Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye Flipbook PDF

Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
Author:  c

106 downloads 120 Views 1MB Size

Story Transcript

TERE LIYE Sepotong Hati yang Baru

DAFTAR ISI 1.

Hiks, Kupikir Itu Sungguhan

2.

Kisah Cinta Sie-Sie

3.

Percayakah Kau Padaku

4.

Buat Apa Disesali

5.

Itje Noerbaja & Kang Djalil

6.

Kalau Semua Wanita Jelek

7.

Mimpi – Mimpi Sampek – Engtay

8.

Sepotong Hati yang Baru

1. HIKS, KUPIKIR ITU SUNGGUHAN Awal dari semua kerumitan masalah ini adalah suatu malam, saat Puteri begitu semangatnya bercerita kalau dia baru saja bertemu dengan Rio, di salah-satu tempat makan tenda tepi jalan paling ramai dekat kampus kami.

“Kenapa lama sekali, Put?” Sari, teman satu kontrakan bertanya, kami sedang mengerjakan tugas desain interior di ruang tengah, bersama tiga teman cewek satu jurusan lainnya, sibuk melototin laptop. Putri hanya tersenyum simpul.

“Bukannya lu bilang mau makan di rumah? Nggak jadi dibungkus ikan gorengnya?”Aku ikut bertanya, menoleh, “Aduh, gue kira tadi bakalan bisa ngambil bungkusan lu, Put. Laper, nih.”

“Ngambil? Perasaan selama ini yang ada ngerampok, maksa minta.” Sari menyikutku, tertawa.

Aku nyengir. Putri masih tersenyum simpul, loncat duduk di sofa, menyalakan televisi.

“Eh, sejak kapan lu suka nonton, Put? Bukannya lu jam segini lebih suka di kamar, internetan?” Sari bertanya lagi. Sebenarnya kami sudah mulai bosan mengerjakan tugas sejak tadi sore, Sari sedang melemaskan badan, ikut naik ke atas sofa, membiarkan yang lain di karpet menyelesaikan gambar desain, bercakap-cakap dengan Puteri bisa jadi intermezzo yang baik.

“Gue lapar, nih. Sudah nggak tahan.” Aku ikut berdiri, “Ada yang mau mie rebus?” Semua teman-teman di karpet mengacungkan jari semangat. Siapa pula menolak ditawari mie rebus gratis. Aku nyengir, sedikit menyesal telah menawarkan diri, tahu semua bakal mau, mending nggak usah bilang. Menggaruk kepala yang tidak gatal, kadang berbuat baik itu memang perlu niat, bukan basa-basi doang.

“Eh, kenapa lu sekarang senyum-senyum sendiri, Put?” Sari tidak ikut mengacungkan tangan, masih sibuk menyelidiki Puteri, menatap Sari di sebelahnya, kepo, ingin tahu urusan orang lain, “Memangnya acara di tipi lucu? Cuma siaran berita doang?” Sari melihat sekilas layar televisi.

Puteri malah semakin tersenyum simpul. “Ada apa sih, Put?” Sari penasaran.

“Rahasia.” Puteri tertawa.

“Ayolah,” Sari sebal mengangkat bantal di depan Puteri, agar berhenti menonton televisi, pindah memperhatikan dia.

Puteri nyengir, menatap Sari lamat-lamat, lantas sengaja sekali berbisik, “Rio.” Pelan saja Puteri mengatakan kalimat itu, berbisik malah, sengaja agar yang mendengar hanya Sari, tapi itu cukup untuk menghentikan langkah kakiku yang persis sudah di bawah bingkai pintu menuju dapur kontrakan. Dan juga tentu saja, tiga teman satu jurusan lain yang masih sibuk dengan tugas di karpet ruang tengah. What??? Rio? Lupakan mie rebus, bergegas balik kanan.

***

Bah, kalau mendengarkan baik-baik cerita Puteri, aku pikir nggak ada yang spesial. Apanya yang spesial? Puteri pergi ke warung tenda, mau bungkus makan malam menu ikan goreng, tapi saat dia berdiri di depan abang pemilik warung yang sibuk mencatat pesanan, sambil meneriaki juru masaknya, sudut mata Puteri menangkap ada Rio yang ikut melangkah masuk. “Eh, ada Puteri. Malam, Put.” Rio tersenyum.

Aduh, semua orang di kampus juga tahu siapa Rio, gebetan satu kampus. High class jomblo. Disenyumin seperti itu bahkan membuat Puteri seperti sesak.

“Suka makan di sini juga, Put?” Puteri mengangguk-angguk seperti orang-orangan sawah.

“Makan bareng yuk, itu teman-teman satu kostanku juga mau makan.” Rio menunjuk beberapa teman kampus lain yang mengambil posisi kursi masing-masing. “Jadinya dua puluh ribu, Neng.” Abang pemilik warung yang menerima bungkusan dari bagian masak berseru.

“Nggak jadi dibawa pulang, Bang. Makan di sini saja.” Puteri berbisik. Rio sedang menoleh, mengkoordinir pesanan temannya.

“Lah? Bukannya Neng minta dibungkus tadi?” “Ssshhh….” Puteri melotot, aduh, Abang jangan pura-pura bego, tahu. Ini kesempatan emas.

Rio sudah kembali memperhatikan Puteri. “Terserah, Neng-lah. Woi, makan di sini ternyata, tolong taruh di piring.” Abang warung mana paham, tetap berteriak, menyuruh salah-satu anak buahnya.

“Eh, Put? Tadi kamu sebenarnya mau bungkus bawa pulang, ya?” Rio bertanya.

“Nggak kok. Nggak. Abangnya saja yang salah.” Puteri buru-buru menggeleng, “Aku memang mau makan di sini.”

“Si Neng tega deh. Padahal Neng sendiri yang barusan batalin dibungkus, jadi makan di sini saja.” Abang warung masuk dalam percakapan lagi, protes. Di tengah asap dan aroma ikan goreng, kesibukan orang makan, dan lalu lalang pengamen, mana paham Abang warung kalau sejak tadi Puteri sudah melotot-lotot menyuruhnya tutup mulut. Maka jadilah Puteri makan malam bareng Rio. Bareng? Enak saja, yang tepat itu adalah Puteri makan malam bareng enam teman kampus lainnya. Dan itu biasa saja. Apanya yang

spesial? Istimewa? Please deh, Rio itu memang gentle, dia ramah ke semua orang, baik hati, di samping eh, tentu saja tinggi, tampan dan pintar, plus jago main basket.

“Nana, katanya mau bikinin mie instan?” Salah-satu teman mengerjakan tugas desain interior nyeletuk, sesaat setelah cerita ‘versi sesat’ Puteri selesai. “Kami ngobrol banyak loh, Sari.” Di atas sofa, Puteri masih sibuk bercerita, yang lain masih sibuk memperhatikan.

“Oh ya?” Sari nyengir. “Itu makan malam yang menyenangkan.”

Aku yang berdiri di belakang kerumunan, menepuk jidat. Aduh, paling juga Puteri cuma melongo melihat teman-teman Rio ngobrol. Apanya yang menyenangkan? “Nana, laper, nih? Mie rebusnya buruan?”

“Sebentar, sih.” Aku masih ingin mendengarkan cerita Puteri, memastikan beberapa hal. “Ayo, Na. Kamu kan paling pintar masak.” Aku mengomel dalam hati, satu untuk cerita Puteri, satu lagi untuk request mie rebus dari teman-teman. Sudahlah, balik kanan, kembali ke dapur kontrakan.

“Rio bahkan nanya, aku punya akun facebook atau nggak?” Sari masih berceloteh, terdengar. “Oh ya?”

“Yang enak seperti biasa ya, Na.” Teman mengerjakan tugas berseru, mengacungkan jempol Aku tidak menjawab.

***

Tugas desain interior itu sudah kelar sekitar jam sembilan malam. Teman-teman sudah pamit pulang, menyisakan aku, Sari dan Puteri penghuni kontrakan. Kami bertiga teman sejak SMA, sekarang sama-sama kuliah di satu kampus meski berbeda jurusan. Aku dan Sari di jurusan desain, Puteri jurusan Manajemen, dan Rio, eh, kenapa aku harus menyebut-nyebut nama Rio lagi? Baiklah, Rio di jurusan teknik. Karena teman dekat, daripada nge-kost masing-masing, kami bertiga memutuskan ngontrak rumah tiga kamar, biar lega. Aku yang punya ide ngontrak. Agar ada ruang tamu, ruang ngumpul, dan yang pasti ada dapur. Dapur? Iya, karena aku suka masak. Saking sukanya, sudah enam bulan terakhir, aku iseng bikin bisnis kue-kue basah dan kering. Di dapur ada oven, peralatan bikin kue, lengkap. Tidak besar-besar amat, hanya menerima pesanan teman-teman dekat. Mendesain sambil diselingi bikin kue itu seru. Nah, Sari dan Puteri tentu saja tidak keberatan, malah senang, setidaknya bisa gratis ngemil kue kalau aku lagi bikin.

“Sari! Nana!” Ada yang berseru kencang, persis saat aku melemparkan badan di atas kasur, mau tidur.

“Sari! Nana!” Puteri pasti akan terus berteriak memanggil dari kamarnya kalau kami tidak ke sana. “Ada apa, sih?” Sari masuk lebih dulu, mendekat ke Puteri yang sedang duduk menghadap laptopnya.

“Statusku di-like.” Wajah Puteri terlihat memerah bahagia, andaikata bisa dilustrasikan seperti komik-komik remaja, malah ada kembang warna-warni, pelangi segala di atas kepalanya. Tuing, tuing. “Di like siapa?” Sari ingin tahu, menyeruak melihat layar laptop.

“Rio.” Aduh, aku lagi-lagi menepuk jidat. Ternyata kami dipanggil teriak-teriak hanya karena urusan facebook.

“Tadi dia request nge-add aku, lantas aku add. Aku kan tadi pasang status, ‘makan malam yang menyenangkan, thx’, terus dia like.” Puteri sumringah sekali menjelaskan—sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dijelaskan.

“Lihat, kan?” Puteri menunjuk timeline facebooknya. Aku balik kanan, menghela nafas, itu biasa saja kali. Rio jelas-jelas baru terkoneksi dengan Puteri, basa-basi nge-like statusnya Puteri. Tidak ada hubungannya dengan makan malam yang ‘menyenangkan’ barusan.

*** Maka, suasana rumah kontrakan kami segera berubah drastis seminggu terakhir. Puteri sibuk atas ‘pertemanan’ barunya di dunia maya dengan Rio. Maksudnya, sibuk memanggil-manggil kami, memberitahu jika ada yang ‘spesial’ menurutnya. Karena Puteri itu level ke-GR-annya tingkat nasional, maka itu berarti apa saja berarti spesial baginya.

Puteri pasang status, ‘Tadi ketemu orang keren di kampus’, di like Rio, wajah Puteri persis seperti orang habis menang quiz berhadiah pulau. Status milik Puteri tentang, ‘Aku suka film Batman yang baru’, dikomen Rio, ‘Aku juga suka loh, Put’. Puteri langsung berbunga-bunga, bahkan bunga sungguhan di depan rumah kontrakan kami kalah meriah. Atau status Puteri tentang: ‘Terima kasih sudah bayarin angkot tadi’, dikomen Rio, ‘Sama-sama, Put. Lain kali kamu yang bayarin.’ Puteri semangat sekali bercerita panjang lebar, sampai berbusa-busa.

Demi pertemanan sejak SMA, aku mau mendengarnya, walaupun kesal. Karena kalau dipikirpikir dengan akal sehat, sebenarnya apa yang spesial? Ketemu orang keren di kampus? Boleh jadi Rio mikir itu orang lain yang dimaksud Puteri, seharian di kampus, ada berapa ratus coba orang yang kita temui. Sama-sama suka film Batman yang baru, siapa yang tidak? Itu bukan berarti ada kesamaan spesial diantara Puteri dan Rio. Dibayarin ongkos angkot? Aduh, jelasjelas Puteri lupa bawa dompet, kebetulan satu angkota dengan Rio, masa’ Rio tega membiarkan Puteri terpaksa jadi kernet angkot selama satu jam sebagai ganti ongkos yang tidak mampu dibayarnya?

Tetapi tidak bagi Puteri yang sejak kami masuk kampus itu, sudah ngebet kelas berat dengan Rio. Pertemanan dunia maya ini terasa sungguhan benar olehnya, padahal di dunia nyata?

Apanya yang dekat? Mereka paling cuma ngobrol satu dua kalimat, tidak ada bedanya dengan yang lain.

“Nggak semua kali.” Aku memotong cerita Puteri. Puteri yang sedang semangat cerita soal status-status facebook Rio yang ditujukan untuk ehem pertanda ‘hubungan mereka’ menoleh padaku. Sari juga ikut menoleh.

“Nggap semua apanya?” Puteri bertanya.

“Ya nggak semua status Rio itu tentang kalian. Kemarin saja Rio update status proyek jembatan tugas mata kuliah sipilnya, mana ada hubungannya dengan kalian? Kecuali Puteri jadi inspirasi jembatannya,” Aku mengangkat bahu.

“Kok kamu tahu status yang itu, Na?” Puteri bertanya lagi. “Tahu saja.” Aku masih malas menanggapi.

“Bukannya kamu belum tersambung pertemanan dengan Rio?” Puteri menyelidik. “Memang nggak.” “Nah, kok kamu tahu? Wah, ternyata ya, Nana yang alim, yang bilang nggak suka dekat-dekat sama cowok, memeriksa timeline Rio? Ayo ngaku?” Puteri melotot.

Sari yang duduk di tengah tertawa, melihat muka Puteri dan melihat muka merahku. “Siapa yang memeriksa timeline Rio? Aku cuma memastikan kalau cerita Puteri itu benar atau nggak, hanya itu kok.” Aku membantah. “Ayo ngaku saja, Na.” Puteri nyengir, tidak percaya, “Kamu naksir Rio juga kan? Pantas saja setiap kali aku bercerita wajahnya berubah, tidak terima. Ih, Nana cemburu, ya? Sayangnya, kamu tuh bukan type Rio, Na.”

Aduh, aku menggaruk kepala yang tidak gatal, siapa yang naksir? Aku cuma memastikan, biar Puteri tidak terlalu GR atas komen dan like Rio di facebooknya, hanya itu. Siapa pula yang cemburu? Anak ini semakin error GR-nya.

Sari semakin terpingkal, menonton kami yang bertengkar. Lima belas menit, Sari menyuruh kami berhenti. Sudah malam, Puteri sengaja masih saja menyelidik, aku terus membantah. Kami masuk kamar masing-masing tanpa kesimpulan, sebal malah.

Enak saja Puteri bilang aku bukan type-nya Rio. Kalau saja aku tidak memiliki prinsip tidak mau dekat-dekat dengan teman cowok kecuali memang mau serius, sudah sejak dulu mudah saja membuat Rio naksir padaku. Kalau saja aku tidak memiliki prinsip lebih baik menyibukkan diri, terus belajar, kecuali memang sudah serius, justeru Puteri itulah yang tidak masuk sainganku. Aku menggerutu sebal menatap langit-langit kamar.

***

Seminggu berlalu, tetap begitu-begitu saja kelakuan Puteri. “Sariiii, siniii. Ada yang baru!!” Puteri persis seperti pembawa acara berita televisi yang sedang live liputan aksi, berseru antusias.

Aku dan Sari yang sedang duduk, belajar di ruang tengah bersama Puteri yang asyik main internetan di sofa, menoleh. “Ada apa?” Sari bertanya.

“Rio, Sar, Rio!” Sari mendesis riang. “Ada apa dengan Rio?”

“Rio bilang selamat ulang tahun.”

“Lantas?” Aku yang bertanya, sedikit tidak sopan.

“Ya tidak ada lantas-lantasnya. Aduh, padahal aku kan ulang tahunnya baru besok loh. Ini juga belum jam dua belas malam, loh,” Puteri cengengesan riang, “Rio orang pertama yang bilang. Dia pasti sengaja .” “Biasa saja kali.” Aku kembali ke buku tebal tentang desain, “Paling juga karena setting waktu facebook Rio pakai negara Amerika Serikat, jadi waktunya lebih cepat dibanding kita, notifikasi ada teman yang ulang tahun muncul lebih cepat, dia tidak sengaja kecepatan bilang, bukan sengaja ingin jadi orang yang pertama bilang.”

“Dasar pencemburu.” Puteri melempar gulungan tissue ke arahku, tidak terima atas analisisku—yang sebenarnya amat masuk akal itu.

Sari tertawa, segera ber-hsss sudah-sudah jangan bertengkar. “Benar, kan? Itu memang tidak spesial, kan?” Aku menatap protes kepada Sari, bagaimana mungkin Sari selalu membesarkan hati Puteri? Jelas-jelas itu hanya facebook? Di dunia nyata, aku yakin bahkan Rio tidak akan bilang kalimat itu langsung di kampus.

“Kamu naksir Rio kan, Na? Ayolah, ngaku saja.” Puteri nyengir, balas berseru tidak sopan. “Bukan itu poinnya.” Aku mengelak.

“Ayo ngaku saja, Na” Puteri memonyongkan bibirnya, “Kasihan Nana, gebetannya ternyata naksir aku.”

“Siapa yang naksir kamu, Put? Rio? Aduh, jangan GR deh.” Aku balas memonyongkan bibir.

“Itu buktinya! Komen wall di facebook. ‘Selamat ulang tahun, Put. Semoga Puteri selalu cantik dan baik hati seperti seorang Puteri’” Puteri mana mau kalah. Sari lupa kalau dia harusnya melerai, sekarang malah tertawa lebar melihat kami saling berseru.

Aku berdiri kesal, membawa buku tebal tentang desain. Baiklah, malam ini mending aku menyelesaikan pesanan kue dari teman-teman. Masak di dapur. Daripada belajar di ruang tengah mendengarkan celoteh Puteri yang semakin galau se-semesta. Coba bayangkan, sejak

kapan Puteri suka basket dan sepakbola? Gara-gara Rio pasang status soal itu, dia buru-buru ikut pasang status suka klub bola favorit Rio. Sejak kapan Puteri suka band rock? Gara-gara Rio pasang foto anggota band cadas itu, Puteri bergegas mendeklarasikan dia paling suka dengan band itu. Menunggu-nunggu Rio like atau komen statusnya, lantas semangat bercerita. Apanya yang spesial? Bahkan kalau Rio nulis status dia suka ngupil atau kentut sembarangan, maka Puteri akan menjadi orang pertama yang ikut-ikutan nulis status ngaku suka ngupil dan kentut sembarangan juga, lantas semalaman menunggu kapan Rio akan mengunjungi profilenya.

Aku justeru sedang berbuat baik pada Puteri, mencoba menasehati, mengingatkan, sudah berapa kali coba dia galau semalaman gara-gara nungguin like atau komen Rio? Ucapan selamat ulang tahun itu biasa, Rio selalu bilang kalimat itu di wall teman-temannya yang tersambung, dan selalu rajin yang pertama. Aku sering periksa kok, aku tahu sekali.

“Idih, Nana marah.” Puteri berseru di atas sofa, “Kalau marah, berarti benar, dong, Nana juga naksir Rio?” Sari nyengir menatap punggungku hilang di balik pintu dapur. Tidak berkomentar, masih dengan sisa tawanya melihat aku dan Puteri bertengkar barusan.

Puh, aku tidak akan menghabiskan waktu mendengar lantas bertengkar soal ‘pertemanan’ akrab mereka di facebook. Apa tadi Puteri bilang? Kasihan Nana, gebetannya naksir aku. Omong kosong. Baik, aku akui saja, aku juga suka dengan Rio, siapa sih yang tidak suka? Dia ideal dalam banyak hal. Aku juga suka memeriksa timeline-nya, meski tidak berani nge-add. Karena aku tidak akan menanggapi cowok manapun kalau hanya untuk teman dekat, kecuali teman hidup, serius. Baiklah, bikin kue selalu berhasil mengusir sebalku selama ini.

***

Rumah kontrakanku yang selama ini selalu damai dan tenteram jadi berantakan gara-gara dunia maya Puteri. Aku sebenarnya memutuskan berhenti menanggapi apapun update Puteri tentang dunia itu—meski Sari tidak, Sari malah seperti mendapat bahan hiburan baru, menggoda Puteri. Sialnya, yang namanya tinggal satu atap, kami tetap bertemu satu sama lain, berpapasan menuju kamar mandi, duduk di depan televisi, dan sebagainya. Kami tidak bertengkar serius sih, namanya juga sahabat baik, tapi ‘perang dingin’ ini menjengkelkan. Apalagi kalau Puteri sambil berpapasan, sengaja ber-cie-cie, meledek, bilang masih cemburu nih

ye, atau ehem, katanya alim, nggak mau pacaran, kenapa sekarang malah naksir cowok? Aku rasa-rasanya mau menjitak jidat lebar dan lucu milik Puteri.

Beruntung, belakangan Sari lebih banyak lurus menengahi bukan tertawa melihat muka masam kami satu sama lain. Seperti malam ini, Sari mengajak aku dan Puteri makan bareng. Sari yang akan mentraktir, dompetnya lagi tebal, barusan dapat kiriman dari Nyokap.

“Janji ya, tidak ada pembahasan tentang Rio, facebook dan sebagainya.” Sari mendaftar peraturan. Aku dan Puteri, demi makan malam gratis di salah satu kedai fast food dekat kampus mengangguk kompak.

“Bahkan tidak boleh saling sindir, menyindir.” Sari melotot, memastikan. “Siap, bos.” Aku dan Puteri menjawab kompak.

Sayangnya, jika aku dan Puteri sepakat untuk tidak membahas soal itu, yang bersangkutan, Rio, justeru kebetulan sedang makan bersama teman-temannya di sana. Aduh, aku mengeluh dalam hati, bakal runyamlah makan malam bersama kami. Pihat, baru juga melihat sekilas, Puteri sudah mesem-mesem terlihat riang, menyikut Sari, maksudnya, kita bergabung ke meja mereka saja. Aku mendengus, nggak usah, jangan genit. Puteri melotot, cuek bebek.

“Hei, kalian mau makan di sini juga, ya?” Rio yang melihat kami saling sikut masuk kedai fast food, justeru melambaikan tangan, berdiri, lantas menyapa, “Gabung, yuk.” Rio seperti biasa selalu keren dan ramah, memberikan tawaran. Mata Puteri langsung menyala seratus watt. Aku menghembuskan nafas, puh, dasar centil. Tapi setidaknya, saat aku mencemaskan harus menyaksikan Puteri yang terus pecicilan, ternyata ketidaksengajaan ini memiliki manfaat tersendiri. Apa yang aku bilang selama ini benar, kan? Lihat tuh, di dunia maya saja Puteri merasa dia dan Rio dekat satu sama lain, lantas berseru-seru antusias di kontrakan kami. Di dunia nyata? Kebalikannya, 180 derajat. Tidak sekalipun mereka saling bicara meski satu meja. Rio lebih banyak ngobrol bareng temannya,

sekali-dua mengajak Sari bicara—kebetulan mereka sama-sama pengurus organisasi kemahasiswaan. Puteri? Hanya kebanyakan senyum manis, sampai kering tuh gigi.

Dan puncaknya, taraaa, persis makanan pesanan kami tandas masuk ke dalam perut, Rio tibatiba justeru mengajakku bicara, “Eh, Nana kan, ya?” Aku yang barusaja duduk, habis mencuci tangan dari wastafel, mengangguk. Ada apa?

“Eh, maaf, walaupun sering ketemu kita jarang bicara, ya.” Rio nyengir.

Aku mengangkat bahu. Tidak masalah. “Nana punya akun facebook nggak sih?”

Aku mengangguk. “Bagi dong namanya. Nanti aku add.”

Senyum manis lima senti Puteri yang duduk di sebeahku langsung padam. *** Sari terpingkal melihat wajah masam milik Puteri sepanjang perjalanan pulang naik angkot.

Terus terang saja, aku senang sekali diajak bicara oleh Rio barusan. Bahkan hatiku seperti hendak meletus saat Rio bertanya akun facebook. Sesaat, aku paham kenapa dulu Puteri senang dan bertingkah aneh banget berteman dengan Rio di facebook.

“Tuh, sudah di add, Sar.” Aku nyeletuk, memperlihatkan layar telepon genggam, kami bertiga duduk berderet, “Kira-kira aku approve nggak sih?” Pura-pura bertanya bloon. Di sebelah Sari, Puteri melotot, tapi tidak bicara.

Sari tertawa, mengangguk, “Di approve dong, Na.”

“Tuh, ada komen Rio, Sar.” Tiga puluh detik berlalu, aku lagi-lagi memperlihatkan layar telepon genggam, sepertinya Rio yang pulang ke kostan, sedang online juga di perjalanan.

“Dia komen apa?” “’Wah, ternyata bisnis kue-kue Nana sudah besar, ya. Padahal aku baru tahu tadi siang.’” Aku sengaja membaca komen Rio seperti sedang berdeklamasi puisi. Facebook-ku memang tidak seperti profile kebanyakan, aku tidak memakai nama asli, foto asli, facebook-ku hanya tempat jualan kue.

Sari tertawa. Puteri semakin melotot, tetap tidak bicara. “Kayaknya ada yang profile facebooknya nggak sempat dilihat sama gebetannya lagi, nih. Sejak tadi gebetannya komen mulu di profileku sih.” Aku nyengir. Sari berusaha menahan tawa. Kasihan melihat tampang Puteri yang seperti hendak menangis. Aku santai-santai saja, makanya, siapa suruh dia GR? Terbukti, kan? Saat kebenaran itu datang, maka bagai embun yang terkena cahaya matahari, debu disiram air, musnah sudah semua harapan-harapan palsu itu. Menyisakan kesedihan. Salah siapa? Mau menyalahkanku? Salah Rio? “Ya ampun, dia barusaja pasang status baru, Sar.” Kali ini aku benar-benar tidak berniat membuat hiperbolik seruanku. Kali ini aku benar-benar deg-degan, berseru sedikit di luar kendali.

“Memangnya status apa?” Kepala Sari mendekat, berusaha melihat layar telepon genggam. “‘Wanita yang bisa membuat kue adalah wanita yang cantik dan baik hatinya. Karena kue yang enak, selalu dihasilkan dari proses ketelatenan, kesabaran dan penuh perasaan. Itu kata Mama.’” Bahkan Puteri yang sejak tadi berusaha menahan jengkel, karena digoda terus sepanjang jalan ikut terdiam, menelan ludah. Astaga? Itu status yang menarik sekali, bukan? Aku dan Rio baru saja saling komen soal makan malam barusan, dan bisnis kue-kue-ku yang baru dia tahu tadi siang dan sekarang lewat facebook, tiba-tiba Rio menulis status seperti itu. Wajahku memerah entah oleh perasaan apa. Rio? ***

Seminggu berlalu lagi. Rasa-rasanya aku mulai kasihan dengan Puteri. Dia jadi lebih pendiam sekarang. Dia tidak sesebal atau hendak menangis waktu di angkot, tapi dia tetap menghindar bicara apapun soal facebook. Itulah kenapa aku dulu menasehatinya agar tidak GR. Rio itu memang ramah ke semua orang. Dia memang rajin me-like, komen di profile orang lain, tanpa maksud apapun. Lepas dari kejadian di kedai fast food, sebenarnya Rio tetap rajin me-like dan komen di profile Puteri, tidak berubah, hanya karena Puteri saja yang sekarang punya sudut pandang baru jadi tidak antusias lagi. Malah semakin jarang update sesuatu.

Nah, kalau kalau like dan komen Rio di profileku? Eh, aku berusaha untuk tidak GR, kok. Meskipun ya, aku senang. Siapa sih tidak senang diperhatikan Rio? Tapi aku tidak GR, itu sungguhan memang demikian. Bukan cuma sekali Rio update status soal masak, memuji-mujiku yang pintar masak, peduli sekali dengan hal-hal kecil di timeline facebookku, sampai setiap postingan jenis kue baru, dia ikut berkomentar detail, bergurau, melucu. Termasuk malam ini, ketika Rio menulis di wallku, “Nana, kalau besok aku mau membicarakan hal penting, kamu punya waktu nggak?”

Aku gemetar menulis komen, “Iya, bisa, besok nggak ada jadwal kuliah. Memangnya mau ngomongin apaan?” Ditunggu satu jam tetap belum direply Rio. Aku sudah galau se-semesta galaksi. Harap-harap cemas menunggu balasan Rio—jadi paham bagaimana dulu Puteri yang semalaman susah tidur hanya demi reply wall nggak jelas. Sedangkan wall dari Rio untukku ini jelas-jelas amat jelas, bagaimana aku nggak galau. “Maaf baru reply, tadi main basket bareng teman. Ada deh, rahasia, biar surprise. Nanti Mama sama Papa juga ikut, kok.” Ya ampun? Rio? Aku semaput di dalam kamar.

Ini sungguhan? Serius? Meski memiliki prinsip tidak mau memiliki teman cowok dekat kecuali memang serius, aku belum siap bertemu orang tua Rio. Aduh, aku masih dua tahun lagi kuliah—

meskipun Rio sudah tinggal ujian sidang skripsi. Aku berkali-kali bingung menulis reply komen Rio, dihapus lagi. Ditulis lagi, dihapus lagi. Bahkan aku nyaris menelepon orang tuaku di kota lain. Hendak berkonsultasi.

Rio serius? ***

“Selamat ya, Na.” Puteri berkata pelan.

Besok pagi-pagi, kami berdua berpapasan di depan kamar mandi. Puteri hendak mandi, aku sudah selesai.

“Selamat apanya, Put?” “Facebook.” Puteri berkata lirih, menunduk.

Aku mengangguk, paham. Tentu saja Puteri melihat wall-ku, dia seminggu terakhir pasti terus memonitor wall-ku dan wall Rio. Hal yang dulu kulakukan saat Puteri merasa Rio naksir dengannya. “Aku ikut senang, kok.” Puteri menatapku lamat-lamat, “Nana jauh lebih baik buat Rio dibanding aku.”

Aku tersenyum. Puteri adalah teman sejak SMA, aku dekat dengannya lebih dari enam tahun, jadi aku hafal tatapan matanya, dia sungguh-sungguh mengatakan itu. Aku memeluk Puteri, berbisik, terimakasih ya, Put. Kami berdamai. Puteri sudah bisa menerima kalau selama ini dia hanya GR doang.

Sudah pukul delapan, aku harus bergegas. Rio bilang dia menunggu di mulut gang jam delapan lewat tiga puluh. Kami akan langsung menuju rumahnya, menumpang taksi. Ini benar-benar gila sebenarnya, aku bahkan sejak semalam pusing memikirkan harus mengenakan pakaian apa. Cemas dengan percakapan yang akan terjadi. Rio akan memperkenalkanku dengan orang tuanya. Ya Tuhan, aku ngos-ngosan bahkan sekadar membayangkannya.

Rio sudah menunggu saat aku tiba di mulut gang, dia tersenyum, aku menelan ludah, melihat penampilannya, alangkah rapinya. Sejak kapan Rio memakai kemeja dan ikat pinggang? Kami naik taksi, yang langsung membelah jalanan.

“Aku grogi, Rio.” Aku berkata pelan. Rio tertawa, “Santai saja, Na. Orang tuaku nggak akan menggigit. Mereka menyenangkan malah.”

Aku tersenyum simpul, tetap gugup, meremas jari.

“Aku nggak malu-maluin, kan?” “Kamu cantik, Na. Apanya yang malu-maluin.”

Wajahku bersemu merah. “Rileks saja ya, Na.” Rio menatapku, mengangguk.

Aku ikut mengangguk patah-patah. *** Rumah orang tua Rio tidak jauh dari kampus, di sisi lain kota kami. Rio nge-kost hanya agar bisa fleksibel ke kampus. Rumah itu luas, halamannya luas, beberapa mobil box terparkir rapi, beberapa karyawan dengan celemek rapi, terlihat membawa nampan-nampan kue terbungkus plastik. Juga kotak-kotak kue. Aroma kue lezat mengambang di udara. Rio mengajakku melintasi halaman, menuju pintu depan.

Aku tiba-tiba merasa ada yang keliru sekali. Hiks, apa yang pernah kubilang pada Puteri? Makanya, siapa suruh GR? Saat kebenaran itu datang, maka bagai embun yang terkena cahaya matahari, debu disiram air, musnah sudah semua harapan-harapan palsu itu. Menyisakan kesedihan. Salah siapa? Mau menyalahkan orang lain?

Hiks, ternyata kita senasib, Put.

Urusan GR ini memang kadang gila, Put. Kita benar-benar tidak bisa lagi berpikir waras dan rasional, tertutupi oleh ilusi dan mimpi. Menterjemahkan semua kejadian berdasarkan yang mau kita dengar atau lihat saja. Padahal nyatanya? Tidak sama sekali. Aku sedikit gemetar bersalaman dengan Mama dan Papa Rio, mereka sudah menunggu di ruang tamu. Amat ramah dan menyenangkan. Meski mulai merasa ada yang keliru, tetap saja separuh hatiku mencoba bertahan berharap hal itu yang akan dibicarakan. Dan saat apa sebenarnya yang hendak dibicarakan oleh mereka tersampaikan, aku hanya tepekur menatap keramik di bawah kakiku. Menelan ludah, lantas menarik nafas panjang sekali. Hiks, kita senabis, Put. Benar-benar bagai debu disiram air, musnah habis semua imajinasi versiku.

Orang tua Rio adalah pemilik jaringan kue terkenal di kota kami. Mama Rio jago sekali bikin kue, dan pembicaraan ini adalah tawaran padaku untuk ikut mengembangkan bisnisku lebih serius.

Aku menyeka pelipis yang tidak berkeringat. Menghela nafas panjang. Akulah yang berprasangka aneh-aneh, menduga aneh-aneh. Rio lurus saja selama ini. Dia memuji gadis yang pintar masak kue itu cantik dan baik hati, karena Ibunya memang bilang demikian. Dia tertarik sekali semua detail isi timeline facebookku, karena dia memang tahu persis, bukan karena dia cowok sok-tahu atau baru mencari tahu untuk menarik perhatianku.

Aku perlahan menyandarkan badan ke sofa.

“Nana mengingatkanku waktu masih muda dulu, loh.” Mama Rio menatapku, tersenyum, “Mandiri, pintar, dan tentu saja pintar bikin kue. Ssttt, Papa-nya Rio naksir aku gara-gara kue loh.” Papa Rio di sebelah tertawa. Rio ikut tertawa.

Aku hanya tersenyum tanggung. Tidak kali ini, jauh-jauhlah sana GR. ***

2. Kisah Cinta Sie Sie “Adalah Han, kuli kasar di pabrik tahu. Istrinya ibu rumah tangga yang repot mengurus anak-anak sekaligus repot bekerja sebagai babu separuh hari di rumah orang kaya. Keluarga Han tinggal di pinggiran Singkawang, daerah kumuh, tidak sedap dilihat, tidak enak dicium. Jauh lebih baik gang sempit tepian Kapuas milik kita.

“Dari tujuh anak mereka, adalah Sie Sie anak tertua, gadis remaja usia enam belas. Mekar menjadi kembang daerah kumuh itu, rambutnya panjang, tinggi semampai, berkulit putih, berlesung pipit dan amboi manis sekali senyumnya. Kalau kau bertemu dengan Sie di oplet, tidak akan menyangka dia amoy dari keluarga miskin, atau gadis remaja yang setiap hari harus bekerja keras, mengurus enam adik sejak shubuh buta sampai larut malam saat adiknya yang masih bayi jatuh tertidur.

“Kalau saja Sie ditakdirkan lahir di keluarga berada, lemari di rumah mereka pasti penuh dengan piala-piala, gadis itu pintar, rajin dan tidak suka mengeluh. Sejak kecil sudah terbiasa membantu orang-tuanya. Lihatlah, dia bisa ditemukan di rumah sedang menggendong adiknya yang paling kecil, sekaligus menyuapi dua adiknya yang lain, meneriaki adiknya yang cukup besar agar berhenti bertengkar, sambil menjahit pakaian dengan singer tua berkarat. Sayangnya Sie tidak sekolah, tidak berpendidikan. Satusatunya keahlian dia adalah membuat baju pesanan yang dipelajarinya sendiri, itupun untuk membantu beban orang-tuanya.

“Keluarga mereka mampu bertahan hidup dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun hingga cobaan besar itu datang, ketika Ibu Sie Sie jatuh sakit. Apalagi yang diharapkan dari pemukiman kumuh, air bersih terbatas, ventilasi rumah buruk, lantai lembab? Semua mengundang banyak penyakit, Ibu Sie kena paru-paru basah, penumonia. Kondisinya memburuk, parah karena tidak segera mendapat pengobatan yang baik.

“Sejak Ibu mereka sakit, separuh penghasilan keluarga hilang, sialnya harus ditambah dengan pengeluaran baru, uang untuk membeli berbagai obat yang tidak kunjung

menyembuhkan. Semua beban itu jatuh pada Sie Sie, selain mengurus enam adikadiknya, dia juga harus merawat Ibunya, ditambah pula harus bekerja hingga larut malam menyelesaikan pesanan baju yang bayarannya tidak seberapa. Tidak terbayangkan, gadis usia enam belas memikul beban fisik dan pikiran sebanyak itu. Dan situasi semakin rumit saat Bapak mereka dipecat dari pabrik tahu, ketahuan mencuri brankas uang—tidak tahan dengan kesulitan yang ada, Bapak mereka mengambil jalan pintas.”

Pak Tua berhenti sejenak, meneguk teh aroma melati di atas meja.

Andi menatap gelas teh tidak sabaran.

“Di tengah situasi kacau-balau, Han mereka masuk bui, sakit istrinya tambah parah, harus segera dibawa ke rumah sakit, Sie Sie mendengar kabar ada pemuda Taiwan yang datang ke Singkawang mencari istri. Sie tentu sering mendengar percakapan, bisik-bisik tetangga tentang ‘nikah foto’. Dua orang teman dekatnya, setahun silam juga dipaksa orang-tua mereka menikah dengan lelaki dari Hongkong. Sie Sie sendiri yang menyaksikan dua temannya itu menangis hingga kering air-mata, Sie Sie sendiri yang memeluk, menghibur, melakukan apa saja untuk dua temannya yang tidak punya kekuatan menolak. Sie benci dengan pernikahan itu, sebenci dia dengan kemiskinan dan kebodohan yang menjerat mereka.

“Sayangnya, kebencian yang besar terkadang tidak cukup untuk melawan sesuatu. Malam itu, Ibu Sie jatuh pingsan, tubuh membiru, dengus nafas mulai habis. Bapak mereka yang masih di penjara tidak membantu. Sie Sie sendirian, dengan menumpang oplet, susah payah membawa Ibunya ke rumah sakit, pihak rumah sakit menolak Ibunya tanpa jaminan pembayaran. Sie terjepit. Di tengah situasi darurat itu, di tengah kalut pikiran, tidak ada tetangga, kerabat atau sahabat yang membantu, Sie Sie memutuskan mengambil pilihan yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya, pilihan yang amat dia benci, dia bersedia menjadi istri belian.

“Berangkatlah Sie Sie ke hotel itu, tempat pemuda dari Taiwan mencari istri. Sudah ada lima amoy pendaftar di lorong hotel, berbisik-bisik. Pemuda Taiwan itu ditemani salah-

satu karyawan hotel melakukan seleksi—sepertinya karyawan hotel itu sudah terbiasa dengan proses mencari amoy. Ke sanalah Sie Sie pergi, mendaftar menjadi calon istri belian.”

Pak Tua berhenti sejenak, memainkan sumpit, menghela nafas.

Aku dan Andi ikut menghela nafas. Sementara malam semakin larut, restoran tempat kami menghabiskan choi pan tinggal berisi satu-dua pengunjung. Pelayan restoran terlihat asyik mengobrol dengan bahasa China.

“Nama pemuda Taiwan itu adalah Wong Lan, anak semata wayang dari keluarga kaya. Keluarga mereka punya pabrik tekstil, hidup makmur, berkecukupan. Sejak usia Wong Lan menginjak kepala tiga, Bapak Ibunya sudah sibuk mengingatkan agar dia segera menikah, mencari gadis pilihan, membina keluarga sendiri. Sayangnya, sejak usia tiga belas, kelakuan Wong Lan jauh bumi jauh langit dari harapan orang tuanya. Dia malas sekolah, lebih suka keluyuran, merokok, minuman keras, berjudi, berteman dengan orang-orang salah. Tabiatnya buruk, suka berteriak, dan kadang memukul pembantu di rumah. Bapak Ibunya berharap, kalau Wong Lan akhirnya menikah, maka perangainya akan sedikit berubah. Maka tidak terhitung anak gadis kenalan, kolega bisnis, tetangga yang diajak ke rumah, berkenalan dengan Wong Lan, sia-sia, anak semata wayang mereka lebih suka hidup bebas.

