Data Loading...
E-Book TOP 50 - Nostalgia Flipbook PDF
E-Book TOP 50 - Nostalgia
148 Views
94 Downloads
FLIP PDF 5.38MB
Antologi Cerpen Top 50 Terbaik
Lomba Menulis Cerpen Nasional
NOSTALGIA
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 27 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Antologi Cerpen Top 50 Terbaik
Lomba Menulis Cerpen Nasional
NOSTALGIA
Ade Nilasari Alwi M, Aditya Prawira, Annisa Pratiwi Wulandari, Ari Lia Wulandari, Bintang David Hutabarat, dkk
Antologi Cerpen Lomba Menulis Cerpen Nasional 2020 @catatanpenaofficial Penulis Ade Nilasari Alwi M, Aditya Prawira, Annisa Pratiwi Wulandari, Ari Lia Wulandari, Bintang David Hutabarat, dkk Desain Cover: Dwi Prasetiyo Tata Letak: Dwi Prasetiyo Ukuran: xii, 364 hlm, Uk: 14,8 cm x 21 cm ISBN : 978-623-331-043-7 Cetakan Pertama: Maret 2021 Hak Cipta 2021, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright © 2021 by Catatan Pena Official All Rights Reserved Hak cipta dilindungi undang - undang Dilarang keras menerjemahkan memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. PENERBIT ELMARKAZI Anggota IKAPI Jl. RE. Martadinata RT.26/05 No.43 Pagar Dewa, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, 38211 Website : www.elmarkazi.com dan www.elmarkazistore.com Email : [email protected]
PRAKATA
P
uji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga telah berjalan lancar proses pembukuan karya berupa Top 50 Karya Cerpen Terbaik dari Peserta Lomba Menulis Cerpen Nasional dengan tema “Nostalgia” yang diadakan oleh Catatan Pena. Kami juga sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan terlibat dalam proses pembukuan karya ini, sehingga dapat terbit dan diterima oleh para pembaca. Buku Top 50 Karya Cerpen Terbaik ini kami buat sebagai persembahan khusus serta bentuk apresiasi kami kepada Peserta Lomba Menulis Cerpen Nasional dengan tema “Nostalgia” yang memiliki semangat dan antusiasme yang tinggi dalam berkarya dan mengikuti lomba ini. Cerpen (cerita pendek) merupakan sebuah karya sastra pendek yang bersifat fiktif dan juga mengisahkan tentang suatu permasalahan secara ringkas mulai dari pengenalan sampai akhir dari permasalahan yang di alami oleh tokoh. Cerpen biasanya terdiri dari 5 komponen dasar yang di perlukan untuk menyusun sebuah cerpen. Dari 5 komponen dasar tersebut yaitu abstrak (sebuah pemaparan awal dari cerita yang akan di sampaikan), orientasi (penjelasan tentang latar maupun tentang suasana), komplikasi (pemaparan awal sebuah masalah), evaluasi (puncak masalah yang di paparkan dalam cerita), resolusi (akhir dari permasalahan sebuah cerita) dan koda (pesan moral yang akan di sampaikan oleh penulis kepada pembaca). Dalam penulisan sebuah cerpen terdapat dua unsur yang terkandung yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur/plot, setting, tokoh, watak, sudut pandang, dan amanat. Untuk unsur ekstrinsik bisa berupa latar belakang yang terdapat di masyarakat, seperti budaya, politik, keadaan sosial dan ekonomi. Selain itu, unsur ekstrinsik juga bisa di dapat dari riwayat hidup pengarang, pengalaman dan juga gaya bahasa yang di gunakan oleh pengarang. Melalui cerpen kita dapat me Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
v
nyampaikan berbagai perasaan, ide gagasan bahkan curahan hati sekalipun. Walaupun cerpen hanyalah cerita singkat, namun terkandung banyak makna dan pengetahuan yang didapat di dalam cerpen. Oleh karena itu, Catatan Pena mengajak kepada insan cendekia dan sastrawan, baik muda maupun para profesional, untuk dapat mengungkapkan banyak pengalaman, perasaan, harapan, pikiran, dan pikiran dalam sebuah cerpen untuk diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Nasional. Alhamdulillah, Lomba Menulis Cerpen Nasional dengan Tema “Nostalgia” telah usai. Para peserta terbukti dapat mengeksplorasi perasaannya sesuai dengan pengalamannya sendiri dalam sebuah karya cerpen. Jika tidak mampu mengungkapkan tutur katamu secara langsung maka menulislah, sama seperti yang dikatakan oleh Seno Gumira Ajidarma yang mengatakan “Menulis adalah suatu cara untuk berbicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa suatu cara untuk menyentuh sese orang yang lain entah dimana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang”. Perlu kami sampaikan bahwa dari karya yang masuk semuanya me rupakan karya terbaik dikarenakan dalam perlombaan harus ada pilihan pemenang, maka kami telah memilih sesuai dengan penilaian yang terbaik. Dalam proses penjurianpun kami melibatkan para seniman, sastrawan senior dan profesional untuk menjaga kualitas karya yang benar-benar terbaik dari yang terbaik. Semoga buku ini dapat menjadikan kita semakin terus semangat untuk berkarya. Tak Ada Gading yang Tak Retak, begitupula kami. Hanya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa yang memiliki Kesempurnaan, begitu pula kami banyak kekurangan dalam segala hal. Oleh karena itu, kami sampaikan banyak permohonan maaf dari diri kami. Semoga buku ini dapat memberikan inspirasi kepada kita semua. Aamiin… aamiin… Purwokerto, 29 Januari 2021 Catatan Pena vi
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
DAFTAR ISI PRAKATA....................................................................................................... v DAFTAR ISI..................................................................................................vii 1. A Box of Memories..............................................................................................1 2. Aku dan Kebebasan............................................................................................8 3. Amirah................................................................................................................... 20 4. Angin Itu, Akan Tetap Sama.......................................................................... 26 5. Aster dari Milan........................................................................................................36 6. Autophobia.......................................................................................................... 42 7. Bapak dan Layangan Putus........................................................................... 44 8. Berdamai dengan Takdir................................................................................ 50 9. Bertepuk Sebelah Kenangan........................................................................ 60 10. Buku Harian Biru............................................................................................... 65 11. Dari Jendela Pesawat...................................................................................... 69 12. Delfina Van Vliet............................................................................................... 75 13. Di Bawah Pohon Jambu Air.......................................................................... 82 14. Gelang Sambernyawa..................................................................................... 89 15. Grup Mendiang.................................................................................................. 96 16. Gudreh Dan Koreng Tanda Cinta Bidadari.......................................... 102 17. Hiraeth............................................................................................................... 109 18. Hubungan Batin.............................................................................................. 115 19. Jejak.................................................................................................................... 121 20. Kala Hujan Datang Menjemput................................................................ 132 21. Kampung Dalam: Jalan Penyesalan........................................................ 140 Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
vii
22. Keindahan Semu............................................................................................. 147 23. Kenangan yang Menguap........................................................................... 154 24. Kisah Klasik...................................................................................................... 160 25. Kutemukan Jalan Pulang dalam Suara Azanmu................................ 167 26. Lelaki dan Harimau....................................................................................... 175 27. Matahari terang di Moskva........................................................................ 182 28. Memori Panci Presto.................................................................................... 190 29. Menyadari Dirimu Berada di Balik Pintu.............................................. 201 30. Miracle in December.................................................................................... 208 31. Motor Butut..................................................................................................... 214 32. Mushaf............................................................................................................... 225 33. Nostalgia Payung Warna-Warni.............................................................. 231 34. Nostalgia yang Salah..................................................................................... 238 35. Oma Celi............................................................................................................ 244 36. Perempuan yang Mati Dua Kali............................................................... 251 37. Pertanyaan Penting...................................................................................... 263 38. Pulang................................................................................................................. 269 39. Rumah Nostalgia............................................................................................ 274 40. Sape’ benutah tulang to’awah................................................................... 282 41. Secangkir Susu Cokelat Telur.................................................................... 291 42. Selepas Puluhan Tahun Pengembaraan................................................ 297 43. Senandung Cemara....................................................................................... 302 44. Seorang Gadis, Kota dan Kenangan........................................................ 307 45. Simpang Demarkasi...................................................................................... 313 46. SSQ II Dalam Gerimis................................................................................... 320 47. Teh Poci dan Masa Silam............................................................................. 326 48. Terima Kasih Ayah dan Ibu Selalu Menjadi Kaki Anakmu.............. 334 viii
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
49. Tumpukan Sampah........................................................................................ 340 50. Wanita, Warna, dan Cerita......................................................................... 344
PROFIL...................................................................................................... 352
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
ix
x
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
A Box of Memories Oleh: Renhard Sebastian Hari Jumat sore dipertengahan bulan Mei, aku sedang bersiap-siap untuk membereskan barang-barang yang berada di lotengku, aku berpikir untuk mengumpulkan beberapa barang lamaku dan menjualnya untuk garage sale. Aku-pun menaiki tangga menuju lotengku, dari beberapa anak tangga yang tersisa aku sudah bisa melihat tumpukan-tumpukan kotak berwarna cokelat muda yang terkena sinar matahari sore. Aku berjalan kearah tumpukan-tumpukan kotak itu, setiap kotak disini sudah kuberi label nama jadi kurasa ini akan menjadi pekerjaan yang mudah. Tiga puluh menit telah berlalu, aku sedikit menyesal ketikaku meremehkan pekerjaan ini saatku ingin mengangkat kotak yang berikutnya, pandanganku tertuju pada sebuah kotak yang berbeda, kotak itu berwarna biru langit dan memiliki pola seperti peta dunia setiap daerahnya diberi warna putih, di atasnya terdapat tulisan “Around The World ” yang diberi warna biru tua dan diikat dengan pita berwarna jingga muda. Aku tidak ingat mengapa kotak ini memiliki pola seperti ini dan yang pasti aku juga tidak ingat apa isi dari kotak ini. Aku-pun melepas pita pada kotak itu dan membuka kotak itu, aku tidak bisa menahan senyumku ketika aku melihat isi dari kotak itu, kotak itu berisi rompi abu-abu, kemeja putih, dan rok berwarna hitam saatku SMA dulu. Di bawah tumpukan seragam itu aku bisa melihat beberapa barang di bawahnya sehingga aku memutuskan untuk membawa kotak itu ke kamarku. Aku menaruh kotak itu di lantai kamarku yang dilapisi dengan karpet berwarna putih lalu aku mencoba mengenakan seragam lamaku dan tidak kusangka seragam itu masih terasa sama seperti delapan tahun yang lalu.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
1
Pandanganku kembali tertuju kepada kotak itu lagi dan aku tidak bisa menahan diri untuk melihat barang-barang lain di dalam kotak itu. Aku melihat sebuah peta dunia yang beberapa daerahnya diberi coret an dengan warna oranye dan di atas peta itu terdapat sebuah foto. Langit biru yang dipenuhi dengan awan putih lalu dibawahnya terdapat sebuah pohon maple yang rimbun ditengah-tengah sebuah padang rumput menjadi latar dari foto itu. Dalam foto itu ada aku dan seorang temanku yang sama-sama menggunakan seragam sekolah yang sama seperti yang kukenakan sekarang. Dalam foto itu aku dengan rambut hitam sepanjang bahu yang tertiup angin musim panas dengan senyuman yang terpancar di wajahku sambil merangkul temanku Lara, seorang gadis dengan rambut berwarna cokelat muda yang diikat, sepasang mata yang memiliki warna se perti langit yang biru yang menggambarkan sifatnya yang energetik dan memiliki jiwa petualang. Lara dan aku memiliki sifat yang berbeda, tetapi justru karena perbedaan itu kami bagaikan potongan puzzle yang saling melengkapi. Saatku melihat kembali foto ini aku jadi teringat kembali momen-momen Lara mengubah caraku melihat dunia. Ketikaku melihat foto itu kembali, aku teringat kembali dengan momen-momen pada hari itu. “Cheese !” ucap Lara sambil memotret kami berdua dengan kamera polaroidnya. Lara mengambil hasil gambar yang keluar dari kamera itu “whoo ! sekali lagi hasil jepretannya tidak mengecewakan sama sekali” “Untuk apa kita mengambil foto sebanyak itu dari tadi, ?”. Lara hanya membalas pertanyaanku dengan senyuman. Tempat ini sangat sunyi, suara yang terdengar disini hanyalah suara serangga musim panas. Kami duduk di bawah pohon ek yang rimbun sambil melihat kearah langit biru yang dikelilingi awan-awan putih, sekilas aku melihat kearah Lara dan aku bisa melihat dari wajahnya kalau dia khawatir dengan sesuatu. 2
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Ada apa Lara,?” tanyaku. “Tidak apa-apa, hanya saja ada sesuatu yang membuatku bertanya-tanya cukup lama,”. Lara mengambil tas punggungnya dan memeluknya dengan erat. “Jadi… setelah ini kau ingin lakukan setelah ini,?” dia melihat kearahku yang memasang muka yang sedikit kebingungan. “Maksudku, apa kau sudah ada rencana setelah kita lulus nanti ?, seperti pergi keluar kota contohnya”. “Hmm... berpergian ya? orangtuaku tidak mungkin mengizinkanku meninggalkan kota ini dengan kondisi kesehatanku yang seperti ini, lagipula untuk meninggalkan kota ini sepertinya hal yang berat bagiku, karena kota ini sudah menjadi bagian dari diriku.” “Ah… begitu,” kata Lara. “Bagaimana denganmu? sepertinya ada hal yang menarik yang ingin kau sampaikan,” Lara melihat ke arah langit yang cerah itu. “Aku membayangkan jika aku bisa berpergian bersama dengan awan-awan yang berada di langit, menginjakkan kakiku di me dan dunia yang berbeda-beda, dan melihat sesuatu yang bahkan tidak dapat ditunjukkan atau dijelaskan oleh buku manapun,” Lara diam sejenak dan melihat kearahku dengan sedikit cemberut. “Aku tahu… kau pasti berpikir rencanaku tadi seperti kisah yang dibacakan anak SD bukan ?”. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan dia tersenyum kembali. “Oh iya… aku hampir lupa untuk menunjukkan sesuatu,” Lara mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang dari dalam tas punggungnya, kotak itu berisi sebuah album foto, dan sebuah peta dunia. Lantas aku bertanya-tanya maksud dari kotak beserta barang-barang di dalamnya, dengan wajahnya yang bersinar-sinar dan penuh keyakinan Lara menjelaskan kepadaku alasan tentang barang-barang itu. “Aku mau kau menyimpan kotak ini beserta isinya agar saat kau mulai merindukanku atau melupakanku, kotak bisa mengingatkanmu akan seorang wanita yang sedang mencari tahu apa yang dunia ini tawarkan”. Aku hanya tersenyum ke arah Lara, karena jujur, aku tidak tahu bagaimana harus membalas perkataan dia yang sedikit membingungkan itu. Langit biru yang cerah sekarang berubah menjadi langit oranye, Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
3
kami meminum sekaleng banana smoothies sambil melihat matahari yang perlahan-lahan mulai terbenam. Padang rumput itu sudah mulai gelap, aku mengangkat tasku dan mengajak Lara untuk pulang. Tetapi dia memegang tanganku, “Tunggu dulu disini sebentar,” Aku melihat Lara dengan wajah yang sedikit jengkel. “Ayolah, disini sudah gelap untuk apa kita masih tetap disini,?”. Lara memberi senyum kecil. “Sebentar saja kok, aku hanya ingin kau melihat sesuatu,” Aku menghela napasku sambil pasrah dengan permintaan Lara. “Okay… sekarang tutuplah matamu dan jangan buka matamu sampai aku menyuruhmu untuk membukanya,” Aku melakukan apa yang Lara katakan, beberapa detik kemudian Lara menyuruhku untuk membuka mataku. Perlahan aku membuka mataku, aku melihat bulan purnama yang dikelilingi dengan bintang-bintang yang menghiasi langit, dan kunangkunang yang memenuhi seisi padang rumput itu. pemandangan yang selama ini kutahu dari buku-buku fiksi yang kubaca. Aku melepas kacamataku, mataku terbuka lebar tidak seperti biasanya, aku menatap pemandangan bulan dan bintang yang berkilauan diatas kami berdua. “Woooow…” Lara tertawa kecil dan mengatakan sesuatu dengan senyuman yang besar. “Benarkan? Diluar sana masih banyak keajabian dunia yang masih tersembunyi, oleh karena itu aku akan pergi mencari apa yang dunia ini tawarkan.” Lara terdiam sejenak sambil mengepalkan kedua tangannya di depan dadanya. “ D-d-dan aku janji akan kembali kesini menceritakanmu semua yang kualami di luar sana !.” ucap Lara dengan suara yang energik. Aku mengangguk dan tersenyum kearahnya lalu kami berdua menikmati pemandangan yang ada di depan kami. Kami pulang sangat larut pada hari itu, kami sampai di pertigaan 4
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
jalan yang memisahkan pertemuan kami pada hari itu, aku dan Lara menunjukkan senyuman di wajah kami sambil melambaikan tangan satu sama lain. ‘sampai jumpa nanti’ saat kami saling mengucapkan kalimat itu, kami masing-masing berjalan kearah yang di bawah terangnya bulan dan kelap-kelipnya bintang di langit malam itu. Setelah hari itu, kami sibuk dengan menghadapi apa yang ada di depan kami. Setahun setelah hari itu, aku mencoba menghubungi Lara, mencari akun sosial medianya, tetapi aku tidak berhasil mendapatkan informasi tentang dia. Aku mencoba menanyakan Lara kepada keluarganya tetapi mereka pindah keluar kota tanpa sepengetahuanku. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melupakan tentang kebera daan Lara dan memulai bab baru dalam hidupku. Hidup itu seperti buku yang terdiri dari beberapa bab yang di mana setiap bab itu berisi lembaran-lembaran yang memiliki ceritanya sendiri, dan dari antara beberapa bab dalam buku itu, pasti memiliki kesan tersendiri bagi yang membacanya. Sepertinya itu contoh yang tepat untuk mendeskripsikan kenanganku bersama Lara. Ketikaku melihat foto itu dan kotak itu, aku tersenyum sedikit dan tanpa sadar meneteskan sedikit air mata, aku melihat keluar jendelaku sambil memegang foto itu dan di luar sana matahari sudah mulai terbenam. Aku mengelap air mataku yang membasahi pipiku, lalu aku meletakan foto itu kembali diatas album foto yang berada didalam kotak itu. Aku berjalan menuju halaman belakang rumahku sambil membawa kotak itu dan sekaleng banana smoothies, masih mengenakan seragam sekolah yang kutemukan tadi, aku rebahan diatas rumput halamanku yang hijau dibawah bulan sabit dan bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Aku tersenyum kecil dan berbicara sendiri sambil melihat kearah bulan sabit itu. “Lara, apakah kau bisa melihat bulan sabit dan bintang-binAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
5
tang langit malam ini, ?” Aku menghela napas dengan panjang. Saat kulihat bulan malam ini aku teringat ketika kita mengucapkan kalimat selamat tinggal sebelum berpisah di pertigaan jalan, lalu saat kau berjalan kearah yang berlawanan dan kulihat dirimu perlahan hilang seiring kau berjalan jauh. Aku tidak menyangka malam itu akan menjadi malam terakhirku bersamamu sebelum kau pergi tanpa meninggalkan jejak, selama beberapa waktu aku berusaha untuk melupakan hal-hal tentang dirimu dan melanjutkan hidupku. Tetapi tetap saja waktu-waktu yang kita habiskan bersama-sama itu bagaikan suatu bab pada buku yang memiliki kesannya sendiri, bukan karena jumlah halamannya tetapi karena kesan yang kau dapat saat membacanya. Sama saat seperti kita saling bertemu saat SMA, aku dipertemukan dengan sesorang yang berbeda jauh dengan diriku sehingga saat kau memperkenalkan hal baru kepadaku yang membuat rasa penasaranku terasa seperti membuka bab baru yang membuatku tak sabar untuk membalikan halaman demi halamannya. Aku-pun duduk diatas rumput itu dan membuka sekaleng banana smoothiesku lalu mengangkatnya keatas seolah-olah sedang bersulang. “Cheers! untukmu Lara… dimana-pun kau berada sekarang,” sekilas aku bisa mencium aroma banana smoothiesku sesaatku membuka kaleng minuman itu, lalu aku meneguk sedikit minuman itu lalu aku menaruh kaleng itu di sampingku. Aku-pun meraih kotak itu yang kuletakan di depanku lalu aku memeluknya dengan erat sambil melihat bintang-bintang yang menghiasi langit malam ini sambil menghela nafas pendek. hei ... Jika kau ingin mencoba kembali ke sini, aku hanya ingin kau ingat bahwa matahari akan memandumu pada saat ia terbit sampai mulai terbenam hingga berubah menjadi jutaan bintang yang akan menerangi jalanmu di malam hari. Aku meneguk minuman itu sampai habis lalu aku berdiri dan membersihkan sisa-sisa rumput yang menempel pada rokku, lalu aku perla han berjalan kembali sambil membawa kotak itu menuju dalam rumahku. Aku meraih gagang pintuku dan melihat pemandangan itu sekali lagi sambil tersenyum kecil. 6
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Semoga kita dapat bertemu lagi di tempat yang sama saat kita mengu capkan kata perpisahan kita.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
7
Aku dan Kebebasan Oleh: M. Abdul Khalim Hidup itu tergantung pada kemudi yang kau pegang. Bisa belok, bisa lurus, maju atau mundur, berhenti atau terus berlanjut. Itu tergantung kemudi yang kau kendalikan dan jalan hidup ini banyak sekali cabang nya. Entah berapa jumlahnya, sungguh tak terkira. Namun, ini bukanlah tentang kemudi hidupku, ini adalah dimana aku memilih jalan hidupku. Waktu itu usiaku 15 tahun. Jauh sebelum mengenal istilah kemudi hidup seperti di atas. Tak sekolah, tak berpendidikan. Terdampar di hutan Sumatra yang penuh akan kejutan tak terduga. Terpasung bersama para pemburu liar yang pandai melenyapkan diri dari aparat ke amanan. Dan aku menjadi lebah prajurit termuda di dalamnya. Di si tulah aku diajari hidup berkemah, berburu bersama pemburu lainnya, menembak, merayap, memanggul senjata berat, bertahan di alam liar, manahan lapar, dan lain sebagainya yang penuh akan perjuangan hidup. “Din, Paidin! Dicariin bos tuh di tendanya!” teriak Yanto di luar tendaku. “Iya sebentar,” Jawabku menghampirinya. “Ada apa?” “Ada misi baru untukmu.” “Ha? Lagi?” “Iya, dan katanya juga pengen ngomong empat mata sama kamu.” “Yaudah ... makasih infonya.” “Sama-sama.” Aku berjalan malas dengan menyeret kaki menuju ruang kerjanya Pak Kamto. Dialah bos di sini. Segala perintahnya adalah kewajiban kami menurutinya. Ia bapak berkumis, pendek, gempal, perokok, dan 8
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mudah marah bila ada yang menentang kemauannya. Bapak itu juga te lah menyelamatkanku lima tahun lalu. Waktu itu aku tersesat di hutan rimba ini karena tidak sengaja mengejar dan menangkap seekor burung kecil yang mencuri roti keringku. Dan rupanya, burung itu adalah keberuntunganku. Begitu berhasil menangkapnya, bapak itu memungutku sebagai lebah prajuritnya. “Ada perlu apa, Pak?” tanyaku setelah masuk di tendanya. “Wah, sudah datang rupanya. Ayo, duduk!” Bapak paruh baya itu mempersilakanku duduk di depan meja kerja nya. Di situ, terdapat satu gelas besar berisi kopi hitam kelam hangat kesukaannya, satu piring sedang berisi buah-buahan kecil, sekotak rokok merah gudang garam, satu mangkok sedang berisi bubur putih dengan sendok yang menancap miring di pinggirnya, dan beberapa kertas yang bertumpuk agak berantakan ditemani si pulpen hijau kebanggaannya tepat di depannya begitu ia duduk dihadapanku. “Untuk yang pertama, selamat atas kerja kerasmu akhir-akhir ini. Kamu memang prajurit lebah pilihan bapak yang terbaik, tak mengecewakan. Yang kedua, sekitar satu jam lalu. Saya mendengar rintihan hewan liar besar di dalam hutan ini. Mungkin itu Badak Sumatra. Rintihannya sangat keras sekali. Dan—” “Dan bapak memintaku membawanya kemari?” tanyaku menyela nya. “Betul.” “Bukankah Bapak bisa bawa sendiri hewan itu?” Pak Kamto tertawa pelan. Kemudian angkat suara kembali. “Kan ... sudah saya katakan sebelumya. Kamu prajurit lebah pilihan Bapak. Dan Bapak percaya bahwa kamu dapat melakukannya untukku.” “Tapi? Aku masih kecil.” “Kata siapa kamu kecil? Keberanian dan ketangkasanmu melebihi Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
9
lima orang dewasa dan kamu berbakat dalam hal ini.” “Tapi, kemarin aku sudah berburu cukup banyak.” “Berburu apa? Burung Poksai Jambul? Kita sudah punya banyak itu. Dan kamu belum puas dengannya?” tanya Pak Kamto melototiku. Aku kehabisan akal untuk angkat suara kembali. “Kau sudah tahu, Paidin. Sangat tahu. Tapi, kenapa kau mencoba lari dariku?” “A— aku ... aku ...” kataku pelan sambil menunduk. “Cukup, Paidin. Cukup. Sekarang patuhi aturannya, oke?” “Akan kuusahakan.” “Bagus ... sekarang keluar dan cari buruan itu!” “Baik.” Aku keluar dari tendanya dengan wajah menunduk penuh kekesalan. Aku butuh istirahat! Kemarin saja aku kembali di persembunyian ini tepat tengah malam dengan membawa dua ekor Burung Poksai Jambul di kedua tanganku. Itu sedikit sekali. Dan, waktu tidurku belum cu kup untuk mengisi stamina dan skill perburuanku. Biasanya, begitu aku berburu burung itu. Pasti empat sampai enam burung dapat kuperoleh. “Hari yang sial.” Gerutuku pelan. “Gimana? Udah dapet misi dari bos?” Suara tak asing terdengar tiba-tiba tertuju padaku. “Oh, Yanto. Udah nih.” “Kasihan kamu ... kemarin sudah lelah payah kini kau harus pergi lagi.” “Mau gimana lagi? Perintahnya adalah kewajiban kita menjalankannya, kan.” “Iya, kau benar ... ngomong-ngomong adakah yang perlu aku bantu? 10
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Melihat kamu begini, aku gak tahan cuma diam aja.” “Ambilkan aku senapan angin serta peluru biusnya, juga jaring pe nangkap besar! Ku tunggu di tendaku.” “Butuh peredam?” “Iya.” *** Semak belukar agak menghambat perjalananku. Banyak tumbuhan sana-sini yang tingginya kurang lebih setengah dari badanku. Aku memanggul senapan angin beserta peredam yang menancap di ujungnya di punggungku, juga membawa jaring penangkap dari Yanto lima belas menit lalu. Untung saja kemarin tidak hujan. Jika hujan, pasti jalan yang ku pijak ini becek berlumpur, meskipun sekarang aku memakai sepatu boot. Dan hal itu akan menambah kesulitanku apabila dikejar binatang buas yang siap menerkamku. Mungkin aku akan mati disini. Tidak! Itu takkan terjadi. Prajurit lebah takkan mudah mengibarkan bendera merah putih begitu saja, jika masih ada celah yang mungkin bisa dilewati. Kata-kata Pak Kamto itu terngiang-ngiang di benakku ketika dulu aku dilatih olehnya. “Ingatlah bahwa hidup adalah perjuangan, permainan, tipuan, rayuan. Dan kamu harus tahu apa yang ada di depanmu itu.” begitulah lisannya ditujukan padaku. Aku semakin jauh ke dalam hutan dari kemah persembunyian kami. Dan tempat ini sangat berbahaya bagi seseorang yang belum pernah terbiasa hidup di alam liar. Terutama hewan buas besar yang tak kenal ampun untuk mangsanya bila ia sangat kelaparan. Siapa itu atau apapun itu pasti dilahap olehnya. Dan jujur aku masih takut bila harus berhadapan dengannya. Untunglah aku belum pernah berhadapan dengan me reka. Jadi, aku bisa bernapas tenang sedikit. Tapi, kalau aku ditakdirkan harus bertemu dengannya di tempat ini. Entah apa yang harus kulakukan nantinya. Suara lenguh rintihan terdengar tepat tidak terlalu jauh di depan Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
11
sana. Suara hewan besar. Badak Sumatra. Bagus! Waktunya beraksi. Aku mengambil senapan di balik badanku. Memoncongkannya kedepan dengan badan membungkuk perlahan. Aku berjalan pelan layaknya tentara profesional yang akan membunuh seorang teroris tingkat internasional. Jarakku semakin dekat dengannya. Aku harus berhati-hati jika ingin targetku tidak lari ketakutan begitu melihatku ingin menembaki nya dengan peluru bius kearahnya. “Wah ... Itu dia!” girangku pelan. Akhirnya aku jatuh merayap mendekatinya dan bersembunyi di balik tumbuhan ilalang yang menyembunyikan wujudku. Sekarang aku tak terlihat seolah-olah tidak ada. Kuperhatikan binatang liar itu dengan kedua mata hitamku ini dengan seksama. Ukurannya besar. Mungkin beratnya berkisar 700 sampai 800 kilogram. Warnanya hitam kecokelatan dengan tanduk kecil satu diatas hidungnya. Ia menggeliat kesakitan diatas hutan rimba ini. Hewan itu tetap memaksakan dirinya untuk berdiri. Namun tak bisa. Ini kesempatanku untuk segera menembakinya sebelum ada hewan buas yang mampir untuk menjadikanku sebagai makanannya. Jari telunjukku sudah melingkari pelatuk senapan angin dan mulai gatal untuk meluncurkan peluru di dalamnya. “Lima, empat, tiga, dua, sa— ” “Waaah ... lihat itu!” Aku terperanjat begitu mendengar suara barusan. Ku tengok kearah samping kanan dan kiriku. Dan rupanya itu berasal dari tepat tak jauh di belakangku. Seorang anak kecil laki-laki! Umurnya mungkin sekitar tujuh tahun. Wajahnya lucu karena pipinya yang tembem, giginya mulai lengkap berwarna putih bersih, kulitnya cokelat keputihan de ngan memakai baju kemeja merah biru dan celana jeans biru tua, serta bersepatu. Kelihatannya anak kota. Kenapa dia bisa kesini? Jangan-ja ngan dia membuntutiku sepanjang perjalanan tadi. Mungkin anak ini tersesat, tak menemukan jalan Kembali keluar. Tapi, yang dia lihat badak itu. Bukan aku. Dengan wajah kekagumannya dia terus melongo bi12
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
natang malang itu tanpa merasa kalau aku sedang melototinya. “Hei anak kecil! Ngapain kamu disini. Ini berbahaya, tahu!” “Lihat ... badaknya mau melahirkan tuh, Kak.” “Pergi sana! Ini bukan kebun binatang!” “Ah, Kakak ... Tidak asyik, tahu.” Katanya cemberut. “Ini serius. Lebih baik kau pergi sebelum bahaya bertamu denganmu.” Aku berjalan pelan ke arahnya dan meninggalkan senapan dan jaring besar tepat di belakangku. Mungkin dia tak melihatku waktu aku mau menembaki hewan itu. Kuharap tidak. Jika iya, mungkin dia akan lari memanggil orang tuanya atau penjaga hutan untuk menangkapku dan mengurungku di sel tahanan yang sangat membosankan itu. Tapi dia diam ditempatnya. kelihatannya anak itu terlalu fokus terhadap binatang itu, sehingga aku tak terlihat olehnya. “Ayo pergi dari sini! Orang tuamu mungkin sedang mencarimu sekarang.” Kataku sambil mencengkeram tangan mugilnya. “Tapi, Kak. Hewan itu bantuan kita.” “Sudahlah kau ikut denganku sekarang. Sebelum sesuatu yang tidak-tidak menimpamu nantinya.” “Kakak, suara apa itu barusan?” Aku diam ditempat aku berdiri bersama bocah itu. Memfokuskan indra pendengar ke sekelilingku. Suara itu seperti suara geruan harimau. Oh tidak! Aku dalam bahaya sekarang. Aku berbalik badan dan melihat langsung hewan buas itu. Harimau Sumatra. Tepat di depanku! Badannya besar berwarna orange kekuningan dengan loreng- loreng hitam di sekujur tubuhnya. Mungkin beratnya mendekati dua ratus kilogram. Hewan itu menatap ganas dan penuh kemurkaan ke arahku dan anak kecil ini. Sepertinya hewan itu terganggu adanya kami di hutan ini. Hewan itu menggeram perlahan dengan sedikit membungkukkan badan Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
13
nya ke depan cakar-cakarnya yang kuat mencuat keluar dari dalam kaki depannya. Dan hewan itu mendekat perlahan ke arah kami. “Kakak, aku takut ...” katanya lirih. “Tenanglah! Tetap dibelakangku. Nanti kalau kuberi aba-aba. Kita lari sama-sama. Kau mengerti?” Ia mengangguk paham dalam ketakutan, begitu juga aku. Jantungku berdegup kencang sekali, sampai-sampai terdengar oleh telingaku ini. sampai setengah badanku mati rasa. Baru kali ini aku takut setengah mati. Walaupun cara ini berhasil atau tidak. Tapi setidaknya ku coba dulu. Aku tak mau mati disini sebagai sebagai santapan si kucing besar. Paling tidak aku mati setelah berjuang keras mencoba menghindari ajal yang mungkin menjemputku pulang hari ini. Yah! Mati sebagai pejuang pelarian tidak terlalu buruk untukku. Dan juga bocah ini, entahlah ia berpikir sama denganku atau tidak. Aku melangkah mundur perlahan menjauhi hewan itu. “Pada hitungan tiga, dua, sa ... tu. SEKARANG!” Akhirnya aku lari terbirit-birit sambil menarik lengan kanan bocah cilik itu agar tak sampai ketinggalan dan jatuh dimakan kucing itu. Pa ling tidak aku masih punya jiwa kemanusiaan. Kutinggalkan senapan dan jaring besarku disana. Kini, pelarian pemburu yang ketakutan dan bocah yang tidak tahu apa-apa dimulai. Suasana semakin menegang ketika aku dan bocah ini lari entah ke arah mana dan jarak antara kucing besar itu semakin dekat dengan kami. Ah, pokoknya harus selamat! Aku tak peduli lagi tentang perburuan yang akan aku lakukan tadinya. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana nyawaku tetap ada di jasad fana ini. Tak peduli apalah resiko yang akan ku tanggung nantinya. “Kak, aku kelelahan.” “Naiklah ke punggungku!” Kami melompat, menerjang, menikung, dan melakukan aksi-aksi lainnya yang sudah aku pelajari sebelumnya waktu latihan di persembunyian sambil menggendong bocah laki-laki ini. Beruntunglah aku, 14
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
karena bocah ini tidak terlalu memberatkanku untuk mengurangi kecepatan berlariku. Ini bukan latihan, Din! Ini sungguhan. Nyawalah tanggungannya bila gagal dalam pelarian ini. Takkan kulupakan peristiwa ini bila aku selamat nantinya. Untunglah kecepatan berlariku tidak kalah gesitnya dari kucing itu. Tapi aku tak bisa bertahan lebih lama jika harus terus berlari seperti ini. Kelelahan mulai terasa di sekujur tubuhku. Napasku mulai menggila dan keringat mulai membanjiri peluh dan seluruh tubuhku, bajuku basah karenanya. “Kakak, lihat itu!” “HAAA!” aku berhenti mendadak dan memandang terkejut di depanku. Aku tak percaya apa yang kulihat sekarang. Seekor babi hutan jantan raksasa! Tepat di depanku. Bobotnya sepertinya tidak lebih dari sete ngah kuintal, warnanya cokelat gelap, taring dari mulutnya menjulang panjang dan tajam, matanya yang besar menatap buas penuh amarah ke arah kami. Sekarang aku diam tak berdaya. Mungkin babi itu bekerja sama dengan harimau sialan itu. Aku menelan ludah kuat-kuat. Tak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku memandang kanan-kiri memperhatikan dua hewan buas itu mendekat ke arah kami. “Kak, aku takut ....” “Aku juga.” “Apa kita akan mati disini?” “Aku tak tahu. Sekarang pejamkan matamu!” “Ha?” “Cepat lakukan!” Setelah ia memejamkan mata. Kini aku yang harus mengambil keputusan. Sekarang apa lagi yang harus dilakukan? Aku tak tahu. Mungkin inilah ujung hidupku. Di sinilah terakhir kalinya aku akan menghembuskan napas terakhirku bersama bocah ini dari terkaman sang hariAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
15
mau dan keamukan taring sang babi hutan itu. Dan meninggalkan Pak Kamto, Yanto, dan para pemburu lainnya yang sudah ku anggap sebagai keluargaku sendiri. Oh tuhan! Ampunilah nyawaku ini. Aku ikut memejamkan mata dan menundukkan wajahku ke bawah tanda bahwa aku telah pasrah. Kakiku terus gemetaran dan rasanya lemas sekali bagai tak bertulang. Sekarang aku tak bisa bertaktik kembali. Aku siap mati di sini. Bersama bocah cilik ini entah siapa namanya. Dan... hal yang mengejutkan menyambut kami lagi. Suara ambrukan terdengar di balik badanku. Bunyinya keras sekali hingga membuat salah satunya ambruk terjatuh terkulai di lantai yang penuh duri hutan sumatra ini. Dan suara raungan kesakitan terdengar sangat memilukan muncul tiba-tiba. Aku membuka mata lagi. “Ha? Tak bisa dipercaya ... mereka bertarung!” Benar saja. Dua hewan buas itu bertarung. Sang babi hutanlah yang memulai duluan perkelahian itu. Hewan itu menyerudukkan taring panjangnya kearah samping badan sang harimau dan membuatnya terlompat jauh hingga jatuh di tanah. Sang harimau mengaum kesakitan dan berusaha bangkit kembali lagi sebelum diseruduk kuat untuk kedua kalinya dari sang babi hutan. Sedangkan aku berdiri diam tak percaya apa yang sedang kulihat sekarang. Bagus! Ini kesempatan emas untukku lari menjauh dari mereka. Tak boleh ku sia-siakan celah yang satu ini. Waktunya kabur sekarang! Bocah cilik itu masih memejamkan matanya di gendonganku dan ia berkomat-kamit entah apa yang ia rapalkan agar bisa selamat dari bencana ini. “Hei bocah cilik, lihat ini!” “Ha? Wah ... Mereka bertarung!” “Kupikir mereka mau menghajar kita habis-habisan. Rupanya mereka saling memusuhi.” “Benar, Kak! Sekarang apa yang akan kita lakukan?” “Kita kabur dari sini, sebelum mereka mau menyerang kita kembali.” 16
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Setuju!” Akhirnya aku dan bocah cilik itu pergi meninggalkan pertarungan sengit dari sang babi hutan dan sang harimau yang tengah mereka hadapi itu. Hampir saja aku kehilangan jasad ini dan pergi entah kemana selanjutnya. Keberuntungan masih menyapaku hari ini! Setelah jauh dari jangkauan mereka, aku berjalan waspada kalau saja salah satu dari mereka ada yang mengejar kami lagi. Aku menuruni bocah itu dari punggungku dan menggenggam tangan mungilnya agar tak jauh dari jangkauanku. Badanku terasa lemas dan napasku mulai bisa kukendalikan kembali setelah kejadian tadi. Kakiku gemetaran karena kesemutan yang menjalarinya. Tapi kupaksakan agar tetap berjalan. Aku tak bisa diam disini lebih lama lagi. “Wah, Kakak. Tadi itu hebat sekali!” “Hebat apanya?” “Kakak berlari sangat lincah sakali hingga harimau tadi kewalahan mengejar kita.” “Ah, masa?” “Iya ... dan tadi Kakak juga ditolong tuh sama si babi hutan. Kakak harus berterima kasih padanya nanti.” “Ah, kamu bisa aja.” “Aku serius Kakak!” “Iya, iya ... Kakak percaya.” “Ngomong-ngomong. Kakak ini namanya siapa?” “Kak Paidin. Kalau kamu?” “Panggil saja Budi,” Katanya tersenyum. “Rumah Kakak dimana?” “Tak punya.” “Orang tua Kakak dimana?” “Mereka tiada sewaktu aku masih kecil.” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
17
“Kasihan sekali.” “Tidak apa-apa. Memang itulah hidupku.” “Kak, aku punya ide. Bagaimana kalau Kakak ikut Budi?” “Maksud kamu?” “Ya... Kakak ikut aku pulang ke rumah. Disana nanti Kakak punya teman, ayah, ibu, saudara, dan tentunya keluarga baru untuk Kakak. Daripada jadi pemburu penakut.” “Sudah kuduga kamu tahu. Tapi ... apakah aku bisa menerimanya?” “Tentu saja Kakak. Pasti kami sangat senang menerimanya. Dan Kakak ini lulusan kelas berapa?” “Aku belum sekolah.” “Wah bagus itu! Sekolahku juga sedang mencari anak baru sekarang.” “Tapi aku bukan anak kecil sepertimu!” “Tenang Kakak ... aku temani kok. Ayahku seorang kepala sekolah, mungkin ia tahu apa yang harus Kakak lakukan nantinya.” “Benar nih?” Ia mengangguk senang. Yah! Meninggalkan pekerjaanku sebagai pemburu sudah cukup untuk hari ini. Aku sudah lelah. Lelah sekali. Aku tak mau lagi dipermainkan untuk melakukan hal-hal yang terlalu berbahaya untuk dilakukan seorang bocah remaja yang terlalu takut untuk melakukan itu. Aku ingin bebas! Bebas dari perburuan liar yang mengancam nyawaku. Mungkin aku bukan lebah prajurit, melainkan seekor anjing pelacak yang memburu untuk tuannya dan diberi tulang atas hadiah keberhasilannya. Sekarang dan seterusnya aku keluar dari pekerjaan kotor ini! Aku mau lepas darinya dan memulai kehidupan normalku sebagai anak remaja yang hidup di kehidupan manusia pada umumnya, bukan di hutan yang kapan saja bisa merenggut nyawamu 18
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
tanpa kau sadari. Aku berjalan keluar dari hutan dan dari kejauhan terlihat ada beberapa orang di sana. Budi berlari menuju salah satu dari mereka. Dan ia menunjukku ke arah mereka. Seorang bapak muda tersenyum melihatku dan menghampiriku. Di silah aku memulai kehidupan baru dengan mereka sebagai anak angkat mereka. *** 10 tahun kemudian. Aku berjalan mantap menuju mobil besar sport Pajero hitam terparkir di pinggir jalan milik Budi, bocah yang kuselamatkan beberapa tahun lalu. Aku mengenakan baju kemeja putih dengan melapisinya jas hitam serta kacamata hitam di mataku untuk menambah tampilanku. Kini, aku telah berubah. Bukan pemburu penakut seperti yang dulu. Sekarang aku adalah seorang pemilik usaha terbesar yang ada di Pulau Sumatra. Aku terlalu beruntung! Tak seperti anak lainnya. Aku cepat sekali menyerap pengetahuan apa yang mereka punya. Sekarang, aku memiliki gelar nama Doctor di depan namaku setelah sembilan tahun lamanya. Aku sangat bangga karenanya. Dan sekarang, waktunya menyelesaikan masalahku selanjutnya. “Ke mana kita selanjutnya?” “Ke kantor pengadilan pusat kota. Aku mau menemui Pak Kamto dan para pemburu lainnya.” -SELESAI-
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
19
Amirah Oleh: Aditya Prawira Butuh waktu empat hari bagi rasa rindu untuk membujuk Amirah agar menyelinap keluar dari jendela rumah kakek dan neneknya. Keduanya, bagaimanapun tidak akan mengizinkan Amirah pulang. Setidaknya tidak dalam waktu dekat. Menurut kakek, kediamaan orang tua Amirah saat ini tidaklah aman untuk cucunya. Akan ada banyak sekali debu serta material tajam nan berbahaya yang diyakini kakek bertebaran di sana laksana anak-anak TK yang berhamburan di jam istirahat sekolah. Sedang ada perombakan besar-besaran di rumah Amirah. Kakek tidak ingin Amirah terluka. Namun, Amirah keras kepala persis seperti ibunya. Naik angkutan umum sendirian bukanlah masalah bagi gadis sembilan tahun itu. Amirah sudah sering bepergian dengan angkutan umum, baik ke pasar dengan Ibu, ataupun sendirian dari sekolah ke rumah. Nyatanya, Amirah dan ibunya hampir setiap bulan mengunjungi kakek-nenek. Amirah sudah hafal sekali warna sekaligus angka kendaraan-kendaraannya dan jelas tahu di mana harus menunggu meski perlu menaiki dua jenis kendaraan sekali perjalanan. Pagi itu, Amirah mengenakan kerudung navy yang diambilnya dari kamar Bi Sumiati. Ia ingat, kata Ibu, perempuan harus menjaga kepala mereka seperti mereka menjaga diri. Rambut perempuan hanyalah hak bagi yang telah direstui, bukan orang-orang asing. Di bawah kerudung, kaos putih berlengan pendek bergambar pasangan calon walikota tahun itu kebesaran di badan Amirah yang kecil. Disertai celana hitam panjang sampai mata kaki, Amirah tiba di kediaman orangtuanya. Kediaman orang tua Amirah tidak seperti yang ada di pikiran Kakek. Tempat itu sama sekali tidak berantakan, hampir kosong malahan. Tidak ada debu-debu berterbangan, ataupun material bangunan yang malang 20
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
melintang–pecahan batu bata, kayu, genting, paku dan lainnya ditumpuk di ujung petak rumah di samping dinding kamar Amirah yang hitam berjelaga. Paman Amirah telah membersihkan sisa kebakaran kemarin. Ada terpaan aneh di wajah Amirah saat ia melangkah masuk ke dalam petak tanah di mana kediaman orang tuanya dulu kokoh berdiri. Yang menimbulkan sensasi tidak biasa di dalam mata dan tenggorokannya. Mulut Amirah bergerak-gerak. Bergetar. Amirah bahkan terpaksa menelan ludah untuk menahan dorongan yang tiba-tiba timbul dari dalam dirinya. Amirah ingin menangis. Dari semua perkataan kakek, sebenarnya inilah yang paling ditakutkan pria paruh baya itu jika Amirah pulang ke rumahnya. Kenangan di mana Amirah berpijak sekarang. Ibarat nyala api yang mengembuskan kepulan asap ke wajah dan membuat matanya memerah dan berair. Dan, Kakek benar. Hampir semua petuah dari orang-orang terdahulu tidak pernah salah. Amirah terluka. Usaha Amirah mengalihkan pikirannya dengan menelan ludah tidak membuahkan hasil. Lambat laun senyum gadis kecil itu mulai terbawa angin. Bibirnya merengut. Pandangannya kabur karena gelombang air yang mulai naik. Di kejauhan, di tengah kenangan yang membisikkan kesedihan, Amirah samar-samar mendengar suara masa lalu memanggil namanya. Suara Ibu. Amirah.. Amirah menghapus air mata yang berhasil meloloskan diri ke pipi nya. Matanya sontak berkedip beberapa kali menahan apa yang terjadi. Amirah mengalihkan pandangan. Tanpa sengaja menemukan seekor bajing yang sedari tadi memperhatikan dari balik lubang di petak tanah yang gosong. Amirah buru-buru menghapus air matanya kembali dan berusaha terlihat setenang mungkin. Ia merasa malu ada yang mendapatinya menangis, meskipun itu hanya seekor bajing.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
21
“Pus…” Amirah memanggil bajing itu seolah ia akan mengerti maksud manusia. “Sini, main dengan Amirah, Pus.” Amirah merendahkan tubuhnya, berlutut di tanah. Siap menyambut apapun yang ingin me nemani hatinya yang sepi. “Pus…” Bajing itu menelengkan kepala memperhatikan Amirah dari atas lubang. Hidungnya mengendus-endus udara. “Sini, Pus. Sini..” Amirah berjalan jongkok satu kali ke depan, dan mendapati bajing kedua dengan jambul putih di kepalanya muncul dari dalam lubang. Amirah tertegun. Wajahnya memerah. Bajing pertama merangkak keluar dari lubang. Lalu, berhenti dengan bertumpu pada kaki belakangnya, mengendus-endus. Ia merangkak lagi, semakin mendekati gadis kecil. Mengendus-endus kembali, merangkak, mengendus-endus. Bajing berjambul putih mengikuti bajing pertama dengan hati-hati. “Sini,” Ujar Amirah, merentangkan tangannya ke depan. Dengan lebih cepat dan percaya diri, bajing pertama melenggang ke arah Amirah sebelum akhirnya melompat. Gerakan tiba-tiba itu membuat Amirah terkejut. Amirah terjungkal ke belakang. Amirah mengerang. Saat membuka mata, Amirah menemukan bajing pertama merangkak di atas tubuhnya yang terbaring ke tanah. Bajing pertama menciumi wajah Amirah. Geli, pikir Amirah. Kemudian Amirah tertawa. Lepas sekali. Bahkan hingga tidak menyadari bajing berjambul putih telah ikut merangkak naik dari kakinya. Kini, ada dua pasang binar mata menatapi Amirah. Amirah tersenyum lebar. Sebuah bayangan tertangkap di sudut mata saat Amirah menggaruki kepala bajing- bajing bergantian. Amirah terduduk, terkejut mengenali apa yang ia temukan.
22
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Ibuk?” Benar, Amirah sekarang tengah berada di kediaman orang tuanya dan seharusnya pertemuan ini adalah sesuatu yang lumrah. Namun, setelah apa yang terjadi, pertemuan ini berarti sebuah kejanggalan. Adalah kerinduan, yang tidak pernah Amirah rasakan sebelumnya. Amirah tidak pernah lepas dari ibunya. Tidak satu malam pun. Ibu selalu ada membawakan cerita dongeng sebelum tidur untuknya. Do ngeng tentang hewan menggemaskan dengan segala tingkah yang bisa diambil petuahnya. Tentang bajing-bajing. Tidak pernah ada istirahat malam tanpa kecupan di dahi dari Ibu. Tidak ada aktivitas tanpa sarapan roti isi gula yang dibakar olehnya. Amirah rela melakukan apapun, bahkan menyingkirkan kenyataan yang selama empat hari ini menjejali pikirannya demi memeluk Ibu erat-erat walau sejenak. “Jangan tinggalin Amirah lagi, ya, Buk.” Ibu yang kala itu sedang mengangkat roti bakar isi gula kesukaan Amirah dari pemanggang, terheran, lantas memandangi Bapak yang mengintip dari balik koran serta Dafid yang telah berhenti menggambari sehelai kertas HVS di kursi lain untuk meminta tolong memberikan penjelasan. “Amirah ini ngomong apa? Enggak mungkinlah Ibuk ninggalin Amirah. Ibuk, kan, sayang sekali sama Amirah. Kami semua sayang Amirah.” Bapak berkata sembari menutup korannya. Air mata Amirah menetes deras mendengarnya. Ia buru-buru memeluk kakak laki-lakinya dan Bapak bergantian. Di pelukan Bapak, tubuh Amirah terguncang. Ia menangis sesenggukan. Seharusnya ia melakukan ini sejak lama. Memeluk lama-lama keluarganya. “Kenapa, sih, Tuhan enggak adil? Kalau mau ambil, ya, ambil aja sekalian sama Amirah. Amirah, kan, juga satu paket sama keluarga ini. Sama kayak Mas Dafid. Kalau begini, Amirah jadi enggak punya siapa-siapa.” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
23
Ibu memperhatikan Amirah dengan senyuman. Anak perempuan semata wayangnya. Sedang menghadapi hari-hari berat. Bersama Dafid, Ibu menghampiri Amirah dan memberikannya satu pelukan yang ter amat hangat. “Amirah jangan sedih. Jangan merasa sendiri. Kan, ada Kakek sama Nenek. Kami enggak ke mana-mana, kok. Ibuk, Bapak, dan Mas Dafid selalu ada dekat Amirah, selalu jaga Amirah. Jangan mengutuk Tuhan atas apa yang terjadi, ya. Ini yang terbaik. Percayalah. Mungkin saat ini kejadiannya membuat Amirah merasa kesal atau marah. Tapi nanti Amirah pasti ngerti. Semua ada alasan baiknya.” Amirah memejamkan matanya lebih rapat. Rasanya ia ingin menghilang bersama perkataan Ibu. Bersama keluarganya yang telah berdamai dengan kehidupan dunia. Bersama dengan air matanya yang jatuh dan masuk ke Bumi. Tapi ia tahu itu tidak bisa. Ia tidak boleh. Dan semua ada alasan baiknya. Suara Kakek terdengar memanggil dari belakang, menyodorkan kenyataan. Namun, Amirah masih enggan membuka mata dan merasa kehilangan. Ia belum siap. Pertemuan ini mungkin akan menjadi pertemuan terakhir dengan ketiganya untuk beberapa lama. Amirah mengeratkan pelukannya. “Semua akan baik-baik saja, Sayang.” Ibu berbisik. “Amirah, Amirah tidak apa-apa, Nak?” Cinta Kakek-Nenek kepada Amirah tak kalah jauh dibanding cinta Ibu, Bapak, dan Dafid kepadanya. Meski tak pernah mengutarakan langsung persis demikian, dan terbatas jarak dan waktu, tetapi dengan langsung melompat begitu tahu Amirah tidak ada di kamarnya pagi tadi dan mata keduanya yang sekarang ikut turut merasakan kepedihan, tidak perlu ada keterangan tambahan lagi. Tidak semua cinta perlu penjabaran. Sambil sesenggukan, Amirah berbalik menyambut kenyataan dan menyandarkan wajahnya pada Kakek.
24
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Amirah tidak apa-apa?” Air mata Kakek akhirnya turun. Amirah mengangguk, sesenggukan. “Amirah mau pulang?” Amirah kembali mengangguk. Nenek yang sedari tadi menunggu agak jauh di belakang, turut menangis. Dengan tangan Kakek dan Nenek menuntun bahunya, Amirah perlahan meninggalkan tanah kediaman orang tuanya menuju mobil yang dikendarai Paman. Amirah menyempatkan diri berbalik sekali. Dilihatnya Ibu, Ayah, dan Dafid berdiri saling merangkul dan tersenyum lebar kearahnya. “Nanti aku gambarin bajing kesukaan Amirah lagi, ya! Yang ada jambul putihnya! Biar Amirah enggak sedih lagi!” Mata Amirah belum kering, tetapi ia mengangguk pada perkataan Dafid yang hanya bisa didengar oleh kerinduannya. Pagi itu, meski masih kaku, Amirah tersenyum untuk kedua kali setelah empat hari.
---
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
25
Angin Itu, Akan Tetap Sama Oleh: Muhaimin Rizal Secercah cahaya memaksa masuk ke dalam netraku. Setelah ‘ku tahu sebelumnya dia menyelinap lewat jendela di salah satu sisi ruang sana –di sebelah kiriku lebih tepatnya. Aku mencoba mengerjap-ngerjapkan sepasang netraku, namun terasa sulit sekali rasanya, seakan aku sudah tidak membuka mataku berpuluh-puluh tahun lamanya. Tubuhku memaksa bangkit dari duduknya. Tentunya dalam pantauan sekepal daging dalam kepalaku nan nampaknya sudah berkarat ini. Aku lupa kapan terakhir kali ‘ku gunakan. “Bagaimana kau bisa lupa? tentunya kau menggunakanku sebelum kau beranjak merebah di kasur ini.” otakku seakan tak terima, menyangkalku begitu tegas. Ya, itu kemarin. Setelah genap seratus dua puluh hari Candrawati tak lagi mendaratkan secarik surat di kotak posku. Tak ada berita, apalagi cerita. Di malam itu rinduku sudah berkembang begitu besar dan melambung begitu tinggi, hingga setara dengan keberadaan bintang yang berpijar di atas langit sana. Sampai aku tak dapat membedakan mana yang bintang dan mana yang rinduku itu. Karena rinduku, ikut berpijar. Kotor. Debu dan sawang bergantungan di mana-mana. Dan tak hanya itu, sejak kapan rumah ini menjadi sarang binatang? Tikus, kecoa, dan hewan-hewan sebangsa bangsat itu berkeliaran di rumahku ini. Itulah yang kudapati setelah netraku berhasil menyapu tuntas seisi rumah. Aku berkelana di rumahku sendiri yang seketika sakral dan asing. Lembap dan berbau tak sedap. Padahal, sebelum aku pergi tidur kemarin, rumah ini begitu tahir. Sekarang, di setiap ruangan dipenuhi dengan tiga kata kunci: Hewan; sawang; debu, yang tidak boleh tidak, harus ada eksistensinya. Pada akhirnya aku tiba di kamar orang tuaku. Kamar yang biasanya 26
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
paling dan selalu bersih itu, kini senasib dengan ruangan-ruangan lain nya: tiga kata kunci. Dan sialnya begitu tiga langkah aku memasuki kamar itu, aku menginjak seekor tikus yang sudah tak lagi bernapas. Terpelesetlah tubuhku, hingga tangan kananku tidak sengaja menyeka sebuah cermin yang tak nampak –sama sekali– seperti sebuah cermin, karena diselimuti oleh debu nan teramat tebal. Mataku terbelalak mendapati diriku sendiri yang teramat liyan daripada biasanya dalam cermin tersebut. Jerit juga tentu saja terlepas dari mulutku saat itu juga. Sekujur tubuhku bergetar. Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Aku kembali menyeka, menggosok seluruh wajah cermin –yang sedikit terlihat kecerminannya– itu dengan kedua tanganku, sebab aku belum percaya akan apa yang ada di dalamnya. Dan benar. Mata dan cerminku ini tidak salah. Aku menjadi seorang baya. Kerutan di wajahku nampak jelas sekali. Tubuhku yang sehari lalu masih tubuh seorang remaja kekar, kini kurus-ringkih. Warna rambutku yang putih. Dan bagaimana bisa aku baru sadar jika rambutku ini sudah begitu panjang. Lelaki tua dengan rambut panjang? Rambutku terurai. Aku ikuti panjangnya rambutku itu. Dari pundak, kaki, hingga ke luar pintu kamar. Bagaimana aku baru sadar? Tidak, tidak, aku masih belum percaya. Aku mencoba menampar sekeras mungkin wajahku dengan kedua telapak tanganku yang lunglai. Barangkali ini mimpi. Namun hal itu justru memperjelas bahwa apa yang terjadi waktu itu adalah sebuah realita yang teramat realistis. Aku berjalan tergopoh menuju ke luar rumah. Saat kaki-kakiku melangakah, otakku mulai sadar bahwa sendi-sendiku mulai berkarat, tulang-tulangku mulai tak kuat menahan daging dan kulitku yang menggelembur. Sekali lagi: Bagaimana bisa aku baru sadar? Sehabis membuka mataku tadi, aku masih merasa seorang remaja berumur delapan belas tahun. Berjiwa paruh bujang. Ya Tuhan, apa ini? Rasa gelisah-resah me ngalir bersama darah di setiap nadiku. Sampailah aku di pintu pembatas rumah aneh ini dan dunia luar. Tolong jangan ada keanehan lagi Tuhan. Tanganku menggenggam erat Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
27
gagang pintu, mataku terpejam, dan aku pun membuka pintu. Kakiku menuntun keluar rumah, dengan mata yang masih terpejam. Sampai dua-tiga meter di depan rumahku, aku beranikan diri membuka mata. Dan ya, netraku menyapu sekitar sebagaimana pertama kali aku bangun dan melihat rumahku sudah menjadi begitu kotor, kini aku melihat sekitar rumahku yang seharusnya dipenuhi dengan rumah-rumah tetanggaku, berubah total menjadi hutan belantara sejauh mata memandang. Aku sudah tak mengerti lagi. Bahkan kotak posku –awal dari segalanya– pun tiada. Semuanya raib. Semuanya berubah. Aku meromok. Meringkuk bersedu-sedu. Rumah tua, aku tua, dan sekitar rumahku tua, aku sudah siap menunggu apa yang akan tua lagi nantinya. Kurang-lebih semenit kemudian, seorang perempuan paruh baya dari kejauhan, berlari mendekatiku. Sedang aku tetap meringkuk, terisak. Tiada peduli lagi aku dengan hal yang akan terjadi berikutnya. Rasa takutku sudah tandas. Sedari tadi, guncangnya pikiranku dan gemetarnya tubuhku sudah terkuras. Kini hanya tinggal terisak-lunglai yang ada. Perempuan itu semakin dekat. Setelah kuperhatikan wajah itu lebih cermat. Aku sadar-aku ingat. Dia adalah Vina, adik kandungku. Sebelum semua ini terjadi, sebelum tidurku, sebelum aku menjadi seperti ini, waktu aku berumur delapan belas tahun, dia berumur tujuh. Adik perempuanku yang begitu imut dan gembul, kini juga mulai menua. Padahal itu kemarin. Isakku kembali menyeruak udara tenang di sekitar. Vina datang membawa tangis, dan dari sana datang angin yang siap menerpa diriku kapan saja. Ah.. angin, inikah waktunya bernostalgia. “Mas..” Tidak, ini bukan waktunya! Aku menyadari guncangan tangan Vina terhadap diriku begitu tegas dan lugas. “Kamu kemana saja mas?” lanjutnya dengan tangis yang lebih tegas dan keras. Kini dia menyertakan sifat-sifat yang tidak hanya bersifat lugas. Tangannya memeriksa hampir setiap bagian tubuhku dengan saksama. Menanyai ini dan itu. Namun dia belum menjawab kebingunganku.
28
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Aku pun memulai, mengenyampingkan kekhawatirannya sejenak. “Sebenarnya apa yang terjadi, dik?” aku menghela napas sejenak. Dengan tersedan aku melanjutkan, “Kenapa semuanya menjadi seperti ini? ter.. terutama kenapa aku menua, kamu dan.. apa yang sebenarnya terjadi dalam semalam ini?” kepalaku tak bisa tenang ketika tengah mengutarakan kebingungan itu, bergerak ke kiri dan ke kanan. Adik bungsuku itu diam sejenak. Tangisnya pun terdiam. Matanya yang membesar dan dahinya yang mengerut menafsirkan keprihatinan yang besar di dalamnya. “Semalam? Mas, hilang selama tiga puluh satu tahun. Sebagian orang bahkan menganggap mas sudah meninggal, tak terkecuali ibu dan bapak. Aku berhasil ke sini, mas, karena belakangan ini aku selalu bermimpi tentangmu. Dan dalam mimpi itu di sinilah kamu mas.” tepat di kalimat terakhir, dia berguncang begitu mantap. Kemudian ia kembali menangis. Adapun degup jantungku berhenti sejenak. Otakku yang sering kali kontra denganku, kini seia. Mencoba mencerna kata demi kata dalam kalimatnya tersebut yang hakikatnnya sangat mudah dicerna oleh setiap orang mana pun. Aku hanya diam. Mengharap jawaban lebih dari dirinya. Karena dia kembali sibuk dengan tangisnya, aku menimpali, dengan suara meninggi yang dilebur isak. “Bagaimana bisa? Aku tadi sehabis bangun dari tidurku. Ya di sana, di rumah kita.” aku mempertegas perkataanku itu sambil menunjuk-nunjuk di mana rumah Jengki1 tempat aku keluar barusan. Namun lagi-lagi aku dibuat bingung. Rumah dengan patahan atap yang memiliki perbedaan ketinggian sehingga membuat bentuknya terkesan berbeda dengan model arsitektur lainnya, dengan kayunya yang berumur lima puluh tahun, diambil lansung dari Kangean2, jendelanya yang berbentuk persegi delapan, kini lenyap. Tak ada apa pun di sana, selain sebuah pohon besar dengan lubang berdiameter tinggi orang dewasa ra Rumah Jengki adalah rumah dengan gaya yang mengekspresikan semangat kebebasan orang Indonesia
1
yang muncul pada arsitektur berbeda dari apa yang disukai orang Belanda. Gaya Jengki ini hadir setelah pascakemerdekaan. Gaya ini terbilang laku di Indonesia antara akhir tahun 1950an hingga awal 1960an. Gugusan pulau yang merupakan bagian paling timur Pulau Madura, Laut Jawa.
2
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
29
ta-rata. “Ya, di sanalah mas, aku melihat kamu dalam mimpiku.” Dia mengacungkan tangannya ke pohon raksasa itu. Aku memilih diam, angin itu kembali datang. Mataku memilih membelakangi adikku yang berdiri di belakangku, sambil merasakan angin yang seakan-akan datang dari pohon besar itu. Aku menghela napas. Aku rasakan angin itu dalam-dalam. Senyum simpul mulai muncul dari wajahku. Perlahan-lahan aku hirup angin itu. Sebenarnya masih terlalu banyak pertanyaan dalam benakku. Namun angin itu melumatkan semua kebi ngungan tersebut secara galawala. Otakku menyeretku ke lubang nóstos3 dan inilah aku Algia. Aku mengiakan kata otakku, membiarkan adikku itu tetap bersedu sedan, sedang aku berpulang sejenak, bernostalgia. Angin menerpa diriku seorang... *** Angin menerpa tubuh kami berdua.. Di bawah langit sore. Di atas bukit yang menunduk takzim mendengar elegi ombak nan tiada seorang pun makhluk Tuhan lain mengerti –kecuali bukit dan ombak itu sendiri. Lengang. Angin lanjut melanglang, di antara kami berdua. Kami hanya diam, kepalanya berada dalam dekapanku, dan aku dalam-dalam me ngusap rambutnya. Kami: Aku dan Candrawati, hanya berkontak hati. Tak ada satu kata pun yang lahir dari mulut kami berdua, dan tak ada satu kaat pun jua yang hinggap di telinga kami berdua. Namun, diskusi hati itu sungguh terasa. Jauh sebelum sore itu. Semuanya dimulai dari seorang pak pos yang salah mengirimkan sepucuk surat. Dan entah apa yang membuatku usil membuka kotak pos waktu itu. Ah... ya, aku ingat, dia adalah takdir. Aku menyibak surat-surat yang membanjiri kotak besi berwarna me rah darah dan kuning untuk gagangnya. Hanya satu surat yang menarik perhatianku saat itu. Karena pada amplop-amplop surat itu tidak ada Bahasa Yunani –kuno– Homer, νόστος (nóstos): kepulangan
3
30
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
nama ayah atau ibuku –apalagi aku. Surat pada amplop itu bertuliskan, Kepada: Pramoedya Noesantara. Jelas, pak pos ini salah mendaratkan suratnya. Ditambah alamat yang berbunyi Warengen. Dengan rasa penasaranku yang membubung tinggi, aku membuka amplop itu. Dan aku tahu ini adalah sebuah dosa yang pasti. Namun, rasa penasaranku berhasil mengambil kendali diriku. Setelah aku meneguk tuntas setiap kata dalam secarik kertas dalam amplop tersebut. Aku berhasil menyekresi pikiran bahwa dia menolak tawaran menjadi peran kekasih seorang lelaki yang ada dalam alamat tersebut: Pramoedya Noesantara. Dalam surat sebelumnya, yaitu surat Pram terhadap perempuan itu, bila aku boleh berspekulasi, Pram menyatakan rasa cintanya kepada perempuan itu. Dan, Duar. Ternyata setelah kulihat lagi amplop tersebut, benar, ada surat lain dalam amplop itu, yaitu surat yang ditulis si Pram. Perempuan itu telah berniat mengembalikan surat lelaki malang itu. Mungkin pengembalian surat itu adalah maksud bahwa perempuan itu menolak keras tawarannya. Di sana dikatakan perempuan itu memiliki bibir me rah sempurna, mata kejora, rambut bergemilap bak bintang-bintang... (Aduhai seperti apakah rupa perempuan itu?). Namun ya, jawaban yang memanifestasikan penolakan dengan diksi nan begitu sopan dan indah yang ditulis oleh Candrawati, adalah sebuah pernyataan yang membuka momentum besar bagiku dan hatiku. Malam harinya, aku menggarap surat untuk perempuan tiada kukenal itu. Di bawah rembulan yang tengah memakai raga purnamanya, cukup memungkinkan bagiku untuk menulis di belakang rumahku yang gulita. Pancaran sinar ratu malam itu seakan mendukungku untuk menyatakan rasa yang entah darimana muncul secara gaib hanya dengan membaca surat siang tadi. Beberapa hari kemudian, setelah penungguan yang nyata, surat itu tiba. Isi surat itu berbunyi: Tuan Mentari? Begitu kau menyebut dirimu bukan. Kau begitu lucu ya. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
31
Sebelumnya aku harus berterima kasih, karena kamu telah meluangkan waktumu untuk membuat surat yang menyatakan bahwa surat yang aku kirim kemarin salah alamat. Sungguh aku terpingkal-pingkal saat tau seorang bapak surat melakukan kesalahan jua. Ini perdana bagiku. Dan, kau jua menyanjung tulisanku bukan? Ya, benar, aku suka menulis pun membaca. Namun, tata bahasamu itu lebih memukau dariku. Aku saja tidak percaya bahwa umurmu masih delapan belas. Satu tahun di atasku. Tulisanmu sudah seperti tulisan penulis terkemuka saja. Senang berjumpa denganmu meski dalam tulisan. Kuharap kau bisa me nemuiku lagi –dalam tulisan. Terima kasih, untuk kedua kalinya. Dapat. Dia tertarik. Dan semenjak hari itu. Surat terbang ke sana dan kemari. Hari ke hari, undangan untuk menemuinya dalam bentuk tulisan, akhirnya berubah menjadi undangan pertemuan yang sebenarnya. Tentu saja, raga bertemu raga. Lalu aku sadar bahwa rumahnya hanya dua puluh satu rumah dari rumahku. Wajar saja, aku tidak pernah pergi lebih jauh dari hitungan jari rumah tetanggaku. Aku buta jalan. Kami bertemu di sebuah bukit, tempat matahari senang tenggelam. Kini dia tahu bahwa namaku bukan Mentari, namun Algia. Mata kita benar-benar bersua. Sial, apa yang dideskripsikan oleh pemuda bernama Pram itu benar adanya. Justru lebih indah lagi. Pemuda itu kurang spesifik. Mata perempuan itu bukan lagi kejora, namun surga. Aku kerasan di dalamnya, menatap matanya. Aku ingin tinggal selamanya, menetap di matanya. Rambutnya... Kulitnya... Pipinya yang merona. Dan terutama bibirnya yang mengisyaratkan kata singgah, ketika dia tersenyum semri ngah. Setelah kupikir-pikir lagi, benar juga Pram rasanya: Tak terdefinisi. Jujur saja, pertama kali bertemu dengannya, aku gelagapan. Aku ha nya bisa mengangguk, dan berbicara seperlu dan sebisanya. Mengering laut ragaku, terisi kembali ketika bertemu. Begitu terus. Seakan setiap saat harus terus bertemu, agar air laut ragaku ini dapat tetap terisi. 32
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Hingga pada pertemuan yang ke sekian kalinya, di sebuah sore. Tempat di mana mentari sore telah sampai di kaki cakrawala. Di tempat kami biasa bertemu. Bukit yang tak jauh dari rumahku. Dia berkata kepadaku dengan senyumnya yang khas. Tangannya yang memegang tanganku mulai ia kendorkan. Suasana yang mulanya begitu berwarna, kini memucat. Kami yang mulanya saling menatap cakralawala, kini berpaling darinya. Aku menatap cakrawala mata Candrawati (Ah.. mata dewi itu). Dan dia menatap mataku. Kami saling mengikat pandangan. Hatiku mulai merapal doa agar yang dilisakan hanya tentang hal-hal baik saja. Namun tidak, Tuhan tegas menolak. Mungkin seandainya aku tidak berpaling dari senja cakrawala ciptaan terindah kedua dari mata Candrawati, Tuhan merestui. Sebab Tuhan lebih mencintai senja Cakrawala. Maka adalah kehendakNya tidak menyukaiku. Dan kehendakNya pula menolak doaku. Candrawati berkata lirih, senyumnya semakin memudar. “Mas..” dia menghela suaranya sebentar, meminta anggukan dariku. Dan melanjutkan “..aku harus pergi mas, ke pulau jauh di seberang sana. Ada sebuah urusan keluarga yang perlu diselesaikan. Dan mungkin aku tak akan pernah kembali. Aku akan bermukim di sana. Sebagai anak tunggal kedua orang tuaku, aku tidak bisa menyangkal sepatah kata pun. Karena sayang mereka hanya untukku, mas..” Aku terdiam, mataku merebak, segala kata yang ingin aku ucapkan, aku tahan. Dia meneruskan. Dan Matanya sudah mengalirkan air mata beberapa detik yang lalu, namun senyumnya.. namun senyumnya masih dapat ia pertahankan. “..tapi kau tak perlu ri sau mas.. Kita masih bisa bersua lewat surat. Ah dan ya..” raut wajahnya tiba-tiba berseri. Dia mengambil kedua tanganku lalu menggenggamnya dengan erat,“..Bila aku rindu, aku akan menyelipkannya di balik angin. Jadi kamu sering-sering keluar mas, rasakan hembusan angin yang datang, karena itu tandanya aku sedang rindu..” Aku rasa tak perlu jawaban. Sebab tangisku sudah mewakili seribu jawaban, seribu gubrisan. Meskipun seyogianya aku harus me ngondisikan tangisku itu sebagaimana aku berhasil mengondisikan wajahku dengan sedemikian rupa, karena dengan menangis berarti aku belum siap akan kepergiannya, dan itu dapat menjadi bencana bagi hati Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
33
nya jauh nun di pulau sana nanti. Tapi bukankah sepatutnya (juga) seperti itu. Ah.. Tuhan, begitu banyak argumen terhadap suatu hal, dan argumen itu saling bertentangan, sehingga Kau membuatku bingung: Di mana hakikat kebenaran? Di mana hakikat kesalahan? Dia menenggelamkan kepalanya ke dalam dadaku. Saat itu, tak ada kata lagi yang lahir dari kedua bibir kita. Senyap. Hanya isyarat sebuah dekap, ditemani sang mentari yang semakin tenggelam. Suara ombak yang berada beberapa meter di kaki bukit yang kita hinggapi. Dan angin, yang mengembara di antara kita berdua. Tenang. Seminggu-dua, dia masih mengirimkan surat ke kotak posku. Namun, minggu-minggu berikutnya surat tak lagi datang. Setiap pagi tiba, tepat di depan kotak pos, kutunggui seorang pak pos yang bersekongkol bersama takdir membuat semua ini terjadi. Akan tetapi mereka tidak kunjung tiba. Dua bulan lamanya hal itu kulakukan. Hingga akhirnya angin saja yang menjadi peredam rinduku. Dan tepat seratus dua puluh hari Candrawati tak mendaratkan secarik surat, aku tidur. Dan bangun dalam rupa se orang kakek berumur empat puluh sembilan tahun. *** Kini aku di rumah adikku, Vina. Dia menjelaskan semuanya. Rupanya pada hari ke seratus dua puluh itu aku tidak pergi tidur. Aku kabur dari rumahku. Tekadku bulat untuk menemui Candrawati. Namun, setelah kuinterogasi otakku sedemikian rupa, dia berkata tidak sekeping pun memori perihal larinya aku dari rumah itu ada dalam dirinya. Bagaimana bisa aku hidup tanpa memakan apa pun selama tiga puluh satu tahun, dan bangun dengan pakaian yang sama? Namun kami –otakku dan aku sepakat untuk melupakan hal itu, mengingat tujuh orang pemuda Ashabulkahfi4 tidur lebih lama dariku, dan mereka sehat saja. Ashabulkahfi (Bahasa Arab: باحصا فهکلا,aṣḥāb al kahf) adalah kisah 7 pemuda yang tertidur lelap
4
di dalam gua selama 309 tahun. Kisah ini terjadi sebelum zaman nabi Muhammad salallahu'alaihi wassalam. Para pemuda bersembunyi di dalam gua untuk melarikan diri dari kekejaman Raja Dikyanus. Kisah ini bersumber dari Al-Qur'an dalam Surah Al-Kahf.
