Data Loading...

Selamat_Pagi Flipbook PDF

Selamat_Pagi


150 Views
75 Downloads
FLIP PDF 1.72MB

DOWNLOAD FLIP

REPORT DMCA

Alhamdulillah, selamat dan Mabruk. Semoga menjadi awal bagi penulisan novel berikutnya. Buya bangga sekali. Semakin banyak anak muda yang menulis. Husein Muhammad Pendiri Fahmina Institute Cirebon, Ketua Dewan Kebijakan Fahmina Komisioner Komnas Perempuan 2007-2014

Sekolah, Jalanan, dan Keluarga. Di tiga wilayah itulah masa remaja terbentuk. Berupaya menemukan eksistensi melalui persahabatan, cinta, petualangan dan pengetahuan, Novel ini "merawat" tokohnya dengan sejumlah refleksi filosofis. Suatu upaya pedagogis dari si penulis untuk mendekatkan pikiran-pikiran dunia kepada kalangan remaja. Saya hargai upaya itu. Rocky Gerung Pengajar Filsafat, UI

Sebagai proses pembelajaran sang pemula, novel ini patut dihargai karena niat dan tujuanya. Di dalamnya berisi pesan moral yang mengajak remaja keluar dari lorong gelap menuju terang kehidupan. Ada perlawan, ada kesendirian, ada contoh-contoh buruk dan gejolak, akan tetapi ada pula persahabatan, cinta dan kasih sayang di dalamnya yang layak dijadikan teladan. Yudi Latif Pengamat Politik dan Ketua Pelaksana Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila

Menulis itu bukanlah perkara gampang. Kepada mereka yang mau dan mampu menuangkan buah pikiran mereka ke dalam sebuah tulisan, baik itu rubrik populer, telaah ilmiah, maupun karya sastra berupa novel, layak diberikan apresiasi. Mereka merupakan segelintir anak manusia yang terberkati untuk berjaya menembusi apa yang jamak dirujuk sebagai 'the writer's block'. Novel bertajuk 'Selamat Pagi' karya Bakhrul Amal ini boleh dibilang mewakili gambaran mengenai kepiawaian seorang penulis dalam mensiasati jerat 'the writer's block' sebagaimana disebutkan di atas. Tutur yang lincah lagi jenaka dari si penulis nyatanya mampu menggugah hasrat sekalian pembaca untuk terus menelusuri fase demi fase kiprah Samudra, sang tokoh utama novel ini. Untaian tulisan yang menyapa jujur, membuyarkan sekat yang memisahkan pembaca dari karsa dan karya Samudra nan belia itu. Semuanya terasa begitu dekat, semuanya terkesan begitu lekat. Kalau saja narasi yang berkenaan dengan konteks ruang dan waktu dari segala peristiwa diperkaya, serta jika saja ilustrasi yang mengiringi bergulirnya deretan bab satu ke bab lain diberi jiwa dan makna, niscaya cerita tentang Samudra jadi kian membumi. Dan pembaca-pun dIbuat tak lagi punya daya untuk begitu saja berpaling dari jalinan pengalaman Samudra bersama rekan-rekannya. Kepada penulis saya sampaikan selamat, dengan harapan terus berkarya demi memenuhi damba pembaca akan pembelajaran hidup dari banyak Samudra yang lain. Prof. Erlyn Indarti Phd Pengampu Mata Kuliah Filsafat Hukum UNDIP dan Anggota KOMPOLNAS

Seperti nama tokoh utama dari novel ini, kita akan diajak mengarungi luas „Samudra‟, Samudera kehidupan yang sebetulnya sederhana dan umum dilakukan dalam keseharian, tetapi karena hasil kontemplasi (permenungan) yang tinggi, kontemplasi mengenai kehidupan manusia yang dinamis, tak pelak novel ini bernuansakan sastra berbeda dari kebanyakan novelis yang ada. Benar, kita akan diajak untuk menyelami hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan. Selamat kang Bakhrul Amal atas novel yang „menguras‟ ini! Mamang M. Haerudin Kyai, Pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin Cirebon dan penulis buku ―Tuhan, Mohon Izinkan Aku Mencintai Perempuan‖

Ini mah cerita pribadi, ditambah-tambahin sendiri aja sama si Amal biar keliatannya rada bagus orangnya. Padahal mah nakal pisan aslinya. Amir Hamzah Ketua RW 01 Kasepuhan, Cirebon

Edan, mantap, novel bisa begini ya, menceritakan tahun 2006. Keingetan jaman-jaman SMA jadinya. Mohammad Gugus Mahasiswa Fredrich Schiller Universitat, Jena, Austria

Bakhrul Amal

Selamat Pagi Penulis Bakhrul Amal Penyunting Tim Ellunar Publisher Penata Letak dan Perancang Sampul Hanung Norenza Putra

Penerbit : Ellunar Publisher Jl. Randusari Utara No. 10 Antapani Bandung 40291 Email: [email protected] Website: www.ellunarpublisher.weebly.com Selamat Pagi Bandung; Ellunar, 2015 xiv + 266hlm., 14.8 x 21 cm ISBN: Cetakan pertama, Maret 2015

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 :

1.

Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata. Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan, dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan. Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi. Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.

Goenawan Mohamad

Untuk: Seluruh sahabatku di muka bumi ini Terima kasih

“Masa-masa itu, mungkin saja bisa hilang karena tersapu oleh ombak, tertiup terbang oleh angin atau bahkan juga musnah ditelan oleh kegelapan. Tetapi, dengan sebuah goresan pena sederhana, setidaknya, masa-masa itu akan terus hidup dan abadi.” (Bakhrul Amal)

Kata Pengantar

Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Semenjak kata-kata itu datang

dan

mengikrarkan

berhamburan diri

untuk

bersama

kenangan

menuliskan

setiap

masa bab

remaja, dengan

aku penuh

pengkhayatan. Kepingan-kepingan kecil itu kususun bak puzzle yang kutemukan di rak mainan masa kecilku. Hingga akhirnya, kini, di penghujung tahun 2014, naskah sederhanaku telah rapi dan siap disajikan kepada khalayak. Novel ini, bukanlah sebuah novel yang sekadar menceritakan bagaimana bahwa gejolak-gejolak masa remaja itu berapi-api, tetapi juga, novel yang menampilkan betapa di balik kegarangan anak muda selalu ada sisi keromantisan yang tersembunyi. Entah itu karena cinta, karena pengalaman yang berulang-ulang, atau juga karena ikatan batin yang erat. Dan di sini, Samudra adalah kisah tak bertepi yang secara perlahan menuntunku ataupun juga kita untuk terus belajar menikmati hal-hal unik itu. Tentu, dengan begitu banyak kesadaran, aku hanyalah sebuah kelemahan tanpa kelebihan-kelebihan orang lain yang menjadikannya sebuah kekuatan. Sama seperti Samudra juga, yang tak bisa hidup dengan

menafikan orang-orang sekitarnya. Untuk itu, rasanya, aku perlu berterima kasih kepada Allah, Nabi Muhammad S.A.W, Ayah dan Ibu, serta Nenek yang secara tak sadar berkolaborasi membentuk pribadiku. Terima kasih pun kusematkan untuk kakak dan adikku, Salamah Agung, Muhammad Alwi, dan Jiddi Adibia yang terus memberikan dukungan tak henti-henti. Selanjutnya, untuk sahabatku Benny Suhada, Erwin, Ahmad Prayogi, Hidayatul Ikhsan, Anto, dan segenap keluarga besar Solidaritas yang menyenangkan masa mudaku bahkan sampai saat ini. Untuk Paman Alam Darussalam suporter anarkis yang tidak peduli apapun pertandingannya yang penting rusuh. Untuk komunitas Payung: Rashid, Husni, Fajar, dan Febri. Untuk kawan peneliti di Satjipto Rahardjo Institute: Hasan, Bowok, Mas Unu, Mas Said, Mas Luluk, Mas Syukron, Galang, dan seluruh jajarannya. Untuk komunitas Dialog: Kris, Adryan, Jimmy, dan lainnya yang perlahan mulai tak tampak batang hidungnya. Tentunya juga, terima kasih kepada sahabat di Just A. Library. Tidak lupa juga komunitas Rumah Kertas,

Cirebonnews,

Aboutcirebon,

Cirebon

Post,

Cirebon-trust,

Semarangdaily, Satjiptorahardjo, Papernoise, JunkS4Charity, Paramonster, SOFIInstitute, Koalisi Semarang, Perludem, Rumah Buku Simpul Semarang, Sekolah Tan Malaka, komunitas Dewa Orga, IMMKN UNDIP, KSS, Jingga Media, semuanya matursuwun sanget. Dalam penulisan buku ini, bantuan secara penulisan dan syarat isi cerita juga rasanya perlu untuk disebutkan sebagai tanda penghormatan: kepada Haji Umuh Muchtar, Bung Rocky Gerung, Kakanda Yudi Latif, Prof Erlyn, Prof Suteki, Prof Yos Johan Utama, Haji Pidi Baiq, Mas Akhmad Sahal, Mba Sinta Ridwan, Kang Maman Imanulhaq, Bapak Jamali

Sahroji, Kang Said Aqil Siraj, Kang Mamang Haerudin, Abuya Husain Muhammad. Tidak lupa juga penulis berterima kasih kepada Om Maman Mahyana, terima kasih Om atas kritiknya di suatu senja yang begitu menghanyutkan. Akhirnya, tak ada suatu hal pun yang sempurna kecuali Tuhan. Tak ada suatu hal pula yang tak berubah selain perubahan itu sendiri dan juga Tuhan. Oleh karena itu, aku yakin, bila gading yang kokoh saja mampu retak apalagi novel yang teramat remeh ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam pembacaan buku ini. Agar, kedepannya nanti, kita bisa selalu menaruh harapan bahwa kita bisa berjalan bersama-sama dalam kebaikan yang kita sepakati seluruhnya. Amin.

Semarang, 1 Desember 2014

Daftar Isi

Puisi Asmaradana (Goenawan Mohammad)

VI

Kata Pengantar

IX

Daftar Isi

XII

-

I Pembukaan

1

1. Bayang-Bayang 2. Seragam Baru Hasil Jahitan Ibu 3. Wejangan Sopir Angkot 4. Hari Pertama, Hampir Telat 5. Kantin, Teman SMP, dan Keributan! 6. Ayah 7. Tengok Sikitlah 8. Ruang Kelas dan Sahabat Baru

-

II Surat dan Percintaan 9. Tentang Surat 10. Siapa? 11. Menaruh Surat Balasan 12. Namamu Heldy 13. Heldy dan Engel dari Planet Lenski 14. Merokok 15. Surat Kedua Melina

55

16. Penasaran 17. Yang Teramat Cantik 18. Bahagia Mel, 19. Senin 20. Cinta

-

III Persahabatan

132

21. Menegangkan! 22. Dua Rasa 23. Tenang 24. Tenda Tanda 25. Di Mana Mel 26. Pelangi 27. Merubuhkan Tenda dan Pertarungan 28. Kembali Lagi

-

IV Hikmah

192

29. Di Balik Pak Cegu 30. Ini Sulit Sam! 31. Marahnya Ibu 32. Terima Kasih Bah

-

V Perpisahan 33. Makan Berdua 34. Harus Selesai Semua

216

35. Mulai Beda 36. Kacau 37. Pesan dari Abah 38. UKS 39. Tentang Sam 40. Menentukan Akhir 41. Napas Baru Profil Penulis

266

I Pembukaan

1

Bayang-Bayang And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it. – Paulo Coelho

Ini bukan tentang cinta, ini soal bagaimana mengakhiri sesuatu yang sudah dimulai dengan baik. Taman kota malam itu terlihat begitu indah. Sinar-sinar menyala di antara hijaunya tumbuhan. Air mancur menjulang tinggi menambah kesegaran. Melina duduk tertunduk di kursi kayu yang panjang. Di atas kepalanya tepat lampu taman yang menyala seperlunya. Pipinya penuh butiran air mata. Tak diseka, tak pula diusap. Melina benar-benar sedang menikmati rasa pedih itu. Sam duduk di sebelahnya dengan tenang. Wajahnya ditadahkan ke atas menatap ribuan bintang. Kakinya digoyang-goyangkan ke samping dan ke bawah. Sam mungkin tak mengerti apa yang harus dia lakukan. Biarlah. “Tapi Sam, kenapa kamu gitu?” “Gitu gimana Mel? Aku kan udah bilang kalau ini soal waktu aja.” “Kapan?” “Sampai kamu mencintai Samudra, bukan Heldy. Aku tau, kamu mikirnya aku ini Heldy dan kamu ini Engel. Ya, mereka mungkin emang sudah pacaran, tapi untuk Samudra dan Melina itu belum.” 2

“Udah!” “Belum!” “Udah Sam!” “Belum!” Melina menghela napas. Suara udara dari hidung mancungnya terdengar cukup keras. Dia mungkin menahan kesal. “Sekarang kasih aku alesan kenapa belum?” Melina mulai sedikit tenang. “Karena selama ini, kamu hanya tau aku itu seperti apa yang kamu baca dalam surat. Itu padahal bukan aku, itu Heldy. Aku brutal, aku tak bisa diatur, apalagi untuk bisa berpikir tenang seperti Heldy. Beda, Mel.” “Tapi aku bakalan bisa kok nerima kamu yang bukan Heldy.” “Belum tentu.” “Bisa!” “Belum tentu. Orang itu gak bisa suka sama dua orang yang sifatnya berbeda. Itu pasti, apalagi orangnya gak pernah ada, cuma bayang-bayang.” “Aku bisa, air mataku sudah membuktikan bahwa aku bisa.” “Bukan jaminan, air matamu itu tetap untuk Heldy, bukan Samudra.” “Terus gimana aku ngeyakinin kamu?” “Biar aku yang tau jawabannya sendiri. Ada hal yang gak perlu dijelaskan Mel, kamu harus paham itu, kata Heldy pun begitu.” “Tapi Heldy lupa, ada perasaan juga yang tidak bisa dijelaskan. Dan perasaan itu ketika tak sesuai, rasanya sakit sekali.” 3

“Ya mungkin kamu benar.” “Aku bakal berusaha Sam.” “Semoga saja.” Suasana mendadak hening kembali. Kini, keduanya sama-sama tertunduk lesu dan tak bertenaga. “Lalu kenapa kamu mau nemenin aku?” Melina memberanikan diri untuk memulai perbincangan kembali. Suaranya begitu pelan dan lebih lembut daripada sebelumnya. “Itu bedanya Mel, aku mencintai Melina bukan Engel. Suratmu itu hanya supaya aku tau bagaimana keseharianmu, kamu suka apa dan bagaiamana. Aku gak sampe menyukai Engel.” Mereka berbicara masih tak saling tatap. Tangan pun berjauhan seperti orang yang tak saling mengenal. Kedua remaja itu memastikan hal-hal yang rumit. Mereka sedang belajar menentukan apa yang pada akhirnya pun tak jelas. “Boleh aku minta satu hal kepadamu Sam?” Melina menoleh. Jilbabnya terlihat kusut basah penuh keringat. Matanya sayu dan merah. “Apa itu?” Sam pun menghadapkan wajahnya kepada Melina. Tiga jam lebih mereka bertukar kata, baru sekarang saling melihat. Benar-benar aneh. “Aku mau merasakan pelukanmu, yang nyata yang tak cuma sebatas kata-kata dalam penutup surat.” “Hah? Kamu serius?” “Serius dan ingin secepatnya.” 4

“Oke, ini pilihan yang sulit ditolak.” Keduanya berpelukan. Bulan dan cahaya-cahaya mengilap menjadi saksi bisu dari pertemuan itu. Rasa haru bercampur aduk dengan gelisah dan rindu. Ini masih tetap bukan cinta, ini hanya awal ataupun akhir yang tak satu pun dapat menjawabnya. Mereka menikmati keraguan penuh suka duka dan air mata. Tenanglah, tenanglah wahai manusia, alam raya menyapa dengan khidmat. Kalian menikmati, kami akan memberikan senyuman padanya yang saling berbagi cinta. Desir angin datang dengan cukup. Bunga-bunga matahari bergerak berhimpitan penuh keriangan. Tak ada suara, tak ada bising, tak ada gegap gempita. Semuanya tampak baik dan romantis. Baru sekitar dua puluh detik mereka berpelukan, tiba-tiba saja anak kecil berlari ke arah mereka untuk mengambil bola. Bola itu jatuh tepat di hadapan kedua anak SMA yang sedang dimadu kasih dan berpeluk tubuh. “Iiiiiih Kakak-Kakak pacaraaaaaaaaaaan, pornooooooo!” Sam dan Melina kemudian melepaskan pelukan. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pipi mereka merona menampakan malu. Air mata Melina kini hilang. Kebimbangan Sam juga sirna. Semoga saja tidak begitu cepat mereka melupakan malam ini. “Terima kasih ya, Sam.” “Sama-sama, Melina.” “Kamu mau kan nganter aku pulang?”

5

“Ke mana pun Mel, asalkan itu bisa bikin kamu merasa tenang, aku suka.” “Ya udah aku gak jadi pulang.” “Kenapa?” “Karena aku merasa tenang kalo ada di sampingmu, jadi untuk apa aku pergi.” “Ah kamu emang pinter ngerayu, pinter mengaduk-aduk perasaan orang.” Ini hanya pembuka. Ini juga akhir daripada cerita. Setelah perpisahan kenaikan kelas, semua keadaannya telah jauh berbeda. ***

6

Seragam Baru Hasil Jahitan Ibu A boy’s best friend is his mother - anonymous

Cirebon, awal Juli, 2006 Beginilah awalnya. Namanya Samudra, seorang remaja yang baru saja terdaftar sebagai salah satu murid SMA di Kota Cirebon. Tubuhnya kurus, rambutnya sedikit ikal tak teratur, telingannya lebar dan matanya sipit. Dan saat ini, dia sedang tertidur pulas dengan hanya mengenakan kaos Lekton beserta celana boxer untuk menutupi kelaminnya. Dia tidak memiliki nama panjang. Orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan “Sam”. Ya, Sam, sekilas lebih mirip julukan sebuah negara adidaya, Amerika Serikat. Dia tinggal di rumah sederhana bersama dengan adik, nenek, dan kedua orang tuanya. Tidak banyak barang mewah di kediaman kecil itu, hanya meja-meja dan kursi serta beberapa lukisan kaligrafi. Jika memang harus dicari yang berharga, sepertinya ribuan tumpuk buku milik ayahnya adalah yang sangat istimewa. Senja telah pergi cukup lama. Selimut gelap mulai menutupi wajah sebagian bumi. Bulan yang merekah terlihat begitu indah dan seakan tersenyum. Malam semakin larut, bintang-bintang yang menari berkerlapkerlip pun kian terang-benderang. Cahaya-cahaya kecil seolah mengecup 7

kening Sam yang tengah tertidur. Mereka seraya berkata, “Sampai jumpa esok hari.” *** Kasepuhan, Cirebon Awan-awan kelabu yang hampir sebulan penuh menyelimuti Kota Cirebon perlahan telah menghilang. Menurut mitologi Yunani, hujan dan petir adalah tindak-tanduk dari dewa bernama Zeus. Semenjak Zeus pergi, tidak ada lagi tarian-tarian ikan penikmat hujan. Sang surya yang semula bergumul dan tak kunjung memancarkan sinarnya, kini telah kembali. Bumi Pantura pun menjadi cerah senyatanya. Tidak ada lagi dongeng dan sihirsihir di awal bulan Juni. Semua mulai bisa beraktivitas kembali. Pagi itu benar-benar pagi yang sunyi. Cahaya matahari begitu irit menyelinap dan menembus bagian dinding awan. Suara lantunan pujian terdengar sayup saling berebut. Kokokan ayam belum lama pergi, gemanya masih terngiang jelas di telinga. Dedaunan terlihat begitu segar dengan tetesan embun sisa semalam. “Jam berapa ini, ayo bangun pemalas!” “Iya, Bu, sebentar.” “Ayo cepat!!” “Iya, iya.” Dengan masih menggunakan daster, seorang wanita kurus berambut hitam secara tegas menarik-narik kaki anaknya. Sesekali dia tepuk-tepuk pantat anak lelakinya itu dengan keras. Entahlah, mungkin memang karena anaknya begitu malas, dia mulai jenuh dan akhirnya pergi meninggalkan kamar. 8

“Bu, ini sudah bangun.” “Halah terserahlah, masa depanmu itu kan untukmu bukan untuk Ibu.” “Siap komandan.” Belum saja kakinya menjauh, kepala ibu-ibu dengan mata sipit itu kembali menoleh. Lehernya dia tarik ke belakang, dia mengintip sedikit dari pinggir daun pintu. Dia sempat menyajikan wajah kecutnya sebelum akhirnya kembali pergi tak menghiraukan. Suasana rumah yang sebelumnya sepi itu menjadi ramai. Adegan antara ibu dan anak tadi berhasil membuat panik siapa pun yang mendengarnya. Suara mereka berdua sama-sama keras dan tak mau mengalah. Satu per satu kegiatan mulai bermunculan. Kompor gas dengan apinya yang besar menyambar teko. Terdengar juga bunyi deras air dari gayung yang dikeluarmasukkan ke dalam bak berulang-ulang. Pintu rumah dibuka dan “Brrrr,” udara dingin masuk perlahan menusuk dan menghujam dada. Dua puluh menit telah berlalu … “Bu, Sam tidak makan ya, buru-buru sekali ini.” “Ini sudah Ibu siapkan padahal,” lengan kiri Sam ditarik cukup kuat, “makan ya sebentar.” “Ih Bu, ini kan hari pertama. Sam malu kalau sampe terlambat.” “Sebentar sajalah Sam, sedikit ya, Ibu suapin.”

9

“Haduh Ibu, kaya anak kecil aja, ya uda iya, Sam makan dulu,” Sam kemudian menengok ke arah meja makan. “Ada lauk apa emang, Bu?” “Ini nasi kuning sama dadar,” ibu Sam memberitahu sambil menunjuk masakan yang telah siap disajikan. “Duduk sini di samping Ibu.” “Iya, Bu.” Sam kini duduk dengan rapi. “Kamu kerasan gak ketika MOS kemarin?” “Lumayanlah Bu, tidak begitu membosankan, hanya sedikit lelah aja.” “Kok bisa?” “Iya, lama sekali MOS-nya, banyak membuang-buang waktu dan kesannya cuma sekadar ingin memberitahu kita, kalau kita ini hanya sebatas anak ingusan yang harus nurut apa kata kaka kelasnya.” “Jangan terlalu memakai perasaanmu, apalagi ujungnya cuma untuk mikir negatif sama orang lain.” “Loh, emang kenyataanya gitu kok, Bu,” Sam terlihat kesal, dia menghentikan gerak tangannya. Sendok dan garpu yang semula dipegangnya begitu erat, tiba-tiba saja dilepaskan. “Bener kan Bu tapi?” “Ya suda, jangan berdebat ah, mau bener atau tidak yang penting itu cepat dimakan lagi, katanya terlambat.” “Ibu yang mulai, yeee,” Sam sedikit ngeyel, dia kemudian tertunduk dan melanjutkan makannya. “Abis kamu lucu, dari dulu gak berubah, selalu penasaran dan sukanya marah kalo debat. Kalo udah diberitahu dan gak sesuai, pasti aja keluar sifat gampang sekali marahnya.” 10

“Biarin ah, namanya juga khas.” “Iya terserah apa kata kamu aja deh.” Dari pagi buta hingga suara burung-burung kecil menghilang, kedua orang itu masih saja saling tidak setuju. Ibunya sering sekali memancing marah anaknya. Sementara anaknya tidak pernah hafal, dia selalu saja masuk ke dalam jebakan ibunya. Sekilas memang mirip film Tom and Jerry. Mereka duduk dalam posisi yang bersebelahan. Meja makan di depan mereka hanya berisi dua piring nasi kuning dan satu telor dadar besar. Sementara dua kursi yang berhadapan dengan mereka dibiarkan kosong. Biasanya kursi itu diisi oleh ayah dan adik Sam. Ya, mungkin mereka masih sibuk pagi itu sehingga hanya menyisakan dua orang yang selalu berseberangan. Di ruang makan itu terdapat satu lukisan besar bergambar Kabah. Lukisan itu konon didapatkan langsung dari Mekah dan telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. “Bu sudah ya, sudah Sam habiskan seperti permintaan Ibu.” “Iya Sam, salam dulu sini sama Ibu.” “Iya Bu, Sam berangkat ya.” “Oiya Sam,” Ibu Sam bangun dari kursinya. Dia rapikan baju seragam Sam, anaknya. “Hati-hati, dua kancing di bawah itu jangan kamu pegang keras-keras.” “Kenapa Bu?” “Ibu dadak menjahitnya tadi malam karena Ibu tahu ternyata dua kancing itu telah lepas.” 11

“Iya Bu, terima kasih.” “Hati-hati ya anakku, jangan bandel, jangan buat malu orang tua, tuntut ilmu dengan rajin.” “Baik Bu, terima kasih juga Bu, telah menjahit baju baru ini sehingga tidak rusak.” Sam pun mulai menghilang jauh dari pandangan ibunya. Dia terlihat tersenyum dan bangga dengan baju barunya. Dia pun (mungkin) merasa sangat terkesan dengan perhatian ibunya. Dia juga bisa saja malu, ya, malu karena ibunya begitu detail memperhatikan pakaiannya, sehingga kancing yang copot pun masih sempat dijahit. Ya, begitulah Ibu, seberapa kesalnya dia terhadap anaknya, dia tidak akan berubah. Dia selalu ingin melihat anaknya tampil yang terbaik di hadapan teman-temannya. Dia tak akan mungkin menelantarkan anaknya dengan rasa malu. Dia bahkan tidak menghiraukan rasa kantuknya demi menjahit dua buah kancing yang mungkin tidak dipikirkan sama sekali oleh anaknya. ***

12

Wejangan Sopir Angkot

Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi “Dzahabat haifun liadyaanihaa‖. Arti dari pepatah itu adalah “pergilah angin itu mengikuti kebiasaanya”. Kalimat singkat di atas cukup mewakili Sam pagi itu. Dia tahu bahwa jamuan makan pagi Ibu bisa membuatnya terlambat, tetapi dia tidak peduli. Dia selalu memilih untuk dapat pergi dengan tanpa meninggalkan perasaan bersalah. Jalan di gang rumah Sam tampak sedikit basah. Bau pasir yang semerbak menemani langkah paginya. Beberapa kali Sam terlihat meloncat kecil menghindari genangan air yang cukup dalam. Ya, memang begitulah suasana kampung, boro-boro punya waktu untuk mengeluh, wong dibuatkan jalan saja sudah sangat bersyukur. Harapan Sam di hari pertamanya masuk kelas cuma satu, dia tidak ingin datang terlambat. Dan seolah mengamini doa Sam, tak berselang lama angkutan kota kemudian berhenti tepat di depannya. Sam pun menghilang, jalan besar di ujung gang rumah Sam pun kini sepi. “Dek, katanya SMA 1 itu SMA favorit, karena banyak orang-orang besar itu lahir dari SMA itu?” “Tau dari mana aku SMA 1?” “Itu bet-mu ada penandanya!” 13

“Oh, hehe. Ah, mana aku tau Pak, memang sih gosipnya begitu, tapi jujur loh Pak, ini saja aku malah sudah malas sekolah.” “Loh mengapa?” “Ya biasalah Pak, males aja.” “Kamu harusnya bersyukur Dek, punya kesempatan sekolah dan menempuh pendidikan yang lebih baik. Bayangkan, Bapak ini hanya lulusan SD dan menyesalnya sampai seumur hidup.” “Memangnya kenapa Pak, kok cuma sampai SD?” “Ya dulu kan mana ada anak orang kere boleh sekolah tinggi. Duit makan bisa buat beli beras aja sudah untung.” “Kasihan sekali ya, Pak.” “Iya, makanya kamu harus semangat, milikilah mimpi yang tinggi, bangunlah negeri ini, jangan pernah lupa untuk tetap menengok ke bawah.” “Iya Pak, amin.” Sejak dari SMP memang, Sam selalu memilih duduk di depan, di sebelah sopir angkot. Sam merasa lebih nyaman duduk di depan. Di samping dia aman jikalau ketiduran, dia juga suka mendengarkan ceritacerita haru orang kecil. Untuk ukuran anak seumurannya, Sam mungkin sudah memiliki pengalaman yang lebih maju daripada teman-temannya. Perjalanan Sam menuju sekolah cukup jauh. Jarak rumah dan tempatnya menimba ilmu sekitar 2 km lebih. Wajar, jika pagi itu dia banyak sekali mengobrol dengan sopir angkot. “Ini sebentar lagi sekolahmu sampai.” “Iya, Pak.” 14

“Kamu murid baru ya?” “Kok tau Pak?” “Bajumu itu masih mengilap, masih kelihatan cap-cap perjuangan tangan ibumu di bajumu itu.” “Haha Bapak bisa aja.” “Iya Nak, cap tangan itu yang Insya Allah akan membawamu pada kesuksesan, cap itu pulalah doa-doa yang tak kamu sadari.” “Maksudnya?” “Ya dalam setiap jerih payah orang tuamu selalu terselip doa. Doa itu berupa harapan agar anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya.” “Ah, Bapak ini bisa aja.” “Benar loh ini, nanti kamu bakal tumbuh dewasa dan pasti mengerti.” “Masih jauh Pak.” “Ya memang, tapi bukankah mempersiapkan itu lebih daripada tidak mempersiapkan sama sekali?” “Aku gak ngerti, gimana?” “Ya kalau kamu siapkan masa depanmu dari sekarang, ketika saatnya tiba nanti kamu tidak akan pusing-pusing lagi harus melakukan apa. Sedangkan kalau kamu tidak fokus atau bahkan tidak sama sekali mempersiapkannya, kamu seperti seorang yang berusaha menangkap angin.” “Yang ada masuk angin Pak bukan nangkap angin, dipikirnya bola.” “Hahaha!”

15

Laki-laki berumur dan anak muda yang sedikit slenge’an itu mengobrol ngalor-ngidul tak karuan. Dari mulai membicarakan harga beras sampai selipan doa-doa dalam baju sekolah. Sebagian orang menganggap mereka sedang berbasa-basi, tetapi tidak bagi Sam. Obrolan-obrolan kecil itu yang nantinya akan membawa Sam pada pengalaman yang menakjubkan. “Kiri-kiri, Pak.” “Iya, iya, haduh.” Mobil angkot itu mengerem dengan mendadak. Tiga penumpang wanita yang duduk manis di kursi belakang pun terkejut. “Hati-hati, Pak.” Wanita yang menggunakan jilbab putih menegur dengan keras. “Iya, makanya jangan mengobrol aja kalau nyetir mobil tuh.” Seorang ramaja putri berbaju SMP tak ketinggalan berkomentar. Ada pula ibu-ibu tua di samping anak SMP itu, wanita renta itu lebih memilih diam. Bapak sopir angkot yang menggunakan topi merah dan baju safari itu hanya tersenyum. Dia tidak marah, dia juga tidak menanggapi, dia justru tertawa kecil tanpa perlawanan. Sebelum angkotnya berjalan jauh, dia malah menyempatkan memberikan lambaian terakhir pada Sam. “Semangat anak muda!” “Iya Pak, sukses.” Sam pun berjalan pergi menuju sekolah barunya. Sopir angkot tadi adalah pantulan-pantulan wajah rakyat. Dia tidak banyak berteori. Dia hanya menampilkan matanya yang sayu dan tangan keriputnya untuk berpuisi. Wejangannya begitu mengena dan menyentuh 16

kalbu terdalam seorang murid SMA kelas 1 yang tadi duduk tepat di kursi samping kemudinya. Hari ini adalah hari bersejarah bagi Sam. Setelah melewati tiga hari masa orientasi sekolah, Sam akhirnya diperbolehkan memakai seragam SMA kebanggaannya. Dia kini tak lagi anak-anak, dia telah menginjak masa remaja yang tentunya masa-masa yang penuh dengan pergolakan. ***

17

Hari Pertama, Hampir Telat

Orang bijak berkata, “Masalah itu harus dihadapi, tetapi alangkah lebih baiknya lagi jika kita menghindari masalah.” Quote itu mungkin tepat disampaikan kepada lelaki keras kepala berbadan kurus yang tengah berjalan menuju sekolahnya. Dia sedang menghadapi suatu masalah baru, masalah karena kemalasannya bangun pagi, masalah itu bernama TERLAMBAT. Pohon-pohon pinus dari balik pagar sekolah menyambut kedatangannya. Rumput-rumput kecil yang memenuhi halaman depan pun terlihat bak penari yang anggun. Burung-burung geraja berterbangan menghindari langkahnya. Hentakan kaki pemuda itu begitu kacau. Dia gelisah dan takut akan kenyataan yang hendak dia hadapi. “Pak belum terlambat, kan?” Bapak tua dengan kumis lebar menyapa pandangannya. Bapak itu memakai baju putih dan celana hitam penuh dengan kantong. Dia adalah satpam sekolah. Dia juga menjadi wajah pertama yang dilihat Sam di hari perdananya menggunakan seragam putih abu-abu. “Belum, segera masuk ya.” “Iya, Pak.” Sam tersenyum lebar, dia merasa beruntung. “O iya Pak, kelas sepuluh-tujuh di mana ya?” “Masuk aja lewat pintu kiri itu, setelah melewati masjid, itu kelas sepuluh-tujuh, Dek.” 18

“Oke Pak, terima kasih.” Langkah kakinya mulai dipercepat. Sam sadar, meskipun gerbang belum tertutup, dua puluh menit sudah dia terlambat. Beberapa murid dan guru-guru yang menggunakan seragam hijau PNS terlihat membuntuti langkah Sam. Ternyata pagi itu bukan hanya Sam, tetapi cukup banyak juga yang tidak mematuhi aturan. Namun Sam tak menghiraukan itu, Sam tetap pada keyakinannya untuk segera sampai di kelas. Di usianya yang masih SMA itu, Sam mungkin belum sempat membaca kata-kata Stepan Colbert. Stepan Colbert adalah pelawak kelahiran Washington DC. Dia pernah berkata, “truthinnes.” Makna dari kata itu adalah, “keyakinan tidak diperoleh dari buku, akan tetapi dari hati nurani”. Seperti itulah Sam, dia tidak pernah gentar pada apa yang diyakininya meski kadang itu tidak rasional. Masjid kecil yang dikatakan oleh satpam tadi telah berhasil dia lewati. Bangunan satu lantai dengan ukuran 7x7 itu menjadi titik awal di mana Sam menuju kelas barunya. Betul-betul tidak ada aktivitas di luar kelas, sepi nyenyap jalanan mengiringi langkahnya. Semen retak yang

mengelupas kadangkala

merumitkan laju kakinya. Mata tipis Sam memandang begitu jeli. Apapun yang ada di hadapannya tersapu dan terekam baik dalam otaknya. Telinga besar yang menggantung di wajah lonjong itu begitu tajam mendengar riuh-riuh kecil suara dari dalam kelas. Kali ini dia sepertinya mulai tenang, sedikit nyaman atau mungkin bahkan tak lagi takut. 19

Ayo maju Sam. “Tok-tok!” Pintu kelas sepuluh-tujuh bergetar. Suasana gaduh mendadak hening. “Assalamualaikum.” Sam telah berdiri tepat di depan kelas. Guru wanita berbaju muslim dengan jilbabnya yang panjang telah menunggu kedatangan Sam. Badan ibu guru yang gemuk itu seolah menakut-nakuti Sam. Tetapi Sam, lagi-lagi dia tidak menunjukan kekhawatirannya, Sam begitu percaya diri. “Walaikumsallam.” Seluruh kelas berteriak keras. “Boleh saya masuk Bu?” Sam menunduk dengan tangan sedikit memohon. “Silakan.” “Terima kasih.” Sam berjalan melenggang memasuki kelas. “Eh tunggu-tunggu!” “Iya Bu?” “Kamu boleh masuk, tapi belum boleh duduk. Jelaskan dulu, kenapa kamu terlambat?” “Hm a ekh hm …” Sam menggaruk-garuk kepala. Dia mencari ide untuk membuat guru barunya itu merasa iba. “… kesiangan Bu.” “Ah, itu bukan alasan yang baik, sudahlah duduk sana, di pojok itu kosong.” “Iya Bu, tidak apa-apa.” “Lain kali jangan diulangi.” 20

“Iya Bu, maafkan saya.” “Cepat sana ke tempatmu.” “Iya Bu.” Seluruh murid-murid kelas memandangi Sam dengan sinis. Sembari mengucapkan permisi, Sam menuju kursi kosong di pojok kelas. Tasnya yang besar berwarna hitam bergoyang-goyang menyentuh punggungnya yang krempeng. Sam sudah seperti artis saja pagi itu, dia berhasil mencuri perhatian kawan-kawan barunya. “Sini duduk sini Mas.” “Makasih Mas.” Dia duduk tepat di samping anak muda berbadan tinggi dan berkulit hitam. Wajah teman sebangkunya penuh berselimut jarawat. Celana lelaki itu dilipat hingga menunjukkan dengkulnya. Sam hanya tersenyum kecil melihat kejadian itu. “Siapa namamu?” “Nawir, kamu siapa?” “Sam, panjangnya Samudraaaaa, hanya Samudra.” “Oh tidak penting sekali namamu.” “Ya tidak apa-apa.” “Dari SMP mana?” “SMP 1.” “Pantesan.” “Pantesan kenapa? Emang kamu dari SMP berapa?” 21

“Oh gak papa kok, aku SMP 5.” Tas Sam kini tak lagi membebani punggungnya. Sam telah duduk rapi. Dia menahan lelah akibat berjalan jauh menuju kelas. Kedua tangannya dia majukan ke depan sebagai bentuk peregangan. Oh Sam, banyak sekali tingkahmu. “Hey Sam, ngomong-ngomong kenapa kamu terlambat?” “Entahlah, aku bangun terlalu siang dan ibuku mengajakku makan tadi, Wir.” “Kamu beruntung, guru bahasa Inggris kita ini orangnya baik, lain kali kalau bukan Bu Ida, jangan coba-coba deh terlambat.” “Loh mengapa?” “Ibuku kebetulan guru bahasa Inggris juga di sini, tapi untuk kelas sebelas. Dia bilang sama aku katanya di sini kalau terlambat harus siap-siap saja dipermalukan di depan kelas,” Nawir dengan bangga menceritakan ibunya. “Oh begitu ya, pantes aja di depan pintu sekolah tadi tertulis kalimat „AKU MALU DATANG TERLAMBAT‟, rupanya ini toh maksudnya.” “Bukan begitu juga, tapi hukumannya yang akan buat kamu malu, berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran berakhir.” Nawir bercerita dengan wajah histeris. Dia berusaha menakut-nakuti Sam. Dia belum tahu kalau Sam orangnya begitu keras kepala. Sam bukan tipe yang mudah percaya dengan orang lain. Saat itu Sam, bisa jadi mulai menaruh kata-kata ini di dalam hatinya: when you know the reason, there is no more surprise (ketika anda tahu alasannya, maka itu bukan suatu kejutan lagi). Nawir telah memberi satu informasi 22

penting, informasi yang mungkin menjadi pegangan Sam ketika dia terlambat nanti. “Terima kasih atas informasinya ya Wir.” “Ya, kamu perlu tau ini, karena dilihat dari wajahnya, kamu ini orang yang suka sekali mencari masalah.” “Haha kamu ini, sok tau.” “Ya, sedikit lebih tau darimu yang jelas.” Jika Sam percaya bahwa yang pertama adalah penentuan dari bagaimana hasil sebuah akhir, Sam mestinya cemas. Awal pertama Sam dengan sekolah ini hampir saja dilaluinya dengan predikat buruk. Dia terlambat dan harus berdiri mengutarakan alasannya di dalam kelas. Jadi, jika awal pertama itu menjadi patokan, tentu kelanjutannya, Sam akan menemukan suatu masalah lain yang lebih besar. Sekali lagi Sam, ingat dan jadikan kata-kata ini sebagai alarm bangun pagimu, “JANGAN MALAS DAN TERLAMBAT.” ***

23

Kantin, Teman SMP, dan Keributan! It takes a long time to become young. – Pablo Picasso

Bel tanda istirahat telah berbunyi. Semua murid dari macam-macam kelas berhamburan keluar seperti kucing yang dibebaskan dari gelapnya karung. Tidak terkeculi, pada saat itu, Sam. Sam merapikan terlebih dahulu buku-bukunya. Dimasukkannya satu persatu buku-buku yang sempat dia keluarkan. Dia kemudian berlari untuk segera keluar kelas. “Sam, Sam, hey Sam!” “Iya ada apa?” Teman baru Sam memanggilnya dengan suara yang begitu kencang. Dia mencoba menahan laju Sam yang tak terkendali. Di depan pintu kelas, Sam berhenti. “Siapa ya?” Dia menunjuk sembari berjalan menuju arah teman yang memanggilnya. “Apa pernah ketemu ya? Lupa aku.” “Masa kamu lupa Sam?” “Bentar aku inget-inget dulu.” Sam memandangi kawan kelasnya itu dengan seksama. Dari ujung kaki hingga pangkal rambut dia susuri dengan begitu lincah. Matanya merekam. 24

Lelaki itu berambut belah tengah. Tingginya sekitar lima centi di atas Sam. Bajunya dikeluarkan dan celana begi-nya begitu ketat hingga memperlihatkan jelas bentuk kakinya. “Owalah, Benjamin ya, SD Kebon Baru?” Sam menepuk punggung seorang yang dia sendiri belum yakin betul itu Benjamin, sahabatnya sewaktu SD. Walaupun dalam posisi berhadapan, nuansa keakraban mereka memang mulai kentara. “Benar kan?” “Iya benar, untunglah kalau masih ingat. Aku kira kamu orangnya cepat lupa, ternyata ingatanmu lumayan juga.” “Satu hal yang tidak bisa kulupakan, kenangan masa kecil Ben.” “Haha, jadi kamu pikir aku ini bagian dari kenanganmu itu?” “Sedikit sih, hehe.” “Mau ke mana kamu?” “Ke kantin, ketemu temen SMP-ku, tinggal dulu ya, buru-buru.” “Oh oke, sampe ketemu di kantin kalo gitu.” “Siap!” Percakapan dua pemuda itu berlangsung cukup singkat. Tidak banyak hal yang mereka bicarakan. Bahkan terkesan hanya sebuah basa-basi-busuk saja. Sam melanjutkan kembali detak-detuk sepatunya menuju kantin. Rona wajahnya terlihat bersinar dan gembira. Entahlah, mungkin teman SMP yang hendak dia temui itu begitu istimewa baginya. Aduh di mana ya, Sam bergumam dalam hati. Bola mata Sam begitu sigap memperhatikan seisi kantin yang sungguh ramai. 25

Kantin yang menjadi destinasi Sam adalah kantin tengah. Kantin tengah itu cukup menampung sekitar lima puluhan siswa dan siswi. Di kantin itu terdapat aneka macam makanan, dari mulai soto, nasi ayam, hingga mi orak-orak. Wajar saja jika kantin itu menjadi rebutan. Dan kini Sam, di tengah-tengah kegaduhan itu. Dia gelisah serta berkeringat. Dia mulai menyerah mencari teman dekatnya. Dalam suasana hampir putus asa itu .... “Sam, di sini Sam!” Leher Sam menarik kepala lonjongnya untuk menoleh. Dilihatnya Cris sedang melambaikan tangan sembari asik duduk bersila. Cris tidak sendirian, di sampingnya ada seorang laki-laki yang bagi Sam, asing. “Woy Cris! Aku ke situ.” Pada tahun 2006 lalu, handphone belumlah menjadi suatu tren yang siapapun bisa memilikinya. Anak-anak SMA pada zaman itu lebih suka menggunakan fitur dan memainkan games yang ditawarkan, dibandingkan bertukar pesan atau bermedia sosial seperti saat ini. Jadi, wajar saja, apabila Sam saat itu masih mencari sahabatnya secara manual. “Hey dari mana aja? Aku mencarimu keliling kantin ini, hampir saja aku kesal dan kembali ke kelas.” “Ah, lemah sekali, laki-laki itu jangan gampang nyerah, karena di depan sana masih banyak hal-hal yang membuat kamu putus asa, kata bapakku sih itu.” “Tidak penting sekali kamu Cris, sok tua.” “Hahaha. O iya kenalkan ini Jenny, teman kelasku. Dia sama sepertimu, Slankers juga.” 26

“Oh masa iya? Senang berkenalan denganmu Jen, saya Samudra.” Cris, pria berdarah asli Batak itu kemudian menyudahi duduk silanya. Kakinya dia turunkun dari kursi dan bergegas memperkenalkan temannya, Jenny namanya. “Hey Jen, kurus-kurus begini hati-hati, kalau berantem dia jagonya.” “Bohong, si Cris itu yang mengajari.” “Haha, sudahlah.” “Nanti dia tunjukkan bagaimana caranya berantem Jen.” “Sial kamu Sam, itu kan kamu Sam!” Ketiganya kini telah saling berbaur, bercerita, dan bertukar pengalaman. Naga-naganya akan ada persahabatan baru. Semakin siang semakin bising, itulah ciri khas dari kantin tengah. Murid-murid wanita yang pandai bergosip

berdatangan dan

berkumpul menjadi satu. Mereka membicarakan style, sinetron, bahkan kadang pria-pria tampan. Gerombolan geng laki-laki juga kemudian tak ketinggalan ikut meramaikan. Pemuda-pemuda itu berebut keras menunjukan tawa. *** Dalam mitolagi Yunani, dikenal sebuah kawasan yang bernama Sparta. Setelah runtuh dan menyerahnya Athena, Sparta menjadi kota terpenting di Yunani. Sparta mengedepankan pasukan militernya sebagai garda terdepan untuk menunjukan kekuatan. Tidak heran, pasukan Sparta adalah pasukan yang ditakuti pada zaman dahulu kala.

