Data Loading...

The Kite Runner - Khaled Hosseini Flipbook PDF

The Kite Runner - Khaled Hosseini


150 Views
111 Downloads
FLIP PDF 1.76MB

DOWNLOAD FLIP

REPORT DMCA

http://inzomnia.wapka.mobi

THE KITE RUNNER Khaled Hosseini

Edit & Convert: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi "Sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang." Khaled Hosseini dalam The Kite Runner

Tentang Penulis Khaled Hosseini ada putra pasangan seorang guru SMA dan diplomat yang lahir di Kabul pada 1965. Ayah Hosseini ditugaskan ke Paris, Prancis. Pada

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

1976. Saat mereka seharusnya kembali Afghanistan pada 1980, negara itu telah berada dalam pendudukan Soviet. Keluarga Hosseini mendapatkan suaka politik dari pemerintah AS, di negara inilah, tepatnya di San Jose, California, mereka tinggal hingga saat ini. Hosseini menuntut ilmu di Santa Clara University dan lulus dari San Diego School of Medicine. Sejak 1996 hingga kini, dia berpraktik sebagai dokter specialis penyakit dalam. The Kite Runner adalah Novel Afghan pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris. Buku ini telah meraih berbagai penghargaaan di seluruh dunia dan menjadi buku telaris sepanjang 2005. Buku ini dipersembahkan kepada Haris dan Farah, keduanya adalah noor mataku, dan untuk anak-anak Afghanistan. "Kisah yang sangat kuat ... tidak ada yang sia-sia, tidak ada omong kosong, semuanya disajikan dengan keras dan apa adanya ... tentang keluarga dan per-sahabatan, pengkhianatan dan penebusan dosa. Tidak perlu berpikir panjang untuk menikmati buku ini. Bebe-rapa bagian dari The Kite Runner Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memang mem-bawa kepedihan, tetapi keseluruhan buku ini ditulis dengan indah." -The Washington Post Book World"Buku yang menakjubkan dan penuh kekuatan." -Diane Sawyer"Novel pertama yang luar biasa ... mengisahkan tentang persahabatan dua anak lelaki di Afghanistan dan ke-budayaan yang memikat. Novel ini menghadirkan pesona buku masa lalu yang dengan mudah akan menghanyutkan Anda." -San Francisco Chronicie"Hosseini dengan brilian menggambarkan keadaan Afghanistan prarevolusi yang hangat dan nyaman, namun telah diwamai oleh gesekan antar-kelompok etnis .... Novel ini menyajikan detail-detail yang akan senan-tiasa menyentuh sanubari Anda." -The New York Times-

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Novel pertama yang penuh dengan kekuatan tentang ke-pedihan dan kasih sayang. Dalam The Kite Runner, Khaled Hosseini menuturkan kisah menyentuh tentang betapa lama bangsanya berjuang melawan duka yang melanda hingga kini." -The New York Times Book Review"Novel yang indah ... berada dalam jajaran buku terbaik sepanjang tahun. Mengisahkan persahabatan dan hubungan yang rapuh antara ayah dan anak lelaki-nya, manusia dan Tuhannya, pria dan tanah aimya. Mengharukan. Salah satu buku terliris, menyentuh, dan tak terduga." -The Denver Post"Buku ini begitu kuat, hingga buku lain yang kubaca terasa hambar. Kisah ini akan terus melekat dalam ingatan pembacanya. Seluruh tema menawan dalam sastra dan kehidupan terjalin dengan indah dalam novel luar biasa ini: cinta, kehormatan, rasa bersalah, ketakutan, dan penebusan dosa." -Isabel Allende"Brilian. Buku berkualitas tinggi yang akan dikenang sepanjang zaman." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

-Publishers Weekly"Buku ini tidak berkisah tentang politik Timur Tengah, melainkan tentang indahnya kehidupan di sebuah negara yang kacau-balau. Melalui karakter dan plot yang dibangun dengan kuat, yang memesona dan terkadang menyesakkan, Hosseini menyajikan kisah menawan dalam balutan tradisi yang kental dan sejarah tanah air tercintanya." -San Antonio Express-News"Novel luar biasa ini berkisah tentang perjuangan orang-orang biasa dalam menghadapi terpaan sejarah yang memorak-porandakan kehidupan." -People"Potret nyata tentang Afghanistan tiga puluh tahun yang lalu." -The Wall Street Journal"Hosseini dengan sukses menghadirkan novel yang menawan dengan penuturan yang sederhana dan memikat, pembaca tak akan sabar untuk membalik halamannya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

-The Philadelphia Inquirer"Debut luar biasa dari seorang Afghan. Kisah memikat tentang pengkhianatan dan penebusan dosa yang di-bingkai dengan masa lalu tragis negara Afghanistan. Benar-benar menawan." -Kirkus Reviews"Karakter Amir dan ayahnya, hubungan mereka, dan hubungan antara Hassan dan Amir, semuanya di-bangun dengan cermat dan meyakinkan. Hosseini, se-orang dokter dari California; mungkin adalah satu-satunya penulis Afghan yang menulis dalam bahasa Inggris, dan novel pertamanya sukses menarik per-hatian dunia." -Library JournalUcapan Terima Kasih Saya berutang budi pada rekan-rekan kerja saya karena nasihat, bantuan, atau dukungan mereka: Dr. Alfred Lemer, Dori Vakis, Robin Heck, Dr. Todd Dray, Dr. Robert Tull, dan Dr. Sandy Chun. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saya juga berterima kasih kepada Lynette Parker dari East San Jose Community Law Center untuk penjelasannya tentang prosedur adopsi, dan kepada Daoud Wahab yang telah membagikan pengalamannya di Afghanistan dengan saya. Saya merasa bersyukur atas petunjuk dan dukungan yang diberikan oleh teman baik saya, Tamim Ansary, juga atas umpan balik dan semangat yang diberikan oleh rekan-rekan saya di San Francisco Writers Work-shop. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ayah saya, teman terlama dan sumber inspirasi saya untuk segala kebajikan yang ada dalam diri Baba; ibu saya yang selalu mendoakan saya dan bemazar untuk semua tahapan penyelesaian buku ini; bibi saya yang sering membelikan buku saat saya masih kanak-kanak. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Ali, Sandy, Daoud, Walid, Raya, Shalla, Zahra, Rob, dan Kader yang telah membaca kisah ini. Saya juga ingin berterima kasih kepada Dr. Kayoumy dan istri orang tua kedua saya untuk kehangatan dan dukungan yang selalu mereka berikan. Saya ingin berterima kasih kepada teman dan agen saya, Elaine Koster, untuk kebijaksanaan, kesabaran, dan kebaikan hatinya, juga kepada Cindy Spiegel, editor saya yang cermat dan cerdas, yang telah menolong saya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

membuka begitu banyak sumbat dalam kisah ini. Juga kepada Susan Petersen Kennedy yang telah memberi kesempatan untuk buku ini dan para staf di Riverhead yang bekerja keras dalam menerbitkan buku ini. Akhirnya, saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada istri saya tercinta, Roya pendapatnyalah yang selalu saya dengarkan untuk kebaikan dan kasih sayangnya, karena dia telah berulang kali membaca buku ini dan menolong saya menyun-ting setiap rancangan novel ini. Untuk kesabaran dan pengertianmu, aku akan selalu mencintaimu, Roya jan. Satu Desember 2001 Aku menjadi seperti diriku yang sekarang ini saat berumur 12 tahun, pada suatu hari yang beku di musim dingin 1975. Masih kuingat dengan jelas, saat aku berlutut di balik reruntuhan tembok lempung, mengintip gang sempit yang memanjang di dekat sungai yang membeku. Peristiwa itu telah lama berlalu, tapi pengalamanku selama ini Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menunjukkan bahwa kita tak akan pernah bisa mengubur masa lalu. Karena bagaimanapun, masa lalu akan selalu menyeruak mencari jalan keluar. Sekarang, saat aku melihat kembali ke masa lalu, aku menyadari bahwa aku telah mengintip gang sempit yang terbengkalai itu selama dua puluh enam tahun. Suatu hari di musim panas yang lalu, temanku Rahim Khan menelepon dari Pakistan. Dia memintaku mengunjunginya. Sambil berdiri di dapur dengan gagang telepon menempel di telingaku, aku tahu bahwa bukan hanya Rahim Khan yang berbicara di telepon itu. Dosa tak termaafkan dari masa laluku turut hadir di sana. Setelah menutup sambungan itu, aku berjalan-jalan di sepanjang Spreckles Lake di pinggiran utara Golden Gate Park. Cahaya matahari awal senja berkilauan menyiram permukaan air, tempat lusinan kapal miniatur berlayar dengan dorongan angin yang semilir. Saat aku menatap ke atas, kulihat sepasang layang-layang, merah dengan ekor panjang berwama biru, berayun di langit. Kedua layang-layang itu menari jauh tinggi melampaui pepohonan di bagian barat taman itu, di atas kincir angin, melayang berdampingan bagaikan sepasang mata yang memandang ke bawah pada San Francisco, kota yang sekarang telah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menjadi kampung halamanku. Tiba-tiba aku mendengar bisikan Hassan di kepalaku: Untukmu, keseribu kalinya. Hassan, si pengejar layang-layang berbibir sumbing. Aku duduk di bangku taman di dekat pohon willow, memikirkan ucapan Rahim Khan sebelum dia memutuskan sambungan telepon, ucapan yang ditambahkan, seolah sebelumnya terlupakan. Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan. Aku memandang sepasang layang-layang di langit. Aku memikirkan Hassan. Memikirkan Baba. Ali. Kabul. Aku memikirkan kehidupan yang kujalani hingga musim dingin 1975 itu tiba dan mengubah segalanya. Dan membuatku menjadi diriku yang sekarang. Siat kami masih kanak-kanak, aku dan Hassan suka memanjat pohon-pohon poplar yang tumbuh di jalan masuk rumah ayahku dan mengusik tetangga kami dengan memantul-mantulkan cahaya matahari ke rumah mereka menggunakan pecahan cermin. Kami duduk berhadapan di cabang-cabang pohon yang tinggi, kaki kami yang telanjang bergelantungan, saku celana kami dipenuhi buah murbei kering dan bijibiji kenari. Bergiliran kami memainkan cermin itu sembari memakan buahbuah murbei, sesekali saling melemparkannya, terkikik-kikik, terbahakbahak. Aku masih dapat melihat Hassan duduk di atas pohon itu, cahaya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

matahari menerobos dedaunan dan menimpa wajahnya yang nyaris bulat sempuma, raut muka yang menyerupai wajah boneka Cina yang dipahat dari kayu keras: hidungnya yang datar dan lebar, matanya yang sipit bagaikan daun bambu, mata yang wamanya berubah-ubah sesuai dengan cahaya yang menimpanya, terkadang emas, hijau, dan bahkan safir. Aku masih dapat melihat telinga mungilnya yang menempel rendah dan dagunya yang runcing, bagian kecil dari wajahnya yang seolah ditambahkan dengan tergesa-gesa. Dan bibimya yang sumbing, sedikit di sebelah kiri lekukan bibimya, mungkin di situlah peralatan si pernahat boneka Cina itu tergelincir, atau mungkin dia sekadar kelelahan dan menjadi ceroboh. Terkadang, di atas pohon itu, aku menyuruh Hassan membidikkan biji-biji kenari dengan katapelnya pada anjing gembala Jerman bermata-satu milik tetangga kami. Hassan tidak pernah berminat melakukannya, tapi jika aku memintanya, benar-benar memohon, dia tidak akan menolaknya. Hassan tidak pernah menolakku. Dan dia mahir menggunakan katapelnya. Ayah Hassan, Ali, sering kali menangkap dan me-marahi kami, setidaknya dengan kemarahan yang bisa dilakukan orang selembut Ali. Dia akan menggerakkan telunjuknya dan melambai pada kami supaya kami segera turun dari pohon. Dia akan menyita cermin kami dan mengatakan sesuatu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang pernah dikatakan ibunya dulu, bahwa setan juga memantulmantulkan cahaya dengan cermin untuk menggoda kaum Muslim saat mereka menunaikan shalat. "Dan dia tertawa-tawa saat melakukannya," katanya menambahkan, seraya memelototi anaknya. "Ya, Ayah," Hassan akan menggumam, menunduk memandangi kakinya. Tapi dia tak pernah mengadukanku. Tak pernah sekali pun mengatakan bahwa cermin itu seperti juga membidikkan biji kenari pada anjing tetangga-selalu berawal dari gagasanku. Pohon-pohon poplar berjajar di pinggir jalan masuk yang terbuat dari bata merah, menuju sepasang pintu gerbang yang terbuat dari besi tempa. Saat satu per satu daun pintu gerbang itu membuka, terlihatlah tanah ayahku. Rumah kami terletak di sebelah kiri jalan bata, sedangkan halaman belakang terletak tepat di ujung jalan itu. Semua orang setuju bahwa ayahku, Babaku, telah membangun rumah tercantik di distrik Wazir Akbar Khan, lingkungan baru dan mewah di bagian utara kota Kabul. Beberapa orang menganggap rumah itu adalah rumah terindah di seluruh Kabul. Jalan masuk luas yang dihiasi oleh rumpun-rumpun mawar mem-bentang menuju rumah besar berlantai marmer dengan jendela-jendela yang lebar. Ubin mosaik berpola rumit, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dipilih sendiri oleh Baba di Isfahan, melapisi lantai ke-empat kamar mandinya. Permadani-permadani ber-sulam benang emas yang dibeli Baba di Kalkuta, ter-pasang berjajar di dinding; seperangkat lampu gantung kristal menghiasi langit-langit yang melengkung. Di lantai atas terdapat kamarku, kamar Baba, dan ruang kerjanya, yang disebut juga "ruang merokok," sebuah ruangan yang senantiasa digelayuti aroma tembakau dan kayu manis. Baba dan rekan-rekannya bersantai di sofa kulit hitam dalam ruangan itu setelah Ali selesai menghidangkan makan malam. Mereka menyumpal pipa Baba tidak pernah mengatakan menyumpal, tetapi "menggemukkan pipa" dan mengobrolkan tiga topik pembicaraan favorit mereka: politik, bisnis, dan sepak bola. Terkadang aku meminta izin Baba untuk bergabung dengan mereka, namun Baba akan berdiri mengadang di ambang pintu sambil berkata, "Pergilah, sekarang. Ini waktunya orang dewasa. Kenapa kau tidak membaca salah satu bukumu saja?" Dia akan menutup pintu, meninggalkanku bertanya-tanya,mengapa yang ada baginya selalu waktu orang dewasa. Aku akan duduk di depan pintu, menarik lutut ke dada. Terkadang aku duduk di situ selama satu jam, terkadang dua, mendengarkan tawa mereka, senda gurau mereka. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Ruang tamu di lantai bawah memiliki dinding melengkung dengan lemari pajangan yang menyatu pada dinding. Di dalam lemari itu terdapat fotofoto berbingkai keluarga kami: foto tua dengan gambar yang sudah memudar menampilkan kakekku dan Raja Nadir Shah, diambil pada 1931, dua tahun sebelum sang raja tewas dibunuh; mereka berdiri di dekat rusa mati, mengenakan sepatu bot setinggi lutut, dengan senapan terselempang di bahu. Foto berikutnya diambil pada malam pemikahan orang tuaku; Baba ter-lihat menawan dengan setelan hitamnya dan ibuku bagaikan seorang putri belia bergaun putih dengan senyumnya yang memesona. Dalam lemari itu juga terdapat foto yang menampilkan Baba dan sahabat merangkap rekan bisnisnya, Rahim Khan, yang sedang berdiri di luar rumah kami, tak seorang pun di antara mereka yang tersenyum aku masih bayi saat foto itu diambil dan Baba menggendongku; dia terlihat letih dan suram. Aku berada dalam pelukannya, namun tanganku menggenggam erat kelingking Rahim Khan. Dinding melengkung itu menghubungkan ruang tamu dengan ruang makan. Di tengah ruang makan, berdiri sebuah meja besar yang terbuat dari kayu mahoni. Meja itu dapat digunakan untuk menjamu tiga puluh orang sesuai dengan gaya hidup ayahku yang menyukai pesta-pesta Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mewah, yang membuatnya menggunakan meja itu hampir setiap minggu. Di bagian lain ruangan itu terdapat perapian tinggi yang terbuat dari marmer, yang selalu dihangatkan oleh nyala api oranye di hari-hari musim dingin. Pintu sorong kaca yang besar membuka pada teras setengah lingkaran yang menunjukkan halaman belakang seluas satu hektar ekar dan deretan pohon ceri. Baba dan Ali menanam sayuran di sepanjang dinding timur: tomat, mint, merica, dan deretan pohon jagung yang tidak pernah benarbenar dipanen. Aku dan Hassan menyebutnya "Dinding Jagung Merana." Di bagian selatan kebun itu, di bawah bayangan pohon loquat, berdirilah tempat tinggal pelayan, pon-dok kecil sederhana berdinding tanah liat, tempat Hassan dan ayahnya tinggal. Di sanalah, di pondok kecil itu, Hassan dilahirkan pada musim dingin 1964, setahun setelah ibuku meninggal saat melahirkanku. Selama 18 tahun tinggal di rumah itu, hanya beberapa kali aku mengunjungi tempat tinggal Hassan dan Ali. Saat matahari tenggelam di balik bukit dan kami telah menyelesaikan permainan yang kami lakukan seharian, aku dan Hassan berpisah

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menuju arah yang berbeda. Aku berjalan melewati rumpun-rumpun mawar menuju rumah mewah Baba, Hassan menuju pondok tanah liat tempatnya dilahirkan, tempatnya menjalani seluruh hidupnya. Dalam pondok itu, dua matras terletak ber-seberangan, di antaranya terbentang sehelai karpet Herati usang dengan pinggir menipis, juga sebuah bangku kecil berkaki-tiga dan meja kayu di sudut tempat Hassan menggambar. Dinding ruangan itu dibiarkan telanjang. Hanya tertempel satu permandani bersulam manik-manik yang membentuk kata Allahu Akbar, yang dibeli Baba untuk Ali dalam salah satu kunjungannya ke Mashad. Di gubuk kecil itulah Sanaubar, ibu Hassan, melahirkannya pada suatu hari di musim dingin tahun 1964. Tidak seperti aku yang kehilangan ibuku karena meninggal akibat pendarahan dalam tubuh saat melahirkanku, Hassan kehilangan ibunya tidak sampai satu minggu setelah dia lahir. Hassan kehilangan ibu-nya karena nasib yang dianggap jauh lebih buruk daripada kematian oleh sebagian besar warga Afghan: Wanita itu kabur bersama rombongan penyanyi dan penari keliling. Hassan tak pernah membicarakan ibunya, seolah-olah wanita itu tak pernah ada. Aku selalu bertanya-tanya apakah Hassan pernah memimpikan ibunya, seperti apa penampilannya, di mana dia berada. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bertanya-tanya, apakah Hassan mendambakan pertemuan dengan ibunya. Apakah Hassan merindukannya, seperti aku yang merindukan ibuku yang tak pernah kulihat. Suatu hari, kami berjalan dari rumah ayahku menuju Cinema Zainab untuk menonton film Iran terbaru yang sedang diputar. Kami mengambil jalan pintas melewati barak-barak militer di dekat Sekolah Menengah Istiqlal-Baba sebenamya melarang kami mengambil jalan pintas, namun saat itu dia sedang berada di Pakistan bersama Rahim Khan. Kami me-lompati pagar yang mengelilingi barak, melompat-lompat menyeberangi sungai kecil, dan menerobos menuju lapangan kotor tempat menampung tank-tank tua berdebu yang sudah tidak terpakai lagi. Beberapa orang prajurit bergerombol di bawah naungan salah satu tank itu, merokok dan bermain kartu. Seorang dari mereka melihat kami, menyikut rekan di sebelahnya, dan memanggil Hassan. "Hei, kamu!" katanya. "Aku kenal kamu." Kami belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Pria itu bertubuh gempal, dengan rambut tercukur licin dan dagu ditumbuhi janggut hitam yang kasar. Caranya menyeringai pada kami, senyumnya yang mesum, membuatku takut. "Ayo, terus jalan," aku berbisik kepada Hassan. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kamu! Orang Hazara! Lihat kesini kalau aku mengajakmu bicara!" prajurit itu berteriak. Dia menyerahkan rokoknya pada pria di sebelahnya, lalu membuat lingkaran dengan jempol dan jari tengah salah satu tangannya. Dia menggerakkan jari tengahnya yang lain pada lingkaran itu. Keluar dan masuk. Keluar dan masuk. "Aku kenal ibumu, tahu itu? Aku kenal baik dengannya. Aku melakukan ini bersama ibumu di dekat sungai itu." Para prajurit tertawa. Salah satu dari mereka melolong. Aku menyuruh Hassan untuk terus berjalan, terus berjalan. "Aku menikmatinya!" kata prajurit itu seraya ber-salaman dengan temantemannya. Mulutnya menye-ringai. Kemudian, dalam kegelapan, setelah film di-mulai, aku mendengar Hassan yang duduk di sebelahku mengeluarkan isakan tertahan. Air mata mengaliri pipinya. Aku mengulurkan lenganku ke bangku sebelah, merangkulnya, menariknya supaya lebih dekat denganku. Dia meletakkan kepalanya di bahuku. "Dia lebih memilih orang lain daripada kamu," bisikku. "Dia lebih memilih orang lain daripada kamu." Yang kutahu, tak seorang pun merasa heran saat Sanaubar kabur. Mereka memang menaikkan alis saat Ali, pria yang hafal isi Al-Quran, menikahi Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sanaubar, gadis yang usianya 19 tahun lebih muda, wanita yang cantik namun keburukan moralnya diketahui semua orang, wanita yang dianggap sudah tak lagi punya kehormatan. Seperti Ali, dia berasal dari kalangan Muslim Syi'ah dan suku Hazara. Wanita itu adalah sepupu Ali, menjadi pilihan tepat secara adat untuk dijadikan pasangan hidup. Bagaimanapun di luar berbagai kesamaan itu, tidak ada yang bisa mempersatukan Ali dan Sanaubar, setidaknya begitulah yang terlihat dari penampilan fisik mereka. Kalau Sanaubar memiliki mata hijau cemerlang dan wajah menyiratkan kegenitan yang, kata orang, menggoda begitu banyak pria untuk berbuat dosa, Ali menderita kelumpuhan bawaan pada otot wajah bagian bawah yang mem-buatnya tidak bisa tersenyum, sehingga wajahnya menjadi selalu tampak menyeramkan. Sungguh aneh melihat wajah-batu Ali menunjukkan kebahagiaan, atau kesedihan, karena hanya mata cokelatnya saja yang bersinar saat dia seharusnya tersenyum, dan mata itu berkaca-kaca saat dia bersedih. Kata orang, mata adalah jendela jiwa. Pepatah itu sungguh tepat ditujukan pada Ali, yang hanya mampu menunjuk-kan dirinya melalui kedua matanya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kudengar cara melenggang dan goyangan pinggul Sanaubar membuat para pria rela meninggalkan istri mereka. Tetapi penyakit polio yang pernah diderita Ali membuat kaki kanannya terpilin dan mengecil, hanya kulit yang membalut tulang dengan lapisan tipis otot di antaranya. Aku mengingat pada suatu hari, saat aku berumur delapan tahun, Ali mengantar-ku ke pasar untuk membeli naan. Sambil bersenan-dung, aku berjalan di belakangnya, mencoba meniru caranya berjalan. Aku memerhatikan cara Ali meng-ayun kakinya yang kurus dalam gerakan menyapu jalanan, memerhatikan bagaimana seluruh tubuhnya terangkat ke sebelah kanan setiap kali dia menapak-kan kakinya yang cacat ke jalan. Melihat Ali yang tak pernah terjatuh setiap kali melangkah rasanya seperti melihat mukjizat kecil yang sedang bekerja. Saat aku mencobanya, aku hampir terjatuh ke selokan. Itu mem-buatku mengikik. Ali menengok ke belakang, melihatku menirukannya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tidak saat itu, dan tidak di saat yang lain. Dia hanya terus berjalan. Wajah dan cara berjalan Ali membuat beberapa anak kecil di lingkungan kami ketakutan. Namun masalah yang sesungguhnya ditimbulkan oleh anak-anak yang lebih besar. Mereka mengejar-ngejamya di jalanan, dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengolok-oloknya saat dia berjalan ter-seok-seok. Beberapa anak memanggilnya Babalu, atau Hantu. "Hei, Babalu, siapa yang kaumakan hari ini?" teriakan mereka segera disambut derai tawa. "Siapa yang kau makan, Babalu pesek?" Mereka menyebutnya "pesek" karena begitulah ciri-ciri fisik Ali dan Hassan, ciri-ciri kaum Mongol Hazara. Selama bertahun-tahun, hanya hal itulah yang kuketahui tentang kaum Hazara, bahwa mereka berasal dari keturunan Mongolia, dan mereka sedikit mirip dengan orang Cina. Mereka hampir tidak pernah di-sebut-sebut dalam buku pelajaran sekolah dan kalau-pun pernah, hanya asal usul mereka yang dibahas sambil lalu. Hingga pada suatu hari, saat aku sedang berada di ruang kerja Baba, mengamati barang-barangnya, aku menemukan sebuah buku sejarah tua milik ibuku. Buku itu ditulis oleh seorang Iran bemama Khorami. Aku meniup debu yang menempeli buku itu, dan membawanya ke tempat tidurku pada malam harinya. Aku terpaku saat membaca sebuah bab yang membahas tentang sejarah kaum Hazara. Satu bab penuh untuk membahas kaum Hassan! Di dalamnya, aku membaca bahwa kaumku, kaum

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Pashtun, telah menindas dan memperlakukan kaum Hazara dengan buruk. Di situ dikatakan bahwa pada abad ke-19 kaum Hazara pernah mencoba melawan kaum Pashtun, namun kaum Pashtun telah "menghentikan perlawanan mereka dengan kekerasan yang tidak terkatakan." Buku itu menjelaskan bahwa kaumku telah membantai bangsa Hazara, mengusir mereka dari tanah mereka, membakar rumah mereka, dan menjual para wanitanya. Buku itu menjelaskan bahwa sebagian alasan kaum Pashtun menindas kaum Hazara adalah karena kaum Pashtun menganut Muslim Sunni, sedangkan kaum Hazara menganut Muslim Syi'ah. Buku itu menjelaskan banyak hal yang tidak kuketahui, hal-hal yang tak pernah disebut-sebut oleh guru-guruku. Buku itu juga menjelaskan tentang beberapa hal yang sudah kuketahui, seperti nama-nama yang digunakan orang untuk menyebut kaum ini; pemakantikus, pesek, keledai pengangkut-barang. Aku pernah mendengar beberapa anak di lingkungan kami meneriakkan nama-nama itu pada Hassan. Minggu berikutnya, setelah sekolah usai, aku memperlihatkan buku itu pada guruku dan menunjukkan bab yang membahas tentang kaum Hazara. Dia membaca beberapa halaman sepintas lalu, tertawa mencemooh, dan mengembalikan buku itu padaku. "Orang Syi'ah memang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ahli melakukan satu hal itu," katanya, seraya merapikan berkas-berkasnya, "memperlakukan diri mereka sendiri layaknya martir." Dia mengerutkan hidung saat menyebutkan kata Syi'ah, seakan-akan menyebut nama suatu penyakit. Meskipun Sanaubar dan Ali memiliki latar belakang etnis dan garis keturunan yang sama, wanita itu mengikuti kelakuan anak-anak tetangganya dalam mengolok-olok suaminya. Aku pernah mendengar kabar bahwa wanita itu tidak menutup-nutupi kejijikan-nya terhadap penampilan Ali. "Seperti ini yang disebut suami?" dia akan mencibir. "Aku pernah melihat keledai tua yang sepertinya lebih cocok jadi suamiku." Akhirnya, kebanyakan orang menduga bahwa perkawinan mereka merupakan hasil perjodohan yang diatur oleh Ali dan pamannya, ayah Sanaubar. Mereka berkata bahwa Ali harus menikahi sepupunya itu untuk membersihkan nama baik pamannya yang telah ter-noda, meskipun Ali, yang telah menjadi yatim piatu saat berumur lima tahun, tidak memiliki kekayaan atau harta warisan yang patut dibanggakan. Ali tak pernah melawan siapa pun yang mencemoohnya, kupikir sebagian karena dia tak mungkin mengejar mereka dengan menyeret kakinya yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ter-pilin. Tapi sebagian besar karena Ali telah memiliki kekebalan terhadap hinaan mereka; dia telah menemukan sumber kebahagiaannya, penawar racunnya, saat Sanaubar melahirkan Hassan. Tanpa dokter kandungan, tanpa obat bius, tanpa alat pemonitor yang mewah. Hanya ada Sanaubar yang terbaring di atas matras telanjang yang penuh noda dengan Ali dan seorang bidan yang membantunya melahirkan. Sanaubar tidak membutuhkan pertolongan sama sekali, karena bahkan saat baru dilahirkan, Hassan telah menunjukkan sifat alaminya: dia tidak mampu menyakiti orang lain. Beberapa kali mengerang, beberapa kali mengejan, dan Hassan pun lahir. Dia lahir tersenyum, senyuman yang akan selalu tersungging di bibimya. Bidan yang terlalu banyak omong segera bercerita kepada pelayan di rumah tetangga, dan pelayan itu segera bercerita kepada siapa pun yang mau men-dengar-nya; Sanaubar hanya memandang sekilas bayi dalam pelukan Ali, melihat bibimya yang sumbing dan tertawa pahit. "Lihat itu," katanya. "Sekarang kamu punya a-nak idiotmu sendiri yang akan mewakilimu tersenyum!" Dia menolak bahkan untuk menyentuh Hassan, dan hanya lima hari kemudian, dia meninggalkannya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Baba mempekerjakan wanita pengasuh yang sama, yang pernah menyusuiku, untuk merawat Hassan. Ali memberi tahu kami bahwa wanita Hazara pengasuh kami itu bermata biru dan berasal dari Bamiyan, kota tempat patung-patung Buddha raksasa berada. "Saat menyanyi, suaranya sangat merdu," itulah yang sering dikatakannya. Lagu apa yang dia nyanyikan, itulah yang selalu aku dan Hassan tanyakan, meskipun kami sudah tahu tak terhitung lagi berapa kali Ali memberi tahu kami. Kami hanya ingin mendengar Ali menyanyi. Dia akan berdeham dan mulai menyanyi: Di gunung yang tinggi aku berdiri, Dan memanggil nama Ali, Singa Tuhan. Oh Ali, Singa Tuhan, Raja Manusia, Bawalah kebahagiaan pada jiwa yang penuh duka. Lalu dia akan mengingatkan kami tentang ikatan persaudaraan bagi orang-orang satu susuan, ikatan persaudaraan yang tak akan bisa diputuskan, bahkan oleh waktu. Aku dan Hassan menyusu dari payudara yang sama. Kami mengambil langkah pertama di tanah pada halaman yang sama. Dan, di bawah atap yang sama, kami mengucapkan kata pertama kami. Kata pertamaku adalah Baba. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kata pertamanya adalah Amir. Namaku. Saat ini, saat aku mengingat semua itu, aku berpikir bahwa hal yang mendasari kejadian musim dingin 1975 itu dan semua hal yang mengikutinya telah dimulai sejak kata-kata pertama kami diucapkan. Dua Orang-orang berkata, ayahku pernah berkelahi hanya dengan tangan kosong melawan seekor beruang di Balukistan. Kalau saja tentang orang lain, cerita itu pasti sudah dianggap laaf, kecenderungan orang Afghan untuk membesar-besarkan cerita yang sayangnya, sudah menjadi kebiasaan penduduk negeri ini. Jika seseorang mengatakan bahwa anaknya adalah seorang dokter, kemungkinannya anak itu hanya pernah lulus ujian biologi di SMA. Tapi tak ada seorang pun yang meragukan ke-benaran cerita tentang Baba. Kalaupun mereka meragukannya, ya, Baba memang memiliki tiga bekas luka panjang dan bergerigi yang berjajar di punggungnya. Tak terhitung berapa kali aku membayangkan Baba bergulat dengan beruang, bahkan aku pernah

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memimpikannya. Dan dalam mimpi itu, aku tak per-nah bisa membedakan Baba dengan beruang. Rahim Khanlah yang pertama kali memberikan julukan pada Baba, Toophan agha, atau "Tuan Topan", nama yang begitu melekat pada Baba. Julukan itu cukup sesuai untuknya. Ayahku bagaikan kekuatan alam, pria Pashtun berjenggot tebal dengan tinggi menjulang, rambut cokelat tebalnya yang ikal dan acak-acakan seolah-olah menunjukkan sifatnya yang tak suka terikat peraturan, dua belah tangan yang tampaknya mampu mencabut pohon willow hingga ke akar-akamya, dan tatapan mata hitamnya yang tajam, yang kata Rahim Khan akan "membuat setan bertekuk lutut memohon pengampunan." Di pesta-pesta, saat tubuhnya, yang setinggi hampir dua meter menyeruak masuk ke dalam ruangan, seluruh perhatian akan tertuju padanya, wajah-wajah berpaling bagaikan kuntum bunga matahari yang berpaling pada sang surya. Tidak mungkin mengabaikan Baba, bahkan saat dia sedang tidur. Aku biasa menyumpalkan gumpalan kapas ke telingaku, menarik selimut hingga menutupi kepalaku, dan tetap saja dengkuran Baba yang mirip dengan raungan mesin truk menembus dinding. Pada hal kamarku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berseberangan dengan kamar Baba. Bagaimana ibuku bisa terlelap saat sekamar dengannya, masih merupakan misteri bagiku. Hal itu berada dalam daftar panjang tentang hal-hal yang ingin kutanyakan pada ibuku seandainya aku pernah bertemu dengannya. Di akhir 1960-an, saat aku berumur lima atau enam tahun, Baba memutuskan untuk mendirikan sebuah panti asuhan. Aku mendengar cerita ini dari Rahim Khan. Katanya, Baba menggambar sendiri cetak biru tempat itu, meskipun dia sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang arsitektur. Mereka yang menyangsikan upaya Baba mendorongnya untuk berhenti meneruskan tindakan bodoh itu dan menyewa arsitek sungguhan. Tentu saja ayahku menolak, dan mereka pun menggeleng-gelengkan kepala karena kecewa dengan sikap Baba yang keras kepala. Lalu Baba berhasil, dan mereka pun menggeleng-gelengkan kepala mengagumi kehebatannya. Baba menanggung sendiri biaya pembangunan panti asuhan berlantai dua yang terletak di dekat jalan utama Jadeh Maywand di sebelah selatan Sungai Kabul itu. Kata Rahim Khan, Baba mem-bayar sendiri keseluruhan proyek itu, mulai dari membayar para insinyur, para ahli listrik, para ahli pipa, para buruh, hingga para pejabat kota yang "kumisnya harus diminyaki." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Butuh waktu tiga tahun untuk mendirikan panti asuhan itu. Saat itu umurku delapan tahun. Aku ingat, sehari sebelum hari pembukaan tempat itu, Baba membawaku ke Danau Gargha, beberapa kilometer di sebelah utara Kabul. Dia menyuruhku mengajak Hassan, namun aku berbohong padanya dengan menga-takan bahwa Hassan harus menyelesaikan tugasnya. Aku tak ingin membagi Baba dengan orang lain. Lagi pula, saat sebelumnya aku dan Hassan pergi ke Danau Gargha dan mengadu keahlian kami memantulkan batu di permukaan danau, Hassan bisa memantulkan batunya sebanyak delapan kali. Aku hanya bisa memantulkannya lima kali. Baba ada di sana, melihatnya, dan dia menepuk-nepuk punggung Hassan. Dia bahkan merangkulnya. Kami duduk di meja piknik di tepi danau, hanya aku dan Baba, menyantap telur rebus dengan roti berlapis tofte-bola-bola daging dan acar yang dibungkus dalam lembaran naan. Cahaya matahari berkilauan di permukaan air yang berwama biru tua dan sejemih kaca. Pada hari Jumat, danau itu dipenuhi oleh keluarga yang ingin menikmati hari cerah di bawah sinar matahatri. Tapi saat itu bukan akhir pekan, hanya ada aku dan Baba, serta dua orang turis ber-jenggot dan berambut panjang setahuku, mereka di-sebut hippies. Mereka duduk di galangan, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kaki mereka tercelup ke air, dan di tangan mereka terdapat tongkat pancing. Aku bertanya pada Baba, mengapa mereka memanjangkan rambut mereka, namun Baba hanya mendesah tidak menjawab. Dia sedang menyiapkan pidato untuk keesokan harinya, membalik-balik halaman buku yang penuh coretan tangannya, mem-buat catatan di sana-sini dengan pensilnya. Aku menggigit telurku dan bertanya pada Baba, benarkah kata seorang anak di sekolah, bahwa kalau kita memakan kulit telur, kita akan mengeluarkannya saat kencing. Baba kembali mendesah. Aku menggigit roti lapisku. Salah satu turis yang berambut kuning tertawa dan menepuk punggung temannya. Di kejauhan, di seberang danau, sebuah truk membelok perlahan ke balik bukit. Sinar matahari terpantul pada kaca spionnya. "Sepertinya aku kena saratan," kataku. Kanker. Baba mengangkat kepalanya dari balik buku yang halaman-halamannya dipermainkan angin. Dia bilang aku sebaiknya mengambil soda sendiri, aku hanya harus mencarinya di bagasi mobil. Keesokan harinya, di pelataran panti asuhan, mereka kehabisan kursi. Banyak tamu yang harus berdiri ketika mengikuti upacara pembukaan itu. Saat itu cuaca berangin, dan aku duduk di belakang Baba yang sedang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berdiri di podium kecil dekat pintu masuk utama gedung itu. Baba mengenakan setelan hijau dan topi yang terbuat dari bulu domba karakul. Saat dia tengah berpidato, angin menerpa topinya hingga lepas, dan semua orang tertawa. Dia memberi tanda padaku untuk menjaga topinya, dan aku merasa sangat senang, karena dengan begitu, semua orang akan tahu bahwa pria itu adalah ayahku. Babaku. Dia kembali berbicara dengan pengeras suara dan berkata bahwa dia berharap gedung itu akan lebih kuat daripada topinya, dan semua orang tertawa untuk kedua kalinya. Saat Baba mengakhiri pidatonya, semua orang berdiri dan memberinya selamat. Mereka bertepuk tangan begitu lama. Setelah itu para tamu menyalaminya. Beberapa dari mereka mengacak rambutku dan menyalamiku juga. Aku sangat bangga pada Baba, pada kami. Tapi meskipun keberhasilan Baba telah terbukti, orang-orang masih saja meragukannya. Mereka ber-kata pada Baba bahwa menjalankan bisnis tidaklah ada dalam darahnya dan dia seharusnya mempelajari hukum seperti ayahnya. Baba pun membuktikan pada mereka semua bahwa dia tidak saja berhasil menjalan-kan bisnisnya, namun dia pun berhasil menjadi peda-gang terkaya di Kabul. Baba

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan Rahim Khan mem-bangun bisnis eksport karpet yang sangat sukses, dua toko obat, dan satu restoran. Saat semua orang merasa ragu bahwa Baba akan memiliki kehidupan rumah tangga yang baik lagi pula, dia tidak memiliki darah bangsawan dia menikahi ibuku, Sofia Akrami, wanita berpendidikan tinggi yang diakui publik sebagai salah satu wanita terpandang, tercantik, dan terhormat di Kabul. Ibuku tidak hanya mengajar sastra Farsi klasik di universitas, namun juga keturunan langsung keluarga kerajaan. Ayahku memanfaatkan kenyataan ini untuk mengejek mereka yang menyangsikannya; dia selalu memanggil ibuku dengan sebutan "Sang Putri." Ayahku dapat membentuk dunia di sekitamya menjadi sesuai dengan apa yang diinginkannya, kecuali aku, sebuah perkecualian yang mencolok. Masalahnya, tentu saja, Baba melihat dunia ini dengan sudut pandang hitam putih. Dan dia harus menentukan mana yang hitam dan mana yang putih. Kita tak akan mungkin mencintai seseorang yang hidup dengan pandangan seperti ini tanpa merasa takut padanya. Bahkan mungkin sedikit membencinya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat aku duduk di kelas lima, kami memiliki guru agama yang mengajarkan tentang Islam. Namanya Mullah Fatiullah Khan, pria pendek dan gempal bersuara serak, dengan wajah dipenuhi bekas jerawat. Dia mengajarkan pada kami manfaat berzakat dan kewajiban menunaikan ibadah haji; dia mengajarkan pada kami keutamaan menjalankan shalat lima waktu, dan menyuruh kami menghafalkan ayat-ayat Al-Quran meskipun dia tak pernah menerjemahkannya untuk kami, dia menekankan, kadang-kadang dengan bantuan ranting pohon willow yang sudah dihaluskan, bahwa kami harus membaca ayat-ayat berbahasa Arab itu dengan benar supaya Tuhan mendengar kami lebih jelas. Suatu hari dia memberi tahu kami bahwa dalam Islam, meminum minuman keras termasuk dalam dosa besar; para peminum akan menebus dosa mereka saat hari Kiamat, Hari Pembalasan. Saat itu, meminum minuman keras adalah hal biasa di Kabul. Tetapi, meski-pun di Afghanistan para peminum tidak dihukum cambuk di depan umum, mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, karena alasan kehormatan. Mereka membeli scotch yang terbungkus dalam kantong kertas berwama cokelat di "toko obat" tertentu yang men-jual "obat" khusus. Mereka akan meninggalkan toko itu sambil berusaha Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menyembunyikan kantongnya, kadang-kadang mengundang perhatian dan pandangan tak senang dari mereka yang mengetahui reputasi buruk toko itu. Saat aku berada di lantai atas, di ruang kerja Baba, ruang merokok, aku memberitahukan padanya hal-hal yang diajarkan Mullah Fatiullah Khan di kelas. Baba sedang menuangkan wiski yang diambilnya dari bar di sudut ruangan. Dia mendengarkanku, mengangguk, menyesap minumannya. Lalu dia duduk di atas sofa kulit, meletakkan minumannya, dan meng-angkatku ke pangkuannya. Aku merasa seperti sedang duduk di atas cabang pohon. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya lewat hidung, udara yang melewati kumisnya menimbulkan suara desisan yang rasanya akan terdengar selamanya. Aku tidak bisa memutuskan, apakah aku ingin memeluknya atau beranjak dari pangkuannya karena ketakutan. "Kurasa pelajaran yang kau terima di sekolah dan hal-hal yang kaudapati di kehidupan nyata membuat-mu bingung," katanya dengan suara berat. "Tapi kalau kata guruku itu benar, apakah berarti Baba seorang pendosa?" "Hmm." Baba mengunyah sebongkah kecil es batu. "Kau ingin tahu pendapat ayahmu tentang dosa?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya." "Kalau begitu, aku akan memberitahumu," kata Baba, "tapi sebelumnya pahamilah ini terlebih dahulu, Amir: Kau tak akan pernah belajar hal-hal yang ber-guna dari para idiot berjenggot itu." "Maksud Baba dari Mullah Fatiullah Khan?" Baba memberi isyarat dengan gelasnya. Es di dalam-nya bergemerincing. "Maksudku mereka semua. Rasanya aku ingin mengencingi jenggot semua monyet sok tahu itu." Aku tergelak. Bayangan Baba mengencingi jenggot monyet, baik yang sok tahu ataupun tidak, terasa berlebihan. "Mereka tidak melakukan apa-apa kecuali menghitung butiran tasbih dan memamerkan hafalan isi buku yang ditulis dalam bahasa yang tidak mereka pahami." Dia menyesap minumannya. "Kuharap Tuhan melindungi kita semua jika suatu saat nanti Afghanistan jatuh ke tangan mereka." "Tapi Mullah Fatiullah Khan sepertinya orang baik," aku berkata di selasela gelak tawaku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Genghis Khan juga sepertinya orang baik," kata Baba. "Tapi cukup. Kamu menanyakan tentang dosa, dan aku akan memberitahumu. Kamu mendengar-kan?" "Ya," kataku seraya mengatupkan bibir. Namun gelak tawaku lolos melalui lubang hidung dan me-nimbulkan suara dengkur. Aku pun mengikik lagi. Mata Baba yang tajam menatapku dan, seketika itu, aku pun tak ingin tertawa lagi. "Kita berbicara antara pria dengan pria. Kau bisa kupercaya, kan?" "Ya, Baba jan," aku bergumam, terkejut, meskipun bukan untuk pertama kalinya, pada keahlian Baba menyengatku dengan hanya sedikit kata-kata. Kami sedang berada dalam saat yang berharga-Baba jarang berbicara padaku, apalagi dengan aku duduk di pangkuannya dan sangat bodoh bagiku jika menyia-nyiakan kesempatan ini. "Bagus," kata Baba, pandangannya menyapu ruangan. "Baiklah, apa pun yang diajarkan mullah itu padamu, hanya ada satu macam dosa, hanya satu. Yaitu mencuri. Dosa-dosa yang lain adalah variasi dari dosa itu. Kau paham?" "Tidak, Baba jan," kataku, setengah mati berharap aku paham. Aku tidak ingin mengecewaKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kannya lagi. Baba menghela napas tidak sabar. Itu juga menyengatku, karena sebenamya Baba adalah pria yang sabar. Aku mengingat saat-saat aku harus makan malam sendiri karena Baba belum pulang hingga hari gelap. Aku bertanya kepada Ali, ke mana Baba pergi, kapan dia pulang, meskipun aku tahu pasti bahwa dia sedang berada di lahan konstruksi, mengawasi satu hal, menyelia yang lain. Bukankah pekerjaan itu membutuhkan kesabaran? Aku membenci semua anak yatim piatu yang akan menghuni panti asuhan itu; terkadang aku berharap mereka semua mati bersama orangtua mereka. "Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya," kata Baba. "Kau mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya. Kalau kau menipu, kau mencuri hak sese-orang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau kau ber-buat curang, kau mencuri hak seseorang untuk men-dapatkan keadilan. Mengerti?" Aku mengerti. Saat Baba berumur enam tahun, seorang pencuri menyusup ke kamamya di tengah malam. Kakekku, seorang hakim yang terhormat, menghadapi pencuri itu, namun si pencuri menusukkan pisau ke tenggorokannya, membunuhnya seketika merampok seorang ayah dari Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kehidupan Baba. Penduduk kota menangkap pencuri itu sebelum siang menjelang; temyata pria itu adalah seorang pengembara dari wilayah Kunduz. Mereka menggantungnya pada cabang pohon ek, hanya dua jam sebelum waktu zuhur tiba. Rahim Khan, bukan Baba, yang menceritakan hal ini padaku. Aku selalu mendengar cerita tentang Baba dari orang lain. "Tak ada tindakan yang lebih buruk daripada mencuri, Amir," kata Baba. "Orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, baik itu kehidupan orang lain ataupun sepotong naan .... Aku mengutuk mereka. Dan kalau aku berpapasan dengan mereka, semoga Tuhan melindungi mereka. Kau mengerti?" "Ya, Baba." Bayangan Baba menghajar seorang pencuri membuatku tertarik namun juga begitu menakutkan. "Jika Tuhan memerhatikan kehidupan kita, ku-harap Dia lebih mementingkan hal-hal selain kesuka-anku minum scotch dan makan daging babi. Sekarang, turunlah. Membicarakan tentang dosa membuatku haus lagi." Aku mengawasi Baba saat dia berdiri di bar dan mengisi penuh gelasnya, dan berpikir, berapa lama lagi hingga kami bisa bercakap-cakap seperti Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang kami lakukan sesaat yang lalu. Karena sebenamya, aku selalu merasa bahwa Baba sedikit membenciku. Dan mengapa tidak? Lagi pula, bukankah aku telah membunuh istri tercintanya, putri cantiknya? Setidaknya, yang bisa kulakukan adalah lebih bersikap seperti Baba. Tapi aku tidak tumbuh menjadi seperti Baba. Tidak sama sekali. Di sekolah, kami biasa bermain Shemgaji, atau "Adu Puisi." Permainan ini dipimpin oleh guru bahasa Farsi dan peraturannya seperti ini: Kau menyebutkan satu bait puisi dan lawanmu diberi waktu 60 detik untuk membalas dengan menyebutkan satu bait puisi lain yang huruf pertamanya sama dengan huruf terakhir dari bait yang kausebutkan. Seluruh anak di kelasku ingin berada dalam satu tim denganku, karena meskipun saat itu umurku baru 11 tahun, aku bisa melafalkan lusinan baitbait puisi dari Khayyam, Hafez, atau puisi termasyhur karya Rumi, Masnawi. Suatu ketika, aku melawan seluruh anak di kelasku dan memenangi permainan itu. Malamnya, aku memberi tahu Baba, namun dia hanya menganggukkan kepala dan ber-gumam, "Bagus." Aku melarikan diri dari sikap acuh tak acuh ayahku pada buku-buku koleksi ibuku yang telah meninggal. Buku-buku dan Hassan, tentunya. Aku membaca segalanya, Rumi, Hafez, Saadi, Victor Hugo, Jules Veme, Mark Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Twain, dan Ian Fleming. Saat aku selesai mem-baca semua buku itu tentu saja tidak termasuk buku-buku sejarah yang membosankan, karena aku tak pernah berminat pada jenis buku itu; aku suka membaca novel-novel dan kisah-kisah epik-aku mulai mem-belanjakan uang sakuku untuk membeli buku. Aku mem-beli satu buku setiap minggu di toko buku dekat Cinema Park, dan menyimpan buku-buku itu di kardus setelah rak bukuku penuh. Tentu saja, bagi ayahku, menikahi seorang penyair adalah satu hal, tapi menjadi ayah dari seorang anak laki-laki yang lebih suka membenamkan wajahnya pada buku-buku puisi daripada pergi berburu ... ku-pikir, Baba tak pernah membayangkannya. Pria sejati tidak membaca puisi dan tentu saja mereka tak pernah menulisnya! Pria sejati anak laki-laki sejati bermain sepak bola, seperti Baba saat masih muda. Nah, hal-hal semacam itulah yang seharusnya kuminati. Pada 1970, Baba beristirahat sejenak dari pembangunan panti asuhan dan terbang ke Teheran selama sebulan untuk menyaksikan siaran pertandingan Piala Dunia sepak bola di televisi, karena pada saat itu belum ter-dapat stasiun televisi di Afghanistan. Dia mendaftarkanku masuk tim sepak bola untuk menumbuhkan minatku pada olahraga ini. Tapi aku adalah pemain yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menyedihkan, penyebab berbagai kesalahan bodoh yang merugikan timku, selalu menghalangi jalan saat pemain yang berpeluang memasukkan gol lewat, atau dengan kikuk menghalangi peluang yang terbuka. Aku menyeret kakiku yang kurus kering berkeliling lapangan, berteriak-teriak meminta umpan yang tak pernah diberikan padaku. Semakin keras aku mencoba, melambai-lambaikan tanganku tinggi-tinggi dan berteriak-teriak dengan liar, "Aku bebas! Aku bebas!" anggota timku semakin mengabaikanku. Tapi, Baba tidak mau menyerah. Saat sudah terlihat jelas bahwa aku tidak mewarisi secuil pun bakat atletiknya, dia mulai mencoba mengarahkanku menjadi seorang pengamat olahraga yang bersemangat. Tentu saja ini mudah bagiku, bukan? Aku hanya perlu purapura menyukainya selama yang kumampu. Aku ikut bersorak ber-samanya saat tim Kabul mengalahkan Kandahar dan mengecam wasit saat dia menghadiahkan tendangan penalti untuk musuh kami. Namun Baba dapat merasakan bahwa sebenamya aku tidak benar-benar tertarik dan akhirnya menyerah pada kenyataan menyedihkan, bahwa putranya tak akan pernah bermain ataupun menjadi pengamat sepak bola. Aku ingat, suatu ketika Baba mengajakku menonton tumamen tahunan Buzkashi yang diadakan pada hari pertama musim semi, yang bertepatan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dengan Hari Tahun Baru. Buzkashi saat itu, meskipun sekarang pun masih, adalah hari perayaan nasional di Afgahnistan. Seorang chapandaz, penunggang kuda yang sangat ahli, yang biasanya disponsori oleh pencinta olah-raga kaya, harus memisahkan bangkai seekor kambing atau hewan temak lainnya dari tengah-tengah gerombolan manusia, membawa bangkai itu berkeliling stadion sambil menunggang kuda dengan kecepatan tinggi, dan menjatuhkannya dalam lingkaran nilai, sementara tim lawannya yang beranggotakan chapandaz lain mengejamya dan melakukan apa pun sebisa mereka-menendang, mencakar, menyabet, atau memukul untuk merebut bangkai itu darinya. Hari itu, penonton yang berjubel bersoraksorai kegirangan saat para penunggang kuda yang berada di lapangan meneriakkan yel-yel pertarungan dan saling mendorong untuk memperebutkan bangkai yang tergeletak di tengah-tengah lautan debu. Bumi ber-getar karena hentakan kaki kuda. Kami menyaksikan dari bangku di bagian atas saat para penunggang ber-derap dengan kecepatan tinggi, melolong dan ber-sorak, busa memuncrat dari mulut kuda-kuda yang mereka tunggangi.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tiba-tiba Baba menunjuk pada seseorang. "A-mir, kau lihat pria yang duduk dikelilingi orang di sana itu?" Aku melihatnya. "Dia Henry Kissinger." "Oh," kataku. Aku tidak tahu siapa itu Henry Kissinger, dan seharusnya aku menanyakannya pada Baba. Tetapi saat itu, aku melihat dengan penuh ke-takutan saat seorang chapandaz terjatuh dari pelana-nya dan terinjakinjak, entah berapa kali, oleh berekor-ekor kuda yang sedang berlaga. Tubuhnya terlempar dan terseret di tengah-tengah permainan itu bagaikan boneka kain, dan terguling-guling hingga akhirnya ber-henti bergerak saat kerumunan itu bergerak ke arah lain. Pria itu mengejang lalu diam tak bergerak, kakinya menekuk dengan posisi aneh, genangan darahnya membasahi pasir. Aku mulai menangis. Aku menangis di sepanjang jalan menuju rumah. Aku ingat tangan Baba yang mencengkeram setir. Men-cengkeram lalu melepaskannya. Yang paling utama, aku tidak akan pernah bisa melupakan usaha keras Baba untuk menutupi ekspresi jijik di wajahnya seraya mengemudi dalam diam.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Lalu malam itu, saat aku melewati ruang kerja Baba, aku mendengamya berbicara dengan Rahim Khan. Aku menempelkan telingaku ke pintu. "bersyukur karena dia sehat," kata Rahim Khan. "Aku tahu, aku tahu. Tapi dia selalu berada di tengah timbunan buku atau bergentayangan dalam rumah seperti sedang terhanyut dalam mimpi." "Dan?" "Aku dulu tidak seperti itu," Baba terdengar putus asa, hampir-hampir marah. Rahim Khan tertawa. "Anak-anak bukanlah buku mewamai. Kau tak bisa begitu saja mengisi mereka dengan wama-wama kesukaanmu." "Kuberi tahu kau," kata Baba, "aku sama sekali tidak seperti itu, begitu juga anak-anak yang tumbuh bersamaku." "Kau tahu, kadang-kadang kau menjadi orang paling egois yang pernah kukenal," kata Rahim Khan, satu-satunya orang yang kukenal, yang mampu meng-ucapkan hal semacam ini pada Baba. "Itu tak ada hubungannya dengan ini." "Tidak?' "Tidak." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Lalu apa?" Aku mendengar bahan kulit yang diduduki Baba bersuara saat Baba memindahkan tubuhnya. Aku menutup mataku, makin merapatkan telingaku ke pintu, ingin mendengar sekaligus tak ingin. "Kadang-kadang aku memandang ke luar melalui jendela ini dan me-lihatnya bermain di jalanan dengan anak-anak tetangga. Aku melihat bagaimana mereka mempermainkannya, merebut mainannya, mendorong-dorongnya, memu-kulnya. Dan, kau tahu, dia tak pernah melawan. Tidak pernah. Dia hanya ... menundukkan kepalanya dan "Jadi, dia bukan anak yang kasar," kata Rahim Khan. "Bukan itu maksudku, Rahim, kau tahu itu," suara Baba meninggi. "Ada yang hilang dalam diri anak itu." "Ya, nafsu mengejami orang lain." "Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu terjadi kalau anak-anak tetangga mengganggunya? Hassan mengambil alih dan melindunginya dari mereka. Aku pernah me-lihatnya dengan mataku sendiri. Dan saat mereka pulang, aku bertanya padanya,

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

'Bagaimana wajah Hassan bisa sampai terluka?' Lalu dia bilang, 'Dia jatuh.' Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang dalam diri anak itu." "Sebaiknya kau biarkan saja dia menemukan jalannya sendiri," ujar Rahim Khan. "Jalan menuju ke mana?" kata Baba. "Seorang anak laki-laki yang tak mampu membela dirinya sen-diri akan tumbuh menjadi pria yang tak mampu menghadapi masalah apa pun." "Kau menyepelekan, seperti biasa." "Aku tidak menyepelekan." "Kau marah karena kau takut dia nanti tak ingin mengambil alih bisnismu." "Sekarang, siapa yang menyepelekan?" kata Baba. "Dengar, aku tahu kalian saling menyayangi dan aku bahagia karenanya. Aku cemburu tapi aku bahagia. Aku serius. Dia membutuhkan seseorang yang ... memahaminya, karena Tuhan tahu, aku tidak memahaminya. Tapi ada sesuatu dalam diri Amir, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, yang mencemaskanku. Sepertinya Aku bisa membayangkan Baba mencari-cari kata yang tepat. Dia merendahkan suaranya, tapi aku masih bisa mendengamya. "Kalau saja aku tidak melihat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dengan mataku sendiri saat dokter mengeluarkannya dari tubuh istriku, aku tak akan percaya bahwa dia adalah putraku." Keesokan paginya, saat menyiapkan sarapanku, Hassan menanyakan adakah hal yang membuatku terganggu. Aku membentaknya, mengatakan padanya bahwa ini bukanlah urusannya. Rahim Khan salah. Aku memiliki nafsu mengejami orang lain. Tiga Orang-orang berkata, ayahku pernah berkelahi hanya dengan tangan kosong melawan seekor beruang di Balukistan. Kalau saja tentang orang lain, cerita itu pasti sudah dianggap laaf, kecenderungan orang Afghan untuk membesar-besarkan cerita yang sayangnya, sudah menjadi kebiasaan penduduk negeri ini. Jika seseorang mengatakan bahwa anaknya adalah seorang dokter, kemungkinannya anak itu hanya pernah lulus ujian biologi di SMA. Tapi tak ada seorang pun yang meragukan ke-benaran cerita tentang Baba. Kalaupun mereka meragukannya, ya, Baba memang memiliki tiga bekas luka panjang dan bergerigi yang berjajar di punggungnya. Tak terhitung berapa kali aku membayangkan Baba bergulat dengan beruang, bahkan aku pernah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memimpikannya. Dan dalam mimpi itu, aku tak pernah bisa membedakan Baba dengan beruang. Rahim Khanlah yang pertama kali memberikan julukan pada Baba, Toophan agha, atau "Tuan Topan", nama yang begitu melekat pada Baba. Julukan itu cukup sesuai untuknya. Ayahku bagaikan kekuatan alam, pria Pashtun berjenggot tebal dengan tinggi menjulang, rambut cokelat tebalnya yang ikal dan acak-acakan se-olah-olah menunjukkan sifatnya yang tak suka terikat peraturan, dua belah tangan yang tampaknya mampu mencabut pohon willow hingga ke akar-akamya, dan tatapan mata hitamnya yang tajam, yang kata Rahim Khan akan "membuat setan bertekuk lutut memohon pengampunan." Di pesta-pesta, saat tubuhnya, yang setinggi hampir dua meter menyeruak masuk ke dalam ruangan, seluruh perhatian akan tertuju padanya, wajah-wajah berpaling bagaikan kuntum bunga matahari yang berpaling pada sang surya. Tidak mungkin mengabaikan Baba, bahkan saat dia sedang tidur. Aku biasa menyumpalkan gumpalan kapas ke telingaku, menarik selimut hingga menutupi kepalaku, dan tetap saja dengkuran Baba yang mirip dengan raungan mesin truk-menembus dinding. Pada hal kamarku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berseberangan dengan kamar Baba. Bagaimana ibuku bisa terlelap saat sekamar dengannya, masih merupakan misteri bagiku. Hal itu berada dalam daftar panjang tentang hal-hal yang ingin ku-tanyakan pada ibuku seandainya aku pernah bertemu dengannya. Di akhir 1960-an, saat aku berumur lima atau enam tahun, Baba memutuskan untuk mendirikan sebuah panti asuhan. Aku mendengar cerita ini dari Rahim Khan. Katanya, Baba menggambar sendiri cetak biru tempat itu, meskipun dia sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang arsitektur. Mereka yang menyangsikan upaya Baba mendorongnya untuk berhenti meneruskan tindakan bodoh itu dan menyewa arsitek sungguhan. Tentu saja ayahku menolak, dan mereka pun menggeleng-gelengkan kepala karena kecewa dengan sikap Baba yang keras kepala. Lalu Baba berhasil, dan mereka pun menggeleng-gelengkan kepala mengagumi kehebatannya. Baba menanggung sendiri biaya pembangunan panti asuhan berlantai dua yang terletak di dekat jalan utama Jadeh Maywand di sebelah selatan Sungai Kabul itu. Kata Rahim Khan, Baba mem-bayar sendiri keseluruhan proyek itu, mulai dari membayar para insinyur, para ahli listrik, para ahli pipa, para buruh, hingga para pejabat kota yang "kumisnya harus diminyaki." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Butuh waktu tiga tahun untuk mendirikan panti asuhan itu. Saat itu umurku delapan tahun. Aku ingat, sehari sebelum hari pembukaan tempat itu, Baba membawaku ke Danau Gargha, beberapa kilometer di sebelah utara Kabul. Dia menyuruhku mengajak Hassan, namun aku berbohong padanya dengan mengatakan bahwa Hassan harus menyelesaikan tugasnya. Aku tak ingin membagi Baba dengan orang lain. Lagi pula, saat sebelumnya aku dan Hassan pergi ke Danau Gargha dan mengadu keahlian kami memantulkan batu di permukaan danau, Hassan bisa memantulkan batunya sebanyak delapan kali. Aku hanya bisa memantulkannya lima kali. Baba ada di sana, melihatnya, dan dia menepuk-nepuk punggung Hassan. Dia bahkan merangkulnya. Kami duduk di meja piknik di tepi danau, hanya aku dan Baba, menyantap telur rebus dengan roti berlapis kofta bola-bola daging dan acar yang dibungkus dalam lembaran naan. Cahaya matahari berkilauan di permukaan air yang berwama biru tua dan sejemih kaca. Pada hari Jumat, danau itu dipenuhi oleh keluarga yang ingin menikmati hari cerah di bawah sinar mata-hari. Tapi saat itu bukan akhir pekan, hanya ada aku dan Baba, serta dua orang turis ber-jenggot dan berambut panjang setahuku, mereka di-sebut hippies. Mereka duduk di galangan, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kaki mereka tercelup ke air, dan di tangan mereka terdapat tongkat pancing. Aku bertanya pada Baba, mengapa mereka memanjangkan rambut mereka, namun Baba hanya mendesah tidak menjawab. Dia sedang menyiapkan pidato untuk keesokan harinya, membalik-balik halaman buku yang penuh coretan tangannya, membuat catatan di sana-sini dengan pensilnya. Aku menggigit telurku dan bertanya pada Baba, benarkah kata seorang anak di sekolah, bahwa kalau kita memakan kulit telur, kita akan mengeluarkannya saat kencing. Baba kembali mendesah. Aku menggigit roti lapisku. Salah satu turis yang berambut kuning tertawa dan menepuk punggung temannya. Di kejauhan, di seberang danau, sebuah truk membelok perlahan ke balik bukit. Sinar matahari terpantul pada kaca spionnya. "Sepertinya aku kena saratan," kataku. Kanker. Baba mengangkat kepalanya dari balik buku yang halaman-halamannya dipermainkan angin. Dia bilang aku sebaiknya mengambil soda sendiri, aku hanya harus mencarinya di bagasi mobil. Keesokan harinya, di pelataran panti asuhan, mereka kehabisan kursi. Banyak tamu yang harus berdiri ketika mengikuti upacara pembukaan itu. Saat itu cuaca berangin, dan aku duduk di belakang Baba yang sedang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berdiri di podium kecil dekat pintu masuk utama gedung itu. Baba mengenakan setelan hijau dan topi yang terbuat dari bulu domba karakul. Saat dia tengah berpidato, angin menerpa topinya hingga lepas, dan semua orang tertawa. Dia memberi tanda padaku untuk menjaga topinya, dan aku merasa sangat senang, karena dengan begitu, semua orang akan tahu bahwa pria itu adalah ayahku. Babalu. Dia kembali berbicara dengan pengeras suara dan berkata bahwa dia berharap gedung itu akan lebih kuat daripada topinya, dan semua orang tertawa untuk kedua kali-nya. Saat Baba mengakhiri pidatonya, semua orang berdiri dan memberinya selamat. Mereka bertepuk tangan begitu lama. Setelah itu para tamu menyalaminya. Beberapa dari mereka mengacak rambutku dan menyalamiku juga. Aku sangat bangga pada Baba, pada kami. Tapi meskipun keberhasilan Baba telah terbukti, orang-orang masih saja meragukannya. Mereka berkata pada Baba bahwa menjalankan bisnis tidaklah ada dalam darahnya dan dia seharusnya mempelajari hukum seperti ayahnya. Baba pun membuktikan pada mereka semua bahwa dia tidak saja berhasil menjalankan bisnisnya, namun dia pun berhasil menjadi peda-gang terkaya di Kabul. Baba

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan Rahim Khan mem-bangun bisnis eksport karpet yang sangat sukses, dua toko obat, dan satu restoran. Saat semua orang merasa ragu bahwa Baba akan memiliki kehidupan rumah tangga yang baik lagi pula, dia tidak memiliki darah bangsawan dia menikahi ibuku, Sofia Akrami, wanita berpendidikan tinggi yang diakui publik sebagai salah satu wanita terpandang, tercantik, dan terhormat di Kabul. Ibuku tidak hanya mengajar sastra Farsi klasik di universitas, namun juga keturunan langsung keluarga kerajaan. Ayahku memanfaatkan kenyataan ini untuk mengejek mereka yang menyangsikannya; dia selalu memanggil ibuku dengan sebutan "Sang Putri." Ayahku dapat membentuk dunia di sekitamya menjadi sesuai dengan apa yang diinginkannya, kecuali aku, sebuah perkecualian yang mencolok. Masalahnya, tentu saja, Baba melihat dunia ini dengan sudut pandang hitam putih. Dan dia harus menentukan mana yang hitam dan mana yang putih. Kita tak akan mungkin mencintai seseorang yang hidup dengan pandangan seperti ini tanpa merasa takut padanya. Bahkan mungkin sedikit membencinya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat aku duduk di kelas lima, kami memiliki guru agama yang mengajarkan tentang Islam. Namanya Mullah Fatiullah Khan, pria pendek dan gempal ber-suara serak, dengan wajah dipenuhi bekas jerawat. Dia mengajarkan pada kami manfaat berzakat dan kewajiban menunaikan ibadah haji; dia mengajarkan pada kami keutamaan menjalankan shalat lima waktu, dan menyuruh kami menghafalkan ayat-ayat Al-Quran meskipun dia tak pernah menerjemahkannya untuk kami, dia menekankan, kadang-kadang dengan bantuan ranting pohon willow yang sudah dihaluskan, bahwa kami harus membaca ayat-ayat berbahasa Arab itu dengan benar supaya Tuhan mendengar kami lebih jelas. Suatu hari dia memberi tahu kami bahwa dalam Islam, meminum minuman keras termasuk dalam dosa besar; para peminum akan menebus dosa mereka saat hari Kiamat, Hari Pembalasan. Saat itu, meminum minuman keras adalah hal biasa di Kabul. Tetapi, meski-pun di Afghanistan para peminum tidak dihukum cambuk di depan umum, mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, karena alasan kehormatan. Mereka membeli scotch yang terbungkus dalam kantong kertas berwama cokelat di "toko obat" tertentu yang men-jual "obat" khusus. Mereka akan meninggalkan toko itu sambil berusaha menyembunyikan kantongnya, kadang-kadang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengundang perhatian dan pandangan tak senang dari mereka yang mengetahui reputasi buruk toko itu. Saat aku berada di lantai atas, di ruang kerja Baba, ruang merokok, aku memberitahukan padanya hal-hal yang diajarkan Mullah Fatiullah Khan di kelas. Baba sedang menuangkan wiski yang diambilnya dari bar di sudut ruangan. Dia mendengarkanku, mengangguk, menyesap minumannya. Lalu dia duduk di atas sofa kulit, meletakkan minumannya, dan mengangkatku kepangkuannya. Aku merasa seperti sedang duduk di atas cabang pohon. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya lewat hidung, udara yang melewati kumisnya menimbulkan suara desisan yang rasanya akan terdengar selamanya. Aku tidak bisa memutuskan, apakah aku ingin memeluknya atau beranjak dari pangkuannya karena ketakutan. "Kurasa pelajaran yang kau terima di sekolah dan hal-hal yang kaudapati di kehidupan nyata membuat-mu bingung," katanya dengan suara berat. "Tapi kalau kata guruku itu benar, apakah berarti Baba seorang pendosa?" "Hmm." Baba mengunyah sebongkah kecil es batu. "Kau ingin tahu pendapat ayahmu tentang dosa?" "Ya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kalau begitu, aku akan memberitahumu," kata Baba, "tapi sebelumnya pahamilah ini terlebih dahulu, Amir: Kau tak akan pernah belajar hal-hal yang ber-guna dari para idiot berjenggot itu." "Maksud Baba dari Mullah Fatiullah Khan?" Baba memberi isyarat dengan gelasnya. Es di dalamnya bergemerincing. "Maksudku mereka semua. Rasanya aku ingin mengencingi jenggot semua monyet sok tahu itu." Aku tergelak. Bayangan Baba mengencingi jenggot monyet, baik yang sok tahu ataupun tidak, terasa ber-lebihan. "Mereka tidak melakukan apa-apa kecuali menghitung butiran tasbih dan memamerkan hafalan isi buku yang ditulis dalam bahasa yang tidak mereka pahami." Dia menyesap minumannya. "Kuharap Tuhan melindungi kita semua jika suatu saat nanti Afghanistan jatuh ke tangan mereka." "Tapi Mullah Fatiullah Khan sepertinya orang baik," aku berkata di selasela gelak tawaku. "Genghis Khan juga sepertinya orang baik," kata Baba. "Tapi cukup. Kamu menanyakan tentang dosa, dan aku akan memberitahumu. Kamu mendengar-kan?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya," kataku seraya mengatupkan bibir. Namun gelak tawaku lolos melalui lubang hidung dan menimbulkan suara dengkur. Aku pun mengikik lagi. Mata Baba yang tajam menatapku dan, seketika itu, aku pun tak ingin tertawa lagi. "Kita berbicara antara pria dengan pria. Kau bisa kupercaya, kan?" "Ya, Baba jan," aku bergumam, terkejut, meskipun bukan untuk pertama kalinya, pada keahlian Baba menyengatku dengan hanya sedikit kata-kata. Kami sedang berada dalam saat yang berharga-Baba jarang berbicara padaku, apalagi dengan aku duduk di pangkuannya dan sangat bodoh bagiku jika menyia-nyiakan kesempatan ini. "Bagus," kata Baba, pandangannya menyapu ruangan. "Baiklah, apa pun yang diajarkan mullah itu padamu, hanya ada satu macam dosa, hanya satu. Yaitu mencuri. Dosa-dosa yang lain adalah variasi dari dosa itu. Kau paham?" "Tidak, Baba jan," kataku, setengah mati berharap aku paham. Aku tidak ingin mengecewakannya lagi. Baba menghela napas tidak sabar. Itu juga menyengatku, karena sebenamya Baba adalah pria yang sabar. Aku mengingat saat-saat aku harus makan malam sendiri karena Baba belum pulang hingga hari gelap. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku bertanya kepada Ali, ke mana Baba pergi, kapan dia pulang, meskipun aku tahu pasti bahwa dia sedang berada di lahan konstruksi, mengawasi satu hal, menyelia yang lain. Bukankah pekerjaan itu membutuhkan kesabaran? Aku membenci semua anak yatim piatu yang akan menghuni panti asuhan itu; terkadang aku berharap mereka semua mati bersama orangtua mereka. "Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya," kata Baba. "Kau mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya. Kalau kau menipu, kau mencuri hak sese-orang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau kau ber-buat curang, kau mencuri hak seseorang untuk men-dapatkan keadilan. Mengerti?" Aku mengerti. Saat Baba berumur enam tahun, seorang pencuri menyusup ke kamamya di tengah malam. Kakekku, seorang hakim yang terhormat, menghadapi pencuri itu, namun si pencuri menusukan pisau ke tenggorokannya, membunuhnya seketika merampok seorang ayah dari kehidupan Baba. Penduduk kota menangkap pencuri itu sebelum siang men-jelang; temyata pria itu adalah seorang pengembara dari wilayah Kunduz. Mereka menggantungnya pada cabang pohon ek, hanya dua jam sebelum waktu zuhur tiba. Rahim Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Khan, bukan Baba, yang men-ceritakan hal ini padaku. Aku selalu mendengar cerita tentang Baba dari orang lain. "Tak ada tindakan yang lebih buruk daripada mencuri, Amir," kata Baba. "Orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, baik itu kehidupan orang lain ataupun sepotong naan .... Aku mengutuk mereka. Dan kalau aku berpapasan dengan mereka, semoga Tuhan melindungi mereka. Kau mengerti?" "Ya, Baba." Bayangan Baba menghajar seorang pencuri membuatku tertarik namun juga begitu menakutkan. "Jika Tuhan memerhatikan kehidupan kita, kuharap Dia lebih mementingkan hal-hal selain kesuka-anku minum scotch dan makan daging babi. Sekarang, turunlah. Membicarakan tentang dosa membuatku haus lagi." Aku mengawasi Baba saat dia berdiri di bar dan meng-isi penuh gelasnya, dan berpikir, berapa lama lagi hingga kami bisa bercakap-cakap seperti yang kami lakukan sesaat yang lalu. Karena sebenamya, aku selalu merasa bahwa Baba sedikit membenciku. Dan mengapa tidak? Lagi pula, bukankah aku telah membunuh istri tercintanya, putri cantiknya? Setidak-

