Masyumi, yang dipimpin oleh ulama besar NU, kini hanya boleh berfungsi sebagai penasehat. Demikian pula, di tingkat pimpinan pusat Masyumi, badan eksekutif, orang NU hanya tinggal dua dari 14 anggota yang ada. Di lain pihak, bersamaan dengan munculnya Moh. Natsir sebagai tokoh utama Masyumi, kaum tradisionalis mulai menunjukkan pendirian yang lebih tegas setelah dipilihnya Kiai Wahab Khasbullah.192 Akhirnya, pada bulan Mei 1952, goncangan besar terjadi dalam tubuh Masyumi, yaitu keluarnya NU dari Masyumi. Sebab utama keluarnya NU, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, dikarenakan perasaan tidak puas di kalangan NU atas dominasi sayap reformis dalam memimpin partai. Apalagi pada tahun 1952 pemimpin partai telah berpindah dari tangan Sukiman Wirjosendjojo ke tangan Mohammad Natsir. Sukiman dikenal lebih mampu 190
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidae, Cetakan II, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hlm. 119. 191
M.S. Mintaredja, Renungan Pembaruan Pemikiran Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia, (Djakarta: Permata, 1972), hlm. 13. 192
Andrée Feillard, op. cit., hlm. 39.
74
“ngemong” terhadap perilaku politik kelompok pesantren ketimbang Natsir yang dikenal sebagai tokoh Persis, suatu organisasi yang sering terlibat dalam debat khilafiyah dengan NU sebelum Perang Dunia II. Oleh karena itu, pada saat kongres di Palembang, Mei 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi.193
E. Relasi Islam dan Negara 1. Pandangan Kaum Tradisionalis Bagi kalangan tradisionalis bahwa persoalan relasi agama dan negara bukan merupakan problem yang sangat penting dan mendasar. Hubungan antara Islam dan negara, misalnya, telah terumuskan di dalam pemikiran kitab kuning dan pandangan-pandangan pendiri NU sebelum bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu di antara Panitia Sembilan yang merumuskan Pancasila adalah K.H.A. Wahid Hasyim, salah seorang tokoh NU. Dengan demikian, ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara telah diterima secara tulus oleh para kiai yang notabene tradisional. Bahkan keputusan ini sudah menjadi ketetapan dalam Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936.194 Dari diskusi panjang pada akhir Mei 1945 antara Soekarno dengan tiga pemimpin Muslim, Kiai Wahid Hasyim (NU), Kiai Masykur (NU), dan Kiai Kahar Muzakkir (Partai Islam Indonesia) menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan bagi kaum tradisional terhadap perubahan teks Pancasila dari “Piagam Jakarta.”195 Feillard menyimpulkan bahwa ketiga pemimpin muslim tersebut lebih bersusah-payah memikirkan persatuan Indonesia yang tersebar di ribuan pulau dari pada mencari kemenangn syariat. Dalam definisi sila-sila, satu-satunya konsep Islam yang dikutip adalah zakat, namun semua sila sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Kelihatannya, 193
A. Syafi’i Ma’arif, op. cit., hlm. 168.
194
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 229-230. 195
Isi Piagam Jakarta adalah: Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakya Indonesia.
75
pemimpin Islam waktu itu lebih mementingkan pendekatan yang disebut “substansialis” ketimbang pendekatan “skripturalis” atau literalis, artinya lebih mementingkan nilai-nilai keislaman, bukan bentuk luarnya saja. Dengan demikian, Pancasila benar-benar tampak sebagai perpaduan antara nasionalisme dan Islam.196 Keterlibatan NU, sebagai kaum tradisional, dalam perdebatan kemerdekaan pada tahun 1945 telah ditandai dengan kesiapan untuk berkompromi dengan nilai-nilai nasionalis sekuler. Misalnya, Wahid Hasyim menunjukkan fleksibilitas dan menerima untuk menggugurkan “Piagam Jakarta.” Ketika wilayah berpenduduk Kristen telah menyampaikan pesan kepada Moh. Hatta bahwa mereka tidak akan bergabung dengan sebuah republik yang menunjukkan identitas Islam sebagai mana tercantum dalam Piagam Jakarta, maka empat pimpinan Islam termasuk Wahid Hasyim dari NU menunjukkan kompromi tersebut. Bahkan Wahid Hasyim mengusulkan kepada para pemimpin Islam untuk mengubah asas ketuhanan dengan ditambah kata-kata Yang Maha Esa.197 Kesiapan berkompromi ini nampak sebagian didasarkan pada pemahaman yang relatif liberal terhadap Piagam Jakarta. Wahid Hasyim dikabarkan telah menjelaskan sikapnya dengan argumen sebagaimana berikut: pertama, kondisi saat itu sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka. Kedua, dia telah menerima dengan pemahaman bahwa kewajiban mengikuti syariat Islam bagi umat Islam akan mandapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing. Dalam konteks ini, tampak bahwa Wahid Hasyim memiliki penafsiran yang fleksibel terhadap Piagam Jakarta yang kabur batasannya, dan bukan lebih kaku yang ditakuti beberapa kalangan akan dipaksakannya Islam.198
196
Andrée Feillard, op. cit, hlm. 29-31.
197
Andrée Feillard, “Nahdlatul Ulama dan Negara: Fleksibelitas, Legitimasi, dan Pembaharuan”, dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed.), Gus Dur, NU dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 7. 198
Ibid., hlm. 8.
76
2. Pemikiran Islam Soekarno Sejak awal Soekarno berpandangan, bahwa dalam upaya menemukan ikatan bersama demi perjuangan pencapaian Indonesia merdeka, ia secara luas mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus dan membaktikan diri kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan partai yang sempit.” Ia menulis bahwa “nasionalisme adalah keyakinan, kesadaran di kalangan rakyat, bahwa mereka bersatu dalam satu kelompok, satu bangsa.”199 Dengan pandangan semacam ini, maka tidaklah aneh apabila Soekarno pada dasarnya mendukung pemisahan Islam dari negara. Meskipun demikian, ia tidak menyatakan bahwa sama sekali tidak boleh ada hubungan apa pun antara kedua wilayah religio-politik ini. Dapat dipastikan, ia tegas menentang gagasan mengenai hubungan formal-legal antara Islam dan negara, khususnya dalam sebuah negara yang tidak semua penduduknya menganut agama Islam. Baginya, model hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan perasaan didiskriminasikan, khususnya dalam pandangan masyarakat-masyarakat non-Muslim di negara tersebut.200 Soekarno, yang menjabat Presiden sejak Indonesia merdeka sampai masa Demokrasi Terpimpin, menegaskan, sebagaimana disampaikan di kerumunan massa di Amuntai, Kalimantan, bahwa Indonesia bukanlah Negara Islam akan tetapi Negara Nasional. Menurut pandangan Soekarno, jika Indonesia menjadi sebuah negara yang berdasarkan Islam, tentu banyak daerah non-Islam yang akan memisahkan diri dari negara republik. Beberapa wilayah yang penduduknya bukan Muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kai, dan Sulawesi, akan melepaskan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian dari wilayah Indonesia, akan tidak mau menjadi bagian dari Republik.”201 Pandangan semacam inilah yang dijadikan Soekarno sebagai alat politik ketika menghadapi lawan-lawannya, khususnya kelompok-kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara. 199
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 79. 200
Ibid., hlm. 85.
201
Boy R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 122.
77
Pandangan Soekarno semacam itu adalah wajar, karena diketahui dia banyak mengadopsi pemikiran Kemal Ataturk dari Turki dalam hal menterjemahkan hubungan Islam dengan negara. Bagi Soekarno, demikian pula Kemal Ataturk, Islam harus dipisahkan dari negara agar menjadi merdeka sehingga negara pun menjadi merdeka. Sisi lain, tujuan Islam yang harus dipisahkan dari negara adalah agar ia subur dan negara pun subur. Menurut Soekarno, pada saat mati-hidupnya bangsa Turki adalah tergantung pada kekuatan negara, sehingga Kemal Ataturk tidak mau apabila suatu tindakan negara yang dipandang penting tidak dapat dijalankan hanya karena ulama-ulama atau Syekh al-Islam yang mengatakan makruh atau haram. Kemal Ataturk mengatakan, sebagaimana dikutip Soekarno, “saya memerdekakan Islam dari negara agar Islam bisa menjadi kuat, dan saya memerdekakan negara dari agama agar negara juga bisa kuat”.202 Kata Soekarno, saya memerdekakan Islam dari ikatan negara, agar supaya agama Islam bukan tinggal agama yang memutarkan tasbih di dalam masjid saja, tetapi menjadikan Islam sebagai suatu gerakan yang membawa kepada perjuangan. Kemerdekaan agama dari ikatan agama dapat berarti pula memerdekakan negara dari ikatan anggapan-anggapan agama yang jumud, memerdekaan negara dari hukum-hukum tradisi dan faham-faham Islam-kolot yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa Islam itu sendiri.203 Walaupun agama dipisahkan dengan negara tetapi nilai-nilai agama dapat dimasukkan kapan saja ke dalam negara. Soekarno memberi contoh, di suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi yang di dalamnya terdapat Dewan Perwakilan Rakyat yang benar-benar mewakili rakyat, maka rakyatnya dapat memasukkan segala macam nilai “keagamaannya” ke dalam setiap tindakan negara, ke dalam setiap undang-undang yang dipakai negara, dan ke dalam politik yang dilakukan oleh negara. Asalkan sebagian besar dari anggota parlemen politiknya politik agama, maka semua putusan-putusan parleman itu bersifat agama pua. Asal sebagaian besar dari anggota parlemen itu politiknya politik Islam, maka suatu susulan tidak akan dapat berjalan tanpa bersifat Islam.204 202 Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid I cetakan ke-4, (Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, 1965), hlm. 405-406. 203
Ibid.
204
Ibid., hlm. 407.
78
Jadi, sebagai seorang Muslim, Soekarno menganut paham hubungan yang bersifat substansialistik atau etis antara Islam dan negara. Ini dalam pengertian bahwa, lewat perwakilan dalam demokrasi, kaum Muslim -karena posisi mereka sebagai kelompok mayoritas- akan mampu menyusun dan menentukan agenda-agenda negara, yang pada akhirnya akan menghasilkan rumusan-rumusan kebijakan yang diresapi oleh nilai-nilai Islam. Karena itu, bagi Soekarno, otentisitas sebuah “negara Islam” tidak didapatkan pertama-tama dalam penerimaan formal dan atau legal Islam sebagai dasar ideologis dan konstitusional negara, melainkan lebih banyak dalam manifestasi individu dan massa dari “roh” atau “api” Islam dalam kebijakan-kebijakan negara.205 Lahirnya gagasan pemisahan agama dari negara dalam pandangan Soekarno dikerenakan agama, menurutnya, merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan masalah negara adalah persoalan dunia dan kemasyarakatan. Bertitik tolak dari asumsi ini, Soekarno menilai bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran agama hendaknya hanya menjadi tanggung jawab pribadi kaum Muslimin dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini tidak mempunyai wewenang turut campur untuk mengatur apalagi memaksa ajaran-ajaran agama kepada para warga negaranya. Soekarno menganggap campur tangan negara terhadap urusan agama, tidak saja akan merusak kehidupan kaum Muslimin, tetapi juga akan merusak negara atau pemerintah yang bersangkutan.206 Sisi lain dia berpandangan, bahwa Islam sejati tidaklah mengandung asas anti nasionalis dan tidaklah bertabiat anti sosialis. Kaum Islam yang memusuhi faham nasionalisme dipandang tidak berdiri di atas siratal mustaqim. Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban nasional pula. Bukankah, Islam yang sejati mewajibkan pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang didiami, mencintai dan bekerja untuk rakyat tempat ia hidup.207
205
Bahtiar Effendy, op. cit., hlm. 86.
206
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir, (Jakarta: UI Press, 2012), hlm. 75. 207
Sukarno, Di Bawah ... op. cit, hlm. 10.
79
Menurut Soekarno, Sayid Jamaluddin al-Afghani juga di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme, hormat akan diri sendiri, rasa luhur diri, rasa kehormatan bangsa. Sayid Jamaluddin-lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap bagian-bagiannya”. Demikian pula, tidak hanya Sayid Jamaluddin yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cita-cita bangsa, tetapi Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff, Mohammad Ali, dan Shaukat Ali, semuanya adalah propagandis nasionalisme di masing-masing negerinya.208
3. Pemikiran Mohammad Natsir Pandangan Natsir dalam banyak hal dan khususnya terkait dengan hubungan Islam dan negara pada dasarnya terinspirasi gurunya, Ahmad Hasan. Ahmad Hasan, pemimpin Persatuan Islam (Persis), adalah orang yang mengritik nasionalisme. Ia menyebutkan, bahwa nasionalisme sebagai sesuatu yang berwatak chauvinistik. Menurutnya, posisi nasionalistik seperti itu sebanding dengan pandangan-dunia orang-orang Arab mengenai chauvinisme kesukuan (‘ashabiyah) sebelum datangnya Islam. Hal ini dilarang dalam Islam, karena praktik itu akan menjadi dinding pemisah antara kaum Muslim (yakni antara kaum Muslim di Indonesia dan kaum Muslim di belahan dunia lain). Akhirnya, ia juga memandang bahwa kelompok nasionalis “sudah tentu... tidak akan menjalankan hukum-hukum Islam, karena (kelompok) partai itu perlu netral pada agama, yaitu tidak boleh mengambil satu agama yang tertentu buat dijadikan asas kumpulannya atau asas pemerintahannya kelak.”209 Sebagaimana gurunya, A. Hasan, Natsir juga mengkhawatirkan bergulirnya gagasan nasionalisme Soekarno menjadi suatu bentuk ‘ashabiyah baru. Gagasan itu, dalam pandangannya, dapat mengandung “fanatisme” yang memutuskan tali ukhuwwah yang mengikat seluruh kaum Muslimin dari pelbagai bangsa.” Bagi Natsir, gagasan nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Dengan kata lain, nasionalisme harus didasarkan kepada niat yang sakral, ilahiah, dan melampaui melulu yang material. 208
Ibid., hlm. 11.
209
Bahtiar Effendy, op. cit., hlm. 80.
80
Karena itu, sebagaimana Agus Salim, ia menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia harus diarahkan atau diniatkan sebagai bagian dari pengabdian kita kepada Allah.210 Natsir juga percaya bahwa nasionalisme Indonesia harus berwatak Islami. Untuk alasan itu, ia memperkenalkan gagasan kebangsaan Islam. Ia mendasarkan keyakinannya ini kepada kenyataan historis bahwa Islamlah yang pada awalnya mendefinisikan nasionalisme negara Indonesia. Ia bahkan menegaskan bahwa, “tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak akan ada; karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia, dan telah menghapuskan sekat-sekat isolasionis pulau-pulau yang beragam.”211 Dengan pandangan tentang kebangsaan yang seperti itu, Natsir berpendapat bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir gerakan-gerakan nasionalis Islam. Sebaliknya, kemerdekaan harus dipandang tidak lebih dari sekadar tujuan antara untuk sampai kepada ridha Allah. Ini harus dilakukan dengan cara menjadikan Islam sebagai hukum di tanah air ini. Sejalan dengan itu, ia menyatakan bahwa, “orang Islam tidak akan berhenti hingga itu (yakni kemerdekaan), melainkan akan melanjutkan perjuangannya “selama (Negara) belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam”.212 Natsir sangat meyakini kebenaran Islam sebagai suatu ideologi kenegaraan. Sebagai suatu ideologi, Islam dalam pandangan Natsir mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas, seluas dimensi kehidupan manusia itu sendiri. Cakupan kehidupan ini tidak hanya meliputi kehidupan dunia, tetapi juga akherat. Dalam hal ini Natsir mengikuti prinsip Al-Quran agar setiap orang beriman kepada Allah dan Rasul, hendaknya mengatur seluruh aspek kehidupannya secara Islami.213 Natsir memandang ajaran Islam bukan semata-mata sebagai agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya. Dalam kehidupan politik, manusia 210
Ibid., hlm. 81.
211
Ibid., hlm. 82.
212
Ibid., hlm. 83.
213
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam; Soekarno vs Natsir, (Jakarta: UI-Press, 2012), hlm. 90.
81
membutuhkan dasar ideologi ini. Dengan demikian seorang Muslim tidak mungkin melepaskan keterlibatannya dalam polirik tanpa memberi perhatian kepada Islam. Berdasarkan ideologinya itu, Natsir menolak segala bentuk pemikiran sekuler, sebab pemikiran tersebut mengbaikan nilai-nilai transendental Islam.214 Natsir menegaskan bahwa paham Sekularisme mengandung bahaya. Ia mengemukakan bahwa Sekularisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan, dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan dunia. Dalam kehidupan seorang sekularis tidak terdapat tujuan-tujuan apa pun yang berada dalam batas luar dunia seperti hari akhirat, Tuhan dan lain-lain. Bahaya sekularisme adalah karena paham ini tidak dapat menjawab pertanyaan, “Apakah arti hidup itu?” Oleh karena itu, orang akan kehilangan makna hidpnya dan kemerosotan spiritual. Mereka dengan mudah akan dihinggapi penyakit-penyakit jiwa. Orangorang seperti ini membutuhkan seperangkat kepercayaan (keimanan) yang dapat dijadikan landasan hidup yang tidak pernah berubah.215 Bagi Natsir, negara bukanlah tujuan tetapi alat. Tujuan tak lain adalah kesempurnaan Undang-undang Ilahi. Bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk masyarakat untuk kini dan nanti. Kalau negara ada alat berarti alat ini bisa dikompromikan. Yang tidak bisa adalah pegangan utama, yakni keberlakuan hukum-hukum Ilahi. Kalau negara adalah alat, maka bisa saja negara Islam bukan suatu kemestian mutlak. Sebagai alat, tergantung pada suasana, waktu dan tempat. Masalahnya adalah, bagaimana alat merupakan konteks yang sesuai dan ramah bagi kebebasan dan keberlakuan hukum ilahi yang kekal abadi.216 Nasionalisme, menurut Natsir, harus mendapatkan nafas keagamaan agar tidak menimbulkan perasaan ta’asub dan chauvinisme. Ia menerima padangan dalam perjuangan pembentukan sebuah negara-bangsa (nation
214
Ibid., hlm. 91.
215
Ibid., hlm. 92.
216
Taufik Abdullah, “Natsir, Seorang Guru yang Perfeksionis Filosofis”, dalam Anwar Harjono dkk. (ed.), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 30.
82
state) adalah suatu keharusan. Negara adalah sebuah “alat” yang perlu untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam situasi yang konkrit.217 Dalam membahas demokrasi, Natsir yakin bahwa prinsip-prinsip Islam tentang “syura” lebih dekat kepada rumusan-rumusan demokrasi modern, dengan meletakkan prinsip-prinsip “hudud” (batas-batas) dan etika keagamaan sebagai panduan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, demokrasi berusaha untuk memperdamaikan teori kedaulatan rakyat dengan teori kedaulatan Tuhan. Natsir mengatakan, bahwa Islam itu menganut “Theistic Democracy”, yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, atau keputusan mayoritas rakyat yang berpedonan kepada ketuhanan. Keputusan semacam itu dianggap sebagai ijma’ kaum muslimin yang mengikat untuk tempat dan zaman tertentu.
217
Yusril Ihza Mahendra, Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A’la Maududi Tentang Dinamika Islam dan Transformasi ke dalam Ideologi Sosial dan Politik, dalam Anwar Harjono dkk. (ed.), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 67.