27

Dalam istilah masyarakat Sparta, mereka yang berguna adalah mereka yang kuat dan tangguh. Adigium tentang “seorang laki-laki belum disebut laki-laki apabila belum bertarung” mungkin muncul dari berkembangnya Sparta. Di Sparta, anak-anak yang sakit-sakitan dan lemah tidak diperhitungkan. Para bayi-bayi terbelakang itu ditinggalkan dan dibiarkan mati dengan cara yang sungguh kejam. Seorang sejarawan ahli Sparta, Barry Jacobsen mengatakan, "Spartans weren't potters, they weren't artists—they did nothing but fight. By the time a Spartan boy was eight years old, he was trained to do one thing, and that was kill his enemy." Orang Sparta bukanlah seniman. Mereka (penduduk Sparta) adalah sekelompok manusia yang fokus hidupnya mengutamakan perkelahian. Yang mengejutkan lagi adalah ketika mereka berumur delapan tahun, mereka telah diajari untuk membunuh musuh. Budaya berkelahi selalu identik dengan laki-laki. Pada awalnya memang hanya sekadar untuk menunjukan kekuatan agar dapat meminang pasangan yang istimewa. Namun, lama-kelamaan menurut Lorenz, keinginan berkelahi itu menjadi seperti sebuah insting (fighting instinct) yang kemudian diwariskan pada generasi selanjutnya (inherited). Generasi laki-laki itu adalah (salah satunya) Sam dan Cris. *** “Bagaimana hari pertamamu Cris?” “Ya, membosankanlah, sama seperti dulu, sekolah itu hanya menyita waktu bermain saja, selebihnya tidak ada yang menarik.” “Hahaha sebatas itu?”

28

“Iyalah, sayangnya manusia banyak yang tidak jujur dan mereka lebih milih sok-sokan jadi anak yang rajin.” “Gila, sembarang sekali omonganmu.” “Ya fair-fairan aja ini mah.” “Besok-besok paling kamu bolos lagi kaya pas MOS tiga hari kemarin.” “Haha, iya, gimana gak males, kamu tau akulah Sam.” “Iya paham, kamu itu tidak mau diplonco dan ditertawakan orang lain, betul?” “Ya betul.” Sam dan Cris memiliki beberapa kesamaan, mereka berdua egois dan mau menang sendiri. Mereka juga tidak mau menuruti begitu saja apa yang dikatakan oleh orang lain. Bila sudah terlalu naik darah, kadang-kadang perkelahian menjadi jalan keluar terakhir bagi mereka. Pembicaraan mereka kemudian terpotong. “Hey hey, kamu yang bernama Cris itukah?” “Ya benar, gimana?” “Sini berdiri, ikut aku.” Seorang kakak kelas mendekati Cris dan mengajaknya berdiri ke pojok. Matanya mlotot dan tangannya tak bisa diam. Berkali-kali dia mengusap brewok-nya yang tebal. Dia diketahui bernama Dede. “Kamu katanya menantang aku bertarung?” Meskipun tinggi badannya lebih rendah daripada Cris, Dede terlihat tak gentar. “Benar tidak? Jawab!” 29

“Siapa? Salah dengar mungkin.” Cris terlihat begitu tenang. “Jangan ngelak, kamu itu emang dari SMP terkenal sok jagoan.” “Memangnya orang tidak bisa berubah?” “Banyak bicara memang!” “Manusia punya mulut, ya pasti bicara.” Sam hanya termangu, matanya terbelalak mendengarkan percakapan yang begitu serius. Sam memang telah menduga kejadian ini sebelumnya. Cris memang seringkali membuat onar. Tangan Sam kelihatan telah mengepal dan siap membantu Cris apabila terdesak. Ketika semua mata terfokus pada Cris dan kakak senior yang angkuh itu, tiba-tiba saja …. “Braaaat!” Suara hantaman datang dengan begitu keras. Satu orang senior secara tak terduga datang lalu memukul kepala Cris dari belakang. Merasa dalam posisi yang menguntungkan, Dede secepat kilat ikut menendang perut Cris. Perkelahian pun menjadi tak berimbang, dua melawan satu. Orang-orang yang berada dekat dengan posisi perkelahian itu segera berlari untuk menghindar. Mereka tak mau terlibat. Sam belum juga menentukan sikapnya, tetapi dari mimiknya, dia tak lama lagi segera mengambil keputusan. Wajahnya menatap Jenny yang tepat duduk di sampingnya. “Gimana Jen?” “Terserah Sam.” Dan benar saja. 30

“Jebreet!” sambil menerbangkan diri, Sam memukul Agam, kakak kelas yang datang terakhir, “brengsek kalau berani jangan kroyokan!” “Apa-apaan ini?” Agam terkejut. “Kalian kalau berani satu lawan satu!” “Heh siapa kamu?” Dede berkata cukup keras. “Aku Samudra, jika memang kamu dendam ingatlah wajahku ini!” Sam berbicara sambil menunjuk mukanya sendiri. “Sialan!! Dasar anak ingusan!” “Lalu kamu mau apa jika aku ingusan?” “Awas kamu! Tunggu!” Dua kakak senior tadi, Agam dan Dede, lari tunggang-langgang. Dede bahkan sempat terjatuh karena grogi. Kantin tengah mendadak histeris, wanita-wanita menjerit dengan keras. Ibu-ibu pedagang bahkan ada yang menangis memanggil nama Samudra. Jenny tak terkecuali menjadi bagian dari mereka yang heboh itu. Dia yang sebelumnya santai dan duduk tenang mendadak berdiri dan menampakkan wajah seramnya. Semua mata di kantin tertuju pada Sam dan Cris. “Heh sini kamu!” Cris tampak kesal. Wajahnya semakin memerah. Tawa dan senyum tipisnya hilang. Dia sepertinya ingin menyampaikan suatu hal yang begitu penting. “Apa kamu?” “Udah sini.” 31

Cris terus menarik tangan sahabatnya menjauh dari kantin. Dia tidak menghiraukan rasa sakit akibat tarikannya itu. “Sudah kubilang, jangan lagi bentuk nama yang buruk di sekolah ini.” “Bagaimana lagi, mereka terlanjur kurang ajar Cris.” “Diamkan saja, tidak semua masalah perlu kita lawan dengan kekerasan lagi. Ada kalanya kita harus diam dan tidak melawan. Kamu perlu belajar yang begini-begini.” “Sejak kapan kamu jadi seperti ahli strategi begini?” “Sejak semua orang menilai bahwa Cris adalah anak yang nakal dan pembuat onar. Aku tidak mau mengulanginya, cukup.” *** Hendrik perlahan berjalan mendekati Sam dan Cris. Wajah oriental dengan rambut klimisnya selalu menjadi ciri khas. Pria dengan gaya modis itu tersenyum kecil memandangi dua sahabat yang penuh amarah. “Mau apa kamu ke sini?” Cris menyentak. “Sabar, sabar, aku cuma nyampein pesan dari Dede dan Agam, katanya kalian ditunggu kakak kelas di toilet dekat kantin kelas satu.” “Di mana itu?” “Di pojok, arah sepuluh-tujuh.” Hendrik memang cukup akrab dengan mereka berdua. Dia kebetulan satu almamater SMP dengan para trouble maker itu. Beberapa hal kadang perlu diceritakan secara mendetail. Akan tetapi, untuk bagian ini rasanya tidak perlu. 32

Sam dan Cris akhirnya menemui sekitar dua puluhan kakak kelas IPS di toilet yang disampaikan Hendrik. Mereka kemudian bergumul, beradu kepal, dan saling menyakiti satu sama lain. Seperti sudah menjadi sebuah hukum alam, yang kecil selalu dikalahkan. Sam dan Cris harus menghadap wakil kepala sekolah akibat ulahnya. Sementara itu, Dede dan dua puluh kakak kelas lainnya dibebaskan tanpa hukuman dan sanksi apapun. Sebagai hukumannya, Sam dan Cris didudukkan dalam kursi yang sama. Mereka disuruh menunduk hingga jam pelajaran sekolah berakhir. Di atas meja dekat kursi mereka, telah tersedia dua surat panggilan untuk orang tua. “Biarkan ini menjadi cerita ya Sam?” “Cerita apa?” “Cerita kalo kita ini pernah mengalami jahatnya sebuah ketidakadilan, gak cuma fitnah tapi nama baik tercoreng loh.” “Ya, sudah ajalah, memang ini risikonya, sialan memang si Hendrik.” “Tapi kalau tidak mengalami hal ini, mungkin kita tidak belajar. Seengganya belajar untuk tidak mengulangi kejadian ini lagi.” “Semoga saja.” “Ya, semoga, namanya emosi kan datangnya kadang tak terduga, cuma kita yang bisa mengontrolnya.” “Tapi bukan berarti kalau kita dipukul diem aja kan?” “Ya bukan gitu, seperti yang sudah kuceritakan di kantin tadi, semua ada waktunya, semua ada waktunya.”

33

“Tapi yang terpenting, gelisahlah ketika melihat temanmu merasa kesulitan, itu kata ayahku sih.” “Ya tepat, aku rasa itu benar.” “Kalau sudah begini, aku rindu pada satu hal.” “Apa itu?” “Bantal dan kasurku di rumah.” ***

34

Ayah

Jika yang tersurat itu ibu, maka yang tersirat itu adalah ayah. Cerita ibu seringkali kita dengar, baca, dan resapi dalam tingkah laku yang jelas. Namun ayah, pengorbanannya adalah cinta yang tak berbicara. Perjuangannya adalah hati yang tanpa pernah kita ketahui. Sedikit yang bercerita tentangnya, padahal, butir-butir keringat, embusan napas lelah, dan keriputkeriput di sekeliling wajahnya, adalah cinta yang luas juga tak terbatas untuk anak dan istrinya. Tidak begitu banyak mungkin yang bernasib sama dengan Sam. Ketika dia berangkat sekolah, ayahnya tak menyambutnya cukup lama. Pada saat dia pulang hingga matanya hendak terpejam, ayahnya baru hadir. Ayah Sam adalah ayah yang sibuk, bisa kita katakan ayahnya gila kerja. Tetapi Sam, tak pernah berkomentar. Sam selalu menikmati keadaan itu. Sam seolah percaya pada satu hal: tidak ada ayah yang tega menyengsarakan darah dagingnya. *** Kasepuhan, Cirebon Kalender di tahun 2006 telah memasuki bulan Agustus. Bulan Juli kemarin, beberapa pristiwa besar banyak terjadi. Selain ditemukannya reruntuhan kapal induk milik NAZI di Laut Baltik, ada juga kabar tragis mengenai peperangan antara Israel dan Lebanon. Imbas dari peperangan itu tidak hanya terjadi di dunia Arab. Seorang pemuda muslim 35

bahkan menembak empat orang dengan satu luka parah di Washington, tepatnya di Federasi Yahudi. Begitulah info mengenai bulan Juli di tahun 2006. Mencekam …. Sam mungkin adalah orang yang sedikit beruntung. Gizi pengetahuannya terpenuhi dengan baik. Ayahnya bak kamus berjalan yang selalu menceritakan hal-hal baru kepada Sam, utamanya di pagi hari. Benar-benar seperti pemaksaan ideologis, huh. “Begitu Sam cerita bulan Juli-nya.” “Wah seru ya, Bah.” “Bukan seru atau tidak, tapi yang paling penting adalah wawasanmu jangan sampai kering.” “Gimana sih?” “Ya di manapun kamu temukan kejadian aneh, pikirkan dan renungkan, ini mah cuma iseng-iseng Abah aja suka cerita ke kamu.” “Owh iya.” “Satu lagi, dua mata itu melihat lebih tajam dari satu mata.” “Maksudnya?” “Jangan pernah memandang orang lain ataupun suatu masalah itu dengan sebelah mata, karena yang tampak kecil itu kadang besarnya luar biasa, begitu juga sebaliknya.” “Okeeeee, siap!” “Ya udah Abah mau mandi, mau siap-siap. Jangan sampai terlambat ya, Cung!”

36

Ayah Sam bernama Muhammad Iqbal. Dia bekerja di salah satu perguruan tinggi agama di Kota Cirebon. Rambutnya sudah beruban dan tidak memiliki tempat cukup banyak karena jidatnya yang begitu lebar. Lelaki yang sudah menginjak umur hampir lima puluh tahun itu bersama dengan istrinya, Rabiah, sama-sama bekerja keras membesarkan Sam. Langkahnya masih cukup tegap dan gagah. Tinggi badannya pun proposional meskipun perutnya sedekit menyembul. “Bu, Sam langsung berangkat ya!” “Eh, eh sebentar!” Sam mengangkat tasnya. Dia begitu terburu-buru saat itu. “Gak makan dulu?” “Gak, langsung aja deh.” “Deuh, pantesan kurus banget, dari dulu jarang sekali kamu makan pagi.” “Ya uda salam ah, assalamualaikum.” “Walaikumsallam.” Saat itu, Sam mungkin belum sadar betul tentang apa yang coba ditanamkan ayahnya. Dia masih begitu kecil untuk menerima makna dari sebuah pengajaran yang begitu dalam. Dia masih suka bermain, membuat kerusuhan, dan bertindak sesuka hatinya. Namun, suatu saat nanti dia pasti sadar betul bahwa ilmu serta wawasan dari ayahnya itu adalah senjatanya. Ayah Sam mungkin tidak seheroik dan seketat Chris Gardner. Ayah Sam juga bisa dikatakan tidak pernah menunjukkan jika dia berdarah-darah membanting tulang. Ayah Sam adalah ayah yang sekadar menjadi sadar, yang 37

tahu anaknya malas membaca, maka dia mendongengkan bacaannya kepada anaknya. Cukup bijaksana. Daun jati di dekat rumah keluarga kecil itu berguguran. Angin-angin pertanda datangnya musim hujan mulai berembus. Sisaan cetakan bulan di langit terlihat begitu putih pucat namun seksi. Selendang merah ibunya mengibas mendayu-dayu menyaksikan langkah Sam. Sam telah siap berangkat menuju sekolahnya. ***

38

Tengok Sikitlah Woman is a ray of God. She is not that earthly beloved: she is creative, not created. – Jalaluddin Rumi

Sampai juga pada bagian ini. Bagian di mana stasiun cinta seorang Samudra dimulai. Sam sebenarnya enggan untuk berbagi kisah cinta, dia lebih memilih diam ketika berbicara itu. Dia ingin menikmati getaran-getaran hebat itu sendiri .... Hujan turun begitu irit. Tidak terlalu besar dan bergemuruh, tapi cukup untuk membuat tanah yang kering menjadi basah. Banyak yang mengatakan bahwa suasana seperti ini begitu indah untuk dilewatkan begitu saja. Diiringi alunan instrumen Kiss the Rain dengan dentingan piano Yiruma, sekat-sekat tersulit ini kemudian dituliskan. Setiap manusia di dunia ini dianugerahi oleh Tuhan rasa cinta. Anugerah itu begitu indah dan sempurna, di samping daripada anugerah berpikir. Cinta seringkali membolak-balikkan keadaan. Di satu sisi cinta juga bisa mematikan bila kita telah diperdayanya. Di bagian yang lain, cinta juga menjadi begitu sangat spesial ketika bertemu dengan orang yang tepat. Itulah cara Tuhan menunjukkan kebesarannya. Yang jelas, cinta adalah cara memperlakukan pujaannya seperti dia memperlakukan dirinya sendiri. 39

*** Di kantin SMA N 1 Kota Cirebon, 2006 “Ah mana mungkin mana mungkin, jangan mengigau.” Erwin adalah salah satu sahabat baru Sam di kelas. Badannya cukup tinggi. Jika dia hendak mencuri mangga, dia tidak perlu mempergunakan alat bantu untuk melakukannya. Tubuhnya kurus ceking, parasnya sedikit mirip orang China. Tetapi, ampun, kata-katanya itu seringkali mematahkan semangat orang yang sedang jatuh cinta. Ya, begitulah Erwin. “Apa maksudmu tidak mungkin Win?” “Dia itu salehah, cantik, dan anggun. Perbaiki dirimu dululah sebelum berani mendekatinya. Daripada kamu menyesal.” “Itu membutuhkan waktu yang lama Win, gak bisa sambil jalan ya?” “Sepertinya sulit untuk seseorang melakukan dua pekerjaan sekaligus.” Sam dan Erwin terlibat perdebatan yang cukup sengit. Kantin pada waktu istirahat memang sangat ramai. Terkesan seperti tempat pelelangan ikan di kampung nelayan. Siswa-siswi yang berebut membeli makanan begitu cerewet dan tak terkendali. Suara Sam dan Erwin yang sudah mengurat pun tak terdengar keras di situ. Jika ingin menilai siapa yang salah, jawabannya adalah Sam. Dia bertanya pada Erwin tentang kemungkinannya mendekati Melina, siswi kelas sepuluh-tiga. Sam memang tidak pernah mengatakan kalau dia mencintai Melina. Sam hanya sekadar bertanya tentang bagaimana tanggapan Erwin bila dia berpacaran dengan Melina. 40

“Alah alah, itu orangnya datang Sam!” “Mana, Win mana?” “Itu!” Sambil melentangkan tangannya, Erwin menunjuk tepat ke arah Melina. “Ituloh itu!” “Wah iya.” “Dari belakang aja sudah anggun ya, bagaimana dari depan?” “Berlebihan kamu, biasa aja.” “Tapi mungkin bener juga, aku ga bisa dapetin dia ya, Win.” “Nah itu kamu tau.” Melina masih saja memunggungi kedua orang itu. Ujung jilbabnya menyelinap di antara puluhan kepala yang berebut nasi di warung paling tengah. Sam dan Erwin yang kebetulan duduk di pojok kesulitan melihat wajahnya. “Sudahlah, nanti juga lewat sini.” “Eh lama, keburu bel Win, kamu samperin dia sok.” “Napa malah aku yang nyamperin?” “Kamu itu bersahabat wajahnya, tenang sikapnya, dan lebih ganteng juga.” “Terus aku harus mewakili rasa sukamu ke dia?” “Siapa yang suka? Cuma kagum aja.” “Alesan.” Lima menit berlalu begitu cepat. 41

Satu per satu warung di kantin mulai sepi. Anak-anak perempuan pun tinggal beberapa saja, bisa dihitung pakai jari. “Permisi.” Pecahlah sudah ubun-ubun Sam. Wajahnya memerah tak karuan. Suara sapaan itu datang dari Melina, wanita berkerudung yang disukainya. Melina memang tidak begitu cantik, dia hanya lebih manis dari teman-teman kelasnya. Matanya dilapisi kaca akibat dari kesukaannya membaca buku. Sebelum ke kantin, Melina selalu menyempatkan diri salat dhuha. Kebetulan arah menuju masjid melewati kelas sepuluh-tujuh, jadi itulah awal di mana kemudian Sam mengenal Melina. Cantik Melina bukan datang dari wajahnya, menurut Sam, cantik Melina hadir melalui kelembutan hatinya yang pasrah pada Ilahhi Rabbi. “Iya permisi juga.” “Hehe, permisi, Mba.” Erwin membalas sapaan Melina terlebih dahulu. Sam mengikutinya. Melina pun berlalu dengan sisa-sisa senyum yang masih terekam jelas dalam ingatan Sam. “Ah pengecut.” “Gimana Win, kaki sesemutan.” “Kamu itu tipe orang yang beraninya kalo orangnya sudah pergi aja.” “Bukan gitu Win, tapi ini beda suasananya. Makanya kamu jangan care sama sesama jenis aja, belajar memperhatikan wanita juga.” “Sialan, jaga tuh mulut.”

42

“Sudahlah, anggap saja kejadian ini tidak pernah ada. Anggap saja itu bukan Melina, tapi Bu Nurhasanah yang galak itu.” “Biar apa?” “Biar aku takut dan tidak sibuk lagi membayangkan untuk mendapatkannya.” “Hahahaha!” Ibu penjaga koperasi mungkin sudah amat hafal karakter kedua orang ini. Kepalanya yang terbungkus jilbab hanya menggeleng-geleng tanpa suara. Gelengan itu bisa saja diartikan sebagai rasa heran terhadap tema obrolan Sam dan Erwin. Bisa juga, gelengan tadi bermakna kesal karena faktanya dua pria berwajah oriental itu sama sekali tak memesan apapun. Ya, ya, ya, sedikit mengurangi jatah tempat duduk memang. *** Matahari tepat berada di atas SMA N 1 Kota Cirebon. Teriknya begitu menyengat dan membakar. Jika kita berjalan di lapangan upacara tanpa menggunakan sepatu, mungkin kaki kita akan kapalan. Ada pula efek negatif dari sinar ultraviolet, menurut para ahli, pancarannya dapat mengubah warna kulit menjadi hitam. Semua ruangan kelas SMA favorit itu dulunya belum memakai mesin pendingin. Jendelanya tidak mampu memberikan udara yang cukup. Kipas angin yang kadang hidup, kadang mati adalah harapan terakhir. Jadilah, setiap kelas layaknya seperti sauna dadakan, sumub1. Satu per satu wajah siswa-siswi anggota sepuluh-tujuh mulai dipenuhi keringat. Air asin mengucur dari kulit kepala hingga melewati telinga. Yang 1

Dalam bahasa jawa artinya panas

43

membawa handuk masih sempat mengusapnya. Sementara yang lainya, mengipas-ngipas dengan buku pelajaran. Yang terakhir ini lebih banyak dilakukan, maklumlah lebih irit dan efisien. *** Seperti berdiri di atas catwalk, Sam mulai berjalan menuju kelas sepuluh-tiga. Dadanya membusung tegak ke depan. Hatinya tak gentar. Ikrarnya untuk memperkenalkan diri pada Melina telah bulat. Erwin menemani Sam dari belakang. Tujuannya tidak lebih hanya sebagai pengawal. Dia datang bersama pria berambut kribo. Pria yang raut dan bentuk wajahnya mirip sekali dengan orang-orang Ambon itu bernama Prayogi. Biasanya dia dipanggil Ogi. Oke, gambaran suasana saat itu adalah, Erwin dan Ogi menunggu dari depan kelas sepuluh-empat. Sementara Sam duduk manis di atas tembok pembatas taman depan lapangan upacara, persis menghadap pintu sepuluhtiga. Tidak ada yang mudah untuk cinta, Sam. Ya Tuhan, permudahlah. Sam berdoa terus dalam hati. Kakinya bergoyang-goyang menandakan dia begitu gelisah. “Ayo Sam ah, lama.” “Iya, lama sekali gerakannya.” “Sabar dong, sabar!” Erwin dan Ogi mulai panas. Wajah Sam terlihat semakin menyanyah menyaksikan hal itu. 44

“Hey, boleh tau namamu?” Tak begitu lama Melina keluar dari kelasnya. Tangan Sam langsung mengulur cepat mendekati Melina. “Oh, hehe, Melina Castro, panggil saja Melin.” Melina tak berani menatap lama-lama. Dia justru memasang wajah heran tak karuan. Tali pengait tas birunya dipegang dengan erat. “Aku Samudra, kelas sepuluh-tujuh.” Kedua tangan Melina dan Sam bertemu cukup lama. Sam terlihat sedikit menikmati pegangan tangan pertamanya. Dan Melina ... “Hmm, sudah ya dilepas, aku tinggal pulang dulu ya.” “Oh iya, iya. Astaghfirullah, maaf, maaf, silakan.” “Tidak apa,” Melina menjawab sambil ngeluyur menjauhi Sam. “Mel?” “Apa?” Melina menoleh kembali ke belakang. “Gimana Samudra?” “Gak apapa, e, eh, e terima kasih ya sudah mau berkenalan.” Melina tidak menjawab, dia hanya tersenyum kecil. Erwin dan Orgi terperanga. Tak percaya rasanya Sam benar-benar nekat berkenalan dengan wanita yang katanya menjadi incaran banyak kakak kelas itu. Bukan mimpi, bukan ilusi, namun hanya kenyataan yang sulit diyakini sebagai suatu hal yang benar. Di tempat yang lain. Tepatnya di ujung pintu arah keluar sepuluh-tiga. Sesosok laki-laki kelahiran kasepuhan sedang terdiam bak patung. Darahnya naik dari ujung kaki ke atas kepala. Posisi berdirinya gontai, tangan dan kakinya gemetaran. Wajah Sam sedikit demi sedikit mulai berlumuran air keringat. 45

Melina padahal telah pergi menjauh. Tak tampak lagi bidadari anggun itu dalam pandangan Sam. Namun butuh tiga puluh detik untuk mengembalikan Sam pada posisi sadarnya. “Sam, Sam, hey Sam!” Erwin menggebuk punggung Sam. “Eh iya, Win.” “Ayo pulang Sam. Dia udah pergi itu.” “Hah, yang benar Win, aku gak lagi mimpi kan? Aku benaran habis berkenalan dengan dia kan?” “Iya, kamu berhasil melewati langkah awal.” “Serius kan Win, kamu tidak bohong?” “Tidak perlu berlebihan, karena keberanianmu ini nanti selalu punya dua risiko.” “Apa itu?” “Ya kalo dia ngerasa kamu baik, dia mungkin mau temenan sama kamu. Tapi kalo dia ngerasa kamu ini hanya orang yang iseng, ya, kamu harus siap mengakhiri perasaan bahagiamu.” Sam tidak pernah menceritakan apapun kepada Erwin. Dia hanya memberikan Erwin suguhan yang tampak. Padahal, di balik itu semua, Sam menyimpan suatu perasaan yang besar, yang cukup membuat Sam risau. Perasaan itu datang dari senyuman terakhir Melina ketika berpamitan meninggalkan Sam. Senyuman itu membawa Sam jatuh ke lautan mimpi yang cukup dalam.

46

“Tidak perlu menjadi sempurna, cukup menjadi kamu yang kukenal, bagiku itu sudah cukup.” Sam berbisik kepada dirinya sendiri dengan penuh keteguhan hati. ***

47

Ruang Kelas dan Sahabat Baru

Dulu, aturan-aturan di sekolah masih belum cukup ketat. Penilaian afektif dan psikomotorik pun baru ada ketika Sam masuk sebagai siswa kelas SMA. Seperti sewajarnya peraturan baru, maka adaptasi dalam hal penerapannya pun masih lemah. Sebelum adanya istilah afektif dan psikomotorik, siswa-siswi lebih dahulu mengenal pelajaran tentang budi pekerti. Pelajaran itu meliputi tingkah laku, bagaimana siswa merespon lingkungannya dan perkembangan kreativitas. Aturan-aturan itu pun tidak tertulis secara rinci, aturan itu muncul berupa kesadaran yang abstrak. Penilaian tentang budi pekerti pun tak seketat penilaian afektif dan psikomotorik. Dulu, siswa yang nakal namun pandai masih mendapatkan nilai sesuai hasil ujiannya. Akan tetapi, pada era ini, pandai saja tidak cukup apabila hal itu tak selaras dengan tingkah laku baiknya. Sam dan teman-temannya yang masuk sebagai generasi yang sering disebut generasi kelinci percobaan, masih belum paham betul tentang adanya aturan baru itu. Tidak heran, ruang kelas sepuluh-tujuh begitu kotor dan tak tampak bersih. Meja-mejanya penuh dengan coretan tipe-x dari mulai gambar kartun sampai tulisan: A love B; aku kangen kamu; kapan istirahatnya ini; dan lainnya. Dindingnya pun terdapat banyak lukisanlukisan kecil yang biasa dibuat ketika jenuh mendengarkan guru.

48

Ah, sungguh beruntungnya orang-orang yang hidup dalam generasi Sam. Mereka bisa berekspresi sesuka hatinya. Mereka dapat memanfaatkan fasilitas sekolah untuk kesenangannya. Bayangkan saat ini, mencoret-coret, melempar kertas, menggodai anak perempuan hingga menangis, pasti langsung dihukum bahkan diskorsing. *** “Ada lagi yang mau ditanyakan?” “…” “Kalau guru bertanya itu menjawab, kalau tidak menjawab tandanya sudah paham ya?” “…” “Paham belum?” “Pahaaaaaaaaaaam.” “Oke, kalau begitu sekarang kelas Ibu akhiri, assalamualaikum.” “Walaikumsalaaaaaaam Bu Guru.” Begitulah situasinya. Seluruh murid rata-rata takut apabila guru mulai bertanya. Ingin menjawab paham, tapi takut ditanya. Ingin menjawab tidak paham, ya takut dimarahi karena tidak mendengarkan. Sam terlihat berlari ke barisan meja sebelah kiri. Dia langsung memilih duduk di atas meja Erwin dan Ogi. Benjamin yang duduk di barisan kanan bersama Sam, menyusul. “Eh gimana, siapa yang menang?” “Anjrit, kalah dua puluh ribu aku Sam!” 49

“Hahaha!” “Si Anto mainnya jago banget, dia kayaknya udah belajar semaleman.” “Yeee, kenapa bisa kalah Win?” Benjamin menyambar sambil mengelus punggung Erwin. “Tanya Ogi aja.” Erwin menunjuk Ogi. “Iya, si Anto hebat sekarang Ben mainnya, ga tau gimana ceritanya bola gak masuk-masuk.” “Mungkin kamu emang harus berhenti main judi biliar Win.” Sam tersenyum kecil menyelesaikan ucapannya. “Iya juga sih kayaknya.” Percaya atau tidak, Erwin, Sam, Benjamin, Ogi, dan Anto suka sekali beradu taktik bermain biliar. Pemenangnya akan mendapatkan uang yang telah disepakati. Mereka tidak menganggap itu sebagai sebuah perjudian. Mereka hanya merasa membayar jeri payah keahlian kepada yang lebih tangguh bermain. Oh iya, belum sempat diceritakan bagaimana si Anto itu. Anto adalah remaja yang setiap lebaran selalu mudik ke Sidoarjo bersama keluarganya. Tidak peduli bagaimanapun macetnya ruas jalan, Anto akan tetap pulang kampung. Anto sedikit mirip dengan Semar, tokoh pewayangan yang terkenal itu. Anto memiliki tubuh yang gemuk dan kepala cukup besar. Dia tipe orang yang tak banyak bicara dan tak banyak pula kerjaannya. Heran kan? Sama. “Wih Bos, makan-makan dong!” Sam menggoda Anto. 50

“Nanti ya pulang sekolah aja.” Kelas sepuluh-tujuh tidak hanya dipenuhi oleh laki-laki yang suka membuat onar. Di kelas itu ada pula wanita-wanita yang lagaknya mirip sekali dengan ibu-ibu sosialita. Sebut saja wanita-wanita itu bernama Lia, Esa, Adis, dan Kiky. Mereka selalu pergi bersama. Tempat duduk mereka berhadapan depan-belakang. Mereka belajar bersama. Belanja barengan dan entahlah seringkali Sam dan kawan-kawan memergoki mereka ke toilet pun bersama. “Kegemanaga nagaigih?” (ke mana nih?) “Kagantigin agajaga yuuuk,” (kantin aja yuk) “Yuuk, magaleges digi kegelagas tegerugus,” (males di kelas terus) Kiky mengompori Lia dan Adis untuk pergi ke kantin. Tentu saja, Esa pasti akan mengikutinya. “Ikuuuut!” “Ih Esa, pake bahasa aga-ege-nyaaaaaaaaa!” Kiky mulai cerewet. Dia memarahi Esa karena berbahasa Indonesia. “Pada ganjen-ganjen ya?” Ogi memasang wajah sinis menyaksikan tingkah laku para perempuan muda itu. Sam dan Benjamin pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya biarin aja sih ya, kalau kalian mau ikutan ya tinggal ikutan aja, ga usah ngurusin orang.” Itulah Erwin, dia selalu menampilkan kesan yang sok-sok bijaksana. 51

Perlahan-lahan kelas menjadi nyenyat. Semua telah pergi ke tempat tujuannya masing-masing. Erwin, Sam, Benjamin, Anto, dan Ogi adalah sisa terakhir yang belum meninggalkan kelas. “O iya o iya, kemarin si Sam ini habis kenalan sama Melina anak sepuluh-tiga.” “Sial, bohong itu.” “Alah ngaku Sam, ini ada Ogi saksinya.” “Hahaha tidak bisa ya sebentar saja mengelak.” Erwin menelanjangi sisi polos Sam. Benjamin dan Anto pun terperanjat tak percaya. “Yang beneeeeeeer!! Sam?” “Iya deh iya, bener Ben kata si Erwin.” “Terus gimana?” “Ya biasa aja, kenalan temen sama temen aja gimana.” “Heh bukan gitu, kalau orang udah suka sama lawan jenis itu seringnya lupa sama temennya.” “Maksudnya Ben?” Erwin, Anto, Ogi, dan Sam tampak menyimak tausiyah dadakan Benjamin. “Nih ya, dia nantinya bakalan jaim, bakal sok-sokan jadi orang baik.” “Ah, masa sih gak ah?” “Eh bener Win, orang yang jatuh cinta itu kadang takut dalam bersikap. Dia gak mau buruannya itu kabur.” 52

“Ya terus kenapa emangnya? Yang kamu khawatirin itu apa?” Sam bertanya dengan sedikit mengelak. “Ya gini Sam, Win, To, Gi. Aku sih gak melarang kalian suka sama siapa, yang penting jangan sampe persahabatan sama temen itu dilupakan cuma karena wanita.” “Kekhawatiranmu berlebihan.” “Ih dibilangin. Jangan gampang geer juga kalo wanita itu menanggapi kamu. Bisa aja yang ada dipikirannya itu motor kamu yang bagus, dompet kamu yang berisi, atau juga karena keluargamu yang kaya. Nah kalau temen, mana ada ngeliat persahabatan dari hal-hal kaya gitu.” “Emang kalo temen gimana?” “Ya kalo temen itu tulus. Temen itu ga peduli kapan dan di mana dia bertemu, yang mereka pikirin hanya satu hal, gimana caranya tetep samasama dan saling mendukung dalam setiap keadaan. Satu dipukul semua dipukul, satu sakit semua juga ikut ngerasain sakit.” “Emang wanita kalo udah resmi pacaran gak gitu?” “Belum tentu loh Win, Sam. Kadang-kadang tuh mereka cinta, tapi cinta mereka itu cinta yang gimana caranya kalian bikin mereka seneng. Kalo ngejengkelin ya putus. Nah kalo udah putus? Udah deh balik laginya pasti ke temen lagi kan. Dan temen pertama itu adanya di ruangan kelasmu.” Benjamin memang terkesan terlalu mendramatisir keadaan. Maklumlah anak muda, belum banyak hal yang mereka pikirkan. Kalian tentu pernah mengalami kan masa-masa begini. Masa-masa di mana kalian betul-betul sangat mementingkan persahabatan. Masa-masa di mana bagi kalian sahabat itu adalah segalanya. Kalian bahkan bermain 53

dengan orang yang itu-itu saja yang menurut kalian sepaham. Lalu tanpa sadar kalian saling membentuk geng-geng masing-masing. Sebenarnya, antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada bedanya, semuanya sama. Cuma mungkin bagaimana mereka memandang kehidupan yang kadang bertentangan. Geng perempuan cenderung berani terbuka dan kerena keterbukaannya itu kadang-kadang membuat mereka gampang musuhan. Geng perempuan lebih menunjukkan aspek finansialnya seperti, kemarin habis menonton film apa, ada tas baru apa, model-model baju yang lagi tren gimana. Kalau telat update sedikit saja, mereka langsung malu dengan geng perempuan yang lainnya. Begitu jugalah Kiky, Adis, Esa dan Lia. Benjamin, Anto, Ogi, Sam, Erwin, dan satu laginya Dayat, tergolong geng laki-laki. Geng laki-laki sedikit lebih luwes dan bisa bergaul dengan geng laki-laki lain dari kelas berbeda. Jika geng wanita beradu life style, geng lakilaki lebih senang beradu otot. Mereka seringkali gampang tersulut emosinya apabila melihat temannya disakiti. Apapun bentuk dan jenis kegiatannya, geng laki-laki SMA pasti begitu. Yah, tetapi apapun itu, semuanya pasti dimulai dari ruang kelas terlebih dahulu. Sahabat di kelas adalah cerminan dari bagaimana seorang siswa bertingkah laku menghadapi lingkungan sekolahnya. Menurutku …. ***

54

II Surat dan Percintaan

55

Tentang Surat

Semenjak perkenalan itu, Sam mulai merasakan dirinya terbagi menjadi dua. Diri yang pertama adalah Sam yang ingin bermain, bermain, dan terus bermain. Sedangkan diri yang selanjutnya adalah diri yang dihantui bayang-bayang wanita cantik anak sepuluh-tiga, Melina. Sam tidak bisa memilih untuk menjadi yang mana karena keduanya telah menyatu dalam raganya. Dia juga tidak pernah mencoba menjadi satu di antara pilihan-pilihan itu. Jauh-jauh hari, Sam telah menetapkan untuk menikmati dua peran itu dalam satu waktu. Dia termasuk remaja labil dalam hal ini! Suara kendaran mulai hilang. Desiran angin pun kini terdengar. Jangkrik-jangkrik serta kodok bersautan membentuk irama pengantar tidur di malam hari. Ketika jendela kamarnya yang terletak di lantai dua dia buka, kunang-kunang dengan cantiknya berterbangan seolah-olah mengantikan lampu taman. Wajahnya dia tadahkan ke atas, dia melihat bulan tampak begitu sempurna malam itu. Sam kemudian menarik meja belajarnya ke depan jendela kamar. Secarik kertas dan bolpoin dia siapkan di atas meja itu. Dia mulai menulis, tetapi lagi-lagi kertas yang berisi tulisannya itu di-kuwes-kuwes dan dibuang ke lantai. Berulang-ulang Sam melakukan hal itu, dia tampaknya risau. Entahlah, apa yang dia tulis dan untuk apa dia melakukan hal itu?

56

Cukup lama juga Sam merangkai kata. Dia tidak merasakan rindu pada rasa kantuknya. Dia mengalir dan membiarkan raganya menuntunnya tidur secara natural. Benar saja, setelah satu jam berlalu, dia mengakhiri kegiatannya secara tak sadar. Matanya terpejam, wajahnya telah jatuh di atas meja dengan tangan kanan masih memegangi bolpoin. “Hoook, hooook, hoook!” Dia mendengkur karena lelah. *** Pagi-pagi sekali Sam telah siap dengan segala macam peralatan sekolahnya. Ibunya bahkan kaget bukan kepalang. “Heh, tumben kamu pagi sekali sudah bangun?” “Iya, pake alarm tadi malem.” “Coba kalau setiap hari kaya gini, kan masakan Ibu jadi gak sia-sia.” “Ah gak juga, ini aja udah mau langsung berangkat kok.” “Heee, baru jam enam ini, abahmu saja belum selesai berzikir.” “Iya, masalahnya penting ini Bu.” Sam menanggapi ucapan ibunya sambil duduk di teras. Tangannya sibuk menali kedua sepatunya. “Sambil Ibu sisirin ya rambutnya.” Ibu Sam langsung merapikan rambut anaknya itu dengan tangan. Dibuatnya model belah pinggir. “Ah, selesai.” Sam langsung berdiri. Kini badan Sam telah tepat berhadapan dengan ibunya. Dia nyengarnyengir tak karuan. 57

“Bu, berangkat ya!” “Iya, hati-hati!” “Salam buat Abah, daaaaaah!” Sam berlari secepat kilat. Wajahnya mantap ke arah depan. Ada apa sebenarnya dengan anak ini, hmm, tak tahulah. Sekitar dua puluh menit, Sam telah sampai di sekolah. Sekolah masih sangat sunyi dan sepi. Belum banyak aktivitas kelihatan. Speaker yang biasa menyalakan alunan ayat suci Alquran pun baru dimulai. Waktu itu Al-Baqoroh baru sampai pada ayat ketiga. Di tahun 2006, halaman depan sekolah Sam belum dipenuhi oleh kendaraan bermotor. Tumbuhan kumis kucing, pinus muda, royal palm, dan bunga ungu mandevila masih kelihatan mekar. Rumput-rumput pun masih sangat hijau, belum seperti saat ini, semua telah berubah menjadi paving block. “Tumben sudah dateng?” “Iya Pak, takut terlambat lagilah.” “Bagus bagus kalau begitu, jarang sekali Bapak liat laki-laki yang penuh semangat kaya gini.” “Iya ya Pak, hehe. Masuk dulu ya Pak.” Sam mulai memasuki gerbang sekolah. Bapak Satpam menyambutnya dengan ramah. Mereka berdua terlihat sudah begitu akrab. Kali ini Sam tidak masuk lewat pintu kanan. Sam memilih pintu tengah untuk menuju ke kelasnya.

58

Kakinya mulai merindik melewati kelas sepuluh-satu. Setiap celah jendela dia susuri, dia pastikan tidak ada orang di situ. Berlanjut ke kelas sepuluh-dua pun sama, tingkahnya belum berubah. Hingga sampai di kelas sepuluh-tiga, dia terhenti. Dia terlihat lebih teliti dan hati-hati. “Krrreeeek!” Jendela

samping

kelas

sepuluh-tiga

terbuka.

Kepala

Sam

mengiringinya. Kanan lalu kiri, clingak-clinguk cukup lama dia kelas itu. Persis seorang pencuri yang sedang memastikan target buruannya. “Nah itu.” Tanpa pikir panjang, Sam segera masuk ke kelas sepuluh-tiga. Dia berjalan cepat ke arah meja nomor dua di barisan tengah. Dia terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sepertinya itu sebuah surat dalam amplop yang sangat kecil. Surat itu kemudian dia taruh ke kolong meja. “Semoga saja berhasil.” Sam berbisik kecil sambil mengepalkan tangannya bak petinju. Sam buru-buru pergi, dia takut ada orang lain yang mengetahui rahasianya. Meja itu kan meja di mana Melina biasa duduk. Apa sebenarnya isi surat itu? Mengapa juga harus pagi-pagi sekali Sam menaruhnya? Bukankah dia bisa memberikannya secara langsung di siang hari nanti? ***

59

Siapa?