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

nya, yang bisa kulakukan adalah lebih bersikap seperti Baba. Tapi aku tidak tumbuh menjadi seperti Baba. Tidak sama sekali. Di sekolah, kami biasa bermain Shemgaji, atau "Adu Puisi." Permainan ini dipimpin oleh guru bahasa Farsi dan peraturannya seperti ini: Kau menyebutkan satu bait puisi dan lawanmu diberi waktu 60 detik untuk mem-balas dengan menyebutkan satu bait puisi lain yang huruf pertamanya sama dengan huruf terakhir dari bait yang kausebutkan. Seluruh anak di kelasku ingin berada dalam satu tim denganku, karena meski-pun saat itu umurku baru 11 tahun, aku bisa melafal-kan lusinan bait-bait puisi dari Khayyam, Hafez, atau puisi termasyhur karya Rumi, Masnawi. Suatu ketika, aku melawan seluruh anak di kelasku dan memenangi permainan itu. Malamnya, aku memberi tahu Baba, namun dia hanya menganggukkan kepala dan ber-gumam, "Bagus." Aku melarikan diri dari sikap acuh tak acuh ayahku pada buku-buku koleksi ibuku yang telah meninggal. Buku-buku dan Hassan, tentunya. Aku membaca segalanya, Rumi, Hafez, Saadi, Victor Hugo, Jules Veme, Mark Twain, dan Ian Fleming. Saat aku selesai membaca semua buku itu tentu saja tidak termasuk buku-buku sejarah yang membosankan, karena aku tak pernah berminat pada jenis buku itu; aku suka membaca novel-novel Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan kisah-kisah epik-aku mulai membelanjakan uang sakuku untuk membeli buku. Aku membeli satu buku setiap minggu di toko buku dekat Cinema Park, dan menyimpan buku-buku itu di kardus setelah rak bukuku penuh. Tentu saja, bagi ayahku, menikahi seorang penyair adalah satu hal, tapi menjadi ayah dari seorang anak laki-laki yang lebih suka membenamkan wajahnya pada buku-buku puisi daripada pergi berburu ... ku-pikir, Baba tak pernah membayangkannya. Pria sejati tidak membaca puisi dan tentu saja mereka tak pernah menulisnya! Pria sejatianak laki-laki sejati bermain sepak bola, seperti Baba saat masih muda. Nah, hal-hal semacam itulah yang seharusnya kuminati. Pada 1970, Baba beristirahat sejenak dari pem-bangunan panti asuhan dan terbang ke Teheran selama sebulan untuk menyaksikan siaran pertandingan Piala Dunia sepak bola di televisi, karena pada saat itu belum ter-dapat stasiun televisi di Afghanistan. Dia mendaf-tarkanku masuk tim sepak bola untuk menumbuhkan minatku pada olahraga ini. Tapi aku adalah pemain yang menyedihkan, penyebab berbagai kesalahan bodoh yang merugikan timku, selalu menghalangi jalan saat pemain yang berpeluang memasukkan gol lewat, atau dengan kikuk menghalangi peluang yang ter-buka. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menyeret kakiku yang kurus kering ber-keliling lapangan, berteriak-teriak meminta umpan yang tak pernah diberikan padaku. Semakin keras aku mencoba, melambai-lambaikan tanganku tinggi-tinggi dan berteriak-teriak dengan liar, "Aku bebas! Aku bebas!" anggota timku semakin mengabaikanku. Tapi, Baba tidak mau menyerah. Saat sudah terlihat jelas bahwa aku tidak mewarisi secuil pun bakat atletiknya, dia mulai mencoba mengarahkanku menjadi seorang pengamat olahraga yang bersemangat. Tentu saja ini mudah bagiku, bukan? Aku hanya perlu pura-pura menyukainya selama yang kumampu. Aku ikut bersorak bersamanya saat tim Kabul mengalahkan Kandahar dan mengecam wasit saat dia menghadiahkan tendangan penalti untuk musuh kami. Namun Baba dapat merasakan bahwa sebenamya aku tidak benar-benar tertarik dan akhirnya menyerah pada kenyataan menyedihkan, bahwa putranya tak akan pernah bermain ataupun menjadi pengamat sepak bola. Aku ingat, suatu ketika Baba mengajakku menonton tumamen tahunan Buzkashi yang diadakan pada hari pertama musim semi, yang bertepatan dengan Hari Tahun Baru. Buzkashi saat itu, meskipun sekarang pun masih, adalah hari perayaan nasional di Afgahnistan. Seorang chapandaz, penunggang kuda yang sangat ahli, yang biasanya disponsori oleh pencinta Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

olahraga kaya, harus memisahkan bangkai seekor kambing atau hewan temak lainnya dari tengah-tengah gerombolan manusia, membawa bangkai itu berkeliling stadion sambil menunggang kuda dengan kecepatan tinggi, dan menjatuhkannya dalam lingkaran nilai, sementara tim lawannya yang beranggotakan chapandaz lain mengejamya dan melakukan apa pun sebisa mereka menendang, mencakar, menyabet, atau memukul-untuk merebut bangkai itu darinya. Hari itu, penonton yang berjubel bersoraksorai kegirangan saat para penunggang kuda yang berada di lapangan meneriakkan yel-yel pertarungan dan saling mendorong untuk memperebutkan bangkai yang tergeletak di tengah-tengah lautan debu. Bumi bergetar karena hentakan kaki kuda. Kami menyaksikan dari bangku di bagian atas saat para penunggang berderap dengan kecepatan tinggi, melolong dan bersorak, busa memuncrat dari mulut kuda-kuda yang mereka tung-gangi. Tiba-tiba Baba menunjuk pada seseorang. "A-mir, kaulihat pria yang duduk dikelilingi orang di sana itu?" Aku melihatnya. "Dia Henry Kissinger."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh," kataku. Aku tidak tahu siapa itu Henry Kissinger, dan seharusnya aku menanyakannya pada Baba. Tetapi saat itu, aku melihat dengan penuh ke-takutan saat seorang chapandaz terjatuh dari pelana-nya dan terinjakinjak, entah berapa kali, oleh berekor-ekor kuda yang sedang berlaga. Tubuhnya terlempar dan terseret di tengah-tengah permainan itu bagaikan boneka kain, dan terguling-guling hingga akhirnya ber-henti bergerak saat kerumunan itu bergerak ke arah lain. Pria itu mengejang lalu diam tak bergerak, kakinya menekuk dengan posisi aneh, genangan darahnya membasahi pasir. Aku mulai menangis. Aku menangis di sepanjang jalan menuju rumah. Aku ingat tangan Baba yang mencengkeram setir. Men-cengkeram lalu melepaskannya. Yang paling utama, aku tidak akan pernah bisa melupakan usaha keras Baba untuk menutupi ekspresi jijik di wajahnya seraya mengemudi dalam diam. Lalu malam itu, saat aku melewati ruang kerja Baba, aku mendengamya berbicara dengan Rahim Khan. Aku menempelkan telingaku ke pintu. "bersyukur karena dia sehat," kata Rahim Khan. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tahu, aku tahu. Tapi dia selalu berada di tengah timbunan buku atau bergentayangan dalam rumah seperti sedang terhanyut dalam mimpi." "Dan?" "Aku dulu tidak seperti itu," Baba terdengar putus asa, hampir-hampir marah. Rahim Khan tertawa. "Anak-anak bukanlah buku mewamai. Kau tak bisa begitu saja mengisi mereka dengan wama-wama kesukaanmu." "Kuberi tahu kau," kata Baba, "aku sama sekali tidak seperti itu, begitu juga anak-anak yang tumbuh bersamaku." "Kau tahu, kadang-kadang kau menjadi orang paling egois yang pernah kukenal," kata Rahim Khan, satu-satunya orang yang kukenal, yang mampu meng-ucapkan hal semacam ini pada Baba. "Itu tak ada hubungannya dengan ini." "Tidak?' "Tidak." "Lalu apa?" Aku mendengar bahan kulit yang diduduki Baba bersuara saat Baba memindahkan tubuhnya. Aku menutup mataku, makin merapatkan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

telingaku ke pintu, ingin mendengar sekaligus tak ingin. "Kadang-kadang aku memandang ke luar melalui jendela ini dan melihatnya bermain di jalanan dengan anak-anak tetangga. Aku melihat bagaimana mereka mempermainkannya, merebut mainannya, mendorong-dorongnya, memu-kulnya. Dan, kau tahu, dia tak pernah melawan. Tidak pernah. Dia hanya ... menundukkan kepalanya dan "Jadi, dia bukan anak yang kasar," kata Rahim Khan. "Bukan itu maksudku, Rahim, kau tahu itu," suara Baba meninggi. "Ada yang hilang dalam diri anak itu." "Ya, nafsu mengejami orang lain." "Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu terjadi kalau anak-anak tetangga mengganggunya? Hassan mengambil alih dan melindunginya dari mereka. Aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri. Dan saat mereka pulang, aku bertanya padanya, 'Bagaimana wajah Hassan bisa sampai terluka?' Lalu dia bilang, 'Dia jatuh.' Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang dalam diri anak itu." "Sebaiknya kau biarkan saja dia menemukan jalannya sendiri," ujar Rahim Khan.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Jalan menuju ke mana?" kata Baba. "Seorang anak laki-laki yang tak mampu membela dirinya sen-diri akan tumbuh menjadi pria yang tak mampu menghadapi masalah apa pun." "Kau menyepelekan, seperti biasa." "Aku tidak menyepelekan." "Kau marah karena kau takut dia nanti tak i-ngin mengambil alih bisnismu." "Sekarang, siapa yang menyepelekan?" kata Baba. "Dengar, aku tahu kalian saling menyayangi dan aku bahagia karenanya. Aku cemburu tapi aku bahagia. Aku serius. Dia membutuhkan seseorang yang ... me-mahaminya, karena Tuhan tahu, aku tidak memahaminya. Tapi ada sesuatu dalam diri Amir, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, yang mencemaskanku. Sepertinya Aku bisa membayangkan Baba mencari-cari kata yang tepat. Dia merendahkan suaranya, tapi aku masih bisa mendengamya. "Kalau saja aku tidak melihat dengan mataku sendiri saat dokter mengeluarkannya dari tubuh isteriku, aku tak akan percaya bahwa dia adalah putraku."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Keesokan paginya, saat menyiapkan sarapanku, Hassan menanyakan adakah hal yang membuatku terganggu. Aku membentaknya, mengatakan padanya bahwa ini bukanlah urusannya. Rahim Khan salah. Aku memiliki nafsu mengeja-mi orang lain. Empat Pada 1933, tahun kelahiran Baba dan tahun ke 40 pemerintahan Zahir Shah di Afghanistan, dua pria muda bersaudara, putra keluarga kaya dan terhormat di Kabul, berada di belakang kemudi Ford milik ayah mereka. Mabuk oleh campuran ganja, mast dan anggur Prancis, mereka menabrak dan menewaskan sepasang suami istri Hazara di jalan menuju Paghman. Polisi membawa kedua pemuda yang tampak menyesal itu, bersama anak lelaki berumur lima tahun putra korban mereka, ke hadapan kakekku, seorang hakim yang sangat dihormati sekaligus seorang pria yang reputasinya sempuma. Setelah mendengar pengakuan kedua bersaudara itu dan permohonan pengampunan dari ayah mereka, kakekku mengirim kedua bersaudara itu ke Kandahar saat itu juga untuk bergabung dengan angkatan bersenjata selama setahun meskipun sebelumnya keluarga mereka telah mengajukan penolakan untuk Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bergabung dengan militer. Ayah mereka berusaha menolak, meskipun tidak begitu keras, dan akhirnya, semua orang setuju bahwa hukuman itu mungkin keras tetapi adil. Kakekku lantas membawa anak yatim piatu itu ke rumahnya dan menyuruh para pelayan mengajamya bekerja, tapi tetap memper-lakukannya dengan baik. Anak itu adalah Ali. Ali dan Baba tumbuh besar bersama sebagai teman bermain setidaknya hingga penyakit polio membuat kaki Ali cacat seperti aku dan Hassan yang tumbuh bersama satu generasi kemudian. Baba selalu men-cerita-kan padaku kenakalan yang dilakukannya ber-sama Ali, dan Ali akan menggeleng-gelengkan kepala-nya sambil berkata, "Tapi, Agha sahib, katakanlah pada mereka siapa pencetus kenakalan-kenakalan itu dan siapa pengikutnya yang malang?" Baba akan tertawa dan merangkul Ali. Tapi dalam cerita-cerita itu, tidak pernah satu kali pun Baba menyebut Ali temannya. Anehnya, aku pun tak pernah berpikiran bahwa Hassan adalah temanku. Bukan teman dalam arti biasa, bagaimanapun aku memandangnya. Meskipun kami saling mengajari cara mengendarai sepeda tanpa menggunakan tangan, atau membuat kamera buatan rumah yang sangat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

fungsional dari kotak kardus. Meskipun kami menghabiskan sepanjang musim dingin bersama menerbangkan dan mengejar layang-layang. Meskipun bagiku, wajah Afghanistan adalah wajah dan sosok anak laki-laki kurus, berkepala gundul dan ber-telinga rendah, seorang anak laki-laki dengan wajah bagaikan boneka Cina yang sering kali berseri-seri di-hiasi senyuman pada bibimya yang sumbing. Tak usah pedulikan semua itu. Karena sejarah tak akan mudah disangkal. Begitu pula agama. Pada akhirnya, aku adalah seorang Pashtun dan dia seorang Hazara, aku seorang Sunni dan dia seorang Syi'ah, dan tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Tidak ada. Tetapi kami adalah anak-anak yang belajar merangkak bersama, dan tidak ada sejarah, etnis, masya-rakat, ataupun agama yang akan turut mengubahnya. Aku menghabiskan sebagian besar dari dua belas tahun hidupku dengan bermain bersama Hassan. Ter-kadang, seluruh masa kecilku terlihat bagaikan terjadi dalam satu hari musim panas yang panjang dan santai, yang kuhabiskan bersama Hassan, bermain kejarkejaran di antara rimbunnya pepohonan di halaman rumah ayahku, bermain petak umpet, polisi dan penjahat, koboi dan Indian, mempermainkan serangga-dengan prestasi paling membanggakan kami, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yaitu mencabut sengat dari seekor lebah dan mengikatkan benang pada makhluk malang itu sehingga setiap kali ia mencoba terbang, ia akan terjatuh kembali. Kami mengejar Kochi, para pengembara yang ber-jalan melalui Kabul menuju pegunungan di daerah utara. Kami akan mendengar karavankaravan mereka berjalan mendekati lingkungan kami, embikan lirih domba-domba mereka, embikan lantang kambing-kam-bing mereka, dentingan lonceng-lonceng yang dikalungkan pada leher unta-unta mereka. Lalu kami pun berlari keluar rumah untuk menyaksikan konvoi karavan itu melewati jalan kami, pria-pria dengan wajah berdebu dan termakan cuaca serta wanita-wanita yang mengenakan syal panjang wama-wami, manik-manik, dan gelang-gelang perak di pergelangan tangan dan kaki mereka. Kami melontarkan kerikil pada kambing-kambing mereka. Kami menyemprotkan air pada keledai-keledai mereka. Aku menyuruh Hassan duduk di atas Tembok Jagung Merana dan membidikkan batu-batu kali dengan katapelnya ke pantat unta. Kami menonton film barat pertama kami bersama, Rio Bravo yang dibintangi John Wayne, di Cinema Park yang terletak di seberang toko Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

buku kesukaanku. Aku ingat bagaimana aku memohon pada Baba untuk mem-bawa kami ke Iran supaya kami bisa bertemu dengan John Wayne. Baba seketika tertawa terbahak-bahak suara tawanya seperti suara mesin truk yang sedang dinyalakan dan, saat dia bisa bicara kembali, dia menjelaskan pada kami konsep sulih suara. Aku dan Hassan terpaku. Terpana. John Wayne tidak benar-benar bisa bahasa Farsi dan dia bukan orang Iran! Dia orang Amerika, seperti para pria dan wanita ramah berambut panjang yang selalu kami lihat lalu-lalang di Kabul, mengenakan pakaian compang-camping dengan berbagai wama cerah. Kami menonton Rio Bravo tiga kali, tapi kami menonton film barat kesukaan kami, The Magnificent Seven, tiga belas kali. Setiap kali kami menangis di akhir film itu, saat orang-orang Meksiko mengubur Charles Bronson yang temyata juga bukan orang Iran. Kami berjalan-jalan di pasar yang menyeruakkan aroma apak di daerah Share Nau, atau di kota baru, di sebelah barat distrik Wazir Akbar Khan. Kami mengobrolkan film apa pun yang baru kami tonton seraya ber-jalan di tengah-tengah kerumunan bazzaris, pengun-jung pasar. Kami menyelinap di antara para pedagang dan pengemis, berkeliaran di ganggang sempit yang dipenuhi barisan kios-kios kecil dengan muatan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

melimpah. Baba memberi uang saku pada kami, masing-masing sepuluh Afghani setiap minggu, dan kami menghabiskannya untuk membeli CocaCola hangat dan es krim air mawar dengan taburan bubuk kacang hijau. Selama masa sekolah, hari-hari kami lalui dengan rutin. Saat aku berhasil menyeret tubuhku keluar dari tempat tidur dan terhuyung-huyung menuju kamar mandi, Hassan sudah berpakaian rapi, menunaikan shalat Subuh bersama Ali, dan menyiapkan sarapanku: teh hitam panas dengan tiga bongkah gula kubus dan sepotong naan panggang dengan olesan selai ceri masam kesukaanku, semuanya tertata rapi di meja makan. Saat aku makan dan mengeluhkan PR-ku, Hassan merapikan tempat tidurku, menyemir sepatuku, menyetrika baju yang akan kukenakan hari itu, mengemasi buku dan pensilku. Aku mendengamya menyanyikan lagu tua Hazara dengan suara dalamnya saat dia menyetrika bajuku. Lalu, aku dan Baba pergi mengendarai Ford Mustang hitam milik Baba yang di mana pun akan mengundang tatapan iri karena mobil itu pernah dipakai oleh Steve McQueen dalam film Bullitt, yang ditayangkan di gedung bioskop selama enam bulan. Hassan tinggal di rumah dan membantu Ali menyelesaikan tugas sehari-hari: mencuci baju-baju kotor dengan tangan dan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menjemumya di halaman, menyapu lantai, membeli naan baru di pasar, membumbui daging untuk makan malam, menyiram pekarangan. Sepulang sekolah, aku dan Hassan bertemu, menyambar sebuah buku dan mendaki bukit berbentuk mangkuk di sebelah utara tanah ayahku di Wazir Akbar Khan. Di atas bukit itu terdapat kuburan tua yang tak terawat dengan deretan batu nisan tak bemama dan semak-semak yang memenuhi jalan di antaranya. Hujan dan salju telah menjadikan pagar besi kuburan itu berkarat dan tembok batu rendah yang tadinya berwama putih melapuk. Sebatang pohon delima berdiri di dekat jalan masuk kuburan itu. Pada suatu hari musim panas, aku, menggunakan salah satu pisau dapur Ali, menorehkan nama kami di pohon itu: "Amir dan Hassan, sultan-sultan Kabul." Kata-kata itu menjadi lambang peresmian: pohon itu milik kami. Sepulang sekolah, aku dan Hassan memanjat cabang-cabangnya dan memetik buahnya yang berwama merah darah. Setelah kami memakan buah itu dan mengelapkan tangan kami ke rumput, aku mulai membaca untuk Hassan. Kami duduk bersila, sinar matahari dan bayangan daun-daun pohon delima menari-nari di wajah Hassan, yang tanpa sadar mencabuti rumput dari tanah saat aku membacakan cerita yang tak bisa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dibacanya sendiri. Bahwa Hassan akan menjadi seorang buta huruf seperti Ali dan sebagian besar orang Hazara sudah diputuskan pada menit saat dia dilahirkan, mungkin bahkan saat dia masih meringkuk dalam rahim Sanaubar yang tidak menginginkannya lagipula, apa gunanya seorang pelayan belajar menulis dan membaca? Tapi meskipun dia buta huruf, atau mungkin karena dia buta huruf, Hassan terpikat pada misteri kata-kata, tergoda oleh dunia rahasia yang terlarang untuknya. Aku membacakan puisi dan cerita untuknya, kadang-kadang teka-teki-meskipun aku berhenti membacakan teka-teki ketika aku menyadari bahwa Hassan lebih pandai memecahkannya daripada aku. Jadi aku mem-bacakannya hal-hal yang tidak menantang, seperti kisah-kisah kesialan Mullah Nasruddin yang kikuk dan keledai-nya. Kami duduk berjam-jam di bawah pohon itu, duduk di sana hingga matahari tenggelam di barat, dan Hassan tetap bersikeras bahwa sinar matahari masih cukup terang untuk membaca satu cerita lagi, satu bab lagi. Bagian kesukaanku saat membaca untuk Hassan adalah ketika kami mendapatkan sebuah kata sulit yang belum pernah didengamya. Aku meng-olok-oloknya, mengejek ketidaktahuannya. Suatu ketika, saat aku

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sedang membacakan kisah Mullah Nasruddin, dia meng-hentikanku. "Apa arti kata itu?" "Yang mana?" "Imbesil." "Kau tak tahu artinya?" kataku sambil menyeringai. "Tidak, Amir agha." "Tapi itu kan kata yang umum dipakai!" "Tetap saja, aku tidak tahu." Kalaupun dia bisa merasakan ejekanku, wajahnya yang selalu tersenyum tidak menunjukkannya. "Yah, semua anak di sekolah tahu arti kata itu," kataku. "Coba lihat. 'Imbesil.' Itu artinya cerdas, pintar. Aku akan membuat kalimat untukmu dengan kata itu. 'Dalam memahami kata-kata, Hassan adalah seorang imbesil.'" "Aaah," katanya, seraya mengangguk-anggukkan kepala. Aku selalu merasa bersalah sesudahnya. Jadi aku berusa- ha menebus kesalahanku dengan memberinya salah satu bajuku yang sudah usang atau mainanku yang sudah rusak. Aku akan mengatakan pada diriku sendiri bahwa pemberianku itu cukup layak untuk me-nebus gurauanku yang tak berbahaya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sejauh itu, buku kesukaan Hassan berjudul Shah-riamah, sebuah kisah epik abad ke-10 tentang pahlawan-pahlawan Persia kuno. Dia menyukai semua babnya, para syah dari masa lalu, Feridoun, Zal, dan Rudabeh. Tetapi kisah kesukaannya, dan kesukaanku, adalah "Rostam dan Sohrab," kisah pendekar besar Rostam dan kudanya, Rakhsh, yang dapat berlari sangat kencang. Dalam suatu pertempuran, Rostam meng-habisi nyawa musuhnya yang gagah berani, Sohrab, hanya untuk mendapati bahwa sesungguhnya Sohrab adalah putranya yang telah lama hilang. Dengan penuh duka, Rostam mendengarkan kata-kata terakhir putranya yang sedang sekarat: Jikalau kau benar ayahku, mengapa kau nodai pedangmu dengan darah yang menghidupi putramu. Dan kau melakukannya karena keras hatimu. Karena aku ingin membuatmu mencintaiku, dan aku menginginkan namamu, karena aku ingin mencari tanda-tanda ibuku dalam dirimu. Tapi aku telah gagal merebut hatimu, dan tiada lagi waktu yang akan mempertemukan kita .... "Baca lagi, Amir agha, ayolah," begitulah Hassan akan berkata. Kadangkadang mata Hassan berkaca-kaca saat aku membaca bagian itu, dan aku selalu ber-pikir, untuk siapa dia bersedih, Rostam yang dihantui duka, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang mencabik-cabik bajunya dan mengotori kepala-nya dengan abu, atau Sohrab yang sedang sekarat, yang hanya mendambakan kasih sayang ayahnya? Aku sendiri tidak dapat melihat tragisnya nasib Rostam. Lagi pula, bukankah semua ayah, di lubuk hati mereka yang terdalam, memiliki keinginan untuk membunuh putra mereka? Suatu hari di bulan Juli 1973, aku kembali membuat gurauan kecil untuk mempermainkan Hassan. Aku sedang membaca untuknya, dan tiba-tiba aku memutuskan untuk berhenti membacakan kisah yang tertulis di buku. Aku berpura-pura tetap membaca, tetap membalik halaman buku, tapi aku tidak membaca tulisan dalam buku itu; aku mengambil alih cerita itu dan menceritakan kisah karanganku sendiri. Hassan, tentu saja, tidak menyadarinya. Baginya, kata-kata yang tertulis di halaman buku hanyalah serangkaian kode acak, tidak terpecahkan, misterius. Kata-kata adalah pintu rahasia dan akulah pemegang kuncinya. Sesudahnya, aku menanyakan pendapatnya tentang cerita itu. Seketika aku ingin tergelak ketika Hassan mulai bertepuk tangan. "Apa yang kaulakukan?" tanyaku. "Itu adalah kisah terbaik yang pernah kau bacakan untukku selama ini," katanya, masih bertepuk tangan. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku tertawa. "Benarkah?" "Benar." "Ini benar-benar memukau," aku menggumam. Aku benar-benar tak percaya. Ini ... sungguh tak terduga. "Kau yakin, Hassan?" Hassan masih bertepuk tangan. "Kisah yang hebat, Amir agha. Maukah kau membacakannya untukku lagi besok?" "Sungguh memukau," ulangku, napasku sedikit berat, aku merasa bagaikan seseorang yang baru menemukan harta karun terpendam di halaman rumahnya. Saat berjalan menuruni bukit, berbagai ide meledakledak di kepalaku seperti pesta kembang api di Chaman. Kisah terbaik yang pernah kaubacakan untuk-ku selama ini, katanya. Aku sudah membacakan banyak kisah untuknya. Hassan sedang menanyakan sesuatu padaku. "Apa?" tanyaku. "Apa artinya 'memukau'?" Aku tertawa. Memeluknya dan mengecup pipinya. "Untuk apa itu?" katanya terpana, pipinya memerah. Bercanda, aku mendorong tubuhnya. Aku memberinya senyuman. "Kau adalah seorang pangeran, Hassan. Kau adalah seorang pangeran dan aku menyayangimu." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Pada malam yang sama, aku menulis cerita pendek pertamaku, hanya dalam 30 menit. Cerita yang kutulis adalah kisah kecil yang suram tentang seorang pria yang menemukan sebuah cangkir ajaib dan mengetahui bahwa kalau dia menangis di hadapan cangkir itu, air mata yang jatuh ke dalam cangkir akan berubah menjadi butiran-butiran mutiara. Tetapi, meskipun selalu hidup dalam kemiskinan, pria itu selalu bahagia dan jarang meneteskan air mata. Jadi, dia berusaha menemukan berbagai cara untuk membuat dirinya bersedih sehingga air matanya bisa membuatnya kaya. Seiring dengan bertambah tingginya tumpukan mutiara, keserahkahannya pun bertambah besar. Kisah itu berakhir dengan si pria yang duduk di atas tumpukan mutiara, dengan pisau penuh darah di tangan, menangis sejadi-jadinya di atas cangkir itu sambil memeluk tubuh tak bemyawa istri tercintanya. Malam itu juga, aku menaiki tangga dan berjalan menuju ruang merokok Baba. Di tanganku terdapat dua lembar kertas berisi cerita tulisanku. Baba dan Rahim Khan sedang mengisap pipa dan menyesap brandy saat aku masuk. "Ada apa, Amir?" tanya Baba sembari duduk bersantai di sofa dengan dua tangan di belakang kepala. Asap berwama biru menyelimuti wajahnya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tatapan-nya membuat kerongkonganku terasa kering. Aku menelan ludah dan memberitahunya bahwa aku baru saja menulis sebuah cerita. Baba mengangguk dan tersenyum kecil, yang menunjukkan bahwa dia hanya pura-pura tertarik. "Wah, itu bagus sekali, bukan?" katanya. Dan dia pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya meman-dangku dari balik asap yang menyelimutinya. Mungkin aku berdiri di tempat itu kurang dari sepuluh menit, namun, hingga hari ini, aku merasa bahwa menit-menit yang berlalu pada saat itu adalah menit-menit terpanjang dalam hidupku. Detik-detik berjalan dengan sangat lambat, jedanya bagaikan se-umur hidup. Udara terasa berat, lembap, hampir-hampir padat. Aku bemapas menghirup bata. Baba terus menatapku, dan tidak menawarkan diri untuk membaca ceritaku. Seperti yang selalu terjadi, Rahim Khanlah yang menyelamatkanku. Dia mengulurkan tangannya dan memberiku senyuman yang tulus. "Bolehkah aku melihatnya, Amir jan? Aku ingin sekali membacanya." Baba hampir tak pernah memanggilku jan, panggilan yang menunjukkan kasih sayang, saat berbicara padaku. Baba mengangkat bahunya dan berdiri. Dia

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

terlihat lega, seolah-olah Rahim Khan juga menyelamatkannya. "Ya, berikan saja ke Kaka Rahim. Aku akan ke atas untuk bersiap-siap." Dan begitulah, Baba meninggalkan ruangan. Aku sering memuja Baba begitu rupa, dengan intensitas mendekati pemujaanku pada Tuhan. Tapi saat itu, aku berharap aku bisa menoreh pembuluh nadiku dan mengeluarkan seluruh darah terkutuk Baba dari dalam tubuhku. Satu jam kemudian, saat langit malam semakin gelap, Baba dan Rahim Khan bermobil untuk menghadiri suatu pesta. Saat keluar rumah, Rahim Khan berlutut di depanku dan mengembalikan ceritaku beserta selembar kertas yang terlipat. Dia tersenyum dan mengedipkan matanya. "Ini untukmu. Bacalah nanti." Lalu dia berhenti dan menambahkan satu kata yang membuatku ingin terus menulis, melebihi pujian-pujian yang sering dilontarkan para editor untukku. Kata itu adalah Bravo. Saat mereka berlalu, aku duduk di atas tempat tidurku dan berharap Rahim Khan adalah ayahku. Lalu aku memikirkan Baba dan dadanya yang bidang dan betapa nyaman rasanya saat dia memelukku, aroma Brut yang terpancar dari tubuhnya di pagi hari, dan jang-gut-nya yang menggelitik wajahku. Perasaan bersalah tiba-tiba melandaku, membuatku berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutku ke bak cuci tangan. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Malam itu juga, sambil meringkuk di tempat tidur, aku membaca catatan Rahim Khan berulang-ulang. Amir jan. Aku sangat menikmati membaca ceritamu. Masya Allah, Tuhan telah menganugerahkan bakat istimewa padamu. Tugasmu saat ini adalah mengasah bakatmu, karena orang yang menyia-nyiakan bakat pemberian Tuhan sama saja dengan seekor keledai. Kau menulis cerita dengan tata bahasa yang indah dan gaya yang menarik. Tapi yang paling menawan dalam ceritamu adalah ironi yang terdapat di dalamnya. Mungkin kau tak tahu arti kata itu. Tapi suatu hari nanti, kau akan mengetahuinya. Banyak penulis yang berusaha memunculkan ironi di sepanjang karier mereka dan tetap tak berhasil. Kau berhasil melakukannya di cerita pertamamu. Pintuku selalu dan akan selalu terbuka untukmu, Amir jan. Aku ingin mendengar semua kisah yang kauceritakan. Bravo. Temanmu, Rahim Terbuai oleh catatan Rahim Khan, aku meraih ceritaku dan bergegas ke bawah, menuju ruang depan tempat Ali dan Hassan tertidur di atas matras. Mereka tidur di dalam rumah hanya saat Baba pergi dan Ali harus

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengawasiku. Aku menggoyang badan Hassan hingga dia terbangun dan menanyakan padanya, apa-kah dia ingin mendengar sebuah cerita. Dia mengucek matanya yang mengantuk dan meregangkan badannya. "Sekarang? Jam berapa ini?" "Tak usah pikirkan waktu. Ini kisah istimewa. Aku sendiri yang menulisnya," aku berbisik, berharap Ali tidak terbangun. Wajah Hassan menjadi cerah. "Kalau begitu aku harus mendengamya," katanya, selimutnya telah terbuka. Aku membaca untuknya di dekat perapian marmer di ruang tamu. Aku tidak menyimpang satu kata pun kali ini; ini semua tentang aku! Bagaimanapun Hassan adalah seorang pendengar yang sempuma, begitu ter-pikat pada cerita, wajahnya berubah-ubah sesuai dengan alur cerita itu. Saat aku membacakan kalimat terakhir, dia memberikan tepuk tangan tanpa suara. "Masya Allah, Amir agha. Bravo!" Dia begitu ber-semangat. "Kau menyukainya?" tanyaku. Ini adalah tanggapan positif kedua yang kudengar rasanya sangat menyenangkan.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Suatu hari nanti, Insya Allah, Amir agha akan menjadi penulis yang hebat," ujamya. "Dan orang di seluruh dunia akan membaca cerita yang ditulis Amir agha." "Kau melebih-lebihkan, Hassan," kataku. Aku menyayangi Hassan karenanya. "Tidak. Amir agha akan menjadi penulis besar dan termasyhur," dia bersikeras. Lalu dia terdiam, sepertinya ingin menambahkan sesuatu. Dia menimbang-nimbang pertanyaannya dan melegakan tenggorokannya. "Tapi, bolehkah aku menanyakan sesuatu tentang cerita itu?" tanyanya malu-malu. "Tentu saja." "Yah Dia mulai berkata dan terdiam kembali. "Katakan saja, Hassan," kataku. Aku tersenyum, meskipun tiba-tiba penulis resah dalam diriku tidak begitu yakin ingin mendengamya. "Yah," katanya, "kalau aku boleh bertanya, mengapa pria itu harus membunuh istrinya? Mengapa dia harus merasa sedih untuk mengucurkan air matanya? Bukankah lebih mudah kalau dia menghirup aroma bawang merah?" Aku terpaku. Tepat di bagian itu, begitu jelas sehingga kebodohanku terlihat, sungguh tidak pernah terpikir olehku. Aku menggerakkan bibirku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tanpa mengeluarkan suara. Sepertinya, dalam semalam, aku telah belajar tentang salah satu gaya penulisan, ironi, dan aku pun diperkenalkan pada salah satu kendala gaya penulisan ini: Plot Hole, lubang pada alur cerita. Dan dari semua orang, Hassan-lah yang mengajar-kan-nya padaku. Hassan yang tak bisa membaca dan tak per-nah menulis satu kata pun sepanjang hidupnya. Terdengar suara, dingin dan gelap; tiba-tiba membisik di telingaku, Apa yang dia tahu, dasar Hazara buta huruf! Dia tidak akan jadi apa pun selain jadi tukang masak. Berani-beraninya dia mengkritikmu! "Yah," aku mulai berkata. Namun aku tak pernah menyelesaikan kalimatku. Karena saat itu juga, Afghanistan berubah selamanya. Lima Terdengar suara menggelegar bagaikan petir. Bumi terasa berguncang dan kami mendengar rentetan suara senapan. "Ayah!" Hassan berteriak. Kami segera berdiri dan bergegas menuju ruang tamu. Ali sedang berlari terpincang-pincang melintasi koridor. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ayah! Bunyi apa itu?" suara Hassan melengking, kedua tangannya diulurkan ke arah Ali. Ali memeluk kami. Cahaya putih melintas, langit pun menyala dengan wama perak. Cahaya putih melintas kembali, disusul serangkaian bunyi tembakan. "Mereka sedang berburu bebek," Ali berbicara dengan suara serak. "Kalian tahu kan, orang-orang suka berburu bebek di malam hari. Jangan takut." Bunyi sirene terdengar di kejauhan. Dari arah lain terdengar suara kaca pecah dan seseorang berteriak. Aku mendengar orang-orang di jalanan, mereka terbangun dari tidumya dan mungkin masih mengenakan piyama, dengan rambut kusut dan mata sembap. Hassan menangis. Ali merengkuhnya, memeluknya erat dan penuh kelembutan. Setelah malam itu, aku selalu ber-usaha meyakinkan diriku bahwa pada saat itu aku tidak merasa iri terhadap Hassan. Tidak sama sekali. Kami saling berpelukan hingga dini hari. Hampir satu jam berlalu sejak bunyi tembakan dan ledakan berhenti, namun kejadian itu membuat kami ketakutan setengah mati. Tidak satu pun dari kami pernah mendengar suara tembakan di jalanan. Semua itu terdengar asing bagi kami saat itu. Generasi anak-anak Afghan yang telinganya tak mengenal suara selain Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bunyi bom dan tembakan belum terlahir. Sambil berpelukan di ruang makan, menunggu matahari terbit, tidak satu pun dari kami berpikir bahwa suatu gaya hidup telah berakhir. Gaya hidup kami. Kalaupun saat itu belum berakhir, setidaknya itu adalah awal dari sebuah akhir. Akhir yang sebenamya terjadi pada April 1978 saat kaum komunis melakukan kudeta, lalu pada Desember 1979, saat tank-tank Rusia berjalan melewati jalanan kota tempat aku dan Hassan biasa bermain, mengambil nyawa orang-orang Afghanistan yang kukenal dan memulai masa-masa pertumpahan darah yang terus berlangsung hingga sekarang. Tepat sebelum matahari terbit, mobil Baba memasuki pekarangan. Terdengar bunyi pintu mobil yang dibanting dan langkah kaki bergegas menaiki tangga. Lalu Baba pun muncul di ambang pintu dan aku seketika melihat sesuatu di wajahnya. Sesuatu yang tidak segera kupahami, karena aku tak pernah melihatnya: ekspresi ketakutan. "Amir! Hassan!" dia memanggil nama kami sambil berlari menghampiri kami, membuka lengannya lebar-lebar. "Mereka menutup semua jalan dan memutus saluran telepon. Aku sungguh khawatir!"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kami membiarkan Baba memeluk kami dan, selama sesaat, aku merasa senang dengan apa pun yang terjadi malam itu. Pagi itu aku dan Hassan berjongkok di luar ruang kerja Baba, saat Baba dan Rahim Khan menghirup teh hitam sambil mendengarkan siaran berita dari Radio Kabul yang melaporkan tentang kudeta itu. "Amir agha?" Hassan berbisik. "Ya?" "Apa artinya 'republik'?" Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu." Dalam siaran radio yang didengar Baba itu, kata 'republik' di-sebutkan berulang-ulang. "Amir agha?" "Ya?" "Apa 'republik' berarti aku dan Ayah harus pindah dari sini?" "Kurasa tidak," aku berbisik. Hassan memikirkan perkataanku. "Amir agha?" "Ya?" "Aku tak mau mereka menyuruh aku dan Ayah pindah dari sini." Aku tersenyum. "Bas, dasar bodoh. Tidak ada yang akan menyuruh kalian pergi." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Amir agha?" "Ya?" "Apa kau mau memanjat pohon kita?" Senyumku melebar. Itulah keistimewaan yang dimiliki Hassan. Dia selalu tahu saat untuk mengatakan hal yang tepat berita di radio mulai membosankan. Hassan pergi ke pondoknya untuk bersiap-siap dan aku berlari ke atas untuk mengambil buku. Lalu aku pergi ke dapur, memenuhi sakuku dengan segenggam biji pinus, dan berlari ke luar menghampiri Hassan yang menantiku. Kami segera melewati ger-bang depan dan berlalu menuju bukit. Kami melewati jalan umum dan mendaki melalui lahan kering yang tak rata menuju bukit ketika tiba-tiba sebongkah batu menimpa punggung Hassan. Kami menengok ke belakang dan jantungku pun berdetak kencang. Di belakang kami, Assef dan dua temannya, Wali dan Kamal, berjalan mendekati kami. Assef adalah putra Mahmood, seorang pilot pesawat penumpang, teman ayahku. Keluarganya ting-gal di sebuah rumah mewah berpagar tembok tinggi dengan barisan pohon palem, beberapa blok di sebelah selatan rumah kami. Semua anak yang tinggal di daerah Wazir Akbar Khan di Kabul pasti tahu tentang Assef dan pelindung buku jari bajanya, dan berKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

harap tidak pernah merasakan sendiri pukulannya. Terlahir dari ibu berdarah Jerman dan ayah seorang Afghan, Assef yang berambut pirang dan bermata biru memiliki tubuh jauh lebih tinggi dibandingkan anakanak lain. Kenakalannya yang sudah diketahui umum membuatnya ditakuti. Diiringi teman-teman pengikutnya, Assef berkeliaran di lingkungan kami, bagaikan seorang Khan yang sedang berkeliling mengawasi tanah miliknya, dengan para pengawal yang siap melayaninya. Kata-katanya adalah hukum, dan jika seseorang mem-butuhkan sedikit pengetahuan hukum, maka pelindung buku-jari bajanya bisa menjadi alat mengajar yang tepat. Aku pernah melihatnya menggunakan alat itu pada seorang anak dari distrik Karteh Char. Aku tidak akan pernah melupakan kilatan di mata biru Assef, yang saat itu kelihatannya tidak sepenuhnya sadar, dan seringai-annya saat dia menghajar anak malang itu hingga pingsan. Beberapa anak di Wazir Akbar Khan menjulukinya Assef Goshkor, atau Assef "Pelahap Kuping." Tentu saja, tak satu pun dari mereka berani menyebut julukan itu di hadapannya, kecuali mereka ingin bemasib sama dengan anak malang yang me-nyebabkan Assef mendapatkan julukan itu. Anak yang awalnya bertanding layang-layang dengan Assef dan akhirnya mengais-ngais Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

selokan berlumpur, mencari potongan telinga kanannya. Bertahun-tahun kemudian, aku mendapatkan satu kata dalam bahasa Inggris untuk menyebut makhluk semacam Assef, sebuah kata yang tidak terdapat dalam bahasa Farsi: "sociopath." Dari semua anak di lingkungan kami yang gemar mengolok-olok Ali, Asseflah yang paling tidak kenal ampun. Dialah yang menciptakan julukan Babalu, Hei, Babalu, siapa yang kaumakan hari ini? Ha? Sini Babalu, beri kami senyuman! Dan pada hari-hari saat semangatnya meninggi, dia sedikit membumbui ejekannya, Hei, Babalu pesek, siapa yang kaumakan hari ini? Ayo kasih tahu, keledai sipit! Sekarang dia berjalan ke arah kami, berkacak pinggang, langkahnya menyisakan kepulan debu. "Selamat pagi, kunis\" Assef menyapa, melambaikan tangannya. "Homo," satu lagi ejekan favoritnya. Hassan berlindung di belakangku saat tiga anak itu, yang bertubuh lebih besar dari kami, berjalan men-dekat. Mereka berdiri di hadapan kami, tiga remaja jangkung bercelana jins dan kaus. Menjulang bagaikan menara di hadapan kami, Assef menyilangkan lengannya yang kekar di dada, seringai jahat menghiasi bibimya. Bukan untuk pertama kalinya aku terpikir bahwa mungkin saja Assef sebenamya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

gila. Terpikir juga olehku, betapa beruntungnya diriku karena Baba adalah ayahku, satu-satunya alasan, yang kuyakini, membuat Assef tidak terlalu sering menggangguku. Dia menunjuk Hassan dengan dagunya. "Hei, Pesek," katanya. "Bagaimana kabar Babalu?" Hassan terus diam dan semakin menyembunyikan dirinya di belakangku. "Kalian sudah dengar berita, teman-teman?" kata Assef, masih dengan menyeringai. "Sudah tidak ada raja lagi. Asyik sekali. Hidup presiden! Ayahku kenal Daoud Khan, kau tahu, Amir?" "Ayahku juga kenal," jawabku. Nyatanya, aku hanya asal bicara. "Ayahku juga kenal," Assef meniruku dengan gaya merengek-rengek. Kamal dan Wali serentak tertawa menyambut ejekannya. Aku berharap Baba bersamaku. "Ya, Daoud Khan makan malam di rumahku tahun lalu," lanjut Assef. "Bagaimana menurutmu, Amir?" Aku berpikir, kalau saja kami berteriak di tanah kering yang jauh dari mana pun ini, akankah ada orang yang mendengar kami? Rumah kami berjarak satu kilometer dari sini. Aku berharap kami tinggal di rumah saja.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau tahu yang akan kukatakan pada Daoud Khan kalau dia makan malam di rumah kami lagi?" Assef berkata. "Aku akan mengobrol sedikit dengannya, obrolan antara dua orang pria, mard pada mard. Akan kukatakan padanya hal yang pernah kukatakan pada ibuku. Tentang Hitler. Nah, dialah sang pemimpin sejati. Pemimpin besar. Pria yang punya pandangan hebat. Aku akan meminta Daoud Khan mengingat bahwa kalau saja mereka membiarkan Hitler menyelesaikan urusan yang sudah dimulainya, sekarang ini dunia sudah menjadi tempat yang lebih baik." "Kata Baba, Hitler orang gila. Dia memerintahkan pembantaian pada orang-orang tak berdosa," aku mendengar diriku mengatakannya sebelum bisa membekapkan tanganku ke mulut. Assef mendengus. "Ayahmu kedengaran seperti ibuku, padahal dia orang Jerman; dia seharusnya lebih tahu. Tapi, mereka ingin kau memercayainya, kan? Mereka tidak ingin kau tahu yang sebenamya." Aku tidak tahu siapa "mereka", atau kebenaran apa yang mereka sembunyikan, dan aku tidak mau tahu. Aku berharap tidak mengatakan apa-apa. Aku berharap lagi, saat aku mendongak, aku akan melihat Baba menaiki bukit. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tapi kau seharusnya membaca buku-buku yang tidak disediakan di sekolah," kata Assef. "Aku melakukannya. Dan mataku telah terbuka. Sekarang aku punya pandangan, dan aku akan membaginya dengan presiden baru kita. Kau tahu pandanganku?" Aku menggelengkan kepala. Dia toh akan memberitahuku; Assef selalu menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaannya. Mata birunya melirik Hassan. "Afghanistan adalah negeri milik bangsa Pashtun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan mumi, tidak seperti si Pesek ini. Kaumnya mengotori tanah air kita, watan kita. Mereka mengotori darah kita." Dia menyapukan tangannya dengan berwibawa. "Aku bilang, Afgahnistan untuk bangsa Pashtun. Itulah pandanganku." Assef kembali mengalihkan pandangannya padaku. Dia terlihat seperti seseorang yang baru terbangun dari mimpi indah. "Hitler sudah terlambat," katanya. "Tapi kita belum." Dia mencari sesuatu di saku belakang jinsnya. "Aku akan meminta presiden melakukan hal yang tidak quwat dilakukan raja. Menyingkirkan semua Hazara yang kasseef, kotor."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Biarkan kami pergi, Assef," kataku, membenci getaran yang terdengar dalam suaraku. "Kami tidak meng-ganggumu." "Oh, kalian menggangguku," kata Assef. Dan dengan hati ciut aku melihat benda yang diambilnya dari saku. Tentu saja. Pelindung buku jari dari baja itu berkilauan di bawah sinar matahari. "Kau sangat menggangguku. Bahkan, kau lebih menggangguku dibanding si Hazara ini. Bisa-bisanya kau bicara dengan-nya, bermain dengannya, membiarkannya menyentuhmu?" Assef berkata penuh kejijikan. Wali dan Kamal mengangguk-angguk dan mendengus setuju. Assef menyipitkan matanya. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat dia berbicara lagi, suaranya terdengar seaneh ekspresi wajahnya. "Bisa-bisanya kau menyebutnya 'teman'?" Tapi dia bukan temanku! Aku hampir berteriak menyanggah. Dia peiayanku! Pemahkah aku benar-benar memikirkannya? Tentu saja belum. Aku memang memperlakukan Hassan seperti memperlakukan seorang teman, bahkan lebih baik, lebih seperti saudaraku sendiri. Tapi jika begitu, lantas mengapa, saat teman-teman Baba datang berkunjung bersama anak-anak mereka, aku tak pernah melibatkan Hassan dalam permainan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kami? Mengapa aku hanya bermain bersama Hassan saat tak ada orang lain yang bisa kuajak bermain? Assef memasang pelindung kepalannya. Memandangku dengan tatapan sedingin es. "Kau bagian dari masalah, Amir. Kalau idiot-idiot seperti dirimu dan ayahmu tidak menampung orang-orang macam Hazara ini, sekarang kita pasti sudah mengusir mereka. Biar saja mereka semua membusuk di Hazarajat, tempat mereka. Kau memalukan bagi Afghanistan." Aku memandang matanya yang nyalang dan mendapati bahwa Assef benar-benar serius dengan perkataannya. Dia memang ingin menyakitiku. Assef mengangkat kepalannya dan berjalan mendekatiku. Seketika aku merasakan gerakan cepat di belangku. Dari sudut mataku, aku melihat Hassan membungkuk dan berdiri dengan sigap. Tatapan Assef melayang pada sesuatu di belakangku dan matanya pun melebar karena terkejut. Ekspresi kekagetan yang sama kulihat pada wajah Kamal dan Wali saat mereka melihat yang terjadi di belakangku. Aku berbalik dan berhadapan langsung dengan katapel Hassan. Hassan telah menarik tali elastisnya yang lebar jauh ke belakang. Di tengahnya, batu se-besar biji kenari siap dibidikkan. Hassan meng-arahkan katapelnya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tepat ke wajah Assef. Tangannya gemetar menahan tegangan tali elastis dan butiran-butiran keringat bermunculan di keningnya. "Saya mohon, tinggalkan kami, Agha," Hassan berkata dengan suara datar. Dia memanggil Assef dengan sebutan "Agha," dan saat itu juga aku membayangkan rasanya hidup dalam tingkatan sosial di bawah semua orang. Assef menggertakkan giginya. "Turunkan katapelmu, Hazara piatu." "Saya mohon, biarkan kami pergi, Agha," ujar Hassan. Assef tersenyum. "Mungkin kau tidak memerhatikan, tapi kami bertiga, sedangkan kalian cuma berdua." Hassan mengangkat bahu. Bagi orang lain, dia tidak terlihat ketakutan. Tapi, aku sudah mengenal wajah Hassan sejak aku bisa mengingat dan aku menge-nali semua ekspresi tersamamya, aku mengenali setiap gerakan dan perubahan yang terjadi di wajahnya. Dan aku bisa melihat bahwa dia ketakutan. Dia sangat ketakutan. "Anda benar, Agha. Tapi mungkin Anda tidak melihat bahwa sayalah yang memegang katapel. Kalau Anda bergerak, orang-orang akan mengubah julukan Anda dari Assef Pelahap Kuping' menjadi Assef 'Bermata-Satu,' karena saya membidikkan batu ini ke mata kiri Anda." Hassan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengatakannya dengan datar, bahkan aku pun harus benar-benar mengikuti ucapannya untuk mendengarkan jejak-jejak ketakutan yang tersembunyi dalam suaranya yang tenang. Mulut Assef bergerak. Wali dan Kamal terpana menyaksikan perubahan ini. Seseorang telah menantang dewa mereka. Mempermalukannya. Dan, lebih buruk lagi, orang itu hanyalah seorang Hazara kerempeng. Assef mengalihkan pandangannya dari batu di katapel. Dia mempelajari wajah Hassan dengan cermat. Tampaknya dia bisa melihat pada wajah Hassan keseriusan ancamannya, karena beberapa saat kemudian, Assef menurunkan kepalannya. "Kau harus tahu sesuatu tentang diriku, Hazara," kata Assef berwibawa. "Aku orang yang sangat sabar. Urusan kita belum berakhir hari ini, percayalah padaku," Dia menatapku. "Urusan kita juga belum beres, Amir. Suatu hari nanti, aku akan memaksamu menghadapiku, satu lawan satu." Assef melangkah mundur. Pengikutnya membuntuti. "Hazaramu membuat kesalahan besar hari ini, Amir," katanya. Lalu dia pun membalikkan badan dan berlalu. Aku menyaksikan mereka menuruni bukit dan menghilang di balik pagar. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Hassan berusaha menyimpan katapelnya di pinggang dengan kedua tangan gemetar. Bibimya memak-sakan sebuah senyuman. Dia mencoba lima kali hingga bisa mengikatkan tali katapel ke celananya. Tidak satu pun dari kami berkata-kata saat kami bergegas pulang, memastikan bahwa Assef dan pengikutnya tidak akan mengadang kami di setiap tikungan. Kami tidak menjumpai mereka dan hal itu seharusnya sedikit melegakan kami. Tapi temyata tidak. Sama sekali tidak. + Beberapa tahun selanjutnya, kata-kata perkembangan ekonomi dan reformasi jamak meluncur dari bibir-bibir warga Kabul. Bentuk pemerintahan monarki telah diabolisi, digantikan dengan republik, yang dipimpin oleh seorang presiden. Untuk sementara, semangat pembaharuan dan penetapan tujuan baru melanda seluruh negeri. Semua orang membicarakan tentang hak-hak perempuan dan teknologi modem. Dan hampir di semua daerah, meskipun pemimpin baru telah tinggal di Arg-istana negara di Kabul hidup berjalan seperti biasa. Warga Kabul tetap bekerja pada hari Sabtu hingga Kamis dan pergi berpiknik di taman pada hari Jumat, di tepi Danau Gargha, atau di taman bunga Paghman. Bus-bus Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

beraneka wama dan lori-lori yang dipenuhi penumpang me-luncur melalui jalan-jalan sempit Kabul, diiringi teriakan beraksen Kabuli kental para kemet yang bergelantungan di bumper belakang kendaraan itu yang menunjukkan arah pada sopir. Pada Hari Idul Fitri, perayaan yang berlangsung selama tiga hari setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan, penduduk Kabul mengenakan pakaian terbaik dan saling me-ngun-jungi kerabat mereka. Orang-orang saling me-meluk dan mencium, seraya mengucapkan "Eid Mubarak." Selamat Hari Idul Fitri. Anak-anak membuka hadiah-hadiah dan mewamai telur yang telah direbus hingga keras dan diwamai. Pada suatu hari di awal musim dingin 1974, aku dan Hassan bermain di halaman, mendirikan benteng salju, ketika Ali memanggil kami. "Hassan, Agha sahib ingin berbicara denganmu!" Ali berdiri di ambang pintu depan, berpakaian putih, tangannya diselipkan ke ketiak, uap napasnya mengepul dari mulut. Aku dan Hassan bertukar senyuman. Kami telah menantikan panggilannya sepanjang hari itu: Saat itu adalah hari ulang tahun Hassan. "Apa hadiahnya, tahu-kah Ayah? Maukah Ayah memberitahu kami?" Hassan berkata dengan mata berbinar. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Ali mengangkat bahu. "Agha sahib tidak mengatakannya padaku." "Ayolah Ali, beri tahu kami," desakku. "Buku gambar, ya? Mungkin pistolpistolan baru?" Sama seperti Hassan, Ali tidak bisa berbohong. Setiap tahun, dia berpurapura tidak mengetahui hadiah ulang tahun yang dibelikan Baba untukku atau Hassan. Dan setiap tahun, matanya menunjukkan bahwa dia tahu dan kami pun mengorek keterangan darinya. Meskipun begitu, kali ini, sepertinya dia benar-benar tidak tahu. Baba tidak pernah melupakan ulang tahun Hassan. Awalnya, Baba biasa menanyai Hassan, apa yang diinginkannya, namun dia berhenti melakukannya karena Hassan selalu meminta hadiah-hadiah yang terlalu murah. Jadi, setiap musim dingin, Baba memilih sendiri hadiah untuk Hassan. Dia pernah membelikan Hassan sebuah truk mainan buatan Jepang dan sebuah lokomotif elektrik beserta jalur keretanya. Tahun sebelumnya, Baba mengejutkan Hassan dengan menghadiahkan topi koboi kulit, persis dengan yang dikenakan Clint Eastwood dalam The Good, the Bad, and the Ugly yang menggeser The Magnificent Seven sebagai film Barat kesukaan kami. Sepanjang musim dingin itu, aku dan Hassan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bergantian memakai topi itu, menyanyikan lagu tema film terkenal itu sambil mendaki gundukan-gundukan salju dan saling menembak lalu berpurapura tewas. Kami menanggalkan sarung tangan dan sepatu bot kami yang berlumur salju dan meletakkannya di teras depan. Saat melewati koridor, kami melihat Baba duduk di dekat tungku pemanas dengan kayu bakar menyala. Di dekatnya, duduk seorang India berambut nyaris botak yang mengenakan setelan cokelat dengan dasi merah. "Hassan," Baba menyunggingkan senyum misterius, "ini hadiah ulang tahunmu." Aku dan Hassan bertukar pandangan. Kami tidak melihat adanya kado yang terbungkus indah. Tidak ada kantong hadiah. Tidak ada mainan. Hanya ada Ali yang berdiri di belakang kami, dan Baba bersama pria India bertubuh kecil yang berpenampilan mirip guru matematika. Pria India bersetelan cokelat itu tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Hassan. "Aku Dr. Kumar," katanya. "Senang sekali bisa bertemu dengan-mu." Dia berbicara dalam bahasa Farsi dengan aksen Hindi yang kental. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Assalamualaikum," ucap Hassan dengan ragu-ragu. Dia menganggukkan kepalanya dengan sopan, namun matanya mencari-cari ayahnya yang berdiri di belakangnya. Ali berjalan mendekat dan meletak-kan tangannya di bahu Hassan. Baba menyadari kewaspadaan dan kebi-ngung-an Hassan yang tercermin di matanya. "Aku mengundang Dr. Kumar dari New Delhi. Dr. Kumar adalah seorang dokter bedah plastik." "Kau tahu maksudnya, bukan?" tanya Dr. Kumar pria India itu. Hassan menggelengkan kepalanya. Dia memandangku untuk meminta pertolongan, namun aku mengangkat bahu. Setahuku, orang menemui dokter bedah kalau mereka menderita radang usus buntu. Aku tahu itu karena tahun sebelumnya salah satu teman sekelasku meninggal karena penyakit itu, dan guruku memberi tahu kami, bahwa itu terjadi karena keluarganya tidak segera membawanya ke dokter bedah. Kami berdua memandang Ali, tapi tentu saja dia tidak pernah bisa ditebak. Wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa, meskipun secercah binar terpancar di matanya. "Oke," kata Dr. Kumar, "pekerjaanku adalah memperbaiki tubuh manusia. Kadang-kadang wajah juga." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh," kata Hassan. Tatapannya berpindah dari Dr. Kumar ke Baba, lalu ke Ali. Jarinya menyentuh bibir atasnya. "Oh," katanya lagi. "Ini memang hadiah yang tidak biasa, aku tahu itu," kata Baba. "Dan mungkin bukan sesuatu yang kauidam-idamkan, tapi hadiah ini akan menyertaimu selamanya." "Oh," kata Hassan. Dia menjilat bibimya. Me-lega-kan tenggorokannya. "Agha sahib, akankah ... akankah-" "Tidak akan," Dr. Kumar memotong ucapan Hassan, seraya tersenyum lembut. "Kau tidak akan merasa sakit sedikit pun. Bahkan, aku akan memberimu obat yang akan membuatmu tidak merasakan apa pun." "Oh," kata Hassan. Dia pun tersenyum lega. Sedikit lega, sebenamya. "Saya tidak takut, Agha Sahib, saya hanya Hassan mungkin tertipu, namun aku tidak. Aku tahu bahwa bila dokter mengatakan bahwa kita tidak akan merasa sakit, berarti kita sedang dalam masalah. Sambil bergidik, aku mengingat saat aku disunat tahun sebelumnya. Dokter yang melakukannya mengatakan hal yang sama padaku, meyakinkan bahwa aku tidak akan merasa sakit sedikit pun. Tapi malamnya, saat pengaruh obat bius memudar, rasanya seolah olah seseorang menempelkan batu bara Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

panas ke kemaluanku. Aku tidak mengerti mengapa Baba menunggu hingga aku berumur sepuluh tahun untuk disunat, dan hal itu menjadi salah satu kesalahannya yang tak akan pernah kumaafkan. Aku berharap, aku pun memiliki semacam bekas luka yang bisa menimbulkan rasa simpati Baba. Ini sungguh tidak adil. Hassan tidak perlu melakukan apa pun untuk mendapatkan perhatian Baba; dia hanya terlahir dengan bibir sumbing sialan. Operasi itu berjalan lancar. Kami semua sedikit terkejut saat mereka membuka pembalutnya, namun kami tetap tersenyum, seperti yang diinstruksikan Dr. Kumar. Tidak gampang, karena bibir atas Hassan tampak bengkak dan mengerikan. Kusangka Hassan akan menangis ngeri saat perawat memberikan cermin padanya. Ali memegang tangan Hassan saat dia menatap bayangan pada cermin itu, lama dan penuh penghayatan. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar olehku. Aku menyorongkan telingaku ke bibimya. Dia kembali berbisik. "Tashakor." Terima kasih. Lalu bibimya berkerut dan, saat itu, aku tahu yang dilakukannya. Dia tersenyum. Senyum yang sama seperti saat dia terlahir dari rahim ibunya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Seiring berjalannya waktu, bengkak di bibir Hassan menyusut dan lukanya pun sembuh. Tak lama kemudian, hanya ada garis bergerigi merah muda di atas bibimya. Pada musim dingin selanjutnya, bekas luka itu sudah hampir tidak terlihat. Dan sungguh ironis. Karena pada musim dingin itulah Hassan berhenti tersenyum. Enam Musim dingin. Inilah yang kulakukan setiap tahun, saat hujan salju pertama jatuh ke bumi. Aku keluar rumah pagi-pagi sekali, masih mengenakan piama, melipatkan kedua tangan di dada untuk menahan dinginnya udara. Aku mendapati jalan masuk ke rumahku, mobil ayahku, pagar tembok, atap, dan perbukitan diselimuti salju sedalam satu kaki. Senyumku mengembang. Langit biru membentang tanpa batas, dan salju begitu putih sehingga mataku serasa terbakar. Aku menjejalkan segenggam salju segar ke mulutku, mendengarkan kesunyian senyap yang hanya diusik oleh kaok burung gagak. Aku melangkah ke depan rumah, bertelanjang kaki, dan memanggil Hassan supaya keluar dan melihat pemandangan itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Musim dingin adalah musim kesukaan semua a-nak di Kabul, setidaknya bagi mereka yang ayahnya mampu membelikan pemanas ruangan besi yang berkualitas bagus. Alasannya sederhana: Sekolah ditutup karena dinginnya udara. Bagiku, musim dingin adalah akhir dari perjuangan panjang mengerjakan soal-soal pembagian dan menyebutkan nama ibu kota Bulgaria, dan awal dari tiga bulan penuh bermain kartu di dekat tungku pemanas ruangan bersama Hassan, film-film Rusia gratisan setiap Selasa pagi di Cinema Park, makan siang dengan nasi bertabur qurma lobak Cina yang manis setelah sepanjang pagi membuat manusia salju. Dan layang-layang, tentu saja. Menerbangkan layang-layang. Dan mengejamya. Bagi beberapa anak yang kurang beruntung, musim dingin tidak menandai berakhirnya sekolah. Mereka harus mengikuti pelajaran tambahan selama musim dingin. Tidak seorang anak pun yang kukenal, yang mengajukan diri mereka dengan suka rela untuk meng-ikuti berbagai pelajaran tambahan itu; orangtua mereka, tentu saja, yang mendaftarkan mereka. Aku beruntung Baba bukan termasuk salah satu dari mereka. Ada seorang anak, namanya Ahmad, yang tinggal di seberang jalan. Ayahnya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mungkin seorang dokter, kupikir. Ahmad menderita epilepsi karena selalu mengenakan rompi wol serta kacamata bergagang hitam tebal-dia adalah salah satu langganan bulan-bulanan Assef. Setiap pagi, aku menyaksikan dari jendela kamarku saat pelayan Hazara keluarga itu menyingkirkan salju dari jalan masuk, mem-buka jalan bagi Opel hitam mereka. Aku menyempatkan diri menyaksikan Ahmad dan ayahnya memasuki mobil, Ahmad mengenakan rompi wol dan mantel musim dinginnya, tas sekolahnya dijejali buku dan pensil. Aku menunggu hingga mereka berlalu, menghilang di balik tikungan, dan kembali menyu-sup ke tempat tidur dengan piyama flanelku. Aku menarik selimut hingga ke dagu dan, melalui jendela kamarku, memandangi perbukitan di utara yang diselimuti salju. Aku menikmati pemandangan itu hingga jatuh tertidur kembali. Aku cinta musim dingin di Kabul. Aku cinta terpaan lembut salju pada jendelaku di malam hari, butiran salju segar yang menempeli sepatu bot karet hitamku, kehangatan tungku pemanas ruangan dari bahan besitempa yang kunikmati saat angin menderu di halaman, jalanan yang diselimuti salju. Lebih dari itu, saat pepohonan membeku dan lapisan es menyelimuti jalanan, kebekuan antara aku dan Baba sedikit mencair. Dan itu semua disebabkan oleh layang-layang. Aku dan Baba tinggal di rumah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang sama, namun dalam dimensi yang berbeda. Layang-layang adalah lembaran setipis kertas yang bisa menyatukan kedua dimensi itu. Setiap musim dingin, semua distrik di Kabul mengadakan tumamen adu layang-layang. Bagi seorang anak lelaki yang tinggal di Kabul, hari pelaksanaan tumamen itu, tidak diragukan lagi, menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu di tengah kebekuan udara. Aku tidak pernah bisa tidur pada malam menjelang tumamen. Aku berguling dari sisi ke sisi ranjangku, membentuk binatang-binatang bayangan di tembok, bahkan duduk di balkon dalam kegelapan, dengan selimut membungkus badanku. Aku merasa bagaikan seorang prajurit yang mencoba memejamkan mata dalam lubang perlindungan di malam hari sebelum berlangsungnya sebuah pertempuran besar. Dan tidak hanya itu. Di Kabul, mengadu layang-layang sedikit mirip dengan pergi berperang. Seperti dalam perang mana pun, kami harus mempersiapkan diri untuk bertempur. Aku dan Hassan menghabiskan waktu kami untuk membuat sendiri layang-layang yang akan kami mainkan. Kami me-nabung uang saku kami sepanjang musim gugur, me-nyimpan uang itu dalam kudakudaan porselen yang dibeli Baba di Herat. Saat angin musim dingin mulai Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berembus dan salju mengeras, kami membuka sumbat pada perut kudakudaan itu. Kami pergi ke pasar untuk membeli bambu, lem, benang, dan kertas. Kami meng-habiskan berjam-jam setiap hari, mengasah bambu untuk dijadikan rangka, memotong kertas tisu tipis yang mudah dicelup wama dan mudah dikeringkan. Lalu, tentu saja, kami harus membuat tar sendiri. Seandainya layang-layang adalah sepucuk senapan, maka tar, benang tipis berlapis kaca, adalah peluru-nya. Kami keluar ke halaman dan melapisi benang se-panjang 150 meter dengan campuran bubuk kaca dan lem. Kami lantas mengulurkannya di antara pepohonan, mengeringkannya. Keesokan harinya, kami menggulung benang yang sudah siap digunakan untuk bertarung itu pada gelondong kayu. Saat salju mencair dan hujan musim semi yang menandakan perubahan musim mulai turun, setiap anak lelaki di Kabul menderita luka-luka goresan melintang di telapak tangan yang menyimpan kenangan mengadu layang-layang sepanjang musim dingin. Aku ingat, saat hari pertama kami kembali bersekolah, aku dan teman-teman sekelasku bergerombol, membandingkan luka-luka yang kami dapatkan saat mengadu layanglayang. Goresan-goresan itu terasa menyengat dan baru sem-buh setelah berminggu-minggu, tapi aku tidak keberatan. Luka-luka itu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengingatkanku akan musim menyenangkan yang sekali lagi terlalu cepat berlalu. Ketua kelas akan meniup peluitnya dan kami pun berbaris memasuki kelas, kembali mendambakan datang-nya musim dingin namun sebaliknya, disambut oleh ancaman tahun ajaran yang panjang. Tetapi dengan cepat tampak jelas bahwa aku dan Hassan lebih ahli mengadu layang-layang dibandingkan membuatnya. Sedikit kesalahan atau hal lainnya pada layang-layang rancangan kami selalu mendatangkan kekalahan. Akhirnya Baba membawa kami ke toko Saifo untuk membeli layang-layang. Saifo adalah seorang pria tua hampir buta yang berprofesi sebagai moochi tukang sepatu. Meskipun begitu, dia juga dikenal sebagai pembuat layang-layang paling ahli di seluruh kota. Dia bekerja dalam sebuah bilik sempit di Jadeh Maywand, daerah sesak di sebelah selatan tepi Sungai Kabul yang berlumpur. Aku ingat, kami harus merangkak untuk memasuki toko seukuran sel penjara itu, lalu kami harus mengangkat tingkap untuk merayap menuruni tangga kayu menuju ruang bawah tanah yang pengap, tempat Saifo menyimpan koleksi layang-layangnya yang termashyur. Baba akan membelikan masing-masing tiga layang-layang kembar dan segulung benang gelasan untuk kami. Kalau aku berubah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pikiran dan meminta layang-layang yang lebih besar dan lebih indah, Baba akan membelikannya untukku tapi kemudian dia pun akan membelikan juga untuk Hassan. Kadang-kadang aku berharap dia tidak melakukannya. Aku berharap dia menjadikanku kesayangannya. Tumamen adu layang-layang adalah tradisi musim dingin yang sudah dijalankan sejak lama di Afghanistan. Tumamen ini dimulai pagi-pagi sekali dan baru berakhir saat tinggal satu layang-layang pemenang menari di langit aku ingat, pada suatu tahun, tumamen itu belum juga berakhir meskipun matahari sudah tenggelam. Orang-orang berkerumun di trotoar dan atap-atap bangunan untuk menyemangati anak-anak mereka yang sedang bertanding. Jalanan dipenuhi oleh pengadu layang-layang yang menarik dan mengulur benang, memicingkan mata memandang langit, berusaha men-cari posisi terbaik untuk memotong benang lawan mereka. Setiap pengadu layang-layang memiliki seorang asisten asistenku adalah Hassan yang bertugas membawakan gulungan benang dan mengulumya. Suatu ketika, seorang anak India manja yang keluarganya baru saja pindah ke lingkungan kami, memberi tahu kami bahwa di kampung halamannya, adu layang-layang memiliki aturan yang ketat. "Kalian harus bermain dalam suatu batas berbentuk persegi dan harus berdiri dengan sudut yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tepat untuk menghadapi angin," katanya dengan bangga. "Dan kalian tidak boleh memakai alumunium untuk membuat senar gelasan." Aku dan Hassan saling memandang. Menahan tawa. Anak India itu akan segera mengetahui satu hal yang dipelajari oleh orang Inggris di awal abad lalu, yang akhirnya dipelajari juga oleh orang Rusia di akhir 1980-an: bahwa penduduk Afghanistan adalah orang-orang merdeka. Penduduk Afghanistan menyukai tradisi namun membenci aturan. Begitu pula dengan adu layang-layang. Aturannya sederhana: Tidak ada aturan. Terbangkan saja layang-layangmu. Putuskan benang lawanmu. Mudahmudahan kamu beruntung. Hanya saja, tidak cuma itu yang menyenangkan. Keasyikan dimulai ketika sebuah layang-layang terputus. Saat itulah pengejar layang-layang beraksi. Bocah-bocah itu mengejar layang-layang yang diterbangkan angin ke daerah pemukiman, hingga akhirnya layang-layang itu berputar turun dan jatuh di lapangan, di halaman rumah seseorang, tersangkut di pohon, atau di atap rumah. Saat mereka mengejar layang-layang, keadaan menjadi cukup brutal; serombongan pengejar membanjiri jalanan, saling mendorong dan menjatuhkan seperti, yang pernah kubaca, dilakukan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

orang-orang di Spanyol yang berlari menyelamatkan diri dari kejaran banteng. Pada suatu tahun, seorang anak tetangga memanjat pohon pinus untuk mengambil layang-layang yang tersangkut. Batang pohon itu patah karena tidak kuat menahan berat tubuhnya dan anak itu pun jatuh dari ketinggian sembilan meter. Punggungnya patah dan dia tidak akan pernah berjalan lagi. Tapi dia jatuh dengan memegang layang-layang dalam genggamannya. Dan bila seorang pengejar layang-layang mendapatkan layang-layang di tangannya, tak ada yang bisa merebutnya. Ini bukanlah peraturan. Ini adalah tradisi. Bagi para pengejar layang-layang, hadiah yang paling berharga adalah layang-layang yang terjatuh paling akhir dalam sebuah tumamen musim dingin. Itulah trofi kehormatan yang diperebutkan, sesuatu yang bisa dipajang untuk dikagumi para tamu. Saat langit sudah bersih dan hanya dua layang-layang lagi yang tertinggal, setiap pengejar layang-layang mempersiapkan diri untuk menggapai kesempatan memenangkan hadiah ini. Setiap anak bersiap-siap di titik yang mereka pikir akan memberi mereka keunggulan saat mulai mengejar. Otot-otot yang tegang bersiap untuk dilemaskan. Leher-leher terulur. Mata-mata memicing. Pertempuran