83
BAB III WACANA INTELEKTUAL ISLAM MASA KONTEMPORER
A. Islam dan Kondisi Sosial-Politik Masa Orde Baru Setelah Soeharto dapat menyelesaikan permasalahan tinggalan masa Orde Lama, terutama dengan dibubarkannya PKI, berkat dukungan dari banyak elemen masyarakat, maka dimulailah fase Orde Baru. Bagi umat Islam, dengan naiknya rezim Orde Baru menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965, banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjara oleh Soekarno (termasuk Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, dan Hamka) makin memperbesar harapan mereka bahwa rehabilitasi Masymi akan berlangsung tidak lama lagi. Untuk ini, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin didirikan untuk merealisasikan harapan itu. Akan tetapi, segera menjadi jelas bahwa rezim Orde Baru tidak menghendaki merehabilitasi Masyumi.218 Hal semacam itu tidak terlepas dari sistem yang ingin diterapkan Negara Orde Baru. Beberapa pengamat mengatakan, bahwa Orde Baru adalah negara dan sekaligus pula sistem-negara. Sejak tahun 1965/1966 penguasa sistem negara telah membangun hegemoni, dengan formulasi ideologi sebagai tiang utamanya. Sementara itu, dasar dari konstruksi 218 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Terj. Ihsan Ali-Fauzi dan Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hlm. 130.
85
hegemoni negara adalah ketertiban, stabilitas, dan keamanan nasional. Sebagai penyeimbang antara ideologi dan kebijakan, hegemoni Negara Orde Baru ditentukan lewat sebuah ideologi yang disebut “populisme birokrasi”. “Hierarki dan pertahanan” adalah “sesuatu yang dilegitimasikan sebagai semacam sabda agung atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah”. Ini adalah harmoni ideologi dan kebijakan yang tegas menekankan “sebuah kesatuan organik atau Negara Korporasi Organik yang di dalamnya segenap sudut masyarakat secara fungsional diatur untuk mendukung pembangunan ekonomi. Dalam membangun simbol negara, masyarakat diintegrasikan ke dalam organisasi negara yang dicetuskan sebagai persatuan nasional.219 Inti dari sistem negara Orde Baru adalah oligarki. Dalam sistem ini, negara berada di bawah perintah sebuah oligarki di sekeliling Presiden Soeharto. Selebihnya, falsafah tunggal resmi, Pancasila, memaknai negara sebagai entitas totaliter/korporat. Negara itu sendiri adalah negara Pancasila. Sejak 1985 seluruh organisasi sosial-politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, atau sebagai asas tunggal. Setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila sebagai asas tunggal, kontan akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Akibatnya, “cap durhaka” itu telah meluas tak hanya sekedar tuduhan subversi yang kerap dialamatkan pada komunisme atau ide negara Islam, melainkan mencakup segala hal yang berbeda pendapat dengan ideologi negara.220 Bangunan sistem politik masa Orde Baru tidak terlepas dari sosok Soeharto yang berperan sebagai arsitek. Sepanjang sejarah Orde Baru dapat diidentifikasikan ada dua pola distribusi kekuasaan. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi awal Orde Baru. Pada masa ini Presiden belum muncul sebagai kekuatan politik mandiri dan masih terkolektifikasi di dalam kekuatan Angkatan Darat atau militer. Pola kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar) memenangkan dua kali Pemilu, sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi politik yang konkrit dan kokoh. 219 Micheal van Langenberg, “Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, Hegemoni,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 225. 220
Ibid., hlm. 226.
86
Pada pola kedua tersebut, Presiden perlahan namun pasti mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi sentral kekuasaan.221 Dalam perspektif budaya (antropologi-politik), kekuasaan pada masa Orde Baru sebenarnya telah mewarisi dan menerapkan praktik-praktik politik yang hidup dalam tradisi politik Jawa tradisional. Pada prinsipnya diasumsikan bahwa birokrasi masa Orde Baru, meskipun telah memperlihatkan ciri-ciri modern, tetapi dalam perilakunya memperlihatkan warisan tradisi dan budaya politik masa lampau (tradisi kerajaan-kerajaan Jawa kuna). Aparat dalam sistem kerajaan tersebut adalah sekedar alat raja untuk mengurus kepentingan pribadi raja dan kepentingan kerajaan yang pada prinsipnya terdiri atas rakyat yang terbagi menjadi dua golongan, yaitu pejabat yang dinamakan kelompok priyayi atau abdi dalem, dan rakyat jelata (wong cilik).222 Raja melalui aparat yang bernama priyayi memerintah rakyat kecil. Dari raja, kekuasaan mengalir ke bawah melalui hierarki pejabat birokrasi abdi dalem. Oleh raja, para abdi dalem ini diberi hak-hak atas tanah, menarik pajak, dan semacamnya dari rakyat, tanpa batas maupun peraturan yang jelas, untuk diserahkan kepada raja sesudah diambil sekedarnya oleh para abdi dalem. Tidak ada kontrol atas tindakan raja oleh rakyat, sebagaimana tidak adanya perundangan yang memuat prinsip check and balances, karena raja dianggap sebagai patron bagi abdi dalem dan rakyat kecil yang berkedudukan sebagai client. Selebihnya, para abdi dalem merupakan parton bagi rakyat kecil.223 Di sisi lain, Selo Soemarjan melihat bahwa pada dasarnya orang-orang di sekeliling Soeharto-lah yang mengarahkan arah politik Orde Baru. Soemarjan mengatakan, sebenarnya Soeharto berasal dari kalangan lapisan bawah yang demokratis. Pada awalnya, dia menggelar kekuasaannya secara demokratis dengan tujuan mengabdi kepada rakyat kecil. Akan tetapi, selama berkuasa dia dikerumuni atau membiarkan dirinya dikerumuni oleh para pejabat tinggi yang menjadi pengantar dalam hubungan antara 221
Eep Saefullah Fatah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru: Masalah dan Masa Demokrasi Terpimpin Konstitusional, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 46. 222
Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Penguasa Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 68. 223
Ibid.
87
Presiden dan rakyat. Sebagaimana tradisi pada masa lalu, raja dikerumuni oleh para priyayi di antara lapisan feodal dan lapisan demokrasi. Para pembantu Presiden inilah yang kemudian berkembang seolah-olah menjadi lapisan neo-feodal yang atas nama Presiden atau secara tersembunyi atas nama dirinya sendiri menerapkan kekuasaan negara kepada masyarakat, termasuk rakyat kecil. Hubungan antara Presiden dengan masyarakat tidak lagi dapat dilakukan secara langsung, akan tetapi harus melalui lapisan neo-feodal yang mengelilinginya. Makin lama Presiden memegang jabatannya, makin besar kekuasaannya, tetapi juga makin jauh jaraknya dari masyarakat yang sejati.224 Dengan model pemerintahan dan politik Orde Baru sebagaimana disebutkan, tentu saja Orde Baru harus selalu hati-hati dalam menyikapi perkembangan peran politik di luar Orde Baru. Oleh karena itu, Orde Baru harus membatasi dan mengontrol peran politik Ormas atau Orpol yang dipandang dapat membahayakan eksistensinya. Misalnya, sejak kelahiran Orde Baru, masyarakat Muslim berupaya keras menuntut rehabilitasi Partai Islam Masyumi. Namun, upaya tersebut berjalan sangat alot, dan akhirnya hanya melahirkan SK Presiden RI No. 70 tahun 1968 tertanggal 20 Pebruari 1968, yang hanya mengesahkan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang tidak dapat berperan banyak sebagai pengganti Masyumi. Dalam konteks ini jelas sekali bahwa rezim Orde Baru ingin terus mengontrol aktivitas politik bekas anggota Masyumi, terutama para pemimpinnya. Karena itu, organisasi politik yang akan didirikan baru akan diakui jika bekas pemimpin Masyumi yang senior tidak menduduki posisi kepemimpinan di dalamnya. Demikianlah, pada 20 Februari 1968, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua aktivis Muhammadiyah.225 Setelah Soeharto dan Orde Baru-nya mempunyai kekuatan, maka gerakan-gerakan Islam yang berhaluan politik dilarang. Oleh karena itu, Orde Baru tidak menyetujui pendirian partai-partai Islam, seperti “rehabilitasi” Partai Masyumi sebagaimana telah disinggung, pendirian Partai 224 Selo Soemardjan, “Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi”, dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Obor, 2011), hlm. 641. 225
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara.. op. cit., hlm. 133.
88
Demokrasi Islam Indonesia, dan Partai Islam Indonesia. Pemerintah hanya memberi izin berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dengan berbagai persyaratan yang mengakibatkan partai baru ini tidak mampu menjalankan fungsinya secara lebih optimal. Didirikannya Parmusi tampaknya tidak menunjukkan perubahan apapun dalam hal hubungan antara para pemimpin dan aktivis Islam politik dengan para elite pemerintah Orde Baru. Situasi yang mengitari terbentuknya partai ini menunjukkan bahwa, berkenaan dengan artikulasi ideologis dan politis kelompok Islam, pemerintah Orde Baru setidak-tidaknya sama khawatirnya dengan pendahulu-pendahulunya. Ini makin lama makin jelas ketika rezim Orde Baru menolak, pertama, tuntutan kelompok Islam agar Piagam Jakarta dilegalisasikan kembali pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1968, dan kedua, dilangsungkannya Kongres Umat Islam Indonesia pada tahun yang sama.226 Bahkan, kekuatan Islam politik makin merosot setelah dilakukannya pemilihan umum 1971. Ini sebagian disebabkan karena, lewat langkah-langkah yang benar-benar sudah ditata, rezim Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang sangat tidak mengenakkan bagi partai-partai politik.” Dalam pemilihan umum di atas, pemerintah menggunakan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai mesin pemilihannya. Organisasi yang pada awalnya dibentuk sebagai koalisi antara berbagai kekuatan untuk mengimbangi pengaruh PKI dalam pemerintahan itu disegarkan kembali dan diperluas hingga menjadi kekuatan politik yang amat besar.227 Golkar berhasil memperoleh kemenangan mutlak dalam pemilihan umum dengan mengantongi 62, 80% suara. Karena relatif tidak terkena intervensi luar, NU berhasil mengantongi 18,67% suara -sedikit lebih baik dari perolehan suara mereka dalam pemilihan umum 1955 (18,4%). Namun Parmusi, yang seringkali dipandang sebagai penerus Masyumi, benar-benar terpuruk dengan hanya mengantongi 5,36% suara (pada 1955, Masyumi memperoleh 20,9% suara). Dua partai Islam lain yang lebih kecil (PSII dan Perti) juga kehilangan dukungan. Pada pemilihan umum 1955, 226
Ibid., hlm. 135.
227
Ibid., hlm. 136.
89
keduanya memperoleh 2,9% dan 1,3% suara, sedang pada 1971 hanya memperoleh 2,39% dan 0,70%.228 Berbagai perkembangan setelah pemilihan umum 1971 hanya memperbesar rasa frustasi masyarakat politik Islam. Kekalahan dalam pemilihan umum tidak hanya tercermin dalam merosotnya wakil Islam di parlemen. Hal itu juga tampak dalam komposisi kabinet baru, di mana keterlibatan tokoh-tokoh politik Islam benar-benar mulai dikebiri. Salah satu kasus yang paling jelas menunjukkan hal itu adalah mulai memudarnya dominasi NU dalam Departemen Agama. Dalam komposisi kabinet baru, departemen yang sudah sejak lama menjadi basis politik dan birokrasi NU ini dipercayakan kepemimpinannya kepada A. Mukti Ali, seorang Muslim modernis dan gurubesar IAIN Yogyakarta yang tidak berafiliasi kepada partai politik manapun.229 Kelemahan politik Islam ditambah lagi dengan, kecuali Golkar, pemerintah mendesak agar kesembilan partai yang ada bergabung ke dalam dua partai politik baru. Dalam kerangka ini, keempat partai Islam bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima yang lainnya, yang pada dasarnya terdiri atas partai-partai nasionalis dan Kristen, digabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Karena kehadiran Islam sebagai agama bersama para pemimpin dan aktivisnya, PPP relatif lebih kohesif dibanding PDI. Meski demikian, terlepas dari itu, PPP mengalami banyak perpecahan internal (mengindikasikan tidak berlangsungnya fusi yang menyeluruh), yang pada gilirannya mempengaruhi kinerja politisnya.230 Tentu saja, munculnya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) adalah bagian dari politik pemerintah Orde Baru untuk mengurangi peran politik umat Islam. PPP sendiri merupakan gabungan dari beberapa partai, yaitu Nahdhatul Ulama, Parmusi, PSII, dan PERTI.231 Di samping itu, Orde Baru sangat sadar apabila dari berbagai ideologi dalam Islam disatukan, maka yang terjadi adalah pertentangan di antara mereka, sehingga partai tersebut kerdil dan mudah untuk dipengaruhi. 228
Ibid., hlm. 138-139.
229
Ibid.
230
Ibid., hlm. 140.
231
M. Rusli Karim, Negera dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 141-142.
90
Jadi, dengan didukung oleh beberapa intelektual, pemerintah Orde Baru mendesak untuk dilaksanakannya restrukturisasi politik pada awal 1970-an, suatu periode ketika pemerintah Orde Baru menikmati kemenangannya yang pertama dalam pemilihan umum 1971. Empat partai Islam, sebagaimana disebutkan di atas, dipaksa untuk meleburkan diri ke dalam sebuah partai baru, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Demikian pula, pada pertengahan 1980-an PPP dipaksa untuk menanggalkan ideologi dan simbol-simbol Islam-nya. Nasib serupa juga harus dihadapi dua partai politik Kristen dan tiga partai politik “nasionalis” yang meleburkan diri ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebuah partai yang juga baru dibentuk. Pada pertengahan 1980-an, proses depolitisasi mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah yang mengharuskan semua organisasi sosial-politik menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, sebuah pil pahit yang harus ditelan kaum Muslim dan Kristen. Inilah beberapa di antara proyek politik Orde Baru yang seringkali dilaksanakan untuk memuluskan proses depolitisasi.232 Bentrokan antara pemimpin agama dan rezim pun akhirnya terjadi, terutama karena semua kendaraan politik Islam diharapkan untuk menggabungkan diri ke PPP. Lebih jauh lagi, bahwa partai ini harus menjadikan Pancasila, dan bukan Islam, sebagai asas politiknya. Pembatasan ini adalah bagian dari upaya yang lebih besar untuk merumuskan kembali Pancasila, sehingga ia dapat digunakan sebagai simbol politik Orde Baru.233 Pada pertengahan 1970-an, Soeharto telah menjadi dalang nasional, menggunakan para perwira militer yang setia untuk menghancurkan musuh-musuhnya, dan membagi-bagikan uang kepada keluarga dan para pendukungnya.234 Orde Baru sangat berhasil dalam membuat dan menyebarkan cerita versi mereka bagi sebagian besar orang Indonesia tentang “kudeta” 30 September dengan mengalamatkan semua kesalahan pada Partai Komunis. Para wartawan, cendikiawan, seniman, dan pejabat dipekerjakan oleh rezim Orde Baru untuk menghasilkan laporan dan kisah tentang kudeta sesuai dengan versi Soeharto. Publikasi-publikasi yang ada 232
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara… op. cit., hlm. 59-60.
233
Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Arif Maftuhin, (Yogyakarta: Insan Madani, 2005), hlm. 272. 234
Ibid., hlm. 260.
91
membuktikan bahwa peristiwa itu adalah “Kudeta PKI”. Pada tahun 1980 salah satu dramawan terkemuka Indonesia membuat film yang berjudul “Penghianatan Gestapu-PKI”. Film berdurasi tiga jam ini menjadi tontonan wajib siswa sekolah pada setiap tanggal 30 September, didukung dengan buku pelajaran yang berperan menceritakan versi pemerintah.235 Wajar apabila pada awal tahun 1970-an para pemimpin agama mulai mengalihkan kritik mereka untuk melawan korupsi dan peran militer dalam politik. Ketidaksepakatan politik menjadi panas ketika pada tahun 1973 undang-undang perkawinan yang baru disepakati melalui parlemen. Meskipun undang-undang ini memenuhi harapan kaum nasionalis pra-kemerdekaan dan feminis untuk membatasi poligami dan menghapuskan perkawinan anak, namun para pemimpin Muslim khawatir bahwa undang-undang ini menjadi bagian upaya negara untuk mengontrol agama. Kontrol seperti itu akan menyeret mereka semakin jauh dari tujuan mereka untuk menjadikan Islam sebagai agama negara.236 Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai alat politik tegaknya kekuasaan, walaupun Presiden Soeharto mengatakan, bahwa Pancasila adalah sebagai dasar falsafah dan ideologi negara atau pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pancasila, menurut versi Orde Baru, “akan selalu memberi bimbingan kepada setiap gerak kegiatan orang-orang Islam, negara, masyarakat, dan manusia Indonesia”.237 Namun, semua itu hanyalah jargon politik Orde Baru. Tujuan utama Soeharto dan Orde Baru-nya yang sebenarnya, dengan menganjurkan untuk berpegang kepada Pancasila, semata-mata adalah untuk melindungi kebijakan-kebijakan pemerintahannya dan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, termasuk Islam politik. Pada tahun 1978 kedudukan Pancasila semakin diperkukuh lagi dengan adanya kebijakan yang mewajibkan pelajar dan mahasiswa untuk mengikuti mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sedangkan pegawai negeri diwajibkan mengikuti pelatihan “indoktrinasi” ideologi negara yang disebut Penataran P4 (Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila). Kewajiban Penataran ini semakin diperluas mencakup pelajar 235
Ibid., hlm. 262.
236
Ibid., hlm. 272.
237
Ibid., hlm. 177.
92
sekolah menengah dan mahasiswa di institusi perguruan tinggi. Inti ajaran dalam Penataran P4 ini adalah mengenai persatuan, keharmonian, keteraturan, kesetabilan, kesinambungan, dan pembangunan. Di sisi lain, tujuan Penataran P4 adalah bagian dari usaha untuk mengurangi pentingnya ideologi Islam untuk afiliasi psikologi para pemilih, juga merupakan strategi pemerintah untuk menentukan para pemilih agar mendukung Golkar dalam pemilihan umum tahun 1982.238 Arti dari semua itu, bahwa dengan P4 siapa pun tidak ada alasan untuk mengkritisi dan menentang kebijakan Orde Baru, dan sebaliknya dengan berlindung di balik Pancasila, Orde Baru mempunyai kewenangan melenyapkan siapa pun yang menentangnya. Rezim Orde Baru, yang telah kuat kedudukannya, kemudian mengeluarkan kebijakan baru untuk menyeragamkan ideologi negara. Dengan ditetapkannya paket lima undang-undang tentang politik pada tahun 1985, maka semua partai dan Ormas wajib menganti asasnya dengan Pancasila. Akibatnya, umat Islam mengalami konflik yang paling rumit dan menghabiskan masa paling lama dalam memperdebatkan pergantian asas ini. Dari pertengahan tahun 1982 sampai 1985 perdebatan terjadi dan disertai konflik dengan pemerintah dan konflik intern di dalam organisasi.239 Berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru ternyata dirasakan menyudutkan umat Islam, padahal mereka juga punya andil yang cukup berarti dalam ikut mewujudkan Orde Baru. Politik depolitisasi dalam rangka menciptakan stabilitas politik yang menjadi dasar dari kebijaksanaan pembangunan ekonomi, telah berakibat lumpuhnya peranan partai politik Islam, walaupun juga telah mengakibatkan keadaan yang sama terhadap kekuatan golongan nasionalis yang radikal maupun moderat.240 Kekecewaan-kekecewaan religi-politis itulah yang melahirkan sejumlah insiden kekerasan yang diasosiasikan dengan aktivisme Muslim pada pertengahan 1980-an (misalnya, pemboman BCA [Bank Central Asia] milik pengusaha Cina, pemboman Candi Borobudur di Jawa Tengah, dan lainnya). Yang paling mengerikan adalah insiden berdarah di Tanjung Priok, daerah pelabuhan di Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Dalam kasus 238
Ibid., hlm. 180.