34
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Konstruksi rumah Jengki sudah banyak berubah daripada tiga puluh satu tahun lalu. Bahkan unsur-unsur terpenting yang menggambarkan perlawanan kepada pengaruh arsitektur gaya Eropa, seperti atap beranda yang – biasanya melengkung– kini datar. Di tempat makan. Tempat Aku, Vina, suaminya, dan kedua anaknya, duduk sekarang. Kami memakan apa yang berada dalam meja bundar rumah itu. Tiga-empat suapan, aku meletakkan sendokku. Pergi ke belakang rumah. Mereka hanya melihatku secara prihatin, membiarkan, seperti paham apa yang aku rasakan sekarang. “Kita harus memberikan sedikit ruang sejenak padanya”. Itu yang tidak sengaja aku dengar dari suami Vina sore tadi, ketika daun telingaku melewati kamar mereka. Sawah yang tiga puluh satu tahun lalu, tidak berubah sedikit pun. Kakiku kulangkahkan menuju sebuah kursi yang berjarak enam meter dari rumahku. Dan tiga meter lagi di depannya adalah sawah tersebut. Aku duduk di kursi itu dengan tenang. Amat tenang. Malam ini Bulan tertutup sempurna oleh awan-awan kelabu yang sepertinya bergembira, karena mereka akan melahirkan milyaran hujan sebentar lagi. Aku menatap padi-padi yang melambai. Dan dari sana angin datang. Menerpa bulu-bulu saljuku. Rambutku yang kupangkas sependek mungkin, memberi ruang angin itu melewati kulit kepalaku. Aku rasakan setiap angin yang datang. Mataku terpejam. Mataku terbuka. Angin itu kurasakan begitu sangat. Aku sudah berada di sebuah bukit yang sangat otakku kenali. Rambut bukit hijau nan segar itu terasa menusuk lembut celana hitam kusutku. Dan di sampingku, Candrawati kembali hadir, menatapku sembari tersenyum. Ya, senyum itu. Kemudian kami serempak setuju, melihat senja Cakrawalaa –ciptaan terindah kedua dari mata Candrawati– yang cemburu. Kami biarkan angin itu menerpa dalam- dalam. Sedalam mungkin. Sedalam genggaman tangan kami berdua. Angin itu, akan selalu sama. Paiton, November 2020
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
35
Aster dari Milan Oleh: Panji Sukma Messina bergeming karena mendapati sebuah lukisan perempuan telanjang ketika memberesi ruang kerja suaminya. Ia menyeka peluh yang pecah di pipi dengan ujung khimar, entah apa yang berkelindan di kepalanya. Sang suami—Syech Ghiffari seorang pelukis tersohor di Irak, bahkan hampir di seluruh daratan Persia. Selain mencumbui kitab-kitab kuno, hampir sepanjang hidup ia habiskan waktu di depan kanvas, tak pernah sekalipun tangannya bersih dari sisa-sisa cat minyak. Melukis ia anggap sebagai pekerjaan suci, atau lebih tepatnya Syech Ghiffari menganggap, melukis adalah tugas Tuhan di dunia, mengabadikan keindahan agar orang-orang di masa mendatang tahu bahwa kehidupan pernah begitu indah. Hal itu bukan tanpa sebab, sang suami pernah mengungkapkan pada Messina dan di beberapa kesempatan saat mengisi undangan se minar, bahwa ia memiliki kepercayaan di masa depan dunia tidak akan lagi mengenal kemanusiaan. Akal manusia akan menuntun mereka untuk kekuasaan absolut, semua harus dalam kendali, tercipta sistem otoriter yang bersembunyi pada kemajuan teknologi, dan menumpas siapa saja yang tak setuju dengan sistem itu. Di saat era itu datang, wajah dunia akan berubah 180 derajat. Takkan ada lagi pemandangan alam yang indah, berganti dengan tembok-tembok beton yang menyekat satu sama lain, paranoid, sistem tak percaya bahwa manusia dapat mengontrol dirinya. Takkan dikenal lagi tampan dan cantik, laki-laki dan perempuan, semua akan berdandan sama, manusia dikelompokkan menurut gen mana yang lebih kuat dalam dirinya, maskulin atau feminim. Pertumbuhan penduduk dikontrol penuh sistem. Keindahan dianggap sangat berbahaya di era itu, sebab keindahan dapat memunculkan harapan, dan harapan memancing utopia yang pada akhirnya akan mengembalikan pemikiran masyarakat pada cara pikir lama, setidak nya itu yang ditakutkan pemegang sistem di masa itu. Agama musnah, 36
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Tuhan adalah simbol dari sumber kekacauan. Takkan lama lagi, era itu akan dimulai paska perang dunia ketiga pecah. Tak ada lagi kepercayaan satu sama lain, dan yang masih memiliki sisa kekuatan akan membentuk tatanan peradaban baru, manusia takkan lagi mengenal cinta. Setidak nya itu keyakinan Syech Ghiffari. Bola mata Messina tak beralih dari rambut cokelat kemerahan pe rempuan pada lukisan di tangannya. Ia kembali ingat alasan kenapa suaminya kerap membuat lukisan makhluk hidup, terutama perempuan, padahal suaminya adalah seorang yang saleh. Sang suami pernah berkata, “Keindahan Tuhan dititipkan secara gamblang pada makhlukmakhluk-Nya, manusia saja yang tidak mengerti karena lebih menggunakan mata lahirnya. Hasrat harus ditekan hingga titik terendah, baru akan kita temukan hakikat yang membuat kita lepas dari penjara keduniawian.” Pernah suatu kali Syech Ghiffari dipanggil oleh pemangku keku asaan dan beberapa tokoh agama di kotanya, ia dianggap menyimpang dari agama karena pada umumnya seorang muslim diharamkan melukis ataupun menggambar makhluk hidup. Meski tak secara gamblang hal itu disampaikan, namun masyarakat seantero negeri dapat menangkap maksud dari panggilan itu. Bukan tanpa sebab, Syech Ghiffari juga dianggap seorang ulama, pendidikan dan ilmu agama yang tinggi ia dapat dari studinya di Al Azhar, Mesir. Tak heran jika kasus itu begitu menyita perhatian dan membuat sebagian besar masyarakat menunggu hasil akhirnya. “Jika aku dianggap sesat karena membuat lukisan manusia padahal aku tak pernah sekalipun menggunakan obyek manusia langsung di depanku, lalu bagaimana dengan pemimpin negara yang membaca kitab suci secara langsung namun mendiamkan pembantaian terjadi terhadap saudaranya,” jawab Syech Ghiffari. Saat itu memang terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan militer Israel terhadap penduduk di Gaza. Jawaban Syech Ghiffari menutup kasus begitu saja, tak ada yang berani mendebatnya. Pemerintah memilih tak gegabah Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
37
mengambil risiko, lebih baik melepaskan Syech Ghiffari agar ia diam. Pemerintah tak mau dipusingkan dengan media yang mungkin saja akan menyebarkannya ke seluruh penjuru Persia. Begitu juga dengan sikap tokoh-tokoh agama setempat terhadap Syech Ghiffari, entah merasa kalah maqom atau alasan lain, yang pasti mereka memilih untuk aman, ketimbang harus kehilangan wibawa apabila kalah dalam perdebatan. Sering kali manusia memang seperti itu, zona aman menjadi pilihan terbaik agar tetap dihormati. Messina mengenang kembali perjumpaan pertamanya dengan Ghiffari yang saat muda belum mendapat gelar Syech, sekaligus menjadi hari di mana mereka memutuskan untuk menikah. 15 Februari 1973, Alexandria sore itu begitu teduh karena matahari telah setengah tenggelam di Sungai Nil, disambut azan yang mulai ditegakkan dari beberapa masjid besar dan seolah menghipnotis semua orang untuk meninggalkan kesibukannya. “Jadi bagaimana keputusanmu? Kalau kau bersedia, setelah menyelesaikan studiku, aku akan bicara pada orangtuaku,” ucap Ghiffari kala itu. “Kita baru saja saling mengenal, apakah tidak terlalu cepat?” tanya Messina sembari mengernyitkan kening. “Apa bedanya kita belajar saling mengenal ketika belum menikah dan setelah menikah?” Entah apa yang saat itu membuat Messina menerima tawaran Ghiffari, pemuda yang sering kali ia lihat melamun di tepi Sungai Nil. Messina menanyakan kenapa hampir setiap sore Ghiffari datang ke sana. Ghiffari menunjuk permukaan sungai yang seperti cermin memantulkan pemandangan di seberang sungai. “Jika kau melihat sebuah lukisan, kau akan menemukan kemiripan dengan pantulan di permukaan sungai itu, tetap sama-sama indah de ngan obyek yang asli, namun telah kehilangan ketegasannya, sebab tak ada yang mampu membuat apa pun sesempurna Tuhan,” ucap Ghiffari. 38
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Ia juga menjelaskan bahwa seperti itu pula cara manusia menilai se suatu, lebih suka meyakini apa yang dikabarkan pada mereka ketimbang menilai secara langsung, padahal obyek itu ada di depan mereka. “Dan jika kamu bertanya kenapa hampir tiap sore aku datang kemari, mungkin karena banyak hal yang bisa kudapat dari tempat ini.” Hayya ‘alal falah. Hayya ‘alal falah. “Azan sudah berkumandang, bagaimana kalau kita sama-sama ke Masjid, Messina?” Messina tersenyum. “Itu maksudku kenapa aku bilang kita harus saling mengenal terlebih dulu. Tuhan kita berbeda. Bahkan aku dan ayah jauh-jauh dari Milan ke Alexandria ditugaskan untuk membantu program pelayanan salah satu ordo. Itu pula alasan aku membuka toko bunga di sini, untuk mencukupi kebutuhan gereja-gereja.” Ghiffari terdiam sejenak. Tak lama kemudian ia tersenyum. “Baguslah,” ucap Ghiffari. “Bagus bagaimana maksudmu?” “Setidaknya kau terhindar dari dosa munafik. Lagi pula sebenarnya Tuhan kita sama, Tuhanmu juga Tuhanku, begitu pun sebaliknya, hanya saja ego manusia yang hidup pada zaman sebelum kita membuat semua tampak rumit.” Tak ada cinta yang tak diuji, semua selalu melahirkan perjuangannya masing-masing, tak terkecuali cinta Ghiffari dan Messina. Waktu mendedahkan kenyataan bahwa ayah Messina tak merestui hubungan anaknya, bahkan ia melarang keras Messina bertemu dengan Ghiffari. Perintah seorang ayah laksana perintah Tuhan di dunia, Messina memilih untuk menerimanya. Begitu pula dengan Ghiffari, malah ia memberi nasihat pada Messina agar tetap berbakti pada ayahnya dan menye rahkan semua pada waktu, sebab waktu adalah jawaban dari kehendak Tuhan. Pasrahlah, walau itu mengaburkan harapanmu, isi surat Ghiffari untuk Messina kala itu. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
39
Setahun bergulir sejak perpisahan Ghiffari dan Messina, waktu meminta hak-haknya, ayah Messina meninggal karena wabah campak yang saat itu memang sedang melanda Mesir. Dan sebelum menghembuskan napas terakhir, entah apa alasan yang membuat ayah Messina berubah pikiran, ia merestui hubungan anak gadisnya dengan Ghiffari. “Pemuda itu akan bertanggungjawab padamu.” Kalimat terakhir yang ayah Messina ucapkan kala itu. Waktu kembali meminta hak-haknya, tahun demi tahun berlalu menghiasi tiga puluh tahun pernikahan Syech Ghiffari dan Messina, dua anak lelaki dan seorang anak perempuan menjadi saksi perjalanan cinta mereka. Rumah tangga yang dilimpahi kebahagiaan, tak mengenal sekat, mabuk dalam cinta antara hamba dan penciptanya. Gudang yang dingin dan lembab mewartakan keharuan Messina yang kian berlipat usai ia balikkan lukisan di tangannya dan menemukan sebuah pesan di sana. Tangis yang sulit diartikan pecah di pipinya, namun yang pasti bukanlah tangis penyesalan. Kini tak ada hal yang lebih baik dilakukan Messina selain mendoakan suaminya. Ia tatap foto suaminya di dinding dengan bingkai yang dikalungi bunga segar. Setelah hidup bersama lebih dari seperempat abad, baru hari ini Messina tahu alasan sang suami dulu mengajaknya menikah, ajakan yang dulu terasa seakan tanpa perhitungan. Begitu bersih akhlakmu, betapa baiknya Tuhan karena memberiku kesempatan melayanimu di hidup yang hanya sekali ini. Kau bukan hanya sekadar suami, kau adalah sosok yang sengaja Tuhan kirim agar aku me ngerti perihal cinta sejati tak mengenal sekat. Sebab itu, kau akan selalu jadi satu-satunya, di dunia dan di surga. *** Kau merah segar di antara bunga-bunga aster, sulit sore ini untukku tak terus memalingkan pandang ke kiosmu yang kaya warna. Begitu lancang mataku membawa pulang keindahanmu. Ini pertama kali dalam hidup imajinasiku begitu liar, mengabadikan keindahanmu di atas kanvas dengan tak 40
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
pantas, entah iblis apa yang singgah di kepala. Agamaku mengajarkan hidup seorang muslim haruslah mulia, begitu pula dalam memperlakukan makhluk Tuhan lainnya, sebab itu, esok aku akan mempertanggungjawabkan kekhilafanku dengan memuliakanmu.14 Februari 1973
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
41
Autophobia Oleh: Claudia Calista Jalan Sudirman menjadi saksi bisu kata “sampai jumpa” yang tidak pernah menjadi nyata. Menyusurinya membuat sanubariku tercekik, rasanya aku ingin memekik, setelah rindu yang begitu membuncah, kini terbitlah “nostalgila” di tengah kondisi yang sudah berubah. Setengah tahun belakangan ini membuatku tersadar, bahwa melupakannya sama dengan aku melupakan namaku sendiri. Dia hilang karena meregang dan aku nyaris ringkih dalam keterpurukan. Jika aku menyusuri kembali jalan tersebut, yang nampak hanya bayanganku dan desiran angin, namun masih terasa hangat di kening memori tentangnya. Aku melihat ke arah bangku abu-abu panjang di bawah jembatan Se nayan, tempat dimana aku dan ia bercengkrama di hari Rabu yang cerah itu. Berbicara tentang kehidupan, pekerjaan, namun tak pernah bicara sekalipun tentang perpisahan. Kini yang nampak berada di sana hanya barisan semut-semut kecil, mencari titik manis untuk bertahan hidup, menapaki jejak demi jejak bersama kawanan, sementara aku menjajaki kenangan tentangnya sendirian. Satu langkah, dua langkah, jalanan yang kini nampak kosong itu pernah dilewati mobil-mobil berkecepatan tinggi, melesat tanpa sedikitpun rasa ampun. Hal itu sudah biasa, yang tidak biasa adalah ketika aku dan dia berlari melawan arus melintasi jalanan ini dengan modal keberani an, karena katanya “hidup cuma sekali”, sembari tertawa dengan khas menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. Di tengah gedung-gedung ini, ia menghisap cerutunya dengan mimik yang nampak datar, ia tak pernah bisa menyembunyikan masalahnya dan lari dariku, sungguh. “Kamu kenapa? Berhenti ngerokok, deh,” Protesku pada saat itu, yang kini kusesali karena tak seharusnya terucap kepada seseorang yang sedang melepas penat dan menikmati sedikit momen hidupnya. 42
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Ia menatapku di antara bulu-bulu matanya yang lentik itu, “Pusing.” Jawaban singkatnya cukup untuk membungkamku dan cukup mengikutinya berjalan saja. Aku berharap bisa menyelipkan jari-jariku di antara jemarinya, namun ku urungkan dalam ragu. Berbelok masuk ke kedai kopi kesukaannya, ia memesan kopi kara mel favoritnya sementara aku hanya menunggu tanpa memesan apapun, aku bukan peminum kopi handal, yang ada dengan minum kopi malah membuatku sakit perut dan keringat dingin. “Minum nih cobain,” Tawarnya padaku sambil menyodorkan secang kir kopi karamel hangat, aku menolaknya namun dia kerap memaksaku seolah-olah ingin aku menikmati keajaiban dunia versinya. Rasa itu tidak akan pernah kulupa, harumnya kopi hari itu membawa kakiku kembali hari ini ke kedai kopi yang sama, memesan menu yang sama, anehnya minuman itu kini menjadi pilihan favoritku walaupun aku masih belum kuat mengonsumsi kafein. Tak terasa seruput demi seruput kopi karamel yang seharusnya ma nis, lama-lama berubah menjadi asin, semakin asin bercampur dengan air mataku yang jatuh membasahi pipi dan sudut bibirku. Di tengah bulan Desember yang mendung, di bawah awan hitam dan langit abu-abu yang meneteskan gerimis di atas atap, membentuk titik-titik mungil di jendela, aku memegang secangkir kopi sambil memasang sebelah earphone-ku. “But you’re gonna live forever in me. I guarantee, it’s just meant to be..” Alunan suara John Mayer terdengar begitu merdu untuk hari yang sendu. Aku takut sendirian, begitu takut tidak mampu menjalani hari-hariku kedepannya dalam sepi. Di bawah gemerlap lampu Natal, aku masih merasa gelap. Sekalipun jalanan ini kembali ramai sewindu lagi, aku masih merasa jauh. Aku ingin lupa, namun ini semua terlalu manis untuk jadi hampa, hingga kembali waktunya dua orang yang sama rupa kembali berjumpa. Perjalananku masih panjang, sementara kisahmu ada untuk ku kenang, terlepas kita bersama pernah berjuang dalam perang. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
43
Bapak dan Layangan Putus Oleh : Ade Nila “Masa lalu selalu menorehkan kenangan. Namun kita bisa memilih untuk terus mengingatnya atau tidak.” *** Sudah hampir satu jam Ramli duduk di tepi sawah, memandang padi yang mulai menguning. Selalu begitu. Dia tiba-tiba datang mencariku lalu mengajak berbincang tentang masa lalu. “Aku tidak bersalah kan, Min?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Ramli. Pertanyaan yang sama selama dua puluh tahun terakhir, membuat batinku menjadi pilu setiap kali mendengarnya. “Berhentilah seperti ini,” kataku pelan. Ramli menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. Burung-burung hilir mudik berebut bulir padi yang menjuntai, mengepakkan sayap seolah menantang petani yang berusaha mencegahnya. Dari arah barat kulihat Danar -anakku- berjalan mendekat, membawa layang-layang besar berwarna merah terang. Aku bangkit berdiri. “Ayo, Pak!” Danar berteriak ke arahku, mengajak menerbangkan layangan bersama. Angin sore sedang bersahabat, tetapi aku masih harus turun ke sawah, menghalau burung-burung pemakan padi. “Kau ajaklah Om Ramli saja,” kataku. Danar bergegas menghampiri Ramli, lalu menarik tangannya. Awalnya Ramli berusaha menolak, tetapi rupanya ajakan Danar terlampau menggiurkan. Aku tersenyum, mengingat peristiwa dua puluh tahun 44
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
silam. Semasa aku dan Ramli seusia Danar, kami gemar sekali bermain layangan. Ramli adalah anak lelaki yang sangat terkenal pada masa itu. Dia selalu tampil dengan layangan yang menawan. Bentuknya menarik dan bambu yang digunakannya pun diukur dengan matang, sehingga tidak akan oleng saat terbang. Setiap layangan Ramli mengudara, terdengar riuh tepuk tangan anak-anak yang menyaksikan dari bawah, membuat dia tersenyum bangga. Anak-anak lain akan berbondong- bondong datang memenuhi tanah lapang, menyaksikan kehebatan layangan temanku itu. “Siapa yang berani melawan layangan Ramli akan aku bayar lima ribu!” Suara Danto –anak yang bertubuh paling besar- membuat suasana semakin ramai. Pada masa itu, Ramli sangat terkenal dengan layangannya yang bernama Elang. Layang-layang berwarna coklat dengan sedikit garis putih memanjang di tepi, ditambah dua mata tajam yang dilukisnya sendiri, layangan milik Ramli bak burung elang yang gagah dan ditakuti lawan. Saat layangan Ramli menukik tajam dimainkan angin, dia mampu kembali ke angkasa, bersamaan dengan teriakan histeris para penonton kala itu. “Kau hebat, Ramli!” pujiku kala itu. Temanku itu termasuk serba bisa untuk anak seusianya. Dia tidak hanya pandai membuat layang-layang. Ramli juga bisa membetulkan radio atau televisi milik tetangga yang rusak. Sudah patut dia menjadi buah bibir, seorang anak cerdas dan diprediksi memiliki masa depan cerah. Aku masih ingat benar saat itu Ramli terpaksa mengambil uang milik bapaknya sebesar lima ribu rupiah untuk membeli cat air di warung Pak Hamid. Tentu saja hal itu membuat bapaknya marah besar. Suatu sore di tanah lapang tempat kami biasa bermain layang-layang, bapaknya tiAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
45
ba-tiba datang dengan marah-marah. Alhasil Ramli diseret pulang oleh bapaknya, membuat semua penonton kecewa karena si Elang tidak jadi tampil. “Bapakku marah besar! Elang diberikannya pada Danto!” Esoknya Ramli mengadu padaku dengan muka merah menahan ma rah. “Kau tahu? Danto itu tak pandai bermain layangan. Elang tak lagi menjadi raja di angkasa. Kudengar layanganku putus dan jatuh entah dimana,” ucapnya sedih. Berita tentang layangan Ramli yang putus cepat menyebar di kalangan kawan main kami waktu itu, membuat mereka berebut untuk menemukannya. Layangan yang bagus seperti harta karun bagi kami. Namun yang ada di benak Ramli, justru tersimpan rasa kecewa pada bapaknya. Dia berpikir bahwa putusnya layang-layang kesayangannya itu karena ulah bapaknya. Aku tak henti-henti menghibur Ramli dengan mengajaknya bermain ke sawah milik bapakku. Awalnya Ramli selalu menolak, tetapi akhirnya menerima ajakanku ketika kukatakan bahwa bisa saja si Elang jatuh disawah. Sesampainya di sawah, aku segera mengambil perangkap tikus dari kawat berbentuk kotak untuk dipasang di tempat-tempat yang sekiranya dilewati hama padi itu. Sementara Ramli segera berlarian menyisir sawah untuk menemukan layang-layang kesayangannya. “Tidak ada, Min. Sudahlah tidak usah dicari.” Ramli menghampiriku dengan putus asa. Kulihat wajahnya berubah muram, kedua matanya sayu dan bibirnya bergetar. “Bapak memang tidak pernah sayang padaku,” ujarnya kemudian. “Sudahlah, mungkin kau juga yang salah,” kataku. “Apapun yang aku lakukan selalu salah dimata Bapak!” Ramli melempar batu ke arah tanaman padi untuk melampiaskan 46
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
amarahnya, sampai hampir mengenai perangkap tikus yang baru aku pasang. Aku mendengus sambil mendaratkan kepalan tangan tepat ke punggungnya. “Kau tidak lihat aku susah payah memasang perangkap tikus itu!” “Perangkap tikus?” tanyanya heran. Aku mengangguk sambil mendengus. “Para petani sedang berjuang melawan hama tikus yang semakin menggila. Itu pun kau tak tahu? Bapakmu baru saja merugi karena tikus sialan itu!” Ramli terdiam mendengar penjelasanku. Beberapa menit kemudian dia seperti memikirkan sesuatu, lalu terlonjak saat menemukan jawabannya. “Kau membuatku kaget!” teriakku. “Aku tahu sekarang. Aku akan membuatkan perangkap tikus untuk Bapak. Dikiranya aku ini anak tidak berguna, begitu?” Ramli tertawa terbahak-bahak, membuatku bertanya-tanya rencana apa lagi yang ada dipikirannya. “Kau lihat besok, Min. Aku akan membuat kejutan untuk Bapak, sehingga Bapak sadar bahwa aku adalah anak yang patut dibanggakan!” Ramli berbalik meninggalkanku yang penuh dengan tanda tanya, perangkap tikus macam apa yang akan dibuat temanku itu. Aku berdiri lalu berjalan mengikutinya sambil tersenyum, melihat kegigihan Ramli yang sedang berusaha memenangkan hati bapaknya. *** Hujan deras turun semalam suntuk, menyisakan banjir di mana-mana. Air sungai meluap, membuat sebagian sawah terendam air. Cobaan seperti datang silih berganti. Masalah hama tikus belum juga selesai, kini bencana banjir membayangi para petani yang alamat gagal panen.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
47
Aku ingat benar saat itu baru masuk waktu Subuh, ketika pintu rumahku diketuk dengan keras. Aku berjalan terhuyung sambil membenarkan letak sarung penangkal hawa dingin yang menembus tulang. Aku terkejut bukan main ketika kulihat sosok Ramli sudah berdiri di depan pintu dengan wajah pucat menggigil kedinginan. Seluruh badannya basah kuyup diguyur air hujan. “Ramli? Ada apa?” Mendadak dadaku diliputi perasaan ganjil. Ramli menangis sejadi-jadinya. “Bapak,” ucapnya lirih. Aku mempersilahkannya masuk, tetapi dia menolak. Detik berikutnya Ramli membawaku menuju area sawah yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari rumah. “Ada apa? Bicaralah!” Ramli terus menggeleng sembari tersedu-sedu. Aku tak punya pilihan selain mengikuti kemauannya menuju sawah milik bapaknya. Kulihat dari jauh, sebagian sawah itu terendam banjir dengan air setinggi betis orang dewasa. Sampai di pematang sawah sebelah timur, Ramli berhenti. Tiba-tiba tubuhnya seperti kehilangan tenaga, lalu terduduk lemas di atas tanah basah. Ramli menoleh ke arahku sembari tangan kanannya menunjuk sesuatu. Sekilas aku tidak melihat benda apa itu. Aku menyipitkan mata dan nampaklah sosok mayat berwarna kehitaman menyembul dari dalam sawah yang hamper terendam banjir. “Bapak!” Ramli menangis sejadi-jadinya membuat darahku berdesir. Jantungku berdegup kencang, melihat pemandangan mengerikan tepat di depanku. “Bapak terkena perangkap tikus yang aku buat! Aku membunuh Ba48
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
pak!” Aku menahan napas mendengar penjelasan Ramli. Rupanya Ramli belum menceritakan perihal perangkap tikus yang dipasangnya, dengan alasan sebagai kejutan untuk bapaknya esok hari. Namun banjir membuat bapaknya terpaksa bangun tengah malam, memeriksa tanaman padinya jikalau terendam banjir. Malang tak dapat ditolak, perangkap tikus yang dialiri listrik itu terinjak olehnya. “Kau tahu perangkapmu itu berbahaya kan, Ramli?” Aku menutup muka, tak sanggup menyaksikan sosok kaku yang megapung di air yang bercampur tanah. *** Dua puluh tahun yang lalu, seorang anak laki-laki kelas enam SD tidak sengaja mencelakai bapaknya sendiri dengan perangkap tikus yang dialiri listrik bertegangan tinggi. Kejadian itu sudah berlalu begitu lama, tetapi rasa sesal masih menghantui Ramli sampai saat ini. Kini aku lah yang sering menghiburnya. Seminggu sekali Ramli datang menemuiku yang sedang bekerja di sawah, sekedar mengobrol sambil bernostalgia menggali sisa-sisa kenangan bahagia semasa kami kecil dulu. Bermain layang-layang dengan adu kebolehan layangan buatan masing-masing. Tentu saja berusaha mengenang si Elang yang putus dan entah mendarat dimana. “Aku sudah minta maaf pada Bapak saat itu,” katanya setelah puas bermain layang- layang dengan anakku. “Iya, yakinlah semua itu bukan salahmu.” Aku menimpali sambil tersenyum. “Lihatlah! Bapak sedang bermain dengan layanganku yang hilang!” Ramli mendongakkan wajahnya, menunjuk barisan awan di langit sambil tersenyum lebar. Aku tertawa melihat tingkahnya yang konyol. *** Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
49
Berdamai dengan Takdir Oleh: Annisa Pratiwi Wulandari Suara kereta api jurusan Pasar Senen datang dari Yogyakarta, me ngantarkan Mbak Nindy, kakak sepupu yang paling dekat denganku. Aku menyambutnya dengan penuh kehangatan, sudah lama kami tidak berjumpa. Sore itu ia ingin langsung ditemani jalan-jalan ke Kota Tua. Sebuah tempat yang menyimpan berjuta kenangan yang amat ku rindukan, yang kini hanya dapat ku genggam dalam ingatan. “Tiara, aku lagi deket sama seseorang, kayanya dia mau serius sama aku,” ucap Mbak Nindy dengan wajah sumringah. “Wah, alhamdulillah, aku seneng banget. Jadi kapan kasih undangan pernikahan?” tanyaku penuh semangat. “Hehe doain aja ya biar dia segera datang menemui keluargaku sama orangtuanya,” ucapnya malu-malu. Kami bergegas masuk ke KRL commuter line jurusan Jakarta Kota sambil terus berbincang tentang kedekatannya dengan Mas Deny. Sesampainya di Kota Tua, banyak orang berpasangan saling bergandengan tangan dan berpelukan. Berboncengan menaiki sepeda onthel warna warni mengelilingi gedung-gedung tua yang penuh sejarah de ngan raut wajah penuh keceriaan. Salah satu sepeda onthel warna biru itu, aku pernah ada di sana, menaikinya berkeliling memakai baju biru sepasang dengan Mas Pras, lengkap beserta topi biru dihias pita merah muda yang cantik. Di bawah sinar matahari yang perlahan tenggelam, membuat warna langit penuh kehangatan. Sambil satu tangan memeluk pinggang mas Pras, tangan lainnya memegang kamera video untuk mendokumentasikan momen kebersamaan kami yang sulit ditemui sebab kami menjalin hubungan jarak jauh Jakarta-Yogyakarta. “Ra, kok diem aja liatin sepeda? Mau naik kah?” tanya Mbak Nindy membuyarkan lamunanku yang indah. 50
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Eh engga kok Mbak, Mbak mau naik?” tanyaku sambil mencoba menarik diri yang sedang bernostalgia untuk kembali ke masa kini. “Engga ah, aku mau jalan keliling aja liat-liat ada apa disini. Yuk kita jalan lagi,” ajaknya penuh semangat. Aku mengiyakan dan kembali menemaninya. Dalam hati bertanyatanya, mengapa berani sekali aku datang ke tempat ini lagi? Setelah 5 tahun lamanya? Demi membuat Mbak Nindy senang di Jakarta, aku rela menahan perih atas banyaknya kenangan di tempat ini yang menarik ingatan untuk terus kembali ke masa lalu. Aku akan menemaninya de ngan tetap ceria, tak peduli seberapa dalam kerinduan yang menyiksa batin akibat berada di tempat ini. Matahari perlahan tenggelam, ternyata sudah lama kami berkeliling, hingga mulai merasa lelah dan lapar. “Wah liat deh kafe itu bagus ba nget. Cafe Batavia, kelihatannya romantis, mahal ngga ya? Mau makan di sana?” tanya Mbak Nindy. Aku terdiam sejenak. Ia benar, Cafe Batavia memang sangat romantis, terletak di dalam bangunan gedung antik dengan nuansa klasik, penuh lilin-lilin, musik yang merdu, serta paja ngan foto-foto sejarah masa lampau. Rasanya aku tidak sanggup memasuki kafe itu lagi. Tepat dilantai dua sana, sudut dekat jendela tengah yang menghadap ke kami, satu hari sebelum hari ulang tahunku yang ke 19 pada 30 Mei 2015, Mas Pras pernah menatap penuh cinta di tengah lilin yang bersinar hangat, sambil memberikan sebuah kotak cincin berbentuk hati. Aku membukanya, ada sepasang cincin di sana. Hatiku berdesir penuh kebahagiaan dengan mata berkaca-keca penuh keharuan. Seorang pria yang awalnya hanya nyasar berkomentar di blog pribadiku, kemudian ia mencariku di facebook lalu mencoba saling mengenal lebih jauh, hingga memutuskan ingin memilihku sebagai pasangannya, kini duduk di hadapanku menyodorkan sepasang cincin. “Aku tidak akan memasangkannya di jarimu sekarang. Aku hanya menunjukkannya. Besok, tepat di usiamu yang ke 19, aku akan menAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
51
datangkan orangtuaku dari Yogyakarta untuk memintamu ke orang tuamu dengan membawa cincin itu,” ucapnya penuh senyum yang terasa berlipat kali lebih manis dari biasanya. “Tiaraaaa... Diajak ngomong kok bengong?” Mbak Nindy menepuk bahuku kebingungan. Mataku ternyata telah berkaca-kaca, ku palingkan wajah untuk menghapus air mata yang akhirnya menetes juga. “Maaf Mbak, aku agak pusing, sepertinya kecapekan. Kita jangan makan di Cafe Batavia ya, mahal, kita pulang aja makan dirumah,” jawabku yang sudah tidak sanggup berada di tempat yang menyergapku de ngan berjuta kenangan indah namun terasa menyakitkan itu. Mbak Nindy yang tampak khawatir akhirnya menyetujui ajakanku untuk segera pulang. Ternyata belum cukup kuat hati ini mendatangi tempat-tempat yang pernah menyimpan kenangan bersama Mas Pras, masih butuh waktu untuk menyembuhkan diri. Sesampainya di rumah aku berusaha melupakan kenangan yang terus bergelayutan di pikiran, memaksa mata terpejam hingga akhirnya terlelap. Keesokan paginya hatiku sudah membaik. Kembali ku temani Mbak Nindy keliling Jakarta. Ia berlibur selama 5 hari hingga akhirnya kembali ke Yogyakarta. Beberapa bulan kemudian, Mbak Nindy mengirim pesan Whatsapp, ”Tiara, aku senang sekali Mas Deny sudah datang ke rumahku membawa orangtuanya dan mengutarakan niat seriusnya untuk menikahiku,” tulis Mbak Nindy. Bibirku tersenyum lebar ikut merasakan kebahagiaan yang ia rasakan. ”Selamat ya Mbak...Aku turut bahagia. Ku doakan lancar sampai hari pernikahan,” balasku. Seketika ingatan tertarik kembali ke 5 tahun silam. Aku pernah merasakan kebahagiaan yang Mbak Nindy rasakan. Tepat dihari ulangtahunku yang ke 19, Mas Pras datang bersama kedua orangtuanya, mengutarakan bahwa maksud kedatangan mereka adalah untuk me52
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mintaku agar menjadi istri Mas Pras. Aku menjawab, “Ya, saya bersedia.” Hatiku berbunga-bunga, namun tiba-tiba Ayah menegaskan kepada mereka bahwa aku terikat kontrak beasiswa kuliah, Mas Pras baru bisa menikahiku setelah aku lulus kuliah, ”Apakah Mas Pras dan Bapak Ibumau menunggu 3 tahun lagi?” tanya Ayah. Mas Pras menjawab dengan tegas, “Saya mau menunggu.” Ayah menegaskan sekali lagi, “Tiga tahun bukan waktu yang singkat, apa Mas Pras yakin? Bukankah ini terlalu terburu-buru?” Kembali dengan tegas ia menjawab, “Saya yakin. Saya khawatir Tiara diambil orang lain jika tidak saya lamar sekarang.” Akhirnya Ayah menyetujui, lalu Ibu Mas Pras memasangkan cincin di jari manisku dan Ibuku memasangkan cincin di jari manis Mas Pras. Momen itu didokumentasikan dalam sebuah video oleh Ningsih, adikku. Ayah Mas Pras yang lebih mengerti agama daripada Ayahku membacakan doa-doa panjang untuk kebaikan hubungan kami. Selesai berdoa, Ibu Mas Pras berkata, “Saat ini Tiara sudah resmi terikat dengan Pras, jika kelak Tiara menerima lamaran pria lain maka Tiara dan Bapak Ibu akan berdosa, begitu pula sebaliknya dengan Pras.” Keluargaku yang pemahaman agamanya tidak begitu dalam hanya mengiyakan ucapan Ibu Mas Pras, namun terlepas dari apa yang dosa dan tidak, kami memegang prinsip bahwa kami tidak akan mengingkari janji dan menggenggam teguh kesetiaan. Setelah acara, kami makanmakan sambil berbincang-bincang ringan. Rasanya sangat bahagia. Se umur hidup aku belum pernah berpacaran. Baru kali ini aku saling sa yang dengan seorang pria yang lebih tua 8 tahun dan langsung dilamar. Walau kala itu usiaku masih sangat muda, niatku benar-benar ingin menikah dengan Mas Pras. Aku sebegitu tulus mencintainya. Ia terasa sebagai pelengkap hidup yang paling mengerti diriku, menceriakan hariku, dan mampu menerima segala kekuranganku. Namun ternyata, sungguh usia 19 tahun adalah usia yang terlalu dini untuk jatuh cinta Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
53
dan memutuskan hubungan yang serius, serta usia 27 tahun adalah usia yang telah jauh membutuhkan pernikahan lebih cepat daripada apa yang Mas Pras pikirkan kala itu. “Mbak, laptop kamu dimana? Aku mau pinjam buat bikin tugas,” ucap Ningsih membuyarkan lamunanku. “Oh ada di kamar atas, aku cek dulu ya soalnya kemarin wifi nya sempat rusak,” jawabku pada adikku. Aku beranjak menaiki tangga ke kamar dan lekas menyalakan laptop. Tiba-tiba teringat dengan folder yang sudah lama ku sembunyikan. Hmm buka sebentar tidak apa-apa kali ya, aku rindu, batinku. Folder tentang semua kenanganku dengan Mas Pras tersimpan disana. Aku mencoba membuka folder Ramadhan 2015. Kala itu Mas Pras merupakan pengusaha eksportir kerajinan tangan, telah memiliki kantor kecil di rumahnya dengan beberapa pegawai. Untuk melalui ramadhan dan lebaran bersamaku, ia meliburkan kantornya dua minggu penuh. Aku sungguh merasa sangat diprioritaskan. Ada foto saat kami sedang memasak menu buka puasa bersama dan membuat kue lebaran bersama. Mengingatkan ku bahwa ia yang saat itu tinggal sementara di kostan nenekku selalu datang tepat waktu untuk sahur dan buka puasa bersama dirumahku, sebab jaraknya dekat hanya sekitar 7 rumah. Membaur dengan orangtua dan adikku, me ngambil hati mereka. Adikku yang selama ini sulit dimenangkan hatinya sampai luluh oleh Mas Pras, mereka sangat akrab. Hingga Lebaran Idul Fitri 1436 H pun tiba. Pagi hari suara takbir berkumandang. Aku sudah berpakaian rapih bersiap untuk sholat Ied. Saat sedang berdandan, Mas Pras mengetuk pintu rumah, aku membukakannya. Ia masuk ke ruang tamu lalu menatapku lekat dengan mata berbinar-binar, “Kenapa?” tanyaku. “Aku bahagia sekali, pertama kalinya dalam hidupku di momen Le baran, orang pertama yang ku lihat di pagi hari adalah wanita yang aku 54
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
cintai, semoga untuk selamanya bisa menatapmu seperti ini,” jawabnya lembut. Aku tersenyum tersipu malu, lalu melanjutkan berdandan. Setelah sholat Ied, Mas Pras ikut keluargaku berkumpul di rumah nenek. Semua keluarga besar berkumpul di sana. Saat Paman bertanya tentang siapa Mas Pras, dengan tegas ia menjawab, “Saya calon suami Tiara.” Aku terpaku, dalam hati penuh bunga bermekaran. “Mbak, bisa ngga laptopnya?” tanya adikku menghentikan lamunanku. “Eh iya, bisa, tapi sebentar ya 10 menit lagi, aku lagi pakai sebentar,” jawabku yang masih belum ingin berhenti mengenang. Kubuka folderlain yang mundur ke beberapa bulan sebelumnya, ’Ulang Tahun ke 19’ judulnya. Di sana ada video saat Mas Pras bekerjasama dengan keluargaku untuk memberikan kejutan ulang tahun. Tepat jam 12 malam, mereka mematikan lampu kamar. Lalu Ibu berteriak di dekatku, “Kecoa! Kecoa! Ada kecoa di kasur!” Sontak aku terbangun ketakutan sambil lompat dari kasur dan ternyata di depanku ada wajah Mas Pras disinari cahaya lilin dari kue ulang tahun yang dibawanya. Sambil tersenyum manis ia mengatakan, “Selamat ulang tahun, Sayang.” Sungguh momen yang keindahannya membuatku diam terpaku, mataku berkaca-kaca penuh bahagia. “Make a wish,” ucap Mas Pras. Aku memejamkan mata, membuat permohonan lalu meniup lilin. Lampu kamar dinyalakan kembali. Mas Pras memberikan kue kepada ku lalu ke luar menuju ruang tamu untuk mengambil kado yang sudah ia siapkan. Sebuah kotak berwarna ungu mengilap bercorak batik dihias pita merah. Saat hendak membuka pitanya, aku menemukan cincin swarov ski dipita itu. Cincin dengan model yang sudah lama aku inginkan, ternyata Mas Pras membelikannya. Aku terharu ia selalu memenuhi keinginanku. Dipasangkannya cincin itu dijariku, lalu aku mencium ta ngannya dengan penuh rasa syukur. Ku buka kotak kado darinya, didaAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
55
lamnya ada Al-Qur’an kecil, dompet, serta buku novel Layla Majnun. Semua momen indah itu terekam dalam sebuah video yang sedang aku tonton. Tak terasa air mata menetes, rasa rindu sekaligus perih menyelimuti seluruh bagian hati yang telah retak. “Mbak, masih lama ya? Udah lewat 15 menit nih,” tanya adikku dari luar pintu kamar. Bergegas ku hapus air mata dan menjawabnya, “Iya sudah selesai nih, masuk aja ambil laptopnya.” Perasaanku menjadi tidak karuan. Aku memutuskan untuk tidur siang. Tidak lama kemudian aku terbangun dengan rasa sesak di dada. Aku mimpi buruk. Bayangan tentang kejadian bulan Maret 2016 masuk ke mimpiku lagi. Kejadian di mana satu hari sebelum UAS, untuk pertama kalinya ku buat akun instagram. Iseng mencari nama lengkap Mas Pras, ternyata instagramnya ada. Ku buka akunnya, terdapat foto-foto ia sedang di hutan pinus, menggunakan jam tangan kesukaannya yang merupakan kado dariku. Aku scroll kebawah. Lalu, nampak foto Mas Pras bersama seorang wanita yang sedang menggenggam erat tangannya dengan caption ‘Semoga lancar sampai hari akad dan resepsi.’ Ia menandai nama Shinta Putri Oktaviani pada unggahannya. Apa? Apa-apaan ini? Bagaimana tunanganku bisa bersama wanita lain dan menulis caption seperti ini? Hatiku remuk, air mataku menetes tanpa henti, paru-paruku berhenti mengambil nafas hingga aku amat sesak. Tanganku yang memegang ponsel menjadi dingin gemetaran. Hilang semua rumus pelajaran yang berjam-jam ku hafalkan. Ayahku melihatku bercucuran air mata lalu menghampiriku, membuka isi ponsel ku kemudian lekas memeluk dan menenangkanku. “Apa yang terjadi... Dia akan jadi suamiku kan Ayah... Siapa wanita itu... Ini hanya mimpi buruk kan...” Ucapku tersengal-sengal penuh air mata. Kami sudah memiliki banyak foto artistik yang ia bilang ingin dijadikan foto Pre Wedding. Kami sudah membicarakan rencana pernikahan dan bulan madu. Kini semua harus pupus? Ayahku yang tidak punya instagram segera mencari nama Shinta Putri Oktaviani di Facebook dan mengirim pesan kepadanya, “Mbak, pria yang bersama Mbak itu ada56
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
lah tunangan anak saya, ini foto-foto mereka, anak saya sudah dilamar olehnya. Mbak ini siapa?” Mbak Shinta menjawab, “Setahu saya Mas Pras keberatan menunggu Tiara beberapa tahun lagi... Dan Mas Pras juga sudah melamar saya Pak.” Ayahku geram. Ia mengirim pesan ke Mas Pras, “Apa-apaan kamu Pras? Kamu melamar wanita lain tanpa memutuskan lamaran kamu dengan keluarga saya?” Mas Pras menjawab, “Saya tidak pernah melamar Tiara, Om... Waktu itu hanya silaturahmi saja.” Ayahku semakin naik pitam. Apakah Mas Pras sudah hilang akal sehat dan hilang ingatan? Jelas-jelas videonya masih ada. Ayahku menjawab, “Kamu masih waras kan Pras? Datang ke Jakarta bersama keluarga kamu dan selesaikan apa yang sudah kamu mulai secara baik-baik, supaya kami bisa melepas kamu dengan baik-baik.” Ayahku terus berusaha menenangkanku yang histeris. Hatiku tercabik-cabik, tidak percaya apa yang ku lihat. Mas Pras bagai telah memberiku sayap untuk terbang ke bulan, namun saat hendak sampai sayapku dipatahkan hingga aku jatuh kembali ke bumi, hancur berkeping-keping. Pikiranku berkelana mencari jawaban atas apa yang sedang terjadi. Mas Pras pernah bilang di pertemuan terakhir kami bahwa ia butuh menikah cepat, di usia nya yang sudah matang ia memerlukan kebutuhan syahwat. Aku tidak mengganggap serius ucapannya karena aku pun terikat kontrak beasiswa. Ia sangat mencintaiku, tidak mungkin ia tega menyakitiku, pikirku. Mbak Shinta sudah semester akhir, ia bisa dinikahi lebih cepat dariku, jarak rumah mereka pun lebih dekat dibanding denganku. Apa karena ini Mas Pras berpaling pada Mbak Shinta? Namun mengapa ia mengatakan pada ayahku bahwa ia tidak pernah melamarku? Bagaimana pria sebaik dan sealim dirinya sampai hati melakukan hal sekejam ini? Apakah dia diguna-guna hingga hilang ingatan? Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
57
Astagfirullah, kotor sekali pikiran ku. Apapun alasan di balik semua ini, tolong pasrahkan dan kuatkan hatiku atas takdir-Mu ya Allah, ucapku berdoa berulang-ulang dalam hati. Pada hari itu aku tersadar, bahwa seberjuang apapun, seberapa sering pun aku menyebut nama seseorang dalam doa agar ia menjadi jodohku, tetap Allah lah yang akan menentukan. Semakin besar harapan terhadap manusia, semakin dalam rasa sakit saat manusia itu mengecewakan. Apa yang nampak terbaik di mataku belum tentu terbaik bagi Allah untuk hidupku. Tidak semua pertanyaan ’kenapa’ yang bergelayutan di kepala harus ada jawabannya, terkadang pasrah menjadi satu-satu nya kunci untuk meredam pertanyaan ‘kenapa’ yang menyiksa. Seketika muncul rasa penasaran tentang bagaimana kabar Mas Pras sekarang? Aku memberanikan diri membuka akun instagramnya. “MasyaAllah, tabarakallah,” ucapku saat melihat Mas Pras tersenyum bahagia bersama istri dan anaknya, dibawah langit biru yang secerah pancaran wajah mereka, nampak sangat sempurna. Terimakasih Allah, telah mengabulkan doaku untuk selalu membahagiakannya. Pria yang pernah sangat aku cintai telah mendapatkan keluarga kecil impian nya. Walau dahulu aku pernah berharap menjadi bagian didalamnya. Setidaknya, rasa sakitku kini tidak sia-sia, upayaku yang mati-matian belajar mengikhlaskan telah membuahkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Aku bersyukur mampu menahan diri untuk tidak mengusik kehidupan mereka walau sesakit apapun luka yang tertinggal di dada. Sudah 4 tahun lamanya Mas Pras tetap tidak memenuhi janji untuk datang ke keluargaku agar dapat menyelesaikan hubungan kami secara baik-baik, aku tetap ikhlas dan senantiasa mendoakan kebaikan untuk hidupnya. Sebab ayahku pernah berkata, “Doa orang teraniaya di ijabah oleh Allah. Kalau kamu tulus mencintainya, jangan mengutuk, itu akan mencelakakannya dan mengotori hati kamu sendiri. Doakan yang baikbaik, sebab doa itu akan kembali untuk dirimu sendiri.” Aku percaya, setiap apa yang Allah ambil dariku akan Allah gantikan 58
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
dengan sesuatu yang lebih baik. Luka akan sembuh dengan waktu dan pemaafan, sebab menyimpan dendam hanya akan menggerogoti hati. Aku memilih berdamai dengan takdir perlahan-lahan. Walau terseokseok, aku tetap berhasil lulus kuliah menjadi sarjana dengan IPK diatas 3, mendapatkan lebih banyak sahabat-sahabat yang luar biasa, dan bekerja di salah satu anak perusahaan BUMN di Jakarta Selatan. Kini aku belajar lebih pasrah atas siapapun yang datang kepadaku. Sebab jika ia tidak ditakdirkan untuk menjadi milikku, maka sekuat apapun aku menggenggam akan terlepas juga. Namun jika ia ditakdirkan untuk menjadi pelengkap hingga akhir hayatku, maka meski ku bebaskan pun ia akan tetap kembali bersamaku.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
59
Bertepuk Sebelah Kenangan Oleh: Kurnia Effendi Sebuah kafe, sepasang mug di meja bundar, dan selapis kabut tipis di antara kita. Aku mendengar musik yang diputar seorang DJ. “Magnolia”. Judul lagu yang santer di sejumlah radio. Vokalisnya bersuara serak, tetapi justru terkesan seksi. Beberapa anak muda ikut menyanyikannya sambil bergiat apa pun, termasuk yang sedang sibuk di balik bar. Sekitar sebulan belakangan, orang-orang yang setengah hafal liriknya men-syalala di berbagai tempat. Di ambang aula kampus, di halte bus kota, di meja belajar, bahkan di teras rumah ibadah. Bukan hanya perempuan yang gandrung, para pemuda juga memuja penyanyinya. Sebagian besar mengatakan: ini cara terindah menyatakan cinta …. Bahkan andai ditiru seribu orang dalam waktu yang sama, tak serta-merta menjadi usang dan klise. “Lagu yang indah, bukan?” sambil sedikit menggoyang kepala, aku ingin mencari kesepakatan darimu. Kau mengangguk. “Symphony selalu menyajikan tren bagi penggemarnya.” Ups! Di awal kencan kita, kau mengucapkan kalimat yang sama. Aku setuju, tetapi … tiadakah pujian lain? Untungnya aku bukan pemburu segala kebaruan. Kesetiaanku boleh diuji dengan berbagai cara, dijamin tak akan luntur kecuali kau nyata berkhianat di depanku. Sungguh aku ingin jujur tetapi malu. Malam ini aku merasa jatuh cinta lagi kepadamu, jatuh hati yang berkali-kali. Senyummu telah sekian ribu kupandang dan kini seperti baru saja menjeratku untuk mengisi mimpi-mimpi. Tatapanmu memiliki kenakalan yang sangat kukenal walaupun beberapa kali di antara tegukan kopi bagai sedang mulai memerangkapku. Aku tak mampu membenci kenyataan bahwa akhirnya aku tidak sanggup melupakanmu, sejak pertengahan November 2014. Bukan itu 60
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
saja, sebab pada pertemuan kedua puluh satu kita jadian: aku menjadi milikmu. Pernyataan ini aneh, bukan? Mengapa aku tak berani memastikan bahwa kamu yang menjadi milikku? Kecemasan yang pernah dan selalu bermukim dalam hatiku, tak lain berupa pertanyaan: berapa pe rempuan lagi yang takluk di bawah tatapan matamu? Siapa sebelum dan sesudah aku? “Lagu single-nya disukai dan menjadi wabah karena mewakili cara seseorang memanjakan kekasihnya.” Astaga! Ingatanku begitu kuat, Sayang, jangan lupa soal itu! Kini membuatku heran untuk kedua kali. Itu ucapan lanjutanmu – dahulu – beberapa menit setelah lagu selesai berkumandang memenuhi ruang. Mendadak aku ingin menguji sesuatu. Misalnya menanyakan kenapa malam ini kau mengenakan kemeja kotak-kotak warna tosca yang sa ngat kusukai pada pertemuan perdana? Mengapa kau kembali menggunakan smartphone jingga yang menurutkan anomali bagi seorang cowok? Lalu mug itu …. “Aku ke toilet sebentar.” Kamu beranjak sebelum aku mengangguk. Dan itu merupakan serangkai déjà vu yang tak kumungkiri lagi. Aku tidak berpikir lain kecuali hendak menyusul ke jamban setelah sosokmu ditelan dinding pemisah dekat pantri. Sayangnya seorang pramusaji mengantarkan pesananku, fish n chips. Itu kesukaan kita berdua. Kutunggu sampai pelayan sopan itu meletakkan hidangan di meja. Lantas aku bergegas menuju lorong di sisi dapur. Kuhirup wangi kayu manis sebelum kutemukan peturasan yang bersih. Menunggu di sana hingga dua puluh menit, tetapi tidak kutemukan siapa pun. Ponselku bergetar. Sebuah pesan darimu menyala: “Aku tak sabar menunggu, Honey. Besok aku ke rumahmu sebelum pukul 9 pagi. Jangan menolak. Kubawakan anggur terbaik, seloyang kecil cake tiramisu, dan hadiah yang masih kurahasiakan. Apakah kamarmu sudah wangi? Luangkan waktu bercinta sesudah kita pesta.” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
61
Oh my God! Tubuhku dingin mendadak. Kenapa pesan lima tahun yang lalu muncul kembali? Aku sudah tiga kali berganti handphone! Mustahil! Aku kembali ke mejaku. Menu pesananku sudah berganti kemasan take away. Pramusaji yang santun itu mengatakan kafe sudah tutup karena ini bukan malam Minggu. Aku memang tidak melihat seorang tamu pun. Lalu kamu … di manakah kamu? Hanya kulihat sepasang mug di meja bundar. Aku dibantu mencari taksi dan pulang dengan perasaan sedang memasuki labirin tanpa satu pun penanda jalan keluar. Aku meneleponmu berulang-ulang tak kunjung kauangkat. Bukankah seperempat jam – atau lima tahun – yang lalu kamu mengirimiku pesan? Bukankah satu jam yang lalu kita membicarakan rencana bulan madu? Seringkas perjalanan ke rumah aku mengenang kembali peristiwa yang tersusun seperti perbukitan: naik, turun, landai, bertemu jurang, kaldera, air terjun, dan hutan yang membuat kita salah jalan kemudian menemukan jalur setapak bernama rindu. Ada jutaan tawa dan di antaranya terdapat air mata. “Sudah kuduga, aku tak mampu melupakanmu. Ratusan pertemuan selalu menambah memorabilia.” Katamu dengan berbagai variasi setiap usai bertengkar dan menghilang beberapa hari. Sekarang Minggu yang cerah, 22 November 2020. “Dear, aku sudah memesan tiket ke New Zealand. Seminggu kita akan menikmati petualangan dengaan campervan. Kita ke Mount Victoria Lookout untuk menyaksikan keindahan Kota Wellington dari ketinggian sebelum menyeberang ke Pulau Selatan dengan ferry menuju Picton dan Abel Tasman National Park.” “Sungguh akan jadi pengalaman tak terlupakan. Terima kasih untuk hari kemarin, hari ini, dan hari esok. Mana mungkin aku berhasil menyelesaikan ini tanpa sentuhan pikiran dan tanganmu, Sayang?” Balasanmu 62
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
itu datang menjelang tengah malam. Sebuah pesan empat tahun lalu, setelah seharian kita merampungkan pekerjaan seni yang mendapatkan banyak puji. Aku belum keluar dari labirin waktu. Kupandang wajahku di cermin, kudapati satu setel leontin dan giwang mutiara yang kupesan bulan lalu. Ya, Oktober 2020, setelah menyaksikan pamerannya dalam sebuah webinar. Ini model pilihanmu. Dan kamu memintaku mengenakannya untuk kencan malam Minggu nanti. Apakah salah menjalani hubungan jarak jauh dengan sepekan sekali bertemu? Dalam setiap perjumpaan aku menemukan masa lalu dirimu. Jajaran quality time yang akhirnya mencapai titik janji dua tahun sebelum hari ini: “Cinta tidak dibiarkan tumbuh liar. Tahukah kamu cara merawat agar rimbun, berbunga, dan penuh buah?” Kamu memelukku dan kudengar musik ketika kaki kita bergerak sebagai pedansa. Di bawah cahaya keperakan, kita menjadi sepasang di antara yang lain, merayakan tahun baru di rumah seorang sahabat. Kupandangi balkon dan sumber letusan konfeti yang menebarkan serpihan kertas warna-warni. Tuan rumah bersorak menyerukan selamat tahun baru. Di layar tivi gigantik tertera: Happy New Year 2017! “Mari kita pamit. Antarkan aku pulang, dan kamu boleh kembali ke sini jika ingin berpesta sampai pagi.” Aku bertahan dari vertigo. Lega begitu tiba di rumah. Di sisi meja rias aku menemukan seperangkat baju pengantin. Sebuah koper besar tegak, meyakinkan perjalanan bulan depan ke Wellington akan terwujud. Right! Aku mengejarmu ke pintu depan ingin mengabarkan kepastian itu. Namun hanya teras dingin dengan selapis embun membasahi seluruh permukaannya. Rasi bintang yang ganjil menatapku dari lazuardi gelap. Hari berikutnya alangkah panjang kurasakan. Aku berbaring sembari membuka kembali galeri foto di ponsel, tersenyum sendiri melihat ba nyak memorabilia bersamamu. Dokumentasi paling baru adalah puluhan foto pre-wedding di Kebun Raya, di Museum Nasional, dan Pantai PelabuAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
63
han Ratu. Ini dikirimkan seminggu yang lalu oleh pemotretnya. Kita tinggal memilih dan memintanya untuk mencetak dalam ukuran besar. Ah, mungkin kamu perlu memilikinya juga meskipun kita janji akan duduk bersama menentukan beberapa dari ratusan gambar indah itu. Segera kuteruskan seluruh foto yang kumiliki kepadamu. Berhasil! Menjelang pagi kudapatkan balasan yang membuatku ingin bertanya kepada Tuhan: apa yang sesungguhnya sedang terjadi? “Sayang, terima kasih atas kiriman foto arung jeram yang seru. Ternyata kita berani memenuhi tantangan sepupumu. Oh iya, besok kita jadi membeli kucing maine coon, kan?” Dear, kini kusadari di antara kita terbentang selisih waktu 6 tahun. Aku tidak tahu di titik mana aku mengalami percepatan dan di titik mana kamu mengulang dari awal. Betapa bahagianya menjadi dirimu, diberi kesempatan menghayati kembali keindahan kebersamaan kita dengan waktu yang merayap perlahan. Cinta yang menghanyutkan itu berlangsung slow motion dalam detik-detik yang sabar. Aku ingin tidur seperti Putri Salju dalam peti kayu mahogany. Kaca bening menutup rapi membatasi tubuhku dengan suhu kamar. Aku menunggumu di sini dalam mati suri yang anggun. Akhirnya aku tahu, bahwa kita tak tahu hal yang akan terjadi setelah hari ini. Hanya ku dengar angin menderu dan kuyakini itu bukan suara hari yang baru. Jentera waktu selalu memutar usiamu kembali pada pertemuan pertama kita, sementara aku terlalu cepat mencapai hasrat memilikimu seutuhnya. Coffe time sebagai awal kencan di perjumpaan kedua puluh satu seolah-olah kekal dalam selembar kartu pos. Jangan dihapus, ja ngan kau lenyapkan. Sebab aku ingin selalu bersamamu. Jangan biarkan aku bertepuk sebelah kenangan. Selalu kuingat: sebuah kafe, sepasang mug di meja bundar, dan tidak ada pembatas apa pun di antara kita. *** Jakarta, 23 November 2020 64
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
BUKU HARIAN BIRU Oleh: Jauza Imani Ibumu menginginkan aku menjadi menantunya, tetapi kau tak juga menjadikanku sebagai istrimu. Bagaimana mungkin? Kalimat itu kutemukan di dalam diary usang bersampul biru, yang kubuka secara acak saat berkemas menjelang kepindahanku ke kota lain, dua minggu mendatang. Buku harian masa lalu, saat masih bersamamu. Aku terpaku sejenak, tersadar ternyata masih kusimpan rapi buku harian itu bersama album foto dan dokumen lainnya di dalam lemari buku yang jarang kubuka. Kubiarkan beberapa dokumen berserakan. Sebagian sudah masuk ke dalam kardus berukuran sedang yang kuminta dari warung kelontong tak jauh dari rumahku. Aku lebih tertarik pada buku biru yang mulai menguning di bagian sisi sampingnya. Hei! Apa kabar dia di sana? Tiba-tiba, kuteringat sosok lelaki tinggi besar itu. Saat itu, tubuhku yang mungil tentu saja harus memakai sepatu berhak tinggi ketika berjalan bersamanya agar terlihat seimbang. Kubuka lagi buku itu, lembar ketiga. Diary, aku senang dan berte rima kasih kepada Tuhan atas pertemuanku dengannya. Seketika anganku melayang pada kisah pertemuan 25 tahun lalu. “Ubay.” Lelaki itu menyodorkan tangannya. Kami duduk di sebuah kursi kayu panjang, di teras rumah saudaraku di sebuah desa. Aku baru saja tiba di sana, menjenguk salah seorang kerabat yang sedang sakit. “Like.” Jawabku sambil tersenyum. “Saudaranya Pak Hendra, ya? Baru lihat.” Ia bertanya sambil memi ringkan tubuhnya ke arahku. “Saya bersama teman-teman baru dua minggu berada di desa ini.” Ia menjelaskan sebelum kubertanya. Pantas saja aku tak mengenalinya. “Iya.” Sikapku ramah padanya. Senang ada teman yang bisa diajak mengobrol, sementara orang tuaku bersama kerabat lain di ruang ke Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
65
luarga. Kami terlibat dalam percakapan hangat. Rupanya ia tengah menyelesaikan Latihan Integrasi Taruna Wreda dari Akademi Kepolisian sebagai ketua angkatan. Pertemuan yang singkat karena aku harus kembali ke rumah di kota. Selanjutnya komunikasi intens kami teruskan melalui telepon, hingga ia harus kembali ke akademi kepolisian untuk menyelesaikan pendidikannya. Kutarik napas dalam-dalam. Buku harian yang kupegang seakan menarik kenangan. Ada rasa yang membuatku ingin terus membaca nya. Di tengah buku kudapati kalimat, Diary, aku begitu mencintainya. Tapi aku tak tahu apakah ia sungguh-sungguh mencintaiku, seperti cintaku kepadanya. Ah, membaca ini hatiku bergetar. Ada rasa pedih mendalam. Hatiku seakan tersayat kembali, setelah bertahun-tahun kurawat agar tak terluka lagi. Menjalin hubungan jarak jauh tentu saja ada kendala tersendiri, terlebih kami masih sama- sama menyelesaikan studi. Pertemuan yang terbatas karena jarak dan waktu. Belum lagi tuntutan kehadiran seorang kekasih pada saat yang dibutuhkan. Rindu yang tak pernah terbalas, dan masih banyak seribu alasan lainnya hingga kami memutuskan untuk berpisah. Diary, izinkan aku terus mencintainya dengan cara membebaskan nya. Ya, ini satu-satunya cara yang kulakukan sebagai bukti cintaku kepadanya. Kuhilangkan rasa marah, benci, dendam dan sakit hatiku. Hubungan kami tetap baik, begitu juga hubunganku dengan keluarga, terutama mamanya. Tapi tahukah kalian, betapa aku harus menahan tangisku saat ia bercerita bahwa ia telah bertunangan? Lalu beberapa waktu setelahnya ia kembali bercerita bahwa hubungan pertunangan mereka pun berakhir. “Like, Mama menginginkan kamu yang menjadi istriku.” ucapnya lewat telepon di suatu hari. Tentu saja aku tertawa mendengarnya. “Kamu terlalu baik, Like. Maukah kau menyambung kembali hubungan kita?” 66
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Lagi-lagi aku tertawa. Tidak semudah itu. Aku ingin menjadi pendam pingmu, bukan pendamping mamamu, meski aku pun menyayangi dan menghormatinya seperti orang tuaku sendiri. Aku belum yakin dengan keputusanmu, walaupun masih ada cintaku untukmu. Apalagi saat itu aku sedang dekat dengan seseorang yang kini menjadi suamiku. Ya, aku memilih Seto pada akhirnya, karena ia mengajakku menikah, bukan sekadar menjalin hubungan sebagai kekasih hati. Buku harian biru membuatku kembali rindu pada sosok Ubay. Salah, kah? Aku rindu suara beratnya, rindu kenakalannya. Ah, anak bandel itu. Diary, aku teringat janjinya, akan mengecup keningku jika ada pertemuan kembali. Oh, senangnya hatiku. Terima kasih, Ubay, semoga kita selalu bersama. Kali ini aku tak bisa menahan emosiku. Kerinduanku memuncak padanya. Janji itu tak pernah ia tepati, karena kami benar-benar tak bertemu dan berkomunikasi kembali. Perlahan kuusap air mataku yang mengalir tanpa kusadari. Setitik nya jatuh di buku harian biru. Diary, aku tak bisa menangis karena kesedihan. Aku hanya menangis karena cinta. Kini izinkan aku menangis ya, Diary. Aku menangis dalam kebahagiaan, karena aku bisa mencintainya dengan membebaskannya. Kututup perlahan buku harian biru. Kudekap sambil tersenyum. Tak ada yang kusesali. Kusadari ini hanyalah bagian cerita di masa lalu. Menikmati kenangan yang hadir lewat buku ini. Ya, sebatas kenangan yang juga tak ingin kulupakan. *** Kepindahanku ke luar kota karena mengikuti tugas suami, yang mutasi ke cabang baru di perusahaan swasta nasional. Baru malam ini aku dan suami sempat datang ke rumah Pak RT, silaturahmi sekaligus laporan sebagai tetangga baru. Pak RT bercerita tentang situasi lingkungan perumahan tempat kami tinggal, aktivitas warga, juga menyebutkan beberapa nama tetangga yang terdekat dengan rumahku. “Di ujung jalan ini juga ada tetangga baru yang datang seminggu Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
67
lalu.” Pak RT menjelaskan sambil mempersilakan kami menyantap kuekue yang tersaji di meja. “Ia pindah dari Bandung, namanya Pak Ubay. Ubaidillah Hamid Asta” “Siapa, Pak?” Aku bertanya untuk memastikan, bukan karena tak mendengar. Jantungku berdebar lebih cepat mendengar nama itu. “Pak Ubay. Brigjen Polisi Ubaidillah Hamid Asta.” Aku tercekat mendengarnya. Adakah orang dengan nama dan jabatan yang mungkin sama? Apakah Tuhan berniat mempertemukan kami kembali?
(Bandarlampung, 2020)
68
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
DARI JENDELA PESAWAT Oleh: Nur Afifah Sayup-sayup adzan terdengar melalui teras rumah, aku berjalan menghampiri kakek yang duduk di sana. Akhir-akhir ini pendengarannya tidak berfungsi dengan baik, tugasku sekarang adalah memberitahunya tiap kali tiba waktu shalat. Aku menepuk pundaknya pelan, kakek menoleh kepadaku sambil melihat gerakanku yang mengangkat tangan seperti akan memulai shalat, dengan cepat ia mengangguk dan memahami maksudku. Belum selesai berdiri, aku dikagetkan dengan suara yang sangat berisik, suaranya bahkan berhasil mengalihkan perhatian kakek yang dari tadi tidak bergeming kecuali hanya mengangguk satu kali. Sepertinya ada sebuah pesawat yang sedang lepas landas di atas sana, jaraknya lumayan dekat sehingga nampak sekali terlihat besar ukurannya. “Apa pesawat punya jendela Maila?” Astaga! pertanyaan macam apa ini, kenapa tiba-tiba jiwaku seakan melayang kepada peristiwa sepuluh tahun silam? Angga melambai-lambaikan tangannya kepada pilot yang tengah bekerja di atas sana. Benar atau tidak Angga selalu bilang kalau ia sering melihat para pilot tersenyum kepadanya saat mereka mengemudikan pesawat, yang jelas aku adalah orang pertama yang menolak pernyataan tersebut. Mana mungkin penumpang di dalam pesawat itu melihat kami yang jaraknya ribuan kaki dari mereka, apalagi tersenyum, sangat mustahil. “Mai, lihat! Pilot itu melambaikan tangannya lewat jendela!” Angga berseru keras padaku di tengah bisingannya suara pesawat yang sedang lewat. Aku mulai kesal dengannya, nampak sekali bagiku ia sedang me ngarang-ngarang cerita. “Apa pesawat punya jendela? Ada-ada saja kamu!” Aku memalingkan wajah dari Angga, merasa sangat tidak suka dengan apa yang barusan dikatakannya. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
69
“Hei... siapa bilang pesawat tidak punya jendela, buktinya aku setiap hari melihat mereka menyapaku dari jendela itu.” Angga tidak mau kalah. “Hmm...baiklah.” kali ini aku tidak mau lagi berdebat dengannya. “Hmm..., kamu tahu para pilot itu selalu bilang begini di atas sana, ‘Angga! Sepuluh tahun ke depan kamu yang akan mengemudikan pesawat ini!” Angga berteriak tepat di telingaku, ia benar-benar sedang kesurupan, pikirku kala itu. Sebenarnya aku dan Angga berteman baik, setiap pulang sekolah kami akan pergi bersama menuju sawah untuk mengantarkan makan siang, aku akan mengantarkan makanan untuk bapak tercinta, dan Angga tentu saja mengantarkannya untuk bapaknya. Aku senang saja kalau disuruh mengantarkan makanan, lebih tepatnya karena akan ada banyak waktu bermain bersama Angga di sekitar tebing sawah. Entah sejak kapan aku suka bermain dengannya, yang jelas Angga pernah bi lang kepadaku kalau kelak ia akan menjadi pilot dan mengajakku jalanjalan gratis keliling dunia. Aku yang tidak pernah naik pesawat atau helikopter ini seringkali membayangkan betapa menyenangkannya jika hal itu benar-benar nyata. Akhirnya kebiasaan menyaksikan pesawat dari tebing sawah menjadi momen yang tidak boleh ketinggalan, walaupun dari kejauhan aku senang saja melihatnya sambil mengkhayal menjadi salah satu penumpang di dalam sana, bersama Angga tentunya. “Ada berapa kapal terbang yang lewat hari ini?” ibu menyapaku dari balik pintu, ia selalu saja mengatakan pesawat dengan sebutan kapal terbang, hal itu sudah menjadi turun temurun sejak dahulu, berun tungnya aku lahir sebagai orang yang ditakdirkan untuk memutus rantai penyebutan istilah tersebut. “Ada banyak bu, Angga bahkan mendengar para pilot berteriak dari arah jendela pesawat.” Aku menceritakan kejadian mengesalkan itu pada ibu. Ibu balas tertawa mendengarnya, sama sepertiku pasti ibu juga berpikir kalau Angga sedang kesurupan. 70
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Lain kali ajak ibu, ibu juga mau melihat bagaimana pilot-pilot tampan itu berteriak dari jendela kapal terbang.” Ternyata ibu tidak berpikir kalau Angga sedang kesurupan, ibu justru ikut-ikutan mau melihat para pilot itu berteriak, dan apa tadi? ibu bilang pilot tampan? Aisshh..., sekali saja bapak mendengarnya, siap-siap cemburunya akan naik ke level akut. Tidak seperti biasanya, entah kenapa hari itu pagi-pagi sekali Angga datang menemuiku, ia mengajakku pergi menyaksikan pesawat. “Ada masalah apa? Kenapa pagi-pagi begini mengajakku menyaksi kan pesawat?” Aku merasa aneh dengan penampilannya yang terlihat rapi, padahal sekedar untuk menyaksikan pesawat yang akan lepas landas, itupun dari tebing sawah. “Kita tidak punya banyak waktu, ayo cepat Mai, ini kesempatan emas!” Kalau sudah begini, Angga benar-benar terlihat seperti seorang penerus pilot. “Eh..iya, tunggu sebentar, aku harus pamit terlebih dahulu.” Aku tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama, Angga terlihat sangat serius. Sepanjang perjalanan menuju sawah, Angga tidak banyak bicara kepadaku, ia hanya bilang ‘ya’ atau ‘tidak’ jika sesekali aku bertanya. Aku dan Angga menyusuri tebing sawah dengan hati-hati, bekas hujan membuat jalanan di sekitar sawah terlihat licin, lengah sedikit saja pasti akan menyesal seumur jagung. Beberapa menit kemudian, kami sudah tiba di tebing sawah dan siap menyaksikan pesawat yang sebentar lagi akan lewat di atas sana. Angga memperlihatkan sesuatu yang ada dita ngannya dan sebenarnya aku berusaha menanyakan hal itu sepanjang jalan menuju sawah tadi. “Apa itu? Pesawat?” Mataku tidak lepas dari miniatur pesawat yang ada di tangan Angga. “Bukan, ini miniaturnya.” Angga menjawab singkat, siapa juga yang Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
71
mengatakan itu pesawat sungguhan. “Apa ini? Haha!” mataku refleks melihat miniatur jendela pesawat yang ukurannya dibuat lebih besar dari pintu pesawatnya, sangat lucu. “Jangan mengejek, ini buatanku sendiri.” Sekarang Angga tampak kesal padaku. Tapi siapa sangka di usianya yang baru dua belas tahun itu Angga sudah berhasil membuat miniatur pesawat, meskipun hanya dari kardus bekas. “Aku tidak mengejek, ini sungguh bagus, terlihat sempurna tapi...” “Tapi jendelanya terlalu besar? Memang sengaja dibuat begitu.” Angga menyahut langsung ucapanku. “Kenapa?” Aku bertanya karena masih bingung dengan imajinasinya yang terkadang di luar batas normal pemikiran manusia. “Nanti kalau aku jadi pilot, akan lebih mudah menyapamu dari jendelanya, kalau sebesar ini kan kamu pasti melihatku.” Astaga, jawaban nya membuatku tidak berhenti tertawa seperti orang kesurupan. “Ambil ini, anggap saja sebagai kenang-kenangan dariku.” Angga memutus tawaku, ia menyerahkan miniatur pesawat itu ke tanganku. Kali ini aku benar-benar tidak mengerti dengan ucapannya, terdengar seperti ia tidak akan bertemu lagi denganku. “Aku akan pergi ke Samarinda, mulai hari ini aku akan tinggal di sana.” “Hari ini? Bapak ibumu bagaimana?” Aku sedikit terkejut dengan ucapannya barusan. “Kami pergi sekeluarga, bapakku dapat pekerjaan tetap di sana, jadi aku juga akan pindah sekolah mulai hari ini.” Angga berusaha memasang wajah datarnya. Kali ini aku tidak ada niatan sama sekali untuk mendebatnya, rasanya hari ini akan menjadi yang terakhir kalinya kami bermain bersama dan menyaksikan pesawat melalui tebing sawah. “Maaf baru memberi tahumu, sekarang aku harus pulang, sebentar lagi kami akan pergi ke bandara. Pesawat yang kutumpangi berangkat 72
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
jam 08.30 pagi ini.” Angga berjalan meninggalkanku, aku masih sangat terkejut dan juga bingung, kalau sekedar perpisahan kenapa harus me ngajakku ke tebing sawah? Tiba-tiba saja terdengar teriakan dari Ang ga, “Mai! Aku akan ada di pesawat satu jam lagi! Tunggu saja di situ, aku akan meneriakimu dari jendela pesawat nanti!” Anak itu kuat sekali imajinasinya, tetapi untuk kali ini aku justru mempercayai ucapannya. Satu jam menunggu di tebing sawah membuatku merasa aneh sendiri, sejak tadi tak ada satupun pesawat yang lewat. Ada kesedihan yang secara tiba-tiba menghampiriku, teman yang dulu duduk bersamaku menunggu pesawat di tempat ini, justru menyuruhku menunggunya berteriak dari atas sana. Aku ingin menangis dari tadi, bahkan sejak Angga memberitahuku kalau dia akan pergi ke Samarinda. Sudah jam 09.30, tetap tidak ada pesawat yang lewat, aku benar-benar menangis saat itu sampai ibu datang dan mengajakku pulang. Ibu tahu apa yang terjadi, ia mencoba menenangkanku dan mengatakan kalau pesawat yang terbang membawa Angga dan keluarganya sudah lama pergi, tetapi rute perjalanannya tidak melewati tebing sawah kami. Aku juga tidak mengerti apa yang aku tunggu, sekalipun pesawat yang ditumpangi Angga lewat sini, mana mungkin aku mendengar teriakannya, mana mungkin juga jendela pesawat boleh dibuka saat terbang diketinggian ribuan kaki. Sejak hari itu Angga pergi dengan meninggalkan sebuah kenangan yang berhasil membuatku mustahil melupakannya, tak ada satupun kejadian hari itu yang hilang dari ingatanku. Sampai sekarang di usiaku yang genap dua puluh dua tahun ini, aku bahkan masih ingat bentuk miniatur jendela pesawat yang pernah dibuatnya, dia bilang akan mudah bagiku melihatnya menyapa dari atas sana jika jendelanya dibuat dengan ukuran besar. “Apakah pendengaran cucu kakek yang masih muda ini juga ikut terganggu? Semoga hanya aku yang tuli di rumah ini.” Kakek menyadar kanku dari lamunan. “Eh...kakek bicara apa tadi, tuli? Aku tidak tuli kek.” Baru kali ini kaAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
73
kek mengataiku, hampir saja aku tertawa mendengarnya. “Apa pesawat punya jendela Mai?” Kakek mengulangi pertanyaannya. “Kakek kenapa bertanya begitu?” Aku mendekatkan mulut ke teli nganya agar tidak repot lagi mengulangi ucapanku. “Kalau ada, aku akan melempar kertas peringatan lewat jendelanya, tidak baik berisik saat maghrib!” Kakek terlihat serius, aku justru tertawa mendengarnya, tapi kali ini tidak seperti orang kesurupan. “Pesawat punya jendela kek, tapi bukan untuk dilempari kertas pe ringatan, jendelanya dibuat agar kita bisa melihat seseorang berteriak dari atas sana.” Aku menjawab asal, mengingat-ingat apa yang pernah diucapkan oleh Angga, rupanya didengar juga oleh kakek. “Untuk apa berteriak dari jendela pesawat?” Tidak disangka kakek cukup teliti menanyaiku. “Dia akan bilang begini kek, ‘Maila! Aku datang menjemputmu keli ling dunia gratis, dan...” Kenapa aku menjawab asal-asalan begini. “Dan apa?” Kakek menyambungku, dalam beberapa kesempatan kadang pendengarannya terlihat begitu normal. “Dan dia akan bilang, ‘Aku merindukanmu Maila.” Apa ini, imajinasiku sekarang lebih parah dari Angga, dan lagi-lagi kakek justru mende ngarnya. “Haha! Salah Maila, dia akan bilang begini ‘Hey...siapapun yang ada di bawah sana, bawa kakekmu masuk ke dalam rumah, udara malam tidak cukup baik untuknya!” Kakek berusaha meniru suara wayang yang sering muncul di televisi, ucapannya membuatku sadar ternyata sejak tadi senja sudah berubah menjadi gelap. Sementara itu, aku terus memandangi pesawat yang lepas landas dari kejauhan, kenapa sampai saat ini Angga tidak juga menyapaku dari jendela itu?
74
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Delfina Van Vliet Oleh: Sarita Rahel Diang Kameluh Samalanga, Aceh, 1901 Sambil melindungi tas jinjing dari rintik hujan, kusibak pintu tenda peleton. Kujumpai wajah pucat kebiruan yang menjadi pangkal se onggok tubuh kurus-layu di atas dipan kayu berwarna gelap. Seorang pribumi berkulit sawo muda berpangkat kapten artileri di bawah pimpinan Komandan Van Heutz. Ia mendongak, membetulkan letak selimut. Bau tak sedap menguar dari balik selimut, terutama ketika aku duduk tepat di sisinya. Luka di perutnya membusuk dan menjadi gangren. Infeksi dan daging yang mulai hitam membusuk menjalar ke seluruh torsonya. Kakinyapun butung separuh. Ia didera demam tinggi dan mengerang kesakitan. Tak ada lagi yang bisa dokter lakukan selain memberinya laudanum dan memanggilkan almuseneer.1 Kupandang tangan pria itu. Kisut bergelambir karena dehidrasi, bagai kulit seorang kakek berusia delapan puluh tahun. Padahal menurut catatan di atas tempat tidurnya, usia pria ini baru lima puluh enam tahun. “Selamat sore, Kapten Agnibrata,” sapaku tanpa tersenyum. Kedua kelopak mata itu terlihat terangkat, “dokter Plathart?” ia melempar suara serak, “Plathart sedang di bangsal rumah sakit. Aku...” aku melepas topi runcingku, mengibaskan rambut yang melekat di dahi dengan telapak supaya ia dapat melihat jelas wajahku. “Maurits, anak dari Ernst Van Vliet. Kita sudah pernah bertemu.” Kedua mata sayu itu langsung membelalak, wajahnya semakin kucam pucat, seakan-akan ia baru saja melihat hantu. Bibirnya bergetar Pendeta tentara
1
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
75
dan tampak komat-kamit dengan tidak jelas, “Oh, godverdomme!” ia memaki perlahan dengan suara paraunya. “Engkau di sini, Nak... apakah kau datang pada diriku yang sekarat ini untuk menghukumku? Apakah kau ingin membunuhku?” ia menghela nafas panjang, seakan-akan tak kuat berbicara, “Malaikat maut! Kaukah itu? Namamu Maurits Van Vliet, anak se orang wanita setengah serigala yang sangat kucintai itu...” “Ibuku...” sahutku dengan berat hati. Ibuku yang begitu dicintai ayah dan seluruh masyarakat Batavia itu ditemukan tertembak oleh bedil Inggris, lalu terlindas roda kereta api. Dibunuh para pemburu atau atas kehendaknya sendiri, didera duka dan hati yang porak-poranda. Tubuhnya berdarah-darah, tetapi yang teraneh ialah ia tampak bukan seperti manusia, melainkan serigala betina berbulu seputih salju yang jelita. Pakaian yang dikenakan itu jelas- jelas pakaian ibunya, tetapi wujud yang mengenakan pakaian itu adalah seekor serigala buas. “Delfina Van Vliet... semua tahu bagaimana ibuku tewas dengan tragis, dan berubah menjadi binatang buas pula. Apa yang kau tahu soal ini?” aku melanjutkan dengan sedikit rasa tak sabar. Kapten Agnibrata merasakan keresahanku, iapun seketika tampak lungkrah, “Ibumu... adalah wanita tercantik di Batavia,” wajahnya menjadi murung penuh nostalgia mengharu, ia kembali menghela nafas panjang dan tampak mengalami sesak dada, “lieve help! Sudah berapa lama ini? Hampir tiga puluh tahun yang lalu... waktu itu aku hanya perwira biasa yang ingin dipromosikan sebagai kapten, perang Aceh baru meletus dan terjadi pertempuran sengit yang memperebutkan masjid raya di Kutaraja. Waktu itu aku, anak bupati Tangerang yang menjadi perwira atas sepeser gulden dari pihak Belanda, memutuskan untuk membela gubernur jenderal dan komandan Köhler seperti yang ayahku dan ayahnya sebelumnya lakukan. Tahun ’73, ayahku diundang oleh gubernur jenderal ke Istana Rijswijk 76
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
di Batavia untuk menghadiri sebuah pesta. Tubuh dan jiwaku milik gubernur jenderal tetapi aku tidak pernah suka dengan pesta orang-orang kulit putih, bagiku pesta rakyat lebih berkesan. Di antara senyum-senyum biadab dan tepuk tangan yang memekakkan telinga, serbak kepulan asap tembakau serta wangi berahi rusa jantan, bunga delima, mawar serta lili segar yang direndam dalam jamban keramik bermotif Cina, redup lililn-lilin yang meleleh di kandil-kandil dan lampu gantung, orang-orang menaruh pandang pada seorang wa nita dalam kerumunan para perwira. Wanita itu (sungguh aku tidak kuasa menahan kebutaanku!) dengan kulit pucat bak kapur tulis, ramping dan bertubuh indah dengan lekukan yang dibungkus rok berkerangka tulang ikan paus. Gaun itu berat karena berlapis-lapis flannel kelabu dan lapisan terluarnya berenda-renda. Rambutnya yang berwarna gelap mahoni, seperti kebanyakan mode wanita priyai eksotis lainnya, dibelah tengah dengan sanggul tinggi di belakang kepala dan sejumput rambut di kedua sisi belahan dibuat berpilin seperti kotrek, dibiarkan jatuh menjuntai di atas bahu. Wajahnya luar biasa jelita – alis berwarna kopi itu padat menghias atas kelopak matanya dengan sempurna, de ngan sepasang mata azur yang menyihir dan tampak memandang dalam sanubari setiap orang. Mata bak bulir batu delima itu juga menyimpan hasrat membara... yang siap membakar Hindia dengan kobaran api yang berkayu bakar mitos dan khayalan Slavia yang punah, atau romansa-romansa beratasnamakan Lada yang lekas padam. Entahlah, bulu kudukku merinding memandang mata penuh gaib dan magis yang tak kupahami itu.” “Sifatnya tampak merusak karena keindahannya yang misterius, yang menyimpan banyak lara, kebencian, kesedihan mendalam, ideologi dan mistisisme yang menghunus dan melumpuhkan serta euforia yang merasa tidak membutuhkan surga lagi itu. Wanita itu adalah Madame Delfina Van Vliet dari Podolia, Polandia, yang mencari suaka ke Belanda dari terungku pernikahan sebelumnya yang tak bahagia. Ia istri seorang pengusaha dan pemilik saham perusahaan dagang Hindia Timur dari Lij den, Ernst Van Vliet. Ada desas-desus pula bahwa ia setengah serigala, Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
77
dan menjadi serigala ketika malam hari tidak hanya ketika bulan purnama. Ia juga seorang penyair ulung dan beberapa kali menyebut di dalam dirinya tersemat serigala betina. Wanita itu langsung memandangku, akupun tak melepaskan pandanganku padanya sepanjang malam. Saat itulah aku tahu, bahwa aku telah jatuh hati, dan hati itu dirampas oleh pandangan magis mata dari Podolia itu. “Tuan, mari kita berdansa,” tawarnya ramah. Akupun langsung me rentangkan tangan. Kami berdansa tiada henti malam itu. Semua mata terpaku pada jelitanya Madame Van Vliet yang terlalu lama berdansa dengan seorang perwira pribumi. Semua mulai mencibir dan berbisikbisik, sebab Ernst Van Vliet berada di sana dan merangkul tangan putra tunggalnya yang masih berusia enam tahun, Maurits, dirimu. Kami tak peduli pada dunia, seakan dunia hanya milik kami berdua. Biarpun lindu menerjang dan istana ini runtuh, kami akan tetap berdansa. Tuan Van Vliet yang hangus oleh api cemburu, memutuskan untuk meninggalkan gedung bersama anaknya sebelum pesta usai. Malamnya, Delfina pulang seorang diri menaiki andong mewah milik Van Vliet. Van Vliet menyuruh sang sais untuk menjemput istrinya yang tak kunjung selesai berdansa. Akupun mengejar andong itu, membuka pintu dengan paksa dan menemukan Delfina yang terkantuk-kantuk. Wajahnya menjadi pucat pasi, terkejut melihat sosok lelaki yang sedang kasmaran ini. “Aku takkan bisa melupakanmu, dan aku akan pergi kemanapun eng kau pergi. Apakah kau mencintaiku?” “Kau sudah gila!” seru Delfina resah. Ia menoleh-noleh sekitar untuk memastikan orang yang berduyun-duyun keluar dari istana tak ada yang melihatnya. “Ah, Delfina– berjanjilah padaku untuk memberikan jawaban perihal ini. Karena jika kau memilih untuk merdeka..” aku menyungging senyum hangat. Pandanganku terpaku ke arah rerumputan dengan bunga-bu nga liar seperti bunga terompet dan bunga pukul sembilan yang berse78
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mayam di tepi jalan. “...Maka berarti kau mencintaiku.” Wanita itu termenung. Ia memikirkan konsekuensi mengerikan yang akan menghadang jika ia mengucapkan satu kata yang begitu didambakan: “kemerdekaan dari suaminya yang menuntut dan tak pernah di rumah. Ia seketika melupakan anaknya yang ia cintai sepenuh hati, tetapi ia tahu bahwa keterikatan pada anaknya adalah tugas pada suaminya, pada rumah tangga yang sunyi dan menjemukkan. “Ya, aku ingin merdeka...” ******* “Apa yang terjadi selanjutnya sudah diketahui seluruh masyarakat. Wanita itu kerap mengunjungi apartemenku di dekat De Harmonie, di mana orang-orang dari Sosietiet mencuri-curi pandang dan menguping pula tentang hubungan kami, lalu menyalurkannya ke masyarakat luas. Tentunya Van Vliet geram akan hal ini, meminta cerai pada Delfina dan mengancam untuk mengklaim hak asuh atas Maurits. Hubungan kami semakin intens seiring berjalannya waktu. Delfina pantang menyerah pada suaminya dan tetap mengunjungi apartemenku itu. Ia bahkan sudah melupakan eksistensi anaknya sendiri. “Tetapi dia tetap anakmu... sebagai ibu sudah sewajarnya kau me ngasuh dan mencintainya,” Delfina merenungkan perkataanku. Ia lalu mengangguk setuju, tangisnyapun mulai pecah. Ia membenamkan kepalanya di dadaku, “Agni, Agni sayang! Apa yang harus kulakukan?” Van Vliet lalu mengajukan perebutan hak asuh ini ke pengadilan yang berlangsung selama empat bulan lamanya. Semuanya ditelaah, mulai dari mainan yang kerap dibelikan oleh Delfina pada Maurits, memberinya tutor, mengajaknya berjalan di taman, semua dilakukan sang ibu sebab Van Vliet sendiri jarang berada di rumah. Anak itu juga begitu dekat dan karib dengan ibunya, ia tak betah tinggal di aparteAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
79
men sewaan ayahnya yang kerap meninggalkannya seorang diri. Ia akan menangis di malam hari dan merengek ingin dikembalikan ke dekapan ibunya. Seorang pengacara dari pihak Ernst Van Vliet bertanya pada sang ibu, “Siapa yang lebih kau cintai saat ini? Anakmu atau Kapten Agnibrata? Kau hanya bisa memilih salah satu, tidak keduanya. Jika kau memilih anakmu, Kapten Agni harus diasingkan ke Aceh atas permintaan sang penuntut dan kehidupanmu kembali seperti sediakala. Jika kau memilih sang kapten, kau akan terombang-ambing dalam ketidakpastian hi dup: semua akan mencemoohkanmu. Sang kapten akan dicabut atau diturunkan dari jabatannya. Kau akan mencemari nama suamimu dan kau sendiri. Kau tidak akan bisa melihat anakmu tumbuh besar. Mengertikah engkau? Kemerdekaanmu ini hanya akan mencekikmu, tak pantas pula kau sebut sebagai kebahagiaanmu. Kemerdekaan berarti merana, tercekik oleh kebebasan.” Wanita itu menatap sang pengacara dengan nanar, lalu berucap dengan tegas, “Aku memilih untuk merdeka. Aku mencintai Agni!” Semua orang bersorak-sorai mengoloknya. Hakim langsung memutuskan bahwa hak asuh diberikan kepada sang ayah, dengan kelonggaran bahwa sang anak bisa bertemu ibunya sekali sebulan, hingga usianya delapan belas tahun. Tetapi bulan-bulan berikutnya, sang anak berhenti menemui ibunya. Semua kalangan masyarakat, mulai dari Menteng, Koningsplein hingga Weltevreden, mencibir kedua pasangan itu. Menurut mereka ia wanita buas nan kejam yang tega menelantarkan anaknya demi seorang perwira pribumi. Ibumu, Nak, dalam lubuk hatinya yang terdalam begitu mencintaimu, dan ini yang membuatnya tersiksa. Emosi dan keadaan jiwanya semakin tidak menentu selama ia tinggal bersamaku. Orang-orang mencibir dan merendahkannya di jalan dan gedung-gedung. Ia tampak dikucilkan dari masyarakat. Suatu malam bulan purnama, aku tak menemukan ibu80
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mu. Aku hanya mendengar suara lolongan serigala yang terdengar sendu sekaligus ganas di ujung jalan. Lalu aku melihat sekelompok petugas keamanan mengejar seekor serigala yang mengenakan baju tidur persis seperti yang ibumu kenakan malam itu”. Mereka mengejar serigala putih betina itu hingga ke stasiun yang masih ramai oleh lalu lalang kereta. Serigala itu kebingungan, dan seorang perwira meletuskan bedilnya ke kaki serigala. Peluru itu tertancap di perutnya, lalu ia jatuh terpelanting ke rel kereta api. Kereta uap pun melintas, melindas tubuh indah ber bulu seputih salju itu. Orang-orang mengerumuni bangkai serigala yang berpakaian seperti manusia. Berita itu tersebar keesokan paginya ke seluruh Batavia, dan aku menemukan secarik surat di atas meja malam itu. Di dalam diriku, atau setiap perempuan cerdas yang memberontak, bersemayam seekor serigala betina yang selalu ingin merdeka dari kungku ngan tubuh duniawinya.” Aku terdiam memikirkan kisah itu dengan mata berkaca-kaca. Di sinilah ia sekarang: Kapten Agni, manusia yang tak sengaja membunuh ibuku yang menjelma menjadi serigala betina, kini sekarat dan lesu di hadapanku. “Oh, ibumu itu... betapa aku mencintainya, dan aku membunuhnya! Tuhan, ampunilah diriku... Maurits, itukah namamu, malaikat maut?” ia lalu tak sadarkan diri setelah menyelesaikan ceritanya. Aku mengecek nadi dan hidungnya. Tak ada nafas. Nadinya berhenti. Ia sudah tiada. Seekor serigala berbulu putih melintas di depan tenda, menjulurkan lidahnya seperti anjing, menatapku dengan dalam. Beberapa detik ia terhenti di hadapanku yang kini juga menatapnya. Aku kenal mata itu. Mata bulir delima azur itu. Lalu seorang perwira mengusirnya dan menodongnya dengan bedil. Serigala itu terperanjat dan berlari kencang menjauhi kamp tentara. Surabaya, 20 November 2020
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
81
Di Bawah Pohon Jambu Air Oleh: Nuraini,S.Pd Ketika aku ingin memulai cerita ini, air mataku sudah tumpah duluan. Aku tak mampu membendungnya. Dia jatuh di akhir bulan Oktober saat panas dan hujan bergiliran melaksanakan tugasnya di bumi. Ketika kulupa, kapan terakhir menangis. Pohon jambu air selalu mengingatkanku pada seseorang yang dipanggil Mbah Sihab. Terbayang sosok laki-laki tua berkulit cokelat, bertubuh sedang, ramah dan murah senyum berdiri di bawah pohon jambu air miliknya yang berbatasan dengan jalan raya. Namun yang paling tak kulupa adalah penampilannya. Dia selalu tampil sederhana dengan se ragam kebangsaannya, kaos dalam putih dan celana pendek selutut dari kain kemasan tepung terigu dua puluh lima kilogram. Pohon jambu airnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Daunnya rimbun. Buahnya banyak dan tidak berulat. Warnanya merah dan terasa manis. Letaknya di sisi kiri paling depan toko miliknya. Di bawah pohon itu, dia berdiri menungguku. Memperhatikan satu persatu wajah siswa SMP yang melewati toko sekaligus rumahnya. Aku selalu pura-pura tak melihatnya. Namun jika dia melihat dan menyebut namaku, aku tak mampu berjalan terus. Dia pasti melambai dan menyebut namaku, ’Aini’, lalu kuikuti langkahnya masuk ke tokonya. Tak ada kata yang keluar dari mulutku kecuali ketika pamit. Aku tak tahu mau bicara apa dengannya. Setiap memasuki rumahnya, ada tiga lagu yang selalu dinyanyikannya di depanku. Lagu ‘Bintang Kecil’, ‘Pelangi’, dan ’Balonku Ada Lima’. Katanya, lagu itu selalu kunyanyikan ketika masih kecil. Lalu dia memperagakan gayaku dengan membentangkan tangan dan menggeleng-gelengkan kepala. Namun aku tetap tak bisa tertawa bahkan 82
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
tersenyum. Dia tak marah dan tak bertanya mengapa sikapku seperti itu. Seakan tahu jawabannya dan sudah memaafkan. Lalu seperti biasa, dia tak pernah bisa diam. Tangannya mulai ber aksi. Dia mengambil palu kayu dan memecah kacang tanah yang masih berkulit di karung. Sambil duduk, dia tak pernah bosan mengulang tiga lagu itu. Menyanyikannya sambil memecah kacang. Dia tak mengajakku bicara. Hanya fokus memecah kacang sambil menyanyikan lagu itu. Kadang-kadang, dia membungkus gula atau tepung terigu dalam kemasan plastik satu kilogram dan setengah kilogram yang diambilnya dari karung kemasan dua puluh lima kilogram. Sambil membungkus, dia menyanyikan tiga lagu itu di depanku. Aku duduk di hadapannya. Kadang-kadang di sampingnya. Tergantung di mana dia meletakkan kursi untukku. Jika aku bosan duduk, aku mengelilingi toko sekaligus rumahnya itu. Memperhatikan satu per satu dagangannya. Rumahnya terbagi menjadi dua bagian. Sisi kiri dan sisi kanan. Di sisi kiri, teras depan, ada dagangan sayur-mayur,buah-buahan, tahu tempe, ikan asin dan udang kering. Di ruang depan ada sembako. Di bagian te ngah, barang kelontong dan tempat tidurnya yang terbuat dari ranjang besi berkelambu putih. Kemudian ruang bagian belakang adalah ruang terbuka. Ada tangki air yang cukup besar, tempat mencuci dan menjemur, kamar mandi, dan gudang. Di sisi kanan, ada teras, ruang tamu, ruang tengah, tiga kamar tidur, dapur, ruang terbuka yang terdiri dari tangki air, dapur , dan WC. Halaman samping sisi kanan, ada kandang angsa yang angsanya banyak dan suaranya berisik. Anak perempuan bungsunya yang disapa ‘Mumpang’ dan belum menikah saat itu biasanya mengajakku makan siang di dapur belakang. Tutur katanya lembut. Dia pun tak banyak bertanya atau mengajakku bicara.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
83
Aku mengikuti langkahnya. Di sana, sudah ada Mbah Siti Halimah. Istri Mbah Sihab. Dia pun tak banyak bicara. Tangannya tak bisa diam, sibuk menyiapkan makanan untukku. Hampir semua perabotannya terbuat dari enamel atau seng kecuali sendok. Mulai piring, tempat nasi hingga gelas. Dia pekerja keras, subuh hari sudah ke pasar menjajakan jajanan jawa di kiosnya. Bulik Mumpang mengelola kredit barang klontong milik Simbah. Menjelang siang, Simbah pulang membawa belanjaan untuk dimasak. Aku merasa istimewa di matanya. Hanya diminta duduk di kursi lalu hidangan sudah disiapkan di meja dalam keadaan masih hangat. Saat itu, aku sangat menikmati masakannya. Masakannya adalah masakan terenak di dunia. Racikan bumbunya pas tanpa MSG alias micin. Sampai saat ini, menurut lidahku, belum ada masakan yang mampu menandingi rasa masakan Simbah. Dia sering dipanggil memasak oleh tetangganya bila ada hajatan. Menu masakannya yang selalu dihidangkan untukku adalah sayur bening bayam jagung, tempe goreng dan sambel terasi. Sayur lodeh tempe tahu , sambel terasi dan kerupuk. Bistik daging sapi atau ayam, mie goreng dan oseng tahu tempe. Setelah selesai melahap habis makanan yang ada di piringku, aku biasanya langsung beranjak dari tempat duduk. Dia melarangku mencuci piring. Aku mengikuti kemauannya. Dia berharap aku segera ke ruang tengah. Di sana, Mbah Sihab sudah menyiapkan selembar uang dari laci tokonya lalu memasukkannya di kantong baju sekolahku. Itu adalah isyarat bahwa aku harus segera pulang. “Mbah, pulang.” Aku pamit dengan wajah datar. “Ya.” Jawabnya sambil tersenyum. Kulewati pohon jambu airnya yang di sisi kirinya ada jembatan ter84
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
buat dari besi. Mbah Sihab mengiringi langkahku dan berhenti di bawah pohon itu. Pandangannya tak lepas mengarah padaku saat kupercepat langkah dan berbalik melihatnya. Aku terus mempercepat langkahku hingga pohon jambu air itu sudah tak terlihat dan aku tak lagi melihatnya berdiri di bawah pohon itu. Di tengah perjalanan sebelum tiba di rumah, kupindahkan uang yang di kantong baju ke kaos kaki atau sepatuku. Kutarik nafas lega saat itu dan semakin mempercepat langkahku di tengah panasnya terik matahari menjelang sore. Beberapa meter sebelum masuk halaman rumah, aku melihat dulu apakah ada motor yang parkir di halaman itu, Jika tidak ada, berarti langkahku mulus memasuki rumah. Namun jika ada motor pemilik rumah itu, maka aku harus mengatur strategi dulu untuk sampai di kamarku, Kamar loteng lantai dua. Suatu hari, aku melihat penghuni rumah itu sedang berada di ruang tamu. Aku mengintipnya dari balik tembok. Aku mulai melangkahkan kakiku memasuki rumah melewati halaman samping menuju dapur. Tentu saja dengan tiarap seperti tentara yang sedang latihan perang. Jika nasib lagi untung, aku bisa memasuki rumah melewati dapur dan loteng kamarku. Jika nasib apes, laki-laki itu bisa memergokiku dan menginterogasiku, dan memberikan peringatan agar aku tak ke sana kecuali lebaran. Laki-laki yang kusebut Bapak itu akan menunjukkan isyarat marah yang tertahan tanpa kata. Dia tak pernah mau menceritakan mengapa dia sangat tak suka bila aku berlama-lama di sana. Namun pada akhir nya aku ketahui juga seiring berjalannya waktu. Sebenarnya aku bisa memilih jalan lain untuk sampai ke kamarku. Memanjat tiang antena televisi yang dipasang di kandang ayam. Tiang Antena itu berdiri tepat di samping teras loteng. Hanya saja, seragam sekolahku rok biru baju putih akan kotor terkena kotoran yang me nempel di besi. Baju itu hanya sepasang yang harus kugunakan untuk Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
85
beberapa hari. Ada rasa bahagia karena aku sudah singgah di sebuah rumah yang ada pohon jambu airnya itu. Aku sudah melihat laki-laki itu berdiri menungguku. Membawaku masuk ke rumahnya, memberiku makan juga uang. Itulah bahagiaku. Hari berikutnya, aku tak pernah lagi berkeinginan singgah di rumah yang ada pohon jambu airnya itu. Aku tak ingin melihat laki-laki tua itu dan semua cerita yang ada di sana. Dari kejauhan, aku hanya bisa melihatnya berdiri di bawah pohon jambu air itu. Dia mencariku dengan melihat satu per satu siswa SMP lalu tidak menemukanku. Aku melewati jalan lain. Berbelok ke arah kiri. Tidak lagi berjalan lurus melewati pohon jambu air itu. Meskipun jalan yang kulewati itu jaraknya jauh agar sampai di rumah, aku tak punya pilihan. Kucoba menghibur diriku dengan singgah sebentar di perempatan jalan. Di sana ada gedung bioskop yang memajang gambar-gambar film yang akan tayang. Walaupun aku tak menontonnya, hatiku sudah terhibur membaca si nopsis dan gambar yang terpajang di etalase dinding. Hanya sebentar karena aku harus cepat pulang. Mempercepat langkahku. Cepat, cepat dan semakin cepat. Aku ingin segera berada di rumah. Hingga waktu tak bisa kompromi dan rasa rindu itu membuncah. Datang menyerang seperti badai. Bertiup kencang dan meluluhlantakkan hatiku. Tak mampu kebendung kerinduanku pada aroma jambu air dan daunnya yang biasa kupetik dan kumakan saat berada di bawah nya. Tak mampu kuhapus bayangan wajah laki-laki tua itu yang berdiri kecewa di bawah pohon jambu air. Tak mampu kubendung rasa inginku menikmati sepaket makanan dari Simbah Siti Halimah, sayur bening, tempe goreng dan sambel terasinya. Akhirnya kurindu pada semua yang ada di sana. Dendang ‘PelangiPelangi’, ‘Bintang Kecil’ dan ‘Balonku Ada Lima’ yang berkolaborasi dengan suara catukan palu dan kacang tanah. Bagai sebuah orkes dan vokalis kompak yang melantunkan nada-nada indah penyejuk kalbu. Su86
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
ara angsa yang membentuk paduan suara seakan tak berhenti memanggilku untuk datang menyaksikan penampilannya. Perselingkuhan itu selalu ingin kuulangi. Aku tak bisa setia hanya pada rumahku. Hanya pada laki-laki yang ditakdirkan menjadi Bapakku. Kepatuhanku selalu ingin kukhianati. Aku bukanlah seorang anak yang setia. Aku seorang pecinta dan penyayang. Mencintai orang yang mencintaiku. Menyayangi orang yang menyayangiku. Kepak sayapku seakan patah jika hatiku hanya terpaut pada rumah dan Bapak. Aku ingin ada di sana. Di sebuah rumah yang ada pohon jambu airnya. Ada laki-laki tua yang kusapa ‘Mbah’ selalu berdiri di bawah pohon itu menungguku. Aku tak bisa terbang, saat itu. Tubuhku yang luka bisa mengering. Namun hatiku tidak. Sama seperti perempuan yang bernama ,’Sri’. Pe rempuan yang juga selalu singgah di rumah yang ada pohon jambu air nya itu. Hanya saja kami tidak bertemu. Dia singgah lebih awal sepulang berdagang di pasar, lalu pulang ke rumahnya. Tak ada aksara isyarat rindu yang dititipkan secara lisan lewat penghuni rumah itu. Bahkan pada secarik kertas, untukku. Padahal aku ingin dialah yang selalu kuharap berdiri di bawah pohon itu. Menungguku lalu menggandengku masuk rumah, bercerita tentang banyak hal dan ketika pulang, aku berharap dia memelukku. Aku bagai pungguk merindukan bulan. Melihatku, itu sama saja melihat orang yang paling dia benci meskipun pernah dia cintai dan terikat pernikahan. Laki-laki itu tak mampu mencintainya secara utuh sebagaimana dia telah mengorbankan segenap jiwa raga untuknya. Melihatku, hanya mengingatkannya pada sebuah pernikahan yang gagal. Cinta tak berimbang tak berbalas. Laki-laki itu atau Bapak, akhirnya membawaku pergi ketika berusia tiga tahun. Jarak dan waktu akhirnya memisahkan. Aku pergi semakin jauh dari rumah yang ada pohon jambu airnya itu.Semakin usiaku bertambah semakin kepak sayapku tak berhenti. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
87
Aku selalu ingin terbang jauh dan tinggi. Meninggalkan semua cerita tentang pohon jambu air dan laki-laki tua di bawah pohon itu. Tak ada yang abadi di dunia ini. Cinta dan kebencian pada akhirnya akan berakhir di ujung usia. Di bawah pohon jambu air itu, tak ada lagi laki-laki tua berdiri menunggu seorang anak perempuan SMP memakai seragam putih biru, berambut pendek, berkulit sawo matang, dan sulit tersenyum. Mbah Sihab, Mbah Siti Halimah, Bulik Mumpang, dan Bapak telah tiada. Bahkan pohon jambu air itu pun telah tiada. Diganti kios pedagang kacamata. Namun kenangan pohon jambu air tetap masih ada. Di sini, di sanubariku. Kerinduanku kini hanya tinggal kenangan. Telah terbang dibawa angin senja. Tak pernah bisa kembali. Hanya ada dalam memori dan rangkaian doa indah untuk semua. Orang-orang yang pernah sangat menyayangi namun kutak sempat memberikan senyum terbaikku bahkan senyum terakhir untuknya. Apalagi dengan dia, laki-laki yang selalu berdiri menungguku di bawah pohon jambu air.