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mulai pecah. Dan saat layang-layang terakhir terputus, kekacauan pun dimulai. Sepanjang hidupku, aku telah melihat banyak pengejar layang-layang. Tapi sejauh itu, Hassan adalah pengejar layang-layang terhebat yang pernah kulihat. Sungguh menakjubkan melihat dia selalu menuju tepat di tempat sebuah layanglayang terjatuh, bahkan sebelum layang-layang itu terjatuh, seolah-olah dalam dirinya terdapat sebuah kompas. Aku ingat, pada suatu hari di musim dingin yang kelabu, aku dan Hassan mengejar sebuah layang-layang. Aku mengikuti Hassan berlari di lingkungan kami, melompati selokan, melaju di jalanan yang sempit. Aku setahun lebih tua dari dia, namun Hassan berlari lebih cepat dariku, dan aku tertinggal di belakang. "Hassan! Tunggu!" aku memanggilnya, napasku panas dan tersengal. Dia memalingkan wajahnya, menggerakkan tangannya. "Lewat sini!" teriaknya sebelum berbelok ke tikungan lain. Aku melihat ke arah yang ditun-jukannya, arah yang berlawanan dengan arah jatuhnya layanglayang. "Kita tidak akan mendapatkannya! Arah kita salah!" teriakku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Percayalah padaku!" aku mendengar teriakan Hassan di depanku. Aku sampai ke tikungan itu dan melihat Hassan mempercepat larinya, kepalanya menunduk, bahkan tidak melihat ke langit, keringat membasahi bagian belakang bajunya. Sebongkah batu membuatku tersandung dan jatuh-aku tidak hanya lebih lamban daripada Hassan, tapi juga lebih ceroboh; aku selalu merasa iri terhadap bakat atletiknya. Saat aku berusaha berdiri, Hassan menghilang ke balik tikungan lain. Aku berlari tunggang langgang meng-ikutinya, meskipun rasa sakit menusuki lututku yang terluka. Kulihat kami menuju jalan kotor di dekat SMP Isteqlal. Di satu sisinya terdapat lapangan yang ditumbuhi selada saat musim panas, dan di sisi yang lain terdapat deretan pohon ceri masam. Aku mendapati Hassan duduk bersila di bawah salah satu pohon, memakan buah murbei kering yang ada dalam genggamannya. "Apa yang kaulakukan di sini?" aku bertanya, napasku tersengal-sengal, perutku terasa mual. Dia tersenyum. "Duduklah bersamaku, Amir agha."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku menjatuhkan diriku di dekatnya. Berbaring di atas lapisan salju tipis, mengatur napas. "Gara-gara kamu, kita kehabisan waktu. Layang-layang itu ter-bang ke arah lain, memangnya kau tidak lihat?" Hassan melontarkan sebutir murbei ke mulutnya. "Layang-layangnya menuju ke sini," katanya. Aku benar-benar kesulitan bemapas dan Hassan bahkan tidak terdengar kelelahan. "Dari mana kau tahu?" tanyaku. "Aku tahu." "Bagaimana kau bisa tahui" Dia menatapku. Butir-butir keringat mengalir dari kepalanya yang botak. "Mungkinkah aku berbohong padamu, Amir agha?" Saat itu juga aku memutuskan untuk sedikit ber-canda dengannya. "Aku tak tahu. Mungkinkah?" "Lebih baik aku makan tanah," katanya, terlihat tersinggung. "Yang benar saja? Kau mau melakukannya?" Dia menatapku dengan bingung. "Melakukan apa?" "Makan tanah kalau aku menyuruhmu," kataku. Aku tahu aku bertindak jahat, seperti saat aku menggodanya jika dia tidak tahu arti kata-kata sulit. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tapi ada yang terasa menyenangkan-meskipun salah-saat aku menggoda Hassan. Seperti saat kami mem-permainkan serangga. Kecuali sekarang, Hassan menjadi semutnya, dan akulah yang memegang kaca pembesar. Matanya menelusuri wajahku selama beberapa saat. Kami duduk di sana, dua bocah lelaki di bawah pohon ceri, tiba-tiba memandang, benar benar memandang satu sama lain. Saat itulah terjadi lagi suatu keanehan: wajah Hassan berubah. Mungkin tidak berubah, tidak benar-benar berubah, namun tiba-tiba aku merasa seperti sedang memandang dua raut wajah, satu yang kukenal, yang ada dalam ingatan pertamaku, dan satu lagi, raut wajah yang kedua, yang tersem-bunyi di bawah permukaan. Sebelum itu, aku pernah melihat hal ini namun ini tetap membuatku sedikit terkejut. Raut wajah yang lain ini hanya muncul selama sesaat, namun cukup lama untuk meninggalkan pe-rasaan gelisah karena mungkin sebelumnya aku pernah melihat wajah itu di tempat lain. Saat Hassan ber-kedip, dia menjadi dirinya kembali. Hanya Hassan. "Kalau kau menyuruhku, aku akan melakukannya," akhirnya dia berkata, tatapannya tertuju tepat padaku. Aku mengalihkan tatapanku. Hingga hari ini, aku merasa kesulitan menatap langsung

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

orang-orang seperti Hassan, orang-orang yang benar-benar serius terhadap kata-kata yang mereka ucapkan. "Tapi aku penasaran," Hassan menambahkan. "Mungkinkah kau menyuruhku melakukan hal semacam itu, Amir agha?" Dan, hanya dengan pertanyaan ini, Hassan telah meluncurkan ujian kecilnya untukku. Kalau aku ingin mempermainkannya dan menantang kesetiaannya, dengan cara inilah dia mempermainkanku, menguji integritasku. Aku menyesal telah memulai percakapan ini. Aku memaksakan sebuah senyuman. "Jangan bodoh, Hassan. Kau tahu aku tidak akan melakukannya." Hassan membalas senyumku. Hanya saja, senyum-nya terlihat tulus. "Aku tahu," katanya. Dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang serius dengan setiap ucapannya. Mereka menganggap orang lain juga begitu. "Lihat, dia datang," kata Hassan seraya menunjuk ke langit. Dia bangkit dan berjalan beberapa langkah ke kiri. Aku mendongak, melihat layanglayang yang kami kejar meluncur turun ke arah kami. Aku mendengar suara langkah kaki, teriakan, dan serom-bongan pengejar layang-layang mendekati kami. Tapi mereka hanya menghabiskan waktu saja. Karena Hassan telah berdiri dengan lengan terbuka lebar, ter-senyum, menanti Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

layang-layang itu. Dan semoga Tuhan-kalau Dia memang ada membutakanku bila layang-layang itu tidak begitu saja menjatuhi lengannya yang terbentang. Pada musim dingin 1975, aku melihat Hassan mengejar layang-layang untuk terakhir kalinya. Biasanya, tiap distrik mengadakan kompetisi masing-masing. Tapi tahun itu, tumamen adu layang-layang hanya akan diadakan di lingkunganku, Wazir Akbar Khan, dan beberapa distrik yang lain Karteh Char, Karteh Parwan, Mekro Rayan, dan Koteh Sangi diundang untuk mengikuti tumamen itu. Ke mana pun kami pergi, kami selalu mendengar pembicaraan tentang tumamen yang akan segera diselenggarakan itu. Kabamya, tumamen ini akan menjadi tumamen ter-besar yang diadakan dalam dua puluh lima tahun ter-akhir. Pada suatu malam di musim dingin itu, empat hari sebelum tumamen besar itu dimulai, aku dan Baba duduk di sofa kulit empuk dekat perapian yang menyala dalam ruang kerja Baba. Kami mengobrol sambil menyesap teh. Ali menghidangkan makan malam lebih awal kentang dan nasi kari kembang kol dan segera pulang untuk menghabiskan malam bersama Hassan. Baba menyumpal pipanya kemudian aku memintanya untuk Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menceritakan kisah tentang sekelompok serigala yang menuruni gunung di Herat pada suatu musim dingin dan memaksa semua orang untuk tinggal di dalam rumah selama seminggu. Baba menyalakan korek api dan dengan tenang mengatakan, "Kurasa, kau mungkin akan memenangkan tumamen tahun ini. Bagaimana pendapatmu?" Aku tidak tahu pendapatku. Atau yang harus kukatakan. Apa Baba ingin aku menang? Apakah itu harapannya? Aku adalah seorang pengejar layang-layang yang baik. Sangat baik, malah. Beberapa kali, aku bahkan hampir memenangi tumamen musim dingin sekali waktu, aku masuk dalam tiga besar. Tapi hampir menang tidaklah sama dengan menang, bukan? Baba belum pernah hampir menang. Dia menang, karena pemenang selalu menang dan semua orang lain harus pulang. Baba terbiasa menang; menang dalam semua hal yang ingin dia menangi. Tidakkah dia memiliki hak untuk mengharapkan hal yang sama dari anak lelakinya? Bayangkan saja. Kalau aku menang .... Baba mengepulkan pipanya dan berbicara. Aku berpura-pura mendengarkan. Tapi aku tidak bisa mendengarkan, tidak benar-benar bisa, karena komen-tar-komentar kecil Baba yang diucapkan sambil lalu telah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menanamkan suatu benih dalam kepalaku: suatu tekad bahwa aku akan memenangi tumamen musim dingin itu. Aku harus menang. Tidak ada pilihan lain. Aku harus menang, dan aku harus mengejar layang-layang terakhir itu. Lalu aku akan membawanya pulang dan menunjukkannya pada Baba. Akhirnya menun-juk-kan padanya bahwa anak lelakinya juga berharga. Lalu mungkin kehidupanku sebagai sesosok hantu dalam rumah ini akan berakhir. Aku membiarkan dirikuy bermimpi: aku membayangkan percakapan dan tawa selama makan malam, bukannya kesunyian yang hanya dipecahkan oleh dentingan peralatan makan perak dan beberapa kali suara kunyahan. Aku membayangkan kami berjalanjalan pada hari Jumat, mengendarai mobil Baba menuju Paghman, dan dalam perjalanan singgah di Danau Gargha untuk menyantap ikan trout goreng dan kentang. Kami akan pergi ke kebun binatang untuk melihat Marjan si singa, dan mungkin Baba tidak akan menguap dan melirik arlojinya sepanjang waktu. Mungkin Baba bahkan akan membaca salah satu ceritaku. Mungkin dia akan memanggilku Amir jan, seperti yang dilakukan Rahim Khan. Dan mungkin, mungkin saja, akhirnya aku akan bisa meminta maaf padanya karena telah membunuh ibuku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Baba sedang menceritakan padaku tentang pengalamannya saat dia memutuskan empat belas layang-layang dalam sehari. Aku tersenyum, menganggukkan kepalaku, tertawa di saat yang tepat, tapi aku tidak menangkap satu kata pun yang diucapkannya. Sekarang aku memiliki misi. Dan aku tidak akan mengecewakan Baba. Tidak kali ini. Pada malam sebelum tumamen, hujan salju turun dengan lebat. Aku dan Hassan duduk di bawah kursi dan bermain panjpar, sementara cabangcabang pohon yang diterpa angin mengetuk-ngetuk jendela. Pagi itu, aku telah meminta Ali untuk menyiapkan kursi bagi kami pada dasamya terdiri dari seperangkat pemanas listrik yang diletakkan di bawah meja pendek yang ditutup oleh selimut perca tebal. Di sekeliling meja, Ali mengatur matras dan bantal, sehingga 20 orang pun bisa duduk melingkari meja itu dan menyelipkan kaki mereka di bawahnya. Aku dan Hassan suka menghabiskan seluruh hari yang bersalju di bawah kursi yang nyaman, sambil bermain catur, kartu, dan terutama panjpar. Aku mengalahkan kartu sepuluh hati Hassan, menantangnya dengan dua jack dan satu enam. Di ruang sebelah, ruang kerja Baba, Baba dan Rahim Khan sedang membahas masalah bisnis dengan beberapa pria lain-aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengenali salah satunya sebagai ayah Assef. Aku bisa mendengar suara desisan Radio Kabul News menembus dinding. Hassan mengalahkan kartu enam dan mengambil dua kartu jack-ku. Di radio, Daoud Khan sedang meng-umumkan sesuatu mengenai penanaman modal asing. "Dia bilang, suatu hari nanti, kita akan bisa me-nonton televisi di Kabul," aku berkata. "Siapa?" "Daoud Khan, dasar bodoh, presiden kita." Hassan terkikik. "Kudengar, di Iran sudah ada televisi," katanya. Aku menghala napas. "Orang-orang Iran itu Bagi kebanyakan kaum Hazara, Iran melambangkan suatu tempat suci, atau semacamnya kupikir karena, seperti kaum Hazara, kebanyakan penduduk Iran adalah Muslim Syi'ah. Tapi aku ingat sesuatu tentang orang Iran yang dikatakan guruku musim panas itu. Bahwa mereka adalah pembicara ulung yang menepuknepuk punggungmu dengan satu tangan dan mencopet dom-petmu dengan tangan yang lain. Aku menceritakan hal itu pada Baba dan dia bilang, guruku adalah salah satu dari bangsa Afghanistan yang dibakar api cemburu; Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

cemburu karena Iran menjadi kekuatan Asia yang mulai bangkit, sementara kebanyakan penduduk dunia tidak dapat menunjukkan letak Afghanistan di peta dunia. "Memang menyakitkan mengatakannya," kata Baba sambil mengangkat bahu. "Tapi lebih baik disakiti oleh kenyataan daripada dinyamankan oleh kebohongan." "Aku akan membelikan satu untukmu nanti," a-ku berkata. Wajah Hassan berbinar. "Televisi? Benarkah?" "Pasti. Dan bukan yang hitam putih. Mungkin saat itu kita sudah dewasa, tapi aku akan membeli dua. Satu untukku dan satu untukmu." "Aku akan meletakkannya di mejaku, tempatku menyimpan gambargambarku," kata Hassan. Perkataan Hassan ini membuatku bersedih. Aku bersedih untuk jati diri Hassan, dan untuk tempat-nya tinggal. Untuk kepasrahannya menerima kenyataan bahwa dia akan menua di pondok tanah liat di halaman, seperti yang terjadi pada ayahnya. Aku menjatuhkan kartu terakhir, menantangnya dengan sepasang queen dan kartu sepuluh. Hassan mengambil kedua kartu queen. "Kau tahu, kupikir, kau akan membuat Agha sahib sangat bangga besok." "Begitukah menurutmu?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Insya Allah," katanya. "Insya Allah," aku mengikutinya, meskipun kalimat ini tidak terdengar tulus saat mengalir dari mulutku. Begitulah Hassan. Dia begitu mumi, sehingga saat berada di dekatnya, aku selalu merasa bagaikan seorang penipu. Aku mengalahkan kartu king-nya dan menantangnya dengan kartu terakhirku, as sekop. Dia harus mengambilnya. Aku menang, namun saat aku mengocok kartu untuk permainan selanjutnya, aku curiga bahwa Hassan telah membiarkan aku menang. "Amir agha?" "Ya?" "Kau tahu ... aku suka tempatku tinggal." Dia selalu melakukannya, membaca pikiranku. "Itulah rumahku." "Terserahlah," kataku. "Bersiaplah untuk kalah lagi." Tujuh Keesokan paginya, sambil menyeduh teh hitam Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

untuk sarapan, Hassan menceritakan mimpinya padaku. "Kita sedang berada di Danau Gargha, kau, aku, Ayah, Agha sahib, Rahim Khan, dan ribuan orang lainnya," katanya. "Hari cerah dan hangat, dan danau itu bening bagaikan cermin. Tetapi tak ada seorang pun yang berenang di sana, karena kabamya ada monster yang berdiam dalam danau itu. Dia berenang-renang di dasar danau, menanti mangsanya." Hassan menuangkan teh ke cangkirku dan menambahkan gula, lalu meniup-niupnya beberapa saat. Diletakkannya cangkir itu di hadapanku. "Jadi, semua orang takut mendekati danau itu, dan Amir agha, tiba-tiba kau membuka sepatu dan bajumu. 'Tidak ada monster di situ,' katamu. 'Aku akan menunjukkan pada kalian semua.' Dan sebelum seorang pun bisa menghentikanmu, kau menyelam dalam danau itu, berenang menjauh. Aku mengikutimu, dan kita pun berenang berdua." "Tapi kau kan tak bisa berenang." Hassan tertawa. "Ini kan hanya mimpi, Amir agha, dalam mimpi, kita bisa melakukan apa saja. Meskipun semua orang berteriak, 'Keluarlah! Keluarlah dari danau!' tapi kita tetap berenang di air yang dingin itu. Kita berenang terus sampai ke tengah dan akhirnya berhenti. Lalu, kita berbalik menghadapi tepian dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

melambaikan tangan ke orang-orang di sana. Mereka terlihat sekecil semut, tetapi kita bisa mendengar tepukan tangan mereka. Sekarang mereka melihat sendiri. Tidak ada monster, cuma ada air. Setelah kejadian itu, mereka mengubah nama danau itu men-jadi 'Danau Amir dan Hassan, Sultan-Sultan Kabul,' dan bila orang lain ingin berenang di sana, mereka harus membayar pada kita." "Jadi, maksudnya apa?" aku bertanya. Dia mengoleskan selai jeruk di naan ku dan meletakkannya di piring. "Aku tidak tahu. Aku harap kau bisa memberitahuku." "Hmm, itu hanya mimpi konyol. Tidak berarti apa-apa." "Kata Ayah, mimpi selalu punya arti." Aku menyesap tehku. "Kalau begitu, kenapa kau tidak tanya dia saja? Dia kan sangat pintar," kataku, lebih ketus dari yang kumaksud. Aku tidak bisa tidur sepanjang malam. Leher dan punggungku terasa seperti per kusut, dan mataku nanar. Tapi tetap saja, aku telah mengasari Hassan. Aku hampir meminta maaf, namun mengurungkannya. Hassan mengerti bahwa aku hanya gugup. Hassan selalu mengerti aku. Dari lantai atas, terdengar suara air mengalir di kamar mandi Baba.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Jalanan berkilau dengan salju segar dan langit biru tak berawan. Salju menyelimuti setiap atap rumah dan membebani cabang-cabang pohon murbei yang berderet di pinggir jalan. Hanya dalam semalam, salju telah memenuhi setiap celah dan selokan. Aku memicingkan mata, menghindarkan tatapanku dari putihnya salju yang membutakan, saat keluar melewati gerbang besi tempa bersama Hassan. Ali menutup gerbang setelah kami berlalu. Aku mendengamya menggumankan doa singkat dia selalu berdoa bila anaknya meninggalkan rumah. Aku belum pernah melihat begitu banyak orang memenuhi jalan kami. Anak-anak saling melempar bola salju, saling berebutan, saling mengejar, sambil terkikik-kikik. Para pengadu layang-layang berkumpul dengan pembawa benang mereka, bersiap-siap pada saat-saat terakhir. Dari sekeliling jalan itu, aku mendengar suara tawa dan gurauan. Atap-atap rumah telah dipenuhi oleh para penonton yang duduk ber-santai di kursi taman, berbekal teh panas mengepul yang tersimpan dalam termos, dan hentakan musik Ahmad Zahir dari pemutar kaset. Ahmad Zahir, yang saat itu kepopulerannya sedang melejit, merevolusi musik Afghan dan membakar janggut kaum radikal dengan menambahkan elemen gitar listrik, drum, dan terompet, pada musik tradisional yang hanya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengandalkan alunan tabla dan harmonium. Dalam setiap aksinya di atas panggung atau di pesta-pesta, penam-pilannya tak pernah sederhana sehingga dia membuat sebal para penyanyi yang lebih senior. Dia pun benar-benar menyunggingkan senyum saat menyanyi kadang-kadang bahkan menujukannya pada para gadis. Aku melayangkan pandangan ke atap rumah kami. Di sana, Baba dan Rahim Khan duduk di bangku, keduanya mengenakan sweter wol dan menyesap teh. Baba melambai padaku. Aku benar-benar tidak tahu apakah sebenamya dia melambai padaku atau pada Hassan. "Kita harus bersiap-siap," kata Hassan. Dia mengenakan sepatu bot salju dari karet hitam dan chapan jubah panjang-hijau cerah di atas sweter tebal dan celana korduroi yang wamanya sudah memudar. Sinar matahari menimpa wajahnya. Bekas luka merah jambu di atas bibimya telah memudar. Tiba-tiba aku tak ingin terus mengikuti tumamen ini. Aku ingin mengemasi semua peralatanku dan pulang ke rumah. Apa yang kupikirkan? Mengapa aku menjerumuskan diriku ke dalam semua ini, jika aku sudah tahu hasilnya? Baba mengamatiku dari atap. Tatapannya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

padaku terasa bagai sengatan sinar mata-hari. Tumamen ini akan menjadi kegagalan besar bagiku. "Aku tidak yakin ingin menerbangkan layang-layang hari ini," kataku. "Ini hari yang cerah," kata Hassan. Aku menggeserkan kakiku, berusaha mengalihkan pandanganku dari atap rumah kami. "Aku tak tahu. Mungkin sebaiknya kita pulang saja." Hassan melangkah ke hadapanku, dengan berbisik, dia mengatakan sesuatu yang sedikit menakut-kanku. "Ingat, Amir agha. Tidak ada monster, hanya ada hari yang cerah." Bagaimana dia bisa begitu mudah membaca pikiranku, sementara aku tidak tahu setengah pun dari isi kepalanya? Padahal akulah yang mengenyam bangku sekolah, yang bisa membaca dan menulis. Aku-lah yang pintar. Hassan tidak mampu membaca buku pelajaran untuk kelas satu, namun dia mampu mem-baca banyak hal yang tersembunyi dalam diriku. Meresahkan memang, tapi rasanya cukup nyaman memiliki seseorang yang selalu mengetahui kebutuhanmu. "Tak ada monster," kataku, terkejut karena merasa sedikit lebih baik. Hassan tersenyum. "Tak ada monster." "Kau yakin?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia menutup matanya dan mengangguk. Aku memandang anak-anak yang lalu-lalang di jalan, saling melempar bola salju. "Hari ini memang indah, ya?" "Ayo terbang," katanya. Saat itu terpikir olehku bahwa mungkin saja Hassan mengarang mimpinya. Mungkinkah? Kuputuskan, dia tidak mengarang. Hassan tidak sepintar itu. Tapi entah hasil karangan atau tidak, nyatanya mimpi itu telah mengangkat sebagian kecemasanku. Mungkin aku sebaiknya membuka baju dan berenang di danau. Mengapa tidak? "Ayo kita lakukan," sambutku. Wajah Hassan berseri. "Bagus," katanya. Dia mengangkat layang-layang kami, merah dengan pinggiran kuning, dan, tepat di bawah pertemuan rangka-rangka tengahnya, terdapat tanda tangan Saifo yang meyakinkan. Hassan menjilat jarinya dan mengangkat tangannya ke atas untuk memastikan arah angin, lalu berlari ke arah itu di beberapa kesempatan yang jarang terjadi, saat kami menerbangkan layang-layang pada musim panas, Hassan menendang pasir untuk mengetahui arah angin bertiup. Gulungan benang berputar di tanganku hingga Hassan berhenti, sekitar 15 meter dariku. Dia mengangkat layang-layang itu ke atas kepalanya, seperti Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

atlet Olimpiade yang memamerkan medali emas. Aku menghen-tak-kan benang dua kali, tanda yang biasa kami gunakan, dan Hassan pun melontarkan layang-layang itu. Terjebak di tengah-tengah penjelasan Baba dan guru-guruku di sekolah, aku belum juga memutuskan pendapatku mengenai Tuhan. Tapi ketika aku teringat salah satu ayat Al-Quran yang kupelajari di kelas diniyat, aku melafalkannya. Aku menarik napas panjang, menghelanya, dan menarik benang layang-layangku. Dalam semenit, layang-layangku telah membumbung ke langit. Suara yang ditimbulkannya bagaikan kepakan sayap burung kertas. Hassan bertepuk tangan, bersiul, dan berlari kembali padaku. Aku menyerahkan gulungan benang padanya, memegang untaian benang yang tersisa, dan Hassan dengan cepat menggulung untaian itu kembali. Setidaknya dua lusin layang-layang menari di langit, bagaikan ikan hiu kertas yang meluncur mencari mangsa. Dalam satu jam, jumlah layang-layang yang memenuhi langit bertambah dua kali lipat. Wamawama merah, biru, dan kuning menukik dan berputar di langit. Angin dingin menyapu rambutku. Angin bertiup sempuma untuk menerbangkan layang-layang, cukup kuat untuk mengangkatnya, memudahkannya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

melayang. Di sebelahku, Hassan memegang gulungan benang, tangannya mulai berdarah. Tak lama kemudian adu layang-layang dimulai, dan layang-layang pertama yang kalah meluncur turun lepas kendali. Layang-layang yang terputus jatuh dari langit bagaikan bintang jatuh berwama cerah dengan ekor bergelombang, menghujani pemukiman di bawah-nya, menjadi hadiah bagi para pengejar layang-layang. Aku bisa mendengar suara mereka, bersorak-sorai sem-bari berlarian di jalanan. Seseorang meneriakkan laporan tentang pecahnya perkelahian dijalan lain. Aku berulang kali melirik pada Baba yang duduk di atap bersama Rahim Khan, menebak-nebak apa yang ada dalam pikirannya. Apakah dia bersorak untukku? Atau apakah sebagian dari dirinya merasakan kenikmatan melihatku gagal? Yang terjadi saat menerbangkan layanglayang, pikiranmu melayang bersamanya. Banyak layang-layang berjatuhan, dan milikku masih terbang. Aku masih terbang. Aku berulang kali mencuri pandang pada Baba, yang terbungkus dalam sweter wolnya. Terkejutkah dia mendapati aku bertahan selama ini? Kalau kau tidak terus-terusan melihat ke langit, kau tidak akan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bertahan Sama. Aku segera mengalihkan tatapanku kembali ke langit. Sebuah layang-layang merah mendekati layang-layangku aku mendapatkannya tepat waktu. Kami saling membelit, dan akhirnya, saat kesabaran pemilik layang-layang itu berkurang dan dia mencoba memutuskan benangku dari bawah, aku lebih dulu memutus benangnya, Di sepanjang jalan, para pengejar layang-layang kembali dari perburuan mereka dengan kemenangan, mengangkat tinggi-tinggi layang-layang taklukan mereka. Mereka memamerkannya pada orangtua dan temanteman mereka. Tapi mereka semua tahu bahwa bagian terbaik dari tumamen ini belumlah terjadi. Hadiah utama masih melayang di langit. Aku memutuskan layang-layang kuning berekor putih panjang. Akibatnya, luka di jari telunjukku bertambah, dan darah pun mengalir ke telapak tanganku. Kuberikan benangku pada Hassan supaya aku bisa menghisap lukaku hingga darah berhenti mengalir, lalu kutem-pelkan bagian yang terluka itu pada celana jinsku. Satu jam kemudian, jumlah layang-layang yang bertahan menyusut, dari lima puluhan menjadi hanya dua belas. Milikku salah satunya. Aku berhasil masuk dalam dua belas besar. Aku tahu bahwa pada titik ini, tumamen ini akan berjalan lambat, karena siapa pun yang mampu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bertahan hingga tahap ini adalah pemain layang-layang yang baik mereka tidak akan dengan mudah jatuh dalam jebakan umum sederhana, seperti jebakan angkat dan tukik favorit Hassan. Pada pukul tiga siang, sekelompok awan berarak menutupi matahari. Bayangan mulai memanjang. Para penonton yang berdiam di atas atap semakin tenggelam dalam belitan syal dan mantel tebal mereka. Jumlah layang-layang di langit tinggal enam, dan milikku masih melayang. Kakiku sakit dan leherku kaku. Tapi tiap kali satu layang-layang dijatuhkan, harapan tumbuh dalam hatiku, bagaikan salju yang perlahan melapisi dinding, setitik demi setitik. Tatapanku berulang kali tertuju pada layang-layang biru yang terus menggila selama satu jam ter-akhir. "Berapa yang sudah dia jatuhkan?" tanyaku. "Yang kuhitung ada delapan," jawab Hassan. "Kau tahu kira-kira siapa pemiliknya?" Hassan mendecakkan lidah dan mengangkat dagunya. Itulah isyarat khas Hassan, artinya, dia tidak tahu. Layang-layang biru itu memotong benang layang-layang besar berwama ungu dan berputar dua kali dalam lingkaran besar. Sepuluh menit kemudian, layang-layang itu kembali menjatuhkan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dua layang-layang lagi, mengirim sepasukan pengejar layang-layang kembali berburu. Tiga puluh menit kemudian, hanya empat layang-layang yang tersisa. Dan milikku masih menari di langit. Sepertinya aku tidak mungkin membuat gerakan yang salah, seolah-olah setiap tiupan angin menguntungkanku. Belum pernah selama ini aku merasa begitu unggul, begitu beruntung. Aku tidak berani melayangkan pandangan ke atas atap. Tidak berani mengalihkan pandanganku dari langit. Aku harus berkonsentrasi, tidak boleh melakukan kesalahan. Lima belas menit kemudian, terjadilah hal yang paginya kupikir hanya ada dalam mimpi menggelikan: Hanya ada aku dan seorang lagi. Layang-layang biru itu. Ketegangan di udara terasa setajam benang berlapis kaca yang kugenggam dalam tanganku yang berdarah. Para penonton menghentak-hentakkan kaki, bertepuk tangan, bersiul, berteriak menyemangati, "Boboresh! Boboresh!" Putuskan! Putuskan! Aku ber-pikir, apakah suara Baba ada di dalamnya. Suara musik menggelegar. Aroma mantu asap dan pakora goreng menembus atap-atap rumah dan pintu-pintu yang terbuka. Namun satu-satunya suara yang kudengar satu-satunya suara yang kuperkenankan untuk kudengar adalah detakan darah yang mengalir Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dalam pem-buluh di kepalaku. Satu-satunya benda yang kulihat adalah layang-layang biru itu. Satu-satunya aroma yang kucium adalah kemenangan. Pembebasan. Penebusan. Kalau Baba salah dan Tuhan memang ada, seperti yang selalu mereka katakan di sekolah, maka Dia akan memberi-kan kemenangan padaku. Aku tidak tahu yang membuat lawanku ingin menang, mungkin hanya hak untuk menyombongkan diri. Tetapi inilah satu-satunya kesempatanku untuk menjadi seseorang yang dilihat, bukannya terlihat, didengar, bukannya terdengar. Jika Tuhan memang ada, Dia akan mengarahkan angin, membiarkannya meniup layanglayangku, hingga hanya dengan satu hentakan benang, aku akan memutuskan rasa sakitku, dambaanku. Aku telah melalui begitu banyak hal, telah berjalan begitu jauh. Dan tiba-tiba, begitu saja, harapan menjadi nyata. Aku akan memenangkannya. Ini hanya masalah waktu. Temyata kejadiannya begitu cepat. Tiupan a-ngin mengangkat layanglayangku dan aku memanfaatkannya. Kuulurkan benangku, dan layanglayangku pun membubung tinggi. Kuputarkan layang-layangku di atas layang-layang biru itu. Ku-pertahankan posisiku. Layang-layang biru itu tahu bahwa dirinya sedang berada dalam masalah. Dengan putus asa, dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mencoba meloloskan diri dari kekacauan yang kuciptakan, namun aku tidak membiarkannya. Kupertahankan posisiku. Kerumunan penonton dapat merasakan bahwa akhir tumamen ini akan segera tiba. Teriakan "Putuskan! Putuskan!" semakin keras, bagaikan bangsa Romawi yang meneriaki para gladiator untuk membunuh, mem-bunuh! "Sedikit lagi, Amir agha! Sedikit lagi!" Hassan terengah-engah. Lalu, tibalah saat itu. Aku menutup mata dan melonggarkan genggamanku pada benang. Saat angin membawanya, jari-jariku kembali terluka. Lalu aku tak perlu mendengarkan sorak sorai penonton untuk mengetahui. Aku juga tak perlu melihatnya. Hassan bersorak dan memeluk leherku. "Bravo! Bravo, Amir agha!" Kubuka mataku, kusaksikan layang-layang biru itu meluncur turun, berputar liar seperti ban yang ter-lepas dari mobil yang sedang melaju cepat. Aku mengedipkan mata, mencoba mengatakan sesuatu. Aku tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba aku melayang, memandang ke bawah pada diriku sendiri. Mantel kulit hitam, syal merah, jins pudar. Seorang anak lelaki kurus, sedikit pucat, dan bertubuh pendek untuk ukuran anak ber-umur dua belas tahun. Bahunya kecil dan mata coklat pucatnya dikelilingi lingkaran hitam samar. Angin mempermainkan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

rambut cokelat mudanya. Dia mengangkat kepalanya, memandang ke arahku, dan kami pun saling memberikan senyuman. Lalu aku bersorak, dan semuanya berwama dan bersuara, semuanya hidup dan menyenangkan. Aku melayangkan tanganku yang bebas memeluk Hassan dan kami pun berjingkrak, kami berdua tertawa, kami berdua menangis. "Kau menang, Amir agha! Kau menang!" "Kita menang! Kita menang!" hanya itulah yang bisa kuucapkan. Ini tidak mungkin terjadi. Dalam sesaat, aku akan mengedipkan mata dan terbangun dari mimpi indah ini, turun dari tempat tidur, berjalan menuju dapur untuk menyantap sarapan tanpa punya teman bicara kecuali Hassan. Berpakaian. Menunggu Baba. Menyerah. Kembali pada kehidupan lamaku. Lalu aku menatap Baba di atas atap. Dia berdiri di sana, mengacung-acungkan kedua kepalannya. Bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Dan itulah satu-satunya peristiwa terhebat sepanjang dua belas tahun kehidupanku, melihat Baba di atas atap, akhirnya bangga terhadap diriku. Tapi saat itu Baba melakukan sesuatu, menggerakkan tangannya seolaholah hal darurat terjadi. Lalu aku mengerti. "Hassan, kita-"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tahu," katanya, melepaskan diri dari pelukanku. "Insya Allah, kita nanti akan merayakannya. Sekarang, aku akan membawa layang-layang biru itu padamu." Dia menjatuhkan gulungan benang dan segera berlari, bagian belakang chapan hijaunya terseret di salju. "Hassan!" panggilku. "Kembalilah dengan layang-layang itu!" Hassan telah membelok di tikungan, sepatu bot karetnya menendang salju. Dia berhenti, membalikkan badan. Kedua tangannya membentuk corong di sekeliling mulutnya. "Untukmu, keseribu kalinya!" katanya. Lalu dia melayangkan senyuman khas Hassan dan menghilang di balik tikungan. Saat berikutnya aku melihat Hassan tersenyum lepas seperti itu adalah dua puluh enam tahun kemudian, dalam sehelai foto Polaroid yang telah memudar. Aku mulai menarik layang-layangku saat orang-orang berebut menyelamatiku. Aku menyalami mereka, mengucapkan terima kasih. Bocah-bocah kecil memandangku dengan tatapan kagum; aku adalah seorang pahlawan. Tangan-tangan menepuk punggungku dan mengacakacak rambutku. Aku menarik benangku dan membalas setiap senyuman, namun pikiranku tertuju pada layang-layang biru itu. Akhirnya, layang-layangku kembali ke tanganKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ku. Aku menggulung benang yang terkumpul di kakiku, menyalami beberapa orang lagi, dan berjalan pulang. Saat aku mencapai pagar besitempa, Ali menunggu di baliknya. Dia mengulurkan tangannya melalui jeruji. "Selamat," katanya. Kuserahkan layang-layang dan benangku padanya, menyalaminya. "Tashakor, Ali jan." "Aku mendoakanmu sepanjang waktu." "Kalau begitu, teruslah berdoa. Kita belum menye-lesaikannya." Aku kembali berlari ke jalan. Aku tidak bertanya pada Ali mengenai Baba. Aku belum ingin menemuinya. Di kepalaku sudah tersusun rencana: Aku akan memasuki rumah dengan agung, seorang pahlawan, dengan membawa penghargaan utama dalam tanganku yang penuh darah. Kepala-kepala akan berpaling dan mata-mata akan terpaku. Rostam dan Sohrab saling menilai. Saat sunyi yang dramatis. Lalu pahlawan yang lebih tua akan mendatangi yang lebih muda, memeluknya erat, mengakui kehebatannya. Pengakuan. Pembebasan. Penebusan. Lalu? Yah ... tentu saja bahagia selama-lamanya. Apa lagi? Jalan-jalan di Wazir Akbar Khan bemomor dan berblok-blok bagaikan pagar kawat. Lingkungan itu masih baru, sedang berkembang, di setiap Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

jalan dapat ditemukan petak-petak tanah kosong dan rumah-rumah yang tengah dibangun pada lahan yang masing-masing dipisahkan oleh pagar tembok setinggi 2,5 meter. Aku berlari menyusuri setiap ruas jalan, mencari Hassan. Di mana-mana, orang-orang sibuk melipat kursi, mengemasi makanan dan perangkatperangkat lainnya setelah seharian berpesta. Beberapa orang, masih berdiam di atas atap, meneriakkan ucapan selamat untukku. Empat jalan di sebelah selatan jalan kami, aku melihat Omar, putra seorang insinyur teman Baba. Dia sedang memainkan bola sepak dengan saudaranya di halaman depan rumah mereka. Omar anak yang baik. Kami sekelas saat kelas empat, dan dia pernah memberiku pulpen yang harus senantiasa diisi ulang. "Kudengar kau menang, Amir," katanya. "Selamat." "Terima kasih. Apa kau melihat Hassan?" "Hazaramu?" Aku mengangguk. Omar menyundul bola ke arah saudaranya. "Kudengar dia pengejar layang-layang hebat." Saudaranya menyundul bola itu kembali pada Omar. Omar mendapatkannya, melontarkannya naik turun. "Meskipun aku terusKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

terusan berpikir, bagaimana dia bisa melakukannya. Maksudku, dengan mata sesipit itu, bagaimana dia bisa melihati" Saudaranya tertawa pendek, dan meminta bola itu. Omar mengabaikannya. "Kamu lihat dia?" Omar mengacungkan jempolnya di depan bahu, menunjuk ke arah barat daya. "Aku melihatnya berlari ke arah pasar beberapa saat yang lalu." "Terima kasih." Aku segera berlalu. Saat aku mencapai pasar, matahari hampir terbenam di balik bukit dan langit senja berwama merah muda dan lembayung. Beberapa blok kemudian, dari Masjid Haji Yaghoub, seorang mullah melantunkan azan, memanggil mereka yang beriman untuk membentangkan sajadah dan bersujud ke arah kiblat. Hassan tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Bahkan saat kami tengah bermain, dia akan meninggalkanku, mengambil air wudhu dari sumur di halaman, menyucikan diri, dan menghilang ke dalam pondoknya. Dia akan keluar beberapa menit kemudian, menyunggingkan senyum, menda-patiku duduk bersandar pada tembok atau duduk di atas pohon. Malam ini dia akan meninggalkan shalatnya, gara-gara aku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Pasar itu menjadi kosong dengan cepat, para pedagang menyelesaikan kegiatan tawar menawar mereka hari itu. Aku menyeret kakiku pada tanah berlumpur di antara deretan kios-kios yang dipenuhi barang dagangan; satu kios menjual burung merak yang baru dipotong, dan kios di sebelahnya menjual kalkulator. Aku berusaha maju, menyelinap di tengah tengah ke-rumunan, pengemis pengemis menyedihkan ber-pakaian compang camping, pedagang-pedagang yang memikul permadani di bahu mereka, pedagang kain dan pedagang daging yang menutup kios mereka setelah berjualan seharian. Tidak ada tanda-tanda Hassan. Aku berhenti di depan kios yang menjual buah-buahan kering, menggambarkan ciri-ciri Hassan pada seorang pedagang tua yang sedang membebankan berpeti-peti benih pinus dan kismis pada seekor keledai. Pria itu mengenakan serban berwama biru pucat. Dia berhenti dan memandangku beberapa saat sebelum menjawab, "Sepertinya aku pernah melihat anak itu." "Kemana dia pergi?" Dipandangnya diriku lekat-lekat. "Untuk apa a-nak seperti kamu mencari seorang Hazara, di sini dan sesore ini?" Tatapannya menunjukkan kekaguman pada mantel kulit dan celana jinsku celana koboi, kami biasa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menyebutnya. Di Afghanistan, memiliki barang-barang berbau Amerika, lebih-lebih bila barang itu bukan barang bekas, selalu menunjukkan kekayaan. "Aku harus menemuinya, Agha." "Memangnya dia siapamu?" tanyanya. Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya, namun terus kuingatkan diriku bahwa ketidaksabaran tidak akan membuat pria itu lebih cepat memberitahuku. "Dia anak pelayan kami," jawabku. Pria tua itu mengangkat alisnya yang kelabu. "Begitu ya? Hazara yang beruntung, punya tuan yang begitu memikirkannya. Ayahnya seharusnya berlutut di hadapanmu, menyapu debu yang menempel di kakimu dengan bulu matanya." "Anda akan memberitahuku atau tidak?" Dia meletakkan lengannya ke punggung keledai, menunjuk ke arah selatan. "Kalau tidak salah, aku melihat anak dengan ciri-ciri yang kausebutkan itu berlari ke arah sana. Dia membawa layang-layang berwama biru." "Benarkah?" aku berkata. Untukmu keseribu kalinya, dia telah berjanji. Hassan yang baik. Hassan yang bisa diandalkan. Dia telah menepati janjinya dan menge-jar layang-layang terakhir untukku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tentu saja, mereka pasti telah menangkap dia sekarang," ujar pedagang tua itu seraya mendengus dan memuat satu kotak lagi ke punggung keledainya. "Siapa?" "Anak-anak yang lain," katanya. "Yang me-ngejar-ngejamya. Mereka berpakaian seperti kamu." Dia melirik ke langit dan menghela napas. "Sekarang, pergilah, aku jadi telat shalat gara-gara kamu." Tapi aku telah berlari menyusuri jalan. Selama beberapa menit, aku menjelajahi pasar itu dengan sia-sia. Mungkin pedagang tua itu sudah rabun. Tetapi, bukankah dia melihat sebuah layang-layang biru? Aku membayangkan menyentuh layang-layang itu ... kulongokkan kepalaku di setiap belokan, setiap toko. Tidak ada tandatanda Hassan. Aku mulai khawatir bahwa hari akan beranjak malam sebelum aku menemukan Hassan, ketika aku mendengar suara-suara dari arah depanku. Aku tiba di jalan berlumpur yang sunyi, cabang dari jalan utama yang melintasi pasar. Kususuri jejak yang dalam di tanah berlumpur itu, mengikuti arah datangnya suara. Sepatu botku terbenam di lumpur setiap kali aku me-langkah dan setiap embusan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

napasku menghasilkan gumpalan uap putih. Sejajar dengan jalan sempit itu, terbentang sebuah ngarai yang dipenuhi salju. Pada musim semi, sungai kecil mengalirinya. Di sisi jalan yang lain, pohon-pohon cedar yang dibebani salju berdiri di antara rumah-rumah berdinding tanah liat beratap datar sebagian besar hanyalah pondok-pondok dari lumpur kering yang dipisahkan oleh gang-gang sempit. Aku mendengar suara itu lagi, kali ini lebih keras, dari salah satu gang itu. Perlahan aku mendekat ke mulut gang. Menahan napasku. Mengintip dari sudut. Hassan berdiri menantang di ujung gang buntu itu. Tangannya mengepal, kakinya terbuka. Di belakangnya, pada tumpukan sampah dan puingpuing bangunan, layang-layang biru itu tergeletak. Kunciku untuk membuka hati Baba. Di depan Hassan, menghalangi jalan keluar gang itu, berdiri tiga anak lelaki. Tiga orang yang kami temui di bukit hari itu, sehari setelah kudeta Daoud Khan, saat Hassan menyelamatkan kami dengan katapelnya. Wali berdiri di satu sisi, Kamal di sisi yang lain, dan di tengah, Assef. Aku merasakan tubuhku menegang dan rasa dingin menjalari tulang punggungku. Assef terlihat tenang, penuh percaya diri. Tangannya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mempermainkan pelindung buku jari bajanya. Dua pengikutnya menggerak-gerakkan kaki mereka dengan gugup, mengalihkan tatapan dari Assef ke Hassan, seolah mereka sedang menyudutkan seekor binatang liar yang hanya Assef seorang bisa menjinakkannya. "Mana katapelmu, Hazara?" kata Assef, menunjukkan pelindung buku jarinya. "Apa yang kau bilang dulu? 'Mereka akan memanggilmu Assef Bermata Satu.' Yang benar saja. Assef Bermata Satu. Pintar. Benar-benar pintar. Tapi tentu saja, memang gampang menjadi pintar kalau kamu punya senjata yang siap dipakai." Aku menyadari bahwa sedari tadi aku menahan napas. Kuhela napas, perlahan, tanpa suara. Badanku terasa lumpuh. Aku memerhatikan mereka berjalan mendekati anak laki-laki yang tumbuh bersamaku, yang wajah berbibir sumbingnya adalah wajah pertama yang ada dalam ingatanku. "Tapi hari ini adalah hari keberuntunganmu, Hazara," kata Assef. Aku hanya bisa melihat punggung-nya, namun aku berani bertaruh bahwa saat itu dia sedang menyeringai. "Aku sedang ingin memaafkan. Bagaimana menurut kalian, teman-teman?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau baik sekali," Kamal menyahut. "Apa lagi setelah dia berbuat kasar padamu tempo hari." Dia men-coba terdengar seperti Assef, namun suaranya bergetar. Lalu aku memahaminya: Dia tidak takut kepada Hassan, tidak. Dia ketakutan karena benar-benar tidak tahu apa yang direncanakan Assef. Assef melambaikan tangannya dengan jijik. "Bakshida. Dimaafkan. Selesai." Nada suaranya sedikit menurun. "Tentu saja, tak ada yang gratis di dunia ini, tapi maafku berharga murah." "Itu adil/' kata Kamal. "Tak ada yang gratis," Wali menambahkan. "Kamu memang Hazara yang beruntung," kata Assef seraya berjalan mendekati Hassan. "Karena hari ini, untuk mendapatkan maafku, kamu hanya perlu membayamya dengan layang-layang biru itu. Kesepakatan ini adil, kan, teman-teman?" "Lebih daripada adil," ujar Kamal. Bahkan dari tempatku berdiri, aku bisa melihat rasa takut merayapi mata Hassan, namun dia meng-gelengkan kepalanya. "Amir agha memenangkan tur-namen dan aku mengejar layang-layang ini untuk-nya. Aku mendapatkannya dengan adil. Ini layang-layang milik Amir agha." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Hazara yang setia. Seperti anjing," kata Assef. Tawa Kamal terdengar melengking, dia gugup. "Tapi sebelum kamu mengorbankan diri untuk majikanmu, pikirkan ini: Mungkinkah dia melaku-kan hal yang sama untukmu? Pemahkah kamu memikirkan, kenapa dia tak pernah melibatkanmu dalam permainan saat ada tamu yang berkunjung? Kenapa dia hanya mau bermain denganmu saat tak ada seorang pun di dekatnya? Kuberi tahu, Hazara. Karena baginya, kamu hanyalah piaraan buruk rupa. Yang bisa dimainkan saat dia merasa bosan, yang bisa ditendang saat dia marah. Jangan bodoh, berpikir bahwa kamu punya arti lebih di matanya." "Aku dan Amir agha berteman," sahut Hassan. Wajahnya memerah. "Teman?" Assef menertawakannya. "Dasar dungu! Suatu hari kamu akan terbangun dari khayalan kecilmu ini dan menyadari teman baik macam apa dia. Sekarang, bas\ Cukup. Berikan layang-layang itu pada kami." Hassan membungkuk dan memungut sebongkah batu.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Assef mundur beberapa langkah, lalu berhenti. "Kesempatan terakhir, Hazara." Hassan menjawabnya dengan mengacungkan tangannya yang menggenggam batu. "Terserahlah." Assef membuka kancing mantel musim dinginnya, melepasnya, melipatnya dengan perlahan dan tenang, meletakkannya di dekat tembok. Aku membuka mulutku, nyaris mengatakan sesuatu. Nyaris. Sisa hidupku akan kujalani dengan berbeda jika aku melakukannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya menonton. Terpaku. Assef menggerakkan tangannya, dan kedua pengikutnya melangkah ke arah berlawanan, membentuk setengah lingkaran, menyudutkan Hassan di gang itu. "Aku berubah pikiran," kata Assef. "Aku akan membiarkanmu mendapatkan layang-layang itu, ditendang saat dia marah. Jangan bodoh, berpikir bahwa kamu punya arti lebih di matanya." "Aku dan Amir agha berteman," sahut Hassan. Wajahnya memerah.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Teman?" Assef menertawakannya. "Dasar dungu! Suatu hari kamu akan terbangun dari khayalan kecilmu ini dan menyadari teman baik macam apa dia. Sekarang, bas\ Cukup. Berikan layang-layang itu pada kami." Hassan membungkuk dan memungut sebongkah batu. Assef mundur beberapa langkah, lalu berhenti. "Kesempatan terakhir, Hazara." Hassan menjawabnya dengan mengacungkan tangannya yang menggenggam batu. "Terserahlah." Assef membuka kancing mantel musim dinginnya, melepasnya, melipatnya dengan perlahan dan tenang, meletakkannya di dekat tembok. Aku membuka mulutku, nyaris mengatakan sesuatu. Nyaris. Sisa hidupku akan kujalani dengan berbeda jika aku melakukannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya menonton. Terpaku. Assef menggerakkan tangannya, dan kedua pengikutnya melangkah ke arah berlawanan, membentuk setengah lingkaran, menyudutkan Hassan di gang itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku berubah pikiran," kata Assef. "Aku akan membiarkanmu mendapatkan layang-layang itu, Hazara. Aku membiarkanmu memilikinya, agar kamu selalu mengingat yang akan kulakukan sekarang." Dan dia pun mulai menyerang. Hassan melemparkan batu yang dipegangnya. Batu itu menimpa Assef tepat di keningnya. Assef melolong seraya menubruk Hassan, menerjangnya hingga jatuh ke tanah. Wali dan Kamal mengikuti tindakannya. Aku menggigit kepalanku. Menutup mataku. Sebuah kenangan: Tahukah kau bahwa kau dan Hassan menyusu dari payudara yang sama? Tahukah kau, Amir agha? Hamanya Sakina. Dia adalah seorang wanita Hazara cantik bermata biru dari Bamiyan dan dia suka menyanyikan lagulagu pemikahan tua untuk kalian. Kata orang, mereka yang menyusu dari payudara yang sama memiliki ikatan persaudaraan. Tahukah kamu? Sebuah kenangan: "Masing-masing satu rupia, anak-anak. Hanya satu rupia untuk membuka tirai kebenaran." Pria tua itu duduk bersandar pada tembok lumpur keras. Matanya yang buta bagaikan perak cair yang dikelilingi kawah kembar dan dalam. Dengan bertumpu pada tongkatnya, peramal itu menyapukan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tangannya yang keriput pada pipinya yang kempot. Lalu, dia menengadahkan tangannya di hadapan kami. "Satu rupia seorang, tidak banyak untuk mengetahui kebenaran, bukan?" Hassan menjatuhkan uang logamnya ke telapak tangan berkapal itu. Aku juga melakukannya. "Dengan nama Allah, Yang Maha Pemberi dan Maha Pengampun," peramal tua itu berbisik. Dia lebih dulu memeriksa tangan Hassan, menelusuri telapaknya dengan kukunya yang seperti tanduk, berputar dan berputar, berputar dan berputar. Dia lalu melayangkan jarinya ke wajah Hassan, menghasilkan suara gesekan saat menelusuri perlahan lekukan di pipinya, garis telinganya. Tangannya berhenti di sana. Bertahan di sana. Wajah pria tua itu diselimuti bayangan. Aku dan Hassan bertukar tatapan. Dia meraih tangan Hassan dan meletakkan kembali uang satu rupiah milik Hassan di sana. Selanjutnya giliranku. "Bagaimana denganmu, anak muda?" katanya. Tidak berapa jauh dari tempat itu, seekor ayam jantan berkokok. Pria tua itu meraih tanganku dan aku segera menariknya. Sebuah mimpi: Aku tersesat dalam badai salju. Angin melengking, meniupkan kepingan salju yang menyengat mataku. Aku berjuang melewati lapisan putih yang berserak. Aku ber-teriak meminta pertolongan, namun angin mengalahKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kan suaraku. Aku terjatuh dan berbaring terengah-engah di salju, tenggelam dalam lautan putih, angin menderu di telingaku. Aku menyaksikan salju menghapus jejak kakiku. Aku sudah menjadi hantu, pikirku, hantu tanpa jejak kaki. Aku kembali berteriak, harapanku menipis seperti jejak kakiku. Tapi kali ini, aku mendengar jawaban dari kejauhan. Aku melindungi mata-ku dan berusaha bangkit. Di sana, di balik tirai salju yang bergoyang, aku menangkap suatu gerakan, suatu wama. Bentuk yang sudah kukenal baik terwujud. Seruas tangan terulur padaku. Aku melihat luka-luka yang dalam berjajar di telapaknya, darah mengalir, meno-dai salju yang putih. Aku menyambut uluran tangan itu, dan tiba-tiba salju di sekelilingku lenyap. Kami berdiri pada hamparan rumput sehijau apel dengan awan tipis berarak di langit. Aku melihat ke atas dan menyaksikan langit jemih dipenuhi layang-layang dengan berbagai wama, hijau, kuning, merah, dan oranye. Semuanya berkilauan dalam cahaya siang. Sampah dan puing-puing bangunan mengotori gang itu. Ban-ban sepeda bekas, botol-botol dengan label terlepas, majalah-majalah tua, kertas koran yang telah menguning, semuanya berserakan di antara tumpukan batu bata dan pecahan semen. Tungku besi tempa ber-karat dengan lubang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menganga di salah satu sisinya bersandar di dinding. Di antara ceceran sampah itu, aku tak bisa mengalihkan tatapanku dari dua buah benda: Layang-layang biru yang tergeletak di dekat dinding, di sebelah tungku besi tempa; dan celana kurduroi cokelat milik Hassan yang tergeletak di atas tumpukan batu bata lapuk. "Entahlah," Wali berkata. "Kata ayahku, itu dosa." Dia terdengar tak yakin, gelisah, ketakutan, semuanya di saat yang sama. Hassan terbaring dengan dada menempel ke tanah. Kamal dan Wali masing-masing mencengkeram satu lengannya, memuntir dan me-nekuknya di siku sehingga tangan Hassan menempel ke punggungnya. Assef mengawasi mereka, tumit sepatu bot saljunya menekan bagian belakang leher Hassan. "Ayahmu tak akan tahu," kata Assef. "Dan meng-ajar seekor keledai kurang ajar bukanlah dosa." "Entahlah" Wali menggumam. "Terserah," sahut Assef. Dia beralih pada Kamal. "Bagaimana denganmu?" "Aku ... mmm "Dia kan hanya seorang Hazara," kata Assef. Namun Kamal pun tak mau memandangnya. "Ya sudah," Assef kehilangan kesabaran. "Kalian orang-orang lemah, pegangi saja dia. Bisa kan, kalian melakukannya?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Wali dan Kamal mengangguk. Mereka terlihat lega. Assef berlutut di belakang Hassan, meletakkan tangan-nya di pinggul Hassan dan mengangkat pantatnya yang telanjang. Dia menahan satu tangannya di punggung Hassan dan tangan yang satunya melepaskan ikat pinggang. Dia membuka kancing jinsnya. Menurunkan celana dalamnya. Hassan tidak melawan. Dia bahkan tidak menangis. Kepalanya bergerak sedikit hingga aku bisa menangkap wajahnya sekilas. Melihat siratan kepasrahan di sana. Ekspresi itu belum pernah kulihat sebelumnya. Ekspresi seekor domba. Besok adalah hari ke-10 bulan Dzulhijjah, bulan terakhir pada penanggalan Muslim, dan hari pertama dari tiga hari perayaan Idul Adha, atau Eid e Qorban, begitulah penduduk Afghanistan menyebutnya satu hari untuk merayakan peristiwa nabi Ibrahim yang nyaris mengorbankan anaknya untuk Tuhan. Baba kembali memilih sendiri domba yang akan kami korbankan tahun ini, seekor domba putih pucat dengan telinga hitam melengkung. Kami semua berdiri di halaman belakang, Hassan, Ali, Baba, dan aku. Mullah melafalkan doa sambil mengelus janggutnya. Baba menggumam, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Cepatlah, dengan napas tertahan. Sepertinya dia terganggu dengan doa yang seakan tanpa akhir ini, ritual untuk membuat daging binatang itu halal. Baba menertawakan sejarah di balik perayaan ini, seperti dia menertawakan semua hal yang berhubungan dengan agama. Tetapi dia menghormati tradisi Eid-e-Qorban. Sesuai dengan tradisi, kami harus membagi daging domba itu dalam tiga bagian, satu bagian untuk keluarga, satu bagian untuk teman-teman, dan satu bagian lagi untuk fakir miskin. Setiap tahun, Baba membagikan semuanya pada fakir miskin. Orang kaya sudah cukup gemuk, katanya. Mullah menyelesaikan doanya. Amin. Dia mengambil pisau dapur bermata panjang. Sesuai tradisi, pisau itu tidak boleh sampai terlihat oleh domba yang akan disembelih. Ali memberi domba itu sebongkah gula lagi-lagi sesuai tradisi, untuk membuat kematian terasa lebih manis. Domba itu menendang-nendang beberapa kali. Sang mullah mencengkeram bagian bawah rahang domba itu dan menempelkan mata pisau ke lehemya. Hanya sedetik sebelum mullah memotong tenggorokannya dalam satu gerakan ahli, aku melihat tatapan domba itu. Tatapan yang akan menghantui mimpiku selama bermingguminggu. Aku tidak tahu, mengapa aku selalu menyaksikan ritual tahunan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

di belakang rumah ini; mimpi-mimpi burukku akan bertahan jauh setelah noda darah di rumput menghilang. Tapi aku selalu menyaksikannya. Aku menyaksikannya karena tatapan pasrah binatang itu. Anehnya, aku membayangkan bahwa binatang itu mengerti, aku membayangkan binatang itu mengetahui bahwa maut yang akan segera men-datanginya memiliki tujuan mulia. Begitulah tatapannya .... Aku berhenti menyaksikan, berlalu meninggalkan gang itu. Rasa hangat mengaliri pergelangan tanganku. Aku mengedipkan mata, mendapati kepalanku masih ada dalam gigitanku, cukup keras sehingga darah mengalir dari buku-buku jariku. Aku menyadari hal lain. Aku terisak. Dari balik tikungan itu, aku bisa mendengar erangan Assef yang cepat dan berirama. Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan. Satu kesempatan terakhir untuk memutuskan apa jadinya diriku. Aku bisa melangkah memasuki gang itu, membela Hassan seperti yang selalu dilakukannya untukku dan menerima apa pun yang mungkin terjadi padaku. Atau aku bisa melarikan diri. Akhirnya, aku melarikan diri. Aku melarikan diri karena aku adalah seorang pengecut. Aku takut terhadap Assef dan apa pun yang mungkin dilakukannya padaku. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

takut terluka. Itulah yang kukatakan pada diriku saat aku berlalu meninggalkan gang itu, meninggalkan Hassan. Itulah yang berusaha kuyakini. Sebenamya, aku berusaha menjadi pengecut, karena pilihan lainnya alasan sebenamya aku melarikan diri adalah karena Assef mengatakan kebenaran: Tak ada yang gratis di dunia ini. Mungkin Hassan adalah harga yang harus kubayar, domba yang harus kukorban-kan, untuk mendapatkan hati Baba. Apakah harga ini pantas? Jawabannya terlintas dalam pikiran bawah sadarku sebelum aku bisa menahannya: Dia hanyalah seorang Hazara, bukan? Aku berlari kembali. Berlari kembali menuju pasar yang sunyi. Aku berhenti di depan sebuah kios dan menyandarkan tubuhku di pintunya yang terkunci. Aku berdiri di sana, terengah-engah, dibanjiri keringat, berharap peristiwa itu tidak terjadi. Sekitar lima belas menit kemudian, aku mendengar suara kaki-kaki yang berlari. Aku bersembunyi, menyaksikan Assef dan dua pengikutnya berlari, tertawa-tawa menyusuri jalan yang sunyi. Aku memaksa diriku menunggu selama sepuluh menit lagi. Lalu aku berjalan kembali melalui jalan berlumpur di sepanjang ngarai bersalju. Aku memicingkan mata dalam remang cahaya dan melihat Hassan berjalan perlahan ke arahku. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berhadapan dengannya di bawah pohon birch tak berdaun di pinggir ngarai. Dia membawa layang-layang biru itu; itulah yang pertama kali kuperhatikan. Dan sekarang aku tak bisa menutupi kenyataan bahwa saat itu mataku menelusuri layang-layang itu, mencari-cari adanya cacat di sana. Chapan yang dikenakan Hassan bemoda lumpur di bagian depannya dan kemejanya sobek tepat di bagian bawah kerahnya. Dia berhenti. Menyeimbangkan kakinya, seolah dia tak mampu menahan tubuhnya. Lalu dia menegakkan tubuh. Menyerahkan layang-layang itu padaku. "Kemana saja kau? Aku mencarimu," kataku. Saat mengatakannya, aku merasa seperti sedang mengunyah batu. Hassan mengusap wajahnya dengan lengan baju, menyeka ingus dan air matanya. Aku menunggunya mengucapkan sesuatu, namun kami hanya berdiri di sana tanpa berkata-kata, dalam remang cahaya senja. Aku bersyukur karena bayangan senja menyelimuti wajah Hassan dan menyembunyikan wajahku. Aku lega karena tak perlu membalas tatapannya. Tahukah dia bahwa aku tahu? Dan kalau dia tahu, apa yang akan kulihat jika aku melihat ke matanya? Tuduhan? Kemarahan? Atau,

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang paling kutakuti, pengabdian tanpa pamrih? Lebih dari segalanya, itulah yang tidak mampu kulihat. Dia berusaha mengatakan sesuatu dan suaranya pecah. Dia menutup mulutnya, membukanya, dan menutupnya lagi. Hassan mundur selangkah. Menyeka wajahnya. Dan itulah hal terdekat yang kami lakukan dalam usaha kami membahas kejadian di gang itu. Kupikir, tangisnya akan segera pecah, namun aku lega karena temyata dia tidak menangis, dan aku berpura-pura tidak mendengar suaranya yang pecah. Aku juga berpura-pura tidak melihat noda gelap di bagian pantat celananya. Atau cairan gelap yang menetes dari sela-sela kakinya, menodai salju dengan wama hitam. "Agha sahib akan cemas," hanya itulah yang dikatakannya. Dia meninggalkanku dengan terpin-cang-pincang. Kejadiannya seperti yang kubayangkan. Aku membuka pintu menuju ruang kerja Baba yang dipenuhi asap dan melangkah masuk. Baba dan Rahim Khan sedang menghirup teh dan mendengarkan berita dari radio. Mereka berpaling menatapku. Lalu sebentuk senyum tersungging di bibir ayahku. Dia membuka lengannya. Aku meletakkan layang-layang itu dan menghambur ke dalam pelukan lengan berbulunya. Kubenamkan wajahku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dalam kehangatan dadanya dan tangisku pun pecah. Baba memelukku erat-erat, mengayunku ke depan dan belakang. Dalam pelukannya, aku melupakan yang apa telah kulakukan. Dan itu lebih baik. Delapan Sepanjang minggu sesudah kejadian itu, aku hampir tidak pernah bertemu Hassan. Saat aku bangun, roti bakar, teh hangat, dan sebutir telur rebus telah tersedia di meja dapur. Baju yang akan kukenakan hari itu telah tersetrika dan terlipat rapi, diletakkan di atas bangku tinggi di ruang depan, tempat Hassan biasa menyetrika. Biasanya dia menunggu sampai aku duduk untuk menyantap sarapanku sebelum mulai menyetrika dengan begitu, kami bisa mengobrol. Di sela-sela desisan setrika, Hassan menyanyikan lagu-lagu Hazara tua tentang hamparan bunga tulip. Sekarang, hanya baju terlipat yang menyapaku pada pagi hari. Dan sepiring sarapan yang hampir tak pernah kuhabiskan lagi.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Pada suatu pagi yang berawan, saat aku sedang mempermainkan telur rebus di piringku, Ali memasuki ruangan sambil memanggul setumpuk kayu bakar. Aku menanyakan keberadaan Hassan padanya. "Dia tidur lagi," kata Ali seraya berlutut di depan tungku pemanas, membuka pintu persegi kecil pada tungku itu. Apakah Hassan bisa bermain hari ini? Ali terdiam sambil memegang sepotong kayu bakar di tangannya. Wajahnya terlihat cemas. "Akhir-akhir ini, sepertinya dia hanya ingin tidur. Dia memang menyelesaikan tugas-tugasnya aku tahu itu tapi setelannya, dia hanya ingin kembali meringkuk di balik selimut. Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?" "Boleh saja, kalau memang kau ingin bertanya." "Setelah tumamen adu layang-layang itu, dia pulang dengan sedikit lukaluka dan kemejanya pun sobek. Aku menanyakan padanya, apa yang terjadi, dan dia bilang, tidak ada yang terjadi, dia hanya ter-libat dalam pertikaian kecil dengan beberapa anak untuk memperebutkan layanglayang itu." Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya terus mempermainkan telur di piringku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Apakah sesuatu terjadi padanya, Amir agha? Sesuatu yang tidak dia katakan padaku?" Kuangkat bahuku. "Bagaimana aku tahu?" "Kau akan memberitahuku, kan? Insya Allah, kau akan memberitahuku bila memang ada sesuatu yang terjadi?" "Aku kan sudah bilang, bagaimana aku tahu a-pa yang terjadi padanya?" aku membentaknya. "Mungkin dia sakit. Orang bisa sakit kapan saja, Ali. Sekarang, aku akan mati kedinginan kalau kau tidak cepat-cepat menyalakan tungku itu." Malam itu aku mengajak Baba untuk pergi ke Jalalabad pada hari Jumat. Baba sedang bersantai membaca koran di kursi putar kulit di belakang mejanya. Dia meletakkan korannya, melepas kacamata baca yang begitu kubenci Baba tidak setua itu, tidak sama sekali, dan dia masih akan hidup bertahun-tahun lagi, jadi mengapa dia harus memakai kacamata tolol itu? "Mengapa tidak!" katanya. Akhir-akhir ini, Baba selalu mengabulkan semua permintaanku. Bukan hanya itu, dua malam sebelumnya, dia bertanya padaku, apakah aku ingin menonton El Cid yang dibintangi Charl-ton Heston di Cinema Aryana. "Kau mau meng-ajak Hassan juga, saat kita pergi ke Jalalabad?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Mengapa Baba harus memanjakannya seperti itu? "Dia mareez," kataku. Tidak enak badan. "Oh, ya?" Baba berhenti menggoyang kursinya. "Kenapa dia?" Aku mengangkat bahu dan menenggelamkan diri di sofa dekat perapian. "Mungkin dia masuk angin. Kata Ali dia terus-terusan tidur." "Aku jarang melihat Hassan beberapa hari ini," kata Baba. "Jadi begitu ya, dia hanya masuk angin?" Aku tidak bisa menahan rasa benci melihat cara Baba mengerutkan alis, menunjukkan kekhawatirannya. "Cuma masuk angin. Jadi, kita akan pergi hari Jumat nanti, Baba?" "Ya, ya," kata Baba seraya mendorong kursinya menjauhi meja. "Sayang sekali Hassan sakit. Kupikir akan lebih menyenangkan buatmu kalau dia ikut." "Yah, berdua saja pun kita bisa bersenang-senang," kataku. Baba tersenyum. Mengedipkan matanya. "Bawa baju hangat," katanya. Seharusnya hanya kami berdua yang pergi itulah yang kuinginkan tapi pada Rabu malam, Baba mengundang banyak orang untuk bergabung dengan kami. Baba menelepon sepupunya, Homayoun sebenar-nya dia adalah sepupu jauh Baba dan menyebutkan bahwa dia akan pergi ke Jalalabad pada hari Jumat, dan Homayoun, yang pernah bersekolah di Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Prancis dan memiliki sebuah rumah di Jalalabad, berkata bahwa dia akan senang kalau semua orang bisa datang. Dia akan membawa anak-anaknya, kedua istrinya dan, mumpung dia belum lupa, sepupu Shafiqa dan keluarganya, yang sedang berkunjung dari Herat, mung-kin akan senang bila bisa bergabung. Dan karena sepupu Shafiqa tinggal di rumah sepupu Nader di Kabul, keluarga Nader juga harus diundang meski-pun Homayoun dan Nader sedang sedikit berselisih dan kalau Nader diundang, maka Faruq, kakak-nya, juga harus diundang, karena jika tidak, perasaannya akan terluka dan dia tidak akan mengundang mereka semua untuk menghadiri perayaan pemikahan putri-nya bulan depan dan .... Kami memenuhi tiga mobil van. Aku berada dalam satu mobil dengan Baba, Rahim Khan, dan Kaka Homayoun saat aku kecil, Baba mengajarkan aku untuk memanggil semua pria yang lebih tua dengan sebutan Kaka, atau Paman, dan semua wanita yang lebih tua dengan sebutan Khala, atau Bibi. Kedua istri Kaka Homayoun juga berada semobil dengan kami istri tua yang berwajah masam dan tangannya dipenuhi benjolan-benjolan kecil, dan istri muda yang selalu menebarkan aroma parfum dan berdansa dengan mata tertutup juga kedua anak perempuan kembar Kaka Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Homayoun. Aku duduk di bangku paling belakang, merasa pusing dan mual, diapit oleh si kembar yang berumur tujuh tahun, yang terus-menerus meng-gang-guku dengan saling menampar. Semua orang di dalam van itu berbicara dengan suara keras di saat yang sama, nyaris melengkinglengking, karena begitulah cara orang Afghanistan berbicara. Aku bertanya pada salah satu anak kembar itu Fazila atau Karima, aku tak pernah bisa membedakan mereka apakah dia mau bertukar tempatnya di dekat jendela denganku, supaya aku bisa mendapat udara segar karena aku merasa mual. Dia menjulurkan lidahnya dan berkata tidak. Aku bilang, tidak apaapa, tapi aku tak mau bertanggung jawab kalau sampai memuntahi gaun barunya. Semenit kemudian, aku melongokkan kepala melalui jendela untuk menghirup udara segar. Aku me-merhatikan tanjakan dan turunan di jalan yang tak rata, berkelok mengelilingi gunung, menghitung truk-truk beraneka wama yang berpapasan dengan mobil kami, yang memuat para penebang kayu yang berjongkok di atas kayu tebangan mereka. Aku mencoba menutup mata, membiarkan angin menerpa pipiku, mem-buka mulutku untuk menelan udara segar. Rasa mualku tidak kunjung berkurang. Fazila/Karima mencolek pinggangku. "Apa?" kataku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku sedang bercerita pada semua orang tentang tumamen itu," kata Baba dari belakang kemudi. Kaka Homayoun dan kedua istrinya melemparkan senyuman padaku dari bangku tengah. "Pastinya ada seratus layang-layang di langit hari itu?" kata Baba. "Benar kan, Amir?" "Sepertinya begitu," gumamku. "Seratus layang-layang, Homayoun jan. Aku tidak mengatakan laaf. Dan satu-satunya layang-layang yang tertinggal di langit sore itu, adalah milik Amir. Dia membawa pulang layang-layang yang terakhir jatuh, layanglayang biru yang cantik. Hassan dan Amir menge-jamya bersama." "Selamat," kata Kaka Homayoun. Istri pertamanya, yang tangannya berbenjol-benjol, bertepuk tangan. "Wah, wah, Amir jan, kami semua sungguh bangga padamu!" katanya. Istri mudanya ikut menyalamiku. Lalu mereka semua bertepuk tangan, meneriakkan pujian-pujian, mengatakan betapa aku membuat mereka bangga. Satu-satunya orang yang tidak bersuara hanyalah Rahim Khan, yang duduk di sebelah Baba. Dia memandangku dengan tatapan aneh. "Tolong pinggirkan mobilnya, Baba," aku mendesak. "Apa?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Mabuk," gumamku, mencondongkan badanku, menekan tubuh anakanak Kaka Homayoun. Fazila/Karima mengemyitkan muka. "Pinggirkan mobilnya, Kaka! Wajahnya pucat! Jangan sampai dia memuntahi gaun baruku!" lengkingnya. Baba meminggirkan mobilnya, tetapi aku sudah tak sanggup menahan lagi. Beberapa menit kemudian, aku duduk di atas batu di pinggir jalan saat yang lain mengangin-anginkan mobil. Baba merokok ber-sama Kaka Homayoun yang menyuruh Fazila/Karima berhenti menangis; dia akan membelikan baju baru lagi untuknya di Jalalabad. Aku menutup mata, berpaling ke arah matahari. Suatu bentuk membayangi kelopak mataku, bagaikan tangan yang menghasilkan bentuk-bentuk bayangan di dinding. Meliuk, meng-gabung, menampilkan satu bentuk: Celana kurduroi cokelat milik Hassan yang tergeletak di tumpukan batu bata dalam gang itu. Rumah Kaka Homayoun di Jalalabad bercat putih dan bertingkat dua, dengan balkon menghadap ke kebun luas bertembok tinggi, yang ditanami pohon-pohon apel dan persimmon. Di kebun itu terdapat perdu yang pada musim panas dipotong berbentuk binatang, dan sebuah kolam renang dengan ubin berwama zamrud. Aku duduk menggelantungkan kaki di tepi Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kolam, yang saat itu kosong kecuali selapis salju di dasamya. Anak-anak Kaka Homayoun bermain petak umpet di sisi lain halaman. Para wanita memasak dan saat itu pun aku sudah bisa mencium semerbak aroma bawang goreng, mendengar desisan panci bertekanan tinggi, musik, dan gelak tawa. Baba, Rahim Khan, Kaka Homayoun, dan Kaka Nader duduk bersantai di balkon sambil merokok. Kaka Homayoun memberi tahu mereka bahwa dia membawa proyektor untuk menunjukkan gambargambar yang diambilnya di Prancis. Dia kembali dari Paris sepuluh tahun yang lalu, dan sampai sepuluh tahun kemudian dia masih gemar memamerkan gambar-gambar konyol itu. Seharusnya aku tidak merasa semerana ini. Aku dan Baba akhirnya bisa berteman. Kami pergi ke kebun binatang beberapa hari sebelumnya, melihat Marjan si singa, dan aku melontarkan kerikil pada beruang saat tak ada yang memerhatikan. Setelahnya, kami pergi ke Rumah Kebab Dadkhoda, di seberang Cinema Park, menyantap kebab daging kambing yang disajikan dengan naan segar yang baru dikeluarkan dari oven. Baba mengisahkan tentang perjalanannya ke India dan Rusia, orang-orang yang ditemuinya, seperti pasangan tanpa lengan dan kaki di Bombay, yang telah menikah selama 47 tahun dan membesarkan 11 Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

anak. Seharus-nya perjalanan ini menyenangkan, karena aku akan bisa menghabiskan waktuku dengan Baba, mendengarkan kisah-kisahnya. Akhirnya aku mendapatkan yang kudambakan selama bertahun-tahun. Tetapi saat aku telah mendapatkannya, jiwaku terasa sehampa kolam renang tak terawat, tempatku menggantungkan kaki saat itu. Saat senja tiba, istri-istri dan anak-anak perempuan menyiapkan hidangan makan malamnasi, kofta, dan qurma ayam. Kami menyantap makan malam dengan cara tradisional, duduk di atas bantal yang tersebar di ruangan. Makanan disajikan di atas nampan besar dan kami menyantapnya dengan tangan, dalam kelom-pok empat atau lima orang. Aku tidak merasa lapar namun aku tetap duduk menyantap makanan bersama Baba, Kaka Faruq, dan dua anak laki-laki Kaka Homayoun. Baba, yang sebelum makan malam sempat minum scotch, masih saja menggembar-gemborkan tumamen adu layang-layang, bagaimana aku mengalah-kan semua musuhku, bagaimana aku pulang dengan memboyong layang-layang terakhir. Suaranya yang menggelegar memenuhi ruangan. Orang-orang meng angkat kepala dari nampan mereka, meneriakkan ucapan selamat. Kaka Faruq menepuk-nepuk