239
Ibid., hlm. 183-184.
240
M. Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 322.
93
ini, kaum Muslim di daerah tersebut mengadakan demonstrasi besar-besaran sebagai reaksi terhadap tindakan dua petugas Koramil yang dianggap sangat tidak senonoh (yakni memasuki mushalla As Sa’adah tanpa mencopot sepatu dan menyiram dinding masjid dengan air comberan) dan penangkapan sewenang-wenang beberapa aktivis masjid lokal. Dipimpin Amir Biki, mantan pendukung Orde Baru yang ikut memimpin sejumlah demonstrasi mahasiswa menentang Soekarno serta seorang pemimpin informal yang menonjol di daerah itu, aksi-aksi demonstrasi di atas dihadapi oleh senjata-senjata otomatis pihak militer. Seberapa besar jumlah korban yang jatuh, tidak diketahui secara persis. Tetapi “berbagai perkiraan menyebutkan bahwa sebanyak 63 orang terbunuh dan lebih dari 100 orang cidera berat. Belakangan, dari pihak-pihak keluarga dilaporkan bahwa sebanyak 171 orang hilang.”241 Dari serentetan perlakuan Orde Baru sejek berdirinya terhadap Islam politik sebagaimana teleh dipaparkan di atas, maka pertanyaannya di mana posisi posisi kaum intelektual Islam? Yang jelas adalah, pada awal dasawarsa 1970-an, ketika Orde Baru masih berada dalam awal perkembangannya dan karena itu memang sedang mencari bentuknya, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya, golongan santri modernis generasi muda (intelektual) dihadapkan pada beberapa pertanyaan yang mesti dijawab. Pertama, mengapa umat Islam selalu dipojokkan sebagai golongan yang “anti-Pancasila”, padahal sila-silanya tak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan pada saat-saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan, para pemimpin Islam yang terkemuka, ikut serta dalam perumusan Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945? Kedua, mengapa golongan politik Islam tidak bisa ikut serta dalam memimpin negara dan duduk dalam pemerintahan, seperti yang terjadi dalam satu dasawarsa sesudah 1945? Ketiga, bagaimana sikap kaum Muslim terhadap arus pemikiran modernisasi yang menjadi landasan ideologi Orde Baru, dan apakah mereka akan ikut serta dalam program pembangunan di Indonesia yang didukung oleh negara-negara Barat?242 Dalam menyikapi praktik Orde Baru, minimal ada dua golongan Islam yang tampak berbeda. Golongan tua atau kelompok alumni HMI-senior 241
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara… op. cit., hlm. 145.
242
Ibid., hlm. 325.
94
atau generasi baru pasca Masyumi bersikap tidak ingin lagi mempermasalahkan Pancasila dengan Islam. Mereka langsung masuk ke birokrasi dan secara tegas mendukung gagasan modernisasi atau pembangunan ala Orde Baru, tidak lewat diskursus yang sifatnya intelektual, melainkan dengan partisipasi dalam kegiatan pembangunan. Berbeda dengan kelompok tua, kelompok muda memandang bahwa hubungan Pancasila dengan Islam harus dijernihkan dalam diskursus publik. Soal hubungan Pancasila dan Islam adalah soal etika yang mempersoalkan tanggung jawab manusia atas perbuatannya.243 Masalah partisipasi politik umat Islam dalam kegiatan kenegaraan dan pemerintahan dipandang urgen oleh kelompok senior, tetapi dinilai sekunder oleh kelompok muda. Kelompok muda lebih berpikir jangka panjang, artinya lebih memandang penting untuk mempersiapkan infrastruktur bagi kegiatan politik umat Islam, di samping mendukung senior mereka yang sudah berada di birokrasi. Mereka juga berpikir dalam kerangka yang lebih luas, yaitu membina struktur basis yang diperlukan untuk mendukung sistem politik yang lebih demokratis. Dengan perkataan lain, kelompok yunior ini lebih tertarik dalam kegiatan-kegiatan membangun masyarakat dan bergerak di bidang pemikiran, dari pada terjun ke arah politik atau masuk ke birokrasi.244 Jadi “panen besar” golongan intelegensia Muslim-santri baru sebenarnya sudah terjadi pada dasawarsa 1970-an. Mereka mula-mula memasuki pemerintahan dan perguruan tinggi sebagai dosen dalam patronase senior mereka. Ciri pemikiran keagamaan mereka lebih bersifat legitimatif daripada kritis terhadap kekuasaan, seperti diwakili oleh tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi. Pemikiran mereka mirip dengan Teologi Murji’ah yang merupakan reaksi terhadap Teologi Khawarij, pada awal perkembangan Islam. Teologi yang bersifat inklusif tersebut banyak memberi pengaruh terhadap pemerintah maupun masyarakat.Terhadap pemerintah, teologi ini berhasil memberi penjelasan yang rasional bahwa Islam dan Pancasila memang kompetibel, dan Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai yang mendukung pembangunan dan memberikan motivasi terhadap partisipasi masyarakat. 243
Ibid., hlm. 326.
244
Ibid.
95
Terhadap masyarakat teologi ini berhasil menciptakan citra bahwa Islam adalah agama yang ramah. Perubahan sikap pemerintah terhadap Islam ikut mempengaruhi sikap masyarakat, terutama kalangan birokrat, terhadap agama sebagai keperluan hidup. Perubahan ini merupakan awal dari apa yang pada awal 1980-an dilihat sebagai gejala timbal balik “Islamisasi birokrasi” dan “birokratisasi Islam” yang labih mencairkan lagi dikotomi santri-priyayi.245 Berkembangnya intelektualisme Islam baru di Indonesia dapat dianggap berawal dari krisis. Nada umumnya dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi yang memperlemah politik Islam dan akibat-akibat tidak menguntungkan yang ditumbulkannya terhadap para pemikir dan aktivisnya. Situasi yang tidak menguntungkan ini muncul terutama, meski tidak seluruhnya, karena hubungan politik yang tidak mesra antara Islam dan negara serta sintesis sosio-kultural dan politik Islam yang diakibatkannya dalam kerangka negara. Kemunculan intelektualisme Islam baru dapat dipandang mewakili suatu upaya yang memberi harapan dalam rangka memperbaiki keretakan hubungan antara Islam dan negara. Sejauh ini, upaya-upaya tersebut dilakukan terutama lewat berbagai pernyataan pemikiran dan tindakan politik Islam baru yang dipandang lebih sesuai dengan kenyataan keragaman sosio-kultural dan religius Indonesia.246 Kiprah intelektual tersebut dipelopori oleh sebuah generasi baru para pemikir dan aktivis Islam yang, sejak awal dekade 1970-an, berusaha mengembangkan sebuah format baru politik Islam di mana substansi, bukan bentuk, menjadi orientasi utama. Dalam model yang dikembangkan para intelektual baru tersebut, paham “keislaman” dan “keindonesiaan”, dua unsur penting yang memberikan legitimasi kultural dan struktural terhadap pembentukan “negara kesatuan nasional” Indonesia, disintesiskan dan diintegrasikan secara harmonis. Sebagaimana tampak dalam diskursus intelektual mereka, agenda ini mengharuskan, pertama, peninjauan kembali landasan teologis atau filosofis politik Islam; kedua, pendefinisian kembali cita-cita politik Islam; dan ketiga, penilaian kembali cara-cara di mana citacita politik tersebut dapat dicapai secara efektif. Prinsip-prinsip pokok idealisme dan aktivisme baru ini dapat dikategorikan berkisar pada 245
Ibid., hlm. 329.
246
Ibid., hlm. 148-149.
96
tiga wilayah penting berikut: pertama, pembaruan teologis/religius; kedua, reformasi politik/birokrasi; dan ketiga, transformasi sosial.247
B. Peran Kaum Intelektual dalam Pembaruan Islam Berkembangnya intelektualisme Islam baru di Indonesia pada masa Orde Baru dapat dianggap berawal dari krisis. Nada umumnya dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi, sebagaimana telah disinggung, yang memperlemah politik Islam dan akibat-akibat tidak menguntungkan yang ditumbulkannya terhadap para pemikir dan aktivisnya. Situasi yang tidak menguntungkan ini muncul terutama, meski tidak seluruhnya, karena hubungan politik yang tidak mesra antara Islam dan negara serta sintesis sosio-kultural dan politik Islam yang diakibatkannya dalam kerangka negara.248 Untuk itu, kiprah intelektual Islam yang dipelopori oleh sebuah generasi baru para pemikir dan aktivis Islam yang, sejak awal dekade 1970-an, berusaha mengembangkan sebuah format baru politik Islam di mana substansi, bukan bentuk, menjadi orientasi utama. Dalam model yang dikembangkan para intelektual baru tersebut, paham “keislaman” dan “keindonesiaan” -dua unsur penting yang memberikan legitimasi kultural dan struktural terhadap pembentukan “negara kesatuan nasional” Indonesia- disintesiskan dan diintegrasikan secara harmonis.249 Faktor objektif yang menghadirkan gejala kecendekiawanan Muslim adalah aktivitas pemikiran dan bahkan gejolak pemikiran di sekiar paham pembaruan yang dilontarkan oleh kalangan muda di awal dasawarsa 1970an. Dari sini menunjukkan bahwa peran kelompok muda yang dimotori oleh Nurcholish Madjid memang terjadi pada tahun 1970-an. Kelompok muda menginginkan agar umat Islam tidak lagi mengingat memori tentang kekuatan politik umat Islam pada era Orde Lama. Karena itu, mereka menginginkan agar perjuangan umat Islam lebih diarahkan kepada substansi ajaran Islam melalui pemodernan pemahaman Islam.250 Dalam hal ini, 247
Ibid., hlm. 149-150.
248
Ibid., hlm. 148.
249
Ibid., hlm. 149.
250
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “Melacak Akar Sosial-Politik Intelektual
97
gagasan sekularisasi masuk ke dalam pembicaraan publik pada permulaan tahun 1970-an yang dikumandangkan Nurcholish Madjid. Berbagai gagasan muncul yang mendominasi wacana keislaman, seperti sekularisasi, kontekstualisasi yang dikemukakan oleh Gus Dur selain gagasan pribumisasi, dan reaktualisasi yang dilontarkan oleh Munawir Sjadzali.251 Gus Dur dan Nurcholish mengembangkan pikiran mereka dalam jalur yang sama, dan keduanya menjadi terkenal sebagai unsur penting liberalisme Islam. Bahkan dikatakan, bahwa dengan memahami sedikit kehidupan Nurcholis dan pikirannya, hal ini banyak membantu di dalam memahami Gus Dur.252 Gerakan pemikiran yang dimasuki Gus Dur, Nurcholish, dan ditambah Djohan Effendi mempunyai arti penting secara intelektual walaupun hal ini pada waktu itu hampir tidak diakui orang. Yang menarik adalah, dikarenakan Orde Baru bersifat otoriter maka liberalisme Islam mempunyai kesempatan untuk berkembang secara bebas di Indonesia dibandingkan dengan Islam Politik. Ketidaksukaan Soeharto dan kaum militer Indonesia terhadap Islam Politik membuat mereka bersikap baik kepada cendekiawan-cendekiawan muda yang menganut Islam liberal, seperti Gus Dur dan Nurcholish.253 Secara umum, kehadiran intelektual tahun 1970-an, merupakan respon terhadap isu pembangunanisme (modernisasi) yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru yang mencoba membungkus rapat-rapat kekuatan politik Islam. Diketahui, bahwa sistem pemerintah Orde Baru adalah menggeser ideologi politik yang bersifat primodialisme. Hal inilah yang menyadarkan kelompok muda Islam, agar ideologi politik Islam tidak perlu lagi digembar-gemborkan, sebagaimana digelorakan oleh kelompok tua yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Lama.254
Islam Indonesia: Sebuah Survey Bibliografis”, http://kyotoreview.org/issue-8-9/ melacak-akar..., diakses Tanggal 1 April 2015. 251
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 116. 252 Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terj. Lie Hua, Cetakan IX, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 138. 253
Ibid., hlm. 146-147.
254
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “Melacak Akar Sosial..., op. cit.
98
Kancah intelektual Islam pada era 1970-an juga dipicu oleh figur Harun Nasution yang mencoba “membumikan” pemikiran Mu’tazilah di Indonesia. Kendati pada awalnya, ditentang oleh banyak kalangan, namun upaya Harun melalui IAIN Jakarta telah banyak menghasilkan sarjana pemikiran Islam pada era 1980-an dan 1990-an. Peran sentral Harun dalam membuka diskursus pemikiran Islam di Indonesia cukup terasa dampaknya bagi bagi generasi berikut. Hal ini terekam jelas dalam Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution dimana para sarjana Islam dari berbagai generasi 60-an, 70-an, 80-an, dan 90-an mengakui peran Harun dalam menyeru pemikiran rasional di Indonesia, seperti yang ditulis oleh Arief Subhan, Saiful Muzani dan Fauzan Saleh. Tokoh lain yang cukup berjasa dalam menelurkan pemikir muda pada era 1970-an adalah Mukti Ali. Melalui diskusi Limited Group di Yogyakarta, tidak sedikit para pemikir muda yang membahas gagasan modernisasi ikut andil di dalamnya. Karena itu, peran Mukti Ali adalah di samping sebagai penggagas studi Perbandingan Agama di IAIN juga sebagai pendobrak semangat kelompok muda di Yogyakarta, seperti Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan lain-lain.255 Sementara itu, ketika melacak pembaruan pemikiran Islam pada era 1980-an, ada beberapa cendekiawan Muslim yang cukup “berjasa”, seperti Fachry Ali dan M. Dawam Rahardjo. Kedua ilmuwan inilah melebarkan sayap-sayap pemikiran yang digulirkan oleh Cak Nur. Fachry Ali misalnya, seorang pengamat, peneliti, atau cendekiawan Muslim yang memang sejak tahun 1970-an berusaha “membumikan” pikiran Cak Nur. Dan, harus diakui bahwa Fachry merupakan senior bagi generasi pemikir 1990-an, khususnya alumni IAIN Ciputat. Dengan kata lain, Fachry mengajak kawan-kawannya baik yang seangkatan maupun juniornya (seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bahtiar Effendy, Badri Yatim, Hadimulyo,) untuk melakukan intellectual community di Ciputat yang didasarkan pada pikiran Cak Nur.256 Tidak ketinggalan juga Munawir Sjadzali, walaupun dalam gerakan pembaruan dan pemikiran Islam ia muncul agak terlambat. Tidak sebagaimana rekan-rekannya yang lebih muda, yang mulai mengibarkan 255
Ibid.
256
Ibid.
99
agenda-agenda pembaruan pada 1970-an, gagasan-gagasannya mengenai reaktualisasi agama hampir sepenuhnya tidak diketahui sebelum penunjukannya sebagai Menteri Agama. Pengabdiannya untuk jangka waktu yang panjang di Departemen Luar Negeri (1950-an hingga 1983) tidak memungkinkannya untuk terlibat aktif dalam diskursus intelektualisme Islam baru yang awal. Namun demikian, itu dapat disebut hikmah terselubung. Ketakterlibatannya, telah memberinya kesempatan luas untuk mengamati, dan merenungkan, Islam di Indonesia secara lebih objektif.257 Pasca pembaruan Nurcholish Madjid juga muncul kerangka pemikiran yang ditawarkan, misalnya, oleh Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo yang mewakili generasi baru dalam perkembangan pemikiran Islam yang oleh kalangan muda disebut sebagai Teologi Pembangunan yang cenderung berfungsi legitimatif terhadap kekuasaan dan gagasan modernisasi. Di samping konsep Teologi Pembangunan muncul pula istilah Teologi Pembebasan dan Teologi Transformatif. Dalam konteks ini, Teologi Transformatif adalah konsep yang ditawarkan Moeslim Abdurrahman, sementara Kuntowijoyo dengan tujuan yang sama tidak setuju dengan konsep teologi dan dia menawarkan sebuah pengertian baru, yaitu profetik, sehingga gagasannya disebut dengan ilmu-ilmu sosial profetik. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa gagasan tentang teologi atau ilmu-ilmu sosial yang ditawarkan ditampilkan dalam peranan kritisnya, yaitu dalam mengenal dan menghayati persoalan-persoalan negara dan kemasyarakatan secara empiris. Tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu sosial akademis, pemikiran baru ini membawa serta dimensi-dimensi aksiologis dan praksis, karena tujuannya tidak hanya untuk memahami, melainkan juga untuk mengubah kondisi.258
1. Konsep Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid Dalam aplikasinya, bagi Nurcholish Madjid bahwa landasan pembaruan pemikiran Islam adalah modernisasi dan rasionalisasi. Pengertian modernisasi adalah identik atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan 257
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara... op. cit., hlm. 179.
258
M. Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensia... op. cit.., hlm. 332-333.
100
bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Sementara itu, bahwa dalam Islam, modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban mutlak. Moderniasai merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (Q.S. Al-Baqarah: 170).259 Sikap rasional berarti memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Karena manusia, dengan keterbatasan kemampuannya, tidak dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, maka menjadi modern adalah juga berarti progresif dan dinamis. Oleh karena itu, tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada (status quo), dan harus merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran.260 Perlu diketahui, bahwa sesuatu yang sekarang ini dikatakan modern, dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, yang modern secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pencipta seluruh alam (Rabbul ‘alamin). Jadi, sebenarnya modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penumuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. Hal ini berarti bahwa tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan. Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, setiap orang harus bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain.261 259 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 180-183. 260
Ibid., hlm. 183.
261
Ibid., hlm. 184.
101
Dengan demikian, seorang Muslim semestinya menjadi seorang yang selalu bersedia menerima kebenaran-kebenaran baru dari orang lain, dengan penuh rasa tawadhu (andap-asor) kepada Tuhan. Jadi, modernitas (kemodernan, sikap yang modern), yang tampaknya hanya mengandung kegunaan praktis yang langsung, tetapi pada hakikatnya mengandung arti yang lebih mendalam, yaitu pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah. Agaknya memang mengejutkan, bahwa modernitas membawa kepada pendekatan (taqarruub) dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sudah barang tentu, kesemuanya itu adalah setelah dilandasi oleh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.262 Dari manakah pembaruan di kalangan umat ini hendak dibukanya? Jawabnnya adalah, bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungnnya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan pandangan ke masa depan. Untuk itu, diperlukan suatu proses liberalisasi. Sementara itu, proses liberalisasi ini mencakup tindakan-tindakan sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress dan sikap terbuka, dan perlunya kelompok pembaruan yang liberal. Pertama, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim menjadi sekuler, tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi sebagai khalifah Allah tentu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan.263 Yang terjadi sekarang adalah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini, sehingga menegaskan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat dan diam. Dengan kata lain, mereka 262
Ibid.
263
Ibid., hlm. 230.
102
telah kehilangan semangat ijtihad. Sebenarnya pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya secara otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim sebagai konsekuensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya harus melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Dengan demikian, makna konkrit dari sekularisasi adalah desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar Ilahiyah transendensal, yaitu dunia ini.264 Kedua, di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga. Kita harus mempuntai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide betapa pun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Karena, tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan, maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Oleh karena itu, tidak salah apabila Nabi menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatnya merupakan rahmat.265 Walaupun pikiran-pikiran yang berdasarkan Islam, misalnya, dapat menyelesaikan problem-problem jika disesuaikan, dipersegar, diperbarui, dan diorganisasikan, untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang. Sebagai contoh, ajaran tentang “syura” atau “musyawarah” telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama, atau dekat, dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat. Akan tetapi, di lain pihak, ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas, yang terdapat di mana-mana dalam Kitab Suci, belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif. Hal ini dikarenakan umat Islam tampaknya masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang, seperti halnya dengan demokrasi, juga berasal dari Barat, dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut.