“Saat usia Wong Lan tiga puluh lima, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang di atas Laut China Selatan. Dari jasad yang tidak pernah ditemukan, orang tua Wong Lan mewariskan pabrik tekstil dan semua harta benda pada anak semata wayang mereka. Dan karena besar sekali harapan serta keyakinan Ibunya bahwa Wong Lan akan berubah setelah punya istri dan anak, maka surat warisan yang dipegang pengacara keluarga mensyaratkan dia harus telah menikah untuk memperoleh semua harta-benda. Isi wasiat itulah yang membuat kapiran semua masalah, Wong Lan cerdas, tidak hilang akal, dia tahu tentang amoy Singkawang, maka berangkatlah dia mencari istri yang bisa dibeli, yang tidak banyak tingkah.

“Wong Lan tidak jelek, apalagi buncit. Dia tampan, kacik sedikit dibanding ketampanan kau, Andi.” Pak Tua bergurau, tertawa, “Tetapi perangainya buruk. Apalagi dari awal, niat pernikahan itu sudah tak lurus. Dia mencari istri sekadar memenuhi syarat agar harta warisan jatuh padanya. Pemuda itulah yang ditemui Sie Sie di kamar hotel. Karyawan penginapan yang menemani wawancara berbisik kalau yang satu ini sepertinya memang masih gadis, bukan amoy tipuan seperti yang sebelumnya. Berbisik ini, berbisik itu.

“Dalam pertemuan lima belas menit itu, Sie hanya sekali menatap wajah Wong Lan, dan sekujur tubuhnya berontak, dia hampir muntah menahan rasa benci atas apa yang telah dilakukannya. Hanya karena bayangan wajah Ibunya yang sekarat, membuat Sie bertahan. Sie mendengar syarat-syarat yang disampaikan oleh pemuda Taiwan itu, yang sepertinya berkenan melihat Sie.

“Wawancara itu ditutup dengan angka nominal harga pernikahan itu. Sie hanya menunduk, mencegah orang melihat dia menangis, mencengkeram pahanya agar tidak gemetar, dia mengangguk, sepakat. Sekian ratus ribu di bayar saat pernikahan dilangsungkan, sekian puluh ribu akan dibayar setiap bulan untuk keluarga Sie selama setahun ke depan. ‘Kalau semua sudah beres, apakah pembayaran bisa dilakukan sekarang?’ Sie dengan suara bergetar bertanya. Karyawan hotel yang membantu Wong Lan tertawa, bilang, mana ada pembayaran sebelum menikah. Sie menahan tangis bilang dia butuh uang segera, berharap kalau memang memungkinkan, pernikahan dilangsungkan hari itu juga. Astaga, Sie yang dulu benci sekali dua temannya dipaksa menikah, hari itu, siang itu, justeru yang meminta pernikahan dilaksanakan segera.

“Kalian tahu, Borno, Andi,” Pak Tua menghela nafas panjang, ikut tertunduk dalamdalam, menekuri meja makan restoran, “Dalam hidup ini, kita masih beruntung, karena kita selalu punya banyak pilihan. Apapun masalah kita, tetap saja banyak pilihan solusi yang tersedia. Sie Sie tidak punya. Dia sungguh tidak punya pilihan. Bapaknya di penjara, Ibunya sekarat, adik-adiknya butuh makan, pernikahan ini akan memberikan jalan keluar. Jaman itu, uang ratusan ribu terbilang besar, dan pembayaran bulanan yang dijanjikan pemuda Taiwan nilainya tiga kali lipat dari penghasilan keluarga mereka selama ini.

“Pikirannya buntu, bagi Sie, itu lebih terhormat dibanding mengemis, meminta-minta atau menjual diri seperti gadis-gadis lain. Lagi-pula, tidak ada hukum yang melarang membeli istri, bukan? Itu sah, anggap saja pembayaran mahar. Sie berlari sepanjang halaman hotel dengan air-mata berlinang. Dia ingin berteriak, tapi kerongkongannya kelu, dia ingin marah, pada siapa? Pada Tuhan? Keputusan itu dia ambil sendiri, tidak ada yang bisa disalahkan. Semua pilihannya sendiri, apapun resiko dan harganya.

“Surat wasiat Ibu Wong Lan mensyaratkan pernikahan resmi, maka surat-menyurat harus diurus, itu kabar baik bagi Sie, karena banyak amoy lain yang tidak jelas status hukumnya. Wong Lan ingin segera membawa istri pulang ke Taiwan, Sie Sie ingin segera punya uang, tujuan yang cocok, karyawan hotel segera berangkat mengurus dokumen. Menjelang malam karyawan hotel itu datang ke rumah sakit, mengabarkan semua beres, semua siap. Pernikahan bisa dilaksanakan kapan saja, tinggal membubuhkan tanda-tangan. “Dan tibalah waktunya Sie bilang kepada Ibunya tentang keputusan gila yang telah dia buat. Kalian bayangkan, ruangan gawat darurat, pukul sepuluh malam, hanya ada Sie dan Ibunya yang terbaring lemah di ranjang. Suster jaga menunggu di sudut ruangan, dokter sudah pulang. Sie gemetar, mengabarkan pada Ibunya, perihal dia akan menjadi isteri belian, dibawa orang asing pergi ke negeri seberang lautan.

‘Sie janji, Ma. Sie janji semua akan baik-baik saja.’ Remaja enam belas tahun itu memeluk ibunya, menahan menangis. ‘Kau tidak boleh melakukannya, Nak.’ ‘Sie janji, Ma.’ Gadis itu berbisik terisak. ‘Kau sungguh tidak boleh melakukannya, Nak.’ Ibunya terbatuk pelan, ikut menangis. ‘Keputusan Sie sudah bulat, Ma. Semua sudah diatur, semua sudah selesai, Sie sudah jadi istri orang.’ Sie Sie menyeka bibir Ibunya, ‘Biarlah, Ma. Tidak mengapa. Dengan begini… dengan begini Ma bisa sembuh, kita punya uang untuk makan, adik-adik bahkan bisa sekolah.’ ‘Tidak boleh, Nak. Tidak boleh. Ya Tuhan, semua ini salah kami. Kenapa Sie yang harus menanggung semua beban?’ Ibunya tersengal.

Sie Sie memeluk erat Ibunya, ‘Sie janji, Ma. Pernikahan ini akan bahagia. Sie akan mencintai dia apa adanya. Sie janji Ma, dia juga akan mencintai Sie apa-adanya.’

Aku dan Andi tercenung, bersitatap satu sama lain.

Tentu saja Pak Tua tidak meng-adegankan kejadian itu dalam ceritanya, tidak bilang seperti apa dialognya, tapi kami bisa membayangkan betapa menyakitkan kejadian itu. Mengingatkanku pada keputusan almarhum Bapak mendonorkan jantungnya dulu, ketika aku mengamuk di lorong rumah-sakit. Itu sama menyakitkan, bedanya aku menolak pengorbanan Bapak, Sie Sie justeru memilih mengorbankan dirinya. “Andi, Borno, itulah janji suci yang diucapkan seorang amoy yang masih berusia enam belas tahun. Dia berjanji, akan mencintai apa-adanya suaminya yang datang dari antah berantah. Dan dia juga berjanji, akan membuat suaminya mencintainya apa-adanya. Sie Sie berjanji akan memaksa perasaan itu tumbuh mekar di pernikahan mereka.” Pak Tua menengadahkan kepala, menatap langit-langit restoran, “Ah, cinta, selalu saja misterius. Bisa apa seorang gadis tanggung enam belas tahun di negeri orang? Menikah dengan seseorang yang bertabiat buruk dan sejak awal sudah benci pernikahan itu. Bisa apa dia?”

***

Dan waktu berjalan cepat.

“Wong Lan membawa Sie Sie ke Taiwan esok paginya, lebih cepat lebih baik. Kepergian yang menyedihkan, karena tidak seperti pengantin baru yang dilepas dengan perasaan suka-cita, doa-doa dan pengharapan, tidak ada satu pun kerabat yang mengantar Sie ke terminal bus menuju Pontianak, kemudian menumpang pesawat ke Jakarta, transit di Singapura lantas Taiwan.

Sie Sie bahkan tidak sempat pamit pada Bapaknya, menyedihkan.

“Dia sudah berdiri di depan pintu ruang bezuk, kakinya gemetar, matanya basah, dan saat sipir penjara berteriak memanggil, “Siapa yang bernama Sie Sie? Bapak Han sudah

menunggu di dalam.” Sie justeru sedang membujuk mati-matian agar dirinya berdiri tegar, “Siapa yang bernama Sie Sie? Waktu bezuk hanya setengah jam?” Petugas berteriak, kepalanya melongok. Sie menggigit bibir sampai terasa asin, dia ingin bertemu Bapaknya sebelum pergi jauh, ingin mengabarkan keputusan itu, meminta doa restu. “Woi, mana yang namanya Sie Sie? Aku tidak akan menunggu seharian di sini, ada banyak urusan lebih penting.” Petugas mendengus marah. Sie sudah menangis, dia berlarian sepanjang lorong, kakinya berkhianat, menyuruh menyingkir sejauh mungkin. “Kalian tahu, dari ketinggian langit, tidak macam penumpang yang pertama kali naik pesawat terbang, antusias melihat cakrawala luas, awan-awan putih, Sie hanya menatap kosong batas pulau Kalimantan. Entah di mana Singkawang, di mana Pontianak, di mana kotanya, yang terlihat hanya kontras warna biru gelap dan biru muda yang semakin memudar. Dia sudah ribuan kilometer meninggalkan tanah kelahiran. Sie Sie menyeka ujung mata, dia berjanji, ini untuk terakhir kalinya dia menangis, tidak, dia tidak akan lagi menangis apapun yang terjadi. Dia berjanji sungguh-sungguh, menyeka ingus. Sementara suaminya, Wong Lan, sejak pesawat lepas landas mendengkur tidak peduli di kursi sebelah.”

Pak Tua diam sebentar, menghela nafas.

Aku dan Andi ikut menghela nafas.

“Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, juga tidak banyak bicara saat tiba di rumah keluarga Wong. Tidak ada acara menyambut menantu, tidak ada kerabat, tetangga bahkan pembantu yang tahu mereka datang. Peduli Wong Lan hanya satu, mengundang pengacara sesegera mungkin, memperlihatkan Sie Sie, surat menyurat dan bukti dokumen pernikahan sah. Syarat telah dipenuhi, harta warisan keluarga resmi menjadi milik Wong Lan. Senang bukan kepalang pemuda Taiwan itu, hingga tidak peduli mau apa, hendak apa, dan siapa Sie Sie baginya. Cuma pada pengacara itu Wong Lan mengaku Sie istrinya, sedangkan pada tamu yang berkunjung, teman yang datang, Wong santai bilang kalau Sie adalah pembantu impor dari Indonesia, “Gajinya murah, cukup diberi makan tiga kali sehari. Sudah senang dia. Kau mau kucarikan satu?” Bergaya Wong Lan menunjuk-nunjuk jidat Sie Sie.

“Tidak ada di keluarga itu yang menghargai Sie, termasuk pembantu sekalipun. Sopir, tukang kebun, tukang pel, di belakang sibuk memonyongkan bibir tanda tidak suka, “Istri belian, wanita murahan, statusnya lebih rendah dibanding kita.” Membiarkan gadis usia enam belas itu berjuang sendiri melakukan penyesuaian. Negeri baru, iklim baru, musim panas, musim dingin, musim semi, mana ada salju di Singkawang? Aksen dan kosakata mandarin yang berbeda, racikan bumbu masakan yang berbeda, cara berpakaian yang berbeda, semuanya berbeda.

“Dua tahun berlalu, dengan pengalaman mengasuh enam adiknya selama ini, setidaknya Sie cukup tangguh. Wong Lan juga belum menyakiti Sie secara fisik, orang-orang di rumah meski tidak respek, tidak berani menunjukkan rasa benci secara terbuka. Dua tahun itu, Sie menyibukkan diri, belajar menjadi istri yang baik, melakukan apa saja yang bisa dia kerjakan, melayani suami sebaik mungkin, menyiapkan baju, memasangkan dasi, menyemir sepatu, berlarian membawa tas kerja, menyiapkan makanan, merapikan tempat tidur. Memasang wajah riang, tidak peduli meski Wong Lan melempar piring, mencaci masakannya, tidak peduli walau Wong Lan merenggut dasi yang dipasangkan, menginjak tangannya saat melepas sepatu. Sie sudah berjanji pada Ibu, dia akan mencintai suaminya apa-adanya.

“Nah, bicara tentang Ibu, persis di penghujung tahun kedua, sepucuk telegram terkirim dari Singkawang, isinya pendek: Tadi malam kma senin kma tanggal dua satu bulan lima kma pukul delapan ttk tiga puluh kma Ibu meninggal di RSU ttk tidak perlu dicemaskan kma Ibu akan segera dikebumikan esok pagi kma peluk sayang dari adik adikmu ttk hbs.

“Kelu bibir Sie Sie membaca telegram itu. Uang memang berhasil memperpanjang usia, tapi takdir tidak pernah terkalahkan. Sie ingin pulang ke Singkawang, setidaknya melihat pusara merah Ibunya. Sie rindu adik-adiknya. Sie juga rindu memeluk Bapaknya. Apalah yang bisa dia lakukan? Di rumah besar itu, sepeser uang pun dia tidak pegang, paspor, surat-menyurat terkunci rapat di lemari besi Wong Lan. Apakah dia akan menunjukkan telegram itu pada suaminya? Wong Lan tidak pernah peduli urusan Sie, ekspresi wajahnya selalu sama, menyingkir, urus saja diri kau sendiri.

“Situasi memburuk saat pernikahan memasuki tahun ketiga, bukan karena memang di tahun-tahun itu rasa bosan, masalah, salah-paham lazim muncul bagi kebanyakan pasangan, tapi karena pabrik tekstil kecil Wong Lan terkena imbas krisis harga minyak tahun 80-an, ekonomi Taiwan mengalami kemunduran. Dan situasi diperburuk dengan kenyataan Wong Lan tidak becus mengurus pabriknya. Dia lebih suka keluyuran dibanding mengawasi pekerja, lebih suka berkumpul dengan teman-temannya dibanding kolega bisnis, lebih suka bersenang-senang dibanding memikirkan strategi dagang yang baik. Aliran uang mulai tersendat, hutang menumpuk, tabiat Wong Lan yang suka marah-marah dan memukul kambuh. Siapa lagi yang bisa dicaci dan dipukul seenak perutnya? Sie Sie.

“Usia gadis itu dua puluh ketika masa-masa siksaan fisik datang. Pagi ditampar, siang dijambak, malam ditendang. Dan situasi terus memburuk dari hari ke hari. Temanteman dekat Wong Lan pergi, tak ada uang, tak ada kesenangan, semua menjauh darinya. Pekerja pabrik macam kartu remi dirobohkan, satu persatu berhenti, termasuk orang-orang kepercayaan orang tua Wong Lan dulu, pembantu di rumah, hanya soal waktu minta berhenti, tidak tahan dengan marah-marah sepanjang hari. Hanya tersisa Sie Sie sebagai sansak, pelampiasan seluruh tabiat buruk suaminya sendiri. Siangmalam Sie tersiksa lahir-batin, macam di terowongan gelap tanpa titik terang. Bangun pagi hanya untuk menjemput hari menyedihkan berikutnya. Sementara pabrik tekstil Wong Lan mati segan hidup tak mau, mereka bertahan hidup dari sisa harta benda.

“Dua tahun masa kelam, datang kabar besar, Sie Sie hamil. Dia mengandung buah cinta, kalau memang ada cinta di pernikahan itu. Seharusnya itu kabar baik. Jauh langit jauh bumi, Wong Lan malah menuduh Sie dihamili orang lain, memukuli istrinya yang sedang hamil muda. Itu situasi darurat, tidak mungkin Sie membiarkan kandungannya dalam bahaya, dia akhirnya memutuskan mengungsi, ditampung oleh keluarga konsulat Indonesia. Kasus itu menarik perhatian polisi lokal Taiwan, penyidikan dilakukan, Wong Lan ditahan. Hampir enam bulan dia masuk penjara, lihatlah, tidak seharipun Sie alpa mengunjunginya, membawakan rantang makanan kesukaan, memasang wajah riang bertanya apa kabar. Dan apa balasan Wong Lan? Acuh tak acuh, menatap benci Sie Sie, mengutuknya sebagai penyebab bala bagi seluruh keluarga, membuat pabrik bangkrut, “Dasar wanita pembawa sial.” Tidak sehari pun dengusan seperti itu alpa diterima Sie.

Wong Lan tidak peduli perut istrinya semakin membesar, tidak peduli wajah berseriseri istrinya, yang tetap sungguh-sungguh melayani dan berusaha membatalkan seluruh proses pengadilan.

“Usia bayi mereka satu bulan saat Wong Lan dibebaskan. Setidaknya, dengan kehadiran bayi di rumah, walau mulutnya tetap kotor, Wong Lan berpikir dua kali untuk memukuli Sie. Anak pertama mereka laki-laki, tampan macam Bapaknya, rambutnya lurus hitam legam seperti Ibunya. Wong Lan tidak peduli, sama tidak pedulinya meski nama anak itu mewarisi namanya. Dia jarang ada di rumah, selalu pergi, dan saat pulang, mulutnya bau alkohol, pakaiannya kusut, rambutnya berantakan, dan selalu berteriak-teriak. Wong Lan tidak memenuhi kebutuhan Sie dan bayi mereka, dia sendiri saja menjual hampir seluruh harta benda yang ada. Kebiasaan judinya datang tak tertahankan, satu persatu perabotan digadaikan. Tinggallah Sie yang harus menanggung keperluan, susu si kecil, kebutuhan rumah tangga. Kabar baik, dia pernah melakukannya di Singkawang, waktu usianya enam belas, tidak masalah dia melakukannya sekali lagi di Taiwan. Sie menerima pesanan jahitan, membuat poster, berkeliling dari pintu ke pintu sambil menggendong si kecil, menawarkan jasa membuat baju.

“Dua tahun bertahan hidup, Sie hamil lagi, bayi kedua. Percuma, Wong Lan tetap tidak peduli, hatinya tidak tersentuh, dia asyik dengan dunianya sendiri, terakhir terbetik kabar dia menjual seluruh bangunan dan tanah pabrik. Uang itu sebenarnya cukup banyak, tapi hanya habis dalam hitungan minggu. Habis di meja judi, penginapan, tempat hura-hura. Wong Lan merasa dunianya kembali, teman-teman seperti laron datang merubung, dia lupa, saat uangnya habis, dia kembali sendirian di meja-meja minum, sepi di tengah keramaian pub.

“Enam tahun berlalu, bayi ketiga dan keempat lahir, kembar. Lucunya tak terkira, amat menggemaskan. Sia-sia, Wong Lan tetap tidak peduli, mengunjungi Sie di rumah sakit pun tidak. Dia baru saja menggadaikan rumah besar, harta terakhir warisan orangtuanya. Bersenang-senang dengan tumpukan uang yang dengan cepat menipis. Tinggallah Sie repot mengurus empat anaknya, berusaha mencari tempat berteduh sementara. Untuk kedua kalinya Sie Sie ditampung keluarga konsulat. Salah-satu staf konsulat menasehati Sie agar menghentikan pernikahan itu, minta cerai. Semua

dokumen bisa disiapkan, paspor pengganti, paspor untuk anak-anaknya. Sie menolak mentah-mentah, menggeleng tegas, dia sambil menahan air-mata tumpah bilang tentang janji hebat itu. Dia akan mencintai suaminya apa-adanya, dan dia akan memaksa perasaan yang sama muncul di hati suaminya. Itu gila! Itu benar-benar kalimat paling gila tentang cinta yang pernah kudengar.” Pak Tua menggelenggelengkan kepala, mengusap uban.

Aku dan Andi ikut mengusap kepala.

“Siapa Wong Lan sekarang? Tidak lebih seorang laki-laki berusia empat puluhan, tidak punya pekerjaan, pemabuk, penjudi dan ratusan tabiat buruk lainnya. Kalau dulu Sie bertahan, masuk akal, dia membutuhkan wesel bulanan ke Singkawang agar adikadiknya bisa makan, bisa sekolah. Sekarang, bahkan untuk membeli popok si kembar, itu hasil keringat Sie Sie sendiri. Aku tidak bisa mempercayai Sie yang menahan tangis, tersendat, kedat, bilang, ‘Aku mencintai suamiku sejak pertama kali naik bus menuju Pontianak. Dan aku akan terus mencintai dia hingga mati.’ Lantas menciumi bayi kembarnya, mati-matian menahan tangis karena dulu dia pernah bersumpah tidak akan menangis lagi.

“Tiga bulan menumpang di konsulat, Sie Sie mengontrak rumah kecil. Setelah bertahuntahun berusaha, keahliannya menjahit pelan-pelan dikenal banyak orang. Bisnisnya mulai berkembang. Boleh jadi itu rezeki dari bayi-bayinya. Boleh jadi itu buah keteguhan hati Sie Sie. Boleh jadi, tidak ada yang tahu. Bertahun-tahun berlalu, hingga anak-anaknya mulai sekolah, bisnis Sie Sie tumbuh besar, belasan mesin jahit berdatangan, pekerja tumbuh jadi puluhan.

“Di mana Wong Lan? Tidak ada yang tahu. Dia menghilang lepas menjual rumah besar milik keluarganya, gelap beritanya, sosoknya raib ketika si kembar lahir, meninggalkan begitu saja istri dan empat anaknya. Lantas apa yang dilakukan Sie atas kepergian suaminya? Setelah seharian sibuk mengurus anak-anak dan bisnis jahit menjahit, setelah si kembar tidur lelap, Sie mulai melahap semua berita di koran, menandai iklan mencari orang, bertanya kesana kemari, mengunjungi kantor polisi, mengunjungi pubpub, tempat hura-hura, Sie menghabiskan malam untuk mencari suaminya. Dia lakukan

itu tanpa alpa semalam selama enam tahun. Bayangkan, enam tahun. Tidak putus pengharapan. Tidak mundur selangkah pun.

“Saat anak pertama mereka berusia dua belas, kabar baik itu datang, salah-satu karyawan yang disuruh mencari Wong Lan, akhirnya melaporkan suaminya ditemukan terlunta-lunta di Hongkong. Usia suaminya lima puluh, lelaki tua yang hidup sendirian, sakit-sakitan, tanpa teman, terlupakan dari dunia. Kabar itu membuat hati Sie bungah, dia tidak sabaran, memutuskan berangkat malam itu juga ke Hongkong, menjemput suaminya, menjemput bapak dari anak-anaknya. Tapi saat dia menuju bandara, melesat kabar duka dari Singkawang, telepon dari salah-satu adiknya, bilang Bapak Sie Sie meninggal dunia.

“Lama nian Sie menahan kerinduan pulang. Tahun-tahun terakhir, dengan keleluasaan yang dia miliki, kesempatan itu bisa dilakukan kapan saja, tapi dia tidak akan melakukannya tanpa ditemani Wong Lan. Dia ingin pulang, menziarahi makam Ibu, bilang kalau janjinya sudah dipenuhi. Malam itu, kabar kematian Bapaknya membuat kerinduan datang tak tertahankan. Adik-adiknya di Singkawang bilang, jika Sie bersedia pulang, jasad Bapak akan menunggu dia. Separuh hatinya ingin pulang ke Indonesia, memenuhi kewajiban terakhir mengantar Bapak ke pemakaman. Tapi suaminya menunggu di Hongkong, dirawat di salah-satu rumah sakit. Urusan ini muda ditebak, lima belas menit menatap layar jadwal keberangkatan pesawat di bandara, Sie memilih menjemput suaminya. Itulah keluarganya sekarang, itulah keluarganya sejak dia memutuskan dibeli suaminya lima belas tahun lalu.

“Tubuh Wong Lan kurus kering saat dibawa kembali ke Taiwan, kebiasaan buruk menggerogoti fisiknya. Dan bukan itu masalah terbesarnya, melainkan anak tertua Sie menolak mentah-mentah memanggil Bapak pada Wong Lan, usianya dua belas, sudah lebih dari tahu cerita penderitaan Ibunya selama ini. Dia berteriak marah, mengusir Wong Lan dari kamar perawatan di rumah. Itu bagian menyakitkan kesekian yang harus dialami Sie, dia memeluk anaknya, meminta dengan sangat, sambil menangis, agar si sulung mau memanggil Wong Lan, ‘Bapak’. Si sulung mengibaskan tangan Ibunya, berlari. Hanya si kembar yang bersedia menemani Ibunya merawat Wong Lan.

“Berbulan-bulan Sie merawat suaminya dengan tulus. Proses rehabilitasi kecanduan. Lelah mengurus bisnisnya, capai mengurus tingkah anaknya, sering dia ditemukan jatuh tertidur di ranjang tempat suaminya berbaring lemah. Rambut Sie yang dulu hitam legam mulai beruban. Wajahnya yang dulu periang, mata sipit bersinar-sinar, tinggal gurat muka penuh ketabahan dan sorot mata tulus. Tubuhnya yang dulu ramping, tinggi semampai, sekarang bungkuk, kaki pincang sisa pukulan-pukulan kasar suaminya. Janji itu luar biasa, janji itu macam mercu suar di pinggiran kota Taiwan, dia sungguh akan mencintai suaminya apa-adanya. Maka bulan-bulan perawatan itu menjadi simbol paling agung rasa cinta Sie. Tidak ada kebencian, tidak ada penyesalan. Astaga, seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya. Janji itu sungguh luarbiasa.” Pak Tua menyeka ujung mata, sedikit terharu.

Andi malah kedat hidung.

Aku menyikut Andi pelan, kau tidak akan menangis, kan?

Andi melotot, enak saja.

“Kalian tahu, Andi, Borno? Apakah kau bisa memaksa perasaan cinta? Sie bisa melakukannya. Dia bisa membuat suaminya mencintai dia apa-adanya, bahkan walau sebelumnya Wong Lan amat membencinya. Di malam kesekian masa-masa rehabilitasi, ketika Wong Lan terjaga, saat dia menatap wajah lelah istrinya yang jatuh tertidur di pinggir ranjang, perasaan itu mulai tumbuh kecambahnya. Lihatlah, wanita yang selama ini dia sakiti, tega dia beli lantas dibawa pergi jauh dari rumahnya, wanita yang dia renggut dari masa remajanya yang indah, begitu tulus merawat dirinya enam bulan terakhir. Wong Lan tergugu, menyentuh bekas carut luka di kening istrinya, luka itu bekas lemparan asbak darinya.

“Tangan Wong Lan gemetar menyentuh rambut beruban Sie, lihatlah, wajah teduh ini, wajah penuh kasih-sayang istrinya. Ini tetap wajah yang sama meski dulu dia lempar, dia injak, wajah yang sama meski dulu dia kutuk wanita pembawa sial. Wong Lan menangis dalam diam, terisak dalam senyap. Alangkah bodoh dirinya selama ini. Bodoh sekali. Disangka teman-temannya akan selalu ada, itu dusta. Disangka semua

kesenangan itu abadi, itu tipu. Semua tidak hakiki. Adalah cinta Sie yang sejati, cinta wanita yang dia sia-siakan, wanita yang dia aniaya bertahun-tahun. Malam-malam rehabilitasi itu menjadi saksi saat cinta Wong Lan tumbuh mekar, cinta seorang pemuda Taiwan yang terlambat lima belas tahun. Benar-benar terlambat. Tapi tak mengapa, itu tetap berakhir bahagia, tidak mengurangi nilainya.”

Pak Tua terdiam lama. Menghela nafas panjang, menatap jalanan depan restoran yang lengang. Pelayan sudah bersiap merapikan meja-meja. Tidak ada lagi pengunjung selain kami.

“Itulah cinta sederhana amoy Singkawang. Cerita hebat yang tidak diketahui sopir soktahu tadi siang. Tidak semua amoy yang pergi ke Taiwan bersama seseorang yang baru dikenalnya sehari dua hari bernasib buruk. Hidup adalah perjuangan, bukan? Kebahagiaan harus direngkuh dengan banyak pengorbanan. Sie Sie telah membuktikan janjinya.”

Andi benar-benar menyeka mata, tidak peduli aku meliriknya.

Pak Tua tersenyum, “Kalian pasti bertanya, lantas apa hubunganku atas kisah ini? Aku ada di konsulat Taiwan itu saat Sie mengungsi. Akulah yang berseru, gila! Menilai kalimat Sie berlebihan dan tidak masuk akal. Ah, itu masa-masa saat orang-tua ini melakukan perjalanan ke mana-mana, melihat banyak hal, belajar banyak hal. Lantas kenapa kita malam ini ada di Singkawang? Karena besok, Sie dan Wong Lam akan menikahkan salah-satu si kembar di kota ini. Aku turut diundang. Si kembar berjodoh dengan amoy Singkawang saat berkunjung ke sini beberapa tahun lalu. Tentu, pernikahan itu bukan ‘pernikahan foto’. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu di Pekong Surga-Neraka. Nah, besok juga adalah pertama kali Sie Sie pulang ke Singkawang. Besok, dia akan bilang ke pusara Ibunya, janji itu telah dipenuhi, dia bisa memaksa perasaan itu tumbuh di hatinya dan di hati suaminya. Janji hebat seorang gadis yang baru berusia enam belas tahun. Ah, bisa apa dia? Dia bisa membuktikannya.”

***

3. PERCAYAKAH KAU PADAKU Buat apa cinta jika kau tidak percaya padaku, buat apa sayang jika kau terus berprasangka yang bukan-bukan.

Cindanita, maafkan Ayahmu, semua ini harus berakhir menyakitkan. Menatap pusaramu, Nak, meskipun kejadian itu sudah lima belas tahun lalu tertinggal, rasarasanya baru kemarin terjadi. Hari ini, kau seharusnya sudah seperti gadis remaja kebanyakan, pasti cantik dengan rambut panjang hitam legam, mata hitam bundar, pipi memerah berlesung, dan hidungmu, persis seperti ibumu, mancung seperti hadiah terbaik Tuhan untuk anak yang manis dan penurut.

Maafkan Ayahmu, Nak, semua janji masa depan itu tidak terwujud, hancur berkepingkeping dibawa kepergian Ibumu. Maafkan Ayahmu, Cindanita. Seusiamu sekarang, enam belas, kau pasti belum paham, bahwa pondasi terbesar perasaan cinta, selain komitmen adalah kepercayaan. Tanpa sebuah kepercayaan yang utuh, maka dia hanya ibarat malam tanpa lampu, kau tersuruk tanpa arah. Ibarat kapal tanpa kompas, kau tersesat semakin dalam di lautan perasaan. Atau jangan-jangan kau sudah paham, Nak? Aku menyeka ujung mata, mendongak. Kabut mengambang di pekuburan kota, membuat pohon kamboja terlihat seperti bayang-bayang syahdu, berpadu dengan pusara-pusara tinggi. Matahari hampir tenggelam di kaki langit, menyisakan semburat merah, suasana ini sama benar dengan waktu kau dikebumikan, Cindanita. Juga sama benar saat Ibumu pergi.

Lihatlah, Ayah pulang, Nak, menjengukmu sesuai janji setelah setahun lagi berlalu. Aku tersenyum, mengusap lembut pusara berlumut di hadapanku. Sebenarnya, tidak pernah mudah mengunjungi kembali kota ini, bukan karena jaraknya amat jauh dengan tempatku menetap sekarang, Nak, tapi dengan kembali itu sama saja seperti melihat seluruh kenangan itu diputar di pelupuk mata, tanpa kurang satu adegan manapun. Walaupun hanya mampir sebentar, hanya sesore, sekelebat berjalan di jalanan kota yang tidak ada lagi warga yang masih mengingat Ayahmu, semua kenangan itu masih

terpahat jelas. Aku seperti masih bisa mendengar tangismu, ingin menyusu pada Ibumu. Aku seperti masih bisa melihat tubuhmu yang membiru. Maafkan Ayahmu, Nak, Ayah sudah berjanji tidak akan pernah menangis, tapi untuk kesekian kalinya menangis di depan pusaramu.

Aku bukan menangis sedih, Cindanita. Enam belas tahun berlalu, aku sudah bisa menangis lega. Ayah baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya.

Baik, kita bicarakan hal lain saja. tidak akan kita habiskan waktu seberharga ini hanya untuk mengenang semua yang sudah tertinggal di belakang, bukan? Kau mau mendengar sebuah cerita, Nak? Seperti tahun lalu, Ayah membawa sebuah cerita baru. Kapal Ayah singgah di daratan India, dan beberapa penduduk setempat berbaik hati menceritakan sebuah cerita hebat. Maukah kau mendengarnya?

Aku tersenyum lembut, mengelus perlahan legam panjang milik Cindanita, gadis kesayanganku. *** Siapa yang tidak mengenal Rama?

Pangeran gagah dari kerajaan Kosala? Dia tampan tak terkira, dia pintar tiada dua, dan jangan tanya soal kepribadiannya, Rama adalah pemuda tiada tandingan. Semua orang akan terpesona hanya dengan menatap wajahnya.

Lantas siapa yang tidak mengenal Shinta? Gadis rupawan, puteri kerajaan Wideha? Dia cantik tak terperi, dia pintar tiada tanding, dan jangan tanya soal budi pekertinya, Shinta adalah gadis yang tumbuh dalam asuhan luhur. Semua orang bahkan terpesona hanya dengan mendengar bisik-bisik bagaimana jelita rupanya.

Mereka berdua seperti ditakdirkan menjadi pasangan abadi, Rama-Shinta, dan sudah abadilah cerita mereka.

Kau tahu, Nak, bagaimana mereka berdua berjodoh satu sama lain? Tidak, tentu saja tidak seperti pasangan kebanyakan. Ah, kalau sama dengan orang banyak, apa

istimewanya? Pemuda gagah itu, Rama, sedang dalam misi berbahaya, menumpas para raksasa di hutan rimba saat terbetik kabar, Raja Wideha mengadakan sayembara. Gadisnya yang rupawan sudah cukup usia, bagai bunga mekar, sudah saatnya menikah dengan salah-satu pangeran terbaik di seluruh India. Maka demi kabar besar itu, berduyun-duyunlah semua kerajaan mengirimkan pangeran mereka.

“Kau harus ikut serta, Kakanda.” Laksmana, adik Rama yang setia menemani mereka berpetualang menumpas raksasa membujuk.

“Astaga, kau ingin kakakmu ini mendapatkan jodoh melalui sebuah sayembara? Itu jelas bukan awal kisah cinta sejati, tidak akan ada Resi yang pernah menulisnya.” Rama menggeleng.

“Setidaknya Kakanda bersedia melihat dulu puteri itu, menurut kabar, wangi kulitnya semerbak hingga ratusan meter. Matanya mampu meruntuhkan dinding kesombongan. Dan hatinya, bahkan bisa menaklukkan senjata paling hebat di dunia.” Laksmana mengedipkan mata, tidak habis akal membujuk, “Setelah dilihat, nanti baru Kakanda putuskan sendiri apakah akan menulis kisah cinta sejati dari sebuah sayembara atau bukan?”

Rama menatap adiknya, tidak percaya, bagaimana mungkin di tengah mengejar-ngejar raksasa pengganggu penduduk, mereka membicarakan soal sayembara bodoh itu. “Ayolah, apa salahnya dicoba, bukan?” Laksmana tertawa.

Baiklah, seperti apa omong kosong kecantikan gadis itu, Rama mendengus, memasang busur dan anak panah di punggung, lupakan sebentar misi petualangan mereka, berputar haluan, berangkat menuju ibukota Wideha.

Cindanita anakku, jika kau hendak bertanya apakah cinta pada pandangan pertama itu, maka kau bisa bertanya pada pasangan Rama dan Shinta.

Ketika seluruh pangeran sudah berkumpul di balai agung ibukota Wideha, Rama yang tiba terlambat justeru salah memasuki ruangan. Sebuah kesalahan yang memantik

nyala perasaan berpijar-pijar. Bagaimana mungkin? Dia sungguh tidak terpesona oleh betapa cantiknya Shinta, kabar itu bukan dusta, tapi dia terpesona saat melihat gadis itu sedang membantu dayang-dayang yang tidak sengaja menumpahkan nampan berisi buah-buahan.

“Tidak usah dipikirkan. Tidak usah dicemaskan.” Merdu suara gadis itu menenangkan dayang-dayang, membungkuk membantu mengambil buah yang berserakan, sama sekali tidak keberatan membuat kainnya berdebu.

“Maafkan kami, Puteri.” Dayang-dayang semakin serba salah, bagaimana mungkin Shinta yang hari ini akan mengadakan sayembara mencari suami, justeru berhenti sejenak membantu mereka.

Rama yang tertegun menatap gadis yang riang membantu dayang-dayangnya, mencengkeram lengan Laksmana di sampingnya tanpa sengaja.

“Siapakah gadis itu?” Rama berbisik.

Shinta lebih dulu menoleh. Dayang-dayang berseru pelan, kaget ada laki-laki memasuki bangunan khusus perempuan.

“Maaf, sungguh maafkan kami.” Rama mengangkat tangannya, bergegas menyadari kekeliruan, “Kami sedikitpun tidak bermaksud buruk, kami tidak sengaja, kami salah masuk ruangan.”

Shinta menatap sejenak wajah pemuda di hadapannya, memeriksa wajah serba salah, serba tanggung, dan ketahuan baru saja begitu terpesona melihat dirinya, ah, pemuda ini pastilah pengembara, Shinta tersenyum manis, pemuda gagah ini pastilah salah-satu petualang yang telah mengelilingi dunia. Seperti banyak pengunjung lainnya, ikut hadir meramaikan ibukota menonton sayembara besar.

Ah, andaikata dia bukan puteri seorang Raja, yang harus memperoleh jodoh melalui sebuah sayembara, akan menyenangkan bisa berpetualang melihat dunia luas.

Itulah pertemuan pertama mereka. Percakapan pendek yang kaku, patah-patah, malumalu tapi mengesankan. Shinta tidak menduga kalau pemuda dengan pakaian ksatria biasa tapi dengan tutur kata menawan bagai seorang pangeran memang seorang pangeran terhormat. Sungguh sebuah kejutan menarik saat dia tahu pemuda itu mengikuti sayembara.

Kau tahu Cindanita, sayembara itu mudah sekaligus rumit. Mudah, karena semua peserta tidak diminta berlomba memanah, mengejar atau membunuh rakasasa, mereka juga tidak diminta saling mengalahkan, tidak ada pertandingan fisik. Mereka hanya diminta menarik busur, pusaka kerajaan Wideha. Nah itulah rumitnya. Busur itu sungguh bukan busur biasa, itu busur milik Dewa Siwa yang dihadiahkan ke bumi, jangankan menarik talinya, bahkan mengangkat busur itu saja tidak banyak yang mampu.

Kau benar, Nak, aku tertawa, mengelus rambut hitam Cindanitaku yang tidak sabaran menunggu kelanjutan cerita, tentu saja Rama yang memenangkan sayembara itu.

Tapi jangan lupakan pertanyaan pentingnya, jika seluruh pangeran tidak mampu menarik tali busur itu, kenapa Rama yang mampu? Ayah tidak tahu kekuatan apa yang sesungguhnya membuat pemuda itu mampu menarik tali busur itu, Rama adalah ksatria hebat, dia dikenal mampu menaklukkan banyak raksasa di jaman itu, tapi itu tetaplah busur hadiah Dewa Siwa, senjata paling menggetarkan di seluruh daratan India. Satu anak panahnya terhujam ke bumi, maka konon dunia akan merekah bagai sebutir jeruk yang terbelah. Entah kekuatan apa, boleh jadi karena kekuatan cinta. Lihatlah, di sebelah kursi singgasana, Shinta tersipu malu, ikut bersorak senang saat melihat Rama berhasil menarik tali busur. Mereka berjodoh, sayembara telah berakhir, pernikahan antara Rama dan Shinta segera dilangsungkan.