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

punggungku dengan tangannya yang bersih. Aku merasa seperti sedang menusukkan sebilah pisau ke mataku sendiri. Selepas tengah malam, setelah beberapa jam bermain poker bersama Baba dan sepupusepupunya, para pria tidur berbaring pada matras yang disusun berjajar di ruang yang sama tempat kami menyantap makan malam. Para wanita naik ke lantai atas. Satu jam kemudian, aku belum juga tertidur. Hanya berguling-guling sambil mendengar para kerabatku men-desah, menghela napas, dan mendengkur dalam tidur mereka. Sambil terduduk, aku memerhatikan selarik cahaya bulan yang menerobos melalui jendela. "Aku melihat Hassan diperkosa," aku berkata dalam kesunyian. Baba membalikkan badan dalam tidumya. Kaka Homayoun mengerang. Sebagian dari diriku berharap seseorang terbangun dan mendengarku, sehingga aku tidak harus melanjutkan hidupku dengan dibebani kebohongan ini lagi. Tetapi tak ada yang terbangun, dan dalam kesunyian yang meliputi ruangan itu, aku menyadari kutukan baru yang menimpaku: Aku harus menanggung beban itu seumur hidupku. Aku memikirkan mimpi Hassan, tentang kami berdua yang berenang di danau. Tak ada monster, kata-nya, hanya ada air. Hanya saja, dia salah. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Temyata memang ada monster di danau itu. Monster itu men-cengkeram dan menarik pergelangan kaki Hassan, menenggelamkannya ke dasar danau yang suram. Monster itu adalah aku. Sejak malam itu aku menderita insomnia. Aku tidak bercakap-cakap dengan Hassan hingga pertengahan minggu selanjutnya. Aku sedang menyantap makan siang dan Hassan tengah mencuci piring. Saat aku akan naik ke lantai atas menuju kamarku, Hassan menanyakan, apakah aku mau mendaki bukit dengannya. Kukatakan padanya bahwa aku lelah. Hassan juga tampak lelah berat badannya berkurang dan lingkaran gelap membayangi matanya yang berkantung. Namun saat dia kembali mengajakku, dengan enggan aku menyetujui. Kami berjalan mendaki bukit, sepatu bot kami terbenam di salju yang berlumpur. Tidak ada yang berkata-kata. Kami duduk di bawah pohon delima dan aku tahu bahwa aku telah membuat kesalahan. Seharusnya aku tidak pernah mau mendaki bukit ber-sama Hassan. Kata-kata yang kupahat di pohon dengan pisau dapur Ali itu, Amir dan Hassan: SultanSultan Kabul ... aku tidak mampu lagi memandangnya sekarang. Hassan memintaku membacakan kisah dari Shahnamah untuknya, dan aku berkata, aku berubah pikiran. Aku hanya ingin kembali ke kamarku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia berpaling dan mengangkat bahu. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak sabar menunggu datangnya musim semi. Aku tidak lagi bisa mengingat dengan baik sisa musim dingin 1975 itu. Seingatku, aku merasa cukup bahagia saat Baba ada di rumah. Kami makan bersama, pergi ke bioskop, mengunjungi Kaka Homayoun dan Kaka Faruq. Terkadang Rahim Khan berkunjung ke rumah, dan Baba memperbolehkanku bergabung dengan mereka untuk duduk-duduk dan menghirup teh di ruang kerjanya. Dia bahkan memintaku membacakan beberapa cerita tulisanku untuknya. Rasanya menyenangkan dan aku bahkan meyakini bahwa keakrabanku dengan Baba akan berlangsung selamanya. Dan kupikir, Baba pun meyakini hal yang sama. Kami seharusnya saling mengenal dengan lebih baik. Selama kurang lebih sebulan setelah tumamen adu layang-layang itu, aku dan Baba bersinggungan dalam suatu ilusi yang manis, saling memandang dengan cara yang belum pernah kami lakukan sebelumnya. Meskipun sulit dipercaya, kami bahkan meyakini bahwa sebuah mainan yang terbuat dari kertas tisu, lem, dan bambu, dapat menyatukan jurang yang memisahkan kami.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Namun saat Baba tidak ada di rumah dan inilah yang lebih sering terjadi aku mengurung diri di kamar. Aku membaca sebuah buku hingga habis tiap dua hari, menulis cerita, belajar menggambar kuda. Setiap pagi, aku mendengar Hassan melakukan pekerjaannya di dapur, dentingan peralatan makan perak, dan siulan yang ditimbulkan air mendidih dalam cerek. Setelah mendengar Hassan meninggalkan dan menutup pintu dapur, aku pun turun untuk menyantap sarapan. Kulingkari tanggal masuk sekolah di kalenderku dan mulai kuhitung hari-hari yang harus kulalui. Aku merasa kesal karena Hassan terus mencoba memperbaiki hubungan kami. Aku ingat usahanya yang terakhir. Aku sedang berada di kamarku, membaca novel Ivanhoe yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Farsi, saat Hassan mengetuk pintu. "Ada apa?" "Aku akan ke tukang roti untuk membeli naan," dia berkata dari balik pintu. "Aku pikir mungkin ... mungkin kau mau pergi bersamaku." "Kupikir aku ingin membaca saja," kataku sambil memijit kening. Akhirakhir ini, setiap kali Hassan berada di dekatku, aku mendapatkan sakit kepala. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Hari ini sangat cerah," katanya. "Aku tahu." "Sepertinya jalan-jalan akan menyenangkan." "Pergilah." "Aku berharap kau mau pergi denganku," katanya. Dia terdiam. Sesuatu terantuk ke pintu, mungkin keningnya. "Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan, Amir agha. Kuharap kau mengatakannya padaku. Aku tidak tahu kenapa kau tidak mau lagi bermain denganku." "Kau tidak melakukan apa-apa, Hassan. Pergi sajalah." "Kau bisa memberitahuku. Aku tidak akan melakukannya lagi." Aku membenamkan kepalaku ke pangkuan, menekankan keningku ke lutut, seperti sekrup. "Akan kuberi tahu apa yang aku ingin tidak kau lakukan lagi," kataku sambil memejamkan mata. "Katakanlah saja." "Aku ingin kau berhenti mengusikku. Aku ingin kau pergi!" Aku membentaknya. Kuharap dia membalasku saat itu juga, mendobrak pintu kamarku dan memaki-maki diriku itu akan membuat segalanya lebih mudah, lebih baik. Tapi dia tidak melakukannya, dan saat aku membuka pintu beberapa menit kemu-dian, dia sudah tidak ada di sana. Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur, membenamkan kepalaku ke tumpukan bantal, dan menangis. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Setelah kejadian itu, Hassan lalu lalang di luar kehidupanku. Aku memastikan jalan kami bersinggungan sesedikit mungkin, merencanakan kegiatan yang akan kulakukan sehari-hari, tanpa harus melibatkan Hassan. Karena setiap kali dia berada di dekat-ku, sepertinya oksigen terserap keluar dari kamarku. Dadaku sesak dan aku tidak bisa menarik napas dengan baik; aku hanya akan berdiri, susah payah mencoba bemapas di dalam ruangan kedap udara. Jejak Hassan tertinggal pada bajuku yang diletakkan di bangku tinggi, yang dicuci dengan tangannya dan disetrika olehnya, pada sandal rumah yang selalu tersedia di depan pintu kamarku, pada kayu yang terbakar di tungku saat aku turun untuk menyantap sarapan. Kemana pun aku berpaling, aku melihat tanda-tanda kesetiaannya, kesetiaan tanpa syarat keparatnya. Di awal musim semi itu, beberapa hari sebelum tahun ajaran baru dimulai, aku dan Baba merencanakan untuk menanam tulip di kebun. Sebagian besar salju telah mencair dan perbukitan di utara telah diwamai titik-titik hijau rerumputan. Pagi itu dingin dan kelabu, dan Baba berjongkok di dekatku, meng-gali tanah dan menanam umbi tulip yang kusodorkan padanya. Dia memberitahuku bahwa kebanyakan orang berpikir bahwa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menanam tulip lebih baik di-lakukan di musim gugur, meskipun sebenamya pen-dapat mereka itu salah. Saat dia sedang bercerita, aku memotongnya dengan kalimatku, "Baba, pernahkah Baba berpikir untuk mencari pelayan baru?" Baba menjatuhkan umbi tulip dan menimbunnya dengan tanah. Dia melepas sarung tangan berkebunnya. "Chi? Kau bilang apa?" "Aku hanya berpikir saja." "Kenapa aku ingin melakukannya?" tukas Baba dengan ketus. "Baba tidak akan melakukannya, kupikir begitu. Itu cuma pertanyaan biasa," kilahku, suaraku melemah menjadi sekadar bisikan. Aku menyesal mengatakan-nya. "Apakah ini tentang masalahmu dan Hassan? Aku tahu ada yang tak beres dengan kalian, tapi apa pun itu, kalian sendiri yang harus menyelesaikannya, bukan aku. Aku tidak akan ikut campur." "Maaf, Baba." Baba kembali mengenakan sarung tangannya. "Aku tumbuh besar bersama Ali," katanya dengan gigi terkatup. "Ayahkulah yang membawanya ke keluarga ini, mencintainya seperti anaknya sendiri. Ali telah 40 tahun bersama keluarga kita. 40 tahun! Dan kaupikir, akan semudah itu aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengusimya?" Baba menatapku, wajahnya semerah bunga tulip. "Aku tidak pernah memukulmu, Amir, tapi kalau sekali lagi kau mengatakannya Baba memalingkan wajah, menggelengkan kepalanya. "Kau membuatku malu. Dan Hassan ... Hassan tidak akan kemana-mana, mengerti?" Aku menunduk dan memungut segenggam tanah dingin. Menekannya hingga lolos melalui sela-sela jariku. "Aku bilang, apa kau mengerti?" Baba membentakku. Aku terkejut. "Ya, Baba." Kami menanam sisa umbi tulip itu dalam keheningan. Ketika sekolah dimulai minggu berikutnya, aku merasa lega. Para siswa, dengan membawa buku-buku tulis baru dan pensil-pensil yang teraut runcing berkumpul di halaman sekolah, menendangi tanah kering yang berdebu, mengobrol dalam kelompok-kelompok, menunggu siulan peluit dari ketua kelas. Baba mengantarku hingga ke jalan kotor menuju gerbang sekolah. Bangunan sekolah tua itu bertingkat dua, dengan kaca-kaca jendela yang pecah, koridor suram berlantai batu, dan sisa-sisa cat berwama kuning pucat yang masih tampak di sela-sela lapisan semen yang mengelupas. Kebanyakan siswa berjalan ke sekolah, sehingga Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Mustang hitam Baba menimbulkan tatapan-tatapan iri. Seharusnya aku meledak karena rasa bangga saat keluar dari mobil Baba diriku yang dulu akan merasa begitu-namun yang saat itu kurasakan, diriku diselimuti selubung tipis rasa malu. Rasa malu dan kehampaan. Baba meninggalkanku tanpa mengucapkan selamat tinggal. Aku langsung berdiri dalam barisan, melewatkan tradisi saling membandingkan luka-luka sisa tumamen adu layang-layang. Saat bel berbunyi, kami berbaris dua-dua menuju ke kelas. Aku duduk di bangku belakang. Saat guru kami yang berbahasa Farsi membagikan buku-buku pelajaran, aku berdoa supaya dia memberi kami banyak PR. Sekolah memberiku alasan untuk berlama-lama tinggal di kamar. Dan, untuk sementara, aku berhasil mengalihkan pikiranku dari peristiwa musim dingin itu. Peristiwa yang telah kubiarkan terjadi. Selama beberapa minggu, aku menyibukkan diri dengan mempelajari gravitasi dan momentum, atom dan sel, perang Anglo Afghan, supaya aku tidak memikirkan Hassan dan peristiwa yang menimpanya. Tetapi, seperti yang selalu terjadi, pikiranku kembali terbang ke gang itu. Pada celana korduroi cokelat yang tergeletak di atas tum-pukan batu bata. Pada tetesan darah yang menodai salju dengan wama merah gelap kehitaman. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Pada suatu siang yang terik di awal musim panas itu, aku mengajak Hassan mendaki bukit. Kukatakan padanya bahwa aku ingin membacakan untuknya cerita yang baru kutulis. Saat itu, Hassan sedang menjemur baju di halaman. Aku bisa melihat, ajakanku membuatnya begitu bersemangat menyelesaikan pekerjaannya. Kami mendaki bukit sambil berbasa-basi. Dia menanyakan tentang sekolah, pelajaranku, dan aku menceritakan padanya tentang guruguruku, terutama guru matematika kejam yang suka menghukum muridmurid yang terlalu banyak bicara dengan menyelipkan tongkat logam di sela-sela jari mereka lalu menjepitnya dengan keras. Hassan mengemyitkan muka mendengar ceritaku, katanya, dia berharap tidak akan pernah mengalami hal seperti itu. Kataku, sejauh ini aku beruntung, meskipun aku tahu bahwa keberuntungan tidak ada hubungannya dengan hukuman itu. Aku sering me-ngob-rol di kelas. Tetapi semua orang mengenal ayah-ku yang kaya. Aku pun selalu selamat dari hukuman tongkat logam. Kami duduk bersandar pada tembok rendah pemakaman, di bawah naungan pohon delima. Dalam satu atau dua bulan, hamparan rerumputan yang kuning kekeringan akan menyelimuti bagian bukit itu, namun musim semi tahun itu bertahan lebih lama dari-pada biasanya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Hingga awal musim panas, rerumputan masih menghijau, dengan diselingi rumpun-rumpun bunga liar di sana-sini. Di bawah kami, jajaran rumah bertembok putih dan beratap datar di Wazir Akbar Khan berkilauan memantulkan cahaya matahari. Angin meniup lembut kain-kain cucian yang ter-gantung pada jemuran di halaman rumah-rumah itu, membuatnya menari bagaikan kupu-kupu. Kami memetik selusin buah delima dari pohonnya. Aku membuka lipatan kertas berisi cerita yang kubawa, memandangi halaman pertamanya, lalu meletakkannya. Aku berdiri dan memungut buah delima masak yang jatuh ke tanah. "Apa yang akan kaulakukan kalau aku melempar-mu dengan ini?" kataku seraya mempermainkan buah delima itu. Hassan tersenyum lemah. Dia terlihat lebih tua dari yang kuingat. Bukan, bukan lebih tua, dia ter-lihat tua. Mungkinkah itu? Garis-garis tersirat di wajah-nya yang kecokelatan dan kerutan-kerutan terlihat di sekeliling mata dan mulutnya. Seolah-olah aku sen-diri yang mengambil pisau dan mengguratkan garis-garis itu. "Apa yang akan kaulakukan?" ulangku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Wajahnya tak lagi berwama. Di dekatnya, kertas bertuliskan cerita yang kujanjikan akan kubaca u, beterbangan ditiup angin. Aku melemparkan buah untuknya delima itu pada Hassan. Tepat mengenai dadanya, pecah dan menyebarkan butiran-butiran biji semerah darah. Keterkejutan dan kesakitan menyatu dalam teriakan Hassan. "Balas aku!" bentakku. Tatapan Hassan beralih dari noda di dadanya kepadaku. "Ayo bangun! Lempari aku!" jeritku. Hassan memang berdiri, namun dia hanya terdiam, terlihat kebingungan, bagaikan seseorang yang tiba-tiba terseret ombak ke tengah lautan, ketika sesaat sebelumnya dia sedang menikmati jalan-jalan santai di pantai. Kulemparkan satu lagi buah delima pada Hassan, kali ini tepat menimpa bahunya. Cairan semerah darah menciprat ke wajahnya. "Balas aku!" teriakku. "Balas aku, sialan!" Aku berharap dia membalasku. Aku berharap dia memberiku hukuman yang kudambakan, yang mungkin akhirnya akan membuatku tertidur malam itu. Mungkin dengan begitu, semua hal di antara kami akan kembali normal. Namun, bahkan saat aku melontarkan buah-buah delima itu kepada Hassan, lagi dan lagi, Hassan tidak berbuat

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

apa-apa. "Dasar pengecut!" ujarku. "Kau memang hanya pengecut keparat!" Aku tak tahu lagi telah berapa kali melemparinya. Yang kutahu, saat akhirnya aku berhenti, kelelahan dan terengah-engah, tubuh Hassan berlumuran cairan merah, seolah-olah satu regu penembak menembakinya. Aku jatuh bersimpuh, letih, lemah, frustrasi. Lalu Hassan benar-benar memungut sebutir delima dan berjalan menghampiriku. Dia membelah buah itu dan menekankannya ke keningnya. "Lihatlah," serunya parau. Cairan merah bagaikan darah mengaliri wajahnya. "Kau puas? Merasa lebih baik?" Hassan membalikkan badannya dan berlari menuruni bukit. Kubiarkan air mataku mengalir deras, kuayunkan tubuhku yang terduduk memeluk lutut. "Apa yang harus kulakukan denganmu, Hassan? Apa yang harus kulakukan denganmu?" Namun saat air mataku mengering dan aku berjalan pelahan menuruni bukit, aku telah mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. + Pada musim panas 1976, musim panas terakhir yang diselimuti kedamaian dan ketenangan, aku merayakan ulang tahunku yang ke 13. Hubunganku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dengan Baba telah kembali mendingin. Kupikir, komentar konyol yang kukatakan saat kami menanam tulip, tentang mencari pelayan baru, itulah penyebabnya. Aku menyesal telah mengatakannya aku benar-benar menyesal namun kurasa, meskipun aku tidak mengatakannya, kebahagiaan kecil kami akan tiba pada titik akhir. Mungkin memang tidak akan secepat itu, tetapi tetap akan berakhir. Pada akhir musim panas, suara gesekan sendok dan garpu pada piring telah meng-gantikan percakapan makan malam dan Baba kembali pada kebiasaan lamanya, segera kembali ke ruang kerjanya seusai menyantap makanan. Dan menutup pintu ruang kerjanya. Aku kembali menghabiskan waktu dengan membaca karya-karya Hafez dan Khayyam, menggigiti kuku, menulis cerita. Kisah-kisah hasil karyaku tertumpuk rapi di kolong tempat tidur. Aku menyimpannya dengan harapan, meskipun aku meragukannya, bahwa suatu hari nanti Baba akan memintaku membacakan cerita-cerita itu untuknya. Prinsip Baba dalam menyelenggarakan pesta adalah: Bukan pesta kalau kau tidak mengundang semua orang di seluruh dunia. Aku mengingat saat seminggu sebelum pesta ulang tahunku, aku mengamati daftar undangan tanpa mengenali setidaknya tiga perempat dari 400 orang yang diundang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

belum termasuk para Kaka dan Khala yang akan menghujaniku dengan hadiah dan ucapan selamat karena aku telah berhasil menjalani hidup hingga 13 tahun. Saat itulah aku menyadari bahwa para tamu itu tidak benar-benar datang karena aku. Saat itu memang ulang tahunku, namun aku tahu bintang yang sebenamya dalam acara itu. Selama berhari-hari, rumah dipenuhi dengan orang-orang yang dibayar Baba untuk mempersiapkan pesta. Salahuddin si tukang jagal, yang muncul dengan diikuti barisan seekor sapi muda dan dua ekor domba, menolak pembayaran ketiga binatang itu. Dia menyembelih hewan-hewan itu di bawah pohon poplar di halaman. "Darah bagus untuk pohon," itulah yang dikatakannya saat hamparan rumput di sekeliling pohon itu basah oleh merahnya darah. Pria-pria yang tidak kukenal memanjati pohon ek, memasang bermeter-meter rangkaian kabel berlampu mungil. Orangorang lain menata meja-meja di halaman dan membentangkan taplak meja di atasnya. Malam hari sebelum pesta besar perayaan ulang tahunku dilaksanakan, seorang kawan Baba, Del Muhammad, yang memiliki rumah makan di Shar e Nau, datang dengan membawa berkantungkantung rempah-rempah. Seperti si jagal, Del Muhammad Baba lebih suka memanggilnya Dello menolak pem-bayaran untuk pemberiannya itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Katanya, Baba telah cukup banyak menolong keluarganya. Saat Dello membumbui daging, Rahim Khan membisikkan padaku bahwa Baba telah meminjamkan modal pada Dello untuk membuka restorannya. Baba menolak pembayaran utang Dello, hingga suatu ketika, pria itu muncul dengan mobil Mercedes Benznya, menutup jalan masuk rumah kami, dan bersikeras tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Baba menerima uangnya. Kupikir, secara umum, setidaknya untuk ukuran sebuah pesta, perayaan ulang tahunku sukses luar biasa. Rumahku belum pernah sepenuh itu sebelumnya. Para tamu, dengan membawa gelas berisi minuman, mengobrol di aula, merokok di tangga, bersandar pada pintu. Mereka duduk dimana pun mereka menemukan tempat yang tersisa, di meja dapur, di koridor, bahkan di bawah tangga. Di halaman belakang, mereka berbaur di bawah cahaya biru, merah, dan hijau yang berkelap-kelip di pepohonan. Wajah-wajah mereka memantulkan sinar dari lampu minyak yang diletakkan di berbagai tempat. Atas permintaan Baba, sebuah panggung didirikan di balkon yang mengarah ke taman, dan pengeraspengeras suara diletakkan di sepanjang halaman. Di panggung itu, Ahmad

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Zahir menyanyi dan memainkan akordeon di hadapan para penonton yang berjoget gembira. Aku harus menyalami sendiri setiap tamu yang datang Baba memastikan hal itu; tak boleh ada seorang pun yang menggosipkan cara Baba membesarkan anak lelakinya yang tidak tahu sopan santun keesokan harinya. Aku mencium ratusan pipi, memeluk orang-orang yang sama sekali tidak kukenal, mengucapkan terima kasih atas hadiah yang mereka berikan. Wajahku terasa pegal karena terlalu lama menahan senyuman. Aku dan Baba berdiri di dekat meja minuman di halaman ketika seseorang memberiku ucapan, "Selamat ulang tahun, Amir." Ucapan itu berasal dari Assef dan kedua orangtuanya. Mahmood, ayah Assef, bertubuh pendek dan kurus, dengan kulit gelap dan wajah tirus. Tanya, ibunya, seorang wanita penggugup bertubuh kecil yang senantiasa tersenyum dan menge-dipkan mata. Assef berdiri di antara mereka, menye-ringai, tubuhnya menjulang melampaui tinggi badan keduanya, lengannya merangkul pundak mereka. Dia membimbing kedua orangtuanya menghampiriku, seolah-olah dia yang membawa mereka kemari. Seolah-olah dialah orang tua mereka, dan mereka adalah anak-anaknya. Gelombang rasa pusing menerpaku. Baba mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku memilih sendiri hadiah untukmu," kata Assef. Wajah Tanya mengerut dan matanya berjengit, tatapannya melayang dari Assef kepadaku. Dia tersenyum, meskipun tidak terlihat meyakinkan, dan kembali mengedipkan mata. Aku bertanya-tanya apakah Baba memerhatikannya. "Masih bermain sepak bola, Assef jan?" sapa Baba. Dia selalu berharap aku bisa berteman dengan Assef. Assef menyunggingkan senyum. Menakutkan sekali melihat Assef menampilkan senyuman palsu yang terlihat begitu tulus. "Tentu saja, Kaka jan." "Gelandang kanan, bukan?" "Sebenamya, saya bertukar posisi sebagai penye-rang tengah tahun ini," kata Assef. "Posisi itu memung-kinkan kami mencetak gol lebih banyak. Kami akan melawan tim Mekro-Rayan minggu depan. Seperti-nya akan jadi pertandingan yang seru. Pemain mereka bagus-bagus." Baba mengangguk. "Kau tahu, Nak, saat aku muda dulu, aku juga bermain sebagai penyerang tengah." "Saya yakin Kaka masih bisa bermain jika mau," balas Assef. Dia mengedipkan satu matanya untuk Baba.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Baba balas mengedipkan satu matanya. "Aku tahu ayahmu telah mengajarkan cara menyanjungnya yang terkenal di seluruh dunia." Baba menyikut ayah Assef, hampir menjatuhkan pria kecil itu. Tawa Mahmood sama meyakinkannya dengan senyum Tanya, dan seketika itu sesuatu terlintas di benakku, mungkin, pada tingkat tertentu, Assef membuat kedua orang-tua-nya ketakutan. Aku berusaha menampilkan senyuman, namun sejauh itu, yang bisa kulakukan hanyalah mengangkat sudut-sudut bibirku dengan lemah perutku bergejolak saat kulihat ayahku begitu akrab dengan Assef. Assef mengalihkan tatapannya padaku. "Wali dan Kamal juga ada di sini. Mereka tidak mungkin melewatkan pesta ulang tahunmu," katanya sambil tetap menyunggingkan senyum palsu. Aku mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. "Kami berencana untuk bermain bola voli besok di rumahku," kata Assef. "Mungkin kau bisa ikut ber-main bersama kami. Ajak saja Hassan kalau kau mau." "Kedengarannya menyenangkan," kata Baba sam-bil tersenyum lebar. "Bagaimana, Amir?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tidak begitu suka bola voli," gumamku. Binar di mata Baba segera meredup, disusul kesunyian yang membuat tidak nyaman. "Maaf, Assef jan," Baba mengangkat bahu. Per-mohonan maaf Baba atas kelakuanku itu mem-buatku tersengat. "Tidak apa-apa, tidak masalah," kata Assef. "Tapi undanganku tetap berlaku, Amir jan. Oh ya, kudengar kau suka membaca, jadi aku menghadiahkan sebuah buku untukmu. Buku ini adalah salah satu kesukaanku." Dia menyodorkan sebuah bingkisan padaku. "Selamat ulang tahun." Assef mengenakan kemeja katun dan ikat ping-gang biru, dasi sutra merah dan sepatu hitam yang disemir mengkilap. Aroma cologne menyeruak dari tubuhnya dan rambut pirangnya disisir rapi ke belakang. Dari luar, dia memang terlihat bagaikan perwujudan mimpi setiap orangtua. Seorang anak laki-laki yang gagah, tinggi, berpakaian rapi dan sopan, berbakat dan berpenampilan memikat, belum lagi kemampuannya untuk bergaul dengan baik di kalangan orang dewasa. Namun bagiku, pancaran di mata Assef tidak mencerminkan semua hal itu. Saat aku memandang kedua matanya, kepalsuan itu memudar, menampilkan kilatan kegilaan yang tersembunyi di baliknya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Apa kau tidak menginginkannya, Amir?" kudengar Baba mengatakannya. "Hah?" "Kadomu," Baba mulai kesal. "Assef jan memberimu hadiah." "Oh," ujarku. Aku menerima bingkisan dari Assef tanpa memandangnya. Kuharap aku sendirian di kamar-ku, hanya ditemani buku-bukuku, menjauh dari semua orang ini. "Nah?" kata Baba. "Apa?" Baba berbicara dengan nada rendah, nada yang digunakannya saat aku mempermalukan dirinya di depan umum. "Tidakkah kau ingin mengucapkan terima kasih pada Assef jan? Dia sudah sangat baik padamu." Kuharap Baba berhenti memanggilnya dengan sebutan itu. Seberapa sering dia memanggilku dengan sebutan "Amir jan"? "Terima kasih," ujarku. Ibu Assef memandangku, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak mengatakannya, dan aku baru menyadari bahwa selama keluarga itu berdiri di depan kami, orangtua Assef belum pernah mengucapkan satu kata pun. Sebelum aku kembali mempermalukan diriku dan Baba tapi terutama Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

untuk menghin-dari Assef dan seringaiannya aku segera beranjak dari tempat itu. "Terima kasih atas kedatanganmu," ucapku. Aku menerobos kerumunan tamu dan menyelinap melewati pagar besitempa. Berjarak dua rumah dari rumah kami, terdapat tanah kosong yang luas. Aku pernah mendengar Baba mengatakan pada Rahim Khan bahwa seorang hakim telah membeli tanah itu dan seorang arsitek sedang mengerjakan desain bangun-annya. Namun saat itu, tanah itu masih kosong; hanya ada sampah, bebatuan, dan rerumputan. "Nah?" kata Baba. "Apa?" Baba berbicara dengan nada rendah, nada yang digunakannya saat aku mempermalukan dirinya di depan umum. "Tidakkah kau ingin mengucapkan terima kasih pada Assef jan? Dia sudah sangat baik padamu." Kuharap Baba berhenti memanggilnya dengan sebutan itu. Seberapa sering dia memanggilku dengan sebutan "Amir jan"? "Terima kasih," ujarku. Ibu Assef memandangku, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak mengatakannya, dan aku baru me-nyadari bahwa selama keluarga itu berdiri di depan kami, orangtua Assef belum pernah mengucapkan satu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kata pun. Sebelum aku kembali mempermalukan diriku dan Baba-tapi terutama untuk menghindari Assef dan seringaiannya aku segera beranjak dari tempat itu. "Terima kasih atas kedatanganmu," ucapku. Aku menerobos kerumunan tamu dan menyelinap melewati pagar besitempa. Berjarak dua rumah dari rumah kami, terdapat tanah kosong yang luas. Aku pernah mendengar Baba mengatakan pada Rahim Khan bahwa seorang hakim telah membeli tanah itu dan seorang arsitek sedang mengerjakan desain bangun-annya. Namun saat itu, tanah itu masih kosong; hanya ada sampah, bebatuan, dan rerumputan. Aku menyobek kertas pembungkus hadiah Assef dan mengamati sampul buku itu di bawah cahaya bulan. Buku itu berisi biografi Hitler. Aku membuangnya di antara semak-semak dan rerumputan. Aku bersandar pada tembok rumah sebelah, membiarkan tubuhku terduduk di tanah. Hanya itulah yang kulakukan, duduk di sana selama beberapa saat, menarik lututku ke dada, memandangi bintang-bintang, menanti datangnya akhir dari malam itu. "Bukankah kau sebaiknya menghibur tamu-tamumu?" sebuah suara yang telah akrab di telingaku menyapa. Rahim Khan berjalan mendekatiku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Mereka tidak membutuhkanku. Ada Baba, kan?" kataku. Butiran-butiran es dalam gelas minuman Rahim Khan berdenting saat dia mendudukkan diri di sebelahku. "Aku tak tahu kau juga minum itu." "Temyata aku suka," katanya seraya menyikutku pelan. "Tapi hanya saat peristiwa penting." Senyumku mengembang. "Terima kasih." Dia bersulang untukku dan meneguk minumannya. Sambil menyalakan sebatang rokok kretek produksi Pakistan yang selalu diisapnya bersama Baba, Rahim Khan berkata, "Pemahkah aku memberitahumu bahwa sekali waktu, aku pernah hampir menikah?" "Benarkah?" ucapku, aku sedikit tersenyum membayangkan Rahim Khan menikah. Aku selalu menganggapnya sebagai kepribadian yang lebih tenang dari diri Baba, mentor menulisku, sahabatku, sese-orang yang tidak pernah lupa menghadiahkan saughat, oleh-oleh dari luar negeri, untukku. Tapi sebagai seorang suami? Seorang ayah? Dia mengangguk. "Benar. Saat itu umurku 18 tahun. Namanya Homaira. Dia adalah seorang Hazara, anak perempuan pelayan tetanggaku. Gadis itu secantik pari, rambutnya cokelat terang, mata lebamya yang berwama cokelat kehijauan selalu berbinar ... dan tawa-nya ... hingga saat ini, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

terkadang aku masih mendengamya." Rahim Khan memutar-mutar gelasnya. "Kami biasa bertemu diam-diam di kebun apel ayahku, selalu setelah tengah malam saat semua orang telah lelap tertidur. Kami berjalan di bawah pepohonan dan aku menggenggam tangannya .... Apa aku membuatmu malu, Amir jan?" "Sedikit," kataku. "Ini tidak akan membuatmu mati," katanya sam-bil mengepulkan asap rokok. "Omong-omong, aku selalu berkhayal. Kami melangsungkan pesta pemikahan mewah dan mengundang kerabat dan kawan-kawan dari Kabul dan Kandahar. Aku akan membangun rumah yang luas, bercat putih, dengan jendela-jendela lebar. Kami akan menanam pohon buah-buahan dan berbagai macam bungabungaan di taman, memiliki halaman tempat bermain anak-anak kami. Pada hari Jumat, setelah menunaikan shalat Jumat di masjid, semua kerabat akan berkumpul di rumah kami untuk menyantap makan siang di taman, di bawah pohon-pohon ceri, dengan air minum segar yang langsung diambil dari sumur. Lalu sambil me-merhatikan anak-anak kami bermain bersama sepupu-sepupu mereka, kami akan menyesap teh sambil menikmati gula-gula Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Rahim Khan meneguk scotch-nya. Dia terbatuk. "Kau seharusnya melihat ekspresi wajah ayahku saat aku menceritakan hal ini padanya. Ibuku bahkan benar-benar jatuh pingsan. Saudara-saudara perempuanku mencipratkan air ke wajahnya. Mereka mengipasinya dan menatapku tajam, seolah-olah aku telah memotong tenggorok-an mereka. Kalau ayahku tidak segera menghentikannya, kakakku, Jalai, akan menembakkan senapan berburunya." Tawa pahit Rahim Khan meledak. "Hanya ada aku dan Homaira melawan seluruh dunia. Dan aku memberitahumu, Amir jan: Pada akhirnya, dunia akan selalu menang. Begitulah dunia berjalan." "Jadi, apa yang terjadi selanjutnya?" "Pada hari yang sama, ayahku menumpangkan Homaira dan keluarganya ke lori dan mengirim mereka ke Hazarajat. Aku tak pernah melihat mereka lagi." "Aku turut bersedih," ucapku. "Tetapi, mungkin memang begitulah yang terbaik," Rahim Khan mengangkat bahu. "Dia akan menderita. Keluargaku tidak akan menganggap dia setara dengan mereka. Seseorang yang sehari sebelumnya menyemir sepatumu, tidak mungkin menjadi 'saudara perempuanmu'

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

keesokan harinya." Dia memandangku. "Kau tahu, kau bisa menceritakan apa pun yang ingin kauceritakan padaku, Amir jan. Kapan pun kau mau." "Aku tahu," kataku tak yakin. Rahim Khan memandangku begitu lama, seolah-olah menungguku mengucapkan sesuatu, mata hitamnya yang dalam me-mancingku untuk mengungkapkan rahasiaku. Selama sesaat, aku hampir memberitahunya. Hampir mengatakan segalanya pada Rahim Khan, tapi, setelah aku mengatakannya, bagaimana anggapannya padaku? Dia akan membenciku, dan aku tidak bisa menyalah-kannya. "Ini." Dia menyodorkan sesuatu padaku. "Aku hampir lupa. Selamat ulang tahun." Hadiah dari Rahim Khan berupa buku catatan bersampul kulit. Kusapukan jariku pada jahitan benang emas di tepi sampulnya. Kuhirup aroma kulit yang menyeruak. "Untuk kisah-kisahmu," katanya. Aku baru akan mengucapkan terima kasih padanya, saat suara ledakan membahana dan nyala api menerangi langit. "Kembang api!" Kami segera kembali ke rumah dan mendapati semua tamu berdiri di halaman, menatap ke langit. Lolongan dan teriakan anak-anak mengiringi setiap

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ledakan dan desiran. Orang-orang bersorak, bertepuk tangan setiap kali sebuah kembang api meluncur dan meledak menjadi rangkaian bunga api. Setiap beberapa detik, halaman belakang diterangi oleh kilatan wamawama merah, hijau, dan kuning. Dalam salah satu kilatan cahaya itu, aku melihat sesuatu yang tak akan mungkin kulupakan: Hassan sedang menyajikan minuman dengan nampan perak pada Assef dan Wali. Kegelapan, satu desisan, satu ledakan, dilanjutkan dengan satu kilatan cahaya Jingga: Assef menyeringai, menyodokkan kepalannya ke dada Hassan. Lalu, untunglah, kegelapan. Sembilan Keesokan paginya, aku duduk di kamarku membuka satu demi satu hadiah-hadiahku. Aku tak tahu mengapa aku masih bisa peduli dan bersusah payah seperti itu, karena yang akan kulakukan hanyalah memandang hadiah-hadiah itu tanpa gairah lalu menimbunnya di sudut kamarku. Tumpukan hadiah itu semakin tinggi: kamera Polaroid, radio transistor, satu set mainan kereta api elektrik dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

beberapa amplop berisi uang tunai. Aku tahu, aku tidak akan membelanjakan uang itu atau mendengarkan radio itu, dan kereta api elektrik itu tidak akan pernah berjalan pada lintasannya di kamarku. Aku tidak mengingin-kan semua benda itu tidak ada yang diberikan dengan tulus; Baba tidak akan pernah menyelenggarakan pesta untukku jika aku tidak memenangkan tumamen itu. Baba memberiku dua hadiah. Yang pertama, a-ku yakin, akan membuat iri semua anak di lingkunganku: Schwinn Stingray baru, raja semua sepeda. Hanya beberapa anak di Kabul yang memiliki Stingray baru, dan aku termasuk salah satu dari mereka. Sepeda itu memiliki pegangan tinggi berlapis karet hitam dan dudukan berbentuk pisang yang terkenal. Palangnya berwama emas dan rangka bajanya berwama merah, seperti manisan apel berlapis gula. Atau darah. Semua anak selain aku akan segera melompat ke sepeda itu dan mencobanya berkeliling. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama beberapa bulan yang lalu. "Kau suka?" kata Baba, bersandar di ambang pintu kamarku. Aku tersenyum kecil dan dengan cepat mengucapkan, "Terima kasih." Seandainya aku bisa lebih tulus.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kita bisa mencobanya," kata Baba. Sebuah ajakan, disampaikan dengan setengah hati. "Nanti saja. Aku sedikit lelah," kataku. "Pasti," kata Baba. "Baba?" "Ya?" "Terima kasih atas kembang apinya," kataku. Sebuah ucapan terima kasih, disampaikan dengan setengah hati. "Istirahatlah," kata Baba sambil berlalu menuju kamamya. Hadiah kedua yang diberikan Baba padaku dan dia tidak menyertaiku saat aku membukanya adalah sebuah arloji. Permukaan arloji itu biru dan jarum penunjuknya berbentuk kilatan petir berwama keemasan. Aku bahkan tidak mencobanya. Aku melemparkannya ke sudut, bergabung bersama hadiah-hadiah lain. Satu-satunya hadiah yang tidak kulemparkan ke dalam timbunan itu adalah buku catatan bersampul kulit dari Rahim Khan. Perasaanku mengatakan, itulah satu-satunya hadiah untukku yang diberi-kan dengan tulus. Aku duduk di tepi tempat tidurku, menimang-nimang buku catatan itu, memikirkan Rahim Khan dan perkataannya tentang Homaira, bahwa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kepergi-an gadis itu yang disebabkan oleh ayahnya akhirnya menjadi keputusan yang terbaik. Dia akan menderita. Seperti ketika proyektor Kaka Homayoun macet sehingga menampilkan slide yang sama terus-menerus, gambar yang sama berkelebat di benakku terus-menerus: Hassan, dengan kepala tertunduk, menyajikan minuman pada Assef dan Wali. Mungkin ini akan menjadi keputusan terbaik. Meringankan penderita-annya. Dan penderitaanku juga. Dengan kata lain, jalan keluar dari masalah ini begitu jelas: Salah satu dari kami harus pergi. Siang harinya, aku mengendarai Schwinnku untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Kuayuh pedal sepeda itu berkeliling blok beberapa kali. Aku menga-yuhnya ke halaman belakang, tempat Hassan dan Ali membereskan kekacauan sisa pesta malam sebelumnya. Gelas-gelas kertas, gumpalan-gumpalan tisu makan, dan botol-botol soda kosong mengotori halaman. Ali sedang melipat kursi-kursi, menatanya di sepanjang dinding. Dia melihatku dan melambaikan tangan. "Assalamu 'alaikum, Ali," kataku sambil membalas lambaiannya. Dia mengacungkan jarinya, memintaku menunggu, dan berjalan memasuki pondok tempat tinggalnya. Sesaat kemudian, dia keluar sambil membawa sesuatu. "Semalam, aku dan Hassan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tidak sempat memberikannya untukmu," katanya sambil menyodorkan sebuah bingkisan. "Harganya murah dan tidak pantas dihadiahkan untuk orang sepertimu, Amir agha. Tapi kami harap, kau tetap menyukainya. Selamat ulang tahun." Tenggorokanku terasa tercekat. "Terima kasih, Ali," ucapku. Aku berharap mereka tidak membelikan apa pun untukku. Aku membuka kotaknya dan menatap buku Shahnamah baru, bersampul keras dengan ilustrasi mengilap di dalamnya. Terdapat gambar Ferangis yang sedang memerhatikan putranya, Kai Khosrau, yang baru lahir, gambar Afrasiyab yang sedang mengendarai kudanya dengan pedang terhunus, memimpin pasukannya. Dan, tentu saja, Rostam yang sedang menusukkan pedang ke tubuh anak lelakinya, sang pejuang Sohrab. "Ini buku yang cantik," kataku. "Kata Hassan, buku milikmu sudah usang dan rusak, dan beberapa halamannya telah hilang," ujar Ali. "Semua gambar-gambar dalam buku ini digambar tangan dengan menggunakan pena dan tinta," tambahnya dengan bangga, menatap lekat-lekat buku yang tidak bisa dibaca baik olehnya ataupun anak-nya. "Benar-benar indah," kataku. Dan memang benar. Dan, menurut perkiraanku, sama sekali tidak murah. Aku ingin memberi tahu Ali bahwa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bukan buku itu yang tidak pantas dihadiahkan padaku, namun akulah yang tidak pantas menerimanya. Aku melompat kem-bali ke sepedaku. "Sampaikan terima kasihku untuk Hassan," kataku. Akhirnya aku melemparkan buku itu ke tumpukan hadiah di sudut kamarku. Namun, karena aku tak mampu menahan mataku untuk kembali menatapnya, aku meletakkannya di dasar tumpukan. Sebelum aku tertidur malam itu, aku menanyakan pada Baba, apakah dia melihat arloji baruku. Keesokan paginya, dari kamarku, aku menunggu Ali membersihkan sisasisa sarapan di dapur. Aku menunggunya mencuci semua piring kotor dan mengelap meja dapur. Aku melongok melalui jendela kamarku dan menunggu hingga Ali dan Hassan pergi berbelanja ke pasar, berdua mendorong gerobak yang masih kosong. Aku mengambil beberapa amplop berisi uang tunai dan arloji baruku dari tumpukan hadiah, lalu berjinkat keluar. Di depan pintu ruang kerja Baba, aku ber-henti dan selama beberapa saat berusaha mendengar suara yang berasal dari dalam ruangan itu. Baba mengurung diri di sana sepanjang pagi, menelepon rekan-rekannya. Saat itu Baba sedang berbicara dengan seseorang tentang pengiriman permadani yang diharapkan tiba minggu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

selanjutnya. Aku menuruni tangga, melintasi halaman, dan memasuki tempat tinggal Ali dan Hassan yang terletak di bawah pohon loquat. Aku mengangkat matras Hassan dan meletak-kan arloji baruku dan setumpuk pecahan Afghani di bawahnya. Selama 30 menit selanjutnya, aku hanya menunggu. Lalu aku mengetuk pintu ruang kerja Baba dan mengatakan padanya sebuah kebohongan yang kuharap akan menjadi kebohongan terakhir dalam daftar kebohonganku yang panjang dan memalukan. Melalui jendela kamarku, aku memerhatikan Ali dan Hassan mendorong gerobak yang telah dipenuhi dengan daging, naan, buah-buahan, dan sayuran, memasuki pekarangan rumah. Aku memerhatikan Baba keluar dari rumah dan mendekati Ali. Bibir-bibir mereka bergerak, meluncurkan kata-kata yang tak bisa kutangkap dari kamarku. Baba menunjuk ke rumah dan Ali mengangguk. Mereka berpisah. Baba kembali memasuki rumah; Ali mengikuti Hassan memasuki pondok mereka. Beberapa saat kemudian, Baba mengetuk pintu kamarku. "Masuk ke ruang kerjaku," katanya. "Kita semua akan duduk di sana dan menyelesaikan masalah ini."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku memasuki ruang kerja Baba, menduduki salah satu sofa kulit dalam ruangan itu. Sekira 30 menit kemudian, Hassan dan Ali bergabung bersama kami. Sebelum menemui kami, mereka berdua menangis; aku bisa mengetahuinya dari merahnya wajah mereka, sembapnya mata mereka. Mereka berdiri di hadapan Baba, berpegangan tangan, dan aku berpikir, bagaimana bisa aku menimbulkan kepedihan sedalam ini. Baba tidak membuang waktu untuk bertanya, "Benarkah kau mencuri uang itu? Benarkah kau mencuri arloji Amir, Hassan?" Hassan menjawabnya dengan satu kata, dengan suara serak dan bergetar: "Ya." Wajahku mengemyit, rasanya seperti baru ditampar. Hatiku teriris dan aku pun hampir meneriakkan segala kebenaran. Namun tiba-tiba aku memahami: Inilah pengorbanan terakhir Hassan untukku. Jika dia mengatakan tidak, Baba akan langsung memercayainya, dan aku pun akan menjadi tertuduh; aku akan harus menjelaskan segalanya dan membongkar seluruh kedokku. Sampai kapan pun, Baba tidak akan pernah memaafkanku. Dan aku pun memahami satu hal lagi: Hassan tahu. Dia tahu bahwa aku melihat semua kejadian di gang itu, bahwa aku berdiri Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

di sana tanpa berbuat apa-apa. Dia tahu bahwa aku telah mengkhianatinya dan dia tetap menyelamatkanku sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Saat itulah aku menyadari bahwa aku menyayangi Hassan, rasa sayangku padanya jauh lebih besar daripada rasa sayangku pada siapa pun juga, dan aku ingin memberitahunya bahwa aku adalah ular yang merayap di rerumputan, monster yang bersembunyi di danau. Aku tidak pantas mendapat anugerah pengorbanannya; aku adalah seorang penipu, pengkhianat, dan pencuri. Dan aku ingin mengatakan segalanya, hanya saja sebagian dari diriku merasa lega. Aku merasa lega karena semua ini akan segera berakhir. Baba akan memecat mereka, akan ada sedikit rasa sakit, namun kehidupan akan tetap berjalan. Aku menginginkannya, melanjutkan kehidupanku, melupakan, memulai dengan awal baru. Aku ingin bisa bemapas lagi. Tetapi Baba membuatku terpana dengan mengatakan, "Aku memaafkanmu." Memaafkan? Tetapi bukankah mencuri adalah salah satu dosa yang tidak termaafkan, dosa terbesar yang dilakukan manusia. Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya. Kau mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya. Kalau kau Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berbohong, kau mencuri hak sese-orang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau kau berbuat curang, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan keadilan. Tak ada tindakan yang lebih hina daripada mencuri. Tidakkah saat itu Baba mendudukkanku di pangkuannya dan mengatakan semua hal itu? Kalau begitu, mengapa hanya semudah itu Baba memaafkan Hassan? Dan kalau Baba bisa memaafkan Hassan, mengapa dia tidak bisa memaafkanku karena tidak mampu menjadi putra yang selalu didambakannya? Mengapa"Kami akan pergi, Agha sahib," kata Ali. "Apa?" sahut Baba, wajahnya memucat. "Kami tidak bisa tinggal di sini lagi." "Tapi aku memaafkannya, Ali, tidakkah kau mendengamya?" kata Baba. "Kami sudah tidak mungkin bisa menjalani hidup di sini, Agha sahib. Kami akan pergi." Ali menarik Hassan, merangkulkan lengannya ke bahu putranya. Ali memberikan perlindungan pada Hassan, dan aku tahu siapa yang membuat Hassan memerlukan perlindungan. Ali melirik ke arahku, dan dalam tatapannya yang dingin dan tak kenal ampun, aku bisa melihat bahwa Hassan telah menceritakan semuanya pada ayahnya. Dia telah menceritakan semuanya pada Ali, tentang perbuatan yang dilakukan Assef Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan pengikut-pengikutnya, tentang layang-layang itu, dan tentang aku. Anehnya, aku merasa lega karena seseorang akhirnya mengetahui siapa diriku yang sesungguhnya; aku sudah tak sanggup lagi berpura-pura. "Aku tak peduli dengan uang atau arloji itu," ujar Baba, lengannya terbuka, telapak tangannya tertengadah. "Aku tidak mengerti mengapa kau melakukan ini ... apa maksudmu mengatakan 'tidak mungkin'?" "Maafkan aku, Agha sahib, namun kami sudah mengemasi barang-barang kami. Kami sudah membuat keputusan." Baba berdiri, kesedihan tersirat di wajahnya. "Ali, bukankah aku telah menghidupimu dengan baik? Bukankah aku telah memberikan kebaikan untukmu dan Hassan? Kau bagaikan saudara yang tak pernah kumiliki, Ali, kau tahu itu. Kumohon, jangan lakukan ini." "Jangan membuat keadaan yang sudah sulit ini semakin sulit, Agha sahib," ucap Ali. Bibimya bergetar, dan untuk sesaat, kurasa aku melihat kepedihan terpancar di wajahnya. Saat itulah aku memahami dalamnya luka yang kusebabkan, besamya kesedihan yang kuberikan pada semua orang, bahkan wajah Ali yang tak pernah menampilkan ekspresi apa pun tidak bisa menyembunyikannya. Aku memaksa diriku menatap Hassan, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

namun kepalanya tertunduk, bahunya merosot, jarinya mempermainkan benang yang terurai dari bajunya. Baba mulai memohon. "Setidaknya, katakanlah alasannya kepadaku. Aku harus mengetahuinya!" Ali tidak memberi tahu Baba, sama seperti ketika dia tidak melakukan apaapa saat Hassan mengakui pencurian yang tak pernah dilakukannya. Aku tidak pernah memahami mengapa dia melakukannya, namun aku bisa membayangkan keduanya bertangisan dalam remang cahaya di pondok mereka, Hassan memohon pada ayahnya untuk tidak mengatakan kebusukanku pada Baba. Namun aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya beban Ali untuk menepati janjinya pada Hassan. "Bisakah Agha sahib memberi kami tumpangan sampai ke terminal bus?" "Aku melarangmu melakukannya!" Baba membentaknya. "Kau dengar aku? Aku melarangmu!" "Dengan segala hormat, Agha sahib tidak bisa memberikan larangan apa pun pada kami." kata Ali. "Kami tidak lagi bekerja di sini." "Ke mana kau akan pergi?" tanya Baba. Suaranya bergetar. "Hazarajat." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Sepupumu?" "Ya. Bisakah kami mendapatkan tumpangan sampai ke terminal bus, Agha sahib?" Lalu aku menyaksikan Baba melakukan sesuatu yang tak pernah kulihat dilakukannya. Baba menangis. Pemandangan itu sedikit menakutkanku, seorang pria dewasa menangis. Seorang ayah tidak seharusnya menangis. "Kumohon," hanya itulah yang diucapkan Baba, namun Ali telah berjalan menuju pintu, dengan Hassan mengikuti di belakangnya. Aku tidak pernah melupakan cara Baba mengatakannya, kepedihan dalam permohonannya, ketakutannya. Di Kabul, hujan jarang turun saat musim panas. Langit biru terbentang luas dan tinggi, matahari bagaikan cap besi yang menyengat tengkuk. Sungai-sungai kecil tempatku dan Hassan bermain lempar batu sepanjang musim semi, saat itu telah mengering, dan setiap kali sebuah becak lewat, debu pun beterbangan. Orang-orang pergi ke masjid untuk menunaikan shalat siang hari sepanjang sepuluh rakaat lalu segera berteduh dan melakukan tidur siang di bawah naungan apa pun, menunggu kesejukan yang tiba bersama datangnya senja. Musim panas berarti hari-hari sekolah yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

panjang, yang dihabiskan dalam kelas yang terlalu sesak, dengan ventilasi menyedihkan, belajar melafalkan ayat-ayat Al-Quran, mati-matian berusaha menguasai kata-kata berbahasa Arab yang eksotis dan sulit diucap-kan. Musim panas berarti berusaha menangkap lalat-lalat yang mengganggu, saat mullah menerangkan pelajaran secara panjang lebar dan membosankan, dan sapuan udara panas membawa aroma tinja yang ber-asal dari kamar kecil di seberang halaman sekolah, menerbangkan debu di sekeliling ring basket yang reyot. Namun hujan turun di siang hari saat Baba mengantarkan Ali dan Hassan ke terminal bus. Awan men-dung berarak, mewamai langit dengan wama sekelabu besi. Dalam hitungan menit, hujan pun membasahi bumi, suara curahan air memenuhi telingaku. Baba menawarkan diri untuk mengantar Ali hingga ke Bamiyan, namun Ali menolaknya. Melalui jendela kamarku yang buram karena derasnya hujan, aku memerhatikan Ali mengangkut satu-satunya koper yang berisi seluruh harta milik mereka ke mobil Baba yang diparkir di luar pagar. Hassan menyeret matrasnya, menggulung dan mengikatnya kuat-kuat dengan tali, lalu memanggulnya. Dia meninggalkan semua mainannya di

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pondoknya yang tak lagi berpenghuni aku menemukan mainan-mainan itu keesokan harinya, tertumpuk di sudut, sama seperti hadiah ulang tahun di kamarku. Curahan hujan membasahi jendelaku. Aku menyaksikan Baba menutup bagasi mobil. Tanpa memedulikan tubuhnya yang basah karena hujan, Baba berjalan menuju sisi pengemudi. Sesaat kemudian, dia melongok ke dalam mobil dan mengatakan sesuatu pada Ali yang duduk di bangku belakang, mungkin usaha terakhir untuk mengubah keputusan mereka. Mereka berbicara cukup lama. Baba, dengan tubuh basah kuyup, membungkukkan badannya, satu tangan diletakkan di atap mobil. Namun saat dia menegakkan badannya, dari pundak Baba yang melorot, aku tahu bahwa kehidupan yang kujalani sejak aku dilahirkan telah berakhir. Baba memasuki mobil. Kedua lampu depan mobil menyala, menghasilkan berkas cahaya kembar yang menembus derasnya hujan. Kalau saja semua ini hanyalah salah satu adegan dalam film India yang sering kutonton bersama Hassan, sekaranglah saatnya aku berlari keluar, dengan kaki telanjang mencipratkan air. Aku akan mengejar mobil itu, meneriakkan permohonan untuk menghentikan lajunya. Aku akan menarik keluar Hassan dari bangku belakang dan memberitahunya betapa aku menyesal, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sangat menyesal, dan cucuran air mataku pun bercampur dengan tetesan air hujan. Kami akan berpelukan di bawah curahan hujan. Namun ini bukanlah film India. Aku menyesal, tetapi aku tidak menangis dan tidak mengejar mobil itu. Aku menyaksikan mobil Baba meninggalkan rumah kami, membawa serta seseorang yang kata pertamanya adalah namaku. Untuk terakhir kalinya, sebelum Baba membelokkan mobilnya ke kiri di tikungan yang begitu sering kami jadikan tempat bermain kelereng, pandanganku melayang pada sosok kabur Hassan yang duduk di bangku belakang. Aku berjalan menjauhi jendela itu, dan satu-satunya pemandangan yang kulihat melalui jendelaku adalah derasnya curahan hujan, yang tampak bagaikan lelehan perak. Sepuluh Maret 1981 Seorang wanita muda duduk berseberangan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dengan kami. Gaunnya ber-wama hijau buah zaitun dan sehelai syal hitam membingkai ketat wajahnya, melindunginya dari udara malam yang dingin menusuk. Setiap kali truk terloncat karena melewati lubang di jalan yang tak rata, wanita itu meneriakkan doa. Lengkingan "Bis-millah!" mengiringi setiap getaran dan lonjakan truk. Suaminya, seorang pria kekar bercelana longgar dan berserban biru, memeluk seorang bayi dengan satu tangannya, dan mengurut tasbih dengan tangan lainnya. Bibimya bergerak mengucap doa tanpa suara. Penumpang lainnya, seluruhnya berjumlah sekitar 12 orang, termasuk aku dan Baba, duduk dengan mengapit koper, berjejalan dengan orang-orang tak dikenal dalam bak belakang beratap terpal sebuah truk Rusia. Perutku telah bergolak sejak kami meninggalkan Kabul sesaat setelah jam menunjukkan pukul dua pagi. Baba tidak pernah mengatakannya, namun aku tahu bahwa kecenderunganku untuk menderita mabuk perjalanan dianggapnya sebagai satu lagi kelemahanku aku bisa melihatnya melalui wajah Baba yang mencerminkan rasa malu setiap kali aku mengerang karena perutku terasa begitu sakit. Saat pria kekar bercambang itu suami wanita yang selalu berdoa-bertanya padaku, apakah aku merasa ingin muntah, aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengatakan bahwa mungkin saja aku akan muntah. Baba memalingkan wajah. Pria itu mengangkat terpal di dekat-nya dan mengetuk jendela pengemudi, meminta sopir untuk menghentikan truk. Namun si sopir, Karim, pria kerempeng berkulit gelap dengan muka tirus dan kumis tipis, menggelengkan kepalanya. "Kita masih terlalu dekat dengan Kabul," teriaknya. "Suruh dia menguatkan perutnya." Baba menggerutu dengan suara lirih. Aku ingin meminta maaf padanya, namun tiba-tiba kurasakan air liurku memenuhi mulut, rasa pahit menggumpal di pangkal kerongkonganku. Aku berbalik, mengangkat terpal, dan memuntahkan isi perutku ke badan truk yang masih bergerak. Di belakangku, Baba menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh penumpang. Seolah-olah mabuk perjalanan adalah suatu kejahatan. Seolah-olah mabuk perjalanan adalah sesuatu yang tidak seharusnya diderita oleh seseorang yang telah berumur 18 tahun. Aku muntah dua kali sesudah itu, hingga akhirnya Karim setuju untuk berhenti, terutama agar bau mun-tahanku tidak menempel pada truknya, sumber penghidupannya. Karim adalah seorang penyelundup pengungsi saat itu,

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pekerjaan ini menghasilkan uang melimpah. Dia memberikan tumpangan pada setiap ?rang yang ingin melarikan diri dari Kabul, yang berada di bawah pendudukan Shorawi, ke Pakistan yang relatif aman. Saat itu, dia sedang membawa kami ke Jalalabad, sekitar 170 km di sebelah tenggara Kabul, tempat kakaknya, Toor, yang memiliki truk lebih besar, menunggu bersama serombongan pengungsi lain untuk melintasi Celah Khyber menuju Peshawar. Kami berada beberapa kilometer di sebelah barat Air Terjun Mahipar saat Karim meminggirkan truknya ke tepi jalan. Mahipar yang berarti "Ikan Terbang" adalah puncak tinggi dan curam yang menghadap ke arah pembangkit listrik bertenaga air, dibangun oleh bangsa Jerman untuk penduduk Afghanistan pada 1967. Tidak terhitung seberapa seringnya aku dan Baba bermobil ke puncaknya dalam perjalanan menuju Jalalabad, kota yang terkenal dengan pohon cedar dan perkebunan tebunya, tempat penduduk Afghanistan berlibur saat musim dingin tiba. Aku melompat keluar melalui bagian belakang truk dan membungkuk di atas selokan berdebu di sisi jalan. Air liur memenuhi mulutku, suatu tanda bahwa sekali lagi, isi perutku akan segera termuntahkan. Aku melangkah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

terseok-seok ke tepi tebing yang menjorok ke ngarai dalam yang diliputi kegelapan. Aku berjongkok, meletakkan tanganku di lutut, dan menunggu gumpalan itu melewati kerongkonganku. Dari suatu tempat, aku mendengar derakan ranting patah dan suara burung hantu. Angin dingin bertiup lembut, menerobos batangbatang pepohonan dan menggoyang semak-semak yang tersebar di sana. Di bawah sana, suara samar gemericik air menembus ngarai. Saat aku berdiri di bahu jalan itu, aku memikirkan cara kami keluar dari rumah yang telah kutinggali seumur hidupku, seakan-akan kami hanya pergi untuk makan malam di luar: piring-piring bemoda sisa kofta masih tertumpuk di bak cuci piring; timbunan cucian masih memenuhi keranjang rotan di ruang depan; tempat-tempat tidur belum dirapikan. Setelan bisnis Baba masih tergantung di lemari. Deretan permadani masih tergantung di dinding ruang tamu dan buku-buku koleksi ibuku masih memenuhi rak di ruang kerja Baba. Jejak yang kami tinggalkan saat keluar dari tempat itu tidak akan mudah dilacak: Foto per-nikahan kedua orangtuaku dan foto Raja Nader Shah yang berdiri memamerkan rusa hasil buruannya telah menghilang. Beberapa helai pakaian menghilang dari lemari. Buku catatan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bersampul kulit, hadiah dari Rahim Khan lima tahun sebelumnya, juga menghilang. Paginya, Jalaluddin pelayan ketujuh kami dalam lima tahun terakhir mungkin akan menyangka bahwa kami sedang pergi berjalan-jalan atau bermobil di pagi hari. Kami tidak memberitahunya. Tidak ada lagi seorang pun di Kabul yang bisa dipercaya untuk mendapatkan imbalan atau saat menderita di bawah ancaman, setiap orang akan saling menjatuhkan, tetangga menjatuhkan tetangga, anak-anak menjatuhkan orangtua, pelayan menjatuhkan majikan, teman menjatuhkan teman. Pikiranku melayang pada Ahmad Zahir, sang penyanyi yang memainkan akordeon pada pesta ulang tahun yang ke13. Dia pergi bermobil dengan teman-temannya, dan selanjutnya, seseorang menemukan mayatnya di pinggir jalan, dengan sebutir peluru bersarang di bagian belakang kepalanya. Para raftqs, cecunguk partai komunis, ada dimana-mana, dan mereka menggolongkan penduduk Kabul dalam dua kelompok: mereka yang dengan diam-diam menguping pembicaraan orang lain dan mereka yang tidak melakukannya. Masalahnya, tidak seorang pun mengetahui siapa termasuk dalam kelompok yang mana. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengepas ukuran baju bisa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengirim sese-orang ke penjara bawah tanah Poleh charki. Keluhan soal pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya di balik jeruji, di hadapan moncong senapan Kalashnikov. Bahkan di meja makan, dalam makan malam keluarga, semua orang harus menjaga mulut para raftqs juga ada di dalam kelas; mereka mengajarkan pada anak-anak untuk memata-matai orangtua mereka, apa yang harus mereka dengarkan, pada siapa mereka harus melapor. Apa yang sedang kulakukan di jalan ini di tengah malam buta? Seharusnya aku berbaring di tempat tidurku, di bawah selimutku, dengan sebuah buku yang kumal karena sering kubaca tergeletak di sampingku. Aku pasti sedang bermimpi. Pasti. Besok aku akan terbangun, lalu mengintip ke balik jendela: Tidak akan ada tentara-tentara Rusia berwajah brutal berpatroli di sepanjang jalan, tidak akan ada tank-tank baja melaju di jalanan kotaku, dengan pengendali tembakan berputar layaknya jari yang menudingkan tuduhan, tidak akan ada puing-puing bangunan, tidak akan ada jam malam, tidak akan ada Kendaraan Pengangkut Pasukan Rusia menyisir pasar. Lalu, di belakangku, aku mendengar suara Baba dan Karim, yang sedang merokok Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sambil mendiskusikan urusan di Jalalabad. Karim sedang meyakinkan Baba bahwa truk besar yang dimiliki kakaknya berkondisi "istimewa dan berkualitas nomor satu," dan bahwa jalan menuju Peshawar sudah sangat sering dia lewati. "Dia bisa membawa Anda ke sana dengan mata tertutup," kata Karim. Aku mendengamya memberi tahu Baba bahwa dia dan kakaknya mengenal tentara Rusia dan Afghanistan yang menjaga pos perbatasan, dan mereka telah mengatur kesepakatan yang "saling menguntungkan". Ini bukanlah mimpi. Bagaikan sebuah pertanda, deru mesin pesawat MiG seketika menggemuruh. Karim melemparkan rokoknya dan menarik pistol yang tersimpan di pinggangnya. Sambil mengarahkan pistolnya ke angkasa dan berlagak menembak, pria itu meludah dan menyumpahi pesawat MiG yang berlalu di atas kami. Aku memikirkan Hassan. Di manakah dia berada? Dan aku pun tak sanggup menahannya lagi. Aku memuntahi belukar, eranganku tenggelam dalam gemuruh MiG yang menulikan. Dua puluh menit kemudian, kami sampai di pos perbatasan Mahipar. Karim meninggalkan truk, menyapa suara-suara yang mendekat. Kaki-kaki menjejaki aspal. Kata-kata bertukar, dalam bisikan dan ketergesaan. Satu nyala korek api. "Spasseba." Satu lagi korek api menyala. Seseorang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

terbahak, lengkingan tawa yang membuatku terlonjak kaget. Tangan Baba mencengkeram pahaku. Suara tawa pria itu berlanjut dengan sebuah nyanyian, sebuah lagu pemikahan tua berbahasa Afghan yang dinyanyikan dengan buruk, dengan aksen Rusia kental yang ter-dengar jelas: Ahesta boro, Mah-e-man, ahesta boro. Jangan buru-buru, bulanku tersayang, jangan buru-buru. Sepatu bot menderap di aspal. Seseorang membuka terpal yang menutup bagian belakang truk, dan tiga raut wajah mengintip ke dalam. Salah satunya adalah Karim, dua wajah lainnya dimiliki oleh dua orang prajurit, seorang Afghan dan seorang Rusia berwajah menyerupai anjing bulldog yang menyeringai dengan sebatang rokok terselip di mulutnya. Di belakang mereka, bulan yang seputih tulang menggantung di langit. Karim dan si Afghan membicarakan sesuatu dalam bahasa Pashtu. Samar-samar aku mendengamya tentang Toor dan nasib buruk yang menimpanya. Si Rusia melongokkan kepalanya ke dalam bak truk sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke badan truk, mengiringi lagu pemikahan tua yang masih dinyanyikannya. Dalam remang cahaya bulan, masih bisa kulihat sorot dingin di matanya saat dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

melihat ber-keliling, menjatuhkan pandangan dari satu penumpang ke penumpang yang lain. Meskipun saat itu udara dingin, keringat membanjiri keningnya. Tatapannya tertuju pada si wanita muda bersyal hitam. Dia ber-bicara pada Karim dalam bahasa Rusia tanpa melepas-kan tatapan pada wanita itu. Karim menjawabnya dengan ketus, dan si tentara menukasnya dengan lebih ketus. Si Afghan juga mengatakan sesuatu dengan lirih dan tidak terburu-buru, namun si Rusia meneriakkan sesuatu yang membuat keduanya berjengit. Aku bisa merasakan tubuh Baba di sebelahku menegang. Karim menghela napas dan menundukkan kepala, mengatakan bahwa si Rusia ingin menghabiskan waktu selama setengah jam bersama wanita yang duduk di depanku itu. Wanita muda itu menutupkan syalnya ke wajah. Air matanya mengalir. Anak balita yang duduk di pangkuan suaminya pun mulai menangis. Wajah sang suami sepucat bulan di langit. Dia meminta Karim mengatakan pada "Tuan Prajurit Sahib" untuk sedikit mengasihani mereka, mungkin dia sendiri memiliki saudara perempuan, ibu, atau juga istri. Si Rusia men-dengarkan perkataan Karim dan menukasnya dengan rentetan bentakan.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ini harga yang ditetapkannya untuk meloloskan kita," kata Karim. Dia tidak sanggup menatap mata sang suami. "Tapi kami sudah membayar mahal. Dia sudah dibayar mahal," protes sang suami. Si Rusia mengatakan sesuatu dan Karim menerjemahkannya. "Katanya ... katanya semua harga ada pajak-nya." Saat itulah Baba berdiri. Giliranku mencengkeram pahanya, namun Baba menepiskan tanganku, mengibaskan kakinya. Tubuh Baba yang menjulang membuatku tak bisa lagi melihat bulan. "Aku ingin kamu mengatakan sesuatu pada pria ini," katanya. Baba menujukan kalimat ini pada Karim, namun tatapannya mengarah langsung pada si Rusia. "Tanyakan padanya, lari kemana rasa malunya." Mereka menjawab, "Katanya, kita sedang berada dalam peperangan. Dalam masa perang tidak ada rasa malu." "Katakan padanya bahwa dia salah. Kesopanan tidak hilang gara-gara perang. Dalam masa perang, kesopanan dibutuhkan, lebih daripada dalam masa damai." Haruskah kau selalu menjadi pahlawan? Di tengah gemuruh detak jantungku, aku berpikir: Tidak bisakah kau membiarkannya, sekali ini Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

saja? Tetapi aku tahu bahwa Baba tidak akan tinggal diam-itu berlawanan dengan sifatnya. Masalahnya, sifatnya ini akan mem-buat kami semua terbunuh. Si Rusia mengatakan sesuatu pada Karim sambil tersenyum licik. "Agha sahib," kata Karim, "Roussi ini tidak seperti kita. Mereka tidak paham tentang kehormatan." "Apa katanya?" "Katanya, menyarangkan peluru ke kepala Anda akan sama nikmatnya dengan Karim tidak mengatakannya, hanya menganggukkan kepalanya ke arah wanita muda yang dikehendaki si Rusia. Prajurit itu menjentikkan rokoknya yang baru setengah diisap dan mengeluarkan pistolnya. Jadi sekaranglah hidup Baba akan berakhir, pikirku. Beginilah dia mengakhiri hidupnya. Di benakku, kulafalkan doa yang pernah kupelajari di sekolah. "Katakan padanya, biar seribu peluru menembus tubuhku, aku tetap tidak akan membiarkan perilaku tidak senonohnya," ujar Baba. Pikiranku melayang pada kejadian musim dingin enam tahun yang lalu. Aku, mengintai di sudut gang. Kamal dan Ali menahan Hassan. Assef melakukan perbuatan tidak senonoh-nya. Pahlawan macam apa diriku, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

meributkan sebuah layang-layang. Terkadang, aku pun bertanya-tanya, apakah aku benar-benar putra Baba. Tentara Rusia berwajah-bulldog itu mengangkat pistolnya. "Baba, kumohon, duduklah," kataku sambil menarik lengan bajunya. "Sepertinya dia benar-benar bermaksud menembak Baba." Baba menepiskan tanganku. "Apa kau tak pernah mempelajari apa pun dariku?" bentaknya. Dia beralih kembali pada si Rusia yang menyeringai. "Katakan padanya, lebih baik dia membunuhku dengan peluru pertamanya. Karena kalau aku tidak mati, aku akan melumat tubuhnya, terkutuklah ayahnya!" Seringai si Rusia memudar saat dia mendengar terjemahan ucapan Baba. Dibukanya pengaman pistolnya. Dia membidikkannya ke dada Baba. Detak jantungkuy tertahan di tenggorokan, aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Suara tembakan. Semua sudah berakhir. Umurku 18 dan aku sebatang kara. Tidak ada seorang pun yang kumiliki di dunia ini. Baba meninggal dan sekarang aku harus mengubur-kan-nya. Di mana aku akan menguburkannya? Ke mana aku akan pergi sesudahnya? Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tetapi terpaan kekhawatiran yang melanda benakku terhenti saat aku membuka mata. Di depanku, Baba masih tegak berdiri. Di hadapannya, berdiri seorang tentara Rusia lain. Dari pistolnyalah tembakan itu berasal. Prajurit yang akan menembak Baba menurunkan senjatanya. Dia menyeret kakinya menjauhi tempat itu. Seketika itu aku merasa ingin menangis sekaligus tertawa, perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tentara Rusia yang kedua, seorang pria bertubuh gagah dan berambut kelabu, dengan terpatah-patah berbicara kepada kami dalam bahasa Farsi. Dia me-mohon maaf atas kelakuan rekannya. "Rusia mengirim mereka kemari untuk bertempur," katanya. "Tapi mereka masih anak-anak, dan setibanya mereka di sini, mereka menemukan kenikmatan dalam obatobatan." Dipandangnya prajurit muda itu dengan letih, bagaikan seorang ayah yang telah muak menghadapi tabiat buruk anaknya. "Saat ini dia kecanduan obat-obatan. Saya mencoba menghentikannya ..." Dia melambai-kan tangan membiarkan kami lewat. Beberapa saat kemudian, kami berlalu dari tempat itu. Suara tawa masih terdengar, lalu suara si Rusia yang menyanyikan lagu pemikahan tua .... Kami meneruskan perjalanan dalam kesunyian selama sekitar 15 menit, lalu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tiba-tiba, suami si wanita bersyal itu berdiri dan melakukan sesuatu yang sudah begitu sering kulihat dilakukan oleh banyak orang lain: Dia mencium tangan Baba. Nasib buruk Toor. Bukankah aku telah mendengamya dalam percakapan Karim dan para tentara di Mahipar? Kami sampai di Jalalabad sekitar satu jam sebelum subuh. Karim memburu-buru kami untuk segera keluar dari truk dan memasuki sebuah rumah tak bertingkat yang terletak di persimpangan antara dua jalan tanah dengan deretan rumah beratap datar, pohon akasia, dan toko-toko yang telah ditutup di kanan-kirinya. Saat kami terburu-buru memasuki rumah sambil menyeret barang-barang bawaan, aku menarik kerah bajuku ke atas untuk melawan hawa dingin. Entah mengapa, aroma lobak yang menggantung di tempat itu masih terus menempel di kepalaku hingga kini. Segera setelah kami semua memasuki ruang tamu tanpa perabotan yang berpenerangan seadanya dalam rumah itu, Karim mengunci pintu, memungut sehelai seprai kumal dan menjadikannya tirai untuk menutupi jendela. Lalu dia menarik napas dalam dan mengatakan kabar buruk itu kepada kami: Kakaknya, Toor, tidak bisa membawa kami ke Peshawar. Sepertinya, seminggu sebelumnya, mesin truknya meledak, dan saat ini Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Toor masih menunggu datangnya suku cadang untuk memperbaiki truk itu. "Minggu lalui" seseorang memekik. "Kalau kamu tahu, kenapa kamu tetap membawa kami kemari?" Dari sudut mataku, aku menangkap sesosok tubuh bergerak. Lalu sosok itu melintasi ruangan, dan detik berikutnya, dia membenturkan Karim ke dinding. Kaki Karim yang bersandal menggantung setinggi setengah meter dari lantai. Tangan Baba menceng-keram lehemya. "Aku bisa mengatakan alasannya pada kalian," teriak Baba lantang. "Karena dia telah dibayar untuk membawa kita kemari. Hanya itu yang dipikirkannya." Suara tercekik keluar dari mulut Karim. Air liur mengumpul di sudut mulutnya. "Turunkan dia, Agha, Anda bisa menewaskannya," salah satu penumpang berkata. "Memang itulah yang ingin kulakukan," kata Baba. Tidak ada seorang pun dalam ruangan itu yang menyangka bahwa Baba bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Wajah Karim memerah dan kakinya menendangnendang dengan liar. Baba te-