264
Ibid.
265
Ibid., hlm. 231.
103
Halangan psikologis apakah yang ada pada umat Islam, jika karena bukan ketiadaan kebebasan berpikir ?266 Ketiga, jika seorang Muslim benar-benar konsisten dengan ajarannya, maka nilai idea of progress, sebagaimana nilai-nilai kebenaran lainnya, tidak perlu lagi dikemukakan. Idea of progress bertitik tolak dari konsepsi, atau doktrin, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Oleh karena itu, salah satu manifestasi adanya idea of progress ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya, sehingga tidak perlu khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata nilai duniawi manusia. Konsistensi idea of progress ialah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran.267 Sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk Allah, sedangkan sikap tertutup, sehingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit”, merupakan salah satu tanda kesesatan. Sebenarnya sejarah telah memberi kesaksian kuat, bahwa umat Islam telah membangun kebudayaan dan peradaban berdasarkan pada warisan-warisan kemanusiaan yang universal. Ketika umat Islam keluar dari Jazirah Arab tidaklah membawa apa-apa kecuali iman teguh yang memancar dari Al-Quran dan Sunnah (dasar). Di daerah-daerah yang baru mereka taklukkan, mereka menemukan warisan-warisan manusiawi, baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persia). Kemudian, mereka mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa dari padang pasir Jazirah Arab dan menjadikannya sebagai milik sendiri. Karya mereka itulah yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sekarang sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang dibanggakan.268 Keempat, diperlukan adanya suatu kelompok pembaruan Islam baru yang liberal yang non-tradisonalisme dan non-sektarianisme. Nontradisionalisme tidak lain adalah kebalikan dari sikap “kami mendapatkan 266
Ibid., hlm. 233.
267
Ibid., hlm. 234.
268
Ibid., hlm. 235.
104
bapak-bapak kami berjalan di atas suatu kata, nilai, dan di atas warisan-warisan mereka itulah kami memperoleh petunjuk, sedangkan non-sektarian adalah kebalikan dari sikap “setiap golongan bangga dengan apa yang ada padanya”, yang kedua-duanya dicela keras oleh Kitab Suci. Sebenarnya nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai yang dinamis, bukan statis. Perlu diingat bahwa, selain dasar-dasar kepercayaan kepada Allah, pokok-pokok ibadah, serta beberapa nilai kemasyarakatan yang sangat prinsipal dan tampak tidak berubah sepanjang masa, Islam tidak memberikan perumusan-perumusan definitif yang menyangkut kegiatan-kegiatan duniawi. Oleh karena itu, nilai-nilai Islam adalah setiap nilai yang sejalan dengan kemanusiaan, atau fitri, atau hanif, dengan dilandasi taqwa kepada Allah.269 Jadi, Cak Nur, pada 1968, merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi. Pengertian Cak Nur tentang “modernisasi sebagai rasionalisasi”, dimaksudkan sebagai dorongan kepada umat Islam untuk menggeluti modernisasi sebagai apresiasi kepada ilmu pengetahuan. Dalam tinjauan Islam, menurutnya, modernisasi itu berarti “berpikir dan bekerja menurut fitrah atau Sunnatullah. Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional. Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia.270 Dengan kata “rasional” di sini, Cak Nur tak perlu dikaitkan dengan aliran rasional klasik Islam seperti Mu’tazilah,5 karena itu hanyalah salah satu bentuk saja dari kemungkinan teologi rasional. Pengaitan Cak Nur dengan Mu’tazilah misalnya -yang sering dilakukan para pengkritiknya- akan membuat salah paham terhadap pengertiannya mengenai “rasionalnya” Cak Nur ini. Rasional seperti yang dimaksud Cak Nur, pada hakikatnya berkaitan dengan “penerapan ilmu pengetahuan”,—yang kemudian berarti penerjemahan al-islâm dalam terma ilmu—yang menurutnya merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban mutlak, karena merupakan proses
269
Ibid., hlm. 237.
270
Budhy Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm.
105
penemuan kebenaran-kebenaran mencapai Kebenaran Mutlak, yaitu Allah.271 Yang perlu ditegaskan adalah, menurut Nurcholish Madjid dengan menyetir pendapat Ernest Gellner, bahwa di antara tiga agama monoteis, Yahudi, Kristen, dan Islam, maka Islam adalah yang paling dekat kepada modernitas, disebabkan oleh ajaran Islam tentang universalisme, skripturalisme (yang mengajarkan bahwa Kitab Suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja, bukan monopoli kelas tertentu dalam hirarki keagamaan, dan kemudian yang mendorong baca tulis atau “melek huruf”, literacy), egalitarisme spiritual (tidak ada sietem kependetaan ataupun kerahiban dalam Islam), yang meluaskan partisipasi dalam masyarakat kepada semua anggotanya (sangat mendukung apa yang diesebut participatory democracy), dan, akhirnya yang mengajarkan sistematisasi raisonal kehidupan sosial.272 Dalam Islam, yang pembaharuannya tidak lebih daripada kelanjutan dialog-dialog yang ada dalam seluruh sejarah kehadirannya, apapun yang terjadi sebagai usaha pembaharuannya tidaklah mengakibatkan pengubahan radikal sendi-sendi keagamaannya yang pokok. Karena itu Islam memang bukan sumber langsung modernitas, karena modernitas itu, sebagai kenyataan historis, telah dimulai di Barat (dengan etos dominan menolak peranan agama dalam masalah-masalah duniawi, jadi juga tidak dapat dikatakan bahwa Kristen adalah subjek modernitas. Namun, Islamlah nanti, dibanding dengan agama-agama lain, yang paling banyak akan memperoleh manfaat dari modernitas. Satu segi kekuatan Islam menghadapi modernitas adalah kualitasnya yang bersemangat kesarjanaan (scholary). Setiap pemeluk Islam meyakini betapa tingginya penghargaan agamanya kepada Ilmu. Kini sudah merupakan pengetahuan umum di dunia, lebih-lebih di Barat, bahwa hampir seluruh bangunan ilmu pengetahuan modern sekarang ini adalah kelanjutan etos keilmuan yang telah berkembang dalam Islam.273 271
Ibid.
272
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Maslah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm. 467-168. 273
Ibid., hlm. 171-172.
106
Sebenarnya sudah banyak usaha-usaha untuk melakukan modernisasi di kalangan Islam, termasuk yang diusahakan oleh Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan Kemal Attaturk, Mohamad Iqbal, dan sebagainya, dari kalangan yang disebut modernis Islam. Akan tetapi, walaupun sudah di usahakan, sampai sekarang umat Islam belum berhasil menjadi negara modern. Dalam penilaian Cak Nur, ini disebabkan karena kemodernan itu tidak tumbuh secara organik dari keislaman itu sendiri. Ini, menurut Cak Nur bisa dimengerti, sebabnya memang masalahnya sangat sulit, menyangkut soal bagaimana umat Islam memasuki zaman yang sangat berbeda dengan zaman di mana umat Islam telah berpengalaman untuk hidup. Dan lebih celaka lagi, dikatakan Cak Nur, modernitas itu datang dari suatu bangsa yang orang Islam (pada zaman kejayaannya) telah terlatih untuk menghinanya, yaitu orang Barat.274 Sisi lain, agar Islam dapat menjadi agama rahmatan lil alamin maka umat Islam bersikap toleran dan menghormati adanya pluralisme. Pada dasarnya, tentang paham kemajemukan ini, menurut Cak Nur, dalam Al-Quran terdapat petunjuk yang dengan tegas menekankan bahwa kemajemukan adalah suatu kepastian Allah (taqdîr). Karena itu, yang diharapkan dari setiap umat beragama: menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat, menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing, untuk secara maksimal saling mendorong usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrât) dalam masyarakat. Sementara segala persoalan perbedaan, kata Cak Nur, misalnya perbedaan intra-agama, apalagi yang menyangkut hakikat perbedaan antar-agama diserahkan saja kepada Tuhan semata.275 Sebagai ketentuan Ilahi, paham kemajemukan itu termasuk dalam kategori sunnatullâh yang tak terhindarkan karena kepastiannya itu. Dan menurutnya, jika ada perbedaan dalam menumbuhkan kemajemukan intra-umat itu, perbedaan yang dapat ditenggang adalah perbedaan yang tidak membawa pada kerusakan kehidupan bersama. Oleh karena itu, jika terjadi percekcokan dalam masyarakat harus dipandang sebagai hal yang wajar. Tidak ada masyarakat yang terbebas sama sekali dari perselisihan. 274
Budhy Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 221. 275
Ibid., hlm. 198.
107
Yang tidak wajar adalah jika perselisihan itu meningkat, hingga menimbulkan situasi saling mengucilkan dan pemutusan hubungan atau dalam bentuk pengkafiran (takfîr), oleh yang satu terhadap yang lain.276
2. Islam Rasional Harun Nasution: Kritik Atas Pembaruan Islam Dalam misi pembaruannya, Harun Nasution memiliki beberapa agenda yang hendak dicapai; pertama, bagaimana membawa umat Islam ke arah rasionalitas. Kedua, bagaimana menumbuhkan pengakuan qadariah manusia. Dua hal ini didasarkan pada fakta umat Islam Indonesia yang cenderung ortodok, terkungkung oleh doktrin-doktrin agama yang tidak proporsional dan terkesan ambigu. Sebagai imbasnya, kaum muslim Indonesia apatis dan hidup penuh pesimis. Pada taraf tertentu juga tidak berani berpendapat lepas dalam seminar dan kajian-kajian keislaman serupa.277 Untuk itu Harun berkiblat kepada aliran Muktazilah, yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan. Baginya, mazhab berpikir muktazilah adalah solusi. Sementara aliran Asy’ariyah yang telah lebih dulu dianut kaum Muslim Indonesia dipandang racun yang mematikan. Karena itu, menggeser teologi fatalis Asy’ariyah oleh teologi rasional Muktazilah tidak bisa dielakan. Dalam banyak ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional. Untuk mendobrak tradisi mengekor (taklid), Harun melakukan reinterpretasi ajaran Islam. Ia terlebih dahulu membedakan mana wilayah absolut ( qath’iy) yang tidak bisa ditafsir ulang dan mana yang relatif ( zhanniy ). Terhadap yang kedua ini, ia sering melakukan terobosan makna. Hal lain yang dilakukan Harun untuk merobohkan dogmatisme agama ialah dengan filsafat.278 Dalam banyak tulisan, Harun sering menyebut keunggulan kelompok Muktazilah yang mampu memosisikan akal dan wahyu secara tepat. Bagi dia, kelompok Muktazilah yang rasionalis ini adalah model ideal bagi acuan memfungsikan akal sekaligus menjelaskan secara praktis posisi akal 276
Ibid., hlm. 198-199.
277
Supandi, “Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam Harun Nasution”, DINIKA, Volume 12. Number 2, Juli – Desember 2014, hlm. 104. 278
Ibid., hlm. 105.
108
terhadap wahyu. Wahyu adalah sumber utama pedoman hidup manusia. Tanpa wahyu, manusia sulit mencapai kebenaran hakiki meski ia seorang jenius. Namun bagi Harun, wahyu saja tidak cukup. Jika wahyu itu tidak dipahami dan dijelaskan oleh akal, maka ia belum bisa menjadi petunjuk dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan. Itulah sebabnya ia menolak paham jabariyah yang mengandalkan segala petunjuk pada wahyu dan cenderung menafikan akal.279 Dengan demikian, teologi yang ingin dibangun Harun adalah penggunaan teologi rasional. Teologi rasional yang dimaksud adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio dalam urusan-urusan dunia dan agama, tanpa harus mengesampingkan wahyu. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut.280 Menurut Harun Nasution, manusia adalah salah satu makhluk Tuhan. Sementara itu, ketinggian, keutamaan, dan kelebihan manusia dari makhluk lain terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akal inilah yang membuat manusia mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi, dan yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Islam, akal, di samping wahyu mempunyai peranan penting. Wahyu membawa ajaran-ajaran dasar yang selain jumlahnya tidak banyak, tetapi juga hanya memberi ketentuan-ketentuan dalam garis besar. Penafsiran dan cara pelaksanaan serta perincian-perincian ajaran dasar itu diserahkan kepada akal manuasia untuk menentukannya.281 Sejalan dengan penghargaan tinggi terhadap akal manusia, seperti tercantum dalam Q.S. 3: 184, bahwa “pada penciptaan langit dan bumi dan pada perubahan siang menjadi malam terdapat petanda-petanda bagi manusia yang berpikir”, ajaran Islam juga mementingkan ilmu pengetahuan. 279
Ibid., hlm. 107.
280
Ibid., hlm. 106.
281
Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan Dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 139.
109
Misalnya, ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. mengandung perintah mambaca: “Bacalah dengan nama Tuhanmu, Tuhan Pencipta, Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. Tuhan yang mengajar dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. 96: 1-5)”.282 Sejarah mencatat, bahwa dengan pengerahan akal ulama-ulama Islam Zaman Klasik bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka terima dari peradaban Yunani klasik, tetapi juga mengembangkannya sendiri, baik di bidang filsafat ataupun ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, lahirlah filosof-filosof dan sarjana-sarjana Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ya’qub Al-Fazzari, Ahmad Al-Khawarizmi, Ibn Al-Haytsam, Jabir Ibn Hayyan, Al-Biruni, Al-Mas’udi, dan Al-Razi.283 Penghargaan tinggi pada akal itulah yang menimbulkan teologi atau filsafat hidup yang bercorak liberal dalam Islam. Akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia itu, dapat mengetahui empat masalah dasar dan pokok dalam agama. Masalah dasar dan pokok bagi agama adalah, bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan Pencipta alam dan pemberi rezeki, asal kebaikan serta kejahatan, kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada-Nya, dan akal dapat pula mengetahui bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat dan kewajiban untuk melakukan perbuatan baik. Sementara itu, wahyu turun untuk memperkuat pendapat akal manusia ini dan untuk membuat norma-norma yang ditentukan akal manusia bersifat absolut, sehingga tidak dapat ditentang lagi oleh manusia yang suka membantah.284 Jadi, sebelum wahyu turun, manusia dengan kekuatan akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya itu telah dapat mengatur hidupnya di dunia ini. Karena akal telah dapat membedakan antra perbuatan jahat dan perbuatan baik, maka manusia dapat membuat peraturan hukum supaya perbuatan jahat dijauhi dan perbuatan baik dilakukan sekaligus dengan sanksi-sanksinya. Kala baiku akal telah dapat pula membedakan budi perkerti baik dan budi pekerti rendah, manusia dapat membuat 282
Ibid., hlm. 141.
283
Ibid., hlm. 142.
284
Ibid.
110
norma-norma akhlak yang harus dipatuhi sesama manusia. Manusia tidak perlu menunggu wahyu untuk mengatur hidup kemasyarakatannya. Wahyu turun kemudian untuk menyempurnakan peraturan yang telah dibuat akal manusia itu.285 Atas dasar prioritas akal ini, maka Harun Nasution melihat perbedaan pembaruan Islam di Mesir dan di Indonesia. Dia menegaskan, bahwa dasar pembaruan yang berkembang di Mesir berbeda sekali dengan dasar pembaruan di Indonesia, sungguhpun pembaruan di Indonesia dipengaruhi pembaruan di Mesir. Jika di Mesir dasar pembaruan itu adalah paham Qadariyah dengan pemikiran rasional dan pemikiran ilmiahnya, maka di Indonesia dasarnya adalah teologi Asy’ariyah dengan paham qadha dan qadar-nya yang tradisional dan kurang ilmiah.286 Dikatakan bahwa Ahmad Dahlan dan pemuka-pemuka Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh ide-ide dan pemikiran Muhammad ‘Abduh. Akan tetapi, apabila ide-ide yang ada dalam Muhammadiyah dibandingkan dengan pemikiran Muhammad Abduh, maka pandangan itu kurang tepat. Harun Nasution menyebutkan, bahwa metode berpikir Muhammad ‘Abduh adalah metode berpikir rasional Mu’tazilah, sedangkan metode berpikir yang ada di Muhammadiyah maupun Al-Irsyad masih bercorak tradisional Asy’ariyah. Muhammad ‘Abduh menganut paham Qadariyah, sedangkan Muhammadiyah masih berpegang pada doktrin qadha dan qadar. Dalam menyelesaikan masalah-masalah modern, Muhammad ‘Abduh tidak terikat kepada pendapat ulama silam, tetapi berijtihad atas dasar al-Qur’an da al-Hadis. Sementara itu, Muhammadiyah masih terikat kepada pendapat ulama zaman silam.287 Pembaruan memang sudah berlanjut lama, seperti yang dilakukan Muhammadiyah. Tetapi, pembaruan Muhammadiyah sekitar dalam bidang fiqh. Kalau mereka berkumpul, perdebatan mereka masih di sekitar wudlu, qunut, adzan, dan sebagainya. Pembaruan Muhamadiyah masih fiqh, kemudian loncat ke kerja sosial yang lebih kreatif, universitasnya menyebar di mana-mana. Perlu ditegaskan, orang Muhammadiyah itu masih Asy’ari, dan ternyata memang sama sekali tidak mengikuti Muhammad 285
Ibid., hlm. 143.
286
Ibid., hlm. 154.
287
Ibid., hlm. 154-155.
111
Abduh. Yang mentransfer Muhammad Abduh ke Indonesia belum ada. Padahal di mana-mana, pembaruan yang lebih fungsional ialah pembaruan cara berpikir, bukan pembaruan ad hoc, seperti soal ibadah sehari-hari. Jadi, apa bedanya orang yang qunut dan yang tidak? Itu menghasilkan sikap hidup yang kaya apa? Jawabannya tidak ada, kecuali kalau pembaruan itu berkenaan dengan dasar pikirannya.288 Azyumardi Azra mengatakan bahwa pada dasarnya organisasi-organisasi pembaru, seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah, pada tingkat praktis jelas merupakan organisasi modernis, tetapi sulit untuk menyatakan hal yang sama pada tingkat ideologis. Meskipun keduanya selalu mengklaim bahwa secara ideologis mengikuti gagasan-gagasan tokoh-tokoh “modernis”, seperti Al-Afghani, Abduh, dan Rashid Ridha, tetapi jika dilacak lebih jauh, akar-akar ideologinya terletak pada gagasan tajdid (pembaruan) Ibn Taimiyah. Di antara prinsip-prinsip pembaruan para tokoh yang menjadi panutan ideologis keduanya ini adalah penekanan pada sentralitas kemurnian doktrin tawhid (keesaan Tuhan), dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Konsekuensi logis dari penekanan ini adalah penolakan terhadap bid’ah, khurafat, dan inovasi-inovasi lain dalam bid’ah, karena dipandang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kerangka ideologi ini, keduanya pada hakikatnya ingin menerapkan Islam sebagaimana yang pernah ditekankan oleh sahabat-sahabat utama Nabi Saw. (ashab al-salaf). Atas dasar ini, keduanya termasuk dalam golongan gerakan salafiyah (tradisional), atau neo-salafiyah. Dengan karakteristik ideologi tadi, salafisme sering pula disebut sebagai gerakan purifikasi yang bertujuan menyucikan Islam dari bid’ah, khurafat, dan praktik-praktik lain yang dianggap menyimpang.289 Dalam banyak hal, penting untuk dilihat bahwa model pembaruan Al-Irsyad sama dengan Muhammadiyah, konsep pembaruan yang dipersoalkan Al-Irsyad adalah masalah-masalah yang bukan pokok, tetapi apa yang disebut furu’ (cabang), seperti ru’yah, kafa’ah, patung, gambar, musik, kenduri, dan sebagainya. Sementara itu, hal-hal kecil seperti itu tidak 288
Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun” dalam Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), hlm. 107-108. 289
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 108.