88
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Gelang Sambernyawa Oleh: Haryo Guritno Sore ini pelelangan ikan Gedong Baru ramai para tengkulak me nawar jenis ikan di lantai pelelangan. Pedagang berlomba membeli untuk dijual esok harinya di Pasar Pagi, atau sore hingga malam hari di edarkan jualannya keliling kota. Terlihat hasil penangkapan perahu Abah Yoga pemilik perahu di Pantura begitu banyak. Tiap sore pasti merapat di pelelangan ikan ini setidaknya 18 perahu ikan miliknya. Tiap pagi berangkat melaut dan sore hari pulang membawa hasil tangkapan yang banyak dan dipasarkan di pelelangan ini. Dari penjualan ikan hasil melaut setiap harinya itulah yang menjadikan Abah Yoga kaya raya dan dikenal banyak orang sebagai Juragan Perahu Ikan yang sukses. Perahu ikan milik Abah Yoga semuanya berangkat pagi dan pulang sore hari, merapat di pelabuhan ikan yang selalu ramai sepanjang hari hingga senja tiba. Malam harinya warung sekitar pelelangan juga masih buka, banyak nelayan beristirahat santai sambil bercanda. Tiap malam pelelangan Gedong Baru meluncurkan riang gembira mereka yang mendengarkan lagu tarling, dan juga lagu memukau yang bisa menghi langkan rasa penat setelah seharian melaut. Terdengar nyanyian kebanggaan nelayan, “Wadon Bae” yang hingar di pesisir itu hingga malam tiba. Wadon bae, wadon bae Maning maning, wadon bae Wadon bae, wadon bae Maning maning wadon bae
Ana Mimin, ana Siti Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
89
Kang dadi lara ning ati Ana Minah, ana Sitoh Kang dadi panas ning ati
Wadon bae, wadon bae Sing diluruh wadon bae Wadon bae wadon bae Kepingine wadon bae
Malam tiba. Malam pekat bagai hitam kelam di sini. Alunan lagu seronok sudah tak terdengar lagi. Dekat pelelangan ikan ada lahan pemakaman Tionghoa di pinggir kota. Saya berdiri bersandar pipa tiang lampu di pinggiran jalan raya. Menatap awan hitam yang menandai hujan sebentar lagi akan jatuh. Namun tidak lama, sebentar kemudian saya kembali ke rumah dan duduk di beranda depan. Gelang sepasang pemberian Pak Yoga mertua saya, tergeletak di meja depan saya duduk tercenung malam ini. Saya fikir gelang ini punya nilai historis tinggi. Gelang pemberian Pak Yoga Juragan Perahu ayah mertua saya semalam. Bagi saya gelang ini tak sekedar nilai historisnya menempeli emas yang sejak pagi tadi melingkari pergelangan tangan saya. Menelisik namanya saja bisa membuat bulu kuduk berdiri. Benar! Gelang Sambernyawa. Sebutan atau nama yang disandangkan pada sepasang gelang emas seberat 200 gram sepasang, yang sebuah baru saja menjelang Subuh tadi melingkar di pergelangan tangan saya di saat kritis. Sedikit terkejut saya mendengar seseorang mendekat lalu memang90
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
gil perlahan. “Andrian, mari kita berangkat!” ujar Darmono teman saya perlahan usai senja menghilang. Bergegas saya bangkit lalu meluncur bersama Darmono rekan saya satu Tim yang malam ini bertugas, sebagai malam terakhir karena Darmono berdua saya harus menyelesaikan tugas terakhir malam ini dan dia malam kemarin menginap di rumah saya. Semalam atau tepatnya di akhir malam tadi barulah sebuah gelang lagi melingkari pergelangan tangan saya yang melengkapi sebelah lainnya, sehingga genap dua pergelangan tangan saya terlilit gelang emas. Saya melangkah tergesa di samping Darmono dengan dua gelang emas Sambernyawa melingkar di dua pergelangan tangan saya, menuju lahan gelap di pekuburan Tionghoa untuk melanjutkan tugas terakhir malam ini. Sepanjang perjalanan ke lokasi, saya teringat pesan mertua saya usai saya menikahi anak gadisnya Arumi yang kini menjadi isteri saya dan telah dikaruniai seorang gadis Anjani yang sudah remaja. “Jagalah Arumi dengan bijak. Tetaplah berdoa setiap malam. Lakukan tugasmu dengan sebaiknya!” Saya mengangguk. “Iya, Bapak. Akan saya ingat seterusnya!” Sampailah saya dan Darmono di satu lokasi, tempat berupa gundukan tak rata berpasir gelap dan basah karena ceceran darah menggelontor deras dari tubuh membujur yang dihantam peluru tajam. Aku tak ingat persis berapa jumlah mayat yang menumpuk berbau anyir, yang teronggok di bekas kuburan Tionghoa ini. Meski situasi tak bersahabat, saya ingat pesan mertua saya. Juga pagi tadi Arumi isteri saya di samping Anjani anak tunggal saya menitipkan pesan: “Sudah sebulan ayah tidak di rumah. Mulailah cari kabar tentang dia, Mas! Apa jadi mau beli perahu satu lagi?” , terngiang pesan Arumi isteri saya yang perlahan diucapkan sebelum saya berangkat. “Ya. Secepatnya saya cari beritanya!” jawab saya sembari tercenung merasakan keunikan yang baru kali ini datang. Inilah satu-satunya perAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
91
tanyaan terngiang di telinga dan belum terpecahkan. Tiap malam aku menjadi pembantu penembak jitu yang bertugas, seorang yang saya tahu dari cara menembak dan memperlakukan senapannya, dia saya pandang sebagai seorang tentara entah dari kesatuan mana saya tak tahu, dalam balutan pakaian sipil sederhana seperti warga biasa pada umumnya. Saya bertugas melontarkan cahaya dari pijar lampu kuat agar sasaran tembak terlihat jelas. Sudah beberapa malam ini saya menjadi pembantu algojo penembak, di atas gundukan pekuburan di malam gelap. Saya yang memberi aba-aba kapan letusan harus terdengar, dia yang mengarahkan peluru tajam untuk mengoyak badan sasaran tembak. Semua sasaran tembak pasti tumbang dihantam peluru setiap malam di tempat ini. Ini bisa jadi bualan, cerita kosong yang kini bisa saja terdengar berantai. Cerita ini bisa saja menjadi awal mimpi buram dan kelam banyak orang. Cerita tentang mereka yang dianggap sebagai barisan yang me lawan pemerintah dan berupaya menggulingkan pemerintah yang harus dibumikan alias wajib mati. Lalu kini muncul cerita lama yang gelap tentang hal itu, yang me ngingatkan munculnya cerita penembakan di kuburan Tionghoa yang benar-benar gelap cahaya bila dilihat dari jalan raya. Siapa pun tak bisa mengelak untuk tidak mati ditembus peluru setiap malam di tempat ini lantaran telah hadir stigma nasib siapa pun yang dikirimkan ke lokasi gelap di sini, karena peristiwa tertentu berkait ba nyak hal sejenis pemberontakan, yang saat itu membayangi gelap hidup banyak orang namun kini tak ada lagi yang membicarakan apalagi mempersoalkannya lagi. Cerita bagai dikuburkan seperti peristiwanya sendiri yang harus secepatnya hilang dari pembicaraan umum. Termasuk mayat yang dihilangkan dalam lapisan bumi. 92
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Pokoknya yang dikirim ke tempat ini adalah sasaran tembak, entah siapa mereka itu, entah siapa yang menentukan dan siapa yang meme rintahkan tembak mati, tak seorang pun yang tahu. Tugas penembak adalah meluncurkan peluru agar menembus tubuh mereka lalu terguling tewas. Kesalahan tentang apa dan bagaimana, tak seorang pun yang tahu atau ingin tahu. Tak ada yang tahu salah apa dan dosa apa sehingga tubuh mereka siapa pun itu jadi sasaran tembak diberondong peluru lalu tergeletak membujur bertumpuk di lokasi bekas penguburan warga Tionghoa. Juga tak ada seorang pun yang membicarakannya. Siang harinya buldoser meratakan tanah basah setelah tanah baru dihamparkan dari puluhan truck yang mengangkutnya setiap pagi. Tugas saya adalah menyorotkan pijar lampu mengarah sasaran tembak. Seorang algojo yang saya sebut tadi yang memberondongkan peluru tajam saat cahaya menerangi sasaran. Enam orang berdiri di tengah kubangan mayat, lusuh dan pasrah di atas urugan pasir basah. Matanya kusam tanda tak tidur semalaman atau sudah bermalam-malam. Lampu pijar terang. Senapan diarahkan. Penembak siap. Der der der der der der! Der der der der der der! Enam orang yang dipajang untuk ditembak kini tersungkur. Darah tumpah menyatu dengan tanah basah di bawahnya. Asap mesiu keluar dari senapan di tangan penembak jitu yang sama setiap malamnya senapan itu saja yang menumbangkan siapa pun yang dipajang di titik tembak pada gundukan tanah yang tiap sore disiapkan. Lampu di tang an saya masih pijar, masih tetap menyala. Usai sudah episode pertama selesai menyorongkan 6 mayat tumbang tersungkur menggelepar di tengah basah darah berkucuran. Perlahan terdengar desah nafas yang sejak beberapa menit lalu tertahan. Serentak. Hemmm. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
93
Episode kedua, dipajang lagi 6 orang di sebelah lokasi awal, menunggu ajal di malam ini. Saya masih tetap menahan tiang menyangga lampu, mendesah berulang. Petugas sudah memajangkan enam orang lagi di depan kami. Berderetan seperti tadi, wajah-wajah pasrah dan putus asa mencuat balik ditimpa sinar lampu yang semuanya menyiratkan rasa takut dan putus asa tak terhingga. Tiang penyangga pijar lampu masih saya arahkan ke depan. Enam orang sudah ditata lagi berderet. “Klaaak!” senapan siap. Det det det det det det! Det det det det det det! Lima orang tumbang. Hanya seorang masih berdiri saat peluru ter akhir menebas sasaran. Senapan diam. Lampu sorot tetap pijar. Terlihat dari titik lokasi saya berdiri, seorang yang tak tumbang. Itu tanda peluru tak bisa menembus tubuhnya. Dia masih berdiri tegak namun lesu. Seorang lelaki agak tua berkedip berulang kali, bagai menyiratkan lemah satu tanda panggilan. Saya mendesah. Lemas badan saya. Saat penembak siap menembak kedua kalinya, segera saya melompat di sampingnya. “Tunggu dulu!” “Apa?” “Tunggu! Jangan tembak!” 94
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Tak bisa! Ini tugas! Tugas negara!” “Maaf, saya mau mendekati dia. Dia ayah mertua saya!” Diam sekejap. “Heee. Cepat maju! Lari” sambungnya. Secepatnya saya berlari mendekat calon korban terakhir malam ini. Saya pegang tangan Pak Yoga yang dingin. Perlahan dia berkata: “Kau harus jaga ibu mertua, isteri dan anakmu! Kutitipkan gelang ini, ambillah!” Saya mengambil satu gelang di pergelangan kiri tangan ayah mertua saya. “Masih ada satu gelang lagi pada ibumu! Ini peninggalan terakhir untukmu! Gelang Sambernyawa!” ucapan terakhir Pak Yoga, yang tepat saat itu terdengar teriak sang penembak. “Cepat kembali!” Saya melompat setelah satu gelang bisa saya ambil dari pergelangan tangan ayah mertua saya. Kembali pegang tiang lampu sorot. Der der der der der der! “Aaaah!”, terdengar keras pikikan membelah malam gelap di pekuburan Tionghoa yang senyap, dan di depan saya terbujur mayat ayah mertua saya. Terguling. 00000
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
95
Grup Mendiang Oleh: Dadang Ari Murtono Seekor kadal masuk ke dalam ruangan ini. Aku melihatnya. Aku tahu itu kadal pertama dan terakhir yang kulihat. *** Tiga bulan lalu, aku membuat sebuah grup di Facebook dan memberi keterangan tempat di mana kau sebaiknya menulis status terakhir sebelum mati. Aku iseng saja menulis keterangan semacam itu meski aku serius membuat grup yang kunamai Grup Mendiang tersebut. Sebelumnya, aku sempat berpikir untuk membikin grup yang berisikan geng masa SMA-ku. Atau teman-teman SMP- ku. Atau SD-ku. Atau kawan-kawan semasa kuliah. Seharusnya aku punya orang-orang semacam itu kan? Tapi sayangnya aku tidak mampu mengingatnya. Semakin keras aku mencoba mengingat, semakin aku merasa bahwa jarum-jarum jahat ditusukkan ke kepalaku. Bukan beberapa jarum, melainkan ribuan, atau bahkan jutaan. Dan racun yang menempel di batang jarum itu mematikan sel-sel kulitku, merontokkan rambutku, mengubahku menjadi sepucat mayat. Lalu tiba-tiba aku mendapati diriku telah serupa zombie. Aku kesepian. Sudah empat bulan ini aku merasa kesepian yang luar biasa. Kesepian dengan kadar yang tidak mampu lagi ditampung kata. Orang-orang yang terlibat dalam kehidupan kiwariku meninggalkanku. Oh, tidak. Sesungguhnya aku tidak yakin apakah mereka yang meninggalkanku atau justru aku yang menginggalkan mereka. Kenyataannya, pada suatu pagi, mereka membawaku menggunakan sebuah mobil de ngan kaca gelap. Aku tak tahu jenis mobilnya. Atau merk-nya. Hampir sepuluh jam mobil itu berjalan sebelum berhenti dan aku, dengan kepala dikerubungi kantong kain hitam sepanjang perjalanan, dipapah keluar dari mobil. Lalu dituntun berjalan selama kurang lebih sepuluh menit, melewati jalan halus, lalu permukaan yang lebih halus lagi, sepertinya lantai ubin, lalu menaiki sejumlah anak tangga, ambang pintu, dan aku 96
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mengerjap-ngerjapkan mata begitu selubung kain itu diangkat. Ada tiga orang laki-laki yang menyertaiku, termasuk supir. Dan mereka diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Aku mengenal mereka sebagai Ali, Robert, dan Yus. Mereka bekerja di tempat di mana aku tinggal. Satu-satunya tempat yang aku tahu pernah aku tinggali. Sejauh aku punya inga tan, di tempat itulah aku berada sepanjang waktu. Itu adalah sebuah gedung besar dengan dinding-dinding sisi dalam berwarna putih. Putih belaka. Sebegitu besar gedung itu hingga aku membutuhkan waktu setengah jam berlari dari satu sisi menuju sisi lain yanga berseberangan. Pada saat-saat tertentu, langit-langit gedung itu akan terbuka, menyi ramiku dengan cahaya matahari yang hangat. Aku menengadah dan menerka-nerka apakah di luar gedung ini ada kehidupan? Konyol. Tentu saja ada. Aku ingin mengetahuinya, melihat langsung dengan mataku. Tapi tidak bisa. Beberapa orang masuk dan keluar gedung ini bergantian. Aku tahu nama-nama mereka, tentu saja. Tapi aku terlalu malas menyebutnya di sini. Mereka berlaku buruk kepadaku. Selalu buruk. Mereka menyuntikku, memasukkan sesuatu yang membuatku merasa lemas, lalu segala yang tertangkap mataku adalah kegelapan belaka. Dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Selalu begitu. Tapi kini aku kesepian. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan merindukan orang-orang jahat itu. Mereka meninggalkanku sendirian di ruangan yang baru ini. Tidak seluas ruangan dengan dinding-dinding berwarna putih. Luas nya tidak sampai seperempatnya. Dinding-dindingnya berwarna biru. Warna yang membuatku merasa semakin kesepian. Ada komputer di sudut kanan jendela. Jendela itu tak bisa aku buka. Barang baru bagiku, komputer itu, maksudku. Mereka mengajariku mengakses internet. Membuatkanku akun Facebook. “Agar kau tak kesepian,” kata mereka sebelum pergi. Tapi aku tetap saja kesepian. Ada kamar mandi di dalam ruangan itu. Dan makanan rutin diantar tiga kali sehari, dimasukkan lewat lubang kecil di bagian bawah pintu yang terkunci dari luar. Di sudut atas dekat pintu, terpasang kamera cctv. Mereka masih merasa perlu mengawasiku ternyata. Namun tetap saja, aku kesepian. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
97
Begitulah kemudian aku membuat Grup Mendiang. Sebab aku tahu aku akan mati. Awalnya, grup yang kuatur terbuka itu hanya diisi oleh unggahan-unggahan candaan. Mereka, akun-akun Facebook yang me nulis di dinding grup itu, sepertinya menganggap bahwa memang itulah tujuan grup tersebut aku bikin. Tolol. Mereka memang tidak tahu aku akan mati. Suatu hari, seseorang menulis “adakah alasan kenapa hidup yang seperti ini masih layak dijalani?” Tiga jam setelah diunggah, status itu menuai 256 tanda jempol, 23 tanda sedih, 41 tanda marah, 9 tanda tawa, dan 21 tanda hati. Tidak ada satu pun komentar. Keesokan harinya, aku iseng melihat dinding si pengunggah dan aku mendapati puluhan ucapan duka cita di sana. Beberapa jam sebelum aku melihat dindingnya, ia ditemukan mati terayun-ayun di seutas tali yang diikatkan di kayu blandar dapurnya. Lelaki yang malang. “Facebook,” aku menggumam dalam ketakjubanku sendiri, “akan segera menjadi taman makam digital raksasa. Dan grup ini akan menjadi taman yang paling puitis.” Sejumlah status yang diunggah kemudian memberiku harapan bahwa grup ini tidak sepenuhnya sia-sia, tidak hanya disalahpahami oleh para pelawak maya. *** Mendiang Grup Terbuka Alya Subono Ini cerita yang mungkin tak akan kalian percaya. Tapi memang begitulah yang terjadi. Tiga hari aku demam. Aku mengira aku akan mati. Begitu pula yang dipikirkan oleh Miranti, anakku yang masih sepuluh tahun. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan selain menangis. Aku tidak takut mati. Aku takut 98
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
membayangkan bagaimana Miranti meneruskan hidup tanpaku. Bapaknya lelaki keparat yang pergi sewaktu Miranti masih berusia dua tahun. Miranti berpikir malaikat maut bisa ditangkap. Dan ia membanjur lantai dengan oli. Malaikat itu tidak pernah terpeleset. Mirantilah yang terpeleset. Kepalanya membentur siku kursi yang tajam. Aku sembuh. Miranti meninggal. Aku tak dapat membayangkan bagaimana aku hidup tanpa Miranti. Aku akan mati. (5 Januari pukul 11:43) Sukabir Sukabir Di dalam dadaku, berdegup jantung yang bukan milikku. Seorang perempuan yang kemudian aku nikahi yang memiliki jantung ini. Tapi kemarin ia pergi bersama seorang penjual buku. Aku hanya ingin mengeluarkan jantung ini. Itu saja. (7 Januari pukul 7:52) Ilyas Pane Pane Mereka dah ngringkus dua kawanku. Besok mungkin mereka akan datang di mari. Tapi aku ga akan menyerah kayak pengecut takut mampus. Udah aku asah parang. Kalok kudu mati, mati dalam tarung. (29 Desember 2016 pukul 19:21) Kacong Bangkalan Lebbi bhagus pote tolang tembheng pote matah. Carok, carok cak! – Le bih baik berputih tulang ketimbang berputih mata. Carok, carok cak! (Kemarin pukul 8:27) *** “Gagal. Ini benar-benar gagal.” “Aku tak tahu apa yang keliru.” “Ya, aku juga. Tapi pasti ada yang keliru.” “Dia akan mati.” “Dia akan mati.” “Dia akan jadi martir kesekian.” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
99
“Martir, heh? Aku suka pilihan katamu, Prof.” “Itu lebih baik dari kelinci percobaan heheheh…” “Ilmu pengetahuan memang mahal, Prof, hehehehe…” “Tempatnya sudah disiapkan?” “Seharusnya sudah. Itu bukan bagian kita.” “Ya. Aku sekadar mau memastikan Prof. Bagaimana pun, sayang bila kerja keras kita sia-sia hanya karena cctv mati atau sinyal internet ngadat. Kita perlu tahu setiap detilnya.” *** Aku tak tahu kenapa dua orang yang seringkali saling memanggil dengan sebutan Prof itu berkata semacam itu di depanku. Mungkin mereka mengira aku belum siuman. Aku memang belum sepenuhnya siuman. Tapi aku tidak sepenuhnya tidak sadar. Aku akan mati. Lalu mereka mengirimku ke sebuah gedung yang begitu asing. Sangat asing. Atau, apakah mereka memang sengaja? *** Mereka menghapus ingatanku. Aku yakin itu. Mungkin mereka menculikku sewaktu aku dari suatu tempat dan pulang kemalaman berjalan kaki sendirian. Atau bisa saja keluargaku begitu miskin hingga menukarku dengan sejumlah bahan makanan. Aku tak tahu. Tapi aku tahu bahwa dalam tubuhku berdiam sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang akan membunuhku. Sesuatu yang mungkin juga menular karena mereka kemudian mengasingkanku. Aku tak yakin. Tapi satu yang aku yakin, merekalah yang membuatku akan mati seperti ini. Aku menulis status itu, tiga hari setelah aku mempunyai akun Facebook sendiri, jauh sebelum aku membikin Grup Mendiang. Aku mengabarkan keberadaanku pada dunia yang benar-benar asing bagi100
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
ku, dan mungkin juga benar-benar asing kepadaku. Tapi status itu hanya menuai tanda jempol dan sedikit tanda tawa. Lalu di kolom komentar teratas, “bagus ceritanya. Cerpenis ya? Coba kirim ke koran.” Dan di bawahnya, “iya mbak, coba kirim ke koran.” Lalu di bawahnya lagi, dan seterusnya hingga 42 komentar, isinya sama, “idem mbak.” Aku mengembuskan napas. Panjang dan berat. Sakit. Aku mencoba menulis status lain yang isinya tidak berbeda jauh dengan status sebe lumnya. Hanya kali ini aku menambahkan praduga, “mereka mungkin ilmuwan yang bekerja untuk negara.” Lima puluh tiga komentar status itu sama belaka, “jangan nyebar hoax mbak, dilaporkan polisi baru tahu rasa nanti.” Sial. Aku tertekan. Aku bertambah lemas. Bertambah pucat. Bertambah kurus. Bertambah serupa zombie. Dan kini ditambah batuk-batuk pula. *** Aku akan mati. Aku kesepian. Aku tahu aku akan mati. Mati sendirian, tentu saja. Mati dalam kesepian. Akankah ada yang mau menguburkanku? Akankah ada yang mengenangku? Di grup ini, Grup Mendiang, itulah satu-satunya kuburan yang bisa kupikirkan. Aku tahu orang mati mesti dikubur. Hari di mana aku merasa begitu lemah dan lelah dan lesu dan kening panas dan telapak tangan keringatan dan batuk dahak berwarna merah dan yakin bahwa itu adalah hari terakhir di mana aku masih berkesempatan menghirup udara adalah hari di mana seekor kadal menyelinap ke dalam ruangan. Aku tahu itu kadal karena aku pernah melihat gambarnya di internet. Kemudian aku menulis status terakhir. Aku yakin itu status terakhirku.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
101
GUDREH DAN KORENG TANDA CINTA BIDADARI Oleh: Ruth Yolanda Ganas panas menguji keyakinanku yang meranggas. Siang ini aku terpaksa harus membuktikan sekali lagi, cinta itu selalu menjadi kisah yang bodoh untuk diceritakan. Sejujurnya, pertarungan sengit antara rasa dan nalar di benakku ini menggeliat gatal dengan kisah cinta yang bodoh. Pergi atau tinggal. Pergi atau tinggal. Aku enggan menjawab karena hatiku hanya punya satu jawaban. Ya, aku akan tinggal meski logika menyuruh pergi. Sebab kenangan tentang cinta selalu memberi harapan yang mengalahkan logika. Lelaki tua itu menggaruk-garuk koreng di badannya sekali lagi. Lalu tanpa sebab dia mulai terkekeh sendiri. Gemertak gigiku terdengar setiap kali mendengar tawanya yang menyebalkan itu. Gemas ingin membalas. Ah, sudah lupakan saja. Dia hanya laki-laki tua yang batinnya terlanjur tercabik-cabik keadaan. “Koreng, ya, koreng. Pokoknya harus koreng. Jangan diganti. Ini tanda cinta.” “Koreng itu bahasa apa? Ganti yang halus sedikit. Penyakit kulit, kan, bisa.” “Wo, ya jangan. Kurang mantap. Harus koreng.” “Jijik, dong. Kesannya jorok,” jawabku kesal. “Memang niatnya jorok, kok.” Lalu seketika tawanya meledak di udara bagai kembang api di malam tahun baru. Sial! Kalah lagi. Dasar pengepul koreng! Tidak pernah kalah berdebat, ada saja jawabannya. Diam-diam aku tersenyum sendiri. Malu hati kalah berdebat dengan lansia. Sebenarnya bukan jawabannya yang menggelitik imanku. Kesederhanaan pikiran lelaki itu yang 102
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
rasanya belum mampu kutandingi. Mudah-mudahan mata rabun itu tidak melihat senyumku menahan malu. Kalau tidak, betapa hari ini akan menjadi sangat panjang dengan tawa saling mengejek. Gudreh, lelaki tua itu, selalu duduk di Warung Yoso setiap Sabtu terakhir di bulan Juni. Jarot, teman sesama sopir berjanji mengantarkan pulang angguna milik Gudreh di Sabtu terakhir Juni. Jarot menawarkan barter yang menggiurkan. Mudah-mudahan ada bonus pelipatgandaan uang dan cukup untuk membeli kalung emas idaman Parni. Kalau ada sisa, lumayan, bisa ambil klobot di juragan Nam. Sudah lama Gudreh tidak menikmati klobot yang harganya murah merakyat itu. Sayang uang nya, daripada untuk klobot, lebih baik membeli susu anaknya. Maklum, sejak sakit, Parni tidak pernah lagi menyusui bayi mungil mereka. Bagi Gudreh setiap Rupiah terlalu berharga dibuang sia-sia. Tapi itu bukan alasan utama Gudreh menunggu di Warung Yoso setiap Sabtu terakhir Juni. Gudreh setia menunggu karena hanya itu ingatan yang melekat di jiwanya. Dia harus menunggu Jarot datang di Warung Yoso setiap Sabtu terakhir di bulan Juni. Hari itu, Sabtu ter akhir Juni, Gudreh menyerahkan istrinya kepada Jarot dan Ninuk untuk berobat di desa. Ninuk, istri Jarot, bercerita tentang ahli obat di desa nya yang katanya bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Bukan hanya penyakit, termasuk ahli menyembuhkan susah jodoh, susah rejeki dan susah bahagia. Konon katanya, termasuk meramal gunung meletus, badai topan dan gelombang pasang, artis cerai, artis mati dan artis sok artis. Ahli segalanya. Kata orang di desa sana, Sakti Mandraguna. Yah, mirip-mirip Jin Alladin rasanya. Bedanya, Jin Alladin hanya mengijinkan tiga permintaan sedangkan ahli obat di desa Ninuk mengijinkan berapa pun permintaan asal mampu bayar. Lucunya, ahli obat yang serba bisa itu langsung meminta angguna Gudreh sebagai pembayaran untuk mengobati istrinya yang sakit parah. Mata batin macam apa yang bisa menembus jarak sejauh desa kota dan tepat sasaran pula menuju satu-satunya harta milik Gudreh. Angguna kuning itu bukan hanya harta bagi Gudreh namun juga sumber Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
103
nafkah bagi keluarganya. Timbul kisah klasik cinta di hati Gudreh, Sang Romeo siap berkorban segalanya demi Juliet tercinta. Mau bilang apa, terlanjur di hati Gudreh melekat bahwa Parni adalah bidadari dari nirwana yang turun hanya untuk menikahi Gudreh Si Sopir Angguna. Parni adalah segalanya. Bimbang mulai menggoda Gudreh ketika dipandang bayi mungilnya yang menjerit kelaparan. Jika angguna ini diserahkan untuk pengobatan istrinya, Gudreh tidak tahu harus mencari uang susu dengan cara apa. Gudreh hanya sampai kelas lima dan cuma memiliki keahlian menyetir. Syukur-syukur, orang tua di kampung bersedia menjual sawah membelikan Gudreh angguna untuk mencari nafkah. Gelisah dan resah mempermainkan kebimbangan Gudreh. Relakan angguna atau relakan nyawa istri. “Kok, tidak tanya dulu waktu itu? Main lepas angguna saja.” “Lo, siapa yang mau ditanya? Batu? Namanya juga cinta, ya, buta.” “Cinta, kok, buta? Justru cinta harusnya buka mata lebar-lebar.” Tawanya kembali meledak di udara. Pak Yoso pemilik warung terpingkal-pingkal mendengar tawanya yang bergemuruh. Semua orang memaklumi Gudreh, mantan tukang angguna yang kata orang kampung setengah sakit jiwanya. Satu-satunya sisa kewarasan yang ada adalah kenangan ketika Gudreh melepas istrinya di Warung Yoso. Saat itu, tetangga ikut membantu mengangkut Parni masuk ke angguna. Dengan isak tangis dan jeritan bayi di gendongannya, Gudreh melepas Parni yang lumpuh dan tidak sadar dibawa pergi oleh Jarot dan Ninuk ke ahli obat di desa. Hari itu, Sabtu terakhir Juni, merupakan terakhir kalinya Gudreh melihat Parni Sang Bidadari. Demi cinta, Gudreh rela melepas angguna untuk ahli obat asalkan bidadarinya bisa sembuh seperti dulu lagi. Parni jatuh sakit hingga lumpuh dan tidak sadar setelah melahirkan bayi me reka. Dokter sudah memberitahukan bahwa bayi itu membawa resiko bagi Parni. Sang Bidadari tidak peduli. Parni yakin bahwa setiap anak 104
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
adalah malaikat kecil yang turun dari surga menemui ibunya, Sang Bidadari, yang terlanjur turun ke bumi untuk menikahi manusia pejantan yang fana. Bukankah semua ibu di dunia akan mengucap sumpah yang sama di hadapan takdir? Jika harus memilih, seorang Ibu tentu bersedia menukar nyawanya demi nyawa anaknya. Gudreh akhirnya menyadari telah tertipu saat Jarot dan Ninuk tidak juga kembali setelah dua hari. Rumah kontrakan suami istri itu sudah kosong. Gudreh segera melapor petugas tentang istrinya yang hilang bersama dengan angguna kuning. Hancurlah Gudreh, ketika mendata ngi desa Ninuk ternyata tidak seorang pun mengenal Ninuk. Lantas di mana anggunanya? Di mana istrinya? Jika mereka menginginkan angguna, silahkan saja tapi kembalikan Parni Sang Bidadari. Gudreh tidak akan melakukan apa pun kepada Jarot dan Ninuk asal Parni bisa kembali. Kasihan bidadari itu tidak berdosa, dia lumpuh dan tidak berdaya. “Jadi, sampai kapan kita duduk di sini?” aku mengeluh bosan. “Sampai Parni pulang.” “Kapan pulang? Dari tahun 1991 kita sudah duduk di sini setiap Sabtu terakhir Juni.” “Sampai Parni pulang,” jawabnya terkekeh. Aku terdiam melihat tawanya yang mengejek itu. Enggan berbantah dengannya. Malang benar nasib Gudreh. Sejak kejadian itu warga kampung menyebutnya Gudreh Koreng, lelaki setengah gila yang selalu menunggu istrinya dikembalikan di Sabtu terakhir bulan Juni. Sudah tiga puluh tahun berlalu sejak Sabtu terakhir Juni ketika Gudreh melepas istrinya pergi bersama angguna miliknya. Kata orang, Gudreh tidak punya ingatan apapun selain duduk menunggu di Warung Yoso setiap Sabtu terakhir Juni. Bagiku tidak. Gudreh memiliki sejuta ingatan yang tidak akan hi lang dari pikirannya. Nostalgia Gudreh tentang keindahan cinta me ngalahkan perih batinnya yang teraniaya oleh penipuan Jarot dan NiAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
105
nuk. Sampai hari ini, ingatan Gudreh tentang bidadari cantik bernama Parni memberinya semangat bertahan hidup agar dia kembali duduk di Warung Yoso setiap Sabtu akhir bulan Juni. Kenangan tentang Parni memberi dia kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan demi bayi nya. Tanpa putus dan lelah Gudreh menjadi ayah sekaligus ibu bagi bayi mereka. Diikatnya bayi mungil itu erat-erat dalam gendongan sambil bekerja sebagai petugas kebersihan honorer pemerintah. Sesekali dia bercerita tentang Parni Sang Bidadari yang mengorbankan dirinya demi mempertahankan bayi mungil itu. Lucunya, Si Bayi seolah paham cerita tentang bidadari cantik bernama Parni. Lalu mereka berdua tertawa bersama dan Gudreh memeluk erat bayi itu dalam genangan air mata. Sinar mata bayi itu memberi Gudreh harapan bahwa suatu saat nanti akan kembali berjumpa dengan Parni di Warung Yoso. Tawa anak semata wayangnya telah menemani setiap dentang waktu Gudreh. Dalam ikatan gendongan, anak itu seolah menghibur Gudreh saat mengangkut satu per satu kotoran yang menyumbat got. Kehadiran bayi mungil itu membuat Gudreh tidak rendah diri meskipun pekerjaannya sebagai pembersih got dan gorong-gorong kota dianggap hina oleh sekeliling nya. Itu sebabnya Gudreh tidak pernah terusik oleh olok-olok orang tentang dirinya. Gudreh tidak canggung dan putus asa. Tawa anak itu memberi dorongan bagi Gudreh untuk bertahan sampai harinya kelak, bisa berjumpa kembali dengan Parni di Warung Yoso pada Sabtu ter akhir bulan Juni. “Mau tutup, Yos?” tanyanya gelisah. “Iya. Mas Gudreh duduk saja, tidak apa-apa. Masih beres-beres.” Lelaki tua itu menggaruk korengnya sekali lagi. Wajahnya tertunduk mendengar jawaban Pak Yoso. Di sana-sini tampak koreng yang melepuh bagai borok bernanah yang tak terobati. Entah berapa banyak penyakit yang menempel di kulitnya selama bertahun-tahun membersihkan saluran got. Anaknya telah berulangkali berusaha membujuk agar Gudreh bersedia diobati. Dasar Gudreh keras kepala. Dia bangga memelihara ratusan koreng menjijikan di badannya. Setiap kali 106
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
dia memandang koreng itu, Gudreh teringat tentang pengorbanannya selama bertahun-tahun membesarkan bayi mungil itu seorang diri. Bagi Gudreh, koreng itu adalah lambang cinta yang selalu membawanya ke Sabtu terakhir Juni tahun 1990 ketika dia melihat Parni terakhir kali nya. Gudreh tertunduk ketika lampu terakhir akhirnya dimatikan. Pak Yoso dan para pekerja berdiri tersenyum melihat lelaki renta itu masih duduk di tempat yang sama sejak siang tadi. Seperti biasa Pak Yoso dan pegawainya hanya diam dan tersenyum, tidak ada terlintas niatan me ngusir Gudreh. Pak Yoso memahami betul kondisi Gudreh. Beberapa kali Pak Yoso mengaku kagum akan kesetiaan Gudreh menanti istrinya yang tidak akan pernah kembali. Tidak ada seorang pun yang tahu di mana Parni sampai hari ini. Apakah masih hidup? Apakah sudah mati? Tidak ada seorang pun yang tahu. Termasuk Jarot dan Ninuk beserta angguna kuning Gudreh, entah di mana sekarang. Tubuh Gudreh melemah, badan tua itu berguncang. Perlahan isak tangisnya mulai melengking dan erangan keluar dari tenggorokannya yang menahan berjuta kesedihan. Satu tahun lagi terlewati, Parni tidak kembali. Sekali lagi Sabtu terakhir Juni di Warung Yoso terlewati. Tanpa Parni, tanpa istri, tanpa bidadari yang sangat dicintai. Serta merta kupeluk tubuh itu erat-erat dan air mata mulai menetes di pipiku. Aku benci ini, aku selalu benci bagian ini. Bagian ketika aku harus mende ngar jeritannya yang menyayat hati. Pak Yoso dan para pegawai ikut menangis, seperti biasanya, mereka selalu menangis. Ya, menangis. Aku rasa siapa saja yang mengerti kisah Gudreh pasti akan menangis. Tak kuat melihat kesetiaan yang sepilu ini. “Pak, ayo kita pulang.” “Jangan, Nak. Jangan pulang dulu. Ibumu sebentar lagi datang,” pintanya. “Sudah malam, Pak. Ibu tidak akan datang.” “Tapi, dia pasti datang, Nak.” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
107
“Iya, Ibu pasti datang. Besok kita ke sini lagi. Sekarang kita pulang dulu,” bujukku. “Tidak bisa, Nak. Besok Minggu, harus Sabtu. Harus Sabtu terakhir Juni.” “Ya, sudah. Tahun depan kita ke sini lagi. Tahun depan Sabtu terakhir Juni.” “Tidak bisa, Nak. Tahun depan, apa Bapak masih hidup?” Aku tak kuasa mendengar jawaban itu. Kupeluk tubuhnya kuatkuat, sekuat ikatan gendongan ketika dia menggendongku sambil membersihkan got dan gorong-gorong. Aku bersumpah tidak akan kulepaskan seperti dia melepas Ibuku pergi bersama angguna kuning. Walau seribu Sabtu terakhir di bulan Juni harus kulalui, aku akan tetap menemani Bapak menunggu Ibu di Warung Yoso. Aku, Dokter Hariyadi Kusumo, aku bangga menjadi anak Gudreh Koreng, orang setengah gila yang setia menanti istri yang tidak akan pernah kembali. Malam ini sekali lagi aku membuktikan, cinta itu selalu menjadi kisah yang indah untuk diceritakan. Sejujurnya, pertarungan sengit antara rasa dan nalar di benakku ini menggeliat gatal dengan kisah cinta yang indah. Pergi atau tinggal. Pergi atau tinggal. Aku enggan menjawab karena hatiku hanya punya satu jawaban. Ya, aku akan tinggal meski logika menyuruh pergi. Sebab kenangan tentang cinta selalu memberi harapan yang mengalahkan logika.
108
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Hiraeth Oleh: Nariswari Nirwasita Manik hitam gadis itu terlihat menjelajahi setiap sudut bandara ini. Jilbab besarnya melambai pelan terhembus oleh angin sepoi yang menyapanya. Jaket hangat yang biasa ia pakai masih setia melekat pada gagang koper biru miliknya sejak subuh tadi. Oh, lihatlah kakinya yang selalu dilapisi kaos kaki coklat susu kini sudah berganti alas. Sandal jepit berwarna hitam sempurna menghiasi kakinya sekarang. “Kunikahi kau setelah kepulanganku, Cas.” Tiba-tiba ia tertegun. Terngiang akan sesuatu. Akhirnya ia mencari bangku untuk beristirahat sebentar setelah dirinya tidak kunjung menemukan batang hidung sahabatnya yang ia tunggu. Pun, sedari tadi ia merasa diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan. Karena merasa tidak nyaman, ia mengambil notes dan pena biru lautnya kemudian mulai menyibukkan diri dengan menuliskan sesuatu. *** “Casilda!” panggil seseorang. Casilda menoleh ke belakang. “Kak Bisyir?” “Kau mau pergi ke mana?” tanya Bisyir. Casilda menghentikan langkahnya. Tidak, tidak, kenapa harus sekarang. Aku tidak ingin menemuinya sekarang. Melihat Casilda yang melamun, Bisyir mendekatinya. “Kau ingin menghindariku lagi, Cas? Aku tidak mengerti apa maumu,” ujar Bisyir. Matanya tidak singgah dari wajah Casilda yang terlihat manis meski tanpa ekspresi. “Kita tidak bisa terus-terusan bertemu secara diam-diam seperti ini, Kak. Aku tidak bisa membayangkan bila hal ini diketahui oleh Ayahmu Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
109
suatu hari nanti. Bagaimana jadinya hidup kita?” Casilda mulai cemas. “Kau selalu saja mencemaskan sesuatu yang belum pasti terjadi. Cas, ayolah. Mari sering bertemu sebelum nantinya aku tidak bisa menemuimu lagi.” Casilda diam. Apa maksudnya tidak bisa menemuiku lagi? Ah, ada hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan Sebenarnya ia tahu apa yang ia dan Bisyir lakukan menyalahi syariat dalam agama mereka. Bertemu diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, pergi berduaan. Jika saja orang tua mereka tahu tentang hal itu, pasti mereka tidak akan bertemu lagi. “Tidak, Kak. Tolong. Jauhi aku.” Casilda menolaknya dengan tegas. Bisyir terhenyak. Casilda-nya tidak pernah berbicara dengan tegas kepadanya. Seolah mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh Bisyir, Casilda segera berujar, “Dan tolong jangan panggil aku Casilda-mu lagi. Karena kita tidak memiliki ikatan apapun, kau tahu itu?” Bisyir memejamkan matanya. Ia mengerti bahwa ia bersalah, tetapi untuk saat ini, Casilda adalah udara baginya. Casilda adalah tempat bercerita paling nyaman, tempat mengeluh paling menenangkan, tempat tumpahnya air mata Bisyir yang tidak pernah ia perlihatkan kepada orang lain sekali pun. Adakah orang paling sabar dan tabah dalam mendengarkan keluhan Bisyir tentang masalah hidupnya kecuali Casilda? Adakah pemberi nasihat yang paling bisa mengubahnya menjadi seseorang yang lebih baik dari ia yang dulu menyukai perkelahian selain Casilda? Tidak ada. Bahkan ayah dan ibunya pun tidak terlalu suka mendengar Bisyir bercerita tentang hal-hal buruk yang ia alami dan selalu memarahinya bila mendengar kabar anaknya di pesantren sedang berkelahi. Bisyir kembali memandangi Casilda yang tampak menahan air matanya. Bisyir tahu, Casilda tidak benar-benar serius saat mengatakan hal tersebut. Ia menyodorkan pena berwarna biru laut pada Casilda.
110
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Apa ini?” tanya Casilda. “Pena yang kugunakan selama empat tahunku di pesantren. Setahun tanpamu, tiga tahun bersamamu.” “Apa maksudnya setahun tanpaku lalu sisanya bersamaku?” Casilda meminta penjelasan lebih. “Selama empat tahun aku memiliki rasa yang sama untukmu, Cas. Setahun pertama aku mencoba untuk menyimpannya, kemudian kau pasti ingat tiga tahun silam akhirnya aku menyatakan perasaanku padamu dan ternyata kau pun memiliki rasa yang sama untukku. Kau tahu, perasaan yang kumiliki untukmu adalah perasaan paling tulus yang pernah kurasakan. Cas, jika kau menginginkanku untuk menjauhimu, ketahuilah aku tidak akan pernah sanggup untuk itu. Mendengarmu berucap tegas tadi, membuatku benar-benar merasa bersalah sebab sudah menyeretmu ke dalam lubang dosa. Aku minta maaf untuk segalanya yang pernah aku lakukan kepadamu.” Casilda menerima pena yang disodorkan oleh Bisyir. “Aku pun seharusnya minta maaf, Kak. Terima kasih untuk pena ini. Aku akan senantiasa menjaganya dengan baik.” Bisyir tersenyum simpul. “Cas,” panggilnya. Casilda mengangkat alisnya, “Ya?” “Akhir bulan ini aku akan berangkat ke Madinah.” Casilda terdiam, ia sudah tahu sebelumnya. “Kenapa baru mengatakannya sekarang?” “Maaf, Cas. Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikannya darimu. Aku pun baru mendapatkan informasi perkuliahan di Timur Tengah pada awal bulan kemarin. Tadinya aku ingin segera menikahimu dan membawamu ke sana. Tapi lebih baik kau tuntaskan dulu seragam putih abu-abumu yang tahun depan akan berakhir itu.” “Mmm… maksudmu setelah aku lulus… aku? Denganmu? Mm… meAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
111
nikah?” tanya Casilda ragu-ragu. Bisyir menahan tawa. “Tidak semudah itu, Cas. Kau bilang kau ingin menyelesaikan hafalan quranmu terlebih dahulu. Aku akan menunggu kabar selesaimu. Lagi pula, kenapa wajahmu terlihat sangat ingin segera menikah denganku?” Bisyir menggodanya. Casilda memalingkan wajahnya dari Bisyir. “Maaf, Tuan Bisyir. Siapa yang ingin menikah denganmu?” “Gadis ini memang selalu tidak jujur akan perasaannya. Menggemaskan sekali sampai aku ingin menarikmu ke KUA sekarang juga,” “Ah, lupakan!” tukas Casilda. Pipinya terasa panas. “Baiklah. Aku pergi sekarang, ya. Kukabari kau sehari sebelum keberangkatanku. Jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa merindu! Persiapkan dirimu. Kunikahi kau setelah kepulanganku, Cas.” Sekejap, Bisyir menghilang dari pandangannya. Casilda masih berdiri sambil memandangi pena yang diberikan oleh Bisyir. Tiga tahun ini adalah tiga tahun yang paling banyak menorehkan kejadian-kejadian yang melibatkan hati pada episode di hidupnya. Bisyir adalah kakak kelas yang ia kagumi semasa sekolah dasar dan kembali menaruh pesona pada Casilda di masa putih abu-abunya ini. Entah sejak kapan ia mulai jatuh cinta lagi. Seingatnya, setiap kali Bisyir pulang dari pesantrennya, Bisyir selalu bercerita mengenai apapun kepadanya dan Casilda pun mendengarkannya dengan baik. Ia memang benar-benar seorang pendengar dan pemberi nasihat terbaik untuk Bisyir. Predikat itu menjadi miliknya sejak Bisyir mengatakan hal itu dua tahun silam, di kedai kopi milik Pak Johan, kedai kopi terbaik untuk keduanya. *** Pada hari keberangkatan Bisyir, Casilda datang ke bandara untuk turut mengantarkan kepergiannya. Tentu dengan izin kedua orang tua Bisyir. Mengetahui detik-detik keberangkatan pesawat akan segera tiba, hati Casilda semakin tersayat oleh perihnya merelakan. Casilda tidak melepaskan pandangannya dari Bisyir yang sesekali menyeka air 112
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
matanya. Deru pesawat yang terdengar sangat jelas berhasil menyamarkan isak tangis yang sedari tadi mati-matian Casilda bendung. Tidak perlu menunggu lama, pesawat itu mengudara membawa segalanya kecu ali bayangannya. Resmi sudah Casilda melepas Bisyir untuk mengejar seluruh impiannya di negeri orang. Sampai jumpa di saat kita bertemu lagi, Kak Bisyir. *** “Assalamualaikum, temanku yang cantik dan salihah!” Suara meleng king itu mengejutkan Casilda yang sedang asik-asiknya menuliskan sesuatu. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya, Hilya. Casilda menjawab salamnya dan tersenyum senang. “Apa yang kau tulis?” tanya Hilya. “Bukan apa-apa, Hilya.” Casilda segera menutup notes di pangkuannya dengan cepat. Tangan Hilya yang gesit segera meraihnya dan membuka apa yang ditulis oleh sahabatnya. Sejauh ini, aku telah sangat berusaha untuk sepenuhnya merelakanmu, Kak. Aku memang melakukan sesuatu yang menyakitkan, tapi yang kutahu rasa sakit itu melegakan. Aku kira kau pun merasakan hal yang sama. Saling melepas ternyata bukan sesuatu yang sangat buruk, bukan? Esok, memang belum tentu kau orangnya, Kak. Oleh karena itu, aku tidak akan pernah berhenti merajut keikhlasan agar tidak lagi kutemukan nostalgia yang terasa sedikit pahit ini. Bandara ini masih sama seperti terakhir kali kita berpisah. Yah, sebenarnya aku tidak terlalu menyukai atmosfer yang kudapatkan saat berada di bandara ini, Kak. Karena aku selalu teringat dengan senyuman terakhir yang kau berikan kepadaku. Kau tahu, sejak dulu, aku selalu memakai senyuman yang kau berikan. Senyuman yang membuatku merasa benarbenar dilepaskan olehmu. Ah, Kak Bisyir. Harus berapa ribu doa lagi yang harus kulangitkan agar Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
113
aku dapat bertemu denganmu sesegera mungkin? Bandara Soekarno Hatta, Terminal 1A Yang merindukanmu selalu, Casilda. “Oh tidak. Kenapa jadi aku yang terharu? Kau belum melupakannya setelah empat tahun berlalu, Cas? Gila.” Hilya merangkul bahu sahabatnya. “Yah, kurasa melepaskan bukan berarti harus melupakan. Tapi, jika ada satu kali kesempatan untuk bertemu lagi dengannya, aku ingin sekali, Hil. Menuntaskan kerinduan agar aku tidak lagi penasaran de ngan keadaannya. Kami benar-benar hilang kontak satu sama lain, kau tahu.” Casilda mengendikkan bahunya. Hilya menghela napas panjang. Kisah cinta temannya memang sedikit menyedihkan. Sudah pernah Hil ya katakan bahwa jangan pernah meladeni rasa cinta sebelum waktu nya apalagi dengan santri putra yang berkaitan dengan jarak jauh dan jarang bertemu, yang ada hanyalah setumpuk kerinduan yang tidak akan pernah usai. Casilda memang tidak pernah mendengarkannya. Wangi parfum maskulin yang sangat tidak asing tercium tiba-tiba. “Kenapa harus sekali? Bagaimana jika selamanya?” Casilda tertegun. Suara ini jelas bukan milik Hilya. Ini suara laki-laki yang empat tahun lalu berkata akan menikahinya. Casilda dan Hilya mendongak. Lelaki bergamis bergamis biru tua kini sedang tersenyum pada Casilda. “Aku pulang.” ***
114
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Hubungan Batin Oleh: Endah Nofiyanti Awal dari sebuah cerita pasti diawali dengan berparagraf pengenalan diri. Tapi aku tidak mau mengenalkan diriku. Aku adalah aku. Aku bukan dia atau mereka. Jangan mengharapku untuk menjadi orang lain. Aku adalah orang yang masih berada di tempat yang sama sementara orang lain mungkin sudah pergi dari titik itu. Aku masih menjadi diriku yang dulu dan akan tetap menjadi diriku di masa depan. Contoh saja hari ini di reuni SMA. Teman yang kukenal dengan baik dulunya, kini berubah menjadi orang asing. Aku saja yang tetap sama. Mungkin saja aku yang aneh. Aku yang tetap berada di tempat yang sama. Atau dulu aku tidak benar-benar mengenalnya. Ah entahlah. Aku berada di halte menunggu bus yang menuju ke gang rumahku. Kalau ingat dulu, aku dan 4 temanku selalu menunggu di sini. Bersama dengan siswa SMA lain. Asap bus kota yang menyengat dan teriknya matahari. Aku masih ingat sekali. Dulu walaupun bus sudah penuh, kondektur masih menyuruh kami untuk naik. Sedang bus sudah seperti miring ke sisi kiri. Ha ha. Ketika sopir mengerem mendadak, kami jatuh ke depan. Menggerutu menya lahkan satu sama lain. Aku tersenyum tanpa sadar. Bau wewangian masuk ke hidungku. Aku menoleh ke sekeliling dan mendapati seseorang mendekat ke arahku. Bau wewangian ini mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang beraroma segar. Masih jelas sekali di ingatanku. Orang itu, aku masih ingat bagaimana dia berjalan. Bagaimana dia berbicara. Bagaimana cara dia tersenyum. Sorot mata sayunya. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
115
Dulu sekali hidupku amat bahagia. Kau tahu kan rasanya menjadi anak kecil. Seperti itu. Tidak perlu memikirkan apapun tentang hidup dan segalanya. Bangun tidur lalu makan, berangkat sekolah. Pulang. Makan dan menonton kartun di layar televisi. Menolak tidur siang dan memilih bermain dengan teman. Apalagi aku tinggal dengan kakek-nenekku. Apapun yang kumau pasti dituruti. Saat ibu dan ayahku pulang aku pasti kena marah karena aku makan makanan manis. Lalu gigiku berlubang. Ha ha Tapi aku bahagia. Saat aku naik ke jenjang SMP pun semuanya berlangsung baik. Namun saat memasuki SMA semuanya berasa tidak benar. Suatu hari di hari Kamis, aku terbangun karena suara benda yang terbentur ke lantai. Aku berdoa pagi dan bergegas menuju dapur. Aku mendapati ibuku tengah memunguti serpihan piring yang sudah berceceran di lantai. Aku berjalan mendekat sembari mengucek mataku. “Kenapa?” tanyaku. “Licin,” jawabnya sambil terkekeh. “Tumben ibu belum siap-siap?” tanyaku seraya menyaut handuk. Biasanya saat aku bangun, ibuku sudah wangi dengan baunya yang khas. Bau segar yang kumaksud itu. Aku suka sekali harum ibuku. Tapi kali ini ibu masih mencuci piring dan belum bersiap untuk berangkat kerja. “UTS hari ini bukan ibu yang jaga,” jawabnya sambil berdiri dan meletakkan serpihan piring tadi ke tempat sampah. Lalu mengambil sapu dan serok sampah untuk serpihan yang kecil-kecil. Ibuku adalah seorang guru SMP. Ibuku adalah seorang pemikir. Kau tahu, apa yang terjadi di sekolah 116
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
selalu dipikirkan ibu saat di rumah. Misal saja saat seorang muridnya ada yang mendapat nilai rendah. Ibuku akan mencari cara apapun agar anak itu dapat menaikkan nilainya. Pernah sekali dulu ibu sampai memberi les pribadi pada seorang anak. Waktu les sepulang sekolah kira-kira 1 jam. Memang nilai anak tersebut bisa naik. Tapi berujung dengan datangnya orang tua murid tersebut ke sekolah. Protes karena anaknya selalu pulang terlambat. Ha ha Kesalahanku hari itu adalah meninggalkan ibuku di rumah, dengan aku yang berangkat terlebih dahulu. Biasanya tidak seperti itu. Biasanya saat aku keluar rumah dan berjalan ke halte, ibuku sudah telebih dahulu berangkat. Hari ini tidak. Aku mencium tangan ibuku dan beranjak pergi. Sedang ibuku juga masih belum siap- siap bekerja. Ibu tersenyum padaku dengan sorot mata yang sayu. Ah aku ingat sekali. Aku suka sekali senyum itu. Kau tahu, aku dekat sekali dengan ibuku –dibanding dengan ayahku. Dan aku punya ikatan batin tersendiri dengannya. Rasanya seperti aku enggan beranjak dari rumah. Namun ketika melihat jam yang melingkar di tanganku, aku pun segera bergegas pergi. Sambil melambaikan tanganku. Benar saja. Dalam perjalanan, bus terhenti sejenak. Rupanya ada kecelakaan di depan. Ketika bus mulai melaju kembali, aku penasaran dan menoleh melalui sisi jendela. Seorang ibu duduk di aspal sisi jalan. Deg. Perasaanku benar-benar tidak enak. Yang pertama kali terlintas di kepalaku, kenapa ibu itu mengingatkanku pada ibuku. Aku mengambil ponsel dan mengetik pesan di sana. “Jangan berangkat terlalu siang!” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
117
Kukirim pada ibuku. Aku menggelengkan kepalaku. Tanganku bergerak menenangkan detak jantungku. Menyakinkan diriku sendiri. Tidak apa-apa. Tidak terjadi apa-apa. Namun takdir berkata lain. Tidak seirama dengan keinginanku. Pesan itu tak pernah dibaca ibuku. Pagi itu terakhir kali aku melihat tubuh ibuku dalam keaadan bernafas. Kejadiannya cepat sekali. Ketika aku sampai di halaman sekolah, ayah meneleponku, mengabarkan bahwa ibu terlibat kecelakaan beruntun di jalanan yang sudah dekat dengan tempatnya bekerja dan merenggang nyawa di tempat. Aku sungguh tak bisa menjernihkan pikiranku. Kalau saja, hari itu aku mendapat firasat lebih awal. Andai saja, aku lebih cepat memberi tahu ibuku atau menelpon ibu saat mendapat firasat. Hah. Kita hanya manusia. Tidak bisa mengubah takdir. Tidak juga dapat mencegah apa yang diinginkan alam. Akupun juga tidak dapat mencegah ayahku menikah lagi. 2 tahun setelah ibuku meninggal. Aku tahu, ayahku membutuhkan seseorang untuk menemani di masa tuanya nanti. Tapi... bagaimana hati manusia bisa berubah secepat itu? Ibu tiriku baik. Tapi semua berubah setelah itu. Seseorang menepuk bahuku, menyadarkanku dari ingatan masa laluku. Aku mengangkat sudut bibirku ketika mendapati sosok yang berdiri di sampingku.
118
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Kubilang akan kujemput. Kenapa nunggu bis di sini?” tanyanya. “Habisnya kamu lama,” jawabku sambil menarik tasku dan beranjak berdiri. Dia adalah seseorang yang beraroma sama dengan ibuku. Ketika kutanya mengapa dia menggunakan wewangian jenis itu –karena harumnya cenderung feminim, dia menjawab dengan enteng katanya awalnya dia menggunakan parfum ibunya dan menyukainya saat itu juga. Jadi dia mencari parfum yang beraroma sama. Ha ha Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku terhubung dengan lelaki satu ini –atau tidak. Dia adalah teman saat aku TK. Aku bahkan tidak ingat sebelumnya. Lalu dia ikut orang tuanya bekerja di luar kota. Kembali lagi ke kota ini saat kuliah. Masuk ke universitas yang sama denganku. Satu angkatan tapi mengambil program studi yang berbeda. Aku tidak ingat persis sejak kapan kami terhubung. Yang kuingat, kami pernah mengikuti kegiatan charity bersama. Setelahnya kami tak bertemu lagi –mungkin. Lalu dia muncul di mimpiku beberapa kali. Tak lama kemudian di grup media sosial muncul kabar bahwa dia sakit dan sempat tak sadarkan diri beberapa hari. Ajaibnya kira-kira sebulan kemudian, dia muncul kembali di mimpiku dan dia terlihat sehat di sana. Begitupun terjadi di kehidupan nyata. Dia kembali. Muncul di hadapanku. Entah bagaimana dia tiba-tiba muncul. Kami menjadi dekat. Setelahnya pun bukan sekali-dua kali, berkali-kali apabila terjadi sesuatu dengannya, akupun merasakannya. Apakah dia juga merasakan adanya ikatan denganku? De ja vu. Dulu aku terhubung dekat dengan ibuku dan sekarang dengan orang Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
119
ini. Sama persis. Hanya berbeda cara. Apa kau percaya hal-hal yang kebetulan seperti itu? Dia merangkul pundakku. Aku melempar senyum padanya. Tangannya selalu terasa hangat. Aku menyukainya. Aku boleh bahagia kan? Alasanku bahagia untuk saat ini adalah untuk diriku sendiri. Aku terkesan egois bukan? Tapi kalau tidak seperti itu, aku tidak akan bahagia. Tapi bagaimana dengan nanti? Apakah dia juga akan pergi ketika aku meninggalkan ragaku lebih dulu? Sama seperti ayahku? Itulah alasanku menunda pertunangan kami. Aku butuh waktu. Entahlah. Nanti akan kuceritakan kembali tentangnya lebih lanjut. Atau dia sendiri yang akan bercerita padamu. Sampai nanti..
120
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Jejak Oleh: Bintang David Hutabarat Februari 2000 Berjalanlah mundur agar kau tak lepas Berlarilah maju kita samakan langkah Seorang mahasiswi mengangkat tangan dengan cepat saat sesi ta nya jawab dimulai. Raya, begitu ia memperkenalkan diri. Ringkas dan lugas ia mengutarakan pertanyaannya seputar materi Peta Mantel. Aku terbatuk perlahan, meneguk air kemasan dan melemaskan pita suara. Selanjutnya berturut-turut, aku menampung lima komentator kritis yang membedah isi presentasiku. Sebuah dorongan membuatku mencari keberadaan Raya, ia duduk hampir di baris belakang. Wajahnya yang sesekali terbenam di antara orang-orang terasa tampak tak asing, dalam sepersekian detik aku mencoba mengingat namun dengan terburu-buru pula aku menepis nya, waktu yang semakin sempit memaksaku berfikir untuk menemukan jawaban bernas atas uraian mata kuliahku hari itu. Suasana kelas cukup tenang sampai aku mengucapkan kalimat penutup, lalu menjadi riuh dalam suara-suara kesal ketika berakhir dengan tugas yang akan dikumpulkan dalam dua pekan. Dari balik badan aku tersenyum ketir dan menggeleng pelan, lalu dalam sekejap saja siswa bubar dan ruangan menjadi lengang. Aku sedang merapikan tumpukan berkas saat selembar kertas terkulai jatuh di atas lantai. Mataku tertuju pada sebait puisi yang kutulis pagi tadi di antara coretan prediksi pergerakan permukaan bumi. Aku mengutip, membacanya sesaat lalu menyelipkannya kembali di antara lembaran jurnal. Tak berapa lama dari arah lorong, aku mendengar sebuah suara yang sayup-sayup. Aku berhenti dan mempertajam pendengaran, kian lama semakin jelas suara itu adalah isakan sendu yang Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
121
datang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mendekati anak tangga, tampak seorang mahasiswi duduk di tepiannya dengan wajah yang menyandar pada buku-buku yang dipeluk, sesekali pundaknya berguncang, “Anda memerlukan bantuan?” wajah yang sembab memerah itu buru-buru menatapku, menghapus kedua pipinya dan menggeleng bersama senyum yang dipaksakan. Ia, salah satu siswi yang mempertanyakan presentasiku di kelas yang baru saja usai, Raya. Bahasa tubuhnya menunjukkan ketidaknyamanan atas kehadiranku yang seakan mengusik urusan pribadi. Aku mundur selangkah, tak ingin terlibat pada apapun. “Baiklah, jaga diri” sambungku sebelum meninggalkannya tanpa basa-basi. Dalam perjalanan menuju ruang dosen yang mulai sepi, aku membiarkan pikirku terusik kembali olehnya. Bagaimana hari ini wanita itu muncul sebagai figur yang membekas, yang entah bagaimana aku merasakannya sebagai seseorang yang pernah dekat. Langit beranjak malam, aku mempercepat langkah bersiap pulang. Januari 1999 Dini hari pada akhir pekan, mendadak Bapak menghubungi dan memintaku datang menemani. Ia mengatakan sering merasa letih dan menjadi sulit tidur, ia juga meyakini ia membutuhkan dosis obat yang baru. Menyadari Bapak tidak biasa mengeluh, aku meresponnya sebagai panggilan darurat. Lantas aku bergegas mengabari kampus dan mendiskusikan jadwal kuliah jarak jauh. Tersirat, Bapak tidak hanya membutuhkan persetujuan mengenai obat-obatan itu namun juga memerlukan teman untuk bicara. Di minggu kedua awal tahun yang baru, kumulai hari dengan penerbangan pertama. Kutinggalkan Hanoi dan kutemui Jakarta dalam musim yang sama, penghujan. Suara Bapak dari balik telepon terdengar samar tertutup deru hujan pada atap-atap bandara, namun kegembiraannya atas ketibaanku terdengar jelas di telinga. Meski mulai menua, pria alfa dan tangguh yang terus menduda setelah wafatnya Ibu itu muncul dari balik pintu dengan sumringah, ia merengkuh erat dan menepuki pun122
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
dakku. Pada hari-hari biasa ketika berjauhan, tak satu haripun kami lalui tanpa saling bertukar kabar. Obrolan ringan dan berat selalu ada di setiap luangnya waktu. Namun tetap saja, hanya kedekatan fisik dapat melampaui segala rindu yang menghangatkan jiwa. Keesokannya pukul delapan pagi, aku dan Bapak menaklukkan hari dengan memenuhi janji temu ke rumah sakit. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan penantian di ruang tunggu yang cukup panjang, seorang suster menyapa dan memberi petunjuk untuk memasuki ruang konsultasi. Saat pintu dibukakan, dari balik mejanya, dokter wanita paruh baya berdiri dengan senyumnya yang ramah. Yang dengan cepat pula, ia dapat menangkap raut cemas dan memahami wajah lusuh kami sebagai keengganan menunggu lebih lama. Untuk beberapa saat ia memeriksa kembali lembar hasil pemeriksaan, melipat tangannya lalu mulai menyampaikan kesimpulan diagnosa, “Terima kasih sudah memeriksakan diri sedini mungkin. Belum ada tanda-tanda kronis yang merujuk kita harus segera melakukan dialisis, namun ginjal Bapak sedang bermasalah”. Ia menatap berkas laboratorium, mesin pendingin berdengung memenuhi ruangan. “Ini bukanlah akhir, di samping kekuat an semangat dan tetap beraktifitas secara normal, kita bisa bekerja sama mengendalikan dan memperlambat kerusakannya”. Aku terpaku, vonis itu sungguh di luar dugaan. Aku memalingkan pandangku pada Bapak, mimik wajahnya datar dan pundaknya turun. Aku yang mengenalnya sepanjang hidup merasa sulit membayangkan ia akan berkompromi dengan rangkaian terapi yang berat. Di penghujung hari, di bawah langit gelap dan rembulan yang purnama, kami duduk bersisihan di halaman belakang. Bapak bergeming sementara aku kehabisan cara mencairkan suasana. Beberapa kali tarikan nafas terdengar berat, aku memperbaiki posisi duduk dan menanyakan kondisinya, “Bapak baik- baik saja?” aku merasa asing dengan kalimat yang baru saja kuucapkan, kecanggungan tak bisa kusembunyikan. “Bapak belum siap” ia setengah berbisik, tatapannya jauh dan kosong. Aku mencoba menelaah, kejujuran pada ketidaksiapannya itu bukanlah Bapak sebagaimana yang kukenal, pensiun penerbangan yang cerdas Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
123
ini hampir tidak pernah terbuka soal kelemahannya. “Sebelum terapi, Bapak perlu melakukan sesuatu terlebih dahulu” ia melanjutkan, aku menatapnya tak bergumam. Di luar sana, suara-suara serangga saling menimpa di ujung malam. Tak ayal selama bulan-bulan itu aku melakukan banyak perjalanan. Pikiran yang berpusat pada kesehatan Bapak di Jakarta dan karir sebagai pengajar di salah satu universitas di Hanoi tak kupungkiri cukup menyita perhatian. Namun hal lain yang cukup melegakan adalah di bawah kontrol dokter dan pengawasanku, Bapak mulai merubah ba nyak kebiasaan. Sebagai pria disiplin yang agak kaku, Bapak menjadi le bih luwes dan penuh semangat. Seringkali kutemukan matanya berbinar dengan senyum tak putus ketika menceritakan hal-hal besar yang pernah ia kerjakan. Pengakuannya pada sebuah misi yang perlu ia lakukan sebelum terapi, diawali dengan kejujurannya terhadap perasaan dan suasana hati. Dapat kurasakan Bapak sedang meninggalkan kelaziman lama yang menurutnya tak lagi nyaman. Bapak juga menjadi kerap mengundang teman lamanya untuk berkumpul di rumah. Hari ini mereka bermain catur hingga menjelang petang, keesokannya jalan pagi bersama, sementara di hari lain mereka berselisih ringan memecahkan soal-soal pelik di masa lampau. Tak jarang pula dari ruang kerja, aku terperanjat mendengar tawa mereka yang pecah bersahutan. Aku menikmati perubahan baik Bapak yang mengusir tumpukan kegundahanku, namun tak dapat kupungkiri, pada waktu yang bersamaan aku juga merasa khawatir pada rentang waktu kapan ia mulai bersiap untuk pengobatan. Satu waktu di sore yang cerah, di tengah kesibukan menyusun ulang jadwal perkuliahan semester pendek, sebuah sedan klasik berhenti di depan rumah. Dua pria seumuran Bapak bergantian keluar dari dalamnya. Sekonyong-konyong ketiganya saling menyambut dan merangkul. Bapak yang memintaku ikut menyambut, menyaksikannya terharu. “Arya!” sapa mereka, “Om” kusambut uluran tangan keduanya. Masingmasing mereka memelukku dengan erat, pastilah mereka telah lama 124
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mengenalku melalui cerita- cerita Bapak. Namun sebaliknya, Bapak tidak banyak bercerita padaku tentang pertemanannya selama ini. “Ini Om Tomo, ini Om Emil” ia memperkenalkan mereka dan aku mengangguk tersenyum. Lalu seorang yang lain keluar dari samping pengemudi. Jelas sekali wanita muda itu telah lama mengenal Bapak, ia berjalan ke arahnya lalu menyalim dengan sopan. “Arya, ini Sisil putrinya om Tomo. Sisil, ini Arya yang Om sering ceritakan” Bapak memperkenalkan kami. Aku terhenyak, salah tingkah. Aku melirik Bapak, rupa-rupanya ia menceritakan tentangku pada banyak orang, sementara aku hampir tidak mengenal orang- orang lain dalam hidupnya. Di akhir sore di bawah matahari jingga, aku menjabat Sisil yang tersipu. Tak kasat mata, semesta terus bergulir tanpa aturan arah. Ia menampar segala permukaan, menyenggol dan menubruk sisi-sisi cekung dan cembung. Melesat melewati lipatan waktu untuk dipantulkan kembali lebih jauh lagi. Sejauh untaian cerita yang rasa-rasanya tak ingin diulang namun tak mungkin lekang. Malam itu, untuk pertama kalinya, Bapak menggiringku pada kisah manis awal perkenalannya dengan Ibu. Lagi-lagi, Bapak memberikan kejutan yang kumaknai sebagai tahap kesiapan nya untuk pulih. Ia berdehem singkat, aku menunggunya hingga siap. Setiap libur dari tugas terbang, Bapak mengisi banyak kekosongan nya dengan mengikuti pagelaran wayang yang kerap dipentaskan dalam teater-teater kecil. Dengan tatapan yang bersinar, ia mengatakan padaku wayang mengajarkannya tentang kemawasan diri. Harmonisasi pelakonan dan bunyi gamelan seiring nyanyian syahdu yang dilafalkan ia sisipkan sebagai penentram jiwa di tengah jadwal terbangnya yang cukup tinggi. Pada suatu kesempatan, Bapak datang mengendap-endap memasuki ruangan di tengah pertunjukan yang hampir selesai. Hujan lebat yang menderu dan macetnya jalanan tidak membuatnya mengurungkan niat menjadi penonton malam itu. Ia tak dapat menemukan tempat lagi selain hanya bisa berdiri di ujung pelataran, biar begitu suasana magis dan lenggak-lenggok dalang melantunkan mantranya masih sempat ia resapi. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
125
Tiba-tiba saja, pandangannya terhenti pada sesosok wanita yang duduk tidak jauh dari tepi panggung. Kata Bapak, ia begitu indah dipandang. Wanita itu menatap pantulan wayang terus menerus, wajahnya menjadi keemasan ditimpa cahaya lampu yang remang. Ia mengikuti cerita penokohannya dengan khusyuk sambil sesekali tersenyum dari balik kipas yang dikibaskan. Sementara tak jauh darinya, tanpa wanita itu ketahui, seorang pria sedang mengaguminya tak henti. Padaku Bapak mengaku, Ibu teramat memukau dan merasa menemukan cinta sejati pada pandangan pertama. Sejak malam itu, berlatar kisah dewa dan dewi, perjalanan kasih mereka melaju berlabuh dalam janji sehidup semati. Aku terkesima, senyum kecil mengembang di ujung-ujung bibirku. Untuk kesekian kali Bapak menyeduh minumanya sedikit demi sedi kit. “Bapak rindu Ibu?” tanyaku terus terang, “Ya” balasnya sambil me ngangguk cepat. Hening. Kami lalu sibuk dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri tak dapat menghentikan arus pikir yang melesat liar pada masa-masa yang kemudian akan menjadi momentum akhir kebersamaan kami. Kala itu aku berumur sepuluh tahun, berlari dari dalam kamar dengan penasaran, menuju ruangan-ruangan mencari bunyi gaduh yang berulang. Ketika akhirnya aku menemukan Bapak sedang melakukan tindakan bantuan pernapasan pada Ibu yang lemas terkulai di atas lantai, aku membeku, aku menjadi bebatuan yang diam di derasnya air yang mengalir. Bapak memompa dada Ibu sambil terus memanggil, “Nina, bangun!”, namun Ibu tidak merespon, Ibu tetap tak sadarkan diri. Dan hari itu dalam sekejap saja, keluarga berkabung. Kami berduka tanpa persiapan apa-apa, yang hingga hari inipun kubangan luka kehilang an itu masih terasa pilu. Dari ekor mata aku melihat Bapak yang menyelidik, mungkin batinnya dapat merasakan sesuatu mencekat menggelontor di relung hatiku yang tak terselami. Dengan sengaja aku mendadak bangkit berdiri menepuki deretan kancing kemeja, seakan-akan, secara tiba-tiba, sekumpulan serangga jatuh bertengger disitu. Namun kepura-puraan yang bodoh itu semata hanya untuk menutupi kegagalanku mengusir jauh 126
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
duka yang menggelayut. Agustus 2000 Setelah musim panas yang terik dan melelahkan, Hanoi silih berganti diguyur hujan. Gemuruh bersahutan menjadi latar hiruk pikuknya jalanan, pun genangan dan penuhnya kendaraan menambah riuhnya kota yang tersendat. Dan simponi indah dari dimulainya musim penghujan adalah hadirnya nuansa syahdu yang tidak pernah gagal mendamaikan kekacauan. Suara Bapak terdengar berat saat meneleponku tadi malam. Ia mengabarkan salah seorang teman baiknya, Om Tomo menutup usia setelah sakit yang berkepanjangan. Bapak juga menceritakan ia telah menyampaikan belasungkawa pada Sisil yang cukup terpukul atas berpulangnya almarhum. Bapak menyampaikan penyesalannya tidak dapat mengikuti upacara pemakaman yang diadakan di luar kota. Aku ikut berempati dan mendengar keluh kesahnya tanpa menyela. Pagi itu aku melebur di antara ramainya pejalan kaki yang menyusuri danau Hoan Kiem di bawah gerimis dan dingin. Dalam langkah-langkah kecil aku menyusuri tepian sempit sambil pandangku menyapu pantulan awan kelabu yang bergerak lambat di atas permukaan danau. Pikirku melayang pada hari sebelum masa kelulusan dimulai, pada seseorang yang mengingatkanku pada suatu saat di waktu lampau. Lamat-lamat bersama rintik hujan yang menepuki dedaunan, ingatan yang terpotong itu menapak. Diselingi repetisi ketukan jam dari arah lorong, pagi itu kuseduh kopi panas tanpa gula. Harumnya semerbak melesat menerobos celah-celah ruang yang terbuka. Kubiarkan telapak tanganku menggenggam permukaan gelasnya dan kuteruskan rasa hangat itu menyentuh urat-urat saraf. Tok. Tok. Seseorang mengetuk pintu ruanganku yang terbuka. Se pagi itu, seorang mahasiswi mengenakan topi yang menutup seperem pat wajahnya berdiri mengatur nafasnya yang tersenggal, “Maaf mengganggu Pak, ada waktu untuk konsultasi?” tanyanya. Aku menyiapkan Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
127
meja dan mempersilahkan, “Mari” jawabku. “Saya menemukan kendala pada bab empat” ia menyodorkan rancangan skripsi, menunjukkan beberapa grafik dan membacakan teori pendukung yang ia rasa kurang mengena. Aku menangkap nada resah mengingat tenggat yang semakin dekat. Konsultasi itu kami akhiri dengan kerelaannya mengulang rangkaian analisa, ada keyakinan yang terekam bahwa ia dapat melalui skenario terburuk. Ia juga berjanji secepatnya akan bertanya-jawab kembali. Ia meninggalkan ruanganku menjelang kuliah pertama dimulai, kuteguk kopi yang belum tandas namun tak lagi panas. Waktu berlalu. Minggu dan bulan yang padat berlalu cepat, aku tenggelam dalam diskusi pengajar dan penuhnya kelas. Pada pagi di sela rutinitas menyeduh kopi yang harum, sesuatu membuatku menemukan bahwa diriku acapkali menunggunya muncul dari balik pintu, namun ia tak pernah ada disitu. Tanganku bergelayut dalam saku-saku jaket yang hangat, Hoan Kiem yang cantik menjadi tumpahan angan yang ditakdirkan hanya akan menjadi lamunan. Juni 1999 Tak banyak yang dapat kukatakan saat Bapak mengusulkan agar aku menyediakan waktu khusus bersama Sisil, “Cobalah saling mengenal”, sarannya. Aku membenarkan gagang kacamata sambil tetap awas di belakang kemudi. “Bapak tidak bermaksud menjodohkan”, lanjutnya lagi saat kami beradu pandang. Aku tersenyum sekedarnya lalu menatap kembali lurus ke depan. Dengan jelas aku membaca sinyal Bapak berharap aku bisa memulai hubungan sebagaimana lelaki dewasa pada umumnya. Sementara di sisi lain, sejak pertemuan pertama yang lalu, aku dan Sisil tak pernah membuat janji untuk bertemu. Hingga sejauh ini aku bersikukuh pada prioritas kesembuhan Bapak yang tidak dapat dibarengi dengan tujuan-tujuan lain. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, untuk pertama kalinya pembahasan itu menjadi debat kecil yang membuat kami tersadar bahwa kami memiliki karakter keras kepala yang sama. 128
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Aku memandangi pintu yang menutup. Bapak baru saja memasuki klinik untuk pemeriksaan rutinnya. Perasaan yang berkecamuk sepekan belakangan terpusat pada penantian pemeriksaan yang dijadwalkan pada akhir bulan itu, segalanya akan dimulai setelah dokter mengundang ku mendengar hasil akhirnya. Aku merinding, debar jantung yang tak menentu dan dinginnya ruang tunggu membuatku tak bisa duduk dengan tenang. Baru saja bangkit berdiri ingin meninggalkan koridor sepi itu, aku menemukan pintu terbuka dan suster yang memanggil. Aku bergegas masuk dan menemukan Bapak setengah tertunduk, sementara dokter yang mulai akrab atas kehadiran kami itu duduk di seberangnya, memandangiku tersenyum. Dengan ramah ia berdiri menyambut dan menjabat tanganku yang gentar. Saat laporan pemeriksaan mulai dibacakan, aku mendapati wajahnya yang terheran, ia mengernyitkan kening sembari terus berbicara, “Berlawanan dengan teori dan praktek medis yang teruji, hasil pertemuan hari ini tidak menunjukkan gejala kompleks yang memburuk dalam ginjal Bapak, bahkan kondisinya menjadi jauh lebih baik”. Ia berhenti, meletakkan laporan lalu menatap kedua pria bimbang yang duduk di hadapannya. Aku menunggu. “Ini sebuah pencapaian yang besar” kali ini dokter itu mengangguk dan tersenyum lebar. Aku terkagum-kagum pada Bapak yang meninju udara dengan bangga. Kegembiraan itu mutlak mengangkat beban yang menakutkan. Yang entah bagaimana, secara misterius Bapak dan tubuhnya berhasil menyelesaikan secara kompak perkara serius yang berbahaya. Tanpa rekaan dan dengan resmi, pria yang kepercayaan dirinya telah kembali itu dinyatakan sembuh dari diagnosa menakutkan yang mengekang ringannya langkah-langkah. Dari sudut pandangku, jelas sekali Bapak dapat merengkuh kesembuhannya dari keikhlasan melepaskan dan keyakinan yang pasti sehingga hidupnya akan berjalan baik-baik saja. Kubiarkan pikiranku melompat sebelum mata menangkap cahaya pagi yang menembus lembut tirai jendela. Aku menemukan diriku yang sebelumnya acapkali berpikir bahwa impian hanyalah buaian yang mudah tererai dan menjerumuskan, mulai mengilhaminya sebagai keku atan yang selayaknya aku lakukan secara konsisten. Kenangan traumaAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
129
tis masa lalu atas kehilangan Ibu sempat membuatku menutup banyak bentuk kebahagiaan, membuatnya seakan menjadi fase kekosongan yang pantas mengelabui. Namun berkaca dari kisah Bapak, harus kuakui aku tertinggal jauh di belakang. Aku mengibas selimut yang menggulung, membuka jendela dan menumpahkan udara pagi menerobos masuk ke dalam kamar. Lantai beku yang menyentak membantuku tersadar waktuku pulang semakin dekat. Dari kolong pintu, udara merayap membawa aroma pagi yang terhidang bersama dentingan sendok dalam gelas-gelas. Aku melangkah ke luar, ada perasaan hangat yang menyergap saat kutemukan foto-foto indah kebersamaan Bapak dan Ibu terpajang rapi pada meja konsol dan dinding- dinding ruang keluarga. Secara penuh Bapak telah berdamai dengan apapun itu yang pernah ia sangkal dalam kurun waktu yang lama. “Kopi” Bapak memecah diamku. Segelas kopi panas yang harum diserahkannya. Aku mencecap, kopi tubruk racikan Bapak selalu berhasil mengantarku pada nostalgia masa kecil yang menjejakkan selaksa nilai kehidupan. “Persiapan kembali ke Hanoi, sudah siap?” tanyanya, aku mengangguk. Hari itu aku dan Bapak silih berganti menyelesaikan lalu memulai kembali misi besar kami masing-masing. Januari 2001 Selebrasi menyongsong tahun baru kulewatkan dengan mendaki gunung rendah Marmer di tengah kota Da Nang yang terkenal. Agung nya uraian matahari senja bersama kibasan sayap-sayap cermai yang bergerak pulang menggiring mimpiku yang tak sabar ingin dikejar. Sementara malamnya, aku menyamakan langkah dalam euforia kegembiraan kota yang semarak. Sebuah doa kulantunkan bersama hitungan mundur, semoga kehidupan semakin berporos pada kebajikan. Seminggu kemudian, dengan senang hati aku kembali berkutat pada deretan seminar dan diskusi ilmiah antar pengajar. Aku membuka hari baru dengan mulai saling menyapa dan memuji kolega yang tadinya tak sempat kulakukan. Perkuliahan yang membosankan berhasil menemukan denyutnya dengan terobosan mengadakan kelas di salah satu sudut 130
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
kapel yang lembab, di situ, di antara undakan batu kali berlumut itu, kutemukan wajah-wajah antusias yang bersiap membuka cakrawala nya tentang mengapa peta mantel mampu menguak misteri gempa dan aktivitas gunung api. Bermula dari hari baik itu, aku merengkuh segala keberhasilan yang terwujud sebagai kebiasaan yang akan terus kuulang. Hari itu Senin pagi di penghujung bulan, aku tiba di kampus satu jam lebih awal. Baru saja lega menyandarkan pundak, pintu ruangan yang kubiarkan terbuka diketuk. “Ya?” sapaku, “Maaf mengganggu Pak, ada waktu?” seorang mahasiswi berdiri di ambang pintu. “Ya, ya, silahkan”. Aku bersigap. Ia berjalan masuk dan menyodorkan sebundel rancangan skripsi di atas meja. “Ada kendala?” tanyaku. “Saya ingin konfirmasi kelayakan dari Bapak”. Aku mengangguk. “Saya akan meninggalkannya, besok saya kembali”, aku menerima usulnya tak lama sebelum ia berpamitan. Aku kembali duduk, meraih rancangan itu dan menyingkap lembaran bab analisa. Studi kasus yang tertuang dalam kalimat-kalimat aktual disusun dengan baik dan cerdas. Ingin tahu lebih jauh, aku kembali pada sampul awal, mencerna judul pengantar dan nama penyusun. Aku tersenyum, nama Indonesia-nya cukup menarik. Aku kembali menelisik bab selanjutnya namun singkapan kertas terhenti pada pesan yang menempel. Alih-alih menganggapnya sebagai pengingat pribadi, namun de ngan ringan aku turut membacanya, Berjalanlah mundur agar kau tak lepas Berlarilah maju kita samakan langkah Kita pernah bertemu -Raya Sisilia Tentu saja aku mengenal tulisan itu, dan puisi itu, yang kutulis di antara coretan prediksi pergerakan permukaan bumi setahun yang lalu itu. Tetapi, tambahan kalimat dan sebuah nama itu adalah sesuatu yang tidak dapat kuprediksi. Sementara aku mencoba memahami dimensiku yang menciut, pikirku mendobrak dan merunutkan segala ingatan yang acak. Aku beranjak, berharap ia masih dapat kutemui, karna sungguh kali ini aku yang akan mencari. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
131
Kala Hujan Datang Menjemput Oleh: Rosmaria Anggelina Simanjuntak Sudah beberapa jam hujan turun membasahi kota Jakarta. Bukan tergolong hujan deras memang, namun terbilang cukup intens untuk dapat menimbulkan genangan air di jalan. Halte bus dipadati oleh orang-orang yang terjebak hujan. Tidak seorang pun diantara mereka yang rela bermandikan hujan. Ada banyak hal yang perlu dikhawatirkan selain pakaian yang menempel pada kulit. Dokumen penting kantor, laptop, tugas kuliah, dan masih banyak benda lainnya dalam tas yang harus dilindungi. Senin yang murung. Senja tidak terlihat wujudnya, hanya kelabu yang berangsur-angsur menjadi malam. Seharusnya, hari ini setiap orang mengawali minggu dengan sukacita dan mempersiapkan diri untuk mengerjakan rutinitas sepekan ke depan. Tapi lihatlah, orang-orang ini bahkan dijebak oleh alam untuk tidak bisa bersembunyi di balik selimut sembari menghirup aroma teh atau kopi panas. Angkutan kota sudah berkali-kali berhenti di depan halte. Satu dua penumpang naik dan turun, namun hanya sepersekian persen dari puluhan orang di bawah atap halte kecil itu. Mereka menghabiskan waktu dengan berdiri, memeluk tas, memasukkan tangan ke dalam saku celana, dan memandang hujan. Memandang hujan bukan aktivitas yang menyenangkan untuk orang-orang pada umumnya. Dan Biru, bukanlah orang pada umumnya jika memang harus demikian. Ia menikmati hujan yang tumpah dari la ngit. Lebih tepatnya, ia mencoba menikmati hujan. Laki-laki itu berdiri di barisan terdepan kerumunan orang di halte. Ia terlihat melindungi tangan kanannya di dalam saku jaket. Sementara tangan kirinya memegang sebuah payung lipat kecil. Benda itu cukup membuatnya menerima belasan pasang mata yang berbicara ‘dasar orang bodoh’. Tidak he 132
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
ran memang, semua orang membutuhkan payung dan laki-laki itu lebih memilih tidak memakainya. Hanya dalam hitungan detik. Seorang ‘korban hujan’ menerobos kerumunan, ia menabrak laki- laki itu dari belakang. Sepertinya ada sesuatu yang menunggunya sehingga ia menjadi orang pertama yang menerobos hujan, mengorbankan tas dan pakaian yang dikenakannya. Kemungkinan esok tidak mengharuskan dia ke kantor atau kuliah sehingga tidak ada dokumen yang tidak boleh basah di dalamnya. Biru menoleh kesal sesaat. Seharusnya ‘korban hujan’ tadi bisa menegurnya terlebih dahulu sebelum mendorongnya. Jaket coklat yang dikenakan laki-laki itu basah terkena tempias hujan. Biru memeriksa telepon genggam dalam sakunya, satu-satunya benda berharga yang ia bawa. Ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana beberapa detik sebelum kemudian mengembalikan benda itu ke tempat semula. Lima belas menit kemudian, Biru berlari-lari kecil menuju sebuah mobil hitam yang baru saja berhenti di seberang halte. Ia menjadi orang kedua yang menerobos hujan selain ‘korban hujan’ yang tadi. Bedanya, tidak ada tas berisi dokumen penting yang harus ia lindungi. “Sorry, Sir. Traffic behind us.” Seorang laki-laki paruh baya dari balik bangku supir mencoba berkomunikasi dengan logat terbaiknya. “No problem.” Biru terlihat mengelap pakaiannya dengan tisu di jok belakang mobil. “Go where?” pria dari balik bangku supir mencoba menanyakan tujuan mereka. “Ke Hotel Cempaka Pak.” Biru hanya tersenyum melihat gelagat ‘pria di bangku supir’. “Bapak bisa bahasa Indonesia, toh? Kata Pak Bos saya harus menjemput tamu dari Prancis. Saya kirain bule, Pak.” Laki-laki itu berucap sambil menertawakan kebodohannya. “Hahaha. Jadi menurut Bapak saya orang Prancis?” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
133
“Roman-romannya si bukan, Pak. Rambutnya doang yang bule. Bapak campuran, ya?” Dengan perawakan yang tinggi dan tegap, kulit bersih, dan rambut coklat, Biru memang terlihat seperti seorang campuran. Hanya saja, guratan wajah khas asia terpahat dengan indah di wajah laki-laki itu membuat setiap orang yang melihat berasumsi ada darah asia di dalam gen tubuhnya. Benar saja. “Hahaha. Saya tulen Indonesia Pak.” Biru tersenyum melihat lawan bicaranya. Ia termasuk orang yang banyak berbicara sepanjang perjalanan. Bercerita panjang lebar tentang Jakarta, tentang macet, tentang anak istrinya, tentang bajaj, tentang banjir, dan masih banyak lagi. Mengenai bajaj, pria paruh baya itu bahkan tau sejarah kendaraan roda tiga itu. Tahun 70an moda transportasi lokal itu diimpor dari India dari perusahaan PT Bajaj Auto. Dari sanalah nama benda itu berasal dan kemudian berdamai dengan waktu dan dikenal sebagai kendaraan lokal ibu kota. Dengan semangat ia membagikan ilmu pengetahuan yang menurutnya pasti masuk dalam kategori fakta menarik bagi setiap penumpangnya. Sayangnya Biru bukan penumpang yang mengkategorikannya sebagai fakta menarik, melainkan lawan bicaranya itulah yang menarik. Sesekali Biru menjawab dengan jawaban singkat, selebihnya direspon dengan senyum dan tawa. Dari percakapan itu, Biru mengetahui bahwa lawan bicaranya ini bernama Adi. Dengan perawakan yang tidak begitu tinggi dan berisi, ia terlihat lihai menaklukkan kota Jakarta sembari terus bercerita. Jakarta menyimpan makna yang berarti bagi Biru. Tidak begitu ba nyak, namun cukup berharga untuk dikenang. Ia mengenal sedikit ba nyak mengenai kota ini. Menyandang status ibu kota, Jakarta memiliki banyak penduduk yang menggantungkan nasib kepadanya. Empat belas tahun yang lalu, ia adalah anak kampung yang menimba ilmu disambut oleh hiruk pikuk ibu kota. Sampai saat ini, hiruk pikuk itu tidak pernah lekang dari Jakarta.