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

rus mencekiknya, hingga si ibu muda, yang sebelumnya diingini si tentara Rusia, memohon padanya untuk menghentikan tindakannya. Saat Baba melepaskannya, Karim terjatuh ke lantai dan segera berguling mencari udara segar. Kesunyian meliputi ruangan. Kurang dari dua jam sebelumnya, Baba memasrahkan dirinya untuk menerima tem-bakan demi menjaga kehormatan seorang wanita yang tak dikenalnya. Sekarang, dengan senang hati, dia hampir mencekik leher seorang pria hingga tewas, jika wanita yang sama tidak memohon padanya untuk berhenti. Suara benturan terdengar dari ruang sebelah. Temyata tidak, bukan dari sebelah, namun dari bawah. "Apa itu?" tanya seseorang. "Pengungsi yang lain," Karim masih terengah-engah, berusaha bemapas. "Di ruang bawah tanah." "Sudah berapa lama mereka menunggu di sini?" tanya Baba, menjulang tinggi di atas Karim. "Dua minggu." "Tadi kauhilang truk itu rusak seminggu yang lalu."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Karim mengelus tenggorokannya. "Mungkin dua minggu yang lalu," katanya parau. "Kapan?" "Apanya?" "Kapan suku cadangnya akan datang?" Baba membentaknya. Karim mengemyitkan wajah, namun tidak mengatakan apa-apa. Kesuraman ruangan itu membuatku bersyukur. Aku tak ingin melihat ekspresi pem-bunuh yang terpancar dari wajah Baba. + Bau lumut yang lembap terendus oleh hidungku saat Karim membuka pintu yang menampakkan tangga goyah menuju ruang bawah tanah. Kami melangkah satu per satu. Tangga itu berderak saat Baba melewati-nya. Saat berdiri di tengah hawa dingin yang menyelimuti ruang bawah tanah itu, kurasakan berpasang-pasang mata yang berkedip dalam kegelapan memer-hatikanku. Aku bisa menangkap siluet tubuh-tubuh mereka yang berkumpul di sudut ruangan, bayangan yang terbentuk karena redupnya cahaya satu-satunya lampu minyak kecil yang menerangi tempat itu. Terdengar bisikan-bisikan lirih, diselingi suara tetesan air, dan suara lainnya, suara garukan. Di belakangku, Baba menghela napas dan menjatuhkan tasnya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Karim mengatakan pada kami, bahwa kami hanya perlu menunggu truk itu selesai diperbaiki selama bebe-rapa hari. Lalu kami akan melaju ke Peshawar. Menuju kebebasan. Menuju keselamatan. Sebelum itu, sampai minggu depan, ruang bawah tanah ini akan menjadi tempat tinggal kami. Pada malam ketiga, aku mendapatkan sumber bunyi garukan itu. Tikus. Saat mataku telah terbiasa dengan kegelapan, aku meng-hitung jumlah orang yang menghuni ruangan itu. Sekitar 30 orang. Kami duduk berjajar di sepanjang dinding, bertahan hidup dengan memakan biskuit, roti dengan kurma, dan apel. Pada malam pertama, para pria melakukan shalat bersama. Salah satu pengungsi menanyakan pada Baba, mengapa dia tidak bergabung bersama mereka, "Tuhan akan menyelamatkan kita semua. Mengapa Anda tidak mau meminta padaNya?" Baba menghirup aroma sejumput tembakau bubuknya, meluruskan kakinya. "Yang akan menyelamatkan kita adalah delapan ban dan sebuah karburator yang bagus." Setelah itu mereka tidak pernah lagi mengajaknya melakukan shalat. Di malam pertama itu pulalah aku mendapati bahwa dua orang di antara para pengungsi itu adalah Kamal dan ayahnya. Cukup mengejutkan, menemu-kan Kamal duduk dalam ruang bawah tanah ini, hanya berjarak Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

beberapa meter dariku. Tetapi saat dia dan ayahnya mendekati kami dan aku melihat wajah Kamal, benar-benar memerhatikannya .... Bagaikan bunga yang layu sungguh, tidak ada lagi kata yang lebih tepat untuk melukiskannya. Tatapan matanya kosong, dan tidak ada tandatanda bahwa dia mengenaliku. Badannya membungkuk dan pipinya menggelambir, seolah-olah terlalu lelah untuk berpegang pada tulang yang menyangganya. Ayahnya, sang pemilik gedung bioskop di Kabul, sedang menceritakan kepada Baba kejadian yang menimpa mereka tiga bulan sebelumnya; istrinya tewas dengan sebutir peluru menembus keningnya. Selanjutnya, dia menceritakan keadaan Kamal. Aku hanya mendengar potonganpotongannya: Seharusnya kami tidak meninggalkannya sendirian ... dia selalu terlihat tampan, Anda tahu ... keempat-empatnya ... mencoba melawan ... Tuhan ... menyeretnya ... berdarah ... celananya ... tak mau lagi berbicara ... hanya melamun .... + Tidak akan ada truk untuk mengangkut kami, Karim mengatakannya, setelah selama seminggu kami menghabiskan waktu di ruang bawah tanah yang dipenuhi tikus itu. Truk itu sudah tidak bisa diperbaiki. "Ada pilihan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

lain," kata Karim, melantangkan suaranya untuk mengatasi gerutuan orang-orang di hadapannya. Sepupunya memiliki truk tangki pengangkut bahan bakar dan telah beberapa kali menggunakannya untuk menyelundupkan pengungsi. Saat itu dia sedang berada di Jalalabad dan truknya mungkin bisa memuat kami semua. Semua orang, kecuali sepasang suami istri lanjut usia, memutuskan untuk menyetujui pilihan itu. Malam itu kami pergi, aku dan Baba, Kamal dan ayahnya, dan semua pengungsi yang lain. Karim dan sepupunya, pria botak berwajah persegi bemama Aziz, membantu kami memasuki tangki. Satu per satu, kami memanjat tangga di bagian belakang truk dan masuk ke dalam tangki. Aku ingat, saat Baba telah memanjat hingga ke tengah tangga, dia kembali melompat ke bawah dan mengeluarkan kotak tembakaunya. Baba mengosongkan kotak itu dan memungut segenggam tanah dari tengah jalan. Diciumnya tanah itu. Baba menempatkannya di kotak tembakau, menyimpannya di saku bajunya, dekat dengan jantungnya. Panik. Buka mulutmu. Buka selebar-lebamya, hingga kau mendengar rahangmu berderak. Perintahkan paru-parumu untuk menghirup udara, SEKARANG, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kau butuh udara, kau membutuhkannya SEKARANG. Namun tenggorokanmu tertutup. Diam, menyempit, mengerut, dan tiba-tiba, kau bemapas melalui sedotan minuman. Mulutmu tertutup, bibirmu terkatup rapat, suaramu tercekat. Tanganmu tegang dan gemetar. Di suatu tempat, seolah-olah bendungan yang menahan keringatmu runtuh, mengalirkan keringat dingin yang membanjiri sekujur tubuhmu. Kau ingin menjerit. Kau akan melakukannya jika kau bisa melakukannya. Tetapi kau harus bisa bemapas untuk bisa menjerit. Panik. Ruang bawah tanah itu gelap. Tangki itu hitam legam. Ke mana pun pandanganku tertuju, kanan, kiri, atas, bawah, saat aku mengibaskan tanganku di depan mata, aku tidak bisa menangkap gerakan apa pun. Berkali-kali kukedipkan mataku. Aku tidak bisa melihat apa pun. Udara di dalam tangki pun sungguh tidak nyaman, terlalu pekat, nyaris padat. Udara seharus-nya tidak padat. Aku ingin menggapai dengan tanganku, menghancurkannya menjadi kepingan-kepingan kecil, menjejalkannya ke saluran pemapasanku. Dan aroma bensin. Mataku terasa terbakar karenanya, seolah-olah seseorang mengelupas kelopak mataku dan menggosok-kan potongan buah lemon di sana. Setiap Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

embusan napasku adalah api. Tempat macam ini bisa menewaskanmu, pikirku. Aku ingin berteriak. Teriak, teriak .... Lalu suatu keajaiban datang. Baba menarik lengan bajuku dan aku melihat sesuatu menyala dalam kegelapan. Cahaya! Arloji Baba. Aku memusatkan pandanganku pada tangan Baba yang diselimuti cahaya hijau yang berpendar. Begitu cemasnya aku akan kemungkinan cahaya itu menghilang, hingga aku tidak berani mengedipkan mataku. Perlahan-lahan aku bisa menangkap sosok-sosok di sekelilingku. Aku mendengar erangan dan doa-doa yang dibisikkan. Aku mendengar tangisan bayi, nyanyian ibunya yang menenangkan. Seseorang muntah. Seseorang mengutuki para Shorawi. Truk itu bergoyang ke kanan dan ke kiri, naik dan turun. Kepala-kepala berbenturan dengan logam. "Pikirkan sesuatu yang menyenangkan," Baba membisikkan kalimat itu ke telingaku. "Sesuatu yang membahagiakan." Sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang membahagiakan. Kubiarkan pikiranku melayang. Aku mendapatkannya: Jumat siang di Paghman. Hamparan rumput dan pohon-pohon murbei yang sedang berbunga. Aku berdiri bersama Hassan, kaki-kaki kami terbenam dalam tebalnya rumput liar, aku mengendalikan benang, tangan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Hassan yang berkapal menggenggam gulungannya, tatapan kami tertuju pada layang-layang yang menari di langit. Tidak ada kata yang terucap, tidak ada yang perlu kami katakan inilah harta yang dimiliki oleh mereka yang menyimpan kenangan yang sama, yang saling menjadi kenangan pertama, yang menyusu dari payudara yang sama. Semilir angin menyapu rerumputan, dan Hassan membiarkan benangnya terulur. Layang-layang itu berputar, menukik, dan mengambang. Bayangan kembar kami menari di atas hamparan rumput yang bergoyang. Dari suatu tempat di balik tembok rendah yang membatasi tempat itu, terdengar gemericik air mancur yang menyerupai suara tawa dan celotehan. Dan musik, alunan musik tua yang begitu akrab di telingaku, Ya Mowlah dalam petikan rubab. Seseorang memanggil nama kami dari balik tembok. Waktunya menikmati teh dan kue. Aku tidak ingat lagi dari mana kenangan itu berasal, baik bulan atau pun tahunnya. Yang kutahu, kenangan itu tersimpan dalam jiwaku, indahnya serpihan masa lalu yang terbungkus rapi, sapuan wama cerah di atas kanvas kelabu kosong yang menyelimuti kehidupan kami. *

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sisa perjalanan itu hanya kuingat samar-samar, menjadi sebuah kenangan yang datang dan pergi, kebanyakan hanya berupa suara dan aroma: deru pesawat MiG yang melayang di atas kami; rentetan tembakan; ringkikan keledai di pinggir jalan; dentingan lonceng yang diiringi embikan kambing; jalanan batu yang terlindas roda truk, bayi yang merengek dalam kegelapan; bau bensin, muntahan, dan kotoran manusia. Yang juga kuingat adalah cerahnya cahaya matahari yang membutakan mata saat aku memanjat ke luar tangki di pagi hari. Aku menengadahkan wajahku ke langit, memicingkan mataku, bemapas sebanyak mungkin, seolah tak ada lagi udara di bumi ini. Aku berbaring di tepi jalan tanah, di dekat selokan berbatu, menatap kelabunya langit di kala fajar, mengucap syukur atas udara segar, mengucap syukur atas cahaya, mengucap syukur karena aku masih bisa menjalani hidupku. "Kita sudah memasuki Pakistan, Amir," kata Baba, yang berdiri di hadapanku. "Kata Karim, dia akan mencarikan bus yang bisa membawa kita ke Peshawar." Aku menggulingkan badan, tengkurap di atas sejuknya jalan tanah, dan menatap koper yang diapit kedua kaki Baba. Melalui sela-sela kakinya, aku bisa melihat truk tangki yang mengangkut Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kami terparkir di sisi jalan, dan para pengungsi memanjat turun melalui tangga belakangnya. Sejauh mata memandang, jalan tanah itu membentang di bawah langit kelabu, me-lewati hamparan tanah lapang suram, dan menghilang di balik deretan bukit. Jalan itu melalui sebuah desa kecil yang terletak di atas dataran yang terpapar teriknya sinar matahari. Aku kembali menatap bawaan kami. Koper-koper itu mengingatkanku pada situasi yang harus dihadapi Baba, melarutkanku dalam kesedihan. Setelah Baba membangun, merencanakan, memperjuangkan, mengkhawatirkan, dan memimpikan segalanya, yang tersisa dalam hidupnya hanyalah seorang putra yang mengecewakan dan dua buah koper. Seseorang menjerit. Tidak, itu bukan jeritan. Lolongan. Aku menyaksikan para penumpang berkerumun membentuk lingkaran, mendengar ucapanucapan dalam nada cemas yang mereka layangkan. Sese-orang mengatakan "keracunan gas." Seseorang menyetujuinya. Lolongan itu berubah menjadi lengkingan mengoyak-tenggorokan. Aku dan Baba bergegas mendekati kerumunan itu, menjejalkan diri hingga ke tengah. Ayah Kamal duduk bersila di tengah lingkaran itu, menggerakKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

gerakkan badannya ke depan dan belakang, menciumi wajah pucat pasi putranya. "Dia tidak bemapas! Putraku tidak bemapas!" air mata membanjiri wajah pria itu. Tubuh Kamal yang tak bemyawa lagi terbaring di atas pangkuannya. Tangan kanannya terbujur kaku, bergerak seiring isakan ayahnya. "Putraku! Tidak bemapas lagi! Allah, bantulah anakku bemapas!" Baba berlutut di samping pria itu, merangkulkan lengan ke bahunya. Tetapi ayah Kamal menepiskan lengan Baba, seketika menubruk Karim yang bersama sepupunya berdiri dalam kerumunan itu. Kejadian selanjutnya begitu cepat, tidak mungkin disebut sebagai sebuah perkelahian. Karim terkejut, memekik dan melompat ke belakang. Satu pukulan melayang, disusul satu tendangan. Sesaat kemudian, ayah Kamal berdiri dengan menggenggam pistol Karim. "Jangan tembak saya!" teriak Karim. Namun, sebelum salah satu dari kami mengatakan atau melakukan sesuatu, ayah Kamal menjejalkan moncong pistol itu ke mulutnya. Aku tak akan pernah melupakan gema ledakan itu. Atau kilatan cahaya dan muncratan cairan merah pada pagi itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku segera berlari keluar dari kerumunan itu dan memuntahkan isi perutku di tepi jalan. Sebelas Fremont, California 1980-an Baba tergila-gila pada gagasan tentang Amerika. Tetapi hidup di Amerikalah yang membuatnya terjangkit maag. Aku ingat saat kami berdua berjalan menyusuri Lake Elizabeth Park di Fremont, yang berjarak beberapa blok dari apartemen kami. Kami menyaksikan anak-anak lelaki berlatih memukul bola, sementara di arena bermain, gadis-gadis kecil cekikikan sambil bermain ayunan. Selama kami berjalan-jalan, Baba akan berusaha memberiku pencerahan dengan menjelaskan paham politiknya, tentu saja dengan disertai argumen yang panjang dan berliku. "Di dunia ini, hanya ada tiga pria sejati, Amir," ujamya. Dia menghitung dengan jarinya: Amerika-sang penyelamat gagah berani, Inggris, dan Israel. "Sisanya" Baba akan melambaikan tangannya

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan mengeluarkan bunyi phht, "mereka sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip." Pendapat Baba tentang Israel pernah memancing kemarahan warga Afghanistan di Fremont, yang menuduhnya sebagai seorang yang pro Yahudi dan, secara de facto, berarti anti Islam. Baba akan menemui mereka sambil menikmati teh dan kue rowt di taman, dan membuat mereka gila dengan membicarakan keyakinan politiknya. "Yang tidak mereka pahami adalah," begitulah dia memberitahuku, "semua ini tidak ada hubungannya dengan agama." Dalam pandangan Baba, Israel adalah sebuah pulau yang dihuni para "pria sejati", di tengah lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka, sehingga tidak peduli pada nasib bangsa sendiri. "Israel begini, Israel begitu," Baba akan mengatakannya dalam aksen Arab yang berlebihan. "Lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!" Baba membenci Jimmy Carter. Dia menjulukinya "Si Pandir Bergigi Tonggos." Pada 1980, saat kami masih tinggal di Kabul, AS mengumumkan bahwa mereka akan memboikot Olimpiade Moskow. "Wah, wah!" Baba berseru jijik. "Brezhnev sedang membantai bangsa Afghan dan yang bisa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dikatakan oleh pemakan kacang itu hanyalah, aku tidak akan berenang dalam kolammu." Baba meyakini bahwa tanpa disadari, Carter telah memberi kontribusi lebih banyak untuk komunisme daripada Leonid Brezhnev. "Orang itu tidak pantas memimpin negara ini. Sama saja seperti menempatkan anak kecil yang tak bisa mengendarai sepeda di belakang kemudi Cadillac terbaru." Yang dibutuhkan oleh Amerika dan dunia adalah seorang pria yang tangguh. Seseorang yang pantas diperhitungkan, yang lebih memilih untuk ber-tindak daripada mengangkat tangan. Seseorang itu terwujud dalam bentuk Ronald Reagan. Dan saat Ronald Reagan tampil di TV dan menyebut kaum Shorawi sebagai "the Evil Empire," Baba segera keluar dan membeli gambar sang presiden yang sedang tersenyum lebar sambil mengangkat kedua ibu jarinya. Dia membingkai gambar itu dan menggantungkannya di ruang tamu kami, tepat di sebelah foto hitam putih bergambar dirinya, yang menge-nakan dasi tipis, yang sedang bersalaman dengan Raja Zahir Shah. Kebanyakan tetangga kami di Fremont bekerja sebagai sopir bus, polisi, penjaga pom bensin, dan para ibu tak bersuami yang hidup meng-andalkan tunjangan sosial, benar-benar jenis pekerja kerah-biru yang akan segera kehabisan napas, terbekap oleh bantal Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Reganomics. Baba adalah satu-satunya pendukung partai Republik di gedung kami. Tetapi polusi udara di Bay Area menyengat matanya, berisik lalu lintas membuatnya sakit kepala, dan serbuk bunga membuatnya menderita batuk. Buah-buahan selalu kurang manis, air selalu kurang bersih, dan di mana semua pepohonan dan tanah lapang? Selama dua tahun, aku terus mencoba membujuk Baba untuk mengikuti kelas-kelas ESL-English as Second Language -untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya yang patahpatah. Tetapi Baba selalu menentangku. "Mungkin aku akan berhasil mengeja kata 'cat' dan gurunya akan memberiku sebuah bintang kecil berkilauan agar aku bisa cepat-cepat pulang dan memamerkannya padamu," gerutunya. Pada suatu hari Minggu pada musim semi 1983, aku memasuki sebuah toko buku kecil yang menjual buku-buku paperback bekas, yang terletak di dekat gedung bioskop India, di sebelah barat jalur kereta Amtrak yang melintasi Fremont Boulevard. Aku memberitahu Baba bahwa aku akan keluar selama lima menit dan dia hanya mengangkat bahu. Baba, yang saat itu bekerja di sebuah pom bensin di Fremont, sedang libur. Aku mengamatinya berjalan serampangan menyusuri Fremont Boulevard dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memasuki Fast & Easy, toko kelontong kecil yang dikelola pasangan Vietnam tua, Mr. dan Mrs. Nguyen. Mereka berdua berambut-kelabu dan sangat ramah; Mrs. Nguyen menderita Parkinson, dan Mr. Nguyen pernah menjalani operasi pinggul. "Sekarang dia seperti Six Million Dollar Man," wanita tua itu selalu mengatakannya padaku, sambil tertawa, memamerkan gusi tak bergigi. "Kamu ingat Six Million Dolar kan, Amir?" Lalu Mr. Nguyen akan melotot untuk menirukan Lee Majors, berpura-pura berlari dalam gerakan lambat. Aku sedang membalik-balik sebuah buku kisah misteri Mike Hammer bekas saat aku mendengar suara jeritan dan kaca pecah. Saat itu juga, aku meletakkan buku itu dan bergegas menyeberangi jalan. Pasangan Nguyen berdiri di belakang meja pajangan, merapat ke tembok, wajah mereka pucat pasi, lengan Mr. Nguyen memeluk erat istrinya. Di lantai: jeruk-jeruk berceceran, rak majalah terbalik, toples dendeng sapi pecah berantakan, dan pecahan kaca berserakan di sekeliling kaki Baba. Temyata Baba tidak membawa uang tunai untuk membayar jeruk yang dibelinya. Dia menulis cek untuk Mr. Nguyen, dan Mr. Nguyen menanyakan kartu identitasnya. "Dia ingin melihat kartu identitasku," Baba berteriak dalam bahasa Farsi. "Sudah dua tahun kita beli buah di Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tokonya dan menebalkan sakunya dan si bangsat ini ingin melihat kartu identitasku!" "Baba, ini bukan masalah pribadi," aku menenangkannya sambil melemparkan senyuman pada pasangan Nguyen. "Mereka memang harus menanyakan kartu identitas." "Keluarlah dari sini," kata Mr. Nguyen, maju ke depan, melindungi istrinya. Dia menunjuk Baba dengan tongkatnya, lalu mengalihkan perhatiannya padaku. "Kamu anak muda yang baik, tapi ayahmu, dia memang gila. Dia tidak diterima lagi di toko ini." "Apa dia pikir aku pencuri?" nada suara Baba meninggi. Di luar toko, orang-orang berkerumun. Mereka menonton kami. "Negara macam apa ini? Semua orang saling tidak percaya!" "Aku akan menelepon polisi," kata Mrs. Nguyen, melongokkan kepalanya dari balik tubuh Mr. Nguyen. "Kalian keluar, atau aku menelepon polisi." "Saya mohon, Mrs. Nguyen, jangan telepon polisi. Saya akan membawanya pulang. Jangan telepon polisi, oke? Tolonglah?" "Ya, bawa dia pulang. Ide bagus," sahut Mr. Nguyen. Dari balik kacamata bifokal berbingkai kawatnya, tatapannya tidak pernah melepaskan Baba. Aku membimbing Baba keluar melalui pintu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

depan. Saat melangkah keluar, Baba menendang majalah yang tergeletak di lantai. Setelah aku membuatnya berjanji untuk tidak lagi memasuki toko itu, aku kembali ke dalam dan meminta maaf pada pasangan Nguyen. Aku mengatakan pada mereka bahwa ayahku sedang melewati masa-masa sulit. Aku memberikan nomor telepon dan alamat kami pada Mrs. Nguyen, dan memintanya memperkirakan ganti rugi yang harus kami berikan untuk kerusakan yang ditimbulkan Baba. "Saya mohon Anda menelepon saya segera setelah Anda mengetahuinya. Saya akan membayar semuanya, Mrs. Nguyen. Saya benar-benar mohon maaf." Mrs. Nguyen mengambil lembaran kertas berisi nomor telepon dan alamat rumah kami itu dari tanganku dan aku mengangguk. Tangan wanita tua itu lebih gemetar daripada biasanya. Hal itu memunculkan amarahku pada Baba; dia telah menyebabkan seorang wanita tua gemetar seperti itu. "Ayah saya masih menyesuaikan diri dengan kehidupan di Amerika," kataku, berusaha menjelaskan. Aku ingin memberitahunya bahwa, di Kabul, kami hanya perlu mematahkan ranting pohon dan menggunakannya sebagai kartu kredit. Aku dan Hassan akan membawa tongkat kayu ke tukang roti. Dia akan menggurat permukaan tongkat itu dengan pisaunya, satu guratan untuk Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

setiap lembar naan, yang dia tarik langsung dari tandoor dengan api bergolak untuk diberikan pada kami. Pada akhir bulan, ayahku akan membayamya berdasarkan guratan pada tongkat. Begitu saja. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada kartu identitas. Namun aku tidak mengatakannya pada mereka. Aku mengucapkan terima kasih pada Mr. Nguyen karena dia tidak menelepon polisi. Setelah itu, aku membawa Baba pulang. Baba memberengut dan merokok di balkon, sementara aku menyiapkan nasi dengan lauk setup leher ayam. Sudah satu setengah tahun sejak kami melangkah keluar dari pesawat Boeing yang membawa kami dari Peshawar, dan Baba masih harus menyesuaikan diri. Malam itu, kami makan dalam keheningan. Setelah dua suapan, Baba menyingkirkan piringnya. Aku meliriknya dari seberang meja, memerhatikan kukunya yang tak rata dan menghitam karena oli mesin, buku-buku jarinya yang penuh goresan, aroma pompa bensin debu, keringat, dan bensin yang menempel pada pakaiannya. Baba bagaikan seorang duda yang menikah lagi, namun tetap belum bisa melupakan istrinya yang telah meninggal. Dia merindukan hamparan kebun tebu di Jalalabad dan taman-taman di Paghman. Dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

merindukan orang-orang yang keluar masuk rumahnya, merindukan berjalan-jalan di tengah hiruk pikuk gang-gang pasar Shor dan me-nyapa mereka yang mengenali dirinya dan ayahnya, yang mengenali kakeknya, mereka yang berasal dari nenek moyang yang sama dengannya, yang masa lalunya berhubungan. Bagiku, Amerika adalah tempat untuk mengubur kenangan-kenanganku. Bagi Baba, tempat untuk meratapi kenangan-kenangannya "Mungkin lebih baik kita kembali ke Peshawar," ujarku, memandangi butiran es yang mengambang di gelasku. Kami menghabiskan waktu selama enam bulan di Peshawar, menunggu INS mengeluarkan visa kami. Apartemen berkamar satu kami yang suram menguarkan bau kaos kaki kotor dan kotoran kucing, namun kami berada di tengah orang-orang yang kami kenal-setidaknya yang dikenal Baba. Dia pernah meng-undang makan malam tetangga-tetangga yang tinggal di sepanjang koridor kami, kebanyakan dari mereka adalah warga Afghanistan yang sedang menanti visa. Seperti biasanya, seseorang akan membawa sepe-rangkat tabla, dan seseorang yang lain akan membawa seperangkat harmonium. Teh akan diseduh, dan siapa pun yang kebetulan bisa menyanyi akan menyanyi

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

hingga matahari terbit, nyamuk-nyamuk berhenti berdengung, dan tepukan tangan melemah. "Baba lebih bahagia di sana. Rasanya lebih seperti di rumah," ujarku. "Peshawar baik untukku. Tidak baik untukmu." "Baba bekerja terlalu keras di sini." "Sekarang keadaannya tidak seburuk dulu," mak-sud Baba, setelah dia diangkat menjadi manajer siang hari di pompa bensin itu. Tapi aku memerhatikan caranya mengemyitkan wajah dan mengurut pergelangan tangannya pada hari-hari lembap. Butir-butir keringat yang bermunculan di keningnya saat dia meraih obat mag setelah makan. "Lagipula, aku tidak membawa kita kemari untuk diriku, bukan?" Aku mengulurkan tanganku ke seberang meja dan menggenggam tangan Baba. Tangan pelajarku yang bersih dan lembut, tangan buruhnya yang kasar dan berkapal. Aku memikirkan semua truk-truk mainan, set-set kereta api mainan, dan sepeda-sepeda yang pernah dia belikan untukku di Kabul. Sekarang Baba memberiku Amerika. Satu hadiah terakhir untuk Amir. Hanya sebulan setelah kami tiba di AS, Baba mendapatkan pekerjaan di Washington Boulevard sebagai petugas di pompa bensin milik seorang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

warga Afghan kenalannya dia mulai mencari pekerjaan langsung pada minggu pertama kedatangan kami. Enam hari dalam seminggu, Baba menjalankan giliran jam kerjanya, selama dua belas jam memompa bensin, menjaga kasir, mengganti oli, dan mencuci kaca depan mobil. Kadangkadang aku membawakan makan siang untuknya dan mendapatinya sedang mencari-cari rokok di rak, seorang pelanggan menunggu di sisi lain meja kasir yang dipenuhi noda oli, wajah Baba tampak letih dan pucat di bawah cerahnya cahaya fluorescent. Bel elektrik di pintu akan berdering saat aku memasuki tempat itu, dan Baba akan memalingkan wajahnya, melambai dan tersenyum, matanya berair akibat kelelahan. Pada hari yang sama saat dia mendapatkan pekerjaan, aku dan Baba pergi ke San Jose untuk menemui Mrs. Dobbins, petugas yang mengurusi kewarganegaraan kami. Dia adalah seorang wanita berkulit hitam yang menderita kegemukan, dengan mata bercahaya dan senyuman yang memunculkan lesung pipi. Suatu kali, dia memberitahuku bahwa dia adalah seorang penyanyi gereja, dan aku memercayainya suaranya membuatku memikirkan susu hangat dan madu. Baba menjatuhkan setumpuk kupon makanan di atas meja Mrs. Dobbins. "Terima kasih, tapi saya tidak ingin," kata Baba. "Saya bekerja selalu. Di Afgahnistan saya kerja, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

di Amerika saya kerja. Terima kasih banyak, Mrs. Dobbins, tapi saya tidak suka uang cuma-cuma." Mrs. Dobbins mengedipkan mata. Dia mengambil tumpukan kupon makanan itu, menatapku dan Baba, seolah-olah kami sedang bercanda, atau "mengerjainya," begitulah yang biasa dikatakan Hassan. "Sudah lima belas tahun aku bertugas di sini, dan tidak seorang pun pernah melakukannya," katanya. Dan begitrulah Baba mengakhiri saat-saat memalukan yang melibatkan kupon makanan di depan kasir, dan meringankan salah satu ketakutan terbesamya: Bahwa seorang warga Afghan akan melihatnya membeli makanan dengan uang sedekah. Baba melangkah keluar dari kantor petugas sosial itu layaknya seorang pria yang baru sembuh dari penyakit tumor. Pada musim panas 1983, aku lulus dari SMA di umurku yang ke-20. Sejauh itu, aku adalah siswa senior tertua yang turut melontarkan topi wisuda di lapangan football hari itu. Aku ingat saat aku kehilangan Baba di antara lautan keluarga, kilatan kamera, dan toga biru. Aku menemukannya di dekat garis 25 yard, mengantungi tangan, kamera tergantung di lehemya. Baba menghilang dan muncul kembali di antara ke-rumunan manusia yang bergerak di antara kami: para siswi berbusana Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

biru yang saling memekik, memeluk, dan menangis, para siswa yang saling berhighftve pada kawan-kawan dan ayah mereka. Jenggot Baba berwama kelabu, rambut di atas keningnya mulai menipis, dan tidakkah saat di Kabul dia tampak lebih tinggi? Baba mengenakan setelan cokelatnya satusatunya setelan yang dia miliki, setelan yang sama yang dikenakannya untuk menghadiri pesta pemikahan dan upacara pemakaman warga Afghan dan dasi merah yang kubelikan untuknya saat dia merayakan ulang tahunnya yang ke-50 tahun itu. Baba melihatku dan melambaikan tangannya. Tersenyum. Dia memberiku isyarat untuk kembali mengenakan topi wisudaku, dan mengambil foto diriku dengan latar belakang menara jam sekolah. Aku ter-senyum padanya-di satu sisi, hari ini lebih berarti baginya daripada bagiku. Baba mendekatiku, menga-lungkan lengannya di leherku, dan mencium kening-ku. "Aku moftakhir, Amir," katanya. Bangga. Matanya berbinar saat mengatakannya dan aku menyukai saat aku menerima tatapannya. Malamnya, Baba membawaku ke kedai kebab khas Afghan di Hayward dan memesan begitu banyak makanan. Dia mengatakan pada pemiliknya bahwa putranya akan mulai kuliah pada musim gugur nanti. Sesaat sebelum upacara kelulusan aku bertukar Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pendapat dengannya tentang masalah ini, memberitahunya bahwa aku ingin mencari pekerjaan. Aku ingin membantunya, menabung, mungkin aku akan mulai kuliah tahun berikutnya. Namun dia menatapku dengan tatapan penuh arti khas Baba, dan kata-kata yang sudah tertata rapi di lidahku pun seketika menguap. Setelah selesai makan malam, Baba membawaku ke bar di seberang restoran itu. Tempat itu suram, dan aroma bir yang menusuk, yang selamanya tidak kusukai, menempel di dindingnya. Para pria yang mengenakan topi pet dan kaus tanpa lengan bermain biliar, gum-palan asap rokok menggantung di atas meja-meja hijau, bergerak di bawah cahaya lampu fluorescent. Kami saling menatap, Baba masih mengenakan setelan cokelatnya dan aku mengenakan celana yang tersetrika rapi dan jaket olahraga. Kami duduk di bar, di sebelah seorang pria tua, yang wajah keriputnya tampak mengerikan dalam cahaya lampu biru iklan Michelob di depannya. Baba menyalakan rokok dan memesan bir untuk kami. "Malam ini aku sangat bahagia," seolah bicara pada dirinya sendiri, Baba mengumumkan berita ini pada semua orang. "Malam ini aku minum dengan putraku. Dan satu lagi, tolong, untuk temanku," katanya sambil menepuk punggung pria tua itu. Pak tua itu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengangkat topinya dan memberinya senyuman. Gigi atasnya ompong. Baba menghabiskan bimya dalam tiga tegukan dan memesan satu gelas lagi. Saat aku baru memaksa diriku menghabiskan seperempat gelas, Baba telah menghabiskan tiga gelas bir. Saat itu dia telah membelikan segelas scotch untuk Pak Tua itu dan satu pitcher Budweiser pada empat pria yang sedang bermain biliar. Pria-pria itu menjabat tangannya dan menepuk punggungnya. Mereka minum untuknya. Seseorang menyalakan rokok yang akan diisapnya. Baba melonggarkan dasinya dan memberikan segenggam koin 25 sen pada si Pak Tua dan menunjuk ke arah jukebox. "Bilang padanya untuk memainkan lagu kesukaannya," katanya padaku. Pak Tua itu mengangguk dan memberi hormat pada Baba. Beberapa saat kemudian, musik country membahana, dan, hanya dengan begitu, Baba telah menyelenggarakan sebuah pesta. Di tengah keramaian, tiba-tiba Baba berdiri, mengangkat gelas bimya, menumpahkan sebagian isinya ke lantai yang tertutup serbuk gergaji, dan meneriakkan, "Dasar Rusia keparat!" Teriakan itu segera disusul dengan gelegar tawa bersahutan yang memekakkan telinga. Sekali lagi, Baba membelikan minuman pada semua orang itu.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat kami meninggalkan tempat itu, semua orang merasa bersedih melihat Baba pergi. Kabul, Peshawar, Hayward. Baba tidak berubah; pikiran itu membuatku tersenyum. Aku membawa Baba pulang dalam mobil Buick Century tua wama kuning tanah milik Baba. Di sepanjang jalan Baba tertidur, mendengkur seperti bor. Dari tubuhnya menguar aroma tembakau dan alkohol, manis dan tajam. Namun saat aku menghentikan mobil, Baba segera terbangun dan berkata dengan lantang, "Terus jalan sampai ujung blok ini." "Kenapa, Baba?" "Jalan saja." Baba menyuruhku memarkir mobil di ujung selatan jalan, dia merogoh saku mantelnya dan menyerahkan sebuah kunci padaku. "Lihatlah," katanya seraya menunjuk mobil yang diparkir di depan kami. Sebuah Ford model kuno, panjang dan lebar, wama gelapnya tidak terlihat di bawah cahaya bulan. "Mobil ini perlu dicat ulang, dan aku akan menyuruh seseorang di tempat kerjaku mengganti onderdilnya dengan yang baru, namun ia bisa jalan." Aku menerima kunci itu dan diam terpaku, kutatap Baba, lalu mobil itu. "Kau akan membutuhkannya untuk pergi kuliah," katanya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku meraih tangannya. Menggenggamnya. Air mataku mengalir dan aku merasa lega karena kegelapan malam menyembunyikan wajah kami. "Terima kasih, Baba." Kami keluar dari mobil Baba dan duduk di dalam Ford itu. Model Grand Torino. Wamanya biru gelap, kata Baba. Aku mengendarainya mengelilingi blok, menguji remnya, lampu seinnya. Aku memarkimya di depan gedung apartemen kami dan mematikan mesinnya. "Tashakor, Baba jan," ucapku. Aku ingin mengatakan lebih banyak, betapa aku tersentuh dengan kebaikannya, betapa aku menghargai semua yang telah dilakukannya untukku, semua yang masih dilakukannya. Namun aku tahu bahwa semua itu hanya akan membuatnya malu. "Tashakor," maka aku mengulangnya. Baba tersenyum dan menyandarkan kepalanya pada dudukan leher, keningnya hampir menyentuh atap mobil. Kami tidak berkata-kata. Hanya duduk dalam kegelapan, mendengarkan denting mesin yang mulai mendingin, lengkingan sirene di kejauhan. Lalu Baba memalingkan kepalanya ke arahku. "Aku berharap saat ini Hassan ada di sini bersama kita," katanya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sepasang tangan baja mencekik leherku saat Baba menyebutkan nama Hassan. Aku menurunkan jendela. Menanti tangan-tangan baja itu melonggarkan cengkeramannya. Aku akan mendaftar ke perguruan tinggi pada musim gugur, itulah yang kukatakan pada Baba seusai upacara kelulusan. Baba sedang menghirup teh hitam dingin dan mengunyah kuaci cardamom, yang diyakininya merupakan penangkal sakit kepala yang timbul akibat mabuk. "Kurasa aku ingin mengambil jurusan bahasa Inggris," kataku. Dalam hati aku mempersiapkan diri menerima rasa sakit, menantikan jawabannya. "Bahasa Inggris?" "Penulisan kreatif." Baba mempertimbangkan perkataanku. Terus menyesap tehnya. "Cerita, itu yang kaumaksud. Kau mau mengarang cerita." Aku menunduk, meman-dangi kakiku. "Apa kau akan dibayar untuk itu, mengarang cerita?" "Kalau aku menjadi penulis yang bagus," kataku. "Dan kalau aku ditemukan." "Berapa besar kemungkinannya, ditemukan?" "Hal itu senantiasa terjadi," jawabku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Baba mengangguk. "Dan apa yang akan kaulakukan saat kau menunggu dirimu menjadi penulis yang bagus dan ditemukan? Bagaimana kau akan mendapat uang? Kalau kau menikah, bagaimana kau akan menghidupi khanummu?" Aku tidak sanggup menatap matanya. "Aku a-kan ... mencari pekerjaan." "Oh," sahutnya. "Wah, wah! Jadi, begini yang kumengerti, kau akan menghabiskan beberapa tahun kuliah untuk mendapatkan gelar, lalu kau akan mendapatkan pekerjaan chatti seperti yang kulakukan, pekerjaan yang bisa saja dengan mudah kaudapatkan hari ini, sambil sedikit berharap bahwa suatu hari nanti, gelarmu akan membantumu untuk ... ditemukan." Baba menghirup napas panjang dan menyesap tehnya. Menggerutu tentang sekolah kedokteran, sekolah hukum, dan "pekerjaan be-tulan." Pipiku terasa panas dan rasa bersalah menggerogotiku, rasa bersalah karena diriku berperan dalam memperparah penyakitnya, yang menyebabkan kuku-kukunya menghitam, dan pergelangan tangan- nya nyeri. Tapi aku akan tetap memegang keingin- anku, putusku. Aku tidak ingin lagi berkorban untuk Baba. Terakhir kali aku melakukannya, aku telah membuat diriku sendiri terpuruk. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Baba menghela napas dan, kali ini, memasukkan segenggam penuh kuaci cardamom ke dalam mulutnya. Kadang-kadang, aku duduk di belakang kemudi Fordku, membuka jendelanya, dan mengendarainya selama berjam-jam, dari East Bay sampai ke South Bay, menuju Peninsula dan kembali lagi. Aku bermobil melalui jalan-jalan dengan deretan pohon kapuk di lingkungan kami di Fremont, tempat para warga, yang tidak pernah berjabatan tangan dengan para raja, tinggal dalam rumah-rumah kumuh berlantai satu, dengan jendela berterali, dan dengan mobil-mobil tua seperti milikku meneteskan oli di jalan masuk belakang yang beratap hitam. Pagar berantai abu-abu membatasi halaman belakang dari halaman tetangga. Mainan, ban bekas, dan botol-botol bir dengan label terkelupas berserakan di halaman depan yang tak terawat. Aku bermobil melewati taman-taman yang teduh, yang menguarkan aroma kulit kayu, melewati ruko-ruko yang cukup besar untuk menyelenggarakan lima pertandingan Buzkashi bersamaan. Aku mengendarai Torinoku ke atas per-bukitan Los Altos, melewati rumah-rumah mewah dengan jendela yang memberikan pemandangan bagai lukisan dan singa-singa perak yang menjaga pagar besi-tempa, rumah-rumah dengan patung malaikat yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memancarkan air berjajar di jalan masuk yang terawat, tanpa adanya Ford Torino terparkir di sana. Rumah-rumah yang akan membuat rumah Baba di Wazir Akbar Khan tampak bagaikan pondok pelayan. Pada suatu Sabtu pagi, aku bangun lebih awal dan bermobil ke selatan melalui Highway 17, mengendarai Fordku melalui jalan pegunungan yang berkelok menuju Santa Cruz. Aku akan memarkir mobilku di dekat mercusuar tua dan menantikan matahari terbit, duduk di mobilku dan menyaksikan kabut berarak dari laut. Di Afghanistan, aku hanya pernah melihat lautan di gedung bioskop. Saat aku duduk dalam kegelapan di samping Hassan, aku selalu membayangkan, apakah yang telah kubaca dalam buku benar, bahwa air laut beraroma garam. Aku sering berkata pada Hassan bahwa suatu hari nanti, kami akan berjalan-jalan di pantai yang ditumbuhi rumput laut, membenamkan kaki kami ke dalam pasir, dan menyaksikan air mengalir melewati sela-sela jari kaki kami. Saat pertama kali melihat Samudra Pasifik, aku hampir menangis. Lautan itu seluas dan sebiru lautan-lautan yang kulihat di layar bioskop pada masa kecilku. Terkadang, di pagi buta, aku memarkir mobilku dan berjalan melewati jalan pribadi rumah-rumah mewah itu. Aku akan menempelkan wajahku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ke pagar, mencoba menghitung kilatan merah lampu-lampu belakang mobil yang berjajar sejauh mata memandang. BMW. Saab. Porsche. Mobilmobil yang tak pernah kulihat di Kabul, tempat sebagian besar orang mengen-darai Volga keluaran Rusia, Opel tua, atau Paikan ke-luaran Iran. Hampir dua tahun berlalu sejak kami tiba di AS dan aku masih terpesona oleh luasnya negara ini. Setiap jalan bercabang ke jalan lain, setiap kota berbatasan dengan kota lain, di balik perbukitan terdapat pegu-nungan dan di balik pegunungan terdapat per-bukitan, dan di baliknya, terdapat lebih banyak lagi kota dan penduduk. Lama sebelum pasukan Roussi berbaris memasuki Afghanistan, lama sebelum perkampungan-perkampungan dibakar dan sekolah-sekolah dihancurkan, lama sebelum pertambangan bertebaran bagaikan bibit-bibit kematian dan anak-anak dikuburkan di bawah tumpukan batu, bagiku, Kabul telah menjadi kota hantu. Kota yang dipenuhi hantu-hantu berbibir sumbing. Amerika berbeda. Amerika adalah sebuah sungai, mengalir deras, tanpa memedulikan masa silam. Aku bisa menghanyutkan diriku mengikuti arus sungai itu, membiarkan dosa-dosaku tenggelam di dasamya, membiarkan sungai itu membawaku ke Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

suatu tempat yang jauh. Suatu tempat yang tidak dihuni oleh hantu, kenangan, dan dosa. Untuk alasan itulah, bukan alasan yang lain, a-ku berdiri tegak di Amerika. Pada musim panas berikutnya, 1984-musim panas saat aku berulang tahun ke-21-Baba menjual Buick-nya dan membeli bus Volkswagen 71 berkondisi menyedihkan seharga $550 dari seorang kenalan lamanya, warga Afghan tua yang dulunya bekerja sebagai guru ilmu pengetahuan alam SMA di Kabul. Pada suatu siang, para tetangga melongokkan kepala, berpaling keheranan saat bus itu memasuki jalan dan bunyi-bunyian berisik mengiringi setiap gerakannya. Baba mematikan mesin dan membiarkan bus itu me-luncur tanpa suara menuju lahan parkir yang sudah kami siapkan. Kami duduk terbenam di jok, tertawa terbahak-bahak hingga air mata mengaliri pipi kami, dan, yang lebih penting, hingga kami yakin bahwa para tetangga tidak lagi memerhatikan kami. Bus itu hanyalah sebuah rongsokan besi tua bertabur karat, jendela-jendelanya yang pecah ditutup dengan kantong sampah hitam, ban-bannya halus, dan dudukannya terburai hingga menampakkan per-per di dalamnya. Tetapi guru tua yang menjualnya telah menyakinkan Baba bahwa mesin dan transmisinya masih kencang dan, dalam hal itu, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

si tua itu tidak ber-bohong. Setiap Sabtu, Baba membangunkanku saat subuh. Selagi dia berpakaian, aku memeriksa iklan kolom di koran lokal dan melingkari iklan-iklan obral garasi. Kami memetakan rute yang akan kami tempuh Fremont, Union City, Newark, dan Hayward menjadi prioritas kami, lalu San Jose, Milpitas, Sunnyvale, dan Campbell jika masih ada waktu. Baba menyetir bus itu sambil menghirup teh panas dari termos, dan aku bertugas menjadi navigator. Kami berhenti untuk mengunjungi tempat yang menyelenggarakan obral garasi dan membeli loakan yang sudah tidak diinginkan orang lain. Kami menawar mesin jahit tua, boneka Barbie bermata satu, raket tenis dari kayu, gitar tanpa senar, dan mesin penyedot debu Electrolux model kuno. Saat waktu beranjak siang, kami telah memenuhi bagian belakang bus VW itu dengan barang-barang bekas. Lalu pada Minggu pagi, kami kembali mengen-darai bus itu ke pasar loak San Jose di daerah Berryessa. Di sana, kami menyewa lahan dan menjual rongsokan yang kami dapatkan sehari sebelumnya untuk mencari keuntungan kecil: sebuah album grup musik Chicago yang kami beli seharga 25 sen bisa terjual seharga $1, atau $4 untuk lima album; mesin

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

jahit Singer loakan yang kami beli seharga $10, dengan sedikit tawar-menawar bisa laku dengan harga $25. Pada musim panas itu, banyak keluarga Afghan yang mencari peruntungan di berbagai bagian di pasar loak San Jose. Lantunan musik Afghan berkumandang di sepanjang lorong bagian Barang Bekas. Terdapat aturan tak terkatakan mengenai sikap yang harus ditunjukan pada sesama warga Afghan di pasar loak itu: Kau menyapa orang yang berjualan di depanmu, kau mengundangnya untuk menikmati kentang bolani atau sedikit qabuli, dan kau mengajak dia mengobrol. Kau memberikan tassali, ungkapan turut berduka cita, saat orangtuanya meninggal, memberi selamat saat anaknya lahir, dan menggelengkan kepalamu dengan penuh kesedihan saat percakapan beralih ke Afghanistan dan para Roussi-yang tak bisa selalu dihindari. Tetapi kau harus menghindari topik hari Sabtu, karena mungkin saja kawan yang berdagang di depanmu adalah seseorang yang hari sebelumnya hampir kautabrak saat kau berpacu keluar dari jalan bebas hambatan, supaya bisa mengalahkannya merambah barang loakan diobral garasi yang kautuju.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Satu-satunya hal yang mengalir lebih kencang daripada teh dalam loronglorong itu adalah gosip Afghan. Pasar loak itu adalah tempat kami menyesap teh hijau dengan campuran kolchas kenari, dan menge-tahui anak-anak perempuan dari keluarga mana saja yang telah memutuskan tali pertunangan dan kabur dari rumah bersama pacar-pacar Amerika mereka, siapa saja yang pernah menjadi Parchami-orang yang menganut paham komunisme di Kabul, dan siapa saja yang telah membeli rumah dengan menggunakan uang simpanan rahasia saat mereka masih menerima tunjangan sosial. Teh, Politik, dan Skandal, itulah campuran yang menggerakkan hari Minggu Afghan di pasar loak. Kadang-kadang aku menjaga stan kami sendirian saat Baba menelusuri lorong, dengan berwibawa menekankan tangannya ke dada, menyapa orang-orang yang dikenalnya saat di Kabul: mekanik dan tukang jahit menjual mantel wol loakan dan helm bersepeda penuh goresan, bersebelahan dengan mantan duta besar, ahli bedah tak laku, dan profesor universitas. Pada suatu Minggu pagi di bulan Juli 1984, saat Baba menyiapkan dagangan, aku membeli dua cangkir kopi dari stan makanan. Saat aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kembali, Baba sedang bercakap-cakap dengan seorang pria lebih tua yang tampak terhormat. Aku meletakkan cangkir kopi kami di bemper depan bus, di dekat stiker bertulisan REAGAN/BUSH FOR '84. "Amir," Baba mengisyaratkan padaku untuk mendekati mereka, "ini Jenderal Sahib, Mr. Iqbal Taheri. Saat di Kabul, Jenderal Taheri pernah dianugerahi bintang penghargaan. Beliau bekerja untuk Kementrian Pertahanan." Taheri. Mengapa nama itu begitu akrab di telingaku? Seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang sering menghadiri pesta-pesta resmi, Sang Jenderal seketika tertawa begitu mendengar lelucon kecil menge-nai orang-orang penting. Rambut tipis kelabunya disisir rapi ke belakang, berbatasan dengan keningnya yang berwama tembaga, dan dua jumput alis tebal berwama putih. Aroma cologne menguar dari tubuhnya yang dibalut setelan berwama kelabu besi, yang terlihat mengilap karena terlalu sering disetrika; rantai jam saku emas tergantung dari rompinya. "Perkenalan yang berlebihan," suaranya dalam dan berbudaya. "Assalamu 'alaikum, bachem." Halo, anakku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Wa'alaikumussalam, Jenderal Sahib," aku menjabat tangannya. Tangan kurus itu memberikan genggaman kuat, seolah-olah yang tersembunyi di balik kulit lem-bapnya itu adalah baja. "Amir akan menjadi penulis yang hebat," kata Baba. Aku sedikit terkejut mendengamya. "Dia telah menyelesaikan tahun pertamanya di perguruan tinggi dan mendapat nilai A untuk semua mata kuliah yang diambilnya." "Persiapan perguruan tinggi," aku mengoreksi perkataan Baba. "Masya Allah," ucap Jenderal Taheri. "Apa kau akan menulis tentang negara kita, atau mungkin sejarah? Ekonomi?" "Saya menulis fiksi," kataku, memikirkan tentang lusinan cerita pendek yang kutulis dalam buku catatan bersampul-kulit yang dihadiahkan Rahim Khan, menduga-duga mengapa aku tiba-tiba merasa malu saat mengingat kisah-kisah itu di hadapan pria ini. "Ah, seorang pendongeng," kata Sang Jenderal. "Yah, orang-orang membutuhkan kisah-kisah yang indah untuk mengalihkan pikiran mereka di masa-masa susah seperti sekarang ini." Dia meletakkan tangannya di bahu Baba seraya memandangku. "Omong-omong tentang cerita, aku dan ayahmu pernah ber-buru merak bersama di Jalalabad pada suatu hari Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

musim panas," katanya. "Itu sangat menyenangkan. Kalau aku mengingatnya dengan benar, sudah terbukti bahwa mata ayahmu sama tajamnya dalam berburu dan dalam berbisnis." Baba menendang sebuah raket tenis kayu yang tergeletak di atas alas terpal kami dengan ujung sepatu botnya. "Beberapa bisnis." Jenderal Taheri berhasil menampilkan senyum yang menunjukkan kesedihan dan kesopanan, menghela napas, dan dengan lembut menepuk punggung Baba. "Zendagi migzara," ujamya. Hidup terus berjalan. Dia mengalihkan tatapannya padaku. "Kita bangsa Afghan gemar melebihlebihkan, bachem, dan aku sering men-dengar banyak pria disebut hebat. Tetapi ayahmu jelas-jelas termasuk dalam sedikit orang yang pantas menerima sebutan itu." Ceramah singkat ini, bagiku ter-dengar seperti kesan yang ditimbulkan oleh setelan yang dia kenakan: sering dipakai dan terlalu mengilap. "Kau membuatku tersanjung," kata Baba. "Aku tidak menyanjungmu," balas Sang Jenderal, menolehkan kepalanya ke samping dan menekankan tangannya ke dada untuk mengisyaratkan kerendahan hati. "Anak-anak harus mengetahui kehebatan ayah mereka."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia menatapku. "Kau menghargai kehebatan ayahmu, bachem! Apa kau benar-benar menghargainya?" "Ba/ay, Jenderal Sahib, saya menghargai kehebatan Baba," ujarku, berharap pria itu berhenti memanggilku "anakku." "Kalau begitu selamat, kau sudah setengah jalan untuk menjadi seorang pria dewasa," dia berkata tanpa menunjukkan tanda-tanda sedang bercanda, tanpa ironi, pujian sambil lalu yang menunjukkan arogansi. "Padar jan, ini tehmu." Suara seorang wanita muda. Dia berdiri di belakang kami, gadis cantik berpinggul ramping dengan rambut lembut sehitam batu bara, memegang termos terbuka dan gelas styrofoam di tangannya. Aku mengedipkan mata, jantungku berdebar kencang. Gadis itu memiliki sepasang alis hitam tebal yang bertaut di tengah, bagaikan lekukan sayap seekor burung yang sedang terbang, dan hidung yang membulat indah, khas seorang putri Persia kuno-mungkin seperti milik Tahmineh, istri Rostam dan ibu Sohrab dalam kisah Shahnamah. Tatapan matanya, secokelat kenari dan dilindungi oleh bulu mata yang lentik, bertemu dengan tatapanku. Sesaat. Dan dia pun berlalu. "Kau baik sekali, sayangku," kata Jenderal Taheri. Dia memungut gelas itu dari tangan si gadis. Sebelum dia meninggalkan kami, aku masih sempat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memerhatikan tanda lahir di atas garis rahangnya, berbentuk sabit berwama coklat, yang menodai kulit mulusnya dengan indah. Dia berjalan menuju sebuah van kelabu kusam yang berjarak dua lorong dari tempat kami berjualan dan meletakkan termos yang dipegangnya di dalam. Saat dia berlutut di antara berkotak-kotak album rekaman dan buku-buku paperback tua, helaian rambutnya jatuh melewati telinga. "Putriku, Soraya jan," Jenderal Taheri mengumumkan. Setelahnya, dia menghela napas panjang, seolah-olah begitu ingin mengubah topik pembicaraan, dan melirik jam saku emasnya. "Wah, sudah saatnya kita mulai berjualan." Dia mencium pipi Baba dan men-jabat tanganku dengan kedua tangannya. "Semoga kau beruntung dengan tulisanmu," katanya sambil menatap mataku. Pikiran apa pun yang terlintas di benaknya, tersembunyi dalam biru pucat matanya. Sepanjang hari itu, aku melawan dorongan untuk menatap van kelabu milik Jenderal Taheri. Aku mengingatnya dalam perjalanan pulang. Taheri. Aku tahu, aku pernah mendengar nama itu sebelumnya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Bukankah ada cerita yang beredar tentang putri Taheri?" aku bertanya kepada Baba, berusaha meluncurkannya sebagai pertanyaan basa-basi. Kau mengenalku," kata Baba. Bus kami merayap perlahan di tengah antrean keluar pasar loak. "Kalau pembicaraan mulai berubah menjadi pergosipan, aku lebih baik pergi." "Tapi pernah ada, bukan?" aku bersikeras. "Kenapa kau bertanya?" Baba memandangku dengan tatapan geli. Aku mengangkat bahu dan berusaha keras menahan senyum. "Hanya ingin tahu, Baba." "Benarkah? Hanya itu?" tanyanya, sambil terus menatapku geli. "Apakah gadis itu telah memikatmu?" Aku memutar mata. "Tolonglah, Baba." Baba tersenyum, dan membelokkan bus itu keluar dari kawasan pasar loak. Kami menuju ke Highway 680. Selama beberapa saat kami terdiam. "Yang pernah kudengar hanyalah pernah ada seorang pria dan kelanjutannya ... tidak berjalan dengan baik." Baba mengatakannya dengan nada suram, seolah-olah sedang memberitahuku bahwa gadis itu menderita kanker payudara. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh." "Kudengar gadis itu sopan, rajin bekerja, dan baik. Namun belum pernah ada khastegar, jodoh, yang mengetuk pintu Jenderal sejak saat itu." Baba menghela napas. "Mungkin ini tidak adil, tapi sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang, Amir," katanya. Saat aku berbaring tanpa mampu menutup mata di tempat tidurku malam itu, aku memikirkan tanda lahir berbentuk sabit milik Soraya Taheri, hidungnya yang membulat lembut, dan mata lebamya yang sekilas menatap mataku. Jantungku berdebar setiap kali aku memikirkannya. Soraya Taheri. Putri Pasar Loakku. Dua belas Di Afganistan, yelda adalah malam pertama dalam bulan Jadi, malam pertama musim dingin, dan malam terpanjang dalam setahun. Sesuai tradisi, pada malam yeida, aku dan Hassan begadang hingga larut malam, menyembunyikan kedua kaki kami di bawah kursi, sementara Ali melemparkan kulit apel ke dalam tungku pemanas dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menceritakan pada kami kisah-kisah kuno tentang para sultan dan para perompak untuk melewati malam terpanjang itu. Dari Ali aku mendengar kisah-kisah rakyat tentang yeida, tentang ngengat-ngengat pembawa masalah yang menghanguskan diri mereka pada api-api lilin, dan serigalaserigala yang mendaki gunung untuk mencari matahari. Ali bersumpah pada kami, bahwa jika kami memakan semangka pada malam yeida, kami tidak akan kehausan saat musim panas tiba. Saat aku beranjak remaja, aku membaca dalam buku-buku puisiku bahwa yeida adalah malam tak berbintang yang memberikan siksaan panjang pada para kekasih, malam yang membuat mereka berjuang melewati kegelapan tak berujung, menanti sang surya terbit dan menghadirkan kekasih mereka kembali. Setelah aku bertemu dengan Soraya Taheri, setiap malam sepanjang minggu menjadi yelda bagiku. Dan saat Minggu pagi tiba, saat aku beranjak dari tempat tidurku, raut wajah bermata cokelat milik Soraya Taheri telah memenuhi kepalaku. Dalam bus Baba, aku menghitung setiap mil yang kami lalui hingga aku melihat gadis itu bertelanjang kaki, merapikan kotak-kotak kardus berisi ensiklopedia tua yang kertasnya telah menguning, tumitnya terlihat begitu putih di atas aspal, gelang perak teruntai mengelilingi perge-langan kakinya yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ramping. Aku memikirkan bayangan di tanah yang ditimbulkan oleh rambut indah yang terurai di punggungnya bagaikan sehelai tirai beludru. Soraya. Putri Pasar Loak. Cahaya matahari pagi yang mengakhiri yelda-ku. Aku mengarang alasan untuk menyusuri lorong yang disetujui Baba dengan seringai Jenaka dan melewati stan Taheri. Aku akan melambai pada Sang Jenderal, yang senantiasa mengenakan setelan kelabu-nya yang mengilap karena terlalu sering disetrika, dan pria itu akan melambai padaku. Kadang-kadang, dia akan bangkit dari kursi direktur yang didudukinya, dan kami akan sedikit berbasa-basi mengenai tulisanku, perang, dan penjualan pada hari itu. Dan aku harus menahan pandanganku supaya tidak berkelana kemana-mana, berusaha tidak memandang Soraya yang sedang duduk membaca buku. Aku dan Sang Jenderal akan saling memberi ucapan sampai jumpa dan aku akan berusaha berjalan dengan tegak saat meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang dia duduk sendiri, Sang Jenderal pergi ke suatu tempat untuk bersosialisasi, dan aku akan melewati stannya, berpura-pura tidak mengenalnya, namun benar-benar berharap dapat mengenal-nya. Kadangkadang dia menjaga stan itu bersama seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk, berkulit pucat, dan berambut merah hasil pewamaan. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berjanji pada diriku sendiri, bahwa sebelum musim panas berakhir aku akan mengajaknya bercakap-cakap, namun tahun ajaran baru kembali dimulai, daun-daun memerah, menguning, dan berguguran ke tanah, hujan musim dingin mulai turun dan mengambuhkan nyeri pada persendian Baba, tunas-tunas kembali ber-munculan, dan aku tetap tidak memiliki di/, keberanian, untuk menatap matanya. Musim semi berakhir pada penghujung bulan Mei 1985. Aku telah menyelesaikan semua kelas pendidikan umum. Sebuah keajaiban kecil, karena sepanjang kuliah, aku hanya duduk dan memikirkan hidung membulat milik Soraya. Lalu, pada suatu hari Minggu yang panas menyengat, aku dan Baba berjualan di pasar loak, duduk di stan kami, mengipasi wajah kami dengan lipatan koran. Meskipun panas yang dipancarkan matahari saat itu menyengat bagaikan cap besi, pasar loak itu dijejali pembeli dan penjualan kami pun meningkat saat itu baru pukul 12.30 namun kami sudah berhasil mengumpulkan $160. Aku bangkit, meregangkan badan, dan menawarkan pada Baba untuk membeli soda. Baba berkata bahwa dia juga menginginkan soda. "Berhati-hatilah, Amir," ujamya saat aku mulai beranjak. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Pada apa, Baba?" "Aku bukan seorang ahmaq, jadi jangan coba-coba membodohiku." "Aku tidak mengerti, apa yang sedang Baba bicara-kan?" "Ingat ini," Baba mengacungkan telunjuknya padaku. "Lelaki tua itu seorang Pashtun hingga ke akar-akamya. Dia memiliki nang dan namoos." Nang. Namoos. Kehormatan dan kebanggaan. Prinsip utama pria-pria Pashtun. Terutama jika berhubungan dengan kehormatan seorang istri. Atau anak perempuan. "Aku hanya akan membeli minuman." "Jangan mempermalukanku, itu saja kuminta." "Ya, Tuhan. Aku tidak akan mempermalukan Baba." Baba menyalakan rokok dan mulai mengipasi diri-nya kembali. Aku berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi stan-stan penjualan, berbelok ke kiri di dekat stan penjual kaus di situ, hanya dengan $5, pengunjung bisa mendapatkan wajah Yesus, Elvis, Jim Morrison, atau ketiganya, disablon pada kaos nilon putih. Alunan musik Mariachi menghidupkan stan itu, dan dari situ tercium aroma acar dan daging panggang.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku melihat van kelabu keluarga Taheri diparkir dua mobil dari bus kami, bersebelahan dengan kios yang menjual mangga-tusuk. Dia ada di sana sendirian, membaca. Hari ini dia mengenakan gaun musim panas wama putih sepanjang mata kaki. Sandal yang menon-jolkan jari-jari kakinya. Rambutnya diikat ke belakang dengan ikat rambut berhias bunga tulip. Seperti biasanya, aku bermaksud berjalan melewati stannya, dan aku pun melakukannya, hanya saja, tiba-tiba aku berdiri di dekat ujung taplak meja putih yang digelar untuk menjajakan dagangan keluarga Taheri, menatap Soraya yang duduk di tengah-tengah hamparan pengeriting rambut dan dasi-dasi usang. Dia mendongakkan kepalanya, menatapku. "Salaam," sapaku. "Maaf kalau kamu menganggap saya seorang mozahem, saya tidak bermaksud meng-ganggumu." "Salaam." "Apakah hari ini Jenderal Sahib datang kemari?" tanyaku. Telingaku terbakar. Aku tidak berani menatap matanya. "Dia pergi ke sana," jawabnya. Dia menunjuk ke arah kanan. Gelang yang dikenakannya melorot hingga ke siku, wama perak di atas wama zaitun. "Bisakah kamu mengatakan pada beliau bahwa saya berkunjung?" "Saya akan memberitahunya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Terima kasih," ucapku. "Oh, dan nama saya Amir. Kalau kamu belum tahu. Jadi kamu bisa mengatakan pada beliau. Bahwa saya berkunjung. Untuk "Ya." Aku menggeser kakiku, berdehem. "Saya akan pergi sekarang. Maaf telah mengganggumu." "Tidak, kamu tidak mengganggu," katanya. "Oh. Bagus." Aku menelengkan kepala dan menyunggingkan senyum kecil untuknya. "Saya akan pergi sekarang." Bukankah aku sudah mengatakannya? "Khoda hafez." "Khoda hafez." Aku mulai berjalan. Berhenti dan membalikkan badan. Aku mengatakannya sebelum keberanianku menghilang: "Bolehkah saya tahu, buku apa yang sedang kamu baca?" Matanya berkedip. Aku menahan napas. Tiba-tiba, aku merasakan berpasang-pasang mata warga Afghan yang berjualan di pasar loak itu menatap kami. Dalam bayanganku, kesunyian seketika menyergap tempat itu. Bibir-bibir berhenti bergunjing saat kata-kata belum selesai ter-ucapkan. Kepala-kepala

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berpaling. Mata-mata menyipit, mengamati kami dengan penuh ketertarikan. Ada apa ini! Sampai di situ, pertemuan kami bisa dipandang sebagai pertemuan yang sopan, seorang pria menanya-kan keberadaan seorang pria lain. Namun aku telah memberikan pertanyaan padanya dan kalau dia men-jawab, kami akan ... yah, kami akan mengobrol. Aku adalah seorang mojarad, seorang pria muda yang masih lajang, dan dia adalah seorang wanita muda yang belum menikah. Bukan hanya itu, dia adalah seorang wanita yang memiliki kisah lama. Kami memasuki wilayah yang berbahaya, wilayah yang menjanjikan gosip panas dan terbaik. Lidah-lidah beracun akan bergoyang. Dan dialah yang akan menjadi korban racun itu, bukan aku-aku sepenuhnya menyadari standar ganda yang dianut warga Afghan, yang menguntungkan kaum pria. Yang akan digunjingkan bukanlah Apa kau melihat pria itu bercakap-cakap dengan gadis itu? namun Woooi! Lihat kan, gadis itu tidak ingin ditinggalkan. Dasar lochak! Menurut standar Afghan, pertanyaan yang kulontarkan itu adalah pertanyaan yang berani. Per-tanyaan itu menelanjangi diriku, menyingkirkan semua keraguan yang menutupi ketertarikanku padanya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tetapi aku adalah seorang pria, dan risiko terbesar yang mungkin menimpaku adalah ego yang terluka. Luka bisa disembuhkan. Reputasi tidak bisa dipulihkan. Akankah dia menyambut tantanganku? Dia menunjukkan kover buku itu kepadaku. Wuthering Heights. "Apa kamu pernah membaca buku ini?" tanyanya. Aku mengangguk. Bisa kurasakan detak jantungku mengalir ke kelopak mataku. "Ceritanya sedih sekali." "Cerita sedih berarti buku bagus," katanya. "Memang." "Kudengar kamu suka menulis." Bagaimana dia bisa tahu? Mungkin ayahnya yang memberitahu dia, mungkin dia yang bertanya pada ayahnya. Secepat mungkin aku menyingkirkan kedua perkiraanku yang tak masuk akal itu. Para ayah dan anak lelaki mereka dapat berbicara dengan bebas mengenai perempuan. Tapi tidak seorang gadis Afghan pun setidaknya gadis Afghan yang sopan dan mohtaram berani menanyakan tentang seorang pria muda pada ayahnya. Dan tidak seorang ayah pun, terutama seorang Pashtun yang memiliki nang dan namoos, akan membicarakan tentang seorang mojarad dengan anak perempuannya, kecuali pria yang dimaksud adalah seorang khastegar, pria yang bemiat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mempersunting putrinya, yang telah melakukan hal terhormat dan mengirim ayahnya untuk mengajukan lamaran. Anehnya, aku mendengar diriku berkata, "Apa kamu mau membaca salah satu ceritaku?" "Tentu saja," ujamya. Saat itu aku bisa merasa-kan keengganan dalam suaranya, aku bisa melihatnya dari tatapan matanya yang begitu cepat berpindah. Mung-kin dia menunggu kedatangan Sang Jenderal. Aku membayangkan apa yang akan dikatakan oleh lelaki itu kalau dia sampai mendapati diriku berbicara begitu lama dengan putrinya. "Mungkin kapan-kapan saya akan membawakannya untukmu," janjiku. Saat aku ingin menambahkan sesuatu, wanita yang beberapa kali kulihat bersama Soraya menyusuri lorong ke arah kami. Dia membawa kantong plastik yang penuh berisi buah-buahan. Saat dia melihat kami, tatapannya beralih dari Soraya ke-padaku dan kembali lagi pada Soraya. Dia tersenyum. "Amir jan, senang sekali bisa bertemu denganmu," sapanya sambil menata buah-buahan itu di atas taplak meja. Alis wanita itu mengilap karena basah oleh keringat. Rambut merahnya, menempel di kepalanya bagaikan helm, berkilauan di Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bawah teriknya matahari aku bisa melihat kulit kepalanya mengintip melalui sela-sela rambutnya yang di bagian tertentu mulai menipis. Mata hijaunya yang kecil terkubur dalam wajahnya yang sebulat kubis, giginya berlapis emas, dan jari-jari kecilnya seperti sosis. Bandul emas bertuliskan Allah tergantung di dadanya, rantainya tersembunyi di balik gelambir kulit dan lipatan lehemya. "Namaku Jamila, ibunda Soraya jan." "Salaam, Khala jan," aku merasa malu, seperti yang kurasakan saat aku berada di tengah-tengah warga Afghan, karena dia mengenaliku dan aku tidak sedikit pun mengenalinya. "Bagaimana kabar ayahmu?" tanyanya. "Baba baik-baik saja, terima kasih." "Kau tahu, kakekmu, Ghazi Sahib, sang hakim? Nah, pamannya dan kakekku adalah saudara sepupu," jelasnya. "Jadi kau tahu kan, kita bersaudara." Senyum-nya memamerkan giginya yang berlapis emas, dan aku memerhatikan bahwa sudut kanan mulutnya sedikit menurun. Tatapan matanya kembali melompat-lompat antara Soraya dan aku. Sekali waktu aku pernah menanyakan kepada Baba tentang mengapa hingga saat ini anak perempuan keluarga Taheri belum juga menikah.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tidak ada pelamar, kata Baba. Tidak ada pelamar yang pantas, dia menekankan. Namun Baba tidak mau mengatakan selebihnya Baba mengetahui bahwa ucapan kecil tanpa maksud apa pun dapat membahayakan prospek seorang wanita muda untuk menikah dengan baik. Pria-pria Afghan, terutama mereka yang berasal dari keluarga terhormat, adalah makhluk yang sulit ditebak. Sedikit bisikan di sini, sedikit desas-desus di sana, dan mereka pun segera terbang seperti burung yang terkejut. Pesta-pesta pemikahan telah datang dan pergi dan tidak seorang pun pernah menyanyikan ahesta boro untuk Soraya, tidak seorang pun pernah menghiasi tangannya dengan henna, tidak seorang pun pernah memegangi Al-Quran di atas kepalanya, dan hanya Jenderal Taheri seoranglah yang berdansa dengannya dalam setiap pesta pemikahan. Dan sekarang, wanita ini, ibu ini, dengan semangatnya yang berapi-api, tidak menyembunyikan senyuman dan tatapan mata penuh harap yang begitu nyata ter-pancar dari matanya. Aku sedikit merasa tak nyaman menyadari kekuasaan yang kupegang, dan semua itu hanya gara-gara aku pernah memenangkan lotre genetis yang menentukan jenis kelaminku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku tidak pernah bisa membaca pikiran Sang Jenderal hanya dengan menatap matanya, namun aku bisa mendapatkan cukup banyak dari mata istrinya: Jangan pernah menjadikan wanita ini musuh-dalam persoalan apa pun. "Duduklah, Amir jan," perintahnya. "Soraya, ambilkan kursi untuk dia, bachem. Dan cucilah salah satu buah persik itu. Rasanya manis dan segar." "Tidak usah, terima kasih," aku menolaknya. "Saya harus segera pergi. Ayah saya menanti." "Oh?" Khanum Taheri berkata, dengan jelas menunjukkan rasa senangnya karena aku telah berbuat sopan dengan menolak tawarannya. "Kalau begitu kemari-lah, setidaknya bawa saja ini." Dia memasuk-kan beberapa buah kiwi dan buah persik ke dalam kan-tong kertas dan memaksaku membawa-nya. "Sampai-kan salamku pada ayahmu. Dan sering-seringlah kemari menjenguk kami." "Saya akan melakukannya. Terima kasih, Khala jan," ucapku. Dari sudut mataku, aku melihat Soraya memandang ke arah lain. "Kupikir kau sedang membeli soda," kata Baba sambil meraih sekantong persik yang kubawa. Dia memandangku dengan tatapan serius dan memperolok sekaligus. Aku mulai menyusun alasan, namun dia hanya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menggigit buah persik itu dan melambaikan tangan. "Tidak perlu kaujelaskan, Amir. Ingat saja yang telah kukatakan." * Malam itu di tempat tidurku, aku membayangkan binar-binar pantulan sinar matahari menari di mata Soraya dan lekukan indah di pangkal lehemya. Percakapan kami terus mengiang di dalam kepalaku. Bagaimana dia mengatakannya: saya dengar kamu suka menulis atau saya dengar kamu seorang penulis? Yang mana? Di bawah selimut, aku menggulingkan badan dan memandangi langit-langit, merasa sangat malang karena harus melewatkan enam malam yelda yang panjang dan membosankan, sebelum aku bisa melihatnya lagi. Keadaan yang sama berlangsung selama beberapa minggu. Aku akan menunggu hingga Sang Jenderal pergi berjalan-jalan, lalu aku akan berjalan melewati stan Taheri. Jika Khanum Taheri ada di sana, dia akan menawariku secangkir teh dan kolcha dan kami akan mengobrolkan keadaan Kabul di masa lalu, orang-orang yang kami kenal, dan penyakit arthritis yang diderita-nya. Tidak diragukan lagi, dia bisa melihat bahwa aku selalu muncul saat suaminya pergi, namun dia tak pernah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

membicarakannya. "Oh, kau terlambat, Kakamu baru saja pergi," begitulah yang akan dikatakannya. Aku sebenamya menyukai suasana saat Khanum Taheri ada, dan tidak hanya karena kesupelannya; saat berada di dekat ibunya, Soraya sepertinya lebih santai dan lebih banyak bicara. Seolah-olah kehadiran ibunya membenarkan apa pun yang sedang terjadi di antara kami meskipun tentu saja suasananya akan jauh berbeda jika Jenderal Taheri yang ada di dekatnya. Kehadiran Khanum Taheri menjadikan pertemuan kami, kalaupun tidak sampai tahan gosip, akan kurang menarik untuk digosipkan, meskipun sanjungan berlebihannya yang sering diberikan padaku jelas-jelas membuat Soraya malu. Suatu hari, aku dan Soraya mengobrol berdua di stan mereka. Dia menceritakan padaku tentang pendidikannya, bahwa sama seperti aku, dia juga sedang berusaha menyelesaikan kelas-kelas pendidikan umum di Ohlone Junior College di Fremont. "Kau ingin mengambil jurusan apa?" "Aku ingin menjadi guru," katanya. "Oh ya? Kenapa?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku memang selalu ingin menjadi guru. Saat kami tinggal di Virginia, aku mendapatkan sertifikat ESL dan sekarang aku mengajar di perpustakaan umum sekali dalam seminggu. Ibuku dulunya juga guru, dia meng-ajar bahasa Farsi dan sejarah di SMA khusus putri Zarghoona di Kabul." Seorang pria berperut buncit yang mengenakan topi berekor menawarkan $3 untuk satu set penyangga lilin seharga $5 dan Soraya menyetujuinya. Dia menyimpan uang pembayaran itu di dalam kotak permen yang tergeletak di dekat kakinya. Dia menatapku malu-malu. "Aku ingin menceritakan sesuatu padamu," katanya, "tapi aku merasa sedikit malu." "Ceritakan saja." "Sebenamya ini cerita bodoh." "Ayolah, ceritakan padaku." Dia tertawa. "Oke, saat aku duduk di kelas empat di Kabul, ayahku mempekerjakan seorang wanita bemama Ziba untuk mengurus rumah. Dia punya adik perempuan di Iran, di kota Mashad, dan karena Ziba buta huruf, tidak jarang dia memintaku menuliskan surat untuk adiknya. Dan saat adiknya membalas suratnya, aku akan membacakannya untuk Ziba. Suatu hari, aku menawarkan diri padanya untuk mengajari dia membaca dan menulis. Dia menyunggingkan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

senyuman yang sangat lebar untukku, matanya berkaca-kaca, dan dia bilang, dia sangat menyukai tawaran-ku. Jadi, setiap kali aku selesai mengerjakan PR, kami akan duduk di meja dapur dan aku mulai memperkenalkannya pada abjad. Aku ingat, saat aku mengerjakan PR, kadang-kadang aku mendongak dan melihat Ziba sedang bekerja di dapur, mengaduk daging dalam panci tekan, lalu beberapa saat kemudian, dia pun duduk sambil memegang pensil, mengerjakan tugas menulis yang kuberikan pada malam sebelumnya. "Singkat cerita, dalam setahun, Ziba sudah bisa membaca buku cerita anakanak. Kami duduk di halaman dan dia membacakan kisah Dara dan Sara untukku-perlahan namun benar. Dia mulai memanggilku dengan sebutan Moalem Soraya, Guru Soraya." Tawanya kembali meledak. "Aku tahu kedengarannya memang kekanak-kanakan, namun saat Ziba pertama kali menulis surat sendiri, aku tahu bahwa aku tidak ingin menjadi apa pun selain menjadi guru. Aku begitu bangga padanya dan aku merasa bahwa aku telah melakukan sesuatu yang benar-benar berharga, kamu tahu?" "Ya," aku berbohong padanya. Aku memikirkan bagaimana aku menggunakan kemampuan membacaku untuk mengolok-olok Hassan. Bagaimana aku menipunya karena dia tidak menguasai kata-kata sulit. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ayahku ingin aku masuk sekolah hukum, ibuku selalu membicarakan sekolah kedokteran, tapi aku akan menjadi guru. Gajinya memang kecil, tapi itulah yang kumau." "Ibuku juga guru," aku memberitahunya. "Aku tahu," katanya. "Ibuku pernah menceritakannya padaku." Setelah mengatakannya, wajahnya memerah. Perkataannya itu memberikan petunjuk bahwa saat aku tidak sedang bersama mereka, "Percakapan Amir" memang dilakukan oleh ibu dan anak itu. Aku berusaha keras menahan senyumku. "Aku membawakan sesuatu untukmu." Aku mencabut gulungan kertas dari saku belakang celanaku. "Seperti yang pernah kujanjikan." Aku mengulurkan salah satu cerpenku padanya. "Oh, kau ingat rupanya," wajahnya berseri-seri. "Terima kasih!" Aku tidak sempat menyadari bahwa Soraya menyebutku dengan kata tu kau untuk pertama kalinya, tidak lagi dengan shoma kamu yang lebih formal, saat tiba-tiba senyum di wajahnya menghilang. Ronanya memudar, dan tatapannya terpaku pada sesuatu di belakang punggungku. Aku membalikkan badan. Berhadap-hadapan langsung dengan Jenderal Taheri.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Amir jan. Calon pendongeng kita. Menyenangkan sekali," sapanya. Senyum tipis tersungging di bibimya. "Salaam, Jenderal Sahib," aku mengucapkannya dengan bibir terkatup. Dia berjalan melewatiku, memasuki stan. "Hari ini indah, bukan?" katanya sambil mengaitkan ibu jarinya ke saku dada rompinya, sementara tangannya yang lain terulur pada Soraya. Dia menyerahkan gulungan cerpenku pada ayahnya. "Katanya hujan akan turun minggu ini. Sulit dipercaya, bukan?" Dia melemparkan gulungan kertas itu ke tempat sampah. Memandangku dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahuku. Dia meng-ajakku keluar dari stan itu. "Kau tahu, bachem, aku mulai sedikit menyukaimu. Kau pria muda yang sopan. Aku yakin itu, tapi" dia menghela napas dan melambaikan tangannya" bahkan pria muda yang sopan pun kadang-kadang perlu diingatkan. Tugaskulah untuk mengingatkanmu bahwa ada banyak orang di pasar loak ini." Dia terdiam. Matanya yang tidak pernah menunjukkan ekspresi apa pun memandang mataku. "Kau pasti tahu, semua orang di sini