112
menjadi problem bagi para pembaru di Mesir. Di samping masalah furu’, yang menjadi objek pembaruan di Indonesia adalah lembaga pendidikan. Di sini para pembaru mengadakan pembaruan dengan memperkenalkan alat-alat pendidikan modern, seperti bangku, papan tulis, dan sebagainya. Mereka memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu hitung, ilmu bumi, ilmu alam, dan sebagainya. Sebagai akibat dari pembaruan yang semacam itu adalah terasa mandek dan terasa menjadi tradisional, bukan lagi modern.290 Dapat dilihat, misalnya, di kalangan pembaru Indonesia, ide tentang kebebasan, pemikiran rasional, serta pemikiran ilmiah tidak dijumpai. Semua itu karena, bahwa dalam masalah ushul mereka sepakat, dan yang mereka pertentangkan adalah masalah furu’. Sementara ushul yang disepakati adalah teologi Asy’ariyah, pemikiran tradisional, atau kepercayaan pada qadha dan qadar. Sebelumnya kritik juga telah dilemparkan oleh Ahmad Wahib terhadap Muhammadiyah. Dia mengatakan, bahwa sikap anti bid’ah dalam ibadat-ibadat dan ritus-ritus keagamaan oleh Muhammadiyah terkadang juga mengandung unsur-unsur konservatif di samping juga mengandung manfaat. Wahib menegaskan, sikap Muhammadiyah yang konservatif terhadap kebudayaan sesungguhnya tidak terlalu mengherankan bila diingat bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber dari gerakan Wahabi di tanah Arab pada akhir abad ke-18. Selanjutnya, dikatakan bahwa Muhammadiyah akan menemukan kepeloporannya kembali bilamana dalam menerima dan meneruskan ajaran Wahabi (Muhammad bin Abdul Wahab) sekaligus dia berani mengadakan kritik keras terhadapnya serta dalam meneruskan cita-cita Ahmad Dahlan. Demikian pula, Muhammadiyah harus berani meneliti beberapa kekurangannya.291
3. Pribumisasi Islam Gus Dur Abdurrahman Wahid menegaskan keharusan Islam untuk menerima pluralitas situasi-situasi lokal dan pribumi serta mengakomodasinya. 290
Harun Nasution, Islam Rasional... op. cit., hlm. 153.
291
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (ed.), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Cetakan ke-6, (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 62-63
113
Dalam konteks agenda-agenda pribumisasinya, Abdurrahman Wahid menyuarakan paham, pertama, Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik Indonesia; dan kedua, pribumisasi Islam.292 Dimensi pertama gagasannya adalah seruan kepada rekan-rekannya sesama Muslim untuk tidak menjadikan Islam suatu ideologi alternatif terhadap konstruk negara-bangsa Indonesia yang ada sekarang. Dalam pandangannya, sebagai satu komponen penting dari struktur sosial Indonesia, Islam tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi yang bersaing vis-a-vis komponen-komponen lainnya (misalnya konstruk “kesatuan nasional” tatanan sosial-politik Indonesia). Melainkan, Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer dalam formasi tatanan sosial, kultural dan politik negeri ini. Terutama karena corak sosial, kultural dan masyarakat politik kepulauan Nusantara yang beragam, maka upaya menjadikan Islam suatu ideologi alternatif atau “pemberi warna tunggal” hanya akan menghancurkan masyarakat secara keseluruhan.293 Aspek kedua usulannya adalah sebuah peringatan mengenai keharusan bagi kaum Muslim untuk mempertimbangkan situasi-situasi lokal dalam rangka penerapan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, diharapkan bahwa Islam (Indonesia) tidak tercerabut dari konteks lokalnya sendiri (yakni kebudayaan, tradisi, dan lainnya). Agenda ini mengharuskan dipahaminya ajaran-ajaran Islam sedemikian rupa sehingga faktor-faktor kontekstualnya dipertimbangkan sungguh-sungguh. Dalam bentuknya yang paling sederhana, ini mencakup kebutuhan untuk memanfaatkan istilah-istilah lokal. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid secara retoris mengajukan pertanyaan, “mengapa harus menggunakan istilah ‘shalât’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kyai, sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?” Dalam kesempatan lain, ia 292
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi, Gagasan, dan Praktik Politik Islam di Indonesia, hlm. 174. 293
Ibid., hlm. 175.
114
menyatakan kesebandingan sosio-kultural antara pernyataan bahasa Arab al-sa-lâm ‘alaykum dengan ucapan-ucapan selamat lokal seperti selamat pagi, siang, atau malam.294 Pribumisasi Islam dimaksudkan pula untuk mencarikan pola dan karakter Islam sebagai sesuatu yang normatif dan praktik keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya suatu budaya dari akar budaya itu sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti Pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.295 Oleh karena itu, peran substantif adalah penting dalam mepraktikkan ajaran Islam. Dalam kondisi yang plural sebagaimana di Indonesia, maka ketika Islam mau berperan dalam segala aspek kehidupan yang tepat adalah peran substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dengan tema-tema sentral, seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan hanya menonjolkan simbol.296 Pandangan semacam inilah yang sering dikemukakan Gus Dur. Oleh karena itu, dalam banyak hal, yang diperjuangkan Gus Dur adalah bagaimana memunculkan Islam dalam bentuk esensi ajaran-ajarannya bukan dari bentuknya. Gus Dur, misalnya, lebih memprioritaskan permasalahan sosial dan ekonomi ketimbang masalah kekuatan politik dari suatu organisasi umat. Nilai-nilai etik dan kerja semestinya lebih diutamakan ketimbang mempermasalahkan apakah seorang Muslimah harus mengenakan jilbab atau tidak.297 294
Ibid., hlm. 176.
295
M. Imdadun Rahmat, “Islam Pribumi, Islam Indonesia”, dalam M. Imdadun Rahmat (et al.), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. xx. 296
Aden Wijdan SZ. dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press), hlm. 136. 297
Saiful Muzani, “Mitos Politik dan Aspirasi Politik ICMI Modernis”, Book Review,
115
Hal demikian tampak ketika Gus Dur melihat peran yang substantif dalam Islam. Untuk itu, menurut Gus Dur, ada dua kategori manusia: pertama, orang-orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsu sehingga bisa memberi manfaat kepada siapa pun. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tenang dan damai (an-nafs al-muthmainnah) dan menjadi representasi kehidupan spiritual, khalifah Allah yang sebenarnya. Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapa pun. Mereka adalah pribadi-pribadi gelisah dan menjadi biang kegelisahan sosial dan pembuat masalah (al-nafs al-lawwamah) dan menjadi representasi kehadiran hawa nafsu.298 Pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia. Akan tetapi, di Nusantara, sekalipun pertentangan selalu terjadi berulang-ulang sejak nenak moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan. Prinsip “Bhineka Tunggal Ika” Mpu Tantular, misalnya, telah mengilhami para penguasa Nusantara dari jaman HinduBuddha hingga dewasa ini. Demikian pula, Sunan Kalijaga, yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal, mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Pada masa Indonesia modern, dapat disaksikan kehadiran jiwa-jiwa yang tenang ini, antara lain dalam proses kelahiran dan tumbuhnya kesadaran kebangsaan, khususnya dalam dialog antara Islam dan nasionalisme Indonesia. Para ulama, seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hasan, dan tokoh-tokoh penting pendiri bangsa lainnya, sadar bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa
Adam Schwarz, “Islam: Coming in from the Cold?, dalam bukunya, A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990’s, (Sydney: Allan and Unwin, 1994), Studia Islamika, Volume 2, Number 1, 1995, hlm. 223. 298 Abdurrahman Wahid, “Musuh dalam Selimut”, Pengantar Editor, dalam Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Desantra Utama Media, 2009), hlm. 15.
116
Indonesia.299 Munculnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah bagian dari ini. Para pendiri bangsa Indonesia sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqashid al-syari’ah, yaitu kemaslahatan umum. Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil’alamin) dalam arti sebenarnya. Sikap para tokoh nasionalis religius yang berjuang mempertahankan bangunan kebangsaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini, menurut Gus Dur, dapat disebut sebagai kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah), pribadi-pribadi yang terus berusaha untuk memberi manfaat sebanyak mungkin kepada siapapun tanpa mempermasalahan perbedaan-perbedaan yang ada.300 Lebih lanjut menurut Gus Dur, bahwa dalam pandangan fiqh, asas Pancasil adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia, dan bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Oleh karena itu, dengan sendirinya tidak ada alasan apa pun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang bersangkutan. Islam sendiri dapat saja diletakkan dalam kedudukan yang berbeda dalam kehidupan organisasi, dalam kurun waktu yang berlainan. Pada suatu saat ia dijadikan asas, di waktu lain dijadikan landasan keimanan (aqidah), karena masalahnya “hanyalah sekedar pencapaian legitimasi” dalam pandangan fiqh.301
299
Ibid., hlm. 16-17.
300
Ibid., hlm. 18.
301
Abdurrahman Wahid, “Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia dewasa Ini”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 201
117
Dalam hal ini, Gus Dur menyetir gagasan Asghar Ali Engineer bahwa sebenarnya berdirinya negara Islam sudah memenuhi gagasan negara modern yang bersifat sekuler. Ada persamaan tujuan antara negara sekuler dan negara Islam, yaitu sama-sama melindungi hak-hak pribadi para warga negaranya. Apabila jalan pikiran ini diikuti dengan konsekuen, maka yang menjadi ukuran satu-satunya baik negara Islam maupun sekuler adalah kesejahteraan warga negara secara perorangan, dan selebihnya hanyalah bentuk luar yang dapat saja diubah oleh rakyat melalui lembaga perwakilan mereka. Dengan demikian, sebenarnya negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah satu tujuan dengan negara Islam.302 Sikap yang hanya mau menggunakan kata “syaikh”, serban, dan jubah sebagai ilustrasi, misalnya, adalah fenomena formalisasi Islam dan Islamisasi perbuatan. Menurut Abdurrahman Wahid, kecenderungan formalisasi Islam dalam kehidupan masyarakat dan Islamisasi perbuatan dalam bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya akan menimbulkan kekeringan substansi. Misalnya, dengan munculnya kelompok intelektual yang serba mau memformalkan Islam, dikhawatirkan Islam menjadi kehilangan relevansi. Padahal, Islamisasi itu pada umumnya barulah pada Arabisasi budaya, yaitu semakin banyaknya dipakai terminologi Arab yang berasal dari nash. Padahal, Arabisasi mengandung bahaya.303 Dengan pandangan semacam ini, tidak heran apabila Gus Dur dalam konteks sejarah Indonesia adalah salah satu orang yang gencar dan keras mengkritik ICMI. Dia khawatir apabila kelompok ICMI berhasil menjadikan ICMI sebagai kekuatan politik independen, maka akan menjadi pukulan berat buat Islam dan fatal bagi demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, Gus Dur adalah orang yang kurang menghendaki penghadiran politik formal bagi Islam, akan tetapi lebih menghendaki agar Islam dijadikan lebih sebagai landasan nilai-nilai etik bagi kehidupan masyarakat modern. Dia senang menerima kenyataan bahwa Indonesia merupakan masyarakat multi-etnik dan multi-agama, dan mengakui hak-hak minoritas untuk mendapatkan perlindungan. Dia memandang, misalnya, retorika anti-Kristen kaum 302 Abdurrahman Wahid, “Bercermin Dari Para Pemimpin”, dalam Abdul Mu’nim D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 287 303
Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 175.
118
modernis dan para da’i di desa-desa yang sering menyalahkan kelompok Kristen merupakan kenyataan lemahnya kepemimpinan dalam Islam.304 Gus Dur mengatakan, bahwa proses demokratisasi kehiduapn politik dan kehidupan pemerintahan, sebenarnya memerlukan penanganan melalui rangkaian kegiatan sangat kompleks, baik oleh mereka yang berada di lingkungan pemerintahan maupun di luarnya. Adalah tidak bijaksana untuk mementingkan pandangan sekterian yang hanya mengutamakan kebenaran pihak sendiri belaka, dengan membahayakan proses integrasi nasional. Akibatnya adalah keretakan yang mungkin tidak akan dapat dijembatani lagi, misalnya, antara “golongan Islam” dan golongan-golongan lain di luarnya.305 Dalam hal ini, kasus ICMI bagi Gus Dur dapat dijadikan contoh. Oleh karena itu, menurut Gus Dur, gerakan intelektual Islam dan kontribusinya dalam konteks perkembangan Islam di Indonesia harus ditempatkan pada pengertian strategis. Mendorong masuknya orang Islam dalam posisi strategis kenegaraan sebenarnya tidaklah strategis. Ini dapat disamakan dengan teknokrat yang berbondong-bondong lewat Bappenas. Mereka tidak mendobrak apa pun dan dengan demikian sama sekali tidak strategis. Sebagai suatu kelompok memang strategis, tetapi tidak untuk bangsa. Sebaliknya, akan sangat bagus jikalau kaum intelektual Islam mengambil sikap integratif, memasukkan diri pada mainstreams kehidupan bangsa yang memperjuangkan demokrasi serta tatanan yang lebih adil di kemudian hari.306 Bagi Gus Dur, ketika dia membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Demikian pula, dia bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Dia tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil atau Bhagawal Gita, jikalau itu benar maka menerimanya. Dalam masalah bangsa, ayat Al-Qur’an, menurut Gus Dur, semestinya dipakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar, sedangkan aplikasinya adalah 304
Saiful Muzani, “Mitos Politik... op. cit., hlm. 230-231.
305
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 165. 306
Ibid., hlm. 197-202.
119
soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.307 Dengan pandangan semacam ini, rasanya menjadi penting bagi umat Islam Indonesia untuk lebih memasyarakatkan penghayatan Islam yang kosmopolit. Sebagai negara-bangsa yang majemuk dari segi etnis dan agama, mungkin Indonesia perlu belajar dan meniru Inggris. Jika kaum muslim Inggris yang jumlahnya sangat minoritas masih dihargai dan dihormati hak asasinya, umat Islam Indonesia pun seharusnya belajar untuk menghormati dan menghargai hak asasi pemeluk agama lain yang (mungkin) minoritas di Indonesia. Tidak boleh ada teror atau penghakiman terhadap pemeluk agama lain.308 Sikap sebagaimana disinggung adalah sangat penting, karena bangsa Indonesia sudah mempunyai modus vevendi (kesepakatan luhur) untuk hidup bersatu dalam kebhinekaan dengan ikatan Pancasila. Modus vevendi itu menuntut masyarakat bangsa ini saling toleran dan beradab terhadap pemeluk agama lain tanpa melihat besar kecil jumlah pemeluk, karena persoalan keyakinan terhadap agama secara universal merupakan hak yang paling asasi. Secara sederhana Islam kosmopolitan dimaksudkan bahwa Islam itu harus bermanfaat bagi umat manusia, ramah, tidak ditakuti, dan menimbulkan kadamaian bagi setiap orang. Yang diperjuangkan dalam Islam kosmopolitan adalah nilai-nilai universal yang inklusif yang pasti diterima oleh setiap orang. Perjuangannya tdak menghendaki formalisasi atau simbol-simbol ekslusif yang memberi kesan mengecilkan kelompok lain, tetapi menekankan diri pada nilai dasarnya yang universal, seperti menegakkan keadilan dan hukum dalam bentuk perlawanan terhadap penguasa yang korup dan zalim, pembelaan terhadap kaum lemah, dan sebagainya.309 Gus Dur sendiri dianggap merupakan figur yang memiliki kelebihan yang sangat fleksibel dalam membangun hubungan sosial dengan tokoh-tokoh non muslim. Gus Dur sangat bersahabat dengan banyak kalangan pastor dan pendeta, termasuk dengan tokoh-tokoh non muslim lainnya 307
Ibid., hlm. 204.
308
Mahfud MD, Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 77. 309
Ibid., hlm. 78.
120
seperti dari kalangan Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu (Cina). 310 Dalam pandangan Gus Dur, Departemen Agama sebagai aparat negara adalah milik semua dan melayani semua. Di mata Gus Dur, setiap dan semua umat beragama mempunyai kebebasan untuk bereksistensi dan berekspresi sesuai dengan keyakinannya.311 Memang Gus Dur mendambakan kehidupan agama yang ramah. Masing-masing umat beragama tentu meyakini kebenaran agama yang mereka anut, sebab hanya dalam keyakinan yang tulus itulah terletak keberagamaan yang hakiki, tetapi pada saat yang sama mereka juga seyogianya menghormati orang lain untuk meyakini kebenaran agama yang mereka anut dan melaksanakannya secara bebas. Suasana saling menghormati itu juga tentu saja berlaku di antara semua pemeluk agama apa pun. Sebab, dalam masing-masing umat satu agama terbuka perbedaan bahkan pertentangan keyakinan, tetapi mereka tidak perlu menjegal orang lain. Gus Dur agaknya ingin melihat bahwa dalam taman Indonesia aneka macam bunga biarlah tumbuh secara wajar tanpa dihalang-halangi dan juga tidak dipaksa-paksa.312
4. Reaktualisasi Islam Munawir Sjadzali Yang terutama ingin dilakukan Munawir Sjadzali adalah mendorong rekan-rekannya sesama Muslim untuk melakukan ijtihâd secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Dalam hal ini, salah satu di antara topik-topiknya yang sering dibicarakan adalah prinsip pewarisan dalam Islam. Dalam persoalan ini, al-Qur’ân memerintahkan agar anak laki-laki mewarisi dua kali lebih banyak daripada anak perempuan. Dengan mengambil pelajaran antara lain dari pengalaman pribadinya sendiri, ia menyimpulkan bahwa, dalam banyak situasi, aturan khusus ini tampak bertentangan dengan prinsip keadilan. Menurut Munawir, banyak ulama 310
Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekulerisme, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 138 311 Djohan Effendi, “Kehidupan Umat Beragama dalam Cita-Cita Gus Dur”, dalam Irwan Suhanda, Gus Dur Santri Par Exellence: Teladan Sang Guru Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 128. 312
Ibid., hlm. 129.
121
yang sebenarnya sudah sangat menyadari masalah ini, tetapi mereka tidak mau memecahkannya secara tuntas. Sebaliknya, sebagaimana dilakukan banyak kaum Muslim lain, mereka lebih suka mengambil langkah-langkah pencegahan dengan mengurangi -dalam jumlah yang besar- harta yang akan mereka wariskan. Pada umumnya, praktik-praktik itu dilakukan dengan cara di mana hak milik dibagi- bagikan (hibbah) kepada anak-anak mereka, sesuai dengan keinginan mereka, sebelum mereka sendiri wafat.313 Arti penting agenda reaktualisasi Munawir terletak di balik retorika masalah pewarisan ini. Jika diteliti lebih lanjut, kerangka pemikiran teologisnya tampak mengindikasikan bahwa ia cenderung berpandangan bahwa terdapat perintah-perintah al-Qur’ân tertentu -yang terutama berkaitan dengan masalah-masalah sosial, bukan ritual- yang tidak lagi sejalan dengan tuntutan-tuntutan era ini (misalnya hukum pewarisan, masalah perbudakan, dan lainnya).314 Munawir paham bahwa dalam hal pembagian harta waris, Al-Quran, Surah an-nisa, Ayat 11, menyebutkan hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada anak perempuan. Akan tetapi, menurut Munawir, suatu kenyataan bahwa ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kenyataan yang terjadi adalah banyak hakim agama di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah yang terkenal kuat Islamnya seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya tindakan penyimpangan dari ketentuan Qurani tersebut. Para hakim agama seringkali menyaksikan, apabila seorang keluarga Muslim meninggal, dan atas permintaan para ahli warisnya Pengadilan Agama memberikan fatwa waris sesuai dengan hukum waris Islam atau faraaid, maka kerap kali terjadi para ahli waris tidak melaksanakan fatwa waris tersebut, dan pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai dengan faraaid.315 Sementara itu, telah membudaya pula penyimpangan tidak langsung dari ketentuan Qurani tersebut. Banyak kepala keluarga yang mengambil 313
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara.. op. cit., hlm. 180.