“Des, kamu tau siapa yang menyimpan surat ini?” “Gak tuh.” “Yang bener ah?” “Iya serius, gak tau.” “Tadi pagi atau kemarin pas pulang sekolah ada yang masuk ke sini gak?” “Mana aku tau, emangnya aku harus memperhatikan semua orang masuk ke kelas ini?” “Lalu siapa ya?” “Mungkin setan, atau mungkin juga …?” “Mungkin apa?” “Mungkin surat cinta Mel, ciyeeeee!” “Ngarang kamu, gila!” Melina telah menemukan surat yang sengaja ditaruh oleh Sam. Dia terlihat ragu. Dibawa atau tidak? Dia sebenarnya enggan membawa surat itu. Pengirimnya saja tidak jelas, apalagi isinya. Tapi dia juga penasaran. Kalau surat itu penting bagaimana? Dia ingin tahu juga isi dalam surat tersebut. Yang jelas Melina tidak memikirkan apa yang Desi katakan, mungkin surat cinta. 60

Melina memunggungi Desi, sahabat sebangkunya. Sembunyi-sembunyi dia masukkan surat itu ke dalam tasnya yang berwarna biru. “Mana sih emang suratnya? Aku mau liat.” “Udahlah lupain aja suratnya, udah aku buang.” “Yah, lebih baik begitu.” Melina menyeka tangan Desi. Ditolaknya rengkuhan tangan Desi yang mulai mengorek-orek kolong mejanya. Baru kali ini Melina tidak mau terbuka dengan Desi, biasanya dia begitu aktif bercerita tentang apapun yang sedang dialaminya. *** No matter how small you start. Start something that matters. Brendon Burchard, seorang penulis buku best selling versi New York Times “The Charge‖ mengatakan hal itu dalam suatu kesempatan. Brendon berusaha meningkatkan stimulus kepada jiwa orang-orang yang pesimis. Jangankan Sam yang masih begitu muda, orang yang sudah tua pun kadang merasakan pesimis. Kita ingin memulai sesuatu, tetapi kita memikirkan lagi bagaimana akibatnya. Kita berencana melakukan hal yang besar namun lagi-lagi bayangan akan ketidakberhasilan mengganggu kita. Hal-hal yang sulit kita lakukan itu salah satunya adalah berusaha mengungkapkan perasaan kita kepada orang lain. Sam nyatanya berbeda, dia tidak peduli bagaimana nantinya, yang penting dia berusaha dulu. Dia sadar jika Melina pun tahu kalau dia itu nakal, tapi dia hilangkan pikiran itu, karena dia percaya kalau cinta yang tulus itu tidak pernah memandang masa lalu. Yang paling penting sebenarnya isi surat itu apa? Misteri …. 61

*** Wahidin, Cirebon Hujan rintik mulai turun. Melina terlihat berlari memasuki kos. Dia menyegerakan membuka dan menutup gerbang. Tasnya dinaikkan ke atas menutupi kepala. Setelah teman lelaki yang mengantarnya pergi, Melina langsung berjalan menuju kamarnya. “Dari mana Melina, adikku yang cantik, malam-malam baru pulang?” “Eh iya Kak Linda, ini habis belajar kelompok, besok ada ujian tes fisika.” “Cepat mandi, itu badanmu basak kuyup gitu cantik.” “Iya Kak, Melina masuk duluan ya.” Melina tidak memikirkan apapun di dalam kamarnya. Dia langsung pergi ke kamar mandi dan membasuh seluruh tubuhnya. Suara keran mulai terdengar. Masalah tentang mengapa Melina tinggal di kos dan tidak tinggal di rumahnya sendiri, akan kalian temukan mengalir bersama jalan cerita ini. Kamar Melina tidak begitu mewah, hanya ada satu lemari baju, meja belajar, dan kasur. Ukurannya sekitar 4 x 4, cukup untuk wanita bertubuh kecil dengan tinggi 166 sentimeter. Dindingnya terpajang foto Fernsehturm Berlin, sebuah menara televisi yang menjadi ciri khas negara Jerman. Foto itu hasil pemberian ayahnya, dulu ayah Melina bercita-cita dapat menguliahkan anaknya di Universitas Bonn.

62

Melina suka sekali membaca buku. Meja belajarnya penuh dengan modul-modul, LKS, novel, dan beberapa oret-oretan kecil. Hal itu yang mungkin menjadi alasan mengapa mata Melina menjadi minus. Kini Melina sudah wangi, bau sabun yang menempel di tubuhnya begitu harum. Aroma sampo yang melekat di rambutnya pun menebarkan wangi yang menyegarkan. Jilbabnya dia lepaskan jika di dalam kamar. Tak lupa dia mengiris timun sebelum tidur. “Hampir lupa, mana ya suratku tadi?” Melina berdiri menentengkan tangannya. Dia mencari tasnya yang dia taruh sembarangan tadi. “Ahaaa, kutemukan kamu tasku yang lucuu, semoga suratnya tidak basah.” Melina membuka ritsleting bagian depan tasnya. Dia raih surat yang dilapisi amplop berwarna putih polos. Dikibas-kibaskan sebentar surat rahasia itu. Ah, wanita memang begitu ribet. Dia telah duduk manis di kursi belajarnya. Dia pandangi surat itu. Dipikir-pikir untuk apa juga dia membukanya, apakah dengan membuka surat itu kehidupannya akan berubah? Tidak kan. Tapi, sepertinya surat itu isinya menarik, sayang sekali jika tidak dibuka. “Krrrresss!” Tanpa ampun, Melina merobek bungkus surat itu. Dan kini dia mulai siap membaca isinya. Selamat malam Melina Castro “Hah, bagaiamana mungkin dia tahu kalau aku membaca suratnya di malam hari?” 63

Surat pertama ini adalah surat perkenalanku. Kamu boleh panggil aku apapun sesuka yang kamu mau. Kamu boleh menentukan tempat tinggalku sesuai yang kamu mau. Tapi ada satu hal yang kamu tidak bisa berbuat sesuai keinginanmu, yaitu menolak mencintaiku, nanti. Terima kasih. (taruh surat balasanmu di kolong mejamu ya)

“Benarkan dugaanku, surat ini pasti tidak jelas dan sialnya aku telah terjebak oleh permainannya.” Melina melemparkan surat yang sebelumnya dia pegang. Dia langsung menarik rambutnya ke belakang. Ah sial. Begitukah Mel, kamu seharusnya menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan parasmu yang begitu cantik, termasuk dapat surat kaleng seperti ini. Nikmatilah perasaanmu yang kini dikoyak-koyak oleh kebimbangan. ***

64

Menaruh Surat Balasan

Melina belum juga menemukan nama yang tepat untuk si pengirim surat. Tempat tinggal yang baik pun belum dia tentukan. Yang jelas, dia telah siap dengan permainan barunya itu. Bagaimanapun dia ingin tahu siapa orangnya …. “Kamu sedang memikirkan apa sih Mel?” “Ga ada Des, emang apa yang kamu lihat dariku sampai kamu nanya kaya gitu?” “Aku tau kamu rajin baca buku, koran-koran pun kadang kamu perhatikan beritanya, tapi aku rasa hari ini wajah pusingmu berbeda. Ada yang aneh aja.” “Perasaaaan aja itu mah.” Melina kemudian mengangkat tangannya tinggi. “Bu, teh hangat satu ya!” “Aku yang bersoda Bu,” Desi menyahut. “Kamu suka minuman bersoda itu?” “Iya, kenapa lagi, memang ada masalah!?” “Engga, hanya saja aku sedikit heran, kemarin di koran aku baca kalau minuman bersoda itu menyumbang sebagian besar dananya buat Israel.” “Oh, lalu kenapa?”

65

“Ya artinya kalau berita itu benar, ini sih kalau benar ya, berarti kamu adalah salah seorang yang ikut membunuh saudaramu di Palestina dan utamanya di jalur Gaza.” “Ahh seram sekali penjelasanmu, aku tidak sejauh itulah Mel.” “Ya terserah, aku juga ga paham tentang hal itu. Aku hanya berusaha untuk mengurangi saja. Untuk benar salahnya kan ada yang lebih taulah, hehe, yang jelas bukan aku.” “Hmmm, kamu mulai mengalihkan pembicaraanmu kan?” Desi mengernyutkan bibirnya. Dia memalingkan wajahnya ke bawah. “Jawab dulu mengapa wajahmu hari ini berbeda?” “Ih beneran gak ada apa-apa.” Selain taat beribadah, Melina juga seorang pembaca yang cukup maniak. Ayahnya seringkali mengiriminya novel yang aneh-aneh, dari The Stranger karya Albert Camus sampai Nausea yang ditulis oleh Sarte. Untuk membekali hidup, ayahnya menitipkan buku tulisan Soekarno yang berjudul Sarinah di dalam kamarnya. Ya, mungkin itu yang membuat Melina kadang lebih dewasa sebelum waktunya. “Neng Desi, maaf, yang sodanya udah habis.” Ibu Koperasi berteriak cukup keras. “Yah Ibu …” “Ya uda sih Des, minum mah apa aja.” “Bukan gitu Mel, tapi kan rasanya itu loh.” “Duh ribet, mau rasanya, mau apanya juga, ujung-ujungnya sih sama, ngilangin dahaga juga kan. Intinya aja udah, air putih juga sama kok enak.” 66

“Ya udah deh.” Desi berdiri sebentar. “Bu, air putih aja deh Bu.” “Gini lo Des, sebenernya aku tuh suka heran kalau liat orang pada rebutan beli minum merek ini, rasa ini, terus kadang-kadang sampe marahmarah. Tujuan mereka minum kan padahal mah nantinya juga ngilangin rasa haus itu. Aneh, ga habis pikir.” “Kamu habis baca koran apa sih? Ngomongnya jadi berlebihan.” “Baca koran Bapak kosku tadi pagi, engga tau nama korannya apa, aku lupa.” “Hahaha, pantesan.” “Tapi bener kan?” “Iya sih, tapi sedikit, cuma sedikit loh inget hahaha.” Tak sampai lama mereka terduduk di kantin, paling sepuluh menit. Setelah obrolan ini, mereka pergi. Bel istirahat pun kemudian berbunyi dengan lantang. Seluruh siswa berlarian mengakhiri masa istirahatnya. *** Kelas 10.7 Kertas-kertas berterbangan tak karuan. Suara obrolan para wanita terdengar nyaring tak tertahan. Ada sedikit genjrengan kecil senar gitar yang pelan-pelan suaranya menjadi fals. Sepertinya tidak layak disebut sebagai sebuah kelas, tetapi lebih pantas bila kita menyebutnya dengan tempat penitipan anak, ya, anak yang besar. Seorang siswa berlari dari kejauhan menuju kelas itu. Sorak-sorai gemuruh menyambut informasi yang baru saja disampaikannya. “Horeeeeee, kelas kosonggg, horeeee!” 67

“Alhamdulillah gak jadi ulangan!” “Lanjut ke kantin aja, yuuuk capcusss!” “Yah ketinggalan pelajaran deh.” “Asiiiik bisa tiduuuur!” Sam hanya diam, tidak ikut berkomentar. Dia sedang asik duduk di kursi paling belakang barisan kiri. Kakinya naik tinggi ke atas meja. Tangan kanannya mengipasi dadanya dengan sebuah buku. Dua kancing bajunya dia keluarkan. Kayaknya dia sedang tidak mood hari ini, kepanasan juga. Benjamin, Anto, Erwin, Ogi, dan Dayat berkumpul di kursi belakang deretan kanan. Mereka membentuk lingkaran mengerubung. Seperti biasa, Anto dan Erwin berada di tengah. “Yaaaaaah!” “Asiiiiik!” “Yaaaaaaaah!” Ekspresi itu terdengar berulang-ulang seperti speaker rusak. Tentu tahu apa yang mereka lakukan, mereka beradu kemampuan bermain biliar. “Sam gabunglah sini!” Benjamin memanggil Sam untuk bergabung. Sam hanya menengok sebentar, lalu kembali termangu. Sam masih saja memikirkan tentang Melina. Dia gelisah dengan apa yang akan terjadi ketika pulang sekolah nanti. Apakah suratnya dibalas? Atau mungkin dibuang begitu saja. “Ah sudahlah, nanti sore semua itu akan terjawab sudah!!” Sam berdiri kemudian secepat kilat dia langsung berlari menuju Benjamin dan teman-temannya. 68

*** “Eh Dek Melina, ga belajar?” “Ini lagi izin ke belakang Bu.” “Neng Desi gak ikut?” “Masih di toilet dia mah.” “Aku beli amplop ya Bu, tiga aja.” “Oh iya Dek, sebentar ya Ibu ambilkan.” Ibu Koperasi kemudian menunduk sejenak. Dia muncul kembali dengan senyuman khasnya. “Ini neng, 600 ajah.” “Ini Bu, terima kasih.” “Sama-sama.” “Buat apa sih amplop sebanyak itu?” “Buat kalau ada keperluan kondangan atau sumbangan Bu.” “Oh, iya bener juga ya Mel, praktis.” “Iya Bu, ya uda ya Bu, Melina tinggal dulu ya Bu.” “Iya Neng cantik, ati-ati.” “Makasih Bu.” Melina berlekas-lekas menuju toilet. Dia memasukkan tiga amplop yang baru saja dia beli ke dalam saku roknya. Bahaya juga kalau Desi sampai tahu, bisa gawat! “Langsung ke kelas yuk, Des.” “Ga beli jajan dulu?” 69

“Ga usalah, itu perutmu sudah gemuk begitu.” “Ah gemuk kan karena bergaul sama kamu yang lebih kurus dariku, jadi aku keliahatan besar.” “Ayo ah cepet, nanti dimarahi Pa Usman.” “Ah, aku sebenernya males belajar fisika tapi ya uda deh,” sambil mengerutkan wajahnya, akhirnya Desi mengikuti kemauan Melina. Dia berjalan dalam geretan tangan Melina yang terburu-buru. *** Kelas 10.3 pada jam pulang sekolah Obrolan keduanya berlanjut di ruang kelas. “Ayo Mel pulang Mel cepet ah.” “Sebentar Des, kamu duluan aja, tunggu di depan.” “Ah, iya, aku ke depan duluan ya.” Ruang kelas sepuluh-tiga sudah mulai sepi. Papan tulis masih penuh coretan bekas jam pelajaran terakhir. Kursi-kursi terlihat begitu berantakan, posisinya tak teratur, dan barisannya tak rapi. Lantai kelas penuh dengan kertas dan plastik Chiki. Begitulah suasana kelas setelah selesai jam terakhir, yang kebagian membersihkan adalah siswa yang piket esok hari, itu pun siangnya kotor lagi. “Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.” Melina memberi pesan pada amplopnya. Diciumnya kertas itu sekali. Cuup! Srreeet! Dia kemudian menaruhnya dalam-dalam. Ini rahasia, jadi tidak boleh ada satu orang pun yang tau. Mengerti kan maksudku? *** 70

Namamu Heldy

Kota Cirebon sedang tidak bersahabat. Petir menyambar ke sana kemari. Suaranya membuat telinga budeg2. Orang jaman dulu bilang, jika petir datang terus-menerus tandanya ada setan yang mencoba masuk ke surga. Setan itu kemudian ditembak oleh malaikat, maka muncullah petir itu. Ah sudahlah, waktu kecil pun aku termasuk anak-anak yang percaya akan dongeng itu. Sam baru masuk ke dalam kamarnya. Jendela yang semula terbuka dia tutup dengan rapat. Kini hanya suara air yang jatuh dari plafon saja yang terdengar. Radio perlahan dinyalakan. Seperti biasa, Sam selalu mendengarkan lagu-lagu Gun n Roses. November Rain adalah lagu pertama yang memanjakan telinga Sam. Sam kini duduk menghadap meja. Meja itu biasa dia gunakan untuk membaca buku. Sam terhitung anak yang malas kalau soal pelajaran sekolah. Buku-bukunya pun lebih banyak novel, komik, dan buku kunci-kunci gitar. Tidak heran, cara bergaulnya tidak pernah cocok dengan suasana yang serius dan formal. Sam sangat mengidolakan sosok Neil Amstrong, orang pertama yang bisa datang ke bulan. Di kamarnya foto Neil Amstrong terpampang begitu besar. Kakak wanitanya, yang saat itu berada di Belanda, seringkali 2

Dalam bahasa jawa artinya tuli

71

mengirimi buku tentang sejarah-sejarah planet. Alasan Sam sederhana, Sam suka pada orang-orang pertama, orang-orang yang mau mengambil risiko, dan orang-orang yang suksesnya diraih karena kerja keras. Di buku kenangan SD-nya, Sam bahkan menulis jika dia bercita-cita ingin menjadi astronot. Tetapi itu hanyalah bagian masa kecil, yang kemudian terbawa hingga remaja namun dengan pemahaman yang lain. Napas Sam terdengar memburu. Dia mencoba menenangkan diri. Di hadapannya kini telah tersaji surat balasan dari Melina. Amplop putih itu ditulis dengan kata pembuka yang anggun; untukmu. “Baiklah, akan kubuka surat ini.”

Hay, siapapun kamu yang membuka surat ini. Sebelumnya aku minta maaf ya, aku tidak pandai menulis surat. Kamu mulai sekarang bisa panggil aku Engel. Dan bila tidak marah, aku ingin memanggilmu Held, ya, Heldy dari planet Linke. Heldy adalah nama adikku yang dulu pernah hidup namun kemudian meninggal karena dibunuh, aku harap kamu bisa menggantikannya. Terima kasih telah datang untuk bicara. Engel 

Sam hanya tersenyum kecil. Badannya mengentak ke belakang. Dia duduk dengan memutar kursinya ke kanan dan kiri. “Waw, harus balas apa aku? Suratnya keren sekali.”

72

Setiap orang kadang bingung untuk melanjutkan apa yang telah dia mulai. Apalagi sesuatu yang dia mulai itu bentuknya bukanlah hal yang serius. Sam kini terperangkap oleh permainan yang dia buat sendiri. Puas kamu Sam, berlagak sih. “Bagaimana mungkin aku harus menjadi Heldy, siapa dia? Bagaimana dia menyikapi Melina yang begitu cerdas? Apa yang mesti kulakukan?” Ini bukan waktunya Sam bertanya. Dia sepatutnya sadar kalau Melina nantinya akan menanggapi surat pertamanya. Sam, dengan mata yang serius meraih sebuah buku. Disobeknya bagian tengah buku itu. Tangan kanannya telah siap memegang sebuah bolpoin. Baiklah, sekarang kita biarkan dia serius menjadi Heldy. Semoga kamu berhasil memikat Engel. *** “Sam boleh Abah bertanya?” “Apa itu Bah?” “Abah lihat kamu jarang salat, mengaji pun tak pernah kedengeran, mengapa?” “Salat ah, mungkin saja memang kebetulan gak keliatan.” “Ah, Ibu yang cerita begitu sama Abah, mana mungkin ibumu berbohong Sam.” “Ya em aaaa em …” “Sudahlah, tidak perlu mencari alasan.” Ayah Sam kemudian merangkul punggung anaknya. “Kamu memang masih muda, tetapi dalam agama, kamu telah termasuk akhir balig, yang artinya kini salatmu itu telah 73

menjadi kewajibanmu. Kalau kamu tidak salat, kamu menanggung sendiri dosanya.” “Iya Bah, Sam salat kok.” “Yee mengelak lagi, Abah sebagai ayahmu hanya bisa menasihati, memberikan contoh yang baik padamu, pada akhirnya kamu sendirilah yang menentukan. Pikirkan hal itu baik-baik Sam, kamu tidak pernah tahu kan apa yang akan terjadi esok hari.” “Iya Bah, Sam mengerti.” “Apa kamu mulai tidak percaya pada Tuhan?” “Percaya Bah percaya.” “Jika kamu percaya, maka berdoalah padanya, agar doamu dikabulkan, senangkanlah Tuhan dengan kamu menjalankan kewajibanmu.” “Siaaaaap komandan!” “Ya sudah sana, katanya mau langsung berangkat.” “Iya, salam dulu sama komandan, assalamualaikum.” “Heemm dasar.” Kepala Sam diusap-usap oleh ayahnya. “Walaikumsallam.” Pagi itu tak terlihat Ibu menyambut Sam. Ibu tengah sibuk menyetrika baju sehabis sebelumnya menyirami tanaman. Matahari belum tampak. Daun pun masih bermanja dengan air-air embun. Sam telah mantap melaksanakan perjalanan sucinya. *** “Hey kamu lagi, tumben pagi sekali sekarang.” 74

“Iya Pak, angkotnya masih sepi ya?” “Iyalah, ini baru putaran pertama Dek.” “Owalah pantesan.” “Paling tadi ada rame ibu-ibu ke pasar, tapi sudah berhenti di Pasar Jagasatru, seratus meter dari sini.” “Iya Pak tau.” “Kirain kamu anak rumahan.” “Hahaha salah orang berarti.” Sam telah duduk dengan manis di samping sang sopir. Tak disangka, sopir angkot itu adalah sopir angkot yang sama ketika Sam pertama kali ke sekolah, tentunya sesudah memakai seragam putih abu-abu. Apalagi ya wejangan yang dia berikan kali ini? “Namamu siapa, Dek?” “Samudra, Pak.” “Wah Samudra, cinta seluas samudra, hati selapang samudra, Samudra Hindia, Samudra Pasifik hahahaha!” “Ah Bapak ini, lawakan orang tua.” Sam dan Pak Sopir tertawa sedikit. “Kalau Bapak sendiri namanya siapa?” “Wo aku namanya Coerul Goenawan, disingkat Cegu, biasa tementemen manggilnya Cegu.” “Salam kenal Pak Cegu.” “Salam kenal juga.” Pak Cegu kemudian meminggirkan angkotnya. “Salaman dulu biar afdol, biar sah, nih.” 75

Kedua orang itu pun bersalaman. Sam rupanya telah menemukan sahabat barunya kini. Umur kedua orang tua itu memang berbeda, zaman yang mereka jalani pun tak sama, tapi dalam teori jalanan, hal itu sungguh tidak berlaku. “Ada yang salah lagi tidak Pak dengan bajuku?” Baru saja mobil bercat biru muda itu jalan, Sam sudah memancing obrolan lagi. Dia mungkin rindu wejangan kawan tuanya ini. “Hmmm apa ya?” “Apa hayo?” “Nah! Ini, kalau kemarin dalam pakaian itu terdapat doa orang tuamu, kini dalam pakaianmu, terdapat pula keringat para pembuatnya.” “Boleh aku bertanya lagi maksudnya?” “Ya, bajumu itu disumbangkan oleh keringat para pekerja yang mengubah kapas menjadi kain. Ada pula benang-benang yang menyambungkan kain itu menjadi baju. Itu sumbangan lelah para penjahit-penjahit ulung. Kancingmu itu hasil daripada mereka yang tidak tidur mendaur karet menjadi kancing.” “Lalu apalagi?” “Ya lalu keringat-keringat itu berkumpul menjadi baju yang kamu pakai ini.” Pak Cegu yang tetap menggunakan topi merahnya itu, menarik sedikit baju Sam. “Baju ini terbentuk dari lelahnya mereka.” “Terus aku harus gimana Pak membalas mereka?”

76

“Kamu harus bermimpi, suatu saat nanti kamu bisa menjadi pemimpin, buat kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan mereka. Minimalnya, jangan pernah merendahkan merekalah, itu cukup.” “Aduh Pak, masih jauh itu, tapi terima kasih saran dan ilmunya.” “Ya bermimpi sajalah.” “Tapi jujur, aku sama sekali tidak kepikiran akan hal itu sebelumnya, benar juga ya Pak kalau dipikir-pikir.” “Ya begitulah kenyataan, kadang yang bekerja itu lebih memilih diam karena mereka malu dan sadar akan pekerjaanya yang kadang tak sempurna. Sedangkan yang tidak bekerja, mereka lebih banyak bicara, untuk menutupi kediamannya.” Sam mengangguk-anggukan kepala. Tak habis pikir dia dengan apa yang dikatakan oleh seorang sopir angkot. Itulah Sam, kenyataan itu selamanya tidak kamu dapatkan dari buku, turunlah ke bawah! *** Sam kini telah berada di kelas sepuluh-tiga. Dia memilih mendek dan membersihkan sedikit kolong meja Melina. Rupanya dia penasaran, mungkin saja dengan begitu, dia bisa tahu kesukaan Melina. Kasian sekali kamu Sam. “Heldy, sentuhlah perasaannya.” Sam berlalu pergi meninggalkan sepucuk surat yang dia taruh dengan begitu rapi. Kali ini dia menambahkan satu buah cokelat di atas surat itu. Dadah Sam …. *** 77

Heldy dan Engel dari Planet Lenski

Murid-murid SMA Negeri 1 mulai berdatangan. Bapak dan ibu guru pun terlihat mulai memasuki kantornya. Suasananya riuh-rendah tak karuan. Memang seperti itu di mana pun sekolahnya, bukan? Melina datang dengan kedua tangannya memeluk buku. Kakinya tak terlihat, maklum, rok yang dia gunakan panjang. Melina ini, kata teman-temannya, adalah seorang mualaf. Ayah dan ibunya dulu atheis, tapi kini memeluk Islam. Kedua orang tuanya adalah sisa-sisa anggota Partai Komunis dari Uni Soviet. Jadi wajar, wajahnya yang sedikit ke-indo-indoan semakin lucu terbungkus jilbab. Seorang laki-laki menemani langkah kakinya, tepat di samping. Sam mungkin cemburu jika dia tahu ini. Tapi sepertinya belum mungkin dalam waktu dekat ini, kelas Sam jauh ada di belakang dan tidak tergabung dalam bangunan kelas Melina. Dan laki-laki itu, hmm. “Kamu tadi malam belajar apa Mel?” “Sedikit aja Kak, aku tidur sorean Kak.” “Ah, sama sih Kakak juga, tapi lumayan sedikit menghafal beberapa rumus algoritma.” “Wah keren itu Kak, ajarin Melina kapan-kapan ya?” “Boleh, dengan senang hati.”

78

Sayang sekali Sam, kamu kalah tampan. Biar aku yang menebak, kakak kelas itu, ya kakak kelas, tinggi dan putih. Wajahnya bersih dan tampan. Badannya pun berisi. Kelihatannya dia juga pandai. Dia sepertinya anak orang berada. Sepatu, celana, jam, dan tasnya semua bermerek. Pokoknya Sam, berbanding terbalik denganmu, kamu harus mulai berjaga diri. “Makasih ya sudah mau mengantar aku sampai ke kelas.” “Ah tidak juga Mel, kebetulan aja arah kita sama.” Kakak kelas itu tersenyum senang. Kedua tangannya memegangi pengait tas. “Besok bisa bareng lagi kan Mel?” “Bisa sekali Kak, sungguh bisa.” “Okey, Kakak ke kelas ya.” Desi langsung berlari menyambut kedatangan kedua remaja itu. “Hey, aku Desi sahabat Mel!” langsung saja Desi menyodorkan tangannya. “Aku Indra, panggilnya Ndra.” “Haha bisa aja.” “Pacarnya Melina ya?” “Bukan Desiiii, ih!” Melina tersipu malu. “Bukan kok, tapi gak tau nanti.” “Ciye, ciye, ciyeee, uhuy!” Desi menggoda Melina yang semakin malu. “Pamit dulu ya Desi, Melina.”

79

Oh Sam, bersabarlah, tahan emosimu ya kalau sampai nanti kamu harus tahu kenyataan ini. Cinta itu bukan soal ketampanan kok Sam, cinta itu soal bagaimana kamu bisa membuatnya selalu bahagia. Dan kamu pasti bisa melakukan itu. Melina langsung duduk di kursi kesukaannya. Melina memang sedari awal memilih kursi itu. Dia merasa bahwa di situlah tempat yang paling ideal: bisa melihat guru mengajar, melihat semua teman kelas, dan tentunya pemandangan yang indah yang tersaji lewat bunga-bunga di sekeliling lapangan upacara. Melina kini mulai menggerayangi kolong mejanya. Belum sempat Desi melihat tingkahnya, Melina telah berhasil menaruh cokelat dan surat yang dia tunggu-tunggu. *** Langit begitu cerah. Awan mendung tak terlihat warnanya di atas sana. Cuacanya begitu sejuk dan indah. Burung-burung kenari yang biasa menempel di pohon pun bersiap membuat sarangnya. Pohon bergerak kecil memberikan sepoian angin. Biasanya kalau begini, orang mudah terpancing kantuknya dan tertidur pulas. Masalahnya, birunya angkasa menawarkan kondisi yang pas. Di kelas sepuluh-tujuh. Guru fisika menjadi pembuka pelajaran. Hari itu, Rabu, ya Rabu, masih begitu polos wajah siswa-siswi yang baru saja hadir. Perhatian itu kemudian tertuju pada meja nomor satu dari belakang, di deretan pojok kanan. Sam, rupanya tak peduli, mimpinya semalam dia lanjutkan di dalam kelas. Sam, bagaimana kamu ini, malah tertidur. “Sam bangun Sam, Pak Ade sudah masuk!” 80

“Hmm, iya Wir, sebentar ah, capek sekali aku.” “Apa semalaman kamu belajar?” “Ah tidak Wir, ngantuk aja.” “Ya sudah lanjutkan, biar kututupi kamu dengan buku.” Pak Ade ini kebetulan adalah wali kelas Sam. Dia mengajar mata pelajaran fisika. Mirip sekali wajahnya dengan Oo, penjual dvd di Glodok. Kacamatanya yang tipis, tubuhnya yang sedikit gempal, caranya bicara, dan muka layaknya Jackie Chan. Sungguh, tidak bohong. Pak Ade ini orangnya begitu sabar. Dia jarang sekali marah. Cocoklah menjadi bapak bagi anak-anak nakal kelas sepuluh-tujuh. “Itu yang pojok siapa, maju ke sini?!” Pak Ade menunjuk tepat ke arah buku yang menutupi Sam. “Sam bangun Sam!” Nawir menyenggol keras kaki Sam. “Hmmm, iya Pak hadir.” “Maju sini, kerjakan soal ini.” “Pak, tidak bisa Pak, maaf.” “Ya suda sebelahnya saja, yang wanita itu, ya kamu maju.” Itulah Pak Ade, dia tidak pernah memaksa siswanya yang memang tidak mampu mengerjakan soal. Bukan berarti dia tidak tegas, dia pasti menegur, namun dalam waktu dan kesempatan yang lain. Benar-benar guru yang mengerti. Kini tidur Sam pun berlanjut. Kepalanya kembali ditundukkan. Nawir hanya geli dan tersenyum dengan tangan menutupi mulutnya. Beruntunglah kamu Sam, beruntung sekali lagi, guru fisikamu orangnya baik. 81

*** Melina belum pulang ke kamarnya. Surat kecil dan cokelat yang mulai mencair telah menunggunya di meja belajar. Kita tunggu sajalah dia. “Haha, Kakak ini bisa saja melawak!” “Lah memang iya kan, bayangin coba kan kalau kamu cari pacar yang ternyata dia ga lebih pinter, kamu pasti malu.” “Iya sih, tapi masa iya pacarannya makan cinta aja?” “Ya iya, orang dia yang dipunyai cuma cinta aja kok, sedangkan pacaran kan butuh nonton sama makan bareng juga. Pacaran butuh piknik pokokna mah-lah.” “Tapi percaya gak, bahwa ketika kebahagiaan itu telah hadir, uang pun tidak dibutuhkan lagi.” “Ya, tapi sayangnya uang itu yang membuat bahagia.” “Yeee, ya gak melulu itu Kak, hati juga kan butuh kata-kata sama perhatian yang benar-benar tulus. Percuma dong, kalo mikirnya uang aja, sama aja kita menjual kebahagiaan kita dengan uang.” “Ya mungkin, tapi kan tetep uang, hahaha!” “Hahaha!” Melina tertawa sambil menahan bingung di dalam hatinya. “Sudah malam ini ah, sudah jam sembilan, Kakak pulang ya, besok kita lanjutkan lagi Mel.” “Iya Kakak.” Selang beberapa menit setelah kata perpisahan itu, motor sport yang dipakai Indra pun berjalan kencang. Suaranya begitu keren dan istimewa. Sangat mahal sepertinya. 82

Teras kos Melina pun menjadi sepi kembali. Bulan yang sudah menampilkan wajahnya dengan cantik, kini tak lagi kesepian. Melina, adalah penikmat bulan yang sangat taat. Melina selalu menyempatkan waktu sepuluh menit sebelum tidurnya, hanya untuk menatap bulan dan menuliskan puisi. Kesunyian adalah harapan bulan mencuri perhatian Melina. Kali ini dia telah santai di kursi kamarnya. Jilbabnya kembali dilepas. Daster bergambar hello kitty menjadi penutup body-nya. “Maaf Heldy, aku tau kamu menungguku, aku kini bersiap menjadi Engel.” Melina mengajak surat itu berbicara. Dia tak lupa membuka cokelat yang mungkin rasanya telah bercampur dengan air.

Engel, Heldy-mu datang memberi senyum Terima kasih atas surat balasanmu. Aku jauh-jauh dari planet Lenksi hanya untuk menemuimu. Bumi jaraknya cukup membuat lelah ya dari sini. Engel, hari ini apa saja yang kamu lakukan? Aku harap kamu bahagia ya, dengan senyuman tentunya kamu baca surat ini. Oh iya, aku tidak mau menggantikan adikmu. Aku yakin dia jauh lebih spesial dariku. Aku mau menjadi sesuatu yang baru, yang datang menyapamu untuk membuatmu senang sebelum tidur. Terima kasih, kini kita berada dalam dunia yang sama, aku telah membawamu ke Planet Lenski.

Heldy  83

Melina mulai gembira dengan rutinitas barunya ini. Dia seperti menemukan permainan yang baru. “Aaah Heldy, siapa sih kamu sebenarnya? Mengapa tak kamu tunjukkan saja wajahmu langsung di hadapanku?” Melina cukup suka dengan apa yang ditulis Sam. Kata-kata yang dipilih Sam menarik hatinya. Kini dia merasa bahwa Heldy dan Engel telah saling mengenal dengan cukup baik, bahkan berdekatan. Melina menyiapkan kertas berwarna biru yang tadi siang dia beli. Bolpoinnya dia taruh tepat di sebelah kiri surat itu. Sebelum dia memberikan balasan, dia ingin menghabiskan terlebih dahulu cokelatnya sambil menatap purnama. ***

84

Merokok

Semenjak pertemuan di kantin dan berakhir di ruangan wakil kepala sekolah, Sam tak pernah lagi bertemu dengan Cris. Peraturan telah membatasi pertemanannya. Memang selalu ada hal yang harus dikorbankan dalam setiap pilihan yang diambil. Sam mau tidak mau harus berusaha kembali beradaptasi dengan lingkungan barunya. Untunglah, Sam orangnya tidak terlalu tertutup terhadap perubahan. Benjamin, Anto, Ogi, Nawir, Erwin, dan Dayat telah berhasil menjadi sahabat barunya sekarang. Mereka menggantikan Cris yang hilang. Terhitung sekitar dua bulan teman-teman kelas itu bersama. Mereka memang belum melewati banyak hal bersama-sama, tetapi sepertinya keakraban itu telah terbangun dan memancarkan cahaya yang terang. Sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti. Dalam setiap perubahan, tentu ada suatu hal yang baru. Sam kini lebih bisa sedikit sabar, tidak terlalu emosian bahkan lebih sering tertawa. Syukurlah Sam. Ya, setiap manusia memang memiliki rahasianya sendiri. Sekalipun Sam telah dekat dan mungkin bisa dikatakan seperti saudara, Sam tetap menyembunyikan ketertarikannya pada Melina. Dia tidak mau rahasianya menyeberang terlalu jauh.

85

Apa yang kamu lakukan sudah benar Sam, karena jika itu terjadi, siapsiaplah menyebar luas dari jangkauanmu Sam. Setidaknya itu menurut Rumi dalam Maswani bagian “Kelinci Menyembunyikan Rahasia Pikirannya”. *** Rahasia itu tidak hanya berbentuk pribadi, kadangkala juga ada rahasia bersama. Sampai dituliskannya cerita ini, ada rahasia Sam dan teman-temannya yang belum pernah terbongkar. Rahasia itu adalah merokok di jam istirahat. Kantin tengah mulai sedikit sepi. Hari Jumat jam istirahat memang tidaklah terlalu lama, hanya sekitar 25 menitlah. Sam dan gerombolannya justru baru datang di saat anak-anak lain pergi. Seperti sudah menjadi kebiasaan memang, mereka selalu telat pada hari Jumat. “Bu, „panjang‟ tiga ya Bu.” “Iya Mas Ogi.” “Jangan lama-lama Bu, mumpung sepi.” “Oke, tiga ribu saja Mas.” “Ini Bu.” Ogi menyalami tangan ibu warung itu, duit seribuan tiga dibuatnya kecil dan menjadi satu. “Ini Mas,” perempuan tua bersanggul itu kemudian memberikan sesuatu yang kelihatannya cukup rahasia. “Terima kasih Bu.” Ogi memang sudah kenal betul dengan ibu itu. Saking kenalnya, Ogi beberapa kali makan tanpa perlu membayar. Tidak hutang, tidak minta juga, hanya pemberian saja. 86

Pria dengan rambut kribo ini kemudian mengomandoi Sam, Benjamin, Erwin, dan Dayat menuju kamar mandi. Satu lagi yang hampir saja lupa, yaitu belum memperkenalkan Dayat. Dayat adalah pria bermata sipit dengan tinggi badan seimbang dengan Sam, sekitar 169 sentimeter. Rambutnya lurus rapi dan perwajahannya satu-dua dengan VJ Daniel. Cukuplah untuk diimajinasikan. Mereka berlima telah sampai di toilet. Ogi masuk terlebih dahulu. Sam dan Benjamin menyusul namun dengan kamar yang berbeda. Erwin ikut ke barisan Ogi. Dayat masih di luar. “Aman Bro.” Dayat menyelinap mencampuri kamar mandi di mana Sam dan Benjamin telah berada di dalamnya. Pintu kamar mandi itu sedikit reyot, hampir saja roboh ketika Dayat begitu kencang menutupnya. “Eh Ya Allah, tolong ini Sam!” “Aduh iya.” “Eh cepetan ini, mau rubuh!” “Iya!” “Naaaah!” Sam dan Dayat memegangi pintu yang hampir rubuh itu berdua. Adaada saja. Toilet laki-laki kelas satu hanya terdiri dari dua kamar mandi dan lima tempat kencing di luar. Berbeda dengan toilet wanita, dari awal sampai ujungnnya seluruhnya kamar mandi. “Kita nyalakan ini?” 87

“Iya nyalain dong.” “Merdeka ya!” “Merdeka empat-lima!” Sam bertanya kepada Benjamin dan Dayat. Keduanya mengangguk dan setuju. Inilah rahasia itu, rahasia yang mungkin sampai sekarang pun belum cukup diketahui. Ogi, sebagai seorang pelaku utama bertugas untuk membeli amunisi. Karena amunisi itu terlalu berbahaya, perlu dibentuk suatu kode, yaitu “panjang”. Panjang adalah rokok. Pada waktu itu, rokok bagi anak SMA standarnya hampir sama dengan haramnya narkoba saat ini, jadi perlulah hati-hati. Itu yang pertama. Kedua, mereka bersatu dan berkumpul di WC. Agar tidak memberikan kesempatan pada orang lain memakai kamar mandi, maka semua (dua) kamar mandi itu mereka isi. Dayat bertindak sebagai pengawas. Dia diberi tugas untuk memastikan suasana kondusif dan aman. Setelah semua sesuai dengan keinginan, Dayat baru ikut bergabung. Begitulah caranya. Muda dan tua adalah soal umur, dewasa dikategorikan sebagai pilihan, tetapi yang namanya pengalaman itu abadi. *** Kelas 10.3 “Mel, lama sekali sih beresin bukunya?” “Iya Des, ini loh banyak sekali peralatannya tadi, dari praktek kimia sampe fisika.” 88

“Ah ya sudahlah, aku tunggu di depan ya?” “Iya, lebih baik begitu Des, daripada kamu kecewa karena menunggu.” “Sudah kecewa.” “Ya sudah cepet gih sanah.” Desi melenyapkan diri dari sorotan mata Melina. Sepertinya dia punya ilmu langkah seribu. Melina masih sibuk dengan barang-barangnya. Buku, penggaris, tepak, bahkan botol-botol kimia dia masukkan satu per satu ke dalam tas. “Ah beres juga.” Melina menghela napas, ritsleting kantong besar tasnya ditutup. Dia tersenyum. Kantong kecil yang berada di bagian depan tasnya dibuka pelan. Dia keluarkan amplop cantik berwarna biru. Amplop itu dipegangnya cukup erat. Di dekat tutupnya tertulis, untukmu, Heldy. “Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.” Cukup dalam juga Melina memasukkan kedua tangannya ke kolong meja. Dia sumringah dan berlari meloncat-loncat meninggalkan kelas sepuluh-tiga. ***

89

Surat Kedua Melina

Greeengggg! Suara motor terdengar berhenti di depan rumah Sam. “Assalamualaikum Bu!” “Iya masuk aja gak dikunci!” Sam membuka pintu perlahan. Ibu dan ayahnya menjadi pemandangan pertama yang Sam lihat. Pasangan suami-istri itu sedang asyik menyantap makan. “Bu maaf, ini Benjamin ngajak Sam keluar sampe malem.” “Iya Ben gak papa.” “Sudah makan belum Ben?” “Belum Bu.” “Aduuh ya uda sana cepet pulang gih makan dulu.” “Hahaha iya Bu, mau langsung pulang ini juga.” “Eh bercanda, Ya Allah, iya hati-hati.” Ibu Sam kemudian berlari menyambut salam Benjamin. “Besok-besok jangan malem-malem ah pulangnya.” “Iya Bu, ada perlu tadi.” Sam hanya menggaruk kepalanya melihat tingkah Ibu.

90

Benjamin kini telah pergi. Bau kenalpot motornya meruak sampai ke dalam rumah. Ya, lumayanlah menggantikan pewangi ruangan. Sam menaruh jaket jeansnya menggantung di ujung kursi makan. Sam kemudian bergabung dengan ayahnya di meja makan. Setelah menutup pintu, ibu Sam juga duduk bersama dengan dua orang tadi. “Nok sudah tidur?” Sam biasa menyebut adiknya dengan sebutan Nok. “Sudah dari tadi.” Ibu menjawab sambil mengisi nasi ke piring suaminya. “Kamu dari mana Sam?” Ayah mulai membuka mulutnya. “Habis kumpul di rumah Erwin, di Kanoman situh deket.” “Untuk apa?” “Ada ujian seni musik Bah, besok tuh.” “Ga bisa siang latihannya?” “Latihan sih emang siang, tadi bikin rencana besok gayanya gimana.” “Selama itu, sampe jam sebelas malam?” “Iya, banyak keseling ngobrolnya Abah.” “Ooooo, lain kali jangan diulangi lagi yang begini, tidak baik pulang sampai larut.” “Iya Bah, terakhir kok ini.” Ayah Sam terlihat cukup kesal. Tetapi, tidak juga sepertinya, dia kemudian melanjutkan santapan lalapnya.

91

Ibu memang pintar mengambil peran. Ibu selalu diam dalam keadaan seperti ini. Dia sepertinya urung ikut campur, apalagi dua pria di depannya adalah orang yang dia cintai. “Abah mah bukan ngelarang kamu pulang malam atau gimana, cuma rada gak sebanding aja dengan belajarmu.” “Maksudnya?” “Ya, bolehlah kamu itu pulang malem, asalkan, inget asalkan loh ini, nilai ujian kamu, nilai ulangan harian kamu, itu sudah di atas delapan semua.” “Insya Allah berusaha Bah.” “Tugasmu itu tidak banyak, orang tuamu pun tak menuntut lebih, cukup kamu tanggung jawab dengan apa yang sedang kamu jalani saat ini orang tuamu sudah senang. Kamu saat ini sedang diamanahi untuk belajar di SMA. Oleh karena itu tanggung jawabmu itu belajar agar dapat nilai ujian yang terbaik, dan lulus masuk perguruan tinggi yang sesuai keinginanmu.” “Iya Bah.” “Jangan pikirkan yang lain, pikirkan saja apa yang sedang ada di depanmu Nak.” “Siaaap komandan!” “Ya sudah sana, wudu lalu salat dan tidur.” Sam langsung mengambil wudu. Setelah selesai salat di musala, Sam secepat kilat naik ke lantai dua. Breg! Suara pintu kamar terdengar ditutup. *** 92

Bulan rupanya sedang mencapai puncak purnama. Awan-awan di sebelahnya menyingkir. Bintang-bintang pun terpandang malu. Indah sekali pokoknya. Sewaktu kecil, Sam pernah berbisik kepada ibunya. Dia terpukau melihat malam yang begitu cantik. Dia meminta ibunya untuk menjaga agar malam itu tidak tertidur. Ya, namanya anak kecil, imajinasinya kadang tak masuk di akal. Begitu sepi dan sunyi malam itu. Krikikan jangkrik pun begitu merdu bak simfoni di tengah hari. Desiran angin kadangkala muncul membangkitkan bulu kuduk yang lesu. Sam telah terbaring menghadap langit-langit kamarnya. Selimut cokelatnya dibiarkan hanya sampai dengkul kaki. Tangannya meraba mengambil amplop biru. Pelan-pelan surat itu dia angkat kemudian dia buka pengaitnya dengan penuh keyakinan.