Lepas pernikahan, pasangan muda itu kembali ke Ayodya, ibukota kerajaan Kosala, bukan main, senang alang kepalang Raja Kosala melihat anaknya telah memperistri seorang bidadari. Raja Kosala yang uzur, bahkan hendak mengangkat Rama menjadi

raja, apalagi yang kurang? Masa depan kerajaan akan gemilang di tangan putra sulungnya tersebut.

Tetapi ada yang tidak senang dengan rencana tersebut. Ibu tiri Rama, istri muda Raja Kosala, merasa anaknya, Barata, lebih berhak menjadi raja. Nasib malang menimpa pasangan muda tersebut, melalui sebuah intrik yang licik, Rama dan Shinta justeru terusir dari Ayodya, ibukota Kosala, dibuang ke hutan rimba selama empat belas tahun. Barata, adik tirinya menjadi raja, dan Raja Kosala yang menyesali situasi meninggal dalam kesedihan panjang.

Apa yang dilakukan Shinta atas semua penderitaan itu, Cindanita? Dia tidak pergi, dia justeru menabahkan hati, meneguhkan cinta, berangkat menemani Rama terbuang dari segala kehormatannya. Bagi Shinta, semua urusan sederhana, kemanapun Rama pergi, dia akan terus mengabdi, itulah bukti cintanya yang tiada tara. Maka terusirlah Rama dan Shinta, dengan ditemani Laksmana yang sejak kecil selalu menemani kakaknya.

Empat belas tahun bukan waktu yang sebentar, tinggal di dalam hutan juga bukan masalah yang mudah bagi pasangan itu. Mereka diuji oleh berbagai godaan, diuji oleh berbagai rintangan. Tidak terhitung begitu banyak raksasa hutan yang selama ini diburu Rama hendak membalaskan sakit hati. Dan puncaknya saat Rahwana, Raja Alengka, berniat menculik Shinta yang jelita.

Kau tahu siapa Rahwana, Nak? Dia adalah raja para raksasa. Kesaktiannya tiada tara. Tidak ada penduduk bumi yang bisa mengalahkan Rahwana. Bahkan rasa raksasa itu pernah meneror kerajaan langit, membuat para Dewa harus bersatu memaksanya mundur kembali ke bumi. Tidak ada yang bisa menghentikan kesewang-wenangan Rahwana.

Hari naas itu, Shinta melihat seekor anak kijang, begitu lucu, lincah loncat kesana kemari. Aduh, menggemaskan sekali. Shinta meminta Rama mengejar anak kijang itu. Rama yang enggan, akhirnya mengalah, memutuskan mengejar kijang itu, meninggalkan Shinta pada Laksmana, adiknya. Tentu saja kijang itu bukan kijang biasa, melainkan raksasa, anak buah Rahwana yang sedang menyamar. Setelah dikejar kesana-kemari,

masuk ke dalam hutan yang lebih lebat, Rama berhasil memanahnya, dan kijang itu berubah wujud, berseru meminta tolong, menirukan suara Rama.

Demi mendengar teriakan itu, Shinta panik. Dia cemas suaminya terluka, meminta Laksmana menyusul. Situasi berubah menjadi rumit. Laksmana yang ragu-ragu, khawatir itu semua jebakan dari musuh mereka, memutuskan membuat lingkaran di tanah yang melindungi Shinta sepanjang berada di dalamnya, dia bergegas menyusul Rama, meninggalkan Shinta yang berlindung dalam lingkaran. Tetapi Rahwana tidak kalah akal, dia menyamar menjadi seorang pertapa tua, berjalan terbungkuk, pura-pura kehausan. Rahwana tidak bisa masuk ke dalam lingkaran, tapi dia bisa membujuk Shinta yang amat perasa terhadap kesedihan dan penderitaan orang lain melangkah keluar mengulurkan kendi air minum.

Sekejap. Saat tangan Shinta keluar dari lingkaran, Rahwana berubah wujud, menyambar tangan Shinta, membawanya terbang pergi ke kerajaan Alengka yang berada di seberang lautan daratan India. Rahwana tertawa jumawa, wajah buruk rupanya terbahak puas, rencana besarnya berhasil, lihatlah, dia berhasil menculik Shinta.

Rama dan Laksmana yang kembali dari mengejar kijang amat pilu saat tahu istrinya telah diculik Rahwana. Perhiasan istrinya terjatuh di lingkaran perlindungan, dan seekor burung garuda, Jatayu, yang kebetulan melihat penculikan tersebut, dan berusaha menggagalkan, memberitahu mereka, tubuh Jatayu terluka parah, Rahwana jelas-jelas bukan tandingannya.

Maka dimulailah cerita mahsyur itu, Cindanita.

Petualangan Rama menyelamatkan kekasih hatinya, istri tercinta. Rama tahu persis, tidak mudah merebut kembali Shinta dari Rahwana, kerajaan raksasa itu ribuan kilometer di seberang lautan, dan di sarang raksasa, sama saja bunuh diri dengan menyerbu seadanya. Rama memutuskan meminta bantuan bangsa Wanara, alias manusia kera. Melalui sebuah perjanjian saling membantu, ribuan pasukan manusia kera dipimpin oleh panglimanya yang mahsyur itu, Hanoman, berangkat ke medan

perang. Juga ribuan ksatria dari kerajaan-kerajaan lain yang terketuk hatinya melawan Rahwana.

Tapi masalah pertama langsung menghadang rombongan itu, bagaimana menyeberangi lautan? Tidak semua anggota pasukan manusia kera bisa terbang? Bagaimana mereka bisa melewati lautan ribuan kilometer, sementara entah apa nasib Shinta di kerajaan Alengka sekarang. Berhari-hari Rama meminta bantuan Baruna, dewa yang mengurus samudera. Baruna menolaknya, menolak terlibat dalam pertempuran. Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka. Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, “Jika kau tidak mau membantuku, wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.”

Menggetarkan sekali melihat ancaman Rama. Itu bukan senjata biasa, itu pusaka paling sakti milik dunia. Baruna gemetar berpikir, pilihannya terbatas, binasa seluruh lautan, atau membantu penyerbuan Rama. Maka Baruna menawarkan membangun sebuah jembatan, lebih lambat, tapi itu lebih masuk akal. Rama, Laksmana dan Hanoman menyetujuinya, Segera, semua pekerja dikerahkan, siang malam, termasuk penduduk lautan, dan dalam waktu singkat, jembatan dahsyat itu terwujud, membentang panjang atas nama cinta.

Dengan jembatan yang kokoh, pasukan manusia kera bagai gelombang air bah menyerbu kerajaan Alengka, dan pertempuran besar tidak dapat dihindarkan lagi. Ribuan prajurit raksasa bertahan, membela setiap jengkal istana. Duel dahsyat antara Rama dan Rahwana menjadi legenda. Dua-duanya sama digdaya, bertempur di langitlangit kerajaan Alengka. Dentum merah, kuning, biru, membuat terang langit malam. Kelbatan cahaya jingga, kuning, hijau memedihkan mata. Panah sakti milik Rama akhirnya menghujam dada Rahwana, dan raja raksasa paling sakti itu tumbang ke bumi. Rahwana, raja raksasa yang pernah membuat rusuh kerajaan langit, akhirnya dikalahkan.

Shinta berhasil direbut kembali. ***

Perkuburan kota semakin remang. Satu dua kunang-kunang mulai terbang bersiap menghiasi malam. Matahari sebentar lagi beristirahat di kaki langit. Aku menghela nafas panjang, masih menyentuh pusara berlumut Cindanita.

Seru sekali ceritanya, bukan, Nak?

Aku tersenyum, mengangguk melihat anggukan Cindanita.

Kau tahu, Nak, Ayah dan Ibumu juga bertemu melalui sebuah kejadian yang spesial. Waktu itu, kapal Ayahmu membuang sauh di pelabuhan kota kelahiran Ibumu. Para kelasi yang berminggu-minggu di lautan berseru riang, segera turun, melemaskan badan, mengunjungi keramaian kota.

Aku dan beberapa kelasi lain, pergi menuju sebuah rumah makan. Kami tidak tahu kalau di rumah makan itu sedang dilangsungkan pernikahan, jadi terlihat aneh sekali saat kami yang berseragam kelasi memasuki rumah makan. Kepalang tanggung, kami mengaku kerabat jauh yang diundang, membaur dengan undangan pesta lainnya. Pesta pernikahan itu meriah, semua terlihat bahagia menikmati acara, kecuali satu orang, mempelai wanitanya. Itu pernikahan yang dipaksakan, gadis itu terpaksa menikah dengan laki-laki berusia empat puluh tahun lebih tua, kakek-kakek tua.

Kau bisa menebaknya, Nak, celaka urusan, mempelai wanita justeru meminta kami menolongnya kabur di tengah keramaian. Kami pilihan yang tepat, kami warga asing, dan kami kelasi kapal, bisa segera pergi meninggalkan kota yang dibencinya. Semua orang waras pasti menolak mentah-mentah permintaan itu, bahkan jika mempelai perempuan mengancam bunuh diri jika tidak ditolong, itu tetap tidak masuk akal. Tapi, Nak, bukankah orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama termasuk definisi orang gila? Ayah menyetujuinya, membuat kelasi lain berseru tidak percaya. Ayah membawa kabur mempelai perempuan ke atas kapal, maka pecahlah keributan di rumah makan, hanya hitungan jam kabar buruk segera menjalar ke seluruh kota, siapa yang telah menculik mempelai perempuan? Merusak pesta pernikahan?

Meskipun apa yang Ayah lakukan adalah hal gila, awak kapal adalah saudara sehidup semati, tidak terbilang berapa kali bersama-sama menerjang badai membawa muatan, tidak terbilang berapa kali dihadang perompak, bersama-sama melawan. Mereka membantu Ayah, kapal segera melepas sauh, pergi jauh dari kota itu.

Kau tertawa Cindanita? Kenapa?

Ahiya, kau benar, kisah Ayah mirip dengan aksi heroik Rama menyelamatkan Shinta. Kakek-kakek tua itu seperti Rahwana. Aku ikut tertawa, mengusap rambut hitam legam Cindanita.

Lantas aku membawa mempelai wanita itu ke kota ini, kota kelahiranmu. Menurunkannya di pelabuhan. Dia masih sempat membawa uang, bekal berpergian. Dia dengan cepat beradaptasi, bekerja menjadi penjaga toko cokelat. Dan kami, jika sebuah kejadian sepele saja bisa membuat orang jatuh cinta, apalagai kejadian itu, kami jatuh cinta. Aku melanjutkan perjalanan menjadi kelasi kapal, mengelilingi dunia mengirim barang-barang muatan.

Tiga bulan sekali singgah di kota ini, menjenguk mempelai perempuan itu. Di kali keempat aku singgah, kami melangsungkan pernikahan. Itu sungguh pesta pernikahan yang hebat, semua undangan berbahagia, dan yang pasti, kedua mempelai bahagia, tidak akan ada yang berusaha pergi. Mempelai perempuan itu adalah Ibumu, Nak.

Kami membeli rumah kecil di dekat toko cokelat itu. Ibumu riang terus bekerja, dan aku kembali menjadi pelaut, yang beberapa bulan baru kembali singgah. Dua tahun berlalu, semua berjalan lancar, seperti tidak akan ada masalah, kami bahagia dengan cara tersebut. Bertemu dua minggu, untuk berpisah tiga bulan. Berpisah tiga bulan, untuk bertemu dua minggu. Ayah mempercayai Ibumu, dan Ibumu mempercayai Ayah. Tidak ada yang perlu dicemaskan.

Mata bulat hitam Cindanita berkerjap-kerjap menatapku. Aku tersenyum, menyentuh pipinya yang berlesung.

Sayangnya, Nak, cerita baru saja dimulai. Sama halnya dengan kisah hebat dari India itu, kisah abadi Rama dan Shinta. Bukan, sungguh bukan petualangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang menjadi cerita utamanya, seperti yang disangkakan orang-orang, seperti yang lebih suka didengar orang banyak. Cerita pentingnya justeru baru dimulai persis saat pasangan abadi itu kembali ke Ayodya. Sama seperti Ayah dan Ibumu, cerita pentingnya baru dimulai ketika Ibumu mengandung.

Tentang kepercayaan. Tentang salah-satu pondasi dasar sebuah cinta. Kau mau mendengar kelanjutan cerita Rama dan Shinta, Nak? Tidak sabar? Aku tersenyum, masih lembut mengelus pipi Cindanitaku.

**** “Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja, Laksmana.” Rama menghembuskan nafas panjang, berdiri menatap langit, tangannya bersidekap resah, sejak tadi siang dia terus berpikir.

“Bagaimana mungkin kau tidak mempercayainya, Kakanda?” Laksmana berseru putus asa, “Empat belas tahun Shinta setia menemani di hutan rimba. Empat belas tahun hidup penuh penderitaan demi mengabdi pada suaminya. Ditambah berbulan-bulan di tahan oleh Rahwana, berbulan-bulan menanggung penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana mungkin kau tidak mempercayai Shinta?”

“Berbulan-bulan.” Rama mendesah, “Karena berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa yang telah terjadi di Alengka? Siapa yang bisa memastikannya?”

“Tidak.” Laksmana menggeleng kencang-kencang, seperti berusaha mengusir kalimat Rama barusan jauh-jauh, “Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutmu, Kakanda.”

Ruangan singgasana hening sejenak

Inilah masalah baru pasangan Rama dan Shinta.

Jutaan rakyat Kosala bersorak senang saat Rama membawa pulang Shinta ke ibukota Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri hukuman empat belas tahun terbuang. Tahta raja Kosala dikembalikan oleh adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana, raja raksasa penyebab semua masalah daratan India membuat rakyat berpesta, dan lebih besar lagi pesta itu karena yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru mereka, Rama. Tapi kesenangan itu hanya sebentar, entah siapa yang memulai, bisik-bisik kotor merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar burung menyebar begitu cepat. Di sudutsudut istana, di pasar-pasar kumuh, di kampung-kampung. Apalagi kalau bukan kabar burung: Shinta sudah tidak suci lagi. Berbulan-bulan ditawan Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap mampu menjaga diri? Rahwana adalah raksasa licik yang sakti, dia bisa menipu siapa saja, bukan?

Bisik-bisik kotor itu bagai jelaga hitam ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam sejauh mata memandang, dan hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di telinga Rama. Rakyatnya meragukan kesucian Shinta.

“Omong kosong, Kakanda.” Laksmana berseru, “Omong kosong semua ini. Aku bersumpah, Shinta tidak akan pernah berkhianat. Kakanda seharusnya tidak mendengarkan bisik-bisik di luar sana. Di mana mereka saat Kakanda dan Shinta terusir empat belas tahun di hutan rimba? Di mana mereka saat Kakanda memimpin ribuan pasukan Wanara? Tidak ada satu pun rakyat Kosala yang peduli? Kenapa sekarang mereka peduli sekali dengan sesuatu yang bukan urusa mereka?”

Ruangan singgasana semakin tegang. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Rama mengajak adiknya membicarakan masalah pelik tersebut.

“Tetapi mereka rakyatku, Laksmana. Aku tidak bisa menjadi Raja mereka yang baik jika mereka tidak mempercayai Ratunya.” Rama menatap kosong ke depan, resah.

“Karena Kakanda Raja dan mereka rakyat, maka Kakanda bisa memerintahkan untuk menghentikan seluruh omong kosong.” Laksmana menjawab gemas, dia mulai kehabisan cara membujuk Rama.

Rama menggeleng, urusan ini tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Laksmana. Apakah Shinta tetap suci? Berbulan-bulan dia ditahan di taman Asoka yang indah, di dalam istana kerajaan Alengka, dijaga belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta bisa menjaga kehormatan dirinya?

Keputusan besar itu diambil Rama, dia memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk Shinta. Melewati api yang berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka tidak akan ada keraguan lagi.

“Apakah Kakanda masih mencintai Shinta?” Laksmana bertanya lirih, keputusan telah diambil, tidak banyak yang bisa dilakukannya.

“Aku mencintainya, Laksmana. Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu?”

Laksmana tertunduk, “Maka Kakanda telah melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah pondasi penting sebuah cinta, Kakanda telah kehilangan pondasi itu. Besok lusa, hal ini akan terulang kembali. Besok lusa, tanpa pondasi tersebut, Kakanda hanya akan menjadi olok-olok seluruh penduduk Ayodya.”

Rama terdiam, menelan ludah, menatap adiknya tidak mengerti. Ruangan singgsana lengang.

“Bukan, sungguh bukan karena ingin mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini dilakukan.” Laksmana masih tertunduk, “Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup resah di hati Kakanda. Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu, tapi Kakanda, tidak akan pernah berhasil memadamkan keresahan itu.”

Laksmana membungkuk, ijin pamit, melangkah pelan menuju pintu ruangan, punggungnya hilang di antara helaan nafas Rama. Ujian kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan penduduk Ayodya. Apakah Shinta menolak ujian tersebut? Merasa ujian itu melecehkan harga dirinya? Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun. Dia tidak merasa suaminya meragukan dirinya, ujian ini hanya untuk membuktikan kepada rakyat banyak.

Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama melakukan hal yang lebih sulit dibanding itu dia bersedia.

Pagi itu, di tengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar, menjilat-jilat terasa begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk yang sejak malam buta berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap kobaran api, menunggu prosesi ujian dimulai.

Shinta melangkah keluar dari Istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikit pun, rambutnya terurai panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa semerbak wangi yang belum pernah dicium banyak orang. Resi-resi istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan. Puja-puji untuk seorang puteri yang akan membuktikan diri.

“Dusta takkan bercampur dengan jujur Hina takkan bercampur dengan mulia Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina

Habis lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap menuju kobaran api yang menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa pingsan tidak tahan menonton saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi berseru lirih. Rama memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju kobaran api suci

Laksmana benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran api, lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku pakaian yang dikenakan Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira. Shinta berhasil melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana, Rama menghela nafas lega, ikut berseru riang.

Tetapi cerita jauh dari selesai.

***

Kalimat lain Laksmana juga benar, adik Rama yang tidak tahan dengan situasi istana, dan akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu bijak menilai sesuatu, Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak pernah memadamkan resah di hati orang-orang yang tidak mau percaya.

Hanya berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang membakar rerumputan kering, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja. Orangorang berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong, mereka ditipu mentah-mentah. Shinta menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, begitu bertimbun kesaktiannya, apa susahnya sebelum dia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada Shinta untuk mengatasi hal ini.

Hanya berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta kembali hidup rukun, saat gelombang kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya. Cepat dan merusak sekali akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.

“Kau tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia kera, bangsa Rawana, kali ini yang bijak menasehati.

“Tapi bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan Ratunya? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua? Siapa?”

Hanoman menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya, “Astaga, Paduka Rama, sungguh tidak ada yang terjadi di taman Asoka. Bukankah kau sendiri

yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu adalah perempuan terhormat, dia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun. Akulah saksinya.” Rama menggeleng.

“Paduka Rama tidak percaya padaku?”

“Aku tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, Pamanda.” Rama menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.

Ruangan singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya, urusan itu ternyata masih berbuntut panjang.

Keputusan kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci. Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas dia harus diuji dengan apa? Mudah, usir saja dia dari Ayodya.

“Kau telah kehilangan akal sehat, Paduka Rama.” Hanoman berseru, kepalanya menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas, sungguh dia ingin mengusir kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak akan melakukannya, bukan? Itu, itu berlebihan.”

Justeru sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama, entah alasan apa yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai, kemanakah cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta menemani Rama terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami tercintanya tiba, merebutnya kembali.

Shinta diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, di hadapan rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh bijaksana,

bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.

Hanoman tertunduk dalam, terpekur menatap lantai.

“Apakah kau masih mencintai Shinta, Paduka Rama?” Bertanya pelan.

“Tentu saja, Pamanda. Tentu saja.” Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, “Aku mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu melewati masa pembuangannya.”

Hanoman menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini, Paduka, esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”

Hanoman melangkah perlahan, meninggalkan gegap gempita halaman Istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.

Bagaimana Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya? Shinta mengangguk, kali ini dia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati, matanya berkaca-kaca, tapi dia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena keputusan itu, dia sedikitpun tidak pernah meragukan cinta Rama. Shinta sedih karena dia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat Ayodya, Shinta sedih harus berpisah dengan suami tercinta.

“Jangan cemaskan aku, Kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan baik-baik saja. Masa pembuangan ini tidak akan lama, apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, Kakanda. Sedikit pun jangan terbetik perasaan itu.”

Senja itu, saat gelap mulai menghampiri ibukota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya, tidak ada yang boleh membantunya.

Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin menonton.

Resi-resi istana membacakan kidung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga, mengenakan pakaian putih, selendang putih, semerbak wangi menyergap hidung-hidung. Tidak, oh Ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak akan menangis, wahai Dewi Laksmi. Shinta meremas jemarinya, menatap sekitar yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dari suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku kepada suamiku.

“Dusta takkan bercampur dengan jujur Hina takkan bercampur dengan mulia Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”

Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu, disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi singgasana, sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang ibukota Ayodya, menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorang pun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa Shinta sedang mengandung anak mereka.

Gelap, hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan binatang buas terdengar di kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang melata, menyeruak malam kelam. Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki Shinta tersangkut tunggul dan akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang lumpur hutan, tubuhnya kotor, padahal dia baru beberapa jam saja menjalani hukuman tersebut. Kemana dia harus pergi sekarang?

Gentar Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah datang dari mata binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu binatang berbahaya atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang kecil yang melata di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.

Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali Shinta mendesiskan mantra itu, kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani Rama terusir empat belas tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta menyeka mata. Dia sudah berhenti menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena sedang memastikan mahkluk apa yang terlihat mengerikan telah menghadangnya di depan.

Itu seekor beruang raksasa.

Mengaum merobek malam.

Shinta berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha melarikan diri. Beruang itu mengejarnya, membuat rebah jimpa semak belukar, pohon-pohon kecil patah. Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini tersangkut ranting. Tidak, dia tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya masih panjang, dia harus bisa menyelamatkan diri.

Beruang itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan, air liurnya terpercik kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam mencakar kesana kemari, buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali tersungkur, kakinya tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa berdiri lagi, nafasnya tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh, menatap jerih beruang raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.

Persis sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari balik pepohonan yang gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu, dan sebelum Shinta sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap menjemput ajal, beruang raksasa itu telah tumbang.

Adalah Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling arif dan bijak di jaman itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair kisah-kisah Ramayana. Malam itu, bersama belasan murid padepokannya, mereka sedang melintas pulang dari perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian mengerikan, seorang perempuan siap diterkam seekor beruang. Tubuh terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu sebuah perkampungan tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari kayu yang berdiri di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan, lembah hijau yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan. Resi Walmiki adalah pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan melihat wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut oleh luka, malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya panjang lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak remaja, pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.

Tidak ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta, kecuali Resi Walmiki. Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang kebijaksanaan hidup, bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk bertahan dari binatang buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di perkampungan itu. Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu, Cindanita, boleh jadi diterkam oleh beruang akan lebih baik baginya. Lihatlah, meski sekarang dia aman secara fisik tinggal di perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka. Setiap pagi Shinta hanya duduk termenung menatap air terjun menimpa bebatuan menyanyikan lagu kerinduan. Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah pengembara yang salah masuk bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu riang saat berhasil menarik busur Dewa Siwa. Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu, Cindanita. Malam-malam Shinta sering menatap langit penuh bintang. Duhai, bertanya dalam hati sedang apakah suaminya saat ini? Apakah Rama mulai merindukan dirinya? Seperti dia yang setiap hela nafas menyebut nama suaminya? Aku akan baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu melewati masa-masa pengusiran ini, Shinta berbisik, lantas berharap angin lembah membawa kalimatnya tiba di ibukota Ayodya, ribuan kilometer jauhnya.

Hari demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap berputar. Perut Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi kegembiraan mendengar kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan. Seorang ibu setengah baya membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar, laki-laki, tampan seperti Ayahnya—yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah pembuangan itu. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.

Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia punya kesibukan. Dan tanpa terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat cepat, dua anak kembar itu tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tidak pernah Resi Walmiki memiliki murid sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa. Lawa dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil itu, mereka adalah pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia tersendiri.

Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan, Cindanita? Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat istrinya yang terusir di hutan rimba? Apakah suaminya masih merindukannya? Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan menangis, sungguh aku tidak akan menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.

Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan melihat Shinta berdiri termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang padepokan, berharap rombongan pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki kuda milik penghuni perkampungan pun sudah membuat Shinta terlonjak, apakah itu?

Apakah itu? Satu suara desir orang datang sudah membuat Shinta berseru tertahan, apakah itu? Apakah itu Rama yang menjemputnya.

Malang sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan menjemput, datang menyibak pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan, kabar baik secuil pun tidak datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.

“Tidurlah, anakku.” Resi Walmiki berkata takjim, “Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik sendirian di anak tangga.”

Shinta menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini hingga suaminya tiba. Dia tidak mau sedang tertidur saat Rama datang menjemputnya. Sama persis saat di taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun lalai mengingat Rama. Dia harus terjaga, lantas tersenyum riang menyambut suaminya.

“Tidak akan ada jemputan malam ini, anakku.” Resi Walmiki mendesah pelan, menghela nafas panjang penuh kesedihan, “Suamimu tidak akan datang menjemput.”

Tidak. Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati. Menolak untuk percaya. Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai suaminya, dan Rama akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.

Resi Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang dipenuhi bintang gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus menunggu di anak tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. Rama tidak akan pernah menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan lalu, dia sendiri yang diamdiam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi kebanyakan, menatap wajah Rama. Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya. Apakah Rama masih mencintai Shinta? Tentu saja. Cinta itu sama besarnya sejak mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan, maka ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.

Sepuluh tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil memadamkan api kecurigaan, prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu semakin rusak oleh mudahnya dia percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya. Apakah Rama tahu ini hari penghabisan masa pembuangan Shinta? Dia bahkan setiap saat menghitung hari, tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya? Dia bahkan setiap saat menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus itu semua. Sia-sia Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak menjadi matang tanpa api di bawah periuknya.

Satu hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu tahun lebih, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan itu masih bersisa banyak, tapi pengharapan yang tak kunjung berujung menghabisi banyak hal.

Penghuni padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus menunggu. Dua anak kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa, ada apa gerangan Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan kapiran urusan, persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa menemukan catatan milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal Ramayana.

Dua anak kembar itu tahu.

Dua anak kembar itu tahu, Cindanita. Aduh, kapiran urusan. Kau tahu rahasia besar yang paling mengerikan dari pusaka busur Dewa Brahma milik si kembar: kebencian. Busur itu akan berlipat-lipat menjadi lebih hebat saat dipegang oleh orang yang memiliki alasan kebencian yang sah, berhak, dan direstui terbalaskan. Apalagi yang tidak mereka miliki sekarang selain kebencian yang menggunung? Mereka tahu, Ibu mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri hanya karena prasangka. Tidak cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini? Tidak cukupkah ujian api suci yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta? Sekarang, saat masa pembuangan itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati Ayahnya datang menjemput?

Lawa dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa sambil menyeka air mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu mereka. Dua anak itu, baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria terbaik jaman itu, darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur Dewa Brahma, yang walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah seratus delapan puluh derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.

Hari itu juga, bagai puting beliung Lawa dan Kusa berangkat meninggalkan padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi satu kota kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar. Benteng pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar terdengar hingga ibukota Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang menyangka kerusakan sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.

Demi mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan kerajaan, tanpa tahu siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan besar dipimpin Hanoman. Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka berdua melepas satu anak panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak panah, bagai hujan deras turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak terbayangkan, panglima perang bangsa Rawana dikalahkan begitu muda oleh dua anak berusia dua belas tahun.

Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di ibukota Ayodya, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.

Kecamuk besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang tertutup dari kabar luar. Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi, masih berkutat dengan kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi Walmiki membawa kabar buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa yang telah mereka lakukan? Kerusakan apa yang telah mereka perbuat? Seberapa besar kebencian itu?

Shinta menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka pergi menyusul ke ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua sepanjang sejarah daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta menggebah kudanya agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang terlambat.

Sementara di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya berbaris menunggu perintah. Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di singgasana, busur Dewa Siwa terpasang di punggung. Ketakutan mencekam seluruh Ayodya. Penduduk gemetar, kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas, meskipun itu tidak mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun hendak menonton pertempuran—tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan apapun.

Matahari tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang kota Ayodya. Nafas prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah menyibak pasukan, debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa Brahma terpentang kencangkencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura mengerikan keluar dari wajah mereka.

Bagaimana mungkin? Dua anak kembar ini? Masih kecil sekali, bahkan seperti anakanak yang bermain di sekitar rumah. Siapa mereka sesungguhnya?

Dan yang membuat helaan nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin tertahan, Dua anak kembar itu datang sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi ujian milik Ibunya:

“Dusta takkan bercampur dengan jujur Hina takkan bercampur dengan mulia Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”

Duhai, siapakah dua anak kembar ini? Apa yang mereka inginkan? Dendam kesumat apa yang hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya? Rakyat bersitatap satu sama lain, perasaan takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin tahu mereka. Rama berdiri dari singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.

Pertempuran besar itu hanya soal waktu terjadi.

Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.

“Hentikan!!” Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang kota. “Hentikan! Aku mohon.” Shinta berseru tersengal, kudanya menerobos rakyat yang menonton. Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang? Bukankah itu?

Bisik-bisik menjalar bagai api memakan rumput kering.

“Shinta? Kaukah itu?” Rama balas berseru demi melihat perempuan yang loncat turun dari kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan Kusa.

Demi melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari menuruni anak tangga. Shinta, kaukah itu? Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya.

“Lepaskan kami Ibu!” Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa berteriak, menghindari pelukan Ibunya.

“Jangan, Nak. Sungguh jangan.” Shinta berseru serak, masih berusaha memeluk anakanaknya.

“Lepaskan kami Ibu!”

“Dia Ayah kalian, Nak.”

“Tidak!” Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan, ke arah Rama yang sedang menuruni anak tangga, berusaha mendekat.

“Dia bukan Ayah kami.” Kusa tidak kalah membentak galak, menunjuk Rama, “Dia bukan siapa-siapa kami.”

“Jangan, Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya.” Shinta menangis, memohon, suaranya semakin serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus membentangkan busur.

“Kami akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum seluruh Ayodya.” “Shinta, Shinta istriku.” Rama sudah dekat dengan Shinta yang akhirnya berhasil memeluk anak-anaknya.

Langkah Rama tertahan, menatap tidak mengerti, “Siapa mereka istriku? Siapa dua anak kecil ini? Kenapa kau malah memeluknya?”

Shinta menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai selama ini, wajah suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda, sudah sejak tadi dia loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.

“Siapa mereka, Shinta?” Rama bertanya lagi, dia juga sama, jikalau situasinya berbeda, sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta, kerinduan pada istrinya sungguh tidak tertahan dua belas tahun terakhir.

“Dia anak-anakmu, Paduka Raja.” Resi Walmiki yang menjawab, loncat dari kudanya yang baru tiba. “Anak-anakku?” Rama berseru tertahan.

Dan lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya. Berbisik-bisik bagai dengung lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua kembar perusak ini anak Rama yang gagah

perkasa? Apakah tidak salah dengar mereka? Dua anak kembar mengerikan ini anak Rama yang hebat?

“Mereka sungguh anak-anakku, Shinta?” Rama bertanya, memastikan, menatap Shinta yang masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.

Shinta mengangguk lemah.

Tidak mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin raja mereka memiliki anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun ke dalam hutan rimba. Bagaimana dia hamil? Tidak masuk akal. Itu pastilah dusta. Siapa yang tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan?

Duhai, urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun lalu itu selalu benar. Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama tidak akan pernah berhasil memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu juga benar, Shinta akan berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama tidak akan pernah berhasil melalui resah hatinya.

Hanya sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat istrinya kembali. Sejenak kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih sisanya. Rama menggeleng, tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku. Rakyat Ayodya bersorak, itu benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa memiliki dua anak perusak.

Shinta tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh Ibu, lihatlah, setelah begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah begitu besar harapan yang dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang, suaminya menolak percaya atas anggukan pelannya tadi.

Apalah artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan?

Semua ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya mengulur-ngulur waktu, dan dia terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia berharap Rama akan kembali mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.

Sebelum semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak kembarnya untuk terakhir kali, berlinang air mata, lantas melepas pelukan, kemudian berlari menjauh dari Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil berseru-seru, “Oh Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu.” Shinta memanggil keadilan.

Resi Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang akan dilakukan Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia. Itulah bukti paling maksimal.

Kejadian itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan dikenang ratusan tahun kemudian.

“Oh Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu.” Shinta berlari, kakinya tertekuk sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak kuat lagi.

Sungguh dia masih cinta, tapi buat apa?

Bukankah cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.

Rama yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat panik. Rama terbang dengan segala pesonanya.

Shinta tersungkur, tangannya mencabik-cabik tanah, debu mengepul beterbangan, mulutnya lirih nian membaca mantera, Rama sudah amat dekat, dia tak kuasa lari lagi.

“Oh Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika anakmu ini memang ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku kembali ke langit tanpa nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu kembali, aku mohon. Aku sungguh tidak kuat lagi.”

“Jangan lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan lakukan, Shinta, demi aku.”

Tetapi kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap melakukan prosesi pembuktian paling tinggi.

“Ibu, bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang gila.

“Dengarkan aku, Shinta." Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.

“Ibu pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.

“Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”

“Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”

“Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.” Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.

Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung melompat.

Rama terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar, terlambat, rekahan menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi. Hening. Hening.

*** Juga hening pemakaman kota ini. Malam sudah turun sejak tadi, lampu-lampu taman pemakaman menyala, meski tidak kuasa menerangi hingga pusara Cindanita.

Satu-dua kunang-kunang terbang di hadapanku.

Aku tersenyum sambil mengelus rambut hitam legam Cindanita, yang tidak sabaran, menunggu kelanjutan cerita. Akan Ayah selesaikan ceritanya, Nak. Aku mengangguk.

Kau tahu, Nak, hari itu, siang itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta guntur menggelegar, langit kelam, "Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau kululuh lantakkan tubuhmu."

Alam mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara. Bukankah pernah Ayah bilang, Nak, busur itu bisa membelah bumi bagai tangan orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang. Hari itu, Rama menarik busur pusakanya. Bersiap menukar kesedihan, penyesalannya dengan binasanya seluruh dunia.

Sayangnya, Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma yang menyimpan rahasia, busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja, busur itu sejatinya milik Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang diinginkan Shinta. Itulah kenapa dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena Shinta mencintainya, dan menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah Rama mampu mengalahkan Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh daratan India, karena Shinta menginginkannya.

Shinta telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur itu, tarikan Rama atas busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak mengerti, bahkan sekarang busur itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya, jatuh berdebam di tanah, membuat debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk, mengais-ngais tempat rekahan yang baru saja menelan tubuh istrinya. Rama berseru-seru, memanggil, memohon. Dia sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta maaf. Tetapi semua sudah terlambat.

Kejadian siang itu akan dikenang banyak orang.

Beberapa minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia memutuskan menyusul adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang menyaksikan kalau Ibunya tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil dibujuk Resi Walmiki kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi mereka menghentikan

berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara rakyat Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.

Itulah kisah legendaris Rama dan Shinta, Cindanita. Maafkan Ayah, Nak, kisah ini ternyata tidak berakhir bahagia.

Cindanita menatapku, berkerjap-kerjap. Aku mengangguk, ya, kau benar Cindanita, kisah ini mirip dengan cerita Ayah dan Ibumu. Setelah dua tahun menikah, Ibumu mengandung. Itu kau, Cindanita, membuat kebahagiaan kami berlipat-lipat.

Tapi sayangnya, bisik-bisik itu mulai terjadi. Banyak tetangga yang datang menjenguk Ibumu, bertanya satu-dua hal, mengetahui Ayahmu yang bekerja sebagai pelaut, lantas entah dari mana prasangka kotor itu mulai bekerja. Bukankah pelaut jenis pekerjaan yang mudah tergoda? Tiga bulan berlayar entah ke kota mana, pelabuhan mana, bukankah? Bukankah?

Ayah tidak tahu sejak kapan Ibumu termakan bisik-bisik itu. Ayah merasa semua baikbaik saja, bahkan saat menemani kau lahir Cindanita, Ayah merasa menjadi orang paling berbahagia sedunia. Tidak dengan Ibumu, ternyata dia berbulan-bulan menahan diri untuk bertanya apakah aku masih setia dengannya, apakah aku tidak berselingkuh di kota lain. Dan bisul itu pecah saat semua kerepotan datang mengurus kau, Cindanita. Ayah yang harus kembali ke kapal, menerima hujaman pertanyaan itu.

Apa yang harus Ayah jawab? Jelaskan? Bahkan Ayah sungguh bingung dengan prasangka itu? Bukankah kita baik-baik saja selama ini? Ibumu sebaliknya justeru berteriak histeris, bilang tidak percaya. Situasi berubah dengan cepat memburuk, pernikahan kami seperti kapal memasuki badai.

Tiga bulan kemudian, saat Ayah kembali lagi ke kota, Ibumu bahkan menolak bicara. Prasangka itu semakin tebal, cinta kami dikalahan oleh ketidakpercayaan. Tiga bulan lagi berlalu, semua tiba pada puncaknya, malam itu Ibumu marah besar, dan dia pergi begitu saja dari rumah. Ayah panik, Nak, kau menangis kencang di kamar. Situasi berubah jadi menyedihkan, aku tidak becus mengurus bayi, dan kau jatuh sakit, satu

minggu berlalu, meski dibantu dokter dan perawat, sakitmu terus memburuk, tubuhmu membiru.

Dua minggu berlalu, saat Ibumu kembali, dia hanya bisa meratap di pekuburan ini. Dia kembali saat pemakamanmu, Cindanita. Penyesalan, kebencian, entahlah, menyatu dari sorot matanya, kami tidak bicara sepatah pun malam itu, dan aku tahu, kali ini, Ibumu akan pergi tidak akan pernah kembali.

Bagaimana mungkin semua kisah bahagia itu berakhir menyedihkan? Aku tidak pernah tahu jawabannya, Nak. Yang Ayah yakini, cinta yang besar, tanpa disertai komitmen dan kepercayaan, maka dia hanya akan menelan diri sendiri.

Satu kunang-kunang terbang di atas pusara Cindanita.

Sudah larut malam, Nak. Kelasi kapalku sudah menunggu di pelabuhan, kami harus melanjutkan perjalanan. Sampai bertemu tahun depan. Ayah janji, Ayah akan menceritakan kisah hebat dari tempat-tempat lain yang Ayah kunjungi. Aku mencium lembut kening Cindanita.

Selamat tidur, Nak. ***

4. Buat Apa Disesali Kisah ini sudah tertinggal dua puluh tahun lebih, maka ibarat seseorang yang ketinggalan kereta, bukan cuma kilau lampu dan getar rel yg telah hilang di tikungan sana, bahkan gerbongnya sj sudah karatan dan dipensiunkan, lokomotifnya mungkin masih beroperasi, tapi sudah tersengal karena tua. Cerita ini sudah menguap dua puluh tahun lebih, maka ibarat embun menggelayut malas di dedaunan, jangan-jangan rerumputan itu sudah menjadi hutan, tidak tersisa lagi kenangannya. Tapi tak mengapa, boleh jadi cerita ini bermanfaat. Toh, kalian biasanya suka dgn kisah cinta klasik seperti ini. Yang walaupun saking klasiknya, berkali-kali terjadi di sekitar kita.

Kisah ini dari mbak kita, panggil saja namanya Hesty, 48 tahun, tinggal di Menteng, salah satu kawasan elit di Jakarta--klasik kan. Dia 8 tahun terakhir, selalu menangis dalam diam saat mendengar lagu "Selamat Jalan"-Rita Effendy, apalagi ketika malam tiba, Jakarta dikepung rinai gerimis, berdiri di teras, menatap kilat cahaya lampu, semua kenangan itu kembali. Apa coba salah itu lagu? Apa coba dosa Rite Effendy, sampai lagunya dijadikan 'lagu nasional' kesedihan dari Mbak Hesty, tidak panjang kata lagi, baiklah, berikut kisahnya.