314
Ibid.
315
Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, (Jakarta: UII-Press, 1993), hlm. 17-18.
122
kebijaksanaan pre-emptive. Semasa masih hidup mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya, masing-masing mendapat bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin, sebagai hibah; atau semasa hidup mereka membuat banyak apa yang di Kalimantan Selatan lebih terkenal dengan nama wasiat-wajib. Dengan demikian, pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan hampir habis samasekali. Dalam dua kasus ini memang secara formal tidak terjadi penyimpangan dalam ketentuan Qurani di atas. Akan tetapi, apakah melaksanakan ajaran agama dengan semangat demikian sudah betul ?316 Jadi, itulah realitas yang ditemui di tengah-tengah masyarakat, dan hal ini tidak boleh ada yang kecewa. Demikianlah kenyataan sosial yang harus dengan jujur diakui. Sementara itu, salah kiranya kalau menuding para pelaku penyimpangan itu, termasuk para ulama, sebagai kurang utuh komintmen mereka kepada Islam, tanpa mempelajari latar belakang dan faktor-faktor yang mendorong mereka berani melakukan penyimpangan itu. Dengan demikian, jelas bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh Al-Quran itu tidak adil, sehingga sikap masyarakat tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraaid.317 Di sisi lain untuk menegaskan posisi Islam dalam negara, Munawir juga menjelaskan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Dalam posisi ini, Munawir mencoba menjelaskan pernyataan Soeharto dalam banyak kesempatan, termasuk ketika menyampaikan pidato kenegaraan di muka Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 16 Agustus 1966, bahwa negara RI yang berdasarkan Pancasila itu bukan negara agama tetapi bukan pula negara sekuler.318 Oleh karena itu, jelas bahwa di Indonesia Islam adalah bukan agama resmi negara, sehingga Pancasila tidak mentolelir suatu kelompok, misalnya, yang ingin mendirikan negara Islam. Munawir menjelaskan, ada tiga unsur apabila seluruhnya terdapat dalam satu negara maka negara itu dapat dikatakan sebagai negara agama, atau negara teokrasi. Tiga unsur tersebut adalah, pertama, negara 316
Ibid.
317
Ibid., hlm. 20.
318
Ibid., hlm. 80.
123
mempunyai agama resmi atau agama negara. Kedua, sumber hukum negara adalah kitab suci dari agama resmi negara. Ketiga, pimpinan negara berada di tangan tokoh-tokoh agama karena ketokohan agamanya. Melihat hal ini, maka menurut Munawir pada saat sekarang ini pada hakikatnya tidak lagi terdapat negara agama, negara di mana terdapat secara utuh di dalamnya tiga unsur tersebut. Misalnya, Arab Saudi betul mempunyai agama resmi negara, yaitu Islam, dan Al-Quran merupakan sumber hukum atau dasar hukum. Akan tetapi, pimpinan negara itu bukan ulama melainkan angota dari Dinasti Saudi, keturunan dari pendiri kerajaan ini. Untuk itu, Arab Saudi tidak pula dapat dikatakan negara Agama.319 Demikian pula, dalam Negara Pancasila tidak terdapat tiga unsur tersebut. Indonesia tidak mempunyai agama resmi negara. Meskipun hampir 90 persen dari bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi Islam bukan agama resmi negara. Sesuai dengan prinsip Kedaulatan Rakyat bahwa sumber hukum di Indonesia adalah kehendak rakyat yang disalurkan melalui lembaga-lembaga legislatif. Pimpinan negara Indonesia adalah seorang warganegara biasa yang dipilih dan diangkat MPR sebagai Mandataris Kepala Negara. Sementara itu, negara Pancasila juga bukan negara sekular. Sekularisme dalam pengertian politik adalah praktis adalah penolakan terhadap campur-tangan negara atau pemerintah di dalam kehdupan keagamaan rakyat, dan pada waktu yang sama penolakan terhadap campur-tangan tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga keagamaan di dalam kehidupan kenegaraan atau politik. Dalam hal ini tidak berlaku di Indonesia.320
5. Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo Ilmu sosial profetik Kuntowijoyo berangkat dari pandangan, bahwa hakikat pergerakan umat Islam pada dasarnya adalah dari etika idealistik ke etika profetik. Oleh karena itu, umat Islam harus meniru para Nabi, dengan kata lain, mempunyai etika profetik. Ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Ilmu 319
Ibid., hlm. 80-81.
320
Ibid., hlm. 81-82.
124
sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dan cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Cita-cita itu adalah terkandung dalam QS Ali Imran (3): 110, bahwa “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan di tengah manusia untuk berbuat kebajikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah”. Dasar ayat ini menunjukkan bahwa peran manusia, khususnya umat Islam, sebagai makhluk sosial unsurnya ada tiga, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billahi (yang dapat berarti mengandung fungsi humanisasi, liberasi, transendensi). Sebenarnya rumusan etika profetik hampir sama dengan rumusan amar “ma’ruf nahi munkar”, hanya saja unsur “iman” dibuat lebih eksplisit. Misalnya, Nabi Muhammad Saw. berpihak pada perempuan dan budak, Nabi Isa a.s. pada proletariat Roma, Nabi Musa a.s. pada orang tertindas Nabi Israel, Nabi Nuh a.s. pada orang non-elite.321 Humanisasi bertujuan memanusiakan manusia. Menurut Kuntowijoyo, di masa industrialisasi ini masyarakat mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial menjadi bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusian. Masyarakat mengalami objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial. Sementara itu, tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan perampasan kelimpahan. Menurut Kuntowijoyo, “kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokrasi, dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membesaskan diri belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri”.322 Selanjutnya, humanisasi dan liberasi harus dilengkapi dengan transendensi. Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Dalam kehidupan sekarang ini, manusia sudah banyak menyerah kepada arus hendonisme, materialisme, dan budaya yang 321 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan: 2001), hlm. 138-139. 322
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 289.
125
dekaden. Oleh karena itu, manusia harus percaya bahwa ada sesuatu yang dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Manusia ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Manusia dapat hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.323 Di sisi lain, manusia sebagai pelaku sejarah harus mampu merubah sikap egosentrisme ke objektifikasi. Ada keperluan supaya sejarah bergerak, maka sebagai komponen bangsa kita mesti berani menyebrangi konsep negara Islam dan Negara Sekuler, yaitu dengan objektifikasi. Pertama, semua komponen bangsa yang terdiri atas bermacam-macam agama, ideologi, filsafat, keyakinan, dan sebagainya menerjemahkan dulu cita-citanya dalam terminologi objektif yang dapat diterima semua pihak (seperti istilah “tauhid” dalam pergaulan nasional diterjemahkan dengan Katuuhanan Yang Maha Esa). Pemakaian terminologi yang objektif itu, yang semua orang sama-sama mengerti persis maksudnya, akan meniadakan salah paham antar komponen bangsa. Kedua, hal-hal yang objektiflah yang dikemukakan kepada umum (seperti keadilan, pemerintahan yang bersih, supremasi hukum, demokrasi), adapun hal-hal yang bersifat subjektif (seperti kebenaran agama masing-masing) perlu disimpan untuk konsumsi ke dalam. Menurut Kuntowijoyo bahwa Pancasila adalah objektifikasi Islam, dan untuk konsumsi ke luar Masyarakat Islam cukup disebut dengan Masyarakat Madani saja.324 Merujuk pada klasifikasi keilmuan yang didasarkan pada paradigma Al-Qur’an sebagaimana disebutkan, sejarah menurut Kuntowijoyo memang tidak mengutamakan elemen spiritual dan moral pada tatanan normatif semata melainkan sebagai sebuah kekuatan perubahan sosial yang didasarkan pada misi humanisasi, liberalisasi, dan transendensi bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik dan membangun peradaban. Berdasarkan hal itu, maka pemikiran kesejarahan profetik sebagai sistem pengetahuan berkoherensi dengan iman yang bersumber pada tauhid untuk menghasilkan metodologi. Tiga kesatuan tauhid yaitu pengetahuan, kehidupan, dan sejarah, akhirnya membentuk satu kebenaran sejarah, tidak adanya 323
Ibid.
324
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid…op. cit., hlm. 139-140.
126
perbedaan antara sejarah yang sarat nilai dan bebas nilai, pada dasarnya sejarah bermanfaat baik bagi umat maupun manusia secara umum.325 Perlu ditegaskan, bahwa menurut Kuntowijoyo, Islam adalah sebuah paradigma terbuka. Ia merupakan mata-rantai peradaban dunia. Dalam sejarah Islam dapat dilihat mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia, India, dan Cina di Timur. Selama abad VII sampai abad XV, ketika peradaban-peradaban besar di Barat dan Timur itu tenggelam dan mengalami kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian diambil alih oleh peradaban Barat sekarang melalui Renaisans. Jadi Islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia.326 Sebagai paradigma terbuka, maka Islam perlu dijadikan sebagai ilmu. Ketika Islam dijadikan ilmu, usaha terpokok adalah memobilisasi kesadaran masyarakat. Kuncinya bukan lagi negara, tetapi sistem. Dulu ada upaya mencapai negara yang ideal, sekarang beralih menjadi upaya mencapai sistem yang rasional. Di situ negara hanya merupakan satu aspek dari sistem. Perjuangan pun tidak hanya tergantung pada perlemen, namun bisa lebih luas. Berpikir Islam sebagai Ilmu, maka menjadi formulasi yang teoritis. Ia selanjutnya berkembang menjadi disiplin ilmu dan memiliki program aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam.327 Ilmu itu sebenarnya revolusioner. Ia memiliki kemampuan untuk mengubah. Berbagai masalah kemasyarakatan pada dasrnya bisa dicarikan jawabannya dalam Islam. Misalnya, tentang ketimpangan sosial, pemilikan tanah, hubungan kerja, ataupun tentang masalah modal dan penguasaan pasar. Dalam hal ini diperlukan pengangkatan Islam menjadi teori sosial bukan dalam formulasi normatif saja.328 Perbedaan ideologi dengan ilmu adalah ideologi bersifat subjektif, normatif, dan tertutup, sedangkan ilmu bersifat objektif, faktual, dan terbuka. 325 Bambang Purwanto, “Membincangkan Kembali Historiografi Indonesiasentris, Sebuah Pemikiran Awal”, Disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah ke-9 yang diselenggarakan oleh Direktotar Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta 5-7 Juli 2011,hlm. 6-7. 326 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Teraju, 2005), hlm. 94. 327
Kuntowijoyo, ”Islam sebagai Suatu Ide”, Prisma Ekstra, 1984, hlm. 59.
328
Ibid., hlm. 61.
127
Dikotomi umat antara tradisional dan modernis, antara nasionalis dan Islam, atau antara sekuler dan Islam,juga cara berpikir ideologis, sehingga orang lupa pada fakta bahwa orang bisa bediri di tengah-tengah, berdiri di atas dua kaki, atau berubah. Misalnya, pergeseran dari cara berpikir subjektif ke objektif itu berupa: menghilangkan egosentrisme umat, pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme agama.329 Cara berpikir objektif tentang agama tidak memerlukan pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar dan salahnya agama lain. Agama-agama lain tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam, misalnya, untuk menjamin eksistensinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat islam. Ada atau tidak adanya sesuatu yang objektif, tidak bergantung pada persepsi subjektif orang lain. Bahwa agama lain ada secara objektif, cukuplah bagi umat Islam sebagai bukti.330 Pancasila adalah objektivikasi Islam. Dinyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, artinya sanggup menyerap unsur-unsur luar; apa yang terbuka kalau bukan ilmu? Andaikata Islam juga mengubah pendekatan dari ideologi ke ilmu, maka pertemuan antara Islam dan Pancasila adalah pertemuan ilmiah, yang terbuka, rasional dan objektif. Perlu diketahui bahwa sila-sila dalam Pancasila tidak satu pun yang bertentangan dengan Islam. Pancasila harus dimasyarakatkan sebagai rujukan bersama semuya golongan, ras, suku, dan kelompok kepentingan. Semua agama perlu melihat Pancasila sebagai suatu objektivikasi ajaran agama, sebagai rujukan bersama.331 Objektivikasi Islam adalah tetap menganggap bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum. Perbedaannya terletak dalam prosedur, tidak dalam hakekat. Objektivikasi islam akan menjadikan Al-Qur’an terlebih dahulu menjadi sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara. Dengan demikian, tidak langsung seluruh syariat Islam menjadi hukum negara, tetapi melalui objektivikasi. Demikian pula seandainya hukum Kristen kalau akan dijadikan hukum negara harus terlebih dahulu dipilih yang objektif, yang berlaku untuk semua orang.332 329
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 22-24.
330
Ibid., hlm. 26.
331
Ibid., hlm. 90.
332
Ibid., hlm. 69.
128
Meskipun Al-Qur’an juga dianggap sebagai suatu dokumen historis karena hampir setiap pernyataannya mangacu kepada peristiwa-peristiwa aktual sesuai dengan konteks sejarahnya ketika ia diturunkan, tetapi pesan utamanya sesungguhnya bersifat transendental, dalam arti melampaui zaman. Untuk memahami hal ini kita membutuhkan metodologi yang mampu mengangkat teks (nashsh) Al-Qur’an dari konteksnya, yaitu dengan mentransedensikan makna tekstual dari penafsiran kontekstual berikut bias historisnya.333
6. ICMI dan Gerakannya Pada akhir tahun 1990 lahir Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Malang. Dalam ICMI ini terhimpun cendekiawan, ulama, birokrat, dan pengusaha Muslim. ICMI adalah klimaks dari sebuah proses sejarah umat Islam yang berliku dan panjang. Kelahiran ICMI ini telah membimbangkan sementara pihak, bukan saja non-Muslim tetapi juga sebagian kecil intelektual Muslim. Pihak non-Muslim menjadi khawatir, karena ICMI boleh jadi akan tampil sebagai kekuatan yang dapat, secara berangsur tapi pasti, mengubah posisi marginal politik Islam. Sedangkan sebagian kecil intelektual Muslim bimbang kalau-kalau cendekiawan Muslim yang berhimpun dalam ICMI akan kehilangan independensinya vis a vis pemerintah Suharto yang sangat kuat dalam semua bidang. Mereka khawatir ICMI akan mengalami proses birokratisasi yang dapat membunuh kebebasan seorang cendekiawan.334 Secara persis ada beberapa alasan tentang kelahiran ICMI. Pertama, ICMI merupakan hasil dari proses revivalisme Islam. ICMI mewadahi proses tersebut, dan dengan ICMI umat Islam dapat menggarap agenda mereka secara terorganisasai. Ada dua faktor yang menyebabkan revivalisme Islam, yaitu ada yang lebih bersifat politik dan ada yang lebih bersifat keagamaan. Yang bersifat politik terkait dengan terutama pada kaum muda yang memandang Islam sebagai pegangan dalam suatu masyarakat yang mengalami perubahan begitu cepat, dunia yang sedang mengalami modernisasi dan seringkali membingungkan. Mereka tertarik pada Islam bukan sebagai 333
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu... op. cit., hlm. 19.
334
A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 129.
129
dogma-dogma bagi praktik-praktik ritual, bukan pula sebagai landasan bagi suaatu teokrasi, melainkan Islam yang relevan dengan dunia modern. Kenyataan politik Orde Baru juga ikut menentukan berkembangnya Islam ini. Setelah Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara, dan juga bagi kehidupan sosial kemasyarakatan, maka umat Islam menerima politik Orde Baru secara lebih luas. Penampilan Islam seperti ini ternyata telah menarik umat Islam Indonesia secara lebih luas, di mana mereka menghendaki berislam secara benar dan tidak menyukai mereka yang menampilkan Islam sebagai kekuatan yang mengancam pemerintah.335 Kedua, ICMI juga mempunyai tujuan politik. Ia merupakan perwujudan dari respon presiden Soeharto terhadap keadaan di mana dukungan dari ABRI terhadapnya melemah. Jadi, Soeharto melirik umat Islam lewat ICMI adalah untuk mengimbangi kekuatan ABRI. Kehangatan yang baru ditemukan kelompok Muslim terutama ICMI sebagai “penolakan pre-emtif terhadap lawan-lawannya yang potensial”. Demikian pula, dengan menyatukan para kritikus Muslim yang vokal dengan para birokrat dan tokoh-tokoh Islam yang lebih moderat, Presiden mengharapkan menarik anggota-anggota ICMI yang paling kritis ke dalam lingkungan establihment dengan janji bahwa mereka akan banyak mempengaruhi proses pembentukkan keputusan.336 Kelompok-kelompok yang ada di jajaran elite ICMI meliputi, pertama, kelompok birokrat atau teknolog pemerintah yang bekerja di bawah pengaruh Habibie di BPPT dan ditambah dengan para pemimpin Golkar, sejumlah profesor, pengusaha dan sejumlah menteri kabinet. Kedua, kelompok pemimpin dan pemikir Muslim moderat yang senang kalau ICMI betul-betul berperan sebagaimana mestinya, yakni forum intelektual di mana Islam dikaji dan disosialisasikan sebagai kekuatan sosial yang positif. Termasuk dalam kelompok ini di antaranya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Sucipto Wirosardjono. Habibie sendiri berada antara kelompok pertama dan kedua.
335
Saiful Muzani, “Mitos Politik Aliran dan Aspirasi Politik ICMI Modernis”, Book Review, STUDIA ISLAMIKA, Volume 2, Number 1, 1995, hlm. 219-221. 336
Ibid., hlm. 221-222.
130
Ketiga, kelompok yang digeneralisasi sebagai kelompok pemimpin Muslim non-pemerintah. Meraka punya rencana-rencana ambisius dengan ICMI, dan menginginkan alat politik yang lebih aktif sebagai represantasi dari aspirasi kelompok Muslim modernis. Termasuk dalam kelompok ini adalah M. Amin Rais, Sri Bintang Pamungkas, M. Dawam Rahardjo, Amin Aziz, Watik Pratiknya, Adi Sasono, Lukman Harun, Nasir Tamara, dan Imaduddin Abdurrahim. Mereka inilah yang menganggap diri mereka sebagai “ICMI” yang sesungguhnya.337 Kategori modernis dan neo-modernis juga sering digunakan untuk membedakan kelompok ketiga dan kedua. Kelompok modernis adalah mereka yang berpendidikan modern dan berbasis di perkotaan namun pandangan keislaman mereka ortodok dan menolak praktik-praktik keagamaan sinkretik dengan budaya lokal. Sambil bersandar pada prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, kaum modernis berkepentingan untuk memasakinikan Islam hingga sesuai dengan tuntutan masyarakat modern. Sementara itu, kelompok neo-modernis sebenarnya tidak hanya ICMI kelompok kedua tetapi juga Gus Dur dan Djohan Effendi di dalamnya. Kelompok neo-modernis lebih berkepentingan dengan esensi ajaran-ajaran Islam dari pada bentuknya. Mereka lebih berkepentingan dengan nilai-nilai etik dan kerja dari pada, misalnya, dengan masalah apakah seoarang Muslimah harus mengenakan jilbab atau tidak. Secara umum kaum neo-modernis ini tidak begitu keras terhadap pengaruh-pengaruh Barat dan asing lainnya. Mereka lebih memprioritaskan masalah sosial dan ekonomi ketimbang masalah kekuatan politik dari suatu organisasi umat. Mereka lebih siap untuk menampung kepentingan-kepentingan yang sah dari kelompok-kelompok sekuler dan siap bekerja sama dengan mereka.338
7. “Teologi Kerukunan” Azyumardi Azra Teologi dalam pengertiannya tidak terbatas pada discourse tentang Tuhan sebagai salah satu aspek yang paling sentral dari agama mana pun. Diketahui secara tradisional, dalam Islam discourse tentang teologi menyangkut tiga hal besar, yaitu sifat iman dan status Muslim yang melakukan 337
Ibid., hlm. 222.