134
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Bapak sudah menikah?” Pertanyaan yang tiba-tiba. Biru tersenyum menanggapinya. “Kenapa Pak Adi tiba-tiba tanya begitu?” Sebenarnya Biru tidak cu kup terkejut dengan pertanyaan tesebut mengingat sedari tadi sudah banyak pertanyaan random yang ia lontarkan. “Cincin, Pak. Hehe.” Rupanya pria paruh baya itu memperhatikan cincin perak yang bertengger dengan indah di jari manis Biru. “Belum, Pak.” Biru kembali tersenyum sambil memandangi jemarinya. Namun senyum kali ini terlihat cukup berbeda dari yang sebelumnya. Senyum yang menguak kembali memoar yang tersimpan dalam-dalam. “Wah, berarti Bapak termasuk orang yang mengikuti tren ya? Saya lihat banyak anak muda di luar sana yang memakai cincin, tapi hanya aksesoris saja Pak. Anak saya yang perempuan juga gitu, hahaha.” “Hahaha. Bapak mau dengan cerita cincin ini?” *** Telinga kalian mungkin sering mendengar kalimat ‘dibalik seorang laki-laki yang hebat, terdapat wanita yang hebat.’ Kuakui, aku punya dua. Satu ibuku, satu lagi Elok. Dua wanita hebat ini sudah mengisi hampir seluruh waktu berharga dalam hidupku. Elok. Hanya Elok. Ketika orang-orang di kampungku berlomba-lomba menyebut dua suku kata untuk nama buah hati mereka, orangtua nya hanya menamainya Elok. Nama yang selalu terukir indah dalam pikiranku. Entah nama itu yang selalu menempel, atau otakku yang tidak mau melepasnya. Perempuan itu kukenal sejak lahir. Seluruh peng huni kampung ikut bersukacita menyambut kelahirannya, begitu juga aku yang berumur 3 tahun. Ia cucu dari tetua di kampung kami, buah cinta dari ayah dan ibu yang cerdas dan rupawan. Dengan segala kelebihan yang ia punya, banyak orang beranggapan bahwa anak itu kelak akan memiliki masa depan yang cerah. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
135
Hanya saja, lembaran hidup tidak dituliskan begitu indah untuk Elok. Ketika ia memasuki usia tahun kelima, kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan. Ditinggal tanpa kakak tanpa adik, ia kemudian dibesarkan oleh kakek dan neneknya yang juga sudah berusia lanjut. Ia berkabung untuk waktu yang begitu lama. Kesedihan itu menyatu dengan musim dan menumpah ruahkan hujan hampir sepanjang hari di bulan Desember. Lima tahun berikutnya ia memasuki masa berkabung yang kedua. Hanya selang satu bulan antara kakek dan neneknya, keduanya pergi menyusul anaknya yang sudah lebih dulu pergi. Elok sendiri. Ibuku menawarkan untuk merawat bocah itu sembari menunggu saudara jauhnya datang menjemput. Sayangnya, saudara jauh itu tidak pernah datang. Begitulah aku mengenal Elok. Gadis 10 tahun yang ceria mulai memasuki kehidupan kami. Ia pandai membatasi mana waktu untuk berkabung dan mana waktu untuk melanjutkan hidup dengan semangat yang baru. Ibuku sudah menganggapnya seperti putri sendiri. Begitu juga aku yang sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Namun ternyata rasa itu berubah setelah kami kuliah di Jakarta. Kami dipertemukan di tanah rantau, ia memasuki semester 1 dan aku memasuki tahun terakhir. Semakin banyak kami menghabiskan waktu, semakin aku mengenal Elok yang sudah bukan gadis kecil. Ia memiliki paras dan laku yang rupawan. Awalnya, aku sering menemaninya keluar sebagai kakak laki-laki yang melindungi adiknya dari jahatnya dunia luar. Membeli buku, mengerjakan tugas, belanja, bahkan kegiatan sosialnya pun sering kami lakukan bersama. Ia mendedikasikan diri sebagai tenaga pengajar anak di salah satu rumah ibadah. Satu hari di bulan Desember, seminggu menjelang Hari Raya Natal. Tidak biasanya aku mempercayai prakiraan cuaca yang disiarkan di televisi. Hari itu dikabarkan akan hujan deras. Sampai matahari terbenam pun, tidak ada tanda-tanda langit akan menumpahkan air dari atas sana. 136
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Ping. Telepon genggam di sakuku berbunyi. “Bang, sudah siap? Pergi sekarang yuk, biar sempat singgah buat makan dulu.” Pesan dari Elok. Hari ini kami mau pergi ke rumah ibadah untuk mempersiapkan acara natal untuk anak-anak. Kemarin Elok mena warkan diri ikut serta mendekorasi aula yang akan digunakan untuk acara perayaan nanti. Dengan jiwa kakak laki-laki yang protektif, aku menawarkan ikut dan meninggalkan tugas-tugas yang tenggat waktu pengumpulannya semakin dekat. “Bentar lagi ya, Lok. Nanti aku jemput ke kosan.” Kukirimkan pesan singkat untuk mengabarinya. Aku langsung berbenah dan meluncur dengan sepeda motorku. Menjemput Elok dan singgah di tempat makan. Tidak banyak yang kami bicarakan. Waktu menunjukkan sudah seharusnya kami berada di lokasi. Namun, prakiraan cuaca yang disiarkan di televisi pagi hari berkata jujur. Seketika hujan jatuh menuju bumi dan memerintah seluruh pengendara motor dan pejalan kaki untuk berteduh. “Yahh, gimana dong, Bang. Nanti Elok segan sama kakak-kakak yang lain kalau terlambat.” “Kita tunggu sebentar lagi ya, Lok.” Kata ‘sebentar’ tidak memiliki makna yang cukup akurat. Lima belas menit menunggu, tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti mengguyur bumi dan isinya. Kami memutuskan untuk berangkat bermodalkan jas hujan. Tepatnya Elok yang memutuskan, aku hanya tidak sanggup melarang. *** “Desember itu memang biasanya hujan melulu, Pak. Di Jakarta juga begitu.” Pak Adi merespon cerita Biru, entah ia mendengarkan keseluruhan kisah atau tidak.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
137
“Iya, Pak. Sepertinya kalau di Indonesia siklusnya emang begitu.” Siklus yang sebenarnya tidak menentu. Tidak ada yang tahu bagaimana alam bertindak. Manusia mungkin saja mempelajari pola. Namun ketika alam tidak berlaku sesuai dengan pola yang diamati oleh manusia, alam tidak berutang penjelasan kepada manusia. Biru menatap ke luar kaca jendela mobil. Tampak butir-butir air membasahi kaca jendela, menghadirkan embun, menutupi suasana di luar mobil. Bukan suasana yang menyenangkan bagi sebagian besar orang. Namun, Biru adalah salah satu dari sedikit orang yang menyukai hujan. Tepatnya, ia mencoba menyukai. Sebagaimana Elok yang tetap menyukai hujan walaupun selalu hadir ketika perempuan itu kehilangan kebahagiaannya, Biru selalu mencoba menyukai hujan. “Tidak ada alasan buatku untuk membenci hujan.” Katanya suatu ketika. “Hujan adalah bagian dari siklus alam yang tidak bisa kita tolak, terkadang sulit menebak kehadirannya ketika ia tidak berkoordinasi de ngan alam. Tapi aku suka ketika hujan bisa memberi waktu bagi orangorang seperti kita untuk berpikir kembali. Menarik diri dari kesibukan dan menyisihkan waktu untuk sedikit berdiskusi dengan diri sendiri, itu yang sering kulakukan. Biasanya, hasil dari pemikiran itu adalah bersyukur. Banyak hal yang harus disyukuri ketika proses berpikir kembali berlangsung.” Begitulah cara Elok mencoba berdamai dengan pahitnya takdir yang digariskan untuknya. Tidak pernah sekalipun kudengar ia mengeluh. Pernah suatu kali ia berkata ‘mengeluh itu tidak akan ada akhirnya. Kalau aku mengeluh, kapan aku akan maju?’ Pemikiran yang sangat baik. Biru mengakui ia banyak belajar dari Elok tentang bersyukur. “Berarti, Bapak sudah tunangan sama perempuan itu ya?” Pak Adi menghentikan lamunan Biru. Pria itu menagih kelanjutan cerita dari penumpangnya yang satu ini.
138
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Bukan, Pak. Cincin ini memang saya beli untuk dia, tapi tidak pernah saya sampaikan Pak.” “Wahh, hati-hati loh Pak keduluan sama yang lain. Kalau udah ada yang cocok di hati, langsung disahkan saja Pak.’ Biru hanya tersenyum menanggapi pernyataan Pak Adi. Bukannya ia tidak mau, ia hanya tidak bisa. Tidak akan pernah bisa. Malam itu, keduanya tidak pernah sampai ke tempat perayaan natal. Hujan lagi-lagi menjemput kebahagiaan Elok yang terakhir. Elok tidak pernah mendekorasi gedung itu. Elok tidak pernah lagi pulang ke kosan. Elok tidak pernah lagi mengajak Biru berbelanja. Elok tidak pernah lagi pulang ke kampung halaman mengunjungi Bapak dan Ibu. Elok pergi.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
139
Kampung Dalam: Jalan Penyesalan Oleh: Ferdy Aqliyansyah Aku pernah membaca kalau nostalgia dapat menguatkan seseorang pada masa kini dan tujuan di masa depan. Bagiku nostalgia hanya sebatas kena ngan. Kenangan yang mempengaruhi jejak-jejak kehidupan. Nostalgia akan tumbuh ketika benang masa lalu kembali terhubung oleh kuatnya perasaan. Nostalgia bisa merubah seorang yang lemah menjadi kuat dan yang kuat menjadi lemah. “BOCAH-BOCAH PEMALAS, Semuanya kumpul di depan. SATU MENIT…!” Teriak Komandan Jefri ke mess 103. Semua prajurit kepa nikan mempersiapkan diri mereka. Banyak yang bahkan tidak sempat memakai pakaian lengkap. “Telat tiga detik! Siapa yang bertanggung jawab?” Tegas Komandan Jefri yang sedang memimpin barisan. “Siap, saya Komandan!” Balas salah satu prajurit yang hanya memakai baju dan celana dalam. Nama nya Suyono, ketika itu dia tengah di toilet dan belum sempat membersih kan “hajatnya”. “Kemana celanamu Yono?” Tanya Komandan Jefri dengan nada tegas. “Siap, saya tidak sempat memakai celana Komandan!” Jawab Suyono. Wajah Komandan Jefri menggeleng melihat tingkah prajurit yang di komandonya. “ISTIRAHAT DI TEMPAT GERAK!” Dengan sigap semuanya berada dalam posisi istirahat di tempat. “Hari ini kita dapat tugas baru dari Batalyon Pusat. Persiapan satu jam, setelahnya kita akan berangkat ke Kecamatan Dalam. Disana di ketahui para pemberontak bersembunyi di salah satu desa.” Komandan 140
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Jefri mememberi instruksi dengan khidmat. “JELAS?” Tanya Komandan Jefri tegas. “Siap jelas Komandan!” Jawab seluruh prajurit. Aku adalah ketua regu prajurit Komandan Jefri yang memimpin Tim Kobra. Hari ini kami kembali diberi tugas penyerangan oleh Batalyon Pusat. Persiapan satu jam terlalu lama bagiku. Aku dapat menyelesaikan semua persiapan dalam setengah jam. Aku yang tercepat diantara prajurit-prajurit lain. Aku teringat ketika itu Komandan Jefri menantang kami, barangsiapa yang dapat menandinginya bongkar-pasang senjata SS2 maka dia akan membuat tato nama prajurit itu di lengan kirinya. Kala itu Suyono mendorongku untuk maju. Aku mengalahkan Komandan Jefri dengan rekor 1 menit 32 detik terpaut tujuh detik dari Komandan Jefri. Dia langsung memelukku, menepuk pundakku, memberikan selamat kepadaku. Esok harinya terlihat di lengan kirinya tertulis “Supardi”, itulah namaku. “Ardi, bentuk barisan pasukanmu!” Tegas Komandan Jefri. “Siap, laksanakan!” balasku. Tim kobra terlihat sangat kompak. Berbeda dari regu prajurit yang lain. Kami di didik keras oleh komandan yang terkenal pula dengan ketegasannya. Pernah suatu malam aku dan Komandan Jefri berbicara ba nyak, mulai dari masa lalunya, pertemuan dia dengan istrinya, putrinya yang selalu berkeluh di goda banyak pria di kampus, hingga asal nama Tim Kobra. “Ular kobra memiliki banyak kepribadian, Ardi. Dia waspada, tegas, kuat, lincah, mematikan, dia ramah terhadap irama, dia juga bisa menjadi teman. Semua bagian itu akan terdapat di 50 prajurit didikanku. Tugasku adalah menyatukan semua itu menjadi satu kesatuan yang aku sebut Tim Kobra.” Aku larut dalam ceritanya. Aku yakin dia mengatakan semua itu karena aku adalah ketua Tim Kobra dan aku harus punya ambisi yang sama dengan petinggiku. “Tim Kobra siap jalan… kami bawa harapan… serahkan pada kami… sedia surga untuk negeri…” Tim Kobra meneriakan yel-yel dengan lanAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
141
tangnya menuju truk-truk yang sudah disediakan. Kami bukan kelompok biasa, kami padu, kami bersaudara, kami tenang, kami juga mematikan, itulah yang tertanam dalam diri setiap prajurit Tim Kobra. Aku duduk di mobil yang sama dan bersebelahan dengan komandan Jefri. “Ardi, aku tahu kamu cemas” sela Komandan Jefri dibalik suara bising truk REO M35 kami. “Maaf komandan?” tanyaku karena tidak jelas. “Kita tengah menuju Kecamatan Dalam Ardi, apa yang kamu rasakan sekarang?” “Aku tidak tahu Komandan, Kecamatan Dalam sangat luas. Aku berharap koordinat kita tidak mengarah ke tempat itu.” Jawabku cemas. “Saman, dimana peta?” Tegas Komandan Jefri kepada salah satu prajurit. “Siap, ini Komandan!” balas Saman sembari mengeluarkan kertas A3 yang berisi gambar peta. “Ardi, ini koordinat tujuan kita.” Mataku melebar melihat titik koordinat itu. “Aku tahu aku salah karena tidak berdiskusi denganmu sebe lumnya, tapi Batalyon Pusat juga memberi perintah dadakan. Perintah ini ditujukan kepada Tim Kobra karena mereka tahu posisimu, Ardi.” Aku hanya menatap nanar ke arah wajah Komandan Jefri. “Ardi, kamu yang paling tahu medannya. Kamu yang akan memimpin kita semua.” Komandan Jefri mencoba meyakinkanku. Dia menepuk pundakku seraya mengelusnya. ***** “Ibu, ayah, kita mau kemana malam-malam begini.” Tanyaku. “Adek, tenang dulu ya! Kita mau ke rumah kakek.” Celutuk salah se orang yang tidak aku kenal di dalam mobil jip hitam itu. “Paman siapa?” Tanyaku. “Paman ini teman ayah kamu waktu sekolah dulu. Kamu pasti tidak ingat karena kamu belum lahir.” Jawabnya. Aku melihat di kening orang 142
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
itu terdapat tato ular yang setengah bagiannya tertutup kupluk hitam. “Tapi paman seperti bukan orang baik.” Balasku mengasal. Wajah orang itu memerah dan dia membisikkan sesuatu ke telinga ayah dan ibuku. Seketika ayah dan ibuku meneteskan air mata, namun mereka tetap diam. Setelah berselang beberapa lama, mobil berhenti di jalan tengah hutan. Aku di turunkan di tempat itu dan di tinggalkan. Aku menangis sekencang-kencangnya memanggil ayah dan ibu, namun apa daya, mobil yang mereka tumpangi telah menghilang dari pandanganku. Aku berteriak hingga kelelahan dan aku pingsan di pinggiran jalan. Esoknya aku terbangun di sebuah dipan tua. Aku berada di sebuah kamar di rumah yang berdinding anyaman rotan dan beratap daun rumbia. Seketika aku langsung berteriak “Ayah! ibu!” Aku kembali menangis kencang. Kemudian sosok pria paruh baya datang dari luar kamar menghampiriku. “Kenapa nak? Kamu tenang ya! Kamu pasti lapar, ini makan dulu!” pria itu meletakkan makanan disampingku, kemudian memelukku sembari mengelus pundakku. Aku benar-benar lupa diri ketika itu. ***** Ingatan itu kembali mengerogoti pikiranku. “Ardi, kamu baik-baik saja?” Celutuk Komandan Jefri. Lamunanku pecah mendengar kata-kata komandan Jefri. “Oh, eh, iya Komandan, aku baik-baik saja.” Wajahku sedikit pucat dan mataku sayu seperti rusa kelelahan di kejar harimau. “Ardi!” Tegur Komandan Jefri melihat wajahku yang tertegun. “Apa yang kita lawan saat ini adalah diri kita sendiri. Kita ingin menciptakan negeri surga bagi rakyat. Kita harus melawan keegoisan yang ada dalam diri kita. Pemberontak adalah musuh negara. Siapapun mereka. Kita harus tumpas hingga ke akarnya, agar peperangan yang lebih besar tidak terjadi.” Ujar Komandan jefri. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
143
“Kalau perkataan Komandan benar. Apakah aku harus membunuh keluargaku sendiri Komandan?” Tanyaku. “Ardi, kita sudah tahu mengenai siapa kamu sebenarnya, siapa yang membesarkanmu, bagaimana sejarahmu. Kamu bukan keluarga mereka Ardi. Orang tua mu Kapten Jayadi dan istrinya Soraya adalah pahlawa di militer. Mereka Hilang pada malam itu. Kami—militer, mencari-cari mereka dan kamu, namun nihil, mereka--- “ “Tapi bukan berarti orang tuaku di bunuh oleh mereka Komandan.” Aku langsung menyela kata- kata Komandan Jefri. “Mereka pemberontak, Ardi. Mereka ingin menjatuhkan negara kita.” Tegasnya. “Biarkan aku tenang dulu Komandan.” Balasku dengan mata me merah. Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan kearah pintu belakang. “Yono, kamu di panggil Komandan Jefri.” Celutukku kepada Suyono yang tengah asik melihat pemandangan di luar mobil dari pintu belakang. “Oh, kenapa Ar, hehe, apa aku dapat jatah makanan plus-plus lagi ya?” Balasnya sembarang. “Sudah, kesana saja!” Bentakku sembari menggantikan tempat duduk Suyono di pintu belakang mobil. Aku ingat betul jalanan ini. Kecamatan Dalam sangat luas. Aku juga tahu betul medan di daerah sini. Hamparan sawah di sebelah kiriku masih sama seperti dulu. Pohon Angsana di sebelah timur sana masih berbunga hingga saat ini. Di bawah pohon itu ada kolam tempat aku dan temanku berenang, sampai-sampai kami di marahi tetua desa karena terlambat pulang. Tak jauh dari hamparan sawah itu, tepatnya di kaki bukit sana, ada hutan terlarang. Aku pernah memasukinya, namun setengah jalan, para pemuda desa menemukanku dan menyuruhku pulang, ”Anak kecil tidak boleh masuk hutan ini ya!” tegas mereka kepadaku dan teman144
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
temanku. Katanya hutan itu banyak hewan buas. Hanya orang-orang dewasa yang boleh kesana.. “Ardi, kamu baik?” celutuk prajurit yang ada di belakangku. Dia adalah saman, medis di Tim Kobra. Aku hanya mengangguk kecil membalas pertanyaannya. “Katanya kamu besar di daerah sini, Ardi. Pasti nostalgia ya sampai-sampai kamu duduk di pintu sini.” Aku hanya sanggup menghela napas panjang mendengar ucapan Saman. Apakah nostalgia itu? Apakah ketika bernostalgia membuatku menjadi pribadi yang lebih baik? Membuat hari-hariku bersyukur akan apa yang telah aku capai hingga saat ini. Ardi, prajurit militer terbaik seangkatan yang kembali ke kampung halaman bukan karena ingin merasakan kembali kehangatan keluarga, namun lebih dari itu, dia akan membantai seluruh keluarganya. Apakah saat ini aku tengah bersyukur karena pencapaianku ini. Aku melihat gelang besi di tangan kiriku. Gelang itu bercorak ular yang tengah melilit seekor kelinci. Ini bukan gelang resmi Tim Kobra. Ini adalah pemberian kakek Jaman. Dia adalah petinggi di Kampung Dalam. Aku teringat kata-katanya “Nak, kelak kamu akan membawa nama-nama kami di pundakmu. Ketika kamu gundah, ingatlah keluargamu ini.” Tanpa sadar, air mata menetes di telapak tanganku. Aku bergegas mengusap air mataku. Sekarang di sebelah kiri, kami melewati hutan-hutan yang masih rindang. Diatas pohon rumbia sana terlihat burung Bubut sedang bertengger. Dulu aku memburu burung itu untuk di ambil lemaknya. Kata tetua kampung, lemaknya bisa di jadikan minyak urut. Di hutan ini pula kami memburu kancil dan hewan santapan lainnya. Aku masih mengingat betul daerah-daerah ini. Ketika umurku 15 tahun, aku keluar dari Kampung Dalam untuk mencari dokter. Tetua sakit parah ketika itu. Aku pergi ke sebuah Rumah Sakit Militer dengan celana pendek dan telanjang dada. Disana aku bertemu Komandan Jefri. Dia menegurku sembari menatap kalungku yang Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
145
berisi kode-kode yang bahkan aku sendiri tidak mengerti itu. Ketika itu pula aku di bawa Komandan Jefri dengan syarat aku akan membawa dokter ke Kampung Dalam. Komandan Jefri mengiyakan permintaanku. Akhirnya truk kami berhenti. Semua prajurit di perintahkan untuk turun dari truk serta membawa berbagai perlengkapan mereka. Di samping kiri truk aku terpatung melihat jalanan kecil yang mengarah ke Kampung Dalam. Disini pula aku di tinggalkan malam itu. Air mataku terus mengucur tak henti. Nostalgia-nostalgia ini telah memporak-porandakan dadaku. Ku rogoh sebuah Revolver di sabuk sebelah kananku. Mataku bergerakgerak melihat rekan-rekanku yang tengah sibuk. Kemudian aku melihat Komandan Jefri dan kami larut dalam tatapan. “Komandan,” Panggilku lirih tak bisa membendung air mata ini. “Aku…” Suaraku terpatah-patah ingin mengucapkan kata selanjutnya. “Aku menyerah.” Revolver di tangan kananku kuarahkan tepat di kening ku. Letupan bunyi pelatuk itu membuatku tersungkur menemui ajalku. Tim Kobra bergegas mundur dari medan perang. Satu prajurit berharga mereka telah gugur. Keluarga prajurit itu terselamatkan. Namun pemberontakan masih akan terus terjadi.
146
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Keindahan Semu Oleh: Annisa Pratiwi Wulandari Tangan dan kaki Muti dingin gemetaran saat ia membuka pintu ruang jenazah, dihampirinya salah satu kantung mayat bertuliskan nama Malik Pratama. Ia menyentuh wajah kakaknya dengan air mata berlinangan. Kak Malik mengalami kecelakaan yang tidak dapat diselamatkan karena pengait helm tidak dikaitkan, maka saat terlempar dari motor helmnya terlepas dan kepalanya terbentur trotoar hingga mengalami pendarahan hebat. Muti terisak tangis memaksa diri menerima fakta bahwa kakak satu-satunya yang sangat dekat dengannya kini telah pergi untuk selamanya. Sejak kecil mereka selalu berada di satu sekolah yang sama dengan selisih usia satu tahun. Kak Malik selalu melindungi Muti dan menjadi pendengar yang baik atas apapun cerita Muti. Dada Muti penuh sesak, jantungnya terasa seperti tertusuk pisau yang amat dalam, tangisannya semakin menguat saat ia mengingat semua kenangan bersama Kak Malik. Hingga suara Ibu membangunkan Muti dari mimpi buruknya, “Muti... Bangun sayang, bangun...” Mata terbuka perlahan-lahan sambil menarik diri kembali ke alam nyata. “Ibu... Muti mimpi Kak Malik,” ucap Muti sambil duduk memeluk ibunya. Padahal kecelakaan tersebut sudah setahun berlalu, namun terkadang Muti masih memimpikannya. Ibu menepuk-nepuk punggung Muti, menenangkannya lalu mengusap air matanya. “Kalau sedang rindu dengan Kak Malik seperti ini, biasanya Randi datang untuk menghibur Muti,” ucap Muti. “Husss, cukup Muti, Ibu sudah bilang berkali-kali, kamu ngga boleh berhubungan dengan Randi lagi. Kalau dia datang, usir dia,” ucap Ibu dengan penuh penekanan. “Iya, Muti akan terus berusaha mengabaikan Randi, walau Muti mencintainya,” ucap Muti dengan wajah murung. Ibu mencium dahi Muti sambil berkata, “Anak baik... Ibu keluar dulu ya, mau Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
147
bikin jus kesukaan Muti supaya Muti ngga sedih lagi.” Muti mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa Muti harus jatuh cinta kepada Randi? Cinta yang ditentang oleh orangtuanya, cinta yang katanya hanya akan menghancurkan hidup Muti. Walau sebaik apapun Randi terhadap Muti, mereka tidak pernah direstui. Muti mengenal Randi sejak awal semester 3 perkuliahan, satu bulan setelah meninggalnya Kak Malik. Ditengah keterpurukan Muti yang amat dalam, Randi datang menyelamatkan Muti saat Muti menyendiri di pinggir danau kampus dan hendak lompat untuk bunuh diri. Walau merupakan mahasiswa jurusan psikologi, hal tersebut tidak dapat mencegah Muti mengalami depresi atas meninggalnya kakaknya. Tok tok tok... Suara ketukan di jendela kamar Muti terdengar beberapa kali. Muti membuka gorden, nampak Randi tersenyum dari luar jendela. Muti terkejut, setelah sebulan mengabaikan Randi, ia muncul tepat saat Muti membutuhkannya untuk mencurahkan rasa sedihnya atas Kak Malik. “Hai Muti, kangen banget aku sama kamu. Kamu habis nangis ya?” ucap Randi tersenyum hangat dengan tebakannya yang selalu tepat, ia memang paling mengerti Muti. Dilema membayangkan larangan ibunya, hati Muti sesungguhnya sangat merindukan dan membutuhkan Randi. “Kamu harus pergi, ja ngan datang ke hidupku lagi. Ini salah. Kita ngga boleh bersama lagi,” ucap Muti memaksa melawan hatinya sambil membendung air mata. “Ayolah Muti, kamu butuh aku, jangan menyiksa diri. Ayo pergi keluar, aku akan hibur kamu,” bujuk Randi. Pertahanan Muti akhirnya dikalahkan oleh rasa rindunya yang te lah terpendam lama. Ia membuka jendela, keluar melaluinya kemudian lekas memeluk erat Randi. Mereka bergegas pergi ke danau kampus, tempat dimana mereka banyak menghabiskan waktu bersama. “Kamu pasti mimpi Kak Malik lagi ya?” tanya Randi sesampainya di pinggir danau. Karena hari Minggu, tidak banyak orang disekitar me 148
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
reka. Diantara pepohonan yang rimbun, suasana sangat tenang dan menyegarkan. “Iya, aku memimpikan hari kecelakaan kak Malik,” jawab Muti. Randi mengambil batu kecil lalu melemparkannya sejauh mungkin ke arah danau. “Kamu ingat pertemuan pertama kita? Aku memeluk dan menarikmu untuk mencegahmu lompat ke danau ini. Aku tidak ingin gadis secantik kamu mati sia-sia,” ucap Randi. “Tentu ingat, aku tidak mungkin melupakan momen saat kamu me nyelamatkan hidupku, memberikan bahu untuk aku menangis dan bersandar walau saat itu kita belum berkenalan,” jawab Muti. “Setelah itu kita jadi sering ketemu dan main disini,” ucap Randi. “Main tiup gelembung sabun, kesukaanmu, seperti anak TK,” ucap Muti. “Memangnya hanya anak TK yang boleh menikmati keindahan gelembung sabun? Aku suka karena sepintas nampak bening namun memiliki pantulan warna warni disekelilingnya,” jelas Randi. “Ngga sih, orang dewasa juga boleh hehe. Saat itu kamu bilang kamu ingin sekali menjadi kecil lalu masuk ke dalam gelembung sabun untuk terbang bersamanya,” jawab Muti. “Hahaha kamu masih ingat... Kalau kesukaanmu, main lempar batu. Kamu meluapkan emosimu dengan melempar batu sejauh-jauhnya ke arah danau,” ucap Randi. “Ya, itu seperti melepaskan beban perasaanku,” jelas Muti. “Kamu juga suka bikin gambar awan-awan lancip yang aneh, kamu bilang kamu merasa tenang setelah menggambarnya, padahal bagiku itu sulit, menguras otak, dan menyeramkan hahaha,” ledek Randi. “Itu ungkapan perasaanku, seni abstrak bagiku, semakin rumit hasil gambarnya menandakan semakin kacau kondisiku saat itu,” jawab Muti. “Iya iya.... Aku paham. Inget ngga kita sering nonton film horror Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
149
dibawah pohon besar itu? Dari laptopmu, kamu bilang kamu maunya nonton di tempat terbuka supaya terang dan ngga takut hahaha. Padahal jadi kurang menegangkan,” ucap Randi. “Iya aku ingat. Tapi kan kamu tahu aku memang penakut. Aku juga ingat kadang kita hanya duduk berdua memandang danau sambil ku sandarkan kepalaku pada bahumu, rasanya nyaman sekali,” jelas Muti. “Setelah bersandar kamu akan mengoceh tentang hari-harimu yang kadang sangat rumit itu haha,” ucap Randi. “Iya betul, dan kamu selalu dengan sabar mendengarkanku. Seperti Kak Malik. Kamu benar-benar mengisi kekosonganku atas kepergian Kak Malik. Terimakasih ya Untuk semua yang sudah kamu lakukan dalam setahun ini, semua kenangan indah bersamamu akan selalu aku simpan dalam ingatan,” ucap Muti dengan mata berkaca-kaca akibat me nahan perasaan yang tidak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Randi memegang erat wajah Muti, mencium keningnya, dan berbicara dengan lembut, “Aku mencintaimu, jangan mengabaikan ku lagi seperti sebulan terakhir, aku ngga bisa tanpa kamu. Apa kamu mau jadi pacarku?” tanya Randi. “Cukup! Hentikan omong kosong ini! Jangan menyiksa ku seperti ini, kamu tau kita ngga akan pernah bisa bersama!” bentak Muti sambil menepis tangan Randi dari wajahnya. “Kenapa? Karena orangtuamu ngga menyukaiku? Karena kejadian terakhir saat aku datang bersamamu menghadap mereka lalu mereka mengabaikan ku dan justru menarikmu masuk ke rumah? Karena mereka ngga memberiku izin untuk bertamu?” tanya Randi dengan penuh penekanan. “Ya, itu salah satu alasannya. Namun alasan utamanya kamu tahu Randi. Jangan berpura-pura ngga tahu apa yang salah diantara kita!” bentak Muti. “Apa yang salah? Aku nggga paham. Apa alasan orangtuamu ngga mau menerimaku? Aku sudah sebaik ini padamu, mengapa mereka tetap menentang kita?” tanya Randi. 150
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Hati Muti teriris perih menahan fakta yang sangat menyakitkan tentang hubungan mereka namun ia tidak mampu merangkai kata untuk mengatakannya pada Randi. Tangisnya pun pecah. Air mata tidak dapat berhenti berlinangan di pipinya. Randi spontan memeluk Muti, mengusap-usap kepala dan punggungnya untuk menenangkannya. “Baiklah Muti, maafkan aku karena mendesakmu. Ngga apa-apa kalau kamu ngga mau jadi pacarku, aku yakin hatimu sebenarnya mencintaiku dan itu sudah cukup bagiku. Apapun alasanmu menolakku, ku pasrahkan pada takdir.” ucap Randi lembut. “Kamu benar-benar ingin tahu apa alasanku? Apa kamu siap dengan jawabanku?” tanya Muti. “Iya, apa? Aku siap,” jawab Randi tegas. “Baiklah, ini sudah sore. Aku harus pulang bersiap untuk kontrol ke RS. Aku punya penyakit yang tidak ringan. Jika kamu ingin tahu apa alasan kita ngga bisa bersama, temui aku pukul 7 malam di RS Kirana dan temani aku berobat. Aku akan memberitahumu setelah itu,” jelas Muti. Randi menyetujui dan akhirnya mereka pun pulang. Muti mandi dan berganti pakaian lalu berangkat ke RS. Sekitar 10 menit menunggu Randi, akhirnya ia muncul. Mereka berjalan bersama ke ruang pendaftaran, kemudian duduk di ruang tunggu dokter. Hingga akhirnya nama Muti dipanggil. Namun Randi baru menyadari sesuatu, nama polinya. “Muti, kenapa kamu ke poli ini? Kamu sakit apa? Jangan bikin aku khawatir,” ucap Randi dengan wajah cemas dan kebingungan. “Ayo masuk, kamu akan tahu aku sakit apa setelah bertemu dokterku,” jawab Muti. Mereka pun masuk dan dokter Wina mempersilahkan Muti duduk. “Bagaimana kabar Muti?” tanya dokter Wina. Muti menoleh ke arah Randi lalu menangis. Tanpa sanggup menjawab pertanyaan dokter Wina, Muti menangis sesenggukan.Randi panik dan memeluk Muti, “Muti kamu kenapa? Jelasin ke aku, ada apa ini?” tanya Randi. Muti tetap bungkam. Dokter Wina memberikan tisu untuk Muti sambil bertanya “Apa yang terjadi Muti? Apakah Randi datang lagi dan mengganggu Muti?” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
151
tanya dokter Wina. Randi keheranan dengan pertanyaan dokter Wina. “Apa maksudnya dengan saya mengganggu Muti dok? Saya menyaya nginya, saya hanya berusaha menemani dan membahagiakan dia,” ucap Randi yang diabaikan dokter Wina. Muti akhirnya tidak kuasa lalu mendorong Randi sambil berkata “Lepasin aku! Aku sakit gara-gara kehadiran kamu!” ucap Muti. Dokter Wina terkejut. “Muti, jadi Randi ada di sini? Muti berhalusinasi lagi? Apakah obatnya Muti minum dengan teratur?” tanya dokter Wina yang merupakan dokter Spesialis Kejiwaan. “Halusinasi apa? Muti, apa maksudnya semua ini?” tanya Randi kebingungan. “Kamu! Kamu itu halusinasiku! Jangan berpura-pura tidak sadar Randi. Kematian kak Malik membuatku depresi berat hingga kamu muncul sebagai bentuk dari penyakitku, aku di diagnosa skizofrenia! Itu penyakitku! Aku sudah berjuang berobat satu bulan sejak Ibu menunjukkan ku rekaman CCTV halaman rumah yang memperlihatkan bahwa saat kita datang bersama ternyata aku sendirian. Kamu ngga ada Randi! Itulah kenapa orangtuaku menentang kebersamaan kita dan menyuruhku berobat. Jadi kalau kamu mencintaku, tolong tinggalkan aku... Jangan pernah muncul lagi dihidupku.... Atau aku akan menjadi gila!” ucap Muti dengan nada tinggi yang telah berselimut perasaan kacau balau. Dokter Wina bangun dari kursi untuk memeluk erat Muti. “Muti... Tenang ya... Ada saya di sini... “ ucap dokter Wina sambil mengelus punggung Muti. “Omong kosong apa ini? Aku nyata Muti. Coba kamu lihat aku. Tatap aku. Aku ada dan nyata. Dokter itu bohong ke kamu.” ucap Randi. “Dok... Apakah saya bisa sembuh? Atau apakah saya akan gila? Randi terasa begitu nyata... Berat sekali mengabaikan dia dok... Kenapa takdir mempermainkan saya seperti ini. “ ucap Muti sambil sesenggukan. “Muti... Bagaimana kalau Muti di rawat inap untuk sementara waktu? Nanti kita hubungi orangtua Muti, sekarang coba pelan-pelan abaikan Randi lagi ya Nanti akan dibantu dengan obat lain untuk 152
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mengurangi halusinasi Muti,” bujuk dokter Wina. Muti menyetujui dan akhirnya mereka pun keluar dari ruang poli psikiatri untuk mengurus proses rawat inap Muti. Randi terus mengikuti Muti sambil mengajak Muti berbicara, namun Muti diam membisu dan tidak mau menatap Randi sama sekali. Muti pernah mengalami patah hati karena diselingkuhi, namun ternyata tidak semenyakitkan ketika ia harus menghadapi fakta bahwa orang yang dicintainya ternyata tidak ada, tidak nyata, dan tidak pernah terlahir. Ia hanya mencintai sebuah bayangan yang akan menuntunnya pada ketidakwarasan. Muti akhirnya menyadari bahwa seharusnya ia mencari pertolongan profesional sejak awal kematian Kak Malik. Berhubung ia mahasiswa psikologi, ia merasa harus sanggup menanggung beban kehilangannya sendirian, ia merasa lemah dan malu jika mencari pertolongan profesional saat mengalami depresi. Seakan ia harus bisa jadi psikolog untuk dirinya sendiri. Jika saja ia tertolong sejak awal, mungkin ia tidak akan mengalami kemunculan halusinasi hingga menderita skizofrenia. Nasi sudah menjadi bubur, kini ia harus berjuang untuk kembali sembuh de ngan obat-obatan dan mengikhlaskan hatinya atas semua perasaannya terhadap Randi dengan segala kenangan indahnya.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
153
Kenangan yang Menguap Oleh: Tri wakhyuni Pulang kampung kali ini ditemani rindu yang menggebu. Rindu yang bertumpuk karena kenangan demi kenangan kupupuk. Kenangan tentang segala hal yang terus saja memeluk dan sulit kulepas. Kalau bukan karena pandemi, pasti takan kubiarkan rasa ini memenuhi rongga dada. Tiga bulan sekali biasanya kusempatkan pulang ternyata sudah tujuh purnama berlalu dan menjeratku dalam bayang-bayang rindu. Aku putuskan pulang dengan kereta malam karena rinduku tak tertahan. Selepas bekerja dari kantor aku langsung ke stasiun, naik kereta jurusan Jakarta-Semarang. Aku akan turun di stasiun Tegal. Aku duduk di gerbong 5 no. 8C. Ada beberapa kursi penumpang yang kosong. Mu ngkin karena pandemi, jarang orang bepergian dengan kereta. Tak jauh dari tempat dudukku, kulihat seorang lelaki tua berusia enam puluhan. Badannya gemuk rambutnya agak bergelombang. Kupandang lekat-lekat wajahnya , tiba-tiba gemetar seluruh rasa. Aku teringat bapak. Lelaki itu mirip bapakku, apalagi saat dia mengantuk. Bibirnya agak cemberut dan dagunya ditekuk. Luar biasa seolah bapak ada dalam hadapanku. Entah mengapa aku seringkali gemetar acapkali melihat lelaki gemuk dan mirip bapak. Mungkin karena bapak sudah tak ada, rindu yang menjalar dalam sukma lantas menguap dalam seraut wajah yang mirip dengannya. Sepintas lalu jumpa, mampu menghangatkan jiwa meski pada akhirnya berujung lara. Sejujurnya aku masih ingin merenda cerita bersama bapak, sayangnya Tuhan berkehendak lain. Aku masih mengamati lelaki gemuk itu. Sesekali dia terjaga karena kepalanya bergeser dari sandaran kursi. Rasanya ingin memberi kan bantal untuknya agar kepalanya nyaman dan dapat tidur dengan nyenyak. Sepertinya dia sangat lelah. Kedua tangan dia letakkan di perutnya yang buncit. Gerak geriknya seperti bapakku saat mengantuk di 154
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
depan televisi. Terus memandangnya malah justru menghadirkan rindu buatku. Dalam hitungan menit, kenangan tentang bapak mulai menguap di otakku. Bapak, sosok lelaki yang selalu pandai menyembunyikan kelelahannya, selalu tegar menghadapi permasalahan yang ada, dan tak pernah meminta balasan atas cucuran keringat yang dikeluarkannya. Sosok tangguh yang tak pernah mengeluh di setiap peluh, tak pernah merintih walau sakit dan perih. Kucoba menyelami perasaanku yang berkecamuk. Kisah bersama bapak kembali menganga satu persatu. Kisah yang beliau ukir dalam hidupnya sangat indah dan bermakna. Bagiku tak ada catatan hitam tentangnya. Rasanya tak akan habis kata untuk merangkai cinta dan pengorbanannya, terlalu sedikit jika kuurai dengan aksara. Memang benar kalau sudah tiada baru terasa, semoga Malaikat mencatat setiap kebaikannya dengan pena emasnya. Selama dua puluh lima tahun, bapak rela berjauhan dengan anak istri. Biaya hidup yang tinggi di kota membuat bapak memutuskan hidup sendiri di tanah rantau dan merelakan anak-anak bersekolah di desa sementara istri yang mengurus semuanya. Beliau sebulan sekali me ngirim uang lewat wesel pos atau pulang saat rindu keluarga sudah taktertahan. Aku yakin, sesibuk apapun bapak berdagang, beliau menyimpan rindu dengan keluarga. Beliau korbankan dirinya sendiri tanpa ada istri yang melayani, tanpa perhatian dari anak-anaknya yang sesekali mung kin bisa memijatnya, selepas pulang berdagang. Beliau hanya mena tap sepi langit-langit kontrakan yang ditempati. Membiarkan lelahnya luruh dalam dengkur tidur, mengumpulkan kembali tenaganya di saat pagi, sebelum beranjak pergi menjempu trezeki. Aku tahu keringat bapak mengucur deras dan kering terbakar matahari. Meski barangkali terik ibu kota telah bersahabat lama dan sudah tak dipedulikan lagi. Bising dan polusi juga tak lagi dirasa karena sudah Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
155
menjadi bagian hidupnya. Sebagai pedagang kaki lima, beliau telah berdamai dengan debu dan aroma ketiak orang yang lalu lalang. Asalkan ada pembeli datang beliau sangat senang. Berangkat pagi pulang sore. Berharap dapat mengumpulkan pundi-pundi, panas hujan dijalani sebab anak istri telah menanti. Saat hujan turun, betapa repotnya bapak. Beliau harus menutup dagangannya dengan plastik dan merelakan dingin jadi teman saat harus menunggu pembeli datang. Dengan telaten dijalani karena bisa jadi Tuhan datangkan rezeki dengan lewat kegigihannya. Musim hujan yang berlangsung lama di Jakarta seringkali menyebabkan banjir. Saat itulah, masa-masa sulit bagi beliau dan seluruh anggota keluarga. Beliau tak mendapat pemasukan karena tak bisa berdagang. Lapak dagangannya tergenang air. Beliau ungsikan dagangannya ke rumah kontrakan. Kontrakan dua kamar kecil namun berlantai dua. Lantai atas, beliau gunakan untuk tidur dan menyimpan sebagian dagangannya. Pernah kawasan bapak mengontrak tergenang banjir. Banjir kiriman di saat hujan berlangsung lama, semakin membuat banjir setinggi pintu rumah. Bapak tinggal di lantai dua sendiri, bertahan hidup dengan mengharap bantuan dari pemerintah setempat. Diminta mengungsi beliau tak mau. Beliau hanya berdoa, semoga banjir cepat surut dan segera menghanyutkan segala kepanikannya. Tak bisa kubayangkan, bagaimana pasrahnya beliau menghadapi banjir yang tumpah meruah selama tiga hari. Banjir terparah selama bapak hidup di Jakarta menjadi kenangan. Dagangan bapak banyak yang rusak, modal untuk berdagang juga tak ada. Bapak merangkak dari nol lagi. Ibu pun mulai mencari tambahan dengan berjualan sayuran kecil-kecilan. Kami belajar menapaki hidup seadanya namun tetap bersyukur dengan semestinya. Tuhan Maha baik, lambat laun kondisi ekonomi bapak pun membaik. Ada yang tak kulupa, sesulit kondisi apa pun, beliau masih berkenan 156
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
menyisihkan uangnya untuk si mbah meskipun tak seberapa. Pelajaran yang paling berharga buatku, tak usah menunggu kaya untuk memberi sesuatu ke orangtua. Tak perlu menunggu banyak jika sedikit sudah sa ngat berarti ke orang yang kita beri. Semoga Tuhan menerima amalmu dengan sebaik-baiknya, Bapak. Bapak selalu berusaha menerima apa yang sudah menjadi rezeki atau ketentuan-Nya. Tak perlu khawatir dengan rezeki yang telah diatur oleh-Nya. Prinsip bapak yang penting ada untuk hari ini sedangkan untuk esok hari, sedang dicari pada hari ini. Aku banyak belajar tentang syukur dan ihtiar darinya. Rezeki memang tak bisa dihitung dengan matematika biasa. Meskipun bapak berdagang kecil-kecilan, beliau berhasil membiayai sekolah anak-anaknya hingga sarjana. Aku tak tahu seperti apa kerja kerasnya saat kelima anaknya harus membayar registrasi setiap semester. Pasti bapak sangat pening memikirkan semuanya. Bahkan mungkin tak nyenyak tidur, tak enak makan saat uangnya belum terkumpul. Pilu aku mengingatnya. Bapak sangat pandai menyimpan kesulitannya. Saat aku meminta uang bulanan atau membayar sewa kost, beliau selalu siap. Seolah tak ingin, konsentrasi kuliahku buyar jika harus memikirkan kiriman uang yang telat. Beliau telan sendiri kesulitan memikirkan biaya kuliah anak-anaknya. Beliau korbankan jiwa raganya atas nama cinta dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Pernah bapak sakit kepala namun tak dihiraukannya. Beliau hanya minum obat warung, tidur sebentar dan tetap berdagang. Saat aku bersamanya, aku memberi saran. “Pak, istirahat dulu. Bapak masih sakit,” kataku ke bapak. “Ah, sakit kepala, kan penyakit rakyat. Biasa saja, tak perlu manja,” ujarnya. Bapak menganggap enteng sakitnya. Semangatnya untuk menjemAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
157
put rezeki tak terpatahkan. Mungkin karena penghasilan dagang yang tak pasti. Beliau hanya berusaha dan berdoa, semoga dengan berangkat berdagang, beliau mendapat rezeki. Aku tak tahu, mungkin bisa jadi karena beliau terdesak kebutuhan hidup yang terus memburu dan berpacu dengan waktu. Saat sakit, bapak sering mengandalkan obat warung sebagai peredam sakitnya. Mudah membeli, tak perlu repot ke dokter, harganya murah dan cepat sembuh. Tak tahu jika dikonsumsi sering akan berakibat tak baik ke ginjalnya. Vonis dokter membuat keluarga pasrah menerima kenyataan bahwa ternyata bapak sakit ginjal. Demi keluarga, bapak rela berjuang keras di atas rasa sakitnya dengan cara yang demikian. Setinggi apa pengorbananmu, Bapak. Demi keluarga sakit tak kau hiraukan. Penyakit bapak sudah kronis. Dokter memintanya untuk cuci darah. Bapak menolak dengan alasan teman bapak yang pernah cuci darah pun tak bisa disembuhkan. Aku tahu, bapak pasti beralasan karena biaya cuci darah tak sedikit. Beliau hanya minum obat dari dokter saja. Siapa sangka Tuhan begitu cepat memanggilnya. Menjelang salat magrib, bapak pingsan, sesaat sadar hanya menatap keluarga di sisinya lantas tersenyum, meninggalkan semuanya. Kala itu seolah langit runtuh menerpa. Tak ada yang mampu mengelak saat takdir Tuhan datang. Hanya saja aku dan keluarga seolah tak percaya dengan kepergiannya saat itu. Tak ada firasat bapak akan pergi. Saat aku memandikannya, beliau begitu tampan dengan senyumnya. Seolah senyum keikhlasan menghadapi takdir-Nya. Aku pun harus membentangkan keikhlasan hati saat keranda mengusung kepergiannya. Semoga Engkau pergi dalam kebaikan, Bapak! Butiran bening mulai mengalir di sudut mata. Tak mampu kutahan derasnya. Segera kuseka agar tak ada yang melihatnya. Pengorbanan bapak sungguh terlihat jelas di pelupuk mata. Sesak dada ini mengenang nya. Berasa belum bisa membalas cinta dan perjuangannya selama ini. Cinta yang kupunya tak sebesar cintanya. Maafkan aku, Bapak. 158
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Aku berusaha memejamkan mata namun tak bisa. Kenangan bapak terus saja membayang. Seraut wajah lelaki yang mirip dengannya, menguatkan kembali kenangan itu. Sebenarnya ingin kusimpan saja dalam bingkai hati namun seringkali menguap tanpa sebab. Seperti saat ini, mengingatnya kembali seolah mengenyam jejak rindu yang ber ujung pilu. Kulirik jam tanganku, perjalanan sampai stasiun yang kutuju masih lama. Sekitar tiga jam lagi. Biasanya aku akan cepat tertidur dalam kereta malam saat pulang sendiri dan terjaga pada saat kereta berhenti di setiap stasiun. Kali ini tidak, kusulam rinduku sendiri sembari menemani laju kereta. Melintasi malam menyusuri perjuangan bapak dalam kenangan. Pikiranku terus melayang seiring wajahnya yang membayang.
Tegal, 11 Nopember 2020
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
159
Kisah Klasik Oleh: Hasna Aufa Mufidah Mataku memandangi sesuatu yang bisa kulihat dengan jelas dari balik jendela Metromini. Iya, pemandangan Kota Jakarta. Sesuatu yang aku sebut sebagai pemandangan ini sebenarnya adalah pemandangan lalu lintas yang padat, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri dengan gagah berani, dan tentu saja hiruk pikuk Kota Jakarta. Terlihat oleh mataku seorang sopir angkutan umum yang tidak berhenti membunyikan klakson kendaraan yang ia bawa itu barang sedetik pun. Lelaki paruh baya yang kini tengah memaki seorang bocah yang sejak tadi mengetuk-ngetuk kaca mobil lelaki paruh baya ini untuk menawarkan tisu yang ia jual. Kasihan sekali ya anak itu. Ah, ngomong-ngomong sudah lama, ya? Tanpa aku sadar kini terhitung sudah lima tahun lamanya aku meninggalkan kota ini, pergi ke negeri nun jauh demi meraih cita. Rasanya, penggalan kisah-kisah masa lalu itu masih terekam begitu jelas dalam ingatanku. Saat itu, terasa begitu berat untuk meninggalkan kota yang selama ini menjadi saksiku tumbuh. Berat rasanya ketika aku harus meninggalkan teman, sahabat, kerabat, orang tua, rumah, dan tentunya ada satu hal lagi yang pada saat itu harus aku tinggalkan, sesuatu yang kerap kali membuatku sulit untuk kembali ke kota ini. Sadar bahwa sebentar lagi akan sampai di halte pemberhentianku, aku segera menyiapkan uang serta mengeluarkan walkman dari dalam tasku. Aku memutar salah satu lagu kesukaanku yaitu Don’t Let Me Down dari The Beatles. Lagu yang selalu berhasil membawaku kembali ke kisah klasik yang sempat tercipta beberapa tahun lalu. Ah, selepas ini sepertinya aku akan mampir sejenak ke tempat semuanya bermula, ya hitung-hitung bernostalgia sedikit tidak apa, kan? Begitu aku turun dari Metromini, kepulan asap kendaaraan menyambutku. Kulangkahkan kakiku sedikit lebih cepat, berusaha meghindari 160
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
keramaian. Kini, aku tengah berjalan di seruas jalan yang jauh sekali dari kata ramai dengan pertokoan di masing-masing sisinya. Siang ini, pekik jerit tawa anak-anak dari taman bermain yang juga ada di jalan ini serta kicauan burung-burung yang kini berterbangan di atasku menemaniku berjalan. Mataku tertuju pada sebuah toko bunga yang berada tepat di samping sebuah kedai kopi. Ya, ini dia tempat dimana semua bermula. Kini aku tengah berdiri tepat di depan jendela toko bunga itu, me mosisikan diriku tepat seperti dulu. Potongan-potongan memori itu mulai bersatu menjadi padu di dalam ingatanku, berhasil membawaku ke kejadian enam tahun lalu itu. Saat itu, aku baru saja pulang dari acara class meeting di sekolahku, dan pada hari itu bertepatan dengan Hari Ibu. Oleh karena itu, aku berniat membelikan Ibu bunga, tapi begitu sampai sini aku tidak berani masuk, bingung tidak tahu bunga apa yang cocok untuk Ibu. Sampai akhirnya, orang itu datang dan berhasil membuatku pulang dengan membawa beberapa tangkai bunga anyelir merah muda untuk Ibu. Saat itu pula menjadi awal kami saling mengenal. “Adeknya kenapa cuma berdiri? Gak mau masuk ke dalam?” kata sese orang dengan tiba-tiba dan berhasil mengalihkan atensiku. Dapat kulihat sosok laki-laki yang sepertinya lebih tua sekitar tiga atau empat tahun dariku dengan apron dipakainya. Ah, Barista dari kedai kopi di sebelah rupanya. “Iya, saya mau beli bunga untuk Ibu, tapi gak paham bunga apa yang cocok untuk Ibu,” ucapku. “Di dalam toko ini ada banyak bunga yang mungkin saja cocok sama Ibumu, itu kenapa kamu bingung?” tanyanya. “Ya…bisa dibilang begitu sih, tapi lebih tepatnya Ibu itu paham arti-arti bunga, kalau saya salah kasih…apa gak malu?” ucapku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Barista itu terkekeh pelan selepas mendengar ucapanku, lantas ia meng alihkan pandangannya ke arah dalam toko bunga. Terlihat sepertinya ia seAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
161
dang memikirkan sesuatu, tak lama ia sedikit bergumam lalu mengatakan sesuatu padaku. “Mau mampir ke kedai kopi saya dulu?” tanyanya sembari menunjuk ke arah kedai kopinya. “Duh, Kakaknya malah promosi. Saya kira mau bantu pilih bunga,” balas ku dengan nada sedikit kesal. “Eh? Bukan promosi kok, haha. Kita duduk dulu di dalam kedai kopi, nanti saya bantu pilih bunganya, gak enak kalau bicara sambil berdiri di depan toko bunga, biar sekalian kita bisa kenalan juga, kan?” “Ah, enggak deh, nanti saya diminta beli kopinya sama Kakak, kan uang saya cuma cukup untuk beli bunga sama ongkos untuk bayar Metromini ke rumah,” kataku menolak sambil melangkahkan kakiku ke arah pintu masuk toko bunga. “Yakin? Padahal kopinya saya kasih gratis buat kamu, kalau kamu mau cake juga boleh,” ujarnya yang berhasil membuatku menghentikan langkah kakiku. Aku menyengir riang lantas segera mengangguk mengiyakan ajakannya. Hal itu membuatnya tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar, kalau gratisan baru mau, hahaha,” ucapnya sambil mengacakngacak rambutku yang kubalas dengan tawa. Aku tersenyum tipis setelah mengingat pertemuan pertamaku dengannya, masih tidak percaya kami berkenalan hanya karena aku kebingungan memilih bunga. Aku menengok ke arah kedai kopi, iya, kedai kopinya belum pindah bahkan diperluas dengan membeli toko di sam pingnya. Sepertinya kali ini aku tidak akan mampir ke kedai kopi, waktu lima tahun belum cukup untukku berdamai dengan masa lalu itu. Lagi pula, awan mendung di atas sana menyiratkan betul bahwa rintik-rintik hujan sudah tidak lagi sabar untuk turun, untuk kali ini aku akan memilih untuk pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah, aku bisa melihat Ibu tengah duduk di ruang 162
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
TV sedang menonton sinetron kesukaannya. Aku lebih memilih untuk langsung ke kamarku di lantai atas dibandingkan mengganggu Ibu de ngan menyapanya, toh ibu pasti tahu aku sudah pulang. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandangi langit-langit kamarku yang tinggi. Sudah seminggu semenjak aku pulang ke Jakarta, tapi yang kulakukan tiap harinya hanya sibuk dengan pikiranku sendiri atau naik Metromini dengan rute yang asal. Tiba-tiba aku teringat se suatu yang kini berada di dalam laci meja belajarku. Laci yang sampai hari ini semenjak aku pulang ke Jakarta belum pernah aku tengok. Aku buka laci itu, tanganku berusaha merogoh sesuatu yang lima tahun lalu sengaja aku letakkan di bagian terdalam laci. Sepucuk surat. Surat yang dulu diberikan ketika aku hendak pergi meninggalkan Jakarta. “Kenapa malam datangnya?” tanyanya sambil menghampiri mejaku. “Kenapa? Gak boleh ya karena kedai kopinya sudah mau tutup? Kakak terlalu lelah ya kalau saya datangnya sekarang?” tanyaku balik dengan nada menyindir. “Bukan begitu, saya hubungin kamu pagi tadi supaya kita bisa pergi ke tempat- tempat lain, memangnya kamu gak bosen ketemu saya di kedai kopi terus?” “Gak kok, kan kalau di sini ada banyak Barista yang asyik diajak me ngobrol,” jawabku sambil menyeruput kopi pesananku. “Oh, jadi mereka lebih asyik diajak mengobrol ya dibanding saya?” tanyanya. “Iya, Kakak sibuk banget sih, kalau saya ajak Kakak mengobrol tuh rasanya mirip ngobrol sama tembok, tahu?” tanyaku balik yang lagi-lagi de ngan sindiran di dalamnya. Kulihat ia mulai menyandarkan tubuhnya di punggung kursi yang kini ia duduki. Memperhatikan segala kegiatan yang aku lakukan, matanya seperti menerawang sesuatu melalui mataku. Ada apa sih orang di depanku yang satu ini? Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
163
“Tiga hari lagi…kamu pergi ya?” tanyanya sambil menundukkan kepala nya. Ternyata benar, ia memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Aku melihat raut wajah lelahnya yang bisa kutebak bukan hanya karena pekerjaannya, tapi ada sesuatu yang sejak tadi memang mengganggu pikirannya. “Iya, kenapa? Kak, cuma Berlin kok, lagi pula saya pasti usaha untuk se ring pulang ke Indonesia,” ucapku berusaha tenang. “Berlin itu jauh, kalau cuma sebatas Bandung sih gak masalah. Saya… cuma belum siap kalau akhirnya teman mengobrol saya ini harus pergi,” Entah mengapa aku sedikit kesal, aku pergi untuk meraih cita-citaku, kenapa semuanya harus menjadi rumit hanya karena soal cinta? “Jujur, saya juga belum siap,” balasku. “Kalau belum siap ya jangan pergi,” ujarnya sambil menatap mataku kebingungan. “Saya belum siap kalau saya harus mengorbankan cita saya hanya untuk urusan cinta,” ujarku membuatnya diam tak bersuara. Ia menyugar rambutnya, kebingungan harus mengatakan apa. Setelah nya ia mengehela napas kasar sambil menatapku. “Lelah ya, Kak? Mungkin memang batas kita cuma bisa sampai sini,” “Mungkin cuma ada beberapa hal yang memang perlu diperbaiki,” jawabnya tak mau kalah. “Atau mungkin memang sudah tidak ada lagi yang bisa diperbaiki” ucapku final. Matanya yang terkena sorot cahaya lampu diatasnya itu menyiratkan luka. Aku tahu itu. Lagi-lagi ia menghela napas kasar, lantas pergi beranjak entah ke mana. Tak butuh waktu lama, ia kembali dengan sesuatu ditangannya. 164
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Ini, buka di rumah atau kapan pun kamu mau, sekarang simpan dulu,” ucapnya sambil menyodorkan sebuah amplop putih kepadaku. “Ini apa?” tanyaku. “Tanda perpisahan, rasa syukur saya karena bisa kenal kamu yang selama ini gak pernah saya ungkap ke siapa pun. Jujur, saya gak mau kasih kamu hal semacam ini, saya lebih pilih untuk bicara langsung. Sayangnya, tiga hari lagi saya gak bisa antar kamu, maaf ya?” ucapnya dengan senyum tipis. Ia menarik tanganku agar berdiri dan setelahnya ia membawa tubuhku ke dalam dekapannya. Pundakku yang menjadi tempat kepalanya bersandar kini terasa basah. Ia menangis. Tak lama ia mengantarku pulang, kata nya tidak enak dengan orang tuaku kalau sampai aku pulang terlalu malam. Tiga hari setelahnya ia benar-benar tidak datang untuk mengantarku. Tak ia berikan alasan juga di dalam suratnya. Aku sadar, itu benar-benar akhir segalanya. “Adek, ada tamu nih!” Suara panggilan Ibu dari bawah membuyarkan kegiatan nostalgiaku. Duh, siapa sih? Seingatku, aku belum bilang siapa-siapa kalau aku pulang ke Jakarta. Ibu juga sudah aku beri tahu untuk tidak bilang siapa-siapa dulu. Ah, sudahlah semakin dipikirkan semakin membuatku pusing, mungkin cuma tetangga sebelah. Kulangkahkan kakiku ke arah ruang tamu, tapi begitu aku semakin dekat dengan ruang tamu dapat terdengar suara antusias Ibu mengucap kata selamat. Rasa penasaranku semakin menjadi, kupercepat langkahku hingga akhirnya ketika aku sampai aku tidak yakin apa aku masih berdiri atau sudah terduduk di lantai rumahku. Sosok yang selama ini mengganggu pikiranku…kini ia tepat dihadapanku. Tak banyak berubah, tapi yang jelas ia kelihatan lebih baik dari sebelumnya. Kini hanya ada setelan rapi yang membungkus tubuhnya, gelang tali ditangannya sudah digantikan dengan sebuah jam tangan berwarna hitam. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
165
“Kakak…tahu dari mana saya pulang?” ucapku dengan susah payah karena masih diselimuti keterkejutan sambil mengambil posisi duduk di sofa. “Ibu yang kasih tahu saya. Kamu apa kabar?” tanyanya “Baik, Kakak juga baik, kan?” tanyaku balik. Kami berbincang sedikit sekadar melempar tanya mengenai kehidupan kami sekarang, tentang pekerjaan, hidupku di Berlin, dan sesekali membahas kawan lama kami para Barista di kedai kopi. Namun, sejak tadi ada yang mengganggu pikiranku. Dapat aku lihat kini jari manisnya sudah tersemat sebuah cincin. Apa itu sebab Ibu terus mengucapkan selamat kepadanya? “Kakak…mau menikah?” tanyaku sambil menunjuk jari manisnya. Terlihat ia menundukkan kepalanya, memainkan cincin itu. Tak ada satu kata pun yang ia jadikan jawaban, hanya senyum canggung yang menurutku sudah cukup sebagai jawaban. Aku menghela napas, ber usaha mencerna semua ini di dalam kepalaku, hingga akhirnya aku tersenyum ke arahnya. “Selamat ya, Kak,” Kini aku sadar, sejak lima tahun lalu ini semua memang sudah ber akhir. Aku juga ikut senang karena ia akhirnya menemukan bahagianya. Sekarang sudah saatnya aku berdamai dengan masa lalu, menjadikan semua ini sebagai kisah klasik yang berharga lalu memfokuskan diri untuk berjalan menuju masa depan.
166
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Kutemukan Jalan Pulang dalam Suara Azanmu Oleh: Sinta Herawati Bertemu kembali denganmu adalah hal yang tidak aku inginkan kala itu. Namun kini, berpisah denganmu adalah hal yang tak ingin aku bayangkan. Dua kalimat singkat namun sarat makna menjadi pengisi buku harianku siang ini. Siang yang terik cepat berganti menjadi redup, tertutup mega men dung yang melintas di batas cakrawala pantai Empu Rancak, Jepara. Se orang pemuda keluar dari pintu utama musala menghampiriku. “Mau di sini atau pulang saja?” tanyanya penuh perhatian. “Pulang saja. Sekarang sudah saatnya minum kopi” ujarku bersemangat dengan senyum mengembang di wajah mungilku. Pemuda itu pun ikut tersenyum. Dengan mata yang menyipit dan kepala yang mengangguk-angguk, seakan dia mengerti apa yang aku pikirkan sekarang. Kami pun bergegas pulang, karena angin bergerak semakin kencang. Kerudung lebarku yang melambai-lambai tersapu angin membuat pemuda di sampingku harus mendekapkan tangan kanannya ke punggungku. Aku meliriknya dan tersenyum tanda mengerti. Khawatir jika kerudungku tersingkap dan membuat rambutku terlihat. Musim kemarau telah berganti menjadi musim hujan yang romantis. Kenangan yang menyimpan sejuta rindu ikut terbawa oleh tetesan-tetesan air hujan yang jatuh ke bumi. Masih hangat ingatanku tentang peristiwa tiga tahun lalu. Peristiwa yang mempertemukanku kembali dengannya. Raka. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
167
~*~ “Laras?” panggil seorang pemuda dengan suara yang tidak asing di telingaku. Aku menolehkan kepalaku. Betapa terkejutnya aku melihat sosok pemuda yang kini berdiri di sampingku. “Ra.. Raka?” sahutku sedikit terbata-bata. “Iya, ini aku Raka. Kamu ikut salat berjamaah tadi?” Aku hanya mengangguk dengan senyum yang canggung. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Yang aku tahu, aku hanya ingin segera pergi dari hadapannya. Tapi sebaliknya, terlihat seribu pertanyaan pada raut wajah tampannya itu. “Habis darimana? Atau… mau kemana?” “Mau pulang” jawabku singkat. “Kamu tinggal dekat sini toh?” Sekali lagi aku hanya mengangguk. Tak ada yang ingin aku bicarakan. Hanya ada pertanyaan bagaimana aku bisa segera pergi dari sini. “Nak Raka sedang apa? Ayo, kita harus segera berangkat. Seminar nya sudah mau dimulai” ujar seorang lelaki paruh baya menghampiri raka. Syukurlah. Batinku. “Oh, iya Pakdhe. Sebentar lagi saya menyusul ke mobil” “Baiklah. Kalau begitu, Pakdhe duluan ya” “Nggih Pakdhe” Ia nampak sedikit kecewa. Tangan kanannya mulai mengelus rambut belakangnya.
168
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Mmm… aku harap kamu bisa pulang ke kampung Ras, sedikit ba nyak aku mendengar kabar tentangmu dan keluargamu. Sebenarnya… ibu dan adikmu sangat merindukanmu” ujarnya dengan napas yang terlihat berat. Kalimat terakhirnya seperti pisau yang menusuk tajam ke hatiku. Aku menunduk tak menjawab apapun. Hening beberapa saat. “Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu ya. Aku tunggu kau di kampung” ucapnya dengan senyum manis tersimpul sambil berlalu meninggalkanku. Hari terus berlalu. Aku hanya mendekam di kamar kontrakan, sese kali keluar hanya untuk mengisi perut. Masih terngiang ucapan raka dalam benakku. Haruskah aku pulang ke kampung? Tapi untuk apa? Bagaimana aku harus menghadapi adik dan ibuku? Pikiranku terus berkecamuk. Namun diam-diam dalam hati ada rindu yang terus menderu. Bergelora memanggil-manggil nama ibu dan adikku. Hampir satu tahun berlalu. Apa yang harus kukatakan? ~*~ Satu minggu telah berlalu. Kini aku duduk terpaku menatap keluar jendela Bus antar provinsi yang membawaku kembali ke Jepara. Sebuah kota kecil yang terletak di bagian paling ujung sebelah utara dari Provinsi Jawa Tengah. Peristiwa buruk beberapa waktu lalu satu per satu muncul dalam benakku. Membuatku tak sanggup menahan air mata. Saat ayahku, laki-laki yang sangat aku cintai dan aku percaya telah mengkhianatiku. Meninggalkanku dan ibuku serta adikku demi perempuan lain yang lebih muda. Tanpa sepatah katapun perpisahan terucap dari mulutnya kepadaku. Lalu sahabat terbaikku, yulia yang selalu menemaniku di perantauan Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
169
harus pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini, dari hidupku karena insiden kecelakaan tabrak lari yang tak ditemukan tersangkanya hingga kini. Tugas akhir kuliahku yang beberapa kali ditolak membuatku semakin tertekan, belum lagi masalah keuangan. Pada akhirnya aku memutuskan mengambil cuti sementara untuk bekerja. Aku seperti kehilangan jiwaku, berbulan-bulan aku berusaha menata hati. Namun terasa sia-sia. Pertemuan dengan teman baru yang justru membawaku ke pergaulan bebas yang sama sekali tidak aku inginkan, sekali lagi membuatku larut dalam kesedihan dan kerinduan kepada yulia, teman yang selalu mendengarkan keluh kesahku dan menyemangatiku dengan tulus. “Mbak sudah sampai” ucap kondektur memecah lamunanku. “Oh iya Pak. Terimakasih” Selepas turun dari bus, aku memilih naik ojek untuk bisa langsung sampai ke tempat tujuan meski harus merogoh kocek lebih dalam dari pada harus menunggu angkutan umum yang entah kapan datangnya. ~*~ Pantai Empu rancak yang dulu hening kini penuh dengan sorak sorai para pengunjung. Yang dulunya hanya pantai berpasir putih dengan beberapa gazebo bambu para penjual makanan laut, kini telah dipenuhi dengan bangunan gazebo semi permanen serta beberapa kursi dan meja santai dilengkapi payung warna-warni ala kafe yang ikut meramaikan suasana pantai Empu Rancak. Menurut yang aku baca, kepala desa setempat hendak membangun pantai ini berkonsep gaya jawa. Salah satu yang menonjol yaitu bangu nan musala tepi pantai yang dibangun mirip dengan gaya bangunan masjid demak dan bangunan menara kudus. Keberadaan musala ini sudah ada sejak aku masih kecil. Bangunan yang menjadi tempatku singgah, belajar dan bermimpi bersama teman-teman dulu. 170
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Suara azan yang tidak asing itu. Batinku. Mencoba mengingat-ingat suara yang membuatku seperti dibawa masuk kembali ke jalan-jalan kampung sewaktu aku masih kecil. Tidak salah lagi, suara ini adalah suara azan yang juga aku dengar waktu itu di jakarta. Saat dimana aku bertemu dengan Raka. Perlahan-lahan aku berjalan menuju musala. Melewati rumah masa kecilku. Aku menutupi wajahku dengan masker. Belum siap rasanya menghadapi berbagai pertanyaan dari tetangga. Dan juga ibu serta adikku. Sesampainya di musala, aku langsung mengikuti salat zuhur berjamaah. Selepas salat, aku berjalan keluar. Betapa terkejutnya aku bertemu dengan teman lamaku. Arini, Tito dan Raka. Ketiganya sedang duduk di serambi musala. Meski merasa sangat canggung, aku berjalan mendekat dan menyapa mereka. “Assalamualaikum” sapaku pelan nyaris tak terdengar. “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab ketiganya serentak dan menoleh pada saat yang bersamaan. Nampak raut terkejut di wajah mereka. “Masya Allah, Laras!” sahut arini setengah berteriak. Langsung saja ia berdiri memeluk tubuhku erat-erat. Aku tersenyum. “Senang sekali aku melihatmu. Aku sangat rindu padamu” Siang itu kami habiskan dengan bertukar kabar dan membicarakan masa kecil kami yang selalu bersama-sama. Arini terlihat sangat bersemangat menceritakan kembali kisah masa kecil kami. Sementara aku lebih banyak diam, begitupun pemuda yang duduk di samping Tito, Raka. Terlihat mereka tak terlalu ingin menyinggung tentang perma Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
171
salahan keluargaku, dan kegagalanku di perantauan. Nampaknya mereka tak ingin membuatku merasa semakin canggung dan sedih. Dari percakapan itu, aku baru tahu, rupanya arini dan tito baru saja menikah tiga bulan yang lalu. Mengingat masa lalu mereka yang selalu bertengkar membuatku tersenyum-senyum sendiri mendengar bagaimana akhirnya tito memberanikan diri melamar arini yang galak nya seperti guru killer di sekolah jika menyangkut tentang tito. Terlihat beberapa anak kecil berdatangan. Menghambur di halaman musala, berlarian ke sana kemari. Tak sadar telah membuatku tersenyum lebar. Satu per satu kenangan masa kecil yang diceritakan oleh arini dan tito mulai kembali muncul dalam ingatanku. Kenangan akan peristiwa-peristiwa biasa di masa lalu yang nyaris terlupakan. Ternyata terasa begitu indah dan berwarna sekarang. Membuat hatiku kalut seketika mengingatnya. “Kamu ingat tidak? Dulu di antara kita berempat, kamu itu yang selalu paling bersemangat. Juga yang paling aneh mimpinya! Setiap kali habis ngaji, kamu selalu bilang mau jalan-jalan keliling dunia sambil bantuin orang susah. Terkadang aku kesal mendengar mimpi-mimpimu. Tapi kalau boleh jujur itu juga yang memotivasiku untuk ikut bermimpi Ras” ujar arini penuh semangat. “Alhamdulillah aku dan tito kini dipercayai kepala desa untuk mengelola lembaga swadaya masyarakat Empu Bisa di sini. Isinya macam-macam Ras, ada perihal penanganan buta huruf, pengelolaan sumber daya alam dan manusia untuk pariwisata pantai Empu Rancak dan masih banyak lagi hal lain. Kalau kamu mau, kamu datang dan gabunglah sama kita. Raka juga sering datang membantu kalau ada acara-acara besar, meskipun dia sibuk dengan bisnis-bisnisnya” lanjut arini. Aku mengangguk beberapa kali dan tersenyum mendengar penjelasan panjang arini. Sepertinya mereka sedang berusaha untuk membantuku bangkit dari keterpurukan.
172
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Tak terasa matahari telah menunjukkan waktu untuk salat ashar. “Sudah waktunya salat ashar, aku azan dulu ya” ujar seseorang tiba-tiba memecah asyiknya percakapan di antara kami. Ternyata dia. Batinku. Setelah aku ingat-ingat, raka memang sudah sejak dulu rutin mengumandangkan azan di musala ini. Suaranya benar-benar merdu dan khas. Suara azanpun bergema di seluruh musala bahkan seluruh kampung sepanjang pantai Empu Rancak ini. Ternyata suara azan yang tidak asing siang tadi dan juga waktu itu di jakarta adalah suara raka. Suara azan yang selalu membuatku senang berangkat menuju musala tempo dulu. Membuatku sering terjatuh ketika berlari dengan penuh semangat. Dan ibu yang berada di belakangku, akan selalu menenangkanku dengan wajah ayunya yang kalem dan mengatakan kepadaku bahwa aku kuat. Seketika air mata pun berubah menjadi senyum cerah ceria. Selepas salat ashar, anak-anak mulai berdatangan untuk mengikuti sekolah TPQ di musala. Melihat anak-anak kecil dengan wajah lugunya, mengingatkan akan diriku yang dulu. Tiba-tiba saja, aku seperti terba ngun dari mimpi buruk yang panjang. Aku seperti menemukan kembali kepingan jiwaku yang hilang entah kemana selama peristiwa buruk di tanah rantau beberapa waktu lalu. Tak kusangka, kenangan-kenangan lampau yang nyaris terlupakan, bisa membuatku kembali menemukan kepingan-kepingan jiwaku yang hi lang tertelan duka lara kehidupan. Dadaku penuh sesak. Air mata terasa menumpuk di pelupuk mataku. Aku bergegas pulang ke rumah. Menemui ibu dan adikku. Membangun kembali hubungan keluarga yang sempat terabaikan. ~*~ Kenangan. Mengapa aku tak ingat bahwa orang-orang yang pernah meninggalkan kenangan buruk padaku, juga pernah menjadi bagian dari keAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
173
nangan-kenangan indah yang mewarnai hidupku. Kenangan indah yang tak seharusnya kulupakan, dan kenangan buruk yang harus aku jadikan sebagai pembelajaran hidup yang tak ternilai. Berusaha untuk bangkit kembali dari keterpurukan bukanlah hal yang mudah. Aku sangat bersyukur, Tuhan mengirimkannya untuk menuntunku kembali menemukan jalan pulang, setelah tersesat di kegelapan rimba, melalui suara azannya. Raka. Suamiku. Jepara, 20 november 2020
174
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Lelaki dan Harimau Oleh: Ade Nila “Tempat terjauh adalah masa lalu yang dibalut kenangan. Jangan terlalu jauh menyelam, jika tak ingin tenggelam terlalu dalam.” *** Gunungkidul, 1960 Arum ketakutan saat melihat bayangan hitam besar perlahan mendekat. Seketika wajahnya berubah pias, diikuti raga yang mematung. Dia berusaha menepi, bersembunyi dalam rimbunnya tanaman jagung, tetapi kakinya terasa lemas. Ingin rasanya dia menangis, ketika bayangan itu terlihat makin jelas. Seekor harimau yang besarnya tiga kali lipat dari tubuh orang dewasa berjalan dengan pelan, menyusuri tanah basah di pekatnya malam. “Aduh, bagaimana ini,” desisnya pelan. Arum menahan napas, menyembunyikan rasa takut yang mendalam. Kedua tangannya menutup mulut mencegah teriakan keluar dari sana, yang tentu saja akan menarik perhatian harimau. Arum hanya bisa pasrah, sembari batinnya tak henti-henti memanjatkan doa. Harimau itu berjalan tenang di bawah sinar bulan, melintas persis di depan Arum. Jarak antara keduanya tidak ada seratus meter, sehingga tampak jelas binatang itu membawa sesuatu di punggungnya. Benda berwarna putih diletakkan memanjang dari kepala sampai ekor, dengan panjang tak lebih dari dua meter. Tubuh Arum menggigil ketakutan ketika dilihatnya mayat dengan kain kafan bercampur tanah, dibawa harimau menuju sarangnya -jauh di dalam gua- di pegunungan kapur. Degup jantungnya semakin tak menentu. Tangan dan kakinya menjadi lebih dingin dari angin malam yang menyapu kulit. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
175
Setelah harimau itu menjauh, Arum langsung terduduk lemas. Dia menangis tersedu- sedu sambil memeluk bakul berisi baju kotor yang kini jatuh berserakan. “Tidak usah takut, harimau itu sudah pergi.” Suara yang muncul tiba-tiba membuatnya kaget. Arum menoleh, lalu nampaklah seorang lelaki berdiri tepat di sampingnya. Lelaki itu mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. “Tak apa, tak usah takut,” lanjutnya. Arum mengibaskan tanah yang menempel pada kain jarik yang dikenakannya, lalu mulai memunguti isi bakulnya satu-persatu. “Kamu tidak apa-apa?” Arum mengangguk samar, sambil mengusap air mata yang masih menempel di pipi. Sejurus kemudian pandangan mereka beradu. Lelaki di depannya itu tampak begitu tenang, seolah sudah terbiasa bertemu mara bahaya macam tadi. “Rumahmu dimana? Biar aku antar pulang.” “Rumahku.. di Ngabean,” jawabnya terbata. “Kamu sendirian saja?” Kali ini Arum menjawab dengan anggukan kepala. Dipandangi lelaki yang berjalan di depannya dengan seksama. Lelaki itu memiliki pe rawakan tinggi dan kulit gelap. Belum pernah dia bertemu lelaki itu sebelumnya. “Aku tidak mau pulang,” jawab Arum dengan pelan. “Memangnya mau kemana tengah malam begini, Dik?” Arum terkesiap mendengar ucapan lelaki itu. Tengah malam kata nya? “Ini bukannya menjelang Subuh?”