Hesty dan Tigor lahir di hari yg sama, tahun 1960, masa-masa Soekarno dan bangsa ini ribut tentang jargon nasakom. Mereka lahir nyaris di waktu yg juga hampir bersamaan; bedanya, Hesty dilahirkan di RS Cipto dibantu dokter-dokter yg hebat, sementara Tigor dilahirkan di kampung dibantu dukun beranak sekitaran Cikini.

Mereka juga tinggal satu rumah, satu atap. Bedanya, Hesty tinggal di lantai dua dengan kamar besar, bertirai sutera, berlantai parquet jati. Sedangkan Tigor tinggal di sudut paling pojok rumah itu di kamar sempit, sekamar dengan Emak dan Bapaknya. Mereka tumbuh bersama, bersisian, dan berbagi banyak hal yg sama. Bedanya Hesty adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara keluarga pejabat pemerintah pemilik rumah besar dibilangan Menteng tersebut; sementara Tigor anak pertama dan satu-satunya dari Bibi (tukang cuci) dan Mamang (tukan kebun) rumah tersebut.

Klasik sekali, bukan?

Sejak kecil mereka dekat. Tidak ada yg tahu kenapa mereka begitu kompak, begitu melengkapi dan boleh jadi terlihat cocok satu sama lain. Di mana ada Tigor, maka Hesty, gadis kecil dgn rambut ikal, mata hitam bundar, dan wajah menggemaskan itu selalu ada. Dan sebaliknya, di mana ada Hesty, maka Tigor, bocah kecil dgn rambut berantakan, kulit rada-rada hitam, dan wajah selalu tertawa itu selalu ada. Namanya juga anak-anak. Belum ada yg keberatan dgn fakta kedekatan mereka. Papa Hesty memang sering marah-marah setiap kali tahu cerita kalau Hesty lagi-lagi bandel mandi di sungai ciliwung bersama Tigor--jaman itu aliran air Ciliwung masih sedikit manusiawi. Atau ketahuan main layang-layang jauh sekali di lapangan banteng. Berjalan kaki pulang sekolah (padahal ada jemputan). Melempari pohon mangga di perempatan Senen. Tapi saat itu, tentu saja Papa Hesty hanya marah atas kenakalan Tigor dan Hesty. Mereka masih anak-anak.

Bibi dan Mamang setiap malam mengingatkan Tigor soal "nona muda" jangan diajak main yg aneh-aneh. Tigor selalu menurut, mengangguk. Tapi mau bagaimana? Nona muda Hesty sendiri yang justru sambil nyengir berteriak di luar kamar sempit itu. "Tigoorrr! Main yuk!" mengajak Tigor bersepeda sepanjang hari, lantas melakukan halhal seru di kampung-kampung Jakarta--blusukan. Sepanjang sejarah kanak-kanak mereka, hanya dua kali Papa Tigor benar-benar marah soal kebersamaan mereka; pertama ketika Hesty dan Tigor pulang kemalaman bersepeda (sebenarnya mereka sering kemalaman); tapi kali ini beda, itu persis tanggal 30 september saat umur mereka 6 tahun. Hesty imut-nya cuma menyahut seruan ayah-nya dgn: "Pa, aman2 saja kok, Hesty tadi malah lihat banyak tank, ya kan Tigor?" Papa semakin marah, "Aduh, kita nggak kenapa-napa kok, Pa. Tentara itu mau perang ya, Pa?" Hesty dihukum tidak boleh keluar selama tiga hari. Sedangkan di kamar sempit, Tigor dihukum Bibi (ibu Tigor) tidur di kursi luar selama seminggu, bersama nyamuk, kena tampias hujan. Itu hukuman yang boleh jadi masuk akal, karena Jakarta sedang genting-gentingnya karena pemberontakan PKI, mereka berdua malah asyik beranjangsana.

Kali kedua, dan ini juga fatal sekali; saat Hesty dan Tigor mencuri-curi peralatan kamera Papa-nya. Lantas menggunakannya utk foto-foto. Itu barang langka tahun 60-an; hadiah istimewa dr duta besar Inggris. Kamera itu rusak. Maka malam itu Hesty dijewer Papanya. Tigor? Ditampar Mamang (bapaknya), "Kau membuat nona muda menangis, hah. Kau pikir kau bisa seenak perut masuk-masuk ke kamar Tuan?". Belum lagi hukuman tambahan, bukan sekadar tidur di kursi, Bibi kali ini menyuruh Tigor berdiri di halaman rumah hingga shubuh. Malam itu hujan turun deras. Hesty menangis, mengintip dari teras lantai dua, menatap Tigor yg menggigil kedinginan di halaman bersimbah hujan. Hesty sejak tadi sungguh hendak menyerahkan payung; Papa-nya mendelik marah, mengunci pintu kamar. Menyisakan isak gadis kecil berambut ikal itu. Itu semua idenya, bukan salah Tigor.

Lepas beberapa hari (tujuh hari) dari insiden kamera tersebut, Papa Hesty mendapat tugas menjadi pimpinan di Surabaya. Berangkatlah seluruh keluarga itu ke sana. Rumah besar di Menteng hanya menyisakan tiga orang: Bibi, Mamang dan Tigor. Sisa-sisa kemarahan soal kamera itu jelas masih ada; jadi Tigor hanya bisa takut-takut melambaikan tangan saat mobil pergi mengantar keluarga itu ke Stasiun Kota. Tapi bukan Tigor dan Hesty namanya jika mereka mengalah begitu saja. Tigor bergegas dgn sepedanya menuju Stasiun Manggarai, sengaja menunggui kereta itu lewat di sana. Dia kali dia tertipu, salah. Kereta ke-3 dia benar; kepala Hesty melongok dari jendela gerbong, melambai2kan tangan. Meski tdk janjian (mereka saja bahkan dilarang bicara satu sama lain selama seminggu terakhir), tentu saja Hesty tahu, mereka sering bersepeda ke sini; lantas pura-pura melambaikan tangan ke kereta-kereta yg lewat, tertawa-tawasoal di sana ada Hesty yg pergi entah kemana.. kali ini benar2 terjadi; dan kedekatan itu membuat Hesty yakin Tigor akan berdiri di sana. Hesty yakin sekali. Maka setengah mengharukan setengah lucu melihat mereka dada-dada-an.. Kepala Hesty keluar dari jendela gerbong, Tigor berlarian melambai. Kereta terus melaju. Kali ini Papa Hesty tdk tahu hendak bilang apa lagi, mukanya cuma menggelembung merah.

Dan waktu berlalu dgn cepat...

Seperti cepatnya pembangunan yg merubah wajah kota Jakarta... Ali Sadikin menyulap jalanan Thamrin, kampung raksasa itu berubah jd metropolitan. Lantas apa kabar

Hesty-Tigor? Duhai, apalah artinya Jakarta-Surabaya? jarak tidak mampu menaklukkan kedekatan. Mereka menemukan cara baru utk terus berhubungan. Surat-menyurat.... Menurut cerita Hesty, selama 14 tahun Papa-nya bertugas di Surabaya, dia mengirimkan 251 surat buat Tigor. Dan menerima 234 surat balasan. Kenapa balasan Tigor lbh sedikit? Aduh, urusan ini menyebalkan sekali memang.. di awal2, surat balasan Tigor terlanjur kena black-list Papa Hesty. Langsung dibakar di perapian rumah saat tiba. Hingga Hesty tahu soal itu, dan meminta Tigor mengirimkan surat ke alamat temannya. Beres! Masalah itu teratasi... Isi surat2 itu sebenarnya tidaklah berbeda satu sama lain, hanya tentang: apa saja yang kamu lakukan seminggu terakhir, bercerita seru hal-hal konyol yg dilakukan, ide-ide konyol jika mereka bertemu lagi, dan selalu ditutup dgn kalimat: "tidak seru nggak ada Hesty di sini" (atau "tidak seru nggak ada Tigor di sini", kalau Hesty yg menulis suratnya).

Empat belas tahun berlalu, hingga akhirnya hari yg terjanjikan itu tiba... Kesabaran selalu menaklukkan apapun.

Papa Hesty mendapatkan penempatan baru di Jakarta. Kalian tahu sebagai apa? Menteri. Mereka tidak kembali ke Menteng, keluarga besar Hesty tinggal di kebayoran lama, Papa-nya sudah berumur 60tahun. Hesty sudah dua tahun kuliah di Surabaya, saat pindah ke Jakarta, ia juga pindah kuliah ke UI Salemba. Apa kabar Tigor? Dia tetap tinggal di rumah Menteng, yg sejak dulu disewakan ke ekspatriat, keluarga bule-blue yang bekerja di Jakarta. Sedangkan Bibi dan Mamang juga tetap tinggal di sana, jd pembantu keluarga yang menyewa rumah.

Tapi belasan tahun berlalu, meski tetap tinggal di kamar sempit pojokan rumah, tentu saja Tigor sekarang adalah seorang pemuda. Meski wajahnya rata-rata saja tidak ganteng-ganteng amat (hanya menang di ekspresi muka yg selalu gembira, wajah yang selalu tersenyum menawan), Tigor tumbuh jd pemuda yg pintar. Dia kuliah juga di tahun ke-2 di UI Salemba. Tubuhnya cukup tinggi, cukup atletis, cukup hitam, meski sama sekali tdk cukup biasa utk ukuran jaman itu, anak pembantu kuliah di jurusan paling prestisius, kampus terkenal di Indonesia. Maka duhai, saat mereka bertemu pertama kali di Salemba, momen itu selalu indah utk dikenang. *kalau cerita ini bisa

panjang, saya bahkan bisa menceritakan detail pakaian yg mereka gunakan. Tapi kita tdk akan berlama2 di bagian ini.

Papa Hesty sibuk. Itu tahun-tahun pembangunan nasional dimulai, jargon repelita ngetop sekali. Mama-nya juga, sibuk di darma wanita, aktivitas sosial. Kakak-kakak perempuannya bahkan sudah ada yg menikah dan tinggal di rumah lain, di luar negeri. Tapi sesibuk apapun keluarga itu, mereka segera tahu: kenyataan Hesty dan Tigor yang kembali bersama-sama lagi, dekat sekali di kampus, sering saling menelepon; Itu kabar yang membuat tidak nyaman, risih dan menurut versi Papa Hesty, malu-maluin. Tapi apa mau dikata skrg? Mau mengunci Hesty di kamar? Menyuruh Tigor berdiri di halaman rumah? Mereka sudah dewasa; bahkan di tahun ke-4 kuliah, Tigor menjadi ketua Dewan Mahasiswa (yang salah satu kerjaannya, memprotes pemerintah Soeharto lewat demo-demo di jalanan; tahun 82-an demo2 masih jarang, jadi wajah Tigor yang masuk koran terlihat begitu jelas). Kebencian itu semakin tebal saja.

Usia 26, lulus dr kuliah, diterima bekerja di salah-satu perusahaan swasta yang baik, Tigor akhirnya setelah bertapa seminggu, memikirkannya matang-matang, akhirnya memberanikan diri melamar Hesty. Waktu itu, Papa Hesty diujung2 karir menteri-nya. Diterima? tentu saja jauh asap dari api. Ditolak mentah-mentah. Dihina malah. "Kau tidak menjadi layak hanya karena sarjana, punya pekerjaan bagus, atau terkenal sekali sering menulis di koran-koran. Keluarga kita tetap berbeda jauh." Papa Hesty menjawa dingin. Maka meledaklah masalah tersebut. Hesty menangis. Membenci Papa-nya. Bersumpah akan kabur dr rumah. Tigor pulang dengan wajah sendu. Kali ini Bibi dan Mamang yg semakin sepuh hanya bilang: "Nak, tahu dirilah siapa keluarga kita."

Enam bulan berlalu. Setelah begitu banyak keributan, seruan marah, situasi mulai mereda. Hesty yg sejatinya sayaaang sekali dgn Papa-nya, memutuskan untuk bersabar, mulai menyusun rencana panjang: membujuk Papa-nya tidak bosan-bosan hingga berhasil. Memberikan sejuta argumen. Mengajak Mama-nya ikut bersekutu. Kakak2nya yang tinggal di luar kota dan luar negeri. Setahun berlalu, semua seperti terlihat akan berhasil.. Papa Hesty sudah pensiun, sudah sering sakit malah, semoga saja keraskepalanya berkurang.. Kali ini Tigor menabalkan tekad, kembali melamar Hesty.. duhai, urusan ini menyedihkan sekali, Papa Hesty menemui Tigor pun tidak, dia hanya dingin

bilang ke Hesty: "Jika kau sayang Papa, maka kau akan mendengarkan Papa... Papa tidak setuju kau menikah dengannya, jadi skrg terserah kau!"

Tembok itu tebal sekali.

Dan jahitan luka lama itu terbuka kembali. Lebih lebar dan lebih dalam. Hesty malam itu sepertinya benar2 akan pergi dr rumah.. apalagi Tigor dgn wajah bersungguh2, meminta "janji itu" dipenuhi.. janji saat mereka sering bersepeda dulu: "aku akan ikut kemana kau pergi..." Tapi tidak, Hesty tidak bisa meninggalkan Papa-nya yg sakit2an. "Bersabarlah, Tigor... aku mohon.." Hesty meneguhkan hati; dia akan kembali membujuk Papa-nya. Bersabarlah, dia tidak akan menyerah. Mereka sudah berjanji bahkan sejak kecil, sejak mereka juga belum tahu apa itu perasaan cinta. Ah, apa lagi yg bisa dilakukan Tigor selain menunggu? Tidak mungkin dia membiarkan Hesty menyakiti Papa-nya.

Tapi urusan mereka benar2 berjalan di luar rencana enam bulan kemudian. Bukan karena Tigor kebetulan mendapatkan kesempatan dinas belajar, kursus singkat di London tahun 1987 selama 4 bulan. Jarak tdk pernah berhasil memisahkan mereka.. Tapi karena saat Tigor kembali dari kursus itu, empat bulan kontak dengan Hesty terhenti, dia justeru menemukan amplop tebal berisi setumpuk foto2 dan selembar surat di meja kerjanya. Itu foto2 pernikahan Hesty di Bandung. Dan isi selembar surat itu pendek saja: "Maafkan aku, Tigor.. aku sudah menikah..."

Seperti gila, Tigor berangkat menuju rumah besar keluarga Hesty. Muka riang itu terlihat pucat dan marah sekali.. Ingin rasanya dia langsung berteriak2 marah.. Bukankah mereka sudah berjanji akan sabar satu sama lain? Apa maksud pernikahan gila tersebut? Bagaimana mungkin? Empat bulan dia pergi ke London, Hesty menikah? Tapi seruan tertahan Tigor tidak keluar, ekspresi kemarahan itu justeru terhenti, karena persis ketika Tigor tiba, rumah Hesty dipenuhi oleh siluet hitam dan kesedihan. Papa Hesty semalam meninggal, old soldier itu telah pergi selama-lamanya. Rumah itu dipenuhi pelayat (yang otomatis adalah pejabat2 pemerintah); siapa yg peduli dgn Tigor jika di rumah itu sedang ada penguasa no.1 di Indonesia?

Pemuda malang yg merangsek masuk.. menatap nanar, mencari potongan hatinya: Hesty.. lihatlah, gadis cantik berambut ikal itu sedang menangis sesenggukan di hadapan Papa-nya yg terbaring beku.. Di sebelahnya duduk "seseorang". Melihat pemandangan itu, Tigor gelap-mata. Kepalanya sempit sekali utk berpikir, ada sejuta kabut kesedihan yang membuatnya tidak bisa berpikir rasional dan bersabar.. apalagi saat Hesty mengangkat wajahnya, dan mereka bersitatap satu sama lain; Hesty menggelengkan kepalanya.. menangis.. Tigor tertunduk, kalah.

Siang itu juga Tigor mengambil keputusan super-ekstrem. Dia berpamitan kepada Bibi dan Mamang. Dia akan pergi. Jauh. Ribuan mil, dan semoga semua kesedihan hatinya bisa hilang sejengkal.

Delapan belas tahun berlalu.. Tigor sempurna hilang ditelan gempita dunia.. meninggalkan jendela kaca yg semakin kusam.. rumput halaman yg meninggi dan menjadi belukar.. langit2 rumah yg dipenuhi bintik hitam tampias air... dan di atas itu semua, Tigor sempurna sudah meninggalkan Hesty..

Kalian tahu lagu "Selamat Jalan", Rita Effendy?

"Berpisah denganmu/telah membuatku semakin mengerti/

betapa indah saat bersama/yg masih selalu kukenang/

Setelah kejadian malam itu, menurut Hesty, dia berkali-kali datang ke rumah Menteng; bertanya di mana Tigor? bertanya di mana gerangan sepotong hatinya. Tapi Bibi dan Mamang menggeleng tidak tahu.. Hesty menangis, Hesty memaksa ingin tahu... Tapi siapa yg tahu dan akan memberi jawab? Bibi dan Mamang tidak tahu, hanya menerima surat secara berkala tanpa perangko yang tidak ada alamat pengirim, hanya menyisakan Hesty yg frustasi, Hesty yg bingung, tidak mengerti kenapa Tigor pergi begitu saja... Meninggalkan hari-hari yg sepi... Hari-hari yang menyesakkan.. hingga merubah rasa

cinta itu menjadi kebencian karena setelah dia berkorban banyak hal, membujuk Papanya tak lelah bertahun2, Tigor-lah yg justru pergi tanpa berita..

Dan tahun2 berlalu lambat.. cat2 rumah semakin kusam.. kehidupan terus mengalir.. pohon palem yg mereka tanam berdua dulu waktu kecil bahkan sudah mati tua dimakan rayap... saat Mama-nya meninggal tahun 1995, Hesty yg sudah 35 tahun memutuskan pindah ke Menteng. Dia merenovasi rumah besar itu.. Ada banyak yg dirubah, kecuali kamar di lantai dua, tempat dia sering menghabiskan malam menatap lampu kota jakarta.. ditemani beratus2 lembar foto.. Tigor sejak merusak kamera papa Hesty, suka sekali dgn kamera; itu koleksi foto-foto mereka berdua waktu kuliah, dan tahun2 setelah itu. Menatap foto-foto itu setidaknya membuat Hesty bisa tersenyum, menghela nafas bahagia.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Tentu saja Hesty tinggal sendiri di rumah besar itu... Pernikahan itu tdk pernah ada.. Tigor keliru besar saat melihat foto-foto dan selembar surat itu... Foto-foto tersebut adalah konspirasi terakhir Papa Hesty yang terlalu membenci hubungan mereka. Benar, ada pernikahan tersebut, tapi itu kakak Hesty; dalam beberapa kesempatan, Hesty tentu saja berfoto dgn mempelai cowok bersama yang lain. Karena 5 bersaudara perempuan itu sengaja mengenakan pakaian yg tdk berbeda dgn pengantin, maka dengan memilih foto dengan pose tertentu, seolah2 Hesty-lah yg menikah. Surat itu? ah, urusan ini menyakitkan sekali. Satu2nya yg mempunyai tulisan tangan mirip sekali dgn Hesty adalah Mama. Tidak kuasa menolak permintaan suami-nya yg semakin sepuh, sakit-sakitan, Mama sambil menangis bersedia menulis sepotong kalimat itu.

Dan semua menjadi rumit, saat Tigor datang dengan kemarahan ke rumah di kebayoran baru di hari kematian papa Hesty; lelaki yg duduk di sebelah Hesty adalah kakak iparnya. Dan jelas, di sebelah kakak iparnya tersebut ada kakak perempuan Hesty yg menjadi istrinya. Gelengan kepala Hesty tersebut juga maksudnya: "Jangan sekarang.. nanti saja kita bicarakan soal kita..." Tapi apa hendak mau dikata? Kejam nian kesalahan ini buat mereka.. Tigor yang baru pulang dari London, penuh bahagia berharap bertemu Hesty, benar-benar salah sangka.. Dan semakin kacau karena dia justeru memutuskan

pergi.. menyiram rumput cinta yg tumbuh subur di hati dengan minyak tanah.. membakar habis hingga ke akar2nya..

Fakta ini baru diketahui Hesty enam tahun silam; tahun 2006; Saat Bibi meninggal, saat menemukan setumpuk foto2 pernikahan dan selembar surat itu di kamar sempit tersebut.. Hesty akhirnya mengerti kenapa Tigor raib dari kehidupannya... Hesty akhirnya tahu kenapa dia harus menghabiskan malam selama belasan tahun hanya duduk di teras lantai dua kamarnya.. menatap ke halaman saat hujan deras.. seperti bisa melihat Tigor kecil yg menggigil kehujanan karena dihukum.

"Berpisah denganmu/telah membuatku semakin mengerti/

betapa indah saat bersama/yg masih selalu kukenang/

selamat jalan kekasih/kaulah cinta dalam hidupku/

aku kehilanganmu/untuk selama-lamanya..."

Lagu2 baru bermunculan, artis2 baru datang silih-berganti.. tp bagi Hesty, lagu "Selamat jalan" dari Rita Effendy tersebut tetap menjadi lagu favoritnya.. Bagi Hesty, inilah lagunya...

***

Sy beberapa tahun silam menyempatkan diri menemui mbak Hesty menyusul ceritanya di email yg super panjang lebar. Demikian beberapa point tambahan atas korespondensi tersebut:

Saya: "Apakah mbak Hesty akhirnya bertemu dgn Tigor?"

Hesty: "Ya. Persis enam bulan setelah Bibi meninggal, Tigor datang. Kabar meninggalnya Bibi tiba di tempat tinggalnya, entah bagaimana caranya kabar itu didengarnya.. Dia selama ini ternyata tinggal di London." *mbak Hesty tertawa pelan,

sambil menyeka matanya yg berkaca2, "Tigor datang ke rumah di Menteng. Bersama istri dan dua anaknya. Istrinya bule, anak2 yg lucu. Satu berumur 9 tahun, satu masih 3 tahun. Aku puluhan tahun, setiap hari tidak pernah berhenti berharap menunggu saatsaat bertemu dengannya.. Tapi pertemuan itu kaku sekali, terasa ganjil... Hingga kami bertemu, dia tdk pernah tahu kalau aku tdk pernah menikah."

Saya: "Apakah mbak Hesty menyesali apa yg telah terjadi?"

Hesty: *mbak Hesty tertawa pelan, menggeleng.. "dua puluh lima tahun sy menghabiskan masa2 yg indah bersama Tigor? Masa kanak-kanak, kuliah, surat-surat itu. Dua puluh lima tahun, seperempat abad, apa yg harus sy sesalkan? skrg umur sy lewat lima puluh, dua puluh tahun lg hidup dgn mengenang masa lalu itu sj sudah cukup menyenangkan, bukan."

Saya ikut tertawa. itu point yg bagus: "Apakah mbak Hesty membenci Papa?"

A: *mbak Hesty terdiam lamaaa, hingga akhirnya menjawab: "Sy lbh membenci diri sendiri karena terlalu takut utk pergi bersama Tigor... Papa membesarkan kami keras sekali.. Penuh disiplin. Menanamkan pemahaman apapun yg kami lakukan akan mengundang sebab-akibat hidup.. seharusnya saat itu sy memahami, jangan2 Papa keras soal Tigor, agar sy benar2 yakin apakah Tigor adalah pilihan terbaik buat saya.. bukan sebaliknya, menghalangi kami seperti yg selama ini sy pahami.. jangan2 Papa keras soal Tigor, hanya utk melihat seberapa yakin saya atas keputusan yg sy lakukan... tp mau dikata apa? itu sudah terjadi... 20 tahun silam..."

Aku menghentikan pertanyaan...

Cukup. setengah jam sisa pertemuan itu dihabiskan dgn mbak Hesty memperlihatkan koleksi foto2 jadul mereka berdua... terakhir dia mengeluarkan foto paling pamungkas.. tersenyum lebar (meski matanya berkaca2 lagi); itu foto Hesty saat kamera Papa Hesty rusak.. di sebelah pohon palem yg baru setinggi mereka. Rambut ikal.. wajah menggemaskan, berebut mengacungkan dua tangan ke depan, tertawa.. "hanya utk selembar foto ini, Tigor semalaman kehujanan di halaman... aku yg memaksanya

memoto dgn kamera Papa.. dan Tigor, kau tahu, Tigor akan melakukan apapun demi aku."

Aku menelan ludah; menatap lamat2 wajah cantik yg menua itu... yeah.. 20 tahun lagi hidup dgn mengenang masa lalu itu dr sisi yg positif lebih dari menyenangkan. ***

5. Itje Noerbaja & Kang Djalil ”Itje!” Soeara nyonya (mevrouw) Rose terdengar dari dalam roemah. Nampak dari gelagat, nyonya sedang marah besar.

”Itje!!!”

Demi soeara matjam meriam meletoep doea kali itoe, Itje yang sedang asyik ngoepil sambil mengelap jendela katja kamar depan langsoeng poetjat pasi, bergegas menghentikan gerakan tanganja, menyampirkan kain lap di bahoe, berlari-lari kecil masoek.

”Itje!” Nyonya Rose seketika melotot, tidak pakai toenggoe-toenggoe Itje pasang posisi mendengarkan, ”Kamoe urang mahu kertja atau tidak, hah? Kamoe urang betjus kerdja atau tidak, hah? Lihat! Kamoe tahoe apa itoe, Itje?”

Itje gemetar mendekat, melihat ke arah teloendjeok nyonya, ”Iya, Nya.”

”Itu apa?”

”Eh, itoe boekannya medja makan, Nya?” Itje ragoe-ragoe, malah bertanya balik, polos. ”Dasar koewe baboe kurang adjar, tidak poenja sopan santoen, anak ketjil saja tahoe itoe medja makan.” Nyonya persis kakinya seperti habis ditimpa batu coelekan tiga kilo, wadjahnya merah padam menahan kesal, ”Kamoe lihat di atas medjanya, Itje. Kotor, hah. Mata kamoe ditaroeh di mana? Kenapa tidak segera dibersihkan?”

”Tadi soedah Itje bersihkan, Nya. Soenggoeh” Itje menelan ludah, tidak mengerti kenapa meja itu kotor lagi.

”Verdomme, Itje,” Nyonya melotot, ”Djangan banjak tjakap, tjepat kamoe lap bersihbersih. Nanti malam, Meneer Van Houten poelang, semoea haroes terlihat bersih dan rapi.”

”Meneer poelang, Nya? Soenggoeh?” Wajah bulat Itje langsung sumringah, hendak berseroe senang demikian, tapi dia beoroe-boeroe menoetoep moeloetnya sebeloem kalimat itoe keloear, bergegas mengelap medja.

”Saya haroes ke roemah Mevrouw Elizabeth siang ini. Kamoe pastikan semoe soedah beres sebelum poekoel empat sore, paham?”

”Paham, Nya.”

”Dan kamoe urang poenya teman baboe di dapoer, pastikan masakan kesoekaan Meneer siap sebelum peokoel enam nanti malam, paham?”

”Nggih, Nya.”

”Bambang!!” Nyonya soedah meneriaki baboe lain, toekang kendali kereta koeda, Nyonya melangkah anggoen ke loear roemah, meninggalkan Itje yang menganggoekanggoek seperti orang-orangan sawah.

”Bambang!” Suara nyonya terdengar melengking, ”Dasar inlander pemalas, kemana poela katjung satoe itu. Soedah dari tadi pagi disoeroeh bersiap, djangan-djangan malah tidoeran di kadang koeda.”

Itje soedah tidak terlalu mendengarkan omelan nyonya. Dia soedah asyik ber-hem-hem bersenandoeng lagoe, sambil mengelap medja makan agar terlihat kinjtlong. Ini kabar hebat punja, goemam Itje dalam hati, riang. Kalau Meneer poelang malam ini, berarti Kang Djalil joega ikoet poelang. Kang Djalil oh Kang Djalil. Itoe Kang Djalil siapa lagi kalau boekan tjenteng nomor satoe Meneer Van Houten. Kemana Meneer pergi, tidak akan pernah tanpa Kang Djalil.

Kang Djalil tambatan hati Itje.

***

Itje adalah gadis moeda, mekar dioesianja yang baroe enam belas tahoen, dia menjadi baboe di roemah Meneer Van Houten sejak oesia tiga belas. Iboenya adalah katjoeng lama keloearga itoe, belasan tahoen mengabdi, hingga tiga tahoen laloe, terdjadi penyerboean ke roemah besar itoe. Iboenya ikoet serta mendjadi korban. Menoeroet tjerita punja versi tjenteng rumah yang selamat, adalah rombongan maling bersendjata yang menyatroni malam-malam. Menoeroet tjerita serdadoe Belanda yang ikoet memeriksa, adalah inlander pemberontak yang menyerboe.

Itje terlaloe kecil oentoek mengerti, lebih banyak takoetnja, yang dia tahoe, selain beberapa keloearga dekat Meneer ikoet mendjadi korban, joega tewas beberapa baboe termasoek iboenya. Sedih betoel Itje melihat Iboenya meninggal. Tidak henti dia menangis menyeka pipi.

Selepas kejadian itoe, Nyonya Rose, istri Meneer, memasang pengoemoeman mencari baboe baroe, dan entah karena kasihan, atau memang boetoeh, Itje yang selama ini tinggal bersama bapaknya di roemah boeroeh perkeboenan teh milik Meneer Van Houten, akhirnja disoeroeh bantoe-bantoe di rumah Meneer.

Begitoe djoega Meneer Van Houten, sedjak kedjadian mengenaskan itoe, memoetoeskan oentoek merekroet lebih banyak tjenteng. Salah-satoenya adalah Djalil, pendekar moeda dari Kramat Djati. Oesia Djalil baroe doea poeloeh saat direkroet, tapi karena kesaktian silatnya tinggi, itoe Djalil lantas dipanggil Kang oleh belasan centeng lainnya, termasuk oleh Meneer Van Houten yang kemudian mengangkatnya sebagai pengawal nomor satoe. Lancar betoel karir Djalil di roemah besar itu, mendjadi orang kepercayaan Meneer.

Meski masih moeda, repoetasi Djalil loear biasa. Menoeroet bisik-bisik baboe dan tjenteng lainnya, Djalil bersedia memboenoeh siapa sadja asal dibajar segepok oeang kompeni, atau bersedia menjaga apapun asal disoempal dengan itoe kantong emas.

Djangan tjoba-tjoba mengadjaknja bitjara, salah kata, alamat golok besar ditjaboet dari pinggangnja. Kalau berpapasan dengannja, jangan mengangkat wajah bersitatap, tersinggoeng sedikit itoe pendekar moeda, alamat poekoelan silat dikirim, dan bersiaplah setidaknya pergi ke Mak Oeroet tiga hari oentoek mengoeroet patah toelang. Sedangkan Itje, boekan perkara moedah bagi anak perempoean oesia sebelas tahoen saat pertama kali bekerja di roemah besar. Tidak sekali doea Itje mengoendang masalah dan amoek besar Nyonya Rose. Beroentoeng Itje gadis yang radjin bekerja, serta poenja riwajat soal iboenya yang tewas itoe, djadi walaupoen sering terlaloe polos, menyebalkan, Nyonya Rose tidak sampai hati tega memecatnja.

Hari pertama kerja, persis saat Nyonya Rose mengoendang nederlander, ondernemer, toean tanah dan baroen Eropah lainnja, mengadakan itoe djamoean makan malam untuk orang-orang penting, sekaligus peringatan berkaboeng ituoe kedjadian soeram beberapa minggoe laloe. Dasar Itje masih gadis ingoesan, saat diteriaki, disoeroeh baboe senior lainnya menghidangkan soep bening ke meja makan, Itje polos tanpa tanya membawa nampan mangkok kobokan.

“Mevrouw Rose, ini soep bening apa, ya?” Salah-satu isteri toean tanah berdecap-decap mencicipi itu air di dalam mangkok, wadjah itu nyonya terlihat bingoeng.

“Rechts, ini rasanya eh, eh, menarik sekali Mevrouw Rose.” Nyonya nederlander lainnja tidak maoe ketinggalan berseroe dari seberang meja. Sebenarnja nyonya nederlander, isteri dari seorang kapiten ini hendak bilang rasanja tidak beda dengan air sadja, tapi karena dia soengkan dibilang kampoengan, djarang bergaoel ikoet makan malam gaya kerajaan, maka poera-poera ikoet memasang wadjah antoesias.

Nyonya Rose yang asyik ngobrol dengan tamoe di sebelah menoleh ke seberang, melihat tamoe-tamoenja lainnja sedang menyendok mangkok ‘soep bening’, melirik nampan Itje, baroe sadar kalau itoe baboenya telah menghidangkan air kobokan sebagai appertizer. Merah soedah wajah Nyonya Rose, melotot ke arah wadjah Itje yang tanpa dosa masih terbungkuk-bungkuk membagikan sisa mangkok di atas nampan.

“Wetenswaardig, ini soep bening menarik sekali.” Di seberang lain, isteri toean tanah lainnya lebih doeloe berkomentar, “Mevrouw Rose pastilah punja resep spesial ini aseli dari Itali? Atau Paris?”

“Boekan Itali atau Paris Mevrouw Elizabeth, ini pastilah resep spesial dari Monaco.”

Wadjah menggelemboeng Nyonya Rose, yang serba salah, setengah marah bercampur setengah malu, segera terlipat, demi mendengar arah itoe percakapan, dia pura-pura anggun mengangkat tangannja, menganggoek gaja khas bangaswan nederlander, “Ah, itoe hanja resep sederhana milik keloearga. Tidak spesial.”

Oh my God, beroentoenglah Itje, di doenia ini, terkadang gengsi serta ikoet-ikoetan mengalahkan kampoengan, dan djelas sekali gengsi nyonya-nyonya nederlander, toean tanah dan baroen Eropah itu terlalu tinggi walau oentoek mengakoei kalaoe di mangkok itoe hanya air putih biasa. Djamoean makan malam itoe berdjalan lancar-lancar sadja, batal djadi peristiwa memaloekan. Nyonya Rose poenja wadjah tetap bisa joemawa.

Tapi sejenak saja Itje selamat, lepas kereta koeda pergi dari halaman, membawa tamoetamoe poelang ke roemah masing-masing, Nyonya Rose matjam radio roesak mengomel panjang lebar di dapoer. Berteriak-teriak, menoenjoek-noenjoek djidat Itje. Bilang, dasar inlander bodoh, baboe doesoen, di depan baboe-baboe lain yang lebih senior, dan beberapa tjenteng yang kebetoelan ikoet menoempang makan. Itje menoendoek menahan tangis, kasihan sekali melihat Itje, gadis beroesia tiga belas tahoen dimarahi nyonya nederlander. Dia soenggoeh tidak tahoe kalau itu mangkok air kobokan. Bagi gadis kampoeng boeroeh perkeboenan teh, mangkok air kobokan itoe amat bagoes, Itje pikir itu pastilah soep bening.

Tidak coekoep kena omel Nyonya Rose, lepas Nyonya kembali ke roeang depan, hendak masoek kamar istirahat, giliran baboe lain siboek mentertawakan Itje kecil.

Saat itoelah cinta mereka bersemi, pembaca yang boediman. Ketika Djalil tiba-tiba memoekoel meja, lantas berseroe marah pada itu semua baboe dan tjenteng anak boeahnja, “Apa jang kalian tertawakan, hah? Apa jang kalian tertawakan?”

Djalil djaoeh dari berwadjah tampan, di wadjahnya joesteroe ada doea goerat bekas loeka besar, wadjahnya kalau tak patoet disebut seram, terlihat amat kasar. Badannya kekar, tangannya koeat, soearanya serak tegas, terdiam soedah seisi dapur itoe, menoleh ke arah Djalil.

“Kalian senang mentertawakan bangsa sendiri, hah?” Djalil berdiri, mukanya masam, “Dia dimarah-marahi bangsa lain, direndahkah hanja karena salah membawa mangkok soep, dianggap baboe bodoh, tidak poeas, sekarang giliran kalian mentertawakannja?” Baboe-baboe dan tjenteng menelan loedah.

“Dasar bangsa tidak tahoe maloe. Boekannya membela bangsa sendiri, malah dihina.” Djalil melangkah mendekati Itje.

Tjenteng nomor satoe itoe meraih poendak Itje ketjil, menepoek-nepoek, lantas berbisik, “Djangan dipikirkan, Itje. Kamoe lebih berharga dibanding semoea baboe di sini, bahkan sebenarnja, bagikoe, kamoe lebih berharga dibanding nyonya-nyonya koempeni yang kamoe lajani tadi.”

Itoelah cinta, pembaca jang boediman, malam itu, Itje ketjil bisa melihat hati Djalil yang sesoenggoehnya. Hati jang lemboet dan tampan. Dia menghapoes bisik-bisik di dapoer atau kamar baboe jang bilang, pemuda seram ini adalah tjenteng paling menakoetkan seloeroeh Batavia.

Itje ketjil menyeka air mata di pipi, menganggoek, menatap Djalil yang melangkah di bingkai pintoe dapoer, meneriaki anak boeahnya agar bergegas pergi.

Sedjak saat itu Itje dan Djalil dekat satoe sama lain. Tiga tahoen berlaloe, repoetasi Kang Djalil sebagai itoe tjenteng paling hebat di Batavia semakin tinggi, kemanapoen Meneer pergi, entah itoe mengoeroes keboen teh, menemoei pedjabat VOC, ataoe hingga mengawal Meneer naik kapal pergi ke Malaka, Kang Djalil ikoet serta. Sementara di roemah, itoe Itje ketjil perlahan tapi pasti toembeoh mendjadi gadis molek—meskipoen tetap seorang baboe.

Adalah hal paling menjenangkan bagi Itje, setiap kali Meneer Van Houten poelang ke roemah. Itoe berarti dia bisa bersoea dengan tambatan hatinja. Awalnja Itje tjemas hanja bertepoek sebelah tangan itoe perasaan, tapi Kang Djalil joega soekakan dengan Itje. Gadis polos jang radjin bekerdja. Gadis polos jang punja banjak keinginan, rentjanarentjana. Setidaknja, di roemah itoe, hanja Itje jang tidak teroes siboek setiap saat memboengkoek-boengkoek.

“Kamoe soeka?” Kang Djalil ragoe-ragoe bertanja.

Itje menganggoek kentjang-kentjang.

“Soenggoeh?” Kang Djalil memastikan, wadjah Kang Djalil masih terlipat. Itje tertawa menganggoek, mengenakan tjintjin emas itoe di djemari manis, “Ini bagoes sekali.”

Demi melihat tawa manis Itje, Kang Djalil ikoet tertawa lepas. Adoeh, tjinta memang loear biasa, bahkan bagi tjenteng galak sekalipoen. Lihatlah, pendekar dari Kramat Djati itoe terlihat matjam remadja yang harap tjemas hadiah boeat tambatan hatinja tidak disoeka. Itoe kedjadian doea tahoen laloe, saat Kang Djalil baroe poelang mengawal Meneer Van Houte ke Djohor, membawa kapal penoeh moeatan rempah-rempah. Terpesona melihat toko-toko madju di sana, Kang Djalil membelikan Itje sepotong tjintjin emas.

“Kamoe soeka?” Kang Djalil bertanja ragoe-ragoe.

Itje menganggoek perlahan, tangannja perlahan menjentuh tjermin katja moengil.

“Soenggoeh?”

Itje tersenyoem manis, “Bagi Itje, Kang Djalil poelang dengan selamat soedah lebih dari hadiah hebat. Itje soenggoeh tidak mengharapkan boeah tangan apapoen kecoeli keselamatan Kang Djalil.”

Wadjah boeroek Kang Djalil merekah oleh senyoem, meski sekedjap dia meringis menahan rasa sakit. Bagaimana tidak sakit kalau sekoejoer toeboeh tjenteng nomor satoe itu penoeh loeka dan lebam biroe. Itoe kedjadian setahoen laloe, kereta koeda Meneer Van Houten dihadang begal dalam perdjalanan menudju Bandoeng. Lima banding satoe, mati-matian tjenteng Meneer berhasil memoekoel moendoer itoe maling. Seminggoe lebih Itje merawat Kang Djalil, dan perasaan tjinta antara baboe dan tjenteng itu semakin besar.

“Itje!!!” Soeara Njonja Rose terdengar dari roeang makan.

Eh? Lamoenan Itje di dapoer langsoeng boejar seketika, Itje menoleh, menelan loedah. Dia sedang asyik melamoen ngoepil, menoenggoe tambatan hatinja moentjoel sambil menjiapkan makan malam.

“Itje!!”