338
Ibid., hlm. 223.
131
“dosa besar”, determinisme dan kebebasan manusia, dan sifat-sifat Tuhan. Dalam perkembangan pemikiran, kini discourse mengenai teologi dalam dunia Islam tidak lagi terbatas pada tiga hal itu, tetapi juga telah masuk ke wilayah lain, sehingga memunculkan berbagai “teologi”, seperti teologi tanah, teologi lingkungan hidup, teologi pembebasan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, menurut Azyumardi Azra, sah-sah saja memunculkan konsep “teologi kerukunan umat beragama”. Perspektif teologi Islam tentang kerukunan hidup antar-agama dan antar umat beragama berkaitan erat dengan doktrin Islam tentang hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara Islaam dengan agama-agama lain. Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara positif dan optimis. Menurut Islam, manusia berasal dari satu asal yang sama, yaitu keturunan Adam dan Hawa. Meski berasal dari nenek moyang yang sama, tetapi kemudian manusia menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, atau berbangsa-bangsa lengkap dengan kebudayaan dan peradaban khas masing-masing. Semua perbedaan dan distingsi ini selanjutnya mendorong mereka untuk kenal mengenal dan menumbuhkan apresiasi dan respek satu sama lain. Perbedaan di antara manusia, dalam pandangan Islam, bukan karena warna kulit bangsa, tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing. Inilah yang menjadi dasar perpektif Islam tentang “kesatuan umat manusia”, yang pada gilirannya akan mendorong berkembangnya solidaritas antarmanusia.339 Doktrin Islam juga sangat menekankan kepada para penganutnya untuk mengembangkan common platform, yang dalam isltilah al-Qur’an disebut “kalimatun sawa”, dengan penganut agama-agama lain. Pengembangan kalimatun sawa dalam aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan teologi, doktrin, dan tentu saja ritual, tampaknya sulit dicapai; dan mungkin tidak perlu, karena dapat menjurus kepada “penyatuan” agama-agama, yang tentu saja sulit diterima oleh pihak agama manapun. Karena itu, common platform tersebut dapat seyogianya bertitik tolak dari aspek etis agama-agama, tanpa harus berarti menjadikan agama sebagai ajaran etis dan moral belaka, sehingga agama menjadi semacam humanisme universal
339
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 32.
132
saja. Jelas, bahwa seluruh agama hampir sepenuhnya sepakat tentang yang baik dan yang buruk pada berbagai tingkat kehidupan manusia.340 Dalam konteks Indonesia, puncak dari pengembangan “teologi kerukunan”, adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional pada 18 Agustus 1945. Dalam konteks hubungan antar agama di Indonesia, Pancasila dapat dikatakan merupakan perwujudan dari panggilan mengembangkan kalîmatun sawâ. Dari proses penerimaan Pancasila itu, jelas terlihat bahwa para pemimpin Islam lebih mementingkan kerukunan dan integrasi nasional daripada mendahulukan kepentingan Islam dan umat muslim belaka. Dalam perspektif mayoritas muslim Indonesia, penerimaan Pancasila merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang majemuk dari segi agama, suku bangsa, adat istiadat, dan lain-lain.341 Sejarah implementasi “teologi kerukunan” telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad sendiri memulai pengalaman itu, ketika ia hijrah ke Madinah pada 622 M. Pembentukan negara-kota Madinah, tidak ragu lagi, meruakan momen historis sejauh menyangkut implementasi kerangka teologi, doktrin dan gagasan kerukunan keagamaan Islam terhadap para penganut agama-agama lain, dalam konteks ini, khususnya agama Yahudi dan Nasrani.342 Momen historis itu adalah penetapan Piagam Madinah, atau sering juga disebut Konstitusi Madinah, oleh Nabi Muhammad. Dalam konstitusi ini, secara tegas dinyatakan hak-hak penganut agama Yahudi untuk hidup berdampingan secara damai dengan kaum Muslim. Kaum Yahudi menerima Konstitusi Madinah secara sukarela. Berkat konstitusi ini, kaum Yahudi terangkat dari sekedar klien kesukuan menjadi warga negara yang sah. Dalam seluruh entitas politik atau negara Islam sepanjang sejarah, kaum Yahudi tidak pernah kehilangan status ini. Meski orang-orang Yahudi kemudian mengkhianati apa yang dispakati dalam Konstitusi Madinah,
340
Ibid., hlm. 36.
341
Azyumardi Azra, “Toreransi Agama dalam Masyarakat Majemuk: Perspektif Muslim Indonesia”, http://abad-demokrasi.com/sites/default/ files/ebook/Merayakan %20Kebebasan%20Beragama%20DP.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2012. 342
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi.., op. cit., hlm. 36.
133
kaum Muslim tetap mengakuinya karena kepatuhan kepada contoh yang diberikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah.343
C. Peran Anak Muda NU dalam Pembaruan Islam Penting ditegaskan bahwa, memang pembaruan pemikiran Islam selama ini terjadi terutama di kalangan modernis, sedangkan NU dianggap mandeg dan hanya mendaur ulang pemikiran lama. Walaupun sejumlah tokoh gerakan pembaruan Islam tahun 1970-an, seperti Nurcholish Madjid, punya latar belakang keluarga berkultur NU, tetapi mereka sudah melepaskan ikatan dengan budaya pesantren dan bersosialisasi di HMI. Baru pada awal tahun 1990-an situasi telah banyak berubah dan perkembangan pemikiran Islam yang paling menarik dan paling berani, menurut Martin van Bruinessen, justru terjadi di kalangan generasi muda NU. Banyak kaum modernis terpelajar telah menjadi pejabat atau pegawai negeri sedangkan sebagian besar orang NU berada di luar sistem pemerintahan. Misalnya, ICMI telah menjadi simbol dan sekaligus ekspresi kedekatan para sarjana modernis dengan pemerintah. Sementara itu, dengan mendirikan Forum Demokrasi, Abdurrahman Wahid mengilhami banyak generasi muda NU untuk bersikap kritis terhadap negara dan kebijakan pemerintah, dan untuk lebih terbuka terhadap kalangan lain, termasuk non-Islam dan kaum kiri. Rujukan mereka di samping kitab kuning dan Sayyid Qutb atau Yusuf Qaradhawi, mereka juga mencari ilham dari teologi pembebasan, ilmu sosial, pemikiran sosialis, cendekiawan muslim seperti Hassan Hanafi, dan penulis-penulis posmodernisme.344 Pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an terjadi perubahan mengejutkan di lingkungan NU, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses “kembali ke Kittah 1926”: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi “jamiyyah diniyyah”, bukan lagi wadah politik. Seiring dengan itu, di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak 343
Ibid., hlm. 37.
344
Martin van Bruinessen, “NU: Jamaah Konservatif yang Melahirkan Gerakan Progresif”, Kata Pengantar dalam Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. xvi.
134
tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Yang menarik adalah dominasi aktivitas dan wacana NU oleh elite tradisional, yang terdiri atas para kiai besar NU dan keturunan mereka (“kaum gus-gus”), telah mulai terdobrak. Sebagian aktivis dan pemikir muda yang memberi nuansa baru kepada NU pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an tidak berasal dari “kasta” kiai melainkan dari kaum keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial.345 Tokoh-tokoh NU generasi kedua setelah Gus Dur yang pemikiran dan gerakannya memperoleh pengakuan dari kalangan NU adalah Masdar Farid Mas’udi dan Said Aqil Siraj. Pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep strategis tentang fiqh politik NU, misalnya, terus diperkenalkan oleh Masdar, dengan mencoba mengembangakan atau mengedepankan argumen yang bersifat kontekstual terhadap teks-teks dan atau tradisi-tradisi fiqh politik di kalangan NU sebelumnya. Dukungan kalangan intelektual dari dalam NU pun cukup kondusif yang menjadikan wacana perubahan fiqh politik NU lebih bisa memiliki relevansi dengan tuntutan perkembangan demokrasi dan hak-hak warga negara.346 Pemikiran-pemikiran Masdar Farid Mas’udi hampir semuanya mengenai fiqh sosial. Sesuai dengan spesialisasinya, yaitu syariat sehingga dia memiliki perhatian khusus terhadap keberadaan fiqh yang ada. Yang harus selalu dipahami bahwa bangunan pemikiran fiqh yang fundamental adalah kemaslahatan, kemaslahatan kemanusian universal, atau keadilan sosial. Tawaran teoritis (ijtihadi) apa pun, baik didukung dengan nash atau tidak, yang mampu menjamin kemaslahatan kemanusiaan dalam kacamata Islam adalah sah dan umat Islam terikat untuk mengambil dan merealisasikannya.347 Karena kemaslahatan yang terabaikan, maka Masdar Farid Mas’udi justru memandang perlu untuk dijadikan asas ijtihad. Dia menganjurkan agar terus mengembangkan aktivitas ijtihad sebagai upaya untuk mencari pilihan-pilihan konsepsional yang ashlah bagi kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya dari umat manusia seluruhnya, berdasarkan asas kemaslahatan dan keadilan semesta, tanpa memandang perbedaan ras, keyakinan, agama, suku, maupun bahasa. Masdar tidak merasa 345
Ibid., hlm. xii-xiv.
346
Laode Ida, NU Muda... op. cit., hlm. 150.
347
Mujamil Qomar, NU Liberal... op. cit., hlm. 201.
135
canggung untuk mendorong perlunya ijtihad kendati di kalangan NU masih banyak yang bersikap ekstra hati-hati dengan ucapan ijtuhad itu.348 Berdasarkan pemahaman itu, misalnya, maka hukum potong tangan bagi pencuri, dilempar batu bagi penzina, persentase pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis lain yang bersifat nonetis, masuk kategori yang zhanniy (tidak pasti dan bisa berubah-ubah) dan bukan qath’iy (tidak berubah-ubah). Pada gilirannya ketentuan-ketentuan itu mengalami perubahan. Perubahan atas ketentuan- ketentuan syara (baik dari Al-Quran maupun Sunnah Rasul Saw. dan apalagi hasil ijtihad ulama) yang bersifat teknis secara teoritis adalah bisa, bukan harus.349 Berangkat dari teori qath’iy dan zhanniy, Masdar Farid Mas’udi menawarkan konsep zakat dan pajak. Hubungan antara zakat sebagai konsep keagamaan (kerohanian) di satu pihak, dan pajak sebagai konsep keduniawian (kelembagaan) di lain pihak, sama sekali bukanlah hubungan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis. Zakat bukanlah sesuatu yang harus dipisahkan, diparalelkan, dan apalagi dipersaingkan dengan pajak, melainkan justru harus disatukan sebagaimana disatukannya ruh dengan badan atau jiwa dengan raga.350 Demikian pula, Said Aqil Siraj merupakan figur pembaharu bahkan tokoh pemikir progresif di NU sejak pertengahan tahun 1990-an. Ia menilai bahwa selama ini orang-orang NU menganggap ahlussunnah wal jamaah sebagai mazhab, padahal menurutnya hal itu merupakan metode berpikir (manhaj al-fikr) yang mencakup segala aspek kehidupan. Said Aqil Siraj tampaknya berusaha membuka selebar-lebarnya cakupan aswaja. Aswaja sebagai metode berpikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan, balance, jalan tengah, dan netral dalam akidah, penengah dan perekat kehidupan sosial kemasyarakatan, serta keadilan dan toleransi dalam berpolitik. Kata-kata netral dalam akidah memungkinkan meliputi seluruh umat Islam sehingga tidk ada lagi penggolongan Syi’ah-Sunni, Mu’tazilah-Sunni, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran kreatif itulah yang membuat sebagian kiai NU 348
Ibid., hlm. 202.
349
Ibid., hlm. 203.
350
Ibid., hlm. 205.
136
konservatif merasa terkejut, seraya memberi reaksi bahwa Said Aqil Siraj yang diakomodasi Gus Dur sebagai pembawa ajaran Syi’ah, hendak menjadikan NU sebagai Syi’ah.351 Gagasan inklusif Said Aqil Siraj ini dapat ditelusuri sandaran teologisnya dengan menganalisis Hadis Nabi Saw. yang nadanya memberitakan bahwa umatku akan pecah menjadi 73 golongan. Menurutnya, apa arti 73 golongan itu? Apakah persis jumlah itu atau sekedar kiasan? Jika yang dimaksudkan memang benar 73 golongan, jelas Rasulullah Saw. salah, sebab sekarang ini sudah ada beberapa puluh ribu golongan. Jadi, hadis itu perlu dilihat kembali. Setelah dicermati, Ahlussunnah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat oleh Rasul Saw. dalam hadis itu adalah sebuah nilai, sementara yang kita klaim itu firqah (golongan). Oleh karena itu, pernyataan Nabi Saw. tentang Ahlussunnah sebagai golongan satu-satunya yang akan masuk surga bukanlah dimaksudkan golongan Sunni secara formal yang ada ini, melaikan semua golongan yang mengamalkan Sunnah. Semua golongan memiliki kesempatan yang sama untuk masuk surga.352 Demikian pula Ali Haidar, misalnya, mencoba mengkritisi tradisi NU yang fiqh politiknya masih terus bersandar pada pemikiran yang tertuang dalam kitab-kitab klasik, tanpa mengembangkan atau menyesuaikan secara kontekstual.353 Menurut Haidar, jika NU tetap menggunakan basis pesantren, sangat sulit bagi NU untuk maju atau berkembang. Misalnya, ketika para politisi dari kalangan kiai membentuk partai politik, di lingkungan NU, masih menggnakan simbol ideologis agama, yang sebenarnya bukan menjadi kebutuhan masyarakat umum. Untuk itu, tidak tepat lagi menggunakan simbol ideologis yang berbasis agama dalam persoalan politik di era modern. Model kekuasaan politik itu tidaklah monolitik, tidak ekslusif serta tidak bersumber kepada agama, tetapi plural, artinya tanggung jawab politik bukan merupakan tanggung jawab agama. Tanggung jawab agama dibebankan kepada masing-masing individu di bawah contoh Nabi sebagai Rasul, yang mana tanggung jawab politik ditanggung bersama-sama dengan Nabi sebagai seorang pemimpin politik.354 351
Laode Ida, NU Muda... op. cit., hlm. 156.
352
Mujamil Qomar, NU Liberal... op. cit, hlm. 191.
353
Laode Ida, NU Muda... op. cit., hlm. 151.
354
Ibid., hlm. 152.
137
Dengan terilhami Abdurrahman Wahid dan para pemikir NU lainnya, muncul generasi berikutnya dalam NU yang terkenal dengan anak muda NU. Salah satu ciri penting dari kebangkitan intelektual di kalangan kaum muda NU adalah berlengsung secara serempak sebagai sebuah gerakan. Tidak individual, tetapi merujuk pada pola gerakan yang dikerjakan secara bersama dalam berbagai enclave yang tersebar di seluruh wilayah, terutama Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Pada awal Oktober 2003 mereka memprakarsai diselenggarakannya Muktamar Pemikiran Islam NU yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo. Terang bahwa muktamar ini menjadi momentum NU kembali ke khittah tahap kedua setelah khittah tahap pertama tahun 1984. Muktamar ini mengisyaratkan bahwa, gerakan kultural Islam ternyata masih hidup; bahwa tidak segenap energi umat dikooptasi oleh partai politik yang dialokasikan untuk kepentingan meraih kekuasaan. Akan tetapi, lebih penting dari itu adalah bahwa ini merupakan muktamar pemikiran, bukan sembarang muktamar, yang diprakarsai oleh anak-anak muda NU.355 Dalam konteks ini Nurcholish berkomentar bahwa, “Saya cukup bangga dengan terselenggaranya Muktamar Pemikiran Islam NU ini. Apalagi, acara ini katanya dimotori oleh orang-orang muda NU yang akhir-akhir ini saya dengar dan saya lihat, banyak menelurkan karya-karya tulis, baik di media maupun dalam bentuk buku. Fenomena ini tentu saja patut disyukuri, karena selama ini NU dikenal sebagai kelompok Islam yang kolot, tradisional, dan anti kemodernan. Maksudnya, geliat pemikiran yang terjadi di tengah-tengah orang-orang muda NU ini membuktikan bahwa tradisi tidak selamanya buruk dan anti kemodernan.356
355
Ahmad Gaus AF, “Kebangkitan Intelektual Kaum Muda NU”, dalam Zuhairi Misrawi (ed.), Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. 29. 356 Nurcholish Madjid, “NU antara Tradisi dan Relevansi Pemikiran”, Kata Pengantar dalam Zuhairi Misrawi (ed.), Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. x.
138
Anak Muda NU ini bukanlah pemikir-pemikir murni, melainkan aktivis yang mengaitkan setiap pemikirannya dengan kondisi sosial di mana mereka berpijak. Mereka sadar bahwa pengetahuan tidak bebas dari relasi kuasa. Oleh karena itu, harus ada keberpihakan dan keterlibatan dengan masyarakat, maka ciri penting lainnya dari pemikiran mereka adalah populisme. Teologi atau tafsir, misalnya, tidak dipilih yang coraknya elitis dan teosentris, melainkan yang bercorak membumi dan antroposentris.357 Begitu juga di lapangan fikih yang selama ini menjadi otoritas para fuqaha di NU. Berbeda dengan fikih klasik yang serba Allah, halal-haram, neraka-surga, fikih yang dikembangkan kalangan muda NU seperti Syafiq Hasyim, Rumadi, Abdul Moqsith Ghazali, dan kawan-kawan lainnya adalah fikih kemanusiaan yang menyahuti problem sosial yang sedang “in”, seperti fikih kesetaraan gender dan fikih demokrasi. Di sayap lain bahkan ada fikih pemberdayaan nelayan, petani, dan buruh. Di kancah diskursus sosial, isu-isu seperti civil society dan HAM juga tak luput dari perhatian mereka. Sementara itu, tema-tema semacam itu barangkali tak terbayangkan oleh pera kiai sepuh di pondok pesantren yang masih asik dengan tradisi kitab kuning.358 Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya mereka mendirikan beberapa lembaga kajian dan penelitian atau memanfaatkan lembaga NU yang telah ada untuk melakukan kegiatan tersebut. Di antaranya, di Yogyakarta dibentuk LkiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), di Surabaya berdiri eLSAD (Lembaga Studi Agama dan Demokrasi), kemudian Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU, sebuah lembaga PBNU di Jakarta untuk melakukan kegiatan yang sama.359 Lembaga-lembaga di atas merupakan kelompok-kelompok kecil generasi muda NU yang melakukan kajian, penelitian dan pemikiran. Di lembaga-lembaga ini berkumpul komunitas ilmiah yang melakukan gerakan pembaruan pemikiran Islam dan aksi sosio-kultural, baik dalam wilayah internal maupun eksternal NU. Suasana kembali ke Khittah 1926 357
Ahmad Gaus AF, “Kebangkitan Intelektual Kaum Muda NU”, hlm. 30.
358
Ibid., hlm. 31.