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

adalah pendongeng." Senyumnya memperlihatkan gigi yang rapi sempuma. "Sampaikan salamku untuk ayahmu, Amir jan." Dia menurunkan tangannya. Tersenyum kembali. "Ada apa?" tanya Baba yang sedang menunjukkan sebuah kursi goyang pada seorang wanita tua. "Tidak apa-apa," jawabku. Aku menduduki sebuah pesawat TV kuno. Lalu aku menceritakan kejadian yang baru kualami pada Baba. "Ah, Amir," Baba menghela napas. Temyata aku tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam kesedihanku karena kejadian itu. Seminggu kemudian, Baba jatuh sakit. Penyakit Baba dimulai dengan batuk dan pilek parah. Setelah pileknya sembuh, batuknya tetap bertahan. Baba menutupkan sapu tangan ke mulutnya dan terbatuk-batuk dengan hebat, lalu dia akan menjejalkan sapu tangan itu ke sakunya. Aku terus mendorongnya untuk menjalani pemeriksaan, namun dia terus menolakku. Baba membenci dokter dan rumah sakit. Seingatku, sekalinya Baba pernah menemui dokter adalah pada saat dia tertular malaria di India.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Lalu, dua minggu kemudian, aku mendapati percikan darah bercampur dahak yang keluar saat Baba terbatuk parah di atas kloset. "Sudah berapa lama ini terjadi, Baba?" aku me-nuntut penjelasan darinya. "Kita makan apa malam nanti?" jawabnya. "Aku akan membawa Baba ke dokter." Meskipun Baba adalah seorang manajer pompa bensin, pemilik tempat kerjanya itu tidak memberinya jaminan kesehatan, dan Baba, dengan cerobohnya, tidak pernah memperjuangkan haknya tersebut. Jadi aku membawanya ke rumah sakit umum county di San Jose. Seorang dokter berkulit pucat dan berkantong mata yang menemui kami memperkenalkan dirinya sebagai dokter magang tahun kedua. "Kelihatannya dia lebih muda darimu dan lebih sakit dariku," Baba mengomel. Dokter magang itu mengirim kami ke bawah untuk merontgent dada Baba. Saat seorang perawat menyuruh kami masuk, dia sedang mengisi selembar formulir. "Bawa ini ke meja depan," katanya sambil menulis dengan cepat. "Apa ini?" tanyaku. "Surat rujukan." Beberapa coretan ... dan coretan lagi. "Untuk apa?" "Klinik paru-paru." "Maksud Anda?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia melirikku sekilas lalu menaikkan kacamatanya. Lalu mulai menulis lagi. "Ada noda di paru-paru kanannya. Saya ingin mereka memeriksanya." "Noda?" tanyaku, ruangan itu tiba-tiba mengecil. "Kanker?" Baba menambahkan dengan nada santai. "Bisa jadi. Tapi noda itu memang mencurigakan," dokter itu menggumam. "Tidak bisakah Anda memberi kami keterangan?" aku terus bertanya. "Tidak juga. Perlu CAT scan dulu, lalu menemui dokter spesialis paruparu." Dia memberikan surat rujukan itu padaku. "Anda bilang, ayah Anda perokok, benar?" "Ya." Dia mengangguk. Menatapku dan Baba bergantian. "Mereka akan menelepon Anda setelah dua minggu." Aku ingin bertanya padanya, bagaimana aku bisa bertahan selama dua minggu penuh hanya dengan mengetahui bahwa noda di paru-paru Baba tampak "mencurigakan"? Bagaimana bisa dia menyuruhku pulang hanya dengan kata itu? Aku mengambil formulir itu dan berlalu. Malamnya, aku menunggu hingga Baba tertidur, lalu melipat selembar selimut. Aku menggunakannya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sebagai sajadah. Sambil bersujud, aku melafalkan ayat-ayat AlQuranmullah di Kabul telah membuat kami berjanji untuk menghafalkannya yang sudah setengah terlupakan dan memohon kebaikan dari Tuhan. Masih juga kurasakan kegalauan dan sungguh, saat itu aku jadi merasa iri pada para mullah, pada kepercayaan dan keyakinan mereka. Dua minggu telah berlalu dan tak seorang pun menelepon. Dan saat aku menelepon mereka, mereka berkilah dengan mengatakan bahwa surat rujukan Baba tidak dapat mereka temukan. Apakah aku yakin pernah membawanya ke rumah sakit itu? Mereka berjanji untuk meneleponku setelah tiga minggu. Kemarahanku meledak dan aku menawar waktu tiga minggu itu menjadi seminggu untuk mendapatkan CAT scan, dua minggu untuk bertemu dengan dokter. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter spesialis paru-paru, Dr. Schneider, berjalan lancar hingga Baba menanyakan asal dokter itu. Dr. Schneider mengatakan Rusia. Baba pun lepas kendali. "Maafkan kami, Dokter," aku menarik Baba. Dr. Schneider tersenyum dan memberi kami ruang, masih memegang stetoskop di tangannya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Baba, saat di ruang tunggu aku membaca biografi Dr. Schneider. Dia dilahirkan di Michigan. Michigan! Dia orang Amerika, jauh lebih Amerika dari pada kita." "Aku tidak peduli di mana dia dilahirkan. Dia Roussi," Baba mengemyitkan wajahnya dengan jijik, seolah-olah mengucapkan kata-kata kotor. "Orangtuanya Roussi, kakek neneknya Roussi. Aku bersumpah atas wajah ibumu, akan kupatahkan lengannya kalau dia berani mencoba menyentuhku." "Baba tidak tahu kalau orangtua Dr. Schneider kabur dari Shorawi? Mereka melarikan diri!" Tetapi Baba tidak mau mendengar penjelasan apa pun. Kadang-kadang aku berpikir bahwa satu-satunya yang mendapatkan cinta Baba selain mendiang isterinya adalah Afghanistan, negara yang telah ditinggalkannya. Ingin rasanya aku meneriakkan rasa frustasiku. Tetapi aku menahannya, aku menghela napas dan kembali menatap Dr. Schneider. "Maaf, Dokter. Sepertinya kami tidak bisa meneruskan pemeriksaan ini." Dokter spesialis paru-paru yang kami temui selanjutnya dan yang mendapatkan persetujuan Baba, Dr. Amani, adalah seorang Iran. Dr. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Amani, seorang pria berperangai lembut dengan kumis melengkung dan rambut kelabu panjang, memberi tahu kami bahwa dia telah meneliti hasil CAT scan dan bahwa dia harus menjalankan sebuah prosedur yang disebut bronchoscopy untuk mendapatkan sampel paru-paru Baba untuk kepentingan patologi. Dia menjadwalkan untuk melakukan prosedur ini satu minggu kemudian. Saat menolong Baba keluar dari ruang periksa, aku mengucapkan terima kasih pada dokter itu, berpikir bahwa sekarang aku akan menjalani satu minggu berikutnya dengan kata baru, "sampel paruparu," yang bahkan lebih menakutkan daripada "mencurigakan." Aku berharap Soraya ikut melalui ini semua bersamaku. Temyata, seperti Setan, penyakit kanker memiliki banyak nama. Penyakit Baba disebut "Oat Cell Carci-noma." Kanker paru-paru. Stadium lanjut. Tidak mungkin dioperasi. Baba meminta Dr. Amani menyebutkan sisa waktu yang dimilikinya. Dr. Amani menggigit bibir, menggunakan kata "berpulang." "Tentu saja Anda bisa melakukan kemoterapi," katanya. "Tetapi efeknya hanya paliatif." "Apa artinya?" tanya Baba. Dr. Amani menghela napas. "Artinya, kemoterapi tidak akan mengubah hasil akhirnya, hanya akan mem-per-panjang waktu untuk menuju ke Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sana." "Itu jawaban yang jelas, Dr. Amani. Terima kasih telah memberitahu saya," ujar Baba. "Tetapi saya tidak akan melakukan kemo." Wajahnya penuh tekad, sama seperti yang ditunjukkannya pada saat dia menjatuhkan setumpuk kupon makanan ke meja Mrs. Dobbins. "Tapi Baba" "Jangan menantangku di depan umum, Amir. Jangan pernah. Siapa kaupikir dirimu itu?" Hujan yang dibicarakan Jenderal Taheri di pasar loak terlambat turun beberapa minggu. Tetapi, saat kami melangkah keluar dari kantor Dr. Amani, mobil yang lewat mencipratkan air keruh ke trotoar. Baba menyalakan sebatang rokok. Dia terus merokok saat kami berjalan menuju ke mobil dan saat kami bermobil menuju ke rumah. Saat Baba memasukkan kunci ke pintu lobi, aku berkata, "Aku berharap Baba mau mencoba kemo." Baba mengantongi kuncinya, menarikku ke bawah kanopi bergaris di depan apartemen, melin-dungiku dari hujan. Dia menekankan tangannya yang membawa rokok ke dadaku. "Bas! Aku sudah memutuskan." "Bagaimana denganku Baba? Apa yang sebaiknya kulakukan?" aku merasakan mataku berat oleh air mata. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Ekspresi jijik membayang di wajahnya yang basah oleh hujan. Tatapan yang sama seperti yang diberikannya padaku saat aku kanak-kanak, terjatuh, lututku terluka, dan aku menangis. Tangisankulah yang me-nyebabkan ekspresi jijik itu muncul, dulu dan sekarang. "Umurmu sudah 22 tahun, Amir! Seorang pria dewasa! Kau Baba membuka mulutnya, menutupnya lagi, membukanya lagi, memikirkan apa yang akan diucap-kan-nya. Di atas kami, tetesan hujan, yang menjatuhi kanopi berbahan kanvas, menimbulkan suara ribut bagaikan genderang. "Apa yang akan terjadi padamu, katamu? Selama bertahun-tahun, itulah yang kucoba ajarkan padamu, bagaimana supaya kau tidak pernah menanyakan pertanyaan itu." Baba membuka pintu. Membalikkan badannya kepadaku. "Dan satu lagi. Jangan sampai siapa pun mengetahuinya, kau dengar? Tidak seorang pun. Aku tidak ingin mendapatkan simpati." Lalu dia pun menghilang dalam keremangan lobi. Sepanjang sisa hari itu, Baba merokok tak henti di depan TV. Aku tidak tahu untuk apa atau untuk siapa Baba berusaha tampak tegar. Aku? Dr. Amani? Atau mungkin untuk Tuhan yang tidak pernah dia akui keberadaannya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Selama beberapa waktu, bahkan kanker pun tak mampu menghalangi Baba untuk berjualan di pasar loak. Kami akan menjelajahi obral-obral garasi pada hari Sabtu, Baba berada di balik kemudi dan aku menjadi navigatomya, dan kami menata dagangan kami pada hari Minggu. Lampu-lampu kuningan. Sarung tangan bisbol. Jaket ski dengan kancing rusak. Baba menyapa kenalan-kenalan Afghannya dan aku mempertahankan satu atau dua dolar dari para penawar. Seolah-olah selisih uang itu memang berarti. Seolah-olah hari saat aku menjadi yatim piatu tidak sedang merayap men-dekatiku, seiring dengan selesainya setiap penjualan hari Minggu kami. Kadang-kadang, Jenderal Taheri dan istrinya mampir ke stan kami. Sang Jenderal, seperti layaknya seorang diplomat, menyapaku dengan senyum lebar dan menjabat tanganku dengan dua tangan. Tetapi keengganan yang dulu tak pernah ada tampak dalam sikap Khanum Taheri. Keengganan yang hanya dipecahkan oleh senyum sendu sembunyi-sembunyinya dan tatapan penuh permohonan maaf yang diper-lihatkannya padaku saat Sang Jenderal tidak memerhatikan. Aku mengingat masa itu sebagai sebuah masa dengan banyak "pertama": Pertama kalinya aku men-dengar Baba mengerang di kamar mandi. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Pertama kalinya aku menemukan noda darah di bantal Baba. Selama lebih dari tiga tahun bekerja di pompa bensin, Baba belum pernah tidak masuk karena sakit. Lagi-lagi yang pertama kalinya. Saat semua orang merayakan Halloween tahun itu, Baba merasa kelelahan pada tengah-hari Sabtu sehingga dia memutuskan untuk menunggu di balik kemudi saat aku keluar dan menawar berbagai rongsokan. Saat semua orang merayakan Thanks giving, Baba tertidur sebelum hari beranjak siang. Saat hiasan kereta Santa Claus mulai dipajang di halaman-halaman depan dan salju palsu dipasang di dahan pinus-pinus Douglas, Baba tinggal di rumah dan aku mengemudikan bus VW Baba sendirian mengelilingi kota. Kadang-kadang di pasar loak, kenalan-kenalan Afghan Baba mengomentari berat badannya yang ber-kurang. Awalnya, mereka memuji. Mereka bahkan menanyakan rahasia diet Baba. Tetapi pujian dan pertanyaan itu berhenti saat berat badan Baba tidak berhenti berkurang. Turun. Dan terus turun. Pipinya mencekung. Dan dahinya melorot. Dan di tengah semuanya, matanya tampak menonjol dalam rongganya. Lalu, pada suatu hari Minggu yang sejuk, beberapa saat setelah Perayaan Tahun Baru, saat Baba menjual tudung lampu pada seorang Filipina Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bertubuh kekar, aku bergegas kembali ke bus VW kami, mengambil selimut untuk menutupi kakinya. "Hei, man, pria ini butuh pertolongan!" pria Filipina itu berteriak-teriak. Aku berbalik dan melihat Baba terbaring di tanah. Tangan dan kakinya menegang. "Komak!" aku menjerit. "Tolong!" aku berlari menuju Baba. Mulutnya berbusa, cairan itu mengalir membasahi janggutnya. Bola matanya berputar dan hanya menunjukkan wama putih. Orang-orang mengerumuni kami. Aku mendengar seseorang mengatakan kejang. Seseorang lain berteriak, "Telepon 911!" aku mendengar kaki-kaki berlari. Langit menggelap saat semakin banyak orang mengerumuni kami. Air liur yang mengalir dari mulut Baba berwama merah. Lidahnya tergigit. Aku berlutut di sampingnya, menahan lengannya, dan berkata, aku di sini Baba, aku di sini, Baba akan baik-baik saja, aku di sini. Seolah-olah aku bisa meredakan kejangnya. Aku berteriak pada orang-orang yang mengelilingi kami untuk meninggal-kan kami sendirian, aku dan Babaku. Aku merasakan lututku basah. Cairan itu berasal dari selangkangan Baba. Ssstt, Baba jan, aku di sini. Putramu di sini. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dokter yang memeriksa Baba, berjanggut putih dan berkepala botak, mengajakku keluar dari ruang periksa. "Saya ingin memeriksa CAT scan ayah Anda bersama Anda," katanya. Dia meletakkan film itu di kotak bercahaya di koridor dan menunjuk dengan karet penghapus di ujung pensilnya pada sel-sel kanker Baba, seperti seorang polisi yang sedang menunjukkan foto tersangka pembunuhan pada keluarga korbannya. Dalam gambar itu, otak Baba terlihat seperti irisan sebutir biji kenari raksasa, dengan lubang-lubang kelabu berbentuk bola tenis. "Seperti yang Anda lihat di sini, sel-sel kankemya telah menyebar," katanya. "Dia harus mengonsumsi obat-obatan antikejang dan steroid untuk mengurangi bengkak-bengkak dalam otaknya. Dan saya mereko-mendasikan radiasi paliatif. Anda tahu artinya?" Aku mengatakan padanya bahwa aku tahu. Aku sudah sangat fasih berbicara tentang penyakit kanker. "Baiklah, kalau begitu," ujamya. Dia memeriksa penyerantanya. "Saya harus meninggalkan Anda, tapi Anda bisa menghubungi penyeranta saya kalau Anda ingin menanyakan sesuatu." "Terima kasih."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sepanjang malam itu aku menunggui Baba di kursi di sebelah tempat tidumya. Paginya, ruang tunggu rumah sakit itu dipenuhi warga Afghan. Tukang daging dari Newark. Seorang insinyur yang bekerja dengan Baba saat membangun panti asuhan. Mereka mengantre memasuki kamar Baba, menyapanya dalam suara lirih. Berharap Baba akan pulih dengan cepat. Saat itu Baba telah siuman, lemah dan letih, namun sadar. Menjelang siang, Jenderal Taheri beserta istrinya datang menjenguk. Soraya bersama mereka. Kami saling melirik, berpaling di saat yang sama. "Bagaimana keadaanmu, kawanku?" Jenderal Taheri menggenggam tangan Baba. Baba menunjuk selang infus yang menempel di lengannya. Tersenyum tipis. Sang Jenderal membalas senyumnya. "Kalian seharusnya tidak perlu repot-repot. Kalian semua," Baba berkata parau. "Kami tidak merasa repot," ujar Khanum Taheri. "Tidak repot sama sekali. Yang lebih penting, apa kau memerlukan sesuatu?" Jenderal Taheri bertanya. "Apa pun? Katakan saja padaku, anggap aku seperti saudaramu sendiri." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku teringat sesuatu tentang kaum Pashtun yang suatu kali pernah dikatakan Baba. Kita mungkin keras kepala dan aku tahu kita sangat sombong tapi, saat ada yang membutuhkan, yakinlah padaku bahwa tidak ada orang lain yang lebih tepat berada di sampingmu selain seorang Pashtun. Baba menggelengkan kepalanya yang tergolek di bantal. "Kedatanganmu ke sini telah menerangi penglihatanku." Sang Jenderal tersenyum dan meremas tangan Baba. "Bagaimana kabarmu, Amir jan? Apa kau memerlukan sesuatu?" Caranya memandangku, kebaikan yang tersirat di matanya .... "Tidak, terima kasih, Jenderal Sahib. Saya Sesuatu mengganjal di tenggorokanku dan air mata mengalir dari mataku. Aku berlari keluar dari ruangan itu. Aku terisak di koridor, di dekat kotak berpenerangan, tempatku semalam sebelumnya melihat wajah sang pembunuh. Pintu kamar Baba terbuka dan Soraya melangkah ke luar. Dia berdiri di dekatku. Saat itu dia mengenakan sweter kelabu dan celana jins. Rambutnya terurai. Aku ingin mendapatkan kehangatan dalam pelukan-nya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku ikut bersedih, Amir," katanya. "Kami semua tahu bahwa ada sesuatu yang tak wajar, namun kami benar-benar tidak menyangka bahwa inilah yang terjadi." Aku mengusap mataku dengan lengan bajuku. "Baba tidak ingin orang lain tahu." "Apa kau memerlukan sesuatu?" "Tidak." Aku berusaha menyunggingkan senyum. Dia meletakkan tangannya dalam genggamanku. Sentuhan pertama kami. Aku meremasnya. Membawa-nya ke wajahku. Mataku. Aku melepasnya. "Sebaik-nya kau kembali ke dalam. Atau ayahmu akan mem-buruku." Dia tersenyum dan mengangguk. "Memang." Dia membalikkan badannya dan berlalu. "Soraya?" "Ya?" "Aku merasa bahagia melihatmu di sini. Ini berarti ... segalanya bagiku." + Mereka mengizinkan Baba pulang dua hari kemudian. Mereka mengirim seorang ahli radiasi kanker untuk membujuk Baba menjalani terapi radiasi. Baba menolaknya. Mereka mencoba membujukku untuk membujuknya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tapi aku telah melihat ekspresi wajah Baba. Aku mengucapkan terima kasih pada mereka, menandatangani formulir yang mereka berikan, dan membawa Baba pulang dengan Ford Torinoku. Malam itu, Baba terbaring di sofa dengan sehelai selimut wol menutupi tubuhnya. Aku membawakan teh panas dan kenari panggang untuknya. Aku mendudukkannya, melingkarkan lenganku ke punggung-nya dan mengangkatnya dengan begitu mudah. Saat aku menyentuh bahunya, jarijariku merasakan tulang yang menonjol bagaikan sayap burung. Aku mengembalikan selimutnya, menutupi dadanya, di mana tulang rusuknya bertonjolan di bawah kulitnya yang tipis dan pucat. "Ada lagikah yang bisa kulakukan untuk Baba?" "Tidak, bachem. Terima kasih." Aku duduk di sebelahnya. "Kalau begitu, aku ingin Baba melakukan sesuatu untukku. Kalau Baba tidak terlalu lelah." "Apa itu?" "Aku ingin Baba pergi untuk khastegari. Aku ingin Baba mendatangi Jenderal Taheri. Mengajukan lamaran untuk putrinya." Senyum lebar disunggingkan bibir kering Baba. Setitik kesegaran hijau di atas daun yang layu. "Kau yakin?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Lebih yakin daripada apa pun yang kuyakini." "Kau sudah memikirkannya dalam-dalam?" "Baiay, Baba." "Kalau begitu, ambilkan telepon. Dan bawa kemari notes kecilku." Aku mengedipkan mataku. "Sekarang?" "Kapan lagi?" Aku memberinya senyuman. "Oke." Aku membawakan telepon dan notes kecil hitamnya, tempat Baba mencatat nomor telepon teman-teman Afghannya. Baba mencari nama Taheri. Memencet nomomya. Mendekatkan gagang telepon ke telinganya. Di dadaku, jantungku jumpalitan tidak keruan. "Jamila jan? Assalamualaikum," sapanya. Dia menyebutkan namanya. Diam sejenak. "Jauh lebih baik, terima kasih. Baik sekali kalian mau mengun-jungiku." Dia mendengarkan selama beberapa saat. Mengangguk. "Aku akan mengingatnya, terima kasih. Apa Jenderal Sahib ada di rumah?" Diam sejenak. "Terima kasih." Baba melirikku. Untuk alasan tertentu, aku i-ngin tertawa. Atau menjerit. Aku mengepalkan tanganku, membawanya ke mulutku dan menggigitnya. Baba mengeluarkan tawa lirih lewat hidungnya. "Jenderal Sahib, assalamu 'alaikum .... Ya, jauh lebih baik .... Balay .... Kau baik sekali. Jenderal Sahib, aku meneleponmu untuk menanyakan, apakah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

aku bisa mengunjungiku dan Khanum Taheri besok pagi? Untuk membicarakan sesuatu yang terhormat .... Ya .... Jam sebelas boleh juga. Sampai bertemu. Khoda hafez." Baba meletakkan gagang telepon. Kami saling memandang. Tawaku meledak. Tawa Baba meledak. Baba membasahi rambutnya dan menyisimya ke belakang. Aku menolongnya mengenakan kemeja putih bersih dan mengikatkan dasinya, mau tak mau melihat kekosongan selebar 5cm di antara kerah baju dan leher Baba. Aku memikirkan betapa besar ruangan yang akan menjadi kosong karena ditinggalkan oleh Baba jika saatnya tiba nanti, dan aku segera mengalihkan pikiranku. Baba tidak akan meninggal. Tidak sekarang. Dan hari ini harus dihabiskan dengan berpikiran baik. Jas cokelat Baba, yang dipakainya saat hari wisudaku, menggantung di tubuhnya-sebagian besar tubuh Baba yang dulu mengisi jas itu dengan pas telah meleleh. Aku harus menggulung lengannya. Aku berjongkok dan mengikatkan tali sepatunya. Keluarga Taheri tinggal di sebuah flat, rumah berlantai satu yang terletak dalam salah satu area pemu-kiman yang banyak ditinggali warga Afghan di Fremont. Rumah itu memiliki jendela yang menjorok ke luar, atap Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

meruncing, dan teras depan yang dipenuhi berpot-pot bunga geranium. Van abu-abu Sang Jenderal di-parkir dijalan masuknya. Aku menolong Baba keluar dari Ford-ku dan kembali duduk di belakang kemudi. Baba menjulurkan kepalanya ke jendela penumpang. "Pulanglah, aku akan meneleponmu satu jam lagi." "Oke, Baba," kataku. "Semoga beruntung." Baba tersenyum. Aku meninggalkan tempat itu. Dari kaca spion, aku melihat Baba berjalan perlahan-lahan melewati jalan masuk rumah keluarga Taheri, menunaikan kewajiban terakhirnya sebagai ayah. Aku melangkah bolak-balik di sepanjang ruang tamu apartemen kami, menanti telepon dari Baba. Lima belas menit telah berlalu. Lima belas menit selanjutnya berjalan begitu lambat. Bagaimana kalau Sang Jen-deral menolak? Bagaimana kalau dia membenciku? Berulang kali aku memasuki dapur, memeriksa penanda waktu di oven. Tepat sebelum tengah hari, telepon berdering. Dari Baba. "Jadi?" "Jenderal menerima."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku menghela napas. Mendudukkan tubuhku. Tanganku gemetar. "Benarkah?" "Ya, tetapi Soraya jan ada di kamamya. Dia ingin berbicara denganmu dulu." "Oke." Baba mengatakan sesuatu pada seseorang dan aku mendengar nada sambung saat dia meletakkan teleponnya. "Amir?" suara Soraya. "Salaam." "Ayahku menerimanya." "Aku tahu," ujarku. Aku memindahkan gagang telepon itu ke tanganku yang lain. Aku tersenyum. "Aku sangat bahagia. Aku tidak tahu harus berkata apa." "Aku juga bahagia, Amir. Aku ... tak percaya ini terjadi." Tawaku meledak. "Aku tahu." "Dengar," katanya. "Aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Sesuatu yang harus kauketahui sebelum "Aku tidak akan memedulikannya."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau harus tahu. Aku tidak ingin memulai hubungan kita dengan menyimpan rahasia. Dan aku lebih suka kau mendengamya dariku." "Kalau itu membuatmu merasa lebih baik, cerita-kan saja padaku. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun." Soraya terdiam selama beberapa saat. "Saat kami tinggal di Virginia, aku kabur dengan seorang pria Afghan. Saat itu umurku 18 tahun ... suka memberontak ... bodoh, dan ... dia kecanduan obat-obatan .... Kami tinggal bersama selama hampir sebulan. Semua warga Afghan di Virginia membicarakannya. "Akhirnya Padar menemukan kami. Dia muncul di depan pintu dan ... mengajakku pulang. Saat itu aku histeris. Menjerit-jerit. Menyumpahnyumpah. Mengatakan bahwa aku membencinya .... "Tapi akhirnya aku pulang dan-" Dia menangis. "Tunggu sebentar." Aku mendengamya menurunkan gagang telepon. Membersihkan hidungnya. "Maaf," suaranya terdengar serak. "Saat aku sampai di rumah, aku melihat ibuku telah terserang stroke, bagian kanan wajahnya lumpuh dan ... aku merasa begitu bersalah. Dia tidak seharusnya mendapatkannya."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Beberapa saat setelah itu, Padar membawa kami ke California." Keheningan mengikuti ucapannya. "Bagaimana hubunganmu dengan ayahmu sekarang?" tanyaku. "Pendapat kami selalu bertentangan, sampai sekarang pun masih, tapi aku bersyukur karena saat itu dia mendatangiku. Aku benar-benar yakin dia telah menyelamatkanku." Dia terdiam. "Jadi, apakah ceritaku ini mengganggumu?" "Sedikit," ujarku. Cerita ini membuatku berutang sebuah kebenaran padanya. Aku tidak bisa membohonginya dengan mengatakan bahwa harga diriku, iftikharku, tidak tersengat sedikit pun mendengamya pernah tinggal bersama seorang pria, sedangkan aku sendiri belum pernah membawa seorang wanita pun ke tempat tidur. Ini sedikit menggangguku, namun aku telah mempertimbangkan kemungkinan ini masak-masak sejak seminggu sebelum aku meminta Baba untuk pergi melakukan khastegari. Dan akhirnya, per-tanyaan yang selalu kembali padaku adalah: Bagaimana mungkin aku, dari semua orang lain, meng-hakimi seseorang atas masa lalu mereka? "Apakah ini cukup mengganggumu hingga kau ingin berubah pikiran?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak, Soraya. Tidak sedikit pun," ujarku. "Tidak sedikit pun yang kaukatakan mengubah apa pun. Aku ingin kita menikah." Tangisnya meledak. Aku merasa iri pada Soraya. Rahasianya telah terbuka. Terkatakan. Terpecahkan. Aku membuka mulutku dan hampir mengatakan padanya bagaimana aku mengkhianati Hassan, menipunya, membuatnya keluar dari rumah kami, dan menghancurkan hubungan yang telah berjalan selama 40 tahun antara Baba dan Ali. Tapi aku tidak mengatakannya. Aku menduga, banyak hal telah menjadikan Soraya Taheri orang yang lebih baik daripada diriku. Keberanian hanyalah salah satu di antaranya. Tiga belas Malam saat kami tiba di kediaman keluarga Taheri untuk menjalankan lafz, upacara "pemberian ucapan" aku harus memarkir Ford-ku di seberang jalan. Halaman dan jalan masuk rumah itu telah dipenuhi begitu banyak mobil. Aku mengenakan setelan biru tua yang kubeli sehari sebelumnya, setelah aku menjemput Baba dari khastegari.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sebelum turun, aku menyempatkan diri memeriksa ikatan dasiku di kaca spion. "Kau tampak khosteep, " Baba memujiku. Tampan. "Terima kasih, Baba. Baba merasa sehat? Siap menghadapi semua ini?" "Siap? Hari ini adalah hari yang paling berbahagia dalam hidupku, Amir," Baba tersenyum letih. Dari depan pintu rumah itu, aku bisa mendengar suara para tamu yang bercakap-cakap, suara tawa, dan alunan lembut musik Afghan kedengarannya seperti ghazal klasik yang dibawakan Ustad Sarahang. Aku membunyikan bel. Seraut wajah muncul, mengintip melalui tirai jendela ruang depan dan menghilang kembali. "Mereka datang!" suara seorang wanita. Percakapan berhenti. Seseorang mematikan musik. Khanum Taheri membukakan pintu untuk kami. "Assalamu 'alaikum," ucapnya dengan wajah berseri-seri. Tampaknya dia telah mengeriting rambutnya, dan dia mengenakan gaun hitam elegan sepanjang mata kaki. Saat aku memasuki ruang depan, aku melihat matanya berkaca-kaca. "Kau baru saja masuk ke rumah kami dan aku sudah menangis, Amir jan," katanya. Aku mendaratkan ciuman ke tangannya, seperti yang diajarkan Baba semalam sebelumnya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sesaat kemudian, Khanum Taheri membawa kami melewati koridor yang terang benderang menuju ruang tamu. Dinding kayu pada koridor itu dipenuhi foto-foto keluarga Taheri, orang-orang yang akan menjadi keluarga baruku: Khanum Taheri muda, dengan rambut disasak tinggi, bersama Sang Jenderal Air Terjun Niagara tampak di latar belakang; Khanum Taheri dalam balutan gaun terusan, Sang Jenderal mengenakan jaket berkerah tinggi dan dasi tipis, rambutnya masih tebal dan hitam; Soraya, bersiap-siap mengendarai roller coaster, tersenyum dan melambaikan tangannya, kawat gigi berwama perak yang dikenakannya memantulkan cahaya matahari. Satu lagi foto Sang Jenderal, tampak gagah dalam pakaian militer lengkapnya, berjabatan tangan dengan Raja Hussein dari Yordania. Tidak ketinggalan, potret Zahir Shah pun tertempel di dinding itu. Ruang tamu telah dipenuhi sekitar 25 tamu, semuanya duduk di kursi yang telah ditata berjajar mengelilingi ruangan. Saat Baba masuk, semua orang berdiri. Kami mengelilingi ruangan, Baba berjalan perlahan di depanku, aku mengikutinya, menjabat tangan dan menyapa para tamu. Sang Jenderal masih mengenakan setelan abu-abunya memeluk Baba, mereka

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dengan lembut saling menepuk punggung. Ucapan salam dibisikkan dengan penuh hormat. Sang Jenderal memegang bahuku dengan kedua tangannya dan tersenyum bijaksana, seolah-olah mengata-kan, "Nah, inilah cara yang benar-cara Afghan-untuk melakukannya, bachem." Kami saling mencium pipi sebanyak tiga kali. Kami duduk di tengah ruangan penuh orang i-tu, Baba di sebelahku, Sang Jenderal dan istrinya di hadapan kami. Napas Baba terdengar sedikit berat, dan dia terus menerus mengusap keringat yang membasahi kening dan kulit kepalanya dengan saputangan. Saat melihatku memerhatikannya, Baba berusaha menyeringai. "Aku tidak apa-apa," dia menggerakkan bibimya. Sesuai tradisi, Soraya tidak berada dalam satu ruangan dengan kami. Setelah beberapa saat berbasa-basi, Sang Jenderal berdeham. Ruangan itu seketika menjadi sunyi dan semua orang menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Sang Jenderal menganggukkan kepalanya kepada Baba. Baba berdeham. Saat mulai berbicara, Baba berulangkah harus menarik napas di tengah kalimatnya. "Jenderal Sahib, Khanum Jamila jan ... dengan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

penuh rasa hormat ... saya dan putra saya mengunjungi kediaman kalian hari ini. Kalian adalah ... orang-orang terhormat ... yang berasal dari keluarga temama dan memiliki reputasi yang baik ... dan juga garis keturunan yang membanggakan. Saya datang tanpa membawa apa-apa kecuali ihtiram yang besar ... dan penghormatan tertinggi untuk Anda, untuk nama keluarga Anda, dan untuk kenangan ... para leluhur keluarga ini." Baba terdiam sejenak. Berusaha mengatur napasnya. Mengusap keningnya. "Amir jan adalah putra saya satu-satunya ... keturunan saya satu-satunya, dan selama ini dia telah menjadi putra yang berbakti. Saya harap dia bisa membuktikan bahwa dirinya ... pantas mendapatkan kebaikan Anda. Saya memohon pada Anda untuk memberikan kehormatan kepada Amir jan dan saya ... dan menerima putra saya ke dalam keluarga Anda." Sang Jenderal mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sopan. "Kami merasa terhormat menerima putra seorang pria semulia Anda ke dalam keluarga kami," sambut-nya. "Reputasi Anda telah tersiar dengan baik. Saya adalah pengagum setia Anda saat kita di Kabul dan ber-lanjut hingga hari ini. Kami merasa mendapatkan kehormatan karena bisa menyatukan keluarga kami dengan keluarga Anda. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Sedangkan untukmu, Amir jan, aku menerimamu di rumah ini sebagai putraku, sebagai suami dari putriku, yang selalu menjadi noor bagi mataku. Rasa sakitmu akan menjadi rasa sakit kami, kebahagiaanmu kebahagiaan kami. Aku berharap kau akan memandang aku dan Khala Jamilamu sebagai orang tua keduamu, dan aku akan senantiasa berdoa untuk ke-bahagiaanmu dan Soraya jan tersayang kami. Kalian berdua mendapatkan restu kami." Semua orang bertepuk tangan, dan seakan-akan tepukan itu menjadi penanda, kepala-kepala menoleh ke arah koridor. Inilah saat yang kunantinanti. Soraya akhirnya muncul, tampak menawan dalam balutan gaun tradisional Afghan berwama merah anggur yang berlengan panjang dan berhiaskan benang emas. Baba meraih tanganku dan menggenggamnya. Khanum Taheri kembali meneteskan air mata. Per-lahan, Soraya mendekati kami, diiringi barisan kerabat-kerabat wanitanya. Dia mencium tangan ayahku. Akhirnya duduk di sampingku, menundukkan tatapannya. Tepukan tangan dan sorak-sorai membahana.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Menurut tradisi, keluarga Soraya seharusnya menggelar pesta pertunangan, yang dinamakan Shirini-khori atau upacara "Santapan Manis". Setelah itu, masa pertunangan yang berlangsung selama beberapa bulan akan mengikuti. Lalu, upacara dan pesta pemikahan diselenggarakan dengan biaya yang ditanggung oleh Baba. Kami semua sepakat bahwa aku dan Soraya tidak akan menjalani Shirinikhori. Semua orang tahu alasan-nya, sehingga tidak seorang pun menyuarakannya: karena dalam beberapa bulan, Baba tidak akan lagi tinggal bersama kami. Aku dan Soraya tidak pernah berkencan berdua selama masa persiapan pemikahan kami karena kami belum menikah dan tidak menjalankan Shirini-khori, pergi berdua dianggap tidak pantas. Jadi, untuk menemui Soraya, aku harus pergi bersama Baba, meng-hadiri jamuan makan malam di rumah keluarga Taheri. Di sana, aku duduk berseberangan dengan Soraya. Membayangkan rasanya jika aku memeluknya, menghirup aroma rambutnya. Menciumnya. Bercinta dengannya. Baba menghabiskan $35.000, hampir seluruh tabungan-nya, untuk membiayai awroussi, upacara per-nikahan. Dia menyewa aula besar milik seorang warga Afghan di Fremont untuk menyelenggarakan pesta pria Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pemilik tempat itu mengenal Baba saat di Kabul dan memberinya diskon besar. Babalah yang mem-bayar chiias, sepasang cincin kawin kami, dan cincin berlian pilihanku. Dia pun membelikan tuksedo untukku, dan juga busana tradisional berwama hijau yang kukenakan pada saat n/te-upacara pengikatan janji setia. Setelah segala upaya yang menguras tenaga untuk mempersiapkan malam pemikahan kami hampir semuanya, syukurlah, dikerjakan oleh Khanum Taheri dan kawankawannya hanya sedikit saja yang kuingat. Aku ingat pelaksanaan nika kami. Kami duduk mengelilingi sebuah meja, aku dan Soraya mengenakan busana berwama hijau tidak hanya wama Islam, namun juga wama musim semi dan awal baru. Aku memakai setelan lengkap, Soraya (satu-satunya wanita di meja itu) memakai gaun berlengan panjang dengan kerudung yang serasi. Baba, Jenderal Taheri (kali ini mengenakan tuksedo), dan beberapa paman Soraya duduk di antara kami. Aku dan Soraya menundukkan pandangan, menunjukkan bahwa kami saling menghormati, hanya sesekali kami saling melirik. Mullah yang memimpin upacara itu menanyai para saksi dan membaca ayat Al-Quran. Kami mengucapkan sumpah kami. Menandatangani surat nikah kami. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Salah satu paman Soraya yang tinggal di Virginia, Sharif jan, saudara lakilaki Khanum Taheri, berdiri dan berdeham. Soraya pernah memberitahuku bahwa pria itu telah tinggal di AS selama lebih dari 20 tahun. Dia bekerja untuk INS dan menikah dengan wanita Amerika. Sharif jan juga pandai menulis puisi. Pria bertubuh kecil dengan wajah menyerupai burung dan rambut mengembang itu membacakan sebuah puisi panjang yang dipersembahkan untuk Soraya, ditulis mendadak di atas kertas yang disediakan hotel. "Wah wah, Sharif jan!" saat dia selesai membacakan puisi itu, semua orang memujinya. Aku ingat saat aku dan Soraya berjalan bergandengan tangan mendekati panggung, kali ini aku mengenakan tuksedo, sedangkan Soraya mengenakan pari putih dengan kerudung senada. Baba berjalan tertatihtatih di sampingku, Sang Jenderal dan istrinya di samping Soraya. Para paman beserta istri-istri mereka berbaris di belakang kami, dan kami pun mengelilingi aula itu, melewati para tamu yang bersorak sorai, memicingkan mata menghadapi begitu banyak kilatan lampu kamera. Salah satu sepupu Soraya, putra Sharif jan, memegang Al-Quran di atas kepala kami selama kami berjalan perlahan. Lagu pemikahan berkumandang dari setiap pengeras suara dalam ruangan itu, ahesta boro, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

lagu yang pernah dinyanyikan prajurit Rusia di pos pemeriksaan Mahipar pada malam aku dan Baba meninggalkan Kabul: Ubah pagi hari menjadi kunci dan buanglah ke dalam sumur, Jangan buru-buru, bulanku tersayang, jangan buru-buru. Jangan ingatkan matahari pagi untuk terbit di ufuk timur, Jangan buru-buru, bulanku tersayang, jangan buru-buru. Aku ingat saat aku duduk di sofa yang diletakkan di atas panggung, menggenggam tangan Soraya, sementara 300-an pasang mata memandang kami. Kami menjalankan upacara Ayena Masshaf. Sehelai kain ditudungkan ke kepala kami; yang ada hanya kami berdua dan dua buah cermin, yang berguna untuk melihat pantulan wajah satu sama lain. Di bawah lindungan kain, saat memandang bayangan Soraya yang tersenyum dari cermin itu, untuk pertama kalinya aku membisikkan padanya bahwa aku mencintainya. Pipi-nya merona merah, semerah henna. Aku masih bisa membayangkan nampan-nam-pan berisi kebab chopan, sholeh-goshti, dan nasi oranye cerah. Aku melihat senyum Baba saat dia duduk dalam apitan kami. Aku ingat saat para pria dengan tubuh basah oleh keringat membentuk lingkaran dan membawakan tarian tradisional Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

attan, menandak- nandak, berputar semakin cepat seiring dengan hentakan tabla, hingga hampir semuanya keluar dari lingkaran itu karena tak kuasa menahan lelah. Aku ingat saat aku ber-andai-andai Rahim Khan ada di sana. Dan aku ingat saat aku memikirkan apakah Hassan juga telah menikah. Kalau dia memang telah menikah, wajah siapakah yang dilihatnya saat berada di bawah kain? Tangan berhias henna milik siapakah yang digenggamnya? Sekitar pukul 02.00, pesta dipindahkan dari aula ke apartemen Baba. Sekali lagi teh dihidangkan dan musik dikumandangkan hingga para tetangga menelepon polisi. Satu jam sebelum matahari terbit, saat para tamu akhirnya pergi, aku dan Soraya berbaring berdam-pingan untuk pertama kalinya. Sepanjang hidupku, aku selalu dikelilingi oleh laki-laki. Malam itu aku menemukan kelembutan seorang wanita. * Soraya yang menyarankan supaya kami tinggal bersama Baba. "Kupikir kau ingin tinggal di tempat kita sendiri," ujarku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Saat Kaka jan sakit seperti itu?" dia menyanggahku. Matanya mengatakan padaku bahwa dengan cara inilah dia ingin mengawali pemikahan kami. Aku menciumnya. "Terima kasih." Soraya mengabdikan dirinya untuk merawat ayahku. Dia memanggang roti dan menyeduh teh untuk Baba di pagi hari, dan membantunya naik dan turun tempat tidur. Dia tidak pernah lupa menyediakan pil-pil penahan rasa sakitnya, mencuci bajunya, membacakan lembar intemasional di koran untuknya setiap siang. Dia memasak makanan kesukaan Baba, shorwa kentang, meskipun Baba hanya akan makan beberapa suapan, dan menemaninya berjalan-jalan singkat mengitari blok kami setiap hari. Dan saat Baba merasakan tubuhnya penat karena berbaring sepanjang waktu, untuk menghindarkan memar-memar karena selalu berbaring dengan posisi yang sama, Soraya akan membantunya mengatur posisi. Suatu hari, aku baru saja pulang dari apotek untuk membeli pil morfin Baba. Saat aku menutup pintu, aku melihat sekilas Soraya dengan cepat menyembunyikan sesuatu di balik selimut Baba. "Hei, aku melihatnya! Apa yang sedang kalian berdua lakukan?" tanyaku. "Tidak ada," Soraya tersenyum.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Penipu." Aku mengangkat selimut Baba. "Apa ini?" tanyaku, meskipun saat aku mengangkat buku bersampul-kulit itu, aku tahu. Jari-jariku mengelus ping-gir-annya yang dijahit dengan benang emas. Aku teringat akan pesta kembang api yang sedang berlang-sung saat Rahim Khan menghadiahkan buku ini untukku, malam perayaan ulang tahunku yang ke-13, bunga-bunga api meluncur di langit dan meledak dalam wama-wami menawan, merah, hijau, dan kuning. "Aku tak percaya kau bisa menulis seindah ini," kata Soraya. Baba mengangkat kepalanya dari bantal. "Aku yang memintanya membacakan buku itu untukku. Kuharap kau tidak keberatan." Aku mengembalikan buku itu pada Soraya dan meninggalkan ruangan itu. Baba tidak akan suka me-lihatku menangis. Sebulan setelah pemikahan kami, keluarga Taheri, Sharif beserta istrinya, Suzy, dan beberapa bibi Soraya menghadiri acara makan malam di apartemen kami. Soraya menyiapkan sabzi challow nasi putih dengan daging domba dan bayam. Setelah selesai makan, kami semua menikmati teh hijau dan bermain kartu dalam kelompok empat orang. Aku dan Soraya melawan Sharif dan Suzy di meja kopi, di dekat sofa tempat Baba berbaring di bawah selimut wolnya. Baba memerhatikanku saat menceritakan lelucon Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kepada Sharif, saat aku dan Soraya mengaitkan jari kami, saat aku menyisipkan helaian rambutnya yang terlepas. Aku bisa melihat bahwa dalam hati Baba tersenyum, selebar langit Kabul di malam hari, saat pohon-pohon poplar bergemerisik dan kerikan jangkrik memenuhi taman. Beberapa saat sebelum tengah malam, Baba meminta kami membantunya naik ke tempat tidur. Aku dan Soraya menaruh lengannya di bahu kami dan kami melingkarkan lengan kami di punggungnya. Saat kami menurunkannya, dia meminta Soraya mematikan lampu tidumya. Dia meminta kami mendekatkan wajah kami, lalu memberi kami kecupan. "Nanti aku akan kembali membawakanmu morfin dan segelas air, Kaka jan," kata Soraya. "Malam ini tidak perlu," katanya. "Aku tidak merasa sakit malam ini." "Ya sudah," kata Soraya. Dia menaikkan selimut Baba. Kami menutup pintu kamamya. Baba tidak pernah terbangun lagi. Mobil-mobil mereka memenuhi lapangan parkir sebuah masjid di Hayward. Di lapangan rumput yang telah gundul di belakang masjid itu, berbagai jenis mobil diparkir tak beraturan. Para pelayat harus memarkir

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mobil mereka tiga atau empat blok dari masjid itu karena sudah tidak ada lahan parkir yang tersedia. Lantai bagian pria di masjid itu, ruangan persegi yang luas, ditutup dengan permadani-permadani Afghan dan matras-matras tipis yang disusun berjajar. Para pria memasuki ruangan itu, meninggalkan sepatu mereka di pintu masuk, dan duduk bersila di atas matras. Seorang mullah melafalkan surat-surat dari Al- Quran melalui pengeras suara. Aku duduk di dekat pintu, posisi untuk keluarga yang ditinggalkan. Jenderal Taheri duduk di sampingku. Melalui pintu yang terbuka, aku bisa melihat mobil-mobil terus berdatangan, cahaya matahari memantul dari kaca-kacanya. Dari mobilmobil itu turunlah para pelayat, para pria yang mengenakan pakaian berwama gelap, para wanita yang mengenakan gaun hitam, dengan kepala tertutup jilbab berwama putih. Saat lantunan ayat-ayat Al Quran menggema dalam ruangan itu, aku memikirkan kisah yang dulu pernah kudengar, tentang Baba yang bergulat melawan beruang hitam di Balukhistan. Baba telah bergulat melawan beruang sepanjang hidupnya, kehilangan istrinya saat masih muda. Membesarkan anak laki-lakinya seorang diri. Meninggalkan tanah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

air yang dicintainya, watarmya. Kemiskinan. Harga diri yang terluka. Dan akhirnya, sang beruang harus mengakui bahwa dia tidak mungkin menang. Tetapi, meskipun dia kalah, dia telah kalah dengan terhormat. Setelah selesai berdoa untuk Baba, para pelayat berbaris dan menyalamiku sembari keluar. Aku menyalami mereka, menunaikan tugasku. Aku tidak mengenal sebagian besar dari mereka. Senyum sopan kusunggingkan, sambil mengucapkan terima kasih atas doa mereka, mendengarkan apa pun yang mereka sampaikan tentang Baba. "... menolong saya membangun rumah di Taimani "... memberkatinya "... tidak ada yang mau membantu saya dan dia meminjamkan "... seperti saudara saya sendiri Saat mendengarkan mereka, aku menyadari seberapa besar keberadaanku, jati diriku, yang diwujudkan oleh Baba dan jejak-jejak yang ditinggalkannya dalam kehidupan banyak orang. Sepanjang hidupku, aku telah menjadi "putra Baba." Sekarang Baba telah tiada. Dia tidak akan ada untuk menunjukkan jalanku lagi; aku harus menemukannya sendiri. Memikirkannya membuatku merasa takut. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sebelumnya, di area pekuburan kecil untuk kaum Muslim, aku menyaksikan saat jenazah Baba diturun-kan ke lubang. Sang mullah dan seorang pria lain mem-perdebatkan pilihan ayat Al-Quran yang sebaiknya dibacakan saat pemakaman. Seandainya Jenderal Taheri tidak menengahi mereka, perdebatan mereka akan mengacaukan upacara itu. Sang mullah memilih sebuah ayat dan membacakannya, sambil melirik rekannya dengan penuh kemenangan. Aku menyaksikan saat mereka menimbun satu sekop penuh tanah ke dalam lubang itu. Lalu aku meninggalkannya. Aku berjalan ke bagian lain pekuburan itu. Duduk di bawah naungan pohon maple merah. Sekarang, pelayat terakhir menyalamiku dan masjid itu sunyi, hanya ada sang mullah yang sedang mencabuti kabel-kabel mikrofon dan membungkus kitab sucinya dengan kain berwama hijau. Aku dan Sang Jenderal melangkah ke luar, disambut oleh matahari senja. Kami menuruni tangga, melewati deretan pria yang sedang merokok. Aku mendengar sekilas percakapan mereka, tentang pertandingan sepak bola di Union City akhir minggu mendatang, tentang restoran Afghan baru di Santa Clara. Ke-hi-dupan terus berjalan, meninggalkan Baba di belakang. "Bagaimana keadaanmu, bacheml" Jenderal Taheri bertanya padaku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku mengatupkan mulutku. Melawan air mata yang telah merongrongku sepanjang hari. "Saya akan mencari Soraya," itulah yang kukatakan. "Baiklah." Aku berjalan menuju bagian masjid yang dikhu-suskan untuk wanita. Soraya berdiri di tangga bersama ibunya dan sepasang wanita yang samarsamar kuingat hadir saat pesta pemikahan kami. Aku memberi isyarat pada Soraya. Dia mengatakan sesuatu pada ibunya dan mendatangiku. "Bisakah kita berjalan-jalan?" aku memintanya. "Tentu." Dia meraih tanganku. Kami berjalan dalam keheningan di sepanjang jalan yang terbuat dari tatanan batu dengan semak rendah berderet di sepanjang sisinya. Setelah beberapa saat, kami duduk di bangku dan memerhatikan pasangan berusia lanjut yang sedang berlutut di dekat sebuah kuburan yang berjarak beberapa baris dari kami dan meletakkan karangan bunga daisy di nisannya. "Soraya?" "Ya?" "Aku akan merindukannya." Dia meletakkan tangannya di pangkuanku. Chila dari Baba berkilauan di jari manisnya. Di belakangnya, aku bisa melihat para pelayat Baba pergi Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

meninggalkan Mission Boulevard. Beberapa saat kemudian kami pun meninggalkan tempat itu, dan untuk pertama kali-nya, Baba akan sendirian. Soraya memelukku dan air mata itu pun akhirnya mengalir. Karena aku dan Soraya tidak pernah menjalani masa pertunangan, banyak hal tentang keluarga Taheri baru kuketahui saat aku telah menikahi keluarga itu. Misal-nya, aku baru tahu bahwa, sekali dalam sebulan, Sang Jenderal terserang migrain parah yang berlangsung selama hampir seminggu. Saat sakit kepalanya kam-buh, Sang Jenderal memasuki kamamya, membuka baju, mematikan lampu, mengunci pintu, dan tidak akan keluar hingga rasa sakitnya berkurang. Tak seorang pun diperbolehkan masuk, tak seorang pun diperbolehkan mengetuk pintu. Pada akhirnya dia akan keluar, sekali lagi dengan mengenakan setelan abu-abunya, menguarkan aroma tidur dan seprai, matanya merah dan berkantung. Aku baru tahu dari Soraya bahwa sejauh yang diingatnya, Sang Jenderal dan Khanum Taheri selalu tidur di kamar terpisah. Aku baru tahu bahwa Sang Jenderal bisa jadi sangat menyebalkan, seperti ketika dia mencicipi qurma yang dihidangkan istrinya, dia menghela napas dan menyingkirkannya. "Aku akan memberimu yang lain," Khanum Taheri Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

akan mengatakannya, namun Sang Jenderal akan mengabaikannya, cemberut, dan menyantap roti dan bawang. Hal ini membuat Soraya marah dan ibunya menangis. Soraya memberitahuku bahwa ayahnya mengonsumsi obat antidepresi. Aku baru tahu bahwa Sang Jenderal menghidupi keluarganya dengan uang tunjangan kesejahteraan dan belum pernah sekali pun bekerja selama berada di AS, lebih memilih untuk mencairkan cek keluaran pemerintah daripada menurunkan derajatnya dengan bekerja pada posisi yang tidak sesuai bagi orang sekelasnya dia memandang pasar loak hanya sebagai hobi, cara untuk bersosialisasi dengan kawan-kawan Afghannya. Sang Jenderal meyakini bahwa, cepat atau lambat, Afghanistan akan merdeka, kejayaan monarki akan kembali, dan dia akan kembali diminta untuk bertugas. Karena itulah, setiap hari, Sang Jenderal mengenakan setelan abu-abunya, memutar jam sakunya, dan menunggu. Aku baru tahu bahwa Khanum Taheri yang sekarang kupanggil Khala Jamila suatu ketika pernah terkenal di Kabul karena suara emasnya. Meskipun dia tidak pernah menjadi seorang penyanyi profesional, dia memiliki bakat yang bisa mengarahkannya ke sana aku baru tahu bahwa Khala Jamila piawai menyanyikan lagu lagu rakyat, ghazal, bahkan raga, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

nyanyian khas India yang biasanya dinyanyikan oleh para pria. Tetapi meskipun Sang Jenderal gemar menikmati musik buktinya, dia memiliki koleksi lengkap rekaman ghazal klasik oleh penyanyi-penyanyi dari Afghan dan India dia meyakini bahwa penampilan menyanyi yang terbaik hanya bisa ditunjukkan oleh mereka yang memiliki reputasi kurang baik. Bahwa Khala Jamila tidak akan pernah lagi menyanyi di depan umum adalah syarat yang diajukan Sang Jenderal saat mereka hendak menikah. Soraya memberitahuku bahwa ibunya ingin menyanyi pada pesta pemikahan kami, cukup satu lagu, namun Sang Jenderal hanya menatapnya, dan topik itu pun terkubur selamanya. Khala Jamila bermain lotto setiap minggu dan menonton Johnny Carson setiap malam. Dia menghabiskan hari-harinya untuk mengurus kebunnya, merawat mawar, geranium, ubi jalar, dan anggrek. Saat aku menikahi Soraya, bunga-bunga dan Johnny Carson tersingkir. Aku menjadi sumber keceriaan baru dalam kehidupan Khala Jamila. Tidak seperti Sang Jenderal yang selalu bersikap teratur dan diplomatis dia tidak menolak saat aku terus memang-gilnya dengan sebutan "Jenderal Sahib" Khala Jamila tidak pernah menutupi betapa dia mengagumiku. Penyebabnya, diantaranya adalah, aku selalu mendengarkan saat dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menyebutkan daftar penyakitnya yang mencengangkan, sesuatu yang telah lama tidak lagi dipedulikan oleh Sang Jenderal. Soraya memberi-tahuku bahwa setelah ibunya terserang stroke, dia merasa mendapatkan serangan jantung setiap kali jantungnya berdetak lebih cepat, rematiknya kambuh setiap kali persendiannya terasa sakit, dan stroke menimpanya setiap kali matanya berkedut. Aku ingat saat Khala Jamila pertama kali menyebutkan tentang benjolan di lehemya padaku. "Besok aku akan membolos kuliah dan membawa Khala jan ke dokter," kataku. Sang Jenderal yang mendengamya tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, sebaiknya kau menyingkirkan buku-bukumu selamanya, bachem. Daftar pengobatan khalamu seperti karya Rumi: Panjangnya berjilid-jilid." Tetapi Khala Jamila tidak hanya menemukan penonton untuk menyaksikan monolog tentang penyakitnya. Aku benar-benar yakin bahwa seandainya aku membawa senapan dan menjadi pembunuh membabi buta, aku akan tetap mendapatkan limpahan kasih sayangnya. Penyebabnya adalah, aku telah menyingkirkan penyakit terparah dalam hatinya. Aku telah mengeluarkannya dari ketakutan terbesar yang dimiliki oleh setiap ibu-ibu Afghan: bahwa tidak akan ada khastegar yang terhormat yang akan meminang putrinya. Bahwa putrinya akan menua sendirian, tanpa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

suami, tanpa anak. Setiap wanita membutuhkan seorang suami. Meskipun sang suami menjadikan lagu dalam dirinya berhenti mengalun. Dan, dari Soraya, aku mengetahui detail peristiwa Virginia. Kami sedang menghadiri sebuah pesta pemikahan. Paman Soraya, Sharif, yang bekerja untuk INS, menikahkan putranya dengan seorang gadis Afghan dari Newark. Pesta itu diselenggarakan di aula yang sama, tempat enam bulan sebelumnya, awroussi kami diadakan. Kami sedang berdiri di tengah kerumunan para tamu, menyaksikan mempelai wanita menerima cincin dari keluarga mempelai pria, saat kami tanpa sengaja mendengar dua orang wanita paruh baya yang memunggungi kami bercakap-cakap. "Pengantin yang cantik," kata salah satu dari mereka. "Lihatlah dia. Begitu maghbool, bagaikan bulan." "Ya," kata yang lainnya. "Lagipula dia masih suci. Perawan. Belum pernah punya pacar." "Aku tahu. Bagus juga anak itu batal menikahi sepupunya." Dalam perjalanan pulang, Soraya tidak mampu lagi menahan perasaannya. Aku meminggirkan Fordku ke bahu jalan, berhenti di bawah tiang lampu di Fremont Boulevard. "Sudahlah," aku menyibakkan rambutnya. "Siapa yang peduli?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ini sungguh tidak adil," nada suaranya meninggi. "Lupakan saja." "Anak-anak lelaki mereka keluyuran ke kelab malam menggoda gadisgadis dan menghamili kekasih mereka, mereka punya anak haram dan tak ada seorang pun membicarakannya. Oh, memang begitu cara pria bersenang-senang! Aku membuat satu kesalahan dan tiba-tiba semua orang bicara tentang nang dan namoos, dan seumur hidup aku harus menanggung malu gara-gara kejadian itu." Dengan ujung ibu jariku, aku menghapus air mata yang mengalir ke rahangnya, tepat di atas tanda lahir-nya. "Aku tidak memberitahumu," jari-jari Soraya mengusap airmatanya, "tapi malam itu, ayahku muncul sambil membawa pistol. Dia mengatakan ... padanya ... bahwa hanya ada dua peluru dalam pistol itu, satu untuk pria itu dan satu lagi untuknya sendiri kalau aku tidak mau pulang bersamanya. Aku menjerit-jerit, mengumpat ayahku dengan segala macam sebutan, mengatakan padanya bahwa dia tidak bisa selamanya memingitku, bahwa aku ingin dia mati." Matanya kembali basah. "Aku benar-benar mengatakan padanya, bahwa aku ingin dia mati. "Saat dia membawaku pulang, ibuku mendeKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kapku sambil menangis. Dia mengatakan banyak hal, tapi aku tidak mengerti sedikit pun karena isakannya begitu hebat. Fadar jan membawaku ke kamarku dan mendudukkanku di depan meja rias. Dia mengulurkan sebuah gunting dan dengan tenang memintaku memotong pendek rambutku. Dia mengawasiku saat aku melakukannya. "Aku tidak keluar rumah selama seminggu. Dan saat aku keluar, kemana pun aku melangkah, aku men-dengar atau membayangkan bisikanbisikan. Kejadian itu berlangsung empat tahun yang lalu dan 5000 km jauhnya dari tempat ini dan aku masih saja mendengar bisikan-bisikan itu." "Persetan dengan mereka," ujarku. Soraya setengah tertawa dan setengah terisak. "Ketika aku menceritakan hal ini padamu lewat telepon saat malam khastegari, aku yakin kau akan berubah pikiran." "Aku tidak akan melakukannya, Soraya." Dia tersenyum dan meraih tanganku. "Aku sangat beruntung karena menemukanmu. Kau sungguh berbeda dengan semua pria Afghan lain yang kukenal." "Kita tidak akan pernah lagi membicarakan hal ini, oke?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Oke." Aku mencium pipinya dan kembali menjalankan mobil. Sambil mengemudi, aku memikirkan mengapa aku berbeda. Mungkin karena aku dibesarkan oleh pria; tidak pernah ada wanita di sekelilingku saat aku tumbuh dan aku tidak pernah bersinggungan dengan standar ganda yang sering kali diberlakukan warga Afghan terhadap wanita. Mungkin karena Baba bukanlah seorang ayah Afghan biasa. Seorang liberal yang menganut peraturan yang dibuatnya sendiri, seorang pria merdeka yang bebas mengabaikan atau mengikuti kebiasaan masyarakat yang dia anggap sesuai untuk-nya. Tetapi, kupikir, alasan terbesar mengapa aku tidak memedulikan masa lalu Soraya adalah karena aku memiliki masa laluku sendiri. Aku tahu segalanya tentang penyesalan. Tidak lama setelah Baba meninggal, aku dan Soraya pindah ke apartemen satu-kamar di Fremont, hanya berjarak beberapa blok dari rumah Sang Jenderal dan Khala Jamila. Orangtua Soraya membelikan sebuah sofa kulit berwama cokelat dan satu set perlengkapan makan Mikasa sebagai hadiah kepindahan kami. Sang Jenderal memberiku hadiah tambahan, sebuah

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mesin tik IBM baru. Dia menyelipkan sehelai kertas berisi ucapan berbahasa Farsi dalam kotaknya: Amir jan, Kuharap kau menemukan limpahan kisah pada tombol-tombol ini. Jenderal Iqbal Taheri Aku menjual bus VW milik Baba dan, hingga hari ini, aku tidak pernah kembali ke pasar loak. Aku mengunjungi makamnya setiap Jumat, dan kadang-kadang, aku akan menemukan buket bunga freesia segar tersandar di nisannya dan aku tahu bahwa Soraya juga telah berkunjung ke sana. Aku dan Soraya menjalani rutinitas dan keajaiban keajaiban kecil kehidupan pemikahan. Kami berbagi sikat gigi dan kaus kaki, juga saling mengulurkan koran pagi. Dia tidur di sisi kanan tempat tidur kami, aku lebih suka di sebelah kiri. Dia suka bantal yang empuk, aku suka yang keras. Dia menyantap serealnya kering, seperti camilan, baru kemudian minum susunya. Musim panas itu aku diterima di Jurusan Bahasa Inggris San Jose State. Aku bekerja dengan shift sebagai penjaga keamanan di sebuah gudang perabotan di Sunnyvale. Pekerjaan itu sangat membosankan, tapi sisa uang yang bisa kutabung lumayan. Saat semua orang meninggalkan tempat itu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pada pukul 18.00 dan bayangan malam mulai merayapi lorong-lorong di antara tumpukan setinggi langit sofa berlapis plastik, aku mengeluarkan buku-bukuku dan belajar. Di tengah kantor gudang perabotan beraroma PineSol itulah aku mulai menulis novel pertamaku. Tahun berikutnya, Soraya bergabung bersamaku menjadi mahasiswa di San Jose, meskipun ayahnya merasa kecewa karena dia mengambil jurusan ilmu pendidikan. "Aku tak mengerti kenapa kau menyia-nyiakan bakatmu seperti itu," kata Sang Jenderal saat kami menyantap makan malam bersama. "Kau tahu, Amir jan, saat di SMA, dia mendapat nilai A di setiap mata pelajaran." Dia menatap Soraya. "Gadis berpendidikan sepertimu bisa jadi pengacara, atau pakar ilmu politik. Dan, Insya Allah, saat Afghanistan merdeka, kau bisa ikut menyusun undang-undang yang baru. Warga Afghan yang muda dan berbakat sepertimu akan dibutuhkan. Dengan nama keluargamu, kau bahkan bisa saja ditawari menduduki posisi menteri." Bisa kulihat Soraya menahan dirinya, wajahnya menegang. "Aku bukan seorang gadis, Padar. Aku wanita yang sudah menikah. Lagipula, mereka juga akan membutuhkan guru." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Semua orang bisa jadi guru." "Masih ada nasi, Madar?" sahut Soraya. Setelah Sang Jenderal keluar untuk menjumpai beberapa kawannya di Hayward, Khala Jamila berusaha menenangkan Soraya. "Ayahmu bermaksud baik," katanya. "Dia hanya ingin kau menjadi seorang yang berhasil." "Supaya dia bisa menyombongkan putrinya yang jadi pengacara pada teman-temannya. Satu lagi medali untuk Sang Jenderal," kata Soraya. "Omong kosong saja kau ini!" "Berhasil," desis Soraya. "Setidaknya aku tidak seperti dia, duduk-duduk saja sementara orang lain ber-perang dengan Shorawi, menanti debu-debu dibersihkan sehingga dia bisa pindah kembali dan men-duduki jabatan kecilnya yang bergengsi di pemerintahan. Mungkin gaji guru tidak seberapa, tapi itulah yang ingin kulakukan! Pekerjaan itulah yang kucintai, dan omong-omong, itu jauh lebih baik daripada hidup dengan mengandalkan tunjangan kesejahteraan." Khala Jamila menurunkan nada bicaranya. "Kalau sampai dia mendengarmu mengatakan itu, dia tidak akan mau lagi bicara padamu." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Jangan khawatir," sahut Soraya seraya melem-parkan serbetnya ke piring. "Aku tidak akan melukai egonya yang berharga." + Pada musim panas 1988, sekitar enam bulan sebelum tentara Soviet keluar dari Afghanistan, aku menyelesaikan novel pertamaku, sebuah kisah tentang hubung-an seorang ayah dan putranya yang mengambil seting di Kabul, kebanyakan ditulis menggunakan mesin tik hadiah Sang Jenderal. Aku mengirimkan surat penawaran pada sejumlah agen dan pada suatu hari di bulan Agustus, aku terpana saat membuka kotak suratku dan menemukan sehelai amplop bercap sebuah agen di New York, yang berisi permohonan untuk mendapatkan manuskrip lengkapku. Keesokan harinya, aku mengirimkan balasan. Soraya mencium dengan lembut manuskrip yang telah terbungkus rapi itu dan Khala Jamila memaksaku untuk melewatkannya di bawah Al-Quran. Dia memberitahuku bahwa dia akan bemazar untukku, jika bukuku diterima, Khala Jamila akan menyuruh seseorang untuk menyembelih seekor domba dan membagikan dagingnya pada fakir miskin.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ayolah, tidak usah bemazar, Khala jan," aku menciumnya. "Lebih baik berzakat saja, berikan uangnya pada yang membutuhkan, ya? Tidak perlu menyembelih domba." Enam minggu kemudian, seseorang bemama Martin Greenwalt menelepon dari New York dan menawarkan diri untuk menjadi agen yang akan mewakiliku. Aku hanya memberitahu Soraya tentang ini. "Tapi, mendapat agen bukan berarti novelku pasti diterbitkan. Kalau Martin berhasil menjual novel itu, kita baru merayakannya." Sebulan kemudian, Martin menelepon dan mengatakan bahwa aku akan menjadi novelis dengan karya yang diterbitkan. Saat aku memberitahu Soraya, dia menjerit-jerit. Malamnya, kami mengadakan acara makan malam perayaan dengan orangtua Soraya. Khala Jamila membawa kofta nasi putih bertabur bolabola daging dan femi putih. Sang Jenderal, dengan mata berkaca-kaca, mengungkapkan kebanggaannya padaku. Setelah Sang Jenderal dan istrinya pulang, aku dan Soraya melanjutkan perayaan itu dengan sebotol Merlot mahal yang kubeli sebelumnya Sang Jenderal tidak me-nyukai wanita yang minum alkohol, dan Soraya tidak pernah minum di depannya. "Aku sangat bangga padamu," dia mengangkat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

gelasnya untukku. "Kaka juga akan bangga padamu." "Aku tahu," aku memikirkan Baba, berharap dia menyaksikan saat-saat ini. Malam itu, setelah Soraya tertidur anggur selalu membuatnya mengantuk aku berdiri di balkon dan menghirup udara malam musim panas yang sejuk. Pikiranku melayang pada Rahim Khan dan catatan kecil yang ditulisnya setelah membaca cerita pertamaku yang menyalakan semangatku. Lalu pikiranku melayang pada Hassan. Suatu hari nanti, Insya Allah, kau akan menjadi seorang penulis besar, dia pernah mengatakannya, dan orang-orang di seluruh dunia akan membaca kisahkisahmu. Ada begitu banyak kebaikan dalam hidupku. Begitu banyak kebahagiaan. Aku bertanya-tanya, apakah aku memang pantas mendapatkannya. Novel itu diterbitkan pada musim panas berikutnya, 1989, dan penerbitnya mengirimku untuk mengikuti tur ke lima kota. Aku menjadi pesohor kecilkecilan dalam komunitas Afghan. Pada tahun itu, Shorawi telah menarik seluruh pasukannya dari Afgha-nistan. Seharusnya penarikan pasukan Shorawi itu dilanjutkan dengan masa kemenangan bagi penduduk Afghan. Tetapi, perang terus berkecamuk, kali ini antara warga Afghan sendiri, kaum Mujahidin, melawan pengikut Naji-bullah, pemerintah boneka Soviet. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Gelombang pengungsi Afghan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula, perang dingin berakhir dan Tembok Berlin diruntuhkan. Tahun itu adalah tahun Lapangan Tiananmen. Di tengah segala kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Dan Jenderal Taheri, yang harapannya meninggi setelah Soviet menarik pasukannya, kembali memutar jam sakunya. Pada tahun itu pula, aku dan Soraya mulai berupaya menghadirkan seorang bayi. + Gagasan menjadi seorang ayah melecutkan gelombang emosi dalam diriku. Aku merasa ketakutan, berse-mangat, tertantang, dan gelisah pada waktu yang bersamaan. Akan jadi ayah macam apa aku nanti, pikirku. Aku ingin menjadi seperti Baba dan aku tak ingin sedikit pun menjadi seperti Baba. Namun setahun berlalu dan tak ada perubahan yang terjadi. Seiring dengan berakhirnya tiap siklus bulanan, rasa frustrasi Soraya meningkat, kesabarannya berkurang, dan perasaannya semakin mudah terusik. Pada saat itu, komentar-komentar Khala Jamila yang tadinya disampaikan secara halus telah menjadi semakin menyesakkan. Setiap menjumpai Soraya, dia akan berkata, "Kho dega!" Jadi! "Kapan aku akan bisa menyanyikan alahoo Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

untuk nawasa mungilku?" Sang Jenderal, seorang Pashtun sejati, tidak pernah berkomentar menyinggung topik itu berarti secara tak langsung membicarakan aktivitas seksual putrinya dengan seorang pria, meskipun pria itu telah menikah dengan putrinya selama lebih dari empat tahun. Namun mata Sang Jenderal akan berbinar-binar bila Khala Jamila berkelakar tentang bayi pada kami. "Kadang-kadang kita harus menunggu sebentar," aku mengatakannya pada Soraya suatu malam. "Satu tahun bukan sebentar, Amir!" dia berkata dengan suara yang tidak seperti suaranya. "Ada sesuatu yang salah, aku tahu itu." "Kalau begitu, sebaiknya kita menemui dokter." + Dr. Rosen, pria berperut buncit, berwajah bundar, bergigi kecil dan rata, berbicara dengan aksen Eropa Timur yang samar, terkadang diselingi dengan sedikit aksen Slavik. Dia menyukai kereta api buku-buku tentang sejarah jalur kereta api, lokomotif mainan, lukisan-lukisan kereta api yang sedang berjalan mene-robos perbukitan hijau dan melewati jembatan ber-