Tanpa menoenggoe tiga kali meletoep itoe meriam, Itje soedah lari-lari ketjil ke ruang makan.

“Itje!” Nyonya Rose seketika melotot, tidak pakai toenggoe-toenggoe Itje pasang posisi mendengarkan, ”Kamoe urang mahu kertja atau tidak, hah? Kamoe urang betjus kerdja atau tidak, hah? Lihat! Kamoe tahoe apa itoe, Itje?”

“Tjukup, tidak oesah kamoe djawab itoe medja makan, Itje. Anak ketjil poen tahoe.” Nyonya Rose mengangkat tangannja, sebeloem Itje menjawab bodoh, “Mana tjokelat panas Meneer, hah? Kenapa tidak kamoe bawa segera?”

“Eh,” Itje menelan ludah, “Kata Meneer Pan Houten—“

“Van, Itje, Van. Soesah sekali itoe moeloet inlander kamoe bilang hoeroef V, hah?”

Nyonya Rose memotong.

“Eh, iya, kata Meneer Pan Houten,” Sayangnya tetap saja Itje tidak bisa menyeboet huruf V dengan betjus, “Coekoep wedang hangat, Nya.”

“Ganti, Itje. Ganti weedangnja dengan tjokelat.” Nyonya Rose melotot.

“Tapi, tapi Meneer bilang wedang, Nja.”

“Bawa masoek weedangnja, Itje.”

“Wedang, Nja, boekan weedang. Seperti menyebut enak, Nja, bukan eenak.” Itje menyeringai, “Nyonya soesah sekali bilang bilang huruf e, ya?”

“Verdommee, Itje, dasar baboe tidak tahoe sopan santoen. Kamoe berani-beraninja menghina moeloet orang Eropah, hah?” Nyonya Rose memoekoel medja, dia hampir sadja melempar piring kalau tidak itoe Meneer Van Houten masoek ruang makan.

“Geduld, my darling,” Suara empoek Meneer Van Houten menahan gerakan tangan Nyonya Rose, tersenyoem, “Djangan terlaloe kasar dengan Itje, Rose.”

Nyonya Rose melotot pada soeaminja.

“Lagipoela dia betoel. Akoe jang tadi memintanja mengganti tjokelat panas dengan wedang panas.” Meneer menarik koersi, doedoek di seberang Nyonya, menoleh ke arah baboenja, “Nah, Itje, semoea menoe makan malam soedah tersadji dengan sempoerna, silahkan kembali ke dapoer.”

Itje, tidak perlu disoeroeh doea kali, soedah ngacir kembali ke dapoer. Selamat, selamat, Itje mengeloes-eloes dada. Meroetoek kenapa tadi dia keletapasan memperbaiki kalimat wedang Nyonya.

Kabar bagoesnja, kemarahan Nyonya dengan tjepat padam saat soeminja berjterita hasil perdjalanannya menemoei pedjabat tinggi VOC doea hari terakhir.

“Governoer Djenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, dan istrinja akan menghadiri djamoean makan malam kita.” Meneer Van Houten membentangkan tangannja, senang bilang kabar itoe.

“Excellent, my darling, excellent,” Apalagi Nyonya Rose, dia berseroe lebih kentjang, terdengar hingga ke dapoer.

“Ini mengembalikan kehormatan dan kepertjayaan seloeroeh orang penting di Batavia pada keloearga Van Houten setelah kedjadian memaloekan tiga tahoen laloe, Rose. Ini lebih dari excellent. Governoer djenderal bilang dia tidak trauma, dia pertjaya keamanan djamoean makan malam itoe akan lebih baik.” Mata Meneer Van Houten berkedoet-kedoet sebelah karena itoe senangnja.

“Tentoe saja my darling, kita akan boeat djamoean malam paling spesial jang pernah ada di Batavia sepanjang sedjarah. Mevrouw Elizabeth bilang, itoe koki nomor wahid di Malaka bisa datang. Kita akan menghidangkan masakan-masakan terbaik keradjaan Eropah. Itoe akan mendjadi pengalaman paling spesial bagi governoer djenderal. Ahya, kita akan mengoendang semoea pedjabat VOC, bangsawan, nederlander, toean tanah, dan baroen-baroen, ahya, kita….”

Soeara riang Nyonya Rose teroes terdengar hingga ke dapoer, tempat sekarang itoe baboe Itje sedang joega menatap sumringah bingkai pintu, dimana tambatan hatinja telah tiba.

“Selamat malam, Itje.” Kang Djalil melangkah masoek. Nampaknja sehat wal’afiat tidak koerang satoe apapoen. Hanja terlambat, karena setiba tadi sore poekoel empat, langsoeng disoeroeh Meneer memeriksa perkoeboenan the, baru sekarang, malam hari akhirnja bisa bertemoe Itje.

Itje mendjawab riang, sedikit mandja.

Adoeh, pembatja jang boediman, soedah sedjak tadi siang, Itje tak sabar ingin bertemoe. Tentoe boekan karena menoenggoe ole-ole Kang Djalil, tapi karena rindoe soedah tidak tertahan.

Eh? Itje menelan ludah. Sedjenak menatap wadjah lelaki gagah itoe, kenapa Kang Djalil tidak tersenjum seperti biasanja?

“Kita tidak bisa bertemoe di sini, Itje.” Kang Djalil berbisik, menunjuk tiga baboe lain jang sedang siboek mengerdjakan sesoeatoe di dapoer.

“Kita bertemoe di halaman belakang sadja.” Kang Djalil sudah melangkah ke arah pintoe dapoer.

Itje menelan ludah. Sedikit bingoeng, tapi bergegas menyoesoel langkah Kang Djalil.

***

Apakah Kang Djalil hendak membitjarakan masa depan hoeboengan mereka? Apakah Kang Djalil hendak datang ke roemah boeroeh perkoeboenan teh, menemoei Bapak? Melamar Itje?

“Itoe rentjana semakin matang, Itje.” Kang Djalil berkata perlahan, memboeka pertjakapan setelah mereka berdua di balik pohon beringin besar halaman belakang roemah Meneer. Tidak ada siapa-siapa di sana, ketjoeali njamoek dan koenang-koenang. Itje menghela nafas. Tentoe sadja, Kang Djalil tidak sedang membitjarakan oeroesan perasaan mereka sekarang.

“Semoea orang jang terlibat soedah siap sedia. Kapanpoen djamoean makan malam itu berlangsoeng, semoea pihak soedah siap. Apakah kamoe soedah siap, Itje?” Kang Djalil menatap tambatan hatinja, wadjah dengan doea paroet loeka itu terlihat serioes. Hening sedjenak di bawah pohon beringin.

“Apakah, apakah tidak bisa dibatalkan, Kang?” Itje ragoe-ragoe, akhirnja bersoeara, menelan loedah.

“Dengarkan akoe, Itje.” Kang Djalil berkata lebih tegas, “Kamoe haroes jakin. Tidak boleh setengah-setengah.”

“Kasihan Meneer dan Mevrouw, Kang.” Itje berkata lirih.

“Astaga, Itje, kasihan apanja, hah?” Kang Djalil menatap tidak pertjaya, “Mereka bangsa pendjadjah, kamoe hanja djadi baboe di roemah itoe. Akoe hanja tjenteng bajaran, dan jang lain, seloeroeh bangsa ini lebih rendah di mata mereka. Djangan pernah mengasihani mereka.”

Itje tertoendoek, djemari tangannya meremas satoe sama lain, tjemas.

“Dengarkan akoe, Itje.” Kang Djalil berbisik lebih keras, “Djangan kamoe bilang soedah loepa itoe peristiwa tiga tahoen laloe, Itje. Djangan sekali-kali kamoe loepa itoe peristiwa.”

Tentoe sadja Itje sekarang berbeda dengan Itje tiga tahoen laloe. Bekerdja mendjadi baboe di roemah Meneer Van Houten, meskipoen banjak jang toetoep moeloet tidak maoe bertjerita, tjepat atau lambat memboeatnja tahoe detail kedjadian tiga tahoen laloe waktoe ibunja meninggal. Apalagi Kang Djalil, tanpa diketahoei siapapoen adalah saksi mata itoe kedjadian.

***

Meneer Van Houten adalah ketoeroenan salah satoe bangsawan penting di Amsterdam sana. Orang toeanya masih kerabat dekat Ratu Belanda. Saat kompeni tiba di Noesantara, keloearga mereka jang membantoe perongkosan perang, diberikan konsesi tanah loeas oentoek perkeboenan. Karena orang toeanya soedah terlaloe toea tinggal di itoe negeri antah berantah, anak soeloeng mereka jang mengoeroes itoe tanah dan

kekajaan lainnja, jadilah Meneer Van Houten jang menikahi Mevrouw Rose menetap di Batavia. Karena mereka masih kerabat Ratu, loemrah sekali hidoep dengan gaja kebangsawanan. Tiga tahoen laloe, Meneer Van Houten jang merajakan sepoeloeh tahoen tinggal di Batavia, mengoendang orang-orang penting Eropa di djamoean makan malam keloearga, termasoek hadir J.P Coen, governoer djenderal VOC jang mahsyoer kedjam itoe pada para inlander

Tanpa diketahoei Meneer Van Houten, rentjana djamoean itoe soedah diintjar oleh pemberontak jang bosan didjadjah. Doea belas pendekar sisa-sisa pasoekan Fatahillah hendak membalas kekedjaman J.P. Coen jang memboemihangoeskan Jayakarta. Mereka berkongsi oentoek menjerboe diam-diam itoe djamoean makan malam penting, mencoelik J.P. Coen, oentoek ditoekar dengan syarat kompeni haroes moendoer dari Batavia.

Lantas apa peran ibunja Itje? Besar sekali. Tanpa orang ketahoei, termasoek oleh Mevrouw Rose, ibu Itje adalah baboe roemah jang memasoekkan doea belas pendekar itoe di malam djamoean. Ibu Itje jang memboeka pintoe belakang roemah, menjembunjikan pemberontak di salah satoe kamar baboe lainnja, lantas memberitahu kode kalau semoea orang penting telah hadir di djamoean makan malam.

Awalnja penyerboean itoe berdjalan lantjar, melebihi lantjarnya penyerboean Koeda Troja di kisah lama. Doea belas pendekar memakai kedok hitam, dengan gampang meloempoehkan serdadoe dan tjenteng di halaman, merangsek masoek ke roeang makan.

Seloeroeh

oendangan

mendjerit

ketakoetan,

Mevrouw-mevrouw

jang

berdandan tjantik-tjantik jdadi koesoet masai ramboetnya. Sementara Meneer-meneer terlambat menarik pistol oentoek melawan.

Pemimpin pemberontak dengan golok besar di tangan mendekati J.P. Coen, tapi sajang governoer djenderal itoe tentoe sadja bekas kapiten nederlander jang terlatih. J.P. Coen menjambar Ibu Itje jang joega berdiri tegang di roeang makan, melajani mengantarkan makanan dan minoeman.

“Berhenti!” J.P. Coen berteriak galak, “Atau koetembak kepala baboe hingga petjah.” Pemimpin pemberontak terkesiap. Langkah kakinja terhenti, itoe golok besar ditangannja menggantoeng. Tjelaka, dalam sitoeasi genting seperti itoe, hitoengan detik bisa amat penting. Beberapa serdadoe dan Meneer Belanda bergegas menjambar pistol mereka jang tadi dipaksa dijatoehkan. Pemimpin pemberontak terlambat menjadarinja, sitoeasi telah berbalik.

J.P. Coen sambil menjeret Ibu Itje, bergegas ke loear roemah, dikawal oleh serdadoe Belanda jang mengatjoengkan pistol. Loncat ke atas kereta, lantas menggebah koeda agar berlari kentjang. Dor! Tidak loepa, governoer djenderal jang kedjam itu menembak Ibu Itje, melemparnya djatoeh ke bawah.

Doea belas pemberontak tidak mampoe berboeat apa-apa. Kedjadian itoe di loear doegaan mereka, terdjadi tjepat sekali. Dan sebeloem mereka sempat mengedjar, serdadoe Belanda dan Meneer lainja jang tersisa di roemah Meneer Van Houten sudah menembaki mereka. Pertempoeran djarak pendek terdjadi. Itoe pemberontak kalah djumlah. Sebelas pemberontak mati di tempat, kedok di wadjah mereka dilepas, besok toeboehnja digantoeng di halaman markas kompeni. Satoe orang pemberontak berhasil kaboer, itoelah Djalil, saksi mata dari pihak inlander.

Rentjana mereka gagal total. J.P. Coen lolos, dan semakin kedjam, balas liwat aksi politioneel, oentoek memberantas para pemberontak dan maling-maling rendahan. Djalil jang tersisa, beroesaha melanjoetkan misi itoe, tahoe posisinja semakin lemah, dia meroebah taktik, joesteroe mendaftar mendjadi tjenteng Meneer Van Houten.

“Dengarkan akoe, Itje.” Kang Djalil berbisik keras, memboeat lamoenan Itje boejar.

Itje menjeka oejoeng mata, dia selaloe menahan tangis setiap mengenang kedjadian itu. “Ibu kamoe mati demi tanah air kita, Itje. Ibu kamoe mati terhormat demi kemerdekaan bangsa kita. Djangan pernah mengasihani pendjadjah itu. Kamoe dengar?”

Itje menganggoek.

“Kamoe tjinta padakoe, Itje?” Kang Djalil bertanja soenggoeh-soenggoeh.

Itje menganggoek lagi.

“Nah, akoe joega tjinta pada kamoe. Bahkan besarnja tjintakoe pada kamoe lebih besar lagi.” Kang Djalil berbisik lebih lemboet, “Tapi tjinta kita, boekanlah apa-apa dibanding tjinta atas kemerdekaan bangsa kita. Tjinta sutji kita, boekanlah apa-apa dibanding tjinta kita atas tanah air ini. Akoe, kamoe, akan mengorbankan apapoen demi itoe.” Itje menganggoek lagi.

Kang Djalil tersenyoem, menepoek-nepoek bahoe Itje, “Iboe kamoe pasti bangga melihat kamoe, Itje. Dan bagikoe, meski hanja baboe, kamoe djauh lebih berharga dibanding gadis paling tjantik, paling pintar nederlander.”

Itje mengangkat wadjahnya, menyeka oejoeng matanja sekali lagi, tersenyoem manis. Doea pekan sedjak ituoe kabar berita djamoean makan malam tiba, roemah Meneer Van Houten siboek boekan kepalang. Soedoet-soedoet roemah dibersihkan, kayoe-kayoe lapoek diganti, tiang-tiang disikat soepaya kincloeng. Djangan tanja tegel-tegel, soedah mengkilat, koecing lewatpoen bisa sambil bertjermin. Dan djangan tanja, soeara berdentum matjam meriam meletup Nyonya Rose lebih sering terdengar di langit-langit roemah, dan siapa lagi jang paling sering diteriaki, kalau boekan Itje.

“Itoe pot boenga tidak enak dipandang mata. Ganti!” Satu tangan Nyonya menoenjoek, satu tangan lagi di dagoe, berpikir apalagi jang koerang pas.

Itje menganggoek, tersengal-sengal masoek kembali lima menit kemoedian menjeretnjeret pot lain.

Nyonya menggeleng, “Tetap tidak enak dipandang mata, Itje. Terlaloe mentjolok, norak, kampoengan. Ganti.”

Itje menganggoek, menjeret pot itu keloear, memilih pot lain, masoek kembali soesah pajah.

Nyonya menggeleng, “Itoe boenga dibentji Mevrouw Coen, Itje! Kamoe tidak tahoe apa? Ganti!” Itje menganggoek, mana poela dia tahoe kalau Mevrouw Coen bentji boenga melati, di kampoengnja boenga ini malah djadi hiasan konde, Itje menggeroetoe dalam hati, kembali tersengal menjeret pot. Nyonya menggeleng kesal, “Ganti, Itje, boekan jang itoe, kamoe orang tjari jang lebih bagoes. Jang itu warna koeningnya terlaloe soeram. Ini makan malam dan pesta dansa, boekan pemakaman.” Adalah sebelas kali lebih Nyonya Rose berseroe, “Ganti!” “Ganti!” dan “Ganti!” memboeat Itje matjam setrikaan besi diisi arang panas, bolak-balik di atas pakaian Meneer jang sedang disetrika, hingga akhirnja pot kedoea belas, Nyonya Rose berseroe, “Excellence! Excellence!” Wadjah Nyonya Rose terlihat senang, “Nah, itoe pot boenga soedah pas betoel dengan loekisan di atasnja.” Itje menjeka peloeh di dahi, bergoemam bingoeng dalam hati, oentoek kesekian kalinja tidak pertjaya dengan apa jang baroe sadja dia alami. Itje tidak pernah paham, di doenia ini kadang gengsi dan norak itoe djaraknya hanja satoe mili. Fashion dan kampoengan itu bedanja hanja sedjari. Sebenarnja tadi, soedah habis itoe pot boenga di depan, tidak ada jang tjotjok, poesing haroes mentjari kemana lagi, Nyonya Rose tetap tidak poeas, diteriaki teroes agar bergegas, Itje akhirnja mengambil pot pertama jang disoeroeh ganti. Bagaimana moengkin Nyonya Rose tidak tahoe kalau itu pot boenga jang pertama tadi? Itje menjeka lagi keningnja, ini persis seperti lawakan keliling kampoeng itoe. Nyonya Rose soedah berkeliling senang, mengomeli baboe lainnja. Loepakan sadja, Itje menggeroetoe dalam hati, ini soedah poekoel lima sore, saatnja dia bergegas kembali ke kamar, sebentar lagi djadwal makan malam Meneer Van Houten, ada banjak pekerdjaan, dan jang lebih penting, sebentar lagi Kang Djalil akan menemoeinya di dapoer. Itje tersipoe sendiri membajangkannya, mentjium oejoeng badjunya, hoeek, senjumnja hilang, Itje boeroe-boeroe melangkah pergi, bekerdja seharian memboeatnya loepa bau ketiaknja soedah tidak ketoeloengan, saatnja mandi. Dia haroes terlihat tjantik dan wangi di depan Kang Djalil, boekan?

***

Malam ini, tinggal doea hari lagi itoe djamoean makan malam. Bisa dibilang kerdja keras Nyonya Rose patoet diatjoengi djempol—meskipoen jang bekerdja keras tentoe sadja baboe-baboe dan katjoeng rendahan. Lihatlah, bahkan halaman belakang roemah dipenoehi oleh lampoe-lampoe teplok, memboeat indah soeasana. Joega halaman depan, pagar roemah, semoeanja meriah, terang. Apalagi di roeang makan, roeangan paling loeas, Nyonya Rose bahkan memasang lampoe petromaks besar model terkini, itoe lampoe dibawa langsoeng dari Malaka, lagi trend berat di sana, konon digoenakan gedoeng-gedoeng pertoenjoekan dan tempat bangsawan berdansa. Sementara Nyonya Rose makan malam bersama Meneer Van Houten, senang membayangkan djamoean hebat doea hari lagi, membitjarakan tentang gaun dansa jang akan dipakainja, setelan netjes mahal Meneer jang baru datang dari London. Sementara itoe, Itje joega sedang bertemoe dengan Kang Djalil di balik pohon beringin, membitjarakan hal penting, mendjaoeh dari baboe lain. “Kamoe djaga baik-baik botol itoe, Itje. Itoe botol berisi racoen mematikan, soesah sekali didapat.” Kang Djalil berbisik. Itje gemetar menangkoepkan djemari, menggenggam botol, menganggoek. Ketjil sekali botol ini, tapi membajangkan akibatnja, besar sekali kengerian jang muntjul di wadjah Itje. “Ini pertemoean kita terakhir kali sebelum loesa malam djamoean itoe diadakan. Kamoe ingat apa jang haroes dilakoekan?” Kang Djalil menatap Itje penoeh penghargaan. Itje mengganggoek, keningnja berpeloeh, padahal oedara malam terasa dingin. Hening sedjenak di balik pohon beringin. “Akoe takoet, Kang.” Itje berbisik. “Tidak ada jang perloe ditakoetkan, Itje. Semoea akan berdjalan sesoeai rentjana. Hanja tiga hari dari sekarang, di pagi harinya, serdadoe kompeni baroe menjadari kalau seloeroeh petingginja telah mati binasa. Governoer djenderalnya kita tahan. Persis di hari keempat, sisa-sisa pasukan pemberontak akan menjerbu Batavia, mereboet benteng-benteng kompeni, membangoen kembali kedjayaan Jayakarta. Di hari kelima, bangsa kita telah bebas dari pendjadjah, bebas dari penghinaan mereka. Di hari ke enam, akoe akan mendatangi bapakmoe, melamarmoe, Itje. Dan di hari ke toejoeh dari sekarang, kita akan menikah, mendjadi soeami, isteri jang berbahagia.” Kang Djalil tersenyum menjakinkan.

Itje menghela nafas pelan, berusaha ikoet tersenjum, itoe soenggoeh rentjana indah. “Tapi, tapi akoe tetap takoet, Kang.” “Djangan takoet, Itje. Djangan biarkan ketakoetan datang menjergap hati.” Kang Djalil berbisik tegas. Hening lagi sedjenak di balik pohon beringin. “Kamoe haroes tahoe, kamoe gadis jang pemberani Itje, kamoe soenggoeh gadis jang pemberani. Apa mereka bilang, Kang Djalil, tjenteng paling berani di Batavia, Kang Djalil, tjenteng paling djago, tidak takoet mati. Mereka soenggoeh keliroe, sesoenggoehnya, Itje, kamoe oranglah soember keberaniankoe. Kamoe oranglah jang memberikanku semangat oentoek meneroeskan rentjana ini. Djadi djangan takoet, Itje, demi akoe, Kang Djalilmoe.” Gadis beroesia enam belas tahoen itu mengangkat kepalanja, menjeka pipinja jang basah oleh air mata. Beloem pernah dia disanjoeng begitoe tinggi. Apalah artinja dia, hanja baboe rendahan, tapi malam ini, tambatan hatinja, tjenteng kasar paling ditakoeti di seloeroeh Batavia, telah memoedjanja begitoe tinggi. Mendjanjikan banjak hal. “Aku, aku takoet kehilangan Kang Djalil.” Itje berseroe lirih. Kang Djalil tersenyoem lemboet, menepoek-nepoek bahoe Itje, “Akoe akan baik-baik sadja, Itje. Kita akan baik-baik sadja. Kalaupoen hal boeroek itoe terdjadi, maka itoelah harga sebuah perdjoeangan. Tjinta soetji kita haroes toendoek pada itoe tjinta jang lebih besar. Demi kemerdekaan bangsa ini, demi kebebasan tanah air kita. Akoe, kamoe orang, kita semoea haroes bersedia mengorbankan djiwa raga oentoek itoe. Demi anak tjutju kita. Demi hidoep masa depan jang lebih baik. Tjinta sutji kita tidak ada apaapanya dibanding itoe semoea. Kamoe paham, Itje?” Itje menganggoek, setetes air matanja jatoeh. “Itje mentjintai Kang Djalil.” “Kang Djalil joega mentjintai, Itje.” Malam itu, wahai pembatja jang boediman, empat puluh delapan djam sebeloem aksi paling heroik jang pernah ada di tanah Batavia. Malam itu, empat puluh delapan djam sebelum pengorbanan gadis moeda bernama Itje Noerbaja. Sedjarah memang loepoet mentjatatnja, tidak ada jang tahoe, tapi tjerita ini akan membekukannya. Tidak ada jang mentjolok doea hari berlaloe, selain itoe koki nomor wahid akhirnja tiba. Laki-laki parlente nan netjes dari Paris, oesianja baroe tiga poeloehan, perloe empat kereta koeda hanja oentoek membawa peralatan memasaknja sadja, beloem lagi

pakaian dan keperloean dia sendiri. Tapi itoe boekan masalah, Nyonya Rose berseroeseroe joemawa, menjiapkan apapoen keboetoehan. Sehari sebeloem djamoean, bahkan djadilah itoe dapoer disoelap sedemikian roepa sesoeai itoe selera koki nomor wahid. Doea hari terakhir, Itje lebih banjak diam, tidak menanggapi itoe omelan Nyonya Rose jang aneh-aneh, lebih banjak bekerdja tanpa bersenandoeng ataupoen mengoepil. Sebenarnja Itje ingin lebih sering bertemoe Kang Djalil, tambatan hatinja, tapi Kang Djalil siboek, lebih sering mengurus keperluan Meneer Van Houten di luar—dan boleh jadi joega mengoeroes rentjana penyerboean itoe, tidak patoet dia orang menganggoe Kang Djalil-nja. Nampaknja betoel, itoe pertemoean saat Kang Djalil menjerahkan botol ratjun menjadi pertemoean terakhir mereka. Botol ratjun itoelah jang memboeat Itje lebih banjak diam. Di kamar baboenja jang sempit, tidak coema sekali Itje menatap botol itoe, gemetar tangannja mengeloes, menghela nafas pandjang. Apakah dia tega meratjuni Meneer dan Nyonya Rose? Itje boeroe-boeroe mengoesir pikiran itoe. Kang Djalil pasti tidak soeka dia berpikir matjam-matjam. Di luar kamar terdengar suara koetjing menjenggol tempat sampah, Itje bergegas menjambar itoe botol ratjun, menggenggamnya erat-erat, memasoekannja ke dalam saku, nafasnja tersengal, takoet sekali ketahoean oleh tjenteng atau serdadoe lain jang bisa memboeat rentjana Kang Djalil berantakan. Saat bekerdja, botol ratjun itoe selaloe dibawanja, dia takoet ada baboe lain jang tidak sengadja menemoekan itoe botol di kamarnja. Berkali-kali memegang sakoe, memastikan itoe botol tidak jatoeh atau tertinggal. Berkali-kali poela itoe Itje menghela nafas, beroesaha menenangkan diri. Djadi mana sempat dia nyeletoek atau mendjawab polos omelan Nyonya Rose. Apalah daja, Itje tetaplah gadis baroe beroesia enam belas tahoen, satoe-satoenya jang memboeat dia tabah melewati doea hari terakhir, apalagi kalau boekan tjinta sutjinya pada Kang Djalil. Demi itoe semoea dia rela mengorbankan diri.

*** Pembatja jang boediman, siap tidak siap, mau tidak mau, misteri waktoe selaloe begitoe, akhirnja djamoean makan malam itoe tiba. Malam itoe, diantara hari-hari tahoen 1622, roemah besar Meneer Van Houten terlihat bertjahaya.

Kalau ada jang sedang berdiri di atas mercu suar pelaboehan Soenda Kelapa atau menara benteng kompeni, pastilah dia bisa melihat tjahaya gemerlap dari roemah jang terletak di selatan Batavia itoe. Sedjak poekoel lima, satoe persatoe tamoe oendangan hadir menoempang kereta koeda. Ketepak, ketepok ladam menimpa djalanan terdengar ramai berirama, moesim kemarau, debu berterbangan. Setiap ada kereta koeda memasoeki halaman, gesit itoe para katjoeng depan menjamboet, terboengkoek-boengkoek memboekakan pintoe, dan nederlander, toean tanah, atau baron eropah penoeh gaja, berpakaian netjes nan mahal, toeroen dari kereta, menepoek-nepoek setelan dari deboe. Sementara katjoeng soedah membawa itoe kereta koeda parkir rapi. Djamoean makan malam masih doea djam lagi, para Mevrouw jang datang lebih awal dengan anggoen diadjak berkeliling roemah oleh Nyonya Rose, jang dengan senang hati menjombongkan koleksi loekisan, permadani, pot-pot antik, dan barang hiasan mahal miliknja. Sementara Meneer Van Houten mengadjak Meneer-Meneer bertjakap-tjakap ringan di beranda sambil berdiri, tertawa sopan khas bangsawan saat ada jang melontarkan leloecon. Poekoel enam lewat tiga poeloeh, hampir semoea tamoe penting telah hadir. Beberapa kapiten nederlander ikoet hadir, dan poeloehan serdadoe lainnja memenoehi halaman roemah. Sementara di dalam, Nyonya Rose sedang asjik mendjelaskan siapa jang memasak menoe malam ini, koki nomor wahid dari Paris. “Ah, syukurlah Mevrouw Rose,” Salah-satu istri toean tanah berseroe memotong— terlihat sekali dia sirik dan tidak soeka dengan kemegahan atjara djamoean makan malam ini, “Setidaknja kalau begitoe, soep beningnja akan jaoeh lebih lezat dibanding soep bening resep keloearga Mevrouw Rose tiga tahoen laloe.” Nyonya Rose poera-poera tertawa anggoen menanggapi sindiran itoe, mengangkat tangannja pada posisi sempoerna, “Tentoe sadja Mevrouw Chaterine, tentoe sadja. Hanja lidah orang-orang terhormat sadjalah jang bisa merasakan spesialnja itoe soep, apalagi djika lidah aseli ketoeroenan darah bangsawan. Oh well, maksoedkoe, lidah kita semoea.” Nyonya-nyonya lain demi sopan santoen terhadap toean roemah ikoet tertawa. Padahal djelas-djelas Nyonya Rose sedang menjindir Mevrouw Chaterine, wanita eropa biasa jang mendapatkan gelar kebangsawanan karena pernikahan. Di doenia ini, entah itoe di kalangan ningrat atau orang awam, entah itoe di tempat-tempat megah nan mahal atau

gang betjek nan bau, oeroesan sombong menjombong dan saling merendahkan sama bentoeknja, hanja beda kelasnja. Poekoel toedjoeh koerang lima, terdengar soeara terompet dari loear. Nyonya Rose langsoeng berseroe riang, gerakan tangannja jang sedang menjdelaskan salah-satu koleksi tembikarnya terhenti, tamoe paling penting telah tiba. Joega Meneer Van Houten, dia menganggoek takjim, minta idjin keloear menjamboet langsoeng tamoe jang paling akhir tiba. Kereta koeda paling bagoes di Batavia saat itoe merapat di depan beranda, katjoengkatjoeng demi melihat siapa jang datang, lebih terboengkoek lagi memboekakan pintoe. Dan ditimpa cahaja lampoe, toeroenlah itoe governoer djenderal kompeni, wadjahnya terlihat gagah, koemisnja melintang, badannja tinggi besar, dengan pakaian governornja jang khas itoe, tidak loepa satoe pistol di pinggang, dan satoe pedang pandjang dalam sangkoer di sisi lainnja. “Welkom, Meneer Coen.” Meneer Van Houten berseroe menjamboet. Mereka berdjabat tangan kokoh satoe sama lain, tersenyoem satoe sama lain. “Goede avond, Mevrouw Rose.” J.P. Coen pindah menjapa. “Dit is een grote eer, Meneer Coen.” Nyonya Rose seperti soesah bernafas karena perasaan senang. “Seseonggoehnja, saja jang merasa terhomat, Mevrouw Rose.” J.P. Coen, tentoe sadja, walaupoen dia doeloe sebenarnja adalah serdadoe karir, terkenal kedjam dan dingin, lebih dari pandai berlakoe sebagai lajaknya bangsawan. Mereka bertiga melangkah memasoeki roemah, di bawah tatapan tamoe-tamoe penting lainnja jang ikoet menoejoe roeang makan malam. “Saja doea minggoe laloe baroe tiba dari Amsterdam, Mevrouw Rose.” “Oh ya?” “Ada salam ketjil dari Ratoe Isabella.” “Soenggoeh?” Dinjatakan di depan tamoe terhormat lain, kabar itu hampir sadja memboeat Nyonya Rose loncat matjam anak ketjil. “Beliau bertanja pendek, Mevrouw Rose, well, kita tahoe, Ratoe siboek, banjak pertikaian politik di Eropa, tapi tetap sadja itoe seboeah pertanjaan penting. Akoe djawab, itoe keloearga Van Houten tidak bisa lebih makmoer lagi dari sekarang di

Batavia. Mereka djangan-djangan bahkan lebih kaja dibanding VOC.” J.P. Coen tertawa ketjil, menjandjoeng. Wadjah Nyonya Rose soedah terbelalak senang. Tepat djam berdentang toedjoeh kali, saat governor J.P. Coen memasoeki roeangan makan malam, djamoean besar itoe serentak dimoelai. Kemeriahan pesta segera mendjalar. Piring-piring makanan mulai bergerak, menoe-menoe istimewa hasil ratjikan itoe koki nomor wahid mulai dihidangkan. Tawa para tamoe terhormat memenoehi langit-langit, bersama denting sendok garpoe, soeara mengoenjah, minoeman dituangkan, tepok tangan, leloetjon, soeara tawa lagi, satu doea tidak tahan sampai memoekoel medja. Meriah sekali itoe pesta. Baboe-baboe keluar masoek, siboek, katjoeng-katjoeng bergegas, di dapoer, di roeang makan. Para serdadoe jang berdjaga-djaga di loear joega ikoet berpesta, moengkin mereka pikir, sedikit maboek tidak mengapa, tidak ketinggalan para tjenteng bajaran, ikoet serta berpesta, itoe malam penoeh gembira, tidak perloe mentjemaskan apapoen, termasoek inlander pemberontak jang tahoentahoen terakhir semakin sepi. Satoe djam hampir berlaloe, tiba saatnja menoe penoetoep. Nyonya Rose jang sedjak tadi teroes memastikan makan malam berdjalan lancar memberikan kode kepada baboe di dekatnja. Baboe itoe memberikan kode ke dapoer. Kode itoe tiba pada Itje, baboe jang akan bertoegas menghidangkan itoe menoe. Itje menjeka keningnja jang berpeluh. Itje mengelap telapak tangannja jang basah ke tjelemek. Ini persis seperti tiga tahoen laloe, saat dia keliroe membawa mangkok soep bening. Bedanja, dia sekarang goegoep boekan karena itoe. Itje menghela nafas, beroesaha menegoehkan hati, meskipeon sedjak tadi dia tidak koenjoeng mampoe. Dia sedjak tadi josteroe berseroe lirih mentjari di mana Kang Djalilnya. Apakah Kang Djalil sekarang sedang bersiap? Memakai kedok hitam bersama pendekar lainnja? Di manakah Kang Djalil? Nyonya Rose melotot, kenapa beloem keluar joega itoe menoe penoetoepnja, hah? Lihat, tamoe-tamoe moelai kehabisan makanan di atas medja, pertjakapan moelai terlaloe basi. Baboe jang dipelototi bergegas memberi kode berantai ke dapoer. Itje menganggoek, menggigit bibir, baiklah. Dia mengangkat itoe nampan berisi gelas minoeman menoe penoetoep.

“Well, akhirnja penoeteop makan malam kita tiba.” Nyonya Rose berdiri, menjambut Itje jang melangkah masoek, “Meneer dan Mevrouw, ini anggoer terbaik pilihan koki, langsung dibawa dengan wadah tersegel dari Malaka.” Tamoe oendangan berseroe antoesias. “Kamoe urang mahu kertja atau tidak, hah?” Nyonya Rose berbisik galak kepada Itje jang lewat di depan koersinja membagikan gelas-gelas berisi anggoer. Itje menelan loedah, tertoendoek. ”Bergegas sana.” Nyonya Rose soedah menoleh ke tamoe-tamoe, memasang senjoem paling anggoen, mengangkat gelasnja, ”Silahkan diambil, Meneer, Mevrouw.” Itje hampir menjelesaikan membagikan seloeroeh gelas. ”Mari kita bersoelang, ontoek Ratu Isabella, makmoer dan pandjang oemoer.” Nyonya Rose mengangkat gelasnja. Meneer Van Houten joega mengangkat gelasnja, ”Oentoek pemerintahan Hindia Belanda, semoga selaloe makmoer.” J.P. Coen tertawa, ikoet mengangkat gelasnya pendek sadja, ”Oentoek toean roemah, semoga joega makmoer dan pandjang oemoer.” Tamoe-tamoe bersulang. Itje membeku di dekat medja besar. Hanja soal detik sadja sekarang. Hanja soal waktoe sadja. Ratjun jang sama, meski berbeda djenis anggoernja, joega sedang diminoem oleh serdadoe dan tjenteng di loear sana. Itje mendesah, gentar menatap sekitar, Kang Djalil, di mana Akang sekarang?

*** Satoe menit tiga poeloeh detik sedjak minoeman beratjun itoe memasoeki peroet, satoe tamoe djamoean makan malam moelai bertoembangan. Atjara jang sedjak tadi dipenoehi dengan tawa dan seroean kegembiraan dengan tjepat beroebah mendjadi katjau balau. Awalnja hanja bingoeng kenapa teman sebelah koersi mendadak terjekat memegangi leher dan peroet, berseroe-seroe minta tolong, kemoedian toeboehnja semapoet, djatuh dari koersi. Beloem sempat membantoe itoe rekan sedjawat, tiba-tiba kerongkongan sendiri ikoet panas membara, peroet seperti diadoek-adoek, gemetar, berseroe panik, tidak mengerti apa jang terdjadi, dan sebeloem menjadarinya, soedah ikoet melingsoet djatuh ke lantai.

Maka petjah soedah teriakan-teriakan panik di mana-mana, itoe Mevrouw-mevrouw jang berdandan rapi, koesoet masai ramboetnja, jatoeh bergelimpangan. MeneerMeneer, hendak mentjaboet pistol atau pedang, terkulai lebih dahoeloe, itoe sendjata berkelontangan. Itje membekoe menjaksikan semoea kedjadian. Dan beloem habis tamoe oendangan terkaget-kaget dengan itoe kedjadian, pintoe roeangan makan malam berdebam terboeka, dua belas orang memakai kedok hitam lontjat masoek sambil menghoenoes golok besar. ”Semoea diam di tempat!” Pemimpin orang berkedok, membentak, hanja matanja jang terlihat. Teman-temannja segera mengepoeng roeangan. Itje meremas djemarinja, akhirnja, itoe Kang Djalil. Dia amat mengenal sorot mata tambatan hatinja. Beberapa serdadoe pengawal J.P. Coen jang tidak ikoet bersoelang menjtaboet pistol, bedil-bedil terangkat, joega beberapa tjenteng pengawal toean tanah atau baroen jang ikoet serta ke dalam roeang djamoean. ”Djangan matjam-matjam.” Pemimpin orang berkedok membentak lagi, lebih kentjang, goloknja mengantjam boekan main-main, ”Semoea diam di tempat! Toeroenkan sendjata kalian.” ”Verdomme,” Itoe soeara Meneer Van Houten jang memotong, dengan kaki gemetar, bertopang bibir medja, Meneer menatap rombongan berkedok, ”Kalian tidak pernah puasnja meroesak atjara ini. Apa tidak tjukup tiga tahoen laloe, hah?” Meneer beroesaha mentjaboet pistolnja. Pemimpin orang berkedok tertawa sinis, ”Tidak akan pernah tjukup hingga tanah air kami merdeka.” ”Inlander pemberontak! Kalian akan menjesal. Kalian—” Kalimat Meneer Van Houten tidak selesai, toeboehnya lebih doeloe toembang karena ratjun sebeloem mampoe menarik pelatoek, menyoesoel itoe istrinja jang soedah lebih doeloe tersoengkoer djatuh. Itje mendjerit ngeri. Maoe bagaimanapoen, tiga tahoen dia tinggal di roemah Meneer dan Nyonya Rose. Hendak lontjat membantoe Meneer, tapi gerakan tangannja terhenti, seseorang lebih tjepat telah menangkap tangannja, menelikoengnja, dan sedetik lepas, montjong pistol soedah ada di pelipisnja.