359
Shonhadji Sholeh, Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari Tradisionalisme ke Pos-Tradisionalisme, (Surabaya: JP BOOKS, 2004), hlm. 46.
139
dan berkembangnya wacana pemikiran Islam kontemporer yang digerakkan oleh Abdurrahman Wahid dan kawan-kawannya banyak memotivasi bagi gerakan mereka. Generasi ini terdiri atas komunitas muslim terpelajar yang memiliki basis pendidikan pesantren namun mendapatkan kesempatan untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan modern. Mereka rata-rata memiliki kemampuan berbahasa asing Arab dan Inggris atau kedua-duanya.360 Shonhadji Sholeh mencatat ada beberapa pembaruan wacana tentang berbagai masalah keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan global sebagai fokus gerakan pemikiran kaum Muda NU atau kaum Nahdliyin Baru ini. Misalnya, wacana tentang berbagai masalah keagamaan mencakup “Menggugat Kembali Ahlusunnah wa al-Jama’ah” sebagai sebuah gagasan dan pemikiran kaum Nahdliyin Baru untuk membongkar wacana lama yang sejak NU berdiri, pada tahun 1926, telah dibakukan sebagai ideologi orgaisasi. Sesudah itu “Membongkar Kebekuan Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, merupakan wacana untuk merespon wacana lama tentang pemahaman lama yang konservatif. Kemudian “Islam sebagai Agama Universal dan Lokal”, sebagai wacana kaum Nahdliyin Baru untuk mengkoreksi wacana kaum Nahdliyin Lama yang menganggap Islam sebagai agama universal. Selain itu “Membangun Syari’ah Demokratik”, merupakan respon wacana lama yang mengganggap syari’ah bersifat dogmatis yang harus diterima apa adanya. Lalu “Fikih Sosial: dari Tekstual Menuju Kontekstual”, sebagai evaluasi kaum Nahdliyin Lama yang menganggap fiqih sosial harus merujuk pada teks-teks agama. Kemudian “Liberalisasi Wacana, Mendepak Konservatisme”, merupaka respon dari wacana lama yang bersifat konservatif dan anti liberalisme.361 Wacana tentang berbagai masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan meliputi “Islam Pribumisasi: Mencari Wajah Islam Indonesia” adalah sebuah respon dari wacana lama yang mengidentikan Islam dengan Arab atau Timur Tengah. Sesudah itu “Militerisasi: Penguatsab Militer dan Bukan Militerisme”, merupakan gagasan dan pemikiran tentang penguatan masyarakat dengan tidak perlu melakukan militerisasi. Kemudian “Memperjuangkan Buruh, Golongan Terpinggirkan”, sebagai upaya 360
Ibid., hlm. 47.
361
Ibid., hlm. 68.
140
untuk meningkatkan taraf hidup kaum buruh dengan merombak fiqih mu’amalah (fiqih perdata) yang selama ini masih menjadi pegangan kaum Nahdliyin Lama. Selain itu “Memisahkan Politik dari Urusan Ukhrawi”, sebuah wacana yang menghendaki agar urusan politik tidak perlu dikaitkan dengan agama seperti yang terjadi selama ini. Lalu “Involusi Transisi Demokratisasi: Kendala Bagi Kedaulatan Rakyat”, sebagai ungkapan yang melihat betapa banyaknya kendala dalam proses demokratisasi yang justru seakan mendapat legitimasi dari kaum Nahdliyin Lama. Sesudah itu “Pendidikan Transformatif Menuju Islam Pluralis”, tentang gagasan dan pemikiran bentuk pendidikan yang bisa menghasilkan umpat Islam yang pluralis. Terakhir, “Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural”, sebagai ungkapan pemikiran dan pengalaman kaum Nahdliyin Baru dalam membangun NU melalui terobosan di luar tradisi pesantren.362 Selanjutnya, wacana tentang berbagai masalah global yang terdiri atas beberapa isu global, yang mencolok di antaranya “Fundamentalisme Islam: Seharusnya Bukan Terorisme”, suatu gagasan dan pemikiran kaum Nahdliyin Baru tentang fundamentalisme Islam yang selama ini dikesankan terorisme. Kemudian “Konsep Civil Society sebagai Kritik, sebuah wacana yang dikembangkan untuk merespon wacana lama yang menganggap civil society itu sudah ada dalam Islam. Lalu “Mengubah Masalah Agama Menjadi Masalah Universal, merupakan gagasan dan pemikiran untuk mengalihkan konteks isu Palestina dan Timur Tengah lainnya dari masalah keagamaan yang selama ini menjadi anggapan umum di kalangan kaum Nahdliyin Baru menjadi masalah universal.363
D. Menilik Ulang Konsep Pembaruan dalam Islam Pembaruan memang sudah berlanjut lama, seperti yang dilakukan Muhammadiyah. Tetapi, pembaruan Muhammadiyah sekitar dalam bidang fiqh. Kalau mereka berkumpul, perdebatan mereka masih di sekitar wudlu, qunut, adzan, dan sebagainya. Pemberuan Muhamadiyah masih fiqh, kemudian loncat ke kerja sosial yang lebih kreatif, universitasnya menyebar di mana-mana. Perlu ditegaskan, orang Muhammadiyah itu masih 362
Ibid., hlm. 68-69.
363
Ibid.
141
Asy’ari, dan ternyata memang sama sekali tidak mengikuti Muhammad Abduh. Yang mentransfer Muhammad Abduh ke Indonesia belum ada. Padahal di mana-mana, pembaruan yang lebih fungsional ialah pembaruan cara berpikir, bukan pembaruan ad hoc, seperti soal ibadah sehari-hari. Jadi, apa bedanya orang yang qunut dan yang tidak? Itu menghasilkan sikap hidup yang seperti apa? Jawabannya tidak ada, kecuali kalau pembaruan itu berkenaan dengan dasar pikirannya.364 Organisasi-organisasi pembaruan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis, harus diakui dan jujur, bahwa mereka itu sekarang berhenti sebagai pembaru-pembaru. Mereka pada akhirnya telah menjadi beku sendiri, karena agaknya tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progesivitas. Sebaliknya, organsasi-organisasi yang oleh sejarah dicatat sebagai organisasi-organisasi kontra reformasi, seperti NU, Al-Wasilah, dan PUI, ternyata sekarang telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai yang dulunya menjadi hak monopoli kaum pembaru, sekalipun sikap mereka ini karena desakan hukum sejarah yang terhindarkan, dan mereka mengambilnya tidak cukup serius, atau tidak secara formal menerimanya sebagai pandangan prinsipal.365 Organisasi-organisasi Islam yang, ketika didirikannya, bersikap antitradisi dan sektarianisme, sekarang telah menjadi tradisional dan sektarianis sendiri, sedangkan organsisasi lainnya yang semula menolak nilai-nilai baru dan sekarang menerimanya, tidak pernah berniat menjadikannya sebagai sikap hidup yang prinsipil. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kelompok pembaru Islam yang liberal. Kata-kata itu mempunyai implikasi lebih lanjut sebagai konsekuensi logisnya, yaitu non-tradisionalisme dan non-sektarianisme.366 Dalam tingkat praksis Muhammadiyah memang dapat digolongkan ke dalam kategori modernis. Misalnya, sejak berdirinya Muhammadiyah dalam bidang pendidikan jauh mengalahkan al-Azhar, Kairo, yang pada saat bersamaan masih berkutat menerapkan prinsip-prinsip pendidikan tradisional. Namun, dalam tingkat ideologis jauh lebih sulit menentukan tipologi Muhammadiyah. Muhammadiyah selalu mengklaim bahwa ia 364
Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun”... op. cit., hlm. 107-108.
365
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan ... op. cit., hlm. 236.
366
Ibid.
142
adalah pengikut gagasan-gagasan “pembaruan” Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha, dan semacamnya. Jika dilacak lebih jauh lagi, akar-akar ideologisnya berpangkal pada pemikiran-pemikiran tajdid (pembaruan) Ibn Taimiyah. Sementara itu, prinsip-prinsip dasar gagasan pembaruan para tokoh ini hanya diambil kerangka ideologinya hanya pada penekanan akan kemurnian konsep tauhid dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Dengan berpegang pada kerangka ideologis semacam ini, maka Muhammadiyah dengan tepat disebut sebagai suatu gerakan purifikasi yang bertujuan menyucikan praktik-praktik bid’ah dan khurafat, yaitu kembali kepada Islam yang pernah diterapkan Nabi dan para sahabat utama (ashab al-salaf). Dalam konteks inilah Muhammadiyah termasuk ke dalam gerakan salafiyyah atau neosalafiyyah, terutama disebabkan adaptasinya terhadap prinsip-prinsip modern hanya pada tingkat praksis.367 Jadi, terlepas pada semuanya, Muhammadiyah tetaplah sebuah gerakan salafiyyah. Karena itu, pada tingkat ideologis, tidak punya alasan untuk menggolongkannya sebagai kelompok modernis. Terletak pada kenyataan, bahwa dengan kembali pada Al-Qur’an dan Hadis, Muhammadiyah telah turut menafikan inovasi struktural, baik dalam kerangka doktrin maupun penerapan Islam di masa modern. Harus diakui, terdapat banyak constraints dan keterbatasan-keterbatasan sosiologis Islam pada masa salafi. Constraints dan keterbatasan-keterbatasan yang belum terpecahkan itu menjadi semakin kompleks ketika ia dihapdakan dengan realitas modern yang menampilkan masalah-masalah dan komplikasi-komplikasi baru. Banyak kalangan yang menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis lupa pada kenyataan ini, seolah mengabaikan dan tidak mampu melihat constraints sosiologis tersebut, atau kalaupun melihatnya, mereka tidak mampu memecahkannya karena kompleksitas dan amalgamis masalah-masalah yang demikian rumit.368
367
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani... op. cit., hlm. 114.
368
Ibid., hlm. 115.
143
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’nim D.Z. (ed.), Di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas, 2000). Abdul Mun’im DZ, “Pergumulan Pesantren dengan Kebudayaan”, dalam Badrus Sholeh (ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2007). Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006). Abdurrahman Wahid, “Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia dewasa Ini”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988). Abdurrahman Wahid, “Bercermin Dari Para Pemimpin”, dalam Abdul Mu’nim D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas, 2000). --------, “Musuh dalam Selimut”, Pengantar Editor, dalam Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Desantra Utama Media, 2009). --------, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010). Aden Wijdan SZ. dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007). Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Arif Maftuhin, (Yogyakarta: Insan Madani, 2005). Ahmad Fawaid Sjadzili, “Islam Nusantara: Pertautan Doktrin dan Tradisi”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 26 Tahun 2008. Ahmad N. Amir, Abdi O. Shuriye, Ahmad F. Ismail, “Muhammad Abduh’s Contributions To Modernity”, Asian Journal of Management Sciences and Education, Vol. 1. No. 1. April 2012.
145
Ahmad Gaus AF, “Kebangkitan Intelektual Kaum Muda NU”, dalam Zuhairi Misrawi (ed.), Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004). Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir, (Jakarta: UI Press, 2012). Ahmad Rifa’i Hasan (peny.), Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas Karya-Karya Klasik, (Bandung: Mizan, 1990). Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988). -------, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993). Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Penguasa Paham Kekuasaan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998). Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammdiyah Terhadap Kolonialisme Belanda, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Al-Wasat, 2010). Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2007). Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997). --------, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998). --------, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Iman, 2009). Andrée Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna,Cetakan II, (Yogyakarta: LKiS, 2008). Andrée Feillard, “Nahdlatul Ulama dan Negara: Fleksibelitas, Legitimasi, dan Pembaharuan”, dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed.), Gus Dur, NU dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 1997). Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta: Obor dan KITLV, 2011). Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986). Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999).
146
-------, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,(Bandung: Rosdakarya, 2000). --------, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, Bandung: Rosdakarya, 2000). --------, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002). --------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana, 2005). Azyumardi Azra, “Toreransi Agama dalam Masyarakat Majemuk: Perspektif Muslim Indonesia”, http://abad-demokrasi.com/sites/default/ files/ ebook/Merayakan %20Kebebasan%20Beragama%20DP.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2012. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997). Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Terj. Ihsan Ali-Fauzi dan Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011). Bambang Purwanto, “Membincangkan Kembali Historiografi Indonesiasentris, Sebuah Pemikiran Awal”, Disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah ke-9 yang diselenggarakan oleh Direktotar Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta 5-7 Juli 2011. Boy R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1993). Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisanga: Misi Pengislaman Jawa, (Yogyakarta: Media Pustaka, 2007). Budhy Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme, (Jakarta: Democracy Project, 2011). Dawam Rahardjo, M., Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999). De Graaf, H.J. dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, (Jakarta: Grafiti, 2001). Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Cetakan ke-5, (Jakarta: LP3ES, 1990).
147
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (ed.), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Cetakan Keenam, (Jakarta: LP3ES, 2003). Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gusdur, (Jakarta: Kompas, 2010). -------, “Kehidupan Umat Beragama dalam Cita-Cita Gus Dur”, dalam Irwan Suhanda, Gus Dur Santri Par Exellence: Teladan Sang Guru Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2010). Eep Saefullah Fatah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru: Masalah dan Masa Demokrasi Terpimpin Konstitusional, (Bandung: Rosdakarya, 2000). Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terj. Lie Hua, Cetakan IX, (Yogyakarta: LKiS, 2010). Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, (Jakarta: Haji Masagung, 1988). Hamid Elansari, Selajang Pandang Perdjoangan Al-Irsjad pada Zaman Keemasanja, (Bogor: t.p., 1964). Hamka, Said Jamaluddin Al-Afghani, (Jakarta: Bulang Bintang, 1981). Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidae, Cetakan II, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985). Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). --------, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 2005). Henri Chambert Loir dan Claude Guillot (ed.), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010). Husein Muhammad, “Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah: Yang Toleran dan Anti Ekstrem”, dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, (Yogyakarta: LkiS, 1999). Imdadun Rahmat, M., “Islam Pribumi, Islam Indonesia”, dalam M. Imdadun Rahmat (et al.), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2003).
148
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Ketiga, terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000). John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. M. Joesoef Sou’yb, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). John L. Esposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lusrus” (al-Shirat al-Mustaqim), terj. Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004). Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “Melacak Akar Sosial-Politik Intelektual Islam Indonesia: Sebuah Survey Bibliografis”, http://kyotoreview.org/issue-8-9/melacak-akar..., diakses Tanggal 1 April 2015. Kuntowijoyo, ”Islam sebagai Suatu Ide”, Prisma Ekstra, 1984. -------, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985). -------, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991). -------, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997). -------, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan: 2001). -------, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Teraju, 2005). Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekulerisme, (Jakarta: Erlangga, 2004). Mahfud MD, Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan, (Yogyakarta: LKiS, 2010). Martin van Bruinessen, “NU: Jamaah Konservatif yang Melahirkan Gerakan Progresif”, Kata Pengantar dalam Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004). -------, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Cetakan ke-5, (Yogyakarta: LKiS, 2008). Maryam Jameelah dan Margaret Marcus, Islam dan Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982). Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan
149
Islam di Indonesia, Jilid III, Edisi Pemutakhiran, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). Micheal van Langenberg, “Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, Hegemoni,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1996). Mijamil Qomar, NU “Liberal”: Dari Tradisional Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002). Mintaredja, M.S., Renungan Pembaruan Pemikiran Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia, (Djakarta: Permata, 1972). Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2012). Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, (Jakarta: UII-Press, 1993). Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007). Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak Harun” dalam Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989). -------, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paradigma, 2005). -------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008). -------, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, t.t). -------, “NU antara Tradisi dan Relevansi Pemikiran”, Kata Pengantar dalam Zuhairi Misrawi (ed.), Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta: Kompas, 2004). Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005). Rahman Zainuddin, A. dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, (Bandung: Mizan, 2000).
150
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2007). --------, Polarising Javanese Society: Islamic and Other Vision (c. 1830-1930), (Singapore: NUS Press, 2007). Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika, (Yogyakarta: Gama Media, 2004). Rusli Karim, M., Negera dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium, (Jakarta: Gramedia, 1992). Selo Soemardjan, “Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi”, dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Obor, 2011). Saiful Muzani, “Mitos Politik dan Aspirasi Politik ICMI Modernis”, Book Review, Adam Schwarz, “Islam: Coming in from the Cold?, dalam bukunya, A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990’s, (Sydney: Allan and Unwin, 1994), Studia Islamika, Volume 2, Number 1, 1995. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito:Suatu Studi Terhadap Serat Hidayat Jati, (Jakarta: UI Press, 1988). Shonhadji Sholeh, Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari Tradisionalisme ke Pos-Tradisionalisme, (Surabaya: JP BOOKS, 2004). Suharsono, Gerakan Intelektual: Jihad Untuk Masa Depan Umat Islam, (Yogyakarta: Al-‘Arsy, 1992). Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I, (Djakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, 1965). Supandi, “Membaca Ulang Pemikiran dan Pembaruan Islam Harun Nasution”, DINIKA, Volume 12. Number 2, Juli – Desember 2014. Syeik Ahmad as-Surkati al-Anshori, Tiga Persoalan: Ijtihad dan Taqlid, Sunnah dan Bid’ah, Ziarah Kubur Tawasul dan Syafa’ah, (Surabaya: Al-Irsyad Al-Islamiyyah, 1988). Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Terj. Hilmar Farid, (Jakarta: Grafiti, 1997).
151
Taufik Abdullah, “Natsir, Seorang Guru yang Perfeksionis Filosofis”, dalam Anwar Harjono dkk. (ed.), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Taufik Abdullah dan Endjat Djaenuderadjat (ed.), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Akar Historis dan Awal Pembentukan Islam, Jilid I, (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015). Tjokroaminoto, H.O.S., Islam dan Sosialisme, (Jakarta: Tride, 2003). Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, (Jakarta: Democracy Project, 2012). Yusril Ihza Mahendra, Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A’la Maududi Tentang Dinamika Islam dan Transformasi ke dalam Ideologi Sosial dan Politik, dalam Anwar Harjono dkk. (ed.), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), (Jakarta: Samha, 2002). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan, (Jakarta: LP3ES, 2011). Zuly Qodir, Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Wertheim, W. F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Ellizabet, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
152
TENTANG PENULIS
Dr. Miftahuddin, M.Hum., lahir di Pangandaran, Jawa Barat, 2 Maret 1974. Alumni Pondok Pesantren Wahid Hasyim Gaten Condongcatur Yogyakarta (2002). Sarjana di bidang Sejarah Kebudayaan Islam (1999) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menempuh S2 Sejarah di UGM dengan gelar Magister Humaniora. Merai gelar doktor di bidang Studi Islam konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2017). Dosen pada Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial UNY (sejak 2003). Mata Kuliah yang diampu Sejarah Asia Barat, Sejarah Indonesia Masa Islam, Sejarah Kebudayaan Indonesia Islam, Metode Penelitian Sejarah, Sejarah Lokal, dan Filsafat Ilmu Sosial. Bebarapa artikel yang pernah dimuat di jurnal, seperti “Islam dan Nasionalisme Indonesia dalam Perspektif Sejarah” (MOZAIK, Vol. 1, No.1 Juli 2006), “Terorisme: Antara Kolonialisme dan Fundamentalisme” (MILLAH Vol. VI, No. 1, Agustus 2006), “Pendidikan, Globalisasi, dan Moralitas” (Cakrawala PENDIDIKAN Juni 2008), “Distinct Sects in The Perspective of Inclusive-Pluralistic Islam” (MILLAH Vol. VII, No. 2, Februari 2008), “Kajian Historis Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta” (SOCIA, Vol. 6 No. 2, September 2009), dan “Runtuhnya Dikotomi Tradisionalis dan Modernis: Menilik Dinamika Sejarah NU dan Muhammadiyah” (ISTORIA, Vol. 7, No. 2, Maret 2010).
153