176
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Pertanyaan Arum membuat lelaki itu mengernyitkan kening. Sejujurnya Arum tidak tahu pukul berapa kala itu. Kepalanya berusaha mengingat apa yang terjadi. Dia yakin tadi jelas-jelas mendengar ayam jantan berkokok satu kali, pertanda pagi hampir datang. Arum beranjak dari dipan bambu tempatnya tidur, lalu meniup lampu minyak di atas meja. Seperti biasa mengambil bakul berisi pakaian kotor, lalu bersiap menuju sungai di desa sebelah untuk mencuci baju. Dia dan tiga orang temannya sudah berencana kesana kemarin sore. Akan tetapi, tidak nampak satu pun temannya di ujung jalan tempat biasa mereka bertemu. Arum kemudian berpikir bahwa teman-temannya pastilah sudah berangkat lebih dulu. “Ini masih tengah malam, Dik. Kamu mau mencuci baju ke sungai?” Arum tak mampu menjawab. Rasanya dia ingin menangis sekali lagi, tetapi rasa malu membuatnya bertahan. Arum menoleh ke belakang, rupanya langkahnya sudah terlampau jauh. Dilanda kebingungan akan melanjutkan perjalanan atau berbalik pulang, Arum memutuskan berhenti. “Lebih baik kamu pulang saja. Sungai belum ada orang sekarang,” lanjut lelaki itu sembari mengambil selembar kertas dan tembakau dari saku celana. “Tidak, aku sudah separuh jalan.” Lelaki itu melipat kertas yang sudah diisi tembakau, lalu disulutnya dengan api. Sementara Arum mengikuti lelaki itu dengan langkah cepat. Sebenarnya dia tidak yakin benar dengan lelaki yang baru ditemuinya itu. Akan tetapi, berada sendirian ditengah malam, di antara ladang jagung tentulah lebih menakutkan. Apalagi jika harimau itu kembali. Arum bergidik ngeri. “Lain kali, tengoklah ke atas. Bulan masih bersinar terang, artinya malam masih teramat panjang,” jelas lelaki itu diiringi senyum. Kini Arum bisa melihat wajah yang terkena pantulan cahaya bulan itu de ngan jelas. Senyum lelaki itu membuat jantungnya berdegup kencang. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
177
“Jangan-jangan kamu bidadari yang hendak mandi, lalu kembali ke kayangan saat matahari terbit,” ucap lelaki itu diiringi tawa. Arum menyeringai mendengar candaan lelaki itu. “Kamu sendiri ada perlu apa malam-malam begini?” Lelaki itu menghisap tembakaunya dalam-dalam. Asap mengepul di udara. “Aku sedang mencari persembunyian harimau tadi. Sudah dua kali dia mencuri jenazah dari makam di desa kami,” jelasnya. “Seperti tadi?” “Ya.” “Kenapa kamu sendiri saja?” “Karena tidak ada yang berani melawan harimau, kecuali aku,” jawab lelaki itu sembari tertawa. “Jangan seperti itu,” ujar Arum kesal. “Oh, salah. Aku tidak sendiri sekarang,” ucap lelaki itu dengan senyum mengembang, membuat Arum tersipu. Perjalanan yang cukup jauh terasa dekat saat dilalui dengan asik berbincang. Mungkin terasa aneh, menghabiskan sisa malam dengan orang yang baru dikenal, apalagi untuk seorang gadis seperti dirinya. “Sudah sampai. Kau mulailah mencuci, aku akan menghabiskan tembakau di sini.” Lelaki itu duduk di atas batu di tepian sungai, sementara kedua tangannya sibuk melipat kertas dan tembakau. Kedua matanya sesekali memandang bulan di langit yang bersinar terang. *** Hari berikutnya, Arum dan lelaki itu kerap bertemu diam-diam di sungai, tempat Arum mencuci baju. Bisa ditebak, rasa apa yang tumbuh 178
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
dalam hati keduanya. Rasa yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Pada masa itu, adat perjodohan masih berlangsung, sehingga tidak patut seorang gadis memilih calon pendampingnya sendiri. Suatu sore ketika Arum sedang menyisir rambut panjangnya dan membentuk sanggul kecil di belakang, Ibu datang menghampiri untuk menyampaikan pesan penting dari Bapak. Ibu berkata dengan mata berbinar, bahwasanya Pak Lurah dan putranya akan datang melamar Arum besok malam. Tentu menjadi suatu kehormatan, anak gadis mereka dilamar oleh orang terpandang di desa itu. “Beruntung kamu, Nak.” Ibu meninggalkan kamar, menyisakan luka di hati Arum. Dalam benaknya, dia harus menemukan cara untuk menghindar dari semua ini. Arum memandang ke luar jendela. Matanya menangkap bayangan lelaki itu berkelebat, menitipkan sedikit rasa tenang di hatinya. Dengan mengumpulkan cukup keberanian, ditemuinya lelaki itu di ujung jalan, di dekat ladang jagung yang sebentar lagi panen secara sembunyi-sembunyi. “Tidak usah khawatir, semua akan baik-baik saja.” Lelaki itu menatap Arum dengan tenang, seolah semuanya dalam genggaman. “Besok malam aku akan mendahului rombongan untuk datang melamarmu,” lanjutnya diiringi senyum. “Aku janji,” ucap lelaki itu, membuat batin Arum merasa yakin. Waktu seperti berjalan lambat, membuat Arum semakin gelisah. Sampai akhirnya hari yang ditunggu pun datang. Sehabis Isya, terdengar kabar bahwa rombongan Pak Lurah sudah dalam perjalanan menyusuri ladang jagung, membawa rebana, dan berkarung-karung hadiah untuk dirinya. Sudah menjadi tradisi ketika lamaran, semua tetangga diundang untuk makan- makan. Malam itu rumah Arum terang benderang, ramai oleh suara bapak-bapak yang sudah siap menerima tamu kehormatan. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
179
Arum berdiam diri di kamar, sambil memainkan ujung kain jarik bermotif batik parang dengan gelisah. Sesekali wajahnya melongok ke luar jendela menatap langit malam. Sayang, langit mendung membuat bulan memilih sembunyi. Malam semakin larut, tetapi rombongan tak jua datang. Arum terus berdoa, semoga lelaki itu dapat mendahului rombongan Pak Lurah untuk melamarnya. “Pak Tukimin! Pak!” Teriakan dan hiruk-pikuk terdengar dari luar, membuat suasana berubah mencekam. Bapak berlari ke luar, menyambut suara yang memanggilnya. “Rombongan Pak Lurah dihadang harimau di daerah Jurang Mati!” Seorang utusan datang dengan wajah pucat pasi. Bajunya penuh oleh keringat dan tanah basah. Sontak berita itu membuat warga gempar. Bapak segera mengambil tombak, lalu bersiap menyusul ke Jurang Mati bersama para lelaki. “Kita tidak perlu kesana, Pak!” Utusan itu berkata dengan napas naik turun tak beraturan. “Harimau itu sudah pergi. Seorang lelaki datang menyelamatkan kami.” Bapak dan warga mendengarkan penjelasan utusan itu dengan seksama. Selang beberapa menit, terdengar rebana dibunyikan bertalu-talu dari arah selatan. Rombongan yang dinanti akhirnya datang, membuat bulir-bulir air mata Arum berjatuhan. *** Gunungkidul 2020 Arum berdiri di tepi jalan aspal menuju kampung halamannya, desa kecil bernama Ngabean yang terletak di sebelah timur Gunungkidul. Sepuluh tahun lamanya dia tidak pulang. Matanya menatap hamparan pegunungan kapur yang tidak segagah dulu. Sejauh mata memandang, 180
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
hanyalah bongkahan kapur yang semakin lama semakin habis, dikerumuni ekskavator milik perusahaan swasta. Dahulu jalanan aspal tempatnya berdiri hanyalah ladang jagung dengan ruas jalan yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Namun, jalan itu telah mengukir kenangan yang kini tersimpan rapi di hatinya, meski telah bertahun-tahun silam. “Aku tak tahu siapa lelaki itu. Namun berkat dia, aku bisa datang melamarmu.” Lelaki tua di sampingnya itu tersenyum sembari menggenggam ta ngan istrinya dengan hangat. Selepas malam itu, Arum memang tak pernah melihat sosok lelaki itu lagi. Sosoknya seperti lenyap ditelan bumi, bersamaan dengan matinya harimau pada malam naas enam puluh tahun lalu. Tak ada yang tahu, kemana lelaki itu pergi. “Ayo sayang, kita harus segera meneruskan perjalanan!” Arum membuang muka, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Lelaki itu menuju mobil sembari menggandeng tangan istrinya. Arum Enam puluh tahun dia menyimpan bayangan lelaki itu jauh di dalam hatinya. Enam puluh tahun sudah dia mencari lelaki penakluk harimau yang tak tentu kabarnya. Sampai akhirnya dia menyerah, karena merasa takut kembali pada kenangan yang dapat membuatnya tenggelam terlalu dalam. ***
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
181
Matahari terang di Moskva Oleh: Yungyung Krisna Wardhana “Preevyet!1 Moy brat2 Mardjono!” 3
“Brat Dimitriy! Davno ne videlis’ ! Sahabatku Dimitry dengan langkah kakinya yang panjang, berjalan bergegas ke arahku. Tangannya terbuka lebar dan kemudian memelukku dengan erat. Aku pun membalasnya dengan erat pula. Dimitriy bertubuh gempal dan tinggi besar, rasanya seperti dipeluk seekor beruang cokelat yang besar. Tak terasa mataku berkaca-kaca merasakan kehangatan dan keakraban dari sahabat lamaku ini. Setelah beberapa tepukan di punggung, kami melepas pelukan. Tanpa kusadari mataku berkaca-kaca memandangi wajah Dimitriy yang kini nampak lebih tua dari saat kami berpisah lima tahun yang lalu. Kumis dan cambang lebat seolah berusaha menutupi garis-garis kerut wajahnya yang semakin terlihat jelas. Namun dia adalah seorang pria yang periang, meskipun terlihat tua namun kilatan keceriaan masih terasa dalam sorot matanya. “Bagaimana perjalananmu dari Indonesia? Sepertinya kamu terlihat lelah kawan.” Sapa Dimitriy dengan bahasa Indonesianya yang cukup fasih. “Dua puluh enam jam, kawan. Bukan waktu yang pendek untuk terus berada di atas sebuah kursi pesawat dan hanya memandangi jendela kecil yang dipenuhi oleh pemandangan biru laut dan awan-awan tak beraturan. Beruntung saat singgah di Istanbul, aku cukup puas menikmati 4 Türk kahvesi sambil memandangi keindahan kota di saat malam hari.” Kujelaskan perjalananku yang cukup melelahkan ini. Preevyet : Hai
1
Moy brat : Saudaraku
2
Davno ne videlis’ : Lama tak berjumpa
3
Türk kahvesi : Kopi khasTurki
4
182
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Benarkah Istanbul cukup memuaskanmu hanya dengan Türk kahvesi saja? Aku meragukannya. Kupikir perempuan-perempuan cantik dari Sirkasia bermata lebar yang berseliweran di bandara Ataturk yang justru memuaskan pandanganmu.” Dimitriy berkelakar dan mulai menyunggingkan senyum dengan sedikit pandangan mengejek, mencoba meng orek kenangan lama yang pernah kualami. “Ahahaha…aku tahu maksudmu kawan. Kamu mencoba mengingatkanku akan sosok Tatjana bukan? Kakak tingkat kita saat masih kuliah dulu.” Aku mencoba tertawa, awalnya tergelak namun akhirnya hambar kurasa. “Maafkan aku kawan, bukannya aku ingin membuka luka hatimu yang sudah lama engkau pendam itu. Tatjana Malinovs kaya memang perempuan yang sangat cantik, hampir semua pria mengidam-idamkannya. Aku salut padamu, kamu memang nekat dan memiliki rasa percaya diri yang luar biasa.” Sambil melingkarkan tangan kanannya di pundakku, Dimitriy menepuk-nepuk dadaku dengan tangan kirinya, menandakan bahwa dia memberi rasa hormat akan keberanianku saat itu. Anganku segera melayang kembali ke masa silam, lima puluh tahun yang lalu. Pada tahun 1960- an, pemerintahan era Presiden Sukarno sedang gencar-gencarnya memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar se pertiku. Kebanyakan perguruan tinggi yang dituju adalah yang berada di 5 negara-negara blok Timur dimana perkembangan infra struktur dan tek nologinya begitu melesat kala itu. Tujuan Presiden Sukarno saat itu begitu jelas, para pelajar ini dipersiapkan untuk menjadi generasi intelektual yang progresif dan akan membangun negari Indonesia ini sekembalinya mereka menyelesaikan masa belajarnya nanti. Aku sendiri merupakan 6 salah satu penerima beasiswa Mahid yang dikirim untuk belajar ilmu seni menulis dan kesusastraan. Aku merasa beruntung ketika mendapatkan kesempatan kuliah di Maxim Gorky Literature Institute, sebuah perguruan Blok Timur : blok Negara berhaluan sosialis dan komunis, Rusia (Uni Sovyet saat itu) adalah negara yang
5
terbesar dan terkuat di blok Timur Mahid : Mahasiswa Ikatan Dinas
6
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
183
tinggi sastra dan literasi terkemuka yang berada di ibu kota Rusia, Moskva. Pemerintah Rusia pada masa itu sengaja menyematkan nama Maxim Gorky—seorang penulis sosialis besar bangsa Rusia—pada perguruan tinggi yang khusus mempelajari sastra dan kebudayaan ini, sebagai sebuah penghargaan akan andil besarnya menggagas literasi sosialis-realis bagi bangsa Rusia. Aku dan Dimitry adalah teman satu angkatan saat bersekolah di Maxim Gorky Literature Institute. Kami berdua adalah adik satu tingkat di bawah Tatjana yang setahun lebih dulu bersekolah di sini. Semua mahasiswa pria mengagumi kecantikannya, tak terkecuali aku dan Dimitriy. Namun Dimitriy terlalu pengecut untuk terang-terangan berani mengakuinya. Sahabat besarku dari St Petersburg ini ternyata hanya memiliki badan yang besar, namun nyalinya kecil dalam urusan percintaan. Berbeda denganku, aku selalu punya prinsip nothing to lose ketika memperjuangkan sesuatu. Termasuk ketika aku berusaha mendapatkan hati Tatjana. Saat itu sangat mengagumi sosok Bung Karno, sang pemimpin bangsaku, dalam beberapa pidatonya yang berapi-api menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, tidak kalah oleh bangsa-bangsa yang lain yang ada di dunia ini. Kedudukan semua manusia adalah setara. Rasa nasionalisme yang kuat ini membuatku cukup punya rasa percaya diri di hadapan semua rekan-rekan sekolahku yang didominasi bangsa Rusia dan Slav. Walau aku hanyalah mahasiswa dari Asia, bertubuh lebih pendek daripada kebanyakan orang Rusia, berkulit coklat gelap, bahkan belum begitu fasih berbahasa Rusia, aku setidaknya pernah nekat mengajak Tatjana makan malam bersama. Tawaranku ditolak mentah-mentah oleh nya. Siapa yang mau berkencan dengan pria asing berkulit gelap dengan bahasa Rusia yang terpatah-patah? Aku memang sempat patah hati, tapi pengalaman itu sangat membekas di hati dan justru menguatkanku. Diriku tak sampai berlama-lama bersedih akibat penolakan Tatjana, ada kejadian besar yang merubah jalan hidupku saat itu. Pergolakan poli184
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
7
tik di tanah air memuncak dan melahirkan peristiwa Gestapu yang mengguncangkan negaraku. Kepemimpinan Presiden Sukarno terguncang dan akhirnya tergantikan oleh Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto. Efek dari berakhirnya era Sukarno yang lebih condong ke blok Timur, beralih menjadi eranya Orde Baru yang lebih dekat dengan blok Barat. Pembersihan akan pendukung komunisme, sosialisme dan bahkan nasionalisme semakin menjadi-jadi. Pada intinya, semua pendukung dan apa yang pernah menjadi bagian dari eranya Bung Karno, harus dibersihkan. Hal ini tentu saja secara langsung memberikan efek yang signifikan kepadaku, juga kepada seluruh mahasiswa Indonesia yang bersekolah di negara-negara blok Timur. Kami semua diberangkatkan pada saat pemerintahan Presiden Sukarno, dan dengan serta-merta pemerintahan Orde Baru melabeli kami sebagai pendukukung dan bahkan terlibat dalam peristiwa Gestapu itu sendiri. Duta-duta Besar Indonesia di negara-negara Timur langsung diganti. Atase militer turut campur dalam proses screening seluruh mahasiswa yang ada. Pendekatan dengan cara intimidatif menjadi sesuatu yang lumrah. Pilihannya hanya dua, bertahan untuk tetap bersekolah namun dicabut paspor dan kewarganegaraannya, atau pulang dan mengabdi pada negeri namun harus melalui proses screening lagi di tanah air. Banyak desas-desus mengabarkan bahwa nasib kami akan sama seperti para pendukung Sukarno yang dibantai pada proses pembersihan yang dilakukan Orde Baru. Itu berarti bisa saja kami akan pulang namun dengan segera dikebumikan dengan dalih kami adalah antek Orde Lama. Status kami sebagai pelajar mahasiswa tentunya berpotensi melahirkan pikiran-pikiran intelektual yang berbahaya bagi pemerintahan Orde Baru kala itu. Politik memang kejam, bahkan kepadaku yang sebenarnya justru buta akan politik. Keberangkatanku ke Moskva hanya untuk melanjutkan pendidikan sastra semata. Aku menolak untuk pulang hanya untuk diadili, dibunuh tanpa pro Gestapu : Gerakan 30 September 1965, peristiwa makar dan kudeta, momen pencetus peralihan pe-
7
merintahan Orde lama (Sukarno) ke Orde Baru (Suharto)
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
185
ses peradilan. Paspor dan kewarganegaraanku dicabut. Aku bersikeras 8 meneruskan pendidikanku walau harus hidup sebagai eksil . Dimulailah kehidupanku yang baru, tanpa status warga negara, dan hidup jauh di negeri orang tanpa tahu kapan bisa pulang ke kampung halaman. “Mardjono,...mobilku ada di arah sana.” Dimitriy berteriak kepadaku sambil sedikit tertawa melihatku menuju ke arah yang berlawanan. Rupanya aku melamun dan mengabaikan apa saja yang dia bicarakan beberapa waktu lalu. Aku tersenyum sambil merubah arah dan mulai menghampiri sahabatku itu. Kami pun berjalan bersama beriringan menuju sebuah 9 GAZ-24 “Volga” tua, berwarna merah marun terparkirdiam di tengah deretan mobil-mobil modern di sekitarnya. Mobilnya Dimitriy. Aku bersyukur dia mendapatkan kendaraan itu tidak dengan warna hitam. Black Volga terkesan mistis dan angker karena dulunya paling sering digunakan oleh para agen rahasia KGB yang terkenal sadis. Dimitriy membantu menaruh koperku di bagasinya sambil terus berkelakar denganku. Kami pun kembali tergelak bersama mengingat masa-masa muda kami mengebut menggunakan mobil ini di beberapa ruas jalan di sepanjang tepi aliran sungai Moskva. “Kamu mau jalan-jalan dulukah kawan?” Dimitriy bertanya kepadaku. “Ya, tentu saja. Moskva hari ini terlihat begitu cantik, kupikir kita akan cukup memiliki waktu untuk menjelajahi beberapa titik kota.” Jawabku singkat. Sheremetyevo International Airport (SVO) yang terlihat begitu megah dan sangat sibuk pagi ini kami tinggalkan. Kujalankan Volga dengan perlahan sementara Dimitriy yang duduk di samping kananku terus berbicara, berkelakar tanpa lelah. Aku merasakan kerinduannya, begitupun aku merasa bahagia sekali kembali ke negeri pengasinganku ini. Hangatnya udara di bulan Mei merasa nyaman menikmati kepulanganku ke Rusia Eksil : dari kata exile (Ing), orang buangan, diusir, hidup di pengasingan
8
Volga GAZ-24 : sebuah sedan buatan rakitan pabrik mobil Gorky-GAZ (Gorkovsky Avtomobilny Zavod),
9
kendaraan buatan Rusia terkencang saat itu
186
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
kali ini, sementara dari kaca spion menara Ryumka yang mirip pesawat UFO raksasa di terminal lama bandara Sheremetyevo mulai terlihat kecil di kejauhan dan kemudian menghilang. *** Setelah beberapa puluh kilometer membelah kepadatan lalu-lintas di Moskva, sampailah kami di Maxim Gorky Literature Institute, sekolah lama kami. Dimitriy mengajakku berjalan-jalan untuk beberapa saat. Dia menunjukkan beberapa sudut kampus sambil mengingatkanku akan beberapa momen-momen lucu, sedih dan senang yang pernah kami alami bersama. Pohon-pohon Birch yang tinggi dan rindang serasa syahdu memayungi patung Maxim Gorky yang diam membisu namun tegar di bawahnya. Aku berdiri di depan patung itu, mataku berkaca-kaca memandangi sosok lengang di hadapanku. Pada dasarnya aku adalah seorang pengagum tulisan-tulisan sastra roman milik Tolstoy. Namun aku juga mengagumi karya- karya Gorky dalam melawan tiranisme Tsar Rusia. Terhitung The Mother dan A Confession adalah dua buku yang menggambarkan semangat untuk melawan penindasan. Gorky adalah seorang yang revolusioner dalam tulisan-tulisannya. Ini mengingatkanku akan perjuangan Mochtar Lubis dan Abdul Muis dalam menentang kolonialisme Belanda melalui karya-karya tulisnya. “Mari kita lanjutkan perjalanan kita kawan.” Kataku pada Dimitriy setelah berpaling melangkah pergi dari patung Gorky di tengah taman utama ini. Sobat besarku ini berkata dengan ramah kepadaku. Kami pun berangkat melanjutkan perjalanan membelah kota Moskva. *** Setelah beberapa setengah jam berkendara, Dimitriy memperlambat laju mobilnya dan memasuki jalan Prechistenskaya Naberezhnaya. Jalan yang membentang panjang di tepian sungai Moskva itu tak terlalu ra10 mai. Kulihat sebuah Flotilla Radisson Cruise melaju perlahan, membawa Flotilla Radisson Cruise : sebuah yacht yang memiliki restoran mewah di dalamnya, perahu pesiar kecil
10
untuk mengangkut wisatawan menyusuri sungai Moskva
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
187
para wisatawan menikmati keindahan pemandangan di sepanjang sungai Moskva yang berkilauan memantulkan sinar matahari Mei yang cerah. Dari seberang terlihat pabrik coklat Krasny Oktyabr (Oktober Merah) yang bangunannya begitu legendaris karena susunan batu bata merahnya yang indah. Mengingatkanku akan bata-bata merah penyusun candi-candi kuno peninggalan kerajaan Majapahit di Mojokerto. Dulu, pada hari-hari yang berangin, dingin dan membeku saat musim dingin mendera, aroma cokelat hangat yang diwarnai dengan karamel melayang dari Krasny Oktyabr menghampiri hidung-hidung yang memerah karena kedinginan. Aku salah satunya. Namun saat itu aku justru memiliki kenangan buruk saat di musim dingin 1967, saat aku duduk menikmati cokelat hangat di sebuah bangku kayu tua di depan Krasny Oktyabr. Saat itu Dimitry lari tergopoh-gopoh menemuiku dan memberitahukan telah terjadi sesuatu yang buruk de ngan keluargaku di Indonesia. Dia mendapatkan berita dari seorang kolega yang bekerja di kantor kedutaan besar, bahwa ayah ibuku telah diamankan oleh pihak militer karena dianggap terlibat Gestapu. Aku tahu apa arti ‘diamankan’, itu berarti kematian tanpa penguburan yang layak. Bisa berakhir mengambang di sungai atau terkubur dalam kuburan masal yang tak akan pernah diketemukan. Lantas bagaimana dengan nasib Sukesi, adik semata wayangku itu? Apakah yang akan mereka perbuat pada dirinya? Kami bukan komunis, kami hanyalah keluarga kecil dengan kedua orang tua pengagum sosok Sukarno sebagai pemimpin bangsa. Dengan penuh kemarahan kulemparkan cangkir coklat hangat yang masih berisi separuh itu ke tengah sungai Moskva. Beberapa menit kemudian tubuhku lemas dan hanya bisa duduk bersimpuh di tepian su ngai Moskva yang terlihat membeku. Aku merebahkan diri, masih de ngan air mata yang tak henti-hentinya mengalir walau aku masih menahan isakanku. Tak kupedulikan gundukan salju di sekitarku yang mulai mengubur tubuh lemahku. Aku ingin mati saja saat itu, hingga akhirnya Dimitry membawaku pulang kerumahnya. “Mari kita tinggalkan tempat ini kawan.” Dimitriy menepuk pundak 188
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
ku dan mengajakku meninggalkan Prechistenskaya Naberezhnaya. Aku segera tersadar dari lamunanku akan kenangan buruk puluhan tahun yang lampau. Kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah Lapangan Merah, antung kota Moskva. *** Sengaja aku menghindari pergi ke kota Moskva pada awal tahun, musim dingin di Rusia bisa membekukan semua yang ada di permukaan bumi, tak terkecuali hati dan harapan. Bahkan tentara Nazi Jerman yang 11 begitu gagah perkasa dengan Blitzkrieg nya pada awal-awal Perang Du nia II pun terhenti lajunya menghadapi keganasan musim dingin Rusia. Belum sampai memasuki kota Moskva, mereka justru dipukul mundur 12 oleh Tentara Merah yang bahu-membahu dengan rakyat melawan penjajah negeri mereka. Esok adalah tanggal 9 Mei, tanggal peringatan kemenangan besar bangsa Rusia. saat Tentara Merah balik memukul mundur penjajah Jerman hingga menyerah di bukota mereka sendiri, Berlin. Beberapa ruas jalan ditutup untuk upacara peringatan itu. Beberapa kali aku turut me nyaksikan dan merasakan peringatan hari bersejarah ini. Tak ubahnya seperti peringatan 17 Agustus yang dulu kurasakan di Indonesia. Alu berdiri di depan Lapangan Merah, di dekat katedral St Basil yang terkenal itu. Moskva menjadi kota pembuanganku selama ini, tempat aku kehilangan kewarganegaraanku, terbuang dari negeriku, dan kehi langan orang tua dan sanak saudaraku. Saat ini matahari bersinar terang diatasku, matahari yang sama bersinar di tanah airku, menyinari orang tua sepertiku, yang memasuki masa senjanya menjadi orang buangan di negeri orang. Terimakasih Moskva. TAMAT Blitzkrieg :serangan kilat tentara Nazi Jerman pada Perang Dunia II
11
TentaraMerah : angkatan bersenjata Uni Sovyet/Rusia
12
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
189
Memori Panci Presto Oleh: Ari Lia Wulandari Entah sudah berapa lama Arin berdiam di rumah sejak kantor nya memberlakukan Work From Home alias bekerja dari rumah karena COVID-19. Baginya kini setiap hari adalah sama: Senin atau Jumat, pukul 6 pagi atau 6 sore, sudah tidak ada bedanya lagi. Di sisi lain, masa pandemi dan bekerja dari rumah ini menyebabkan meningkatnya intensitas kegiatan rumah, setidaknya bagi Arin. Contohnya adalah Arin jadi lebih sering mencuci dan merapihkan baju. Selain meningkatnya kegiatan rumah, Arin jadi sering membuka fol der lama yang ada di laptop, entah itu untuk merapihkan berkas-berkas yang berantakan, membuang ‘sampah‘, atau sekedar melihat-lihat ber bagai dokumentasi kegiatan terdahulu. Kemudian Arin menemukan satu folder dengan nama yang aneh: Panci Presto. Keningnya mengeryit, berusaha mengingat kejadian apa di masa lalu yang membuatnya berurusan dengan panci presto. Rasanya Arin tidak punya urusan yang perlu melibatkan dokumentasi panci presto dan menyimpannya di laptop. “Astagfirullah! Ahahaha…” Arin kaget sendiri melihat isi folder tersebut. Ternyata ‘Panci Presto‘ adalah folder berisi berbagai berkas dari tempat kerja pertamanya. Dia klik satu foto yang memuat potret dirinya dan rekan-rekan kerja nya. Dia lihat satu per satu wajah bahagia rekan-rekan kerjanya saat itu. Arin jadi ikut tersenyum. Ia kembali ke memori masa lalunya dua tahun yang lalu. *** “Ariiin! Lagi ngapain? Serius amat nonton laptop.” Terdengar suara nyaring seseorang dari arah pintu ruangan yang terbuka. Arin mene ngok ke sumber suara. “Eh, mas Pram. Kok ada di sini?” 190
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Pram berjalan masuk ke ruangan sekretariat. “Gue disuruh bos untuk bantu di sini. Katanya kasihan Arin, anak baru langsung disiksa.” Pram nyegir lebar. “Nanti Rama juga ke sini.” “Serius?! Alhamdulillah… Terima kasih ya Allah, sudah mengirimkan hamba sahaya lainnya untuk menemaniku kerja rodi. “Kata Arin drama tis sambil mengangkat tangan seperti sedang berdoa. “Jadi pengen sujud syukur nih.” “Lebay lu!” Pram kemudian mengambil satu bangku untuk duduk di samping Arin. “Bayaran gue mahal, Rin. Mumpung gue di sini, lu bisa manfaatkan kemampuan gue. Apa yang bisa dibantu?” “Jumawa sekali anda. Mentang-mentang senior...” Arin berkomentar sambil mengoper flash drive yang berisi berbagai berkas kerjanya. “Ini, mas,” kemudian Arin menjelaskan beberapa hal kepada Pram. Setelah wisuda sarjana, Arin bekerja di sebuah lembaga penelitian. Kedatangan Arin ke kantor itu ternyata bertepatan dengan kantor yang akan mengadakan ‘hajatan’ besar. Semacam kegiatan seminar dan konferensi tahunan untuk satu perhimpunan peneliti dan tempat Arin bekerja ini menjadi panitia penyelenggara untuk tahun ini. Jadi tidak heran ketika baru bergabung, Arin langsung disibukkan dengan berbagai hal. Di waktu-waktu tertentu, Arin merasa seperti makanan. Ia pernah merasa jadi tempe penyet, ayam geprek, dan ayam tulang lunak. Kali ini Arin merasa menjadi bandeng presto. Kalau sebelumnya sekretariat dirasa seperti ulekan—tekanan bertubi-tubi, maka kali ini seperti panci presto: panas dan bertekanan tinggi! “Undangan untuk sesepuh sudah diantar semua?” tanya bu Nung. Sesepuh adalah sebutan bagi para pendiri perhimpunan peneliti yang berkaitan dengan bidang kerja Arin. “Sudah, bu. Tapi ada beberapa yang tidak sampai karena alamatnya tidak ketemu. Mas Ahmad kemarin sudah mengantar ke kantor sesepuh, tapi kata satpam kantornya, sesepuh sudah pensiun. Mbak Tiara sudah tanya mas Alfa hari Jumat pekan lalu, bu. Sampai hari ini mas Alfa Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
191
belum kasih kabar. Mbak Tiara sudah cari alamat sesepuh di internet, tapi tidak ketemu.” “Saya barusan kontak Alfa. Sekarang kamu turun ke lantai 2, tanya Alfa!” Arin melirik beberapa teman yang ada di sekretariat, sepertinya tidak ada yang bisa menolong. Rama hari ini izin tidak datang ke kantor, Pram sedang sibuk dengan data di Excel, Ainun sedang belanja berbagai perlengkapan, Anita dan Sofi sedang membantu bu Wima di bagian keuangan. Baiklah, sepertinya memang Arin yang harus turun gunung ke ruangan mas Alfa di lantai dua walaupun tugasnya saat ini masih ba nyak yang menunggu untuk dikerjakan. Di ruangannya, mas Alfa tampak sibuk. Dia sedang menelepon sembari mengetik sesuatu di laptop. Dia melihat Arin dan memberi isyarat supaya menunggu sebentar. Arin menggangguk dan menunggu sampai mas Alfa selesai dengan panggilannya. “Disuruh bu Nung cari alamat sesepuh ya?” Tanya mas Alfa menghampiri Arin. “Iya mas. Hehe...” Arin meringis. “Sebentar ya. Saya belum dapat alamatnya. Ini baru dapat bebe rapa nomor telepon saja.” “Nggak apa-apa mas. Mendingan saya telat tapi bawa sesuatu da ripada kembali dengan tangan kosong.” Mas Alfa terkekeh. Di ruangan mas Alfa ada pak Arya dan mbak Tiara juga. Mereka berempat berdiskusi tentang persiapan acara. Mereka masih berdiskusi saat Arin mendapat pesan dari bu Dita untuk segera kembali ke sekretariat saat itu juga. Sebelum kembali ke atas, Arin mencatat dengan cepat beberapa nomor telepon sesepuh. “Ariiiin! Kamu ke mana saja sih? Kok lama banget?” “Saya kan, dari ruangan mas Alfa, bu. Ini dapat nom…” belum selesai Arin bicara, bu Nung sudah menyahut. 192
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Ini kamu terlalu lama, sampai-sampai alamat sesepuh sudah ketemu semua. Tinggal kirim undangannya saja!” Masih ada lanjutan dari kalimat ini tapi Arin tidak terlalu menyimak. “Kan, tadi ibu yang suruh saya ke ruangan mas Alfa,” kata Arin dalam hati, agak sebal. Setelah bu Nung kembali ke ruangannya, Arin memilih untuk duduk sambil mengatur pernafasan demi jiwa yang lebih tenang. Ia merasa lelah sekali karena rasanya banyak waktu terbuang sementara tugasnya masih banyak yang harus diselesaikan. “Rin, nanti kamu update moderator yang bisa hadir ya.” Instruksi lainnya dari bu Nung. “Saya cek tadi pagi jam 10-an, pak Bambang bisa hadir...” Belum selesai Arin dengan kalimatnya, bu Nung sudah menyambar lagi. “Nggak! Ada banyak, kok. Iya kan, Yu?” bu Nung meminta pembenaran dengan bertanya kepada bu Yayu. “Iya, ada banyak kok. Ada bu Hepi, terus ada siapa lagi itu. Nanti kamu cek email saja.” “Baik,” kata Arin singkat. Setelah bu Nung dan bu Yayu pulang, Arin membuka email untuk tugas tambahan tadi. Setelah update data mode rator dan mengirimkan laporan via email, Arin duduk di lantai dengan posisi bersandar pada meja, kaki diluruskan. “Rin, jangan tidur di sini. Pulang saja.” Pram menyuruh Arin pulang tapi kemudian malah memberinya sebotol minuman. Dia ikutan duduk di lantai, berhadapan dengan Arin. “Makasih, mas.” Mohon tenang, jangan ke-geer-an, Rin… Arin bermonolog dalam hati. “Kayaknya lu lagi nggak sehat, Rin. Harus banyak makan, lho, supaya nggak sakit.” “Ya gimana, mas. Mau makan saja susah banget kalau sudah di sini. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
193
Tau nggak mas…” “Nggak,” jawab Pram cepat memotong kalimat Arin yang belum tuntas. “Hahaha…” “Ish!” Arin kesal namun melanjutkan kalimatnya. “Tadi aku nggak buru-buru waktu di ruangan mas Alfa, biar ibu bos pulang dulu, baru aku balik lagi ke sini. Ternyata aku malah ditungguin.” “Hahaha... Bos-bos ini nggak tenang kalau nggak lihat kamu. Mereka mau kamu duduk di sini terus, stand by karena kamu yang paling tau semua urusan sekretariat. Secara, kamu yang terlibat dari awal.” “Kalau gitu mah, nggak mesti aku, mas. Semua orang juga dicariin bos. Mas Pram, Rama, bu Wima, bu Dita, bahkan pak Arya, pasti bakal diabsen satu-satu kalau nggak kelihatan.” Pram yang mendengarkan malah terkekeh. Dua hari sebelum kegiatan seminar dimulai, persiapan hampir lengkap. Buku panduan, backdrop dan spanduk kegiatan, nametag peserta dan panitia, sertifikat, dan banyak perintilan kecil lainnya. Semakin dekat hari pelaksanaan, semakin banyak yang disiapkan, semakin panjang durasi kerja Arin setiap harinya. Pulang larut malam dan lembur di akhir pekan sudah tidak aneh lagi—justru aneh kalau pulang tepat waktu. Walaupun begitu, Arin bersyukur karena sejauh ini semua persiapan aman. Berdasarkan pengalamannya di beberapa kegiatan misalnya kepantiaan acara di kampus, ada saja insiden-insiden yang tidak enak, bikin heboh, atau pun bikin panik. Arin berdoa semoga kegiatan ini lancar sampai selesai. Bu Dita: Mbak Arin, sertifikat untuk peserta sudah ditandatangani semua, saya simpan di sekret, di meja dekat pintu. Ada 400 lembar. Tolong ditambahkan stempel ya. Saya sudah kasih tau mbak Tiara juga. Terima kasih. Pram mengirim foto sertifikat yang sedang distempel ke grup Hamba Sahaya. Hamba Sahaya adalah nama grup Whatsapp untuk panitia ke194
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
giatan tanpa para bos. Setelah melihat foto tersebut, Arin ingin segera ke kantor untuk memastikan sesuatu. Arin segera bersiap dan pergi. Sesampainya di sekretariat, Arin melihat sertifikat yang dimaksud bu Dita. Sertifikat itu terbagi dalam dua tumpukan. Tumpukan yang tinggi dan tumpukan yang lebih rendah. Tumpukan yang tinggi ternyata belum distempel sedangkan tumpukan yang lebih rendah sudah distempel. “Kok kayaknya ada yang aneh ya? Hmmm…” Arin mengamati sertifikat dengan saksama. “Astagfirullah! Ada yang salah kasih stempel!” Seketika Arin panik namun ia berusaha untuk tetap tenang. “Duh, gimana ini?” Di tengah kebingungannya, Rama kemudian datang. Dia meletakkan tasnya di atas meja dekat Arin. “Sertifikatnya gimana, Rin? Banyak yang belum distempel ya?” “Iya, Ram. Tapi ini nih,” Arin menunjuk-nunjuk sertifikat yang dipegangnya. “Ini stempelnya salah nggak siiih?” “Lah, bener! Eh maksud gue, iya ini salah. Harusnya stempel kegiatan di atas tanda tangan ketua pelaksana, bukan di bagian ketua perhimpunan. Perbuatan siapa nih?” “Aku juga nggak tau. Tadi di grup Hamba Sahaya, mas Pram kirim foto Anita lagi nge-stempel ini. Mungkin maksudnya pada mau bantu, tapi nggak perhatikan stempel yang dipakai.” Arin mengusap wajah dengan sebelah tangan. “Tapi ini sudah ada tanda tangan profesor Hadi. Bu Dita bilang, kemarin sertifikatnya diantar ke rumah prof terus beliau tanda tangan semuanya satu per satu. Nggak mungkin kita minta tanda tangan ulang. Prof kan lagi sakit.” “Lu ada rencana?” “Cetak ulang saja ya? Uang sekretariat masih banyak sih. Nanti saja ngakunya kalau sertifikat sudah ada gantinya. Yang penting sertifikat aman dulu, hari ini atau besok sudah ada gantinya.” Sambil tengok kiri kanan untuk memastikan tidak ada orang lain yang mendengar, Arin Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
195
mengecilkan volume suaranya, “tanda tangan prof pakai yang digital saja, nggak apa-apa kan?” “Nggak ngaku juga nggak apa-apa kok. Ini insiden yang nggak harus orang lain tahu. Bos nggak akan periksa sertifikat ini lagi, jadi cuma kita yang tahu,” jawab Rama supaya rekannya tenang. Belakangan terungkaplah tersangka dari insiden salah stempel ini adalah Pram dan Anita. Kalau kasus ini mau dibuka lagi pasti akan heboh, tapi Arin memilih untuk menutup kasus. Tak terasa siang berganti malam. “Jangan terlalu rajin, gaes. Besok masih ada waktu untuk lembur. Mari kita pulang.” Rama mengajak pulang Arin dan Ainun yang ke sekretariat juga. “Sebentar, aku cuci tangan dulu, mas,” sahut Ainun menimpali ucap an Rama. Tak lama kemudian Ainun kembali dari dapur kecil yang ada di dalam sekretariat. “Nggak jadi cuci tangan. Kerannya mati.” “Oh, ya sudah, cuci tangan di bawah saja.” Satu hari sebelum acara dilaksanakan, semua perlengkapan kegi atan diangkut ke venue. Anggota Hamba Sahaya janjian untuk datang ke sekretariat pukul 4 sore untuk mengangkut semua barang. Arin sendiri berencana ke kantor pukul satu siang karena perlu mengurus kelanjutan sertifikat yang dicetak ulang. Pukul 11 siang Arin mendapat pesan singkat dari Sofi. Sofi: Mbak Ariiiin! Sekretariat kebanjiran. Kayaknya semalam ada yang buka keran dapur tapi nggak ditutup lagi. Arin: Hah??? Gimana Sof??? Bisa difoto nggak? Parah banget? Sofi: Mbak ke sini mbaaak. Saya bingung. Parah banget, mbaaaak. Arin: Kamu sama siapa? Saya hubungin Rama dan mas Pram. Kamu minta tolong yang lain juga ya. Sofi: Saya sendirian. Iya mbak. 196
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Seketika seperti ada bom yang meledak dan mengacaukan segala nya. Bayangan air yang memenuhi lantai ruangan langsung muncul. Ta ngan Arin agak berkeringat. Arin segera menghubungi Rama sembari ia bersiap untuk segera ke sekretariat. Ketika dihubungi, Rama ternyata sedang jauh dari kantor karena sedang ada urusan. Arin segera menghubungi yang lain. Tak perlu waktu lama, teleponnya dijawab. “Mas Pram, Bisa ke sekret sekarang? Kata Sofi, sekret kebanjiran.” Arin berbicara dengan cepat tanpa bertanya Pram sedang di mana karena panik. Pram langsung menjawab, “oke, gue ke sana.” Setelah bersiap, Arin segera menuju ke kantor. Arin tak habis pikir, kenapa di waktu kurang dari satu hari lagi malah terjadi “bencana alam‘? Kemarin salah stempel sertifikat, sekarang banjir. Dia sudah pasrah saja dengan apa yang akan dilihatnya di kantor nanti. Belakangan ini air di kantor memang sering mati jika sudah lewat pukul 6 sore sehingga jika keran air lupa ditutup, terkadang tidak ketahuan. Semalam mereka yang terakhir meninggalkan sekretariat pukul delapan malam. Arin yakin sekali tidak membuka keran dapur karena ia bahkan tidak berjalan ke sana. Sebenarnya Arin sangat ingin menebak siapakah tersangka kejadian ini, tapi ia tunda karena yang terpenting sekarang adalah mengamankan sekretariat secepatnya. Hampir pukul dua belas siang saat Arin tiba di lantai 3 kantornya. Di dalam sekretariat sudah ada beberapa rekan senior dari lantai 4 sedang memegang gagang pel dan kain untuk mengeringkan ruangan. Pram sedang memeras kain pel di pojokan. Melihat barang-barang yang sudah diamankan di atas meja, Arin segera memeriksanya. Buku panduan, plakat, berbagai display, malai sorgum, dan lain-lain, semuanya basah. Kini Arin punya tugas dadakan yang tidak ada dalam to do list-nya untuk secepatnya membereskan semua kekacauan akibat banjir. Saat sedang mengeringkan barang-barang di dekat mesin keluaran AC, seseorang mengagetkannya.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
197
“Arin lagi ngapain?” “Astagfirullah! Mas Pram, kukira bos! Pusing nih aku takut ketahuan sekret banjir…” “Alhamdulillah barang-barang masih banyak yang selamat. Tapi hampir jadi sop nih.” “Hah? Gimana maksudnya?” Arin masih belum paham maksud Pram. “Soalnya ini panci prestonya kebanyakan kuah. Kamu bilang sekre tariat kayak panci presto, kan?” Mas Pram malah memasang senyum jahil. “Mas Pram…” Arin sudah tidak bisa berkata-kata. Ia lelah, ingin menangis, tapi malu sekali. “Makasih ya mas. Maaf jadi pada repot. Sampai ngajak senior dari lantai 4 gini.” “Gue tadi memang lagi di lantai 4 sama yang lain. Hahaha…” Entah apa yang dia tertawakan: banjir ini, wajah Arin yang tampak melas, atau nasibnya sendiri sebagai senior tapi malah memegang kain pel. “Sudah, Rin, nggak apa-apa. Anggap saja ini ritual penyucian diri dari dosa. Eh, bukan penyucian diri, tapi penyucian kantor. Hahaha…” Tawa Pram yang renyah ternyata menular. Arin ikut tertawa. Rekan kerja Arin yang menjadi panitia kegiatan ini sebagian besar adalah para pria yang fleksibel dalam bekerja. Tidak ada drama-drama yang membuat semuanya malah jadi rumit. “Ngantuk tinggal tidur, lapar tinggal makan, kena banjir tinggal dipel, barang basah tinggal dikeringkan,” begitu kata mereka. Sesimpel itu. Pukul tiga sore akhir nya ruangan selesai dibersihkan. Memang masih ada bekas-bekas “bencana alam‘, tapi tidak terlalu kentara jika dibandingkan dengan tiga jam sebelumnya. Lantai masih sedikit basah, beberapa barang masih perlu dikemas ulang. Tanpa diskusi panjang, semuanya saling paham bahwa ini adalah rahasia. Hari yang dinantikan akhirnya datang. Arin rasanya ingin menangis, terharu karena dua hari pelaksanaan di venue berjalan dengan lancar. 198
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Di hari pertama setelah selesai evaluasi dan briefing untuk besok, Arin segera menuju kamar hotel yang sudah disewa untuk panitia. Hari kedua, Arin bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Butuh waktu beberapa saat untuk membuatnya lebih baik. Sama seperti hari sebelumnya, hari kedua berjalan lancar. Setelah acara resmi ditutup, Arin dan rekan-rekan yang menjadi panitia berfoto beberapa kali. Setelah berfoto, para bos berkeliling menyapa panitia dan semakin dekat ke arah Arin. “Arin, selamat ya, acaranya berjalan lancar…” Arin tidak bisa menangkap lanjutan kalimat bu Nung karena ia kaget bu Nung tiba-tiba menyapa dan cipika-cipiki (cium pipi kanan-kiri). Bahkan setelah bu Nung beralih ke yang lain, Arin masih bengong. Pram yang membawa sebotol air minum berjalan menghampiri Arin dengan wajah geli. “Rin, wajahnya biasa saja dong.” Sambil berdiri di samping Arin, mas Pram membuka segel plastik dan memutar tutup botolnya. “Eh, memangnya wajahku kenapa?” Arin refleks menyentuh wajah nya. “Kelihatan kaget banget waktu diajak salaman sama bu Nung,” ujarnya kalem. Tangannya kemudian terulur ke arah Arin. “Nih, hadiah buat Arin sang kuncen sekretariat.” “Makasih loh, mas. Tapi kalau kasih hadiah tuh jangan tanggungtanggung. Ini mah air minum gratis dari sini,” kata Arin pura-pura sebal tapi tetap menerima air minum dari Pram. “Arin, nanti pulangnya sekalian balikin barang ke sekret ya,” kata bos dari jarak agak jauh. Arin dan Pram yang mendengar itu kemudian saling lirik. “Siap 86! Hahaha…” *** Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
199
Setelah melihat-lihat isi folder bersejarah tersebut, Arin menutup semua aplikasi dan mematikan laptop. Ia jadi rindu masa-masa itu. Walaupun Arin tidak lagi bekerja di sana, Arin masih menjalin komunikasi dengan rekan-rekannya terutama yang terlibat dalam mitigasi bencana alam dan kejadian konyol lainnya yang ditangisi saat itu namun diter tawakan saat diingat kembali. Hari ini Arin tersenyum lebar atas memori Panci Presto.
200
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Menyadari Dirimu Berada di Balik Pintu Oleh: Muhammad Firdaus Rahmatullah Menyadari dirimu berada di balik pintu, membuatku berpikir kau pasti sedang menungguku. Memang tidak ada yang mengatakannya padaku jikalau kau akan datang. Namun aku tahu dari aroma tubuhmu yang menguar tatkala aku sedang mandi, membersihkan tubuh dengan handuk, lantas mengenakan pakaian terbaikku meski kenyataannya hanya kaos oblong berwarna hitam dan celana jeans coklat tua dan sepatu kets yang masih baru. Ya, baru. Ini kali pertama aku mengenakan sepatu setelah terakhir kali mengenakannya ketika lulus SMA. Bahkan ketika kuliah pun aku selalu mengenakan sandal gunung hingga berkali-kali dosen menegurku dan aku selalu mengabaikannya. Aku telah lulus dua tahun lalu dan semoga saja aku masih ingat cara memakai sepatu. Aku selalu terburu-buru setiap punya janji dengan siapa pun. Termasuk denganmu. Dulu, ketika umurku tujuh tahun, aku mulai berjanji untuk menjadi anak yang patuh dan berbakti kepada orang tua. Aku mencatat janji itu di sebuah buku khusus yang kuberi nama BUKU JANJI dengan huruf besar-besar di sampul mukanya. Aku beriktikad, buku itu akan menjadi bukti janji-janji yang kucatat seorang diri meski ustaz diniyyahku berkata bahwa semua janji telah dicatat oleh dua malaikat di kanan dan kiriku. Namun, manusia adalah makhluk yang niscaya dengan salah dan lupa. Buku itu raib entah di mana. Waktu itu usiaku menginjak lima belas dan masih ada beberapa janji yang kucatat di buku itu yang belum kutepati. Aku lupa janji-janji apakah gerangan. Tentu aku tidak bisa bertanya pada malaikat di kanan-kiriku untuk membacakan janji-janji apa saja yang telah kuikrarkan dan belum sempat kutunaikan. Tentu hal itu musykil dan kini aku menyesali kecerobohanku. Aku belum menjadi anak yang baik.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
201
Sejak saat itu, aku selalu tidak bisa menahan diri untuk lekas menyelesaikan apa-apa yang hendak kukerjakan—maksudku, apa-apa yang kujanjikan. Semua selalu dengan segera. Tanpa pernah kutunda. Begitu pun dengan membuka pintu barusan, aku merasa kau hendak membunuhku—dengan bermacam cara dan alat—andai saja aku terlambat. Kenyataannya memang tidak demikian. Dan, aku merasa, setiap aku berjanji dengan seseorang, aku harus menepatinya. Bagaimanapun caranya. Sebab, seperti yang diajarkan ustazku, janji adalah sama de ngan hutang. Kau tidak segera masuk. Kau mengedarkan pandangan. Mungkin kau merasa seolah rumah ini bukan rumahmu setelah melihat sekilas. Kau seperti asing sendiri mendapati dirimu di balik pintu ketika aku telah rapi dan membukakan pintu untukmu lantas mempersilakanmu masuk. Kau masih termenung di situ. Terpaksa aku sedikit merayumu— memaksamu tepatnya. Setelah kau letakkan payung dan mengelap jaket hitam waterproof yang kau kenakan dari sisa air hujan, kau masuk dengan gamang dan penuh kewaspadaan. Kau duduk di ujung sofa dan sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ke setiap sudut ruang tamu. Memang, tidak ada yang berubah dari dekorasi rumah ini. Tetap dengan sofa panjang coklat tua bergaris-garis coklat muda yang di bawahnya dialasi karpet murahan pemberian saudaraku. Di depannya terdapat bufet dengan televisi kotak 21 inci—juga pemberian saudara ku. Ada deretan foto di dindingnya: fotoku dan fotomu ketika wisuda sarjana, foto kita berdua di depan sebuah mal yang tidak jadi kita masuki, fotomu sendiri di sebuah taman dengan air mancur yang tidak begitu tinggi (aku lupa itu di taman mana), dan kebanyakan foto-fotomu dalam beragam gaya dan penghargaan ketika masih sekolah (waktu itu kau begitu kurus). Juga, terdapat rak buku di sisi kiri ruang tamu (sebab di sisi kanan adalah pintu masuk tadi) dan vas bunga plastik. Tapi aku merasa kau masih merasa asing dengan itu semua.
202
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Apakah cat ruangan yang kuganti putih agak kebiruan ini yang membuatmu merasa asing dengan rumahmu; rumah kita? Ah. Iya. Kau menyukai warna coklat. Dulu kau memberitahuku bahwa warna itu menunjukkan kesederhanaan, kepolosan, dan tanah. Warna bumi, ujarmu, supaya kita tetap mengingat di mana kita sepatutnya berpijak. Juga dari mana kita berasal. Dress yang kau kenakan sekarang pun juga berwarna coklat (tampak menyembul dari balik jaketmu). Sesungguhnya inilah saat yang kunantikan. Setelah bertahun-tahun kita berpisah, rumah ini terasa hambar dan hidupku menjadi tawar. Semua yang kulakukan seperti kekosongan yang sebenar-benarnya kosong. Perasaanku bolong-bolong dan melompong. Kau tahu, kepergianmu beberapa tahun silam seakan menjebakku ke dalam kesunyian yang tak ketulungan. Aku sendiri dan tiada teman, meski sering kusangkal bahwa sebenarnya kita sedang berhadap-hadapan. Saban hari, kucoba membaca membaca koleksi bukumu yang dulu tidak sempat kau bawa, di antaranya Dengarlah Nyanyian Angin, Mencari Titik Pusat: Dua Narasi, The Adventures of Tom Sawyer, dan Trilogi Granada. Kebanyakan novel terjemahan meski ada juga novel-novel lokal. Sebab cita-citamu adalah memenangkan Nobel Sastra. Untuk itu kau mesti belajar dari karya-karya penulis luar negeri—meskipun itu terjemahan. Sementara aku belajar membaca dan menyukai buku-buku koleksimu itu. Tiba-tiba kau menyalakan lagu Some Type of Love-nya Charlie Puth. Di luar, ricik air hujan masih terdengar meski tak begitu deras. Aromanya bercampur tanah di pekarangan dan udara dingin belum begitu mera yap dingin. Hujan menjelang tahun baru, begitu dulu kau menyebutnya, sebab di akhir Desember hujan selalu turun dan terkadang menyebabkan banjir. Kau duduk kembali di kursimu. Kau belum juga melepaskan jaketmu ketika kuhidangkan teh madu hangat dan beberapa cracker yang cukup lama kusimpan di kulkas (semoga belum kedaluwarsa). Kini kau mengamatiku dari ujung kepala hingga pangkal kaki. Aku sedikit risih namun kuabaikan lantaran dulu kau selalu melakukan hal serupa setiap kali aku selesai mandi dan ganti Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
203
baju dan hendak keluar rumah. Kau akan meneliti setiap detil tubuhku dan baju yang kupakai, adakah kekurangan atau cacat atau hal serupa itu. Kau tak ingin aku terlihat buruk di mata orang. Tapi itu dulu, sebelum semua terjadi tanpa sedikit pun kita kehendaki, dan sesal kini melingkupi di relung hati. Setelah mencecap teh, kau memutari ruang tamu yang bersekat kelambu berwarna kopi-susu dengan ruang makan. Kau mematung di antara ruang itu, menghirup napas dalam-dalam lantas mengempaskannya seolah bosan. Kau pasti berpikiran sama denganku. Di ruang makan itu, kita pernah bertengkar hebat sebelum kau pergi dengan hanya membawa beberapa pakaian dan buku di dalam tas ransel bodypack. Dan aku tidak bisa—tidak mau tepatnya—menghentikan langkahmu meski sebenarnya jauh di lubuk hatiku menginginkanmu tetap tinggal. Itulah kesalahan terbesarku yang tidak bisa kumaafkan hingga kini. Seharusnya malam itu aku segera pulang sebelum Marni berhasil meloloskan diri dari kamar tidur yang kau kunci dari luar. Jika bukan menuruti ego mengunjungi kahwaji di seberang stasiun lantaran pekerjaan yang belum juga kuperoleh, tentu perang mulut itu tidak perlu terjadi dan kau tidak perlu pergi. Marni memang tidak bersalah. Tentu saja. Umurnya yang menginjak enam tahun masih belum mampu mencerna pikiran dan keinginan orang dewasa macam kita. Kau yang terlalu obsesif dengan pekerjaan menulismu sehingga abai dengan keberadaannya, sementara aku seorang sarjana pengangguran yang gemar menghabiskan waktu di warung kopi dan ceroboh menikahimu. Ya, anggap saja aku ceroboh. Dulu, aku menikahi mu, dengan keyakinan, bahwa aku akan membahagiakanmu dengan caraku sendiri. Terlebih ketika Marni lahir, aku kian gusar menumpuk beberapa kebahagiaan palsu denganmu. Kecerobohan itu kian menggunung sebab aku tidak punya penghasilan tetap sehingga tidak mampu meyakinkanmu bahwa aku benar-benar menikahimu dan akan membahagiakanmu sepenuh hidupku. Janjiku padamu seperti kabut dalam gelap dan menggumpal di langit malam. Tiada sebersit caha204
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
ya bintang yang datang lantas menyingkirkan kemuramannya. Sebuah janji yang tidak pernah kutepati. Tentu saja anggapanmu dulu benar perihal minuman hitam itu mengandung racun. Racun kafein yang menenggelamkanku berlama-lama dengannya tinimbang menghabiskan waktu bersamamu dan Marni. Ya. Lagi-lagi harus Marni yang jadi korban keegoisanku, juga kau. Aku tidak pernah mengajaknya bermain di taman, memilihkan baju yang cocok dikenakan, membantunya mengerjakan PR, atau membacakan nya dongeng sebelum tidur. Betapa hari-harinya penuh kesendirian dan tanpa belaianku sebagai ayah, sebagai teman, sebagai penuntun masa depannya. Dan, kau pun mengungkit-ungkit kisah seorang kawan yang mesti menyerahkan nyawanya pada racun bernama sianida lantaran tidak becus menjadi kawan yang baik. Barangkali kau ingin aku mati bersama kopi yang dicampur zat kimia itu. Tentu mudah saja bagimu me ngaduknya ke dalam kopi yang kau hidangkan saban pagi, sebab pada jam segitu aku masih terlelap usai semalaman bermain domino di gardu poskamling. Aku memang pecandu kopi. Aku juga gemar berjudi. Tapi tidak ada satu pun yang bisa menyelamatkan semua yang telah terjadi, bukan? Senja telah lingsir. Malam mulai merayap menggantikan siang yang sedari tadi diguyur hujan. Hawa dingin mulai meringkus tubuh kita. Tentu kau lapar. Ini memang waktunya makan malam. Akan tetapi, di kulkas yang tersisa—selain cracker tadi—hanya telur, roti tawar, dan minuman bersoda beragam merek. Tidak ada selai. Aku malu membuatkanmu makanan dari bahan-bahan tersebut. Seperti membaca kerisauanku, kau segera mengambil smart phone dari balik saku jaketmu, mengorder beberapa fast food dari sebuah restoran cepat saji terkenal. Barangkali kau menyadari waktunya makan malam dan kau juga tahu di dalam kulkas selalu tak ada aneka Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
205
makanan—selain yang kusebut tadi. Lamat-lamat terdengar lagu Charlie Puth yang lain, Up All Night. Beberapa puluh menit kemudian pengantar makanan datang. Ternyata kau memesan beberapa potong ayam goreng, dua porsi nasi, kentang goreng, dan burger. Tak ada pilihan lain bagiku selain memakan junk food itu. Semenjak kepergianmu, aku mulai mengurangi makan mie instan dan makanan instan lain. Entah mengapa sejak itu pula aku mulai memperhatikan pola makan dan kesehatanku. Aku juga mulai rajin jalan pagi meski tidak setiap hari. Sulit bagiku menghilangkan kebiasaan begadang dan baru bangun ketika matahari sudah muncul sama hal nya dengan sulitnya menghilangkan kebiasaan minum kopi. Tampaknya kau masih menggemari makanan itu sebagaimana awal pertemuan kita. Makanan itulah yang sanggup kutraktir untukmu di hari jadi pertama hubungan kita. Dan masa itu adalah masa di mana bunga-bunga masih harum dan bermekaran di relung terdalam ruang hati kita. Barangkali, kenangan memang selalu diciptakan demikian. Kita cukup menikmati makanan yang kau pesan dan tak terasa menghabiskan itu semua diakhiri dengan minum minuman dingin bersoda sampai habis beberapa kaleng. Kurasa ini adalah malam terbaik dibandingkan malam-malam kita bersama tempo dulu. Aku tidak ingat kapan kita pernah makan bersama senikmat dan sebahagia ini, seakanakan segala duka lara larut dalam satu malam dan semua kesalahan terkubur di tempat yang tepat. Dan kau mulai bersendawa. Sejujurnya aku menyadari apa yang asing bagimu sedari tiba tadi— apa yang hilang tepatnya. Foto-foto Marni tidak ada di bagian dinding mana pun lantaran sengaja kusembunyikan dan kusimpan di sebuah lemari khusus barang-barangnya di dalam kamarnya. Aku tidak ingin dengan melihat gambar dirinya semakin membuncahkan kesalahanku terhadapnya. Kamarnya pun tidak pernah kudekati. Andai saja dulu aku menjadi anak yang baik, tentu kini aku akan menjadi ayah dan orang tua yang baik pula. 206
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Ia anak yang baik, begitulah kesaksian guru-gurunya. Ia anak yang baik, demikianlah pengakuan teman-teman sekelasnya. Ya. Tentu kau ingat, hari ini adalah ulang tahun Marni keenam belas. Tepatnya, peringatan sepuluh tahun kematiannya. Andai kata kita tidak terlalu posesif mengungkung keinginannya untuk belajar apa pun. Jika saja kita memberinya kebebasan melakukan hal-hal yang menurutnya baik. Kalau saja malam itu kita ingat ulang tahunnya dan mengucapkan selamat seraya memberikan ciuman hangat. Tentu Marni tidak akan meloloskan diri dari kamar yang kau kunci dari luar, menyelinap melalui jendela, dan paginya kau menemukannya tergantung di dahan pohon waru. Di luar masih gerimis. Semalaman kita tidak saling bicara. Hanya pelukan panjang nun rapat yang mewakili gemuruh rasa. Kulihat, air matamu mengalir tanpa sesenggukan. Tidak terasa, mataku tiba-tiba berleleran hangat. Dan kita pun tidak menyadari, sesungguhnya Marni berada di balik pintu. [*]
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
207
Miracle in December Oleh: Della Ananda Dengan berani aku melangkahkan kaki mendekat pada pusara makam orang yang sangat aku cintai itu. Tanpa aku sadari, air mata sudah mengalir membasahi pipiku. Aku berusaha membuat lengkung senyum di bibir meski harus kupaksakan. Bagaimana mungkin aku memperlihatkan kesedihanku padanya. Aku perkenalkan kepada kalian orang yang ku maksud itu adalah suamiku, suami yang sangat aku cintai dan sangat aku rindukan keha dirannya. Hanya 2 tahun kita hidup bersama sebagai sepasang suami istri. Dan kini aku sudah berada di hadapannya dan kita sudah berbeda dunia. Sungguh, rindu ini kembali memberontak. Dengan suara yang bergetar aku pun mulai menyapanya. “Sayang, bagaimana kabarmu di sana? Apa kamu bahagia? Aku yakin Tuhan pasti memberimu tempat terbaik-Nya.” “Malaikat kecil kita sudah lahir, kini dia sudah berusia 2 tahun, dia perempuan yang manis dan cantik. Aku akan menjadikannya perem puan hebat, dia akan membuat kita bangga padanya.” Ujarku lirih padanya. Aku tidak sanggup berkata apa-apa lagi sekarang. Aku hanya bisa menangis. Kejadian menyedihkan itu kembali muncul di pikiranku. Flashback on Rutinitas pagi, aku sudah berada di dapur menyiapkan sarapan untuk suamiku. Aku sangat bersemangat. “Sayang, mau sarapan sama apa?” tanyaku sembari berteriak, bukan tanpa sebab aku berteriak pasalnya suamiku itu sedang berada di kamar mandi. “Apa saja yang kamu masak, aku makan kok” ujarnya juga berteriak membalas pertanyaanku. 208
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Di dapur aku hanya senyum-senyum mendengar jawabannya. Suamiku berhasil membuatku malu. Aku pun berinisiatif membuatkan nasi goreng dan telur goreng untuk sarapan suamiku. Aku belum terlalu pandai memasak, aku hanya bisa masak masakan yang ringan-ringan saja. Tapi beruntungnya aku, mendapatkan suami seperti dia yang tidak menuntut istrinya harus bisa masak. Justru kadang suamiku yang memasak untuk makan kita berdua. “Mana sarapannya, aku sudah terlambat bekerja?” tanyanya padaku. Suamiku bekerja di PLN. Setiap hari dia harus naik turun tiang listrik. Dia berangkat pagi dan pulang sore begitu saja setiap hari. Selesai makan, dia pamit untuk berangkat kerja. Aku pun tak lupa untuk mencium tangannya. Dia pun membalas dengan mencium dahiku, lalu dia turun tepat di depan perutku dan berkata, “Sayangnya papa baik-baikya, jangan bikin mama susah, papa mau kerja dulu cari uang buat kamu. Papa saying kamu dan mama.” Lalu suamiku mencium perutku sekilas. Aku pun mengantarnya sampai depan rumah, dan melambaikan tangan padanya. Aku memperhatikan punggungnya sampai hilang dibelokkan jalan. “Kenapa perasaanku hari ini tidak enakya, semoga saja tidak terjadi apaapa.” “Sekarang aku harus bersiap-siap.” Ucapku pada diri sendiri. Hari sudah semakin sore, dan seperti biasa aku menunggu suamiku di depan rumah. Sudah hamper 30 menit. Aku mulai khawatir sekarang. Biasa nya suamiku pulang jam 16:00 sore, sekarang sudah lebih 30 menit tapi dia belum juga pulang. Tak lama aku lihat ada motor yang berhenti di depan rumah, ku kira itu suamiku tapi ternyata itu mamaku, dia dating Bersama kakak laki-lakiku. Aku heran, mama tidak biasanya sore-sore ke rumahku. Dan juga kenapa raut wajah mamah terlihat cemas. Aku pun memberanikan diri bertanya padanya. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
209
“Tumben mama sore-sore kesini, ada apa mah?” Tanyaku penasaran, entah kenapa perasaanku semakin tidak enak saja. Tanpa aba-aba mama langsung memelukku erat sangat erat. Aku pun membalas pelukannya tak kalah erat. Tak lama aku mendengar suara isak tangis mama. Aku semakin penasaran kenapa mama nangis. “Mama nangis, kenapa mama nangis? Mama baik-baik saja kan?”. Ta nyaku tapi tak ada jawaban, yang kudengar hanya suara tangis mama yang semakin kencang. Kakak laki-lakiku hanya bisa melihat interaksi aku dan mama. Aku pun bertanya pada kakak laki-lakiku, “Kak mama kenapa nangis?”. Tanyaku penasaran dibuatnya. Terdengar helaan nafas berat sebelum akhirnya kakak menjawab, “Suami kamu, suami kamu di bawa ke rumah sakit sekarang. Dia pingsan waktu lagi membetulkan aliran listrik” Jawabnya, aku sangat terkejut pasalnya tadi suamiku baik-baik saja saat berangkat kerja. Dia sama sekali tidak terlihat sakit. Tanpa aku sadari aku sudah menangis dipelukan mama, mama mengelus lembut punggungku mencoba menenangkanku. Tapi jujur, aku tidak bisa tenang sekarang. “Ayo mah, ayo kita ke rumah sakit sekarang!”. Pintaku memaksa. Mama pun mengiyakan ajakanku. Sekarang aku sedang di jalan menuju rumah sakit Bersama keluargaku yang lain. Di jalan aku hanya menangis, aku benar-benar cemas. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada suamiku. Semoga saja ya Tuhan. Butuh waktu 1 jam untuk sampai di rumah sakit yang dituju dan sekarang sudah menunjukkan jam 17:50 sore. Aku pun langsung keluar dari mobil dan berlari tanpa menghiraukan perkataan mama yang menyuruhku untuk tidak berlari karena aku sedang mengandung, yang ada dipikiranku sekarang hanya keadaan suamiku. Itu saja. 210
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Sekarang aku sudah berada di meja resepsionis. Saat aku hendak berta nya, tiba-tiba datang seorang suster dan suster itu bertanya kepada penjaga resepsionis di depanku.. “Apakah ada keluarga pasien yang datang?”, tanya suster itu. “Jika ada tolong tanyakan apakah orang yang dia cari menggunakan baju petugas PLN”. Dengan cepat aku pun langsung bertanya pada suster itu dan mengatakan bahwa aku adalah istri dari petugas PLN yang dia maksud. Tak lama keluargaku yang lain juga datang. “Jadi kalian keluarga pasien itu”. Ujar suster. Kami pun mengangguk mengiyakan. “Dia sekarang berada di ruang ICU” “Bagaimana keadaannya? Dia tidak apa-apakan? Tidak ada yang seriuskan?”. Tanyaku bertubi-tubi. Terlihat raut wajah suster itu berubah suram, seperti ada sesuatu yang sulit untuk dia katakan. “Kenapa suster diam saja, jawab pertanyaanku!”. Aku sudah emosi di buatnya. Mama mencoba menenangkanku. Aku sudah menangis sedari tadi. Aku tidak memikirkan penampilanku saat ini. “Maaf saya harus memberitahu kabar yang tidak enak kepada kalian,” “Pasien yang saya maksud tadi, dia sudah meninggal, dia meninggal jam 17:45. Dan ini,” Suster itu memberikanku sepucuk surat dan aku langsung mengambil surat itu, suster itu Kembali bersuara, “Sebelum pasien menghembuskan nafas terakhirnya, pasien menyuruhku memberikan surat ini pada istrinya.” Dengan tergesa-gesa aku pun mulai membuka dan membaca isi surat itu, air mataku benar-benar sudah tidak bisa terbendung. Keluarga yang lain pun tak kalah histeris, bagaimana tidak suamiku orang yang sangat baik. Aku berlari menuju ruang ICU sekarang, aku membuka paksa pintu rua Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
211
ngan bernuansa putih itu. Dan sosok itu sekarang terbaring lemah diranjang pasien. Melihatnya membuatku sesak untuk bernafas apa yang harus aku lakukan. Seketika aku merasa Tuhan tidak menyayangiku, aku merasa Tuhan tidak adil padauk dan calon anak dalam rahimku. Disinilah aku, duduk bersimpuh di samping pria yang kucintai. Flashback off Hari itu, seharusnya menjadi hari yang bahagia. Hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke 2. Tapi bukan senyum yang me nyambut justru malah tangisan dan doa duka yang menyelimuti. Aku masih ingat, saat pertama kali memberitahu kabar tentang kehamilanku padanya. Dia terlihat sangat bahagia, dia bahkan sampai mengeluarkan air mata. Aku tahu dia sangat mencintaiku. Dan pada saat kepergiannya bahkan kandunganku masih berusia 3 bulan. Menyedihkan sekali jika harus membayangkan anak ini akan lahir tanpa se orang ayah. Aku kembali mengeluarkan air mata. Aku pun mengeluarkan kertas dari tasku. “Kamu masih ingat dengan surat ini, suamiku. Surat terakhir yang kamu berikan untukku”. “Aku masih menyimpan baik surat itu”. Aku mulai membuka kembali surat itu dan membaca isinya, “Kenapa harus sekarang, padahal masih banyak hal yang inginku lakukan bersamamu. Kamu pasti sangat terkejutkan. Maaf membuatmu sedih. Dan terima kasih sudah mau menjadi pendamping dari orang biasa sepertiku. Jadilah ibu terbaik untuk calon anak kita. Jadilah ibu terkuat, ibu yang selalu ada di sampingnya kala dia sedih dan bersedia menjadi sosok ibu dan ayah untuknya. Aku mencintaimu istriku.” Setelah aku membaca surat itu, ada dengar suara anak kecil memanggil dari arah belakang, aku pun membalikkan badan dan melihat putriku. Dia terlihat sangat gembira di pelukan mamaku. 212
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Mama ayo cepat, Kayla mau es krim strawberry!”. teriaknya dari kejauhan. Aku sengaja tidak membawanya karena dia masih terlalu kecil. “Iya sayang mama sudah selesai kok”. Jawabku. Sebelum pergi, aku pamit pada suamiku. “Sayang, kau dengar suara putrimu tadi kan. Aku harus pergi sekarang, nanti aku akan mengunjungimu lagi. Sampai nanti, aku mencintaimu suamiku” Ucapku lirih. Aku pun berjalan menjauh, aku melihat putri ku tersenyum melihatku yang mendekat padanya. Dalam hati aku berkata, “Terima kasih Tuhan, kau memberikanku malaikat kecil yang manis. Aku berharap Tuhan akan selalu melindunginya. Anggota baru dalam keluarga kecilku lahir pada bulan Desember. Dan dia merupakan keajaiban di bulan Desember ku. Aku berjanji akan menjaga malaikat kecilku, dan menjadi sandaran kala dia sedih.” The end.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
213
Motor Butut Oleh: Eka R. Utami Sejak tiga minggu lalu Rumah Sakit Pelita padat oleh pasien Covid-19 sehingga banyak pasien yang harus menunggu ruang perawatan kosong. Tidak terkecuali bagi seorang perempuan biasa yang sudah dua hari ini harus menunggu giliran mendapat ruang perawatan untuk ayahnya. Sampai akhirnya di hari ketiga ia bisa bernapas lega, ketika seorang pria berpakaian APD lengkap datang membantunya. Tidak ada yang bisa dikenali dari balik seragam hijau-hijau dengan masker beserta face shield dan sarung tangannya. Begitupun suara yang terhalang berlapis-lapis kain yang kadang terdengar samar. Namun ada yang tidak asing bagi perempuan itu, ketika pria berpakaian APD tadi mengajaknya ke tempat parkir. “Neng masih ingat dengan mobut ko?” Tidak pernah terbayang oleh seorang Lintang Kemukus untuk bisa bertemu sosok itu lagi. Kemudian sosok itu membuka satu per satu atribut APDnya. Seorang pria asli Nusa Tenggara Timor bernama Ardan Osias itu kini ada di hadapannya. Pertemuan di unit isolasi sebuah Rumah Sakit di daerah Jawa Timur yang akan membuka tabir pertanyaan dalam hidupnya. Meskipun peristiwa itu sudah 5 tahun berlalu, namun ingatan Lintang bernostalgia seperti baru saja menyimpan kebersamaan mereka dengan mobut si motor butut. “Bagaimana beta bisa lupa dengan itu motor butut, Kaka. Hahahaha..” ... Lintang baru saja sampai di rumah keluarga angkatnya di sebuah desa terpencil wilayah Kabupaten Kupang. Setiap mata memandangnya aneh, karena tidak biasanya penduduk desa itu melihat orang memakai kerudung. Perempuan berkulit kuning langsat dengan hidung minima214
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
lis itu menjadi satu-satunya pemeluk Islam di kecamatan Amabi Oefeto Timur. Beruntungnya Lintang diterima dengan hangat di rumah keluarga Bapa Viktor dan Mama Margarita yang memiliki 4 anak perempuan. Perasaan Lintang campur aduk, antara bahagia karena impiannya mengabdi di pelosok negeri bisa terwujud, tapi dia juga takut dengan lingkungan barunya yang benar-benar berbeda jauh dari perkiraannya. Lintang sadar akan resiko yang dipilihnya, dia sudah memantapkan ha tinya di Desa Pathau. Perlahan tapi pasti Lintang mulai beradaptasi de ngan berbagai kebiasaan dan budaya baru disana. Budaya sirih pinang, makan tambah, sampai tradisi cium hidung. Keterbatasan sinyal dan listrik pun tidak menjadi masalah. Namun akses transportasi yang minim membuat Lintang harus pintar-pintar mengatur persediaan bulanan nya, karena tidak bisa setiap waktu turun ke kota jika kehabisan stok. Sore itu Lintang sedang bermain bersama Frida si anak bungsu ke luarga Bapa Viktor, ketika rumahnya kedatangan tamu dari tim pendamping program pembangunan desa. Salah satunya yang mengenalkan diri bernama Ardan Osias. Pria bertubuh tinggi kurus yang berbeda diantara yang lain. Meskipun asli penduduk NTT namun warna kulitnya sama seperti Lintang. Tatapannya dingin dan tidak ramah, berbeda de ngan perlakuan yang dia terima selama di penempatan. Lintang jadi enggan terlibat dalam perbincangan di ruang tamu itu. Dia lebih memilih pergi ke halaman kembali bermain dengan si kecil Frida yang sudah asik dengan anak-anak lainnya. Namun tidak lama kemudian Bapa Viktor memintanya untuk mengantar tamu tersebut ke rumah Bapa Desa. “Ibu Guru Lintang, wis suwe ning kene tho? (sudah lama disini ya?)” Tiba-tiba saja pria tinggi kurus itu mengajak bicara. Lintang kaget bukan main karena baru kali ini bertemu orang asli NTT yang bisa Bahasa Jawa. “Kaka bisa Bahasa Jawa ko?” “Panggil saja Mas, wis limo taunan aku mbolang di Jawa, Neng (sudah 5 tahunan aku bertualang di Jawa, Neng.)” Kali ini Lintang benar-benar terkejut karena seorang asing yang sedang memboncengnya ini baru Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
215
saja memanggilnya ‘Neng’. Panggilan itu hanya pernah disebutkan oleh mantan pacar Lintang di awal masa kuliah dulu. Ternyata Mas Ardan yang berusia lebih tua 7 tahun itu pernah bekerja di daerah Jogja. Da rah asli Sumba yang membuat warna kulitnya berbeda dari penduduk di desa ini yang asli Pulau Timor. Mas Ardan bercerita bahwa dia akan bolak-balik ke Desa Pathau selama beberapa bulan untuk program pembangunan desa dari pemerintah daerah. Mas Ardan akan menginap di rumah Bapa Viktor yang kosong yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sejak saat itu Lintang merasa lega, bertemu partner baru satu penempatan yang bisa berbahasa Jawa. Dia pun tidak lagi kuatir jika ingin pergi ke suatu tempat, Mas Ardan akan mengantar dengan motor bututnya. “Jadi mau bikin kelas membaca nggak Neng?” Tanya Mas Ardan di perjalanan pulang dari sekolah. “Mau sih Mas, tapi belum tentu diterima sama warga desa.” “Dicoba dulu aja ajukan ke Bapa Desa, biar Mas bantu. Kalau warga kemungkinan besar nerima kok.” Mas Ardan berhasil meyakinkan Lintang akhirnya. Selama di penempatan memang banyak anak-anak yang belum bisa berbahasa Indonesia bahkan untuk sekedar baca tulis. Hampir seluruh anak di desa itu sudah terbiasa bekerja memikul air berjerigen-jerigen dengan jarak yang lumayan jauh. Namun kesadaran pendidikan masih sangat rendah. Beruntungnya Lintang bertemu de ngan Mas Ardan yang memiliki visi yang sama dengannya. Dengan bantuan Mas Ardan kini Lintang bisa merealisasikan satu demi satu program-program pendidikan yang sudah lama ia rancang. Lintang Kemukus memutuskan untuk ikut dengan Mas Ardan turun ke kota hari itu. Lintang sudah siap dengan menggendong tas backpack kesayangannya. Sudah seminggu yang lalu dia berencana untuk turun ke kota namun belum kesampaian. Akan ada rapat koordinator wilayah terkait kegiatan menjelang Idul Adha 3 minggu lagi. Sampai akhirnya Mas Ardan bercerita akan turun ke kota hari Sabtu ini dan menawarkan Lintang untuk ikut. Segera saja Lintang mengiyakan ajakan Mas Ardan 216
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
tanpa pikir panjang. Baru ketika di menit awal perjalanan, pria dengan rahang tegas itu memberikan syarat bahwa Lintang harus menemani nya untuk kegiatan penyuluhan ke 3 desa yang letaknya cukup jauh. “Mungkin malam baru bisa sampai di Kota (Kupang), Neng, nggak apa-apa kan?” “Ya nggak apa-apa Mas, mau gimana lagi namanya juga numpang.” Jawab Lintang setengah menggumam. Kalau saja dia diberitahu lebih dulu, mungkin Lintang akan berpikir panjang karena harus mengejar waktu rapat. Untung saja beberapa teman lain yang penempatannya lebih jauh meminta rapat diundur esok paginya. “Haha jangan ngambek ya Neng, dijamin nggak bakalan nyesel kok diajak bertualang seharian ini, lihat aja tuh pemandangan di sebelah kanan kamu.” Dengan santainya Mas Ardan menginjak gas di jalur menanjak yang belum diaspal itu. Bagi Lintang bertualang adalah hal yang paling membuatnya antusias. Namun kali ini yang membuatnya kuatir adalah karena dia akan dibonceng oleh orang asing yang baru dikenalnya 2 bulan ini, dalam perjalanan jauh yang Lintang belum pernah tahu tempatnya. Apalagi di penempatan tugasnya ini, hampir semua jalan belum diaspal. Dengan mengendarai motor mereka akan menempuh perjalanan jauh naik turun bukit dengan jalur berbatu. “Kotong berhenti dulu di kebun mangga disana ya, istirahat sebentar biar nggak pegal.” Mas Ardan seperti bisa membaca pikiran Lintang yang memang sejak tadi membayangkan pegalnya naik motor dengan jalur seperti ini. Akhirnya mereka berhenti di sebuah tanah datar yang ditumbuhi banyak pohon mangga yang buahnya tampak ranum. De ngan santai Mas Ardan kemudian memanjat salah satu pohonnya dan mengambil 3 buah sekaligus. “Mas su gila ko? (Mas sudah gila ya?) jangan sampai kita dibilang pencuri mangga.” Lintang yang sudah 7 bulan tinggal di Tanah Timor cukup tahu dengan adat setempat yang sangat sensitif jika mengenai kepemilikan wilayah. Sudah banyak terjadi perselisihan antar desa bahkan anAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
217
tar tetangga yang disebabkab oleh sengketa batas wilayah. “Nggak apa-apa tenang aja, Neng. Penduduk setempat nggak bakalan berani pukul perempuan kok. Yang 2 dibawa aja kan katanya kangen makan buah mangga.” Ujarnya dengan sikap menyebalkan. “Kaka Ardan su datang rupanya!” Tiba-tiba saja sebuah suara dari arah barat, seorang pria berusia 50-an membawa parang di tangan kanan rupanya adalah pemilik kebun ini. Bapa Azer namanya, merupakan salah satu peserta penyuluhan yang sedang dijalankan oleh Mas Ardan. Mereka akhirnya asik berbincang sementara Lintang sudah terlena dengan buah mangga yang sedang disajikan oleh Bapa Azer dengan sambal khas Timor. Perjalanan mereka masih sekitar 90 menit lagi untuk sampai ke desa Bimous desa yg dituju mereka. Jalur yang sedikit menanjak membuat Lintang harus berpegangan erat supaya tidak meorosot. Namun pemandangan di kiri dan kanan jalan yang berbukit-bukit dengan gradasi kehijauan mengalihkan perhatian Lintang dari bayangan rasa kuatirnya. Dia seakan terlupa dengan pinggangnya yang pegal. Sesampainya di Desa Bimous, seorang perangkat desa sudah menunggu di balai desa. Lintang merasa canggung karena ikut disambut hangat. Ketika kegiatan penyuluhan berlangsung, Lintang hanya ikut menonton dari belakang. Selama hampir satu jam akhirnya kegiatan selesai, mereka diajak untuk makan bersama. Seperti adat kebiasaan lainnya ketika dijamu, tidak sepatutnya mereka menolak namun kali itu Mas Ardan mengambil sikap dengan tetap menjaga sopan santun. “Maaf sekali Bapa, Nona Lintang ini agama muslim, jadi dia harus ibadah siang. Makanya kami harus pamit cepat-cepat.” Lintang tidak menyangka Mas Ardan akan berkata seperti itu. Sepengalaman Lintang tinggal di penempatan, ia tidak pernah berani menolak jamuan karena sudah tahu adat kebiasaan disana. Namun seorang penganut Katolik yang taat seperti Mas Ardan ternyata sudah sangat memahami Lintang yang menganut agama Islam. Bahkan tidak jarang Mas Ardan meng ingatkannya untuk sholat 5 waktu. 218
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Setelah hampir 2 jam perjalanan akhirnya mereka sampai di Desa Oenuntono. Sampai waktu menunjukkan jam 13.45 akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya, yaitu Desa Amarasi. Di tengah perjalanan mesin motor tiba-tiba berhenti, sementara langit mulai menampakkan gelap, di sebelah kanan kiri hanya jurang dan perkebunan. Mereka terjebak di tengah jalan menuju kota Kupang. Masih sekitar 2 ½ jam lagi perjalanan yang harus ditempuh. Mas Ardan malah tampak tenang mencari-cari sesuatu dari ranselnya. Sementara Lintang mencoba sinyal di handphone-nya untuk ke sekian kali, namun tak berhasil. “Kalau misalnya ditinggal sendirian disini, pasti kamu nangis ya, Neng?” Tiba-tiba saja Mas Ardan mengatakan hal yang menakutkan. Entah bermaksud bercanda atau bukan, pria ini memang tidak bisa ditebak. “Mas Ardan jangan begitu dong.” Lintang jadi mulai kuatir, karena dia tidak melihat ada pemukiman penduduk di sekitar mereka. “Hahaha perempuan perkasa ternyata bisa ditakutin juga ya.” Mas Ardan menanggapi bercanda. Tapi dia segera menyadari ketakutan Lintang. “Nggak usah takut Neng, ini cuma kehabisan bensin kok, untung tadi sempat beli sebotol buat cadangan.” Dikeluarkannya sebuah botol berisi cairan kehijauan dari tas ranselnya. Ternyata sedari tadi Mas Ardan memang berniat menjahili Lintang. Dilihatnya wajah Lintang yang sudah memerah hendak marah, pria itu semakin terbahak- bahak kemudian. Lintang yang kesal hanya bisa membalas dengan pukulan. “Coba lihat itu, Neng.” Seketika pandangan Lintang terhenti pada satu titik, tepat ke arah Mas Ardan menunjuk. Kedua manusia itu terdampar di antara lukisan senja dengan siluet berbukit-bukit. Rasanya tidak bisa tergambarkan betapa indahnya suasana kala itu di atas motor butut. Begitu juga dengan mereka berdua, tidak ada yang mengetahui suasana hati mereka saat itu. Jam sudah menunjukkan jam 18.57 ketika gerimis mulai tiba. Untu Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
219
ngnya mereka sudah berada di jalan utama, jalan beraspal satu-satunya menuju ke kota yang masih berjarak 1 jam perjalanan lagi. Mas Ardan menghentikan motornya mencari tempat berteduh sebelum gerimis semakin deras. Dengan sigap ia keluarkan jas hujan lengkap dari ranselnya dan menyodorkannya kepada Lintang. “Nggak usah Mas, Mas Ardan aja yang pakai, aku nggak apa-apa.” “Cepat pakai, Neng, sebelum semakin deras sudah mau sampai.” De ngan sedikit memaksa, Lintang akhirnya mau mengenakan jas hujannya sementara Mas Ardan berlindung dengan jaket gunungnya. Hujan mulai agak reda ketika Mas Ardan memutuskan mampir ke tempat kosnya di Oesao. Jaketnya hampir basah kuyup sehingga ia harus mengamankan laptop di ranselnya. Motor diparkir tepat di depan petak kamar paling ujung. Dari dalam kamar samping yang terbuka muncul seorang remaja tanggung menyapa. “Masuk aja Neng nggak apa-apa, di luar dingin.” Mas Ardan sudah masuk duluan membuka bajunya yang basah, membuat Lintang sedikit ragu. Mas Ardan segera menyadarinya. “Mas tinggal mandi sebentar, sambil nunggu hujan benar-benar reda biar Angki buatkan kopi untuk Neng, gulanya 1 sendok kan?” Ternyata remaja tanggung yang tadi menyambut bernama Angki. Lintang ingat baru beberapa kali minum kopi bersama pria yang memboncengnya seharian ini, tapi Mas Ardan sudah hapal kebiasaan Lintang. Di dalam kamar kos yang tampak teratur meski penuh dengan banyak barang itu Lintang mulai kedinginan. Bagian kerudung yang tidak terlindungi jas hujan tadi sudah terlanjur basah. Mas Ardan baru selesai mandi ketika tiba-tiba saja menutup pintu kamar. Reaksi Lintang kaget bukan main. Tidak pernah sebelumnya ia berada dalam situasi seperti ini. Mas Ardan yang kini ada di hadapannya hanya berjarak beberapa centimeter. Tangannya dingin meraih wajah Lintang. Perempuan itu rasanya ing in berteriak, dihempaskan tubuhnya sekuat tenaga namun ia terlalu lemah.