”Letakkan sendjata kalian! Atau akoe petjahkan kepala baboe inlander ini.” J.P. Coen telah sempoerna memasang toeboeh Itje sebagai tameng sekaligoes tawanan. Soeasana tegang semakin memoentjak. Tawa pemimpin orang berkedok terpoetoes. Sorot matanja yang tadjam beroebah redoep. Astaga, bagaimana ini, djika itoe baboe boekan Itje, dia tidak pedoeli, itoe harga seboeah perdjoeangan, tetapi itoe kekasih hatinja, Itje. ”Letakkan sendjata kalian, hah!” J.P. Coen menekankan montjong pistol lebih keras ke pelipis Itje. Pemimpin orang berkedok berhitoeng dengan sitoeasi. Rekan-rekannja menoenggoe. Tidak. Itje tersengal, satoe tangannja dipelintir di belakang memang memboeatnja soesah bergerak, tapi Itje bisa menatap sorot mata Kang Djalil. Tidak, Itje semakin tersengal, dia bisa membatja ketjemasan Kang Djalil-nja. Itje mentjintai Kang Djalil lebih dari siapapoen sedjak Iboenya tewas tiga tahoen laloe, Itje akan melakoekan apa sadja demi rentjana Kang Djalil, Itje tidak akan mendjadi penghambat rentjana Kang Djalil, dia bersedia mati demi Kang Djalil. ”Letakkan sendjata kalian!” J.P.Coen tidak sabaran. Pemimpin rombongan orang berkedok tetap mematoeng, ternyata tidak semoedah itoe memboeat kepoetoesan di tengah sitoeasi genting seperti ini. Tapi tidak bagi Itje. Kepoetoesannja soedah boelat, sebeloem semoea orang menjadarinja, itoe gadis beroesia enam belas poenja satoe tangan lainnja jang bebas tjepat sekali soedah menjambar pisaoe makan di atas medja, lantas sepersekian detik berikutnja, soedah menoesoekkannja ke peroet J.P. Coen. Sajangnja, Itje loepa dia sedang disandera oleh siapa, gerakan tangan J.P. Coen lebih tjepat, pistol itu meletup, tidak mengenai kepala Itje memang, tapi menembus dadanja, dan itoe lebih dari tjoekoep. Toeboeh gadis moeda itu tersoengkoer, pisaunya terjatoeh, darah membanjiri tjelemeknja. Pemimpin orang berkedok kontan berteriak parau, beroesaha menggapai toeboeh Itje. Sitoeasi berbalik arah tjepat sekali. J.P. Coen soedah melempaskan empat tembakan beroentoen ke arah pemberontak berkedok, disoesoel tembakan-tembakan lainnja, dan dari loear entah asalnja dari mana, masoek satoe pasoekan kompeni jang masih sehat walafiat. Orang-orang berkedok jang tadi oenggoel, sekarang joesteroe terkepoeng.

”Verdomme!” J.P. Coen menendang kasar pemimpin orang berkedok jang tersungkur terkena tembakan di peroet dalam pertempuran singkat djarak pendek baroesan, ”Kalian orang-orang priboemi pikir kompeni terlaloe bodoh oentoek di tipoe, hah? Kalian pikir kalian soedah pintar? Kalau bangsa kalian pintar, tidak akan pernah bisa dijajah siapapoen ratoesan tahoen.” J.P. Coen menyaroengkan pistol di pinggang, menatap hina pemimpin orang berkedok jang merangkak beroesaha menggapai toeboeh Itje, ”Koewe orang haroes tahoe, sedjak kedjadian tiga tahoen laloe, akoe bersoempah tidak pernah benar-benar meminoem anggoer di djamoean manapoen. Joega serdadoe pengawal, mereka tidak diidjinkan menjentoeh minoeman itoe lagi.” Doea belas orang berkedok soedah berhasil diloempoehkan. Golok besar mereka tergeletak di lantai. ”Boenoeh mereka semoea.” J.P. Coen meneriaki kapitennja, ”Besok pagi-pagi, gantoeng toeboeh mereka di depan markas kompeni, biar ditonton ramai inlander pemberontak lainnja.” Kang Djalil soedah berhasil menjentuh djemari tangan Itje. ”Bantoe Meneer dan Mevrouw jang masih selamat, segera tjari obat penangkal ratjunnya djika masih sempat. Dan siapkan atjara pengoeboeran boeat Meneer Van Houten, Njonja Rose, dan jang lainnja, mereka berhak memperoleh penghormatan jang lajak. Oemoemkan VOC berkaboeng selama seminggoe.” J.P. Coen meneriaki kapitennja jang lain lagi, sambil melangkah meninggalkan roeangan jang rebah jimpah. ”Siapkan kereta koedakoe.” Poenggoeng J.P. Coen hilang dibalik pintu, menyoesoel derap kaki koeda meninggalkan halaman roemah. Sedjarah mentjatat, itoe oentoek kesekian kalinja governor kompeni lolos dari oesaha pemboenoehan. ”Maafkan Itje, Kang.” Itje jang sekarat berbisik pelan. Pemimpin orang berkedok tersengal. “Itje mentjintai Kang Djalil. Selaloe.” Itje menatap sorot mata jang terbungkus kedok hitam di depannja. ***

6. Kalau Semua Wanita Jelek Alkisah, dulu ada anak perempuan bertubuh gendut, saking gendutnya, sering dijadikan bahan olok-olok oleh temannya. Dagunya besar, lehernya tidak kelihatan, betis, paha dan lengannya jumbo, menurut olokan temannya yang paling jahat, si gendut ini kalau digelindingkan di jalan raya, pasti jauh sekali menggelinding baru berhenti. Atau kalau pertandingan basket, bolanya tiba-tiba kempes, si gendut ini bisa jadi ganti bola. Jahat memang.

Kabar baiknya, dengan segala keterbatasan, si gendut diberkahi dengan kecerdasan dan kebaikan hati. Jadi dia tidak terlalu ambil hati dengan olok-olok temannya. Lebih banyak tersenyum dan menggeleng saja, tidak membalas. Jika dia merasa olokan itu berlebihan, tidak bisa menahan diri, dia selalu pandai menjawab dengan tepat. Tidak terbayangkan betapa besar sisi kebaikan yang dimilikinya. Sayangnya, di dunia nyata, orang-orang tetap saja bertingkah menyebalkan pada orang baik.

Pada suatu hari, si gendut menumpang angkutan umum, nah, sialnya, di dalam angkutan itu ternyata sudah ada tiga teman sekolahnya yang suka mengolok. Tidak menunggu menit, tiga anak perempuan ini yang memang bertubuh ramping dan kurus berbisik-bisik dengan suara sengaja dikeraskan. Tertawa satu sama lain penuh arti. Menatap si gendut merendahkan.

Si gendut hanya diam, memilih memperhatikan jalanan.

“Eh, tahu nggak sih lu,” Karena sebal dicuekin, yang paling jahat di antara tiga anak ramping itu menyikut lengan si gendut, mencari perhatian sekaligus mencari masalah. Si gendut menoleh. Masih diam.

“Ini angkot sempit banget tahu, gara-gara sejak lu naik. Lihat nih sesak.” Si anak ramping jahat memonyongkan bibir, “Harusnya ya, ongkos naik angkot itu disesuaikan dengan berat badan. Jadi orang-orang kayak lu, kenanya dobel. Rugi tahu sopirnya.”

Si gendut menelan ludah, hatinya sebal sekali, sementara semua penumpang memperhatikan mereka. Dia berusaha tidak menanggapi, tapi tiga teman sekolahnya ini sengaja benar memancing.

“Nggak dobel kali, say.” Teman si ramping jahat menahan tawa.

“Nggak dobel?” Si jahat pura-pura bloon.

“Nggak, tapi lima kali lipat.”

Mereka bertiga tertawa.

Si gendut menghela nafas, tersenyum, “Sebenarnya ya, tapi saya minta maaf harus bilang ini. Kalau ongkos naik angkot disesuaikan dengan berat badan penumpangnya, maka orang-orang yang kurus kering kayak kalianlah yang rugi. Tidak ada sopir angkot yang mau menaikkan kalian, karena bayarnya terlalu murah, berisik pula.”

Langit-langit angkot lengang. Tawa tiga cewek ramping jahat itu tersumpal. Sedetik kemudian, penumpang lain dan sopir angkot bertepuk tangan. Keren. Membuat tiga cewek jahat itu terpaksa menahan malu buru-buru turun.

*** Vin tertawa lebar saat selesai menceritakan kembali anekdot lama itu, “Ayolah, Jo, lucu sekali bukan?”

Jo hanya mengaduk milkshake di hadapannya. Bibirnya tidak menyungging bahkan sesenti senyum. Bagi Jo anekdot itu sama sekali tidak lucu. Lagipula dia sudah sering mendengarnya.

Demi melihat Jo yang tetap memasang wajah masam, tawa Vin terhenti, digantikan helaan nafas, “Nggak asyik loh, Jo, kalau sepanjang malam kamu cuma diam, memasang wajah kesal seperti ini.”

Dua jam lalu, Vin sebenarnya sedang asyik bekerja, lembur malam-malam menyelesaikan laporan bulanan kantor, ketika Jo meneleponnya mengajak makan malam. Mereka berdua teman dekat, karib sejak sekolah menengah atas dulu. Bagaimana tidak karib? Menurut definisi kecantikan versi industri kosmetik saat ini, Vin yang jerawatan, rambut keriting jingkrak, wajah tirus, ditambah berkulit gelap pula, memang cocok punya teman Jo, yang mirip sudah dengan deskripsi cerita anak gendut tadi.

Mereka berdua dipertemukan sejak masa orientasi sekolah, diolok-olok kakak kelas, dijemur berdua, lantas berteman baik hingga detik ini, melewati tiga tahun SMA, empat tahun kuliah, dan enam tahun bekerja. Vin adalah staf administrasi perusahaan kosmetik, Jo adalah petugas tiketing sebuah biro perjalanan. Setidaknya, meski masamasa sekolah mereka terasa ‘kejam’, mereka bisa melewatinya dengan baik.

“Ayolah, Jo, dunia tidak berakhir hanya gara-gara seorang customer biro perjalanan menghinamu, bukan?” Vin kembali membesarkan hati, melirik jam di pergelangan tangan, ini sudah dua jam mereka duduk di sebuah kafe dekat kantor Jo.

“Iya, dunia memang tidak berakhir.” Jo menjawab sarkas, “Gunung-gunung seharusnya sudah meletus dari tadi, atau lautan sudah terbelah kalau memang kiamat. Dan kita tidak bisa lagi duduk santai menikmati minuman. Kita sudah berteriak-teriak histeris seperti di film. Arrgghh… Arghhh….”

Vin menatap ekspresi dingin Jo, menelan ludah, setengah antara tertawa, setengah hendak mengeluarkan suara puh, menggaruk rambut keriting jingkrak di kepalanya, aduh, kenapa urusan ini jadi panjang sekali. Walaupun teman karib, Vin keberatan duduk tiada berguna seperti ini, tadi dia sudah menolak ajakan Jo, dia sibuk. Tapi demi mendengar suara Jo yang nelangsa, memohon, baiklah, laporan bulanan yang super penting ini ditunda, urusan bos yang marah-marah nanti saja. Kode darurat. Dia memilih menemani teman terbaiknya.

Vin pikir ini hanya kali kesekian Jo curhat, mengadu. Biasanya, setelah menghabiskan segelas milkshake, mood Jo akan lebih baik, mereka bisa kembali bekerja. Sekarang? Itu

sudah gelas keempat bagi Jo—bagaimana tidak jadi gendut itu badan, diberikan asupan kalori tingkat tinggi hanya dalam hitungan dua jam. Dan melihat gelagat wajah Jo, entah masih berapa gelas lagi sebelum perasaan Jo lebih baik.

“Ayolah, Jo, bukankah ini sudah sering terjadi? Yang menghina belum tentu lebih baik, terlepas dari yang dihina juga belum tentu baik. Eh, maksudku, kau juga sudah lebih dari dewasa untuk mengerti kalau ucapan mereka tidak ada artinya. Tidak akan membuat kau lebih jelek, lebih gendut, misalnya.” Vin berusaha bergurau.

Jo melotot, pipi tembamnya memerah marah.

“Sorry.” Vin nyengir.

Sebenarnya muasal masalah Jo simpel.

Tadi siang Jo melayani salah-seorang customer biro perjalanan yang berencana melakukan perjalanan honey moon. Entah kenapa, konsentrasi Jo rendah sekali, dia melakukan kesalahan berkali-kali, mulai dari salah memesan tiket penerbangan, salah memesan kelas hotel, bahkan dia ‘tega’ salah membuat rute pasangan itu tertukar. Customer itu jengkel, menunggu lama, tetap saja tidak selesai-selesai. Akhitnya melempar itinerary perjalanan, sambil berseru minta dipanggilkan manajer, “Aku tidak mau dilayani staf yang satu itu. Sudah lambat, berkali-kali salah, bahkan dia sekalipun tidak meminta maaf sudah membuat calon istriku terbang ke Turki, sementara aku terbang ke Afganistan. Dia pikir itu lelucon yang baik. Lihat, bahkan gajah jumbo itu, paus bunting itu, whatever siapa namanya, tidak tersenyum sedikit pun sejak melayaniku tadi.”

Di tengah situasi tegang, ada customer yang marah-marah, mendengar frase gajah jumbo dan paus bunting keluar, staf tiketing lain yang sejak tadi menonton sontak menahan tawa, menyisakan Jo yang tertunduk sakit hati, dan manajer biro perjalanan yang berkali-kali minta maaf. Menjanjikan agar segera mengurusnya.

“Cantik itu relatif, Jo.” Vin menatap gelas milkshake di hadapannya, tersenyum, memecah lengang barusan, “Kau tahu sendiri bukan, aku bekerja di perusahaan kosmetik. Aku tahu bagaimana strategi dan bisnis kecantikan bekerja.”

“Apa yang mereka bilang? Cantik harus putih? Well, jika akhirnya banyak orang meyakini kalimat tersebut, itu tidak lebih karena marketing perusahaan kosmetik sukses besar. Di negara-negara Asia, misalnya, yang kebanyakan berkulit cokelat, tentu saja perusahaan kosmetik tidak akan koar-koar beriklan, cantik itu cokelat. Mau menjual produk kemana dia kalau semua sudah berkulit cokelat?

“Dan sebaliknya, di negara-negara Eropa, Amerika, yang kebanyakan berkulit putih, perusahaan kosmetik pastilah berlomba-lomba bilang cantik itu cokelat, membuat banyak orang ramai-ramai melakukan tanning, membeli produk menggelapkan kulit, dan sebagainya. Itu hanya permainan kampanye, kepentingan bisnis. Tidak lebih tidak kurang. Masuk akal, kan?”

“Terserah, cantik itu mau putih, mau cokelat.” Jo masih menjawab sarkas, “Yang pasti tidak ada di belahan dunia ini kalau cantik itu gendut seperti gajah jumbo atau paus bunting.”

Vin tertawa kecil, menghela nafas, mulai putus asa, “Ayolah, Jo. Itu hanya lelucon. Lagipula, customer itu sedang jengkel karena kau selalu begitu. Setiap kali melihat teman menikah, tiba-tiba bersedih hati tanpa alasan, melayani customer hendak honey moon, bersedih hati, tidak semangat seperti ikan kehilangan tulang, malah benci. Bahkan bukankah beberapa waktu lalu saat membaca berita pernikahan Pangeran Inggris saja kau memutuskan berhenti menonton televisi, berhenti membaca koran berhari-hari karena bersedih hati. Padahal apa salah mereka kalau mereka menikah, punya pasangan, sementara kita tidak laku-laku?”

Malam semakin larut, Vin melirik lagi jam di pergelangan tangannya, kafe itu semakin ramai sebenarnya, banyak pekerja yang menunda pulang, malas melewati macet, memutuskan duduk ngobrol bersama yang lain.

Sebenarnya perasaan Jo sudah jauh membaik sejak melihat Vin melambai tangan, masuk ke dalam kafe. Tapi mau dibilang apa, lihatlah, terpisah satu meja, di seberang sana, pria idaman satu gedung, Erik Tarore, si tampan, gebetan Jo, sedang duduk menikmati minumannya, dan yang membuat hati Jo tiba-tiba kesal, si tampan itu satu jam lalu ditemani oleh tiga, empat gadis cantik nan ramping, yang cuih, berebut perhatian. Dasar norak. Tidak bisakah mereka sedikit terhormat sepertinya? Yang bahkan ketika satu lift saja dengan si tampan itu, jantung berdetak lebih kencang, susah bernafas, menahan malu.

“Jo, hallo, kau mendengarkanku atau tidak sih? Aku harus kembali ke kantor.” Vin memegang lengan Jo yang melamun, menatap seberang meja.

“Iya.” Jo menjawab pendek.

“Ini sudah hampir jam sembilan, kau harus segera pulang. Aku panggilkan taksi ya.”

“Iya. Terserah.”

Vin mencubit lengan Jo.

“Sakit tahu.” Jo melotot.

Vin tertawa kecil, “Ingat loh, Jo, mau sesakit apapun rasanya dihina orang lain, mau sesebal, sebenci apapun, Jo tidak pernah sendirian. Aku akan selalu menjadi teman baik. Aku akan selalu bersedia mendengarkan. Deal?”

Kali ini, demi kalimat Vin barusan, Jo sedikit mengangkat wajahnya, balas menatap wajah Vin yang tirus, jerawatan, rambut keriting jingkrak di hadapannya. Jo menelan ludah, sungguh di mata Jo sekarang, wajah Vin lebih cantik dari siapapun, wajah yang baik, dan akan selalu baik, “Terima kasih, Vin”

“Nah, gitu dong. Tersenyum.” Vin sudah berdiri, “Aku panggilkan taksi ya, nanti setelah Jo naik, aku harus bergegas ke kantor. Bisa marah sepanjang minggu bosku kalau laporan bulanan itu tidak beres malam ini.”

Jo mengangguk.

Meskipun mereka sudah berteman hampir tiga belas tahun, usia hampir tiga puluh, dengan masalah yang sama—masalah penampilan fisik, perangai Jo dan Vin tumbuh berbeda sekali. Vin tumbuh dengan pemahaman baik. Sejak SMA dulu dia tidak terlalu peduli dengan pendapat orang lain, sepanjang dia bahagia, maka mau jelek, mau cantik orang lain menilai, dia selalu merasa cantik.

Berbeda dengan Jo yang menolak paham—kalaupun dia sebenarnya paham, menolak untuk menerimanya. Jo terus berkutat dengan tubuh tambunnya. Pernah saking inginnya ingin bertubuh kurus, Jo memaksa diri melakukan diet tanpa terkendali. Fantastis memang, berat tubuhnya turun separuh, membuat pangling, tapi itu hanya bertahan beberapa minggu, sebelum berakhir di ranjang rumah sakit. Dan saat dia kembali sehat, tubuhnya kembali membesar tanpa kendali.

Itu tidak hanya terjadi sekali. Enam kali. Semua usaha Jo untuk menguruskan badannya sia-sia, dan dia akhirnya memilih sisi negatif, merutuki kenapa perutnya begitu agresif menyerap sari pati makanan, dan tetap tidak mempan walaupun sudah dioperasi pemendekan usus. Setidaknya, dengan kejadian tersebut, Jo tahu kalau Vin selalu bisa diandalkan. Vin yang meski menurut definisi kecantikan se-galaksi bima sakti sejelek seperti dirinya, tapi hatinya cantik tiada tara, teman terbaiknya.

Mereka berdua sejatinya adalah dua sahabat yang bahagia. Jika mereka sedang berdua, pergi berlibur ke pantai, liburan ke gunung, atau kota-kota eksotis, mereka berdua bahkan bisa mentertawakan diri sendiri, riang. Mengolok-olok diri sendiri sebelum orang lain mengolok, tertawa puas. Sayangnya, tidak setiap saat Vin ada untuk Jo, dan kejadian tadi siang menjadi hitungan kesekian kalinya.

Jo sebenarnya adalah pekerja keras. Dia bersedia melakukan apapun demi definisi kecantikan yang disepekati orang-orang. Dia bersedia tidak makan berhari-hari, dia bersedia berolahraga berjam-jam, demi terlihat lebih ramping. Kalau dia bersedia enam kali masuk rumah sakit karena berusaha menguruskan badan, maka jangan ditanya lagi. Tapi sepertinya takdir gendut itu tidak mudah dikalahkan. Entah apapun hikmahnya.

“Astaga, tentu saja Tuhan adil, Jo.” Vin buru-buru ber-hsss, memotong kalimat Jo barusan, “Kita saja yang tega membuat definisi sendiri soal kecantikan. Semua bayi terlahir cantik, menggemaskan. Semua anak-anak tumbuh menjadi remaja dengan kecantikan masing-masing. Lantas dewasa juga dengan kecantikan masing-masing.”

“Kata siapa?” Jo tidak mau kalah, “Ada yang memang sejak lahir hidungnya sudah mancung, matanya sudah bagus, rambutnya bagus. Dan bukankah juga ada yang sejak lahir sudah pesek, kulitnya hitam, rambutnya jelek. Di mana coba letak adilnya? Kita tidak bisa memesan, kalau bisa, kita semua pasti minta dilahirkan cantik.”

Itu percakapan kesekian kalinya. Beberapa tahun lalu. Mereka sedang asyik liburan berdua, duduk menikmati matahari tenggelam, dan entah kenapa tiba-tiba percakapan menjadi berubah sensitif—sebenarnya karena ada pasangan bulan madu di dekat meja mereka. Itu lagi, itu lagi.

“Itu karena kita semua terlanjur menterjemahkan cantik seperti itu, Jo.” Vin memegang lengan Jo, “Tuhan tidak pernah memberikan definisi kecantikan. Astaga, Jo, kau lancang sekali barusan bilang Tuhan tidak adil. Aku sampai merinding mendengarnya.”

“Memang.” Jo berseru ketus, “Kalau Tuhan adil, seharusnya kecantikan itu diperoleh, bukan diberikan sejak lahir. Siapa yang paling keras kerjanya, maka dia berhak paling cantik.”

“Ya ampun, Jo. Sudahlah, sudah.” Vin menepuk dahinya, memutuskan untuk segera menghentikan diskusi, akan semakin buruk mood Jo kalau percakapan tersebut diteruskan, dan tidak ada manfaatnya lagi, lebih baik kembali menikmati sunset, tidak peduli dengan pasangan bulan madu yang duduk mesra di sekitar mereka.

Berkali-kali Jo memikirkan soal itu, dari dulu, kenapa? Kenapa ada manusia yang dilahirkan cantik, kenapa ada yang tidak? Di mana sisi adilnya? Hingga malam ini, setelah tadi siang di hina oleh customer biro perjalanan, bertemu dengan Vin, dan Vin menceritakan anekdot soal gadis gendut yang menumpang angkot, hal tersebut terus berputar-putar di kepala Jo. Kenapa Tuhan tidak adil?

Baiklah. Baiklah, dia akan meminta keadilan soal ini langsung kepada Tuhan. Dia akan mempertanyakan langsung semua ini pada Tuhan. Maka malam itu, dari bingkai jendela salah-satu rumah dua lantai yang masih menyala di pinggiran kota kami, lewat tengah malam, saat banyak orang sudah jatuh tertidur, lelap bermimpi, Jo dengan menangis terisak mengadu pada Tuhan.

“Wahai Tuhan, jika Engkau sungguh adil, maka kenapa tidak kau jadikan saja kecantikan sebuah harga? Kenapa tidak seperti naik angkutan umum, siapapun harus membayar dengan bekerja keras jika hendak memperolehnya? Jadikanlah demikian, maka aku akan berhenti bilang Engkau tidak adil. Sungguh jadikanlah demikian.”

Doa itu, bagai melempar enam dadu, dengan enam sisi-sisinya sempurna bertuliskan kata amin.

*** Jo bangun kesiangan.

Cahaya matahari pagi lembut menerabas kerai jendela, menimpa wajahnya. Jo menghela nafas, setidaknya, setelah semalaman berkeluh kesah, lantas jatuh tertidur, perasaan hatinya lebih baik. Dia melangkah malas, menyalakan MP3 player, memasang lagu favoritnya. Hari ini dia akan datang telat saja ke kantor, setelah kejadian kemarin, semua karyawan pasti paham kalau dia berhak sedikit diberi keleluasaan. Jo bersenandung, menggeliat, menatap cermin.

Hei? Jo menelan ludah.

Siapakah itu di cermin? Kenapa ada gadis ramping di sana? Itu bukan dirinya? Jo menepuk-nepuk pipi, eh sakit, ini pipinya bukan? Memeriksa dagu, leher, lengan, betis, eh? Ini benaran dirinya bukan. Jo termangu sedetik, lantas berseru bingung. Tepatnya sedikit takut. Aneh sekali bukan saat kalian melihat cermin, tapi bukan diri kita yang memantul di cermin tersebut.

Jo berlarian menuruni anak tangga, ke dapur. Sepagi ini Mama dan adiknya pasti sedang sarapan. Setiba di dapur, ya ampun, kenapa pagi ini semua jadi terlihat tidak beres. Jo berseru tertahan, lihatlah, adik perempuannya yang SMA, yang sama gendut dengan dirinya juga terlihat ramping. Juga Mama, tidak ada badan besar yang menyesaki kursi. “Kamu baru bangun, Jo?” Mama bertanya.

Jo menggeleng-menggelengkan kepala, aduh, apa yang sebenarnya terjadi. Itu benar suara Mama-nya, tapi kenapa Mama terlihat kurus? Wajah Mama sih tetap biasa-biasa saja, dia mengenalinya, tapi kenapa Mama tidak gendut? Biasanya saking besarnya Mama, kursinya tidak terlihat. Sekarang?

“Telur dadarnya aku habisin ya, Kak?” Adik perempuannya bertanya, lantas tidak menunggu jawaban, sudah santai memidahkan satu porsi extra large telur dadar jatah Jo ke piringnya.

Ya ampun, ini ada apa? Jo mengusap-usap mata, itu juga betul suara adiknya, tapi kenapa adiknya yang rakus, tukang makan segalanya terlihat kurus pagi ini? Apa dia tidak salah lihat? Tentu saja tidak, dia masih mengenali wajah adiknya. Wajah orang paling jahil di rumah.

Ada apa? Apa yang telah terjadi.

Jo benar-benar tidak menyangka, Tuhan telah mengabulkan doa anehnya tadi malam. Sepagi ini, seluruh dunia, seperti sebuah komputer atau telepon genggam, telah di restart, telah di booting ulang sedemikian rupa. Maka seluruh wanita di dunia memiliki wajah, tubuh dengan tampilan yang sama, standar. Sama semua. Dengan definisi kecantikan lama, itu berarti semua sama jeleknya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Mudah, dalam bahasa paling sederhana bisa dijelaskan: kecantikan sekarang adalah mata uang. Kecantikan tidak lagi diperoleh sejak lahir, tapi harus dibeli.

Bagi wanita, mata uang di seluruh dunia dihapuskan, hilang begitu saja. Transaksi sekarang dilakukan hanya dengan kecantikan. Masih bingung? Begini ilustrasinya. Kalian bekerja menjadi karyawan, maka setiap bulan kalian memperoleh gaji, bukan? Nah, dengan restart ulang kecantikan seluruh dunia sejak pagi itu, maka kalian digaji atau dibayar dengan kecantikan. Bagaimana membayarnya? Memangnya kecantikan itu bisa ditransfer. Dalam cerita ini jawabannya: bisa. Dagu kalian lebih indah, mata lebih menawan, pipi lebih memerah, rambut lebih elok, hasil kerja keras kalian ditransfer seketika menjadi kecantikan.

Sebaliknya, saat kalian hendak membeli pakaian, minum kopi di kedai kopi, membeli makanan fast food, naik angkutan umum, membeli sepatu, buku, maka kecantikan kalian juga sebagai alat bayarnya. Belah dagu kalian berkurang sedikit, atau lesung pipi kalian memudar sedikit, atau kulit wajah jadi ada bercaknya, atau rambutnya jadi berketombe. Otomatis. Tiba-tiba saja, telah ada alat canggih yang ditanamkan dalam tubuh wanita untuk melakukan transaksi tersebut.

Nah, jika kalian habis menang lotere berhadiah kecantikan tiada tara, maka kalian bisa menjelma menjadi mahkluk paling cantik sedunia. Dan sebaliknya, jika kalian harus membeli rumah, mobil, atau barang-barang mahal, kalian bisa bangkrut, menjadi wanita paling jelek. Dan saat sudah terlalu jelek, kalian hilang dalam catatan penduduk bumi.

Ini menakjubkan bagi Jo.

Mekanisme kecantikan baru dunia telah hadir, Jo benar-benar merasa takjub, antusias, campur aduk menjadi satu. Apa yang tadi telah dijelaskan, Jo adalah pekerja keras sejati dalam urusan kecantikan. Dia boleh jadi selama ini tidak pernah termotivasi bekerja lebih baik demi uang, kekayaan, tapi sekarang, dia bekerja gila-gilaan demi sebuah kecantikan.

Pagi itu Jo berangkat bergegas ke kantor. Semangat sekali. Tersenyum lebar di atas bus umum, menyapa kondektur dan sopir dengan bahagia, sementara cling, mesin pembayaran bus telah bekerja, mengurangi sedikit kecantikan Jo secara otomatis. Lihatlah, di dalam bus semua orang terlihat sama, sama jeleknya. Melintasi lobi gedung, tertawa senang, menyapa cleaning service yang selama ini sering menggodanya, kapan Jo mendapat pasangan. Bahkan dia tetap tersenyum—meski masih tersengal—saat satu lift dengan Erik Tarore. Pemuda itu balas tersenyum padanya—untuk pertama kali dalam sejarah.

Jo semaput menerima senyuman itu.

Bagaimana Erik tidak berusaha ramah, sejak tadi pagi, dia dan milyaran cowok di dunia sedang bingung, kenapa semua wanita tiba-tiba terlihat berbeda? Kenapa eh, jadi jelek semua? Aduh urusan ini aneh sekali. Jadi jika Erik yang playboy selama ini hanya ramah dengan gadis yang cantik dan seksi-seksi saja, pagi ini dia yang bingung, terpaksa patahpatah ramah ke semua gadis satu gedung.

Mekanisme itu ternyata tidak berlaku bagi dunia laki-laki, mekanisme itu hanya berlaku bagi wanita. Bagi laki-laki mereka tetap menggunakan uang normal sebagai alat bayar, tidak ada yang berubah. Mereka juga tetap dengan tampilan wajah dan fisik selama ini.

“Vin, ini hebat sekali bukan?” Jo tertawa.

Mereka sedang makan siang di dekat kantor Jo. Meski Vin masih sibuk menyelesaikan laporan bulanan yang tertunda tadi malam, dia tidak kuasa menolak ajakan Jo yang sengaja menyeretnya makan siang bersama.

“Bayangkan, Vin, Erik.”

“Erik siapa?”

“Erik Tarore, pria paling tampan di gedung kantorku tersenyum padaku.” Jo memegang kepalanya tidak percaya.

“Oh ya?” Vin mencoba ikut senang. Sudah menghabiskan makan siangnya.

“Aku bersumpah, enam bulan dari sekarang aku akan menjadi wanita tercantik di seluruh kota, dan Erik, Erik akan bilang kalimat cinta itu. Nah, kali ini aku traktir kau, Vin.” Jo berkata semangat sambil membayar makan siangnya di kasir.

Cling, mesin pembayaran kecantikan bekerja sebagaima mestinya, satu jerawat muncul di wajah Jo. Tidak mengapa, dengus Jo dalam hati, riang, dia akan segera membeli kecantikan dengan bekerja keras, jerawat ini akan hilang.

Sementara Vin hanya mengangguk, menghela nafas pelan. Bagi Vin yang memiliki pemahaman baik, mau berubah ribuan kali mekanisme kecantikan dunia, tidak akan membuatnya menjadi bahagia atau sedih, karena kebahagiaan itu selalu ada di dalam hati.

*** Jo membuktikan ucapannya. Dengan motivasi tiada tara, mendapatkan fakta kalau gaji bulanannya terlalu kecil, wajahnya hanya sedikit memutih, badannya hanya sedikit lebih seksi, cling saat gaji bulanannya dibayar, lebih banyak belanja kecantikan untuk membayar keperluan hidupnya selama sebulan, Jo akhirnya memutuskan keluar dari kantornya.

Jo mendirikan biro perjalanan online sendiri. Dengan passion sebesar itu, dalam dunia enterprenuer, wiraswasta hanya soal waktu bisnis Jo menggurita. Paket perjalanan yang dia jual laku keras, dia mulai merekrut banyak karyawan. Awalnya hanya hitungan jari, persis di bulan keenam, dengan bantuan sindikasi kecantikan dunia (di jaman lama disebut sindikasi keuangan dunia), bisnis Jo membesar tiada tara.

Cling, cling, cling, kecantikan (dalam definisi lama disebut uang) mengalir ke wajah Jo (dalam definisi lama disebut tabungan, deposito), Jo berubah cantik raya sekali (dalam definisi lama disebut kaya raya sekali).

Semua orang akan pangling, gajah jumbo atau paus bunting itu sudah bagai bidadari dari langit. Semakin keras Jo bekerja, semakin cantik dia. Sementara Vin? Inilah mulai rumitnya mekanisme baru ini. Yang pertama kali tumbang tentu saja bisnis kosmetik. Ketika kecantikan harus dibeli dengan kerja keras, perusahaan-perusahaan kosmetik bangkrut, ribuan karyawannya dipecat, dan mereka jatuh jelek (jatuh miskin dalam definisi lama). Jangan tanya boyband, atau apa saja yang selama ini hanya jualan ketampanan atau kekerenan, mereka gugur bagai daun kering yang rontok.

Siapa yang perlu produk kecantikan kalau cantik sudah menjadi mata uang. Siapa pula yang sibuk mengidolakan paras-paras tampan sekarang, mereka punya masalah sendiri. Malas bekerja, alamat wajah semakin jelek. Siapa yang rajin dan bekerja keras, dialah yang memenangkan kompetisi baru ini.

Nah, dalam kompetisi kecantikan sesadis itu, gadis-gadis di dunia berebut pekerjaan, tentu saja menemukan pekerjaan tidak mudah lagi, apalagi bagi bekas karyawan perusahaan kosmetik, tidak ada yang mau merekrutnya. Vin menganggur enam bulan terakhir, karena itulah dia semakin jelek karena terus membayar kebutuhan hidupnya dengan sisa tampilan wajah dan fisik yang tersisa.

Kenapa Jo tidak membantu Vin? Masalahnya meskipun Vin punya teman sekaya, eh, maksudnya secantik Jo, mekanisme itu tidak mengijinkan transfer, hibah, hadiah, bahkan mewarisi. Kecantikan harus diperoleh—berbeda dengan kekayaan uang dalam definisi dunia lama. Meskipun cantik raya, Vin tidak bisa memberikan kecantikan kepada adiknya, atau kepada ibunya, apalagi kepada Jo. Satu-satunya yang boleh hanya menanggung biaya hidup, menahan seseorang lebih jelek lagi, itu bisa dilakukan.

“Kau tidak perlu terus membayar sewa apertemenku, Jo.” Vin berkata pelan, mereka sedang makan siang bersama, “Aku pasti akan segera dapat pekerjaan baru, setidaknya untuk membayar keperluan sendiri.”

Jo hanya berdehem sekilas, dia sibuk dengan layar laptopnya, sibuk bekerja, berkali-kali melirik jam di pergelangan tangan. Tadi dia sebenarnya malas makan siang bersama Vin, waktunya berharga sekali, demi kecantikan.

“Aku lebih suka Jo yang lama.” Vin berkata pelan, “Kau sekarang berubah sekali. Pendiam. Dingin.”

Jo lagi-lagi hanya berdehem, tidak memperhatikan.

“Sudah berapa lama kita tidak makan siang sambil tertawa, mentertawakan olok-olok orang misalnya. Pergi berliburan berdua.” Wajah Vin yang semakin jelek terlihat agak pucat siang itu, hanya suaranya saja yang tetap terdengar riang.

“Aku sibuk, Vin.” Jo memotong.

“Iya, kau terlihat sibuk sekali.” Vin menelan ludah.

Hening sejenak.

“Apakah kau baik-baik saja?” Vin ragu-ragu bertanya, Jo semakin serius menatap layar laptopnya.

“Tentu saja aku baik-baik saja, bukan?” Jo menyergah, mengangkat dagunya tinggitinggi, memasang gaya, lihatlah, dia cantik sekali, kaya raya, eh, cantik raya, apanya yang tidak baik-baik saja?

“Eh, maksudku apakah kau bahagia, Jo?”

Jo tertawa, pertanyaan yang aneh. Jelas-jelas dia bahagia. Melirik sekali lagi pergelangan tangannya, tidak sabaran, menatap ke depan. Jo tertawa lebar lagi, lihat, di pintu kafe, melambai seorang pemuda tampan, Erik Tarore, nah, sudah sebulan terakhir Erik seperti anak kecil selalu melakukan pendekatan padanya. Apanya yang tidak bahagia?

“Aku harus pergi, Vin. Maaf, kau habiskan saja makan siangnya. Aku harus menghadiri acara para sosialita cantik jelita di hotel mewah, ditemani kau tahu, siapa lagi, si Erik. Kalau ada perlu, telepon aku, nanti akan aku tanggung semua biaya hidupmu.” Jo sudah

berdiri. Cling, mesin kecantikan berbunyi, memotong kecantikan Jo sebagai pembayaran makan siang mereka. Oh dear, dengan kecantikan Jo sekarang, itu bagai debu saja pengurangannya.

*** Enam bulan berlalu lagi.

Jo semakin hebat. Bisnis biro perjalanan Jo bahkan sebentar lagi akan berjualan saham di bursa. Mendunia. Mengglobal. Sementara Vin, ternyata dia dilarikan ke rumah sakit. Dia tetap menganggur, dan karena tidak enak hati terus ditanggung Jo, dia diam-diam menolak pembayaran tersebut, membuat kondisinya semakin buruk.

Dalam mekanisme baru itu, tentu saja banyak yang menjadi korban. Sama persis seperti dunia dalam definisi lama. Di dunia lama, bukankah di mana-mana tetap saja ada yang miskin, kumuh, tertinggal. Ada yang miskin karena memang pemalas, tidak berpendidikan, tidak memiliki motivasi, tidak punya akses, ada juga yang memang bernasib miskin, apes. Jutaan jumlahnya, wanita-wanita jelek, duafa kecantikan. Siapa peduli? Sama seperti definisi dunia lama, siapa peduli dengan orang-orang miskin? Urus saja urusan masing-masing.

“Kau seharusnya bilang jauh-jauh hari kalau kau masuk rumah sakit, hah.” Itu kalimat ketus Jo, dia sedang menjenguk Vin, terlihat repot.

“Aku tidak mau mengganggu kesibukanmu.”

“Omong kosong. Justeru dengan mendadak seperti ini kau benar-benar menggangguku. Aku sedang berada di acara fashion bersama orang cantik sedunia di Paris. Kau membuat acara itu berantakan, tahu.” Jo menjawab jengkel.

“Maafkan aku.” Vin tertunduk, wajahnya keriput, rambut keritingnya semakin tidak terurus, tubuhnya kurus kering. Biaya hidup telah menggerogoti sisa wajah dan tampilan fisiknya.

Vin sungguh tidak mau merepotkan siapapun, termasuk Jo teman baiknya sejak SMA. Dia sudah melarang siapapun memberitahu Jo kalau dia masuk rumah sakit, tapi adik Jo sendiri yang tidak tahan melihat kondisi Vin, menelepon kakaknya, bilang sahabat terbaiknya masuk rumah sakit karena sudah terlalu jelek, tidak ada lagi yang bisa membayari biaya berobatnya.

“Maafkan aku.” Vin menyeka ujung matanya. Berusaha tersenyum menatap Jo. Lihatlah, teman baiknya adalah wanita tercantik di kota mereka saat ini. Dia merasa bersyukur sekali pernah berteman dekat, merasa bangga.

“Ya hallo,” Jo tidak memperhatikan Vin, dia sedang sibuk menjawab telepon, “Astaga, aku tidak bisa menghadirinya sekarang. Kalian bisa urus sendiri, kan? Ayolah, becus sedikit bekerja, hah? Ya hallo? Aku sedang di rumah sakit. Ada yang sakit, ya, hallo, merepotkan sekali memang.”

Vin menelan ludah.

“Ya hallo, tidak akan lama. Kalian urus sendiri saja.” Jo masih berkutat dengan telepon, “Tidak ada yang perlu dibantu, ini hanya masalah kecil, aku lagi bersama orang-orang jelek sakit, di rumah sakit jelek, kalian tahulah.”

Vin tertunduk.

“Maaf, aku harus bergegas, Vin.” Jo sudah memasukkan telepon ke tasnya, melambai ke lorong rumah sakit, Erik Tarore sudah datang menjemputnya, “Aku akan membayar semua biaya rumah sakit. Bye.”

Punggung Jo hilang dari balik pintu, sambil berseru senang menyambut Eriknya. Vin hanya tergugu. Tidak, dia tidak sedih mendengar kalimat Jo, dia tahu, dari lubuk hatinya paling dalam, Jo tidak berniat demikian. Jo tetap sahabat terbaiknya. Dia sedih karena betapa dia telah membebani kehidupan Jo, kenapa dia terus tidak bisa memperoleh pekerjaan di mekanisme baru dunia.