Aku mau tebak, kamu pasti Heldy kan, pria misterius itu. Jika tebakanku benar, kamu boleh tersenyum sambil membayangkan wajahku, karena aku juga sedang tersenyum. Kemarin aku didatangi oleh seorang makhluk dari bumi. Dia mengantarku berangkat sekolah. Malamnya, dia mengajakku bicara tentang sesuatu yang katanya cinta. Ah, cukup menarik walau kadang membosankan. Untunglah ada cokelatmu yang mendaimakan perasaanku. Kamu juga pernah dekat dengan seseorang? Bagaimana harimu Heldy? Jangan lupa mampir ke Berlin ya kalau ke Bumi. Terima kasih telah datang untuk bicara  93

“Ah Melina, mengapa juga sampai kamu ceritakan masalah itu. Suratmu yang bagus ini jadinya tampak jelek. Harus bagaimana ini aku?” Hati Sam gundah. Dia berbincang cukup lama dengan nafsunya. Semoga tidak ada nasib yang salah menyentuh hari-harimu. Sedih dan bahagiamu itu Sam, tergantung sebagai siapa kamu malam ini. Jika kamu memposisikan dirimu sebagai Sam, kurasa mungkin kamu sedih. Andaikata kamu saat ini adalah Heldy, ini sinyal terbaik yang perlu kamu lanjutkan. Sam, Sam, hey Sam, apakah kamu tak mendengar? Sam rupanya telah memejamkan matanya rapat-rapat. Dia tertidur tanpa lupa mendengkur. Dasar kamu Sam …. ***

94

Penasaran Kita tidak berjauhan, tidak pula saling mengabaikan. Kita hanya menunggu Tuhan menentukan takdirnya, sederhana bukan - Bakhrul Amal

Setiap manusia di dunia ini selalu dikaruniai satu rasa oleh Tuhan, rasa itu adalah rasa penasaran. Manusia selalu ingin tahu. Manusia selalu ingin bisa seperti manusia yang lainnya. Manusia selalu kepingin dapat mengerti tentang arti kehidupan ini. Manusia selalu mencari rahasia bagaimana caranya agar dia dapat hidup tenang dan damai. Dan pada akhirnya, manusia selalu penasaran. Sam, sebagai dirinya yang tentu manusia, Sam merasakan apa yang dinamakan penasaran itu. Sam memang tidur begitu cepat, akan tetapi Sam menaruh cemas dalam pejaman matanya. Lelaki muda itu menerka-nerka, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Melina itu? Apakah Sam sedang cemburu? Ya, tidak ada yang tahu tentang hal itu. Jika berkaca pada kenyataan, Melina sewajarnya tidak cukup sulit memilih Sam atau Kak Indra. Sambil menutup mata pun Melina tahu, dia pastinya memilih Kak Indra. Namun dunia itu teka-teki, segala persoalannya tidak bisa ditakar melalui prinsip untung-rugi, apalagi soal cinta. Cinta itu berbeda dengan kenyataan, cinta itu abstrak, cinta itu bisa dirasakan tetapi wujudnya tak dapat kita lihat. Tenanglah Sam …. 95

Cinta itu tak bertanya siapa kamu, cinta itu hanya sekumpulan alasan mengapa dia merasa nyaman bersamamu. Jadi Sam, jika memang kamu penasaran, kamu juga semestinya harus mempersiapkan hati dan pribadimu. Itu sih saran saja, selebihnya buktikan sendiri. *** Ketika Sam kecil, Sam mungkin masih disuguhi cerita tentang nama sembilan planet. Salah satu dari sembilan planet itu bernama Pluto. Planet yang letaknya paling jauh dari matahari. Hari itu, 26 Agustus tepatnya, dunia astronomi mengeluarkan suatu trobosan baru mengenai definisi planet. Planet haruslah memenuhi tiga kategori yang terdiri dari, is massive enough to be rounded by its own gravity, is not massive enough to cause thermonuclear fusion, and has cleared its neighbouring region of planetesimals. Planet, kata para astronomi itu, adalah benda astronomi yang mengorbit sebuah bintang atau sisa bintang yang cukup besar untuk memiliki gravitasi sendiri, tidak terlalu besar untuk menciptakan fusi termonuklir, dan telah "membersihkan" daerah sekitar orbitnya yang dipenuhi planetesimal. Entah bagaimana cara para astronom itu mengklasifikasikanya, Pluto mulai saat itu tidak dianggap lagi sebagai planet. Setidaknya ada dua alasan, Pluto terlalu sulit dideteksi dan letaknya amatlah jauh dari matahari. “Kamu harus tau itu, supaya nanti kelak kamu bisa bercerita pada anakmu soal Pluto ini.”

96

Ayah Sam merangkul anak laki-lakinya dengan tangan kanan. Tangan kirinya dia arahkan ke langit sembari menunjuk. Sarungnya terlihat sedikit melorot karena tak dipegangi. Ada-ada saja memang ayah Sam. “Oh begitu ya Bah.” “Iya begitu.” “Manusia pun sama berarti, kalau dia ngelakuin hal-hal yang jauh dari kategori manusia, seperti memakan teman sendiri, membunuh layaknya binatang, maka dia bukan manusia.” “Ya betul, bisa seperti itu.” Sam merangkai jauh kata-kata ayahnya. Dia terlihat cukup segar menanggapi obrolan penting pagi ini. “Ya udah, Sam mau berangkat Bah.” “Iya, sudah dihabisin belum makannya tadi?” “Sudah kok.” “Ya uda, hati-hati, nanti Abah yang salamin ke Ibu.” “Asalamualaikum Bah.” “Walaikumsalam.” Rasanya alam raya ikut bahagia memperhatikan momen langka ini. Sam dan ayahnya saling memberikan masukan yang sehat. Alam seolah menunjukan kebahagiaannya itu dengan cuaca. Matahari tak cepat muncul. Sinarnya hanya kecil menembus awan yang bergumul dari arah pantai utara. Langit begitu biru, pekat dengan penuh makna yang dalam. Sisaan bulan tercetak rapi di pojok kiri. Oh terima kasih Tuhan atas keindahan yang Kau suguhkan pagi ini. 97

Sam pun begitu tenang meninggalkan rumah tercintanya. Kepalanya tegak dengan jalan yang begitu percaya diri. Bajunya dimasukkan sehingga sabuk celananya terlihat menantang. Siulan kecil dia keluarkan dalam perjalanan itu. Selamat berangkat ke sekolah Sam. *** Kantin sekolah masih seperti biasanya, selalu ramai dan penuh dengan segala macam transaksi jual-belinya. Sepertinya jajanan yang ada di situ tidak pernah membosankan. Atau juga, karena apapun makanannya semua memang rasanya menjadi enak ketika lapar? Mungkin itu bisa menjadi salah satu alasan. Hari itu, putih abu-abu tidak ada, yang ada hanyalah cokelat muda dan tua. Ya, setiap hari Sabtu, seluruh siswa diwajibkan menggunakan seragam pramuka. Entahlah, sejak kapan aturan itu dimulai, yang jelas angkatan Sam ikut mengalaminya. Mungkin tidak banyak yang tahu juga sejarah mengapa seragam pramuka itu berwarna cokelat muda dan tua. Pak Ruslani, guru matematika Sam, mengibaratkan dua corak warna itu adalah representasi dari tanah dan air. Sementara dalam buku kecil pramuka, dijelaskan jika warna itu dipilih berdasarkan warna yang paling banyak digunakan oleh pejuang kita. Ya, yang benar yang mana, hanya pelaku sejarah itulah yang tahu. Kini kita kembali lagi ke kantin. “Win, anak-anak pada ke mana?” “Ga tau Sam, katanya sih pada siap-siap buat ulangan nanti habis istirahat.” “Emang ada ya?” 98

“Ya, kayaknya sih pelajaran matematika.” “Kok kayaknya sih? Gimana kamu ini.” “Hahaha, buku pelajaran itu sama sekali belum pernah aku sentuh Sam, maklumlah.” “Untuk hal ini kita sama Win, aku juga.” “Hahaha!” Sam dan Erwin begitu asik berbincang. Mereka berdua tak sadar sudah lebih dari delapan gorengan mereka makan. Nasi kuning yang semula berada di atas meja pun telah lenyap dan menyisakan piring yang bersih. “Aku pinjem duit ya Sam, kayaknya bakal habis banyak.” “Gampanglah Win, ngutang juga kan boleh.” “Ah ga enak ah, katanya kalo ngutang tuh pahala kita gak diitung, diberikan buat orang di mana kita ngutang.” “Aturan dari mana itu? Emang pahala bisa ya dipindah-pindah?” “Kata orang tua sih gitu Sam.” “Semoga saja orang tuamu tidak sedang mengkhayal.” “Semoga sih iya, amin Ya Allah.” Sam kemudian mengecilkan volume suaranya. “Katanya si Melina itu sudah pacaran?” Sam mencoba memancing. “Mana kutahu Sam, coba tanyakan sama Desi, dia lebih paham tentang hal ini.” “Aku gak deket sama Desi.” “Apalagi aku. Ya coba kenalanlah, usaha sedikit kenapa Bro?” 99

“Kalau buat Melina, jangankan sedikit, banyak pun aku kasih Win.” “Nah, nah kan, suka ya kamu sama dia?” “Kaya gak tau aku aja Win, bercandalah hehe.” “Hehe, ya tapi ga usah grogi juga Sam.” “Aku mah santai Win, kan selama janur kuning belum melengkung semua masih punya kesempatan, hehe.” “Iya kalau kesempatan itu datang buat kamu, kalau datangnya untuk orang lain?” “…” Sam kemudian mendadak saja terdiam. Matanya menyorot jauh ke kursi pojok yang jaraknya sekitar tujuh meter dari tempatnya duduk. Sam berada di depan koperasi, sementara kursi itu ada di ruko makanan nomor tiga. Gorengan yang ada di tangan Sam bahkan tak tersentuh akibat itu. Di kursi yang menjadi perhatian Sam, ada dua orang wanita dan satu laki-laki sedang berbincang. Dua orang wanita duduk membelakangi Sam, yang laki-laki berhadapan mata dengan Sam dan Erwin. Jika menelisik dari jilbabnya, salah satu wanita itu adalah Melina. Lalu, laki-laki itu siapa? Belum sempat Sam memperhatikan lebih jauh Kak Indra, Erwin buruburu mengajak Sam balik ke kelas. “Sam, hey Sam!” “Eh, iya Win?” “Ke kelas yuk!” Erwin telah berdiri. “Oke deh.” Sam ikut berdiri. 100

Kedua orang ini seperti raksasa dan kurcaci apabila sudah sejajar. Tinggi Sam hanya sekitar 169 senti sementara Erwin 180 sentian. Ada gap yang cukup jauh. Kasihan sekali kamu Sam. “Yuk ah!” “Iya, dibayar dulu Win sebentar.” “Bu, itu semuanya di Sam ya Bu.” “Iya Win.” Ibu Koperasi menjawab. “Sialan. Ini Bu, kembalinya besok lagi aja.” Sam menyerahkan sejumlah duitnya kepada Ibu Koperasi. “Siap Mas Sam.” Perlahan-lahan kedua manusia itu enyah dari kantin. Tatapan dua bola mata Sam sempat menoleh sejenak ke belakang. Dia mencetak wajah kakak kelas yang duduk bersama dengan Melina. Sudahlah Sam, nanti juga kamu akan mengerti. Meskipun mungkin pengertian itu kamu dapatkan dari kebenaran yang akan menyakitimu. ***

101

Yang Teramat Cantik

Kota Cirebon yang ada pada cerita ini adalah Kota Cirebon yang masih begitu sepi. Belum banyak mal ataupun cafe yang bisa didatangi. Jumlahnya masih sangatlah sedikit. Tidak jarang tempat seperti Mesanin di Grage Mal, Lesehan Kartini, Mi GET, serta kedai susu murni menjadi tempat yang laris dan dikenal. Jika sedikit bosan maka bioskop adalah obat penawarnya. Meskipun begitu, dahulu selalu saja lebih indah dari saat ini, entah kenapa. Taburan bintang di langit begitu memesona. Putih-putih awan bak kapas menghiasi dinding penutup bumi. Bulan menampakkan sabitnya yang tipis seperti ujung pedang yang melengkung. Kerlip-kerlip cahaya dari pesawat yang melintas pun tak urung ikut memanjakan. Lampu-lampu jalan menuju kos Melina telah menyala. Taman kecil di depan rumah bertingkat dua dan berisi sepuluh kamar itu sungguh indah di malam hari. Ada sekitar sepuluh kunang-kunang yang terlihat lincah menciumi ujung kamboja. Ah, romantis sekali. Melina masih di dalam kamar. Dia belum beranjak. Baju pramuka yang dari tadi pagi dia pakai pun masih melekat. Lucu sekali wanita berkulit putih berpancar itu. Jarak memang jauh tapi hati keluarga selalulah dekat. Melina amat merindukan ayahnya di Rusia. Sudah lama juga mereka tak bertemu. “Ayah kapan ke Cirebon? Mel kangen.” 102

“Sabar ya Mel, nanti Ayah beri kamu kabar kalau mau pulang. Gimana sekolahmu Mel?” “Lancar Ayah, semua ulangan kemarin aku dapet sepuluh. Aneh kan Yah? Mudah-mudah soalnya.” “Jangan lengah, mungkin saja itu baru permulaan, ke depannya justru sangat teramat rumit. Tetep belajar!!” “Iya Ayah.” “Novel „Dunia Sophie‟ yang Ayah kirim sudah kamu baca?” “Belum sampai selesai Ayah, rumit sekali ah, sama seperti Ayah yang kadang tidak jelas.” “Heeey, seenaknya aja kalau ngomong, ga jadi pulang nih Ayah.” “Aaaah Ayah, bercandaan, jangan marah.” “Hehe, iya, ya udah kamu sana mandi ah, katanya belum mandi.” “Iya Ayah.” “Gak malam mingguan emang?” “Belum tahu, tapi nanti Melina ceritakan.” “Malu-malu nih, sudah punya pacar ya kamu di sana?” “Belum Ayah, tapi mungkin nanti ingin, sekarang belum.” “Yang bener, ah masaa?” “Benerlaaaah, emang Ayah suka bohong, hari ini bilang pulang tapi baru bulan depan beneran pulangnya.” “Dasar ABG, ya sudah ya, selamat malam, muaaach!” “Ih Ayah ganjen cium-cium, bilangin Mamah!” 103

“Hahaha, kan sama anak.” “Iya selamat malam juga, selamat tidur Ayah.” “Iya Mel, terima kasih.” Tututututututut … telepon pun terputus. Melina langsung meloncat dari kasurnya. Diambilnya handuk yang sudah menyantol di balik pintu masuk. Lekaslah mandi Mel, badanmu sudah bau kecut. *** Depan SMA 1 Cirebon Malam itu adalah malam minggu. Malam yang sebagian orang menyebutnya sebagai malam yang panjang. Ya, mungkin karena esoknya adalah hari libur, makanya malam itu bisa dilewati sampai pagi hari. Sehabis terdengarnya azan isya, jalanan di Kota Cirebon mulai ramai. Motor-motor beradu cepat berburu keindahan malam. Mobil-mobil jenis city car pun memadati tiap sudut kota. Sungguh ramai dan membuat bising. Cafe-cafe mulai bersiap menyajikan aneka macam hiburan. Layar lebar pun dibentangkan untuk menampilkan acara yang luar biasa. Barista-barista terlihat sibuk meramu jamuan kopi terbaik. Meja-meja pun dihiasi lilin dan aneka macam pernak-pernik unik menarik hati. Lampu-lampunya warnawarni mengundang penasaran. Jauh di atas sana. Bulan hanya bisa tersenyum lebar. Bintang-bintang seperti bergandengan menyiarkan cahayanya. Langit juga mendadak biru begitu pekat. Awan-awan putih menambah lukisan angkasa menjadi tampak sempurna. 104

Beruntungnya mereka yang mempunyai tujuan malam ini. Bahagianya mereka yang tahu dengan siapa mereka harus menyusuri setiap detik momen ini. “Gi, katanya ada anak-anak di sini, kok kosong?” “Sabar Sam, tadi bilang udah pada di jalan.” “Wah ya berarti baru mulai siap-siap kalo gitu.” “Kok malah siap-siap?” “Iya Gi, kalau lagi di jalan itu tandanya masih siap-siap, lagian kamu kesorean jemput aku.” “Ya kalo terlalu malem aku gak boleh keluar Sam.” Sesosok pria berbadan kurus terlihat baru saja melepaskan helmnya. Sahabatnya yang berambut kribo masih berdiri di atas kemudi motor. Keduanya berbincang tepat di depan warung SMA N 1 Cirebon. “Ya uda cepetlah.” Laki-laki itu adalah Sam dan Ogi. Sam memulai duduk di kursi warung terlebih dahulu. Ogi kemudian menguntiti tingkah laku Sam. “Kopi item satu Pak.” “Rokoknya setengah aja Pak.” “Iya Dek, siap.” Sam mengacungkan tangan memesan kopi. Ogi menimbrung ikut memesan setengah bungkus rokok. “Udah ah, rambut mau diputer-puter gimana pun gak bakal lurus Gi.”

105

“Ye, usah Sam.” Ogi tak sempat menoleh. Dia teruskan usahanya merapikan rambutnya yang kribo. “Lurus kan?” “Iya lurus, ujungnya doang.” Bapak warung tak perlu waktu lama datang menghampiri dua anak muda itu. Sekalipun memakai sarung, dia terlihat tak repot membawa satu gelas kopi hitam. “Ini nih Mas Sam, ini juga Mas Ogi.” “Pak, gak malam mingguan?” Seperti biasa, Ogi selalu melontarkan pertanyaan yang tak masuk akal. Dia sudah tahu orang tua itu memiliki istri yang sekarang tinggal di kampung. Mana mungkin dia bermalam minggu, yang ada mencari nafkah Gi. “Cari duit Mas, buat masa depan.” “Malam minggu juga gitu?” “Lah iya, kalo warung tutup Mas Ogi mau nongkrong di mana?” “Di WC aja Pak, gak buang duit.” “Hahahahaha!” Creep, sambil menelan langsung air kopi, Sam ikut tertawa. “Bapak kan udah tua ya Pak, maaf Ogi lupa Pak hahaha!” “Loh-loh, malah ngomongin umur. Gini loh Mas Ogi, tua dan muda itu bukan perkara hitungan tahun, tapi soal pikiran. Selama yang dipikirin orang itu masa depan, sekalipun umurnya tua kaya Bapak ini, dia tandanya masih muda. Tapi misalkan ada anak muda ngobrolinnya masa lalu, itu dia kayaknya sih bukan muda lagi, tapi udah tua. Jadi selama masih berpikir dan kerja buat masa depan, Bapak masih muda.” 106

“Bilang aja mau disebut awet muda, muter-muternya jauh banget Pak.” “Haha, bukan Bapak yang bilang loh ya.” “Anak muda biasanya malem mingguan Pak?” Sam kemudian menyambut. “Ya kan Pak?” “Iya, tapi malam mingguannya yang bermanfaat buat masa depan, contohnya dagang ini.” “Hahahahaha!” semuanya tertawa. Bapak penjaga warung pun ngeluyur meninggalkan keduanya. Sam dan Ogi rasanya kedinginan. Jaket yang mereka kenakan sama sekali tak dilepaskan. Dua sahabat itu pun memakai celana panjang yang kelihatannya jeans tebal. Benjamin, Erwin, Dayat, dan Anto belum juga hadir. Sudah setengah jam lebih. Kopi Sam bahkan hampir menyentuh dasar gelas. Rokok milik Ogi juga tinggal tersisa dua batang. Dari dulu sampai sekarang tak pernah berubah, hal yang menjengkelkan itu tetap sama namanya, yaitu menunggu. *** Di tempat lain, di salah satu kos daerah Wahidin. Melina terlihat begitu rapi. Dia berdiri di depan gerbang kos. Baju merah dengan poldakot putih menutupi auratnya. Jilbab abu-abunya membungkus dengan manis. Celananya yang hitam dan sedikit mengatung terlihat sungguh serasi. Melina tidak pernah menggunakan make up. Wangi di tubuhnya hanya datang dari sedikit semprotan parfum. Wajahnya yang bersih dan 107

putih dibiarkan polos apa adanya. Kacamatanya tak dia gunakan malam itu. Kecantikannya sungguh terpancar. Tak terlalu lama Melina menunggu. Sinar-sinar lampu tiba-tiba menyilaukan pandangannya. Tangannya diangkat ke ujung alis. “Heey maaf Mel, Kak Indra lama.” “Gak apa-apa Kak.” Motor sport berwarna merah berhenti tepat di hadapannya. Kak Indra tak sempat turun. Melina langsung naik dalam boncengannya. “Mau ke mana ini Kak?” “Kita makan di Grage aja yuk, abis itu kita nonton.” “Oh ya uda, emang mal gak rame ya malem minggu gini?” “Hem gak tau juga Mel, semoga aja enggak.” “Oke Kak.” Melina dan Kak Indra sudah sangat-sangat akrab. Tidak ada yang tahu dari kapan mereka mulai berkenalan. Bahkan Desi pun tak pernah mengerti soal ini. Melina tak lagi merasa kesepian. Malam minggunya bertabur perasaan cinta yang sedikit pasti mulai tumbuh. Melina mulai berpikir tentang Kak Indra selalu ada waktunya. Kak Indra jugalah yang membuat Melina seolah menjadi wanita paling istimewa karena perhatiannya. Laju motor Kak Indra semakin cepat. Arah kendaraannya menuju depan sekolah Melina. Artinya, jika tidak ada aral melintang, Sam dan Melina akan bertemu tepat ketika motor Kak Indra melewati sekolahan. Benar saja. 108

“Saaaaaammmmudra, Sam!” Melina berteriak begitu keras ketika melewati SMA N 1 Cirebon. “Sam, itu ada yang manggil!” Ogi memukul kepala Sam. “Mana Gi?” “Itu!” Sam mencari arah suara wanita itu. “Oh, iya Mel!” Melina tersenyum kecil. Tangannya melambai-lambai ke arah Sam. Sam membalas lambaian itu secukupnya. Wajahnya ikut tersenyum meskipun terpaksa. Mimpi apa dia kemarin sampai harus bertemu dengan kejadian ini. “Anjriiiit cantik sekali dia Gi!” “Dia siapa?” “Melina Gi.” “Oh anak sepuluh-tiga itu ya? Dia mah emang istimewa.” “Ah parah cantik sekali.” “Iya. Dia berada di atas jok motor yang tepat sepertinya.” “Maksudmu?” “Iya, orang cantik dengan motor yang cantik juga.” “Hahaha!” “Jadi kelihatan makin cantik kan, bener?” “Iya Gi, bener.” 109

Sam tidak berpikir terlalu jauh. Melina masih ingat dengan dia pun dia sudah senang. Tidak mudah bagi seseorang mengingat perkenalan singkat satu minggu yang lalu. Malam ini seolah menjadi “kelam bagai malam 27”. Satu kebahagiaan datang dengan masalah yang belum terungkap. Siapa lelaki itu? Statusnya siapa di hadapan Melina? Itulah teka-teki yang harus kamu segera pecahkan Sam. Tapi sejenak berbahagialah dulu. “Iya Gi. Dia cantik, teramat-amat cantik.” “Kamu suka?” “Insya Allah sepertinya.” Ogi menatap wajah Sam yang terus memandang jalan. Heran di bola matanya tak tertutupi ketika Sam menjawab kata suka dengan Insya Allah. Tidak nyambung. “Kadang memang ada hal yang kita suka, tetapi tidak bisa kita miliki Sam, termasuk dia.” “Tetapi kadang bukan berarti tak mungkin, kan Gi.” Remang-remang itu menyisakan luka meredam harap. Kayu-kayu kecil penyangga warung menyaksikan bisu tak berkutik. Sam kehilangan kata-kata. Dia mulai berharap, bila segala yang tak bisa dia ungkapkan itu akan menemukan jalurnya yang indah. Jangan biarkan kunang-kunang malam itu meredup karena kesedihan hatimu Sam. ***

110

Bahagia Mel,

Tak tahulah film apa yang mereka (Kak Indra dan Melina) tonton malam itu, yang jelas, di tahun 2006 rasanya tidak ada film yang lebih menarik daripada “Realita Cinta Rock n Roll”. Titik. “Terima kasih ya Kak, aku jadi gak enak.” “Iya Mel gak apa-apa, Kakak juga seneng kok bisa jalan sama kamu.” “Iya Kak sama-sama.” “Sama seneng?” “Bukan, sama-sama bisa jalan juga akhirnya, kalau seneng-engganya nanti malam mungkin Melina pikirin lagi.” “Haha bisa aja kamu Mel!” “Hehe.” “Ya uda, Kak Indra langsung pulang ya.” “Gak mampir?” “Udah jam sepuluh, waktunya Tuan Putri masuk kamar dan tidur nyenyak.” “Ya uda Kak, hati-hati ya.” “Iya.” Dan, gruuuuuuuuung. Motor Kak Indra melaju cepat menerabas angin. 111

Bagaimanapun Melina menutupinya, semua pasti tahu kalau Melina tampak bahagia. Kakinya sangat riang dan tanpa beban. Tangga-tangga kecil dia naiki sambil berdendang. Oh, Mel, semoga saja kegembiraanmu ini tak merisaukan Sam. “Aku pulang istanaku!” Melina membuka pintu kamarnya. Dia selalu tak berani segera masuk. Dia cek di bawah kasur, ke atas lemari, bahkan bercak-bercak lantainya harus dipastikan bersih. Setelahnya, dia baru menutup pintu dari dalam. Tak perlu waktu lama untuk Melina berganti kostum. Jilbabnya kini tak lagi menutupi rambutnya yang kemerah-merahan. Matanya indah bak mentari yang berpendar. Hidungnya yang mancung menguang-nguap memancing mulut tipisnya mesem. Melina tidak mungkin lupa pada tugasnya. Dia tipe orang yang tidak pernah mau menunda pekerjaan. Melakukan hal itu, kata Melina, sama dengan menumpuk beban pada pundak yang terlanjur berat. Dan tugasnya malam ini adalah, membaca dengan sukacita surat dari Sam. “Aku penasaran, apa lagi yang kamu ceritakan padaku surat rahasia?”

Engel, Heldy-mu datang memberi senyum. Aku sungguh terkejut membaca pengakuanmu. Berbahagialah Engel, karena ada orang yang mau mendekatimu yang tentunya pasti untuk membuatmu bahagia, harapku. Aku selama ini belum pernah merasakan seperti apa yang kamu rasakan. Aku hanya bisa mengintip dalam keraguan. Aku belum berani menjadi seorang pengungkap cinta yang baik. 112

Hari-hariku sepertinya mulai kini akan dipenuhi oleh rasa penasaran. Aku sendiri tak tahu penasaran untuk apa. O iya, aku belum sempat ke Berlin, pesawatku tiba-tiba saja kehabisan bensin. Dan kamu tau Engel, aku bersyukur karena dengan begitu aku bisa lebih lama diam di Cirebon, memperhatikanmu. Semoga kamu dalam keadaan yang bahagia. Heldy 

Isi dari bungkus surat yang sederhana itu teramat spesial bagi Melina. Kata-kata memang ajaib, dia mampu memainkan perasaan pembacanya. Melina begitu beruntung, kegembiraannya malam ini berlipat tanpa perlu dia memesannya. Seandainya aku bisa langsung membalas suratmu, kamu pasti akan tahu kalau malam ini aku teramat bahagia. Kak Indra dan suratmu telah mengisi kesepian malamku. Aku harus adil, namun aku tak tau bagaimana harus membaginya. Terima kasih. Melina mengendapkan kata-kata itu tepat di dalam hatinya. Dia menyimpannya sampai Senin tiba. Kini, malam telah berlabuh jauh menawarkan senyap. Kodok yang berdiri tenang di atas daun eceng gondok pun mengongok berulang-ulang. Di antara rerumputan yang padat, jangkrik kecil merdu bersuara. Tak ada suasana yang menghalangi kesenangan Melina. “Terima kasih Tuhan.” Selimut kecilnya ditarik perlahan ke atas. Lampu kamar mulai padam. *** 113

Tidak ada hari yang sia-sia bagi Melina. Termasuk hari libur. Jika ada orang yang paling sibuk di kosan pada hari minggu, mungkin Melina jawabannya. Semua penghuni masih tertidur. Kamar-kamar pun terkunci rapat tak bersuara. Melina telah siap dengan peralatan bersih-bersihnya. Sekitar jam delapan pagi. Handuk telah melingkari kepala Melina. Celana jeans pendek dipakainya. Kaosnya kini bukan seragam, tapi oblong hitam bertuliskan “caliban”. Tangannya memegang sapu. “Ayo kita mulai bertarung debu-debu!” Seprai putihnya dia lepas diganti dengan warna cream yang kalem. Jendela kamar yang menatap badan jalan dibersihkan. Debu-debu di atas meja, lemari, dan kursinya, dia kibas-kibas sampai tampak mengilap. Keramiknya pun dipel sampai bisa digunakan untuk bercermin. Sigap sekali kelakuannya pagi itu. “Aduh Mel, Mel, masih pagi Mel.” “Eh Kak Linda.” “Sekalian kamarku boleh nggak Mel?” “Uuuuh enak aja, capek Kak ini juga.” “Ayolah Mel.” “Gak mau ah.” Kal Linda menggoda Melina. Mereka duduk bersebelahan di teras depan kamar Melina. “Berapa lama nunggu lantainya kering?” 114

“Paling sepuluh menit Kak Linda, terus udah deh baru bisa masuk.” “Lama juga ya.” “Iya Kak.” Kak Linda kemudian menyeruput teh yang ada di atas meja. Meja itu berada di tengah sehingga memisahkan kursinya dengan Melina. Kak Linda sengaja membawa teh itu dari kamarnya. “Hmm, o iya Mel, kamu gak keluar hari ini?” “Gak deh Kak kayaknya, panas juga sepertinya Kak.” “Loh kenapa? Cowomu gak jemput apa?” “Cowo yang mana?” “Itu yang biasa pake motor Ninja itu?” “Itu mah cuma temen Kak, dia senior di sekolah.” “Ya semuanya juga temen dululah Mel, ihiiy!” Tubuh Melina geli digelitiki jari-jari lentik Kak Linda. “Melina dapet tugas dari Ayah untuk selesain dua novel ini, kayaknya ini lebih penting daripada main gak jelas Kak.” Melina menunjuk buku yang ada di atas meja. Dia juga memperlihatkan buku yang ada di tangannya. “Wuiih, apa ini „Dunia Sophie‟? Ini satunya apa, „Dr. Zhivago‟, penulisnya siapa itu Mel? Kakak gak bisa kebaca.” Kak Linda memelototi salah satu buku yang Mel tunjukkan. Dia ingin tahu penulis dari buku tersebut. “Ah siapa itu Mel? Tidak terbaca.” “Oh ini, Boris Pasternak, penulis Rusia Kak.” “Ah sudahlah tidak penting, pusing baca-baca buku.” 115

“Ih enak tau Kak!” “Enaknya?” “Kita bisa berimajinasi dan berjalan-jalan ke tempat yang kita sendiri gak tau itu di mana tapi kita seneng. Ya, menyenangkan pokoknyalah.” “Tapi kan orang beda-beda Mel. Jangan harap kamu bisa membujuk Kakak untuk jadi pembaca juga.” “Coba deh baca ini „Dr. Zhivago‟, Kakak bisa tau kondisi Rusia ketika revolusi. Dr. Zhivago ini salah satu orang yang digambarkan menjadi saksi bagaimana mencekamnya keadaan Rusia saat itu.” “Mel sudah ya Mel, Kakak balik kamar dulu.” “Hahaha Kakaaaak ih!” Melina menarik baju Kak Linda. “Bercanda, udah sih Mel jangan ngomongin buku ah, pusing-pusing.” Kakak-beradik yang ketemu besar itu terus saja mengobrol hingga azan zuhur berkumandang. Mereka tertawa berbagi cerita. Tema yang diangkat bermacam-macam, dari mulai keluarga, cinta, bahkan teman. Ya, wanita memang seperti sudah menjadi takdirnya, suka bicara dan doyan cerita. ***

116

Senin

Bendera merah putih mulai naik, sedikit demi sedikit. Lagu Indonesia Raya berkumandang begitu keras dan merdu. Suara wanita serta laki-laki, baik tua dan muda, saling bersautan dengan irama nada yang sama. Sungguh kompak dan membuat bulu kuduk merinding. Siswa berbaris cukup rapi. Mereka berdiri lurus mengikuti kelasnya masing-masing. Kepala mereka ditutupi topi abu-abu. Baju-bajunya dimasukkan sehingga sabuknya muncul mencolok. Celananya pun begitu mengilap dan serasi dengan sepatu hitam putih. Guru-guru membentuk barisan sendiri di sebelah kelas sepuluh-satu. Baju PNS dan topi hijau menjadi pakaian resmi kebanggaan mereka. Ada pula beberapa guru yang ditugaskan menjaga. Mereka berdiri tegak di belakang barisan setiap kelas sepuluh hingga kelas dua belas. “Istirahat di tempaaat graaaak!” Pemimpin upacara berteriak begitu keras. Bajunya berwarna putihputih. Lehernya dilingkari syal dengan motif merah dan putih. Pembina upacara kemudian memberikan arahannya. “Ben, kedengaran gak suara orang ngomongnya?” “Gak tau ah, panas ini, lama sekali sih.” “Iya ya.”

117

Ogi dan Benjamin berdiri saling bersebelahan. Mereka sama dengan murid-murid lainnya, mengeluh dan mengumpat apabila sudah waktunya pembina upacara bicara. “Heh jangan ngobrol, tegak-tegak!” Pak Heri menendang kaki Benjamin dan Ogi dari belakang. Guru olahraga yang memiliki badan kekar ini tak lupa menjewer kecil telinga Ogi. “Aduh Pak sakit Pak!” “Kamu ngobrol aja, hargai orang bicara.” “Iya Pak.” “Kalau mau bicara di depan.” “Iya Pak maaf Pak.” Pak Heri memarahi Ogi tanpa ampun. Ogi hanya bisa pasrah tanpa berani menghadap wajah Pak Heri. “Hihihihi!” Erwin dan Sam tertawa tanpa menampakkan giginya. Ya, itulah sebagian dari suasana sekolah pada Senin pagi. Upacara itu tidak hanya diisi oleh cerita murid dambleg seperti kelompok sepuluh-tujuh saja, kadangkala juga ada beberapa murid yang pingsan karena lelah berdiri. Tidak sedikit pula yang bersiul-siul ketika pembina upacara menyampaikan pidato yang menarik. Ada juga yang diseret ke depan lapangan karena tidak membawa topi atau karena memakai sepatu warna-warni. Benar-benar seru. *** 118

“Sam, Sam, itu Sam!” “Apa Win, gimana?” “Itu Melina mau lewat!” “Hah?” “Cepet ah sini!” “Iya, iya!” Sam berlari cukup kencang. Kertas gambarnya dia tinggal. Meja-meja kelas dinaiki dengan penuh semangat. “Eeeh jangan lewat meja sih!” “Iya ah, cerewet!” “Dasar anak nakal!” Kiky memarahi Sam, namun itu tak menjadi masalah. Sam tetap saja melompat satu demi satu sampai ke meja Erwin yang ada di bagian kanan. “Kamu atau aku duluan yang nyapa?” “Kamu aja, aku cukup memperhatikan.” “Ya udah.” Dari kejauhan, Melina berjalan ke arah kelas Sam. Wajahnya yang lonjong seolah bercahaya. Langkahnya pelan dan teratur. Kakinya kini tak terbalut sepatu, hanya sendal jepit menjaga alasnya. Seperti biasanya, setiap Senin Melina selalu melaksanakan salat dhuha. Sam selalu menunggu momen-momen ini. Dia begitu suka. “Win, manggilnya nanti ya kalau emang udah deket aja.” “Kenapa?” 119

“Biar bisa lebih jelas aku menatap wajahnya.” “Okelah, buat temen apa sih yang engga?” Sam mulai membenarkan bajunya. Rambutnya pun disisir menggunakan tangan. Dia naga-naganya ingin menampilkan Sam yang sempurna di mata Melina. “Siap ya?” “Iya.” Erwin memberi komando kepada Sam. “Melinaaaa!” “Heeey, assalamualaikum!” Angin berembus entah dari mana. Sam merasakan kesejukan itu. Dia tak membalas salam, namun membalas senyum Melina. “Hey Sam!” “Ekh e ekh, hey juga Mel!” “Duluan ke masjid ya!” “Iyaaaaa!” Erwin dan Sam kompak membalas ajakan Melina. Seolah tak terjadi apa-apa, Melina melanjutkan perjalanannya ke masjid. “Mel, Mel!” Tiba-tiba dia, Kak Indra, berlari sambil berteriak mengejar Melina. “Tunggu Mel!!!”

120

Sam dan Erwin hanya melongo. Para pengagum Melina itu menunggu apa yang hendak dikatakan Kak Indra. Mereka masih setia menonton di balik jendela. “Iya Kak, kenapa?” Melina menjawab pelan penuh kelembutan. Halus sekali suaranya. “Aku ikut ya?” “Oh, silakan, Kak Indra.” Sam menyimpan nama itu di dalam pikirannya. Dia mulai tahu nama kakak kelas itu, yang biasa mendekati Melina, adalah Indra. “Iya,” Kak Indra menjawab sambil tersenyum. “Ayo yuk!” “Eh eh eh, tapi jangan ikutin Mel, ini kan ke arah tempat perempuan, Kakak lurus aja, Kakak kan laki-laki.” “Oh beda tempat ya, lupa.” “Keciri jarang ke masjid nih.” “Hehe, ngetes aja Mel,” Kak Indra menggaruk kepalanya. Keringat kecil mulai turun memenuhi jidatnya. “Ya uda Kakak lurus ya.” “Iya Kak.” Kak Indra ternyata ingin ikut melaksanakan salat dhuha bersama Melina. Dia lupa kalau bagian tempat salat perempuan dan laki-laki dibedakan. Namun dia tidak malu, namanya juga usaha. Sam dan Erwin tak lagi menghiraukan. Keduanya sudah kembali anteng menggambar dan melanjutkan tugas pelajaran animasi.

121

Jangan emosi Sam, salahmu diajak salat tidak mau. Kamu sendiri yang membuang kesempatan itu, masa kamu tega memarahi dirimu sendiri yang kamu cintai. *** Kelas 10.7 Bel waktu selesainya istirahat berbunyi. Semua murid telah duduk dengan rapi di kelas masing-masing. “Selamat siang Paaaaaaaaaaaak!” Begitu menggema dan memekikkan telinga. Saat itu, seluruh siswa kelas sepuluh-tujuh membalas salam dari guru sejarah yang bernama Pak Haris. “Mohon maaf, Bapak ganggu waktunya sebentar, laki-laki semuanya maju ya ke depan kelas.” Jreg jreg jreg! Murid laki-laki kemudian berdiri dan menuju ke depan kelas. Pak Haris mengelus-elus kecil jenggotnya menunggu seluruh mangsa berada di depan kelas. Tangannya telah siap dengan gunting cukur bergagang hitam. Pak Haris kemudian berjalan dan memperhatikan satu per satu. “Oh ini panjang, maaf ya Bapak gunting.” “Jangan Pak jangan!” “Engga.” “Oh ini bajunya sok-sokan lengannya ketat, gunting.” “Aduh Pak, tolong Pak ga usah.” 122

“Aduh, laki-laki pake poni, mampus ilang ponimu sekarang.” “Ini udah dinaikkan Pak, ga usah dipotong Pak!” “Ah engga-engga, gunting.” Selain upacara dan melihat Melina salat dhuha, hari Senin juga seringkali menyisakan hal yang menyedihkan bagi sebagian siswa. Sebagian siswa itu adalah mereka yang berambut panjang dan berpakaian tidak sesuai standar aturan. Para pelanggar yang rambutnya panjang, harus siap kehilangan jambang atau poninya. Sementara yang berpakaian slenge’an, celana serta bajunya akan digunting. Meskipun hukumannya itu-itu saja, tetap selalu membuat hati kesal. Yang melanggar pun tak pernah belajar, mereka seperti terus-terusan jatuh di lubang yang sama. “Sudah ya, terima kasih atas waktunya.” “Terima kasih Pak.” Salam kepergiannya selalu saja tak lebih ramai daripada salam ketika menyambut kedatangannya. ***

123

Cinta

Dimulai dari kelas sepuluh-tiga … Melina menarikan tangannya di atas meja. Dia menggenggam tipe-x. Dia kemudian menuliskan sesuatu. HLD, ya, mungkin saja itu Heldy. “H-L-D!!!???” “Kenapa Des?” “Emang apa H-L-D itu?” “Oh, itu high level Desi, hehehe.” “Maksudnya apa Mellllll?” “Kamu, ya kamu itu lebay.” “Huuuu, dasar!” “Hahaha!” Melina menolak jujur. Bukan Melina yang Desi kenal. “Eh, Kak Indra gimana?” “Gimana apanya?” “Dia udah nembak kamu belum?” “Aaah, nembak, nanti aku mati dong Des, jahat kamu.” “Ih, maksudku menyatakan cinta gitu, ciye ciye!” “Terlalu cepat Desi, aku belum kenal lebih jauh juga.” 124

Kelas sepuluh-tiga memang sedang tidak ada pelajaran. Guru fisika yang harusnya mengajar malah tidak hadir. Kata penjaga piket, guru fisika itu sakit. Pantas Melina dan Desi begitu tenang mengobrol. “Jangan lama-lama, keburu nanti dia bosen sama kamu.” “Ya kalau bosen ya udah, baru PDKT aja udah bosen, gimana nanti kalau dia sama aku lebih lama?” “???” “Kamu tau kan aku orangnya cuek, Des.” “Iya paham Mel, tapi kamu yakin mau nunggu lama lagi?” “Cinta itu bukan cepat atau lama, tapi cinta itu soal kenyamanan. Sejauh ini aku belum menemukan alasan yang tepat kalo dia bisa buat aku nyaman.” “Tapi kan …” “Tapi kan dia udah nganter aku pulang, jemput aku berangkat, ngajak aku jalan malam minggu. Itu Des?” Melina menyeka ucapan Desi. “Iya itu,” telunjuk Desi diangkat kecil. “Ah, itu mah jangankan Kak Indra, Mang Sabar tukang becak depan kosku juga bisa. Cinta itu ga segampang itu Des. Dia belum bisa buat hatiku ngerasa beda dengan kehadirannya. PDKT-nya masih umum.” “Ya uda buat aku aja kalo gitu, boleh?” “Ya kalau dia suka sama kamu gak papa, sayangnya enggak deh kayaknya.” “Siaaaaaaaal kamu Mel!” Desi mendorong tubuh Melina. Melina sedikit bergoyang ke kiri. “Owh, owh, owh aku gak peduli, terserah apa 125

katamu Melina Castro sang pujaan Indra Siregar. Udah ah, aku mau buang sampah dulu ya Mel, bentar.” “Iya Des silakan, aku siap-siap pulang ah.” “Sekalian masukin bukuku yak, plissss!” “Iya Nyonya Lebay.” Desi keluar kelas untuk membuang sampah di sekitar meja miliknya dan Melina. Melina tidak sia-siakan kesempatan ini. Dia segera mengeluarkan surat yang ada di dalam tas. Dikecupnya kecil surat itu. “Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.” *** Matahari sedang lucu-lucunya kalau kata Erwin. Neraka bocor menurut Ogi. Ya, itulah gambaran bagaimana-betapa panasnya siang itu. Angkutan kota sampai kapan pun mungkin tak akan pernah menggunakan AC. Suhu di dalamnya panas dan menyerbakan bau keringat yang bercampur lelah. Jika beruntung angin akan masuk dengan kencang. Namun jika tidak, kita akan mendapati diri kita seperti berada dalam panggangan. Maklumlah, mesin panas, cuaca juga sedang kemarau. “Tumben ya ketemu Bapak siang-siang.” “Iya Pak Cegu, untung juga kursi depan kosong.” “Itu namanya takdir, sesuatu yang tidak direncanakan.” “Mungkin ya Pak.” “Bukan mungkin, tapi pasti.”