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

geletakan di kantomya. Di atas mejanya terdapat tulisan, HIDUP ITU BAGAIKAN KERETA API, MASUKLAH KE GERBONGNYA. Dia memaparkan rencananya untuk kami. Dia akan memeriksaku terlebih dahulu. "Pria itu mudah," katanya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja kayu mahoni. "Pipa air pria seperti cara mereka berpikir: sederhana, sangat sedikit kejutan. Sedangkan kalian para wanita ... well, Tuhan memberikan lebih banyak pemikiran saat menciptakan wanita." Aku bertanya-tanya, apakah dia membicarakan tentang pipa air itu pada setiap pasangan yang mengunjunginya. "Kami memang beruntung," ujar Soraya. Dr. Rosen tertawa. Kedengarannya tidak begitu tulus. Dia menyodorkan pakaian rumah sakit dan se-buah wadah plastik padaku, lalu menanyakan kesediaan Soraya untuk menjalani pemeriksaan darah secara rutin. Kami bersalaman. "Selamat bergabung di gerbong saya," katanya saat mengantarkan kami keluar. + Aku menjalaninya dengan kacau.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Berbagai macam rangkaian tes yang begitu melelahkan dijalani Soraya selama beberapa bulan selanjutnya: Suhu basal tubuh, tes-tes darah untuk setiap hormon yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sesuatu yang dinamakan "Cervical Mucus Test-Tes Selaput Lendir Saluran Rahim," ultrasound, lebih banyak lagi rang-kaian tes darah dan tes urin. Soraya menjalani prosedur yang dinamakan hysteroscopy Dr. Rosen memasukkan teleskop ke dalam rahim Soraya dan melihat-lihat. Dia tidak menemukan apa-apa. "Pipa aimya lancar," dia mengumumkan, menarik lepas sarung tangan lateksnya. Kuharap dia berhenti menyebut organ tubuh kami dengan nama itu kami bukan kamar mandi. Saat kami telah menjalani seluruh rangkaian tes yang ada, dia menjelaskan pada kami bahwa dia tidak dapat menjelaskan mengapa kami tidak juga memiliki keturunan. Dan, temyata, itu tidak begitu aneh. Namanya "Ketidaksuburan yang Tidak Dapat Dijelaskan." Kemudian, tibalah masa pengobatan. Kami mencoba obat-obatan seperti Clomiphene dan hMG, serangkaian suntikan yang harus Soraya lakukan sendiri. Saat semua itu gagal, Dr. Rosen menyarankan kepada kami untuk melakukan fertilisasi in vitro atau IVF. Kami menerima surat resmi dari perusahaan asuransi kami, menyampaikan ucapan semoga beruntung dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

penyesalan karena mereka tidak dapat menanggung biaya yang kami ajukan. Kami menggunakan uang muka yang kuterima dari novel pertamaku untuk membiayainya. Mereka melakukan prosedur IVF kepada kami dengan sangat lama dan mendetail. Meskipun kami telah menjalani semua usaha yang melelahkan itu, prosedur itu gagal. Setelah berbulan-bulan kami habiskan dalam ruang tunggu, membaca majalah-majalah semacam Good Housekeeping dan Reader's Digest, setelah berhelai-helai gaun kertas yang kami kenakan dan ruangan-ruangan dingin dan steril yang diterangi cahaya fluorescent, rasa malu yang terus-terusan menerpa kami saat kami harus mendiskusikan setiap detail dari kehidupan seks kami kepada seorang yang benar-benar asing, suntikan-suntikan, alat-alat yang dimasukkan ke dalam tubuh kami, dan pengambilan berbagai macam sampel semua itu kami lakukan seolah tanpa ada akhirnya kami kembali menemui Dr. Rosen dan kereta-kereta-nya. Dia duduk di hadapan kami, mengetuk-ngetuk-an jarinya di meja, dan untuk pertama kalinya menyebutkan kata "adopsi." Sepanjang jalan saat kami kembali ke rumah, Soraya menangis. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Soraya menceritakan kabar itu kepada orang tuanya pada akhir pekan setelah kunjungan terakhir kami ke kantor Dr. Rosen. Kami duduk di bangku-bangku piknik di halaman belakang rumah keluarga Taheri, memanggang ikan trout dan menikmati yogurt. Saat itu menjelang malam pada bulan Maret 1991. Khala Jamila telah menyiram tanaman mawar dan honey-suckle nya, dan wangi aroma bunga-bunga itu bercampur dengan sedapnya aroma ikan panggang. Sudah dua kali Khala Jamila mengulurkan tangannya ke seberang meja untuk mengelus rambut Soraya dan mengatakan, "Tuhan tahu yang terbaik, bachem. Mungkin memang belum saatnya." Soraya terus menunduk memandangi tangannya. Dia sudah lelah, aku tahu, letih karena semua ini. "Dokter bilang kami bisa mengadopsi," gumamnya. Saat mendengar Soraya mengatakannya, kepala Jenderal Taheri seketika tersentak. Dia menutup pang-gangan barbecue. "Dia bilang begitu?" "Dia bilang ini adalah salah satu pilihan untuk dipertimbangkan," jawab Soraya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Di rumah, kami telah membicarakan tentang adopsi. Soraya memang meragukan pilihan ini. "Aku tahu ini tolol dan mungkin aneh," katanya saat kami menuju rumah orangtuanya, "tapi itulah yang kurasakan. Aku selalu memimpikan bahwa aku akan mendekapnya dan tahu bahwa darahku telah menghidupinya selama sembilan bulan, bahwa suatu hari aku akan melihat ke dalam matanya dan merasa terkejut karena aku melihat dirimu atau diriku, bahwa bayi itu akan tumbuh dewasa dan senyumnya menyerupai senyummu atau senyumku. Tanpa itu semua .... Salahkah itu?" "Tidak," aku telah mengatakannya. "Apakah aku egois?" "Tidak, Soraya." "Karena kalau kau benar-benar ingin melakukannya ...." "Tidak," ujarku. "Kalau kita akan melakukannya, kita seharusnya tidak ragu sedikit pun, dan kita berdua sebaiknya sama-sama menyetujuinya. Hanya dengan itulah kita dapat memberikan keadilan pada bayi itu." Soraya menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dan sepanjang sisa perjalanan itu dia tidak berkata-kata lagi.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sekarang Sang Jenderal duduk di sampingnya. "Bachem, soal adopsi ... ini, aku tidak begitu yakin ini pantas bagi warga Afghan seperti kita." Soraya menatapku dengan letih dan menghela napas. "Salah satu alasannya, mereka akan tumbuh dewasa dan ingin mengetahui orangtua mereka yang sebenar-nya," kata Sang Jenderal. "Kalian tidak bisa menyalah-kannya. Kadang-kadang, setelah kalian susah payah menghidupinya selama bertahun-tahun, dia akan begitu saja meninggalkan rumah untuk mencari orang-orang yang telah melahirkannya ke dunia ini. Darah memiliki kekuatan, bachem, jangan pernah lupa-kan itu." "Aku tak ingin lagi membicarakan hal ini," ujar Soraya. "Aku akan mengatakan satu hal lagi," Sang Jenderal menambahkan. Aku bisa melihat bahwa dia telah siap berbicara: kami akan segera mendengarkan salah satu pidato pendek Sang Jenderal. "Contohnya Amir jan, di sini. Kita semua tahu siapa ayahnya, aku tahu siapa kakeknya saat di Kabul dan aku juga tahu siapa kakek buyutnya. Aku bisa duduk di sini dan melacak bergenerasi-generasi dari leluhumya kalau kau mau. Karena itulah, saat ayahnya semoga Tuhan memberinya kedamaian datang untuk khastegari, aku tidak ragu sedikit pun. Dan percayalah padaku, ayahnya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tidak akan mau menyampaikan lamaran untukmu kalau dia tidak mengetahui garis keturunanmu. Darah itu kuat, bachem, dan kalau kau mengadopsi, kau tidak tahu darah siapa yang kaubawa memasuki rumahmu. "Nah, kalau kau orang Amerika, itu tidak jadi masalah. Orang Amerika menikah karena cinta, mereka tidak pernah memperhitungkan nama keluarga dan garis keturunan. Begitu juga cara mereka mengangkat anak, asal bayi itu sehat, mereka mau mengadopsinya, dan semua orang bahagia. Tapi kita adalah warga Afghan, bachem." "Ikannya sudah hampir siap, ya?" sahut Soraya. Jenderal Taheri melekatkan tatapannya pada putrinya. Dia menepuk-nepuk lutut Soraya "Berbahagialah karena kau memiliki tubuh yang sehat dan suami yang baik." "Bagaimana menurutmu, Amir jan?" tanya Khala Jamila. Aku meletakkan gelasku di dekat pot-pot geraniumnya yang mengucurkan air. "Kurasa aku sependapat dengan Jenderal Sahib." Merasa mendapatkan dukungan, Sang Jenderal mengangguk dan kembali memanggang.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kami semua memiliki alasan pribadi yang membuat kami menolak melakukan adopsi. Soraya memiliki alasannya sendiri, Sang Jenderal memiliki alasannya sendiri, dan alasan yang kumiliki adalah: bahwa mungkin sesuatu, seseorang, di suatu tempat, telah memutuskan bahwa aku tidak layak menjadi seorang ayah karena hal-hal yang telah kulakukan. Mungkin inilah hukumanku, dan mungkin inilah keadilan untukku. Mungkin memang belum saatnya, kata Khala Jamila. Atau, mungkin, memang saat itu tak akan datang. + Beberapa bulan kemudian, kami menggunakan uang muka novel keduaku untuk membayar panjar sebuah rumah cantik bergaya Victoria yang memiliki dua kamar di San Francisco's Bemal Heights. Rumah itu memiliki atap yang tinggi, lantai yang terbuat dari kayu keras, dan halaman belakang mungil, lengkap dengan beranda dan lubang api unggun. Sang Jenderal membantuku memperbaiki beranda dan mengecat temboknya. Khala Jamila meratapi kepindahan kami ke rumah yang berjarak satu jam perjalanan dari rumahnya, terutama karena dia menganggap Soraya membutuhkan segala cinta dan dukungan yang bisa diberikan oleh ibunya tidak mau melihat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kenyataan bahwa maksud baiknya memberikan simpati berlebihanlah yang tepatnya membuat Soraya berkeinginan untuk mencari tempat tinggal baru. + Kadang-kadang, Soraya tertidur di sampingku, aku berbaring di ranjang dan mendengarkan saat pintu membuka dan tertutup kembali oleh tiupan angin. Aku mendengarkan nyanyian jangkrik di halaman. Dan aku hampir dapat merasakan kehampaan dalam rahim Soraya, seolah-olah ia hidup dan bemapas sendiri. Kehampaan itu telah merayap ke dalam pemikahan kami, ke dalam canda tawa kami, ke dalam kehidupan asmara kami. Dan saat larut malam, di tengah ke-gelapan kamar kami, aku merasakan kehampaan itu bangkit dari dalam tubuh Soraya dan menempatkan dirinya di antara kami. Tidur di antara kami. Seperti seorang bayi. Empat belas Juni 2001 Aku meletakkan gagang telepon itu dan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menatapnya selama beberapa saat, hingga Aflatoon menyalak dan mengagetkanku, menyadarkanku bahwa ruangan tempatku berada begitu sunyi. Soraya telah mematikan volume televisi. "Kau tampak pucat, Amir," dia mengatakannya dari sofa yang sama, yang dihadiahkan orangtuanya saat kami pindah ke apartemen pertama kami. Dia berbaring di sana dengan kaki terkubur tumpukan bantal, ditemani oleh Aflatoon yang menyandarkan kepala ke dadanya. PBS sedang menayangkan siaran khusus mengenai penderitaan serigala-serigala di Minnesota, dan Soraya menontonnya sambil mengoreksi esai yang dikerjakan para siswa kelas musim panasnya dia telah mengajar di sekolah yang sama selama enam tahun. Saat dia duduk, Aflatoon melompat turun dari sofa. Sang Jenderallah yang menamai anjing cocker spaniel kami itu. Aflatoon berarti "Plato" dalam bahasa Farsi, karena, menurut Sang Jenderal, kalau kau mencoba melihat dengan cukup keras dan cukup lama ke dalam mata hitam mengilap anjing itu, kau akan merasa sangat yakin bahwa ia sedang memikirkan sesuatu yang bijaksana. Kini, sedikit lemak, yang sebenamya tidak begitu terlihat, menggelambir di bawah dagu Soraya. Masa sepuluh tahun terakhir sedikit mempertajam Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

lekukan pada pinggulnya dan mewamai beberapa helai rambut hitam kelamnya dengan semburat kelabu. Tetapi wajah-nya masih wajah agung seorang putri, dengan alis burung terbangnya dan hidung yang melengkung anggun sebentuk abjad pada kaligrafi Arab kuno. "Kau tampak pucat," ulang Soraya sambil meletak-kan tumpukan kertas yang sedang diperiksanya di meja. "Aku harus pergi ke Pakistan." Dia berdiri saat mendengamya. "Pakistan?" "Rahim Khan sakit keras." Dadaku terasa sesak saat aku mengatakannya. "Kawan lama Kaka, partner bisnisnya?" Soraya belum pernah bertemu dengan Rahim Khan, tapi aku pernah bercerita tentangnya. Aku mengangguk. "Oh," ucapnya. "Aku ikut bersedih, Amir." "Dulu, kami sangat dekat," ujarku. "Saat aku masih kecil, dialah orang dewasa pertama yang pernah kuanggap sebagai teman." Aku membayangkan Rahim Khan dan Baba menikmati teh di ruang kerja Baba, lalu merokok di dekat jendela, dua bentuk asap yang dikeluarkan rokok mereka menantang udara beraroma mawar yang bertiup dari arah taman. "Aku ingat, kau pernah menceritakannya padaku," kata Soraya. Dia terdiam. "Berapa lama kau akan pergi?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Entahlah. Dia ingin bertemu denganku." "Apakah "Ya, keadaannya aman. Aku akan baik-baik saja, Soraya." Pertanyaan inilah yang ingin dilayangkannya sejak tadi 15 tahun perkawinan telah menjadikan kami pembaca pikiran. "Aku akan keluar berjalan-jalan." "Kau ingin aku menemanimu?" "Tidak perlu, sebaiknya aku sendiri saja." + Aku bermobil ke Golden Gate Park dan berjalan-jalan di sepanjang Spreckels Lake, yang berada di ujung utara taman itu. Minggu siang yang cerah; cahaya matahari berkilauan pada permukaan air, tempat lusinan kapal miniatur berlayar dengan dorongan semilir angin San Francisco yang sejuk. Aku mengambil tempat di sebuah bangku taman. Seorang pria melemparkan bola pada anak lelakinya, mengatakan padanya untuk tidak me-nangkis bola itu, untuk melemparkannya melewati bahunya. Di langit, kulihat sepasang layang-layang, merah dengan ekor panjang berwama biru. keduanya menari jauh tinggi melampaui pepohonan di bagian barat taman itu, jauh di atas kincir angin.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku memikirkan ucapan Rahim Khan sesaat sebelum dia memutuskan sambungan telepon. Ucapan yang ditambahkan, seolah sebelumnya terlupakan. Saat menutup mataku, aku bisa melihatnya di ujung gemerisik sambungan jarak jauh, bibimya sedikit ter-buka, kepalanya dimiringkan. Dan lagi-lagi, sesuatu pada kedalaman tanpa batas mata hitamnya menyiratkan rahasia tak terkatakan yang kami simpan bersama. Hanya saja, sekarang aku tahu. Kecurigaanku sepanjang tahun ini telah terbukti. Dia tahu tentang Assef, tentang layang-layang itu, tentang uang itu, tentang arloji dengan jarum penunjuk berbentuk petir itu. Dia mengetahuinya sejak lama. Datanglah. Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan, Rahim Khan mengatakannya sesaat sebelum dia menutup pembicaraan. Ucapan yang ditambah-kan, seolah sebelumnya terlupakan. Jalan untuk kembali menuju kebaikan. + Saat aku tiba di rumah, Soraya sedang berbicara di telepon dengan ibunya. "Tidak akan lama, Madar jan. Satu, mungkin dua minggu .... Ya, Madar dan Padar boleh menemaniku di sini

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dua tahun sebelumnya, saat penyakit migrain-nya kembali kambuh, Sang Jenderal keluar dari kamar-nya dengan tatapan kabur dan pikiran kalut, lalu tersandung pada pinggiran karpet yang longgar. Pinggul bagian kanannya patah. Teriakannya membawa Khala Jamila berlari tergopohgopoh dari dapur. "Suaranya seperti jaroo, gagang sapu, yang patah di tengahtengahnya," dia suka mengatakannya, meskipun dokter berkata bahwa dia tidak mungkin mendengar suara semacam itu. Pinggul Sang Jenderal yang patah dan segala komplikasi yang diakibatkan olehnya, radang paru-paru, keracunan darah, perawatan di rumah sakit yang memakan waktu jauh lebih lama dari perkiraan mengakhiri kesukaan Khala Jamila bercerita panjang lebar tentang kesehatannya sendiri. Mulai saat itu, kesehatan Sang Jenderallah yang selalu dibicarakannya. Dia bercerita kepada siapa pun yang mau mendengarkan bahwa menurut dokter, suaminya menderita gagal ginjal. "Tapi, tentu saja mereka belum pernah melihat ginjal Afghan, ya kan?" celotehnya bangga. Yang paling kuingat dari masa-masa Sang Jenderal dirawat di rumah sakit adalah saat Khala Jamila menemaninya hingga dia tertidur, lalu mulai menyanyi untuknya, lagu-lagu yang kuingat

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dari Kabul, yang mengudara di tengah gemerisik siaran dari radio tua Baba. Buruknya kesehatan Sang Jenderaldan waktu juga mencairkan ketegangan antara dia dan Soraya. Mereka berjalan-jalan bersama, keluar untuk makan siang pada hari Sabtu dan, kadang-kadang, Sang Jen-deral menghadiri beberapa kelas yang diajar putrinya. Dia duduk di baris belakang, dengan setelan abu-abunya yang usang dan mengilap, memangku tongkat kayunya, dan tersenyum. Kadang-kadang dia bahkan ikut mencatat. Malam itu, aku dan Soraya berbaring di ranjang. Dia menyandarkan punggungnya ke dadaku dan aku mem-benamkan wajahku ke rambutnya. Aku ingat masa-masa kami berbaring sambil saling menempelkan kening kami, berciuman dan saling berbisik tentang lekukan jari-jari kaki mungil, senyuman pertama, kata pertama, langkah pertama, hingga mata kami terpejam. Kadang-kadang kami masih melakukannya, tapi kami saling berbisik tentang sekolah, buku baruku, atau busana aneh yang dikenakan seseorang dalam suatu pesta. Kehidupan percintaan kami masih berjalan dengan baik, pada waktu-waktu tertentu bahkan sangat baik, tetapi ada saatnya aku merasa begitu lega setelah kami selesai bercinta, merasa bebas untuk berlalu dan melupakan, setidaknya untuk sementara, bahwa kami Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

baru saja menyelesaikan suatu kegiatan yang sia-sia. Soraya tidak pernah mengatakannya, tapi aku tahu bahwa terkadang dia pun merasakannya. Pada malam-malam seperti itu, kami akan berguling ke sisi ranjang kami dan membiarkan penyelamat kami membawa kami pergi. Penyelamat Soraya adalah tidur. Penyelamatku, selalu, adalah buku. Malam setelah Rahim Khan menelepon, aku berbaring dalam kegelapan dan menatap garis-garis perak yang berjajar di dinding, sinar bulan yang menerobos masuk melewati kerai. Akhirnya, mungkin beberapa saat sebelum fajar menyingsing, aku jatuh tertidur. Dalam mimpiku, Hassan sedang berlari melintasi hamparan salju, menyeret bagian belakang chapan hijaunya, menggilas salju dengan sepatu bot karet hitamnya. Dia berpaling dan berteriak: Untukmu, keseribu kalinya! Seminggu kemudian, aku duduk di dekat jendela di dalam pesawat dari maskapai Pakistani Intemational Airlines, memerhatikan dua orang petugas bandara ber-seragam melepaskan penahan roda-rodanya. Pesawat itu melesat menjauhi terminal dan, seketika, kami mengudara, menerobos gumpalan-gumpalan awan. kusandarkan kepalaku ke jendela. Menunggu, dengan sia-sia, untuk tertidur. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Lima Belas Tiga jam setelah pesawatku mendarat di Peshawar, aku duduk di jok belakang dengan busa terburai dalam sebuah taksi penuh asap. Sopir taksi itu, seorang pria kecil berkeringat yang memperkenalkan dirinya dengan nama Gholam, terus-menerus merokok, mengemudi dengan ceroboh dan tanpa perhitungan, menghindari tabrakan hanya sesaat sebelum terjadi, dan semuanya itu dia lakukan tanpa berhenti bicara. "... buruk sekali yang terjadi di negara Anda, yar. Saya beritahu, pen- duduk Afghani dan penduduk Pakistani bagaikan saudara saja. Sesama Muslim harus saling menolong, jadi ..." Alih-alih mendengarkan omongannya, aku mem berikan anggukan sopan padanya. Aku masih mengingat Peshawar dengan baik dari beberapa bulan yang kuhabiskan di kota itu bersama Baba pada tahun 1981. Saat ini kami melaju ke barat menyusuri jalan Jamrud, melewati Cantonment dan rumah-rumah mewah berpagar tinggi. Keramaian kota yang kulalui

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengingatkanku pada Kabul terutama pada Kocheh Morga, atau Pasar Ayam, tempat aku dan Hassan biasa membeli kentang celup saus dan air ceri hanya saja, kota ini lebih sibuk dan padat. Jalanjalannya dipenuhi oleh pengendara sepeda, pejalan kaki, dan angkutan umum beroda tiga yang mengepulkan asap biru, semuanya menerobos labirin gang-gang dan jalan-jalan sempit. Dalam deretan kios-kios kecil yang padat berisi, para pedagang berjanggut dengan selimut tipis tersampir di bahu menjajakan kap-kap lampu dari kulit binatang, karpet, syal-syal berbordir, dan kerajinan perunggu. Suara memekakkan memberi kehidupan pada kota itu; dalam telingaku, teriakan para pedagang berbaur dengan gegap gempita musik India, ledakan knalpot angkutan umum, dan gemerincing lonceng kuda penarik gerobak. Bau-bauan tajam yang menggelayuti udara, yang sedap dan yang tidak begitu sedap, memancingku untuk melongokkan kepala dari jendela penumpang. Aroma pedas pakora dan nihari yang sangat digemari Baba berpadu dengan aroma asap mesin diesel yang menyengat, bau busuk, sampah, dan kotoran manusia. Tidak jauh dari bangunan bata merah Peshawar University, kami memasuki wilayah yang oleh sopir-ku yang terlalu banyak omong disebut Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kota Afghan." Aku melihat deretan toko yang menjual gula-gula dan karpet, kios-kios yang menjual kebab, anak-anak kecil dengan tangan berlumuran lumpur yang menjual rokok, restoran-restoran kecil dengan peta Afghanistan tergambar di jendela-jendelanya semuanya, secara terselubung, bertindak sebagai agen penyalur pertolongan. "Banyak dari saudara Anda tinggal di wilayah ini, yar. Beberapa dari mereka membuka usaha, tapi kebanyakan sangat miskin." Dia mendecakkan lidahnya dan menghela napas. "Omong-omong, kita sudah dekat sekarang." Aku memikirkan saat terakhir kali aku berjumpa dengan Rahim Khan, pada 1981. Dia datang untuk mengucapkan selamat jalan pada malam saat aku dan Baba melarikan diri dari Kabul. Aku ingat saat Baba berpelukan dengannya di ruang depan, keduanya menangis lirih. Saat kami tinggal di AS, Baba dan Rahim Khan masih terus saling berkomunikasi. Mereka bertukar cerita empat atau lima kali dalam setahun dan, kadang-kadang, Baba akan memberikan gagang telepon padaku. Terakhir kali aku berbicara dengan Rahim Khan adalah beberapa saat setelah Baba meninggal. Ketika kabar buruk itu mencapai Kabul, Rahim Khan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menelpon. Kami hanya berbicara selama beberapa menit dan sambungan itu terputus. Sopir itu menghentikan mobilnya di dekat sebuah bangunan sempit yang terletak pada sudut yang sibuk di persimpangan antara dua ruas jalan. Aku membayamya, mengambil satu-satunya koper yang kubawa, dan berjalan menuju pintu yang berukiran rumit. Bangunan itu memiliki balkon-balkon bersusuran kayu dengan pintu-pintu yang terbuka lebarbanyak di antara peng-huni tempat itu menjemur cuciannya di sana. Aku menaiki anak tangga yang berderak menuju lantai dua, melewati lorong yang suram menuju pintu ter-akhir di sebelah kanan. Sekali lagi aku memeriksa alamat yang tertulis pada selembar kertas dalam genggamanku. Aku mengetuknya. Lalu, sesosok makhluk yang terdiri atas kulit dan tulang, yang berpurapura menjadi Rahim Khan, membuka pintu itu. Seorang dosen mata kuliah Menulis Kreatif di San Jose State sering memberi nasihat mengenai klise: "Hindari klise, seperti kau menghindari penyakit menular." Lalu dia menertawakan leluconnya sendiri. Seisi kelas akan ikut tertawa bersamanya, tapi aku selalu menganggap bahwa klise telah menuai prasangka yang salah. Padahal klise justru menawarkan keakuratan. Saat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang tepat untuk mengatakan ungkapan klise telah tertutup oleh sifat klise ungkapan itu. Contohnya, ungkapan "ada gajah dalam ruangan." Tak ada ungkapan lain yang bisa menggambarkan dengan lebih tepat pertemuan pertamaku dengan Rahim Khan setelah sekian lama, selain bahwa kami bersama seekor gajah dalam ruangan itu. Kami duduk di atas matras tipis yang diletakkan di dekat dinding, menghadap ke jendela yang mem-perlihatkan kekacauan jalanan di bawah. Sinar mata-hari menerobos masuk dan membentuk berkas segitiga pada karpet Afghan yang terhampar di lantai. Dua kursi lipat tersandar pada salah satu sisi tembok dan sebuah cerek perunggu kecil diletakkan di sudut yang lain. Aku menuang teh dari cerek itu. "Bagaimana kau menemukanku?" tanyaku. "Tidak sulit menemukan seseorang di Amerika. Aku membeli peta Amerika Serikat dan mencari informasi tentang kota-kota yang terletak di California Utara," katanya. "Sungguh mengherankan melihatmu telah menjadi pria dewasa." Aku tersenyum dan memasukkan tiga bongkah gula ke dalam tehku. Aku masih ingat, Rahim Khan lebih suka tehnya hitam dan pahit. "Baba tidak sempat memberitahumu bahwa aku telah menikah lima belas tahun yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

lalu." Kenyataannya, pada saat itu, penyakit kanker yang telah menyebar ke otak Baba membuat-nya pikun. "Kau sudah menikah? Dengan siapa?" "Namanya Soraya Taheri." Aku memikirkan Soraya yang berada di rumah, mengkhawatirkan diriku. Aku lega karena dia tidak tinggal sendirian. "Taheri ... siapa ayahnya?" Aku memberitahunya. Matanya berbinar. "Oh, ya, sekarang aku ingat. Bukankah Jenderal Taheri me-nikah dengan adik perempuan Sharif jan? Siapa nama-nya ...." "Jamila jan." "Balay!" dia tersenyum. "Aku mengenal Sharif jan saat di Kabul, sudah lama sekali, sebelum dia pindah ke Amerika." "Dia sudah bertahun-tahun bekerja di INS, menangani banyak kasus-kasus Afghan." "Haiiii," dia menghela nafas. "Kau dan Soraya sudah punya anak?" "Tidak." "Oh." Dia menyesap tehnya dan berhenti bertanya; Rahim Khan selalu menjadi salah satu orang paling tahu diri yang pernah kukenal. Aku bercerita banyak tentang Baba pada Rahim Khan, tentang pekerjaannya, tentang pasar loak, dan bagaimana, pada akhirnya, dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

meninggal dalam kebahagiaan. Aku bercerita padanya tentang pendidikanku dan buku bukuku empat novelku telah diteribitkan. Dia tersenyum saat mendengar ceritaku, mengatakan bahwa dia tak pernah sedikit pun meragukanku. Aku bercerita padanya bahwa aku menulis cerita-cerita pendekku dalam buku bersampul kulit yang dihadiahkan olehnya, namun dia tidak mengingat buku itu. Mau tak mau, kami membicarakan tentang Taliban. "Apakah keadaannya seburuk yang kudengar?" tanyaku. "Tidak, lebih buruk. Jauh lebih buruk," katanya. "Mereka tidak memperlakukan manusia secara manusiawi." Dia menunjuk bekas luka di atas mata kanannya yang membelah alis tebalnya. "Aku sedang menonton pertandingan sepak bola di Stadion Ghazi pada 1998. Para pemainnya tidak diizinkan mengenakan celana pendek, tentu saja, mereka menganggapnya tidak senonoh, kurasa." Dia tertawa getir. "Omong-omong, Kabul mencetak gol dan pria di sebelahku bersorak dengan keras. Tibatiba, anak muda berjanggut yang berpatroli di sela-sela barisan kursi dari penampilannya, sepertinya dia baru berumur 18 tahun berjalan mendekatiku dan menghantamkan popor Kalash-nikovnya ke keningku. 'Kalau sekali lagi Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kamu berteriak-teriak seperti itu, aku akan memotong lidahmu, dasar keledai tua!' katanya." Tangan keriput Rahim Khan mengusap-usap bekas luka di keningnya. "Aku cukup tua untuk menjadi kakeknya dan yang bisa kulakukan hanya duduk di sana, dengan wajah bersimbah darah, memohon ampun pada bangsat itu." Aku kembali menuang teh untuknya. Rahim Khan meneruskan ceritanya. Banyak di antaranya pernah kudengar, namun beberapa hal belum pernah kudengar sama sekali. Dia memberitahuku bahwa, seperti yang telah dia sepakati bersama Baba, dia menempati rumah kami sejak 1981 aku tahu tentang ini. Baba telah "menjual" rumah itu kepada Rahim Khan bebe-rapa saat sebelum kami meninggalkan Kabul. Saat itu, Baba merasa yakin bahwa rentetan masalah yang menimpa Afghanistan hanyalah selingan sesaat atas kebiasaan hidup kami hari-hari berpesta di Wazir Akbar Khan dan piknik di Paghman akan segera kem-bali. Jadi, Baba meminta Rahim Khan untuk menjaga rumahnya hingga hari itu tiba. Rahim Khan menceritakan padaku situasi saat Northem /l///ance-Sekutu Utara menduduki Kabul antara tahun 1992 hingga 1996. Berbagai faksi meng-klaim berbagai wilayah di Kabul. "Kalau kau pergi dari distrik Shar-

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

e-Nau ke Kerteh Parwan untuk membeli karpet, kau berisiko terkena bidikan penembak gelap atau meledak karena tertimpa roket itu pun kalau kau berhasil melewati semua pos pemeriksaan yang tersebar di sepanjang jalan. Kau hampir-hampir butuh visa hanya untuk pergi ke lingkungan yang lain. Jadi, orang-orang lebih suka tinggal di rumah, berdoa supaya roket selanjutnya tidak menjatuhi rumah mereka." Dia menceritakan bagaimana para penduduk melubangi dinding-dinding rumah mereka dan meng-gali lorong dalam tanah untuk bepergian ke blok lain supaya mereka tidak perlu melewati jalanan yang berbahaya. Dengan kata lain, warga Kabul bergerak di bawah tanah. "Kenapa kau tidak pergi saja?" tanyaku. "Kabul adalah rumahku. Sampai sekarang pun masih begitu." Rahim Khan tertawa pahit. "Ingat jalan dari rumahmu menuju Qishla, barak militer di dekat Sekolah Istiqlal?" "Ya." Itu adalah jalan pintas menuju sekolah. Aku ingat saat aku dan Hassan melewatinya dan para pra-jurit mengolok-olok Hassan tentang ibunya. Hassan menangis di dalam gedung bioskop, dan aku memeluknya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Saat Taliban masuk dan menendang pasukan Sekutu dari Kabul, aku benar-benar menari di jalan itu," Rahim Khan berkisah. "Dan percayalah, aku bukan satu-satunya orang yang melakukannya. Orang-orang merayakannya di Chaman, di Deh Mazang, me-nyapa prajurit-prajurit Taliban yang lalu-lalang di jalanan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama mereka. Penduduk Afghanistan telah letih meng-hadapi pertempuran yang terus berlangsung, lelah menghadapi roket, ledakan senjata, ledakan bom, dan juga muak menyaksikan Gulbuddin dan antek-anteknya menembaki apa pun yang bergerak. Pasukan Sekutu menimbulkan kerusakan lebih besar di Kabul daripada Shorawi. Mereka menghancurkan panti asuhan ayahmu, kau tahu itu?" "Mengapa?" tanyaku. "Untuk apa mereka menghancurkan panti asuhan?" aku ingat saat aku duduk di belakang Baba pada hari pembukaan panti asuhan itu. Angin menerbangkan topi caracul Baba dan semua orang tertawa, lalu berdiri dan bertepuk tangan saat Baba menyelesaikan sambutannya. Dan sekarang, yang tersisa dari bangunan itu hanyalah puing-puing. Seluruh uang yang telah Baba gunakan, malam-malam yang dihabiskannya dengan meneteskan keringat di atas cetak biru, kunjunganKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kunjungan ke lokasi pembangunan untuk memastikan bahwa setiap bongkah batu bata, setiap bilah kayu, dan setiap blok beton ditempatkan dengan benar .... "Kerusakan sampingan," kata Rahim Khan. "Kau tidak perlu tahu rasanya, Amir jan, memeriksa reruntuhan panti asuhan itu dan menemukan bagian-bagian tubuh anak-anak "Jadi saat Taliban datang "Mereka dianggap pahlawan," Rahim Khan menyelesaikan ucapanku. "Akhirnya kedamaian datang." "Ya, harapan memang aneh. Akhirnya kedamaian datang. Tapi berapa harga yang harus dibayar?" Serangan batuk yang hebat memotong ucapan Rahim Khan dan mengguncang tubuhnya. Saat dia menurunkan saputangannya, noda merah membasahi kain itu. Aku menganggap bahwa sekaranglah saat yang paling tepat untuk mengetengahkan gajah berkeringat yang bergabung bersama kami dalam ruangan sempit itu. "Bagaimana keadaanmu?" tanyaku. "Maksudku, bagaimana keadaanmu yang sebenamya?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku sekarat, sebenamya," dia berkata dalam suara serak, lalu kembali terbatuk-batuk. Darah kembali menodai saputangannya. Dia menyeka mulutnya, mengusap alisnya yang berkeringat satu demi satu dengan lengan kemejanya, dan melirikku sekilas. Saat dia menganggukkan kepalanya, aku tahu bahwa dia telah membaca pertanyaan yang tersirat di wajahku. "Tidak akan lama lagi," katanya lirih. "Berapa lama?" Dia mengangkat bahu. Terbatuk lagi. "Sepertinya, aku tidak akan menyaksikan akhir musim panas ini," katanya. "Izinkan aku membawamu pulang bersamaku. Aku bisa mencarikan dokter yang bagus untukmu. Mereka menemukan hal-hal baru dalam bidang peng-obatan setiap waktu. Ada obat-obatan baru dan perawatan uji coba, kita bisa memasukkanmu dalam salah satu program itu Aku tahu bahwa aku terlalu banyak bicara. Itu lebih baik daripada menangis, namun aku tetap saja ingin menangis. Rahim Khan tertawa, memamerkan gusi bahwa-nya yang ompong. Bahkan suara tawanya adalah tawa terletih yang pernah kudengar. "Kulihat Amerika telah menyuntikkan padamu optimisme yang membuat negara itu menjadi sehebat sekarang. Itu sangat bagus. Kita, bangsa Afghan, adalah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

orang-orang yang melankolis, bukankah begitu? Seringkah, kita berkubang terlalu lama dalam ghamkhori dan mengasihani diri sendiri. Kita begitu mudah menyerah terhadap kehilangan, penderitaan, menerimanya sebagai bagian dalam kehidupan, bahkan menganggapnya sebagai kebutuhan. Zendagi migzara, itulah yang kita katakan, kehidupan terus berjalan. Tapi, saat ini aku tidak sedang menyerah pada nasib, aku bersikap realistis. Aku telah menemui beberapa dokter yang bagus di sini dan mereka semua telah memberikan jawaban yang sama. Aku memercayai dan meyakini mereka. Kehendak Tuhan memang ada." "Yang ada hanyalah yang kaulakukan dan yang tidak kaulakukan," kataku. Rahim Khan tertawa. "Yang baru kaukatakan itu terdengar seperti ucapan ayahmu. Aku sangat merindukannya. Tapi ini memang kehendak Tuhan, Amir jan. Memang begitulah keadaannya." Dia terdiam. "Lagi-pula, aku punya alasan lain untuk memintamu datang kemari. Aku ingin bertemu denganmu sebelum waktuku habis, ya, tapi ada juga hal lainnya." "Katakanlah." "Kau tahu, sepanjang tahun setelah kalian pergi, aku menempati rumah ayahmu?" "Ya."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tidak tinggal sendirian di sana sepanjang waktu itu. Hassan tinggal di sana bersamaku." "Hassan," ujarku. Kapankah terakhir kalinya aku menyebutkan nama itu? Sekali lagi, rasa bersalah yang sudah begitu lama tersimpan menyayatku bagaikan kawat berduri, seolah-olah mengucapkan namanya membebaskan kutukan yang akan kembali menyiksa-ku. Seketika itu, udara dalam ruangan sempit tempat tinggal Rahim Khan terasa begitu menyesakkan, ter-lalu panas, terlalu tajam dengan aroma jalanan. "Aku berpikir untuk menyuratimu dan memberitahumu sebelumnya, tapi aku tidak yakin bahwa kau ingin mengetahuinya. Salahkah aku?" Jawaban yang jujur adalah tidak. Yang tidak jujur adalah ya. Aku memilih untuk mengambil jalur tengah. "Aku tak tahu." Rahim Khan terbatuk dan setitik darah kembali menodai saputangannya. Saat dia menundukkan kepalanya untuk meludah, aku melihat luka bemanah di kulit kepalanya. "Aku membawamu kemari karena aku akan memintamu untuk melakukan sesuatu. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku. Tapi sebelum aku mengatakan keinginanku padamu, aku ingin memberitahukan padamu tentang Hassan. Kau mengerti?" "Ya," gumamku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku ingin menceritakan padamu tentang dirinya. Aku ingin menceritakan segalanya padamu. Kau mau mendengarkan?" Aku mengangguk. Lalu Rahim Khan menghirup tehnya. Meny darkan kepalanya ke tembok dan mulai bercerita. Enam Belas Ada banyak alasan yang mendorongku pergi ke Hazarajat untuk mencari Hassan pada 1986. Alasan terkuat, semoga Allah mengampuniku, adalah karena aku kesepian. Pada saat itu, hampir semua teman dan kerabatku telah terbunuh atau melarikan diri ke Pakistan atau Iran. Hampir tak ada lagi orang yang kukenal yang tetap tinggal di Kabul, kota tempatku menjalani seluruh hidupku. Semua orang telah pergi. Aku berjalan-jalan ke distrik Karteh Parwan dulunya tempat penjual melon biasa berkumpul, kau ingat? dan tidak ada seorang pun yang kukenal di sana. Tak ada seorang pun yang bisa kusapa, tak ada seorang pun yang mau menemaniku duduk bersantai sambil menikmati chai, tak ada seorang pun untuk berbagi cerita, yang ada hanyalah serdadu-serdadu Roussi yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berpatroli di jalanan. Aku menghabiskan hari-hariku di rumah ayahmu, di ruang kerjanya, membaca buku-buku koleksi ibumu, mendengarkan berita, menonton propaganda komunis di televisi. Lalu aku akan menunaikan shalat, memasak sesuatu, makan, kembali membaca, kembali menunaikan shalat, dan pergi tidur. Aku akan terbangun keesokan paginya, shalat, dan mengulangi hal yang sama. Dan penyakit tulangku membuatku semakin kesulitan mengurus rumah itu. Lutut dan punggungku selalu terasa nyeri saat terbangun di pagi hari, aku membutuhkan waktu sedikitnya satu jam untuk melemaskan persendianku, terutama pada musim dingin. Aku tak ingin membiarkan rumah ayahmu membusuk; kita semua melalui saat-saat yang menyenangkan dalam rumah itu, begitu banyak kenangan, Amir jan. Membiarkannya tidak terawat bukanlah hal yang benar ayahmu merancang rumah itu sendiri; rumah itu sangat berarti baginya, lagi pula, saat kalian akan berangkat ke Pakistan, aku telah berjanji padanya untuk mengurus rumah itu. Lalu, hanya tinggal aku dan rumah itu ... aku berusaha sebaik yang kumampu. Sebisa mungkin aku menyirami pepohonan di halaman setiap beberapa hari, memotong rumput, merawat tanaman bunga, memperbaiki

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

apa pun yang harus diperbaiki, tapi, meski begitu, aku bukan lagi seorang pria muda. Tetap saja, aku masih bisa melakukannya. Setidak-nya untuk beberapa saat lagi. Namun ketika aku men-dengar berita kematian ayahmu ... untuk pertama kalinya, aku merasakan kesepian yang amat sangat dalam rumah itu. Kekosongan yang tak tertahankan. Jadi, suatu hari, aku mengisi bahan bakar Buick ayahmu dan mengemudi ke Hazarajat. Aku masih ingat, setelah Ali memutuskan untuk pergi dari rumah itu, ayahmu mengatakan padaku bahwa Ali dan Hassan pindah ke sebuah desa kecil di dekat Bamiyan. Seingatku, Ali punya sepupu yang tinggal di sana. Aku tidak tahu apakah Hassan masih ada di sana, adakah yang mengenalnya, atau yang mengetahui tempat tinggalnya. Lagi pula, telah sepuluh tahun berlalu sejak Ali dan Hassan meninggalkan rumah ayahmu. Pada 1986, Hassan pasti telah menjadi seorang pria dewasa, 22 atau 23 tahun. Aku tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak, karena Shorawi, semoga yang mereka lakukan terhadap watan kita membuat mereka membusuk di neraka, telah membunuh begitu banyak pria muda di negara kita. Aku tidak perlu memberitahumu tentang hal ini. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tapi, berkat rahmat Allah, aku menemukannya di sana. Aku tidak perlu susah-susah mencarinya hanya mengajukan sedikit pertanyaan di Bamiyan dan orang-orang langsung memberitahuku arah menuju desa tempat tinggalnya. Aku bahkan tidak ingat nama desa itu, atau barangkali desa itu memang tak punya nama. Tapi aku masih ingat bahwa saat itu ada-lah siang hari di musim panas. Udara sangat panas dan aku mengemudi di sepanjang jalan yang berdebu, tanpa ada apa pun di sisi-sisi jalan kecuali semak-semak yang hangus terpanggang matahari, cabang-cabang pohon yang meranggas, dan rerumputan kering dengan wama sepucat jerami. Aku melewati bangkai keledai yang membusuk di pinggir jalan. Lalu aku berbelok di salah satu tikungan dan, tepat di tengah-tengah tanah yang gersang itu, aku melihat sekumpulan rumah tanah liat. Setelah itu, sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah langit yang luas dan lekak-lekuk pegu-nungan di kejauhan. Orang-orang di Bamiyan mengatakan padaku bahwa aku akan menemukannya dengan mudah dia tinggal di satu-satunya rumah dengan kebun bertembok di desa itu. Tembok itu, rendah dan berlubang lubang, mengelilingi rumah mungil itu sebenamya rumah itu tidak lebih dari sekadar pondok yang nyaman. Anak-anak bermain di jalanan tanpa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengenakan alas kaki, memukul-mukul bola tenis usang dengan sebatang tongkat, dan mereka menatapku saat aku berhenti dan mematikan mesin mobil. Aku mengetuk pintu pagar dan memasuki halaman yang hanya diisi dengan sepetak tanaman stroberi dan sebatang pohon lemon yang kekeringan. Sebuah tandoor diletakkan di sudut halaman, dalam bayangan pohon akasia, dan aku melihat seorang pria berjongkok di dekatnya. Dia sedang menambal tembok di dekat tandoor itu dengan adonan lempung. Saat melihatku, dia menjatuhkan adonan itu. Aku harus menghentikannya menciumi tanganku. "Biarkan aku melihatmu," kataku. Dia melangkah menjauh. Dia sangat jangkung meskipun berjinjit, aku hanya setinggi dagunya. Matahari Bamiyan telah menguatkan dan mewamai kulitnya jauh lebih gelap dari yang kuingat, dan dia telah kehilangan beberapa gigi depannya. Sedikit janggut menghiasi dagunya. Selain itu, semuanya masih sama; mata sipit berwama hijau, bekas luka di bibir atas, wajah bundar, dan senyum yang ramah. Kau akan dengan mudah mengenalinya, Amir jan. Aku yakin itu. Kami memasuki rumah. Seorang wanita Hazara muda berkulit cerah sedang menjahit syal di sudut ruangan itu. Jelas terlihat bahwa dia sedang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menanti kehadiran seorang bayi. "Ini istri saya, Rahim Khan," kata Hassan dengan bangga. "Namanya Farzana jan." Dia wanita yang pemalu, sangat menjaga kesopanannya, sampai-sampai saat berbicara pun dia berbisik, dan dia selalu menghindarkan tatapan mata cokelatnya dari tatapanku. Tapi caranya memandang Hassan, seolah-olah suaminya itu duduk di atas singgasana di Arg. "Kapan bayi itu lahir?" tanyaku setelah kami semua duduk di sekeliling ruangan dalam rumah tanah liat itu. Tidak ada perabot apa pun dalam ruangan itu, hanya ada sehelai karpet usang, beberapa buah piring, sepasang matras, dan sebuah lentera. "Insya Allah, musim dingin ini," jawab Hassan. "Saya berdoa supaya bayi itu terlahir laki-laki untuk meneruskan nama ayah saya." "Omong-omong tentang Ali, di manakah dia?" Hassan menundukkan kepalanya. Dia mengatakan padaku bahwa Ali dan sepupunya pemilik rumah itu terbunuh oleh ranjau darat di luar kota Bamiyan dua tahun sebelumnya. Ranjau darat. Adakah cara untuk mati yang lebih bersifat Afghan, Amir jan? Dan untuk beberapa alasan gila, aku menjadi sangat yakin bahwa penyebabnya adalah kaki kanan Ali kakinya yang terpilin gara-gara polio Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang akhirnya mengkhianatinya dengan menginjak ranjau darat itu. Aku sangat bersedih mendengar kematian Ali. Aku dan ayahmu tumbuh besar bersama, seperti yang kautahu, dan Ali selalu bersamanya, sepanjang ingatanku. Aku ingat saat kami semua masih kanak-kanak, saat Ali terkena polio dan hampir meninggal. Sepanjang hari ayahmu berjalan mengitari rumah dan menangis. Farzana menghidangkan shorwa yang disajikan dengan kacang, lobak, dan kentang untuk kami. Kami mencuci tangan kami dan mencelupkan naan, yang baru diangkat dari tandoor, ke shorwa hidangan itu adalah santapan terlezat bagiku setelah berbulan bulan. Saat itulah aku meminta Hassan untuk kembali ke Kabul bersamaku. Aku memberitahunya tentang keadaan rumah itu, bahwa aku tidak mampu lagi mengurusnya sendirian. Aku mengatakan padanya bahwa aku akan membayamya dengan layak, bahwa dia dan khanumnya akan hidup dengan nyaman. Mereka saling menatap tanpa berkata-kata. Lalu, setelah kami mencuci tangan dan Farzana menghidangkan buah anggur, Hassan mengatakan bahwa kini, desa itu adalah rumahnya; dia dan Farzana telah membangun kehidupan di sana.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Dan Bamiyan sangat dekat dari sini. Kami mengenal banyak orang di sana. Maafkan saya, Rahim Khan. Saya berdoa semoga Anda mengerti." "Tentu saja," kataku. "Kau tidak perlu meminta maaf. Aku mengerti." Saat kami menikmati teh setelah menyantap shorwa, Hassan menanyakan tentangmu. Aku memberitahukannya bahwa kau tinggal di Amerika, tapi hanya itu yang kutahu. Hassan menanyakan begitu banyak hal tentangmu. Sudahkah kau menikah? Apa kau punya anak? Setinggi apa dirimu? Apa kau masih suka menerbangkan layanglayang dan pergi ke bioskop? Apa kau bahagia? Dia bercerita bahwa dia berteman dengan seorang guru tua yang mengajar bahasa Farsi di Bamiyan, yang mengajarinya membaca dan menulis. Kalau dia menulis surat untukmu, maukah aku menyampaikannya padamu? Dan apakah menurutku kau akan membalasnya? Aku menceritakan segalanya yang kutahu tentangmu, yang kudapat dari pembicaraan teleponku dengan ayahmu, tapi aku tak tahu jawaban dari sebagian besar pertanyaannya. Lalu dia bertanya tentang ayahmu. Saat aku memberitahukannya, Hassan membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya dan tangisnya pun pecah. Sepanjang malam itu, dia terisak-isak seperti seorang anak kecil.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Mereka memaksaku untuk menginap di sana. Farzana menyiapkan sebuah ranjang darurat untukku dan menyediakan segelas air sumur untuk berjaga-jaga jika aku kehausan. Sepanjang malam, aku mendengamya berbisik pada Hassan yang masih terisak. Paginya, Hassan mengatakan padaku bahwa dia dan Farzana telah memutuskan untuk ikut denganku ke Kabul. "Tidak seharusnya aku datang kemari," ujarku. "Kau benar, Hassan jan. Kau punya zendagi, kehidupan di sini. Sungguh tidak pantas tindakanku, tiba-tiba muncul di rumahmu dan memintamu meninggalkan segalanya. Untuk itu, aku memohon maafmu." "Tidak sebanyak itu yang kami tinggalkan di sini, Rahim Khan," kata Hassan. Matanya masih merah dan sembap. "Kami akan ikut bersama Anda. Kami akan membantu Anda mengurus rumah itu." "Apa kau benar-benar yakin?" Dia mengangguk dan menundukkan kepala. "Agha sahib sudah seperti ayah kedua saya .... Semoga Tuhan memberinya kedamaian." Mereka menimbun barang-barang yang mereka miliki di tengah beberapa karpet usang dan mengikat ujung-ujungnya. Kami memasukkan buntalanbuntalan itu ke dalam Buick. Hassan berdiri di ambang pintu rumahnya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan memegang Al-Quran saat kami semua mencium kitab itu dan berjalan di bawahnya. Kami pun menuju Kabul. Aku masih ingat, saat kami berlalu, Hassan menyempatkan diri untuk menengok rumahnya untuk yang terakhir kalinya. Saat kami tiba di Kabul, aku baru tahu bahwa Hassan sama sekali tidak berkeinginan untuk tinggal di dalam rumah. "Tapi semua kamar itu kosong, Hassan jan. Tak ada seorang pun yang akan menghuninya," bujukku. Tapi dia bersikeras. Katanya, ini adalah masalah ihtiram, masalah kehormatan. Dia dan Farzana me-mindahkan barang-barang mereka ke pondok di hala-man belakang, tempatnya dilahirkan. Aku memohon kepada mereka untuk menempati salah satu kamar tamu di lantai atas, namun Hassan tak mau mendengar perkataanku. "Apa yang akan dipikirkan Amir agha?" katanya padaku. "Apa yang akan dipikirkannya saat dia kembali ke Kabul setelah perang usai dan men-dapatiku tinggal di dalam rumahnya?" Lalu, sebagai tanda berkabung atas meninggalnya ayahmu, Hassan mengenakan pakaian hitam selama 40 hari berturut-turut.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Meskipun aku tidak menginginkannya, keduanya mengambil alih semua pekerjaan rumah tangga. Mereka memasak dan membersihkan rumah. Hassan merawat bunga-bungaan di taman, menyiramnya, memotong dedaunan yang telah menguning, dan menanam rumpun-rumpun mawar. Dia mengecat tembok rumah. Dia pun menyapu lantai kamar-kamar yang tidak lagi ditempati selama bertahun-tahun dan membersihkan kamar mandi yang tak pernah lagi digunakan. Seakan-akan dia mempersiapkan rumah itu untuk menyam-but kembalinya seseorang. Kau ingat tembok di balik barisan pohon jagung yang ditanam ayahmu, Amir jan? Bagaimana kau dan Hassan menyebutnya, "Dinding Jagung Merana"? Pada tengah malam di awal musim gugur itu, sebuah roket menghancurkan seluruh tembok itu. Hassan membangunnya kembali dengan tangannya sendiri, sebongkah bata demi sebongkah bata, hingga akhirnya tembok itu kembali berdiri. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan seandainya dia tidak ada di sana. Lalu, pada akhir musim gugur itu, Farzana melahirkan seorang bayi perempuan yang tak lagi bemyawa. Hassan mencium wajah bayi yang tak mengenal kehidupan itu, dan kami mengubumya di halaman belakang, di dekat rumpun tanaman sweetbrier. Kami menutupi gundukan kecil itu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dengan daun-daun yang berguguran dari pohon-pohon poplar. Aku memanjatkan doa untuknya. Sepanjang hari Farzana tinggal di dalam pondok dan meratap sungguh menyakitkan mendengar suara itu, Amir jan, ratapan seorang ibu. Aku memohon kepada Allah supaya kau tak pernah mendengamya. Di luar tembok rumah itu, perang terus berkecamuk. Tapi rumah ayahmu memberikan perlindungan bagi kami bertiga. Karena penglihatanku mulai berkurang pada akhir 1980-an, aku meminta Hassan membacakan bukubuku ibumu untukku. Kami akan duduk di ruang depan, di dekat tungku pemanas, dan Hassan akan membacakan untukku karya-karya Masnawi atau Khayyam, sementara Farzana memasak di dapur. Dan setiap pagi, Hassan meletak-kan setangkai bunga di atas gundukan kecil di dekat rumpun sweetbrier. Pada awal 1990, Farzana kembali mengandung. Pada suatu pagi di pertengahan musim panas tahun yang sama, seorang wanita dengan tubuh terbungkus burqa biru langit mengetuk gerbang. Saat aku mendekatinya, aku melihat tubuhnya goyah, seolah-olah dia terlalu lemah hanya untuk tetap berdiri. Aku menanyakan padanya, apa yang dia inginkan, tapi dia tidak mau menjawab. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Siapa kamu?" tanyaku. Dia menjawab pertanya-anku dengan pingsan di jalan masuk. Aku berteriak memanggil Hassan dan dia menolongku membawa wanita itu ke ruang tamu. Kami membaringkannya di sofa dan membuka burqanya. Di balik jubah pan-jang itu, tersembunyi sesosok wanita ompong dengan rambut kelabu kaku dan lengan penuh luka. Seperti-nya dia sudah tidak makan selama berhari-hari. Tapi yang terburuk adalah wajahnya. Seseorang telah menorehkan pisau ke wajahnya dan ... Amir jan, tidak hanya terdapat satu torehan di sana. Torehan yang dalam melintang dari tulang pipinya sampai ke garis rambutnya, tanpa memedulikan mata kirinya. Sung-guh pemandangan yang mengerikan. Aku mengusap keningnya dengan kain basah dan dia membuka matanya. "Di mana Hassan?" bisiknya. "Saya di sini," kata Hassan. Dia meraih tangan wanita itu dan meremasnya. Matanya yang masih utuh menatap Hassan. "Aku telah berjalan jauh dan lama untuk membuktikan sendiri, apakah kau setampan yang kulihat dalam mimpi mimpiku. Dan temyata kau memang tampan. Bahkan lebih tampan daripada yang kulihat dalam mimpiku." Dia menarik tangan Hassan dan mengusapkannya ke wajahnya yang penuh bekas luka. "Tersenyumlah untukku. Kumohon." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat Hassan tersenyum, wanita itu terisak. "Senyummu mirip dengan senyumku, adakah yang pernah memberitahumu? Dan aku tidak mau memelukmu. Semoga Allah mengampuniku, aku tidak mau menyentuhmu." Tidak seorang pun yang kukenal pernah melihat Sanaubar sejak dia kabur bersama rombongan penya-nyi dan penari pada 1964, beberapa saat setelah dia melahirkan Hassan. Kau tidak pernah melihatnya, Amir, tapi saat dia masih muda, penampilannya sungguh menawan. Dia memiliki lesung pipit yang muncul saat dia tersenyum dan cara berjalannya membuat para pria tergila-gila. Siapa pun yang berpapasan dengannya saat melenggang di jalanan, baik pria maupun wanita, akan berhenti untuk menatapnya. Dan sekarang.... Hassan menarik tangannya dan berlari keluar rumah. Aku mengejamya, namun dia terlalu cepat. Aku melihatnya berlari mendaki bukit tempat kalian sering bermain berdua, debu mengepul seiring jejakan langkahnya. Kubiarkan dia berlalu. Aku menemani Sanaubar duduk sepanjang hari, hingga langit biru mimpiku. Dan temyata kau memang tampan. Bahkan lebih tampan daripada yang kulihat dalam mimpiku." Dia menarik tangan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Hassan dan mengusapkannya ke wajahnya yang penuh bekas luka. "Tersenyumlah untukku. Kumohon." Saat Hassan tersenyum, wanita itu terisak. "Senyummu mirip dengan senyumku, adakah yang per-nah memberitahumu? Dan aku tidak mau memeluk-mu. Semoga Allah mengampuniku, aku tidak mau menyentuhmu." Tidak seorang pun yang kukenal pernah melihat Sanaubar sejak dia kabur bersama rombongan penyanyi dan penari pada 1964, beberapa saat setelah dia melahirkan Hassan. Kau tidak pernah melihatnya, Amir, tapi saat dia masih muda, penampilannya sung-guh menawan. Dia memiliki lesung pipit yang mun-cul saat dia tersenyum dan cara berjalannya membuat para pria tergila-gila. Siapa pun yang berpapasan dengan-nya saat melenggang di jalanan, baik pria maupun wanita, akan berhenti untuk menatapnya. Dan sekarang .... Hassan menarik tangannya dan berlari keluar rumah. Aku mengejamya, namun dia terlalu cepat. Aku melihatnya berlari mendaki bukit tempat kalian sering bermain berdua, debu mengepul seiring jejakan langkahnya. Kubiarkan dia berlalu. Aku menemani Sanaubar duduk sepanjang hari, hingga langit biru cerah berubah wama menjadi lembayung. Hassan belum Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

juga kembali saat malam tiba dan awan di langit bermandikan cahaya bulan. Sanaubar menangis, berkata bahwa datang kembali ke rumah itu adalah suatu kesalahan, mungkin kesalahan yang lebih buruk dari-pada saat dia meninggalkannya. Tapi aku memaksanya untuk tetap tinggal. Hassan akan kembali, aku tahu itu. Dia kembali keesokan paginya, terlihat letih dan pucat, sepertinya dia tidak tidur semalaman. Dengan kedua tangannya, Hassan menggenggam tangan Sanau-bar dan mengatakan pada wanita itu bahwa dia boleh menangis jika dia memang ingin, tapi dia tidak perlu menangis karena dia diterima di rumahnya. Dia di-terima dalam keluarganya. Hassan mengusap bekas luka di wajah ibunya dan membelai rambutnya. Hassan dan Farzana merawat Sanaubar hingga kesehatannya pulih. Mereka menyuapinya dan mencucikan bajunya. Aku menempatkannya di salah satu kamar tamu di lantai atas. Kadang-kadang, aku melihat melalui jendelaku dan mendapati Hassan dan ibunya berlutut di halaman, memetik tomat atau menyiangi mawar sambil bercakap-cakap. Kupikir, mereka mungkin sedang merangkum tahun-tahun kehidupan yang tidak mereka jalani bersama. Sejauh yang kutahu, Hassan tak pernah menanyakan kemana ibunya pergi atau mengapa dia pergi dan Sanaubar Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pun tak pernah memberitahunya. Mungkin, beberapa kisah memang tak perlu diceritakan. Sanaubarlah yang menolong kelahiran putra Hassan pada musim dingin 1990. Salju belum turun, namun angin musim dingin telah mulai berembus di halaman, menerpa petak-petak bunga dan menggesekkan dedaunan. Sanaubar keluar dari pondok itu sambil menggendong cucunya yang terbungkus sehelai se-limut wol. Dia berdiri, berseri-seri di bawah langit kelabu, memeluk bayi itu di lengannya, seolah-olah tak-kan pernah lagi melepasnya. Tidak akan terulang lagi. Dia menyerahkan bayi itu pada Hassan, dan Hassan menyerahkannya padaku. Aku menyandungkan Ayat kursi di telinga bayi laki-laki mungil itu. Sohrab, begitulah mereka menamai bayi itu, seperti pahlawan kesukaan Hassan dalam kisah Shah-riamah, kau tahu itu, Amir jan. Dia anak lakilaki yang tampan, manis bagaikan gula, dan tindak-tanduknya sama seperti ayahnya. Kau seharusnya melihat cara Sanaubar merawat bayi itu, Amir jan. Sohrab menjadi pusat kehidupannya. Sanaubar menjahit baju dan mem-buat mainan dari sisa-sisa kayu, kain, dan rumput kering untuknya. Kalau Sohrab terserang demam, Sanaubar terjaga semalam suntuk untuk menjaganya dan berpuasa selama tiga hari Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berturut-turut. Dia memanggang isfand dengan wajan untuk menolak bala. Saat Sohrab berumur dua tahun, dia mulai memanggil neneknya dengan sebutan Sasa. Keduanya tak terpisahkan. Sanaubar meninggal saat Sohrab berumur empat tahun. Pada suatu pagi, dia tidak terbangun dari tidumya. Dia terlihat tenang, diselimuti kedamaian, seolah-olah pada saat itu, kematian tidak lagi ditakutinya. Kami mengubur jasadnya di kuburan di atas bukit, di dekat pohon delima, dan aku pun memanjatkan doa untuknya. Kehilangan itu terasa berat bagi Hassan-kehilangan sesuatu yang kita miliki selalu lebih menyakitkan daripada tidak memiliki sama sekali. Tapi kehilangan itu lebih terasa berat bagi si kecil Sohrab. Dia berjalan di sekeliling rumah, mencari Sasa, tapi kau tahu seperti apa anak-anak, mereka begitu cepat melupakan. Saat itu sekitar tahun 1995-Shorawi telah lama kalah dan meninggalkan Kabul. Kota itu telah jatuh ke tangan Massoud, Rabbani, dan kelompok Mujahidin. Perselisihan antar faksi semakin memuncak dan semua orang merasa nyawanya terancam. Telinga kami menjadi terbiasa mendengar desingan peluru dan ingar-bingar adu tembak. Mata kami menjadi akrab dengan pemandangan seseorang yang sedang menggali timbunan puingpuing bangunan untuk mencari tubuh sanak saudaranya. Pada hari-hari Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

itu, Amir jan, Kabul hampir bisa disamakan dengan neraka dunia. Tetapi Allah tetap menurunkan rahmat-Nya kepada kami. Daerah Wazir Akbar Khan tidak banyak mendapat serangan, sehingga kerusakan yang kami dapatkan tidak sebanyak yang menimpa lingkungan tetangga. Saat-saat serangan roket sedikit mereda dan adu tembak tidak sebanyak biasanya dimanfaatkan oleh Hassan untuk membawa Sohrab melihat Marjan si singa di kebun binatang atau menonton film di gedung bioskop. Hassan mengajarkannya membidik dengan katapel dan, saat berumur delapan tahun, Sohrab telah sangat ahli memainkan alat itu: Sambil berdiri di teras, bidikannya bisa tepat mengenai biji cemara yang diletakkan di atas ember terbalik di seberang halaman. Hassan mengajarinya membaca dan menulis putranya tidak akan tumbuh tanpa mengenal huruf seperti dirinya. Aku sendiri semakin hari semakin menyayangi anak itu aku melihatnya berjalan untuk pertama kalinya dan mendengamya mengucapkan kata per-tamanya. Aku membeli buku-buku cerita anakanak untuk Sohrab di toko buku di sebelah Cinema Park-mereka juga telah menghancurkan tempat itu sekarang dan begitu aku memberikan buku itu padanya, Sohrab akan langsung membacanya hingga tuntas. Dia mengingatkanku padamu, kau juga sangat gemar Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

membaca saat kau sebesar dia, Amir jan. Kadang-kadang, aku membaca untuknya di malam hari, bermain tebak-tebakan dengannya, mengajarinya trik-trik kartu. Aku benar-benar merindukannya. Pada musim dingin, Hassan membawa Sohrab mengejar layang-layang. Tumamen layang-layang tidak lagi diselenggarakan sesering dulu tak ada seorang pun merasa aman berada di luar terlalu lama tapi beberapa kali tumamen semacam itu masih diadakan. Hassan akan memanggul Sohrab di bahunya dan mereka pun berlarian menyusuri jalanan, mengejar layanglayang putus, memanjat pohon tempat layang-layang itu tersangkut. Kau ingat bukan, Amir jan, Hassan adalah seorang pengejar layang-layang yang sangat hebat. Dia masih sehebat dulu. Pada akhir musim dingin, Hassan dan Sohrab menggantung layang-layang hasil kejaran mereka selama musim dingin di dinding koridor utama, seperti lukisan saja. Aku telah menceritakan padamu bagaimana pada 1996 kami semua merayakan kemenangan Taliban yang akan mengakhiri pertempuran yang terjadi setiap hari. Saat aku pulang malam itu, aku mendapati Hassan sedang mendengarkan siaran radio di dapur. Tatapannya nyalang. Aku bertanya padanya jika ada sesuatu yang salah, dan dia hanya

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menggelengkan kepala. "Akhirnya Tuhan menolong kaum Hazara, Rahim Khan sahib," katanya. "Perang telah berakhir, Hassan," ujarku. "Kedamaian akan datang, Insya Allah, dan kebahagiaan dan ketenangan. Tidak akan ada lagi roket, kematian, dan pemakaman!" Tapi yang dilakukannya hanyalah mematikan radio dan menanyakan padaku jika ada yang kubutuhkan sebelum dia pergi tidur. Beberapa minggu kemudian, Taliban mengharamkan adu layang-layang. Dan dua tahun kemudian, pada 1998, mereka membantai secara massal kaum Hazara di Mazar-i-Sharif. Tujuh Belas Rahim Khan perlahan-lahan meluruskan kakinya dan menyandarkan pung-gungnya pada dinding yang telanjang. Setiap gerakannya sepertinya menimbulkan tikaman rasa sakit pada tubuhnya. Di luar, seekor keledai meringkik dan seseorang berteriak dalam bahasa Urdu. Matahari mulai terbenam, menyemburatkan wama merah di sela-sela bangunan-bangunan tua. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sekali lagi, besamya akibat tindakanku pada musim dingin dan musim panas berpuluh-puluh tahun yang lalu itu menghantamku. Nama-nama itu berdering dalam kepalaku: Hassan, Sohrab, Ali, Farzana, dan Sanaubar. Mendengarkan Rahim Khan menyebut nama Ali seperti menemukan kembali kotak musik tua berselimut debu yang tak pernah dibuka selama ber-tahun-tahun; lalu musik pun berdenting: Siapa yang kaumakan hari ini, Babalu? Siapa yang kaumakan, Babalu sipit? Aku berusaha mengingat kembali wajah beku Ali, benar-benar mengingat tatapan matanya yang memancarkan kedamaian, tapi waktu sungguh serakah kadang-kadang ia mencuri semua detail tanpa menyisakan apa pun. "Apa sekarang Hassan masih tinggal di rumah itu?" tanyaku. Rahim Khan mendekatkan cangkir tehnya ke bibimya yang pecah-pecah dan menghirup isinya. Dia mengeluarkan sehelai amplop dari saku rompinya dan menyerahkannya padaku. "Untukmu." Aku menyobek amplop tertutup itu. Di dalam-nya terdapat sehelai foto Polaroid dan lipatan surat. Cukup lama aku menatap foto itu. Seorang pria jangkung berdiri bersama seorang anak laki-laki di depan pintu gerbang besi tempa. Pria itu mengenakan chapan hijau bergaris dan serban putih. Cahaya matahari jatuh di sisi kiri wajahnya, menimpakan bayangan ke bagian Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kanan tubuhnya. Matanya memicing dan senyumnya mengembang, menunjukkan sepasang gigi depannya yang tanggal. Bahkan hanya dari selembar foto Polaroid kabur itu, aku bisa melihat bahwa sosok pria berchapan itu memiliki keyakinan diri yang tinggi dan dapat diandalkan. Itu terlihat dari caranya berdiri; kaki terbuka, tangan terlipat dengan nyaman di dada, dan kepala sedikit dimiringkan ke arah matahari. Terlebih dari caranya tersenyum. Siapa pun yang melihat sosok dalam foto itu akan merasa melihat seorang pria yang menganggap dunia telah membanjirinya dengan kebaikan. Rahim Khan benar: Aku akan dengan mudah mengenalinya kalau aku berpapasan dengannya di jalan. Anak laki-laki kecil di sebelahnya berdiri dengan kaki telanjang, memeluk kaki ayahnya dengan salah satu lengannya dan menyandarkan kepala botaknya di pinggulnya. Dia pun menyeringai dan memincingkan matanya. Aku membuka lipatan surat itu. Hassan menulisnya dalam bahasa Farsi. Tidak ada satu titik pun yang terlewatkan, tidak ada coretan, tidak ada kata-kata yang tak terbaca-tulisan tangan itu serapi tulisan tangan anakanak yang sedang belajar menulis indah. Aku mulai membacanya: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan Maha Pengampun, Amir agha, hormatku sedalam dalamnya untukmu, Farzana jan, Sohrab, dan aku selalu berdoa supaya saat surat ini tiba di tanganmu, kau sehat dan berbada di bawah naungan cahaya suci Aliah. Tolong sampaikan ucapan terima kasihku yang terhangat untuk Pahim Khan sahib karena telah membawa surat ini kepadamu. Aku berharap semoga suatu hari nanti tanganku akan memegang balasan yang kauberikan untuk surat ini dan membaca tentang kehidupanmu di Amerika. Mungkin selembar foto dirimu akan menyejukkan mata kami. Aku telah begitu banyak bercerita tentangmu pada Farzana jan dan Sohrab, tentang kita berdua yang tumbuh bersama dan kesukaan kita bermain dan berlarian di jalanan. Mereka selalu tertawa saat aku bercerita tentang kenakalan-kenakalan kita! Amir agha, Afghanistan pada masa kecil kita telah lama mati. Tak ada lagi kebaikan di tanah ini dan kami tidak bisa melarikan diri dari kematian. Pembantaian selalu mengancam. Di Kabul, ketakutan tercium dimana-mana; di jalanan, di stadion, di pasar, ketakutan telah menjadi bagian dari hidup kami di sini, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Amir agha. Para bar bar yang memegang pemerintahan di watan kita tidak memedulikan rasa kemanusiaan. Beberapa hari yang lalu, aku menemani Farzana jan pergi ke pasar untuk membeli kentang dan naan. Dia menanyakan harga kentang pada seorang pedagang, tapi pria itu tidak mendengar perkataannya, mungkin telinganya tuli. Jadi Farzana jan bertanya dengan suara lebih keras dan tiba-tiba seorang Talib yang masih begitu muda berlari ke arahnya dan memukul paha istriku dengan tongkat kayunya. Dia memukulnya begitu keras sehingga Farzana jan terjatuh. Dia mengumpat dan menyumpahi istriku, mengatakan bahwa kementrian Kesusilaan tidak mengizinkan wanita berbicara dengan suara keras. Selama berhari-hari, memar keunguan membekas di paha Farzana jan. Tapi apa yang bisa kulakukan kecuali diam dan menyaksikannya memukul istriku? Kalau aku melawan, anjing itu tidak akan ragu, bahkan dengan senang hati, menyarangkan peluru-nya ke dalam tubuhku! Lalu apa yang akan terjadi pada Sohrab? Jalanan sudah penuh dengan anak-anak yatim piatu kelaparan. Setiap hari aku memanjatkan rasa syukur kepada Allah karena telah menjaga