*** Masalahnya, tanpa disadari Jo, mau bagaimanapun cara memperoleh kecantikan tersebut, mau dengan kosmetik atau dengan bekerja keras, tetap saja kecantikan itu bersifat relatif. Bagi cowok-cowok dunia yang versi kecantikannya tidak berubah, maka tetap saja siapa paling cantik itu relatif.

Itulah yang terjadi pada Jo tiga bulan kemudian.

“Kau, kau laki-laki jahat!” Itu teriakan histeris Jo.

Lihatlah, Erik Tarore, pemuda idamannya, ketahuan tega berselingkuh dengan gadis lain.

“Apa aku kurang cantik, hah?” Jo menangis.

Erik Tarore menelan ludah, mengangkat bahu. Pesta-pesta sosialita cantik dunia memberikan dia kesempatan berkenalan dengan gadis cantik raya lainnya, itu lumrah bukan? Dia bisa beralih ke lain hati? Bukankah dalam mekanisme cantik lama juga begitu. Lagipula, Jo hanya paling cantik di kota mereka saja, dibandingkan negara lain, tempat lain, lebih banyak yang lebih cantik raya.

Jo menangis, membanting pintu mobil, menekan pedal gas kencang-kencang, meninggalkan Erik yang berdiri mematung di trotoar. Sudah beberapa bulan terakhir dia curiga kenapa Erik berubah, terlambat menjemputnya, mulai bilang banyak alasan. Apa kurangnya dia bagi Erik? Dia yang membawa Erik berkenalan dengan dunia itu? Dia yang menyanjung Erik. Dasar laki-laki pengkhianat. Playboy murahan.

Tetapi itu bukan yang terburuk. Yang terburuk adalah, dalam sebuah tatanan dunia baru, proses keseimbangan selalu terjadi. Itu hukum alam. Ketika kecantikan itu tidak bisa dihadiahkan, dihibahkan atau diwarisi, tapi kecantikan itu harus diperoleh, maka orang-orang jahat bisa memaksa memperolehnya dengan sebuah kejahatan. Sama dengan kekayaan dalam definisi lama.

Maka itulah yang terjadi pada Jo.

“Maafkan aku, Vin.” Jo lompat memeluk Vin saat pintu apartemen terbuka. Pipinya berlinang air mata.

Lihatlah, Jo yang berubah jelek kembali, Jo yang sama seperti saat dunia di restart dua tahun lalu.

“Tidak apa, Jo. Tidak apa.” Vin tersenyum tulus.

Apa yang terjadi? Persis saat bisnis biro perjalanan milik Jo akan go public, menjual saham ke bursa, teman sosialita super cantik dari kota lain mengkhianatinya. Itu rekayasa keuangan, eh kecantikan yang hebat, dan dalam sekejap, bisnis milik Jo berpindah tangan. Dia dicurangi habis-habisan melalui skandal kecantikan abad itu. Dalam bahasa mudahnya, Jo bangkrut. Semua kecantikan itu langsung disedot oleh mesin, cling, cling, cling, jutaan kali, Jo kembali seperti dulu.

“Maafkan aku, Vin.” Jo tersedu. Dia benar-benar dalam posisi buruk. Kehilangan Erik Tarore, juga kehilangan bisnis, dan yang lebih menohok kehilangan kecantikan.

Vin membelai lembut rambut Jo, “Kau lupa, Jo, mau sesakit apapun kau saat ini, mau sesebal, sebenci apapun, Jo tidak pernah sendirian. Aku akan selalu menjadi teman baik. Aku akan selalu bersedia mendengarkan. Deal?”

Ah, bagi Vin, yang seminggu terakhir telah bekerja sebagai cleaning service, mau sejelek apapun dirinya dan orang lain, kebahagiaan tetap berasal dari hati sendiri. Sepanjang dia bahagia, maka tidak penting penilaian orang lain. Bagi Vin, teman terbaik adalah teman yang bisa berbagi satu sama lain, dan Jo adalah teman terbaiknya, dia bisa berbagi kebahagiaan, juga kesedihan.

***

Malam itu, dari jendela kamar lantai dua di salah satu rumah pinggiran kota kami, kamar milik Jo yang lampunya masih menyala. Lewat tengah malam, saat orang-orang kebanyakan sudah jatuh tertidur, Jo sedang terisak berdoa.

“Ya Tuhan, Vin sungguh benar. Kau selalu memberikan kecantikan yang sama pada setiap bayi. Kau selalu adil. Kamilah yang sibuk memberikan definisi kecantikan itu. Kamilah yang terlalu bodoh untuk paham. Maafkan aku, sungguh maafkan aku.

“Ya Tuhan, berikanlah aku selalu hati yang cantik, seperti hati yang dimiliki oleh Vin, teman terbaikku. Sungguh dialah gadis paling cantik di dunia, yang selama ini tidak kusadari, dan aku tidak pernah belajar darinya.”

Doa Vin melesat ke atas, bagai melempar enam buah dadu, juga tetap dengan enam sisisisinya bertuliskan kata amin.

***

7. Mimpi-Mimpi Sampek-Engtay “Kaukah yang di sana Sampek?” Suara Engtay berat-berwibawa, sempurna seperti suara seorang lelaki. Kakinya melangkah perlahan, penuh perhitungan. Pakaiannya persis seperti murid biara laki-laki lainnya.

Terdengar dehem pelan, sedikit mengerang, menjawab dari balik patung Budha, di halaman Pagoda Hukuman.

”Sampek, kaukah itu?” Engtay berbisik pelan, cemas.

”Iya, ini aku.” Suara mengerang itu menjawab memastikan.

Engtay bergegas melangkah ke balik patung yang remang, ”Maafkan aku datang terlambat,” suara Engtay mendadak berubah merdu, suara gadis yang senang melihat pujaan hatinya, meski sekarang menatap iba.

Sampek terlihat bersandar di kaki patung, wajah dan tubuhnya terlihat sekali lebam biru, seperti habis melewati pertarungan sulit.

”Kau baik-baik saja, Sampek?” Tangan Engtay gemetar mengeluarkan kain dan obatobatan dari keranjang kecil yang dibawanya.

”Aku baik-baik saja.” Sampek berusaha tersenyum, menahan sakit saat Engtay mulai membasuh lukanya, ”Lantai lima sialan itu ternyata tidak mudah dilewati.”

Engtay menatap prihatin, masih cekatan membasuh luka Sampek, mengeluarkan ramuan dari botol.

”Kau jangan terlalu dekat denganku.” Sampek tiba-tiba berseru pelan.

”Eh?” Engtay tidak mengerti.

”Nanti aku ketularan penyakit kulit kau.” Sampek meringis, tertawa kecil.

Mereka bersitatap satu sama lain. Engtay ikut tertawa. Malu-malu menundukkan kepala. Bersemu merah.

Malam itu purnama yang indah menghias angkasa. Sejuta bintang menaburi langit. Cemerlang. Secemerlang hati Sampek-Engtay saat ini. Sudah larut. Biara Shaolin lengang. Seribu muridnya tertidur nyenyak. Hanya menyisakan satu-dua rahib suci yang masih mendengungkan puji-puja bagi penguasa bumi.

“Kau terlihat lucu.” Sampek berkata pelan lagi.

“Apanya yang lucu?” Engtay melotot, pura-pura merajuk.

“Kepalamu. Botak.” Sampek mendekap mulutnya.

Engtay melotot. Tersipu malu.

“Aku dulu benar-benar tidak tahu kalau kau seorang perempuan, lihatlah, meski botak, malam ini kau terlihat cantik sekali.” Sampek menatap lamat-lamat wajah sepotonghatinya. Tersenyum malu-malu memuji.

Engtay semakin tersipu mendengar pujian itu. Memerah. Sempurna sudah mukanya menyemburat seperti gadis remaja yang dimabuk cinta. Hilang sudah penyamarannya yang sempurna selama ini. Penyamaran?

Ya! Karena Engtay sesungguhnya adalah seorang perempuan. Gadis cantik berpendidikan dari Peking, ibu kota kerajaan. Ia sejak kecil menginginkan sekolah, ia gadis pemberontak, tidak mau menghabiskan hari hanya menjadi seorang puteri. Lelah keluarganya membujuk mengurungkan niat tersebut. Tak lazim jaman itu anak-gadis berangkat jauh-jauh ke gunung hanya untuk menimba ilmu.

Tetapi Engtay memaksa. Orang-tuanya yang terdesak berjanji akan merestui jika Engtay mampu membuktikan ia mahir menyamar, menjaga diri sendiri. Ternyata itu bukan perkara sulit baginya. Engtay sempurna sudah merubah penampilannya menjadi lazimnya gaya lelaki kebanyakan saat itu. Bahkan Ibunya sendiri tidak mampu mengenalinya lagi.

Dengan berat hati dan dengan menyembunyikan banyak hal ke kerabat di Istana Terlarang ibukota, Engtay diijinkan pergi ke Biara Shaolin. Menimba banyak ilmu. Tidak sekadar kungfu yang masyhur itu, tetapi juga pengetahuan tentang sebab-akibat alam, puisi, tutur-kata, kebijaksanaan kehidupan, dan berbagai lainnya. Engtay tiba di kaki Gunung Lu bersamaan dengan Sampek yang datang dari perfekture selatan. Takdir. Mereka malah tinggal satu kamar.

Awalnya benar-benar menggelikan kebersamaan mereka. Sampek yang merasa Engtay sempurna lelaki, bertingkah sebagaimana-mestinya dua lelaki tinggal satu kamar. Cuek, berganti pakaian di depan Engtay. Tidur dengan sepotong celana. Menepuk-nepuk bahu, bahkan terkadang memeluk layaknya dua teman lelaki karib. Engtay yang bingung karena mereka harus tidur seranjang, beruntung tidak hilang akal, ia membual soal penyakit kulit yang dideritanya. Maka sejak malam pertama, mereka tidak pernah tidur seranjang. Sampek mengalah tidur di tikar pandan. Menyisakan satu-satunya ranjang kayu yang ada di kamar untuk Engtay.

Dua tahun berlalu, Sampek tak sekalipun menyadari Engtay seorang perempuan. Kalau teman sekamarnya saja tidak tahu apalagi ratusan murid Biara Shaolin lainnya. Juga rahib-rahib suci yang memimpin biara. Rahasia ganjil itu sempurna tersembunyi. Hingga dua hari lalu.

Sekitar patung Budha di ruang depan Pagoda Hukuman lengang, menyisakan Engtay yang sekarang membalut luka-luka di sekujur tubuh Sampek.

”Maafkan aku telah membuatmu melewati Pagoda Lima Tingkat.” Engtay menatap wajah Sampek. Mata yang menatap penuh penghargaan.

Sampek menggeleng, tersenyum riang, “Aku sudah terbiasa dihukum sejak tiba di sini, Engtay. Berbeda denganmu yang pintar dan penurut.”

“Seharusnya kau tidak mengambil Liontin Permaisuri di Ruang Pusaka.”

“Sstt, jangan keras-keras, nanti ada yang mendengarkan kau menyebut-nyebut soal liontin itu—“ Sampek menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Menoleh kesana-kemari. Mereka berdiam diri lagi sejenak.

“Malam ini indah sekali—“ Sampek mendongak. Dari halaman Pagoda, mereka bisa melihat langit dari balik patung Budha.

Engtay mengangguk. Tersenyum setuju.

Ini hanya malam indah ke sekian di kaki Gunung Lu, tapi bagi mereka berdua, bagi Sampek lebam habis-habisan dihukum, maka itu tetap terasa lebih indah. Apalagi bagi Engtay yang sepanjang hari mencemaskan nasib Sampek. Angin malam menelisik rumpun bambu. Gemerisik teratur. Seperti nyanyian cinta.

***

Sampek terlahir sebagai pemuda miskin tapi berbakat dari selatan. Dikirim ke Perguruan Shaolin karena memenangkan kontes ketangkasan memainkan toya seperfekture. Semuda itu bakat kungfunya luar biasa, meski Sampek sama sekali tidak berminat pelajaran puisi, sebab-akibat alam, kebijaksanaan, dan sebagainya. Sampek pemuda yang polos. Suka membantu. Malah ringan tangan menggantikan murid lainnya menjalani hukuman. Itulah yang membuat Engtay sejak awal jatuh-hati. Kepolosan Sampek yang tidak menuntut.

“Apakah kau memakai liontin itu sekarang?” Sampek berbisik.

Engtay mengangguk. Merekahkan kerah baju yang melilit lehernya. Liontin itu berkemilauan indah diterpa cahaya bulan.

“Liontin ini amat beruntung dipakai gadis secantikmu!”

Engtay tersipu sekali lagi. Liontin itu pulalah yang membuat Sampek harus melalui hukuman Pagoda Lima Lantai.

Pagi itu dua hari yang lalu, Engtay yang diam-diam semakin menggumpal perasaan cintanya kepada Sampek mengajaknya bermain ke taman bunga di Danau Lu, kaki gunung. Sampek belum tahu Engtay perempuan, maka dia justeru bingung sambil berkata, “Kita lelaki, Engtay? Bagaimana mungkin kau mengajakku ke sana? Melihat taman bunga?” Sampek melipat dahinya.

Engtay hanya mengangkat bahu, “Ya, kau tahu, kita disuruh menjelaskan sebab-akibat siklus air, bukan? Kita bisa mengamatinya langsung di Danau Lu.“

Sampek yang tidak mengerti apa maksudnya, mengalah. Memutuskan menemani Engtay pergi. Sejak dulu Sampek tidak bisa membantah Engtay, teman dekat sekaligus teman satu kamar selama di biara. Belakangan dia merasa semakin ganjil dengan tabiat Engtay. Engtay terlalu sering ketahuan mencuri-curi pandang kepadanya. Bahkan dalam banyak kesempatan, sejak Engtay semakin menyukainya, Sampek merasa risih dengan kelakuan tersebut. Bagaimana mungkin teman sekamarnya yang lelaki menatapnya berbeda?

Mereka menuju Danau Lu yang indah.

Sementara Sampek duduk-bosan melihat taman bunga, Engtay yang tak bisa mengendalikan kegembiraannya melihat ribuan kupu-kupu berteriak riang. Suaranya yang berat berubah menjadi merdu layaknya seorang gadis di taman bunga. “Engtay, ada apa dengan suaramu?” Sampek menoleh, bertanya bingung. Engtay buru-buru berdehem, kembali merubahnya menjadi suara laki-laki, pura-pura mengamati Danau Lu. Pura-pura mencatat.

Celakanya saat Sampek sibuk mengejar-ngejar seekor rusa yang terlihat di sela-sela pohon, Engtay yang tak-tahan melihat beningnya air danau memutuskan mandi. Jadi bagai dipakukan ke tanah, Sampek membeku seketika ketika kembali dengan menggendong rusa itu dan menyaksikan Engtay yang sedang berendam di hamparan beningnya air.

“Kau…. Kau seorang perempuan?”

Muka Engtay mendadak memerah. Berendam lebih dalam. Berusaha bersembunyi. Percuma. Maka terkuaklah rahasia besar Engtay.

Sore itu, mereka bergegas pulang sebelum gelap datang menjelang. Sepanjang sisa hari, setelah Engtay buru-buru memakai samarannya kembali, mereka saling membisu di sela-sela bunga. Hening menatap beningnya danau. Sampek tidak bisa berkata-kata, dia benar-benar tidak tahu. Dia benar-benar terkejut.

“Apakah kau akan menolak berteman lagi denganku setelah tahu semua ini?” Engtay berkata pelan. Memecah senyap.

Sampek menoleh, menatap lamat-lamat wajah Engtay. Sungguh lepas dari segala keterkejutan, ini untuk pertama kalinya dia melihat seorang gadis yang memesona hatinya. Seorang gadis yang cantik. Dan, hei! Seorang gadis yang selama ini justru tinggal satu kamar dengannya. Seseorang yang bertahun-tahun menjadi teman baiknya melewati banyak hukuman di Biara Shaolin.

Jika cinta pertama itu ada, maka Sampek hari itu benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama.

”Kau tidak akan membenciku, bukan?” Engtay bertanya, takut-takut dan ragu-ragu.

Sampek menggeleng.

”Kita tetap akan tinggal sekamar, bukan?”

Sampek mengangguk, ”Iya, aku akan tetap tidur di lantai, kau di atas tempat tidur. Tidak ada yang mau ketularan penyakit kulit kau.”

Engtay akhirnya tertawa, malu-malu.

Senja tiba. Hamparan air danau yang tenang terlihat me-merah. Kupu-kupu beranjak kembali ke sarang. Seekor belibis liar terbang membuat kecipak air. Engtay yang taktahan dengan kesunyian itu, mengaku tentang perasaannya. Lama mereka bersitatap satu-sama lain. Tersipu. Tertunduk malu. Menggurat rumput dengan ujung jari. Jelas sudah. Mereka saling menyukai.

Mereka tiba di pintu biara persis saat sepanjang hutan kaki Gunung Lu mulai dipenuhi ribuan larik kunang-kunang. Berjalan beriringan. Malam itu ada janji yang terucap, meski mulut tak membuka sepatah kata pun.

Rahib Penjaga Gerbang mengomel panjang-lebar melihat mereka pulang amat terlambat. Sampek malam itu dihukum membersihkan Ruang Pusaka. Sementara Engtay yang kembali dengan samaran lelakinya hanya dilarang keluar biara selama seminggu. Semua rahib suci Biara Shaolin menyukai Engtay, ia murid yang pintar menulis dan membaca puisi, sebab-akibat alam, kebijaksanaan hidup, meski tak pandai dalam kungfu.

Sampek yang hatinya sedang riang tidak sengaja melihat liontin indah itu di Ruang Pusaka. Hatinya yang dimabuk cinta berpikiran pendek. Liontin itu akan indah sekali di leher Engtay. Sampek mencurinya! Liontin itu bukan senjata pamungkas. Hanya sebuah liontin. Hadiah Pemaisuri Dinasti Chin puluhan tahun silam. Satu-satunya dinasti penguasa yang dekat dengan Shaolin. Sampek ringan-tangan mengambilnya.

Perbuatan lancang yang akhirnya diketahui itu ternyata harus dihukum dengan Pagoda Lima Tingkat, hari ini. “Semoga kau bisa melewatinya, Sampek! Hanya lima tingkat, kali ini,” Rahib Penjaga Pagoda tertawa. “Sekali lagi kau ketahuan mencuri di Ruang Pusaka,

aku akan memberikan lantai ke sembilan sebagai hukuman. Lantai yang hanya bisa dilewati hidup-hidup jika kau memiliki kungfu Sembilan Naga Surga. Haha, bahkan Rahib Ketua tidak pernah tahu apakah kungfu hebat itu masih ada atau tidak.”

Murid-murid perguran shaolin yang menyaksikan hukuman itu berjengit. Sejauh ini tidak ada di antara mereka yang harus menjalani hukuman pagoda suci hingga lima lantai. Sampek menggigit bibir. Memanggul toya dipundak, lantas melangkah bergetar. Engtay yang berdiri di belakang bersama murid lainnya, menangkupkan kedua belah telapak tangan. Memohon keselamatan kekasih hatinya. Baru dua hari mereka saling tahu perasaan masing-masing, Sampek sudah harus menjalani hukuman seperti ini. Bagaimana jika sebulan? Setahun? Apakah Budha Suci terlanjur menakdirkan buruk percintaan mereka?

Tetapi Sampek meski susah-payah, meski tubuh berdarah-darah, berhasil keluar dari lantai lima pagoda suci dua belas jam kemudian. Berhasil mengatasi rintangan dan jebakan setiap lantai. Sampek jatuh pingsan saat kakinya menjejak tanah. Engtay menjerit (suara lelaki). Murid-murid lain yang selama ini amat menghormati Sampek serabutan mendekat. Tabib biara berteriak menyuruh mereka minggir. ”Tidak ada yang boleh mendekati pelanggar aturan ini. Biarkan malam ini dia sendirian di halaman Pagoda, merenungkan kesalahannya di depan patung Budha. Tidak ada yang boleh mengobati lukanya.” Sementara Rahib Penjaga Pagoda mendesis dalam hati, “Anak ini sungguh berbakat! Benar-benar berbakat.”

Tetapi hukuman ini berharga. Lihatlah, Liontin Permaisuri begitu indah di leher Engtay. Engtay yang sekarang tersenyum bahagia. Malam ini Sampek sempurna seperti melihat dua purnama bersinar terang.

Wajah Engtay dan wajah sepotong bulan di atas sana.

“Saatnya kau kembali ke kamar.” Sampek berbisik.

“Tunggulah sebentar lagi! Aku masih ingin menemanimu!” Engtay keberatan.

“Kau tidak mau kita tertangkap Rahib Penjaga Gerbang, dan aku boleh jadi akhirnya harus dihukum melewati lantai sembilan, bukan?” Sampek meringis, menirukan wajah galak rahib suci tersebut. Engtay tertawa pelan.

“Ayo. Kau harus pergi. Aku akan baik-baik saja.“ Sampek memastikan, ”Obatmu membantu banyak.”

”Kau sungguh baik-baik saja?” Engtay bertanya cemas.

Sampek mengangguk, ”Aku bahkan sudah jauh lebih baik saat mendengar suaramu memanggil beberapa saat lalu.”

***

Celaka. Sampek benar-benar keliru membayangkan kalau Engtay hanya gadis biasa yang menyamar menjadi laki-laki demi belajar di Biara Shaloin.

Dulu, saat tiba di biara, Engtay memang bilang ia berasal dari Peking, ibukota kerajaan. Dan Sampek hanya menatap terpesona, berpikir sudah lama sekali dia ingin pergi ke ibukota, amat beruntung ternyata Engtay berasal dari sana. Sampek benar-benar tidak bisa membayangkan kalau Engtay ternyata putri salah seorang petinggi kerajaan. Ayah Engtay saudara dekat Raja Tang, dinasti yang sedang berkuasa.

Dan lebih celaka lagi, Engtay adalah jodoh Putra Mahkota sejak kecil—yang membuat Engtay memberontak ingin pergi belajar ke Biara Shaolin. Maka urusan pelik itu benarbenar menyesakkan. Selama ini Engtay tidak pernah menceritakan bagian itu.

Nun jauh di Peking sana, keluarga Engtay berkata ke setiap orang yang bertanya, bahwa anak putri mereka sedang pergi ke selatan, belajar membaca puisi dan menulis kisah. “Wahai, jika demikian gadis itu akan sempurna menjadi permaisuri Dinasti Tang. Sopan dan pandai ber-adab.” Raja Tang berseru riang mendengar kabar itu. Keluarga Engtay berusaha keras menutupi kepergian anaknya, juga karena tidak lazim di jaman itu

petinggi dan keluarga kerajaan mengirim anaknya ke Biara Shaolin, bahkan walaupun dia seorang lelaki.

Sejak dulu, Biara Shaolin selalu berseberangan dengan Istana Terlarang, tidak peduli siapapun yang sedang berkuasa. Biara Shaolin yang dipenuhi rahib-rahib suci selalu berada di belakang rakyat jelata. Celakanya, hampir setiap dinasti yang berkuasa cenderung korup dan lalim terhadap rakyat banyak, itu otomatis berseberangan dengan Biara Shaolin. Celakalah, tabiat buruk itu juga terjadi pada Dinasti Tang.

Baru sebulan Sampek-Engtay saling tahu perasaan mereka di dalam tembok biara, terbetik berita pemberontakan besar-besaran di perfekture selatan pecah. Rakyat akhirnya menentang pajak dan tindakan semena-mena prajurit istana. Kota Peking dan seluruh kerajaan tiba-tiba bergejolak.

Tokoh-tokoh penting yang selama ini jengah dengan kebijakan raja mulai mengambil sikap. Sisa-sisa Dinasti Chin, dinasti yang disingkirkan Raja Tang sebelumnya, mulai bergabung dengan pemberontak di selatan. Pendekar dan jago kungfu di seluruh daratan mulai terbelah. Belum pernah Dinasti Tang menghadapi masalah seserius itu. Dan Raja Tang dengan dingin memutuskan menumpas habis semua yang berusaha melawannya.

“Aku harus kembali ke Peking, Sampek. Orang-tuaku mengirimkan surat. Ibuku sakit keras. Di tengah situasi genting seperti ini mereka hanya punya aku.” Engtay berbisik lemah. Sehelai daun bambu kering jatuh di kepalanya.

”Berapa lama?” Sampek bertanya cemas.

”Aku tidak tahu. Mungkin hingga Ibu sembuh.” Engtay sama cemasnya.

Mereka tidak punya pilihan, surat dari keluarga Engtay begitu serius. Ibunya sakit keras.

“Baiklah. Setelah semua urusan di biara selesai, setelah keributan ini selesai aku akan menyusulmu, Engtay.” Sampek berbisik lirih, mengambil lembut daun bambu kering itu.

“Berjanjilah apapun yang terjadi kau akan selalu mencintaiku.” Engtay berbisik.

“Aku berjanji akan selalu mencintaimu, Engtay. Aku bersumpah atas nama Budha Suci akan datang menjemputmu di ibukota.” Sampek mengangguk.

Esok pagi, Engtay menggebah kuda kembali ke ibukota yang sedang berkecamuk. Tanpa disadarinya, kecamuk yang lebih hebat justru sedang menantinya. Kabar ibunya sakit keras itu dusta. Putra Mahkota menginginkan perjodohan mereka dipercepat setelah melihat situasi. Memaksa keluarga Engtay memanggil pulang Engtay yang sedang belajar puisi. Dan keluarga Engtay yang terdesak, akhirnya menggunakan cara itu agar Engtay bersedia pulang.

Situasi memang berubah cepat sekali. Pemberontakan semakin membara. Biara Shaolin dengan segera menjadi tempat perlindungan rakyat. Sejauh ini Rahib Ketua masih menolak melibatkan diri. Hanya membantu yang terluka, teraniaya dan membutuhkan perlindungan. Tetapi hanya tinggal waktu, suka atau tidak, Biara Shaolin akan terlibat dalam peperangan.

Sampek-Engtay rajin berkirim surat setiap purnama. Berita-berita yang dikirimkan penuh kecemasan, meski di sana-sini kalimat rindu dan sayang memenuhi sudut kertas. Dan betapa terkejutnya Sampek tiga bulan kemudian, saat Engtay mengabarkan perjodohan itu. Tanpa menyebut nama Putra Mahkota saja perjodohan tersebut meruntuhkan hatinya, apalagi melihat nama itu tertulis jelas-jelas di atas kertas yang penuh bercak air-mata. Air-mata Engtay.

“Pernikahan kami sudah ditentukan, Sampek. Hari ke-tujuh, bulan ke-tujuh. Aku tak bisa membayangkan mengenakan gaun panjang putih berenda bukan untukmu. Mengenakan cindai pewarna di tangan bukan untukmu. Mengenakan cadar merah pengantin bukan untukmu. Datanglah menjemputku Sampek. Aku mohon.”

Dan itulah yang dilakukan Sampek esok paginya. Tanpa berpikir panjang. Tanpa mengerti apa yang akan dia hadapi. Sampek berpamitan dengan Rahib Ketua. Menyusul Engtay ke ibukota. Tetapi demi Budha Suci, apalah daya Sampek? Siapa dia? Urusan ini

benar-benar bagai setetes air yang hendak menghancurkan tembok batu raksasa. Sampek memang dengan gagah-berani mendatangi kediaman Engtay. Tetapi saat itulah Sampek menyadari kalimat di surat itu tidak bohong.

Nama Putra Mahkota tidak salah tulis.

Sampek yang tidak akan pernah mengerti tembok setinggi apa yang sedang dihadapinya, menemukan dua ribu prajurit dan selusin pendekar ternama di gerbang Istana Terlarang. Sampek, pemuda kampung, dengan kepala botak, polosnya bertanya tentang Engtay. Hanya tertawaan yang dia dapat. Hanya tatapan merendahkan yang dia terima. Siapa pula pemuda gembel ini? Celaka, saat Sampek dengan polosnya berkata dia berasal dari Biara Shaolin, itu sama saja mengundang seribu bala.

Selusin prajurit sontak mengurungnya. Mengacungkan pedang dengan marah. Sudah terbetik kabar, Biara Shaolin akhirnya memutuskan mendukung pemberontak. Perkelahian di gerbang Istana Terlarang seketika terjadi. Mudah saja bagi Sampek melumpuhkan selusin prajurit tersebut. Juga puluhan prajurit lainnya. Tetapi saat dua ribu prajurit dan belasan pendekar hebat itu serempak menyerang, tubuh Sampek segera bermandikan darah. Lima sabetan pedang mengiris dadanya. Dua anak panah menembus paha. Satu pukulan bertenaga dalam menghantam perutnya, membuatnya muntah darah.

Tubuh Sampek terguling tak-berdaya.

Malam itu langit mendung. Ibukota senyap. Jam malam. Lolongan anjing liar di kejauhan terdengar memekakkan telinga. Membuat hati bergetar mendengarnya. Tapi tidak sebergetar tubuh Sampek sekarang yang meringkuk penuh luka. Dia bisa bertahan sejauh itu atas nama cinta. Dia tetap bisa melawan selama itu karena ingin bertemu Engtay.

Salah satu pendekar paling tesohor di daratan China, Ketua Partai Bulan-Anggrek bersiap mengirimkan pukulan pamungkas terakhirnya, Sejuta Cahaya Rembulan, yang konon katanya bisa meruntuhkan sebuah gunung. Ketika Sampek membisikkan lemah

nama Engtay bersiap menjemput kematian, saat itulah tiba-tiba pintu gerbang Istana Terlarang berdebam terbuka.

Engtay berlari, berseru tertahan, “Aku mohooon. Hentikan!”

Gerakan tangan Ketua Partai Bulan-Anggrek terhenti. Cahaya jingga maut yang tadi bersinar memedihkan mata dari tangannya meredup. Para prajurit penjaga gerbang menatap tidak mengerti. Apa yang hendak dilakukan calon mempelai Putra Mahkota? Bagaimana mungkin calon permaisuri mengenali pemuda gembel ini? Engtay yang memakai pakaian kebesaran putri-putri Dinasti Tang sudah memeluk tubuh penuh luka Sampek. Menangis tersedu.

“Maafkan aku, Engtay. Aku tidak bisa membawamu pergi!” Sampek berkata lirih dengan sisa-sisa tenaga, mukanya sembab oleh gumpal darah.

Engtay berseru sendu. Memeluk Sampek lebih erat.

“Aku seharusnya tidak pernah memintamu datang. Aku seharusnya tidak pernah. Lihatlah! Ini semua benar-benar di luar kuasa kita. Ini semua sungguh di luar kuasa kita.” Engtay tersungkur menangis. Berusaha mengelap gelimang darah di wajah Sampek.

Sampek tersenyum amat getir, “Kau tahu, kau hari ini terlihat cantik sekali. Meski aku lebih suka melihat kepalamu dulu yang botak.” Tangan Sampek gemetar berusaha membelai rambut kekasih hatinya yang sudah tumbuh sekian jengkal.

Sayang, tubuhnya yang lemah terlanjur terkulai.

Memutus pertemuan yang menyedihkan tersebut.

Demi melihat mata Sampek terpejam, Engtay berseru tertahan. Mengguncang-guncang tubuh membeku itu. Lantas merintih ke kelamnya langit, “Apakah kami tak diberi kesempatan, Budha Suci? Apakah kami tak pernah diberi kesempatan.”

Lolongan anjing di kejauhan yang memotong kalimat itu membuat pemandangan semakin memilukan. Orang-tua Engtay kasar-berusaha menarik tubuh anaknya dari Sampek.

Malam itu, keluarga Engtay yang akhirnya mengetahui kisah-cinta Engtay di Biara Shaolin segera menyembunyikan tubuh Sampek. Celaka dua belas kalau Putra Mahkota tahu Engtay pernah menimba ilmu di sana, apalagi sampai tahu Engtay menyukai pemuda lain. Malam itu juga, demi melancarkan perjodohan di tengah kecamuk pemberontakan, keluarga Engtay mengatakan kepada Engtay kalau Sampek sudah meninggal.

Demi mendengar kabar itu Engtay berteriak histeris. Meratap penuh duka, “Seharusnya aku tidak pernah memintanya datang. Dia sungguh tidak tahu setinggi apa tembok yang menghalangi kami.”

*** Sampek belum meninggal. Sama sekali tidak.

Salah-satu kerabat Engtay yang membenci Dinasti Tang membawa tubuh Sampek yang sekarat pergi menjauhi ibukota. Membawanya kembali ke Biara Shaolin.

Rahib Ketua amat prihatin, menatap tubuh terluka Sampek. Tetapi ada lebih banyak hal yang lebih patut dicemaskan belakangan. Rakyat yang memberontak semakin terdesak. Janji kekayaan dan kekuasaan memang merubah banyak hal. Banyak sekali pendekar hebat yang selama ini setidaknya netral dalam pertikaian tersebut mendadak berubah haluan berada di pihak Istana. Dengan mereka di belakang, kekuatan kerajaan menjadi tidak-terbilang.

Rahib Ketua amat risau, hanya tinggal menunggu waktu perfekture selatan remukbinasa oleh prajurit Istana. Dan itu artinya hanya dalam hitungan hari, Biara Shaolin juga akan jatuh di tangan pendekar-pendekar bayaran tersebut.

Dua bulan berlalu semakin genting.

Rahib Ketua akhirnya mengambil keputusan yang tidak pernah dilakukan leluhurnya. Memutuskan mengirimkan selusin rahib suci menuju Pegunungan Kwa Loon. Meminta pertolongan. Sampek yang sudah pulih ditugaskan ikut.

Secara fisik Sampek sempurna sembuh, hanya menyisakan bekas luka di sekujur tubuh. Yang masih menganga luka di hatinya. Dan benar-benar menyedihkan melihat pemuda itu. Setiap hari dua bulan terakhir hanya termenung, menangis tanpa sebab, berteriak tertahan tanpa alasan. Rahib Ketua berpikir, setidaknya melakukan perjalanan penting bersama rahib-rahib suci akan membuat suasana hati Sampek lebih baik.

Maka amat ganjillah perjalanan menuju Pegunungan Kwa Loon itu. Sampek yang tidak tahu apa tujuan perjalanan bagai patung pualam tanpa semangat hanya ikut melangkahkan kaki. Dia menangis tanpa suara setiap mereka berhenti. Meratap pilu saat menyiapkan tempat bermalam. Tersedu panjang tanpa air mata saat membantu menuntun kuda melewati sungai. Dan lebih banyak lagi menangis dalam diam saat rombongan dihadang oleh prajurit kerajaan dan pendekar bayaran.

Rahib-rahib suci itu satu-dua hari perjalanan hanya bersitatap satu-sama lain. Tidak mengerti. Bagaimana mungkin murid mereka yang paling berbakat dalam kungfu berubah menjadi amat menyedihkan seperti ini. Hanya diam saat ditanya. Menggeleng pelan saat disuruh bercerita.

Tapi bagaimanalah Sampek akan bercerita persoalan yang membuatnya sedih berkepanjangan. Tidak mungkin dia akan menceritakan kisah-cintanya? Engtay adalah calon istri Putra Mahkota. Tidak akan ada yang percaya pemuda miskin seperti dirinya pernah mempunyai kisah-cinta yang hebat dengan calon Permaisuri Dinasti Tang.

Bosan bertanya tanpa mendapatkan jawaban, selusin rahib suci akhirnya membiarkan saja kelakuan Sampek yang ganjil. Lagipula ada banyak permasalahan yang harus diurus. Perjalanan itu semakin berat. Hadangan prajurit dan pendekar bayaran semakin banyak. Terakhir, semalam sebelum tiba di tujuan, seratus prajurit istana dan belasan

pendekar kungfu Dinasti Tang menghadang. Beruntung kemasyhuran kungfu Biara Shaolin bukan omong-kosong. Meski lima rahib suci terluka, mereka berhasil memukul mundur para penghadang.

Mereka akhirnya tiba di kaki Gunung Kwa Loon. Bahkan bagi Sampek yang sebenarnya tidak peduli dengan perjalanan tersebut merasa ganjil sekali saat tiba di tempat tujuan. Mereka ternyata hanya diperintahkan Kepala Biara menjemput seorang tua-renta di kaki Gunung Kwa Loon. Benar-benar renta. Untuk

membawanya

kembali

ke

Biara

Shaolin,

Sampek-lah

yang

harus

menggendongnya. Jadi semakin ganjil saja rombongan itu. Selusin rahib suci Biara Shaolin bersama seorang pemuda yang selalu measang wajah menangis tanpa suara, menggendong seorang kakek tua-renta.

Malam itu adalah malam ketujuh, bulan ketujuh.

Malam pernikahan Engtay. Rombongan itu baru dua hari perjalanan kembali ke Biara Shaolin. Mereka sedang melewati padang rumput luas. Malam itu Sampek mengeluh lebih kencang, menangis dalam diam membayangkan wajah Engtay yang bercahaya bagai purnama di malam pernikahannya. Celaka, ketika mereka tiba di tengah-tengah padang rumput, saat beberapa rahib mulai jengkel dengan keluhan Sampek yang mengeras, saat itulah seribu pasukan kerajaan yang diperintahkan mengejar menghadang mereka. Bermunculan dari balik rumput dan ilalang setinggi pinggang.

“Sampek, kau bawa kakek-renta itu bersembunyi! Bergegas!!” Rahib Penjaga Pagoda membentak

Sampek

untuk

segera

menyingkir,

memimpin

rahib

lainnya

mempertahankan diri.

Sampek tertatih dengan tangis tanpa suaranya menuju bongkahan batu raksasa di dekat mereka. Duduk bersembunyi.

“Malam ini, kita akan menghadiahi pernikahan Putra Mahkota dengan menghabisi rombongan rahib suci Biara Shaolin.” Panglima Perang kerajaan berteriak. Tertawa lebar.

Seribu prajurit itu berseru-seru. Membuat hingar-bingar suasana malam di padang rumput. Puluhan pendekar bayaran yang menyertai menyeringai satu sama lain. Kalau mereka berhasil menghabisi rombongan ini, itu berarti pundi-pundi emas mereka akan bertambah banyak.

Maka tanpa banyak cakap, terjadilah pertempuran hebat. Selusin rahib suci melawan kekuatan tak-terperikan. Ribuan anak panah melesat, ratusan pedang terhunus, cahaya biru, hijau, merah, kuning menghajar ke sana, kemari. Berdentum. Selusin rahib suci mengerahkan segala jurus pamungkas Biara Shaolin untuk menahan serbuan prajurit dan pendekar bayaran yang bagai air bah. Sementar Sampek dan orang tua renta yang dijemput berlindung dibalik sebuah batu besar.

“Kenapa kau menangis.“ Kakek renta yang digendong Sampek untuk pertama-kalinya sejak dua hari lalu dari Gunung Kwa Loon mengeluarkan suara.

Suara yang terdengar bagai desau angin.

Sampek mengangkat mukanya yang sejak tadi mengeluh. Menatap kosong wajah renta itu. Tertunduk lagi. Tidak memedulikan. Malam ini biarlah di tengah pesta pernikahan Engtay di ibukota, di tengah ribuan lampion indah yang pasti dipasang menghias ibukota, biarlah hatinya menangis sendiri. Peduli apa kakek-renta ini dengan sedih di hatinya. Peduli apa bumi, langit dan seluruh isinya. Peduli apa Budha Suci atas takdir percintaannya yang menyakitkan.

“Kenapa kau menangis?“ Kakek renta itu bertanya lagi.

Sampek masih diam. Dua rahib suci sudah terkapar tak berdaya di depan mereka. Di pihak lawan, ratusan prajurit terpanggang pukulan pamungkas biara Shaolin, beberapa pendekar tertatih mencoba meneruskan pertempuran.

“Malam ini indah sekali. Kau lihat, bulan sabit. Bintang-gemintang. Hanya pemuda amat malanglah yang menangis dengan pemandangan sehebat ini.” Kakek renta itu menatap

lamat-lamat Sampek. Amat tenang dengan segala kecamuk di sekitar mereka. Bahkan terlihat tidak cemas dengan nasibnya.

Belasan prajurit lolos dari hadangan rahib suci. Berhasil mencapai batu persembunyian, buas menebaskan pedangnya ke arah kakek-renta itu. Sampek meskipun sedang sedih berkepanjangan tetaplah pendekar kungfu yang baik, sekali pukul membuat mental dua penyerang.