126

Sam sudah duduk manis di sebelah Pak Cegu, sopir angkot andalannya. Saat itu Pak Cegu hanya menggunakan baju putih polos. Topinya tetap, warna merah dengan bintang kuning di tengahnya. Sepertinya topi itu sudah menjadi patennya. “Sudah punya pacar belum Nak?” “Alah Bapak pertanyaannya …” “Loh, sudah dua bulan lebih masih sendiri, SMA kamu itu cewenya cantik-cantik.” “Bapak aja sok yang pacaran sana sama temen SMA-ku, mau ngga?” “Bapak kan sudah tua.” “Aku juga sudah tua Pak, bagi adikku, hehehe.” “Sebentar ya,” Pak Cegu menghentikan laju mobilnya. Dia kemudian mengeluarkan tangan kanannya. “Ayo Bu! Ciperna, Ciperna, Penggung, Drajat Bu, ayo!” Sopir angkutan kota memang semuanya sama. Mereka suka sekali membuat penumpangnya bosan dengan berhenti terlalu lama. Kejar setoran mungkin. “Ah sudahlah lanjut aja.” “Loh, gak papa padahal Pak, santai aja.” “Ya kamu santai, itu ada Mbak di belakang cemberut terus, kayaknya buru-buru.” Sam menengokkan wajahnya ke kursi belakang. Dia melihat wanita berpakaian suster sedang gelisah. “Oh iya ya Pak.” 127

“Sampai mana tadi obrolannya?” “Sampe pacaran.” “Aaa iya, anak SMA itu minimalnya harus merasakan pacaran.” “Untuk?” “Untuk merasakan kalau cinta masa-masa SMA itu lebih indah dari masa-masa apapun.” “Dih, kok gitu Pak?” “Ya, dulu Bapak ini pacaran sampe tiga kali. Nyesel juga, mau empat, tapi keburu lulus.” “Playboy nih hayo!” “Bukan playboy Nak Sam, tapi emang rasanya itu istimewa. Nungguin di depan kelas, nemenin makan di kantin, ngerjain tugas bareng. Nah, yang serunya kalau sudah ada yang deketin, pasti berantem.” “Aku kira Bapak lahir langsung tua, pernah muda juga ternyata ya.” “Loh ngeceeee malah.” Sam tertawa kencang menyaksikan kekesalan Pak Cegu. Pak Cegu hanya mesem-mesem saja. Pak Cegu mungkin tahu bagaimana caranya membawa emosi anak muda. “Bapak dulu ceritanya gimana bisa punya pacar sampe tiga kali itu?” “Bagi Bapak cinta itu sederhana. Ketika kamu merasa ada seorang wanita yang membuat kamu gelisah, membuat kamu ngerasa gak bisa tidur, membuat kamu takut kalo sehari saja gak denger kabarnya, ketika itu kamu kudu segera nyatakan perasaanmu. Itu namanya cinta.” 128

Sam melamun saja. Dia menerima tanpa penolakan. Kata-kata Pak Cegu mengiang-ngiang terus di telinganya. Sam mengetuk-ngetuk hati kecilnya, itu Melina, Sam. Itu Melina, Sam. Wanita itu, yang seperti diceritakan Pak Cegu, itu Melina, Sam. Hati Sam terkoyak-koyak kebimbangan. *** Ruang makan itu selalu saja sepi jika sore menjelang. Sam dan ibunya duduk berdua berhadapan. Suara sendok ting, ting, ting kedengaran menjadi pengiringnya. Menu sore hari tak pernah berubah. Sam selalu dimasakkan ibunya sop ayam. Ibunya menganggap Sam begitu kurus, sehingga daging dinilai sebagai solusinya. Tetap saja sih, walaupun sudah sering disuguhi makanan berlemak, Sam masih saja kurus ceking. Wajah ibu Sam begitu teduh. Rambutnya dibiarkan terurai pendek, tak sampai leher daster kembang melati berwarna hitam dan putih andalannya. Sam terlihat baru bangun tidur. Matanya masih lebam menampakkan kantuk. Celana boxer Slank dan kaos dalam putih menjadi busananya. Sam tidak pernah kapok, padahal ayahnya sudah sering memarahi caranya berpakaian. Maklum, dalam agama aurat itu sangat dijaga. “Kalau ada Abah jangan pake pakaian kaya gini, bisa disemprot kamu.” “Iya Bu ngerti, tanggung ah, makan doang sebentar.” “Ya, kalau Ibu mah masih maklum, walau risi juga.” “Yeee, gini doang risi.” 129

Sam selalu saja ngeyel. Dia pantas dikatakan ndableg3. “Kalo Sam pacaran boleh gak Bu?” “Hah!” “Boleh gak Bu?” “Pacaran-pacaran apa sih, kamu benerin dulu kelakuanmu baru pacaran.” Ibu Sam tampak kaget mendengar permohonan anaknya. “Apa hubungannya pacaran sama kelakuan, suka aneh Ibu tuh.” “Bukan begitu, kalau kamu pacaran sekarang, kamu pasti gak dapet yang baik.” “Kenapa?” “Karena orang baik untuk orang baik dan orang jahat untuk orang jahat.” “Jadi maksud Ibu, Sam jahat?” “Bukan begitu juga, jahat mah engga, cuma gak bisa rapi dan gak bisa ngurus diri sendiri.” “Ya makanya cari pacar biar diurusin.” “Kamu nyari pacar atau nyari pembantu?” “Pacar Bu.” “Lah, lalu kenapa kamu nyuruh dia ngurusin kamu? Yang ada saling melengkapi, saling menyayangi, dan saling membahagiakan.” “Ya dengan mengurusi pacarnya itu salah satunya kan, Bu?”

3

Dalam istilah jawa diartikan orang yang susah diatur dan nakal.

130

“Kalau itu kesadaran masing-masing.” “Emang gimana maksudnya?” “Cinta itu Sam, ketika kamu punya alasan untuk mencintainya, sebenernya kamu gak bener-bener mencintainya.” “Kok bisa, cinta kan harus pake alesan, gabisa ujug-ujug.” “Seandainya kamu cinta sama dia karena alasan, maka cinta itu akan hilang seiring dengan hilangnya alasan-alasan itu.” “Maksud Ibu?” “Ya misalkan kamu suka sama perempuan karena dia ngurusin kamu, pas dia ga ngurusin kamu lagi, pasti cinta kamu itu akan hilang juga, minimalnya marah dan sewot.” “Iya juga sih ya, Bu.” “Ya iya, jangan ngajarin orang tua soal beginian, Ibu lebih ngerti.” “Iya, iya Bu.” Sam menggelengkan kepalanya sambil menunduk. Ibunya menatap dengan senyuman kecil. Sam, luar biasa harimu. Dua pesan cinta menyeli-muti Sam dalam satu hari. Yang pertama ungkapan dari Pak Cegu. Kedua dari tutur kata ibunya yang meskipun kesal namun benar. Sam mungkin akan memikirkan banyak hal nanti malam. Dia tidak bisa tidur. Dia akan bayangkan pesan yang amat banyak itu, sampai dia memilih satu yang paling tepat. Yang pasti, tentang cinta itu tidak jauh juga dari isi surat ketiga yang diberikan oleh Melina. *** 131

III Persahabatan

132

Menegangkan! Jangan pernah memikirkan apapun yang sesungguhnya belum tentu terjadi. Hal itu bisa membuatmu gelisah tak karuan. – Bakhrul Amal

Dua batang rokok telah habis dibakar Sam. Wajahnya masih saja muram tak jelas. Langit menjadi tampak gemetar menyaksikan Sam. Geludug kecil pertanda akan datangnya hujan terdengar menggelegar. Bintang-bintang tak tampak, bulan pun urung menampilkan senyumannya. Angin terdengar begitu keras. Jendela sedikit bergetar. Hordeng terbang ke kanan dan ke kiri, tak jelas arahnya. Jangkrik tak ada. Suara kodok apalagi. Kesunyian dan sedikit nyinyiran lagu Slank yang terdengar. Entahlah, mungkin malam ini benarbenar sedang begitu buruk cuacanya. Baik itu alamnya maupun hati Sam. Surat Melina tampak bersih di atas meja. Biru menyala. Surat itu tak terbang diterpa angin dan tak goyah ditimpa kebimbangan perasaan. Surat itu siap membolak-balikkan hati Sam malam itu. “Aku buka tidak ya?” Sam menggumam sedikit. “Jujur, baru kali ini aku takut menerima kenyataan. Kenapa juga sih malam minggu kemarin harus ketemu dengan Melina? Ah, bersama laki-laki lagi. Kacau.” Sam tak tenang. Duduknya pun tak rapi. Kakinya bergoyang-goyang tak karuan. 133

“Jika isi surat ini memang membuat aku harus melupakan Melina, aku belum siap. Jika surat ini berisi kabar bahagia pun, untuk apa sebenarnya? Apakah alasan seorang Samudra lahir itu untuk wanita sesempurna Melina?” Neil Amstrong ikut mengomentari kegelisahan tuannya. Fotonya yang memegangi tiang bendera Amerika, seperti bicara. Bagaimana nasib pengagumnya itu, dia ikut merasakan kegundahannya. “Baiklah aku buka.” “Baiklah aku akan siap.” “Baiklah inilah waktunya.”

Selamat malam alien. Jangan marah bila aku menyebutmu begitu, karena kamu memang orang asing. Aku mau menulis puisi ya, sedikit kok, judulnya:

PELANGI Ketika hujan mengguyur basah bumi. Ketika petir membuat tegang penghuninya. Rintik kecil mengiringi. Matahari kemudian malu-malu mulai tampak. Dan kamu, menyempurnakan kesedihan itu dengan keindahan warnamu.

Hehe, bagus kan bagus. Harus bagus ya. 134

Oh iya, kemarin aku akhirnya jalan dengan laki-laki itu, ya, laki-laki yang sudah satu bulan ini mendekatiku. Aku tak tau, aku heran, belum juga muncul perasaanku padanya. Padahal aku lihat dia begitu serius. Kamu bisa membantuku Heldy? Terima kasih telah datang untuk bicara 

*** Masih pagi memang, tapi tak sepagi biasanya. Suara sepatu bisa terdengar, walaupun mulai tertutup alunan ayat suci dari speaker masjid. “Hey, sedang apa di kelasku?” “E, e, e, ini aku cari penggaris yang hilang, dipenjem si Ali.” “Oh, meja Ali kan bukan di situ.” “Iya, siapa tau jatuhnya di sini.” “Ya sudahlah, sudah ketemu?” “Belum, nanti biar aku tanya saja ke Ali, aku pergi ya.” “Oh iya, nanti aku kasih tau Ali.” “Ga usah, ga usah, makasih.” “Oke, hati-hati.” “Iya.” Sam berlari kencang menjauhi kelas sepuluh-tiga. Anjrit hampir saja!

135

Sam berlanjut menuju kelasnya. Kepalanya berkeringat. Badannya begitu dingin dan pucat. Dia pusing tujuh keliling. Tingkahnya diketahui oleh salah seorang murid kelas sepuluh-tiga. “Ah sial, kalau orang itu tau gimana ya? Bisa bocor semua rahasia ini. Untung aku sudah tidak berada di mejanya.” Ceroboh sekali. Hari itu Sam berangkat kesiangan dan nekat menaruh suratnya. Semoga saja niat baikmu itu terlindungi Sam. Untunglah seorang yang memergoki tingkahmu itu tak mengenalimu. *** “Mang, aku pesen mi goreng kering, sayurnya banyak ya. O ia, basonya dua, tapi cekernya cukup satu aja.” Manis sekali wajah Melina pagi itu. Setelan olahraga kini menjadi penutup auratnya. Jilbabnya putih bersih seperti baru dibeli dari toko. Benarbenar wanita yang rapi dan pandai menjaga kebersihan. Dia selalu datang satu paket bersama Desi, sahabat karibnya. “Tau gak, tadi itu ngapain sebenernya kita disuruh kayang tuh? Aneh kan?” “Ya namanya juga pelajaran olahraga Desi, kayang kan bagian dari olahraga.” “Iya, tapi apa mungkin nanti pas di kelas kita kayang-kayang di depan guru kalo lagi pegel-pegel, paling kan peregangan aja.” Melina selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Desi tidak kalah terus berperan sebagai komentator. Kedua wanita muda itu serasi karena 136

saling melengkapi. Perbedaan yang mereka miliki bukan berarti dipermasalahkan, akan tetapi justru dipersatukan. “Neng ini pesenannya.” Mang Warkad, pedagang mi baso di SMA N 1 datang memotong obrolan mereka. Dia membawa mi pesanan Melina. “Makasih Mang.” Melina membalas senyum. Diraihnya mangkuk berisi mi yang penuh sayuran itu. “Banyak sekali sayurannya Mel, itu mi apa sop sayur jadinya?” “Ih Desi, dari dulu kan aku suka makan sayur.” “Iya sih Mel, kenapa sih kamu suka banget sayur ketimbang daging?” “Ga tau Des, semenjak baca buku „Becoming Vegan’ karya Brenda Davis dan Vesanto Melina, aku jadi belajar menyukai sayur.” “Emang apa yang ditulis buku itu sampe kamu tertarik?” “Gak banyak sih, jadi penyuka vegatarian itu namanya vegan. Di buku itu ditulis gimana caranya menjadi vegan, salah satunya menghindari susu dan telur.” “Haduh gak deh, gak deh, ga mungkin bisa aku.” “Aku juga belum bisa sih Des, makanya belajar. Yang aku tau buku itu bilang kalau jadi vegan kamu juga sudah menjadi pendiet yang baik.” “Ooooh pantessss, biar singset langsing.” “Hahahaha!” Melina dan Desi membuka mulut lebar-lebar. Keduanya tertawa tanpa henti. Benar-benar, selalu ada maksud di balik tindakan itu. “Des aku mau tanya deh sama kamu, gantian, ini agak serius, boleh?” 137

“Boleh sih, apa yang gak buat kamu Mel?” Desi memeluk Melina dari samping. “Kita kan sahabat.” “Makasih ya. Tadi malem aku mikir ya, setiap malem kita selalu nyetel alarm kan?” “Hooh, iya, kenapa?” “Padahal kan kita belum tau jika besok kita masih hidup atau gak.” “Iya sih.” “Nah itu Des yang ingin aku katakan sama kamu.” “Apa emang?” “Ya itulah yang disebut dengan harapan.” “Terus hubungannya apa dengan kamu?” “Aku kan gak pernah tau Kak Indra itu serius atau engga sama aku, aku juga gak tau sampe kapan dia mau terus ngejer aku, tapi dia gak pernah nyerah, padahal kan dia tau bisa aja aku gak suka sama dia.” “Ya bener, bener.” “Tapi ada hal yang selalu menguatkan dia, bahwa siapa tau esok aku bakal suka sama dia.” “Dan nyatanya bagaimana Mel?” “Rahaaaassiiiiaaa dong, mau tau aja nih.” “Iiiih Melina, curang, ngapain cerita-cerita coba kalau ujungnya rahasia. Males ah sama kamu.” “Ahaha, satu orang kena ketipuuuu!”

138

Tiba-tiba saja Ibu Koperasi telah berdiri tepat di belakang mereka berdua. “Hayo, hayoooo, mulai pacar-pacaran.” “Eh Ibu, iya si Melina nih,” Desi memukul tangan Melina. “Apaan, Desi tuh Bu, mau tau aja urusan orang.” “Loh, loh, malah pada berantem. Lagian kan gak popo anak muda pacaran, sah-sah aja.” Ibu Koperasi itu berbicara sambil memisahkan duduk dua wanita yang mulai tegang. “Tuh Mel denger, sah-sah aja.” Ibu Koperasi bernama Bu Dewi. Dia hampir selalu tau gosip terbaru anak-anak sekolah. Siapa berpacaran dengan siapa, orang ini putusnya kapan, yang itu sukanya sama siapa, Ibu Koperasi tau semua. Beruntungnya murid-murid SMA N 1 Cirebon, Ibu Koperasi orangnya pandai menyimpan rahasia, walau kadang ember juga sih. Di antara PNS yang ada di sekolah, Ibu Koperasi adalah yang paling formal. Setiap hari wanita berhijab hijau itu selalu memakai pakaian berwarna hijau. Kacamata minusnya yang tebal menjadi ciri khas. Tahi lalat di atas bibirnya pun memudahkan orang mengenali dirinya. Dia cantik meskipun mungkin sudah berumur lima puluh tahunan. “Gini loh gini Non, Non, yang cantik. Ibu tau Dek Melina itu orangnya kalem, pintar, dan rajin sembahyang.” “Tau dari siapa?” Melina bingung. “Loh ada anak kelas satu yang suka memperhatikan Dek Melina, mesti gak sadar toh?” logat jawa Ibu Koperasi terdengar medok. Maklum, dia berasal dari Banyumas. “Ya gaklah Bu, kalo sadar juga Mel gak bakal tanya, hehe.” 139

“Siapa sih Bu?” Desi penasaran. “Melina itu sok laku ya Bu, sok jual mahal.” “Sudah, sudah, malah berantem lagi nanti, pokoknya anak itu tau betul tentang Melina, siapa dia, nanti kamu bakal tau sendiri. Dadah, Ibu pergi dulu.” “Buuuuuu!” Melina menjerit meminta Ibu Koperasi kembali. “Ih Ibu selesain ceritanya,” Desi ikut merengek. “Hahaha, ayo tebak sendiri ayo!” Desi dan Melina tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Ibu Koperasi. Sam-kah itu? Bisa saja pria lain. Tapi siapa lagi kalau bukan Sam, Ibu Koperasi kan taunya cuma dia. Bahaya sekali Ibu Koperasi ini, bisa merusak rahasia orang. “Iseng aja tuh dasar ibu-ibu biang gosip,” Desi melempar sedotan sambil memaki. “Hus, gak sopan.” Melina menegur. Dua wanita itu kesal dengan penuh rasa penasaran di dalam hati. *** Bulan Agustus adalah bulan di mana seorang Bunda Teresa dilahirkan. Seorang wanita yang separuh hidupnya diwakafkan untuk menolong orang miskin, sakit, sekarat, dan yatim-piatu. Dia mendirikan Misionaris Cinta Kasih sebagai tempat pengabdian hidupnya. Suatu ketika Bunda Teresa pernah berkata, jika kamu suka menghakimi seseorang maka kamu tidak memiliki waktu untuk mencintainya. Artinya, berikanlah ruang pada kesalahan itu kebaikan dan kebaikan itu 140

kesalahan, sehingga kita dapat objektif. Lalu kapan kita mulai melakukan sikap mulia itu? Bunda Teresa menyuruhnya untuk segera hari ini juga kita lakukan kebaikan itu, “karena kemarin telah hilang, besok pun belum datang, kita hanya punya hari ini.” Kadangkala, manusia seringkali menunda melakukan kebaikan sehingga kebaikan itu tinggallah seperti pasir yang terbang entah ke mana. Terkadang juga, manusia meremehkan niat baik dengan anggapan jika kebaikan itu belum tentu diterima. Oleh karenanya, tidak jarang, manusia kemudian terjebak untuk melakukan tingkah laku yang umum saja. Padahal dunia justru membutuhkan manusia yang berani, manusia yang tegas menyuarakan hal-hal baik. “Kamu tau Sam?” “Apa Bah?” Sam terlihat bingung mendengarkan penjelasan ayahnya. “Kamu pernah melihat orang kesulitan kan, entah itu menyeberang ataupun kekurangan makanan.” “Iya pernah Bah.” “Kamu membantu?” “Tergantung, tapi enggak juga sih, jarang.” “Nah, Bunda Teresa itu bilang, „bagaimana mungkin kamu ingin melihat Tuhan yang tak terlihat jika kesengsaran yang ada di depan matamu saja tidak mampu kamu lihat?‟ ” “Kalo liat sih liat, tapi engga bantu.” “Itu yang jadi intinya, ketika kamu melihat, tapi tidak melakukan apapun, itu sama saja dengan kamu tidak melihat. Apa bedanya, tidak ada!” 141

“Iya juga sih ya, Bah.” “Makanya, mulai besok, jangan menunda niat baik, lakukanlah.” “Sekalipun itu membahayakan Sam, Bah?” “Seperti apa contohnya Sam?” “Seperti menolong orang yang mungkin aja dia jahat sama kita, kaya modus pencurian akhir-akhir ini tuh?” “Nantilah, kata hatimu akan dengan sendirinya paham soal kaya gitu, sekarang lakukan yang sederhana saja dulu. Misalnya bantu nyuci piring, ngepel rumah, dan banyak lagi Sam.” “Siap, Insya Allah Sam bakalan berusaha.” “Oh iya, membantu juga bisa membuat hatimu tenang, coba aja.” “Iya Bah.” “Okeee, sekarang tidurlah, sudah malam juga.” “Iya Bah, Sam tidur duluan ya.” Malam telah menutup mata Sam dengan sejuta pertanyaan. Rasa penasarannya kini telah hilang bersama dengan mimpi. Wajah Sam pun sudah tak tegang lagi seperti tadi pagi. Selamat tidur Sam. ***

142

Dua Rasa

Kebebasan bukanlah memilih apa yang sudah ditentukan. Kebebasan adalah memilih apa saja yang menurut kita benar. Jika ada pilihan-pilihan kemudian kita diwajibkan memilih salah satu di antaranya, itu bukan kebebasan, melainkan menentukan pilihan dari luar diri kita. Kebebasan sejatinya menentukan apa yang ada dalam diri kita sendiri tanpa pengaruh orang lain. Melina mengalami dilema itu malam ini. Dia begitu lemas-lesu ketika Indra terus mengejar dan surat dari Heldy tak kunjung henti berdatangan. Indra dan Heldy menunjukan mereka yang terbaik, mereka yang pantas mendampingi Melina. Keadaan tentu menuntutnya memilih, tapi hati Melina bebas, bahkan untuk memilih menolak keduanya. Jam dinding di kamar Melina berdetak keras. Tak, tok, tak, tok, tak, tok, tak, tok. Berulang dan berulang. Petang dan tak bersuara. Bulan bergelantungan menunaikan tugasnya. Kunang-kunang mencumbu daun seperti kebiasaannya. Kerikikan jangkrik panjang melengking memekikkan telinga. Angin meniupkan kesegaran udara, tak panas juga tak dingin. Pas sekali dengan kegundahan hati Melina. Andai kata ini bukan campur tangan Tuhan, mungkin Melina sudah jauh meninggalkan hal-hal ini. Melina begitu taat, hidupnya mengalir dan percaya sudah ditentukan. Setiap titik dalam tulisan pun menurutnya adalah 143

isyarat Tuhan. Semua serba harus penuh makna baginya. Mungkin mengakhiri salah satu pria yang getol merebut hatinya pun harus dengan kesan yang istimewa. Melina, Melina, bersabarlah, semua yang terburu-buru pasti tidak akan pernah baik. Tak tak tak! “Mel, Mel, Mel!” suara panggilan dan ketukan pintu itu mengganggu Melina. “Iya sebentaaar Kak!” suara Melina terdengar malas. “Ada apa sih Kak Linda?” “Buka dulu aja, Kakak mau cerita.” “Iya Kak.” Kak Linda dan Melina kini sudah duduk berdampingan di atas kasur kamar Melina. “Ini, tapi jangan bilang siapa-siapa ya.” “Iya Kak, kenapa?” “Kakak dipaksa nikah sama orang tua Kakak, tapi Kakak ga mau.” “Loh, kenapa gak mau, kan enak nikah tuh katanya?” “Alah, kamu masih kecil Mel, jadi belum banyak tau. Biar Kakak cerita dulu, kamu dengerin aja.” “Aku gak boleh komentar?” “Gak!” Kak Linda sedikit menyentak. “Kamu cuma cukup dengerin aja, siapa tau bisa jadi pelajaran juga buat kamu ke depannya.”

144

“Iya Kak iya.” Melina hanya bisa pasrah. Rambut kemerahmerahannya dia ikat. “Ya uda cerita sok.” “Kakak bukannya ga mau nurut sama orang tua. Cuma, Kakak itu udah punya pasangan lain yang menurut Kakak lebih baik. Kamu tau kan Kakak udah punya cowo?” “Iya tau Kak.” “Nah, kamu tau juga kan suka ada cowo yang datang ke sini bawabawain oleh-oleh?” “Iya tau juga Kak.” “Cowo yang suka bawain barang-barang itu cowo pilihan keluarga Kakak. Dia baik sih, tapi gimana ya, Kakak gak pernah suka Mel. Kakak udah ngerasa lebih pas dengan cowo pilihan Kakak sendiri.” “Kak Rudi?” “Iya Kak Rudi Mel.” “Tapi kan cowo yang satunya itu baik Kak, kasian dia.” “Nah dia baik kan karena dia mau sama Kakak. Mungkin karena Kakak cantik, Kakak baik.” “Idiiiih pede banget Kak Linda!” Melina berekspresi layaknya orang hendak muntah. “Hueeeks!” “Intinya gitu deh Mel.” “Terus mau Kakak gimana?” “Mau Kakak, ya, Kakak sama si Rudi.” Kak Linda sedikit tersenyum. “Rudi itu bisa ngertiin Kakak, dia lebih dewasa, dia tau kekurangan Kakak, dia juga udah lama kenal Kakak.” 145

“Emang kenapa sih Kak, ribet banget? Cowo pilihan keluarga Kakak juga pasti gitu juga. Baik, suka bawain oleh-oleh, dan lain-lain deh.” “Ya, tapi cinta itu bukan sekadar kaya gitu Mel. Cinta itu masalah kenyamanan. Ketika kamu ngerasa bahwa dia datang karena alasan, kamu pasti gak tenang karena kamu akan dituntut untuk menjadi alasannya terus. Tapi ketika cinta itu datang dengan ketulusan, cinta itu tidak perlu alasan, dia hanya ingin melengkapi hidup kamu aja.” “Aaaaaaah Kakak, bisa aja!” “Bener, kenyataannya gitu, kamu pasti ngerasain deh.” “Hmmm gitu ya Kak, terus Kakak harus gimana dong ngadepin persoalan yang segini rumit?” “Itulah Mel, Kakak sekarang bingung, tapi cepat atau lambat Kakak harus memberikan keputusan!!!” “Nah iya Kak gitu.” “Oke, udah ya Kakak balik ke kamar lagi.” “Hah cukup gitu aja?” “Iya, udah plong sih, hehehe.” “Aneh,” Melina mengangkat alisnya tinggi. “Ada beberapa alasan kenapa kamu perlu orang yang cuma bisa ngedenger dan memahami curhat kamu. Bukan orang yang sok-sokan memberikan solusi, tapi gak jelas.” “Hehehe.” Pintu kamar kembali tertutup. Dua pasang bola mata yang semula ramai, saat ini kembali menjadi satu pasang. Melina sendiri lagi. 146

Dia kini merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk. Langit-langit kamarnya yang putih dia pandangi. Pusing, cemas, dan keraguan muncul bergumul dalam pelukan guling. ***

Engel, Heldy-mu datang memberi senyum. Puisimu bagus sekali Engel. Aku akan memajangnya di dinding kamarku, boleh kan? Aku tidak mengerti soal cinta dan teman-temannya. Aku hanya tau dan belajar bagaimana caranya membuat orang bahagia. Jadi aku tidak bisa membantumu Engel. Cintaku tak pernah beralasan, datang dan bangun dengan sendirinya. Sama seperti harapan yang seringkali kita taruh pada jam beker. Gak jelas. Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu. Doa memang barang paling murah dan sederhana, tapi doa itu akan mengiringi langkahmu dengan harapan-harapan yang baik. Semoga kamu dalam keadaan yang bahagia. Heldy 

Suka atau tidak suka, Melina harus membalas surat dari Heldy. Surat itu tergeletak bersih di atas meja belajar Melina. Amplopnya dibuka rapi dan tepat berada di sampingnya. Buku-buku berserakan di antara keduanya. Sungguh indah dan menyejukkan orang yang memandangnya. “Na na na na …”

147

Rambut Melina masih basah. Melina mengusapinya dengan handuk, cukup keras, cukup memaksa. Buliran air mengalir di sekujur tubuhnya. Dia belum kering betul, harum sabunnya masih semerbak. Kaos putih dan celana pink pendek menutupi seluruh benda sensitifnya. Melina benar-benar masih sangat natural. Cantik sekali …. Alarm kembali terdengar di kamar kecil Melina. Ini pertanda bahwa dia harus segera berganti baju. Melina begitu menghargai waktu. Benar-benar tingkah laku yang melampaui umurnya. *** Melina berjalan menuju kelas sepuluh-tiga. Kini jilbab dan rok panjangnya telah menutupi seluruh hal yang cantik, yang ada padanya. Pelan dan begitu teratur gerak langkahnya. Senyum-senyum kecil pun keluar taktala iya bertegur sapa dengan kawannya. Melina, Melina. “Tadi malam tidur jam berapa?” “Biasa Kak, jam setengah sebelas. Kakak sih?” “Owh, Kakak jam dua belas, belajar conversation sama nambah-nambah vocab Mel.” “Ih keren!” Kak Indra berdiri di sampingnya. Mereka berdua memang sudah sebulan ini hampir selalu berangkat bersama. Tidak sedikit yang menganggap mereka sudah berpacaran. Kata-kata Kak Linda tiba-tiba saja menyelimuti pikiran Melina. Dia tidak bisa mentupi itu, wajahnya bingung. Dia mungkin sadar bahwa dia 148

pun harus sama dengan Kak Linda, segera mengambil keputusan. Hanya waktunya saja sepertinya belum tepat. “Kakak pernah pacaran belum?” “Udah Mel, kenapa hayooo?” “Ih gak papa kok, cuma tanya.” “Ah gak papa jujur aja.” Suara mereka terdengar berbisik. Malu juga Melina kalau sampai teman-temannya ada yang mendengar. “Terus kenapa putus Kak?” “Ya banyaklah Mel. Dia udah gak kaya yang Kakak kenal lagi, beda, dan itu yang buat Kakak ngerasa gak cocok.” “Oh, gitu ya Kak.” “Iya Mel, orang kan harus konsisten ya.” “Hehe, iya Kak.” Melina sedikit kepikiran tentang Kak Linda. Benar juga ya, cinta yang dengan alasan itu tak berujung baik. “Kalau kamu sudah pernah pacaran Mel?” “Belum Kak, lagian siapa yang mau sama cewe kampungan kaya gini?” “Kampungan gimana? Kamu itu smart, lucu, dan banyak hal-lah yang bisa bikin orang gampang terpikat.” “Ya, tapi buktinya masih terus sendiri kok.” “Sabar, orang baik pasti akan datang pada waktu yang tepat Mel. Mungkin sekarang, mungkin besok, mungkin juga nanti.” 149

“Amiiin.” Mereka berdua terus berbincang hingga sampai di depan kelas sepuluh-tiga. Teeeeeeet, teeeeeeet! Bel tanda masuk berbunyi cukup nyaring. Semua murid terlihat berlarian masuk ke kelas. Terburu-buru dan menegangkan. Mereka sembari membenarkan rambut, memasukan baju, dan mengikat sepatu. “Kakak ke kelas ya, ada ulangan.” “Iya Kak, cepetan lari sanah.” “Iya, ngebut disemangatin kamu.” “Bisa aja, dasar.” “Dadah Melina!” “Daaah!” ***

150

Tenang

Adrien Brody cukup senang pada malam Oscar tahun 2003. Film The Pianist mengantarkannya menjadi aktor terbaik kala itu. Senyum dan tangisan haru mewarnai kesuksesannya. Sebagian orang mungkin ingin menjadi Adrien Brody pada saat itu. Mereka kemudian mengecat rambut, menyisir, dan berpenampilan layaknya pemecah rekor termuda pemenang Oscar itu. Mereka kadang lupa, bahwa di balik kesuksesan itu ada pengalaman yang mahal, yang tak bisa diuangkan. Adrien Brody kemudian menaiki panggung. Seperti biasanya, pemenang selalu diberi kesempatan untuk menyampaikan perasaannya. Momen ini kemudian digunakan dengan baik oleh Adrien untuk menumpahkan segala keluh-kesahnya. Berikut petikan pidatonya yang sangat menggugah itu: ―And, you know, my experiences in making this film made me very aware of the sadness and the dehumanization of people at times of war, and the repercussions of war. And whomever you believe in, if it's God or Allah, may He watch over you. And let's pray for a peaceful and swift resolution.‖ ―Dan, kamu tau, pengalamanku membuat film ini bikin aku sadar akan kesedihan dan dehumanisasi manusia di masa perang, dan dampak dari perang tersebut. Dan kepada siapapun kamu percaya, baik itu Tuhan atau Allah, mungkin Dia mengawasimu. Segeralah berdoa untuk perdamaian dan percepat tercapainya resolusi.‖ 151

Penghargaan nyatanya menciptakan dua hal, yang pertama adalah kebahagiaan dan yang kedua kesedihan. Adrien Brody merasakannya malam itu. Pengalaman yang dia lalui selama membuat film itu membuatnya sadar, di belahan dunia sana, ada kesedihan yang mendalam yang tak sama dengan kebahagiaannya malam itu. Dia mengajak kepada seluruh penonton, tidak peduli agama, suku, dan dari mana mereka datang, mereka diminta untuk berdoa demi perdamaian. Kesimpulannya: apapun yang menjadi tujuan kita, pada akhirnya kita hanya butuh ketenangan. *** Jika kalian pernah datang ke Kota Cirebon pada tahun 2006, maka kalian beruntung. Kota Cirebon dulu belum seramai saat ini. Bangunanbangunan tinggi belum berdiri. Aneka tempat makanan siap saji pun masih terbatas. Suasananya begitu asri dan menyegarkan meskipun sama panas. Ada beberapa tempat yang sangat indah untuk dinikmati di Kota Cirebon. Selain Puncak Gronggong, Pelabuhan Cangkol adalah salah satu yang terbaik. Dahulu masyarakat bisa bebas masuk. Sekarang sudah tidak lagi. Hujan belum juga turun. Matahari mengerjakan tugasnya dengan baik. Gelembung air dalam awan tertahan. Hanya terik dan udara panas yang menyelimuti Kota Cirebon. Sam berjalan kecil melewati garis-garis pantai. Ombak kadang menyentuh ujung celananya yang tak dilipat. Air berkejar-kejaran, melipat, dan tinggi menjulang. Gemuruhnya menambah kegetiran yang sedang dialami oleh Sam.

152

Rutinitasnya berlanjut. Sam tidak pernah berubah. Setiap kali kesedihan datang menyapanya, dia selalu memilih luasnya lautan sebagai tempat berkeluh-kesah. Kadang berteriak, kadang hanya tertunduk lesu dalam khayalan. Baju seragam putih dan abu-abu masih melekat. Sandal jepit menjadi alasnya. Mata Sam sesekali terpejam, dikucaknya. Debu pasir pantai memang terlalu sering datang. Rambutnya terbang ke atas bersamaan dengan deru angin yang begitu kencang. Siapa ya yang tega melukiskan luka kepadanya? “Hey Sam, udah lama ya?” “Baru kok Mus.” “Syukurlah Sam, maaf aku terlambat ya.” “Iya gak papa kok.” “Sini duduk di sini aja, enak memandangi laut.” Sahabat Sam tiba-tiba datang. Model sisirannya dibiarkan belah tengah. Matanya besar dan tak bisa diam. Ada sedikit kumis di atas bibirnya. Hidungnya lumayan mancung, lebih mancunglah daripada Sam yang pesek. Dia bernama Mustopha. Mereka kini duduk berpangku batu. Mata mereka lurus tajam memandang birunya lautan. Sesekali ada perahu nelayan melintas mengganggu tatapan mereka yang serius. Ah, meskipun begitu, tetap menyenangkan kok … “Ada apa Sam, tumben banget ngajakin ke pelabuhan?” “Iya, banyak urusan nih, bingung.” 153

“Tentang apa emang?” “Kalo tanyanya ke kamu, pasti itu tentang cinta Mus.” “Hahaha dasar!” “Lagi jatuh cinta adikmu ini Mus.” “Wajar, anak muda.” Mustopha mengeluarkan satu bungkus rokok dari jaketnya. Dia tersenyum kecil. Kepalanya digeleng-gelengkan. Benar-benar tak menyangka dia kalau Sam sedang jatuh cinta. Katanya wajar Mus? Puuuh. Asap putih menggelembung tinggi ke udara. Ujung rokok telah menyala. Mus kini tengah menggenggam ujung sebatang rokok dengan kedua jari dari tangan kanannya. “Berapa lama kamu suka sama cewe itu?” “Baru aja Mus, paling sekitar satu bulan yang lalu.” “Sebentar itu namanya.” “Ya, tapi aku sudah suka Mus, gimana lagi?” “Kamu belum pernah untuk tenang sedikit, menikmati kesendirianmu, merenung, mungkin aja bayangan dia nanti ilang.” “Belum sih, tapi nanti tak coba deh.” “Coba dulu, baru kamu bicara lagi sama aku.” Mus sedikit tertunduk. Kemudian kepalanya naik lagi. “Gini ya Sam, cinta itu bukan perkara kamu melihat lalu kamu suka. Cinta itu lebih jauh daripada soal senang dan tidak. Cinta melibatkan perasaan yang kadang kamu sendiri ga bisa sadar kalau itu namanya cinta.” 154

“Ah sudahlah, lupain aja Mus, bercanda lagian.” “Kampret, dikira serius, anjrit!” “Hahaha!” “Intinya cinta tuh ketenangan. Kamu kudu siap sedih karena di balik kebahagiaan itu pasti selalu beriringan dengan datangnya kesedihan. Jangan lupa.” “Iya Mus iya.” Mustopha umurnya lebih jauh sepuluh tahun di atas Sam. Sam sudah menganggapnya seperti Kakak sendiri. Itulah kehidupan di jalanan, tak peduli kapan mereka bertemu, tak peduli seberapa jauh batas umur, tak ada kegilaan untuk dihormati, semua dianggap rata dan sama. “Jadi maksud kamu bercanda kaya gitu tuh apa Sam?” “Cuma pengen tau aja sih, gimana tanggapan kamu soal cinta itu, sapa tau beda sama Ibu dan Pak Sopir yang pernah kutemui.” “Emang mereka bilang apa?” “Ya intinya mah jangan buru-buru mengambil keputusan dan jangan terlalu lama juga membuat keputusan. Cinta itu soal hati, ketika kamu yakin maka kamu sendiri yang menentukan jawabannya. Itu sih intinya.” “Salah mereka itu, sok tau.” Sam mengundurkan kepalanya ke belakang. Dia bingung. Dia heran dan terpaku. “Maksud kamu?”

155

“Ya cinta gak ada hubungannya sama buru-buru atau lama-lama, cinta itu kecocokan. Sekalipun kamu membuat keputusan kalo nyatanya gak cocok ya ga bakal bisa barenglah. Ya kan?” “Iya sih.” “Makanya tenang, cinta itu adalah ketidaktahuanmu mengapa kamu ketika berada di sampingnya itu merasa nyaman.” “Ya, kalo menurutmu begitu aku setuju kok.” “Iya, cinta itu bukan kata dia, bukan kata kamu, bukan juga kata mereka, cinta itu kata hati Sam.” “Jadi harus menuruti kata hati?” “Ya benar, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak melibatkan hati.” “Cukuplah Mus, lebih baik kita lanjutkan ngobrolin hal lain.” “Ya, sudah males juga aku Sam, cinta lagi, cinta lagi.” “Hahaha, risiko playboy Mus!” Tttttooooooooootttt! Suara klakson kapal batu bara kemudian terdengar keras. Mustopha dan Sam kaget bukan kepalang. Langit sedikit demi sedikit menjadi gelap. Warna merah di pojok angkasa terlihat keoranye-oranyean. Burung-burung pun berterbangan kembali ke rumah masing-masing. Sam dan Mustopha hilang berbarengan dengan hilangnya sinar matahari. Ombak semakin mengecil, namun teratur dan tak jarang kembali tinggi. Angin bertiup semakin kencang menggoyangkan pepohonan. Pelabuhan mulai sepi dari orang-orang …. 156

*** Untuk pertama kalinya, Sam kembali mengambil air wudu. Wajahnya bersinar dan terang malam itu. Bak pesona terang bulan. Dia sepertinya memang sedang butuh ketenangan. Nasihat orang tuanya akhirnya didengar. Kalo pengen tenang, ambilah air wudu Sam. Syukurlah. Namun, dia belum juga sembahyang. Dia malah duduk di atas kursi belajarnya. Tahulah, tugasnya setiap malam menjelang.

Heldy, Mungkin malam ini kamu tengah bersandar di kursimu. Puisiku di dinding kamarmu memandangimu. Dia melihat kamu membuka amplop, dan kamu mendapati kertas putih yang hanya secarik. Matamu lalu menelisik setiap katanya, menjadi kalimat dan membentuk paragraf. Heldy, Aku harus jujur padamu. Kamu sudah menjadi salah satu bagian yang baik buat hidupku. Aku jadi lebih suka menulis dan berkhayal tentang hal-hal yang indah semenjak suratmu yang pertama. Heldy, Aku tidak tahu kapan waktunya nanti kita bertemu. Tapi aku harap secepatnya. Heldy, Aku ingin menyampaikan sesuatu, semoga saja kamu suka. Aku sedang mencintai seseorang saat ini.