220
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Neng, ayo bangun Neng!” Tangan Mas Ardan yang sudah dilumuri minyak kayu putih berhasil menyadarkan Lintang dari pingsan. Ketika Lintang akhirnya tersadar, ia melihat ada Angki dan satu sosok pe rempuan yang sudah berada di kamar itu. Sudah tersaji 2 gelas kopi dan bungkusan nasi di meja sudut. Dirinya masih utuh, namun ia menyadari kerudung yang tadi basah sudah berganti. “Maaf tadi Mas lancang mau ganti kerudung Neng yang basah malah pingsan, akhirnya Mas minta tolong Salomi.” Mas Ardan menunjuk perempuan yang tadi. “Kita makan dulu ya biar Neng nggak lemes, jangan sampai besok mau rapat malah sakit. Mas pasti ngerasa bersalah udah bikin Neng kecapekan.” Lintang kini sudah sepenuhnya sadar dan ingat saat pagi-pagi berangkat tadi ia hanya minum kopi. Siangnya ketika sampai di Desa Oenuntono ia sempat makan meskipun agak telat. “Jangan marah ya Kakanona, Kaka Ardan punya karakter memang peduli dengan orang lain. Beta dan Angki ini sudah seperti adik, kita berdua ditampung juga diajari oleh Kaka Ardan.” Sejak saat itu Lintang merasa menemukan seseorang yang sejalan dengannya. Dalam beberapa rancangan program sosial Mas Ardan, tak jarang Lintang ikut terlibat di dalamnya. Begitu juga dalam pelaksanaan Kelas Membaca dan PAUD yang dibuat oleh Lintang sudah tentu Mas Ardan turut membantunya. Perempuan itu mulai menemukan kembali keyakinan akan mimpi pengabdiannya. Hingga suatu malam di tengah tidurnya Lintang terbangun karena gigitan tajam di ujung jari-jari kakinya. Keesokan paginya ia mendapati kakinya sudah berlumur darah hingga menodai seprai tempat tidur. Maria, adik angkatnya mengatakan kalau itu hanya perbuatan tikus yang mencari-cari makanan di musim paceklik. Namun kejadian itu tidak hanya sekali dua kali terjadi. “Kalau Ba’i (Kakek) bilang jari digigit tikus itu pertanda buruk, Kak Ibu.” Kata Bersia, adik angkat Lintang yang ikut mendengar pembi caraan Lintang dengan Bapa Viktor.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
221
“Sudah Kak Ibu, jangan terlalu pikirkan Bersia punya omongan.” Bapa Viktor mencoba menenangkan hati Lintang yang mulai gentar. Selama ini ia memang tidak terlalu mempercayai hal- hal mistis. Namun kali ini berbeda karena Lintang sedang berada di tempat asing yang jauh dari tanah kelahirannya. ... “Wis tag kandani podo ora gelem. Tag jak ning puskesmas jarene kui sakit ghoib, lha kepiye, Neng? (Sudah dinasehatin pada nggak mau, aku coba ajak ke puskesmas tapi katanya itu sakit ghoib, ya bagaimana Neng?)” Mata Mas Ardan tampak masih dipenuhi emosi. Dengan menggunakan Bahasa Jawa ia tumpahkan segala kecewanya agar hanya Lintang yang memahami. Tidak berbeda halnya dengan Lintang, ketika mengetahui kabar kepergian Bapa Viktor, Bapa angkatnya yang sudah hampir sebulan ini sakit. Tidak ada yang memberi kepastian soal penyakitnya sementara kondisi Bapa kian memburuk. Lintang bukan tidak berusaha untuk mengajak Bapa Viktor periksa ke dokter, namun Mama Margarita dan keluarganya bersikeras bahwa dokter tidak akan mampu menyembuhkan penyakit yang mereka sebut ghaib ini. Ia tiba-tiba teringat suatu malam berangin kencang yang membuat suara-suara berisik hingga membuatnya terbangun. Saat itu Lintang yang setengah mengantuk menyadari akan adanya sesosok bayangan berdiri cukup lama di depan pintu kamarnya yang hanya dilapisi tirai. Awalnya ia pikir itu adalah Bapa yang mungkin sedang mengecek kondisinya saat itu. Namun keesokan paginya Lintang menyadari bahwa kondisi Bapa Viktor yang sedang sakit hanya bisa terduduk kaku di kursi di dalam kamarnya. Semua berawal ketika sore itu sepulang Bapa dari mengurus kebun dan ternaknya. Tidak seperti biasanya pria berbadan kekar itu mengeluhkan sakit di punggungnya. Lintang yang mengetahuinya segera menawarkan balsem yang biasa ia pakai ketika badan pegal-pegal. Namun keesokan paginya sakit di punggung Bapa tidak juga membaik, ditambah lagi tenggorokannya yang terasa terbakar menyebabkan Bapa 222
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
kesulitan untuk makan. Hingga malam kembali tiba justru sakit di punggung dan tenggorokannya semakin terasa. Sejak saat itu kondisi Bapa kian memburuk, hingga tubuhnya kaku hanya bisa posisi duduk. Bapa masih sadar saat keluarga besar memanggilkan tim doa untuk datang ke rumah memeriksa dan mendoakan sakitnya. Sejak saat itu Lintang pertama kalinya mendengar desas-desus penyakit ‘angin jahat’ yang menimpa Bapa Viktor. Ia tidak lagi dilibatkan dalam pembicaraan keluarga. Kala itu tiga minggu menjelang natal, Lintang sedang turun ke kota ditemani Mas Ardan. Ia berniat membeli kue dan hadiah natal untuk keluarga angkatnya. Akan tetapi sesampainya di rumah Bapa Viktor sudah tidak bisa tertolong. Lutut Lintang terasa lemas, Mas Ardan segera menuntunnya duduk di teras. Sementara warga desa dan kerabat mulai berdatangan, beberapa menyiapkan tenda dari bebak dengan atap terpal sedangkan para Mama sibuk di dapur. Suara tangis Mama Ita yang bersahutan dengan jeritan Bersia anak keduanya, terdengar dari rumah tempat Mas Ardan tinggal. Disana Lintang menenangkan diri, masih tidak percaya. “Aku geregetan Mas, menurutku Bapa itu ada masalah jantung. Apalagi Bapa Viktor suka sekali merokok lintingan dan minum kopi ampas. Andai saja aku bisa bujuk Mama Ita..” Perasaan Lintang seperti menyesal tidak ada habisnya. Teringat kemarin ketika ia pamit bersaliman dengan Bapa, Lintang masih sempat menyampaikan semangat untuk sembuh kepada Bapa Viktor. Saat itu Bapa masih bisa mengangkat tangan dan mengisyaratkan dengan gerakan bola matanya, meskipun badannya semakin kurus. Lintang tidak pernah menyangka bahwa musibah belum berakhir sampai disitu. Esok paginya ia kembali terpukul ketika mendapati rumah yang ditempati Mas Ardan sudah kosong. Dihubunginya Mas Ardan berkali-kali namun handphone-nya tidak aktif. Maria, anak sulung dari Mama Ita yang akhirnya memberitahukan bahwa warga desa sepakat mengusir Mas Ardan karena dianggap sebagai penyebab berbagai Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
223
malapetaka di Desa Pathau. Menurut keterangan beberapa warga desa ada yang mendapati gerak-gerik mencurigakan Mas Ardan. Semenjak kedatangan pria asli Sumba itu beberapa kali sapi ternak milik warga mati secara misterius. Malam sudah cukup larut ketika Bapa Desa di dampingi seorang Bapa Tua mengetuk pintu rumah Mas Ardan, sementara ia masih terjaga dengan rokok dan secangkir kopi yang sudah di ngin. Mata Lintang basah, pikirannya terlalu banyak dipenuhi pertanyaan. Bagaimana bisa, kenapa dan dimana. Lintang hanya butuh penjelasan Mas Ardan. ... Di sebuah ruang perawatan Rumah Sakit, dua manusia itu dipertemukan kembali. Entah suatu kebetulan apa yang membawa Mas Ardan sebagai relawan untuk membantu tim medis yang jumlahnya terbatas di RS Pelita selama pandemi. Sedangkan Lintang saat itu sedang menunggu ayahnya yang dirawat di salah satu ruang isolasi karena positif Covid-19. Sementara di benak Lintang masih menyimpan banyak pertanyaan namun belum sempat ia sampaikan. Saat itu sudah hampir 2 minggu masa tugas Mas Ardan, kondisinya mulai drop sehingga harus dirawat intensif di ruang isolasi juga. Lintang tidak bisa lagi berkomunikasi secara langsung, ia segera meminta izin untuk menitipkan pesan pada secarik kertas. Setelah beberapa hari kemudian Lintang akhirnya mendapat pesan balasan dari Mas Ardan, yang mungkin akan menjadi pesan terakhirnya untuk Lintang. “Maaf ya Neng, waktu itu nggak sempat pamitan. Bersia dan ke luarga Mama Ita juga sudah mulai tak terkendali, jadi lebih baik Mas langsung pergi demi keselamatan kamu juga.” Perasaan Lintang tidak karuan, dia berusaha menerobos pengamanan ruang isolasi namun dadanya begitu sesak hingga tidak lagi kuat berdiri. Lintang roboh dalam kondisi dropnya. Dia harus segera melakukan tes swab. 224
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
MUSHAF Oleh: Sentyaki Satya Putra Sabtu, 26 Desember 2015 “Umar… Afifah… Ayo bangun! Mandi dulu!” Nur membangunkan Umar dan Afifah, anak pertama dan keduanya. “Kakak mandi duluan ya, muya!?” pinta Umar kepada ibunya. “Iya tidak apa-apa. Adik tunggu di kursi ya!” kata Nur kembali. Umar segera menuju kamar mandi. Sementara Afifah menunggu di kursi sambil menonton televisi. Matanya masih kriyep-kriyep. Pukul 03.20 mereka bertiga berangkat menggunakan mobil pribadi. Nur sudah terbiasa membawa kendaraan roda empat semenjak bekerja sebagai guru. Jarak dari rumah ke tempat ia mengajar berjarak 22 Km. Setelah menikah, ia dan suami memutuskan untuk membeli mobil bekas dengan cicilan. Agar bisa menuju tempat mengajar tepat waktu. Mobil tersebut dijaga dan rawat sepenuh hati, hingga awet hingga saat ini. Karena selain dipakai untuk mengantar bekerja, mobil tersebut juga digunakan untuk bersilaturahim atau rekreasi keluarga. “Nanti ngapain aja disana, muya?” tanya Afifah kepada ibunya. “Nanti, kita sholat subuh berjamaah disana. Abis itu, ada ceramah dari syekh AliJaber sampai jam setengah tujuh…” jawab Nur. “Abis itu kita makan ya, muya?” tanyanya lagi. “Iya, abis itu kita makan bersama dan silaturahim bersama jamaah dan teman-teman muya yang dulu pernah mengungsi disana.” “Ooh, gitu ya muya…” ujar Afifah. “Iya,” balas Nur, tersenyum. “Berarti nanti banyak teman-teman muya ya, disana?” tanya Umar gantian. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
225
“Oh iya, dong! Kita mau reunian disana. Udah 10 tahun semenjak kita mencoba mencari tempat tinggal dan pekerjaan yang baik. Sekarang Alhamdulillah, kita udah ada pekerjaan masing-masing, udah pu nya keluarga dan tempat tinggal masing-masing. Sekarang kita mau temu kangen!” jawab Nur gembira. “Waah, senang ya, muya!” Umar dan Afifah ikut gembira. Merekapun tiba di lokasi acara. Masjid Agung Baiturrahman, Selimeum, Aceh. Sebuah masjid yang mulai dibangun sejak dua tahun lalu atas inisiasi mantan pengungsi bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 silam. Para pengungsi ini mendapat bantuan pekerjaan dari pemerintah sesuai kemampuan masing-masing. Kemudian, sebagian dari mereka ada yang pindah ke kontrakan, kost-kostan, dan ada pula yang tinggal bersama saudaranya. Setelah kehidupan mereka kembali stabil dan mapan, dibuatlah grup reunian melalui media sosial yang akhirnya menghasilkan sebuah pertemuan yang berujung pada pembangunan masjid tersebut. Hari ini adalah pembukaan untuk meresmikan berdirinya masjid tersebut. Dihadiri langsung oleh gubernur dan kepala daerah, serta tamu undangan lainnya, termasuk syekh Ali Jaber yang diminta oleh panitia untuk mengisi ceramah pertama kalinya. Saking banyaknya yang hadir, masjid seluas 50 meter persegi tersebut tidak cukup menampung jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk menghadiri momen yang dinantikan ini. Sehingga panitia harus menyediakan tenda-tenda besar di sekeliling masjid. Mobil telah terparkir di tempat yang disediakan. Mereka segera menyiapkan diriuntuk mengikuti sholat subuh berjamaah. Umar segera berlari menuju shaf laki-laki dibagian belakang, agar tidak terlalu jauh dari ibu dan adiknya. Selesai sholat subuh, jamaah membaca Al Quran, kemudian mende ngarkan ceramah dari syekh Ali Jaber yang melelehkan hati. Meng ingatkan perjuangan masyarakat Aceh pasca tsunami melanda ru226
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mah-rumah mereka. Mengingatkan jamaah untuk menambah iman dan takwa, mendekatkan diri pada Allah dan mendoakan kerabat yang telah berpulang lebih dulu. Isak tangis haru terdengar di seluruh ruangan, bahkan di pelataran masjid. Selepas ceramah dan sambutan dari pejabat-pejabat, Masjid Agung Baiturrahman pun diresmikan oleh gubernur provinsi Aceh. Setelah itu seluruh jamaah dipersilahkan makan bersama dari sajian yang telah disediakan panitia. Nur mengambil makan bersama anak-anaknya, lalu mengajak mereka kesebuah lokasi berbatuan, tak jauh dari masjid. “Kita makan disini, muya?” tanya Umar. “Iya. Kita akan makan disini. Tapi tunggu buya dulu, ya!” jawab Nur. Umar dan Afifah mengangguk. “Sambil menunggu buya datang, muya mau cerita sesuatu pada kalian!” kata Nur. Umar dan Afifah mengangguk, bersiap mendengarkan. “Sebelas tahun yang lalu, saat terjadi tsunami, muya kehilangan nenek dan kakek kalian. Sementara, muya dan paman kalian diselamatkan oleh warga. Kemudian kami diungsikan di tempat ini. Dulunya tempat ini adalah lapangan yang sangat luas. Muat hingga 2000 pengungsi…” Nur mengambil napas panjang, kemudian meneruskan ceritanya.“ Setiap malam, muya selalu menangis dan berdoa kepada Allah. Muya kehilangan orang tua, rumah, rapot, baju dan semuanya. Muya dan paman hanya mempunyai pakaian yang saat itu kita pakai. Bahkan, foto orang tua muya pun tidak ada. Namun, kami sesama pengungsi saling tolong menolong. Saling menghibur dan berbagi makanan. Ada juga yang mengirimkan kami pakaian. Sehingga kami bisa bertahan untuk hidup…” “Sekitar dua mingguan muya bersama pengungsi, datanglah para relawan dari Jakarta. Para relawan ini yang kemudian menata kehidupan kami semua. Mereka menjadi penghibur dan penyemangat kami untuk bisa keluar dari kesedihan. Mereka mendaftarkan muya dan temanAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
227
teman yang putus sekolah untuk bisa terdaftar di sekolah-sekolah dekat disini. Mereka menata tenda-tenda pengungsi agar semua kebagian tempat yang nyaman dan sesuai dengan kebutuhan kami. Mereka juga membangun tenda khusus, untuk anak-anak bermain dan sholat berjamaah. Kadang-kadang mereka juga mengajar baca Al Quran di tenda tersebut. Semenjak mereka datang, kesedihan muya berkurang…” “Tanggal 20 januari 2005, saat muya berulang tahun ke-18, itu bertepatan dengan hari raya Idul Adha, 10 zulhijah 1425 Hijriyah. Hari raya kurban!...” Nur tersenyum, lalu melanjutkan ceritanya. “Muya meminta kado kepada seorang relawan. Muya minta mushaf sebagai kado darinya. Karena mushaf milik muya, hilang saat tsunami. Dia pun memberi muya sebuah mushaf, yang sampai sekarang muya bawa kemana pun muya pergi…” Nur mengeluarkan mushaf tua berwarna cokelat dari dalam tasnya. “Ooh, itukan mushaf yang di rumah! Yang sering muya baca!” seru Umar. Nur tersenyum dan mengangguk. “Mushaf ini yang menjadi andalan disaat muya ingin mendekatkan diri pada Allah. Muya baca kapan pun dan dimana pun! Disaat muya sedih, senang, sebelum dan sesudah sholat, saat beristirahat setelah me ngajar, dan dimana pun! Mushaf ini sudah seperti teman muya sendiri…” “Mushaf ini juga yang selalu mengingatkan muya kepada kebaikan- kebaikan para relawan tersebut. Khususnya yang memberi mushaf ini…” “Pasti muya kangen ya sama yang ngasih?” tanya Afifah. Nur mengangguk sambil tersenyum, “Setiap hari muya selalu kangen sama dia.” “Yang ngasih laki-laki atau perempuan, muya?” tanya Umar. “Laki-laki…” jawab Nur sambil tetap tersenyum.
228
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Waah, nanti buya cemburu loh, muya!” ujar Umar sambil tertawa. “Eeh, masih kecil ngerti-ngertian cemburu! Tapi buya enggak cemburu, kok!” jelas Nur. Umar bingung, “Emang buya tahu?” “Tahu, kok!” Umar dan Afifah kembali diam. “Muya terusin ceritanya ya!” ujar Nur. “Tiga tahun kemudian, relawan itu kembali lagi ke Selimeum. Ternyata dia mencari muya. Dia berusaha mencari informasi dari tempat muya sekolah. Hingga akhirnya dia mendapat informasi dari teman sekelas muya. Akhirnya, satu tahun kemudian, dia berhasil menemukan tempat tinggal muya…” Nur tersenyum, menggantungkan ceritanya. Jarang sekali ia menemukan anak-anaknya seserius itu mendengarkan ceritanya. Ditatapnya wajah anaknya satu persatu. Tampak lucu dan menggemaskan. Umardan Afifah pun sepertinya tak sabar mendengar kelanjutan cerita ibu nya. “Lalu gimana, muya?” tanya Afifah. Nur tersenyum. “Oiya, relawan itu menuliskan namanya di halaman belakang mushaf ini, loh! Kalian mau lihat ga?” tanya Nur kepada anak-anaknya. “Mau! Mau!” sahut Umar dan Afifah. Mereka segera meraih Al Quran yang diberikan Nur, dan membuka halaman belakangnya. Setelah membaca tulisan disitu, mereka malah heran. “Loh, ini kan namanya buya?!!...” kata Umar dan Afifah. Nur tersenyum dan menunjuk kearah belakang anak-anaknya. Umar dan Afifah segera menoleh ke belakang. Tampak seorang laki-laki berAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
229
jalan kearah mereka. “Assalamu’alaikum!” sapa laki-laki tersebut. “Wa’alaikumusalaam!” jawab Nur. “Buya!!!” seru Umar dan Afifah. Mereka segera berdiri dan memeluk ayahandanya. Ternyata, relawan yang diceritakan Nur adalah suaminya sendiri. Yaitu bapak dari Umar dan Afifah. Dia adalah Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) sekaligus pelaksana acara Peresmian Masjid Agung Baiturrahman. Lokasi tempat mereka makan adalah tempat dimana Nur diberi Al-Quran oleh suaminya yang saat itu menjadi relawan. Kamis, 20 Januari 2005. 10 tahun silam.
230
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Nostalgia Payung Warna-Warni Oleh: Irvin Maria Christiany br Damanik Malam itu hujan begitu derasnya turun membasahi permukaan bumi, namun angin tak begitu kencang melintasi ku yang sedang berdiri didepan kantor tempatku bekerja, ya aku sedang menunggu suamiku yang terkasih untuk menjemputku seperti rutinitasnya setiap hari. Rekan-rekan sekantorku sudah terlebih dahulu pulang ke rumah mereka masing-masing. Disimpang perempatan jalan yang tak jauh dari kantor tempatku bekerja, mataku tertuju kepada seorang pria yang sedang memakai payung berwarna-warni dengan ukuran yang besar, aku pun teringat dengan waktu yang telah berlalu begitu lamanya, yang merupakan suatu moment yang begitu mengesankan bagiku. Sambil te rus melihat pria itu dengan payungnya yang berwarna-warni, waktupun membawaku pada pertengahan tahun 2010. “Na, yuk kita ngambil rantangan kita sebelum nanti kita diguyur hujan. Ucapku kepada sahabatku Nana” Aku memiliki dua sahabat perempuan yang kebetulan kami bertiga satu kos-kosan pada saat itu, mereka adalah Nana yang juga satu kelas denganku, satu tempat rantangan juga denganku, menurutku Nana merupakan perempuan yang cantik parasnya, baik dan pintar, wajar saja jika banyak anak kos laki-laki disekitaran kos kami banyak yang menyukainya, walaupun begitu Nana juga pilih-pilih orangnya dalam hal perasaan dan Lily menurutku dia merupakan perempuan yang lemah lembut dan pintar, Nana dan Lily satu kamar kos, sementara aku berbeda kamar dengan mereka karena aku satu kamar dengan adikku. Malam itu aku dan nana bergegas pergi kewarung makan yang ada diperempatan jalan, tempat kami berlangganan rantangan setiap bulannya, namun ternyata saat kami masih berjalan tiba-tiba hujan pun turun, Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
231
aku dan Nana memutuskan untuk berteduh ditoko kaset yang tak jauh dari kami untuk sekedar berteduh. Kebetulan pemilik toko kaset tersebut merupakan tanteku, jadi kami tak perlu sungkan. Sambil menunggu hujan reda Nana sibuk melihat-lihat kaset CD, sementara aku terus melihat kearah jalan raya, melihat kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang, dari kejauhan mataku terfokus kepada laki-laki yang berjalan dengan menggunakan payung berwarna-warni yang ukuran payungnya besar, ternyata dia adalah Johan yang kosnya berdekatan dengan kosku dan dia juga satu sekolah dengan sahabatku Lily. Aku pun mengalihkan pandanganku kearah yang lain, karena yang ku tahu dia menyukai sahabatku Nana. Johan pun menghampiri kami, awalnya aku hanya berpikir jika Johan akan mengajak Nana untuk pergi bersamanya mengambil rantangan, karena Johan juga satu tempat rantangan dengan kami. “(Menghampiriku) Ria... yuk ngambil rantangan bareng aku, kebetulan aku kan bawa payung yang ukurannya besar, jadi muat buat kita. Ucap Johan terhadapku” “(Kaget, langsung salah tingkah) Hhhmmm... Na, ayo kita ambil ranta ngan bareng Johan. Ajakku terhadap Nana” “(Masih sibuk melihat-lihat CD) kamu aja deh Ria, nanti sekalian ambilin rantanganku ya beb (tersenyum kearahku)” “Ayo Ria, kan aku ngajakin kamu doang, gimana sih” Akhirnya hanya Aku dan Johan saja yang pergi mengambil ranta ngan, diperjalanan menuju warung makan tempat kami akan me ngambil rantangan, aku masih belum menyangka jika aku yang diajak Johan. Karena aku dan Johan tak pernah berteman baik, kami berdua selalu bermusuhan dan selalu berdebat, diantara kami tak ada yang mau mengalah. Banyak orang-orang sekitar kami mengatakan kami ini seperti anjing dan kucing yang tak pernah akur. Aku juga heran kenapa kami itu selalu bertengkar, tapi ya memang Johan yang terlebih dahulu memulai dengan ejekan-ejekannya terhadapku. Akan tetapi malam itu kami berbeda, kami tidak bertengkar dan bahkan tak berdebat sama 232
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
sekali. Sesampainya kami di warung makan kami langsung mengambil rantangan kami yang sudah berisi lauk pauk, kami pun melanjutkan perjalan kami kembali ketoko kaset untuk menjemput Nana. Ditengah perjalanan Johan membuatku terkejut. “Ria, kamu mau nggak jadi pacarku?” “Kamu ini lagi waraskan? Hhhmmm maksudku dalam keadaan sadarkan ini?” “Jadi, maksud kamu aku lagi mabuk? Atau gila?” “Hehehehe bukan begitu maksudku, tapi bukannya kamu itu sukanya sama Nana ya?” “Siapa yang bilang?” “Pendapatku aja sih, karena ku lihat kalau aku dan Nana udah jalan berdua pasti kamu itu fokus banget ngelihatin Nana” “(Memperlambat langkah kakinya) Awalnya memang aku suka sih sama Nana, tapi aku tahu kalau Nana itu tipe cowok yang dia suka tinggi” “Maksudnya?” “Dia itu milih-milih kalau mau nerima cowok jadi pacarnya, dia milih yang ganteng dan kaya. Nggak seperti aku, aku ini sekolah aja keseringan bolos dan tinggalnya dikampung lagi” “Loh, apa bedannya dengan Nana, diakan tinggal di kampung juga, hanya aku yang orang tuanya nggak tinggal dikampung” “Terus gimana nih? Kamu mau jadi pacar aku nggak?” “Hhhmmm aku jawabnya nanti aja bisa?, aku pikir-pikir dulu” “Kamu mau pilih-pilih juga ya seperti Nana teman kamu itu?” “Bukan begitu maksudku...” “Aku tunggu jawaban kamu jam 10 nanti ya, aku tunggu kamu didepan kos kamu” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
233
Sebenarnya aku bukannya tidak mau langsung memberi jawaban kepada Johan, namun aku masih belum menyangka ternyata perasaanku selama ini sama dengan perasaan Johan saat itu. Kami pun langsung menghampiri Nana yang ternyata sudah menunggu kami. Johan lalu mengantarkan kami ke kos dengan payung warna-warninya itu. Dan saat aku akan masuk ke kos, “(Memegang tanganku) Jangan lupa, jam 10 malam ini aku tunggu kamu disini untuk memberikan jawaban kepastian untukku” Setelah Johan pergi, aku langsung masuk ke kamarku, masih belum menyangka saja, payung warna-warni itu menjadi saksi bahwa ternyata Johan menyukaiku. Sejenak aku pun merebahkan diriku ditempat tidur sambil melihat langit-langit kamarku, “(Ngomong sendiri) Apa benar apa yang dikatakan orang selama ini, jika seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kerjaannya berantem terus, itu tanda jika mereka berjodoh? Ahh... masa ia aku dan Johan berjodoh? Sekolah aja belum kelar” Tak terasa ternyata aku ketiduran dan aku dibangunkan oleh suara handphoneku yang pada saat itu berdering, aku pun melihat panggilan tersebut, ternyata selama aku tidur Johan terus menerus meneleponku, bahkan mengirim sms. Ku lihat jam di handphoneku, ternyata sudah jam 22.25 wib, dengan rasa bersalah aku pun bergegas keluar kos, pada saat itu pintu kos sudah ditutup dan ku lihat Nana, Lily dan adikku sedang menonton diruang depan, aku langsung membuka pintu kos dan berharap ibu dan bapak kos tidak kembali, karena peraturan dikos batas waktu keluar hanya sampai jam 10 malam saja. Aku berlari keluar dan ku dapati Johan sedang berdiri dipinggir jalan dekat kos ku, dia ternyata sedang menungguku. “Susah amat ya ngangkat telepon dan balas sms? Kamu itu telat loh (melihat jam tangannya), aku udah nungguin kamu disini” “Hehehehe (merasa tak bersalah) ketiduran aku, maaf ya”
234
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Jawabannya apa? Kamu mau jadi pacar aku nggak?” “Hhhmmm tapi ada syaratnya” “Udah seperti mau ngelamar kerja aja ya pakai syarat segala” “Kamu mau aku terima jadi pacar aku nggak? “Ya, maulah. Jangan mentang-mentang banyak cowok yang suka sama kamu, termasuk Hendra sahabat aku, terus aku nggak boleh gitu jadi pemenang dihati kamu” “Aku mau, mulai besok kamu nggak boleh lagi bolos-bolos sekolah, nggak boleh tidur saat jam belajar sedang berjalan...” “Loh... kok yang itu kamu bisa tahu?” “Hahahaha kamu lupa ya kalau Lily itu satu sekolah dengan kamu?” “Sudah ku duga” “Dan satu lagi, aku nggak mau lihat kamu ngerokok lagi. Cuma tiga itu kok syaratnya, gimana? kamu bisa janji akan menjalaninya?” “Baik, aku akan coba, jadi kamu terima aku jadi pacar kamu kan?” “(Menganggukkan kepala) tenang aja, aku akan selalu support kamu dalam menjalankan ketiga hal itu (tersenyum)” “Thanks... (memegang tanganku) kalau begitu, kamu lanjut tidurnya deh, pacarku (tersenyum)” “Ia, kamu juga langsung pulang ke kos ya, dan langsung tidur juga, biar besok nggak telat ke sekolah dan nggak ada alasan bolos (meninggalkan Johan)” Tidak semudah itu untuk merubah seseorang termasuk Johan, kami sempat putus karena ternyata Johan sudah memiliki pacar sebelum aku, dia adalah Evi yang merupakan satu kos Johan juga, sakit memang rasanya saat aku mengetahui itu dan Johan juga mengakuinya. Ternyata selama ini aku hanyalah pacar keduanya atau istilah yang biasa digunakan orang- orang yaitu selingkuhan. Namun, ternyata Johan tak laAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
235
ma-lama membiarkan hubungan kami putus begitu saja, dia lebih memilihku dan menjelaskan kepadaku bahwa sebenarnya dia sudah lama ingin memutuskan Evi sebelum kami jadian, karena Johan tahu bahwa Evi selingkuh dengan sahabat Johan tanpa sepengetahuan Johan, lagi pula Evi juga mendukung Johan jika Johan berpacaran denganku. Tak lama kami pun memutuskan untuk memperbaiki hubungan kami kembali, hingga waktu harus memisahkan kami dan kami harus menjalani LDR selama beberapa tahun. Sekali pun kami berpacaran tapi kami sering bertengkar seperti saat kami sebelum pacaran, akan tetapi pertengkaran kali ini seperti candaan saja. Jika bisa waktu diputar kembali aku ingin kembali ke masa itu, dimana payung dan hujan bisa membuat aku dan Johan akrab dan melupakan jika kami saling bermusuhan selama ini. Saat aku asyik dengan masa lalu ku itu, ternyata suamiku sudah datang menjemputku lengkap dengan mantel hujan yang sedang dia kenakan pada saat itu. “Maaf ya yank, aku telat jemput kamu ya? Macet tadi jalanan karena derasnya hujan yang membuat jalanan jadi banjir (mengeluarkan mantel dari dalam ranselnya) nih dipakai dulu biar jangan kena hujan (membantuku memakainya). Hhhmmm dari tadi aku lihat kamu lagi melamun, sampai-sampai kamu nggak sadar kalo aku sampai. Melamunin apa? (mengancing mantel hujanku)” “(Naik kesepeda motor) hehehehe tadi aku lihat ada laki-laki disebrang sana dia pakai payung warna-warni yang gede, aku jadi teringat kenangan kita dulu, waktu hujan-hujan ngambil rantangan bareng” “Hahahahaha ternyata kamu masih ingat aja ya, terus kamu mau kita pakai payung warna- warni yang gede lagi, lalu berjalan ditengah-tengah guyuran hujan ini?” “Emang kamu ada bawa payung? Lagian kita kan nggak punya payung seperti itu dirumah hahahaha” “Sepele kamu yank, itu dulukan payungnya minjam punya ibu kos, bukan punya aku. Jadi biar momentnya lebih pas, payungnya harus minjam juga. 236
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Kamu turun dulu deh, dan tunggu sebentar disini” Ya, Johan yang dulu teman berantemku, musuh bebuyutanku sekarang dia telah menjadi bagian dalam hidupku seutuhnya, Johan adalah suamiku yang sangat ku kasihi dan ku cintai. Walaupun kami sudah menjadi suami istri namun, perdebatan tetap harus ada didalam kami, aku dan Johan, pertengkaran adalah bumbu yang manis di hubungan kami, sembilan tahun kami berpacaran dan tak terasa sudah menjadi pasangan suami istri. Tak lama Johan datang dengan memakai payung warna-warni yang gede, dilepasnya mantel hujannya, aku pun melepaskan mantel hujanku. Johan menggenggam tanganku dan membawaku berjalan berdua dibawah derasnya hujan yang diteduhkan oleh payung warna- warni itu. “Payung dari mana?. Tanyaku” “Minjam tadi sama abang-abang yang ada dimini market. Gimana? Kamu udah lega? Bahagia bisa seperti ini lagi? Atau apa perlu aku membawa rantangan dan mengucapkan Ria kamu mau nggak jadi pacarku?” Mendengar kalimat itu dari mulutnya membuatku tertawa, begitu bahagia bisa bernostalgia dengan payung berwarna-warni ini bersama dia mantan musuh bebuyutanku dan sekaligus mantan pacarku. Aku bahagia memiliki suami seperti Johan.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
237
NOSTALGIA YANG SALAH Oleh : Nafla Firda Rilovi Sore itu, seperti biasa, aku duduk di kursi favoritku di kafe itu. Namun kali ini terasa berbeda, entah kenapa tetesan hujan di luar sana mengingatkanku padamu. Kau yang membenci hujan yang katamu me resahkan itu. Kupejamkan mataku berusaha mengusir bayangan-bayangan itu. Namun ternyata kau dan kenanganmu semakin memenuhi tiap inci ingatanku. Kubuka mataku agar ingatan itu pergi. Akan tetapi aku melihatku di sana, berdiri di hadapanku membawa notes kecil juga pena tengah tersenyum ceria padaku. Aku membeku, kembali terpesona olehmu. Senyum itu, kerutan di dekat mata sipitmu masih sama seperti dulu. Wajahmu selalu tampak indah di mataku. Ditambah lesung pipi kecil di pipi kananmu. Lalu kulihat kau tersipu karena kutatap seperti itu. Kau pun menunjukkan notesmu bertanya padaku apa yang kubutuhkan, tepat seperti kali pertama aku melihatmu. Aku menyebutkan menu kesukaanku, Ice Americano dan pancake with honey sauce. Kau mengangguk dan memberiku isyarat memintaku untuk menunggu dan pergi menuju dapur. Sepuluh menit kemudian kau kembali membawa pesananku. Setelah menyajikannya kau mengulurkan tanganmu mempersilahkanku untuk menikmati. Aku mengangguk dan membalas senyummu seraya mengucapkan terimakasih. Pipi tembammu kembali memerah tersipu melihat senyumku. Kau segera berlalu kembali menuju dapur. “Permisi, Mas. Masnya mau pesan apa?” Aku menatap seorang gadis muda yang berdiri di depanku yang te ngah tersenyum ramah. Gadis itu berambut sebahu yang diikatnya ekor kuda. Pipinya lebih tirus dan badannya lebih kurus. Tidak sama seperti tubuhmu yang lebih berisi seperti ketika kali kita terakhir bertemu. 238
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Mas. Ada yang bisa saya bantu?” gadis itu kembali bertanya padaku. Aku tersentak, segera kembali ke masa kini, “Ah, iya. Saya pesan Ice Americano-nya, satu.” Ujarku. Gadis itu pun berlalu meninggalkan mejaku. Dan kembali beberapa menit kemudian membawa pesananku. Ia bergumam mempersilahkanku dengan raut sedikit tersipu. Dan segera berbalik kembali menuju pintu dapur. Aku menatap pintu dapur dan terkejut melihatmu keluar dari sana. Senyum kembali tersungging di bibirku. Kau melangkah mendekat ke mejaku lalu duduk di hadapanku. Kau memberi isyarat agar aku meminum minumanku. Aku meraih gelasku dan meminumnya perlahan, mataku tetap tertuju padamu. Kau pun sama, masih menatapku dengan senyum indahmu. “Ren, udah ketebak lo disini.” Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku terlonjak dan segera melotot melihat sosok yang mengejutkanku. Ia hanya tersenyum dan segera menduduki kursi kosong di depanku. “Gak usah bete gitu lah liat gue.” Ucapnya dengan senyum mengejek seraya melirik tatapan sebalku. Ia pun memanggil gadis yang tadi melayaniku. Setelah memesan minuman, pria yang duduk di depanku ini kembali menatapku lekat. “Gimana lo bisa lupa kalau hampir tiap hari lo datang ke tempat ini.” Aku hanya memalingkan wajahku. Si gadis datang kembali mem bawakan pesanan. Ia segera menyajikannya dan bergegas pergi. “Lo perlu suasana baru, Ren. Lo ga bisa terus-terusan stuck dengan bernostalgia sama kenangan-kenangan lo itu.” Aku merasakan mataku berkaca-kaca, namun aku menahan agar tak sampai menetes di hadapan pria ini. Aku menarik napas kuat, “Gue merasa bersalah sama dia.” Suaraku sedikit serak ketika mengucapkanAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
239
nya. Pria itu menatapku dengan serius, Rey, kakak kandungku. “Gue tahu. Dan biar gue bilang sekali lagi, itu bukan salah lo. Dia kecelakaan-“ “Dia ngorbanin dirinya demi gue.” Ucapku dengan suara yang sedikit meninggi, membuat beberapa orang lain yang berada dalam kafe menoleh ke arah kami. Tapi aku tidak peduli, “Seharusnya gue yang ketabrak. Bukan dia.” Lirihku, tak sanggup lagi menahan air mata yang menggenang mengingat detik-detik menyakitkan itu. Melihat tubuhnya terhempas kuat, membuat matanya yang biasanya bersinar tertutup rapat. Aku menutup mataku, “Seharusnya gue gak ngajak dia pergi waktu itu. Seharusnya gue gak ninggalin dia sama yang lain. Mereka gak kenal dia. Mereka gak tau kebaikan hatinya. Mereka-“ Aku terisak kuat. Tidak sanggup melanjutkan kata-kataku. “Itu bukan salah lo-“ “Iya, bukan salah gue. Berarti itu salah Mami. Mami gak seharusnya ngucapin kata itu ke dia. Mami gak seharusnya merendahkan dia kayak gitu. Gue cinta sama dia, Bang. Gue gak peduli sama kekurangannya. Gak peduli dia yang gak bisa bicara. Gue bisa nerima itu asalkan gue bisa terus ngelihat senyumnya.” Aku tak lagi menahan ucapanku padanya. “Gue tahu. Dan Mami, beliau pengen nemuin lo, Ren. Beliau mau minta maaf sama lo.” Rey berujar lembut penuh pengertian. Aku menggeleng, “Tapi yang kemarin mereka ucapin udah keterlaluan, Bang. Gue denger semua yang mereka ucapin. Termasuk yang Mami ucapin.” Aku menarik napas kuat, “Gue lari ngejar dia. Dia bahkan gak mau noleh ke gue sampai tiba-tiba handphone gue bunyi. Terus tau-tau dia udah ngedorong badan kita ke pinggir jalan. Tapi semuanya udah telat, Bang. Dia tetap kehantam sama mobil itu.” Aku menangkupkan tangan ke wajahku, berusaha menghilangkan ingatan akan kejadian itu. Aku bisa merasakan Rey berpindah duduk di sampingku. Ia perla240
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
han menarik tubuhku untuk di peluknya. Selama beberapa saat ia hanya terdiam membiarkanku menangis di bahunya sambil sesekali menepuk-nepuk bahuku. Aku segera menarik diri setelah merasa lebih tenang. Ia menatapku dengan tatapan pengertian namun senyum mengejeknya kembali tersungging, “Demi apa lo nangis di tempat umum kayak gini. Cowok apa bukan sih, lo” Cemoohnya. Aku hanya memberinya tatapan kesal. Ia mendengus pelan sembari terkekeh singkat melihat tatapanku lalu meraih tisu dan menyodorkannya padaku. Aku mengambilnya dan menghapus sisa air mataku. Tatapannya kembali serius ketika aku selesai membersihkan wajahku, “Gue tahu gimana perasaan lo sekarang. Tapi tolong dengerin gue, sesedih apapun lo jangan sampai lo terjebak di zona kenangan lo sendiri. Nostalgia boleh, tapi inget hidup harus tetap berjalan. Percaya deh, gue yakin Fifi mau hidup lo terus berjalan. Apa yang terjadi sama dia itu murni kecelakaan. Tunggu dulu, gue belum selesai bicara,“ Ia meletakkan telunjuknya di mulutku ketika aku baru akan membuka mulut. “Kalau tiap hari kerjaan lo cuma dateng ke sini atau ke taman tempat biasa lo sama dia, itu sama aja lo ngebiarin diri lo stuck sama masa lalu lo. Lebih baik lo pelan-pelan ngelupain semuanya. Lo harus memaafkan diri lo sendiri dulu. Lo bisa nostalgia sekali-kali waktu lo bener-bener rindu sama dia. Kalau yang lo lakuin sekarang, ini bukan nostalgia, Ren. Lo itu cuma diliputi rasa bersalah. Tapi lo selalu mengatasnamakan nostalgia. Nostalgia itu gak keterusan kayak gini.” Aku memalingkan wajah dari tatapan tegas kakakku. Dalam hati, aku merasa apa yang ia katakan benar. Tapi aku benar-benar belum bisa melupakannya. Kenangan indahku bersamanya terlalu banyak. Aku merasa tidak sanggup melupakannya. “Ren,” Rey memegang kedua bahuku, membuatku menoleh ke arah nya. “Kita rindu lo, Ren. Gue rindu sama lo, apalagi Mami. Beliau berharap bisa minta maaf sama lo. Tapi lo bahkan gak pernah sekalipun Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
241
pulang ke rumah setelah kejadian itu. Mami udah sadar sama kesalahannya. Gue udah buat Mami ngerti sedalam apa perasaan lo ke dia. Dan itu buat Mami bener-bener ngerasa bersalah.” Ujarnya. “Ayo pulang, Ren. Gue mohon sama lo.” Aku menoleh kepada kakakku yang tengah menatapku memohon. Aku menatap ke sekelilingku. Di tempat inilah aku pertama bertemu denganmu. Kau yang hanya seorang pelayan kafe tunawicara. Namun senyum di wajah cantikmu menarik hatiku. Perlu waktu berbulan-bulan untuk meyakinkanmu bahwa aku tulus mencintaimu. Hingga akhirnya kau menerimaku. Kita menjalin hubungan selama dua tahun. Selama itu aku merasa bahwa saat-saat itu adalah yang paling membahagiakan. Kita pergi ke tempat-tempat yang kita sukai. Banyak menghabiskan waktu bersama ketika aku memiliki waktu senggang. Dan kejadian itupun terjadi. Aku mendengar apa yang Mami ucapkan bersama beberapa saudara juga kerabat perempuanku. Aku melihat raut wajah sedihmu. Kau yang tidak sanggup mendengarnya pun pergi diiringi tawa mencemooh mereka. Aku menggeleng, tak sanggup mengingat semua itu. “Jangan diingat lagi.” Rey berkata pelan. Aku yang tanpa sadar menutup mataku pun membuka mata dan menatapnya, “Semua itu memang gak akan pernah bisa dilupakan. Tapi lo bisa meminimalisir ingatan itu datang. Itu bisa ngurangin rasa sakit dan bersalah yang lo rasakan sekarang.” Ujarnya bersungguh-sungguh dengan tatapan memohonnya. Aku menutup mataku, menarik napas dalam-dalam. Berusaha menutup semua ingatan yang menghantuiku belakangan ini. Lalu setelah siap, kubuka mataku. Aku menatap wajah kakakku yang masih menatapku itu, “Bantu gue buat ngelupain semuanya.” Ucapku. Kakakku tersenyum mendengarnya. Akupun segera memeluknya sebagai tanda terimakasih telah menyadarkanku. Ia balas memelukku dengan erat. Setelah melepaskan pelukan kami saling bertatapan, 242
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
senyum mengejeknya pun kembali. Aku hanya memutar mataku yang di sambut ledakan tawa darinya. Lalu ia pun merangkulku menuju kasir. Dan kami pun pergi meninggalkan kafe itu. Biarkan aku berteman de ngan kenangan itu agar aku selalu bisa mengingatmu dengan cara yang benar. ***
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
243
OMA CELI Oleh: Catherine X’obel Di hari ulang tahun Rincelina yang ke-99, Rincelina memimpikan seorang malaikat bersayap perak mencuri jam dinding dari kamar tidurnya. Rincelina, tentu saja, memergokinya dan membuka mulut untuk berteriak. Namun tidak ada suara teriakan yang keluar dari mulutnya, melainkan hanya sebuah erangan “Hei!” yang pendek dan lemah. Walaupun pelan, ternyata malaikat itu mendengarnya; ia turun dari dinding dan memikul jam dinding dipunggungnya. “Kembalikan jamku,” Rincelina menghardik. Malaikat itu mengernyit. “Tidak bisa.” Rincelina melotot pada malaikat berparas tampan itu dan berkata, “Panjat lagi temboknya dan pasang lagi jamku.” “Saya bisa memanjat temboknya dan memasang jam, tapi tidak ada gunanya,” malaikat itu menerangkan pelan-pelan. Ia kemudian menunjukkan jam dinding itu pada Rincelina. Jam itu tidak punya angka, hanya jarum pendek dan jarum panjang yang berputar-putar kencang ke segala arah. Rincelina tersentak mundur karena kaget. “Kalau begitu, perbaiki jamnya. Itu hadiah dari Peter, anakku,” perintah Rincelina. Malaikat itu menggeleng sambil kembali memikul jam dinding itu ke punggungnya. Kedua sayap di punggungnya mengepak-ngepak dengan cepat dan tembok-tembok kamar Rincelina runtuh tanpa suara ketika sayap perak itu dibentangkan luas. Sang malaikat mengingatkan Rincelina akan burung-burung merpati yang suka terbang rendah di atas atap rumahnya. Suara ketukan pintu yang keras dan berulang-ulang membangun kan Rincelina. Ketika perempuan itu membuka matanya, ia cepat-cepat 244
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mengecek tembok dimana ia menggantung jam. Benda itu masih ada di tempatnya dan masih berfungsi dengan baik, malah. Jam dindingnya menunjukkan pukul sembilan pagi. Setelah beberapa kali pintu diketuk, suara riang seorang laki-laki memanggilnya. Rincelina bangkit dari kasurnya dan tidak langsung membukakan pintu depan. Ia malah berjalan ke kamar mandi dan membasuh muka nya yang anehnya, berkeringat. “Oma Celi!” Suara itu memanggil tak sabar. “Ini aku, Lukas!” “Aku tahu,” Rincelina menggerutu sebelum membukakan pintu. Lukas tersenyum tipis ketika melihat neneknya. Pria itu menjulang sepuluh senti lebih tinggi dari Rincelina. Ia mengenakan kemeja kasual dengan rompi wol rajutan yang cukup mengesankan. Penampilannya membuat para tetangganya mengira kalau Lukas baru saja lulus kuliah. Di tangannya, ia menenteng keranjang buah dan sebuah kotak besar entah apa isinya. Namun Rincelina tidak terlihat seantusias cucunya. “Selamat ulang tahun, Oma,” Lukas berkata. “Kau datang terlalu pagi,” Rincelina mengeluh. Sebenarnya Lukas datang tepat waktu. Dua hari lalu pria itu berjanji akan datang pukul sembilan. Lukas tidak menunggu apapun dan segera memasuki rumah dengan langkah yang cepat, diikuti langkah Rincelina yang agak tertatih. Lukas segera pergi ke dapur dan membongkar isi kotak yang ia bawa; kue bundar yang bertabur krim berwarna merah muda (warna kesukaan Rincelina). “Aku tidak mau ada pesta,” Rincelina bersandar di pintu dapur. “Aku tahu Oma tak peduli juga,” Lukas menjawab dengan suara rendah. “Ini hari terakhir Oma di rumah ini. Oma sudah membereskan barang?” “Kau akan mengusirku dari rumahku sendiri, Lukas?” Rincelina menatap nanar pada cucunya. Lukas melanjutkan memotong kuenya menjadi potongan yang lebih kecil. Ia tampak nyaris hilang kesabaran, naAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
245
mun Lukas menyembunyikannya dengan rapi. “Oma, ini rumah sewaan dan aku tidak mampu membayar uang sewanya lagi,” ia menjelaskan dengan perlahan. “Dua minggu lagi aku akan menikah. Dua minggu lalu, aku ingin Oma tinggal bersamaku dan calon istriku di rumah kami, namun Oma menolak. Oma ingat,’kan?” Rincelina tidak ingat apa yang persisnya ia katakan, namun wanita tua itu ingat kerut dahi Lukas ketika ia menolak. “Kau tega membawaku ke panti jompo, Lukas?” Ujar Rincelina. “Uangku terbatas dan Oma tidak menyukaiku. Aku tidak punya pilihan lain.” Pukul satu siang setelah memakan kue dan memindahkan barang-barang Rincelina ke dalam mobil (tidak banyak barang yang dibawa, cuma album-album foto dan sekardus pakaian), berangkatlah Rincelina dan cucunya Lukas menuju panti jompo yang berjarak empat jam jauhnya. Lukas dan Rincelina terjebak dalam keheningan yang canggung; Lukas tidak mampu mengatakan apapun yang bisa menyenangkan Rincelina, dan Rincelina sendiri nyaris mabuk darat kalau ia hanya diam-diam saja di dalam mobil. Di sepanjang perjalanan, Rincelina hanya terbayang-bayang malaikat yang mencuri jam dindingnya di dalam mimpi. Apa yang salah dengan waktu? Apakah aku terlalu ceroboh untuk merusaknya? Mengapa malaikat itu ingin lekas-lekas mengambilnya? Mata Rincelina terpaut pada sebuah foto usang yang ditempel di pojok kiri atas kaca depan mobil. Foto itu jelek, Rincelina selalu membencinya. Padahal di dalam foto itu ada anaknya, Peter, yang sudah meninggal. Peter menggendong bayi tampan yang seperempat abad kemudian tumbuh menjadi Lukas yang sekarang sedang menyetir mobil. Peter duduk diapit oleh Rincelina, yang pada saat itu cantik seusai bersolek dari salon langganannya, dan menantunya Wina. Tampaknya Lukas menyadari bahwa Oma-nya memandangi foto tua itu bermenit-menit. “Aku selalu menyukai foto itu. Itu satu-satunya 246
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
foto utuh yang kutemukan. Sisanya, foto Mama dirobek semua,” Lukas mendesah. “Aku benci Mama-mu,” Rincelina menyembur tiba-tiba. Lukas mendengus. “Oma benci semua orang. Oma benci Lisa, gadis pembersih pertama, Sien gadis pembersih kedua, Bu Yana tukang sayur, Betho tukang galon...” “Aku benci Mama-mu, khususnya,” Rincelina mengoreksi. “Kalau Mama-mu tidak kabur dengan bosnya yang hidung belang, Peter tak akan mati karena patah hati. Papa-mu pasti masih hidup.” Cucunya diam sebentar untuk memikirkan jawaban. “Oma kira aku tidak benci Mama?” Lukas berkata datar. “Kau mirip sekali dengan Wina,” Rincelina menggerutu, “kalau aku melihatmu, aku melihat Wina. Padahal kau laki-laki.” “Tapi aku pekerja keras, bisa diandalkan, dan juga tidak mudah nye rah. Oma pikir aku dapat sifat-sifat seperti itu dari siapa?” Rincelina tersenyum tipis, lalu memalingkan muka ke arah jendela agar Lukas tidak melihatnya. “Peter,” Rincelina berkata. “Oma terlambat, aku bisa melihat Oma senyum.” Lukas tersenyum puas dalam hati. Poin untuk Lukas 1, Oma Celi 0. “Kuharap calon istrimu tidak bekerja,” Oma Celi berkata pelan. “Hmm? Kenapa begitu?” “Kalau ia bekerja, ia akan punya bos. Tidak semua bos bisa mengendalikan libidonya.” “Calon istriku punya nama.” “Aku lupa.” “Coba Oma ingat.” “Namanya Vina?” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
247
Lukas terlihat kecewa, namun sekali lagi ia pandai menyembu nyikannya. “Namanya Elisabet. Kalau Oma cukup peduli untuk me ngingat-ingat, Elisabet adalah asisten direktur senior. Ia bekerja untukku jika ada film yang perlu dibuat.” “Aku tidak ingat kalau kau seorang bos.” “Aku memang bukan bos. Dan kalau Oma sudi mengenang masa lalu, rasanya aku pernah bilang kalau aku adalah sutradara film.” “Sekarang kau sarkastik, Lukas.” Lukas tidak menjawab karena ia sedang fokus pada truk di depan yang hendak ia salip. Selain itu, ia tidak mau hilang kesabaran menghadapi Oma-nya. Lagipula, mereka masih berada di jalan tol. Lukas enggan memancing emosi yang tidak perlu. Ia tidak begitu suka diganggu ketika mengemudi, namun ia selalu berusaha panjang sabar di depan nenek nya. “Aku dan Pio, kami masih sangat muda ketika menikah,” kata Rincelina beberapa menit kemudian. “Kami pikir kami cukup dewasa. Namun ada hal-hal baru yang kau pelajari dari pasanganmu setiap hari. Itulah pernikahan kami. Kau punya gagasan, pasanganmu juga, dan untuk se umur hidup kau harus bernegosiasi dengan gagasan dan ide pasanganmu. Makanya, kami sering bertengkar karena cara masak makan malam, siapa yang merapikan taman, hal remeh seperti itu. Tidak semua ber akhir buruk, namun seringkali kami menuai buah yang manis. Kami semakin sayang dengan satu sama lain... Lalu, datanglah kehamilan. Aku sempat keguguran satu kali, dan ketika aku hamil lagi, rasanya seperti mukjizat. Peter-lah keajaiban kami berdua. Setelah ia lahir, kakekmu datang ke rumah sakit setelah ia bekerja. Waktu itu sudah larut malam, aku ingat ia kehujanan dan jaketnya basah sedikit. Ia bilang kalau ia makin sayang padaku, dan aku menyuruhnya pulang karena ia bisa masuk angin.” Lukas diam saja, bukan karena ia enggan menanggapi luapan masa lalu neneknya, namun ia baru saja berhasil menyalip truk besar maha 248
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
lamban. Namun ia menyimak apa yang neneknya ceritakan, dan tertarik mendengar lebih banyak tentang neneknya di masa muda. “Apa yang sedang Oma lakukan waktu Oma seumuran denganku?” Lukas bertanya. Rincelina menatap ke luar jendela mobil. Sambil menelusuri pemandangan jalan tol yang membosankan, ia teringat akan sesuatu yang lucu dan segera membaginya pada Lukas; “Aku waktu itu masih cantik dan bohai, tentu saja. Wajahku bebas kerutan dan payudara sekencang balon. Pio membawaku jalan-jalan ke pantai dengan mobilnya untuk me rayakan hari jadi kami yang ketiga. Edan, pria itu. Ia melamarku ketika ia sedang mengebut. Saat itu, aku takut kalau aku menolaknya, ia akan menabrakkan mobil ke pembatas jalan.” Lukas terbahak-bahak ketika ia mendengar hal ini. “Kukira Opa tidak... tidak punya kecenderungan nekat seperti itu.” “Nekat ada di dalam darahnya, tidak terpisahkan,” Rincelina me ngoreksi. Sebuah mobil bak menyalip mereka dan Lukas mengerem pelan. Rincelina sudah agak pusing karena mabuk darat. “Di antara aku dan Opa, siapa pengemudi yang paling lihai?” Lukas bertanya. “Kalian berdua sama saja. Aku sudah mabuk. Aku jadi ingat Pio. Dia lebih takut menabrak kucing daripada menabrak manusia. Suatu kali ada kucing berlari melintasi jalan, dan Pio langsung menepi. Kucingnya tidak tertabrak, puji Tuhan, tapi Pio jadi agak takut setelahnya.” “Mengapa Oma menceritakan semua ini padaku?” Lukas bertanya. “Maksudku, tentang masa lalu Oma dan sebagainya.” Rincelina tercenung sebentar... apakah aku harus menceritakannya pada Lukas? Bukankah mimpi itu konyol? Tapi semakin lama dipikirkan, mimpi itu membuat perasaannya tidak nyaman. “Aku bermimpi tentang waktu semalam,” Rincelina mendesah. “Aku selalu berpikir kalau kita punya banyak waktu. Namun tiba-tiba umurmu sembilan puluh sembilan tahun, dan kau diantar ke panti jompo.” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
249
“Apakah ini ada hubungannya dengan kematian?” tanya Lukas. “Maksudku, dengan waktu yang tidak banyak. Apakah itu maksud Oma?” Rincelina menggeleng. “Tidak, tidak. Kita memang punya banyak waktu. Umurku sembilan puluh sembilan. Banyak orang yang pergi le bih awal. Buktinya? Cobalah ke pemakaman dan cermati nisan-nisannya.” “Jadi, inti dari mimpi Oma adalah...?” “Aku punya penyesalan yang kusadari setelah mengingat-ingat masa lalu. Terutama denganmu. Aku ingat saat kau mengantarku ke dokter beberapa waktu lalu, Lukas.” “Dokter yang mana, Oma? Kita ke spesialis jantung bulan lalu, lalu ke—” “Dokter yang bilang kalau aku punya gangguan ingatan.” “Oh.” “Dokter itu bilang kondisiku belum terlalu parah.” “Tapi Oma sempat tidak mengingat—” “Aku membesar-besarkan gejalanya dengan berpura-pura lupa tentang banyak hal. Itu karena aku benci denganmu, Wina, bahkan diriku sendiri.” “Jadi, inti dari mimpi Oma adalah mimpi itu baik atau buruk?” Rincelina memikirkan pertanyaan ini. Mimpi itu jelas membuatnya terganggu, namun mimpinya menggugah sesuatu di dalam diri Rincelina. “Aku masih ingin mencari tahu,” Rincelina menjawab. “Tapi kita masih punya waktu buat memikirkannya. Sambil menunggu, kau mau mendengar cerita-ceritaku lagi?” Lukas menatap jalan tol yang terbentang panjang ke depan dan ia mengangguk. “Kita masih punya waktu.” 250
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Perempuan yang Mati Dua Kali Oleh: Meutia Fauziah Baru membuka pagar rumah orang tuaku, aku disambut bunyi benda yang pecah. Cukup nyaring, hingga aku berpikir, pastilah benda itu dihempas. Bukan sekadar tersenggol dan jatuh. Segera kupercepat langkahku melewati halaman depan dan teras. Ada apa gerangan? Aku sejenak lupa dengan bolu puding yang kubawa hati-hati sejak aku keluar rumah agar tidak mudah terbentur dan hancur. Abah sudah pesan dari beberapa hari lalu ingin dibuatkan. Baru sempat kubuat dan kuhantarkan hari ini, sambil menjemput anak sulungku yang menginap di rumah nini dan akinya. Kembali kukendalikan langkahku. Menata kembali letak kotak kue yang mulai miring. Aku mendorong pintu yang ternyata sudah sedikit terbuka. “Assalamualaikum,” tidak ada jawaban. Aku melangkah masuk melewati ruang tamu menuju ruang tengah. Tempat biasa abah dan ambu menyantap sarapan di pagi hari. Namun, pemandangan pagi itu tak lagi seperti biasanya. Ambu berdiri mematung menghadap abah dengan wajah yang agak memerah. Saat melihatku muncul, ia menyeka pipinya yang basah. Abah tengah duduk di kursi empuknya dengan tubuh yang condong ke depan, menghadap ke arah ambu. Wajahnya terlihat marah. Sesaat sedikit berubah sayu ketika menampakkan wajahnya arahku. Di lantai, sebuah piring telah menjadi puing-puing tak beraturan. Terpencar-pencar di sekitar kaki ambu. Potongan-potongan tape goreng berserakan. Sejenak, waktu seperti berhenti. Sunyi. “Ada apa ini, Ambu, Abah?” tanyaku. Abah menyenderkan diri di sandaran kursinya yang empuk, dibuatAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
251
kan khusus oleh ambu. Sambil menghela napas panjang, abah terlihat tertunduk. Ambu segera masuk ke dalam kamar. Ia tidak menutup pintu kamarnya, pertanda ia mengharapkan aku masuk mengikutinya. Di kamar, ambu duduk di atas dipan. Air matanya masih keluar satusatu. Segera ia seka ketika aku masuk. Aku duduk di sampingnya, sambil mengusap punggungnya yang sudah renta. “Ada apa, Ambu?” “Abah, Neng. Bikin marah Ambu,” katanya memulai dengan ragu. “Kenapa abah buat marah Ambu? Abah merokok lagi?” “Bukan.” “Abah mau mancing sama teman-temannya lagi di danau?” “Kalau itu, Abah sudah sangat mengurangi, Neng. Bukan itu.” “Lalu?” “Abah sepertinya selingkuh, Neng,” kata Ambu setengah berbisik, dengan suara nyaris bergetar. Terkaget aku mendengarnya. Namun, sebisa mungkin aku kendali kan raut wajahku dan juga reaksiku. Secara bersamaan, pertanyaan-pertanyaan bermunculan memenuhi benakku. Dan tidak ada satu pun yang aku ucapkan di hadapan ambu. Ambu terlihat terisak lagi. Wajahnya tampak lelah. Aku baringkan Ambu. Ia menurut. “Sudah, Ambu jangan banyak pikiran dulu. Istirahat dulu. Baru selesai urusan pembagian harta waris dengan uwak dan mamang. Sempat ada salah paham dan keributan. Itu juga sudah membuat Ambu kecapekan dan tidak enak badan,” ujarku. Ambu bergeming. Sejenak melepaskan napas. “Iya, Neng. Alhamdulillah urusan yang itu sudah selesai, ya.” “Iya, alhamdulillah. Ingat tidak, asam lambung Ambu selalu naik di tengah penyelesaian persoalan itu. Tensi darah Ambu naik. Persendian 252
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
juga sakit semua. Jangan sampai, karena ada soalan lagi, penyakit jadi kambuh, Mbu. Neng bikinkan teh hangat, ya.” Aku keluar kamar Ambu dan hendak ke dapur. Namun, melihat pecahan piring dan gorengan tape masih berceceran di ruang tengah, aku membereskan itu terlebih dahulu. Abah sudah tidak ada di kursi empuknya. Mungkin ia keluar menenangkan diri. Padahal, ingin sekali aku bertanya juga kepada Abah tentang duduk persoalannya. Raka, anak sulungku ternyata masih belum bangun. Kutengok ke kamarnya, dia masih nyenyak dalam selimut dan bantal gulingnya. Tak mendengar keributan yang terjadi antara aki dan nininya. Tentu saja, aku merasa lega dengan itu. Sambil menyeduh teh di dalam cangkir tua ambu, di dalam dadaku ada rasa yang getir. Pertengkaran ambu dan abah amat jarang terjadi. Seingatku, ambu dan abah pernah sekali bertengkar agak hebat saat aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu mereka berselisih paham tentang keinginanku untuk mengikuti ekstrakurikuler pecinta alam. Ambu khawatir kalau anak perempuannya satu-satunya ikut kegiatan semacam itu. Naik gunung, panjat tebing, mengarungi sungai yang deras. Membayangkannya saja Ambu sudah waswas bukan main. Belum tuntas penjelasanku kepada mereka saat itu, Ambu dengan keras berkata tidak. Abah berkebalikan, dia sangat mendukung keinginanku itu. Tapi, aku lebih mengkhawatirkan pertengkaran ambu dan abah dibandingkan dengan ekskul apa yang akan aku pilih. Aku ambil jalan tengah yang bisa menenangkan keduanya. Setelah pertengkaran itu, tidak terjadi hal serupa lagi. Bukan berarti tidak ada persoalan. Namun, biasanya, ambu dan abah bisa dengan cepat menangani itu semua. Mereka bisa saling memahami sudut pandang masing-masing. Sehingga, persoalan yang dihadapi sehari-hari dapat diselesaikan dengan baik. Bahkan, sewaktu-waktu aku pernah meminta nasihat dari ambu dan abah. Ketika itu, lima bulan pertama perkawinanku, aku dan suamiAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
253
ku kerap bersitegang untuk hal-hal yang amat sepele. Soal kecap yang tumpah, soal aku yang tidak kasih kabar ketika bepergian, sampai soal menentukan nama anak. Meski tidak sampai bertengkar secara hebat dan bermuara pada keputusan yang fatal, terkadang aku ingin juga punya hubungan yang aman tenteram. Tidak mudah bertengkar dan salah paham karena hal remeh-temeh. Ambu dan abah memberikan nasihat sebagaimana seharusnya me reka memberi nasihat pada anaknya yang sudah berkeluarga. Yang pada umumnya, secara teori, aku sudah tahu. Misalnya, dalam perkawinan harus berkomunikasi dengan lancar, jangan ada yang disembunyikan, saling percaya, saling memahami, dan lain-lain. Meski terdengar klise, semua nasihat itu aku usahakan untuk diterapkan di dalam rumah tanggaku. Berharap membuat keadaan jadi lebih baik. Jauh di lubuk hatiku, aku iri dengan hubungan yang harmonis dan adem ayem pada ambu dan abah. Dua orang yang setiap harinya hidup bersama sudah lebih dari setengah abad bisa dengan baik mengatasi perbedaan. Bisa mengatasi berbagai macam gejolak diri masing-masing. Bisa berkomitmen untuk tidak mengatakan kata perpisahan, sekeras apa pun masalah yang di hadapi. Makanya, pagi ini, peristiwa yang aku temui, cukup membuatku tersentak. Meski, di sisi lain, aku masih berharap bahwa pertengkaran ambu dan abah hanyalah kesalahpahaman saja. Apalagi, tentang pernyataan ambu tadi: abah selingkuh. Tidak bisa sama sekali masuk ke dalam penalaranku. Abah yang usianya kini sudah 75 tahun masih tergoda untuk main dengan perempuan lain? Sepanjang sejarahku menjadi anak abah, tidak pernah ada sedikit pun rumor abah genit dengan pe rempuan, atau abah ada hubungan dengan perempuan lain. Abah yang di dalam pengenalanku adalah seorang ayah yang mungkin di benak nya tidak ada hal lain selain keluarga, soal memancing, merokok sambil ngopi bersama teman- temannya, dan nonton bola. Melihat penyanyi dangdut dengan busana seksi di televisi saja langsung ia ganti salurannya. Lalu, bagaimana mungkin ada kecurigaan semacam itu terhadap abah? Ingin rasanya memastikan maksud pernyataan ambu tadi, namun 254
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
lidahku terasa kelu. Mungkin itu adalah antisipasi diri untuk menghadapi hal-hal yang tidak kupercaya, namun ada kemungkinan untuk terjadi. Aku masuk ke kamar ambu dengan secangkir teh hangat. Kutemui ambu sudah dalam keadaan duduk, menyenderkan kepalanya di din ding, dengan kaki diselonjorkan. Teh yang kuberi ke ambu langsung ia teguk sampai tandas. Tidak seperti cara minum ambu biasanya, yang menyeruput teh sedikit demi sedikit. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang ia tahan sejak tadi, ambu segera meletakkan cangkir teh kosong itu di meja sebelah dipan. “Neng, ambu itu melihat, akhir-akhir ini abah lebih sering menatap layar HP. Bertukar pesan entah dengan siapa. Sampai-sampai, acara bola kesayangannya, dia abaikan,” ambu mulai memberikan potonganpotongan informasi yang ia pendam. “Abah lagi ada proyek mungkin, Mbu. Atau ada pembicaraan yang serius di grup chatting-nya,” aku menyodorkan kemungkinan lain. “Ambu memang tidak mengecek isi percakapan abah dengan entah siapa itu. Tapi, ada suatu waktu, Abah kepergok sedang melihat foto seorang perempuan. Ambu waktu itu sedang menaruh lauk-lauk di meja makan untuk makan siang. Tapi, karena kursi Abah membelakangi meja makan, dia tidak menyadari keberadaan ambu,” jelas ambu. “Memang Abah melihat foto siapa, Mbu? Ambu kenal dengan pe rempuan itu?” “Tidak tahu, Neng. Ambu tidak pernah lihat. Tapi, dari perilaku abah yang ganjil belakangan ini, lalu dengan peristiwa yang ambu lihat de ngan mata kepala ambu sendiri, apa lagi yang bisa disimpulkan, Neng?” “Bisa saja itu cuma kiriman dari teman-temannya di grup percakapan, Mbu. Kan ada macam-macam dikirim ke situ. Abah kebetulan mungkin hanya sedang melihat-lihat apa yang dikirim teman-temannya.” Ambu lalu terdiam. Sepertinya, ia mulai mempertimbangkan ucapanku. Namun, wajahnya masih memancarkan kekhawatiran. Aku piAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
255
jat-pijat kaki ambu, sambil berkata, “Baiklah, Mbu, ayo kita tanya saja ke abah supaya Ambu lebih tenang. Tidak ada salah sangka.” “Ambu sudah tanya, Neng. Tapi Abah malah marah. Dia seperti tidak suka dengan pertanyaan ambu itu,” jelas ambu. “Ambu bertanya apa?” “Ambu bertanya, apa abah ada simpanan wanita lain atau sedang menjalin hubungan dengan wanita lain. Begitu, Neng.” Mungkin abah marah karena pertanyaan ambu terkesan menuduh. “Ya, sudah nanti Neng tanya ke abah ya, Mbu,” kataku menenangkan. Aku mencari abah ke teras. Ia ada di dekat pagar, sedang menelepon. Raut wajahnya semringah dan bersemangat. Berkebalikan dengan wajah yang penuh amarah saat aku tiba tadi. Ganjil. Bagaimana mung kin nuansa hati abah bisa dengan cepat berubah menjadi begitu ceria setelah pertengkarannya dengan ambu. Aku menunggunya selesai menelepon lalu menghampirinya. “Bah, jadi persoalannya seperti apa sehingga Abah dan ambu sampai bertengkar begitu?” Aku menghindari pertanyaan dengan muatan asumsi apa pun. Abah memasukkan ponselnya ke kantong baju. Terdiam sejenak. Lalu berkata, “Ambu melihat abah ketika abah sedang membuka pesan gambar dari seseorang, Neng. Itu sepertinya yang membuat ambu marah. Kejadiannya sudah beberapa hari lalu, namun ambu memendamnya, sampai tadi pagi terjadilah pertengkaran itu.” “Itu cuma salah paham, kan, Bah? Foto itu bukanlah siapa-siapa, kan?” “Itu foto mantan kekasih abah, Neng,” jawab abah singkat. Serangan pertanyaan bertubi membentur kepalaku hingga aku tergagap. Lalu pembicaraan itu terputus karena abah menerima telepon lagi. Ia menjawab sepintas dan menutupnya. Ia mengatakan ada janji dengan orang. Ia berjanji akan menceritakan semuanya nanti. Lalu ia pergi. 256
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Tubuhku kaku. Aku bisa merasakan jari-jemariku yang mendingin. Kegelisahan seperti kabut yang semakin lama- semakin menebal, memenuhi ruang-ruang pikiranku. Bagaimana aku menyampaikan ini kepada Ambu. Aku masih memproses kata-kata abah yang teramat singkat menancap di telingaku. Aku kembali ke dalam rumah dengan gontai. Dan lupa untuk menata ekspresi wajahku sampai ambu sudah berdiri di ruang depan. Raut mukanya seolah berkata, “Benar kan dugaan ambu?” Ambu melihatku dengan wajah yang sedih. Aku terduduk. Energiku terkuras secara tiba- tiba. Ambu juga duduk di sebelahku. Ia tahu, apa yang ia duga itu benar, tapi ia masih merasa perlu bertanya, “Bagaimana pembicaraan dengan abah tadi, Neng?” “Kita tunggu abah saja ya, Mbu. Katanya abah akan menceritakan semuanya,” jawabku tidak bertenaga. Ambu menghela napas. “Melihat ekspresi wajahmu, ambu sudah tahu bagaimana keadaan nya. Ambu bisa paham kamu juga terpukul. Ambu tidak bisa melakukan apa-apa, Neng, untuk yang satu ini. Mungkin cinta abah kepada ambu sudah di penghabisan. Hidup dengan orang yang sama setiap hari, selama puluhan tahun, pasti amat membosankan,” kata-kata ambu terde ngar putus asa. “Tapi Ambu dan abah sudah lama menikah, harmonis, bisa saling memahami. Ambu dan abah juga sudah punya cucu- cucu yang lucu. Sudah jadi aki dan nini yang dilengkapi kebahagiaan. Apa alasan bosan bisa diterima untuk ini semua?” tanyaku protes. Mestinya aku bisa menguatkan Ambu, bukan malah menggugat keadaan. Ambu pun semakin murung dan sedih. Menyadari itu, aku hanya bisa memeluk ambu. Sebenarnya, aku sendirilah yang perlu penghiburan. Air mataku jatuh membasahi bahu ambu. Ambu mengusap kepalaku. *** Setelah beberapa jam, abah belum kembali pulang juga. Sementara itu, aku membantu ambu memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
257
lainnya. Anakku yang sudah bangun dan bermain di ruang tengah bertanya kepadaku, “Di mana aki?” aku hanya bisa menjawab, ia ada urusan keluar. Namun, seperti tidak puas, ia bertanya lagi, “Urusan apa aki keluar selama ini, Bu?” “Ibu juga tidak tahu, Nak. Kita tunggu saja ya, aki pulang.” “Aki menemui perempuan itu, ke mana lagi memangnya?” sahut ambu, mendengar percakapan itu. “Ambu!” aku memekik pelan. Anakku menampakkan wajah yang bingung. Aku segera mengalihkannya dengan menyalakan TV, berharap ada film anak-anak dan ia tidak bertanya lagi tentang akinya. Tatapan mata ambu nanar. Tangannya yang mengelap meja seperti bergerak secara mekanis, di luar kendali sang pemiliknya. Aku mengerti, saat ini hati ambu pastilah gusar. Abah pergi secara tiba-tiba dan belum juga kembali. Di dalam bayangannya, saat ini abah sedang menemui perempuan itu. Sudah segila itu kah abah? Beberapa kali kutelepon abah, tapi ia tidak mengangkat ponselnya. Untuk apa abah menemui perempuan itu? Bahkan sesaat setelah pertengkaran dengan ambu. Kerongkonganku sakit. Menahan kesal dalam ketidaktahuan. Menerka-nerka dalam kemarahan. Saat aku ingin pamit kepada ambu untuk pulang, abah muncul di depan pintu. Menenteng dua kantong kresek. Wajah abah ceria. Namun, mendadak bingung ketika melihatku dan ambu yang berwajah sebaliknya. Kecuali anakku. Ia berlari menyambut akinya datang dengan gembira. Memeluk kakinya. Abah mengerti situasi yang canggung ini. Ia menaruh dua kantong kresek itu di meja makan, lalu mengajak kami duduk. Aku menunggu dalam diam abah memulai pembicaraan. Aku menahan semua pertanyaan yang ada di kepalaku. Sambil sibuk menyiapkan diri dengan kondisi ter258
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
buruk. Aku harus kuat, lebih kuat dari ambu. Karena aku yang nantinya harus menguatkan ambu. Ambu juga duduk dengan tenang, dengan wajah yang datar. Pada saat seperti ini, mungkin ambu sudah memasrahkan segalanya. Apa pun yang terjadi dengan abah. “Ambu, Neng, abah mau melanjutkan permbicaraan yang sempat terpotong tadi. Tadi abah harus pergi menemui seseorang terlebih dahulu….” “Menemui perempuan itu kan, Bah?” potong ambu, dengan suara yang landai. “Perempuan? Perempuan yang mana?” tampik abah. “Mantan kekasih Abah, yang ada di foto itu,” jawabku, memperjelas. “Ohh…,” abah tersenyum dan melanjutkan, “Bukan. Abah habis ambil pesanan makanan. Abah beli soto betawi kesukaan ambu. Teman memancing abah, istrinya baru buka usaha masakan rumahan. Waktu ditawarkan ada menu soto betawi, abah langsung saja pesan. Abah tidak bilang ke ambu, sebagai kejutan saja. Sudah lama kan, ambu tidak makan soto betawi,” abah menjelaskan. “Lalu foto itu? Foto mantan kekasih Abah?” aku langsung ke intinya. “Nah, itu yang mau abah lanjutkan, Tadi kan terpotong karena teman abah menelepon mau antar makanan. Tapi, abah memutuskan untuk ambil ke sana. Sekalian ada yang perlu dibicarakan soal memancing. Maaf abah tidak sempat jelaskan karena terburu-buru.” “Jadi, Abah tidak menemui perempuan selingkuhan Abah?” serang ambu. “Ambu, abah tidak selingkuh. Sama seperti tadi pagi yang abah jelaskan. Sampai kita bertengkar. Abah tidak selingkuh. Ambu terlalu cepat menyimpulkan,” tekan abah. “Begini, begini. Kalian ingin tahu tentang foto itu, kan? Seperti yang juga abah bilang tadi, foto yang abah lihat saat itu dan kemudian juga dilihat oleh ambu, adalah foto mantan kekasih abah waktu SMA. Dulu, baru sebulan abah dengan dia ada hubungan Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
259
yang khusus. Cinta monyet anak muda. Tiba-tiba, dia minta untuk selesai. Abah bingung. Rupaya, ia harus ikut ibunya ke Saudi, menjadi TKW. Abah bilang kepadanya, abah akan menunggu. Tapi, dia melarangnya. Dia tidak tahu kapan akan kembali. Bayangkan, baru mulai tumbuh bungabunga perasaan dan harapan, harus disudahi dengan cara seperti itu.” Raut wajah ambu berubah menjadi serius. “Setahun dia pergi, tidak ada kabar apa pun. Sampai abah mende ngar bahwa ibunya meninggal karena sakit di sana. Namun, rumor yang beredar lebih parah dari itu. Berita yang juga sampai ke abah kemudiannya adalah, bahwa yang meninggal adalah dia. Bukan ibunya. Tapi, bukan karena sakit. Melainkan karena disiksa oleh majikan. Untuk menutupi kasus itu, alasan sakit lebih bisa menghindarkan dari keributan. Mendengar itu, abah sangat berduka. Malang betul nasibnya. Masih semuda itu, mesti mengalami kesulitan dan penderitaan. Mati di negeri orang dengan mengenaskan,” mata abah menerawang. “Lalu?” tanyaku. “Sekitar seminggu lalu, abah dimasukkan ke dalam grup temanteman SMA abah lewat ponsel. Senang sekali rasanya bisa berkumpul, walau secara virtual. Kami jadi sering bernostalgia dengan pengalaman di sekolah dulu. Membicarakan guru-guru, saling bertanya keadaan, menceritakan cucu-cucu, dan aktivitas di usia tua ini. Ada yang wajahnya sangat berubah sehingga abah tidak mengenali. Ada juga yang sedang sakit dan dirawat. Selain itu, teman-teman abah juga mengabar kan siapa-siapa yang sudah meninggal. Sedih rasanya mengetahui itu. Namun, saat nama dia muncul, abah bingung.” “Dia? Perempuan itu?” tanyaku. “Iya. Namanya Asih. Nama dia ada di deretan nama-nama teman abah yang sudah meninggal itu. Abah merasa aneh, karena di keterangannya Asih meninggal baru sebulan yang lalu disebabkan darah tinggi. Abah sampai bertanya lagi, apakah itu adalah Asih yang abah maksud. Karena jika benar, itu artinya Asih yang telah meninggal berpuluh tahun lalu, 260
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
hidup kembali, dan kemudian meninggal lagi di usia tuanya.” “Jadi, benar itu Asih yang Abah maksud?” Ambu akhirnya bersuara. Meski parau. “Iya. Itu Asih yang dimaksud. Berita yang simpang siur tentang kematiannya puluhan tahun lalu, sepertinya tidak betul. Abah masih tidak percaya ketika teman-teman menjelaskannya, sampai ada yang mengirimkan foto terbaru Asih. Foto itu yang abah lihat ketika Ambu secara tidak sengaja juga melihatnya. Abah tertegun ketika melihatnya. Jadi, selama ini anak itu masih hidup dan baik-baik saja. Dia bahkan sudah menjadi nenek dari tujuh orang cucu, dan tinggal di kampung sampai akhir hayatnya.” Ambu terlihat mengembuskan napas perlahan agar tidak terlalu mencolok. Tegang di wajahnya mulai mengendur. “Abah bersyukur bahwa ternyata selama ini abah salah mengira. Perasaan yang pedih mengingat berita tentang kematian dan penderitaan Asih tergantikan dengan rasa lega. Ia mungkin mengalami kesulitan yang luar biasa ketika itu. Tapi, ia bisa bertahan. Bahkan bisa kembali ke Tanah Air. Melanjutkan hidup. Beranak pinak. Menjadi tua,” Abah melanjutkan. “Asih cinta pertama abah?” tanyaku ragu. Ada asumsi yang belum tuntas dijawab di situ. “Cinta pertama abah adalah ambu. Cinta pertama itu bukanlah melulu soal urutan. Tapi, soal kesejatian. Abah memang pernah jatuh cinta pada Asih. Tapi, ketika itu abah masih remaja, masih terlalu muda untuk merumuskan apa itu cinta. Orang yang berjasa berada di sisi abah, di waktu senang dan susah, menerima abah apa adanya, menjaga anakanak dan cucu-cucu dengan penuh kasih sayang, itulah definisi cinta pertama abah. Makanya, abah marah ketika Ambu melontarkan tuduhan seperti tadi pagi. Maafkan abah ya, Mbu, jika ada kata-kata yang menyakiti Ambu,” abah memandang ambu dengan hangat.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
261
“Ambu juga minta maaf karena menduga yang tidak-tidak, Bah,” sahut ambu pelan. Ada perasaan lega dan sekaligus malu dalam nada bica ranya. “Tak apa, Ambu, itu menandakan bahwa Ambu memang sangat mencintai Abah. Abah ini ya cinta sejatinya Ambu. Iya, kan Mbu?” Goda abah. “Huh. Abah memang suka ge-er,” ambu melengos sambil beranjak ke meja makan. Menyiapkan santapan soto betawi kesukaannya untuk dimakan bersama. Aku dan anakku pamit pulang. Ambu dan abah pastinya perlu waktu berdua untuk memulihkan lagi kehangatan di antara mereka.