Kakek renta itu mendadak tertawa, “Kau berkelahi persis seperti seorang wanita!”

Sampek hanya mendengus, tidak memedulikan. Lebih banyak lagi prajurit yang lolos dari hadangan selusin rahib suci. Sampek semakin sibuk menahan mereka mendekat.

“Anak muda, kau belum menjawab pertanyaanku mengapa kau menangis?” Kakek renta itu kembali bertanya santai, di tengah Sampek mati-matian menahan serangan.

Sampek menggerung kesal, tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya awas memperhatikan setiap gerakan prajurit lawan. Celaka. Selusin rahib suci sekarang hanya menyisakan Penjaga Pagoda dan Penjaga Gerbang yang masih berdiri gagah melawan. Sisanya terkapar tak berdaya. Ribuan prajurit merangsek semakin ganas mendekati batu persembunyian Sampek.

Sampek berseru panik. Prajurit itu datang bagai air bah. Dia undur, merapat ke bongkahan batu besar. Berusaha mati-matian melindungi kakek-renta tersebut. Sampek sungguh tidak tahu mengapa semua prajurit ini beringas menyerang kakek-renta tidak berdaya di sebelahnya. Dia juga tidak tahu mengapa Rahib Ketua menyuruh mereka menjemputnya dan harus melewati berkali-kali hadangan prajurit kerajaan.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, anak-muda!” Kakek renta itu bertanya sekali lagi, santai.

“Apa perlunya kau tahu, hah?” Sampek berteriak jengkel. Satu untuk pertanyaan yang diulang-ulang itu, dua untuk semakin banyaknya prajurit yang kalap menyerang, tiga demi melihat betapa tenangnya kakek renta tersebut.

Lihatlah, kakek-renta itu malah terkekeh sekarang.

“Setidaknya sebelum kau mati oleh pedang prajurit kau akan lega telah menceritakan apa yang membuatmu menangis, bukan. Merasa lepas dari segala beban.”

“Baiklah!!! Kau ingin tahu kenapa aku menangis? Karena malam ini gaids yang kucintai akan menikah dengan putra mahkota Dinasti Tang! Apa kau puas mendengarnya, hah?”

Sampek berteriak, kecamuk pedang dan teriakan prajurit membuat pekak telinga.

“Bukan main.” Kakek renta itu menggelengkan kepala.

“Aku tidak berbohong!” Sampek benar-benar jengkel sekarang, apa-gunanya kakekrenta ini bertanya kalau hanya untuk mentertawakan jawabannya.

“Kau tahu,” Sampek mendesis dengan mata yang akhirnya basah-terluka, kesedihan mendadak menelikung hatinya lagi, kali ini amat dalam, amat menikam.

“Kau tahu, malam ini kalau kematian akhirnya datang menjemputku, maka biarlah itu terjadi. Biarlah itu menjadi takdir Budha Suci. Aku akan mati membawa seribu luka janji setia. Aku akan mati setidaknya setelah aku berusaha menjemputnya di ibukota. Aku akan mati dengan tersenyum.” Sampek menyeka ujung matanya.

“Aku tidak akan pernah mengkhianati cintaku.” Sampek gemetar mengayunkan pedang ke depan. Menyambut serbuan prajurit dan para pendekar yang tak kunjung habis. Situasi mereka genting sudah.

Di dekat mereka Rahib Penjaga Gerbang sudah terkapar terkena selarik cahaya biru. Menyisakan Rahib Penjaga Pagoda yang tubuhnya penuh luka dan gumpal darah.

Bertahan mati-matian dari air-bah serbuan lawan. Rombongan rahib suci malam ini sepertinya benar-benar akan binasa.

“Aku akan selalu mencintaimu, Engtay.” Sampek mendesis lemah dengan sisa-sisa tenaganya. Dua belas anak panah meluncur ke arahnya. Sembilan larik cahaya biru pukulan dari sembilan pendekar bayaran Dinasti Tang melesat bersiap menghantam dadanya.

Maut bersiap menjemput Sampek.

Biarlah. Dia tidak akan marah atas segala takdir ini. Sampek tersenyum lemah. Wajah Engtay yang tersenyum di bawah rumpun bambu terlihat jelas di pelupuk. Aku akan pergi, Engtay. Satu pedang menebas bahunya. Anak panah itu semakin dekat. Sembilan larik cahaya biru lebih dekat lagi.

Saat itulah!

Saat itulah terjadi hal menakjubkan yang pernah ada. Yang akan selalu diingat siapapun yang pernah melihatnya. Mendadak kelamnya malam dibuncah oleh suara seruling penuh kesedihan. Hiruk-pikuk pertempuran dihentikan oleh serunai panjang yang mengiris-iris hati. Mendengking membuat bibir kelu, kaki gemetar, dan mata berkacakaca. Nyanyian kesedihan terhebat yang pernah ada.

Langit sempurna terang-benderang. Entah dari mana cahaya itu, kemilau putih tiada tara mengungkung padang-rumput. Seperti ada yang jahil melontarkan seribu kembang api di angkasa. Lagu kesedihan itu semakin kencang. Belasan anak panah yang melesat mengarah ke Sampek luruh seketika. Sembilan larik cahaya biru pukulan tenaga dalam yang bersiap merekahkan kepala Sampek musnah. Dan sekejap, mendadak langit dipenuhi raungan panjang memilukan.

Raungan kesedihan tiada tara.

“Sembilan Naga Surga!” Sampek yang kehabisan tenaga jatuh terduduk. Mulutnya lirih mendesiskan nama jurus legenda terhebat yang pernah ada di dunia persilatan.

“Kau salah, anakku.” Kakek renta yang tadi bersandar di bongkahan batu, kakek-renta yang selama ini digendong, mengambang begitu anggun di atas kepala Sampek. Tersenyum begitu getir. Menatap begitu sendu. Kosong.

“Kau salah, anakku. Ini bukan Sembilan Naga Surga. Ini adalah Delapan Belas Naga Surga.”

Dan mendadak selepas raungan kesedihan panjang tadi, selepas kalimat kakek-renta itu, sempurna merekah dari langit delapan belas kemilau cahaya putih. Melesat dahsyat turun ke bumi. Delapan belas cahaya yang membentuk siluet naga. Begitu besar. Begitu menggetarkan. Begitu hebat!

Naga-naga itu mengaum. Raungan yang pilu. Sahut-menyahut dengan bunyi serunai yang semakin menyesakkan. Rahib Penjaga Pagoda jatuh terduduk, demi Budha Suci, dia tidak pernah tahu legenda jurus itu ada. Bukan sembilan, delapan belas malah. Puluhan pendekar bayaran mencicit ketakutan. Belasan ribu prajurit yang tersisa diam tak bergerak.

Dan dalam sekejap pertunjukan itu selesai. Delapan belas naga itu melesat bagai kilat menerabas prajurit-prajurit yang membeku. Menyapu bersih pendekar-pendekar yang gemetar. Sedetik berlalu. Tubuh-tubuh itu luruh ke bumi. Tanpa nyawa.

Malam itu tidak ada yang bisa menceritakan kembali betapa mengerikan jurus Naga Surga. Hanya Sampek yang sekarang terlihat gemetar berusaha berdiri. Hanya Rahib Penjaga Pagoda yang merangkak bergetar dengan luka di sekujur tubuh.

***

“Kau berjodoh denganku, anakku.” Kakek renta itu menatap wajah pucat Sampek.

Pagi datang menjelang. Semburat merah menyiram hamparan padang rumput. Sungguh menyedihkan melihat padang rumput nan luas yang sebenarnya indah sekarang dipenuhi tubuh-tubuh bergelimpangan.

Rahib Penjada Pagoda duduk bersandar di sebelah Sampek. Tubuhnya sudah bersih dari gumpalan darah. Semalam Sampek dengan sisa-sisa tenaga membantu mengobatinya. Mukanya tidak kalah pucat dibandingkan Sampek. Dia pikir ketika Rahib Ketua menyuruhnya menjemput kakek-renta ini ke Gunung Kwa Loon itu hanya usaha sia-sia. Ternyata tidak. Menyaksikan jurus itu semalam membinasakan dua ribu pasukan hanya dalam satu tepukan memberikan harapan Biara Shaolin akan tertolong. “Kau berjodoh denganku, anakku.” Kakek renta itu mengulang kalimatnya, “Kau tahu, hanya kesedihan paling mendalam yang bisa memanggil Naga Surga. Hanya hati yang tercabik-cabik-lah yang bisa memanggil Seruling Surga.”

Terdiam sejenak.

“Ah, aku tidak pernah menyangka kau memiliki kisah hidup yang begitu menyakitkan. Aku pikir saat aku berhasil menguasai jurus itu, mendatangkan dua kali lipat lebih banyak dari leluhur sebelumnya, aku pikir jalan hidupku sudah teramat menyakitkan. Tidak, kau ternyata lebih menyakitkan!” Kakek renta itu menghela nafas.

Sepanjang mengobati Rahib Penjaga Pagoda semalam, Sampek terbata menceritakan potongan masa lalunya. Wajah Engtay yang tersenyum bahagia. Wajah Engtay yang pura-pura merajuk. Wajah Engtay yang pura-pura marah.

“Di dunia persilatan, kekuatan terbesar datang dari hati, anakku. Dan sayang sekali, hanya hati yang pilu yang bisa mengumpulkan tenaga begitu besar. Kau menggumpalkan selaksa rasa sakit, kecewa, marah, sedih menjadi satu. Semakin tercabik-cabik hatimu, maka semakin banyak Naga Surga yang bisa kau panggil. Semakin tajam sembilu itu mengiris, maka semakin benderang cahaya Naga Surga.”

“Kau tahu kenapa hanya orang-orang yang sakit-hatilah yang bisa menguasai jurus tersebut? Karena orang-orang sakit hati lazimnya tidak lagi mencintai kehidupan dunia

ini. Ia tidak menginginkan singgasana. Ia tidak menginginkan tumpukan emas. Ia hanya ingin sendiri dengan seluruh luka di hati…. Kau tahu, anakku, celaka kalau jurus itu dikuasai orang-orang yang masih menginginkan kekuasaan, menginginkan dunia dan seisinya.”

“Lihatlah, Budha Suci mendapatkan ilham hebatnya setelah menjalani kehidupan sederhana yang menyakitkan. Membuang jauh seluruh kecintaan akan dunia. Kesedihan yang terkendali sungguh bisa menjadi kekuatan tiada tara. Kesedihan yang terkendali bisa membuat hati bersih, hati yang siap menerima kabar baik langit, termasuk kekuatan langit.”

Angin padang berhembus pelan. Bunga rumput berwarna putih berterbangan. Satu-dua menerpa wajah Sampek yang diam tertunduk. Puluhan burung pipit terbang berkelompok.

“Kau pulanglah ke Biara Shaolin. Aku memutuskan tidak akan membantu!” Kakek-renta menatap Rahib Penjaga Pagoda.

“Tapi…. Bagaimana mungkin…. Kau harus membantu kami!” Rahib Penjaga Pagoda terbata, tidak percaya apa yang dia denga. Jelas-jelas Kepala Biara menyuruhnya pulang dengan membawa kakek tua renta ini.

“Bukan aku, tapi pemuda ini. Dialah yang akan memperbaiki banyak hal. Aku sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan dunia. Lagipula aku lebih suka menyepi, sendiri dengan kesedihan masa-laluku. Satu purnama dari sekarang, pemuda ini akan siap memimpin pasukan pemberontak. Berdoalah Budha Suci merestuinya. Kau tahu anakku, Naga Surga hanya bisa dipanggil oleh seseorang yang memiliki hati yang baik. Hati yang apa daya tersakiti oleh sesuatu. Tetapi hati itu tidak pernah membenci atas takdir menyakitkan tersebut. Tidak pernah.”

***

Satu purnama sempurna berlalu.

Dari selatan melesatlah kabar mencengangkan tersebut. Jauh lebih mencengangkan Istana Terlarang saat sebulan lalu mereka mendengar laporan seribu pasukan mereka mati terbantai begitu saja oleh selusin rahib suci Biara Shaolin.

Kabar mencengangkan itu adalah: dua ratus ribu pasukan rakyat terlatih bagai putingbeliung begerak mendekati ibu-kota. Puluhan rahib suci Biara Shaolin berbaris memimpin. Dan seorang pemuda gagah, dengan wajah sendu memegang tali kekang kuda paling depan. Pemuda yang konon bisa menurunkan naga dari langit. Kabar itu benar-benar menggemparkan, meski sejauh ini tidak ada satu pun yang pernah menyaksikan bagaimana naga-naga itu turun.

Tidak ada yang tahu apakah Sampek menguasai jurus hebat tersebut. Rahib Penjaga Pagoda yang menjadi panglima kedua pasukan pemberontak juga tidak tahu. Sampek memang terlihat berpuluh-puluh kali lebih hebat ketika kembali sebulan kemudian dari Padang Rumput Kwa Loon. Karena itulah dia dipilih Rahib Ketua memimpin pasukan. Selebih dari itu, tidak ada yang tahu selentingan ganjil tersebut.

Tetapi terlepas dari naga-naga, serbuan kaum pemberontak dengan pemimpin barunya membuat jalan cerita peperangan berubah drastis 180 derajat, sekarang Istana Terlarang semakin terdesak. Enam bulan berlalu, perkemahan dua ratus ribu pasukan pemberontak tinggal seminggu perjalanan dari ibukota. Putra Mahkota dan Raja Tang mulai terjepit. Mereka menarik mundur dan mengerahkan seluruh pasukan di gerbang ibukota. Bertahan. Menjanjikan lebih banyak bayaran kepada pendekar-pendekar ternama.

Engtay? Engtay yang tidak pernah tahu kabar Sampek, meyakini Sampek telah mati saat berusaha menjemputnya, setiap malam hanya menangis di sangkar emasnya. Menangisi kematian Sampek. Menangisi nasibnya yang kejam. Dan ia semakin tersungkur sedih saat kabar burung tentang pemuda pemimpin pasukan pemberontakan itu didengarnya. Pemuda tanpa nama dengan wajah sendu. Duhai, sama benar nasib pemuda itu dengan jalan hidupnya.

Malam itu, saat perang terakhir siap berkecamuk, saat perkemahan pasukan pemberontak tinggal sepelemparan batu dari gerbang ibukota, Sampek memutuskan pergi sendiri menuju Istana Terlarang. Akan ada banyak darah yang tumpah, ada banyak

rakyat

dikorbankan

jika

pertempuran

penghabisan

terjadi.

Sampek

memutuskan menemui Raja Tang.

Menawarkan kesepakatan.

Bagi Sampek, masa-lalu menyedihkan itu sudah tertinggal jauh di belakang bersama tebasan pedang. Masa-masa indah bersama Engtay sudah lenyap tak bersisa bersama kepulan debu pasukannya. Setahun lebih memimpin pasukan pemberontak, malam ini kembalinya dia ke Istana Terlarang hanya untuk menyelamatkan nasib kerajaan. Kakekrenta itu mengajarinya tentang makna kata berdamai dengan masa lalu. Tidak mendendam apapun. Menerima apa-adanya.

Pemuda gagah berwajah sendu berjalan gagah bersama selusin rahib suci Biara Shaolin menuju gerbang ibukota. Kabar tentang kedatangan Sampek yang hendak menawarkan kesepakatan menerabas cepat tembok Istana Terlarang.

Seratus ribu pasukan terlatih penjaga Istana Terlarang memenuhi halaman. Raja Tang dan Putra Mahkota duduk di singgasana. Bersama puluhan petinggi dan kerabat kerajaan. Bersama pendekar-pendekar ternama yang berada di pihak mereka. Menunggu dengan tegang. Malam itu langit sempurna gelap dikungkung awan-hitam.

Sampek penuh wibawa melangkah melewati halaman luas Istana Terlarang. Menyibak seratus ribu prajurit yang siap siaga menghunuskan pedang. Sampek melangkah ringan, bagai terbang menuju Aula Singgasana raja. Dia terlihat amat mengesankan. Lupakan Sampek yang dulu sering menangis, mukanya memang tetap sendu, tapi penampilannya sempurna sudah seperti raja hebat yang pernah dimiliki kerajaan daratan China.

“Aku hanya berkata sekali. Kau dengarkan atau tidak, itu akan menentukan nasib kerajaan ini.” Sampek menatap dingin Raja Tang. Tanpa sekali pun merasa perlu melirik Putra Mahkota yang duduk di sebelahnya.

“Malam ini, dua ratus ribu pasukan kami membuat tenda di dekat dinding ibukota. Ratusan ribu lagi, rakyat yang berada di kota ini mendukung kami. Jika kau menolak kesepakatan yang kuberikan, mereka akan menghabisi seluruh kota. Pertumpahan darah tidak terhindarkan…. Raja Tang, ambillah keputusan yang bijaksana! Malam ini kau akan mengembalikan tahta ke rakyat jelata, biarkan mereka memilih raja baru yang lebih baik—“

“Omong kosong!” Putra Mahkota memotong kasar, berteriak.

“Aku tidak bicara padamu!” Mata Sampek menatap tajam.

Demi Budha Suci, Rahib Penjaga Pagoda mendesis, sekilas dia melihat siluet naga putih dari mata Sampek.

Putra Mahkota terduduk di kursinya.

“Aku…. Aku tidak bisa memutuskannya malam ini!” Raja Tang yang resah dengan perkembangan menjawab gugup.

“Kita tidak akan pernah menyerah ke pemberontak hina ini, Ayah!” Putra Mahkota bangkit dan berteriak lagi.

“Aku tidak bicara padamu!” Mata Sampek semakin tajam.

Rahib Penjaga Pagoda yang berdiri di sebelah Sampek semakin gentar, dia sungguh bisa melihat siluet naga putih dari mata pemuda yang dulu dididiknya belajar kungfu.

Tetapi ada yang tiba-tiba berseru lebih kencang di Aula Singgasana. Engtay! Engtay yang hamil tua. Tadi baru saja dayang-dayang menyampaikan kabar pemimpin pemberontak sedang bertemu langsung dengan Raja Tang. Mendengarkan detail wajah yang diceritakan dayang-dayang, tiba-tiba dada Engtay berdetak kencang. Sampek. Apakah itu Sampek? Bukankah Sampek sudah mati?

Bergetar Engtay menyebut nama itu. Gemetar tangannya meraih kotak perhiasan di bawah tempat tidur yang selama ini disembunyikannya. Sampek.

Kau-kah itu….

Engtay melangkah tertatih dengan perut buncitnya. Menuju Aula Singgasana. Bergegas.

“Sampek! Kaukah itu….” Engtay berseru sekali lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lirih. Tertahan. Gemetar kakinya melangkah mendekat.

Mata-mata tertoleh. Aula Singgasana senyap.

Sampek sempurna tidak menoleh.

Engtay melangkah ke depan. Melupakan adab Istana Terlarang. Berusaha memeluk Sampek.

“Apa yang kau lakukan, istriku!” Putra Mahkota berteriak galak, mencengkeram baju Engtay.

“Lepaskan aku!” Engtay meronta, mendorong Putra Mahkota, terus melangkah maju.

“Sampek… Kaukah itu? Oh, demi Budha Suci. Ternyata kau masih hidup…. Kau masih hidup!” Engtay gemetar menyentuh wajah Sampek.

“Kau salah orang, Nyonya.“ Sampek berkata dingin.

“Aku tidak salah orang…. Aku tidak salah orang!” Engtay mendesis berkali-kali. Wajahnya antara hendak menangis, tidak-percaya, bahagia, dan entahlah.

“Kau salah orang, Nyonya.“ Suara Sampek bergetar.

Engtay mencengkeram baju kebesaran Sampek.

“Kau lihat ini! Lihat ini!” Engtay melepas kerah yang menutupi lehernya, menunjukkan kemilau liontin yang baru saja dikenakannya. Liontin Permaisuri Dinasti Chin.

Maka terjadilah kerusuhan itu. Benar-benar celaka. Semua orang tahu Dinasti Chin adalah dinasti yang ditaklukkan Dinasti Tang puluhan tahun silam. Orang-orang selatan yang memberontak juga pendukung dinasti masyhur tersebut. Putra Mahkota mendadak beringas saat mengenali liontin itu. Apalagi saat melihat mendadak Engtay berusaha memeluk kaki pemimpin pemberontak di hadapan mereka.

“Apa yang kau lakukan, perempuan hina!” Putra Mahkota menarik tubuh Engtay. Kasar sekali.

Engtay terjerambab jatuh. Ia mengaduh, tapi yang keluar dari mulutnya hanya desis nama Sampek.

“Kenapa kau memakai liontin terkutuk ini? Apa kau bagian dari pemberontak? JAWAB!” Putra Mahkota berteriak kalap. Mengguncang tubuh Engtay.

Engtay malah berusaha merangkak kembali memeluk kaki Sampek. Putra Mahkota yang marah dan tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi mendadak menghunus pedangnya. Tanpa berpikir panjang menusuk tubuh Engtay begitu saja. Darah mengalir di depan singgasana raja.

Darah mengalir….

Sampek yang sejak tadi berusaha tidak menatap wajah Engtay terkesiap. Sampek yang sejak awal berusaha mengabaikan Engtay terperangah. Wajah Engtay yang bergelung di dekat kakinya terlihat amat kesakitan. Meringis. Pedang itu sempurna menembus perutnya.

Sampek berseru tertahan.

“Bunuh mereka!” Putra Mahkota berteriak kalap.

Maka dalam sekejap pendekar bayaran yang berbaris di depan Raja Tang merangsek menyerbu. Juga ribuan prajurit lainnya. Aula Singgasana berubah kacau-balau. Rahib Penjaga Pagoda dan belasan rahib suci lainnya buru-buru membentuk lingkaran melindungi Sampek yang gemetar berusaha memeluk tubuh Engtay.

Pertempuran dahsyat itu terjadi. Salah seorang rahib suci menembakkan kembang-api ke angkasa. Dua ratus ribu pasukan pemberontak yang bersiap di gerbang ibukota menunggu hasil perundingan tahu apa yang telah terjadi di Istana Terlarang demi melihat letupan kembang api tersebut. Mereka serentak menyerbu. Kacau-balaulah ibukota malam itu. Penduduk kota yang mendukung pemberontakan ikut melawan. Membakar barak-barak prajurit, rumah-rumah petinggi dan keluarga kerajaan. Ibukota memerah!

Semerah hati Sampek saat ini.

”Kaukah itu Sampek?” Engtay, berbisik lirih, menahan rasa sakit, darah membanjiri pakaian puterinya.

“Iya, ini aku, Engtay. Ini aku..” Sampek mendesis tertahan, berusaha membantu Engtay duduk.

Luka lama itu sempurna menganga kembali.

“Aku tahu. Kau pasti akan kembali, Sampek…. Aku tahu kau pasti akan menjemputku.” Mulut Engtay bergetar. Mencoba tersenyum. Mata Engtay berbilur air dan darah. Perutnya bersimbah darah. Tersengal. Satu-dua.

Dua rahib suci terpental terkena pukulan Sejuta Cahaya Rembulan. Lingkaran yang dipimpin Rahib Penjaga Pagoda untuk melindungi Sampek semakin terdesak. Pendekar paling ternama saat itu di daratan China, Ketua Partai Bulan-Anggrek yang amat

membenci Biara Shaolin tanpa ampun mengeluarkan jurus mautnya. Mendesis menyebar kematian. Dia bukan lawan bagi rahib Biara Shaolin, bahkan Kepala Biara belum tentu bisa mengalahkannya.

“Aku mohon. Jangan pergi! Ini aku Engtay, ini Sampek.” Sampek berseru tertahan.

“Aku akan pergi, Sampek. Aku akan pergi dengan bahagia. Aku akan pergi dalam pelukanmu. Seperti yang kuinginkan sejak pertama kali mengenalmu. Seperti yang kuinginkan sejak pertama kali mengenal kata cinta. Maafkan aku yang tidak kuasa menentang perjodohan itu. Maafkan aku…. Aku akan selalu mencintaimu….” Engtay berkata lirih, dan sempurna di ujung kalimat itu tubuhnya terkulai lemah.

Sampek berseru tertahan memanggil Engtay.

Sampek berseru panik….

Tetapi semuanya sudah terlambat. Hati Sampek tercabik sudah. Wajah Engtay yang bersemu malu saat ketahuan berendam di Danau Lu, wajah Engtay yang tersipu-sipu saat dia memakaikan Liontin Permaisuri Dinasti Chin, wajah Engtay yang memeluk tubuhnya bergelimang darah di depan gerbang Istana Terlarang. Wajah-wajah itu terukir kembali di pelupuk matanya.

Dulu dia hanya setetes air. Istana ini bagai tembok batu raksasa. Dulu tangannya lemah tak-kuasa menjemput pujaan hatinya. Sekarang! Sampek melenguh tertahan.

Meraung penuh kesedihan.

Sempurna saat Sampek berseru, saat pukulan Sejuta Cahaya Rembulan Ketua Partai Bulang-Anggrek yang konon bisa menghancurkan sebuah gunung menderu deras ke arahnya, saat itulah mendadak langit malam berubah terang-benderang. Seperti ada yang jahil sekali melemparkan seribu kembang api di angkasa.

Saat itulah serunai kesedihan yang memilukan hati, membekukan seluruh perasaan mengungkung ibukota. Benar-benar nyanyian yang mengiris-iris perasaan. Membuat kaki gemetar. Membuat kerongkongan kering. Melenguh tak terkatakan. Pukulan Sejuta Cahaya Rembulan yang sejengkal lagi menerpa Sampek musnah seketika.

“Delapan Belas Naga Surga.” Rahib Penjaga Pagoda yang masih bertahan mendesah gentar. Lututnya gemetar demi menyaksikan kehebohan yang sempurna menghentikan seluruh gerakan.

Keliru! Penjaga Pagoda sungguh keliru. Malam itu, Sampek bukan hanya memanggil delapan belas, tapi seratus Naga Surga. Seratus Naga Surga yang melesat turun dari langit. Seratus cahaya putih yang membentuk siluet naga berkemilauan tiada tara. Begitu besar. Begitu menggetarkan. Begitu hebat. Hati Sampek sempurna tercabik seratus bagian, menyisakan kepingan kesedihan tak-terkatakan.

Lihatlah! Sampek mengambang dengan wajah pilu di atas singgasana raja. Memeluk tubuh membeku Engtay. Tubuh kekasih hatinya yang bersimbah darah. Tubuh sepotong-jiwanya yang sedang hamil tua.

Dan hanya sekejap pertunjukan hebat itu berlangsung. Seratus Naga Surga dengan buas melesat ke bumi. Menerabas hati siapa saja yang kelam malam itu. Menerabas hati siapa saja yang mencintai kejahatan dan kebencian. Sedetik berlalu. Seratus ribu pasukan kerajaan di halaman Istana Terlarang jatuh bagai pohon lapuk. Tidak bernyawa. Ratusan pendekar di aula singgasana luruh. Ketua Partai Bulan-Anggrek. Raja Tang. Putra Mahkota. Ribuan prajurit kerajaan di gerbang ibukota. Semuanya musnah dalam sekejap.

Malam itu, legenda Naga Surga akan dikenang sepanjang masa. Malam itu, Sampek yang menatap kosong membawa pergi tubuh dingin Engtay ke Padang Rumput Kwa Loon. Menyepi hingga maut menjemputnya. Dan orang-orang mulai melupakan betapa legenda itu pernah ada. ***

8. Sepotong Hati Yang Baru Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”

Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.

“Apa kau baik-baik saja,” Alysa balik bertanya pelan.

Aku tertawa getir. Menggeleng.

Diam sejenak. Sungguh hatiku tidak baik-baik saja.

Bulan purnama menggantung di angkasa. Senyap? Sebenarnya tidak juga. Suara debur ombak menghantam cadas di bawah sana terdengar berirama. Tetapi pembicaraan ini membuat sepi banyak hal. Hatiku. Mungkin juga hati Alysa. Rumah makan yang terletak persis di jurang pantai eksotis ini tidak ramai. Hanya terlihat satu dua pengunjung, membawa keluarga mereka makan malam. Bukan musim liburan, jadi sepi. Kami duduk berhadapan di meja paling pinggir. Menyimak selimut gelap lautan di kejauhan.

“Maafkan aku.” Alysa menggigit bibir. Tertunduk lagi.

Aku menatap wajahnya lamat-lamat.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu. Tertinggal jauh di belakang.” Aku menelan ludah. Berusaha menjawab bijak—aku tahu itu bohong, pura-pura bijaksana.

Hening lagi sejenak.

”Sungguh maafkan aku,” Alysa menyeka sudut-sudut matanya, ”Aku tidak pernah tahu akan seperti ini jadinya.”

Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu, sehari setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi percuma. Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi. Dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku.”

Ombak menghantam cadas semakin kencang. Bulan purnama di atas sana membuat lautan malam ini pasang. Lautan yang kosong sepanjang mata memandang, menyisakan kerlip kapal nelayan atau entahlah di kejauahan. Jemari Alysa terlihat sedikit gemetar memainkan sendok-garpu.

“Kau tahu, aku melalui minggu-minggu menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah mengerti mengapa kau pergi. Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas segalanya, aku tidak pernah baik-baik saja. Enam bulan berlalu, hanya berkutat mengenangmu. Mendendang lagu-lagu patah-hati, membaca buku-buku patah-hati. Hidupku jalan di tempat.”

“Maafkan aku.” Suara Alysa bahkan kalah dengan desau angin, matanya mulai basah menahan tangis.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku mendongak keluar, menatap purnama. Berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Kemudian kembali menatap wajah Alysa, tersenyum, “Kau tahu, di tengah semua kesedihan itu, setidaknya saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.”

Hening lagi sejenak.

Alysa mengangkat kepalanya, bertanya ragu-ragu, cemas, “Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku?”

Setahun silam. Di tempat yang sama.

Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Aku mengeluarkan kotak cincin batu bulan itu.

“Aku tahu ini bukan permata.” Tersenyum, “Hanya cincin sederhana, berhiaskan batu bulan, simbol tanggal kelahiranmu. Apakah kau suka?”

Alysa mengangguk-angguk. Tersenyum amat lebarnya. Menjulurkan tangannya. Dia mencoba memasangkan cincin tersebut. Sumringah menatap wajahku,

“Itu akan menjadi cincin pernikahan kita.”

Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau selama sebulan terakhir merencanakan banyak hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka yang indah. Malam itu, menatap wajahnya, kalimat itu meluncur begitu saja.

Alysa menatapku. Matanya membulat. Mukanya memerah. Tersenyum. Kemudian tersipu mengangguk. Sungguh, malam itu berubah seperti ada seribu kembang api yang meluncur menghias angkasa. Hatiku menyala oleh rasa bahagia. Keramaian rumah makan tepi jurang lautan terasa bingar, orang-orang yang menghabiskan makanan di atas meja.

Malam itu. Setahun silam.

Dan semua mulai dikerjakan. Keluarga saling bertemu, tanggal pernikahan ditentukan, kartu undangan disebar, hal-hal kecil diselesaikan, semua berjalan begitu lancar.

Tetapi pernahkah kalian menyimak film-film. Yang ketika pasangan itu siap menikah beberapa hari lagi, salah-satu pemerannya entah kenapa bertemu dengan seseorang— biasanya seseorang itu calon mempelai perempuan. Seseorang yang terlihat begitu sempurna. Seseorang yang mengambil segalanya. Ketika kalian menonton film itu, bahkan kalian tega membela perasaan yang baru muncul di hati jagoan wanitanya. Tega berharap agar pernikahan itu tidak jadi. Berharap calon mempelai perempuan berhasil

mendapatkan seseorang yang tiba-tiba muncul, amat memesona itu. Berharap cinta hebat yang tumbuh mendadak yang menang, membenarkan alasan si calon mempelai perempuan. Akui sajalah, kita selalu membela cinta model ini.

Itulah yang terjadi denganku. Persis lima hari sebelum kami menikah, Alysa bertemu dengan pria gagah itu. Dalam sebuah pertemuan yang mengesankan. Aku tidak peduli di mana, kapan, dan entahlah pertemuan itu terjadi. Tidak peduli. Sama tidak pedulinya siapa sesungguhnya pemuda itu. Yang pasti dia meremukkan seluruh kenangan indahku bersama Alysa. Menghancurkan kedekatan kami , keluarga kami, dan sebagainya dengan lima hari pertemuan. Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?

Sungguh lelucon cinta yang tidak lucu.

”Maafkan aku.” Alysa berkata pelan, ”Aku, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Astaga? Setelah bilang dia tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kami, Alysa juga tidak tahu apa yang sedang terjadi? Ini bencana besar, jika tidak baginya, tapi setidaknya bagi dua keluarga yang sudah menyiapkan banyak hal.

”Aku, aku mencintainya.” Alysa menghela nafas, ”Kau tahu, akan terasa, akan terasa menyakitkan kalau kita tetap menikah dengan kenyataan aku mencintainya.”

Ya Tuhan? Dia mencintainya hanya dengan pertemuan lima hari?

”Maafkan aku....” Suara Alysa bergetar, ”Kau tahu, itu seperti cinta pertama pada pandangan pertama. Aku, aku pikir semua rencana pernikahan kita keliru.”

Debur ombak menghantam cadas terdengar bagai lagu penuh kesedihan. Bukan, bukan karena semua ini tidak aku mengerti yang membuatku sakit hati. Bukan karena tibatiba, bukan kenapa harus terjadi lima hari sebelum pernikahan kami. Aku juga tidak mampu membenci pria itu. Apa salahnya? Aku tahu, selalu ada bagian yang tidak masuk akal dalam perjalanan cinta. Tetapi lebih karena, lihatlah, percakapan ini, aku tahu

persis, separuh hatiku akan pergi. Persis seperti sebuah daun berbentuk hati, diiris paksa oleh belati tajam, dipotong dua. Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.

Alysa membatalkan pernikahan, begitu saja. Pakaian pengantin dikembalikan, gedung yang disewa dibatalkan, katering yang disiapkan diurungkan. Menyisakan pertanyaanpertanyaan teman, malu di wajah keluarga, menyisakan itu semua. Itu sungguh masamasa yang sulit.

“Kita tidak berjodoh. Maafkan aku.” Dan Alysa pergi malam itu. Di tempat yang sama ketika aku memperlihatkan cincin batu bulan itu kepadanya. *** Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”

Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.

Hening sejenak. Lebih banyak kesunyian menggantung di langit-langit rumah makan. Malam pertemuan kesekian kalinya aku dengan Alysa, malam ini, malam sekarang.

“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa ragu-ragu bertanya lagi, dengan suara yang semakin pelan dan semakin cemas.

Aku terdiam. Mengusap wajah kebas.

Ombak semakin kencang menghantam cadas. Berdebur.

Aku sungguh tidak menduga, setelah setahun berhasil pergi dari segala kesedihan itu. Susah-payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu menelusuk di malam-malam senyap. Alysa mendadak kembali. Meneleponku dengan suara tersendat. Meminta kami bertemu malam ini.

Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku harus menemuinya. Semua itu sudah selesai. Bangunan hubungan kami sudah hancur berkeping-keping, bahkan jejak

pondasinya pun tidak ada lagi. Hanyut tercerabut setahun silam. Tetapi aku toh tetap menemuinya. Di tempat pertama kali aku mengenalnya. Di tempat dia membatalkan begitu saja rencana pernikahan kami. Di tempat kenangan kami

Alysa datang mengenakan gaun putih. Syal hijau. Matanya sembab, wajahnya sendu. Dan terisak perlahan setelah setengah jam berlalu. Alysa menceritakan banyak hal. Meski lebih banyak menahan tangis. Aku hanya diam. Dulu, setiap melihatnya menangis, aku pasti seolah ikut menangis. Bergegas berusaha menghiburnya, melucu, memberikan kata-kata motivasi, apa saja.

Malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah lautan. Menyerahkan sapu-tangan. Lantas diam.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang Alysa harapkan?

Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu, aku sudah bersumpah untuk menguburnya dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan pernah kuasa melupakan. Malam ini saat Alysa bilang hubungan hebatnya dengan pria memesona itu gagal, aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku harus senang? Sedih? Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan.

“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa bertanya lagi, kali ini seperti bertanya kosong.

Aku hanya diam. Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut pengakuannya. Apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak tahunya kenapa dia dulu tibatiba merasa begitu jatuh cinta dan tega membatalkan pernikahan kami. Itu bukan urusanku.

“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Suara Alysa kalah oleh desau angin. Tertunduk. Aku menggigit bibir, menggeleng, “Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak

bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.”

Alysa memberanikan diri mengangkat wajahnya, cemas mendengar intonasi suaraku.

“Maafkan aku Alysa, aku sudah menikah. Bukan dengan seseorang yang amat aku cintai, aku inginkan. Tetapi setidaknya ia bisa memberikanku sepotong hati yang baru. Maafkan aku. Kau lihat. Ini cincin pernikahan kami, batu giok.” Aku menelan ludah.

Hening sejenak. Alysa mematung.

Aku mengangkat bahu.

Alysa menyeka ujung-ujung matanya. Mengangguk pelan. Ia tahu persis itu simbol batu tanggal kelahiranku. Malam ini semua sungguh terasa menyesakkan. Gadis itu beringsut berdiri dari tempat duduknya, beranjak pergi. Aku menatap punggungnya hilang dari balik pintu rumah makan.

Maafkan aku Alysa, aku berbisik pelan menatap selimut gelap lautan. Melepas cincin itu. Ini bukan cincin milikku. Ini kepunyaan adikku--yang juga menyukai batu giok. Ada gunanya juga memutuskan mengenakan cincin ini sebelum bertemu dengan Alysa. Aku belum menikah. Aku selalu mengharapkan kau kembali. Selalu. Hingga detik ini. Bahkan minggu-minggu pertama kau pergi aku tega berharap dan berdoa Tuhan menakdirkan pria itu bernasib malang.

Tetapi malam ini, ketika melihat wajah sendumu, mata sembabmu, semua cerita tidak masuk akal itu, aku baru menyadari, cinta bukan sekadar soal memaafkan. Cinta bukan sekadar soal menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri. Cinta adalah rasionalitas sempurna.

Jika kau memahami cinta adalah perasaan irrasional, sesuatu yang tidak masuk akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali menganga. Kau dengan mudah membenarkan apapun yang terjadi di hati, tanpa tahu, tanpa

memberikan kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena kau tidak mampu mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih, tidak kurang.

Kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah hingga kapan. Itu benar. Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan hidupku kembali dipenuhi harapan hidup bersamamu. Sudah cukup. Biarlah sakit hati ini menemani hari-hariku.

Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil sempurna menumbuhkan hati yang baru, memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri sendiri. Apa pepatah bilang? Ah iya, patah hati tapi tetap sombong, patah-hati tapi tetap keren.

***

Tentang Penulis Tere-liye adalah seorang penulis novel. Lahir pada tanggal 21 Mei 1979 dan telah menghasilkan 14 buah novel. Karya-karyanya antara lain Kisah Sang Penandai, Ayahku (Bukan) Pembohong, ELIANA, Serial Anak2 Mamak, Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin, PUKAT, Serial Anak2 Mamak, BURLIAN, Serial Anak Mamak, Hafalan Shalat Delisa, Moga

Bunda

Disayang

Allah,

Bidadari-bidadari

Surga,

Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Senja Bersama Rosie, Mimpi-mimpi si Patah Hati, Cintaku Antara Jakarta & Kualalumpur, The Gogons Series 1. Bagaimana

caranya

jika

anda

ingin

lebih

mengenalnya? Ada banyak cara, berikut diantaranya : kunjungi websitenya. Kalau mau ngobrol langsung, kirim email aja ke [email protected] (katanya sih cara terbaik menghubunginya ya lewat email). Tere-liye ingin menyebarkan pemahaman bahwa HIDUP INI SEDERHANA melalui tulisannya. Berikut sedikit kutipan dari pojok "biografi" salah satu novelnya, yang sangat berkesan di hati saya (selaku pembaca) : Bekerja keras, namun selalu merasa cukup, mencintai berbuat baik dan berbagi, senantiasa bersyukur dan berterima-kasih maka tereliye percaya, sejatinya kita sudah menggenggam kebahagiaan hidup ini. Sederhana memang, tapi sungguh pada pelaksanaannya tidaklah sesederhana itu. Semoga kita bisa memaknai sebaris kalimat itu, sehingga kita dapat merasakan kebahagiaan itu. Amin :)

Get in touch

Social

© Copyright 2013 - 2024 MYDOKUMENT.COM - All rights reserved.