157

Heldy, Aku akan mengabarimu lagi. Aku butuh sedikit ketenangan. Terima kasih telah datang untuk bicara 

Kamar mungil Sam mendadak sunyi. Tidak ada suara Axl Roses ataupun Kaka Slank malam itu. Cuma sedikit gesekan putaran kipas saja. Tidak meriah, tidak pula gemerlap, malam itu. Sam terkejut. Dia hanya bisa tersenyum kecil tanpa kata membaca surat dari Melina. Bibirnya terkunci. Seperti malam-malam sebelumnya, semenjak surat sering datang silih berganti, Sam selalu gelisah menatap esok. Dia kadang cemburu, kadang juga bahagia, dan kadang seringkali juga, dia biasa saja. Itulah Sam, gambaran remaja yang sedang jatuh cinta. Kaca jendela masih terbuka lebar. Angin malam masuk sedikit-sedikit menenggelamkan imajinasi Sam. Posisinya berubah. Sam mulai terpejam menghadap barat. Rambutnya tipis jatuh menutupi mata. Sabar Sam, nanti akan datang waktunya kamu merasakan bahagia itu. ***

158

Tenda Tanda Nothing is more valuable than freedom and independence. – Ho Chi Minh

“Sam ke mana kita?” “Ini Ben, ikat tongkat pramuka, udah ikut aja.” “Yang lain di mana?” “Udah pada di dalem elf, bantuin aku ah, bakalan berat ini Ben.” “Kenapa gak bawa sendiri-sendiri sih?” “Ah nanya terus, repot Ben masalahnya. Harus ada satu orang yang mau berkorban meskipun ujung-ujungnya juga kan buat bareng.” “Okee deh, kalo gak ada yang mulai emang gak bakalan jalan. Pemimpin harus berani ngambil inisiatif.” “Betul!!” Sam dan Benjamin berjalan ke arah masjid. Mereka berdua mengikat sekitar dua puluhan tongkat dari bambu yang telah dicat merah-putih. Tangan keduanya begitu sigap. Tak perlu waktu lama, semua tongkat itu telah siap digotong ke dalam elf. SMA N 1 Cirebon selalu mengadakan kegiatan perkemahan SabtuMinggu setiap tahunnya. Pengembangan diri dan kepemimpinan menjadi tujuan dari acara tersebut. Anak-anak kelas sepuluh diwajibkan ikut. Entahlah, tidak pernah ada alasan yang jelas tentang kewajiban ini. 159

Elf-elf berjejer dari depan sekolah hingga seratus meter ke belakang. Menghitung kelas, maka ada sepuluh elf setidaknya pagi itu. Setiap kaca elf itu ditulisi informasi mengenai tujuan dan kelas mana yang boleh masuk ke elf itu. Sungguh rapi dan tertata. Ratusan siswa berseragam pramuka terlihat lalu-lalang. Mereka masuk ke sekolah, ke dalam elf, dan ada pula yang berdiri di depan gerbang. Topi bareta cokelat secara serentak dipakai. Tidak ada satu pun yang luput. Tempat perkemahan untuk tahun itu adalah Waduk Darma. Waduk Darma terletak di Kota Kuningan, Jawa Barat. Perbukitan memang masih memiliki daya tarik tersendiri untuk berkemah. “Ayo berangkat!” “Ayo Ben!” “Kamu pegang belakangnya ya, aku depannya.” “Iya.” “Oke, satu, dua, tiiiiiiiiga!” “Gaaaa!” sambil mengangkat tongkat Benjamin meneruskan hitungan Sam. “Mantap.” “Berat ya?” “Hahaha iya.” Sam dan Benjamin berjalan menuju elf kelas sepuluh-tujuh. Tongkat pramuka kini mengayun di tangan keduanya. *** Setiap kegiatan yang berurusan dengan anak-anak SMA, pasti tidak akan lepas dari apa yang namanya aturan. Aturan itu seolah seperti momok 160

yang menakutkan karena apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi yang berat. “Tidak boleh ada yang membuang sampah sembarangan. Tidak boleh ada yang keluar dari tenda selepas jam delapan tanpa izin. Tidak boleh membawa petasan. Tidak boleh berpacaran. Tidak boleh absen salat berjamaah, bagi yang muslim. Tidak boleh absen dalam setiap kegiatan. Semuaaaanyaaa siap!!!!????” Pembina upacara yang menggunakan pakaian pramuka lengkap, menegakkan kepalanya, sombong kali. Ingin rasanya mencomot mulutnya yang komat-kamit. Di tengah lapang yang luas, murid-murid yang berbaris serentak menjawab. “Siaaaaap Pakkk!” Ada pula yang berkelakar, “Insya Allah Pak, jika Allah mengizinkan.” Setelah dua puluh menit pembina upacara menyampaikan pesan, barisan kemudian bubar. Semua kini sibuk memasang tenda masing-masing. “Win patoknya dipegang. Sam, Dayat, Ogi bareng Erwin, patok talinya pake palu ke pojok kanan.” “Nah kamu Ben?” Erwin bertanya kepada Benjamin. “Aku liatin, pas engga.” Erwin, Dayat, Sam, dan Ogi sekuat tenaga menarik ujung tali dari tenda yang hendak mereka bangun. Warna biru tua dan jendela yang hitam menjadi kesukaan bersama. Cukup megah memang tenda itu ketika mulai berdiri. “Masuk Ben.” 161

“Oke.” Ogi menyuruh Benjamin masuk ke dalam tenda. Ogi hanya memegang sekadarnya, belum dipaku, belum pula diikat ke dahan pohon. Satu tangan dia pegangi tali penyangga tenda itu, satu tangannya lagi mengusapi keringat. Dan … “Wah, bagus Gi, keren! Megah tendanya!” Benjamin begitu bersemangat melihat luasnya tempat dia dan kawan-kawannya tidur. “Lepas ya?” Ogi menatapi Erwin, Sam, dan Dayat. Dia meminta persetujuan. Suaranya begitu kecil penuh bisik-bisik. “Sip!” Breeeeg! Terdengar suara seperti benda yang semula berangin menjadi kempes. “Wwwwwoooooy anjriiit tarik woy!” Benjamin rupanya dijebak. Dia berada di dalam tenda yang sengaja dirubuhkan. “Hahahahahahahaha!” Dayat, Sam, Erwin, dan Ogi tertawa keras. Benar-benar jahat mereka berempat. “Tarik sih cepet, panas ini!” suara Benjamin sepertinya marah. “Ya lumayan lima menit lagi Ben.” “Ah cepetan ah, panas Gi, Ya Allah, toloong!” Benjamin berontak, tangannya bahkan mengancam untuk melubangi tenda. Keempat sahabat itu pun akhirnya menuruti Benjamin. Tak lama berselang, tubuh keringat basah dan penuh air nongol dari pintu tenda tersebut. Kasihan sekali Benjamin. 162

“Ah mainannya yang bener ah.” “Ya abisnya, kaya mandor aja kamu.” “Harus ada bagi tugas dong, itu kan aturan tim.” *** Apakah itu hujan atau embun yang perlahan turun tak tahu, karena memang sulit untuk membedakannya. Yang jelas, seluruh siswa berlarian berebut cepat masuk ke dalam tenda. Api unggun yang menyala kecil pun mati tersapu angin bercampur air. Perkemahan seketika menjadi suatu hal yang tidak lagi menyenangkan. “Semoga saja sih cepet reda ya.” “Iya Win, ke sini kan mau seneng-seneng ya?” “Iya, tapi masih sore kok. Cukuplah kalau nanti jam sembilan hujannya reda.” “Cukup untuk?” “Ya cukup untuk ngelanjutin sampe malem.” “Hey hey hey, enakan di tenda Bro, api unggun tuh emang mau ngapain? Gak seru.” Benjamin tiba-tiba saja memotong obrolan Dayat dan Erwin. “Bagi kamu gak seru, bagi yang lain seru.” “Biasa, gitu aja serius si Erwin mah.” “Ya harus pake alesan, gak serunya napa, jangan gak jelas.” “Iya Win, alesannya ngantuk.” “Nah, itu kan mending tuh.” 163

Dayat menggaruk-garuk kepala. Dia sepertinya pusing. “Aduuuh, begituan aja jadi ribet, mending ngerokok aja dulu.” “Jangan macem-macem ah, kalau ketauan bisa kena sanksi Yat.” Benjamin menolak. “Siapa yang tau? Ini di dalem tenda gini kok, lagian juga kan ujan.” “Iya Ben, udahlah, nyalain aja.” Erwin setuju ajakan Dayat. Sam, Anto, dan Ogi tengah tertidur pulas. Mereka sepertinya kelelahan karena memasang tenda tadi siang. Air kecil yang jatuh dari langit menidurkan mereka. “Ini pada dibangunin dulu gak Yat?” “Gak usahlah Win, kasian. Mereka gantian nanti malem aja jaga tenda.” “Oh iya bener, ya uda deh.” Benjamin mulai menyalakan rokok. Erwin tak tahan dan ikut memenuhi mulutnya dengan kepulan asap. Dayat hanya menunggu operan rokok dari keduanya. “Eh pengen nanya nih ya?” “Apa Win?” Erwin menghadap Dayat dan Benjamin. Dia sepertinya ingin mempertanyakan suatu hal yang begitu penting. Tak tahulah, tapi sepertinya tidak mungkin, sih. “Kalian sering sadar gak sih?” “Sadar apa?” 164

Benjamin sedikit penasaran. Duduknya dirapikan dan wajahnya semakin serius. “Nih ya, misalkan ada tanda P disilang, terus kita gak parkir. Ada jarum jam mengarah ke angka lima, kita buru-buru ambil wudu terus salat. Kita tuh kaya diatur-atur sama benda, aku sih ngerasanya konyol.” “Ya itu kan tanda Win, pengingat kita yang barangkali aja lupa.” “Iya bener Win.” Benjamin dan Dayat sedikit sulit menjawab keluhan Erwin. Mereka hanya sekadar menolak tanpa alasan jelas. “Iya, tapi kan itu cuma benda sih Ben, Yat. Benda itu ga bisa ngomong, ga bisa hidup, sekadar tanda aja yang kita juga gak tau kenapa alesannya kan. Kok kita nurut? Aku sampe mikir kalo semua tanda-tanda itu dibuang aja, biar orangnya suruh ngomong langsung aja, ga usah diwakilin tanda-tanda lagi.” “Ya uda, duluan mana hayo, tanda apa omongan?” “Duluan manusialah, kalo gak ada manusia gak ada dua-duanya, pertanyaanya itu loh.” “Sekarang sih gini aja, mau nurut sama tanda ya gak papa, gak nurut ya terserah.” Benjamin mencoba menengahi. “Tapi napa ada sanksinya kalo ga nurutin?” Erwin memulai lagi. “Ya ga tau, mungkin udah jadi kesepakatan dari sananya gitu.” “Ah pusinglah, sama-sama gak ngerti juga Ben, iseng doang sih.” “Asem, hahahahaha!”

165

“Yang pasti, kita semua ini udah memberikan tugas pada tanda-tanda itu untuk menghukum kita kalau kita ga menaatinya, ya kan?” “Ya benar sih. Hei tanda, hukum aku jika tidak menaatimu! Gitu ya, hehehe.” Obrolan soal tanda-tanda itu kini hanya menyisakan dua orang, Benjamin dan Erwin. Dayat lebih asik dengan rokoknya. “Emang kenapa sih Win tiba-tiba bahas soal tanda?” “Ya besok kan mencari jejak, ada soal-soal tentang semafurnya Ben.” “Oh, yang gerakin tangan pake bendera itu ya?” “Iya, yang kita terus nebak huruf-hurufnya dan jadi kata apa, gitu?” “Bener itu Ben, mikir gak coba?” “Iya juga, siapa yang pertama kali awalnya bikin tanda gitu ya?” Benjamin sedikit mempraktikkan gerakan semafur dengan tangannya. “A itu begini gerakannya, B itu gini ya?” “Nah kan, kamu mulai asing kan sama tanda-tanda itu? Kita kok mau dan pasrah gitu aja loh.” “Kalo kata aku sih Win, pasti awalnya karena perbedaan bahasa, biar semuanya paham makanya diwakili tanda itu. Tapi ga tau juga sih, nebak doang.” “Bisa jadi Ben.” “Ah, sudahlah males mikirin itu, aku gak ngerti Win.” Benjamin mengayunkan tangannya tanda bosan. “Aku juga Ben.” 166

“Iya, gak penting emang obrolannya.” Dayat ikut kesal. “Nih rokoknya, siapa yang mau?” “Aku duluan ya Win!” Benjamin menyerobot rokok yang semula berada di tangan Dayat. “Iya Ben.” Mereka bertiga menyerah. Obrolan menjadi buntu tak berarah. Itulah awal dari perkemahan. Keakraban di antara teman kelas semakin muncul dan hidup. Sekolah memang tahu bagaimana caranya mempersatukan perbedaan. Sudah sepatutnya, sih. ***

167

Di Mana Mel

Subuh baru saja selesai. Matahari mulai tampak kecil sedikit ujungnya. Masih gelap, belum terang. Masih sunyi, belum ramai. Sam telah bangun dan berdiri di depan tenda kelompoknya. Kawankawannya tak ada satu pun yang menemaninya. Merenung dan melamun saja dia. Jatuh cinta rasanya mulai menghantui Sam. Tidak di rumah, tidak di sekolah, tidak pula di perkemahan, Melina selalu ada di pikirannya. Melina memutari sel-sel otaknya, meracuni merah hatinya, dan menambah degup jantungnya. Apa yang kamu pikirkan Sam? Melina, tendanmu yang mana ya? Kamu udah bangun belum? Ah, tapi sudahlah, mungkin memang Kak Indra itu yang lebih baik bersamamu, bukan aku Mel. Palingan malam tadi pun kamu mimpi tentang Kak Indra, kamu lalu mengigau dan kamu kemudian kangen sama Kak Indra itu. Sam mengatakan gumamannya lewat kedip mata dan getaran penuh gelisah. Mulutnya terkunci rapat. Sam duduk bersila. Tangan kirinya menjaga dagu agar tak jatuh. Pahanya memangku siku tangan. Posisinya menyiratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu dengan dalam. Sarungnya terkibas sedikit ke atas. Angin pagi mulai sepoi menggerakkan rambutnya dan membuat berdiri bulu kuduknya. Baju pramukanya sengaja tak dikancing, kaos hitam dia tonjolkan sebagai penutup tubuhnya. 168

Kamu tau Mel? Kalau saja aku ini pandai, aku punya kendaraan, aku bisa bahasa Inggris dan matematika, aku pasti akan datang ke kosmu tanpa malu Mel. Sayangnya aku tidak punya itu semua, aku juga tidak mau belajar untuk bisa karena kamu. Aku yakin kesadaran itu pasti datang, tapi tidak sekarang. Hati Sam mulai galau. Dia ingin, tapi tak mampu. Tuhan mungkin juga kemudian menjadi menunggu. “Seandainya saja!” Sam mengeluarkan celetuk cukup keras. “Hayooooo seandainya apa?” Benjamin tiba-tiba saja menepuk punggung Sam. Kaget bukan kepalang Sam. Dia grogi dan gugup. Tubuhnya gemetaran, bibirnya tak bisa diam, gelisah intinya. “Seandainya kalo perkemahan ini gak jadi Ben, kan enak di rumah tidur.” “Alaaah bohong, seandainya bisa memliki seseorang ya? Hayoooo, ciye ngaku Sam!” Benjamin kemudian mengambil posisi duduk tepat di sebelah Sam. Rambutnya naik ke atas. Matanya masih sayu dan mengantuk. Ada sedikit kotoran di matanya, ih jorok. “Gimana mau ngaku, emang buktinya gak ada.” “Udah aja, percuma boong juga.” “Hehe.” Sam tak ingin melanjutkan. Dia memilih senyum sebagai penutup obrolan. “Emang Sam, anak-anak kaya kita ini, umur segini maksudnya, paling enak pacaran dan bersenang-senang sama cewe sendiri.” 169

“Iya Ben bener.” “Tapi apa daya, yang katanya orang cinta itu buta tuh bohong. Buktinya cinta tau nilai bahasa Inggris, berapa nilai PKN.” “Soak ah, lagi serius dengerin juga tuh, malah bercanda lagi.” “Ya itu serius, kalo emang buta kan pastilah minimalnya ada satu orang yang nyantol karena gak peduli nilai-nilai kita di kelas Sam. Dan ga peduli juga kelakuan kita di kelas.” “Hahahaha bisa aja Ben!” Sam tak lagi murung. Rasa sedihnya telah berubah menjadi senyum yang mekar. Benjamin begitu pandai merekayasa kekhawatiran Sam menjadi semangat yang berkobar-kobar. Banyak hal yang mungkin anak ingusan itu tidak ketahui soal cinta. Tapi biarlah, lepaskan saja mereka tumbuh dengan pengalamannya sendiri. Toh, nanti juga mereka akan merasakan jatuh bangunnya merangkai kehidupan. ***

170

Pelangi

Pagi, di lapangan upacara. Riuh dan tak teratur, itulah gambaran dari siswa dan siswi berbaju pramuka dari SMA N 1 Cirebon. Setiap siswa diwajibkan mengikuti acara mencari jejak. Masing-masing kelompok akan diminta berbaris rapi. Yang mendapat giliran pertama berangkat lebih awal, disusul kemudian kelompok lainnya yang berarti ada di giliran kedua. Tujuan dari kelompok-kelompok itu adalah menjalankan aturan pencarian jejak menuju ke arah hutan, dan sampai tepat pada waktunya di perkemahan. Begitulah aturannya. Tidak ada suatu yang kebetulan, yang ada hanyalah usaha yang kita tidak sadari mengantarkan kita pada suatu peristiwa. Seperti pagi itu, kelompok Sam berada tepat di belakang kelompok Melina. Sudah menjadi kebiasaan, teman-teman Sam kemudian mengejek Sam. “Cie cieeeee!” “Win, jangan sih, malu ya.” “Malu napa lagi?” “Ya kalau Melinanya tau kan, yang ada aku malah dijauhin.” “Lah, urusan dia apa sampe ngejauhin kamu?” “Ya gara-gara kamu norak, dia pasti malu nanti sama temen-temennya, ngerti!” Sam sedikit menggertak. “Ngerti kan?” “Iya sip, sorry Sam.” 171

Erwin meraih tangan Sam. Mereka tak pernah lama berdebat. Semua kelompok kini telah memulai petualangannya. Perjalanan semakin jauh, pos satu, pos dua, dan pos tiga sudah dilewati. Hutan sudah semakin terlihat. Batang-batang pohon yang besar begitu menyeramkan. Sinar matahari sulit masuk, tidak ada penerangan. Meskipun siang tetap saja gelap. Itulah sedikit gambaran rute yang sebentar lagi akan dilewati oleh setiap peserta perkemahan SMA N 1 Kota Cirebon. Dalam perlombaan itu, Sam mengeluarkan seluruh kemampuannya. Gerak-gerak semafur yang tak pernah dia pelajari, dia jawab tuntas. Setiap ada games yang dimainkan, Sam selalu ingin menjadi pemimpinnya. Parade baris-berbaris juga dia jalani dengan baik. Ya, mungkin rasa kagum Melina adalah alasan Sam mengapa dia begitu berani. “Sam kok kamu bisa ya ternyata soal-soal pramuka. Belajar kapan?” “Ah, waktu SMP aku mainnya sama anak-anak pramuka Ben.” “Yang bener?” “Wah ini sih bisa meringankan tugas namanya Gi, To, Win, Yat,” Benjamin berkata sambil memanggil Ogi, Anto, Erwin, dan Dayat. “Iya bener Ben, enak,” Erwin menimpali sedikit. Kelompok Sam tengah beristirahat sejenak. Teras rumah warga menjadi tempatnya. Tongkat-tongkat bergeletakan di sekitar tempat mereka duduk. Napas mereka begitu ngos-ngos-an. Dasar perokok, bagaimana kalian punya tenaga untuk memanjat? Perjalanan masih panjang woy, payah. Sam sedikit mencuri pandang. Dia melihat Melina yang berjalan paling belakang di antara kelompoknya. Malu-malu dia, tak berani lama. “Mel, cepetaaaan ah, lamban!” 172

“Iya Des, lelah sekali aku, mau pingsan.” Dari kejauhan, Melina terlihat mengusapi keringat. Desi sudah berulang-ulang meneriakinya untuk segera. Tak lama kegiatan itu Sam lakukan. Bosan juga dia. “Ben ayo lanjut yuk!” “Ayo yuk semua lanjut!” Kelompok Sam kemudian berdiri dan melanjutkan perjalanan. Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, hutan sangat-sangatlah gelap. Jika mata kita minus mungkin kita dalam bahaya, karena seketika saja kita bisa terjerembab jatuh ke dasar jurang. Dan saat ini, kelompok Sam dan Melina mulai melewati jalan setapak menuju masuk ke dalam hutan. Sam terus memperhatikan Melina. Meskipun sebatas punggung, Sam sudah cukup senang. Langkah gontai Melina pun tak luput dari perhatian. Sam tak bisa melakukan apa-apa. Dia ingin menggendong wanita yang kelelahan itu. Tapi gimana? Pacar bukan, teman juga tidak dekat. Tiba-tiba saja. “Eh awas!” Sam bersiap berlari. Tongkat yang dia pegang dilemparkan entah ke mana. “Kenapa Sam?” Benjamin kaget. “Sam hati-hati Sam!” Erwin mencoba menghalangi Sam berlari. Namun terlambat. Kaki Sam begitu kencang. Dia memasang wajah yang menegangkan. “Mel, awas Mel bahaya!” 173

“Hah?” Melina hanya menoleh sebentar. “Jangan kesitu Mel!” Sam berlari sambil terus memanggil Melina. Melina tak sadar dia dalam bahaya. Mata Melina tak dapat melihat jelas. Di depannya sudah menunggu jurang yang siap mengantarkannya pada akhirat. “Meeeeel!” “Sam awas Sam, jangan Sam!” seluruh teman kelompok Sam berteriak histeris. “Meeeel, jangan lewat situuuu!” Brraaaaaak! Suara dua orang terjatuh kemudian terdengar. *** Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak takut akan kematian. Orang sakit diusahakan sampai bermiliar-miliar untuk sembuh kembali. Orang hilang dicari hingga mengeluarkan dana berjuta-juta, dengan harapan nyawanya masih selamat. Orang yang sembahyang berdoa agar dipanjangkan umurnya. Ya, semua merasa bahwa kehidupan adalah lebih baik dari kematian, setidaknya untuk memperbaiki kehidupan sebelumnya. Gandhi dikenal karena berhasil membuat gerakan yang menyelamatkan nyawa banyak orang. Nabi Isa memiliki mukjizat menyembuhkan orang sakit dan membangunkan orang mati. Nabi Muhammad membawa cahaya agar manusia tidak bar-bar dan membunuh satu dengan lainnya. Mereka kemudian disebut penyelemat dan utusan Allah yang spesial. “Terima kasih ya, Sam.” “Ah tidak apa-apa, Mel.” 174

Sam membersihkan bajunya yang kotor penuh lumpur, begitu pula Melina. Jilbab Melina cokelat penuh bekas tanah liat yang basah karena siraman hujan. Ini kali pertama Sam berhadapan langsung dengan Melina, lucu. “Tidak apa-apa kan Sam?” “Engga Ben nyantai aja.” “Ini kakimu kayaknya kekilir.” “Iya gampang deh.” Benjamin mendekat ke arah Sam. Dia membantu Sam duduk dan sedikit mengurut-urut kaki Sam. “Sam, makasih yooo!” “Oh, iya Des.” Desi datang menyalami tangan Sam. Dia sedikit berkaca-kaca. Perasaan bersalah karena gagal menjaga temannya tak bisa dia tutupi. “Mel kamu gak papa kan?” “Engga papa Des.” “Ayo sini bangun,” Desi meraih tangan Melina, “hiyaah!” “Uhhh!” Melina terangkat dengan cepat. Dia berdiri sekarang. “Makasih Des!” “Yang lain udah nunggu di depan, mereka gak berani ke sini, kamu taulah Mel.” “Ya ampun, emang kelompok Sam ini kenapa sampe begitu?” “Ya susah dijelasin, yuk langsung!” 175

“Kenapa Des?” “Ya mereka kan preman semua, walaupun kenyataanya engga.” “Jangan cepat-cepat menghakimi orang, tidak baik Des.” “Bukan aku, tapi yang lain.” Melina kini memangku tangannya ke pundak Desi. Langkahnya masih kaku. Mereka berdua mulai jalan berbarengan. “Sam terima kasih ya,” sambil berdiri, Melina mengulangi pesan rasa terima kasihnya, kali ini pesan itu disampaikan dengan menambah sedikit senyum kecil. “Iya Mel sama-sama, hehe.” “Aku duluan ya Sam.” “Hati-hati Mel, jangan sampe keulang lagi ya!” Desi kemudian menghadap ke arah Sam. “Tenang Sam, aku yang jagain Mel sekarang.” Desi ikut menimpali perbincangan Sam dan Melina. Dia menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Terima kasih Des.” Melina telah menghilang masuk lebih jauh ke dalam hutan. Siulan kenari mengiringi kepergiannya dari pandangan Sam. Matahari tiba-tiba saja muncul sesaat setelah aksi heroik Sam. Gerimis yang semula mengguyur sudah tidak turun lagi. Dari ujung sana, dari celahcelah kecil batang pohon yang begitu rapat, pelangi muncul dengan begitu indah. Benar, ketika kita jatuh cinta, maka seluruh alam membantu untuk mewujudkannya. *** 176

Merubuhkan Tenda dan Pertarungan

“Eh eh eh, ini napa ini eh!” “Yaaaa Allaaaaah, astagfirullahhhh, ini tenda rubuhhhh!” “Tolongggg woy, tolong!” Tidak tahu bagaimana awalnya, tenda kelas sepuluh-delapan tiba-tiba saja rubuh. Dua orang yang sedang menunggu tenda, Rangga dan Junior, terbekap di dalamnya. Mereka kaget bahkan hampir saja kehilangan napas. “Aduh-aduh, iya sabar-sabar!” “Cepet woy, mau mati ini, Ya Allah Ibuuuu!” “Iya Rangga sebentar, ini talinya ada yang mutus.” “Sabar gimana? Ini sesek napasnya.” “Lagi pada berusaha ini juga.” Murid-murid dari tenda sepuluh-sembilan kalang kabut. Semuanya membantu dan mencoba membuat tenda kelas sepuluh-delapan berdiri kembali. Suasananya sungguh, ah, ricuh sekali pokoknya. Terlihat beberapa mencoba mengeluarkan Rangga dan Junior dari tenda. Ada pula yang mematoki tali tenda. Benar-benar kasihan Rangga dan Junior di dalam.

177

Tenda sepuluh-delapan letaknya tepat berdampingan dengan tenda Sam dan kawan-kawan. Mungkinkah rombongan begundal yang merobohkan tenda itu? Tidak tahu juga. Sam dan Ogi berjalan cekikikan. Teriakan dari tenda sepuluh-delapan tak dihiraukan. Mereka berdua tetap saja berjalan menuju ke tengah lapangan. Tangan kiri Sam terlihat membawa pisau, begitu pun Ogi. Kedua sahabat itu bak mafia yang mengerikan. Sepertinya memang ini kerjaan mereka berdua. Dasar kurang ajar. *** Malam kedua api unggun benar-benar kacau. Sam dan Ogi tak sempat berlari. Mereka hanya terdiam menyaksikan keributan yang telah terjadi di tengah. “Brengseeeeeeek, kalau berani jangan keroyokan!” Mata Sam menusuk jauh ke tengah. Sam mencoba memastikan siapa laki-laki yang berteriak itu. Ya, lelaki itu adalah Hendrik. Murid yang menyuruh Sam dan Cris ke WC untuk dipukuli oleh anak kelas dua belas. Barisan melingkar siswa tak lagi tampak. Begitu aneh dan tak teratur posisinya. Suatu kejadian besar telah terjadi, menurutku. Benjamin, Dayat, Anto, Erwin, dan Ridwan berlarian menghindari keramaian api unggun. Cris pun kabur masuk ke dalam tenda wanita. Ada apa sebenarnya? Hendrik tiba-tiba saja berlari ke arah Sam. Wajahnya merah, matanya berair. Begitu marah dia. 178

“Heh Sam, bilangin sama temen-temen kamu, kalau berani jangan keroyokan!” Baju Sam dipegangi cukup kuat oleh Hendrik. Semua peserta perkemahan Jumat, Sabtu, dan Minggu memperhatikan. Sam tampak malu, dia seperti sedang dihakimi. Semoga saja Melina tak sempat melihat kejadian ini. “Apa-apaan ini Hen, saya tidak tahu apa-apa!!!” “Ya bilangin pokoknya!” “Ga tau!” “Besok tak buat perhitungan!” “Terserah, silakan aja!” “Oke, sori Sam, aku kesel sama temen-temenmu.” “Iya, tapi gak gini, lepaskan dulu Hen!” “Oh iya.” Ogi hanya terdiam menyaksikan Sam dan Hendrik berbincang. Hendrik mulai meredam emosinya. Kawan-kawannya berdatangan untuk melerai. Jarang yang tahu kalau sesungguhnya Hendrik dan Sam telah berkawan sedari SD. Dua puluh menit kemudian kondisi kembali kondusif. Pembina pramuka dan para senior membuat barikade melindungi Hendrik. Amarah tak lagi ada, semua telah bersih dan bersiap memasuki tenda kembali. *** “Ada apa sih sebenernya ini?”

179

“Hahaha, itu si Ridwan mukulin Hendrik, Sam. Ya udah ikutan aja.” Benjamin menjawab sembari tertawa terbahak-bahak. “Emang edan, kayaknya ini baru pertama kali terjadi ya di SMANSA? Heboh banget!” “Ya edaaaan, pasti hebohlah!” “Tapi keren kan?” “Keren dari mana? Aku yang diancem, bingung mau jawab apa.” Dayat ikut tertawa. Erwin masih diam. Anto tetap santai dengan handphone-nya. “Kamu sendiri habis dari mana Sam?” “Tanya Ogi aja.” “Habis apa Gi?” Wajah Benjamin kini menghadap ke arah lelaki hitam berambut kribo. “Ya biasa, tenda sebelah dirubuhin. Dari kemarin berisik bau-rokok bau-rokok aja.” “Hahahaha!” “Kudu diberi pelajaran kan ya?” Dayat memukul-mukul kecil punggung Ogi. “Bagus, bagus!” *** Hope for the best and prepare for the worst. Berharap untuk yang terbaik dan bersiaplah untuk yang terburuk. Sekiranya begitu arti dari kalimat mutiara itu. 180

Kehidupan menurut Joy Papasan adalah seperti sebuah jejeran domino. Diawali oleh domino kecil dan berlanjut kepada domino-domino lain yang ukurannya terus-menerus lebih besar. Domino kecil itu ketika dijatuhkan maka akan mampu menjatuhkan domino-domino yang ukurannya semakin besar. Percaya deh! Layaknya domino kecil, Sam adalah pionir dari kenakalan semua teman-teman kelasnya, mungkin. Dia beradu fisik di WC melawan kakak kelas dua belas. Malam ini, domino yang lebih besar kemudian jatuh juga. Benjamin, Dayat, Ridwan, dan entah siapa lagi membuat keributan yang lebih ekstrem. Mereka semua merusak malam api unggun dengan memukuli Hendrik. Setiap tenda kini telah tertutup rapat. Senior dan guru-guru sebagai pembina, stand by di tengah lapang. Begitu sepi tanpa suara sedikit pun. Mengerikan. Bulan dan bintang tak tampak. Sinar-sinar kecil di angkasa pun sepertinya malas dengan pertarungan, mereka murung di balik awan. Gelap sekali langit malam itu. ***

181

Kembali Lagi! The soul is the prison of the body (Jiwa adalah penjara dari tubuh) – Michel Foucault

Pernahkah kamu dituduh melakukan apa yang sebenarnya tidak kamu lakukan? Pernah jugakah kamu dianggap sebagai yang bersalah, sedangkan kamu sendiri tidak tahu tentang hal itu? Jika pernah, maka apa yang kamu rasakan sama dengan apa yang Sam rasakan. Perkemahan telah usai. Seluruh murid kelas sepuluh telah kembali kepada rutinitasnya di kelas. Belajar dan mengerjakan tugas. Suasananya sedikit berbeda. Masing-masing kawan kelas telah semakin akrab. Tidak ada lagi perpisahan geng laki-laki dan perempuan. Kini semua telah bersatu dan bersama menjadi keluarga kecil. Keharmonisan yang ditunggu-tunggu. Bel istirahat berbunyi panjang. Seperti biasa, kantin dan masjid sekolah adalah tempat favorit bagi warga SMA N 1 Kota Cirebon. Dari arah kelas Sam, seorang laki-laki berjalan dengan wajah menunduk. Poninya menutup jidat dan menyentuh alisnya yang tipis. Bajunya dibiarkan keluar; ikatan sepatunya tak teratur, lepas, dan kotor. Celananya sedikit mengangkat memperlihatkan mata kakinya. Dia menuju ke arah masjid. 182

Semua pasti tidak percaya, laki-laki itu adalah Sam. Dia sepertinya tengah memendam begitu banyak persoalan dalam hatinya. Tak ada kawan bercerita, tak ada pula orang yang memahami. Tuhan adalah tempat mengeluh satu-satunya. Iya kan, Sam? Lantai masjid menjadi pemangku bokongnya, saat ini. Sepatu dan kaos kakinya sudah lepas. Sam, ada angin apa sampai kamu mau salat? Salat dhuha lagi. Tidak ada yang bisa diceritakan lebih lanjut dari fenomena langka ini. Isi hatinya pada waktu itu tak terungkap. Hanya dia dan apa yang diyakininya yang tahu. Memang, ketika tidak ada satu pun yang bisa kamu andalkan, kamu masih punya satu hal yang bisa mengerti kamu, yaitu Tuhan. Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit. Karena itu, jangan pernah mencoba untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba. Maka jangan katakan pula pada Allah aku punya masalah, tetapi katakan pada masalah AKU PUNYA ALLAH Yang Maha Segalanya.” *** Januari, 2007 Di Eropa, sebuah kelompok ekstrem kanan baru saja terbentuk. Allesandra Mussolini, cucu dari Benito Mussolini menjadi salah satu pemimpinnya. Satu hari setelah itu, di Amerika Latin, kondisi Fidel Castro dikabarkan semakin memburuk. Dalam laporan berita negara Kuba, Fidel Castro tengah mempersiapkan peralihan kekuasaan yang telah dibangunnya selama kurang lebih empat puluh tahun itu. 183

Waktu itu pertengahan Januari 2007. Libur panjang semester ganjil telah berakhir. Aneka petasan yang menyala dan meledak-ledak di atas langit sudah tak tampak. Seberapa enaknya liburan, waktu akan menuntut kita kembali pada kesibukan. Sudah sangat lama Sam tidak bertatap muka dengan Melina. Sudah lama juga surat-surat di antara keduanya tidak menjadi bahasan. Dia rindu, tetapi tidak tahu bagaimana caranya untuk melawan kerasnya rasa itu. Kabar buruk tersiar setiap hari. Makin lama makin seperti sebuah kenyataan meskipun kebenarannya belum jelas betul. Kabar itu adalah soal Melina yang katanya telah menjadi kekasih Kak Indra! Hmmmm. Mengapa kau bersedih Sam? Kau kan yang bilang tak peduli bagaimanapun keadaanya, asalkan Melina bahagia kau juga ikut bahagia. Mengapa kau juga harus kesal Sam? Kau pernah berkata kan dalam suratmu, dengan siapapun kau tersenyum Engel, aku suka. Mengapa kau murung sih, Sam? Kau dulu berjanji, bahwa kau tidak akan pernah marah pada rasa cinta Melina, sekalipun itu bukan untukmu. “Sam, hey Sam, Saaaaaaam!!” “Woy, iya Ben!” “Napa kamu ngelamun? Banyak utang?” “Ah sialan, kaget aku. Engga Ben, ini bentar lagi UAS bingung aku, belum belajar.” “Aduh boong, biasanya juga kan emang gak pernah mikirin. Ada sesuatu yang lain kayaknya, lagi suka perempuan?” 184

“Ya dari dulu juga suka perempuan Ben. Emangnya si Erwin, suka sama laki-laki tuh.” “Haha, bisa aja ngelaknya. Ini serius Sam, gak baik dipendem.” “Bener Ben, mikirin masalah UAS aja aku, takut gak naik.” “Takutnya kenapa? Kamu kan masuk terus, rajin.” “Iya, tapi kan buat keributan terus aku kalo masuk. Nilainya gede loh psikomotor itu.” “Tau dari mana?” “Dari Pak Ade, katanya gitu sih, tapi gak tau.” “Ga usah terlalu dipikirin. Santai aja sih kaya biasanya.” “Iya Ben, tapi tetep pentinglah, masa depan.” “Iya Sam, tapi bener nih gak ada urusan lain selain itu?” “Bener Ben, kapan aku gak pernah cerita sama kamu?” “Mungkin ya sekarang Sam.” Benjamin dan Sam memang sedang waktunya duduk bersama. Kursi kedua dari belakang menjadi favorit mereka. Letaknya yang tepat di pojok kanan membuat mereka terlihat begitu kecil dari pandangan guru. Tingkah laku mereka yang mengobrol jadi tak terlihat jelas. Sam tampak pucat. Dia tak terbiasa berbohong. Tapi bagaimana lagi, dia malu sepertinya mengakui cintanya pada Melina. “Kemarin aku liat di TV ada berita orang memendam persoalan sampe bunuh diri Sam.” “Di mana itu?” 185

“Di SCTV, acara Buser tuh.” “Ya, tapi gak semuanya.” Sam menjawab lugas, tapi, “bentar-bentar, maksudnya apa kamu?” “Hahaha! Ya barangkali aja, kan takut aku duduk di sebelah bangku kosong.” Jebret! Pukulan kecil jatuh ke lengan Benjamin. “Sialaaan kamu, anehaneh aja, ucapan itu doa loh!” “Biasa, bercanda, jangan diambil hati ya?” “Iya.” “Eh, tapi bener kan gak ada apa-apa?” “Bener Ben, yakiiin.” “Okeeee.” Keduanya kembali menatap ke arah papan tulis. Pak Ade terlihat sibuk menerangkan aneka macam rumus-rumus fisika yang rumit. Pantas saja Benjamin dan Sam tak memperhatikan, pelajarannya sukar dicerna. “Ben.” “Iya Sam?” “Kalo misalkan ya, ada orang yang kamu suka, tapi syaratnya harus berubah gimana?” “Nah, nah kan,” Benjamin menunjuk wajah Sam, “bener kan apa yang jadi dugaanku?” Jenuh juga ternyata mereka. Pelajaran yang sedang disampaikan Pak Ade kembali tak dihiraukan. Anak-anak memang. 186

“Engga, ini murni pertanyaan biasa ajah.” “Alah.” “Jawab deh cepet.” “Ya aku gak mau, lebih baik aku jadi diriku, tapi dia gak suka daripada aku harus berubah untuk nyenengin orang.” “Tapi mungkin kan kamu berubah? Masa mau gini terus?” “Iya, tapi gak untuk orang lain, untuk diriku sendiri aja Sam.” “Oke deh.” “Percuma lagian, kalo sesuatu itu gak dateng dengan sendirinya, pasti gak akan lama Sam. Itu kata ibuku sih.” “Iya, ibuku juga suka bilang kaya gitu.” “Nah tuh kan tau.” “Tapi sampai kapan ya?” “Engga tau juga Sam masalah itu, hehehe.” Sam mencatat pesan-pesan yang disampaikan sahabat karibnya. Pikirannya mulai sedikit terbuka. Pilihan hidupnya bertambah. Lumayan buat modal melawan kekecewaan. *** Life begins at night – Charlaine Harris Charlaine Harris adalah seorang penulis buku best selling dari The New York Times. Dia begitu suka menulis puisi hantu, sebagian orang bahkan menganggap bahwa hal itu adalah ciri khasnya. Pada tahun 2001 dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dead until Dark. Dalam buku itu dia 187

menulis suatu kalimat yang sungguh menarik, “Hidup dimulai pada malam hari.” Itulah kata-kata yang membuat Charlaine Harris kian terkenal. Sam bukanlah Melina yang begitu rajin membaca buku. Sam hanya orang yang malas, kemauannya tergantung pada keadaan, dia angin-anginan. Bahkan Sam pun dapat disangsikan tak akan mengenal Charlaine. Malam itu sisa hujan bulan Desember turun tanpa permisi. Tak terlalu banyak, hanya rintik-rintik beserta angin. Jendela Sam tertutup rapat. Daun-daunan yang basah di luar sana tak kelihatan dari kamarnya. Hanya suara genting terguyur saja sedikit terdengar sampai ke dalam. Berkali-kali Sam terlihat menarik rambutnya ke belakang. Karet merah bekas nasi bungkus dia gunakan sebagai pengikat rambutnya. Cukup risih dia dengan rambutnya yang panjang. Matanya terus menatapi amplop yang berisi surat dari Melina. Warnanya putih, di bagian depannya ditulis dengan spidol biru, untukmu. Penasaran ya Sam apa isinya? Tidak lama, sebentar lagi Sam juga pasti membukanya.

Hy Heldy  Maaf ya, bukan aku tidak mau menjawab, tapi pertanyaanmu itu untuk Melina bukan untuk Engel. Aku tidak berhak memberitahumu soal hubungannya saat ini. Kamu paham kan, Heldy? Aku hanya sarankan sedikit padamu, jangan pernah percaya apa yang belum kamu lihat sendiri. Sama seperti tentang Melina, gak baik Heldy. Oh iya, Engel ingin bilang makasih ya untuk hadiah hiasan kerang dan pasir pantainya. Itu indah sekali Heldy. Bagaimana aku harus menggantinya? 188

Jika kamu memandang bulan malam ini, maka aku juga. Jika kamu sedang menikmati bintang-bintang dan mungkin juga komet yang seketika kadang jatuh, aku juga. Jika kamu merasa bahwa malam ini begitu indah, ah Heldy, aku juga. Tetap semangat ya, terus berprestasi Heldy. Terima kasih telah datang untuk bicara  Engel.

Sedang apapun kamu, Melina, kamu harus tanggung jawab. Sam tak bisa tidur karena suratmu yang mengambang. Ingin sekali dia remas-remas dan membuang surat itu ke tengah guyuran hujan, tapi tidak mungkin. Sungguh kasihan lelaki muda itu. Kembali kepada ungkapan Charlaine Harris, kehidupan dimulai pada malam hari. Sam, mau tidak mau keputusanmu untuk tetap atau pergi dari hubungan ini adalah dimulai dari sekarang. Jika memang Melina pantas kamu perjuangkan, berjuanglah. Jika kamu rasa sudah tidak ada lagi yang penting, tinggalkan dia dengan baik. Malam ini Sam, segera putuskan! *** Ayam-ayam telah keluar dari sarangnya. Tugasnya berkokok telah selesai. Bintang berkaki dua itu mengorek-ngorek sampah, mencari cacing dalam tanah dan sesekali mengibaskan sayapnya. Jenggernya menggelantung taktala berjalan. Macam-macam keajaiban Tuhan itu.

189

“Ya Sam, intinya, wanita yang agung itu adalah dia yang tau caranya membuat kita jatuh cinta pada saat kita ingin membencinya. Dia tahu caranya menjadikan tertawa di kala kita ingin menangis.” “Kata siapa itu? Pasti bukan dari Abah kan kata-kata itu?” “Iya memang bukan, itu kata Socrates, salah satu filsuf terkenal Yunani.” “Fisuf itu apa sih, Bah?” “Ya filsuf, orang yang bekerja memaknai hidup dan mengambil kesimpulan yang bijaksana terhadapnya.” “Oh, kata-kata Socrates itu juga yang menjadi alasan Abah memilih Ibu? Benar emangnya Bah?” “Iya tepat sekali dan itu terbukti Sam, awet. Ibu kamu itu orangnya sabar dan memiliki seribu alasan untuk setiap laki-laki langsung jatuh cinta sama dia.” “Haha, dan Abah adalah yang beruntung memilikinya.” “Mungkin.” Kedengaran suara tertawa terbahak. “Baiklah Bah, udah ya, Sam berangkat ke sekolah dulu.” Anak dan Bapak terlihat melakukan obrolan yang cukup serius. Rumah dengan halaman luas di belakang masjid agung itu tak tampak sepi. Lelaki tua menggunakan kaos oblong dan sarung cokelat. Lelaki muda telah sigap dengan seragam sekolah menengahnya. Benar-benar pemandangan menarik yang dirindukan oleh setiap keluarga.

190

Ada koran dan piring bekas makan pagi di antara mereka. Tumbuhan kamboja, kumis kucing, dan rumput-rumput hijau tersaji di depan mereka. Anak lelakinya, kini tengah berdiri. “Salam dulu, Bah.” “Iya, hati-hati ya, inget pesennya, jangan dulu jatuh cinta.” “Iya siap, diusahakan ya?” “Yeeee!” Ayahnya menampakan wajah kecut, “ngeyel kalo dibilangin.” “Iya ah, terlambat ini.” “Sanah berangkat,” salam tangan Sam dilepaskan oleh ayahnya, “nanti langsung pulang Sam.” “Iya Bah, siap!!” “Hati-hati!” Ayah Sam melambaikan tangan ketika melihat anaknya menjauh dari rumah. Sam membalasnya kecil. Seketika kemudian hilang. ***

191

IV Hikmah

192

Di Balik Pak Cegu

Satu hal yang tidak bisa ditebak, yaitu jalannya kehidupan. Kadang kita senang, kadang juga sesekali kita sedih. Kadang kita punya banyak uang, kadang juga kita bokek-kere enggak bisa beli apa-apa. Tapi itulah uniknya, dengan begitu manusia terus berusaha untuk kembali lagi mencari yang lebih baik. “Itu yang sering gak kita sadari Sam.” Pak Cegu berbicara cukup lugas. Tangannya memegang gigi mobil dengan lincah. “Kamu paham kan maksud Bapak?” Pak Cegu memberi sedikit perumpamaan. Tempo hari dia sedang gembira karena anaknya berhasil mendapatkan rangking satu di kelas. Sekeluarga makan-makan di restoran, makan enak merayakan kesuksesan anaknya. Eh, tiba-tiba besoknya, mobilnya keserempet motor sampai lecet. Bingung tujuh keliling Pak Cegu mencari pinjaman untuk memperbaiki mobilnya. Pada kenyataannya, toh hidup terus berlanjut. Pak Cegu tetap saja menyopir angkutan kota, anaknya kembali sekolah, dan istrinya tetap menjadi binatu. Benar-benar unpredictable. “Iya juga ya Pak, kadang-kadang bikin bingung.” “Nah itulah Sam, Bapak kenapa sering sekali ngasih motivasi ke kamu. Biar kamu tuh semangat dan gak gampang nyerah. Baik soal wanita ataupun hidup.” 193

“Loh, tapi kenapa harus aku Pak? Kan aku sama Bapak aja kenalnya baru, aku bukan anak atau saudara Pak Cegu lagi, hehe.” “Ya emangnya berbagi kebaikan itu harus sama orang yang dekat atau sedarah sama kita aja Sam? Gak kan, sama semuanya harus berbuat baik itu.” “Tapi seandainya orang yang kita baikin itu ternyata jahat sama kita Pak, gimana?” “Waduh Sam, kamu nanya sama Bapak yang biasa di jalan. Bapak itu sudah hafal mana kelinci mana serigala, mana buaya mana bunglon. Jadi menghadapi yang gitu-gitu itu udah bosen. Tapi satu hal Sam, kebaikan itu universal tak terbatas, sedangkan kejahatan itu individual. Mereka yang jahat itu akan dibuat mati oleh perasaannya sendiri. Percaya deh.” “Panjang lebar Pak Cegu jelasin juga Sam mah gak ngerti Pak, belum pengalaman masalahnya. Yang singkat-singkat aja.” Pak Cegu sedikit kesal. Laju mobilnya kemudian pelan tak bertenaga. Mumpung penumpang tidak ada, Pak Cegu ingin berbicara lebih lama dengan Sam. “Gini loh Sam, berbuat baik aja, jangan pedulikan bagaimana nanti orang membalas kebaikanmu itu. Biarkan Tuhan saja yang melihat ketulusanmu.” “Iya Pak ya, tapi kenapa kok banyak orang sukanya sama gosip yang jelek?” “Ya setiap orang pada dasarnya suka melihat orang lain itu terluka, sedih, dan berada di bawahnya. Kamu mah jangan begitu.” “Iya Pak, gak sampai hati aku mah kalo mau berbuat kaya gitu.” 194

“Ya sekarang kamu mungkin bilang begini karena kamu lagi gak ada masalah, nah nanti kalau masalah itu datang kamu baru pusing.” Pak Cegu belum tahu kalau Sam juga sedang begitu banyak memendam masalah. Dia hampir diskorsing dari sekolahannya karena tragedi perkemahan. Dia juga sedang pusing karena Melina saat ini sepertinya sudah jadian sama Kak Indra. Sam tidak bisa melakukan apapun, tidak bisa mengubah semuanya menjadi baik secara cepat, dia hanya berpasrah diri pada Illahi. “ … Oh begitu ya. Nak Sam yang sabar, itu bagian dari proses kamu menuju dewasa nanti.” “Jadi aku harus gimana Pak? Menurut Bapak loh ya.” “Perasaan anak muda itu perasaan yang rentan yang selalu aja merasa „aku cinta sama kamu karena aku butuh sama kamu‟, sedangkan kalau pengalamanmu sudah banyak kamu pasti bakal mikir lain.” “Apa Pak yang bakal aku pikirin itu?” “Kamu bakal mikir kalo aku butuh kamu karena aku mencintaimu. Gitu. Cinta itu sesuatu yang alami Sam, butuh konsentrasi, kedisiplinan, dan utamanya kesabaran. Sekarang kamu baru sampai pada tahap kesabaran, sedangkan disiplin dan konsentrasimu masih suka maju mundur.” “Adaaah, itu bener sekali Pak. Bagaimana Bapak bisa paham dan mengerti sejauh itu, Bapak peramal ya hayo?” “Bukan gitu, manusia kan emang sejak lahirnya saja udah membawa masalah dan masalah itu kemudian dia pecahkan sendiri solusinya. Bapak mah cuma berbagi aja, Nak.” Jedaaaaar, jidat Sam rupanya sedang ditimpuk-timpuk oleh teori Erich Fromm tentang cinta. Yang Pak Cegu katakan tidak kurang dan tidak lebih 195

adalah apa yang tertulis dalam buku The Art of Loving. Buku karya Erich Fromm yang terkenal itu. Semenjak perkemahan berakhir, Sam memang lebih banyak diam dan sendiri. Dia menyimpan segalanya secara rapi dalam brankas hatinya. Ada masukan yang datang, ada pengalaman yang pergi berlalu, dan ada juga halhal baru yang datang. Pak Cegu merangkumnya dengan sangat baik. Terima kasih Pak Cegu!! *** Seperti biasanya, Sam datang begitu cepat ke sekolah. Langit-langit masih biru. Awan-awan menghilang tanpa jejak. Sisaan bulan yang biasa muncul pun tak tampak. Hanya tanah-tanah basah bekas hujan semalam. Dia telah berdiri tepat di samping meja Melina. Surat andalannya keluar dari tas hitam. Ada satu buah cokelat yang ikut tampak. Tangannya kemudian masuk dalam ke bawah kolong meja. Kepalannya masih sama seperti saat pertama kali dia menaruh surat. Dia berkata lantang tak takut terdengar orang. “Semoga saja berhasil!!!!” Iya Sam, semoga saja apa yang menjadi tujuanmu itu berhasil, amin. ***

196

Ini Sulit Sam! Self-knowledge is no guarantee of happiness, but it is on the side of happiness and can supply the courage to fight for it. – Simone de Beauvoir

Semenjak mendengar kabar Melina sudah memiliki tambatan hati, tidur Sam tidak pernah tenang. Dia kadang ngedumel sendiri, kadang juga melamun tak jelas. Posisi tidurnya pun tak lagi menghadap kiblat seperti yang disuruh orang tuanya. Dia jumpalitan tak teratur, ke kiri lagi kemudian ke kanan lagi. “Ah, sial, siapa sih sebenarnya kamu Mel? Sampai-sampai bisa membuatku begini?” Tatapannya kembali kosong. Langit-langit kamarnya serasa tembus pandang menampilkan wajah Melina dengan berbagai pose. Tengkurap adalah pilihan terakhirnya. Tangannya memukul-mukul kasur secara keras. “Ah, ah, beg, beg, beg!” Nada kesal dan pukulan tangannya terdengar. “Besok harus segera kupastikan kabar itu. Bisa gila aku kalau tidak segera mengambil keputusan. Konyol sekali keadaannya, aku marah pada orang yang bukan milikku, bukan hakku, sial!” Kini posisi kepalanya menengadah ke atas (lagi). Tidak ada sedikit pun kenyamanan dalam gejolak perasaan Sam.