262
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Pertanyaan Penting Oleh: Eko Triono “Marije menempatkan saya di dekat pena emas milik seorang diktator yang mati di lorong bawah tanah, tetapi saya lebih tertarik memperhatikan hal lain. Saya tengadah ke sudut pandang atas, arah pukul sepuluh dari sini, melihat senapan tua dengan kayu yang sudah tua, besi tua, dan sejarah tua. Ia tampak keren di sorot lampu seni warna biru. Saya penasaran, berapa banyak orang yang telah ia bunuh? Seratus, dua ratus? Apa ia pernah menembak sapi, ayam, kelinci, jeruk, atau bahkan nyamuk tropis yang mengganggu? Dari mana orang tuanya; Rusia, Amerika, atau Amsterdam? Apa yang terjadi selama ia menempuh empat bulan delapan belas hari menuju Hindia Belanda bersama gelombang dan merebaknya wabah pes yang mematikan, yang mulai menghantui seluruh dunia bersama tikus-tikus yang menyusup ke karung gandum dan kotak keju? Ketika pikiran saya mempertanyakan catatan kecil di bawah senjata tua itu, pena emas milik diktator sepertinya telah lama memperhatikan. Ia menyela berkata, ‘Tidak perlu mengagumi senjata. Apapun merk dan bentuknya, mereka diciptakan bukan untuk hiasan dinding atau menggaruk punggung yang gatal. Melainkan, buat membunuh. Nostalgia yang mereka miliki hanyalah letusan, jeritan, darah, kematian, perang.’ Saya melirik ke arahnya, tutup penanya yang keemasan sengaja dibuka, mungkin Marije yang melakukannya. Tutup itu bersanding sejajar tubuh pena. Seolah pemiliknya sedang ke toilet di antara jeda menulis yang menegangkan. Ujung tubuhnya penuh ukiran rumit yang menga gumkan, bahkan pada pucuk tempat tinta hitam akan keluar dengan elegan. Ia berkata bahwa semua pesona itu sia-sia. Ia sudah lama menge ring. Tak berguna lagi. Seperti sungai kehilangan air. Itu membuatnya Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
263
tertekan. Ia ingin bunuh diri. Tetapi apa daya, benda mati tidak bisa mati lagi, apalagi bunuh diri. Ia melucu. Namanya Blanc. Keterangan di atas nya menunjukkan: ia milik jenderal diktator yang mati ditembak pasukannya sendiri pada 30 Juli bertahun-tahun yang lalu. Ia ikut dalam persembunyian di bawah tanah, di kota kecil tempat pasukan terakhir diktator tertahan kelombok pemberontak. Ia telah digunakan untuk menandatangani persetujuan perang, mengangkat empat mayor pembunuh masal menjadi jenderal, mengeluarkan undang-undang otoriter, mencatat nama-nama lawan politiknya untuk dipenjarakan tanpa peradilan. Ia digunakan untuk menyetujui pengusiran, pengungsian, memisahkan anak-anak dari ibunya, merampas hak tanah dari pemiliknya, melanggengkan kolusi, mengangkat keluarganya sendiri menjadi pejabat, dan menandatangani pencucian uang di Bank Swiss. ‘Benar-benar kekurangan jiwa seni,’ kata si pena emas pada saya yang sedang membaca riwayat singkat hidupnya. ‘Aku sendiri malu tulisan buruk itu berada di atasku. Seolah semua yang melekat pada tubuh diktator ini adalah hal buruk: baju, sepatu, kaus kaki, celana dalam, kaca mata, dompet, jam tangan, gigi palsu, dan tentu saja pena sepertiku adalah sumbangsih keburukan. Kuberi tahu padamu, aku juga digunakan untuk menulis surat cinta, puisi-puisi kesepian sang diktator, mengaduk kopi saat perjanjian damai di perkemahan, dan menggantikan tusuk gigi saat pesta kambing bakar di perbatasan yang penuh selilit daging.’ Saya tersenyum mendengar pengakuannya. Saya jadi ingin tahu. Apa yang ia saksikan saat peluru-peluru menembus tubuh jenderal diktator? Apakah ia sedang berada di sakunya? ‘Itu pertanyaan yang belum pernah ditanyakan,’ jawabnya. ‘Dan itu yang membuatku membenci senjata tua bangka di arah jam sepuluh dalam sorot lampu biru. Lihat tubuhku sebelah ini. Bukan, bukan, lebih ke atas lagi, lihat lecetnya? Ya, itu, benar. Seandainya tidak dibersihkan, kamu akan melihat bercak darah. Tidak, aku tidak akan menceritakan nya padamu. Kita baru pertama bertemu. Siapa namamu?’ 264
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
‘Perangko peringatan perdamaian dunia.’ Seperti merendahkan, ia memandang saya dari atas ke bawah, menelisik, mencari tahu mengapa benda kecil ini di dekatnya. Segera saya katakan bahwa Marije sedang menyiapkan identitas dan narasi diri saya. Saya baru pindah dari Peace Palace di Den Haag, ke Rijks Museum Amsterdam ini. Sebelumnya saya berada di panel kronik nomor delapan, setelah medali Nobel Perdamaian dalam bingkai kaca, dan berjajar dengan peta gedung dan sejarah International Court of Justice, sebelum ruangan video hitam putih yang berisi kolase perang, mayat, ambulan, perawat, orang tua yang menangis, anak-anak yang putus kakinya, lalu mobil membawa orang-orang penting yang merumuskan perdamaian dunia dan keadilan sosial. Orang yang pernah datang akan tahu, persis setelah resepsionis, setelah tempat pengambilan alat pindai digital dan alat rekaman audio diorama, yang digunakan buat memandu pengunjung secara mandiri. ‘Apa yang orang lakukan di tempat seperti itu?’ ‘Bernostalgia, mungkin,’ saya ragu. ‘Seperti di sini.’ ‘Nostalgia macam apa?’ ‘Ya, bahwa perang yang mematikan pernah terjadi dan lebih enak kalau hidup damai. Artefak damai ditampil dan ditempelkan. Tapi menga pa di sini masih berisi dunia perang?’ Si pena emas tertawa. Ia menjelaskan ini bukan hanya dunia tentang perang. Tetapi dunia masa lalu; kamu bisa melihat peti Mumi dari Mesir, pil hijau antikeriput dari Macedonia, pedang dewa dari Yunani Kuno, lembaran arsitektur menara Tuhan dari Babilonia, kain dan topeng dari Cirebon, alat musik dari Tibet, gamelan dari Jawa, ramuan keabadian dari Dinasti Ming, perahu dari Bugis, dan semacamnya. Memang, ha nya yang dianggap penting. Karena daun yang pernah gugur pada abad pertengahan tidak akan dibingkai dan disimpan selama-lamanya. Meski daun itu gugur di depan rumah persembunyian Anne Frank di AmsterAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
265
dam saat perang dunia kedua dan pemusnahan massal rasial oleh Hitler, tepat saat Anne menangis mencatat bagian akhir buku hariannya. Ketika kamu sosok penting, bahkan roti yang kamu makan, seperti tiga potong roti Benjamin Franklin saat ia masih muda dan menjadi gelandangan di Philadelphia, Pennsylvania, akan masuk museum. Bukan karena rotinya, sebab orang-orang Leiden juga makan roti bersama ikan hering saat dikepung Spanyol. Tetapi tentang siapanya. Itulah sejarah. Franklin berperan mendirikan Amerika Serikat. Roti, isi dompet, gugur rambutnya, penting buat disimpan dan diketahui anak-anak sekolah yang datang berkunjung pada suatu hari. Si pena emas tahu banyak sebab jenderal diktator telah menggunakannya untuk banyak hal. Mulai menandai halaman penting saat membaca buku dan laporan militer, membuat catatan pinggir, menuliskan konsep pidato, sampai merancang museum pribadi sang pengu asa. Pada Rabu dini hari, dengan kaki terangkat di perapian, serpihan salju turun, sang diktator mengisap pipa, memangku buku sketsa. Ia menggambar sebuah museum tentang dirinya sendiri. Ia tidak ingin museum itu megah dan mewah. Ia ingin bentuknya seperti rumah tempat ia menghabiskan maca kecilnya. Lengkap dengan pohon jambu tempat pertama kali dia bisa memanjat, sepeda pertama, tas pertama, sepatu pertama, tiket kereta pertama. Ia ingin diorama berisi teman-teman masa kecilnya, yang meski berbeda tetapi tidak saling membedakan, tidak seperti saat ia tumbuh dewasa. Ia mulai sering dibuli akibat teli nganya yang sebelah kanan tumbuh terbalik, menghadap ke bawah, bukannya ke samping. Ia menjadi dendam, bergabung dengan sekolah tentara, meniti karir, melakukan kudeta, tumbuh menjadi manusia buas, dan membalas dendam dengan menghukum tanpa ampun orang-orang yang pernah menghinanya semasa kecil. Belum selesai si pena emas bicara, dan ia pandai bicara karena ia telah digunakan sebagai alat menulis, tiba-tiba senapan tua terdengar bergeretak, seperti badan encok. Lampu biru seni mati. Museum tutup. Tinggal lampu petunjuk darurat dan si pena emas berbisik dalam kegela266
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
pan yang menyiratkan ancaman konflik. ‘Lebih baik kita pura-pura tidur,’ si pena emas berbisik. ‘Senjata tua itu sering sinting. Ia dibawa ke Hindia Belanda, dipakai untuk menembaki pekerja paksa yang melawan, menembaki pejuang pribumi, setelah Jepang datang, ia ganti dipakai buat menembak serdadu Belanda, ketika Jepang kalah perang dunia, pasukan republik merebutnya dan ganti memakainya buat menembak Jepang, ketika Inggris dan Belanda datang lagi, senjata itu buat menembaki tentara Inggris dan Belanda, senjata itu lalu dirampas, dan dipakai lagi buat menembaki tentara republik, ketika perang saudara pecah, senjata itu dipakai buat menembak sesama penduduk pribumi, sampai kemudian ia ditemukan di kandang ayam, ikut diselundupkan ke Amsterdam bersama tengkorak pitecanthropus, arca candi, patung Dewi Durga, kapak genggam dan kapak perimbas sebagai barang antik ilegal. Ia tersiksa oleh rasa bersalah seumur hidupnya. Ia semakin merasa bersalah saat karnaval iringan ratu dan slide yang ditampilkan, tentang gambar orang-orang Hindia Belanda dan Afrika yang memberi upeti di dinding kereta emas. Ia tahu orang-orang seperti itulah yang telah banyak ia tembaki. Dan…’” “Saya pikir cukup, Andi!” Kurt, guru sejarah yang memerikan tugas menarasikan kunjungan ke museum memotong cerita. Andi merasa tersinggung sebab, ia bahkan belum sampai pada bagaimana senjata tua itu menembak kaca diorama. Guru Kurt menegaskan dengan hati-hati, muridnya yang satu ini terlalu melihat ke sisi yang buruk sebuah benda sejarah, meski berbakat dan lulus nanti bisa langsung ke universitas ambil jurusan penulisan kreatif. Namun, bisakah menulis seperti teman-teman yang lain, tentang mumi yang mengagumkan, atau kalau ingin imajinasi yang ajaib, hidupkan itu, keluarkan jin dari abad pertengahan. Kalau masih belum puas bisa tanya ke Marije, pemandu kita. Museum ini sangat luas, mengapa mesti memilih benda-benda perang. “Saya tidak tahu, tapi itu yang terlintas dalam pikiran saya. Leluhur nenek saya datang ke Amsterdam ini sebagai budak. Saya telah lama Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
267
tinggal di sini tetapi tetap saja dibuli sebagai orang lain, bahkan mereka bukan hanya mengejek kulit, mata, tetapi juga bentuk telinga saya, yang lihat, seperti ini, apa salahnya. Sejarah adalah nostalgia yang buruk dalam kehidupan saya, apa boleh buat. Apakah saya yang salah? Saya bahkan menerima warisan ini tanpa bisa berbuat apa pun. Seperti orang-orang korban perang, penjajahan, dan letusan senjata api. Seja rah mewariskan trauma dan beban dalam kehidupan saya, bahkan saat saya tur kelas sejarah bersama kalian seperti ini, serta saat mencoba membicarakannya dalam cerita.” “Tapi, Andi…” 2020
268
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Pulang Oleh: Sifa Nurhaliza Langit menunduk tertutup kelabu sendu pagi itu, angin bersemilir menggeser tetesan embun di sudut gemuruh petir. Bumi berselimut udara dingin menghalangi semburat mentari. Dering gawai tak henti menemani kesepian, ucapan kesedihan terus membubung menyesakkan relung hati. Jemari terus menari menelusuri pesan satu per satu untuk mencari informasi agar bisa menyadarkan diri terkait berita duka menyayat ini. Bola mata tak kunjung henti mengalirkan air mata mewakili kepedihan kalbu atas kepergian cendekia ilmu agama. “Innaalillaahi wa innaailaihi raaji’uun,” kata mereka, “semoga segala amal perbuatannya diterima di sisi-Nya.” perkataan itu memenuhi ruang obrolan grup prodi IPAI. Belum lama Gia mengenal sosoknya, bukan dari dunia nyata, tetapi melalui dunia maya. Teringat serpihan kenangan kecil saat beliau mengajar. Penampilannya selalu selaras antara peci dan pakaian bermotif batik menjadi ciri khas estetik yang tak akan terlupakan. Di muka perkenalan mereka, beliau menyambut hangat dengan lengkungan senyum menampakkan deretan gigi menggoda mereka untuk turut berbahagia. “Assalaamu’alaykum semua, bagaimana kabar kalian?” sapanya dengan nada gembira, satu per satu dari mereka mengaktifkan mikrofon menjawab salam “Wa’alaykumussalaam Bapak, alhamdulilllah kami semua sehat.” Perasaan kasih sayang yang diberikannya mengaitkan kenyamanan lembut dalam hati, menyeret keinginan untuk mengenalnya lebih jauh. “Alhamdulillah, semoga kalian senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah,” jawab Pak Abas. “Baik, para mahasiswa baru, perkenalkan nama Bapak, Abas Asyafah. Panggil saja Bapak Abas. Semoga dengan pembelajaran jarak jauh begini tidak melunturkan semangat dalam belajar ya,” ucapnya diiringi tawa, “sebelum memulai perkuliahan alangkah baiknya saya mengenal kalian semua satu per satu, silakan perkenalkan diri masing-masing.” lanjutnya dengan antusias. Bapak Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
269
Abas memanggil nama mereka bergantian, lalu mempersilakan mereka untuk menyebutkan nama, asal daerah, dan asal sekolah. Kalaulah bukan karena pandemi, tentu diri tak terima bersapa tanpa berjumpa. Layar kecil yang menampilkan wajah orang-orang di luar sana kurang menampakkan keindahan dari arti pertemuan. Akan tetapi, Pak Abas tetap memberikan kehidupan di awal perkenalan, merangkul jiwa mere ka agar menyadari bahwa kami bersama layaknya wujud nyata. “Perkenalkan nama saya Raras Anggiana, panggil saja Gia, Pak. Rumah saya di Cimahi dan saya alumni dari SMK Negeri 1 Cimahi.” jawab Gia saat Pak Abas menyebut namanya. “Cimahi dekat ya dengan UPI, jadi nanti kuliah ga terlalu jauh,” jawab Pak Abas, “iya Bapak, alhamdulillah jadi ga perlu ngekos”, jawab Gia, “Iya betul juga, semoga betah di IPAI ya, Gia.” kata Pak Abas. Matahari mulai menampakkan sinarnya lebih tinggi, menyambut akhir dari jam pertama mata kuliah Akidah. Belum ada pembelajaran, tetapi hanya dengan berkenalan saja Pak Abas sudah melemparkan butiran-butiran ilmu dalam hembusan do’a kepada para mahasiswa. Beliau menyarankan kepada mereka untuk membeli buku karangannya yang berjudul “Akidah Islam”, buku tersebut sebagai penunjang mata kuliah yang diampu oleh beliau dan Bapak Usup, selaku asisten dosen. Namun, dalam pembayarannya Bapak Abas tidak memberatkan, para mahasiswa boleh mencicilnya atau membayarnya saat uangnya sudah ada. “Bapak harap buku ini bisa menjadi jembatan bagi kalian untuk memiliki akidah yang kuat, jangan hanya dijadikan sebagai alat untuk lulus, tapi jadikan juga sebagai kunci untuk memasukki surga-Nya”, begitu katanya. Layaknya sebuah akar yang tertanam di dalam tanah, kedudukannya untuk memperkokoh berdirinya tumbuhan di tempat hidupnya, akidah menjadi tolak ukur baik atau buruknya buah seorang manusia, yaitu akhlak. Dua minggu setelah mereka mendata pembelian buku, teman-teman Gia sudah mendapatkan buku tersebut melalui jasa pengiriman bahkan beberapa orang sudah mendapatkannya dari minggu sebelumnya. Akan tetapi, Gia belum juga mendapatkannya padahal rumahnya tidak begitu 270
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
jauh dengan alamat rumah Bapak Abas. Tidak sabar untuk segera memilikinya, Gia menghubungi Bapak Abas, “Assalaamu’alaykum Bapak, mohon maaf mengganggu waktunya. Buku akidah saya belum sampai Pak padahal rumah saya dekat dengan Bandung, jadi bagaimana ya Pak?” Gia mengirim pesan singkat tersebut ke Whatsapp Bapak Abas, tak lama kemudian Bapak Abas menjawab “Sudah dicek di JNE, sampai dimana bukunya?”, “mohon maaf belum dicek Pak, apakah ada resinya?” balas Gia. Cukup lama Gia menunggu jawaban, akhirnya Bapak Abas membalas “Terkait dengan buku, Bapak besok tanyakan ke agen pengiriman lagi, sebab resinya tidak ditemukan padahal alamatnya sudah jelas oleh Bapak sudah ditulis. Kalau ternyata tidak dikirim, nanti Bapak ganti dan kirim lagi saja. Sabar ya.” Jawaban dari Bapak Abas cukup membuat perasaan Gia tenang, pasalnya sudah dua minggu dia mendapatkan nilai kuis yang kurang memuaskan karena tidak adanya buku pegangan dan saat meminta kepada teman untuk mengirimkan foto halaman dari buku tersebut malah membuat Gia pusing untuk membacanya. Dua hari kemudian buku tersebut tiba di depan rumah Gia dibawa oleh kurir, “Paket!” mendengar suara itu Gia segera menemui kurir tersebut dan berterimakasih. Gia merasa senang buku yang dinantikannya akhirnya sudah di tangannya. “Assalaamu’alaykum, Bapak alhamdulillah bukunya sudah sampai. Terimakasih banyak ya Pak.” Gia mengirim pesan tersebut kepada Bapak Abas, “Wa’alaykumussalaam, alhamdulillah, belajar sungguh-sungguh, semoga Allah melimpahkan ilmu yang bermanfaat dan barokah.” balas Bapak Abas. Buku dengan 799 halaman ini cukup membuat Gia terkesan, ilmu yang dituangkan di dalamnya membuat hati bergetar teringat memori perbuatan yang sebenarnya masih bertentangan dengan ajaran agama. Kata demi kata tersusun rapi dibalut penjelasan yang padat hingga menghalangi celah datangnya kejanggalan. Dihiasi dengan sampul berwarna gelap dengan corak taburan bintang sudah mewakili arti bahwa buku ini bisa menerangi gelapnya hati yang tersesat tak tahu jalan. Hari demi hari berlalu, sudah satu bulan lamanya Gia dan teman-temannya terus melakukan pembelajaran secara daring. Perasaan bosan dan sedih selalu menyerang karena Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
271
dari awal perkuliahan Gia belum sempat bertemu secara langsung de ngan teman-temannya, belum lagi mata yang sudah mulai buram karena terus menatap layar gawai. Tapi semua itu tetap harus dijalani dengan sabar, walau semangat patah-patah. Setiap mengikuti perkuliahan di mata kuliah Akidah, Gia seperti mendapatkan tetesan embun penyejuk melalui nasihat yang dibawakan oleh Bapak Abas. Saat sedang mengajar, beliau selalu terlihat gembira dan bersemangat. Nampak tidak ada tembok yang menghalanginya, mendengarnya berbicara seperti melihatnya secara langsung. Akan tetapi, seiring bergulirnya waktu, Bapak Abas beberapa kali tidak menghadiri perkuliahan dikarenakan sakit. Waktu terkadang tidak bersahabat dengan diri, dia menggerogoti jatah untuk bernapas sedikit demi sedikit. Fisik terus mengikutinya, membuat perubahan yang melemahkan kekuatan hingga membuat jiwa sadar bahwa dirinya bukan siapa-siapa, hanya tengkorak hidup yang menunggu untuk kembali. Suatu hari Gia merasa bingung dengan yang dilakukan oleh Bapak Abas, beliau membuat status di Whatsapp berupa gambar berwarna hitam. Hal ini tidak wajar baginya dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama. Pada pertemuan berikutnya, Bapak Abas tidak mengha diri perkuliahan, tubuhnya semakin lemah memberikan perlawanan kepada penyakit lambung yang dideritanya. Rena bercerita di grup kelas bahwa dia merasa sedih dengan apa yang terjadi kepada Bapak Abas, “Waktu Bapak Abas ngasih sambutan di acara UPTQ, beliau bilang ‘Tubuh saya rasanya sakit sekali sampai terasa mau mati, tapi alhamdulillah sekarang sudah agak mendingan’, aku jadi khawatir sama Bapak”. Semua orang di grup tersebut merasakan kekhawatiran yang sama, mereka memanjatkan do’a kepada Tuhan agar Profesornya sehat kembali. Pada hari Jum’at pagi prodi Ilmu Pendidikan Agama Islam melaksanakan kuliah umum melalui aplikasi Zoom dengan tema “Menjadi Gurunya Manusia”. Terlihat Bapak Abas sudah sehat kembali dan menampakkan wajah gembira khasnya. Gia merasa senang melihat dosennya itu, dirinya tidak sabar untuk mendengarkan nasihat yang akan diberikan oleh beliau pada mata kuliah Akidah. Setelah selesai pematerian kuliah umum, Ba272
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
pak Abas memberikan sedikit penjelasan mengenai gurunya manusia. Beliau berpendapat bahwa gurunya manusia itu ada empat, yaitu Allah, Rasulullah, orang tua, dan jika orang tua tidak sanggup untuk mengajari anaknya maka ada orang lain yang terlibat untuk menjadi guru namun tidak bertentangan dengan ajaran Allah. Pendapat tersebut diterima dengan baik oleh pemateri dan semua orang yang berada di Zoom. Langit terlihat sangat gelap disusul derasnya air hujan menambah suasana mencekam di Minggu malam. Rasa hati tidak senang, terusik sedikit gundah di sana seperti akan terjadi bencana. Dering gawai memecah kesepian, Gia segera membuka pesan yang masuk. Tepat di detik itu, nampaknya langit merasakan hal yang sama, sosok yang hanya terlihat di dunia maya kini telah meninggalkan dunia nyata. Pecah tangis semua dosen dan mahasiswa yang mengenalnya, sosok mulia yang telah berkorban memberikan cahaya ilmu kini telah habis waktu. Perannya sebagai guru telah selesai, kepergiannya diiringi penghormatan dari ratusan manusia. Ucapan do’a beterbangan menghiasi awan di atas langit, berharap dengannya akan membuat tempat yang gelap gulita di bawah sana menjadi istana yang terang benderang. Rindu ini akan selalu melekat dalam sanubari, berharap bisa bertemu secara langsung di surga-Nya nanti. “Bapak, terimakasih untuk waktu yang singkat ini, teri makasih atas ilmu yang telah Bapak berikan. Nanti kita bertemu di sana ya Pak, kami akan menyusul.” ucap Gia sambil melihat taburan bunga di atas makam sang Profesor.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
273
Rumah Nostalgia Oleh: Lina Chan Rumah ini masih sama seperti dahulu. Tak ada yang berubah. Mung kin taman di depan rumah saja yang agak terabaikan. Rumput-rumput tumbuh tak beraturan. Bunga-bunga kesayangan ibu berguguran. Hanya pohon mangga di depan rumah yang masih kokoh menjulang. Walaupun tak ada daun dan buah yang tumbuh karena kemarau berkepanjangan. Aku mafhum jika taman di depan rumah tidak rapi seperti saat ibu masih ada. Kakak dan istrinya tidak gemar berkebun seperti ibu. Ibu adalah satu-satunya orang di keluarga ini yang paling telaten menanam dan merawat seluruh tanaman. “Jika tanaman subur, bunga-bunga bermekaran, kupu-kupu beterbangan, rumah kita akan semakin sejuk dan rindang.” Itu yang selalu ibu katakan jika aku menemani ibu bercocok tanam. Aku senang membantu ibu kala itu. Aku senang melihat wajah ibu yang tampak sangat bahagia jika sedang berada di taman. Wajah ibu seketika bersinar terang seperti matahari yang memberikan kehidupan bagi alam sekitarnya. Aku ingat, kala itu, kakak selalu iseng melempariku dengan buah mangga dari atas pohon jika aku terlalu sibuk menyiram bunga-bu nga milik ibu. Aku bukannya tak mendengar ia meminta plastik untuk mengantongi sejumlah mangga yang berhasil ia petik, namun aku tidak ingin mengalihkan pandanganku sedetik pun dari tanaman ibu. Aku seolah tahu tanaman-tanaman itu sedang meronta-ronta kehausan. Tak kubiarkan mereka kesirihan karena belum mendapatkan jatah minuman segar, maka aku terus menyiram semuanya hingga selesai. Aku baru berhenti ketika bunyi “pletak” dan aku mulai meringis kesakitan karena dilempari mangga oleh kakak tepat mengenai kepalaku. Kali ini tak ada ampun. Kusemburkan air selang tepat di wajah kakak. Aku puas jika kakak sudah meminta ampun dan turun dari tempatnya bertengger. 274
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Ibu tak pernah memarahi kami jika setelah itu kami bertengkar hebat. Ibu hanya akan mengelus rambut kami yang basah dan kotor akibat pertempuran air selang dan lemparan buah mangga. Ia berkata lembut, selembut angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan dedaunan, “Sesama saudara jangan saling bermusuhan. Hiduplah rukun dan saling memaafkan. Ibu akan sangat bahagia melihatnya.” Sejak saat itu aku berjanji tak akan bertengkar lagi dengan kakak. Namun, rupanya keadaan tak mengizinkan demikian. *** “Ayah... Ayo buka pintunya! Aku ingin masuk...” Suara Boy, anak lelakiku semata wayang, yang merengek minta dibukakan pintu membuyarkan lamunanku. Kulangkahkan kakiku mengikuti langkah anak dan istriku yang sedari tadi tak sabar menunggu pintu rumah terbuka. Terdengar suara pintu kayu berderit setelah kubuka pelan. Tanpa dikomando, Boy langsung nyelonong masuk. Dalam sekejap, entah ia berlarian ke mana. Hatiku berdesir menatap ruangan demi ruangan di dalam rumah ini. Ah, betapa rindu hatiku memasuki rumah ini kembali. Entah sudah berapa tahun aku meninggalkannya dan sekarang aku kembali lagi ke sini. Kuperhatikan sekitar. Tak ada yang berubah di ruang tamu. Lantai marmer yang berkilauan membuat suasana ruang tamu rumah ini masih terasa mewah. Di sudut ruangan, sofa empuk berwarna abu-abu masih setia berada di sana, lengkap dengan meja kayu jati yang dipenuhi ukiran indah. Di ruang inilah biasanya kami sekeluarga menghabiskan waktu bersama. Untuk sekadar berbagi cerita atau berbagi emosi ketika aku dan kakakku selalu ribut tentang hal-hal sepele. Kami selalu tak bisa akur, namun ibu dan bapak selalu bisa membuat kami berdamai dengan cepat. Ibu dan bapak selalu mempunyai resep jitu meluluhkan hati kami yang keras, entah dengan semangkok baso oleh-oleh bapak sepulang kerja ataupun segelas besar es campur buatan ibu. Setelah melahap semua itu, luluh semua amarah yang semula menghinggapi hati Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
275
kami. Cat dinding di setiap ruangan ini juga masih sama. Berwarna biru laut. Warna kesukaan ibu dan bapak. Dahulu, bapak mengecatnya ulang setiap setahun sekali. Bapak bilang, wajah ibu akan terlihat lebih bercahaya jika cat rumah ini selalu diperbaharui. Namun, sekarang cat din ding ini sudah semakin kusam dan gelap. Mungkin karena kakak sudah lama tak mengecatnya ulang, pikirku. Aku tahu kakak tidak memiliki banyak uang untuk membeli semua peralatan mengecat. Aku mafhum. Kutatap lekat-lekat dinding berwarna biru langit yang semakin memudar itu. Di sana, potret keluarga kami masih terpajang rapi dalam bingkai berwarna emas. Ibu, bapak, aku, dan kakak tampak saling me rangkul dan tersenyum bahagia dalam potret itu. Ya, kami bahagia waktu itu. Ibu dan bapak masih tampak sehat. Aku dan kakak masih sangat muda. Kami berempat tampak saling menyayangi dan membutuhkan satu sama lain. Di sisi kanan bingkai potret keluarga kami, terpajang potret keluarga kecil kakakku. Ia, istrinya, dan lima orang anaknya yang masih kecil-kecil, tampak tersenyum bahagia. Lalu, di sebelah kiri terpajang foto diriku yang sudah beranjak dewasa. Aku sudah menjadi mahasiswa fakultas ekonomi semester satu kala itu. Aku ingat, saat itu aku dan kakakku memajang potret diri masing-masing selepas kepergian ibu dan bapak. Air mataku jatuh tak tertahankan. Pikiranku sekelebat mengingatingat kenangan masa lalu bersama ibu dan bapak. Dan, kenangan saat melepas kepergian mereka adalah hal yang paling menyedihkan. Hatiku remuk. Rasanya saat itu matahari meredup dan bumi serasa berhenti berputar. Aku merindukan mereka. Merindukan senyum hangat yang selalu menenangkan hatiku. “Ibu dan Bapak pasti senang kau datang kemari.” Anita, istriku, memelukku dari belakang. Betapa pelukannya begitu menghangatkan. Kuseka bulir air yang membasahi pipiku. Senyum Anita yang teramat manis membuatku merasa lebih tenang. 276
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Ayah, Ayo kita main ke lapangan belakang...” Anakku rupanya sudah menjelajah seluruh sudut rumah ini. Ia menarik-narik tanganku sambil bergegas. Aku tak tahu apa yang anakku katakan dengan “lapangan belakang”. Yang aku tahu, di belakang rumah ini hanya ada kebun yang tidak terurus, yang seringkali menjadi tempatku dan kakak bermain-main. Sejurus kemudian, baru aku menyadari ada yang berubah di sana. Tak ada kebun yang terlihat ketika kami membuka pintu di sudut belakang rumah. Yang tampak adalah sebuah pemandangan dengan hamparan rumput yang luas membentang. Di sudut kanan-kiri hamparan rumput itu terdapat dua buah gawang yang terbuat dari bambu. Hamparan rumput itu gersang, namun membuatku merasa takjub. “Ayah mengapa tak bilang kalau punya lapangan bola yang luaaaaaas sekaliiiiiiiii...” Aku terhenyak mendengar pertanyaan anakku. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku memang benar- benar tak tahu apa-apa soal ini. Dahulu, sebelum aku pergi dari sini, di belakang rumah hanya ada kebun pisang dan tanaman umbi-umbian yang diurus oleh karyawan bapak. Memang kebun itu sangat luas. Aku dan kakak senang bermain-main di sini untuk sekadar bermain layang-layang, bermain kelereng, atau bermain bola di lahan yang agak kosong. Sepulang bekerja, bapak akan menyempatkan diri bergabung dengan kami. Ia akan senang menjadi wasit ketika kami bermain sesuatu. Namun, di setiap permainan, aku tak pernah menang melawan kakak. Aku tahu kadang kakak berbuat curang demi mengalahkanku. Aku selalu mengadu pada bapak setelahnya, namun bapak sepertinya enggan menghiraukan. Bapak lebih senang berkata, “Sudahlah, ini hanya permainan. Kalah menang tak jadi soal.” Setelah itu, aku tahu kakak akan mencibirkan bibirnya padaku, lalu ia akan berlagak manis kembali saat berhadapan dengan bapak. “Ayah, jangan diam saja. Ayo kita bermain bola... Aku menemukan nya di ujung sana.” rengek Boy beberapa menit kemudian. *** Hari ini adalah malam pertamaku tinggal di rumah ini setelah sekian lama aku pergi meninggalkan semua kenangan yang ada. Aku enggan Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
277
untuk kembali lagi ke sini setelah kepergian ibu dan bapak yang seolah susul- menyusul meninggalkan dunia ini. Aku tahu itulah harapan ibu dan bapak sewaktu masih hidup. “Ibu dan Bapak ingin selalu bersama dunia akhirat.” Begitulah kata-kata yang selalu ibu dan bapak katakan padaku. Disusul dengan nasihat ibu bapak kepada kami berdua, “Kalian juga harus begitu, selalu bersama sampai ibu dan bapak tidak ada lagi di dunia.” Aku tak bisa tidur karena teringat kata-kata itu. Anita sudah berkali-kali mengingatkanku agar aku segera tidur, namun mata ini sulit sekali terpejam. Boy sudah tidur sedari tadi di pelukan Anita. Usianya sudah sepuluh tahun, namun ia sangat manja pada ibunya. Setiap malam ia hanya akan bisa terpejam jika Anita meninabobokannya dan mendekapnya penuh cinta. Sungguh aku tak bisa tidur secepat Boy. Napasku serasa sesak berada di kamar bekas kakak dan istrinya. Hanya kamar ini yang tampak masih bersih dan nyaman. Mungkin karena baru beberapa hari kakak meninggalkannya dan setiap hari selalu dibersihkan. Kamar-kamar yang lain tampak tak terurus. Aku lagi-lagi mafhum karena kakak ipar mungkin terlalu lelah mengurus rumah sebesar ini sendiri, sedangkan anak-anak yang diurusnya terlalu banyak. Aku tahu jika kakak dan kakak ipar tidak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk menghemat keuangan. Aku tahu itu. Maka, aku benar-benar sungguh mafhum. Aku beranjak dari ranjangku. Aku minta izin pada Anita untuk sebentar saja mencari udara segar di luar. Saat masih kecil, jika tak bisa tidur seperti sekarang ini aku akan mendatangi kamar ibu dan bapak. Aku akan meminta ibu mengelus-elus dadaku. Sama seperti Boy, aku akan tertidur di pelukan ibu. Ah, memikirkan tentang ibu dan bapak, napasku terasa semakin sesak. Kulangkahkan kakiku ke sudut ruangan lain. Di ruangan paling ujung, bersebelahan dengan mushola keluarga, adalah kamar ibu dan bapak. Kubuka pelan pintu kayu jati itu. Ruangan itu masih tetap sama. Hanya 278
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
saja, kamar itu sudah tidak sebersih dulu. Banyak sarang laba-laba yang bersemayam di sudut ruangan. Aku masih ingat betul bahwa di kamar inilah aku selalu mengadu kepada ibu dan bapak ketika kakak selalu menjahatiku kala ibu dan bapak tidak ada di rumah. Di ranjang berkayu jati inilah ibu dan bapak menenangkanku dan memintaku bersabar atas perlakuan kakak. “Anak sabar pasti beruntung.” Begitu kata ibu, sambil terus mengelus-elus dadaku kala itu. “Ya, aku selalu bersabar, Pak, Bu.” Gumamku dalam hati sambil me ringkuk di atas ranjang dengan mata terpejam. “Aku selalu mafhum atas perlakuan kakak kepadaku sedari kecil. Aku memang tidak pernah ditakdirkan menang darinya. Dan, tidak pernah ditakdirkan paling benar daripada dia.” Aku bergumam sendiri, berharap masih ada ibu dan bapak yang mendengarkanku di sini. “Selama ini aku selalu bersabar, Pak, Bu... Hingga saat kalian tiada, aku masih terus bersabar. Aku mafhum, lagi-lagi mafhum. Namun, lama-lama kelamaan aku muak kepadanya yang selalu sewenang-wenang kepadaku.” “Semua harta warisan keluarga ia kuasai tanpa menyisakan sedikit pun untukku. Tak mengapa. Aku masih bersyukur dibiayai kuliah oleh nya. Aku sangat berterima kasih kepada kakak yang sudah membuatku lulus wisuda dengan hasil cumlaude. Aku berhasil meraih pekerjaan yang telah kuidam-idamkan sejak dulu, sarjana pertanian. Aku terinspirasi darimu,Ibu.” “Selain itu, aku juga berbisnis, Pak, Bu. Banyak bisnis yang sudah kujalankan bersama istriku dan semuanya berjalan dengan lancar. Ini semua berkat Bapak yang sudah membimbingku sedari kecil. Aku ingat selalu pesan-pesan Bapak kala itu. Aku berjuang dari nol, Pak. Hanya seorang diri, Pak. Tanpa bantuan siapa pun. Tanpa bantuan kakak sedikit pun.” “Saat itu aku sudah membenci kakak. Aku pergi dari rumah ini, Pak, Bu. Karena aku sudah tidak dianggap. Kakak selalu bilang, bahwa Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
279
rumah ini adalah miliknya, berikut pula perusahaan dan semua lahan perkebunan ia klaim sebagai miliknya. Sepeninggal Bapak, perusahaan mengalami kebangkrutan. Itu semua karena kakak terlalu sembrono menjalankan bisnis dan terlalu berfoya-foya dengan harta Bapak. Aku benci melihat semua itu. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa, Pak. Sudah kukatakan padanya agar tak menjual harta warisan Bapak untuk keperluan apa pun, namun ia tak menghiraukannya. Ia menjual seluruh harta warisan untuk membayar utang-utangnya kepada bank. Dan, tentunya untuk kebutuhan hidupnya. Setelah perusahaan Bapak bangkrut, kakak tak mempunyai pekerjaan apa pun. Itu karena kakak pemalas. Ia hanya bergantung kepada istrinya dan kepada uang warisan yang tersisa. Sebelum aku pergi dari rumah ini, aku berpesan kepadanya, agar berjanji satu hal: jangan pernah menjual rumah ini kepada siapa pun. Namun, kakak melanggarnya.” “Aku tahu, rumah ini dijual beberapa bulan yang lalu. Aku selalu tahu, Pak, Bu. Karena aku selalu menjenguk kalian di pemakaman dekat rumah. Kalian tahu bahwa aku tak akan pernah melupakan kalian, bukan? Maka, kusempatkan diri mengunjungi sebulan sekali di tempat peristirahatan kalian. Aku tahu bahwa jarak antara rumahku dan rumah ini sangat jauh. Tak mengapa, aku sudah kadung rindu.” “Aku sudah tidak bisa sabar lagi atas tindakan kakak saat ia hendak menjual rumah ini. Sungguh aku sangat membenci kakak. Sampai saat ini pun aku tambah membencinya. Maka, aku putuskan saat aku melewati rumah ini untuk membelinya dari kakak lewat asisten pribadiku. Aku membelinya dengan tawaran yang paling tinggi. Aku rela membayar berapa pun demi menjaga kenangan indah bersama kalian, Pak, Bu... Hanya rumah ini hartaku yang paling berharga.” Aku sesunggukan sendiri di ranjang, masih dalam keadaan meringkuk sambil memeluk bantal guling milik ibu. Sepoi-sepoi angin bersemilir dari ventilasi kamar, seolah meninabobokanku yang terlalu letih berkeluh kesah sendiri. Entah aku masih tersadar atau tidak, di sudut ranjang itu samar-samar kulihat ibu dan bapak tersenyum menatapku, lalu berbisik, “Hidup 280
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
lah rukun dan saling memaafkan.” *** Boy menendang bola terlalu keras hingga bola itu terbang masuk ke dalam rumah. Untung bola meluncur tepat di lubang pintu sehingga tidak merusak kaca jendela rumah. Aku bergegas berlari mengambilnya ke dalam. Aneh, aku tak menemukan bola itu. Entah menghilang ke mana. Beberapa detik kemudian kepalaku terasa sakit. Seseorang melemparkan bola tepat mengenai kepalaku. Aku mendongak, sambil merintih kesakitan. Di hadapanku, berdiri seorang lelaki separuh baya yang wajahnya mirip sekali denganku. Ia tersenyum senang. Lalu, secepat kilat ia mendekapku erat. Pundakku terasa basah oleh air mata yang menetes deras dari pelupuk matanya. “Aku tahu pasti kau yang membeli rumah ini! Maka, aku langsung memastikannya. Ternyata sungguh kau! Maafkan aku dengan semua kesalahanku. Aku menyesal.” Lelaki itu berkata-kata tak keruan. Ia sesunggukan tanpa henti. “Aku sudah memaafkanmu. Rumah ini adalah rumahku dan rumahmu juga. Maka, berkunjunglah setiap saat, lalu kita bisa bermain bola bersama seperti dahulu di lapangan belakang yang kuyakin kaulah yang membuatkannya khusus untukku.” Aku mendekap erat kakak yang selama ini sangat kubenci. Dekapan hangat itu seolah meluluhkan rasa benci dengan rasa sayang yang teramat sangat. Aku yakin, di sudut rumah yang penuh kenangan ini, ibu dan bapak sedang tersenyum bahagia menyaksikan anak-anaknya berdamai dengan keegoan diri masingmasing.
Cirebon, 23 November 2020
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
281
Sape’ benutah tulang to’awah Oleh: Yeni Kurnia Ekawati Sepotong matahari menikam kepala Apinya melelehkan jantung yang kupunya tinggal sepenggal Seperti kala itu... Darah yang meleleh itu masih kental akan luka Masih kental akan luka
Aku menguburnya dalam mata Bersama gelap Bersama sunyi
Aku sedang menghirup kopi kental dengan aroma khas biji Robusta yang menjejal hingga kepala, saat suara sumbang di seberang meja itu ikut menjejal telinga bersama kepulan asap tebal dari mulut mereka. Aku bisa menerka, mereka sedang membicarakan sesuatu tentangku. Dari cara duduknya yang condong berkumpul di atas meja dengan mulut berdesis dan ekor mata yang melesat ke arahku. Beberapa menit aku masih bersikap tenang, seolah tak satu pun suara dari mereka merambat bersama gelombang transversal menuju gendang telingaku. Detik berikutnya, kupandangi mereka dengan tajam, seseorang segera menundukkan pandangannya dengan gusar, saat matanya menabrak mataku. Segera kutandaskan isi cangkir di tanganku dan aku menaruhnya di atas meja dengan sedikit hentakkan. Empat orang lelaki di seberang meja bungkam. Hening. Pemilik kedai terpaku, namun berusaha menebar senyum yang dipaksa ramah. “Tambah kopinya, Pak Tuha?” suaranya bergetar. 282
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Aku hanya menggeleng, lalu beranjak pergi setelah menyerahkan sejumlah uang seharga kopi kental. Aku masih bisa merasakan, mata empat orang lelaki itu mengafaniku. Biarlah! Aku hanya ingin segera sampai di kampungku. *** “Hayai Sanpo!”1seseorang berseragam mendaratkan kakinya yang terbungkus sepatu lars ke punggung Apa2 hingga jatuh terjerembab. Uwe’3 yang senantiasa berada di sampingnya sejak digelandang dari rumah memapah Apa dengan tangis yang tak berhenti. Aku bisa menyak sikan dari jauh, di balik rimbun rumpun aur, dengan hati terpotong-potong. Ingin rasanya aku berlari menyelamatkan mereka. Tapi aku begitu ingat pesan Apa sebelum beliau dijemput dengan paksa. “Ame samak-samak kak kami4 toh!”5Aku begitu meresapi usapan tangan Apa di kepala, yang sudah sekian lama tak kurasakan. Hatiku bergetar, merasa hal buruk akan terjadi. Untuk lelaki berusia lima belas tahun, rasanya belum cukup mumpuni untuk mengibarkan bendera keberanian di hadapan orang-orang tak dikenal dengan bahasa yang tak kumengerti. Skenario Maha Besar sedang tayang di depan mata. Skenario yang tak pernah terduga. Aku hanya bisa memandang dengan mata basah dan tangan mengepal. Aku begitu yakin, saat ini Uwe’ pasti sedang memastikan aku baik-baik saja. Terlihat beliau menebar pandangan keseluruh penjuru tanpa rasa takut. Aku hampir saja berteriak saat sebuah hantaman mendarat di tubuhnya yang lemah , rumpun aur sedikit bergoyang saat aku tanpa sadar hedak beranjak, tepat saat itu sebuah lengan dengan sigap menahanku. “Ame!”6 Aku menoleh, ternyata Janggi. Wanita cantik, yang usianya terpaut setahun lebih tua di atasku, dengan busur berCepat Jalan!
1
Panggilan untuk Ayah
2
Panggilan untuk Ibu
3
Jangan dekat-dekat dengan kami
4
Panggilan kesayangan, lengkapnya Utoh
5
Jangan
6
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
283
tengger di punggungnya dan beberapa anak panah terikat di pinggangnya yang ramping. Yaa Tuhan ... kenapa aku tak secerdas dia, setidaknya ada alat untuk mempertahankan diri. Aku memandangnya lekat-lekat, memastikan tidak terjadi sesuatu padanya. Janggi meminta aku merunduk dan memberi isyarat agar aku duduk. Lalu kami duduk berhadapan. Kulihat wajahnya yang putih bermandi peluh, pertanda dia baru saja menempuh perjalanan sulit. Rambutnya yang hitam bergelombang terjurai tak tentu arah, namun tetap saja, ia adalah wanita paling cantik di mataku. Bujang yang baru menetas. Aku memang menaruh hati pada nya, dan Janggi begitu tahu perasaanku, yang membuat bahagia adalah, ia sama sekali tak menolak saat kami kumpul adat, dan kami berdua dijodohkan. Hanya tinggal menunggu tiga kali panen padi ladang, kami akan dinikahkan secara adat. Kupandangi lagi Janggi. Kali ini air mata nya telah mengakar hingga ujung wajah. Netra berwarna cokelat itu begitu penuh luka. Tangisnya semakin deras. “Orang tua kita semua ditangkap, pemangku adat, orang Pemerintahan, semuanya ... .” suaranya tercekat di antara isaknya yang tertahan. Matanya melolong ke arahku. Aku mengguncang bahunya. “Apa dan Uwe’ nyu7?” Janggi mengangguk pasrah, dan menunduk dalam, air matanya ber derai kembali. “Mereka dibawa dengan oto ke suatu tempat.” Aku mendesah pilu, lalu memandang kosong jalan setapak yang kemarin masih ramai dengan teriakkan-teriakkan yang sulit dimengerti, mereka bukan saja membentak, tetapi juga mendorong atau menghantam dengan senjata penduduk kampung yang digiring entah ke mana. Saat itu, aku masih bisa memandang dari jauh Apa dan Uwe’ ada di antara mereka. Yaa Tuhan, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Hatiku diliputi kabut hitam tebal, sungguh sesak. Aku dan Janggi hanya diam dengan lamunan masing-masing. Otakku menerka dengan gila, memKamu
7
284
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
buat hati semakin tercabik-cabik karena dugaan yang hadir di kepala adalah peristiwa memilukan. Aku memandang Janggi. Air matanya masih berderai, namun isaknya telah ditelannya hingga ke jantung. Matanya kosong, jemarinya memainkan gelang manik pemberianku, yang kuronce dengan tanganku sendiri. Aku membiarkannya, dengan harapan dapat membuatnya sedikit tenang. “Lumban, aku lelah, aku ingin tidur.” Matanya yang sayu memandangku. Mata itu begitu tak berdaya, seperti juga atma dan raganya. Aku mengangguk lembut, dan membiarkan ia merebahkan kepalanya di atas sepasang kaki yang kujulurkan. Tak menunggu lama, akhirnya Janggi terlelap dengan wajah letih. Apa yang akan terjadi dengan kita, Janggi? Aku memandangnya dengan hati tercabik. *** “Lumban, bangun.” Lamat-lamat aku mendengar suara melindap. Guncangan perlahan di lenganku membangunkan aku dari mimpi mengerikan. Aku terbangun dengan napas sesak. Aku merasa sedang memeluk Uwe’ yang berlumuran darah, lalu seolah lubang hitam menelan Uwe’ hingga pelukkannya terlepas dari tubuhku. Mimpi mengerikan itu membuat aku bermandi peluh. Aku melihat Pak Udak8 sudah ada di dekatku. Janggi juga sudah duduk dengan tenang. Hatiku sedikit lega. Walau mimpi mengerikan masih memengaruhi bathinku. Adik kandung Uwe’ yang begitu kuhormati itu, menyodorkan makanan. Tepat dua hari aku dan Janggi memang sama sekali tidak makan. Hanya mengandalkan tetes-tetes embun untuk menghilangkan dahaga. Kami sama sekali tak berani beranjak. Selain menghemat tenaga yang tersisa, juga memang belum punya keberanian untuk mengambil langkah. Entah bagaimana Pak Udak-ku bisa menemukan kami berdua. Aku tak ingin menanyakannya, biarlah, yang terpen ting beliau sudah ada di dekatku. Aku sangat bersyukur. Aku membagi makanan dengan Janggi. Pak Udak memandangi kami dengan rasa haru. Paman
8
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
285
Aku dan Janggi melahap makanan tanpa sisa. “Orang kampung telah habis.” Pak Udak membuka cerita. Aku menoleh penuh tanda tanya. Pak Udak menarik napas dalam. Aku masih menunggu penjelasan selanjutnya, tanpa memiliki keberanian untuk bertanya. Karena aku begitu takut jawaban yang akan kudengar justru sesuai espektasiku. “Janggi hati-hati.” Pak Udak menoleh ke arah Janggi. “Kudengar, me reka juga menodai anak gadis kampung.” Hatiku terkesiap. Kupandang Janggi yang memeluk lututnya dengan gemetar. Sama gemetarnya dengan bibirnya yang pucat. “Mereka dibawa ke mana, Pak Udak?” aku memegang lengannya yang penuh luka goresan pohon berduri. Pak Udak menggeleng lemah. Memandangi aku dengan wajah yang tak dapat kuterjemahkan. Pak Udak adalah orang paling berani dalam keluargaku, dan aku sangat tahu, pasti sudah ada rencana yang akan dilakukannya tanpa melibatkan aku dan Janggi. “Kalian harus selamat, jangan sampai tertangkap.” Pak Udak menepuk pundakku. “Sudah kupastikan kalian aman, aku akan bergabung dengan yang lain yang masih tersisa di suatu tempat.” Pak Udak lalu menyodorkan lagi sebungkus makanan. Aku menerimanya dengan hati hampa. Ingin rasanya aku bergabung bersama Pak Udak dan penduduk kampung, namun aku harus memastikan keselamatan Janggi. Dan aku sangat yakin, keputusan yang beliau ambil adalah yang terbaik. Aku hanya mengangguk saat Pak Udak pamit. *** Akhirnya kami harus merasakan apa yang dirasakan orang kampung. Digelandang dengan paksa! Aku merasakan genggaman tangan Janggi yang begitu erat pertanda takut luar biasa. Acapkali aku menoleh ke arahnya memberikan kekuatan. Yaa Tuhan, bagaimana caraku melindunginya? 286
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Soko no anata!”9 seseorang di arah depan tepat di persimpangan, berdiri dan berteriak, tangan kanannya menunjuk ke arah barat. Ternyata mereka memisahkan anak putri. Aku memandang Janggi dengan perasaan was-was. Sorot mata Janggi juga seolah memohon agar aku takkan pernah meninggalkannya. Hatiku berkecamuk. Tiba-tiba aku teringat sebuah sumur kering dekat Panyugu10. Aku berbisik di telinga Janggi. “Sembunyilah di sumur dekat Panyugu, sumur itu selalu kering. Tunggu aku di sana, aku akan menjemputmu.” Janggi menggeleng. Aku menguatkan genggamanku, mencoba membuatnya mengerti dan menuruti ideku. Aku sama sekali tidak rela jika Janggi sampai... ahh. Aku memandangi Janggi dengan permohonan yang sarat. Akhirnya Janggi mengangguk. “Setelah melangkah, jangan menoleh lagi.” bisikku lagi sebelum Janggi menghilang menyelinap de ngan cepat dibalik hutan. Tiba saatnya di ujung persimpangan. Aku digabungkan dengan yang lain, mataku lelah mencari Pak Udak dan kerabat lain, tak kutemukan. Seuntai doa kupanjatkan untuk keselamatan keluargaku dan Janggi. Sementara di seberang barat, anak putri telanjang kaki sedang menunggu nasibnya. *** Setelah perpisahan itu, kesempatan untuk menjemput Janggi kembali, terbelenggu. Saat itu, kami para lelaki digiring ke sebuah pertambangan di bawah tanah. Empat tahun aku berada di lubang tanah bersama para lelaki dari beberapa kampung. Tubuhku semakin kekar. Pekerjaan yang berat telah mencetak tubuhku seperti ini. Aku masih sangat ingat, satu purnama telah melewatkan waktu pernikahan adatku dengan Janggi. Setiap kali mengenang Janggi, hatiku pecah. Sanggupkah Janggi menungguku di sumur kering begitu lama? Sementara aku hanya Kamu ke sana!
9
Tempat Ibadah
10
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
287
bisa berdiri di satu sisi. Semenjak di pertambangan ini, aku tak lagi me ngenal matahari. Aku pasrah menyerahkan nasibku pada waktu. Sampai pada suatu ketika, pertambangan ditutup, seluruh pekerja dipulangkan. Aku, dan seluruh pekerja bersujud mencium tanah, saling berpelukan dan tanpa malu menangis. Di mata kami, sudah begitu rindu bertemu sanak keluarga. Walau kami di pertambangan bahkan bukan hanya sekedar saudara. Aku melangkah. Keluar dari lubang tanah. Pertama kalinya aku bisa melihat matahari kembali. Suasana sudah sangat berbeda. Terasa begitu sunyi dan begitu hening. Aku menuju kampungku. Langkah pertama adalah menuju sumur kering, tempat kupahatkan sebuah janji. Mesti hatiku selalu mengingatkan, Apa yang akan kau temui di sana? Namun Aku mengabaikan bisik hatiku. Aku hanya ingin segera menunaikan janji. Menjemput Janggi. Kelokan jalan ke tujuh masih seperti dulu, tak banyak yang berubah. Pada kelokan ke sembilan, akhirnya aku sampai di Panyugu. Dari sini, aku hanya akan berjalan beberapa langkah menuju sumur kering. Hatiku berdesir. Tanaman merambat sudah menutupi mulut sumur. Sampai di sisi sumur, logikaku baru tersadar dari mati suri. Mungkinkah sekian lama Janggi masih ada di dalam sana? Tapi aku masih memanggilnya. Tak ada sahutan, hanya ada kesunyian. Aku memutuskan untuk menemui Pak Udak. Aku ingin mendengar kabar tentang Apa dan Uwe’, kerabat yang lain. Dan Janggi. “Sampai saat ini, Apa dan Uwe’ nyu, Janggi, tak pernah kembali.” Aku terdiam. Sebilah samurai seolah sedang memotong urat nadiku. Aku memandangi dua belah tangan yang gemetar. Rasanya ingin mengutuki diri, mengutuki aku yang dengan sengaja membunuh orang yang paling dicintai. *** Tiga puluh tujuh tahun kemudian, kampung kami didatangi Pegawai Pemerintah Pusat. Berita ini aku terima dari kerabat yang ada di kam288
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
pung. Sementara aku sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi Dosen Psikologi sebuah Universitas Ternama di sebuah Ibukota. Aku segera terbang menuju kampungku. Ini adalah moment penting. Dan aku tak boleh luput. Sebab, apa yang akan dilakukan Pemerintah Pusat erat hubungannya dengan keluargaku, dan wanitaku, Janggi. Sebuah Monument Sejarah akan dibangun, tepat di kampungku. Sembilan Makam Juang tepatnya. Di sana terbaring ribuan para pejuang. Dan aku yakin, Apa dan Uwe’ juga ada di sana. Aku meminta petugas untuk menelusuri sebuah sumur dekat Panyugu. Karena aku adalah pelaku sejarah dan termasuk tim survey yang ditugaskan menunjukkan lokasi-lokasi terkait. Tiga orang petugas masuk ke dalam sumur, dan mereka menemukan tulang belulang lengkap dari tengkorak kepala hingga jari kaki. Sebuah gelang manik masih melingkar pada tulang le ngan sebelah kiri. Hatiku remuk. Aku menahan sebak di dada dari rasa bersalah yang berpuluh tahun mengurat di hati. Mataku basah dengan degup jantung yang hampir tak dapat kukendalikan. Kugenggam gelang manik, darahku serasa berhenti mengalir. “Bapak mengenalnya?” Aku mengangguk. “Bolehkah yang terakhir ini dimakamkan di pemakaman keluarga?” Mereka menyetujui. *** Aku memutuskan tak lagi kembali ke Ibu Kota. Aku dipercaya sebagai tetua adat dan Pengelola Monument Makam Juang. Aku akan merawat makam para Pejuang. Dan selalu dekat dengan Janggi. Sebab hatiku sudah berjanji, aku takkan pernah meninggalkannya lagi. Malam cukup pekat. Tapi aku yakin, sebentar lagi bulan akan muncul, meski hanya separuh. Aku duduk di serambi Rumah Panjang kami, tempat aku dan Janggi sejak kecil bermain bersama. Tempat kami beberapa keluarga berkumpul memainkan musik dan menari. Menenun Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
289
dan meronce. Malam ini, aku memeluk Sape’11 aku ingin sekali menyampaikan pesan dan permohonan maaf pada Janggi, atas janji yang aku ingkari. Sape’ yang dentingannya mampu merontokkan tulang juga mampu melintas alam roh. Sape benutah tulang to’awah, demikian para Tetua menyebutnya. Aku mulai memejamkan mata, kupetik dawai Sape’ dengan hati luka. Dentingan Sape’ yang sering aku nyanyikan bersama Janggi mulai memecah keheningan malam. “Daukng bagule nyarup nyiup samak arokng keto babunyi, ari batamu baru koa kao maok ngalaki aku, rasa bagatar ati nian nele’ kao ampa le’koa. Akupun rere nelek kao bujakng tarigas ampat ka’ langit”12 Sungguh, aku bisa merasakan kehadiran Janggi. Ia bersandar di pundakku, dan bisiknya yang lembut terdengar. “Jangan pernah menyalahkan diri, kau telah menyelamatkan aku. Aku rela mati, daripada ternoda.” Air mataku semakin deras dan dadaku semakin sesak. Kerinduan pada Janggi telah aku tebus dengan kesendirianku. Hingga aku menua. Aku berbisik padanya, masih dengan hati luka. “Kapan kau menjemputku?” ***
Alat musik petik khas Dayak
11
Daun melambai tertiup angin dekat tebing burung keto berbunyi, hari itu ketika kita pertama kali
12
bertemu engkau mau tersenyum padaku, rasa bergetar hati ini melihatmu seperti itu, akupun terpesona melihatmu lelaki tampan seperti datang dari langit
290
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Secangkir Susu Cokelat Telur Oleh : Dwi Rahayu Pagiku yang dulu itu sejuk. Selalu sejuk. Walaupun begitu, aku tidak perlu dibangunkan dari bunga tidurku. Aku beranjak bangun dengan semangat, menuju ruangan dimana orang tuaku berada setiap pagi. Ya, dapur kecil itu. Tempat yang menjadi bagian terpenting dalam bangunan rumah kami. Tempat yang juga menjadi saksi kehangatan keluarga kecil ini. Aroma minyak panas melambung ke udara dapur dan sekitarnya, sedikit hangat ketika terhirup di hidungku. Hawanya menciptakan ciri khas yang tidak pernah kutemukan di dapur rumah-rumah lainnya. Aroma itu berasal dari dua penggorengan jumbo di depan ibuku. Seperti biasa, aku melihat beliau sedang sibuk dengan rutinitasnya bersama sepasang kompor yang sedang memanaskan minyak di atasnya. Ibu menoleh dan tersenyum saat menyadari kedatanganku. Tak jauh dari situ, bapak berdiri sambil membuatkan susu cokelat panas untukku. Hei, kalian harus tahu bahwa itu bukan susu cokelat panas biasa! Ada sebutir telur ayam kampung mentah yang diaduk menjadi satu di dalamnya. Aku tidak tahu sejak kapan minuman itu jadi salah satu minuman kesukaanku. Aku bahkan tidak suka makan telur. Tapi paduan air mendidih, susu cokelat dan telur ayam kampung itu selalu menggugah selera pagiku. Nikmatnya membuat lidah melawan logika dan rasa tidak suka. Lantai dapur masih dingin, tak terpengaruh panasnya minyak dari kompor ibu. Aku duduk di bangku plastik biru bermotif Doraemon 3D yang bapak belikan khusus untuk tubuh mungilku. Aku mendongak ke arah bapak, beliau masih mengaduk susu cokelat dengan telaten. “Buku-buku pelajarannya sudah disiapkan, Nduk?” tanya bapak. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
291
“Sudah dari semalam, Pak,” jawabku dengan suara pagi yang parau sekali. “Tunggu dulu, ya. Sebentar lagi susu cokelatnya jadi.” Sambil menunggu susu cokelat siap diminum, mataku menyisir setiap sisi dapur dari kursi biru itu. Teliti sekali, memperhatikan satu sudut ke sudut lainnya, seolah-olah aku adalah seorang pengamat khusus. Mungkin itu sebabnya kenapa aku selalu melankolis saat mengingat masa kecilku. Semua kenangan terpatri dengan sangat detail dalam ingatanku. Rumah ini memang tidak besar ataupun mewah, tapi justru membuatku semakin mudah mengingat bagian-bagian kecil yang mungkin tidak diperhatikan orang lain. Aku masih ingat letak setiap benda di rumahku pada saat itu. Aku juga masih ingat, jika ibu belum sempat menyapu rumah, pasti ada remahan kayu dari kaki rak buku di pojok ruang tamu yang mulai keropos dimakan rayap. Aku ingat susunan tempat bumbu dan keranjang rotan berisi rempah-rempah milik ibu yang berjejer di rak tua krem itu. Tanpa sadar aku merekamnya dengan sangat jelas. Rumah kecil ini adalah istana bagi keluarga kami yang saat itu masih berjumlah tiga orang. Tempat berteduh sederhana yang dibangun oleh bapak dan pakdhe-ku beberapa tahun silam ini merupakan hasil keri ngat bapak selama merantau di tanah Borneo. Bapak ditugaskan menjadi tenaga pendidik di daerah terpencil setelah menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Yogyakarta. Setelah menikah, bapak dan ibu langsung berlayar menempuh perjalanan darat dan laut yang jaraknya lebih dari 48 jam dari kota kelahiran mereka tersebut. Aku lahir beberapa tahun setelah bapak dan ibu pindah ke kota yang lebih ramai penduduknya. Bapak tetap menjadi guru sekolah dasar seperti sebelumnya, tapi di sekolah yang berbeda. Untuk menambah pemasukan, ibu berjualan keripik tempe khas Jogja yang dititipkan di warung-warung kopi. Bahkan, pelanggan tetapnya sudah lumayan ba 292
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
nyak pada saat itu. Sepulang dari mengajar, bapak bertugas mengantarkan keripik tempe ke warung atau rumah pelanggan yang cukup jauh dari rumah kami dengan menggunakan sepeda motor tuanya. Itulah masa-masa “MyTrip, My Adventure”-ku. Aku selalu jadi pengawal bapak sejauh apapun jaraknya. Ada kenangan aku tertidur dan hampir terjatuh dari motor. Ada kenangan menangis tersedu-sedu karena topi kesayanganku tertiup angin. Bahkan aku tidak ingat berapa pasang sandal yang tanpa sadar tercecer dalam perjalanan. Untuk mengantarkan titipan itu, kami bisa melewati beberapa kecamatan sekaligus. Aku jadi mengenal dengan baik daerah kelahiranku ini. Benar- benar memori yang tak ternilai harganya. Aku jadi saksi bahwa bapak dan ibu bekerja keras demi kehidupan yang lebih layak tanpa mengeluh. Aku bangga pada mereka. Aku ingin seperti mereka. “Ayo, diminum susunya, Cah Ayu. Biar pinter.” Ibu membuyarkan lamunanku. Kulihat bapak sudah duduk di sebelahku, memegang secang kir susu cokelat panas. Ada doa tulus dalam kalimat ibu barusan. Aku tidak tahu apa khasiat sebenarnya dari susu cokelat telur ayam itu. Yang aku tahu, aku memang merupakan salah satu anak yang cerdas. Aku selalu berdiri di podium sang juara kelas. Kemampuanku dalam membaca dan menulis berada di atas rata-rata anak seumuranku. Aku selalu menorehkan senyum di wajah bapak dan ibu setiap akhir caturwulan. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu alasan kenapa susu cokelat telur masuk ke dalam daftar minuman favoritku. Aku pernah bertanya pada teman-temanku apakah mereka juga menyukai susu cokelat telur panas. Aku terkejut dengan jawabannya. Mereka tidak tahu dan tidak pernah meminumnya. Bahkan, mereka merasa jijik membayangkannya. Ah, andai mereka tahu senikmat apa minuman itu! Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
293
Pernah suatu hari sepupuku menginap di rumahku. Keesokan hari nya, bapak membuatkan susu cokelat telur untuk kami berdua. Senyum manis merekah di wajah sepupuku setelah ia menghabiskan segelas susu itu dalam waktu singkat. Dia minta dibuatkan lagi kalau menginap lain kali. Aku tidak bohong, kan, tentang rasanya? “Dihabisin ya, Nduk. Mumpung masih panas,” tambah bapak sambil membasuh kedua tangannya yang sedikit lengket setelah memegang telur. Bapak benar. Susu cokelat ini tidak nikmat jika aku meminumnya dalam keadaan sudah dingin. Cara yang tepat untuk bisa mendapatkan rasa khas-nya adalah dengan segera menghabiskannya selagi masih panas. Tidak hanya rasa, tapi teksturnya pun akan berubah jika didiamkan lama-lama. Mengingat hal itu, aku pun langsung meneguk minuman panas spesial itu. Lidahku sangat menikmati bulir-bulir putih telur yang tidak teraduk sempurna. Satu teguk…dua teguk…sampai tegukan terakhir hanya ada satu kalimat dalam pikiranku: rasa cokelat dan telur itu benar-benar paduan sempurna. Mungkin akan berbeda lagi kesannya jika jenis susu yang digunakan adalah susu putih. Sekali lagi, aku bangga bapak bisa menciptakan resep ini untukku. Sekarang aku sudah dewasa. Bapak juga sudah tidak segagah dulu. Sebagian rambutnya memutih dan rontok. Beliau sudah berada di masa purna tugas sebagai guru sekolah dasar. Aku pun sudah lama sekali tidak menikmati secangkir panas susu cokelat telur buatan bapak. Tapi rasa itu masih terekam di dalam ingatanku. Rumahku juga sudah tidak seperti yang dulu. Bagian sana dan sini sudah mulai diubah mengikuti kemajuan zaman dan juga kemampuan finansial kami yang semakin membaik, berkat kerja keras bapak ibu dan didikan mereka yang membuatku juga sudah jadi manusia yang menghasilkan. Tetapi tentu saja, jika diminta untuk mengatur kembali agar 294
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
letak barang-barang di rumah ini sama seperti ketika aku kecil dulu, aku bisa melakukannya dengan sangat baik. Aku sering sekali rindu dengan kehangatan susu cokelat telur ketika aku menempuh pendidikan tinggi yang jauh dari bapak. Setiap malam setelah menyelesaikan tugas-tugas kuliah, aku terbayang-bayang de ngan cangkir berisi susu cokelat telur panas buatan bapak. Siapa bilang aku tidak pernah mencoba membuatnya sendiri? Sudah berkali-kali aku lakukan, tapi hasilnya tidak sama dengan buatan bapak. Bahkan aku sampai mengunjungi warung jamu Mbah Legi yang terkenal itu, dan masih… aku belum menemukan rasa dan kesan yang sama. Semenjak itu, aku berhenti mengharapkan minuman dengan rasa yang sama, tapi aku tidak pernah berhenti merindukannya. Dulu yang aku tahu, hanya ada doa ibu dalam secangkir susu cokelat telur panas itu. Aku baru menyadari bahwa di dalamnya juga ada ba nyak harapan dari bapak. Ada jutaan kasih sayang dan kesabaran yang beliau tanamkan saat mengaduknya. Ada ribuan keinginan untuk menjadikan aku sosok yang berhasil di masa depan. Ada keyakinan besar bahwa beliau ingin selalu diingat dan tidak ditinggalkan di masa tuanya. Ada sesuatu yang beliau ingin aku tidak pernah lupakan. Untuk kesekian kalinya, aku bangga pada bapak. Melihat bapak sekarang, aku ingin sekali jadi seperti beliau yang dulu. Aku ingin membuatkan secangkir susu cokelat panas dicampur telur ayam kampung untuknya. Namun mengingat bapak dilarang me ngonsumsi minuman dan makanan yang terlalu manis, kubuang jauhjauh keinginanku itu. Saat ini, aku mungkin tidak bisa membuatkan secangkir cokelat susu panas untuk bapak. Tapi, aku berjanji akan menjadikan minuman ini sebagai buah kenangan untuk anak-anakku kelak. Aku ingin mereka merasakan kenikmatannya, walaupun tak senikmat buatan bapak. Aku ingin meracik kasih sayang di dalam cangkir itu. Aku ingin mendidik dan membangun mimpi mereka. Aku ingin mereka mengingatku seperti aku Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
295
mengingat bapak dan ibu. Aku ingin mereka tahu makna cinta dan perjuangan dari secangkir panas cokelat susu telur ayam kampung itu. Aku ingin ada di setiap pagi saat mereka terbangun dari tidur dan mengatakan, “Ayo, habiskan susu cokelatnya mumpung panas, Nduk. Biar pinter.”
~~~~~~~~~~ SELESAI ~~~~~~~~~~
296
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Selepas Puluhan Tahun Pengembaraan Oleh: Hadiwinata Maridang masih menimbang-nimbang, kalimat seperti apakah kiranya yang paling pas untuk menjelaskan kepada Nana anak pertamanya itu bahwa ia adalah ayahnya. Di dalam tasnya, tersimpan sejumlah uang dan baju batik bercorak Sarawak sebagai oleh- oleh. Juga ada sekantong besar jajanan coklat untuk buah hatinya yang ia peluk sepanjang perjalanan. “Ini aku, bapakmu, Nak!” Apakah kalimat sederhana seperti itu cukup, pikir Maridang. Atau mungkin ia mesti menjelaskan dengan kalimat-kalimat yang lebih ba nyak lagi. Atau, jikalau perlu, dan tampaknya memang perlu, ia mesti meminta bantuan Mantili istrinya untuk menjelaskan siapa dirinya. Maridang memandang ke arah jendela yang mulai kabur diserbu rintik hujan. Seketika, matanya pun basah. Ia telah menghabiskan waktu dua hari tiga malam di perjalanan. Dari sebuah kota di Sarawak menum pang bus ke Pontianak yang jaraknya ratusan kilometer. Turun-naik bukit dengan jurang di kanan-kiri. Kemudian naik pesawat dan terbang ke Jakarta, untuk kembali melanjutkan perjalanan dengan bus, menyebrang Selat Sunda hingga akhirnya sampai ke kotanya yang teramat jauh. Jarak mahapanjang tersebut ia tempuh demi berjumpa dengan anak dan istrinya. Akan tetapi, ia masih belum juga sampai di rumahnya. Masih diperlukan waktu sekitar satu jam lagi. Sepuluh tahun lalu, ia minggat meninggalkan kampung halaman nya untuk merantau mencari uang. “Di Muaradua ini tak ada yang bisa dilakukan.” Begitulah jelas Maridang kepada Mantili. “Kota kecil, sepi, nan sempit, sesak dihimpit hutan dan perkebunan. Tak ada kehidupan di sini!” Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
297
Maka berangkatlah Maridang menumpang truk menuju Jakarta. Berharap bahwa di sana ia akan menemukan pekerjaan dengan gaji yang cukup. Akan tetapi, mencari kerja di Jakarta tidaklah semudah membuka resleting celana ketika Maridang hendak mengencing. Terlebih lagi bagi ia yang hanya tamatan SD dan berpenampilan kumal. Maridang mesti sabar dan menyusuri banyak jalan, juga bertanya kepada beribu orang mengenai lowongan pekerjaan. Berhari-hari setelah berada di Jakarta, akhirnya Maridang bertemu seseorang yang menjanjikannya sebuah pekerjaan. Tetapi ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak masalah, jawab Maridang. Tetapi pekerjaan ini juga tidak di sini, letaknya jauh di Sarawak Malaysia sana. Maridang meminta waktu satu malam sebelum memberikan keputusan. Maridang menelpon Mantili untuk bertanya mengenai kabarnya. Mantili bercerita panjang lebar dan memberitahu dirinya kalau ia te ngah mengandung. Maridang terkejut sekaligus bahagia dan sedih. Ia tak tahu sama sekali kalau istrinya tengah mengandung saat itu. Demikian juga dengan istrinya sendiri. Maridang bahagia bukan main. Ia bahagia bahwa ia tak lama lagi akan menjadi seorang ayah. Bahkan, di saat itu juga, ia ingin pulang dan tak mau jauh-jauh dari Mantili. Akan tetapi, di saat yang sama, ia juga merasa sedih bahwa ia belum mempunyai pekerjaan. Terlebih lagi uang yang banyak sebagai bekal melahirkan dan susu serta popok anaknya kelak. Maka Maridang hanya berpesan kepada Mantili untuk menjaga de ngan baik anaknya itu. Ia berjanji akan bekerja keras demi mereka dan pulang secepat mungkin ketika tabungan sudah cukup. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Maridang pergi menghadap orang yang telah berjanji akan memberinya pekerjaan dan mengatakan kalau ia menerimanya. Kemudian berangkatlah Maridang bersama serombongan pekerja lainnya ke pulau Kalimantan yang jauh di seberang sana. Mereka disuruh untuk menjaga kebun sawit yang luasnya puluhan kilometer persegi. Mereka diminta untuk merawat dan memanen buah sawit yang telah siap. 298
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Kini, di sinilah Maridang berada. Di atas sebuah bus selepas melalui sepuluh tahun pengembaraan di tanah rantau. Maridang memandang kota kelahirannya itu. Ada cukup banyak perubahan yang telah terjadi. Hutan-hutan menipis menjelma perkebunan karet yang lebih luas lagi, kios-kios minyak berdiri, minimarket-minimarket rapi nan bersih tumbuh bagaikan tanaman, juga beberapa restoran masakan Padang di pinggir jalan—meski di sana-sini masih terdapat banyak sekali jalan penuh lubang yang sangat menganggu pengendara dan penumpang, juga kedai kopi reyot di kanan-kiri seperti dulu. “Bagaimana dengan hatimu, Dik?” tanya Maridang dalam hati. “Adakah masih sama seperti dulu? Seperti sepuluh tahun lalu? Atau justru telah berubah serupa Muaradua?” “Bagaimana kabar Nana? Kabar anak kita?” Maridang kemudian menerka-nerka, mencoba membayangkan se perti apakah paras anak perempuannya yang tak pernah ia jumpai itu. Apakah lebih mirip dirinya yang berkulit hitam, berambut lurus, dan berhidung jambu. Atau justru lebih mirip Mantili yang berkulit kuning langsat dengan rambut tebal bergelombang dan hidung pesek seada nya. Maridang mencoba berhitung, kalau putrinya itu sekarang berusia sepuluh tahun, berarti ia tengah berada di kelas tiga atau empat SD. Usia di mana seorang perempuan sedang beranjak menuju fase remaja. Maridang membayangkan putrinya mengenakan seragam putih-merah dengan dasi yang rapi dan lengkap dengan topi. Pasti cantik dan lucu sekali, pikirnya. Jika ia pulang nanti, Maridang ingin membeli sepeda motor baru dan mengajak Nana putrinya tercinta itu jalan-jalan keliling kampung. Atau bahkan keliling Muaradua. Maridang ingin mengajak Nana bermain air di Danau Ranau yang biru lagi luas. Ia ingin mengajaknya naik motor air dan pergi ke tengah danau, atau bahkan bila memungkinkan hingga sampai ke tepi Gunung Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
299
Seminung yang luar biasa cantik. Lalu mendakinya bersama-sama hingga ke puncak dan melihat keindahan danau dari ketinggian. Maridang yakin Nana akan begitu bahagia. Apalagi dirinya yang penuh oleh rasa rindu setelah memeramnya bertahun-tahun. Pada awalnya, Maridang hanya berencana untuk bekerja selama tiga tahun, atau paling lama lima tahun di sana. Akan tetapi, tepat di tahun-tahun ketika ia dan rombongannya hendak mengakhiri kontrak kerja, para polisi imigrasi Malaysia mulai mengetahui tempat persembunyian mereka, atau tempat di mana mereka beristirahat setelah bekerja merawat ribuan sawit dan memanennya. Ketika itu, ketika para polisi berdatangan, ia dan rombongannya kocar-kacir berlari ke arah mana saja demi menyelamatkan diri. Ada yang berlari ke arah perkampungan, jalanan, bahkan hutan belantara. Beberapa di antara mereka ada yang tertangkap dan dijebloskan ke lokap atau penjara sempit bagi pekerja imigran gelap. Namun, untunglah nasib baik masih berpihak kepada Maridang. Di hari itu, ia berlari ke arah hutan dan bersembunyi di sana selama berhari-hari. Uang, pakaian, dan barang- barang miliknya tertinggal di tenda tempat ia tinggal. Ia tidak mungkin mendatangi tenda itu lagi. Itu sama saja menyerahkan diri. Maka Maridang pergi ke tempat lain bagaikan tarzan yang baru ke luar dari hutan dengan badan kotor dan kelaparan. Ia kemudian bekerja sebagai kuli bangunan dan mencoba bertahan sekuat tenaga di sana— demi impian untuk pulang dan bertemu anak-istrinya di kampung de ngan membawa uang yang cukup. Hujan telah berhenti ketika bus mencapai simpang. Maridang turun. Dihirupnya udara segar sehabis hujan kampung halamannya itu. Kampung yang telah ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Hari belum terlalu sore. Akan tetapi, matahari telah berangkat entah ke mana. Maridang melihat tiang-tiang listrik berdiri menjulang tertancap di banyak sudut, dihubungkan oleh kabel-kabel berwarna hitam. Bus-bus pariwisata pengangkut para pelancong dari berbagai 300
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
daerah terus melintas, sebagaimana sama halnya dengan motor- motor dan mobil-mobil pribadi ke arah Danau Ranau. Berisik sekali. Tak ada lagi dilihatnya burung-burung yang terbang. Terlebih lagi suara jangkrik seperti puluhan tahun lalu. Maridang mesti berjalan sekitar setengah kilometer lagi untuk sampai di rumah pondokannya. Melintasi beberapa perumahan dan minimarket yang kini telah banyak dibangun. Maridang kemudian berlari membawa ranselnya yang penuh dan sekantong oleh-oleh di tangan kanan dalam gelora kerinduan yang meluap-luap. Hingga badannya sedikit gemetaran dan airmatanya menetes. Ketika sampai di depan rumahnya, Maridang tidak lagi mengenali rumah itu. Rumah itu sekarang telah berubah menjadi rumah batu yang belum dicat. Di pekarangannya, ia melihat ada Mantili yang tengah duduk memangku seorang bayi lelaki sambil tertawa. Di sebelahnya, ada satu pria dewasa yang tampaknya lebih tua darinya yang juga sedang bermain dengan sang bayi. Tak jauh dari mereka, Maridang melihat seorang perempuan kecil tengah bermain sendiri menggambari tanah dengan sebatang ranting. Maridang kemudian melangkah maju. Ia kini melihat perempuan kecil itu dari jarak yang sangat dekat. Rambutnya keriting-bergelombang seperti pucuk-pucuk pohon di hutan Muaradua, kulitnya kuning seperti pasir di tepian Danau Ranau, dan berhidung pesek. Demikian pula de ngan perempuan kecil itu, matanya yang besar dan bulat menatap penuh ke arah Maridang yang tak dikenalnya. Maridang terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Airmata menetes di sudut matanya. (*) Inderalaya, 2019
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
301
Senandung Cemara Oleh: Dra. Yulita Feryanti Tepuk tangan penonton di gedung itu terdengar riuh membahana, setelah mereka terpukau dengan penampilan Aya dalam mengalunkan suara merdunya, dalam sebuah lagu yang berjudul Complicated yang dipopulerkan oleh Avril Lavigne. Semua penonton terpesona mendengarkan suaranya yang melengking, ditambah dengan wajahnya yang cantik, dengan postur tubuh yang tinggi semampai. Randy , sebagai gitaris yang juga turun dari panggung bersama teman–teman bandnya lain yang mengiringi Aya menyanyi, merasa puas dengan penampilan mereka yang memukau penonton. “Aya…Aya..Aya…bravo 12 IPA1..”, teriak teman-teman sekelasnya yang menyaksikan penampilan mereka dalam acara Pentas Seni yang dilaksanakan di sekolah mereka SMA Kusuma Jaya.Aya dan grup bandnya tersenyum menerima ucapan selamat dari teman-temannya. Di remang cahaya lampu di aula sekolah itu. Randy sengaja duduk menjauh dari teman- temannya. Teman sekelasnya yang lain berkumpul dan berbicara dengan riuhnya mengomentari penampilan mereka. Randy memendang Aya dari tempatnya. Aya, gadis cantik yang menjadi idola pria di sekolahnya. Selain cantik, dia berprestasi. Nilai pelajaran nya selalu di atas rata-rata temannya. Di samping dia juga unggul dalam olah raga basket dan mempunyai suara yang merdu dalam menyanyi. Meskipun memiliki banyak kelebihan, Aya selalu bersikap rendah hati pada teman-temannya, baik pria atau wanita. Dengan latar belakang keluarga yang mapan, dimana ayahnya adalah seorang Direktur Perusahaan, rasanya lengkaplah kesempurnaan Aya. Banyak pria yang mencintai Aya, tetapi Aya selalu menolak untuk berpacaran. Tidak ada seorang priapun yang diterima cintanya oleh Aya. Termasuk Randy, yang diam-diam juga mencintai Aya. Tapi dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada Aya. Dia simpan sendiri 302
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
rasa yang selalu hadir di hatinya. Debar jantungnya yang berpacu saat bertemu Aya, getar hatinya yang selalu ada saat dia mengingat Aya. “Hayo melamun !,” teriakan Vany mengagetkan Randy. “Ngapain disini sendiri? Ayo gabung sama teman-teman,” ajak Vany. Randy tersadar dari lamunannya, kemudian dia mengikuti langkah Vany menuju teman sekelasnya berkumpul. ************* Jam istirahat tiba. Di kelas Randy baru selesai pelajaran kesenian, jadi dia membawa gitar ke sekolah. Iseng dia duduk di bawah pohon cemara dengan memetik gitarnya, lirih menyanyikan lagu. Saat dia asyik bersenandung, seseorang menghampirinya. “Randy, aku suka lagu itu,” kata Aya sambil duduk di samping Randy. Sedikit gugup Randy memandang Aya, hatinya kembali bergetar, tak terasa dia menghentikan permainan gitarnya. “Ayo nyanyi lagi, kok malah berhenti.” Kata Aya sambil tertawa. Randy berusaha menguasai perasaannya. Dia kembali memetik gitarnya meski dengan gugup. Aya ikut menyanyi bersama, lagu Sempurna yang dipopulerkan Andra and The Backbone. Merka berdua bernyanyi sementara Randy merasa debar jantungnya terus berpacu lebih cepat, mendengarkan suara Aya di dekatnya, menikmati teduh wajahnya, de ngan rambut indahnya yang tergerai sebahu, yang diterpa angin menyebarkan aroma wangi yang lembut. Randy benar–benar terbuai dengan suasana itu, yang tak pernah ia duga, Aya datang padanya, ada di dekatnya. Gadis yang selama ini selalu hadir dalam mimpi-mimpinya, yang selalu menghias indah dalam puisi-puisinya,meskipun dia tahu, Aya tak pernah punya rasa padanya. Randy menyandarkan bahunya pada pohon cemara di belakangnya, sambil dia terus bernyanyi dan memetik gitar. Aya pun terus bernyanyi , dan beberapa teman-temannya bertepuk tangan menyaksikan mereka Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
303
berdua. Hati Randy berbisik, ”Cemara, engkaulah saksi suara hatiku saat ini. Hatiku sangat bahagia bisa bersama gadis yang aku cintai sepenuh hati. Meskipun aku tahu cinta ini tak akan berbalas, tapi aku sangat bahagia.” Alunan lagu terus mengalir dilantunkan kedua remaja itu : Kau begitu sempurna Di mataku kau begitu indah Kau membuat diriku akan selalu memujamu Di setiap langkahku, ku kan s’lalu memikirkan dirimu… Hembusan angin yang menerpa daun – daun cemara, mendesahkan suara, seakan meningkahi nada yang mereka lantunkan. Sejuk terasa hembusan angin, sesejuk hati Randy berdekatan dengan Aya. Tapi keindahan itu harus terhenti begitu bel masuk berbunyi, dan mereka segera beranjak menuju kelas untuk melanjutkan belajar. ************* Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa Ujian Nasional telah selesai dilaksanakan. Sambil menunggu pengumuman kelulusan, para siswa sibuk mencari Universitas yang akan mereka tuju setelah lulus sekolah. Hari itu Randy tengah berbaring di dalam kamarnya, ketika ayah nya masuk, menutup pintu kamarnya. Wajah ayahnya kelihatan gelisah. Ayahnya mendekatinya dan duduk di tepi pembaringan. “Randy..” ucap ayahnya. “Ada yang ingin ayah bicarakan denganmu,” “iya ayah, ada apa?” “Kamu kan tahu ibumu sakit, setiap bulan ibumu harus berobat ke dokter. Biaya yang dikeluarkan cukup banyan nak. Ayah minta pengertianmu, ayah tidak bisa membiayaimu untuk melanjutkan kuliah.”
304
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Randy terkejut mendengar penuturan ayahnya. “Jadi Randy harus bagaimana ayah?”. “Bagaimana kalau kamu bekerja dahulu, jika suatu saat ayah ada uang, ayah akan menguliahkan kamu.” Randy sedih mendengar penuturan ayahnya, tapi dia juga tidak tega jika harus menghentikan pengobatan ibunya. Dia selalu berharap ibu nya bisa sembuh dari penyakit yang sudah bertahun-tahun diidapnya. “Tidak apa-apa ayah, Randy akan berusaha mencari kerja, sampai suatu saat Randy bisa melanjutkan kuliah,” kata Randy. “Terima kasih nak, kamu mengerti keadaan ayahmu,” ucap ayah Randy dengan mata berkaca-kaca, sambil mengelus kepala Randy. ******************* Sudah tiga bulan sejak lulus SMA, Randy bekerja sebagai tenaga honorer di SMA Kusuma Jaya, tempat dia bersekolah. Pak Surya guru komputer yang sering meminta Randy membantunya dalam menyelesaikan tugasnya, menawarinya bekerja di sana setelah tahu dia tidak melanjutkan kuliah. Tentu saja pak Surya senang Randy bekerja di sana, karena dia tahu Randy kompetensi Randy. Siang itu Randy tengah menyelesailkan tugasnya, ketika tanpa se ngaja dia melihat ke luar jendela, dan memandang taman yang ditumbuhi pohon cemara, dan di bawahnya ada bangku taman. Memory Randy memutar pada peristiwa saat dia bernyanyi berdua dengan Aya. Terbayang kembali wajah Aya yang ayu, teduh, dengan rambut tergerai, yang menebarkan aroma wangi. Masih terngiang suara Aya yang bernyanyi merdu. Randy hanyut dalam memory itu. Seolah dia ada di sana, bersama Aya yang selalu dirindukannya, dan hatinya berbunga-bunga. “Tugas 4 kamu ubah ke bentuk pdf ya,” suara pak Surya mengejutkan Randy. Dia tergagap menjawab, ”iya…ya pak..”. Pak Surya tertawa melihat tingkah Randy.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
305
“Siang-siang kok melamun, ayo lanjutkan tugasnya.” Randy merasa malu, kemudian dia kembali menekuni pekerjaannya. ****************** Dua puluh tahun telah berlalu. Randy tetap bekerja di SMA Kusuma Jaya. Tapi sekarang dia telah menjadi PNS. Sebelumnya dia menyelesaikan kuliah D3 Komputer. Walaupun bangunan di SMA Kusuma Jaya telah banyak direnovasi dalam duapuluh tahun ini, tetapi Randy bersyukur, karena pohon cemara yang megukir kenangannya bersama Aya masih tetap berdiri di sana. Jujur, sampai detik ini Randy tidak bisa melupakan Aya. Dan dia tidak tahu dimana Aya berada, karena sejak lulus SMA Aya melanjutkan kuliah di Luar Negeri. Terakhir sekitar sepuluh tahun yang lalu, Randy tahu keberadaan Aya di London dari Instagram Aya. Waktu itu Randy mengamati foto-foto Aya, yang tampak semakin cantik dan dewasa. Saat itupun getar cinta masih ia rasakan saat melihat foto-foto Aya. Aya memang tak bisa lepas dari hatinya, dari benaknya. Walaupun Randy tak pernah mengejar cinta dan mimpi itu. Sepuluh tahun yang lalu pun, dia menikah dengan seorang gadis bernama Amanda, namun, dia tidak bisa menghapus bayangan Aya. Aya adalah mimpinya, Aya adalah bunga cintanya yang tak pernah terpetik. Bunga cinta yang abadi bersemayam di hatinya. Saat dia dikaruniai anak pertama, dia memberi nama Ayyara Daviana, persis dengan nama Aya. Biarlah nama Aya dia ukir dalam nama puteri yang dicintainya. Randy tak pernah merasa sakit dengan cintanya pada Aya yang tak pernah berbalas. Cintanya begitu tulus. Cinta yang tulus tak akan ada pamrih. Aya akan tetap menjadi nostalgia dalam hidupnya, yang selalu hadir dalam detak jantungnya. ******************
306
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Seorang Gadis, Kota dan Kenangan Oleh: Yuditeha Kepalanya pusing dan wajahnya pucat, sepucat awan sekitar Semeru yang disaput mendung saat dia akan meninggalkan Kota Malang. Kini dia masih di perjalanan, tiba-tiba perutnya mual. Apa yang dia makan tadi siang, rasanya ingin dimuntahkan. Menjelang malam, bus yang dia tumpangi memasuki kota yang dituju. Sebuah kota di mana dia mendapat tugas selama dua bulan. Gadis itu mulai menyiapkan bawaannya, bersiap turun. “Halte depan, Pak,” dia memberi pesan pada kondektur. Di halte dekat pertigaan, sebelum jembatan penyeberangan, dia turun dari bus. Selanjutnya berjalan terburu-buru dan malam yang tak ramah telah menelannya di balik tikungan gang. Ada apa denganmu? Pertanyaan dari kenangannya menggema ketika dia hendak membuka kamar kosnya, seiring menderunya angin malam. “Aku rindu,” bisiknya. Kenangan memang gampang membuat rindu. “Badanku drop.” Segera istirahat, biar besok dapat kembali fresh, dan bisa menjalankan tugasmu dengan baik, saran dari kenangan. “Aku tahu benar diriku, dan kini aku sedang tidak bisa istirahat,” begitu dia bergumam. Selesai mandi, pusingnya belum juga reda, tubuhnya bergetar dan akhirnya muntah sungguhan. Ya ampun, kamu muntah? Ah, andai saja aku dapat menemanimu. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
307
“Terima kasih. Andai aku bisa menghilang, detik ini juga aku pasti te lah ke Kota Malang,” bisiknya. Dia sms temannya, mengabarkan dirinya muntah. Dan temannya menjawab, menganjurkan cepat minum obat dan istirahat. Meski dia baru saja tiba di kota rantau itu, tapi jika kondisinya sedang kacau, rasanya dia ingin segera kembali ke Malang. Kembali ke rumah. Kembali ke tempat di mana bersemayam kenangannya. Kenangan yang membuatnya kangen. Aku ingin selalu menemanimu di mana pun kamu berada. Kuharap di sini kamu kuat. Kenangan memang indah tapi hari ini juga indah. Suara yang menggema dari sela-sela rongga kenangan itu. Ya, semoga aku kuat, dan aku setuju denganmu, hari ini memang indah, terutama untuk pagi, siang, dan sore tadi, waktu aku masih di Kota malang, tapi tidak untuk malam ini, batinnya. Ponselnya berbunyi. Ternyata telepon dari temannya tadi. “Gimana keadaanmu?” tanya temannya di seberang. “Kau pernah bilang, hidup itu seperti sayur. Harus ada bumbunya jika hidupku ingin dibilang enak. Dan kau juga bilang jika hidupku hanya seperti ini, belum bisa dikatakan aku menikmati hidup. Maksudnya apa?” “Jangan monoton.” “Apakah harus kisah besar untuk menandai bahwa aku telah menja lani hidup?” “Cari wawasan biar pikiran menjadi luas.” “Begitukah? Baiklah, aku akan coba. Tapi sekarang aku ingin cepat tidur. Bukan karena aku ingin segera besok, tapi aku ingin malam yang tidak nyaman ini segera berlalu.” ***
308
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Pagi hari. Sinar matahari menyelinap di sela jendela nako. Tandanya aktivitas harus segera dimulai. Aku baru saja selesai mandi. Saat ini ke nyataan telah di depan mata, dan aku segera harus menjalani apa yang seharusnya kujalani. “Namaku Violis.” “Violis? Bukankah itu sebutan pemain biola?” kata salah satu kenalanku dulu. “Begitulah,” dan kami tertawa bersama. Lalu siapakah aku? Orang sering mengatakan aku gadis kecil yang sebenarnya belum pantas menerima tanggung jawab besar. Tapi pada kenyataannya aku adalah gadis kecil yang telah mengemban tanggung jawab besar. Riwayatku, dari TK hingga SMA selalu mendapat ranking di kelas. Ketika di Perguruan Tinggi jurusan Seni Musik pun, aku lulus tercepat di antara teman seangkatan. Mungkin karena itulah, mereka buru-buru memberiku pekerjaan. Begitu lulus S1, dan belum genap usiaku 22 tahun, aku direkomendasikan menjadi dosen pembantu. Dan tak lama kemudian - Evangelischer Entwicklungsdienst - sebuah lembaga pendaftaran beasiswa dari Jerman, telah meluluskan permintaan beasiswaku. Kaiserslautern, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah selatan Jerman. Di kota itulah aku akan memperdalam ilmuku. Kabarnya kota itu indah karena berada di pinggir hutan Pfalz. Jika itu di Malang, layaknya pemukiman di sekitar telaga Ranu Pane. Tempat yang membuatku penasaran ingin segera pergi ke sana. Tapi akhir-akhir ini ada perasaan berat jika harus pergi. Lagi-lagi hanya karena alasan kenanganku. Bagiku kenangan itu selalu indah dan aku tidak ingin berpisah dengannya. Kenangan di Malang, kota yang menurutku begitu melankolik. Mungkin karena itulah, Malang kini tumbuh menjadi kota yang bersahabat. Paling tidak bagiku menurutku, kota itu mampu membuatku merasa ingin selalu kembali. Sebuah kota dengan suasana yang 180 derajat bedanya dengan arti harafiah nama nya. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
309
Aku lebih suka berada di Malang, karena sebagian besar kenanganku ada di sana. Kenangan yang membuatku selalu merindu. Ibarat baterai, jika aku sedang berada di kota lain, baterai itu cepat habis, dan kadang tahu-tahu drop. Tapi jika aku sedang di Malang, baterai itu menjadi ta han lama, padahal lama pemakaiannya sama. Kini aku harus menjalani tugas dan berpisah dengan kenanganku. Biarlah rasa rindu ini jadi asa yang nanti kembali. Siapa pun yang tidak benar-benar kenal aku, sering mangatakan aku sebagai gadis hebat. Bahkan ada satu orang yang sangat mengagumiku. Aku jadi tidak nyaman dengan kekagumannya. Aku merasa tidak pantas mendapatkannya, tapi dia keras kepala. Dialah si kenangan itu. “Adakah syarat tertentu dari seseorang untuk pantas dikagumi?” tanyanya suatu kali. “Aku tidak tahu, aku hanya merasa tidak pantas untuk kamu kagumi sebegitunya,” sahutku. “Menurutmu, apa yang jadi ukuran seseorang untuk pantas dikagumi?” “Aku tidak tahu.” “Aku rasa kamu yang ngeyel.” “Aku tidak membantah, aku hanya merasa tidak pantas. Itu saja.” Juga tentang wajahku, dia mengatakan wajahku cantik. Aku tidak tahu apa yang dia nilai. Dia bilang mataku indah. Aku tidak percaya. Masak mata sipit begini dibilang indah? Bagiku mata indah adalah mata yang beningnya terlihat. Seperti sebuah cermin atau seperti sebuah danau, hingga saat kita di hadapannya seakan-akan bisa untuk berkaca, bahkan mungkin berenang di sana. Tapi mataku? Bahkan aku seperti tidak punya mata jika sedang tertawa. Tapi dia malah mengatakan mataku tajam. Bagaimana bisa? Katanya, bentuk mata sipit itu seperti bentuk belati. Belati biasanya tajam. Tajam bisa menembus. Dan dia berdarah, katanya. Ah, ada- ada saja. 310
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Jika menurutmu mataku begitu, biarlah aku berusaha menjaga agar tidak melukaimu. Aku tidak ingin kamu berdarah-darah. Atau kau ikuti saja saranku, jangan lihat mataku!” gurauku dulu, suatu malam di salah satu sudut kota Malang. *** Sudah kukatakan, ini kisah tentang seorang gadis, kota dan kena ngannya. Dan jika kalian mengharapkan kisah lebih dari itu, mungkin tidak kalian temui. Bahkan pada akhir cerita ini pun hanya diakhiri gadis itu begitu gembira menyambut hari ini. Meski tugas begitu banyaknya, tetapi tidak mengurangi kegembiraannya. Semua itu tidak dianggapnya beban berat, karena ini adalah waktu di mana sore nanti, selepas dia mengajar, dia akan kembali ke Malang. Kembali ke rumah, kembali ke tempat di mana bersemayam sebagian besar kenangannya. Kenangan yang menjadikan dia ingin selalu pulang. Dari sejak naik bus, wajahnya sudah bersinar. Dari awal dia masuk ke dalam bus sampai bus itu memasuki kota Malang tepat di waktu senja, wajahnya tidak berubah. Terus bersinar, selaras dengan lampu merkuri di tiap sudut kota yang mulai dinyalakan. Akhirnya malam tiba, meski Malang sedang gerimis tapi hatinya tetap bersemangat. Justru gerimis itu menjadikannya cepat mengembalikan kenangannya kembali ke permukaan. *** Hari ini aku sedang bercakap-cakap dengan dia, dengan kenanganku. Nostalgia ini telah menghanyutkan perasaanku. Gimana kabar kamu sekarang? Pertanyaan dari kenangannya menggema di esok paginya. Gimana ya? Yang jelas tidak sedang sedih, tidak sedang kecewa, tidak sedang resah, dan juga tidak sedang takut. Justru ada kegembiraan dan perasaan tidak sabar ingin segera menikmati hari ini. Jika begitu, kapan kamu merasa sedih, kecewa, resah, dan takut dalam Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
311
hidup ini? Aku akan merasa sedih jika disalah mengerti, aku akan merasa kecewa jika tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik, aku akan merasa resah jika tiba-tiba ada urusan mendadak, dan aku akan merasa takut jika orang-orang terdekatku pergi. Apa yang membuatmu merasa begitu terpuruk? Mungkin pada saat orangtuaku meninggal. Oya, kadang aku juga merasa takut jika kamu marah, sebab selama ini aku belum pernah tahu kamu marah. Aku tidak akan marah. Mungkin aku akan marah kepada orang yang berani menyakiti kamu. Oh, aku jadi merasa dilindungi, terasa aman dan mungkin tidak ada yang akan menyakitiku karena ada kamu. Kalau berkenan, aku akan selalu menemanimu meski aku tidak selalu di dekatmu. Terima kasih. Aku ingin menjagamu, selayaknya aku dijaga dunia yang belum habis. Hmm.. Kau cuma hm? Kok diam? Kamu bergeming? Kamu tidak bisa ngeyel lagi, kan? Speechless, ya?***
312
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Simpang Demarkasi Oleh: Wa Ode Hasrana Mizana Ishak Pulanglah saat kakimu telah kuat untuk maju ke medan perang dan ta nganmu mampu mengeganggam senjata untuk melawan. Rentetan kalimat pamungkas itu kembali berdesing kala burung besi yang kutumpangi melangsungkan atraksi menukik sebelum akhirnya mencumbu landasan pacu. Netraku kini lebih jelas mengurung potret Witeno Wolio1. Potret yang membikin sebaris senyum tersungging bersamaan dengan bulir-bulir bening terban tanpa permisi. Alam seakan begitu fasih memanifestasikan rasa ini. Nampak dari senyum sang baskara diirigi bocoran bulir-bulir air dari celah awan. Tak ingin membuang tempo, segera kugegas langkah menuju area luar bandara. Ada ruang-ruang rindu yang menuntut segera diisi oleh temu. Meski akan tetap ada satu ruang kosong tersisa. Ruang khusus untuk sang lelaki pujaan yang sejak lama menanti kedatanganku. Satu diantara beribu alasan kepulangan. Sayangnya, dia tak mungkin hadir menjemput. Akulah yang harus datang merayakan ritual temu di tempatnya. Dari jauh netraku telah menjumpai sosok wanita berkerudung cerah. Di sampingnya dua bocah kecil di masa lalu, kini tampak berdiri gagah. Aku berlari merangakul tubuh itu. Menghadiahinya ciuman sepenuh rasa. Kubiarkan tangis terban semakin deras sebagai wujud gemuruh kerinduan. Tubuh itu berguncang berusaha menahan tangis. Ujian kehidupan telah menempanya menjadi sosok kokoh laksana karang yang selalu sigap menantang ombak. Ritual perjumpaan berakhir kala rintik hujan berangsur menuju henti. Wangi petrikor berhamburan di udara seakan memberi sambutan selamat datang. Kami menggegas langkah menuju pelabuhan untuk kemudian melayari selat Buton menuju pulau tercinta. Persis seperti yang Tanah Buton. Sebuah pulau di jazirah Sulawesi Tenggara.