197

Baju yang menutupinya dilepas, celana pendeknya dibiarkan tak berselimut. Tubuhnya lebih sejuk dengan kaos dalam sebagai penutup satusatunya. Kamar Sam terkunci rapat. Jendelanya pun tak bercelah, sulit udara untuk masuk. Lembab dan tak jelas aromanya. Kegalauannya bukan karena kamar, bukan juga karena tidak ada hiasan, tapi karena apa yang ada di dalam hatinya. Kegalauanya karena resah yang menggumul, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tidak akan selesai Sam urusanmu, bahkan sampai tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhmu, kekalutan itu akan terus menghantuimu. Satu-satunya cara adalah mengubah sudut pandangmu. *** Wahidin, Cirebon “Besok aku jemput ya, Sayang?” “Iya Sayang, tapi aku masuk pagi. Kamu gak papa dari perum pagipagi?” “Gak papa kok, deket segitu mah. Malah yang jauh itu kalo aku berangkat sendiri, gak bareng kamu.” “Gooooombbbaaalll ah, yang bener? Jangan dipaksain, aku masih bisa kok berangkat sendiri sama Desi.” “Bener kok, Sayang.” “Ya udah.” “Kamu langsung tidur ya, jangan lupa belajar sebentar, tiga puluh menitlah cukup.” 198

“Iyaaaa baweeel, cepet gih, nanti dimarahin Mamah.” “Iyaaaaa.” Greeeeeng, greeeeeeeeeenggggg …! Sementara itu, di bagian Cirebon yang lainya, dua anak remaja yang tengah jatuh cinta sedang kesulitan menahan pulang. Keduanya masih ingin bersama, tak mau berpisah. Apa daya, waktu sudah larut malam. “Hayooooo ketangkep basah sayang-sayangaaan!” “Ah Kak Lindaaaa, ketauan deh.” “Haha malu-malu nih Mel ceritanya?” “Jangan ceritain sapa-sapa dong Kak, aku baru dua hari jadian sama si Indra.” “Eh, kakak kelasmu itu, manggil pake „si‟ ajah.” “Ih, kan kalo pacaran mah jadinya setara, yeeeeee!” “Bener juga ya.” “Nah tuh kan bener kan, yeeees!” “Berani ngeledek Kakak? Berani nih, bener nih berani?” Kak Linda mencubit perut Melina. “Aaaah, maaf, maaf Kak!” “Udah ah sana mandi, bau bau, hus hus!” Kak Linda mengebaskan tangannya pada Melina. Dia berlagak seperti orang yang sedang mengusir kucing. Dengan kerudung merah dan kemeja garis-garis putih, Melina terlihat begitu cantik. Kacamatanya memperlihatkan kepandaian yang siapapun 199

ingin memilikinya. Langkah kakinya mulai dia arahkan menuju kamar dengan begitu riang. Benda-benda langit bersemarak menyambut senyumannya. Bulan mencerahi warna-warni sahabat malamnya dengan sisa sinar matahari. Bintang-bintang berkilauan penuh dengan isyarat, isyarat itu bernama cinta. *** “Iya sahabat Cirebon FM, masih bersama saya Sinta di acara Request Asik, saya tunggu teleponnya di 0231 ….” Suara radio terdengar begitu keras. Keran kamar mandi pun menjadi begitu kecil tertutup nyaringnya. Ttttttuuuuuut, tuuuuuuuttt! “Iya haloooo, siapa ini? Jangan lupa password-nya.” “Request Asik, minta dong lagunya.” “Iya, dengan siapa Mas?” “Dengan Samudra di Kasepuhan.” Keran air tiba-tiba saja mati. Gayungan tidak lagi secepat sebelumnya. Melina serius mendengarkan radio dari dalam kamar mandi. “Hah Samudra?” Dia diam tak mau mengganggu apa yang sedang menjadi fokus pendengarannya. “Request lagu apa Mas Samudra?” “Oke Mba, saya mau „Terlalu Manis‟ dari Slank.” “Ada salam gak Mas? Mungkin buat pacar atau siapa, ciyeee!” 200

“Gak ada Mba, udah itu aja.” “Okeee terima kasih Mas Samudra, lagunya sebentar lagi siap kami putar, tetap dengarkan terus Cirebon FM!” Di Kasepuhan sana, Samudra rupanya belum bisa juga tidur. Dia malah iseng menjadi seorang penelepon radio, ckckck. Sambungan telepon sudah mati. Penyiar radio hilang tak berbicara lagi. Lagu Slank kini tengah diputar untuk menemani Melina yang sedang membasuh badan. Terlalu manis, untuk dilupakan Kenangan yang indah bersamamu Tinggallah mimpi Terlalu manis, untuk dilupakan Walau kita memang, tak saling cinta Takkan terjadi *** “Apalagi ya yang Heldy tulis, hmmh.” Sambil tiduran Melina memegangi surat yang ditulis oleh Samudra untuknya. Sebentar lagi diri Melina hilang, Engel akan menggantikannya. Samudra juga tak lama berselang menyusul berubah menjadi Heldy. Kebiasaan yang rumit, mengapa sih tidak menyurati atas nama diri sendiri saja? Aneh. “Tumben sekali lucu.” Melina bergumam. Dia memandangi surat dengan amplop biru muda. Baru kali ini Heldy mengubah warna putih 201

amplopnya dengan warna lain. Maksudnya apa belum tahu, karena belum dibuka isi suratnya. Sreeeeeeeek! Suara kertas dirobek terdengar.

Hy Engel Heldy-mu datang memberi senyum  Ah, Engel tidak seru, kamu terlalu menjaga rahasia yang nantinya pun akan diketahui umum Engel. Engel, kamu tau? Aku kadang berpikir, jika akan ada waktu dan saat di mana nanti aku akan menemuimu tidak lagi sebagai Heldy, tetapi sebagai diriku yang asli. Waktu itu makin lama makin sempit, semakin hari semakin dekat. Aku tidak semestinya meminjam nama orang lain untuk mengetuk hatimu. Semoga saja malammu indah Engel. Aku titipkan rinduku pada kunang-kunang di depan halaman kosmu. Aku salami kamu lewat embusan angin yang perlahan mencumbumu dan membawamu tidur. Heldy 

“Ah, Heldy, sekarang kamu tidak lagi seru, ini surat paling datar yang pernah aku terima darimu. Payah.” Harapannya tak sesuai dengan kenyataan. Melina kesal. Tak seperti biasanya, dia langsung tidur begitu cepat. Selamat malam. ***

202

Marahnya Ibu!

Setelah selesai keluar membuang air besar, Sam kaget bukan kepalang. Bungkus rokok dari saku bajunya telah keluar. Koreknya hilang dan bukubuku dalam tasnya berserakan. Kamarnya terlihat berantakan. Sam tahu bahwa ada suatu hal buruk yang tengah menantinya. Ibunya pasti baru saja melakukan pengecekan. “Sudah Sam jangan mengelak lagi, ini sudah cukup menjadi bukti!!!” “Iya Bu, maafkan Sam Bu, Sam benar-benar menyesal.” Sam bersujud di bawah kaki ibunya. “Berapa kali kamu berjanji kaya gini, tapi lagi-lagi gak terbukti, kamu mengulanginya lagi!!” “Bener, ini yang terakhir Bu, gak lagi-lagi …” Air mata Sam sudah sampai pelupuk, tinggal menunggu waktu saja untuk jatuh. Ibunya terlihat marah, wajahnya merah, dan matanya melotot hampir keluar. Kedua orang itu sedang berdebat seru. Biasanya Sam langsung menulis surat perjanjian untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi, tapi kali ini tidak. Ibunya sudah bosan dengan janji-janji palsu Sam. “Sam, kamu bakar uang yang udah Ibu cari dengan susah payah, kamu bakar itu Sam!!!” “Iya Bu, Sam minta maaf Bu.” 203

“Nggak, maaf-maaf terus tapi cuma di mulut!” “Sekarang terserah Ibu aja, Sam siap dihukum Bu, tapi Ibu maafkan Sam …” “Gak, Ibu bener-bener kecewa.” Ibu Sam tidak pernah mau menengokkan wajahnya ke arah Sam. Puncak kekesalannya telah tumpah-ruah tak karuan. Dia bahkan sampai mempertanyakan status anak kepada Sam. “Apakah Ibu pernah punya anak yang sok-sokan kaya gini!!!? Ibu gak pernah merasa membesarkan preman!” “Buu …” “Ibu gak pernah memelihara penjahat!” “Bu … sudah Bu.” “Ibu kecewa besar Sam, kecewa!! Selama ini Ibu kira kamu tuh gak pernah macem-macem. Ya Allah taunya, merokok!!!!” “Buuu,” Sam tidak bisa berkata panjang. Tertunduk wajahnya menciumi kaki ibunya. “Ibu dari dulu kamu kecil itu berusaha membesarkanmu dengan makanan yang baik, memberikan susu yang berkualitas tinggi. Semua itu dilakukan supaya kamu jadi anak yang sehat dan kuat. Tapi Sam, apa yang udah Ibu bangun itu, kamu merusaknya sendiri sekarang dengan rokok, kamu sadar gak Sam?!” “Buuu liat Sam Bu, maafkan Sam.” “Gak … pikirkan sendiri salahmu, Ibu sudah capek!!!”

204

Sam merasa sangat berdosa. Jantungnya ditusuk-tusuk perasaan bersalah yang dalam. Mulutnya tak bisa berbicara panjang. Dia terus menangis sesenggukan. Ibu Sam justru mulai pergi meninggalkan Sam di dalam kamarnya. Belum sempat dia menerima maaf Sam, dia sudah menghilang dari pandangan Sam. Setiap orang tua, di manapun mereka berada, dari keluarga manapun mereka hidup, tidak peduli latar belakang, tidak peduli agamanya, semuanya sama-sama menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Braaaaaaat! Satu tumpuk kertas jatuh di dekat Sam. “Itu, itu baca semuanya, itu suratmu Sam, surat-surat perjanjian yang kemudian kamu langgar lagi, kamu langgar lagi!!!” “Ibu, Sam janji Bu, ini yang terakhir, Ibu maafkan Sam.” “Ibu sudah tidak butuh janji Sam, bukti!!!!” Di dekat pintu terlihat seonggok tubuh mengintip. Adik Sam rupanya tak mau ketinggalan momen mengharukan ini. “Kunci pintumu sekarang, pikirkan sendiri kesalahanmu!” Ibu Sam kembali pergi dan menutup keras pintu kamar Sam. Brrrreeeeeeg! Sam, apakah itu benar kamu Sam? Lelaki yang terkenal garang dan penuh dengan cerita-cerita heroik tiba-tiba runtuh di hadapan kemarahan ibunya. Sam tidak mampu melawan. Dia hanya pasrah dengan apa yang sudah dikatakan ibunya kepadanya. Rasa hormatnya masih ada meskipun keadaannya sudah begitu terdesak. 205

Siapapun juga pasti pernah melakukan kesalahan sepertimu Sam. Siapapun pernah melakukan sesuatu yang bahkan lebih parah daripada apa yang kamu lakukan. Tapi mengapa mereka bangkit Sam? Karena mereka yakin bahwa akan ada hari esok yang lebih baik setelah selesainya masalah hari ini. Jika kamu punya itu Sam, kembalilah ke jalan yang baik, segera!! Bukan malah menangisi dirimu sendiri. *** Sam memulai paginya seperti biasa. “Bu … Bu … Bu, Sam berangkat Bu.” Sapaan Sam tak digubris. Ibunya terus memasak dengan serius. “Bu salam dulu Bu. Bu, jangan marah terus Bu. Bu … Ibuuu?” Tangan Sam tidak disambut oleh ibunya. Wajah senyum Sam pun tidak sedikit pun membuat ibunya bahagia. Rupanya, kemarahan itu masih begitu dalam, begitu terekam sebagai suatu memori yang buruk. “Assalamualaikum Bu.” “Walaikumsallam.” Sekian banyaknya kata dan perkacapakan, hanya seuntai salam yang ibu Sam jawab. Sabarlah Sam, sabarlah Bu, semoga banyak hikmah dari kejadian ini. ***

206

Terima Kasih Bah

Kau nikmati wajahnya. Kau renungkan lekuk keriput di pipi dan jidatnya. Kau gambarkan pundak kuatnya. Kau bayangkan langkah penuh semangat kakinya. Kau pikirkan bagaimana lincah tangannya. Sadarkah engkau, jika semuanya itu tertuju pada satu hal, yaitu kau. Itulah ayah. Sejauh apapun perginya raga. Serumit apapun jalan yang sudah dilalui. Sesulit apapun medan yang berhasil ditaklukan. Tempat dan tujuan itu tetap satu, yaitu tangisan dalam dekap dada orang tua. Seorang anak, sudah menjadi kebiasaannya, jika dia jauh dari ibunya maka ayahnya adalah teman terbaik, begitu pun sebaliknya. Mengapa demikian? Karena anak hanya memiliki dua orang yang dengannya dia merasa bahagia, tiada lain adalah orang tua jawabannya. Pagi itu Sam dan ayahnya tak saling bicara. Sam duduk dengan seluruh perlengkapan sekolahnya. Sepatunya sudah terpasang, tasnya pun sudah di pundak. Ayahnya asyik membaca koran. Dibolak-balik kertas tipis itu, dilihat-lihat, dan dibaca seluruh beritanya. “Bah. Bah …” Sam memanggil lembut. “Apa Sam?” “Ibu sudah cerita soal masalah rokok itu Bah?” “Owh, sudah Sam, gimana?”

207

“Maafkan Sam ya, Bah,” Sam menjulurkan tangannya, wajahnya memelas. “Ah, gak perlu diminta, Abah sudah memaafkan kamu Sam. Laki-laki gak boleh lemah dengan pilihannya.” Ayah Sam menatap Sam. Tangannya memegang dagu Sam dan dihadapkan wajah Sam ke wajahnya. “Kenapa Bah?” “Abah punya anak yang namanya Samudra. Tapi Sam yang menjadi anak Abah itu bukan Sam yang lemah!” “Maksud Abah?” “Ketika kamu sedih, kamu memohon kepada Allah. Ketika kamu kekurangan, kamu memohon kepada Allah. Ketika kamu tak berdaya, kamu memohon kepada Allah. Tetapi namanya manusia Sam, kadang lupa.” “Lupa gimana Abah?” “Lupa bahwa permohonan yang lebih penting dari segalanya adalah permohonan maaf akan dosa-dosa yang diperbuatnya. Bangkit Sam.” “Siaaap Bah!!” “Sudah, jangan mencla-mencle, hadapi persoalannya, berubah.” “Iya Bah.” Sam menjadi bersemangat kembali. Kusut yang semula menyelimuti gairah hidupnya, kini hilang. Tubuhnya seketika berdiri. “Terima kasih ya, Bah.” Sam menyalami ayahnya yang sudah berada tepat di depannya. Posisinya seperti pembina upacara dan pemimpin upacara. Mirip sekali.

208

“Iya sama-sama, Sam.” Ayah Sam mengangguk kecil. “O iya, kamu mau Abah suruh gak?” “Dengan senang hati, Bah.” “Nanti tolong mampir ke rumah Pak Ghazali ya di Wahidin, mau?” “Nanti kapan Bah?” “Habis magriblah.” “Sam disuruh ngapain Bah emangnya?” “Bawain buku-buku pesenan dia, itu sudah Abah ikatkan di balik pintu. Kamu tinggal bawa ajah. O iya, Wahidin nomor XX (disamarkan) ya.” “Oke Bah, Sam akan menuruti Abah dan Ibu sekarang.” “Hem, sudah sanah berangkat.” Ayah Sam mengelus-elus kepala Sam. Posisi pandangan Sam diubahnya ke depan. Entahlah, ada maksud apa dari pemindahan posisi itu. Mungkin, Sam harus kembali menatap ke depan yang lebih baik. *** Nabi Muhammad pernah bersabda, “Setiap diri dibimbing menuju untuk apa dia diciptakan. Maka teruslah berjalan mencapai harapanharapanmu.” Segala hal itu telah dituliskan oleh Allah SWT baik sadar ataupun tidak. Oleh karena itu, libatkan Allah dalam segela urusanmu, Insha Allah jalan keluar itu akan datang dengan baik. “Ya Allah yang mana ya rumahnya?” “Bener gak Sam alamatnya? Tanya lagi coba deh.” “Ini bener Gi, cuma di sini nomernya aja gak jelas.” 209

Sam dan Ogi pusing tujuh keliling. Alamat yang disampaikan oleh ayah Sam tak kunjung ketemu. Sam beberapa kali turun dari motor; bertanya, memberi penjelasan, dan mencari tahu tentang alamatnya. Ogi masih tetap di atas motor. Dia siap mengantarkan Sam ke manapun Sam pergi. Benar-benar sahabat karib. “Udalah istirahat dulu aja Gi.” “Iya Sam.” Sam dan Ogi memutuskan untuk sejenak berhenti di sebuah warung rokok. Keduanya memesan es kopi dan satu batang rokok. “Gi, tau gak, semalem abis dimarahin Ibu gara-gara ketahuan nih.” Sam menunjukkan rokok yang sudah dalam genggamannya. “Gara-gara rokok?” “Iya Gi.” “Parah, aku juga pernah sih Sam, tapi ya gimana ya, susah berhentinya Sam.” “Nah itu dia Gi, sama, biarlah waktu aja yang menjawabnya.” “Hahaha!” Seketika obrolan mereka kemudian terhenti. Penjaga warung datang membawa pesanan. “Ini Mas es kopinya.” “O iya Pak, di sini aja.” Sam menunjukkan meja di mana kopi itu harus ditaruh. “Pak.” “Apa Mas?” 210

“Tau alamat ini gak Pak?” Sam mengeluarkan kertas dari saku celananya. “Sini Bapak liat dulu.” Penjaga warung itu meraihnya. Ditatapinya jelas kertas putih kecil itu. “Tau gak Pak?” “Owalaaaaaah, ini mah itu Dek. Rumah itu, dua rumah dari sini nih, yang tingkat itu loh.” “Addddduuuuh, dari tadi muter-muter situ.” “Iya bener itu Dek, rumahnya gabung kos-kosan jadi gak jelas.” “Wah, makasih ya Pak, makasih banyak, saya kasih bonus.” “Bonus apa Dek?” “Nih bayarannya Pak, 20 ribu.” “Ah jangan, Dek.” Penjaga warung menolak uang yang hendak diberikan Sam. Tangan Sam dimundurkan ke kebelakang berulang kali. “Udah Pak, nih.” Sam memaksa memasukkan uang itu ke celana penjaga warung. Ogi tidak menyaksikan adegan itu. Dia sibuk menyeruput es kopi yang rasanya begitu nikmat. “Sam.” “Apa Gi?” “Kamu jalan kaki aja ya? Aku tungguin di sini.” “Ya udah Gi, biar kamu gak bosen juga, sapa tau lama.” “Oke Sam.” 211

Sam berdiri tepat di samping Ogi yang masih saja duduk. Sam kemudian berjalan kecil melawan keraguaannya. Dia menuju rumah yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh penjaga warung. Matanya clingak-clinguk, Sam masih ragu untuk mengetuk gerbang rumah teman ayahnya. Dia diam sebentar, menenangkan diri. Tangan kirinya membawa bungkusan buku yang dititipkan oleh ayahnya. Tangan kanannya telah menyentuh gerbang. Krecek, krecek. Pintu gerbang bergoyang. Sam berteriak secukupnya, “Assalamualaikum!! Assalamualaikum!!” Tidak ada suara menyahut sedikit pun. Masih sepi dan sunyi. Padahal lampu menyala cukup terang. “Assalamualaikum!!” “Walaikumsallam.” Pintu kamar lantai dua terbuka. Wanita dengan hijab putih polkadot hitam tiba-tiba muncul. Wajahnya sedikit mengantuk. Sedikit malas dan sedikit tak rela wanita itu meninggalkan kamarnya. “Sebentar ya!!” Wanita itu ternyata adalah Melina Castro. Sam kaget bukan kepalang. “Eh si Sam, ada apa Sam?” “Eh, Mel, aku sampe lupa ya ini kosmu, padahal waktu awal masuk aku pernah lewat sini. Maaf ya salah alamat.” “Eeeh, nyari siapa emang?” Melina memanggil Sam. Tangannya menahan laju Sam. “Pak Ghazali rumahnya di sini Mel?” 212

“Oh itu Bapak kosku, iya bener di sini, tapi lagi keluar kayaknya.” “Ya uda deh.” “Tunggu aja, masuk dulu ayo!” Melina bergegas turun dan membuka gerbang. “Pulang aja deh Mel, ga usah Mel.” “Tungguin aja, susah lagi loh nanti. Duduk di teras aja, ditemenin kok Sam!” Waduh, justru ditemenin itu yang membuat Sam takut. Mel, Mel, tega sekali kamu. Harus bagaimana dia bersikap di depan Melina? Sam sepertinya benar-benar tidak memprediksi keadaan ini. “Duduk sini!” Sam telah duduk di teras depan rumah kos Melina. Sam berada di kursi kayu jati sebelah kiri, sementara Melina menemaninya di sebelah kanan. “Aku harus mulai dari mana ya Mel?” “Mulai apa?” “Mulai obrolan.” “Ya gak tau Sam.” Sam sangat grogi. Dia menggaruk-garuk rambutnya, padahal tidak gatal. “Ah iya!” Sam mengangkat telunjuknya ke atas. “Katanya kamu sudah jadian ya sama kakak kelas yang suka bareng kamu di kantin itu ya?” “Yang mana ah, Sam suka ngarang nih.” 213

“Hayoooo, yang tinggi sedikit brewokan.” “Oh Kak Indraaaaa.” “Nah iya, Indra.” “Heeeem maunya apa Sam, udah apa belum?” Melina tersenyum, dia meledek kekikukan Sam. Mukanya ditutup, tawanya tak terlihat jelas. “Ah udah aja deh, masa cewe secantik kamu gak cepet-cepet dipacarin, hehehe.” “Alhamdulillah udah Sam,” sambil menengok wajah Sam, Melina sedikit tersipu malu. “Waah, selamat, selamat ya Mel! Ikut seneng loh dengarnya.” Sam tertawa sambil menjulurkan tangannya. Melina segera menyambut. “Tinggal traktirannya aja dong belum?” “Mau apa emang traktirannya?” “Ya besok aja baso dan mi Mang Warkad.” “Okeee deh, besok ya?” “Bener ya?” “Iya Sam bener, jam istirahat ya tapi, bukan jam bolos pelajaran loh, hehehe.” “Aduh nyindir.” “Bukan nyindir, tapi emang gitu kenyataannya. Hahaha!” Melina tertawa menutupi mulutnya. “Ngapain sih kamu cepet-cepet jadian tuh Mel?” Sam bertanya dengan serius. 214

“Gak tau Sam, suka aja sama perjuangan Kak Indra, gak ada yang berjuang lagi sih, kaya dia gitu.” “Bukannya gak ada Mel, tapi mungkin kamunya aja terlalu cepet milih Kak Indra.” “Udah lama tau Sam, satu semester.” “Kan sekolah masih tiga tahuuun Mel?” Di tengah obrolan yang terkesan akrab itu, Sam menutupi rasa sakitnya. Kalem dan tak ditunjukkan sama sekali putus harapannya. Sabarkan hatimu, balutlah kecewamu, bahagiakan perasaanmu sendiri, santai saja Sam. Tidak perlu ditanya lagi, Sam menutup malam itu dengan ucapan, “Terima kasih, Bah.” ***

215

V Perpisahan

216

Makan Berdua Make haste slowly.

Semua rumah di Kota Cirebon (mungkin) telah membuka pintunya. Masing-masing memiliki aneka macam kesibukan dan tujuannya sendiri. Ibu rumah tangga bersiap memasak. Kepala rumah tangga memakai kemeja untuk ke kantor. Anak-anaknya ada yang masih tidur atau sudah berkerja. Semuanya yang pasti berebut cepat menyelesaikan tugasnya. Hari ini langit begitu cerah. Warnanya biru, awannya cukup, dan matahari tak terlalu bersinar. Hujan sepertinya tidak akan turun, panas pun tak terlalu menyengat. Indah sekali, paling indah di antara langit-langit yang pernah dilalui oleh Sam. Wajah Sam melihat tinggi ke atas. Dia berlaku bak orang gila yang tak jelas maunya. Sebentar-sebentar dia tersenyum, tak lama berselang dia diam. Ah, kenapa sih Sam? “Sam belum berangkat?” “Sebentar lagi Bah.” “Biasanya sudah ngluyur, tumben.” “Iya bentar lagi, Sam lagi ngeliatin ciptaan Allah dulu. Indah sekali Bah.” “Oh, ya emang biasanya juga begitu Sam langit mah, kamu aja jarang memperhatikan.” 217

“Sering kok Bah, gak tau kenapa hari ini kayaknya beda aja.” “Heem, pasti lagi senang, jangan terlalu seneng Sam, jangan terlena. Semua itu ada masanya.” “Terlalu untuk hal-hal yang positif itu wajib Bah hukumnya, hehehe.” “Ah terserahlah.” Ayah Sam tak menggubris berlebihan. “Ya udah ya Abah masuk dulu, kamu hati-hati.” “Iya Bah.” Sam tak menengok ayahnya yang hendak masuk ke dalam rumah. Dia terus memandangi tiap sudut langit yang indah. Burung-burung yang lewat dalam kilasan matanya pun tak luput. Sam, semoga saja kamu tak menjadi gila. “Aku harus siap nanti siang.” Oh, iya, nanti siang kan Melina janji untuk mentraktir Sam. Pantas saja, dia sangat sumringah pagi-pagi buta. *** Kantin sekolah sudah mulai ramai. Suara-suara sudah tak jelas lagi ungkapannya. Semua saling berebut keras dan mendominasi. Semua kursi kantin hampir penuh seperti biasanya, saat itu. Hanya ada satu kursi yang tersisa. Kursi itu sengaja dipesan seorang wanita untuk sahabat barunya. Wanita itu adalah Melina. Melina masih asyik membaca buku LKS-nya. Samudra, orang yang paling ditunggunya siang itu belum datang juga. “Mel, sudah lama menunggu?”

218

Glotrak! Suara buku dijatuhkan ke atas meja terdengar keras, tapi masih kalah keras dengan suara orang-orang yang ramai berbicara di kantin. “Oh, barusan Sam.” “Sorry ya aku telat, ada ulangan agama dulu.” “Eee eee enggak papa kok.” Melina sedikit merapikan posisi duduknya. Jilbabnya diseka-seka agar kelihatan pas. “Eh, ini sudah dipesenin sih.” “Eee iya Sam, tadi eee aku yang pesenin, kelamaan sih, takut habis.” “Inisiatif juga ya kamu? Gak salah kepala sekolah ngasih kamu piala murid berprestasi.” “Aaaaaah,” Melina terlihat malu. Hidungnya mekar, “apasiiih ah Sam, bahasamu juga gegayaan. Inisiatif, kaya tau artinya aja.” “Lah, inisiatif aja masa gak tau? Inisiatif itu misalkan nama kamu Melina, berarti inisiatif-nya huruf M.” “Itu inisial Sam, inisial bukan inisiatif. Inisiatif tuh misalkan ada Ujang sama Latif lagi jalan bareng, terus temennya dateng manggil si Latif, padahal yang dipanggilnya itu malah Ujang. Ujang pasti bilang, „Ini sih Latif.‟ Itu inisiatif tuh.” “Haddduh, bukan itu juga Mel, inisiatif itu misalkan kamu ngangkat telepon suaranya gak dikenal tuh.” “Itu mah „halo, ini siapa?‟ bukan inisiatif … Sam, Sam.” “Hahaha! Ngomong-ngomong aku makan ya ini?” “Iya Sam sok dimakan.” 219

Sam mengubah cara duduknya. Kakinya kini naik dan diangkat ke atas kursi. Persis seperti orang sedang bersila, namun di atas kursi. Tangannya cekatan memasukkan mi ke dalam mulutnya. Bunyi sendoknya tak terdengar, cukup rapi juga caranya meraih makanannya. Melina mengodek-godekan kepalanya. Tidak banyak hal yang bisa dia lakukan. Heran juga dia, mengapa bisa-bisanya ketemu dengan orang seperti Sam. “Mel, enak loh ini, kalau mau ambil aja.” Sam menawarkan makanannya kepada Melina. Sedikit sok-sokan sih, tapi ya begitulah Sam. “Engga Sam, tadi aku udah duluan makan kok.” “Yang bener? Jangan malu-malu Mel.” “Bener, bener kok Sam.” Melina mendorong suapan Sam. Iseng sekali memang lelaki itu. “Ihhh maluuu Sam ah.” Pengunjung kantin semua menatap sinis. Ingin ketawa, ingin merasa jijik, tetapi tidak bisa diungkapkan. Nyinyirlah yang terjadi. Sam, Sam, sebegitu mengerikannyakah dirimu sampai semua jadi takut? Sam terus menikmati mi pemberian Melina. Melina tidak berhenti memperhatikan. “Habiiiiiis!” kedua tangan Sam diangkat tinggi-tinggi. “Berapa waktunya?” “Eeeee, tiga puluh menit, kamu kalah!” “Haaaaah yang bener?” “Iya bener, kamu kalaaaaaaah.”

220

“Yaah, jadi gimana dong? Padahal kalau menang duitnya mau aku pake buat umroooh.” “Hahahahaha ada-ada aja ih si Sam!” Melina terbahak-bahak. Giginya kini terlihat. Putih, rapi, dan bersih. Sam hanya melongo menyaksikan keindahan wanita pujaannya. “Eh eh Mel, aku mau tanya.” “Apa Sam?” “Sudah berapa lama kamu jadian?” “Aaaah cemburu nihhhh, hehe.” “Hueeeeek, enggalah,” ekspresi seperti orang hendak muntah darah dipraktikkan Sam. “Iiih jorok!” Melina mengibas angin di depan hidung dan mulutnya. “Emm, aku jadian sudah hampir sebulan lebih Sam.” “Haaaah, lama banget, kok aku baru tau sekarang sih?” “Kan kamu mah emang gaulnya di pedalaman.” “Huuuu, pedalaman hatimu ya?” “Hahaha, pedalaman karakter?” “Itu pendalaman Mel, mungkin pedalaman alam yang indah sekaaliiiii!” Sam melentangkan tangannya. “Itu pemandangaaaaan Sam!” Melina memukul kecil tangan Sam. “Kemarin tuh, di kosku ada pedalaman listriiik.” “Aaaah itu pemadaman, hahaha! Pedalaman China tuh serem ya kalo malem, hiii!” Ekspresi Sam dibuat-buat, seolah dia sedang ketakutan. 221

“Pemakaaaaman itu mah!” “Hahahaha udah ah, gak serius ngobrol sama Melina tuh.” Keduanya semakin akrab, semakin dekat, dan semakin menghilangkan sekat-sekat yang sebelumnya begitu tinggi. Sam sukses menampilkan dirinya yang baik di pertemuan pertama. Selamat ya Sam. Hehe. “Mel, seandainya aku culik kamu, Kak Indra marah gak ya?” “Aaaih, ngapain nyulik-nyulik, iseng aja tuh!” “Ya ga papa, biar Kak Indra pusing aja.” “Nah iya kalo pusing, kalo ternyata dia malah cari pacar baru gimana hayoooo?” Melina membuat Sam bingung dengan lambaian penolakan tangannya. “Ya kalo cari pacar baru berarti kamu juga harus cari dong.” “Kan aku diculik, gimana aku carinya?” “Ya kamu sama aku, karena gak ada orang lagi di situ.” “Ahahaha, maunya!” “Mau dong, gratis sih!” “Hiiii, sukanya gratisan aja, ga ada usahanya.” “Usahanya minta.” “Gak mau kalaaaaah!” Melina memukul Sam dengan LKS yang dia bawa. “Aku kalah kok, kalo …” “Kalo apa? Awas aneh-aneh.” 222

“Kalo disenyumin kamu Meliiiiina!” Sam menarik tubuhnya ke belakang. Dia takut Melina memukulnya kembali. Tak lama setelah itu bel selesainya istirahat berbunyi. Melina dan Sam berpisah. Keduanya melewati arah yang berbeda untuk sampai di kelas masing-masing. “Hey Mel!!” Sam sempat memanggil Melina sebentar. Melina menoleh. “Terima kasih ya.” “Iya Sam.” Satu hal yang perlu dicatat. Dalam perjalanan itu, Melina selalu tersenyum bahagia. Wajahnya tak berhenti memancarkan sinar positif. ***

223

Harus Selesai Semua

Di antara bisingnya kota. Di antara riuh gemuruhnya malam. Dalam ruangan kecil itu, hanya tersisa tiga orang manusia yang sedang serius membicarakan suatu hal. Hal itu berkaitan dengan hari ini, esok, dan bagaimana seterusnya nanti akan dijalani. Di tengah meja itu ada lampu damar yang menyala. Tak terang, tapi tak juga redup, hanya bisa dikatakan cukup. Tidak ada benda lain yang mengiringi di sekitarnya, hanya damar itu. Dinding dengan lukisan Kabah besar tak kelihatan putihnya. Pantulan merah yang menyala-nyala menjadi gantinya. Menyeramkan. Sam, ayah, dan ibunya duduk mengelilingi meja bundar itu. Semua matanya tegang. Ucapan yang keluar pun tidak ada yang tak serius. Semuanya demi kebaikan. “Jadi kamu ingin terus melanjutkan atau bagaimana?” “Ingin terus Bah, Sam yakin bisa memperbaiki semuanya.” “Bohong.” Ibu Sam memotong. “Jangan dipotong dulu Bu, biarkan.” “Sam janji akan masuk IPA seperti apa yang Abah dan Ibu pengen.” “Benar? Kalau tidak apa sanksinya?”

224

“Sanksinya Sam akan dimasukkan ke sekolah manapun terserah Abah dan Ibu.” Sam menjawab tertatih. Baju polos putihnya dia pegangi tegang. Sarungnya bergoyang-goyang mengikuti kakinya yang gugup. Ibunya memangku dagu dengan kedua tangan. Daster hitamnya membuat Sam merinding dan tak berkutik. “Sam itu merokok, bolos, berantem, semua dilakukan!!!!” Ibunya mulai bicara. “Mau jadi apa sih cita-citanya?” “Iya Bu, maafkan Sam.” “Maaf terus.” “Sam janji Bu ini yang terakhir.” Ayah Sam masih diam. Dia memberi kesempatan pada istrinya untuk bergantian memarahi Sam. “Cobalah Sam itu sadar sedikit, sekolah itu mahal jangan buat mainmain Sam.” “Iya Bu iya, Sam minta maaf.” “Sudah, sudah.” Ayah Sam angkat bicara. “Sam, sekarang kamu sebagai lelaki harus bertanggung jawab. Laki-laki itu yang dipegang apanya sih selain janjinya? Tepati janjimu!! Ibu, sekarang Ibu jaga Sam seperti dulu, kalau Ibu lihat Sam melanggar, laporkan ke Abah.” Semua mendadak menjadi sepi. Nada bicara ayah Sam cukup tinggi. “Sepakat semuanya?!!” “Sepakaaat!” 225

“Sudah salaman.” Akhirnya selesai sudah masalah keluarga itu. Tidak ada pertempuran yang berlarut-larut, semuanya dengan cepat diselesaikan. Benar-benar unik mereka bertiga itu, gampang sekali marahan dan gampang sekali saling memaafkan. “Sekarang Ibu, ayo ambilkan makan.” Ibu Sam pun berjalan jauh menuju dapur. “PLN kurang ajar ya Bah, mati lampu lama sekali.” “Iya, terus-terus begini, tapi listrik tambah naik.” ***

226

Mulai Beda

Malam di tempat yang lain. Ada pot bunga, mungkin juga jam dinding besar yang terpajang di teras sebagai saksinya. Melina duduk berdampingan dengan Kak Indra. Tidak ada meja yang menyekatnya. Sengaja sepertinya. “Yang, kamu kok tadi siang makan di kantin sama preman itu gak bilang?” “Preman? Aku gak punya temen preman, Yang.” “Ya itu, si Samudra brengsek itu.” “Oh, dia orangnya baik, dia temenku Kak. Jangan ngatain dia brengsek dong.” Melina sedikit kesal. “Sendirinya dikatain gitu pasti gak mau kan?” “Ya jelas.” Kak Indra meninggikan nada ucapannya. “Aku kan murid berprestasi, brengsek dari mananya? Sedangkan dia berantem, bolos, dan buat onar terus kerjaanya, Yang.” “Ya sama Sayang, semua orang itu sekalipun dia nakal, dia pasti gak mau dibilang nakal. Ada alasan mereka semua melakukan hal itu.” “Oke, maaf kalo aku keterlaluan.” Kak Indra merendahkan kembali intonasi suaranya. “Aku gak seharunya bilang gitu.” 227

“Jangan ke aku,” Melina cemberut, “ke Samudra dong sana.” “Iya, tapi kenapa sih kok kamu belain dia?” “Sayang gak tau kan? Dia yang ada saat aku hampir mati di perkemahan itu, gak ada orang lain.” “Oh, jadi laki-laki baik yang kata kamu itu si Samudra itu?” “Iya,” Melina melihat ke arah Kak Indra. Matanya membesar menyampaikan kesan keluguan, “kenapa emang?” “Gak papa sih, pantesan udah akrab, kirain aku baru kenal.” “Oh, hehehe.” Kata-kata di antara keduanya tiba-tiba lenyap ditelan malam. Terdiam cukup lama dua insan itu. Melina sibuk membolak-balikkan halaman novelnya. Kak Indra asyik sendiri dengan gadget mahalnya. Betapa ruginya waktu yang disia-siakan. *** Hari berlalu begitu cepat. Malam yang gelap kini perlahan terang benderang. Matahari memang tak muncul, tapi sinarnya cukup membuat seluruh isi bumi bagian Cirebon terlihat. Cuaca yang cukup mendukung untuk melanjutkan tidur. Melina baru saja selesai dengan urusannya di kamar mandi. Baju sekolah yang dia pakai pun belum mampu mengubur wewangian sabun yang melekat pada tubuhnya. Hati siapa yang tidak bergetar melihat parasnya yang masih segar itu. Sepertinya sih tidak ada satu orang pun yang tidak meliriknya. “Aha, surat Heldy tadi malam aku pajang ah!” 228

Melina mengambil satu buah double tip (lem yang bisa merekatkan depan belakang itu loh). Dia kemudian menempelkan surat Sam atas nama Heldy itu di dinding kamarnya.

Hy Engel

Entah kamu tahu atau tidak, malam ini aku sedang berusaha mencintaimu, dengan cara yang tidak sama sekali engkau tahu. Percayalah, engkau tidak akan tahu Engel. Ini puisiku, supaya impas dan aku tidak lagi berhutang sajak padamu.

Malam Jangan kau rekatkan apa yang sudah hampir menyatu. Diamlah, lihat apa yang terjadi selanjutnya. Jangan kau bisukan apa yang terlanjur lantang. Merenunglah, nikmati apa yang akan dilakukan.

Begitu saja ya, Engel. Heldy 

Sreeeeeeeeeeek! Melina merobek bagian puisi dalam surat tersebut. “Ini aja, yang lainnya gak penting. Maaf ya Heldy.” 229

Seperti orang gila saja, Melina berbicara sendiri. Melina sudah melupakan kejadian semalam. Dia tertawa dengan kegembiraan yang sampai kapan pun tidak akan pernah diketahui oleh Kak Indra. Kebahagiaan itu adalah berbagi surat, berbagi cerita dengan seseorang yang Melina kenal dengan nama Heldy. *** “Kok kamu berangkat sendiri Mel?” “Iya Des, Kak Indra gak tau ke mana.” “Loh kok gak tau sih, lagi musuhan?” “Kayaknya sih begitu, aku gak bisa bedain marahan sama baikan itu gimana, sih? Hehe.” “Aaaaah, kamu mah emang gitu, jarang sekali peka terhadap perasaan orang lain. Ga boleh kaya gitu Mel!” Desi menepuk kecil punggung Mel. “Salah ya Des?” “Salah bangetlah. Bayangin coba, berapa banyak orang yang ngerasa dirugiin gara-gara sikap gak pekanya kamu?” “Termasuk kamu?” “Kadang sih gitu. Yang jelas ya Mel, manusia itu semua sama kaya kamu, mereka itu punya hati, punya pikiran, jadi, mereka juga pasti merasa dan mikir sama kaya kamu juga.” “Deeeeees!” Melina memeluk erat tubuh Desi. “Maafin aku kalo sering gak peka sama kamu.”

230

“Aaah Mel!” Desi balas memeluk Melina. “Udah ah lepasin malu.” Kemudian Desi melepaskan pelukannya dan tentu, pelukan tangan Melina pun disingkirkan. “Ih, kenapa Desi disingkirin gitu tanganku?” “Malu ah Mel, lagian ini bukan sama aku, peluk tuh Kak Indra. Abis kamu apain sih sampe dia ga mau nganter sekolah?” “Gak tau Des, tadi malem dia cuma marah soal aku nraktir Samudra.” “Hah, nraktir Samudra? Yang benerrrrr aja, ya jelas dia marah!” “Kok bisa?” “Ya Samudra itu kan anak nakal, kamu taulah dia. Kak Indra pasti kesel kamu deket sama anak nakal.” “Ih,” Melina cemberut, “kenapa sih pada bilang Samudra nakal, kenyataanya kan dia baik sama aku. Dia yang nyelametin nyawa aku.” “Itu kebetulan!!” “Gak Des, refleks seseorang dengan persahabatan yang tinggi.” “Iya mungkin, tapi itu gak bisa jadi alesan buat kamu nilai orang itu baik.” “Mungkin, tapi nyatanya aku ngerasa dia baik.” “Ya uda deh terserah.” Desi memutar tangannya ke atas, kesal. “Sekarang kamu harus bener-bener minta maaf sama Kak Indra.” “Ya Allah, perkara gitu doang?” “Iyalah, kamu juga pasti marah kan kalo liat Kak Indra sama cewe lain?” 231

“Selama alasannya masuk akal sih, aku gak bakal marah Des.” “Ya, itu karena belum terjadi, nanti coba kalau sudah terjadi, pasti kamu bicara hal yang beda.” “Gak, itu udah prinsip.” “Selalu kembalinya ke prinsip, bosan aku ah.” Desi meninggalkan Melina. Dia sepertinya ingin memberi pelajaran terhadap rasa cuek Melina. Paling mudah menyingkirkan wajah orang lain dari hadapan muka kita memang begitu, katakanlah jika apa yang menjadi jawaban kita itu prinsip, seperti yang Melina lakukan pada Desi. Hehe. Melina hanya melongo. Matanya melotot memperhatikan kepergian Desi. Dia kemudian melepaskan tasnya. Tak tahulah, dia juga bingung harus melakukan apa. Pasrah saja Mel. Kini tugas lain telah menanti Melina. Tas pink andalannya dia buka sedikit. Surat dengan tulisan tangan rapi, untukmu Heldy, telah berada di pangkuannya. Dimasukkanlah surat itu ke dalam meja. “Kamu diam di sini ya, jadilah kata-kataku yang baik.” *** “Meeeel, mellllll!” Desi berlari kencang dari luar kelas. Keringatnya bercucuran, berjatuhan ke lantai. Bajunya basah sedikit. Benar-benar sepertinya ada berita yang begitu mencekam. “Deees, ada apaaa ah heboooh deh?”

232

Melina sibuk mengerjakan tugasnya. Dia tidak sempat menampilkan ekspresi kekagetan yang sama dengan Desi. Dia sepertinya kembali tidak peka. Mel, Mel, dasar kamu ini. “Akuuuu lihat Kak Indra makan bareng cewe lain tadiiii.” “Yang bener!!???” “Iya Meeeel.” “Di mana Des? Antar aku ya!” “Iya ayo cepet ah!” Desi menarik tangan Melina. Dibawanya Melina menjauh dari kelas. Terus dan terus sampai ke kantin. “Tuh Mel!” “Iya ya.” Melina melihat kejadian itu. Dia hanya bisa mengungkapkan keheranannya dengan datar. “Marahin dia Mel.” “Ih, barangkali itu temennya.” “Temen masa senyum-senyuman bareng, pegang-pegang tangan tuh liat!” “Ya temen deketlah berarti.” “Ya gak sampe segitu juga Mel!” “Jangan pancing aku Des, aku gak mau kampungan!” “Maksudmu?” “Ada waktunya nanti aku marah setelah sudah jelas.” Melina memalingkan wajahnya. Melina berganti menarik tangan Desi kencang. “Udah ah kembali ke kelas lagi.” “Mel, tapi kan itu udah jelas Mel?” 233

“Jelas menurut apa yang di pikiranmu, tapi belum secara masalahnya. Jangan pancing aku untuk emosi, santai aja.” Melina terus saja berjalan. “Ayo ke kelas cepet.” ***

234

Kacau Love without risk is an impossibility, like war without death. – Alain Badiou

Alain Badiou adalah seorang filsuf Prancis kelahiran Maroko 17 Januari 1963. Dia juga dikenal sebagai matematikawan dan pemikir teolog. Garis-garis pemikirannya dipengaruhi oleh ahli psikoanalisis, Jacques Lacan. Saat ini dia mengajar di University of Paris VII. Badiou berbeda dengan filsuf kebanyakan. Dia mencoba menggali kembali esensi kebenaran dalam dunia filsafat yang sudah sangat jarang sekali dibahas. Salah satu ungkapannya mungkin cocok pada apa yang sedang Sam coba lakukan di bawah ini, yaitu ―singular truth has its origin in an event‖. Kebenaran tunggal (akan) memperlihatkan keasliannya dalam sebuah kejadian. “Kamu mungkin harus jadi aku Mel?” “Untuk apa aku jadi kamu Sam?” Melina memasang wajah yang teramat heran. “Ya itu sih kalo kamu mau, kalo gak ya udah.” Sam mulai sedikit jual mahal. Sam, Ogi, dan Melina duduk bersama di teras kos Melina. Sam dan Ogi sedang menunggu kedatangan Pak Ghazali, seorang teman ayah Sam. Melina bertugas menemani keduanya menanti kehadiran Pak Ghazali.

235

Sam menggunakan celana pendek bercorak tentara. Kantong-kantong yang berada di kanan dan kiri celananya cukup untuk menaruh seluruh kue yang disuguhkan Melina. Dia juga memakai baju bergambar wajah Nelson Mandela. Lagaknya sudah seperti buronan perang yang sedang kabur. Sementara Melina, meskipun di sekitaran kosnya sendiri, dia tetap menutup rapi auratnya. Jilbab putihnya dia pakai pas dengan baju tidur berwarna biru. Kacamata yang menjadi andalannya tidak dia gunakan. Melina tetaplah cantik meskipun penampilannya sedang sederhana. “Emang kenapa sih Sam?” Ogi ikut bertanya. Dia rupanya mulai penasaran juga. Kemeja cokelatnya ikut merekat ketika tubuhnya dia majukan. “Jangan Gi, nanti jawabannya gak nyambung, mending Melina aja yang nanya.” Sam menolak menjawab pertanyaan Ogi. “Ya udah, sekarang aku tanya, kenapa aku harus jadi kamu Sam?” “Kenapa ya?” “Yeeee malah balik tanya, jawab ah!” Melina kesal ingin segera tahu. “Ya karena cuma itu satu-satunya cara untuk tau bagaimana rasanya mengagumi kamu. Kamu harus jadi aku.” Sam menatap teduh mata Melina. Dia berbicara melibatkan segenap hatinya. “Begitulah Mel.” “Aaaaaaaaah so sweet.” Melina terpukau dengan apa yang telah diungkapkan Sam. “Huaak cccuuuuuh!” Ogi meludah. Wajah muak bercampur tawa dia suguhkan dalam suasana penuh dengan keharmonisan itu. “Gombal busuuk, murahan!” 236

“Hahahahaha satu kosong, satu kosong!” Sam meledek sambil menarinari kecil. Selalu ada duka dalam setiap bahagia. Selalu ada bahagia pula sehabis datangnya duka. Sama seperti malam itu, di tengah tawa dan canda yang terlontar, tiba-tiba saja … Gruuuung, gruuuuuung, ngeeek! Motor Ninja hijau parkir tepat di depan pagar kos Melina. Melina mulai gugup, tak lagi tenang. Dia menyuruh Sam dan Ogi untuk menjauh dari kursi yang disediakan Melina. “Udah kalian ke sana aja, ke deket taman.” “Mel napa Mel?” Ogi berontak. “Napa Mel?” “Udah nurut aja, sanah cepet ah.” “Emang siapa dia Mel?” Pengendara motor itu belum juga membuka helmnya. Hanya menatap dan kemudian menggelengkan kepala. Melina kemudian keluar menghampiri pengendara motor tersebut. Dan … “Kak Indraaaa Sam,” Ogi berbisik kecil. “Iya Gi.” Kedua orang itu mencuri-curi pandang tanpa mendekat. Mereka pun tak mendengar apa yang menjadi topik pembicaraan antara Melina dan Kak Indra. Biasalah, hanya menebak-nebak yang tak pasti saja. “Marahan kayaknya Sam?” “Gak ah, santai gitu Gi mukanya.” 237

“Ya gak mau keciri aja.” Sekitar sepuluh menit, Melina dan Kak Indra berbincang serius. Kak Indra tak juga turun dari motornya yang keren itu. Tidak tahu juga apa yang menjadi alasannya begitu. Mungkin karena ada laki-laki lain yang sudah menghampiri Melina. Mungkin juga dia merasa gengsi kalau harus terpaksa minta maaf pada Sam. Gruuuuuung, gruuuuuuung! Motor Kak Indra kemudian pergi. Asap-asap kepulan dari mesin duatak berterbangan tak karuan. Baunya mengganggu penciuman dan tak menyehatkan paru-paru. Melina kembali pada tempat duduknya. Dia tersenyum lebar memandangi Sam dan Ogi yang pura-pura mencabuti dedaunan. “Eh lagi pada apa, abis ngintipiiin ya hayo?” “Eeeh ga Mel, ini ada ulet.” “Iya Sam, banyak ya uletnya?” “Iya Mel banyak banget ini, pasti ga pernah disiramin ya?” Melina tambah tertawa terbahak-bahak. “Hahaha kalian itu dasar, bohong ajah ah!” “Ih bener deh, coba sini!” “Gak ah, udah kalian sini, duduk lagi di sini, mau denger ceritanya gak?” Sam dan Ogi berlarian menuju ke tempat duduk di sebelah Melina. “Gi geser Gi, awas aku dulu!” 238

“Aku duluan Sam ah!” Memang seperti anak-anak saja kedua orang itu. Berebut kursi dan saling tak mau mengalah. Sam akhirnya dipangku di atas paha Ogi. “Ih duduknya jangan pangkuan.” “Gak papa Mel, udah biasa, di kelas juga kaya gini kok.” “Masa sih?” “Iya Mel, bener kata Ogi.” Sam membenarkan ucapan Ogi. “Iya kan, Gi?” “Iya Sam.” Malam mulai bertambah larut. Bintang sudah bersinar semakin terang. Bulan yang purnama pun terlihat bundar seperti uang koin seratus rupiah. Sungguh malam yang mengasyikan waktu itu. “Apa ceritanya?” Sam memulai. “Tadi aku dong, habis diputusin sama Kak Indraaaa, yeeeeeeeeee!” “Hah? Diputusiiiin? Kok bisa Mel?” “Iya, gara-gara kalian berdua, terutama kamu Sam.” “Kok nyalahin aku?” Sam terheran-heran. “Iya, minta traktiran gak jelas sih, apa banget coba?” “Hahahaha ya syukuran jadian!” “Iya, syukuran sekalian putus juga.” Melina nyeletuk menyambung ucapan Sam. “Hmmmm bisa-bisa, kamu kenapa putus kok malah seneng sih?” 239

“Ya gak papa, aku sebenernya suka sama cowo, namanya Heldy, Sam, Gi. Tapi aku ga pernah ketemu dia, nanti kalo udah ketemu aku kenalin deh.” “Heldy?” Ogi tampak bingung. “Seumur-umur aku baru denger nama itu Mel?” “Iya aku juga Mel.” Sam pura-pura tidak tahu. Dia mengimbangi Ogi dan menjaga rahasia pribadinya. “Pokoknya dia itu orang romantis yang pernah masuk ke dalam hidup aku.” “Kembali lagi deh ke awal, napa kamu seneng padahal kan kamu baru putus?” Ogi mencoba tetap fokus pada hal yang sebelumnya mereka bicarakan. “Ya, gak papa Ogi, napa emangnya? Ogi maunya Mel terus sama Kak Indra gitu?” “Ya bukan gitu Mel, hebat aja, putus bukannya nangis malah seneng, hehe. Kasih alesan dong.” “Iya Mel, kasih alesan.” Sam ikut meminta jawaban Melina. Dia memasang wajah memelas. “Gini ya, pacaran itu kan sesuatu yang kita gak pernah tau seberapa besar dia suka aku. Aku beruntung dong kalau dia mutusin aku sekarang, aku jadinya tau kalau dia itu suka sama aku gak tulus. Dia itu maunya aku jadi apa yang kaya dia mau aja, sedangkan aku kan punya keinginan sendiri Gi, Sam. Iya gak?” “Iya sih.” 240

“Nah itu, makanya pas putus aku seneng, aku seneng dijauhin dari orang yang pura-pura baik karena dia emang mau dapetin hati aku. Awalnya aja kaya yang iya, ujung-ujungnya mah nuntut juga.” “Hmm gituuu ya.” Sam merespon jawaban Melina dengan sederhana. Di antara ketiga orang itu, Sam mungkin adalah orang yang paling serius mendengarkan Melina. Dari percakapan yang dilakukan, dia menjadi lebih tahu siapa Melina, lebih paham mengenai sifat Melina dan lebih mengerti bagaimana dia harus menghadapi Melina. Suatu bocoran ilmu yang didapat dengan cuma-cuma. Memang bagus rezekimu Sam. ***

241

Pesan dari Abah

Buruh-buruh berjalan memadati kota. Aneka macam bendera organisasi berkibar berebut tinggi. Seperti biasa, tanggal 1 Mei tidak akan luput dengan demo besar-besaran memperingati hari buruh. Berbicara mengenai buruh, artinya berbicara juga mengenai Karl Marx. Pemikir sosialis ini terkenal sebagai pembela kaum buruh yang paling radikal. Dia pernah mengeluarkan satu teori mengenai M-C-M1 yang berarti modal-commodity-modal1. Pada intinya, seorang pengusaha mengeluarkan uang sekecil mungkin untuk mendapat uang yang lebih banyak dan besar. Hal itu sah-sah saja, yang kemudian jadi soal adalah ketika kekayaan itu hanya terbagi pada satu orang dan sementara buruh semakin sengsara. Itulah anggapan Marx. Tidak adil!! Di sela-sela pagi. Mencuri suara di antara burung-burung yang asik bernyanyi, ayah Sam mengutip satu kalimat Karl Marx yang terkenal, “Sesuatu akan terlihat bentuk aslinya ketika dia dalam tekanan.” “Wah, berarti pas kemarin Sam lemah itu menunjukkan aslinya Sam ya Bah?” “Ya, maka dari itu, berlatihlah terus jadi kuat Sam.” “Iya Bah.” “Paham kan mengapa Abah tidak mau kamu lemah?” “Paham Bah sekarang!!!!” 242

“Besi yang panas itu paling asik untuk ditempa, sedang besi yang lembek itu dikilo saja kadang tak laku.” “Benar juga ya Bah.” Sam selalu merasa bahagia bila ayahnya sudah bercerita. Daya tahan tubuhnya terasa meningkat tajam, tanpa perlu vitamin. Mungkin benar kata ayah Sam, “Ilmu adalah sumber kesehatan manusia sesungguhnya.” Kini mentari pagi mulai benderang. Bising kendaraan sudah terdengar. Tidak kondusif lagi untuk bertukar ilmu dalam suasana yang mulai gaduh. Artinya, Sam harus lekas berbegas menuju sekolahnya. “Sampai jumpa Abah.” “Sampai jumpa Sam.” “Assalamualaikum!” “Walaikumsalam!” ***

243

UKS

Tidak ada tempat bolos pelajaran terbaik selain UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Setiap kita bertemu dengan guru yang killer, membosankan, dan tak dimengerti pelajarannya, maka UKS adalah jawabannya. Pura-pura pusing, sakit perut, atau tidak enak badan menjadi modalnya. Setelah surat sakit turun, bebaslah kita tidur sepanjang hari di UKS. Trik itu pun seringkali dilakukan oleh Sam pada waktu itu. UKS di sekolah Sam letaknya persis di samping masjid sekolah. Sam berjalan tergopoh diantar oleh Benjamin dan Ogi. Ya, meskipun acting tapi harus kelihatan sebaik mungkin, tujuannya agar tidak ketahuan. “Gi, Ben, titip absen ya. Aku di sini aja, tugas agamaku belum dikerjain.” “Tenang Sam, gampang itu mah.” “Makasih ya.” “Iya, tinggal dulu ya!” “Oke siap!” Biasanya satu orang teman mengikuti tidur di UKS. Alasannya satu, menemani siapa tahu yang sakit itu butuh bantuan. Tak logis memang, tapi terkadang berhasil juga. Namun kali ini, Sam sendiri. Sam terlihat mulai tiduran lelah tanpa sepatu menjadi alasnya, hanya bersisa kaos kaki saja. Bajunya keluar dari dalam celana. Benar-benar sepi 244

dan sendiri dia di dalam UKS. Hanya barang-barang kesehatan dan obatobatan yang menjadi kawannya. Suara-suara murid di dalam kelas di sekitar ruangan kesehatan itu terdengar. Beberapa siswa yang mengaji dari sekitaran masjid pun melintasi kuping Sam, meski sayup. Tidak banyak udara yang masuk, hanya kecil saja namun cukup. Menjenuhkan memang, tapi bagaimana lagi, daripada harus dihukum. Jika ada istilah tidak ada suatu yang kebetulan, maka itu mungkin saja benar, tapi tidak berlaku untuk siang itu. Kebetulan itu kadang memang seringkali ada. Melina tiba-tiba saja datang menyusul Sam. Tentu bukan hendak membolos, tapi dia benar-benar sakit. Mukanya pucat dan matanya merah lebam. Melina diantar oleh Desi. “Aiih, janjian ya ini?” Desi menyentak sedikit. Dia kaget melihat adanya Sam di dalam UKS. “Haduh.” “Hah janjian gimana Des?” Melina bingung. “Janjian sama siapa?” “Tuh, si anak bandel, Sam.” “Mana, mana dia?” Melina melongok. “Itu lagi ngorok.” “Aduuuh suaranya berisik!” “Udah ah tidur aja di kasur sebelahnya, daripada sakit.” Desi memaksa Melina. Dia membukakan sepatu Melina. Merapikan kasur yang akan ditiduri oleh Melina. “Nih cepet tidur.” “Iya Des.” Dan breeeg, ambruk sudah tubuh Melina di atas kasur. “Makasih ya Desi, kamu baik sekali.” 245

“Iya Mel, kalau si badung itu gangguin kamu teriak aja ya, okeh?” “Iyaaaaaaa Des, siaaaap!” Desi kembali ke kelasnya. Dia berjalan begitu cepat. Sepertinya ada pelajaran penting yang memang menuntutnya untuk masuk ke kelas sesegera mungkin. Kini, di dalam ruangan berukuran sekitar 5x4 itu hanya tersisa Melina dan Sam. Keduanya bermimpi dalam satu tempat sama. Tidurlah yang nyenyak. *** Kahlil Gibran suatu ketika pernah melantunkan syairnya yang teramat indah. Saking indahnya syair itu, tidak sedikit orang yang terlena lalu mengutipnya. Begini bunyi syairnya, “… seorang saja, yang membuat harimu bertambah cerah, membuat kegembiraanmu semakin semarak, dan membuat hatimu semakin ringan … seseorang saja, seorang saja yang kamu ingin hidup baginya. Maka kamu memiliki sesuatu yang disebut cinta.” Setiap manusia, selalu ingin kehidupannya penuh dengan cinta. Setiap manusia, ingin hari-harinya dihiasi oleh bunga-bunga semerbak layaknya taman cinta. Setiap manusia, ingin jejak langkah dan tari jemarinya menari di pusara cinta. Kebetulan Sam adalah seorang manusia, Sam tentunya ingin pula merasakan hal itu. Bel pelajaran terakhir telah berbunyi, tinggal menunggu satu nada lagi, maka berhentilah seluruh kegiatan yang ada di SMA N 1 Kota Cirebon. “Mel, kamu sakit apa sampai ada di sini?” “Ah engga Sam biasa aja, pusing.” “Kok merah matanya, nangis?” 246

Jauh dari keramaian kelas. Jauh dari tumpuk-tumpukan tugas. Jauh dari pusing dalam kegiatan mengerjakan ulangan. Di UKS, Sam dan Melina tengah beristirahat menyembuhkan sakitnya. Sam hanya alibi dan seolaholah sakit. Melina nyata tampak dalam wajahnya lelah tak berdaya. Kedua orang itu duduk di atas kasur yang berbeda. Di UKS itu memang terdapat dua kasur. Bukan kasur khusus untuk pria dan wanita, tetapi kasur untuk siapapun yang merasa sakit. Sam bersila, begitu pula Melina. Keduanya saling berhadapan. “Ah gak Sam, ini kecapean aja, aku gak pake kacamata makanya keliatan merah.” “Ah boong ih, kemarin-kemarin gak pake kacamata aja biasa ajah.” “Udah ah kalo gak percaya mah.” Melina kemudian mengubah pandangannya. Sam tidak lagi menjadi objek yang dilirik. “Eh, eh maaf Mel, bukannya gak percaya,” Sam mencoba turun dan sedikit mendekat. “Berhenti, naik ke kasurmu lagi Sam!! Jangan mendekat ke kasurku!” Melina keburu menahan. “Iya Mel maaf, aku bukan gak percaya cuma heran aja,” Sam berkata sambil kembali menaiki kasurnya. “Gak papa sih, udah ga usah minta maaf, udah aku maafin kok.” Sam berhenti, bibirnya tak lagi berucap. Dia takut ada kesalahan yang tak disengaja yang justru menyebabkan Melina menjauh darinya. Kini dia hanya memainkan bantal yang dipegangnya. Melina tertunduk. Dia pun sama seperti Sam, terdiam. 247

“Sam.” Melina kemudian memulai. “Hah, apa Mel?” “Kamu pernah jatuh cinta Sam?” Pertanyaan Melina cukup dalam dan serius. “Apa, belum pernah Mel, kalo suka sama orang sih pernah.” “Terus apa yang kamu lakuin?” “Ngeliatin aja Mel, udah. Cukup kok untuk bikin hati aku ngerasa seneng.” “Bener, masa kamu gak ada niat buat memiliki wanita itu?” “Bener deh, suer. Pertanyaanmu itu sedikit nyindir ya? Kamu tau kan aku jombo, hehe.” “Hehe, kamu emang bisa bikin orang ketawa.” “Aku kan belajar dari kamu.” “Belajar apa?” “Belajar kalau hidup tuh jangan terlalu dibawa serius, santai aja. Bahkan putus dari pacar pun laluilah dengan ketawa, simple.” “Hahaha, iya sih ya, kenapa malah aku yang sedih sih ya sekarang?” “Emang sedih kenapa?” “Ya sedih aja Sam.” Melina mengusap sedikit matanya. Air dari bulat matanya hampir jatuh. Wanita itu memang pandai menyembunyikan perasaannya. Pandai sekali. “Ohhhh, udahlah ga usah diceritain Mel.” 248

“Siapa juga yang mau cerita?” Melina meledek dengan memeletkan lidahnya. “Geer.” “Biasanya ya, biasanya ini sih. Orang yang sedang gundah hatinya itu mencoba menghibur diri dengan menertawakan orang lain. Kaya kamu sekarang ini.” “Hahaha, aku kena lagi deh!” “Mel, pernah gak sekali waktu kamu mikirin tentang orang tua kita?” “Pernah Sam, sering malah.” “Aku mikir ya, mereka itu baik banget membesarkan anaknya, mempersiapkan pendidikan dan segalanya, untuk pada akhirnya kemudian diambil sama orang lain. Nikah maksudnya.” “Iya juga ya Sam.” “Tapi mereka tetep aja ikhlas. Bahkan ikut seneng.” Melina terdiam. Wajahnya penuh dengan tatapan kosong. “Makanya Sam, jangan kecewakan orang tua.” “Iya Mel, aku kan sekarang sudah berjanji berubah karena aku sayang orang tuaku.” “Bener?” Melina memasang wajah keraguan. “Alah paling cuma promosi di depan aku.” Melina kemudian melempar bantal ke arah Sam. “Aw sakit Mel!” Sam mengusap-usap kepalanya sendiri. “Beneran deh.” “Ya uda deh aku percaya Sam.”

249

“Kamu mau melanjutkan pembahasanku soal cinta dan orang tua tadi Mel?” “Aku tambahin sedikit ya?” Melina mendadak bersemangat. “Nah, iya bener kata kamu Sam, terus kadang kita sebagai seorang anak ketipu sama orang yang bilang „aku sayang kamu‟ terus kita jadian.” Melina sepertinya sedang mencurahkan isi hati pribadinya. “ „Aku cinta kamu‟ terus udah jadian? Bercanda kamu Mel. Ini mah pengalaman pribadi kan, hayooo Kak Indra ya?” “Tapi untuk Kak Indra tidak cuma itu kok Sam, ada hal yang jauh lebih penting, komitmen namanya.” “Oh iya, komitmen pada alasannya suka sama kamu, mungkin itu.” Sam mulai keluar sifat aslinya. Ngeyel. “Jangan mojoki aku ah, aku gak suka!!!” “Bukan mojokin, aku mau tau aja alesannya emang apa gitu?” “Alasannya udah ilang Sam, sisanya tinggal kecewa aja.” “Maksudnya Mel?” “Ya kecewa, karena aku terlalu terburu-buru menilai orang. Baru denger kata orang dia jahat, aku langsung mikir dia jahat. Padahal belum ketemu. Baru dibaikin sedikit, aku pikir dia tulus.” “Ya kaya sekarang, kamu mikir aku baik hanya karena aku ganteng.” “Hhhhhiiiiiiiiiiii malesssssiiiin!” Melina menutup wajahnya. “Malesin ah malesin!”

250

“Makanya Mel, nikmati aja semuanya, jangan buru-buru. Cinta yang datang karena tiba-tiba itu justru lebih asik daripada cinta yang ada karena harus dipaksakan dengan jadian.” “Aku suka kalimatmu.” Hari itu Sam menang. Sam kemudian berkata dalam hati. Entahlah Mel, apapun yang kulakukan, asalkan bersamamu aku merasa senang. ***

251

Tentang Sam

Cinta tidak pernah memandang usia. Anak kecil, remaja, dan bahkan orang yang sudah kolot sekalipun bisa merasakan indah perasaan itu. Jika tirai daripada cinta itu telah terbuka pada satu hati, maka seluruh anggota tubuh pemilik hati itu akan ikut juga merasakannya. Itulah keajaiban apa yang disebut dengan cinta. Kos Melina kelihatan begitu sepi. Seluruh pintu terkunci rapat. Tidak ada lalu-lalang seorang pun di sekitaran kos-kosan berlantai dua itu. Penghuninya tengah dilanda kesibukan masing-masing. Pintu kamar Melina pun tertutup. Tulisan “bissmillahirohmanirohim” terpajang jelas dan siap menyambut siapapun yang hendak masuk. Satu sticker bergambar bendera Russia menempel di bawah kalam suci tersebut. Melina dan Kak Linda ada di balik pintu berwarna putih itu. Mereka berdua memang suka sekali bertukar cerita. Keduanya terlalu banyak saling menyimpan rahasia, sudah seperti kakak dan adik. “Lalu gimana tanggapan kamu ke dia Mel?” Kak Linda bertanya cukup serius. Dia tidak peduli dengan tanktop hitam dan celana pendek cokelat yang dia pakai. Ribuan nyamuk yang menggigit tubuhnya tak menyurutkan niatnya membantu Melina. “Jawab Mel?” “Aku belum tau Kak, dia belum jujur sepenuhnya sama aku. Tapiii …” “Tapi apa Mel??” 252

“Tapi Mel yakin, Samudra itu suka denganku Kak. Dia datang dan membuat Mel bisa dengan mudah melupakan Kak Indra. Dia memeluk tubuh Mel tidak dengan tangannya Kak, tapi dengan kelembutan sikapnya.” “Apa kamu yakin dia seperti itu?” “Mel yakin, yakin sekali. Sejauh ini firasat Melina gak pernah salah. Apalagi Melina udah menatap langsung matanya.” “Kalo memang kamu sudah yakin, cobalah kamu ajak dia ngobrol sedikit tentang hal yang lebih serius.” “Caranya?” Melina merapikan daster Hello Kitty-nya. Begitu lucu wanita itu. “Kamu bilang dan tanya soal gimana seandainya ada seorang wanita yang suka sama dia Mel, gitu.” “Kalo dia nanggepinnya biasa aja?” “Gak bakal, sedikit-sedikit dia pasti cerita.” “Tadi siang aja dia bilang gak pernah mau nembak cewe Kak. Dia mau cinta datang dengan sendirinya. Dia gak mau cinta yang dipaksakan dengan jadian.” “Hah, seumur-umur baru deh Kakak nemu orang yang kayak gini.” “Mel juga Kak.” Mendadak obrolan di antara keduanya hilang. Suara dan kata yang berserakan tak terdengar lagi. Suasana saling menatapi diri satu sama lain menjadi gantinya.

253

Melina kemudian pergi ke meja belajarnya. Dia buka laci yang berada tepat di bawah meja belajarnya itu. Setumpuk surat Heldy kini dibawanya ke kasur. “Nih Kak.” Dia melepaskan semua surat itu ke atas kasur. “Apalagi ini?” “Ini surat dari Heldy, seorang yang misterius.” “Kamu sudah pernah ketemu sama dia?” “Belum Kak,” Melina menggeleng. Rambut pirangnya ikut terbang ke kanan dan ke kiri. “Sudah, nanti lagi. Yakinkan dulu tentang Samudra, Samudra itu …” “Samudra itu orang yang menurut Mel paling cepat merebut hati Mel. Dia berhasil menguasai sebagian hati Mel yang hampir saja dikuasai Heldy. Mel jatuh Kak.” “Dia benar-benar berhasil merebutmu Mel. Kak Linda baru melihat kamu kaya gini.” “Iya Kak. Mel juga baru melihat Mel kaya gini. Tapi emang sulit keadaannya.” “Sulit karena kalian berdua tidak ada yang mau inisiatif saling memulai. Butuh kesabaran dan keseriusan.” “Maksudnya Kak?” “Cinta itu intinya terbiasa. Cinta itu seringnya kamu mendengar. Cinta itu yang pada saat sudah mulai kamu merasa mendengar namanya saja bergetar, kamu harus memperjuangkannya.” “Mel sudah gitu Kak.” 254

“Ya tinggal kamu memulainya Mel. Berani?!” “Berani Kak.” “Mulai besok kamu pancing dan tanya terus dia soal perasaannya. Kamu mulai berganti memenuhi harinya dengan kehadiranmu. Kamu rebut juga perasaan-perasaan kecilnya itu. Kamu bisa Mel!” “Pasti bisa Kak!” Melina kini bersemangat. Dia merasa mendapat dukungan. “Kakak dulu sama si Rudi juga begitu. Kakak yang pancing dia, akhirnya sekarang … kita sama-sama saling tidak bisa jauh.” “Romaaaantis!” Melina memeluk Kak Linda erat. “Semua yang berkaitan dengan perasaan itu Mel, haruslah melibatkan hatimu. Apa yang dikatakan dengan pikiran maka akan diterima oleh pikiran. Apa yang dikatakan dengan hati maka akan diterima dengan hati. Itu kuncinya. Ayo semangat ah!” “Iyaaaa Kak!! Terima kasih selalu ada buat Mel.” “Sama-sama Mel.” Melina sudah tak tampak gusar. Hatinya sudah penuh dengan siraman kata-kata penyemangat dari Kak Linda. Dia mulai yakin tentang adanya hari esok yang lebih baik, hari esok yang bagaimanapun tidak akan lagi ada Kak Indra yang menghiasi hari-harinya. Setiap keinginan selalu mengantarkan kita pada satu risiko pengorbanan. Melina sudah paham itu. ***

255

Menentukan Akhir

Ujian sekolah telah usai. Menjelang kenaikan, seluruh kelas di SMA N 1 Kota Cirebon diwajibkan mengikuti lomba pekan olahraga sekolah. Ada berbagai macam cabang olahraga yang dipertandingkan, seperti tenis meja, bulu tangkis, catur, dan sepak bola. Tentu kita tahu, sepak bola selalu menjadi ajang paling menarik. Namun dalam pekan olah raga sekolah, semuanya haruswajib diikuti. Sam, Benjamin, Dayat, Ridwan, Ogi, dan Anto selalu menjadi tim andalan futsal. Mereka pasti saja menjadi orang-orang terpilih kelas untuk bermain sepak bola. Beberapa pertandingan berhasil mereka lewati. Pada akhirnya, kelompok anak nakal itu hanya memperoleh juara kedua. Selain perlombaan, ada pula acara pembagian hasil dan remidial bagi murid-murid yang mendapat nilai rendah. Sam yang sebelumnya disangka akan mengalami banyak remidial ternyata lolos. Seluruh nilainya baik dan bisa mengantarkannya bersama dengan Ogi masuk ke kelas IPA di tingkat kedua nanti. Sementara rombongannya: Benjamin, Erwin, Dayat, Ridwan, dan Anto di kelas IPS. Sam sedikit banyak berubah dan menutup akhir masa kelas satunya dengan cukup baik. Dia tidak banyak menjadi keluhan orang tuanya kala itu. “Sam selamat ya masuk IPA!” Benjamin mengulurkan salam memberikan selamat. 256

“Ah apa Ben, enak IPS.” Kedua orang itu tengah duduk di lantai dua dekat perpustakaan. Mereka asyik memandang lapangan upacara yang penuh dengan kenangan. “Aku bakal kangen Ben, sumpah, kangen sekali.” “Iya Sam sama.” “Tapi gimana lagi ya Ben, harus misah gini. Nanti tetep main bareng ya?” “Pastilah Sam, masa hanya perkara beda jurusan terus kita gak main bareng, kan lucu.” “Hehe kali ajah.” “Hey, hey, heeeeeey pesenanann datang teman-teman!” Ogi dan Dayat kemudian menghampiri Sam dan Benjamin. “Mana Erwin?” “Itu di belakang Sam.” Ogi menjawab sambil menjatuhkan kacang, minuman bersoda, dan satu buah spidol. “Ini spidol segala buat apa Gi?” Sam bertanya heran. “Corat-coret, biasa kenang-kenangan.” “Hahahaha!” “Wiiin cepet sini!” Dayat memanggil Erwin cukup keras. “Sini ah!” “Iya Yat bentar!” Suasana sekolah sudah sepi. Tidak lagi ada aktivitas belajar-mengajar. Mereka bebas berteriak. Mengeluarkan baju sekolah dari celananya. Bersepatu dengan warna yang sesuai pilihan hati. Merdeka pokoknya. 257

“Coba tiap hari sepi gini ya, kan bebas.” “Iya Ben, enak ya?” Dayat menanggapi Benjamin. “Banyak hal, banyak cerita yang kita tulis di kelas satu yang belum tentu bisa diulangi sama kelas satu yang baru nanti. Heboh pokoknya kelas satu kita mah!” Erwin ikut bergabung. Sam tidak sama sekali mengikuti perbincangan. Dia sedang menatapi seorang wanita dengan rambut hitam terurai sedang bermain basket. Wanita itu tersenyum mengarah jelas ke wajah Sam. Wanita itu bukan Melina, wanita itu wajah baru yang sama sekali tak pernah terlintas dalam keseharian hidup Sam. Siapa wanita itu? “Sam sini dulu ah.” “Apa Ben? Bentar deh, kamu yang ke sini.” “Gimana?” Benjamin berdiri dan melangkah mendekati Sam. “Itu siapa ya Ben?” “Ah itu, Mutia anak sepuluh-lima kayaknya.” Benjamin menjawab sambil berlalu dan kembali ke tempat di mana dia duduk. “Owh, lucu ya.” “Ya lumayanlah, udah ah sini duduk gabung sama temen-temen.” Benjamin menarik tangan Sam yang sepertinya mulai menentukan pilihan yang baru. “Ini mau ada pengakuan nih.” “Oke.” Mereka berlima kini duduk bersila. Benjamin mulai mengutarakan permainan pengakuan yang dimaksud.

258

“Kalau aku bilang „Sam‟ dan begitu juga yang lainya, semua jawab ciri khasnya ya!” “Okeeee!” serentak Dayat, Ogi, Sam, dan Erwin menjawab. “Sekarang aku mulai ya, Erwin!” “Ee eee suka berlebihan!” Ogi memulai. “Sok tegar!” Sam menyusul. “Pintaaaaar!” Dayat mencoba objektif. “Tinggi!” Benjamin mengakhiri. Yang kedua. “Daaaayat!” “Penuh rahasia!” Erwin semangat. “Tidak jelas!” Benjamin menimpali. “Suka marah-marah!” Sam sedikit jujur. “Ee ee gak tau!” Ogi tertawa. “Yeeee ga boleh gak tau Ogi.” Benjamin menolak jawaban Ogi. “Sipit!” Ogi mengulangi jawabannya. “Oke, boleh.” Yang ketiga. “Ogi! Keribo!” Benjamin langsung menjawab sendiri. “Takut belalang!” Sam cukup hafal hal ini. “Males!” Erwin memang paling tahu soal Ogi. “Gilain!” Dayat tanpa basa-basi langsung mengomentari. 259

Yang Keempat. “Samudra!” “Melina!” Ogi terus terang. “Ngekek!” Erwin menambahkan secara cepat. “Berantem!” Dayat sepertinya puas dengan jawabannya. “Pembuat onar!” Benjamin ikut memberikan komentar pedasnya. “Udaaaaaah seleesaaai!” Benjamin berdiri dan mengakhiri permainan pengakuan. “Woi curang sendirinya belum!” “Curang!” Sam pertama karena ingin membalas Benjamin. “Pinter, menang sendiri!” Erwin ikut-ikutan menyumpahi. “Sok pemimpin!” Dayat acuh tak acuh menyampaikan keluhannya. “Terserah maunya apa!” Ogi menutup sambil memakan kacang. “Sekaraaaang, apa itu persahabatan? Sesuatu yang tidak akan pernah berakhir.” Benjamin memulai menjawab pertanyaan yang dia buat sendiri. “Yang bahkan uang pun tidak bisa membelinya.” Erwin sedikit lebih tegas. “Saling melengkapi dan ada dalam setiap keadaaan.” Sam memiliki cara pandangnya sendiri. “Persahabatan itu suatu yang tanpanya kita tidak bisa hidup.” Dayat menadahkan kepalanya ke atas. Dia sombong dengan jawabannya. “Keadaan di mana kita merasa bahwa kita dihargai.” Ogi menjawab sambil sedikit tersipu. 260

“Mungkin hari ini bisa kita rayakan sebagai hari di mana kita bersaksi untuk saling bersahabat selamanya!” Benjamin menjulurkan tangannya ke depan. Ogi, Erwin, dan Dayat menyusul. “Sam ayo sini!” Erwin menarik baju Sam yang kembali memandangi wanita misterius bernama Mutia. “Siap!” lima tangan itu telah lengkap dalam lingkaran yang indah. Yel penutup “hore” pun bergema seiring dengan diangkatnya kelima tangan yang berbeda itu. Sebuah akhir dari awal persahabatan yang baru nanti di kisah selanjutnya telah resmi dimulai. Semoga saja tetap dipersatukan. *** Gelap mulai datang. Tidak ada perjanjian pertemuan di luar untuk malam ini. Sam sudah santai duduk di kursi kamarnya. Bulan tak begitu terlihat, sinarnya tertutup awan. Bintang menggantikan tugasnya untuk menerangi bumi. Suara kodok, jangkrik, dan hewan-hewan malam bersautan tak karuan. Surat pemberian Melina tergeletak dengan tidak rapi di atas meja belajarnya. Amplop dan isinya tak berada dalam posisi yang saling pas. Semuanya telah berjauhan. Sam mulai siap membaca isi dari surat yang bisa saja menjadi surat terakhir dari Melina. Ini isi dari surat tersebut.

261

Heldy, hai Heldy. Ini mungkin surat terakhirku di kelas satu. Besok-besok kita libur dan aku sudah naik menjadi kelas dua. Senangnya. Heldy, aku hari ini ingin menuntut janjimu. Besok kita tepat pukul 19.00 bertemu di taman kota ya. Terima kasih karena sudah mencintaiku dengan sangat baik Heldy. Terima kasih telah merawat rasa sayangku dengan sempurna. Terima kasih karena terus menyirami cintaku dengan air perhatian yang indah. Selamat malam Heldy. Sampai jumpa esok. Jangan telat! Engel 

Semua yang telah dimulai, pada akhirnya harus diakhiri. Sam tidak bisa lagi beralasan jika dia merasakan kebingungan yang begitu dalam. Dia tidak lagi mampu menolak pertemuan yang amat-sangat menakutkan baginya. Dia harus menghadapi kenyataan itu dengan penuh lapang dada. Besoklah waktunya Sam, waktu yang akan menjadi penentuan dari semua cerita yang telah kamu mulai. Sebelumnya Sam sempat menuliskan satu buah surat untuk Melina:

Hy Melina. Aku sudah tidak lagi datang sebagai Heldy.

262

Aku mulai berani menampakkan diriku sebagai Samudra. Hari ini, hari di mana kau mungkin akan terlambat membaca surat ini, kau akan menemukan dua hal, yaitu kebahagiaan atau kekecewaan. Percayalah Mel, bahwa dalam sebuah pertemuan itu pasti ada akhir yang mau tidak mau kau juga harus menjalaninya. Aku minta maaf atas cintaku yang terlalu padamu. Aku minta maaf jika aku terlambat menghampirimu. Aku minta maaf andai pada kenyataannya, suratku mampu menghantui hariharimu, pikiranmu, dan apapun yang menurutmu merugikanmu. Samudra 

[DILANJUTKAN PADA JUDUL BAYANG-BAYANG DI AWAL CERITA]

263

Napas Baru Abaikan kepedihan, atau kau tidak akan pernah merasa bahagia – Imam Ali ibn Abi Thalib

Menurut Jean Paul Sartre, masa lalu itu selalu memiliki apa yang dikenal dengan “FAKTISITAS”, yaitu ada fakta-fakta tertentu di masa lalu yang tidak dapat diubah. Misalkan tempat lahir, bagaimanapun kita mencoba mengubahnya, kita tidak akan pernah bisa melakukan perubahan keadaan itu. Tetapi ikatan akan masa lalu itu tidak dapat menyebabkan alasan apapun, tentang mengapa kita melakukan sesuatu hal sekarang. Kejadian malam itu telah menjadikan luka bagi Sam dan terutama lagi bagi Melina. Pertemuan pun sudah semakin jarang. Berbalas surat pun kini tak ada lagi. Bagaimana kelanjutannya? Apakah Melina dan Samudra pada akhirnya melanjutkan kisah cintanya yang semula bayang-bayang kemudian menjadi nyata? Atau justru ada kisah cinta yang baru di antara keduanya? Semua menjadi tanda tanya. Benjamin pun mengabarkan suatu hal yang baru. Dia mengatakan kelompok anak band sekarang berada dalam satu kelas yang sama. Perlawanan kini tak lagi dengan kakak kelas dua belas yang telah lulus, tapi dengan teman seangkatan yang berbeda pergaulan. Mungkinkah musuh bersama ini menjadikan teman yang berbeda jurusan kembali bersatu? *** 264

Seorang anak muda berambut kriting dan bertubuh kurus keluar dari kamarnya. Dibawanya satu robekan kertas berisi nomor telepon yang dia dapat dari jejaring sosial. Dia berlari kencang menuju ruang keluarga di rumahnya. Kini dia telah tepat berada di depan telepon. Dipencetlah satu persatu nomor telepon itu sesuai dengan apa yang tertulis di kertas kecil yang dia bawa. “Halooooo, haloooo?” suara wanita dari gagang telepon tiba-tiba saja terdengar. “Ini Mutia?” “Iya, dengan siapa ini?” Suara tiba-tiba saja hilang. Padahal telepon belum mati. “Halooooooo?” Dan. Tuuuut, tuuuut, tuuuuut. Meninggalkan tanda tanya. Menutup kata tanpa suara. Membuat resah dengan tatapan mata yang tajam. Samudra, itu seakan menjadi gaya berkomunikasimu yang baru, yang muncul karena pengalaman. ***

265

Profil Penulis Penulis

lahir

pada

tanggal

24

Februari 1991 di Kota Cirebon, saat ini penulis

terdaftar

sebagai

Mahasiswa

Universitas Diponegoro. Sembari kuliah dia sesekali mengunjungi Pondok Pesantren AlFutuhiah Meranggen untuk belajar kitab AlGhazali dan Pondok Pesantren Pabelan Magelang belajar Ilmu Hikmah. Penulis juga memiliki

prestasi

yang

di

antaranya

menjuarai penelitian unggulan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun anggaran 2012-2013, pernah menjadi Managar termuda di Jari AlJabar Cirebon. Penulis pernah mengisi acara talk show hukum di RRI Semarang dan RCTV Cirebon dengan tema “Bagaimana menjadi penulis yang baik?” Biodatanya pernah direview oleh Radar Cirebon di kolom inspirator. Dia pun aktif mengisi di beberapa media online dan cetak (Radar Cirebon, Kabar Cirebon, dll). Saat ini penulis sedang melanjutkan studi di Magister Kenotariatan UNDIP, Semarang, penulis di Semarangdaily (Pandiva Media) dan menjadi peneliti di Satjipto Rahardjo Institute. Info lebih lanjut. Twitter: @bakhrulamal | Email: [email protected]

266