1
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
313
dahulu sering kulakukan bersama sang lelaki penghuni ruang kosong. Kala raga masih bisa merenda sabar untuk bertemu dengannya, tidak dengan saraf-saraf di otakku. Mereka sedemikian lincah menghamburkan kenangan demi kenangan kami di kota ini. Mengantarku bernostalgia pada sosoknya dan berbagai cerita tentangnya. Terutama saat mobil yang membawa kami menuju pelabuhan melintasi Benteng Keraton Buton. Terlampau banyak kenangan tercipta di benteng berusia ratusan tahun itu. Benteng yang beberapa tahun silam dinobatkan sebagai benteng terluas di dunia. Salah satu folder kenangan melemparku pada percakapan kami beberapa masa silam, “Betulkah orang tua dulu kalau hari jumat salat di Makkah?” Lelaki pendiam itu tersenyum simpul lalu menyajikan jawaban, “Bagiku orang tua dulu berkata demikian bukan dalam makna yang sesungguhnya. Itu hanya kiasan. Tak perlulah memikirkan bagaimana orang bisa berpindah tempat dalam sekejap. Yang lebih mendekati rasional, mereka salat di sini namun pikiran dan jiwa raganya ada di sana. Khidmat sepenuh jiwa menghadap Sang Kuasa. Seakan berdiri tepat di hadapan Ka’bah.” Jawaban yang dia lontarkan sukses membikin aku terkesima sebab terasa lebih mudah dikunyah oleh nalar dibanding segala mitos yang diwariskan secara turun temurun. Tak cukup sampai di situ, rupanya dia masih menyimpan penjelasan lanjutan, “Itu sebenarnya diwariskan agar anak cucunya bisa merasakan khidmat yang sama. Namun coba saksikan. Hari-hari ini bisa jadi kita memang dengan mudah berada di depan Ka’bah. Toh kita tak perlu lagi menempuh waktu berbulan-bulan untuk sampai di tanah suci. Cukup beberapa jam di udara, kita sudah bisa sampai. Namun sayangnya saat di sana pikiran kita seringkali mengembara pada hal-hal yang jauh. Tentang anak-anak yang masih sekolah, tentang bisnis yang macet, tentang kebun yang meranggas. Begitu susah menghadirkan sensasi ketundukan.”
314
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Saraf-saraf otakku belum utuh mencerna, kembali rangkaian tutur mengemuka, “Perkara mereka terbang dengan sajadah atau kemampuan menghilang dalam sekejap, menurutku semua itu hanyalah diksi hiperbola yang diterjemahkan keliru oleh orang-orang kemudian. Itulah gunanya sekolah. Agar kau bisa berpikir lebih luas. Melihat dunia tidak hanya sesempit tempurung kepala.” Penjelasan-penjelasan yang dulu dia sajikan baru mampu kupahami sekarang. Ah, kecerdasan lelaki itu memang tak biasa untuk ukuran lelaki kampung yang hanya mengecap pendidikan hingga masa putih abuabu. Pendidikan formal memang bisa terhenti, tapi belajar tetap menjadi poros hidupnya. Buku-buku yang memenuhi seantero gubuk kecilnya menjadi lentera yang sanggup terus mengasah ketajaman nalar. Kulayarkan pandangan pada kotaku yang bergeliat sedemikian lincah. Bersolek dengan make up bernama modernitas. Jalan-jalan semakin lebar, pembangunan di mana- mana, rumah-rumah berdiri megah. Sayangnya semua itu begitu kuat menampakkan jejak kerakusan dan kerusakan. Hingga seringkali menjadi penyebab bencana alam. Belum lagi berbagai tragedi pembangunan dimana infrastruktur yang ada amblas tak lama setelah selebrasi peresmian. Berbeda jauh dengan pembangunan yang dilakukan oleh para pendahulu. Ingatanku kembali merayap pada potongan percakapan lain dengan sang lelaki. “Rana, kau percaya bangunan ini direkatkan dengan putih telur?” Dipancingnya kembali nalarku untuk membuka kala kami menyusuri Masjid Kraton Buton. Susah sebenarnya untuk menjawab. Bagaimana mungkin putih telur bisa merekatkan bangunan hingga beradab-abad? Kala itu hanya tanggapan polos yang mampu tersaji, “Ya, mungkin saja. Orang dulu kan sakti-sakti.” Demi mendengar keplosanku, lelaki itu mengacak rambutku. Disajikannya jawab versi otaknya, “Ini bukan soal sakti atau tidak, Rana. Meski tak ada bukti tertulis bahwa putih telur perekatnya namun aku percaya. Soal kekuatan sebuah bangunan, semua itu ialah hak prerogaAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
315
tif-Nya. Kau ingat masjid-masjid kecil yang tetap bertahan diterjang gempa dan tsunami?” Memoriku masih begitu ligat mengingat semuanya. Dua tahun sebelum hari itu, gempa dan tsunami memorak-perandakan bumi Serambi Makkah. Beberapa masjid kecil terkabar selamat dari terjangan gelombang. Berdiri kokoh di antara reruntuhan bangunan lain. Aku memilih diam menanti penjelasan darinya. “Kekuatan itu milik-Nya. Bangunan ini bisa saja bertahan karena orang-orang tua kita dulu membangunnya dengan niat bahwa ini akan diguanakan hingga anak cucunya. Tulus tanpa perhitungan keuntungan proyek, tanpa kongkalikong dan markup bahan. Masyarakat pun mendukung dan berlomba menyerahkan telur-telur terbaiknya yang dipelihara dan dengan ikhlas diserahkan untuk masjid. Maka kesaktiannya ada pada niat dan harta berkah.” Kunjungan ke ruang nostalgia membuatku tak menyadari jika kami telah sampai di pelabuhan. Ah, pelabuhan ini masih saja sama. Masih menyajikan sensasi keramaian yang khas. Kuli-kuli angkut, penumpang hilir mudik, juga para penjaja makanan silih berganti merasuki indra penglihatan. Penjaja gola kaluku2, gogos3, lapa-lapa4, dan telur rebus bersaing menjangkau nada teriakan tertinggi sebagai taktik marketing. Rasanya semua yang kulewati hari ini begitu gemar mengobrak-ab rik memori. Menghamburkan kembali masa-masa penuh kenangan bersama sang lelaki. Enam tahun lalu lelaki itu mengantarku di tempat ini. Menunjukkan ekspresi tegar padahal kutahu ada sesak dihatinya melepas sang gadis kesayangan melanglang hingga ke seberang benua.
Oleh-oleh khas buton berupa campuran gula merah, ketan, dan kelapa dibungkus daun jagung lalu
2
diikat seperti dua bagian bola pimpong. Nasi ketan dibungkus daun pisang lalu dibakar.
3
Makanan khas Muna berbentuk bulat panjang. Sejenis arem-arem tanpa isi. Dibungkus daun kelapa
4
yang terlebih dahulu dilapisi daun pisang kemudian diikat
316
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Segera kami memasuki perut katinting5. Kali ini, Ina6 kembali memperlihatkan kelincahannya mengemudi. Wanita itu masih saja melaut hingga kini. Tak ada yang bisa mencegah keras pendiriannya. Jangan coba-coba memintanya berhenti atau dia akan murka. Melaut baginya tak sekedar soal dapat ikan atau tidak namun melaut adalah cara melabuhkan rindu. Tiga puluh menit perjalanan, aku berkonsentrasi menghirup aroma laut. Alam masih memberi kenyamanan yang sama. Terlebih bersama ingatan masa tiga tahun putih abu-abu. Suatu masa dimana lelaki itu menjadi penjemput dan pengantar paling sigap. Katinting menjadi saksi atas segala hal yang menghidupkan nalarku. Membawaku pada pemikiran- pemikiran kritis yang disusupkannya secara subtil di tengah ayunan gelombang. Sayangnya menjelang merapat ke dermaga, rasa jengah mendominasi. Tak kujumpai lagi dekorasi kampung halaman seperti dahulu. Kini semuanya bermetamorfosis secara menyedihkan. Hamparan pasir yang dulu kerap menyanyikan orkestra alam kini kehilangan senandungnya. Tersisa senandung sendu dari karang-karang kesepian. Pohon-pohon bakau berdiri timpang sebab tak lagi bertemu habitatnya. Sebagian teronggok mati di atas karang. Kukepalkan tangan mengirim kebencian pada mereka yang telah melakukan semua ini. Sungguh tak kuduga jika harus mendapati realita senelangsa ini meski dua tahun silam lelaki itu menghembuskan selintas siaran. Di lisankannya kabar bahwa berton-ton pasir pesisir dikeruk untuk mengenyangkan perut lapar orang-orang proyek yang terlampau kemaruk. Semua itu sukses menjadi mukadimah atas rentetan bencana saat angin mengoyak samudera. Rumah-rumah pinggir pantai rusak dihantam gelombang sebab tak ada lagi bodyguard alam yang bisa menjaganya. Ah, pantas saja lelaki hebat itu murka hingga berani menantang para Perahu kecil dengan mesin tempel
5
Panggilan untuk ibu atau nenek di suku Buton dan Muna
6
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
317
pencuri pasir. Diupayakannya menempuh jalur hukum tapi terpaksa kandas di tengah jalan. Terhalang dinding kepentingan sebuah oligarki. Juga bersebab tak mampu memenuhi tuntutan materi yang harus dibayarkan jika ingin kasus tersebut diusut. Di ujung putus asa, disusupkannya sebuah pinta padaku kala jaringan telpon menghubungkan kami. “Pulanglah saat kakimu telah kuat untuk maju ke medan perang dan ta nganmu mampu mengeganggam senjata untuk melawan.” Lagi-lagi semua yang dikatakannya tak seharfiah kedengarannya. Seiring perjalanan waktu, aku baru menyadari bahwa perang yang dimaksud ialah segala upaya melawan para perusak dengan menggunakan ilmu sebagai senjata. Pesan itulah yang mampu memelihara semangatku berburu ilmu hingga enam tahun lamanya. Kedatanganku rupanya telah tersebar ke seantero pulau. Tampak orang-orang menanti di bibir pantai laksana menyambut prajurit pemenang perang. Terlampau istimewa memang sebab akulah satu-sa tunya wanita di pulau kecil kami yang berhasil menuntu ilmu hingga ke luar negeri. Kuedarkan netra menguliti segenap hadirin sembari merenda angan bahwa sang lelaki pun turut hadir. Sayangnya semua berhenti dalam ruang khayal. Tanpa memedulikan sekitar, otakku mengirim sinyal pada kaki agar menuju ke satu tempat. Sebuah pusara dan gundukan tanah menjadi marka bahwa seseorang tengah beristrahat panjang di dalamnya. Sang lelaki pahlawan hidupku menjadi korban keganasan para pencuri pasir. Buntu dalam proses hukum, lelaki itu bertindak nekat merusak kapal para pencuri. Sekali dua masih tak terendus hingga suatu waktu timah panas menjadi barteran atas usahanya menjaga pesisir. Kusudahi rangkaian nostalgia dan kembali menyapa realita. Kini kami memang tak lagi mampu bersua sebab sebuah simpang demarkasi bernama takdir telah merentang jarak. Namun cita-cita bersama tetap harus tertunaikan. Di hadapan pusara aku beruluk salam. Kuletakkan ijazah dan segala lisensi di atas gundukan tanah sembari membisikkan
318
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
sebuah ikrar, “Ama7, lihatlah! Kini anakmu pulang membawa senjata untuk memerangi mereka yang telah menciderai pulau kita.”
Panggilan untuk bapak atau kakek di suku Muna dan Buton
7
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
319
SSQ II DALAM GERIMIS Oleh: Wahyu Indriani Delay pesawat Lion bukanlah hal yang aneh. Sudah banyak orang yang kesal karenanya. Bahkan ada yang sampai ngamuk-ngamuk di bandara untuk minta ganti rugi gara-gara tiket ke penerbangan berikutnya hangus karena ketinggalan pesawat. Dan penerbanganku kali ini yang seharusnya berangkat pk. 17.40 diundur sampai pk. 18.25. Aku tak selera dengan kompensasi nasi bungkus yang disediakan untuk penumpang. Badanku letih, penat. Pemakaman Teh Dibah kemarin dan tamu-tamu yang terus berdatangan hingga malam membuatku kurang tidur. Pagi sudah harus bangun karena travel ke Bandara Sutan Syarif Kasim II (SSQ II) dari Rohul trip pertama menjemput pk. 07.00. Di travel aku juga tak bisa tidur karena sopirnya ngebut-ngebut. Jantungku gak berhenti berdetak kencang, selalu was-was. Bahkan kakiku seperti ikut ngerem ketika travel membanting stir ke kanan untuk menyalib, namun tiba-tiba ada mobil lain di depan. Fhh.. serasa maut menjemput. Keletihanku sudah berada di puncaknya. Kulihat di luar bandara hujan gerimis. Kurasa cuaca bukan alasan untuk delay. Kunikmati saja delay ini sebagai kesempatan untuk tidur. *** Teh Dibah masuk rumah sakit. Itu pesan singkat di WAG keluarga. Tak lama setelah itu adikku meneleponku. “Teh, pulanglah. Teh Dibah masuk rumah sakit, tadi jatuh di kamar mandi,” Deden meneleponku. “Teteh masih ada pasien yang mau melahirkan, Den. Teteh tidak bisa pergi sekarang. Tolong tangani Teh Dibah dulu. Paling lambat besok pagi Teteh akan berangkat,” jawabku pada Deden, adik bungsuku, “gimana kondisi Teh Dibah? Naik apa tadi ke Rumah sakit?” tanyaku lagi “Teh Dibah tadi gak sadar. Sekarang masih belum sadar,” jawab Deden. Aku panik. Kalau aku pergi sekarang, aku harus meninggalkan pasienku yang sedang kesakitan. Sejak pagi tadi bukaan baru dua. Se320
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mentara di sana, Deden sendirian menangani Teh Dibah. Benar-benar seperti makan buah simalakama. Kalau siang ini pasienku bisa melahirkan aku masih bisa berangkat hari ini dengan penerbangan terakhir. Tapi mau menginap di mana? Kalau berangkat besok dengan penerba ngan pertama, sama juga perginya ke sana. Travel ke sana hanya dua kali sehari. Semoga hari ini pasienku sudah bisa melahirkan, supaya aku bisa berangkat paling lambat besok pagi.*** Perjalanan dari Bandara ke Pasir Pangaraian memakan waktu 6 jam. Aku langsung menuju Rumah Sakit Surya Insani di Jalan Diponegoro. Sudah dua hari Teh Dibah di sana. Aku langsung bertanya pada petugas yang sedang berjaga. “Euis Adibah, umur 35 tahun, dari desa Rambah Tengah, Bu,” jelasku pada petugas. Aku langsung diantar ke ruang Teh Dibah. “Teteh,” sapaku lembut pada Teh Dibah yang tergolek lesu di ranjang paramount. Aku tak tahan melihatnya tergolek tak berdaya. Orang nomor satu dalam hidupku ini, wanita yang perkasa ini, kini sedang tak berdaya. Dia membuka matanya ketika kusapa. “Jam berapa tadi kamu dari Bogor?” tanya Teh Dibah lemah. “Subuh, Teh, penerbangan pertama,” jawabku. Aku ingin menangis menatapnya. Bagaimana mungkin orang yang begitu kuat dan selalu memberiku semangat ini sekarang terbaring lemah. Tapi aku tak boleh menunjukkan air mataku. Teh Dibah tak suka jika aku cengeng. Dari kecil, dia tak suka kalau aku cengeng. Aku harus memberi semangat pada Teh Dibah, agar dia juga bersemangat untuk sembuh. Kutatap matanya, sayu, tak ada sinar. Deden selalu mengabarkan kondisi Teh Dibah padaku setiap saat melalui WA. Ada benjolan di kepala sebelah kiri, sehingga harus dirujuk ke rumah sakit umum daerah Pekanbaru. Kupandang Deden yang duduk di kursi seberang ranjang. “Jam berapa besok kata dokter diantar ke RSUD Pekanbaru, Den?” tanyaku.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
321
“Pagi, Teh,” jawab Deden. Aku menghela napas. Untung ada rumah sakit swasta di sini, yang bisa menangani Teh Dibah secepatnya dalam kondisi darurat.*** Aku menunggu hasil pemeriksaan dokter dengan perasaan tak menentu. “Ibu Euis Adibah!” panggil perawat. “Ya, saya keluarganya,” jawabku. Perawat memberikan lembar-lembar surat dan hasil rontgen pada dokter yang duduk di depan meja di ruang itu. Aku mendekat dan duduk di kursi di depan dokter itu. “Ada benjolan di kepala sebelah kiri dan pendarahan di kepala sebelah kanan akibat jatuh. Jadi harus dilakukan operasi untuk mengetahui benjolannya bahaya atau tidak,” kata dokter sambil melihat-lihat klise hitam putih hasil rontgen kepala Teh Dibah. “Harus operasi, Dok?” tanyaku. Ada kekhawatiran terhadap malpraktik atau salah perlakuan dalam operasi. Kepala adalah pusat syaraf. Walaupun aku bidan, aku tetap takut kalau sudah bicara mengenai ope rasi, apalagi operasi otak. Dokter itu memandangku. “Pendarahan di otaknya harus dioperasi. Karena risiko jika tidak dioperasi lebih berbahaya,” kata dokter. “Baiklah dokter, jika itu yang terbaik,” kataku. Dokter menyodorkan kertas-kertas yang harus kutandatangani sebagai persetujuan. “Adakah risiko kegagalan dalam operasi, Dok?” tanyaku khawatir. “Kita bukan Tuhan yang bisa memastikan segala sesuatu, Bu. Tapi percayalah, kami akan melakukan yang terbaik secara maksimal demi kesembuhan pasien,” kata dokter itu meyakinkanku. “Berapa persen keberhasilan dibandingkan gagalnya, Dok?” tanyaku masih meragukan dokter. “75:25” kata dokter meyakinkanku. Aku lega. Setidaknya perbandi ngan itu jauh lebih besar berhasilnya dibanding gagalnya. 322
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Teh Dibah adalah pengganti orang tuaku. Banjir bandang yang terjadi tahun 2011 telah membuat kami yatim piatu. Kami tinggal bertiga kakak beradik. Memang tetanggaku sudah seperti keluarga, tapi Teh Dibah tak mau menjadi beban orang lain. Maka dia bekerja keras melanjutkan usaha mamah membuka warung di desa Rambah Tengah, Pasir Panga raian, Rokan Hulu, Riau. Orang tuaku dulu ikut program Transmigrasi yang diadakan pemerintah. Mamahku yang pandai memasak membuka warung nasi kecil-kecilan untuk menutupi kekurangan karena hasil dari kebun karet kurang memadai. Tapi ternyata banyak orang yang menyukai masakan mamah. Ketika mamah tidak ada lagi, Teh Dibahlah yang melajutkan usaha mamah. Aku belajar di sekolah kebidanan juga dengan biaya dari hasil warung yang dikelola Teh Dibah. Setelah lulus, Teh Dibah mendorongku untuk kembali ke kampung halaman, Bogor, untuk menyambung kembali hubungan dengan keluarga papah dan mamahku. Aku diterima bekerja sebagai bidan di sebuah Rumah Sakit yang baru membuka poli KIA di kota Bogor, dua tahun yang lalu*** Aku menunggu proses operasi dengan gelisah. Aku tak mau kehi langan Teh Dibah. Aku tak mau kehilangan orang tuaku untuk yang kedua kalinya. Ya, teh Dibah yang di masa kanak- kanak tak sayang padaku, kini telah menjadi pengayomku. Menyadari perannya sebagai pengganti orang tua membuatnya sangat peduli dengan masa depanku. Dulu, ketika masih kanak-kanak, aku adalah anak yang cengeng. Teh Dibah paling benci dengan anak yang suka nangis. Sedikit-sedikit nangis, ada sebab sedikit nangis. Makanya dia tidak suka denganku. Apalagi kalau aku nangis, pasti Teh Dibah yang kena marah mamah. Pernah suatu ketika, Teh Dibah memanggilku dari kejauhan. Di tangannya ada coklat silverqueen. “Mau?” tanyanya. “Mau’” jawabku. “Sini,” ajaknya. Mengapa kali ini Teh Dibah baik sekali padaku? mau Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
323
memberikan silverqueen, pikirku. Padahal biasanya boro-boro memberi silverqueen, memberi jajan lima ratusan saja tak sudi. Apalagi mengajak main. Aku pun melangkah dengan sedikit ragu. Belum sempat kuulurkan tanganku menyambut coklat lezat itu, kakiku menginjak tahi ayam hangat. Aku meringis kesal, sementara kakakku berlari sambil berkata, “Rasain! Nangislah, cengeng!” Ternyata tahi ayam itu adalah jebakan Teh Dibah. Bahagia sekali dia melihatku menangis. Walaupun pada akhirnya, dia yang kena marah mamah. Aku sebenarnya sudah curiga dengan kebaikannya, tapi tak menduga sama sekali dengan jebakan nya. Teh Dibah memang benci denganku karena aku cengeng. Makanya dia suka gangguin aku supaya nangis sekalian. Itu masa kecil. Masa kecil yang menjengkelkan, tapi manis untuk diingat. Aku jadi tersenyum mengingatnya. “Pasien Euis Adibah,,” panggil seorang suster. “Ya,” jawabku. Aku mengharapkan kabar baik segera. Dia mengisya ratkan agar aku mengikutinya. Aku masuk ke sebuah ruangan, di sebelah ruang operasi. Di sana dua orang dokter sudah menunggu, masih dengan atribut operasi. “Bu, kami sudah berusaha dengan maksimal,” kata salah seorang dokter. Tidak! Aku tidak mau mendengar kabar buruk. “Operasinya berhasil, kan dokter?” tanyaku gusar, aku mulai gemetar. “Operasinya berhasil, Bu, tapi,” dokter belum melanjutkan kalimatnya. “Tapi apa dokter?” tanyaku tak sabar. “Tapi Tuhan berkendak lain, Bu. Nyawa Ibu Euis tidak tertolong,” lanjut dokter itu tertunduk. “Tidak!” teriakku tertahan. Kenapa ini mesti terjadi. Ada bongkahan batu besar seperti mengganjal kerongkonganku. Sakit. Nafasku tercekat seperti ada yang mencekik. Aku lemas. Tubuhku terasa ringan. Teh 324
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Dibah, Teteh... Ketika kubuka mataku, aku masih di depan ruang operasi. Rupanya aku pingsan tadi, dan ditidurkan di kursi panjang. Menyadari Teh Dibah sudah meninggal, ada kekosongan yang kurasakan. Ada rasa nyeri yang menggigit. Tiba-tiba dadaku kembali menyesak. Bisakah waktu diulang? Kemungkinan keberhasilan 75% dibanding kegagalan yang hanya 25%. Harusnya dokter berhasil. Tapi mengapa justru kemungkinan yang terkecil yang terjadi. Tuhan, akan Kau ambilkah semua milikku? Kini tinggal Deden yang kumiliki “Den,” panggilku. Aku mencoba tegar dan tidak cengeng. Kurangkul adikku. Tapi ketika tanganku menyentuh pundaknya, tubuhnya berguncang. Aku yang berusaha menahan diri untuk tidak menangis, tak kuasa lagi menahannya. Kini jebol pertahananku. Aku lepaskan rasa sakit yang sedari tadi menggumpal di tenggorokanku. Kami sesenggukan berdua sambil berangkulan, melepaskan sedih yang menyayat.*** “Mohon perhatian, penumpang dengan pesawat JT 252 dengan tujuan Jakarta, dimohon segera masuk ke pesawat melalui pintu dua. Attention please, …” Suara khas petugas bandara yang mengumumkan keberangkatan pesawat membuyarkan lamunanku. Aku masih terbawa suasana duka sehingga sulit untuk tidur. Sambil berbenah, aku menunggu pengumuman kedua, untuk memastikan bahwa pesawat yang akan segera berangkat adalah JT 252. Ya. Tak salah lagi. Akhirnya Lion yang akan membawaku ke Jakarta terbang juga. Aku yang selalu gamang jika akan menaiki pesawat, dan tak lupa berdoa dengan amat kusyuk, kini lebih tenang. Aku pasrah. Jika melalui penerbangan ini, Tuhan juga akan memanggilku untuk bertemu kembali dengan mamah, papah, dan Teh Dibah, aku sudah ikhlas. Karena hidup ini sebenarnya hanya kesempatan yang diberikan oleh Tuhan. Jadi jalani saja semuanya dengan sebaik-baiknya, karena kita tak bisa mempertahankan apa pun yang kita miliki. Jika Tuhan akan mengambilnya, siapa yang bisa menghalang-halangi?***
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
325
Teh Poci dan Masa Silam Oleh: Ratu Gifani Mantika Semenjak cakrawala gelap pekat, Nadia gelisah bukan main. Jemarinya sibuk memainkan layar ponsel, mulai dari bermain games, membuka youtube, membaca berita daring, hingga membaca-baca lagi pesan whatsapp yang diterimanya. Ia kemudian sadar, tak banyak yang mengiriminya pesan, hanya dari suami, orang tua, saudara, dan grup RT di lingkungannya tinggal. Dulu ponselnya pernah hilang sehingga nomor kontak teman-temannya pun hilang. Kini ia merasa teman-temannya yang hilang. Ia menarik napas panjang dan membuangnya dengan hempasan singkat, mencoba berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Sudah bebe rapa bulan, mungkin lima atau enam bulan, ia perang dingin dengan suaminya. Ia lelah berada dalam bisu yang sesungguhnya membara, kemarahan yang dipendam, berkobar dan sulit dipadamkan. Entah me ngapa ia merasa sulit menghadapi lelaki yang menikahinya dua belas tahun lalu itu. Baginya, lelaki itu menyepelekan hal-hal yang dianggap Nadia penting, dan mementingkan hal yang dianggap Nadia remahan. Mungkin dua hari ini puncaknya. Suaminya pergi tanpa pamit. Itu hanya karena sebuah poci dan cangkir-cangkir tembikar yang dibelinya. “Kenapa mesti beli barang yang nggak bermanfaat?” tanya Surya, suami Nadia. “Nggak bermanfaat? Kamu nggak pernah minum teh atau kopi yang diseduh di poci? Rasanya lebih enak.” “Kan ada gelas. Jangan suka beli barang-barang yang fungsinya sama dengan barang yang udah kita miliki!” ia makin ketus berargumen. “Terus gimana dengan koleksi jam tangan kamu? Emang setiap jam tangan punya fungsi yang beda?” Lelaki itu tak mernjawab. Air mukanya merah menahan marah, 326
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
mungkin juga menahan malu. Ia langsung masuk kamar, mengambil tas besar dan sebuah tas pinggang, lalu pergi tanpa kata-kata. Nadia membiarkannya. Mengingat peristiwa itu membuat Nadia kembali kesal. Nadia memutuskan untuk tidak mengontak suaminya itu. Ditahannya jemarinya untuk menghubungi suaminya yang makin jumawa dan seenaknya menga tur segala sesuatu. Ia paham betul peristiwa dua hari lalu itu hanya pemantik, sedang bahan bakarnya sudah tertumpuk lama. Celakanya, pemantik itu tepat ditaruh di atas bahan bakar hingga mudah menyulut api. Sayup-sayup mulai terdengar suara ngaji dari masjid di kejauhan, tanda subuh akan tiba. Udara dingin menyergap dan nyamuk makin ganas. Nadia mencoba menghindar, ia pergi ke dapur. Ia mengambil kantung teh dari kotaknya dan memasukkannya ke dalam poci. Kemudian, ia memasak air hingga mendidih dan menuangkannya ke dalam poci. Aroma jeruk purut kesukaannya dihirupnya dalam-dalam. Ia selalu suka wangi teh jeruk purut dan teh melati, menenangkan. Ia duduk sendirian di ruang makan yang besar dan sepi itu. Ia tuang air teh ke gelas tembikar kecil yang berisi gula batu. Ia menatap asap yang keluar dari cangkir itu, cantik sekali. Rasanya seperti mengulang masa silam saat kuliah dulu. Ia suka sekali mengunjungi sebuah rumah makan sederhana bersama seorang sahabat yang dirindukannya. Ia pasti memesan teh dalam poci, sedangkan sahabatnya memesan es teh manis. Saking seringnya mengunjungi rumah makan itu, ia jadi ing in membuka kafe, tentu saja dengan menu teh poci di dalamnya. Tapi, itu semua belum terwujud. Suaminya melarangnya kerja dan membuka bisnis kafe. “Wanita lebih baik di rumah,” katanya waktu itu. Nadia manut, diterimanya opini itu tanpa pertanyaan maupun bantahan. Padahal keinginannya memiliki bisnis kafe membuncah di dada. Bagaimana tidak, impian itu tercipta sedari ia mengenyam sekolah dasar. Semakin menguat ketika ia kuliah, ia selalu membicarakan kafe kepada sahabatnya. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
327
Nadia mulai menyeruput tehnya dan tersenyum getir. Peristiwa dua hari lalu itu sesungguhnya membuat kelegaan yang besar di dadanya. Kebahagiaan tak terkira karena berhasil bicara. Ia sebenarnya setuju untuk tidak membeli barang-barang yang fungsinya sama dengan barang yang dimiliki. Poci dan cangkir tembikar bukan ia beli sebagai wadah air, tapi sebagai kenangan. *** Akhirnya Nadia memutuskan untuk melamar pekerjaan. Suaminya telah pergi selama enam bulan. Tabungan Nadia makin menipis dan ia benar-benar butuh kerja. Ia pergi mengunjungi sebuah kantor arsitek di daerah Jakarta Pusat. Ia sebenarnya sangat tidak percaya diri untuk melamar. Ia tak sempat bekerja setelah kuliah. Dan di usia 34 tahun ini ia benar-benar belum memiliki pengalaman kerja. Toh, aku bukan sekonyong-konyong datang. Nadia bicara pada dirinya sendiri. Kantor ini sendiri yang menghubungiku setelah surat-surat lamaran yang kukirim entah ke berapa perusahaan. Paling tidak aku berkata jujur, di surat lamaranku tidak tercantum pengalaman kerja. Walaupun itu kenya taan yang memalukan, paling tidak jujur itu menenangkan. Namun, orang seperti apa yang mau menerima perempuan yang tak lagi muda juga tanpa pengalaman untuk bekerja di perusahaan? Kenapa tidak sekalian mencari fresh graduate? Setelah sampai di parkiran gedung, Nadia sadar ia terlalu awal datang. Wawancara dimulai pukul 11, sedangkan ia sampai di parkiran pukul 09. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan dulu di lantai satu gedung bertingkat lima belas. Matanya langsung tertuju pada sebuah tempat bergaya rustik, memunculkan cantik ala-ala pedesaaan dan masa silam. Tak banyak berpikir, ia pun masuk ke dalam kafe rustik itu. Kekagumannya muncul melihat dinding yang terkesan tidak selesai, kasar, dan tua. Mengingatkan pada kehangatan rumah masa kecilnya, terutama dapur yang mirip sekali dengan tempat ini. Di bagian dinding lainnya dipasang batu alam 328
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
yang teduh. Meja-kursi terbuat dari kayu yang polos sederhana. Mata nya berkaca-kaca tak dapat menahan kerinduannya pada masa-masa yang telah lalu. Matanya berpencar dan ia menemukan sebuah keanehan. Di sudut yang lainnya ada warna yang mencolok: merah muda yang melekat pada sebuah sofa panjang. Ini agak mengganggu kesan dari sebuah desain rustik. Ia mengguman sendiri. Kritiknya segera saja tenggelam oleh kesadarannya bahwa sofa merah muda itu cantik dan pasti nyaman. Di sebelahnya terpasang rak buku besar yang juga berwarna merah muda. Ada tiga vas bunga di tiga kotak rak buku itu. Bunga- bunga kecil berwarna salem dan krem. Ia senyum-senyum sendiri menyaksikan keindahan itu. “Nadia?” sebuah suara keterkejutan dari arah belakang. Nadia membalikkan badan. Ia melihat seorang lelaki beramput cepak, kumis tipis, dan berka camata. Ia tahu lelaki itu, meskipun perubahan padanya cukup drastis. “Genta?” Lelaki itu mengangguk dan sorot matanya masih kaget sekaligus senang. “Apa kabar?” lelaki itu bukan berbasa-basi tapi sungguh-sungguh ingin mengetahui keadaan wanita di hadapannya yang sudah dua belas tahun tak ditemuinya. Ia sama cantiknya, Genta membatin. “Baik.” Nadia kikuk. “Ayo duduk,” ajak Genta. Segera ia memesan ke pramusaji di sudut. Tak lama pramusaji datang. “Silakan, Pak,” suara pramusaji itu pelan hingga nyaris tak terdengar, sambil membungkuk di hadapan Genta. Bagi Nadia, pelayan ini terlalu berlebihan dalam menyapa pengunjung. Perilakunya lebih mirip anak buah yang bertemu bosnya. Sambil menunduk, pramusaji itu membawa es teh manis, sebuah poci berserta mungkuk kecil berisi gula batu, cangkir mungil tembikar, Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
329
seporsi keroket kentang, dan dua buah roti daging yang banyak lelehan keju di atasnya. “Ini...” Nadia tidak dapat melanjutkan kata-kata. Ia terperangah menyaksikan detail di depan matanya: roti daging keju dan kroket kentang adalah makanan kesukaannnya, belum lagi teh poci. “Apa itu teh buah peach?” Nadia bertanya pada Genta tentang es teh yang tersaji. Genta mengangguk. Nadia makin heran. Bagaimana bisa kafe ini memuat seluruh menu favoritnya dan menu kesukaan Genta? “Gen, ini aneh loh,” kata Nadia polos yang dibalas senyum pria itu. Genta menyadari benar maksud dari kata-kata Nadia. Genta yakin Nadia akan lebih terkejut jika melihat buku-buku yang berada di dalam rak di pojok sana. Ada kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, kumpulan cerpen Jujur Prananto dan Umar Kayam, novel karya Ali Ahmad Bak tsir, komik Hai Miiko, serta majalah dan buku-buku agama dari seorang ulama yang Nadia dan Genta kagumi. Nadia dan Genta duduk di dekat jendela. Keduanya menyaksikan di luar hujan turun deras sekali. Meskipun begitu tak terdengar suara be risik hujan. Satu-satunya gemuruh yang nyata adalah perasaan masingmasing yang berusaha diredam sebisa mungkin. Bagaimana tidak, selama dua belas tahun lelaki ini menunggu saatsaat bertemu Nadia. Sementara ia kini menemukannya dengan kemuraman yang tampak dari gelagat. Genta mengawasi Nadia yang memandang jauh ke luar jendela. Pandangan yang menembus rintik hujan seperti mencari sesuatu di kejauhan. Nadia menuang teh ke cangkir dan diam seperti menikmati wangi melati yang berbaur dengan aroma daun teh. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya seprofesional mungkin agar embusnya tak terdengar sebagai upaya menyembunyikan lara. Ia membatin sendiri. Genta, aku tahu dan sangat paham kita tak boleh 330
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
berandai-andai. Aku merasa terkurung, kehilangan kemampuan, kehilangan kemandirian, kehilangan sahabat. Bertahun telah aku coba untuk mengerti dia, tapi bertubi-tubi mengalah justru makin mengokohkan ketidakberdayaanku. Bagaimana aku bisa memulai hidup yang baru? Ia ingin bicara pada Genta, tapi tertahan. Bukankah tetap harus ada adab yang dijaga? Akhirnya ia hanya bertanya, “Kemana rambutnya?” pertanyaan konyol yang membuatnya malu sendiri. Genta terhenyak, kemudian cepat sadar Nadia menanyai rambut godrongnya yang dipangkas. “Ah, udah lama banget Nad dipotong. Ge rah.” Keduanya tertawa kecil, tawa pertama setelah dua belas tahun berlalu. Nadia menyeruput teh yang hangat di cangkir, membuat pikirannya kembali menjejaki masa kuliah. Ia ingat betul setiap kali bersedih, ia akan mendatangi sebuah rumah makan tanpa nama dan selalu memesan teh poci. Seperti hari itu, hari yang melelahkan. “Tega banget. Gue ngerjain maket seminggu. Setiap hari paling cuma tidur dua sampe tiga jam. Mikir aja kerjaan gue setiap hari. Dengan seenaknya tuh dosen bilang ganti.” air mata Nadia menderas saat itu. Tepat di hadapannya sahabatnya Genta mencoba menenangkannya, “Tenang Nad. Gue janji bantuin. Kita gambar desainnya bareng, bikin nya bareng, kali ini skalanya harus bener.” “Janji loh!” tagih Nadia dengan mata sembab karena menangis dan kurang tidur. Genta mengangguk dan memperhatikan Nadia yang mirip anak kecil sehabis dimarahi ibunya. “Kenapa lo pinter banget, Gen? Tugas selalu dipuja-puji. Nilai A mulu. Cuma sekali kan dapet B? Gimana sih jadi pinter tuh?” Genta terbahak tak dapat menahan tawa hingga Nadia lebih kesal lagi. Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
331
Hari-hari selanjutnya Genta menepati janjinya membantu Nadia menyelesaikan tugas. Bahkan, ia yang benar-benar mendesain tugas nya. Beberapa kali ia ketiduran sampai pagi di ruang tamu kosan Nadia. Sementara, Nadia selalu gagal fokus. Ia malah asik melahap buku-buku sastra dan sesekali komik, membuat geram sahabatnya. Seperti itu kebersamaan Nadia dan Genta. Kenangan yang tak lekas lenyap dilalap waktu. Kini mereka dua terdiam. Dua belas tahun berlalu, Nadia tidak menangis seperti dulu dan Genta tidak terbahak. Lebih banyak senyap di antara mereka. Sekalipun ada yang ingin dibicarakan, kata-kata itu tersekat di tenggorokan. Suara yang tercipta hanya tegukan air dan kunyah makanan. Nadia melirik jam tangannya, tak terasa sudah pukul sepuluh lima belas. Ia ingat akan ada wawancara. Itu membuatnya gelisah. Tak kalah dari Nadia, kegelisahan pun mulai menanjak memenuhi pikiran Genta. Ia tahu akan ada pembicaraan lagi pukul sebelas nanti. Nadia memainkan jemari telunjuk dan tengah tangan kanannya, menepuk-nepuk pelan meja berharap dapat mengikis gelisah dan rasa takut yang diam-diam muncul. Ia tahu benar, ia takut menghadapi wa wancara kerja pertama kalinya ini. Ia takut menghadapi mata yang me rendahkan seperti yang selama ini dilihatnya. Ia takut menghadapi kata-kata berpeluru yang mudah menembus hati, bersarang, dan melukai abadi. Mungkinkah orang yang akan mewawancarainya seperti itu? “Gen, aku pamit ya,” suara Nadia memecah kebisuan. Genta kecewa. Bagaimana tidak, Nadia bahkan belum bertanya kabarnya. Ia belum bercerita apapun. “Kenapa buru-buru?” “Aku ada wawancara kerja.” “Masih lama. Jam sebelas, kan?” Nadia mengernyit menebak-nebak mengapa ia bisa tahu akan ada 332
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
wawancara jam sebelas. Matanya seketika menangkap sebuah lukisan di dinding. Lukisan yang tampak tak asing: seorang wanita dan seorang pria duduk menikmati minuman masing-masing, ada poci di situ. Nadia tersentak, ia rasa ia paham. Mata Genta yang peka segera tahu situasinya. “Lukisan kamu bagus, Gen,” kata Nadia pelan. Ia sungguh tak me nyangka dirinya punya arti bagi seseorang. Setelah mendung yang panjang, ia merasa sinar hangat terbit di relung hati dan meleburkan kenes tapaan. Genta tertunduk malu. Keduanya terdiam lagi, lama... Lalu, Genta memaksakan diri untuk berani berkata-kata, “Jangan pergi, Nad. Kamu diterima kerja. Ayo urus administrasinya dulu.” Mereka berdua berjalan bersama, menaiki lift, sambil berbincang seperti dulu.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
333
Terima Kasih Ayah dan Ibu Selalu Menjadi Kaki Anakmu Oleh : Herry Trunajaya BS KELOPAK mata Rama Dira menghangat saat menatap makam kedua orangtuanya yang berdampingan, sore yang diwarnai gerimis. Rama mengerjapkan kedua matanya yang terasa makin menghangat. Dan kenangan itu kembali membayang di pelupuk matanya, seperti sebuah film yang diputar ulang. Saat dilahirkan, bocah lelaki itu sempurna sebagaimana manusia yang memiliki kelengkapan raga. Oleh kedua orangtuanya bocah itu diberi nama : Rama Dira. Nama yang berarti tampan, enak dipandang, bijak dan suka menolong. Begitu yang menjadi harapan kedua orangtua nya kala menyematkan nama itu pada sang bayi. Suatu hari, petaka itu terjadi. Rama jatuh terduduk ketika baru mulai bisa berjalan. Rama menangis keras karena merasakan sakit yang amat sangat. Ibunya panik, dan membawa Rama ke tukang urut. Setelah kejadian itu, perkembangan kedua kaki Rama sungguh mengkhawatirkan kedua orangtuanya. Dan benar, Rama Dira tak bisa berjalan seperti layaknya anak-anak seusianya. Kedua kakinya seperti tak memiliki otot dan bagaikan layuh. “Ibu, kenapa Rama tidak bisa berjalan seperti teman-teman?” tanya nya, suatu hari. Dan itu membuat hati ibunya bagaikan teriris sembilu. “Maafkan Ibu. Ibu sudah ke ahli urut dan pijat, tapi tetap saja kau belum bisa berjalan akibat waktu itu kau jatuh terduduk saat mulai berjalan dan menyebabkan tulang ekormu cedera parah,” suara ibunya terbata-bata, sambil memegang kedua kaki Rama yang duduk di lantai di depan ibunya. “Apa itu tulang ekor, Bu?” tanyanya lagi, polos.
334
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Oh, ibunya tak kuasa menjawab. Perempuan itu memeluk anaknya dengan tangis yang tertahan. Ia memang tak membawa Rama ke dokter karena tak memiliki biaya. “Bagaimana Rama bisa sekolah, Bu?” “Ibu akan terus menggendongmu, kemana pun Rama mau pergi, ke sekolah atau belajar mengaji ke surau,” Ibu melepas dekapannya dan menatap mata hitam polos Rama Dira, anak semata wayangnya. “Kenapa bukan ayah saja yang menggendong Rama, kan ayah lebih kuat?” Ibunya tersenyum. Memegang kedua pipi Rama. “Ibu dan ayah berbagi tugas. Ibu mengurus rumah dan ayahmu bekerja mencari nafkah sebagai tukang las keliling. Jadi, ayah bukan tak mau menggendongmu, tapi ayah sudah lelah bekerja sepanjang hari.” Semua itu bagai berlompatan di pelupuk mata Rama Dira yang terus berdoa di atas makam ibu dan ayahnya. Rama pun telah mengerti akibat dari cedera tulang ekor. Lumpuh. Sepanjang hidupnya, Rama selalu berada dalam gendongan ibunya. Meski kadang ada temannya yang usil dan mengejeknya. Tapi Rama dan ibunya tak pernah marah. Pergi dan pulang sekolah dengan dibonceng sepeda ontel, kemudian saat hendak masuk kelas, ibunya dengan tak canggung menggendong Rama yang tubuhnya semakin besar. Kadang Rama merasa iba melihat wajah letih ibunya dengan butiran peluh saatia berada di gendongan dengan secarik kain panjang yang melingkari tubuh ibunya dan tubuhnya. Tapi apa daya, nasib harus dijalaninya, meski terasa pepat. Hingga lulus SD, Rama Dira masih juga belum bisa berjalan. Ibu dan ayahnya sudah berupaya keras mencari kesembuhan dengan membawanya keahli urut dan pijat. Ada sepercik harapan memang. Kedua kaki Rama sudah agak bisa dijejakan di tanah, namun belum bisa menopang berat tubuh Rama, apalagi dilangkahkan. Rama seakan putus asa dan tak mau melanjutkan sekolahnya ke jenjang Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
335
SMP. Ia mengaku malu karena harus terus berada di gendongan ibunya. “Rama malu Bu. Malu dengan tatapan mereka yang melihat tubuh besar Rama berada di gendongan seorang perempuan. Gendongan ibu. Rama juga tak tega terus- terusan membebani Ibu,” kata Rama, saat menolak untuk melanjutkan sekolahnya. Ibunya menggeleng dengan kedua matanya yang mulai mengha ngat. Tapi perempuan lemah lembut dan tabah itu mencoba untuk terus tersenyum. Ia terus berupaya membesarkan jiwa dan semangat anak nya. “Tuhan akan sangat murka dengan hambaNya yang berputus asa selagi masih diberi kehidupan.” “Tapi kenapa Rama harus diberi penderitaan sepanjang hidup ini, Bu?” Oh, kalimat itu sungguh menghancurkan hati seorang ibu. “Yakinlah, akan ada hikmah dibalik semua yang Rama alami selama ini.” “Sampai kapan Bu?” Ibunya diam. Rama diam. Hening. Suara raungan motor tua ayahnya memeceh keheningan. “Sedang apa kalian?” tanya ayahnya, saat melihat Rama dan istri nya sedang duduk di tengah rumah kecil mereka. Wajah lelaki itu tampak sangat lelah. Rambutnya sudah dipenuhi uban, meski usianya baru menginjak separuh abad. “Rama tadi meminta kepada Ibu untuk mendaftarkannya ke SMP besok,” sahut sang istri. Sekilas melirik Rama yang tampak terkejut. “Oh, jadi Rama mau melanjutkan sekolahnya? Ayah dan Ibumu mendukungnya, dan kami sebagai orangtua akan sekuat kemampuan untuk terus berusaha, agar kau bisa tamat SMP kemudian lanjut ke jenjang SMA hingga tamat. Jangan seperti kami, yang cuma lulusan SD.”
336
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Dengan keadaan Rama yang seperti ini. Apa itu bisa, Ayah?” Ayahnya tersenyum. Menghampiri Rama dan meraih kedua tangan anaknya. Menggenggamnya dengan telapak tangannya yang kepalan. Rama merasakan genggaman kedua tangan ayahnya seperti ada aliran listrik yang mengaliri ke sekujur tubuhnya. Rama beringsut dan memeluk tubuh penuh peluh ayahnya. *** Tahun-tahun penuh perjuangan dilalui Rama Dira bersama ayah dan ibunya. Sejak menjejakkan kakinya di SMP, Rama dibekali oleh ayahnya dengan gerobak kecil beroda mirip becak mini yang dikaitkan di sisi motor tua ayahnya saat akan pergi dan pulang sekolah. Gerobak kecil itu merupakan hasil karya ayahnya yang terinspirasi dengan motor Harley Davidson yang dipakai serdadu Jerman saat Perang Dunia II yang pernah dilihatnya di layar tivi. Hanya saat memasuki ruangan kelas, Rama harus dibopong ayahnya. Rama Dira membalas semua apa yang diberikan kedua orangtua nya dengan tekun dan gigih belajar. Ia sudah mengabaikan kekurangan nya tak bisa berjalan seumur hidupnya. Jenjang sekolah SMP dan SMA dilaluinya dengan sukses. Bahkan Rama Dira bisa menembus jenjang kuliah dengan bea-siswa dari pemerintah. Peran kedua orangtuanya yang dengan ketulusikhlasan terus mengiringi langkah kaki Rama Dira yang tetap tak bisa dipakai untuk berjalan. Tatap mata yang meremehkan kini telah berganti dengan kekaguman. Teman- teman Rama Dira sangat mengagumi kecemerlangan otak anak desa yang berasal dari keluar tak mampu dan kedua kakinya lumpuh. Namun Rama Dira tetaplah seorang anak desa yang sederhana dan sangat menghormati kedua orangtuanya. Juga menghargai jasa guru-gurunya sejak jenjang SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Seperti sebuah mimpi. Jika Tuhan Yang Maha Esa berkehendak tak ada yang mustahil. Rama Dira yang gigih akhirnya lulus dengan Cum Laude. Saat wisuda, Rama dengan senyum ceria berdiri di tengah dengan Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
337
dibopong ayah dan ibunya. Momen itu diabadikan oleh Arunika dengan kamera ponselnya. Foto yang sangat bersejarah itu menjadi kenangan terakhir bagi Rama Dira. Tiga pekan setelahnya, ayah dan ibunya pergi untuk selamanya karena kecelakaan tebing yang longsor di desa mereka akibat hujan yang turun hampir setiap hari. Longsor itu menghantam rumah Rama Dira dan menewaskan kedua orangtuanya yang sedang tertidur lelap, malam itu. Rama Dira dan Arunika sedang berada di kota saat musibah itu menimpa desa tempat tinggal mereka. Kedua lulusan terbaik itu sedang mengikuti tes lowongan pekerjaan di sebuah BUMN. Saat Rama dan Arunika menerima kabar keberhasilan mereka yang diterima bekerja, layar televisi di ruang tunggu BUMN itu sedang menyiarkan longsor yang terjadi di desa, tempat kedua orangtua Rama dan Arunika tinggal. Kebahagiaan dan kesedihan datang hampir bersamaan. Rama Dira ikhlas menerima apa yang telah ditadirkan Sang Khalik. Namun, yang membuat hatinya masih terasa pedih, ia belum sempat memberikan hasil jerih payah dari cucuran keringatnya kepada ayah dan ibunya, kedua orangtuanya telah pergi untuk selama-lamanya. “Rama harus ikhlas, dan sabar menerima semua yang telah ditakdirkan Tuhan,” kata Arunika, saat pemakaman kedua orangtuanya. “Iya. Cuma, kenapa musibah itu terjadi sebelum aku bisa membalas semua apa yang telah aku terima dari kedua orangtuaku,” lirih suara Rama. “Tuhan Yang Maha Tahu segalanya,” ujar Arunika. Senyum lembut gadis sederhana itu membuat hati Rama terasa tenteram. Gadis yang menjadi teman paling dekatnya sejak SMA hingga perguruan tinggi. “Hari sudah semakin sore, kita pulang,” suara lembut di belakang telinga Rama yang duduk di kursi roda menyadarkannya dari kenangan yang berlompatan di pelupuk matanya. Rama mengangguk dan tetap menatap lurus kedua makam ayah dan ibunya yang membisu di depannya. 338
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
“Terima kasih ayah, terima kasih ibu. Ayah dan ibu yang selalu menjadi kaki anakmu ini, meski kalian berdua sudah tenang bersama Allah Yang Maha Esa. Rama akan selalu mengenang kalian sampai aku juga bersama ayah dan ibu kelak...,” gumam Rama Dira. Menengok ke arah Arunika yang siap mendorong kursi roda yang didudukinya. Tatap mata Rama Dira dan Arunika bersirobok di udara senja. Dada keduanya bergemuruh. Angin berkesiur menggesek dedaunan. Menghembuskan kesejukan.*
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
339
TUMPUKAN SAMPAH Oleh: Lusiana Agustina Mereka bilang, apa yang terjadi sudah tidak berarti lagi?. Kini, aku kembali mengingat kata-kata itu, jauh dilubuk hatiku, aku masih tidak mempercayainya. Bagaimana bisa, sebuah kenangan terlupakan begitu saja? Atau hanya aku yang merindukannya. Malam ini untuk sekian kalinya, aku melihat album foto kecil itu. Album foto yang kusembunyikan secara diam-diam agar tak seorang pun dapat menyentuhnya. Malam begitu dingin dan cahaya rembulan kian menyinari. Ku terduduk diantara kotak rahasia itu, kuambil perlahan dengan sangat hati-hati. Album foto ini begitu berharga bagiku. Entah apa yang akan orang katakan. Tentu aku tak peduli. Ku buka satu persatu, dapat kurasakan tipis debu melapisi buku album itu. Kubersih kan dengan jemariku yang berkeringat dingin. Lagi-lagi aku tidak dapat mengontrol kegugupanku. Padahal ini bukan pertama kalinya aku membuka album ini. Tapi mengapa, rasanya begitu berat dan sakit setiap kali ku menatap dan mencoba membuka album buku ini? Tetesan air mata turun membasahi kedua pipiku, dan juga album foto itu. Kuhapus segera dengan bajuku yang lusuh secara perlahan, sekadar memastikan agar air itu tidak merusak foto yang berada didalamnya. Suara malam terdengar begitu samar, hanya bunyi selisik angin yang terdengar. Begitupula dengan suara isak tangisku yang perlahan ku bungkam dengan kedua tanganku yang gemetar. Aku tidak ingin ada yang mendengarkan isak tangisku. Walaupun diriku berada di dalam seorang diri, entah mengapa jiwaku terasa diawasi secara diamdiam. Bagi mereka yang di luar sana, aku harus terlihat baik-baik saja, tersenyum, dan menghilangkan segala jenis emosi yang ada pada diriku ini. Sungguh menyakitkan. Terpaksa untuk terdiam, disaat kau ingin berteriak. Apa boleh buat? Aku tidak dapat melakukan apapun. Aku begitu lemah, sehingga aku pun ikut membenci diriku yang lemah ini. 340
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Aku berusaha menenangkan diriku, tanpa sadar mataku terasa berat dan hanya dapat menatap datar album foto yang tepat berada didepanku. Ku memeluk erat album foto itu, berusaha menggengamnya le bih lama dari biasanya. Kini ku kembali pada waktu itu, dimana aku bisa ikut tersenyum dengannya. Foto ini adalah terakhir kalinya aku dapat melihat senyuman ringan itu diwajahnya. 4 Desember “Hei, Luis! Ada apa denganmu..kau selalu saja termenung dan tidak menghiraukanku!” Luis menatapku lembut dengan kedua matanya yang merah dan sembab. aku tahu jika ia menangis lagi tadi malam. Ku elus lembut rambutnya yang berantakan dan duduk di sampingnya. Setidaknya itulah yang dapat kulakukan. Kami terdiam cukup lama. Langit berubah berwarna sedikit kemerahan, menandakan senja telah tiba menggantikan siang. Burung-burung berterbangan, Kembali pulang ke rumahnya. Kulihat betapa tampannya wajah Luis yang terus menatap kearah depan, walaupun pakaian lusuh dan rambutnya yang tidak karuan menutupi wajah tampannya. “Agatha…” Suaranya lembut seperti tatapnnya kepadaku. Entah mengapa aku bisa merasakan apa yang ingin ia katakan. Bibirku mulai gemetar, dan aku mulai mengalihkan pandangan pada rerumputan gersang. Mencoba menahan air mata yang sudah lama kutahan. “Aku tau kau pasti mendengarkanku, bagaimanapun sikapmu….Tapi, aku sudah memutuskannya.” Apa yang ada dipikiranku selama ini sudahlah terjadi. Betapa terguncangnya diriku mendenar sepatah kata itu dari suara lembutnya. Aku menatapnya dan dapat kulihat matanya yang lembab itu tersenyum kearahku. Aku mulai terisak dan tidak dapat menahan apa yang seharusnya ku tahan. Apa boleh buat? Kami hanya anak kecil yang tidak dapat Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
341
melakukan apapun. “Luis, kau tidak harus melakukannya. Apakah ini jawaban terbaik untuk masalahmu!? Kurasa tidak! Bagaimana bisa ia melakukan itu? ia kan Ibumu. Bagaimana bisa, seorang Ibu rela menukar anaknya demi uang!” Luis tertawa kecil mendengar ucapanku, seakan hal itu adalah lelucon terakhir yang dapat membuatnnya tertawa. “Kau tahu Agatha? Bahkan sejak aku lahir, aku dapat merasakan keberadaanku yang tidak diinginkan…Kau tahu apa yang terjadi kepada kita di kota besar ini. Bahkan kita anak kecil tidak dapat merasakan betapa indahnya kehidupan mewah disana, kita hanya bisa melihatnya bukan? Kurasa inilah yang dirasakan ibuku saat ini. Ia sama dengan kita, yang merasa terkurung di belakang tumpukan sampah ini. Tidak dapat menghirup udara yang segar, lihatlah ia sudah hidup di dunia ini lebih lama daripada kita…Ia tidak bisa duduk sejenak seperti kita, melihat matahari terbenam karena ia harus bekerja. memberiku makan, dan juga kakakku yang sakit itu. Melihat hal itu, aku tahu jika aku ini hanya menambah beban padanya. Badan ini sudah tidak dapat merasakan sakitnya, Agatha. Tapi aku bisa merasakan betapa sedihnya hati Ibuku yang menjadi seperti itu. kurasa, inilah jalan terbaik yang harus kulakukan, sebagai anaknya.” Kalimat itu diucapkan pada seorang anak kecil berumur 12 tahun, bagiku Luis adalah orang paling dewasa yang pernah ku kenal dalam hidupku. Aku tidak bisa berhenti memandang rerumputan gusang itu dan memainkannya. Aku terus terisak mendengarkan Luis bercerita panjang dari biasanya. Biasanya akulah yang selalu bercerita dan membiarkan Luis mendengarkannya. Tapi, untuk hari ini aku tidak berhak mengambil kesempatan itu darinya. Truk sampah terakhir datang. Menuangkan segala macam aroma yang sejak kecil sudah kuhirup. Aku bahkan sudah tidak dapat membedakan aroma tubuhku dan tumpukan sampah itu. Begitu juga dengan Luis yang tidak terganggu oleh tumpukan sampah itu. Luis berdiri dan 342
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
merapikan pakaian kusamnya. Begitu pula aku yang mengikutinya. Kami berjalan ke rumah tanpa bicara sepatah kata. Lampu jalanan mulai nyala menandakan hari malam akan tiba. “Agatha, jika aku pergi nanti… apakah kau akan mengingatku? Aku tiak tahu apa yang terjadi dengan diriku, setelah aku pergi dari tempat ini. Tapi, jika aku tidak kembali lagi. Aku tidak akan melupakanmu Aga tha. Aku berjanji. Maka dari itu Agatha, simpan foto ini baik-baik saat aku pergi.” Luis meletakkan foto itu pada tanganku yang kusam, kulihat wajahnya yang menahan tangis dengan senyuman tipis itu. Ia berlari kecil kearah rumahnya yang berada di sebrang rumahku seakan tidak ingin mendengarkan ocehan dariku. Sedangkan aku hanya dapat melihat soosknya dari belakang. Luis, bahkan aku belum sempat mengatakan sesuatu untukmu, aku belum sempat mengatakan betapa irinya diriku padamu, aku belum sempat mengatakan maaf kepadamu, aku belum sempat melakukan apapun untukmu. Penyesalan itu, terlewat begitu saja. Sampai dengan hari ini tanpa ada tanda darinya. Seakan kata-katanya itu menjadi sebuah doa yang telah dikabulkan oleh Tuhan. Membuatku meringkih kesakitan setiap malam. Jika saja, pada saat itu aku dapat melakukan sesuatu untuknya, mungkin ia tidak harus pergi. Jika saja, pada saat itu aku mampu mengubah pikirannya, mungkin kita masih dapat bermain bersama. Jika saja, aku… Kata “jika” seakan memakanku sedikt demi sedikit. Menahan amarah akan diriku yang hanya berdiam diri. Kenangan itu bukanlah kenangan terbaik yang dapat kumiliki dengan Luis. Tapi, kenangan itu menjadikan mimpi terburuk bagiku untuk terus kembali. Seperti halnya album foto ini. Lihatlah kita yang tersenyum lebar dibelakang tetumpukan sampah dengan penuh ceria 5 tahun yang lalu. Oh Luis, apakah kau benar-benar tersenyum pada saat itu? atau sebaliknya?.
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
343
Wanita, Warna, dan Cerita Oleh: Jessica Frani Novianti Livia Andaristi, wanita penyendiri, sekarang tengah berdiri sendiri menatap sekelilingnya. Tidak ada bangunan, tidak ada dinding, atap, pintu ataupun jendela. Semua dalam jarak pandangnya hanyalah ke sunyian, sejumlah gundukan tanah, serta batu-batu dengan ukiran nama yang tertanam di sekitarnya. Terlalu banyak abu-abu, terlalu ba nyak kekosongan. Terlalu familiar. Seperti di suatu hari, jauh dalam ingatannya. Livia hanya sedang menjalani paginya dengan biasa. Bangun, sarapan, berangkat kuliah, belajar, dan pulang. Tidak banyak teman yang ia punya, dan lebih tidak banyak pula teman yang masih ada dalam jangkauan komunikasinya. Sudah wajar kalau tidak ada satu pun pembicaraan santai atau sekadar basa-basi dari siapa pun. Seperti biasa. Tenang dan menenangkan. Namun, seakan apa yang sudah semesta beri masih kurang jelas bahwa dunia ini tidak menikmati keberadaanya, tengah hari ini tidak berjalan seperti biasanya. Livia langsung menyadari hal itu ketika ia melihat seekor anak anjing, dengan segenap kekuatannya berjalan terpincang-pincang di jalan besar, berusaha lari dari mobil yang entah mengapa tidak terlihat akan menghindari anjing itu. Livia mengutuk dirinnya sendiri. Ia tidak tahu apa yang ia pikirkan saat kakinya melangkah atau saat tangannya menjulur mencoba untuk menarik anjing putih itu ke pinggir jalan. Tidak mungkin ia sempat. Tidak mungkin ia bisa berlari lebih cepat dari mobil yang melesat tanpa cais, tidak mungkin ia bisa selamat dari ini. Jadi ia berhenti. Lengan yang te lah berhasil menggapai anjing itu ia dekap erat. Livia tidak bergerak, ia tidak memiliki waktu untuk itu. ‘Brakkk.!’ Livia dapat merasakan tubuhnya terlempar ke tepi jalan. Mungkin 344
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
kepalanya remuk, mungkin tulangnya patah, atau mungkin kulitnya sobek. Mungkin dia akhirnya akan pergi dari dunia ini. Pergi ke sisi terang dan tidak harus menjalani hidupnya lagi. Kecuali tidak satu pun dari semua itu terjadi. Tidak satu buah pun tulangnya remuk atau pun patah. Ia terlempar dan menubruk pinggir trotoar, terdapat luka kecil dan memar ringan di kakinya. Tangannya masih memeluk anjing kecil yang menggigil ketakutan tadi dengan protektif. Untuk penghabisannya, ia sekarang berada di tepi jalan dan ia mende ngar deru mobil yang tidak berhenti, malah semakin menjauh. Tabrak lari. Livia tahu betul bahwa ia bukan sepenuhnya korban dari tabrak lari itu. Sesaat setelah kesadarannya kembali penuh, Livia melempar pandangannya ke arah tempat ia melompat tadi. Ia sangat yakin seseorang berlari mendorongnya dan menggagalkan aksi bunuh diri impromptu Livia tadi. Seorang wanita, dengan gaun merah sederhana, duduk meringis kesakitan sambil mengusap perlahan tungkainya. Sorot matanya tajam, dalam sesaat berubah kala ia melayangkan padangannya pada Livia dan si anjing putih kecil yang berakhir tidak mendapatkan luka fatal. Mata nya tersenyum, sangat bahagia, sangat cerah, sangat tulus. Livia untuk sesaat terdiam, membuatnya terlambat menyadari saat-saat ambruk nya figur lemas wanita itu. Baru saat orang-orang lain mulai menghampiri mereka, meneriakkan rasa khawatir dan menghubungi petugas kesehatan, tubuhnya dapat menjawab dengan baik. Setelah kesadarannya, ia bangun, bergerak, dan ikut membereskan jalan raya itu agar layak beroperasi lagi. Semua kembali buram selama perjalanannya menuju rumah sakit. Genap lima pasang mata sekarang terpaku kuat pada pintu ruang IGD penuh harap. Wanita tadi, yang akhirnya Livia tahu bernama Asri, ternyata adalah seorang yatim piatu yang tidak memiliki kerabat sama sekali. Alhasil, Livia dan keempat anggota keluarga anjing itu pun meneAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
345
tap untuk mengurus penuh perawatan wanita tadi di rumah sakit. Bagaimanapun, saat wanita itu akhirnya, akhirnya diperbolehkan untuk dijenguk, keluarga yang menemani Livia tadi sudah bergegas pergi melihat keadaan anjing kecil mereka. Dengan berat hati mereka menitipkan banyaknya ucapan maaf dan terima kasih yang terpaksa tidak bisa mereka katakan langsung hari ini. Livia masuk dengan canggung, terlalu canggung bahkan. Mereka berbicara, berkenalan satu sama lain. Livia menanyakan kondisinya, menjelaskan detail keadaan yang wanita itu lewatkan, dan menyampaikan semua yang sudah diamanahkan padanya. Diskusi, diskusi, dan diskusi. Hatinya bergejolak mendengar jawaban ceria lawan bicaranya. Ada yang kurang dari pembicaraan ini. “Maafkan saya Mbak Asri, saya sungguh memohon maaf karena tindakan gila saya Mbak Asri jadi berakhir seperti ini.” Ucapnya tulus. Pandangannya masih teramat sendu. Jika saja ia tidak melompat ke arah jalan, jika saja ia cukup sadar untuk bergerak lebih cepat dan membopong anak anjing itu ke tepi jalan dan bukannya diam di situ memeluknya, mungkin tidak akan jadi seperti ini. Mungkin Asri tidak akan jadi seperti ini. Sekali lagi di hari ini, senyum ramah Asri mengiringi jawabannya. ‘Tidak usah dipikirkan, saya sama sekali tidak marah pada kamu. Lagipula, daripada melihat kamu menyesal dan memohon maaf seperti ini saya akan merasa lebih baik kalau kamu bisa menunjukkan wajah pemenang untuk saya. Walaupun itu setengah nekat, tindakanmu itu benar-benar berani. Tidak banyak yang bisa melakukan itu, kamu tahu?” Livia tidak tahu. Setelah hari itu, Livia terus datang menjenguk dan menemani Asri hampir setiap hari. Dengan dorongan rasa bersalah dan utang nyawa nya, Livia dengan tekun menghibur Asri selama masa perawatan kaki nya yang berakhir lumpuh. Cukup mengejutkan bagaimana Livia dapat dengan nyaman berbincang dan bersenda gurau dengan seorang Asri 346
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
yang baru ia kenal beberapa hari. Setiap ia datang, mereka berbagi ceri ta pada satu sama lain. Dari situ Livia tahu, bahwa ini bukanlah pertama kali Asri melempar nyawanya ke jalan raya untuk menolong seseorang. Hanya saja, semesta cukup menyayanginya untuk menjaga Asri tetap dalam kondisi baik selama ini. Juga fakta bahwa ternyata wanita ini adalah seorang mantan pelari handal. Tidak heran mengingat seberapa cepat Asri dapat menggapai, bahkan mendorongnya ke tepi jalan. “Mbak Asri, apa saya boleh menanyakan beberapa hal?” Tanya Livia suatu hari. Asri yang mendengar jelas permintaan murni Livia hanya melebarkan senyumannya, menandakan persetujuan. “Kenapa Mbak Asri mau melakukan hal-hal itu? Kenapa Mbak Asri bisa semudah itu menolong orang dengan kondisi berbahaya walaupun Mbak Asri bisa jadi seperti ini?” “Wah, bagaimana, ya? Sebenarnya cukup sederhana, saya ingin diri saya di masa depan bisa tersenyum saat mengingat masa-masa ini.” Asri lantas menundukkan kepalanya, malu atas jawabannya sendiri. “Seperti saya yang sekarang bisa tersenyum mengingat semua hal yang sudah saya lakukan kemarin, minggu lalu, bulan lalu, dan tahun-tahun lalu.“ Sebelum Livia dapat menjawab, Asri menginterupsinya. Entah me ngapa ia menjadi dangat ramai bicara hari ini. Tidak seperti biasanya saat ia lebih terlihat menikmati posisi pendengar dalam obrolan me reka. “Saya ingin berbagi denganmu, tentang kalimat yang pernah saya dengar di suatu tempat.” “Kehidupan itu menunjukkan berbagai macam warna bagi tiap-tiap manusia. Semua tempat yang sempat ada, peristiwa yang sempat lewat, serta insan lain yang sempat tinggal memberikan kesan corak mereka yang unik dalam lembar hidup seseorang.” Jelasnya sambil memandang lekat langit biru cerah lewat jendela yang terbuka kecil di sebelah tempat tidurnya. Ia menarik napas untuk istirahat sejenak. Bola matanya teralih pada wajah serius Livia. Tidak mendengar balasan, Asri melanAntologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
347
jutkan bicaranya, tidak membiarkan Livia tenggelam dalam pikirannya untuk lebih lama. Kali ini, ia memulai kalimatnya dengan senyuman. “Sama halnya dengan manusia itu sendiri. Iris mata yang satu tidak selalu membaca warna yang sama dengan yang lainnya. Beberapa diantara mereka tinggal dalam dunia abu-abu, dan beberapa lainnya hidup berdampingan dengan banyak warna yang indah.” Suasana sunyi akhirnya kembali menyelimuti mereka berdua. Me reka lantas membuang pandangan dari satu sama lain. Keduanya sekarang sedang asyik melayangkan pikiran mereka masing-masing. Asri yang sudah selesai mengatakan hal yang ingin ia katakan, dan Livia yang tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk menanggapi. Selama 20 tahun dalam hidupnya sebelum ini, Livia selalu berpikir, mungkin ia kurang diberi kesempatan beruntung untuk menikmati perasaan yang dapat membuat Livia seperti melihat semburan warna menyergap irisnya. Karena dari penjelasan Asri tadi, Livia jelas bisa dibi lang masuk ke dalam kelompok abu-abu. Kehidupan monoton yang tidak terlalu mengesankan, atau ia berani berkata membosankan. Selain itu, Livia tidak dapat mengelak bahwa mungkin irisnya lah yang selama ini menerjemahkan semua perasaan itu menjadi hitam, putih, dan abu-abu. Mungkin saat ia masih bisa berbincang nyaman bersama orangtuanya dulu, ia melihat warna hijau Mungkin sewaktu ia lulus dari sekolahnya dulu seharusnya ia melihat kuning cerah. Mungkin seharusnya warna merah muda lah yang ia lihat sewaktu ia dulu bermanja bersama mantan kekasihnya. Ia mulai tidak nyaman dengan ini. “Oh,” Livia dan keterbatasannya dalam menanggapi orang lain. Biasanya, setelah ini Asri hanya akan menjawab dengan senyuman dan akhirnya menyelesaikan pembicaraan mereka. Livia setengah berharap itu yang akan terjadi. Namun sejak kapan semesta setuju dengan harapan Livia? Jadi dari pada senyuman manis yang biasa ia dapat, Asri mengimbuhkan satu kalimat lagi. “Saya sangat bahagia untuk dapat berbincang denganmu 348
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
selama tiga minggu ini, kamu tahu?” Livia tahu. Ia hanya tidak membiarkan mulutnya mengeluarkan sepatah kata pun. Waktu masih tepat tengah hari, namun Livia sudah angkat kaki dari ruang rawat Asri. Livia belum kembali itu. Dua atau tiga hari kira-kira ia belum pergi menjenguk Asri lagi. Tidak ada apa-apa, sungguh. Hanya saja sekarang Livia sedang menikmati masa merenungnya sendiri. Perkataan indah Asri hari lalu masih terus terputar dalam pikiran Livia, mengundang datangnya pertanyaan yang tidak terlalu ia senangi. Tidak bermakna kah hidupnya? Tidak bersyukurkah dirinya? Livia terus berkutat pada pikirannya sendiri, belum mengumpulkan keberanian untuk membicarakannya dengan Asri seperti biasanya. Perasaan enggan ini tidak biasa, dan Livia tidak menyukainya. Tidak ada hal baik yang datang saat hal-hal berjalan tidak seperti biasanya. Ia mendapat panggilan dari rumah sakit tempat Asri dirawat. Kabar yang membuatnya terdiam sejenak, meloloskan diri dari pemikiran tanpa akhirnya itu. Detik selanjutnya badannya melemparnya untuk bergegas menuju rumah sakit. Asri, wanita yang menyelamatkannya, wanita yang menjadi teman dekatnya, wanita yang kerap memberikan senyum paling manis dalam hidupnya, tidak dapat membuka matanya lagi. Ia tidak dapat menceritakan kisah-kisah masa lalunya lagi. Ia tidak dapat mendengar cerita Livia lagi. Bukan kejutan lagi jika Livia langsung jatuh terduduk saat ia akhir nya sampai dan melihat tubuh kaku Asri tertidur lelap di atas kasurnya. Mengerikan. Pandanganya lalu bergerak tipis ke arah perawat yang kini juga memasang wajah yang sama murungnya, sama takutnya. Matanya menuntut penjelasan. “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, hal ini terjadi karena Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
349
kecelakaan dalam rumah sakit. Seorang anak yang datang menjenguk membawa bola lempar dan tanpa sengaja melontarkannya pada gantu ngan papan yang sudah rapuh.” Perawat itu menghentikan ucapannya, tidak kuasa menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya. Rasa bersalah dan penyesalan tergambar terlalu kentara pada wajah perawat itu. Mustahil bagi Livia untuk tidak mengerti apa yang menjadi kelanjutan nya. “Beliau- beliau meninggal di tempat dengan kepalanya“Sudah, saya mengerti.” Potongnya. Ia tidak ingin mendengarnya sekarang. Ia terlalu mengerti bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Seorang anak yang lalai, hampir mencelakai dirinya sendiri, akhirnya diselamatkan oleh seorang wanita yang mendorongnya. Terlalu familiar. Livia lalu tersenyum tragis. Derai air matanya belum berhenti bercucuran sejak tadi. “Biru. Ini pasti biru.” Ucapnya dengan napas tersengal. Menyedihkan. “Ini, mungkin ini ditujkan pada Anda.” Mungkin Livia akan berterima kasih pada perawat ini untuk menghentikan pikirannya yang sudah mulai tak beraturan. Sekarang ia hanya menerima kertas yang diberikan padanya, terdiam. Kemudian ia tersenyum kosong. Entah sedih atau bahagia ia sekarang. ‘Lukisanmu belum selesai, sayang. Berikan lagi warna yang indah, yang lebih indah. Dengan begitu kamu akan tersenyum lebar memandanginya.’ “Apa kamu sekarang tersenyum bangga, Mbak?” Ucapnya sendu, sembari tangannya mengusap-usap pipinya yang memerah. Batu abuabu di hadapannya masih ditatapnya lekat. Senyuman rindu pun akhir nya menutup kunjungan wanita itu. Ia akan datang lagi tahun depan, seperti tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya.
350
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
351
PROFIL Nama Lengkap : Ade Nilasari Alwi M Email
: [email protected]
No. WA
: 08773870xxxx
ID Instagram : @adenilasari Alamat
: Jeruk RT 05 RW 10 Kepek Wonosari,
Gunungkidul, Yogyakarta Nama Lengkap : Aditya Prawira Email
: [email protected]
No. WA
: 08216419xxxx
ID Instagram : @adid_moo Alamat
: Jl. Vetpur III Blok B No. 66, Medan Estate, Percut
Sei Tuan, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara 20371 Nama Lengkap : Annisa Pratiwi Wulandari Email
: [email protected]
No. WA
: 0897864xxxx
ID Instagram : @tiwinisacha Alamat
: Kp. Kalimurni RT 02 RW 01 No. 139... Kel. Kencana,
Kec. Tanah Sareal, Kota Bogor
352
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Nama Lengkap : Ari Lia Wulandari Email
: [email protected]
No. WA
: 08528021xxxx
ID Instagram : @ariliawulandari Alamat
: Alamat Lengkap (kantor): Sekolah Alam Indonesia
Cipedak, Jl. Pembangunan No. 51, RT 2/ RW 2, Cipedak, Kec. Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12630 Nama Lengkap : Bintang David Hutabarat Email
: [email protected]
No. WA
: 08138234xxxx
ID Instagram : @roebyn Alamat
: Cendana Residence Blok G1/27, Pamulang II, Benda \
Raya-Tangerang Selatan Nama Lengkap : Catherine X’obel Email
: [email protected]
No. WA
: 089532517xxxx
ID Instagram : Toastrine Alamat
: Jl. Bintara 9 RT 008/RW 002 Kampung Setu,
Perumahan Puri Handayani No. 2A (belakang SMPN 22), Kelurahan Bintara Jaya, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat kode pos 17136 Nama Lengkap : Claudia Calista Email : [email protected] No. WA : @calistaclaudi ID Instagram : 08128637xxxx Alamat : Jl. Kelapa Lilin V DC2/33, Sektor 7A Gading Serpong, Tangerang Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
353
Nama Lengkap : Dadang Ari Murtono Email
: [email protected]
No. WA
: 08785456xxxx
ID Instagram : damdam842020 Alamat
: Perum Melati Permai A40, Sendangadi, Mlati, Sleman,
Yogyakarta Nama Lengkap : Della Ananda Email
: [email protected]
No. WA
: 08211415xxxx
ID Instagram : @dllannda_ Alamat
: Kab. Kuningan, Kec. Cibingbin, Desa Cipondok, Dusun
Sidaharja, RT 03 / RW01 Nama Lengkap : Dra. Yulita Feryanti Email
: [email protected]
No. WA
: 08123490xxxx
ID Instagram : Alamat
: Jl. Kis Mangunsarkoro gang Wijaya Kusuma Blok B No.
17 Bondowoso Jawa Timur Nama Lengkap : Dwi Rahayu Email
: [email protected]
No. WA
: 08524510xxxx
ID Instagram : @dwi_ra Alamat
: Jalan Veteran Gang Bakti No. 40 RT/RW 036/05,
Roban, Singkawang Tengah, Kota Singkawang Kalimantan Barat 79112
354
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Nama Lengkap : Eka R. Utami Email
: [email protected]
No. WA
: 0812192xxxx
ID Instagram : @soal.cerita Alamat
: Bukit Golf Arcadia AR62, Gn. Putri
Nama Lengkap : Eko Triono Email
: [email protected]
No. WA
: 08564323xxxx
ID Instagram : @ekolalutriono Alamat
: Jl. Kantil 72, RT02/RWI, Desa Gombolharjo, Adipala,
Cilacap, Jawa Tengah, 53271 Nama Lengkap : Endah Nofiyanti Email
: [email protected]
No. WA
: 08213833xxxx
ID Instagram : @endahnofi Alamat
: Jomboran RT 03 RW 34 Sendangagung, Minggir,
Sleman Yogyakarta Nama Lengkap : Ferdy Aqliyansyah Email
: [email protected]
No. WA
: 08520706xxxx
ID Instagram : @cotbakheu Alamat
: Jl. Arif Rahman Hakim, No. 106, Keputih, Sukolilo,
Surabaya, Jawa Timur
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
355
Nama Lengkap : Hadiwinata Email
: [email protected]
No. WA
: 08129251xxxx
ID Instagram : @mr.hadiwinata Alamat
: Perum. Taman Gading Palemraya Blok A14, Inderalaya
Utara, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Nama Lengkap : Haryo Guritno, M.Kom Email
: [email protected]
No. WA
: 08574116xxxx
ID Instagram : Haryo Guritno Alamat
: Jl. Arimbi I No. 24 Tegal
Nama Lengkap : Hasna Aufa Mufidah Email
: [email protected]
No. WA
: 08129774xxxx
ID Instagram : @nanaavlln Alamat
: Kp. Selang Tengah, RT 001 RW 002, nomor 73,
Wanasari, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Nama Lengkap : Herry Trunajaya Bs Email
: [email protected]
No. WA
: 08584572xxxx
ID Instagram : harybilang Alamat
: Jl. Berlian Blok J, No. 14, *RT 34, Sepinggan Baru,
Balikpapan Selatan
356
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Nama Lengkap : Irvin Maria Christiany br Damanik Email
: [email protected]
No. WA
: 08526344xxxx
ID Instagram : irvinmariachristianydamanik Alamat
: Perumahan Graha Batu Indah Blok B-01, Batu
Penjemuran, Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, 20356 Nama Lengkap : Jauza Imani Email
: [email protected]
No. WA
: 0811122xxxx
ID Instagram : noenkyarane Alamat
: Perumahan Korpri Blok C 12 No. 5 Korpri Raya,
Sukarame, Bandarlampung Nama Lengkap : Jessica Frani Novianti Email
: [email protected]
No. WA
: 08232575xxxx
ID Instagram : jessica.fn_ Alamat
: Jl. Banteng 3, Ngabean Kulon, RT 07/RW 36,
Sinduharjo, Ngaglik, Sleman. Nama Lengkap : Kurnia Effendi Email
: [email protected]
No. WA
: 081185xxxx
ID Instagram : kef_batik Alamat
: Toko sabun Rumah Anggit. Jl. Nusa Indah VI Gang
3 No. 302. RT 01/RW 03 Kel. Malaka Jaya. Kec. Duren Sawit Jakarta Timur 13460
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
357
Nama Lengkap : Lina Chan Email
: [email protected]
No. WA
: 08565907xxxx
ID Instagram : na.linchan Alamat
: SRC NICO Jalan Pangeran Cakrabuana Rt. 001 Rw.
001 (Sebelah Hotel Santun) Kel. Sendang Kec. Sumber Cirebon – Jawa Barat 45614 Nama Lengkap : Lusiana Agustina Email
: lusianaagustina.99@gmail
No. WA
: 08132487xxxx
ID Instagram : @lusianaagtsn Alamat
: Perumahan. Greenwood Jalan Rodeo 5 No. A2-16.
Kota Semarang. Kode pos: 50222 Nama Lengkap : Muhammad Abdul Khalim Email
: [email protected]
No. WA
: 08564575xxxx
ID Instagram : s._widodo Alamat
: RT. 001, RW. 002, Ds. Sumberejo Wetan, Kec. Ngunut,
Kab. Tulungagung, Jawa Timur Nama Lengkap : Meutia Fauziah Email
: [email protected]
No. WA
: 0817602xxxx
ID Instagram : asyafah1905 Alamat
: Jalan Harsono RM, Gang Haji Noin, No 45, Ragunan,
Jakarta Selatan
358
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Nama Lengkap : Muhaimin Rizal Email
: [email protected]
No. WA
: 08213723xxxx
ID Instagram : kamuhai_ Alamat
: Jl. Kyai Haji Jl. KH. Zaini Mun’im, Dusun Tj. Lor,
Karanganyar, Kec. Paiton, Probolinggo, Jawa Timur 67291 Nama Lengkap : Muhammad Firdaus Rahmatullah Email
: [email protected]
No. WA
: @mufirra_
ID Instagram : 08580683xxxx Alamat
: Perum Puri Pratama Gg. Sulawesi 03, Sumberkolak,
Panarukan, Situbondo 68351. Nama Lengkap : Nafla Firda Rilovi Email
: [email protected]
No. WA
: 08223069xxxx
ID Instagram : @nafirda_rlv Alamat
: Gang Samping Kantor Bupati Bengkulu Tengah Ds.
Ujung Karang Kec. Karang Tinggi Kab. Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu Nama Lengkap : Nariswari Nirwasita Email
: [email protected]
No. WA
: 08122753xxxx
ID Instagram : n.nirwasitaa Alamat
: Perumahan Giri Ari, Jalan Flamboyan, blok H2, RT
02/03, Singodutan, Selogiri, Wonogiri, 57612, Jawa Tengah Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
359
Nama Lengkap : Nur Afifah Email
: [email protected]
No. WA
: 08314210xxxx
ID Instagram : afi_afifah23 Alamat
: Jl. Nurul Wathan RT 01, Kec. Haur Gading, Kab. Hulu
Sungai Utara Nama Lengkap : Nuraini,S.Pd. Email
: [email protected]
No. WA
: 08214863xxxx
ID Instagram : nu.raini8912 Alamat
: Jl. Cut Nyak Din RT. 07 Gg. Seteleng 2 Rinding Teluk
Bayur Berau Kalimantan Timur 77313 Nama Lengkap : Panji Sukma Email
: [email protected]
No. WA
: 08121714xxxx
ID Instagram : @panjisukmabook dan @buruhseni Alamat
: Margorejo, Rt/w 1/10, Joho, Mojolaban, Sukoharjo
Nama Lengkap : Ratu Gifani Mantika Email
: [email protected]
No. WA
: 08578262xxxx
ID Instagram : gifa041089 Alamat
: Jln. Delima V No.87 RT 03/12 Perumahan Duren Jaya,
Bekasi Timur
360
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Nama Lengkap : Renhard Sebastian Email
: [email protected]
No. WA
: 08128306xxxx
ID Instagram : renhardxs Alamat
: Jalan Kerinci V No.18, Kec: Sukmajaya, Kel: Abadijaya,
Depok, Jawa Barat Nama Lengkap : Rosmaria Anggelina Simanjuntak Email
: [email protected]
No. WA
: 08131173xxxx
ID Instagram : rosmaria.as Alamat
: Gang Sejati, Jl. Silalahi Pagarbatu
Balige, Sumatera Utara, 22312 Nama Lengkap : Ruth Yolanda Email
: [email protected]
No. WA
: 08585090xxxx
ID Instagram : @hxyzlhxyzl Alamat
: Teluk Sarera Utara Nomer 17 Tanjung Perak Surabaya
Nama Lengkap : Sarita Rahel Diang Kameluh Email
: [email protected]
No. WA
: 08573278xxxx
ID Instagram : sith_thelitterateur Alamat
: Jl. Sidosermo PDK I Timur No.12, 60239
Kec.Wonocolo, Surabaya
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
361
Nama Lengkap : Sentyaki Satya Putra Email
: [email protected]
No. WA
: 0856170xxxx
ID Instagram : @asenkwar Alamat
: Jl. Tanah 80C, No. 41B, RT. 06/ RW. 08 Klender, Duren
Sawit Jakarta Timur 13470 Nama Lengkap : Sifa Nurhaliza Email
: [email protected] atau
[email protected] No. WA
: 08129068xxxx
ID Instagram : @snurhaliza1 Alamat
: Jl. Pojok Tengah Rt. 03/Rw. 06 No. 84, Kel. Setiamanah,
Kec. Cimahi Tengah, Kota Cimahi, Jawa Barat, 40524 Nama Lengkap : Sinta Herawati Email
: [email protected]
No. WA
: 089539229xxxx
ID Instagram : sintahera13 Alamat
: Sinanggul RT 31/ RW 06, Kecamatan Mlonggo,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Indonesia Nama Lengkap : Tri Wakhyuni Email
: [email protected]
No. WA
: 08532515xxxx
ID Instagram : Alamat
: SMP N I Bumijawa Jl. Wreda Meta No. 379 Desa
Bumijawa Kec. Bumijawa Kab. Tegal Jawa Tengah KP. 52466
362
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
Nama Lengkap : Wa Ode Hasrana Mizana Ishak Email
: [email protected]
No. WA
: 08213491xxxx
ID Instagram : waode_ani_haris1 Alamat
: Desa Pure, Kecamatan Wakorumba Selatan,
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara Nama Lengkap : Wahyu Indriani Email
: [email protected]
No. WA
: 08527218xxxx
ID Instagram : wahyuindriani65 Alamat
: Jl. Perkasa-Sekapur Sirih, Perum Graha Hang Tuah
Permai, Blok O No. 07, Pekanbaru, RIAU Nama Lengkap : Yeni Kurnia Ekawati Email
: [email protected]
No. WA
: 08215309xxxx
ID Instagram : Alamat
: Jalan dr. Rubini No. 56 Mempawah Hilir,
Kabupaten Mempawah , Kalimantan Barat Nama Lengkap : Yuditeha Email
: [email protected]
No. WA
: 08564722xxxx
ID Instagram : @yuditeha2 Alamat
: Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten Karanganyar 57731 Jawa
Tengah
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional
363
Nama Lengkap : Yungyung KrisnaWardhana Email
: [email protected]
No. WA
: 08133514xxxx
ID Instagram : @arthava.13 Alamat
: Perum Bulang Permai C-2, Kloposepuluh, Sukodono,
Sidoarjo 61258
364
Antologi Cerpen - Lomba Menulis Cerpen Nasional