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kehidupanku, bukan karena aku takut menghadapi kematian, namun karena istriku akan tetap memiliki suami dan anakku tidak akan menjadi yatim piatu. Aku berharap semoga kau bisa bertemu dengan Sohrab. Dia anak yang baik. Rahim Khan sahib dan aku mengajarinya membaca dan menulis supaya dia tidak tumbuh menjadi orang yang bodoh seperti ayahnya. Dan dia begitu pintar menggunakan katapelnya! Kadang-kadang aku membawa Sohrab berkeliling kota Kabul dan membelikan permen untuknya. Pertunjukan topeng monyet masih digelar di Shar-e-Nau. Kalau kami kebetulan melewatinya, aku membayar untuk membuat monyet itu menari untuk Sohrab. Kau harus melihat bagaimana dia tertawa! Kami berdua sering berjalan-jalan ke kuburan di atas bukit. Kau ingat bagaimana kita duduk seharian di bawah pohon delima dan membaca kisah Shahnamah? Musim panas yang berkepanjangan telah membuat bukit itu keke-ringan dan pohon delima itu sudah tidak berbuah selama bertahun-tahun. Tetap saja, aku dan Sohrab senantiasa duduk di bawah naungan pohon itu; aku tetap membacakan kisah Shah-namah untuknya. Aku tidak perlu memberitahumu bahwa bagian kesukaannya adalah

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Rostam dan Sohrab, kisah yang menampilkan tokoh dengan nama yang dia sandang. Aku adalah seorang ayah yang sangat bangga dan beruntung. Amir agha, Rahim Khan sahib sedang sakit. Dia terbatuk-batuk sepanjang hari dan aku pernah melihat noda darah menempel di lengan baju yang dia gunakan untuk mengusap mulutnya. Berat badannya telah sangat berkurang. Seandainya dia mau menyantap shorwa dan nasi yang dihidangkan Farzana jan untuknya.... Namun dia hanya akan makan satu atau dua suap dan kupikir dia hanya melakukannya untuk menghormati Farzana jan. Aku sangat mencemaskan kesehatannya sehingga setiap hari aku mendoakannya. Beberapa hari mendatang dia akan pergi ke Pakistan untuk berobat pada beberapa orang dokter dan, Ins ya Allah, dia akan kembali dengan membawa kabar gembira. Tetapi jauh di lubuk hatiku, aku mengkhawatirkannya. Aku dan Farzana jan telah mengatakan pada si kecil Sohrab bahwa Rahim Khan akan kembali sehat. Apa yang bisa kami lakukan? Dia baru berumur sepuluh tahun dan dia sangat mengagumi Rahim Khan sahib. Mereka berdua sangat dekat. Rahim Khan sahib sering mengajaknya pergi ke pasar dan membelikan balon atau biskuit untuknya. Tapi saat ini dia terlalu lemah untuk melakukannya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi, Amir agha. Beberapa di antaranya adalah mimpi buruk. Aku me-mimpikan mayat yang tergantung di lapangan bola, membusuk, darah menetesi rumput di bawah-nya. Saat aku terbangun, tubuhku basah oleh keringat dan napasku terengah-engah. Tapi, yang lebih sering terjadi, aku memimpikan hal-hal yang baik, dan untuk itu aku bersyukur kepada Aliah. Dalam mimpiku, Rahim Khan kembali sehat. Anakku akan tumbuh menjadi orang yang baik, seorang yang merdeka dan penting bagi orang lain. Dalam mimpiku, bunga \aw\a kembali bermekaran di jalanan kota Kabul, dentingan rubab kembali mengalun di kedai-kedai teh, dan layanglayang kembali menari di langit. Dan dalam mimpiku, suatu hari nanti kau akan kembali ke Kabul, mengunjungi tanah tempat kita menjalani masa kecil kita. Saat kau kembali kau akan menemukan teman lamamu yang setia menanti. Semoga Aliah senantiasa menyertaimu. Hassan Aku membaca surat itu untuk kedua kalinya. Setelah itu aku melipatnya dan kembali memandang foto itu. Aku menyimpan keduanya di sakuku. "Bagai-mana kabamya?" tanyaku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Surat itu ditulis enam bulan yang lalu, beberapa hari sebelum aku berangkat ke Peshawar," Rahim Khan menjelaskan. "Aku mengambil foto Polaroid itu sehari sebelum keberangkatanku. Setelah sebulan berada di Peshawar, seorang tetangga di Kabul meneleponku. Dia menyampaikan berita ini: Beberapa saat setelah aku pergi, beredar desas-desus tentang keluarga Hazara yang tinggal sendirian dalam sebuah rumah mewah di Wazir Akbar Khan, setidaknya itulah yang diklaim oleh Taliban. Dua orang petugas Talib mendatangi rumah itu untuk menyelidiki dan menanyai Hassan. Saat Hassan mengatakan bahwa dia tinggal di rumah itu bersamaku, mereka menuduhnya mengatakan kebohongan. Mereka tetap tak peduli meskipun para tetangga, salah satunya adalah pria yang menel-ponku, mendukung Hassan. Para Talib menyebut Hassan penipu dan pencuri seperti semua Hazara dan memerintahkan dia dan keluarganya untuk keluar dari rumah itu sebelum senja tiba. Hassan memprotes keputusan itu. Tapi kata tetanggaku, para Talib memang sedang mengincar rumah yang besar seperti bagaimana dia mengatakannya? ya, seperti 'serigala mengincar se-kawanan domba.' Mereka mengatakan pada Hassan bahwa mereka akan menempati rumah

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

itu dan men-jaganya hingga aku kembali. Hassan kembali mem-protes. Jadi mereka menyeretnya ke jalan" "Tidak," napasku tertahan. "dan menyuruhnya berlutut" "Tidak. Ya Tuhan, tidak." "dan menembak kepalanya dari belakang." "Tidak." "Farzana menjerit-jerit dan menerjang mereka " "Tidak." "mereka pun menembaknya. Pembelaan diri, itu yang mereka katakan" Aku hanya bisa berbisik, "Tidak. Tidak. Tidak." Aku terus memikirkan hari itu, tahun 1974, dalam kamar perawatan di rumah sakit, beberapa saat setelah Hassan menjalani operasi bibir sumbingnya. Aku, Baba, Rahim Khan, dan Ali berkumpul mengelilingi tempat tidur Hassan, menyaksikannya memeriksa bibir barunya lewat sebuah cermin kecil. Sekarang, semua orang dalam ruangan itu sudah meninggal atau sedang sekarat. Kecuali aku. Lalu aku membayangkan hal lain: seorang pria dengan rompi bermotif silang menempelkan moncong Kalashnikov-nya ke bagian belakang kepala Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Hassan. Ledakan itu menggema hingga ke jalan di depan rumah ayahku. Hassan tergeletak di aspal. Kehidupannya yang diisi dengan kesetiaan tanpa pamrih melayang lepas dari tubuhnya seperti layang-layang tertiup angin yang sering kali dikejamya. "Taliban menempati rumah itu," kata Rahim Khan. "Kedok yang mereka pakai untuk menutupi ke-busukan adalah bahwa mereka telah mengusir seorang penyusup. Pembantaian terhadap Hassan dan Farzana dianggap sebagai kasus pembelaan diri. Tidak ada yang menyanggah. Mungkin karena semua orang merasa takut terhadap Taliban. Tapi yang jelas, tidak seorang pun mau menanggung risiko hanya untuk sepasang pelayan Hazara." "Bagaimana dengan Sohrab?" tanyaku. Aku merasa begitu letih, begitu hampa. Serangan batuk yang hebat membungkam Rahim Khan selama beberapa saat. Saat akhirnya dia menatapku, wajah dan matanya tampak merah. "Kudengar dia ditempatkan di sebuah panti asuhan di daerah Karteh Seh. Amir jan-" dia kembali terbatuk. Saat batuknya mereda, dia terlihat lebih tua dari beberapa saat sebelumnya, seolah-olah setiap serangan batuk menambah umumya. "Amir jan, aku memintamu datang

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kemari karena aku ingin bertemu denganmu sebelum maut menjemputku, tapi itu bukan satu-satunya alasanku." Aku tidak mengatakan apa pun. Kurasa aku tahu apa yang selanjutnya akan dikatakan Rahim Khan. "Aku ingin memintamu untuk pergi ke Kabul. Aku ingin memintamu untuk membawa Sohrab ke-mari," ujamya. Aku berjuang untuk menemukan kalimat yang tepat. Aku bahkan belum bisa mencema sepenuhnya kenyataan bahwa Hassan telah tiada. "Tolong, dengarkan aku. Aku mengenal sepasang suami istri dari Amerika yang tinggal di Peshawar ini. Pasangan ini, Thomas dan Betty Caldwell, mengelola sebuah organisasi kemanusiaan kecil yang didanai oleh beberapa donatur. Fokus usaha mereka adalah merumahkan dan menyalurkan makanan bagi anak-anak Afghan yang tak lagi memiliki orangtua. Aku sudah melihat tempat mereka. Bersih dan aman, anak-anak yang tinggal di sana betul-betul terawat, dan pasangan Caldwell adalah orang-orang yang baik. Mereka mengatakan padaku bahwa Sohrab akan di-terima di rumah mereka dan-" "Rahim Khan, kau tidak sungguh-sungguh...."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Anak-anak adalah makhluk yang lemah, Amir jan. Anak-anak terlantar sudah memenuhi Kabul dan aku tak ingin Sohrab menjadi salah satu dari mereka." "Rahim Khan, aku tidak ingin pergi ke Kabul. Aku tidak bisa!" sahutku. "Sohrab adalah anak yang pintar. Di sini, kita bisa memberinya kehidupan baru, harapan baru, bersama dengan orang-orang yang akan menyayanginya. Thomas agha orang yang baik dan Betty khanum sangat tulus, kau harus melihat caranya merawat anak-anak yatim piatu itu." "Mengapa harus aku? Mengapa kau tidak membayar seseorang untuk pergi ke sana? Kalau masalah-nya uang, biarkan aku yang membayamya." "Ini bukan soal uang, Amir!" suara Rahim Khan menggelegar. "Aku adalah seorang pria yang sedang sekarat dan aku tidak akan membiarkanmu menghinaku! Aku tidak pernah mempermasalahkan uang, kau tahu itu. Dan mengapa aku memintamu? Kupikir kita berdua tahu mengapa harus kau yang melakukannya, benar?" Kuharap aku tidak mengerti sedikit pun maksud perkataan Rahim Khan, tapi aku mengerti. Aku sangat memahaminya. "Aku punya istri di Amerika,

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

aku punya rumah, pekerjaan, dan keluarga. Kabul adalah tempat yang berbahaya, kau tahu itu, dan kau mengharap-kanku mau mengorbankan segalanya untuk aku tidak melanjutkannya. "Kau tahu," kata Rahim Khan, "suatu ketika, di belakangmu, ayahmu berbicara denganku. Kau tahu sendiri seperti apa ayahmu saat itu, bagaimana dia selalu mengkhawatirkanmu. Aku ingat perkataannya padaku, 'Rahim, seorang anak laki-laki yang tidak bisa membela dirinya sendiri akan menjadi seorang pria yang tidak akan mampu bertahan terhadap apa pun.' Mau tak mau aku bertanya-tanya, apakah kau telah menjadi pria macam itu?" Aku mengalihkan tatapanku. "Aku hanya memintamu untuk memenuhi keinginan terakhir seorang pria tua yang sedang sekarat," katanya dengan penuh kesedihan. Rahim Khan berjudi dengan mengatakannya. Dia telah memainkan kartu terbaiknya. Setidaknya itu yang kupikirkan. Kalimatnya menggantung tanpa kepastian di antara kami, tapi sepertinya dia memahami betul ucapannya. Aku masih mencari-cari jawaban yang tepat, padahal aku seorang penulis. Akhirnya, aku mengatakannya: "Mungkin Baba benar." "Aku sedih mendengar pendapatmu, Amir." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku tak sanggup memandangnya. "Dan kau tidak berpikiran sama dengan Baba?" "Kalau aku berpendapat begitu, aku tidak akan memintamu datang kemari." Aku memutar-mutar cincin kawinku. "Kau selalu berpikiran terlalu tinggi tentangku, Rahim Khan." "Dan kau selalu terlalu keras terhadap dirimu sendiri." Dia mempertimbangkan ucapan selanjutnya. "Tapi ada hal lain. Sesuatu yang tidak kauketahui." "Kumohon, Rahim Khan-" "Sanaubar bukan istri pertama Ali." Sekarang aku menatapnya. "Sebelumnya, jauh sebelum kau dilahirkan, Ali pernah menikah dengan seorang wanita Hazara dari daerah Jaghori. Mereka menikah selama tiga tahun." "Apa hubungan hal itu dengan semua ini?" "Setelah tiga tahun pemikahan mereka, wanita itu meninggalkannya tanpa anak dan menikah dengan seorang pria di Khost. Dia memberi pria itu tiga orang anak perempuan. Itulah yang ingin kuberitahukan padamu." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku mulai bisa mengikuti arah pembicaraan ini. Tapi aku tidak ingin mendengar kelanjutannya. Aku memiliki kehidupan yang menyenangkan di California; rumah bergaya Victoria dengan atap menjulang tinggi, istri yang baik, karier menulis yang menjanjikan, mertua yang menyayangiku. Aku tidak membutuh-kan semua masalah sialan ini. "Ali mandul," kata Rahim Khan. "Tidak. Dia menikah dengan Sanaubar dan mereka memiliki anak, Hassan, benar? Mereka memiliki Hassan -" "Hassan bukan anak mereka," tukas Rahim Khan. "Tentu saja dia anak mereka!" "Tidak, Amir." "Jadi siapa-" "Kupikir kau tahu." Aku merasa seperti sedang meluncur turun dari tebing yang tinggi, berusaha meraih semak-semak dan ranting-ranting perdu namun terus meluncur dengan tangan kosong. Ruangan itu berayun naik dan turun, ke kiri dan ke bawah. "Apa Hassan tahu?" pertanyaan itu meluncur dari bibir yang sepertinya bukan milikku. Rahim Khan menutup matanya. Menggelengkan kepalanya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Bajingan kau," gumamku seraya berdiri. "Bajingan terkutuk!" teriakku. "Kalian semua, kalian bajingan penipu terkutuk!" "Kumohon, duduklah," Rahim Khan berusaha menenangkanku. "Bagaimana bisa kalian menyembunyikan hal ini dariku? Darinya?" aku membentaknya. "Berpikirlah dengan jemih, Amir jan. Situasi itu sungguh memalukan. Orang-orang akan membicarakannya. Yang dimiliki seorang pria pada masa itu, satu-satunya yang berarti, adalah kehormatannya, nama yang disandangnya, dan kalau orang-orang mem-bicara-kan .... Kami tidak bisa memberitahu siapa pun, tentu kau mengerti." Dia mengulurkan tangannya padaku, namun aku menepiskannya. Aku beranjak keluar dari ruangan itu. "Amir jan, kumohon, jangan pergi." Aku membuka pintu dan berbalik menatapnya. "Mengapa? Apa lagi yang akan kaukatakan padaku? Umurku sudah 38 tahun dan aku baru saja menemu-kan bahwa seluruh kehidupanku didasari oleh satu kebohongan besar keparat! Apa yang bisa kaukatakan untuk membuat keadaan ini lebih baik? Tidak ada. Sedikit pun tidak ada!" Dan sebelum kalimat itu mengendap, aku segera keluar dari apartemen itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Delapan Belas tahari hampir sepenuhnya tenggelam. Langit bermandikan wama lembayung dan merah. Aku menyusuri jalan sempit yang dipenuhi kesibukan, menjauhi bangunan tempat tinggal Rahim Khan. Segaris jalan yang berisik itu merupakan bagian dari labirin gang-gang sempit di mana pejalan kaki, pengemudi sepeda, dan becak berjejalan. Salah satu sudutnya dipenuhi dengan baliho-baliho yang mengiklankan Coca-Cola dan rokok; poster-poster film Lollywood menampilkan aktrisaktris sensual yang sedang ber-dansa dengan pria-pria tampan berkulit cokelat di atas hamparan bunga marigold. Aku memasuki sebuah kedai teh kecil dan memesan secangkir teh. Aku menyandarkan punggungku ke belakang dan memijat wajahku. Perasaan seolah-olah meluncur itu telah memudar. Namun aku merasa seperti seseorang yang terbangun di rumahnya sendiri dan mendapati bahwa semua perabotan telah berpindah tempat. Tak ada lagi sudut-sudut yang familiar. Aku tenggelam dalam keterkejutan, dan aku harus kembali mengenali benda-benda di sekelilingku, mengenali diriku sendiri. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Bagaimana aku bisa sebuta itu? Tanda-tanda itu terpampang di depan mataku selama ini; sekarang semuanya menerpaku: Baba membayar Dr. Kumar untuk mengoperasi bibir sumbing Hassan. Baba tak pernah melupakan ulang tahun Hassan. Aku ingat saat kami menanam bunga tulip, saat aku meminta Baba untuk mempertimbangkan supaya mempe-kerja-kan pelayan baru. Hassan tidak akan pergi kemana-mana, dia membentakku. Dia tetap di sini bersama kita, di sinilah tempatnya. Ini adalah rumahnya dan kita adalah keluarganya. Dia menangis, menangis, saat Ali mengatakan bahwa dia dan Hassan akan meninggalkan kami. Pelayan meletakkan secangkir teh di hadapanku. Di kaki meja yang menyilang terdapat bola logam, masing-masing sebesar buah kenari, untuk mengencangkan sekrup. Salah satunya terlepas. Aku berjongkok dan mengencangkannya. Kalau saja aku bisa membetulkan hidupku dengan cara semudah ini. Aku meneguk teh terhitam yang kunikmati setelah bertahun-tahun dan mencoba memikirkan Soraya, memikirkan Sang Jenderal dan Khala Jamila, memikirkan novel yang harus segera kuselesaikan. Aku mencoba memerhatikan kepadatan lalu lintas di jalan, orang-orang yang berjejalan keluar dan masuk toko manisan. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mencoba menikmati alunan musik Qawali yang terdengar dari radio transistor di meja sebelahku. Apa pun. Tapi yang terus-menerus membayangi benakku adalah sosok Baba pada malam wisudaku, duduk di dalam mobil Ford yang dia hadiahkan kepadaku, dengan tubuh menguarkan aroma bir, dan berkata, Kuharap Hassan bersama kita hari ini. Bagaimana dia bisa berbohong kepadaku selama bertahun-tahun? Kepada Hassan? Saat aku masih kecil dia pernah mendudukkanku di pangkuannya, menatap mataku, dan berkata, Hanya ada satu dosa. Dan itu adalah mencuri .... Kalau kau berbohong, kau men-curi hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Bukankah dia pernah mengatakan hal itu padaku? Dan sekarang, 15 tahun setelah aku menguburkan dia, aku baru tahu bahwa Baba adalah seorang pencuri. Jenis yang terburuk dari seorang pencuri, karena dia telah mencuri sesuatu yang sangat berarti: Dariku, dia mencuri hak untuk mengetahui bahwa aku me-miliki seorang saudara, dari Hassan, dia mencuri identitas, dan dari Ali, dia mencuri kehormatan. Hang nya. Hamoosnya. Pertanyaan-pertanyaan itu terus-menerus menghantuiku: Bagaimana Baba bisa menatap mata Ali? Bagaimana Ali bisa terus tinggal di rumah itu, hari Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

demi hari, sedangkan dia tahu bahwa majikannya telah merenggut kehormatannya dengan satu-satunya cara terburuk dalam merenggut kehormatan yang bisa dilakukan oleh seorang pria Afghan? Dan bagaimana aku harus menerima citra baru Baba ini, menggantikan kenangan tentang sosok Baba yang telah menempel di benakku, sosoknya yang mengenakan setelan cokelat usang, tertatih-tatih di jalan masuk rumah keluarga Taheri untuk menyampaikan lamaran terhadap Soraya? Ini adalah salah satu contoh klise yang tak akan disukai dosen penulisan kreatifku; apel tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Tapi bukankah itu benar? Temyata, tidak seperti yang kuketahui, aku dan Baba memiliki lebih banyak kesamaan. Kami berdua telah mengkhianati orang-orang yang bersedia mempertaruhkan hidup mereka demi kami. Dan seketika aku menyadarinya: Rahim Khan mendatangkanku kemari untuk menebus bukan hanya dosa-dosaku, melainkan juga dosa-dosa Baba. Menurut Rahim Khan, aku selalu terlalu keras terhadap diriku sendiri. Aku memikirkannya. Memang benar, bukan dirikulah yang menyebabkan Ali meninjak ranjau darat, dan bukan dirikulah yang menyebabkan Taliban mendatangi rumah itu dan mencabut nyawa Hassan. Tapi dirikulah yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menyebabkan Hassan dan Ali meninggalkan rumah itu. Berlebihankah jika aku membayangkan bahwa keadaan akan jauh berbeda jika aku tidak melakukan kesalahan itu? Mungkin Baba akan membawa mereka berdua ke Amerika. Mungkin saat ini Hassan memiliki rumah, pekerjaan, keluarga, kehidupan di negara yang pen-duduknya tidak memedulikan bahwa dia adalah se-orang Hazara, bahkan sebagian besar orang tidak tahu arti Hazara. Mungkin itu tidak terjadi. Tapi mungkin itu terjadi. Aku tidak bisa pergi ke Kabul, aku telah mengatakannya pada Rahim Khan. Aku punya istri di Amerika, aku punya rumah, pekerjaan, dan keluarga. Tapi bagaimana mungkin aku mengemasi barang-barangku dan pulang begitu saja, sedangkan tindakanku itu akan menyebabkan Hassan kehilangan kesempatan untuk memiliki hal yang sama? Aku berharap Rahim Khan tak pernah meneleponku Aku berharap dia tetap membiarkanku hidup dalam ketidaktahuan. Tapi dia meneleponku. Dan cerita Rahim Khan mengubah segalanya. Dia telah membuatku menyadari bahwa seluruh kehidupanku, dimulai jauh sebelum musim dingin 1975, sejak wanita Hazara bersuara merdu itu masih merawatku, didasari oleh suatu lingkaran kebohongan, pengkhianatan, dan rahasia. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan, katanya. Jalan untuk menghentikan perputaran lingkaran ini. Kuncinya adalah anak laki-laki kecil itu. Anak yatim piatu itu. Putra Hassan. Di suatu tempat di Kabul. Saat menumpang becak kembali ke apartemen Rahim Khan, aku ingat Baba pernah mengatakan bahwa masalahku adalah selalu ada seseorang yang berjuang untuk-ku. Sekarang umurku 38 tahun. Rambutku mulai menipis dan bersemburat kelabu, dan akhir-akhir ini aku bisa melihat kerutan kecil terbentuk di sudut mataku. Sekarang aku lebih tua, tapi mungkin aku belum cukup tua untuk mulai berjuang bagi diriku sendiri. Baba memang telah berbohong tentang banyak hal, namun dia tidak berbohong tentang satu hal itu. Aku menatap wajah bundar yang tercetak di selembar foto Polaroid itu sekali lagi, bagaimana sinar matahari menimpa wajahnya. Wajah saudara laki-lakiku. Suatu ketika Hassan pernah menyayangiku, dia menyayangiku dan tak akan ada lagi orang lain yang menyayangiku seperti dia. Sekarang dia telah pergi, tapi secuil bagian dirinya masih tertinggal. Di Kabul. Menanti. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku mendapati Rahim Khan sedang menunaikan shalat di salah satu sudut ruangan itu. Yang tampak dari dirinya hanyalah siluet gelap yang bersujud ke arah timur, menghadap ke langit yang semerah darah. Aku menunggunya hingga selesai. Lalu aku mengatakan padanya bahwa aku akan pergi ke Kabul. Aku memintanya untuk menelepon pasangan Caldwell keesokan paginya. "Aku akan berdoa untukmu, Amir jan," katanya. Sembilan Belas Lagi-lagi, mabuk perjalanan menyerangku. Saat kami berkendaraan me-lintasi tanda bertuliskan CELAH KHYBER MENYAMBUT ANDA yang dipenuhi lubang bekas peluru, cairan mulai mengalir ke mulutku. Perutku bergolak dan terasa melilit. Farid, sopir truk sewaan itu, menatapku dengan dingin. Tidak ada sedikit pun rasa empati di matanya. "Bisakah kita membuka jendela?" tanyaku. Dia menyalakan sebatang rokok dan menyelipkannya di antara dua jari yang tersisa pada tangan kirinya yang disandarkan dengan santai ke setir. Mata hitamnya memandang lurus ke jalan. Dia membungkukkan badannya, memungut Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

baut yang tergeletak di antara kedua kakinya, dan menyerahkan benda itu padaku. Aku menjejalkan ujungnya ke lubang kecil di pintu, tempat tangkai pemutar untuk membuka jendela itu dulu berada, dan memutar sekrup yang ada untuk membuka jendelaku. Sekali lagi Farid memberiku tatapan yang mencerminkan ketidaksetujuan, kali ini, dia tidak berusaha menutupi ketidaksukaannya padaku. Sesaat kemudian, dia pun kembali menikmati rokoknya. Sejak kami meninggalkan Benteng Jamrud, dia baru mengucapkan beberapa patah kata. "Tashakor," gumamku. Aku melongokkan kepalaku keluar jendela dan membiarkan udara sore yang sejuk menerpa wajahku. Jalan yang melewati wilayah suku yang mendiami Celah Khyber ini berkelok-kelok di antara tebing-tebing tanah liat dan batu kapur, tepat seperti yang kuingat aku dan Baba pernah bermobil menyusuri sepanjang jalan tak rata ini pada 1974. Terletak di sepanjang lembah yang dalam, puncak-puncak pegunungan yang besar dan gersang itu tampak menjulang. Benteng-benteng tua, berdinding batu bata, yang telah runtuh di berbagai bagian, berdiri di atas puncak-puncak itu. Aku berusaha memusatkan tatapanku pada puncak Hindu Kush yang tetutup salju di sebelah utara, namun setiap kali perutku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

terasa sedikit nyaman, truk kami kembali melewati satu tikungan tajam, menghadirkan satu gelombang rasa mual baru. "Coba makan lemon." "Apa?" "Lemon. Bagus untuk mengobati mabuk per-jalanan," kata Farid. "Aku selalu menyiapkannya jika akan melewati jalan ini." "Tidak usah, terima kasih," aku menolak tawarannya. Membayangkan mengecap rasa asam membuat perutku semakin mual. Farid mencibir. "Ini memang tidak semewah obat-obatan Amerika, aku tahu, hanya cara pengobatan kuno yang diajarkan ibuku." Aku menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan untuk memecahkan ketegangan di antara kami. "Kalau begitu, mungkin aku harus mencobanya." Dia mengambil sebuah kantong kertas dari jok belakang dan mengeluarkan sepotong lemon dari dalamnya. Aku menggigit potongan itu sedikit, menunggu selama beberapa menit. "Kau benar. Aku merasa baikan," aku berbohong. Sebagai seorang Afghan, aku tahu bahwa

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

membiarkan diriku menderita masih lebih baik daripada bersikap kasar. Aku memaksakan diri untuk tersenyum lemah. "Trik kuno dari watan kita, tidak perlu obat-obatan mahal," katanya separuh hati. Dia menjentikkan abu rokoknya dan menatap dengan sombong bayangan diri-nya di kaca spion. Farid berasal dari Tajikistan. Tubuhnya jangkung, kulitnya gelap, wajahnya telah tertempa oleh cuaca, bahunya sempit, dan di tengah lehemya yang jenjang, jakunnya yang menonjol hanya tampak mengintip dari balik janggut lebatnya saat dia memalingkan kepala. Dia berpakaian sepertiku, meskipun kupikir, akulah yang berpakaian seperti dia: pirhan-tumban abu-abu dan rompi berlapis selimut wol dengan rajutan kasar. Di kepalanya, terpasang sebuah pakol cokelat yang sedikit dimiringkan, sesuai gaya berpakaian seorang pahlawan Tajik, Ahmad Shah Massoud yang oleh orang-orang Tajik dijuluki "Singa dari Panjsher." Rahim Khanlah yang memperkenalkanku dengan Farid saat di Peshawar. Dia mengatakan padaku bahwa Farid berumur 29 tahun, meskipun kerutan-kerutan di wajahnya membuat dia tampak berusia 20 tahun lebih tua. Dia dilahirkan di Mazar-i-Sharif dan tinggal di sana hingga ayahnya memindahkan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

keluarganya ke Jalalabad saat dia berumur sepuluh tahun. Saat dia berumur 14 tahun, dia dan ayahnya bergabung dalam jihad melawan Shorawi. Mereka bertempur di Desa Panjsher selama dua tahun hingga serangan yang di-lancarkan dari helikopter menghancurleburkan ayahnya. Farid memiliki dua istri dan lima anak. "Sebenamya dia punya tujuh anak," Rahim Khan berkata dengan tatapan sendu. Dia kehilangan dua anak perempuan terkecilnya beberapa tahun yang lalu karena ledakan ranjau darat di dekat Jalalabad, ledakan yang sama yang membuatnya kehilangan beberapa jari kaki dan tiga jari tangan kirinya. Setelah kejadian itu, dia memindahkan kedua istri dan kelima anaknya ke Peshawar. "Pos pemeriksaan," omelnya. Aku menurunkan posisi dudukku, melipat kedua lenganku di dada, melupakan untuk sesaat rasa mual yang kurasakan. Temyata aku tidak perlu merasa khawatir. Dua orang anggota milisi Pakistan mendekati Land Cruiser butut kami, melirik sambil lalu ke dalam, dan melambai pada kami. Farid berada di urutan pertama dalam daftar persiapan yang kubuat bersama Rahim Khan. Daftar itu mencakup menukarkan dolar menjadi mata uang Kaldar dan Afghani, membeli pakaian dan pakol yang kupakai ironisnya, saat tinggal di Afghanistan, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

belum pernah sekali pun aku mengenakan pakaian model ini foto Polaroid Hassan dan Sohrab dan, akhirnya, mungkin benda yang terpenting: janggut palsu, hitam sepanjang dada, sesuai dengan syariat setidaknya syariat versi Taliban. Rahim Khan memiliki kenalan seorang perajin janggut palsu di Peshawar, yang karyanya kadang-kadang digunakan oleh wartawan perang dari Barat. Rahim Khan memintaku untuk tinggal bersamanya beberapa hari lebih lama untuk mematangkan rencana. Tapi aku tahu bahwa aku harus berangkat secepat mungkin. Aku takut suatu ketika aku akan berubah pikiran. Aku takut aku akan mempertimbangkan, memikirkan, mengkhawatirkan, mencari penjelasan, dan meyakinkan diriku untuk membatalkan keberangkatanku. Aku takut pesona kehidupanku di Amerika akan menarikku untuk kembali, lalu aku akan berenang dengan susah payah melawan arus sungai besar itu dan membiarkan diriku lupa, membiarkan segala hal yang baru kuketahui beberapa hari terakhir ini tenggelam hingga ke dasamya. Aku takut sungai itu akan menjauhkanku dari hal yang seharusnya kulakukan. Dari Hassan. Dari masa lalu yang memanggilku. Dan dari kesempatan terakhir untuk menebus kesalahanku

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

di masa lalu. Jadi aku berangkat sebelum salah satu kemungkinan itu terjadi. Sedangkan bagi Soraya, aku tidak punya pilihan selain merahasiakan kepergian ke Afghanistan. Kalau dia tahu, dia akan segera membeli tiket untuk penerbangan selanjutnya ke Pakistan. Kami telah melewati perbatasan dan tanda-tanda kemiskinan bisa kami saksikan dimana-mana. Di kedua sisi jalan, aku melihat daerah pemukiman kecil tersebar di sana-sini, seperti mainan yang tertinggal di antara bebatuan. Rumah-rumah tanah liat dan pondok-pondok kayu kecil beratap kain rombengan. Anak-anak kecil berpakaian kumal bermain sepak bola di luar pondok-pondok itu. Beberapa kilometer kemudian, aku melihat sekelompok pria berjongkok, seperti burung gagak, mengerumuni bangkai tank Rusia tua yang terbakar habis; angin mempermain-kan ujung selimut yang membungkus tubuh mereka. Di bela-kang mereka, seorang wanita berburqa cokelat memanggul sebuah pot tembikar besar di bahunya, menyusuri jalan berbatu menuju deretan rumah tanah liat. "Aneh," ujarku. "Apa?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku merasa seperti turis di negaraku sendiri," aku berkata sambil memerhatikan seorang penggem-bala menggiring enam ekor kambing kurus kering di sepanjang sisi jalan. Farid mencibir. Melontarkan sisa rokoknya. "Kau masih menganggap tempat ini sebagai negaramu?" "Kupikir sebagian dari diriku akan selalu menganggap tempat ini negaraku," aku tak mampu menyembunyikan pembelaan diri dalam kalimatku. "Setelah 20 tahun tinggal di Amerika," katanya seraya membanting setir untuk menghindari lubang sebesar bola voli yang menganga di tengah jalan. Aku menganggukkan kepala. "Aku tumbuh di Afghanistan." Farid kembali mencibir. "Mengapa kau mencibir?" "Tidak apa-apa," gumamnya. "Tidak, aku ingin tahu. Mengapa kau melaku-kan-nya?' Dari kaca spion, aku melihat matanya berkilat. "Kau mau tahu?" dia berkata dengan nada mencemooh.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Biarkan aku membayangkannya, Agha sahib. Kau mungkin tinggal di sebuah rumah besar belantai dua atau tiga dengan halaman belakang indah yang di-tanami bunga-bungaan dan pohon buah-buahan oleh seorang tukang kebun. Tentu saja pagar tinggi menge-lilingi rumah itu. Ayahmu mengendarai mobil keluaran Amerika. Kau memiliki pelayan, mungkin beberapa orang Hazara. Orangtuamu mempekerjakan orangorang untuk menghias rumah sebelum mereka menyelenggarakan mehmanis mewah, supaya teman-teman mereka bersedia datang untuk menyombong tentang perjalanan mereka ke Eropa atau Amerika. Dan aku berani mempertaruhkan mata anak laki-laki pertamaku, ini adalah pertama kalinya kau memakai pakol." Dia memandangku sambil menyeringai, memamerkan deretan gigi yang membusuk. "Apa tebakanku tepat?" "Mengapa kau mengatakannya?" "Karena kau ingin tahu," dia membentak. Dimea menunjuk seorang pria tua berpakaian compang-camping yang sedang berjalan tersaruk-saruk di jalan berdebu sembari memanggul karung goni yang penuh berisi rumput liar. "Itulah Afghanistan yang sebenamya, Agha sahib. Itulah Afghanistan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang kukenal. Kau? Kau senantiasa menjadi turis di sini, hanya saja kau tidak mengetahuinya." Rahim Khan telah memperingatkanku untuk tidak mengharapkan sambutan hangat dari siapa pun yang tetap tinggal dan turut berperang di Afghanistan. "Aku ikut bersedih karena kau kehilangan ayahmu," ujarku. "Aku ikut bersedih karena kau kehilangan kedua putrimu, dan aku ikut bersedih karena kau kehilangan jari-jarimu." "Itu tak ada artinya bagiku," katanya. Dia menggeleng-kan kepalanya. "Mengapa kau kembali ke sini? Kau mau menjual tanah Babamu? Mengantongi uangnya dan lari kembali ke pelukan ibumu di Amerika?" "Ibuku meninggal saat melahirkanku," jawabku. Dia menghela napas dan menyalakan sebatang rokok baru. Keheningan menyusul. "Berhenti." "Apa?" "Berhenti, sialan!" teriakku. "Kau mau aku me-muntahimu?" Farid menghentikan truknya di bahu jalan yang berbatu dan aku segera menghambur keluar. Menjelang senja, pemandangan puncak pegunungan yang terbakar matahari dan tebing-tebing tandus digantikan oleh daerah pedesaan yang lebih hijau. Jalan utama melintasi gunung itu berawal dari Landi Kotal Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

melewati daerah Shinwari hingga ke Landi Khana. Kami memasuki Afghanistan dari Torkham. Pohon-pohon pinus berjajar di kedua sisi jalan, lebih sedikit dari yang kuingat, dan banyak dari pohon itu gundul tak berdaun. Meski begitu, melihat kembali pepohonan setelah menempuh perjalanan melelahkan melewati Celah Khyber terasa menyenangkan. Kami semakin mendekati Jalalabad. Di kota itu, Farid memiliki kakak laki-laki yang akan menampung kami malam ini. Matahari belum sepenuhnya terbenam saat kami memasuki Jalalabad, ibukota negara bagian Nangarhar, kota yang pernah terkenal dengan buah-buahan dan iklimnya yang hangat. Farid mengemudi melewati gedung-gedung dan rumah-rumah batu di pusat kota. Pohon-pohon palem yang berdiri tidak sebanyak yang kuingat, dan beberapa rumah telah berubah menjadi bangunan tanpa atap dan timbunan puing-puing tanah liat. Farid membelokkan Land Cruisemya ke sebuah jalan tanah sempit dan memarkir truk itu di dekat selokan kering. Aku keluar dari truk itu, meregangkan badan, dan menarik napas dalam-dalam. Dulu, angin yang bertiup sepoi-sepoi di sepanjang dataran subur Jalalabad, di mana para

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

petani menanami tanah mereka dengan tebu, menyebarkan aroma manis ke seisi kota. Aku menutup mataku dan mencoba mengendus manisnya aroma itu. Aku tidak menemukannya. "Ayo," Farid berkata dengan tidak sabar. Kami menyusuri jalan tanah itu, melewati beberapa batang pohon poplar gundul di sekitar deretan puingpuing rumah tanah liat. Farid menunjukkan jalan menuju sebuah rumah yang kondisinya mengenaskan dan mengetuk pintu kayunya. Seorang wanita muda berkerudung putih dengan mata sehijau laut melongokkan kepala. Saat melihatku, dia mengemyitkan wajah. Lalu dia melihat Farid, dan seketika matanya berbinar. "Assalamu alaikum, Kaka Farid!" "Salaam, Mary am jan," Farid menjawab salamnya sambil memberi wanita itu sesuatu yang dia sembunyikan dariku seharian ini: senyuman yang hangat. Dia mencium kening wanita itu. Maryam membuka pintu itu lebarlebar, menatapku dengan sedikit cemas saat aku mengikuti Farid memasuki rumah kecil itu. Rumah itu memiliki langit-langit rendah yang terbuat dari tanah liat, dinding yang bersih tanpa hiasan, dan penerangan hanya berasal dari sepasang lentera yang diletakkan di sudut ruangan. Kami me-lepas sepatu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan menginjakkan kaki ke tikar jerami yang menutupi lantai. Tiga orang anak laki-laki duduk bersila di sepanjang salah satu sisi ruangan, di atas matras yang tertutup oleh bantal dengan jahitan ter-buka. Seorang pria jangkung berjanggut dan berdada bidang berdiri menyambut kami. Dia dan Farid saling memberikan pelukan dan ciuman di pipi. Farid mem-perkenalkan pria itu padaku, Wahid, kakaknya. "Dia dari Amerika," dia berkata pada Wahid sambil menunjukku dengan jempolnya. Dia meninggalkan kami berdua untuk menyapa ketiga anak laki-laki Wahid. Wahid menemaniku duduk bersandar di dinding, berseberangan dengan anak-anaknya yang saat itu menerjang Farid dan memanjat bahunya. Mengesampingkan protesku, Wahid menyuruh salah satu anak laki-laki itu mengambil satu selimut lagi supaya aku bisa duduk lebih nyaman di lantai, dan meminta Maryam menghidangkan teh. Dia memintaku bercerita tentang perjalanan kami sejak dari Peshawar, saat kami melewati Celah Khyber. "Untunglah kalian tidak bertemu dengan para dozd," katanya. Celah Khyber terkenal dengan ke-adaan tanahnya dan para bandit yang memanfaatkan hal itu untuk merampok para pemakai jalan. Sebelum aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berkomentar, dia mengedipkan salah satu matanya dan berkata dengan keras, "Tentu saja, tidak ada satu pun dozd yang mau membuang-buang waktu dengan truk rongsokan seburuk milik adik saya." Farid bergulat dengan anak laki-laki yang terkecil, menahannya di lantai dan menggelitiki pinggangnya dengan tangannya yang utuh. Anak itu terkikik-kikik sambil menendang-nendang. "Setidaknya aku punya kendaraan," Farid terengah-engah. "Bagaimana kabar keledaimu akhirakhir ini?" "Keledaiku kendaraan yang lebih bagus dari pada trukmu." "Khar khara mishnassah," Farid menyahut. Hanya keledai yang bisa memahami keledai. Mereka berdua tertawa dan aku ikut tertawa. Aku mendengar suara wanita dari ruang sebelah. Separuh ruangan itu terlihat dari tempatku berada. Maryam dan seorang wanita lebih tua yang mengenakan jilbab cokelat mungkin ibunya bercakap-cakap dengan suara lirih sambil menjerang teh. "Jadi, apa pekerjaan Anda di Amerika, Amir agha?" tanya Wahid. "Saya penulis," jawabku. Kurasa telingaku menangkap Farid tertawa saat mendengar jawabanku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Penulis?" Wahid tidak menutupi keterke-sanannya. "Anda menulis tentang Afghanistan?" "Yah, saya pernah menulis tentang Afghanistan. Tapi saat ini tidak," jawabku. Novel terakhirku, A Season for Ashes, bercerita tentang seorang profesor yang ber-gabung dengan sekelompok gipsi setelah mendapati istrinya berselingkuh dengan salah satu muridnya. + Buku itu tidak buruk. Beberapa peresensi menyebut buku itu "bagus", dan salah satunya malah menggunakan kata "memikat." Tapi tiba-tiba novel itu membuatku merasa malu. Aku berharap Wahid tidak menanyakan tentang isinya. "Mungkin Anda harus menulis tentang Afghanistan lagi," ujar Wahid. "Biarkan seluruh dunia tahu tentang perlakuan Taliban pada negara kita." "Yah, saya tidak ... saya bukan jenis penulis seperti itu." "Oh," Wahid mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kulihat semburat merah mewamai pipinya. "Anda tahu yang terbaik, tentu saja. Bukan tempat saya untuk menyarankan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat itu juga, Maryam dan wanita lainnya mema-suki ruangan sambil membawa baki kecil berisi dua buah cangkir dan sepoci teh. Aku berdiri untuk menun-jukkan hormat, menekankan tanganku ke dada, dan menundukkan kepala. "Assalamu 'alaikum," ucapku. Wanita itu, yang kini membelitkan jilbabnya untuk menutupi bagian bawah wajahnya, juga menundukkan kepala. "Waalaikumussalam," dia menjawab dengan suara yang nyaris tak terdengar. Kami tak pernah bertatapan. Dia menuangkan teh saat aku masih berdiri. Wanita itu meletakkan cangkir teh yang mengepul di hadapanku dan keluar dari ruangan itu. kakinya yang telanjang tidak sedikit pun meninggalkan suara yang mengirinya menghilang. Aku duduk dan menghirup teh hitam dan kental itu. Akhirnya, Wahid memecahkan keheningan yang menyesakkan itu. "Jadi, apa yang membawa Anda kembali ke Afghanistan?" "Apa yang membawa mereka semua kembali ke Afghanistan, kakakku?" Farid menujukan kalimat itu pada Wahid namun menatapku dengan menghina saat mengatakannya. "Bas!" Wahid membentaknya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Alasannya selalu sama," ujar Farid. "Jual tanah di sini, jual rumah di sana, kumpulkan uangnya, lalu kabur seperti tikus. Kembali ke Amerika, mereka menghambur-hamburkan uang itu untuk liburan keluarga ke Meksiko." "Farid!" teriakan Wahid menggelegar. Anak-anaknya, begitu juga Farid, tampak terkejut. "Kau sudah lupa dengan tata krama? Ini rumahku! Amir agha ada-lah tamuku malam ini dan aku tidak akan membiar-kanmu mempermalukanku seperti ini!" Farid membuka mulutnya, nyaris mengatakan sesuatu, mempertimbangkannya kembali, dan menu-tup mulutnya. Dia menghempaskan tubuhnya ke tembok, menggumamkan sesuatu, dan menyilangkan kakinya yang cacat di atas kakinya yang utuh. Tatapan menuduhnya senantiasa diarahkan padaku. "Maafkan kami, Amir agha," ujar Wahid. "Sejak masih kanak-kanak, mulut adik saya sudah dua kali lebih besar daripada kepalanya." "Saya yang bersalah," ujarku, berusaha menyunggingkan senyum meskipun Farid terus menerus menatapku tajam. "Saya tidak tersinggung. Memang sudah seharusnya saya menjelaskan urusan yang akan saya selesaikan di Afghanistan kepada Farid. Tujuan saya kemari bukanlah untuk menjual kepemilikan. Saya pergi ke Kabul untuk mencari seorang anak laki-laki." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Anak laki-laki," Wahid mengulangi. "Ya." Aku menunjukkan foto Polaroid yang tersimpan di saku bajuku. Melihat gambar Hassan kembali menoreh luka yang disebabkan kematiannya. Aku harus mengalihkan tatapanku dari foto itu. Aku menunjukkannya pada Wahid. Dia menatap foto itu beberapa saat. Dia memandangku dan memandang foto itu, lalu kembali mengulanginya. "Anak ini?" Aku mengangguk. "Anak Hazara ini." "Ya." "Apa arti anak itu bagi Anda?" "Ayahnya sungguh berarti bagi saya. Dia pria yang ada di foto itu. Sekarang dia sudah tewas." Wahid mengedipkan matanya. "Dia teman Anda?" Naluriku membuatku ingin mengiyakan pertanyaan Wahid, seolah-olah, di tingkat tertentu, aku pun ingin melindungi rahasia Baba. Tapi sudah cukup banyak kebohongan yang terucap. "Dia saudara tiri saya." Aku menelan ludah, lalu menambahkan, "Saudara tiri haram saya." Aku memutar cangkir teh di tanganku dan mempermainkan pegangannya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Saya tidak bermaksud mencampuri urusan Anda." "Anda tidak mencampuri urusan saya," aku menanggapi. "Apa yang akan Anda lakukan untuknya?" "Membawanya ke Peshawar. Di sana ada orang-orang yang akan merawatnya." Wahid mengembalikan foto itu kepadaku dan menepukkan tangannya yang berkapal di bahuku. "Anda pria terhormat, Amir agha. Seorang Afghan sajati." Aku merasa sangat malu mendengar pujian itu. "Saya merasa bangga menerima Anda di rumah saya malam ini," kata Wahid. Aku mengucapkan terima kasih padanya dan melirik ke arah Farid. Pria itu menatap ke bawah, jari-jarinya mempermainkan ujung tikar jerami yang berserabut. Beberapa saat kemudian, Maryam dan ibunya membawa masuk dua mangkuk mengepul berisi shorwa sayuran dan dua bongkah roti. "Saya mohon maaf karena tidak bisa menghidangkan daging untuk Anda," ujar Wahid. "Sekarang ini, hanya Taliban yang mampu membeli daging." "Hidangan ini tampak lezat," ujarku. Hidangan itu memang lezat. Aku menawarkan padanya, dan pada anak-anaknya, untuk ikut makan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bersama kami, namun Wahid mengatakan bahwa mereka sekeluarga telah makan sebelum kami tiba. Aku dan Farid menggulung lengan baju kami, mencelupkan roti kami ke shorwa, dan menyantap hidangan itu dengan tangan. Sambil makan, aku memerhatikan anak-anak Wahid. Ketiga anak laki-laki kurus dengan wajah berdaki dan rambut cokelat tercukur pendek di puncak kepala itu mencuri pandang ke arah arloji digitalku. Anak yang terkecil membisikkan sesuatu ke telinga kakaknya. Kakaknya mengangguk, tanpa melepaskan pan-dangan dari arlojiku. Anak yang terbesar mungkin umumya sekitar 12 tahun mengayun-ayunkan badannya, juga tanpa melepaskan pandangan dari arlojiku. Setelah selesai menyantap makan malam, setelah aku mencuci tangan dengan air yang dituangkan Maryam dari kendi tembikar, aku meminta izin Wahid untuk memberikan hadiah bagi anak-anaknya. Dia berusaha menolak, namun, saat aku bersikeras, dengan enggan dia menyetujui. Aku membuka arlojiku dan menyerahkannya kepada anak yang terkecil. Dia menggumam dengan malu-malu, "Tashakor." "Arloji ini menunjukkan waktu di semua kota di seluruh dunia untukmu," aku memberitahunya. Anak itu menganggukkan kepalanya dengan sopan, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menunjukkan arloji itu pada kedua kakaknya, dan mereka bertiga pun bergiliran mencobanya. Tapi, tak lama kemudian, ketertarikan mereka berkurang dan, hanya beberapa saat setelah mereka menerimanya, arloji itu digeletakkan begitu saja di atas tikar jerami. "Kau bisa memberitahuku sebelumnya," ujar Farid. Kami berdua berbaring berdampingan di atas tikar jerami yang dihamparkan oleh istri Wahid untuk kami. "Tentang apa?" "Alasanmu datang ke Afghanistan." Nada kasar yang selalu terdapat dalam suaranya sejak aku bertemu dengannya tidak terdengar lagi. "Kau tidak bertanya," kataku. "Kau seharusnya mengatakan hal itu padaku." "Kau tidak bertanya." Dia membalikkan badannya untuk mengha-dapiku. Salah satu lengannya ditekuk di bawah kepalanya. "Mungkin aku akan menolongmu menemukan anak itu." "Terima kasih, Farid," ucapku. "Aku salah memandang dirimu."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku menghela napas. "Jangan khawatir. Aku lebih sesuai dengan anggapanmu daripada yang kautahu." Tangannya terikat di belakang tubuhnya dengan tali kasar yang melukai pergelangannya. Matanya tertutup dengan sehelai kain hitam. Dia berlutut di jalan, di dekat selokan dengan air yang mengalir perlahan, kepalanya menunduk dalam-dalam. Lututnya beradu dengan tanah yang keras dan darah merembes ke celananya saat tubuhnya berguncang mengiringi doa yang dipanjatkan-nya. Saat itu menjelang senja dan bayangan panjang tubuhnya berayun ke depan dan ke belakang di jalan berbatu itu. Dia membisikkan sesuatu. Aku mendekatinya. Keseribu kalinya, itulah yang dia katakan. Untukmu, keseribu kalinya. Tubuhnya berayun. Aku melihat bekas luka tipis di atas bibimya. Kami tidak sendirian. Aku melihat moncong senjata itu lebih dahulu. Lalu aku melihat pria itu berdiri di belakangnya. Dia jangkung, mengenakan rompi menyilang dan serban hitam. Dia menatap ke bawah, pada pria berpenutup mata di hadapannya, dengan matanya yang tidak me-nunjukkan apa pun selain kehampaan tanpa batas. Dia mengambil langkah mundur dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengangkat moncong senjatanya. Menempelkannya di bagian belakang kepala pria yang berlutut itu. Untuk sesaat, logam pada senjata itu menangkap cahaya matahari yang mulai melemah dan memantulkannya dalam sebuah kilauan. Ledakan senjata itu menulikan telinga. Aku menatap senjata itu. Menatap wajah yang tersembunyi di balik kepulan asap yang mengikuti ledakan itu. Pria yang mengenakan rompi menyilang itu adalah aku. Aku terbangun dengan teriakan tertahan di tenggorokan. * Aku melangkah ke luar, berdiri di bawah cahaya perak yang terpancar dari bulan setengah dan menatap langit yang bertabur bintang. Jangkrik mengerik dalam kegelapan dan angin menyapu pepohonan. Tanah yang kuinjak dengan kaki telanjang terasa sejuk dan tiba-tiba, untuk pertama kalinya sejak kami melewati per-batasan, aku merasa bahwa aku telah kembali. Setelah bertahun-tahun, aku kembali pulang, berdiri di atas tanah leluhurku. Di tanah inilah kakek buyutku meikahi istri ketiganya setahun sebelum dia meninggal karena wabah kolera yang melanda Kabul pada 1915. Wanita itu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menganugerahkan kepadanya apa yang gagal diberikan oleh kedua istri terdahulunya,akhirnya, seorang anak laki-laki. Di tanah inilah kakekku pergi berburu dan menembak seekor rusa bersama Raja Nadir Shah. Di tanah inilah ibuku meninggal. Dan di tanah inilah aku berjuang untuk mendapatkan cinta ayahku. Aku duduk bersandar pada tembok bagian luar rumah itu. Keterikatan pada tanah ini yang tiba-tiba kurasakan ... ini sungguh membuatku terkejut. Aku telah pergi cukup lama untuk melupakan dan dilupakan. Aku memiliki rumah di tanah yang, bagi orang-orang yang tidur di balik tembok ini, mungkin berada di galaksi lain. Kupikir, aku telah melupakan tanah ini. Tapi aku tidak melupakannya. Dan, di bawah remang cahaya bulan setengah, aku merasakan senan-dung Afghanistan di bawah kakiku. Mungkin Afghanistan juga belum melupakan-ku. Aku memandang ke arah barat dan pikiranku melayang; di suatu tempat di balik pegunungan itu, Kabul masih berdiri. Benar-benar berdiri, bukan hanya sebagai kenangan masa lalu, atau sebagai tajuk sebuah artikel berita intemasional di halaman 15 koran San Francisco Chronicle. Di suatu tempat di sebelah barat, di balik pegunungan itu, masih terdapat kota tempat aku dan saudaraku yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berbibir sumbing berlari mengejar layang-layang. Di suatu tempat di sana, pria berpenutup mata dalam mimpiku telah tewas dengan sia-sia. Suatu ketika, di balik pegunungan itu, aku telah mengambil keputusan. Dan sekarang, seper-empat abad kemudian, pilihan itu telah membawaku kembali ke tanah ini. Saat aku beranjak masuk, aku mendengar suara percakapan dari dalam rumah. Salah satu pemilik suara itu adalah Wahid. "tak ada yang tersisa untuk anak-anak." "Kita kelaparan tapi kita bukan orang tak tahu adat! Dia adalah tamu kita! Apa yang bisa kulakukan?" Suaranya menunjukkan ketegangan. "untuk mendapatkan sesuatu besok." Sepertinya tangis wanita itu akan pecah. "Dengan apa aku harus memberi makan-" Aku berjingkat menjauh. Sekarang aku mengerti mengapa anak-anak itu begitu cepat melupakan arlojiku. Mereka sama sekali tidak memandang arlojiku. Mereka memandang makananku. Pada pagi buta keesokan harinya, kami mengucapkan selamat tinggal. Sebelum aku memasuki Land Cruiser Farid, aku mengucapkan terima kasih kepada Wahid atas kebaikannya. Dia menunjuk rumah kecilnya. "Ini adalah rumah Anda," katanya. Ketiga anaknya berdiri di Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ambang pintu, menyaksikan kepergian kami. Arloji itu dikenakan oleh anak yang terkecil menggantung di tangannya yang sekurus ranting. Aku menatap bayangan mereka di kaca spion saat kami berlalu. Wahid berdiri dikelilingi anak-anaknya dalam kepulan debu yang disebabkan oleh truk kami. Terpikir olehku bahwa, di belahan dunia lain, anak-anak itu tidak akan terlalu lapar untuk mengejar truk ini. Pagi ini, sebelum kami pergi, saat aku merasa yakin tak seorang pun memerhatikanku, aku melakukan sesuatu yang pernah kulakukan 26 tahun sebelumnya: menyimpan gumpalan uang kertas di bawah matras. Dua Puluh Farid telah memperingatkanku. Dia telah memperingatkanku. Tapi, temyata, dia hanya menyia-nyiakan napasnya. Kami berkendaraan menyusuri jalan berlubang-lubang yang terbentang antara Jalalabad dan Kabul. Terakhir kali aku melewati jalan itu adalah saat menumpang truk beratap terpal yang melaju ke arah berlawanan. Baba nyaris tewas ditembak seorang serdadu Roussi mabuk yang gemar menyanyi malam itu Baba membuatku merasa sangat marah, sangat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ketakutan, dan yang paling utama, sangat bangga. Jalan meremukkan tulang antara Kabul dan Jalalabad yang berkelok-kelok membelah perbukitan batu itu telah bertahan melewati dua perang. Dua puluh tahun yang lalu, aku melihat dengan mataku sendiri awal dari perang pertama. Bekas-bekas suram yang ditinggalkannya tersebar di sepanjang jalan itu: bangkai hangus tank-tank Rusia, truk-truk militer penuh karat yang terjungkir di pinggir jalan, jip Rusia yang hancur lebur karena terperosok ke lembah. Perang kedua kusaksikan di layar TV. Dan sekarang, aku menyaksikannya melalui mata Farid. Melihatnya membanting setir dengan terampil untuk menghindari lubang-lubang yang menganga di jalan, aku menyadari bahwa Farid tahu apa yang dia lakukan. Sejak kami berdua bermalam di rumah Wahid, dia menjadi lebih ramah. Dia memintaku duduk di sebelahnya dan menatapku saat berbicara. Sesekali, dia bahkan menyunggingkan senyuman. Sambil meme-gang kemudi dengan tangannya yang cacat, Farid menunjuk rumah-rumah tanah liat yang berdiri di perkampungan yang kami lewati, di mana bertahun-tahun sebelumnya orang-orang yang dia kenali tinggal. Katanya, sebagian besar dari mereka tewas atau ditampung dalam kamp-kamp pengungsian di Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Pakistan. "Dan kadang-kadang, mereka yang tewas jauh lebih beruntung," ujamya. Dia menunjuk reruntuhan yang dulunya sebuah desa kecil. Sekarang, yang tersisa dari desa itu hanyalah puing-puing bangunan, rumah-rumah tanpa atap yang hitam bekas terbakar. Seekor anjing tertidur di tengah puingpuing itu. "Dulu, aku punya seorang teman yang tinggal di sana," ujar Farid. "Dia montir sepeda yang hebat. Selain itu dia juga ahli memainkan tabla. Taliban membunuh dia dan keluarganya, lalu membakar seluruh desa ini." Kami melewati desa yang habis terbakar itu, dan anjing itu bergeming. Dulu, perjalanan dari Jalalabad menuju Kabul membutuhkan waktu selama dua jam, mungkin sedikit lebih lama. Sekarang, aku dan Farid menghabiskan empat jam lebih untuk menempuh jarak itu. Setibanya kami di Kabul ... Farid telah memperingatkan aku sejak kami melewati bendungan Mahipar. "Kabul tidak lagi sama dengan yang kauingat," katanya. "Begitulah yang kudengar." Farid memberiku tatapan yang menyiratkan bahwa mendengar tidaklah sama dengan melihat. Dia benar, karena saat Kabul akhirnya terpampang di hadapan kami, aku merasa yakin, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sepenuhnya yakin, bahwa kami telah salah mengambil jalan. Farid pasti memerhatikan ekspresi terpana di wajahku; dia telah berulang-kali mengantar orang-orang yang ingin kembali ke Kabul. Ekspresi yang ditunjukkan wajah-wajah mereka yang telah begitu lama berpisah dengan Kabul tentu sudah sangat diakrabinya. Dia menepuk bahuku. "Selamat datang kembali," ucapnya dengan muram. Reruntuhan dan kemiskinan. Ke mana pun pandanganku tertuju, itulah yang kulihat. Aku ingat para pengemis yang berkeliaran di jalanan Kabul di masa lalu Baba selalu menyediakan segenggam recehan Afghani di saku celananya hanya untuk mereka; aku belum pernah melihatnya menolak peminta-minta. Sekarang, mereka berjongkok di setiap sudut jalan, mengenakan pakaian goni compang-camping, mene-ngadahkan tangan mereka yang bemoda lumpur untuk sekeping uang logam. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak, kurus kering dan berwajah muram, beberapa masih berumur di bawah enam tahun. Anak-anak itu duduk di pangkuan ibu-ibu mereka yang berpakaian burqa di sepanjang persimpangan yang ramai sambil meneriakkan "Bakhshesh, bakhshesh!" Dan ada hal lain, sesuatu yang tidak langsung kusadari: Hampir tidak ada

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pria dewasa menemani anak-anak itu perang telah menjadikan ayah suatu komoditi yang langka di Afghanistan. Kami melaju ke arah barat menuju distrik Kartell Seh, ke suatu tempat yang kuingat sebagai pusat keramaian pada tahun 70-an: Jadeh May-wand. Di sebelah utara kami, Sungai Kabul tampak kering kerontang. Di perbukitan di sebelah selatan, tembok tua yang dulunya melindungi kota hanya tinggal reruntuhan. Sedikit di sebelah timur, berdirilah Benteng Bala Hissar benteng kuno yang diduduki oleh pasukan Dostum pada 1992-di wilayah gunung Shidarwaza, di daerah pegunungan tempat pasukan Mujahidin menyusun rencana serangan roket ke kota Kabul dari tahun 1992 hingga 1996; serangan yang menimbulkan sebagian besar kerusakan yang saat ini kusaksikan. Wilayah Shidarwaza membentang hingga jauh ke arah barat. Aku ingat, dari daerah pegunungan itulah Topeh chasht, "meriam tengah hari", ditembakkan setiap tengah hari untuk menandai waktu Zuhur dan setiap senja hari pada bulan suci Ramadhan untuk menandai waktu berbuka puasa. Gelegar meriam itu akan terdengar di seluruh kota. "Saat masih kanak-kanak, aku sering berjalan-jalan di Jadeh Maywand," gumamku. "Dulu, hotel-hotel dan pertokoan berderet di sini. Neon wamaKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

wami dan rumah-rumah makan. Aku sering membeli layang-layang dari seorang pria tua bemama Saifo. Dia memiliki toko kecil yang khusus menjual layang-layang di dekat kantor polisi." "Kantor polisi itu masih ada di sana," Farid memberitahuku. "Kota ini tidak kekurangan polisi. Tapi kau tak akan lagi menemukan layang-layang atau toko layang-layang di Jadeh Maywand atau di seluruh Kabul. Hari-hari itu telah berakhir." Jadeh Maywand telah berubah menjadi istana pasir raksasa. Gedunggedung yang belum sepenuhnya hancur berdiri dengan enggan, atap dan dindingnya dipenuhi lubang-lubang akibat pecahan roket. Gedung-gedung lainnya telah rata dengan tanah. Aku melihat papan reklame penuh lubang peluru terkubur dalam timbunan reruntuhan. Dari bagian papan yang mencuat ke luar, terbaca tulisan MINUMLAH COCA CO-. Aku melihat anak- anak bermain di antara gedung-gedung tanpa jendela, di tengahtengah tim-bunan batu bata dan bongkahan batu. Pengendara sepeda dan gerobak yang ditarik keledai berzig-zag menghindari anak-anak yang berlarian, anjing-anjing kelaparan, dan tumpukan puing-puing. Kepulan debu memberati udara kota itu dan, di seberang sungai, selarik asap membubung ke langit. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ke mana pepohonan di sini?" tanyaku. "Orang-orang menebanginya untuk dijadikan kayu bakar pada musim dingin," jawab Farid. "Sho-raw/juga menebang banyak pohon." "Untuk apa?" "Para penembak gelap seringkah bersembunyi di balik pohon-pohon itu." Rasa miris menerpaku. Kembali ke Kabul bagaikan bertemu kembali dengan seorang teman lama yang telah terlupakan dan mendapatinya hidup menderita, jatuh miskin dan menggelandang. "Ayahku membangun panti asuhan di Shar-e-Kohna, kota tua, di sebelah selatan," ujarku. "Aku ingat bangunan itu," Farid menanggapi. "Hancur beberapa tahun yang lalu." "Bisa berhenti dulu?" ujarku. "Aku ingin berjalan-jalan sebentar di sini." Farid memarkir truknya di dekat bangunan tanpa pintu yang ditinggalkan penghuninya. "Dulunya bangunan ini toko obat," gumamnya saat kami keluar dari truk. Kami berjalan di sepanjang Jadeh Maywand dan berbelok ke kanan, menuju ke barat. "Bau apa ini?" tanyaku. Suatu aroma membuat mataku berair.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Diesel," jawab Farid. "Pembangkit listrik kota ini tidak bisa diandalkan. Listrik selalu mati. Jadi, orang-orang menggunakan disel." "Diesel. Kau ingat aroma jalanan ini di masa lalu?" Farid tersenyum. "Kebab." "Kebab daging domba," tambahku. "Daging domba," ulang Farid, mencoba mengecap kata itu dengan mulutnya. "Sekarang ini, yang bisa menikmati daging kambing di Kabul hanyalah Taliban." Dia menarik lengan bajuku. "Omong-omong Sebuah kendaraan mendekati kami. "Patroli Janggut," gumamnya. Itulah pertama kalinya aku melihat Taliban. Aku pernah melihat mereka di TV, di Intemet, di sampul-sampul depan berbagai majalah, dan di koran. Tapi di sinilah aku berada saat ini, jarak di antara kami hanya kurang dari 15 meter. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa rasa yang tibatiba kukecap dalam mulutku bukanlah ketakutan yang benar-benar mumi. Bahwa otot-ototku tidak mengerut, mencengkram tulangku, dan bahwa jantungku tidak benar-benar berdebar kencang. Mereka mendekati kami. Dengan segala kejayaan mereka.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Toyota merah berbak terbuka itu berjalan di depan kami. Di bak kendaraan itu, beberapa orang pria muda berwajah tegang duduk sambil menyandang Kalashnikov di bahu mereka. Semuanya berjanggut dan mengenakan serban hitam. Salah satu dari mereka, seorang pria berkulit gelap dan beralis tebal berumur awal 20-an memainkan cambuk di tangannya, dengan berirama melecutkan cambuk itu ke sisi kendaraan yang ditumpanginya. Tatapan matanya menimpaku. Kami saling memandang. Aku belum pernah merasa setelanjang itu seumur hidupku. Lalu Talib itu meludahkan tembakaunya dan berpaling. Aku kembali bemapas. Kendaraan itu terus melaju di sepanjang Jadeh May wand, meninggalkan kepulan debu di belakangnya. "Jangan pernah menatap mereka! Paham? Jangan pernah!" "Aku tidak bermaksud begitu," kilahku. "Kawan Anda benar, Agha. Menatap mereka sama saja seperti menggoda anjing gila dengan sebatang tongkat," seseorang berkata. Ucapan ini berasal dari seorang pengemis tua yang duduk bertelanjang kaki di anak tangga sebuah gedung yang hancur karena terpaan peluru. Dia mengenakan chapan kumal yang sepertinya dipakai terus menerus hingga pinggirannya berserabut dan sebuah serban dekil. Kelopak mata kirinya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tampak cekung menutupi rongga mata yang kosong. Dengan tangan bergetar, dia menunjuk ke arah kendaraan itu berlalu. "Mereka berkeliling untuk melihat-lihat. Berharap seseorang akan memancing kemarahan mereka. Cepat atau lambat, akan ada sese-orang yang melakukan kesalahan. Lalu anjing-anjing itu mulai berpesta dan hari itu tidak lagi membosan-kan. Setelah itu, semua orang akan meneriakkan, "Allahu Akbar!" Dan bila sepanjang hari tidak seorang pun bisa memancing kemarahan mereka, yah, mereka akan tetap berlaku kasar." "Tundukkan kepalamu kalau berada di dekat Talib," ujar Farid. "Nasihat kawan Anda bagus sekali," celetuk pengemis tua itu. Dia terbatuk-batuk dan meludah pada sehelai saputangan penuh noda. "Maafkan saya, tapi, bisakah Anda memberi saya beberapa Afghani?" katanya dengan lirih. "Bas. Ayo pergi," Farid menarik lenganku. Aku mengulurkan 100.000 Afghani, setara dengan $3 Amerika, kepada pria tua itu. Saat dia mendekatiku untuk menerima uang itu, bau badannya seperti campuran susu basi dan kaki yang tidak dicuci selama bermingguminggu menusuk hidungku dan membuat perutku mual. Dia segera menyelipkan uang kertas itu ke pinggangnya, matanya yang tinggal satu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

melirik ke kanan dan ke kiri. "Terima kasih sebesar-besamya atas kedermawanan Anda, Agha sahib." "Anda tahu letak panti asuhan di Karteh-Seh?" tanyaku. "Bangunan itu tidak sulit ditemukan, letaknya di dekat Bulevar Darulaman," jawabnya. "Setelah roket menghantam panti asuhan tua yang berdiri di sini, anak-anak yang menghuninya dipindahkan ke Karteh-Seh. Sama saja dengan menyelamatkan mereka dari kandang singa dan melemparkan melemparkan mereka ke mulut harimau." "Terima kasih, Agha," ucapku. Aku beranjak pergi. "Ini kali pertama Anda, ya?" "Maaf?" "Pertama kalinya Anda melihat Talib." Melihatku tidak mengatakan apaapa, pengemis tua itu mengangguk dan tersenyum. Memamerkan gigi-giginya yang tersisa, semuanya kuning dan busuk. "Saya ingat saat pertama kali saya melihat mereka memasuki Kabul. Sungguh hari yang membahagiakan!" kisahnya. "Akhir dari pembantaian! Wah wah! Tapi seperti kata sang penyair: 'Saat cinta menggoda, masalah pun tiba!'" Seulas senyum mengembang di wajahku. "Saya tahu ghazal itu. Penulisnya Hafez."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya. Memang dia," jawab pria tua itu. "Sudah semestinya saya tahu. Saya mengajar tentang dia di universitas." "Benarkah?" Dia terbatuk. "Dari tahun 1958 sampai 1996. Saya mengajar tentang Hafez, Khayyam, Rumi, Bey del, Jami, Saadi. Saya pernah diundang sebagai dosen tamu di Teheran, tahun 1971. Saya menyampaikan makalah tentang kepercayaan mistik Beydel. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Ha!" Dia menggelengkan kepalanya. "Tapi Anda lihat sendiri pemuda di truk tadi. Menurut Anda, nilai-nilai apa yang mereka dapatkan dari Sufisme?" "Ibu saya juga mengajar di universitas," aku menyelanya. "Dan siapa namanya?" "Sofia Akrami." Mata-satunya menampakkan kilauan dari balik selubung katarak. '"Rumput di gurun akan tetap bertahan, tapi bunga-bunga musim semi akan mekar dan layu.' Cantik, terhormat, dan tragis." "Anda mengenal ibu saya?" Aku berjongkok di hadapan pria tua itu. "Ya," kata pengemis tua itu. "Kami sering duduk-duduk dan mengobrol setelah mengajar. Terakhir kalinya aku berjumpa dengan dia adalah di hari saat hujan turun sebelum masa ujian akhir tiba. Kami berbagi sepotong kue Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kenari yang lezat. Kue kenari dengan teh panas dan madu. Saat itu, kehamilannya sudah terlihat, dan itu membuatnya makin terlihat memesona. Saya tak akan pernah melupakan perkataannya pada saya hari itu." "Apa itu? Tolong, beritahu saya." Baba selalu menggambarkan ibuku dengan kalimat standar, seperti, "Dia wanita yang hebat." Tapi yang selalu kudambakan adalah mendengar detail-detail kecil seperti: rambutnya yang berkilauan di bawah sinar matahari, rasa es krim kesukaannya, lagu yang suka disenandungkannya, apakah dia suka menggigiti kukunya? Saat Baba meninggal, dia telah membawa pergi kenangan tentang ibuku bersamanya. Mungkin menyebutkan nama ibuku membuat Baba teringat akan kesalahan yang dilakukannya tak lama setelah istrinya meninggal. Mungkin kehilangan yang dirasakan Baba begitu besar, kesakitan yang dirasakannya begitu dalam, sehingga dia tak sanggup membicarakan tentang ibuku. Mungkin keduanya benar. "Katanya, 'Aku sangat ketakutan.' Dan saya menanggapinya, 'Mengapa?,' lalu dia berkata, 'Karena aku tenggelam dalam kebahagiaan, Dr. Rasul. Kebahagiaan yang terlalu besar sungguh menakutkan.' Saat aku meminta dia untuk menjelaskan maksudnya, dia berkata, 'Kita hanya akan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

merasakan kebahagiaan sebesar ini jika kita akan kehilangan sesuatu/ dan saya mengatakan padanya, 'Sudah, diamlah. Jangan teruskan kekonyolan ini.'" Farid menggamit lenganku. "Kita harus pergi, Amir agha," bisiknya. Aku menarik tanganku. "Apa lagi? Apa lagi yang dikatakannya?" Ekspresi wajah pria tua itu melembut. "Saya harap saya bisa mengingatnya untuk Anda. Tapi saya tidak ingat lagi. Sofia sudah sangat lama meninggal dan yang tersisa dari ingatan saya tinggal puing-puing, seperti bangunanbangunan itu. Maaf." "Tapi saya hanya ingin tahu hal-hal kecil saja, apa pun itu." Dia tersenyum. "Saya akan mencoba mengingatnya. Anda bisa memegang janji saya, kembalilah kemari dan carilah saya." "Terima kasih," ucapku. "Terima kasih sebanyak-banyaknya." Aku mengucapkannya dengan tulus. Se-karang aku tahu bahwa ibuku menyukai kue kenari dengan madu dan teh panas, bahwa dia pernah menggunakan kata-kata "tenggelam dalam kebahagiaan," bahwa dia merasa cemas karena kebahagiaan yang dirasakannya. Aku mengetahui lebih banyak tentang ibuku dari pengemis tua yang berkeliaran di jalanan, bukan dari Baba. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat berjalan kembali ke truk, kami tidak berkomentar tentang hal yang akan dianggap sebagai kebetulan mustahil oleh siapa pun yang bukan warga Afgan, bahwa seorang pengemis jalanan temyata mengenal ibuku. Kami berdua tahu bahwa di Afgahnistan, terutama di Kabul, kebetulan seperti itu umum terjadi. Baba seringkah mengatakan, "Masukkan dua orang Afghan yang tidak saling mengenal dalam satu ruangan. Tunggu selama sepuluh menit, dan mereka akan menemukan hubungan mereka." Kami meninggalkan pria tua itu. Aku bermaksud untuk kembali ke sana di kemudian hari, menagih janjinya, menggali lebih dalam ingatannya tentang ibuku. Tapi itulah terakhir kali aku melihatnya. Kami menemukan panti asuhan yang baru di sisi utara Karteh Seh, di dekat Sungai Kabul yang telah mengering. Bangunan itu hanya berupa barak panjang dengan dinding retak-retak dan jendela tertutup papan. Dalam perjalanan menuju ke sana, Farid memberitahuku bahwa Karteh-Seh adalah salah satu lingkungan di Kabul yang menderita kerusakan terparah akibat perang dan, saat kami keluar dari truk, kami berhadapan dengan pemandangan yang sangat menyesakkan dada. Reruntuhan gedunggedung dan rumah-rumah kosong mengapit jalan yang dipenuhi lubangKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

lubang menganga akibat ledakan bom. Kami melewati rangka berkarat dari sebuah mobil yang tergelimpang, sebuah pesawat TV tanpa layar yang setengah terkubur dalam puing, dan tembok dengan grafiti ZENDA BAD TALIBAN! Panjang Umur Taliban yang dibuat dengan cat semprot hitam. Seorang pria pendek, kurus, botak, dan berjanggut kelabu panjang membuka pintu untuk kami. Dia mengenakan jaket kumal dari bahan tweed, kopiah, dan kacamata yang salah satu lensanya retak bertengger di ujung hidungnya. Di balik kacamatanya, bola matanya yang hitam menatapku dan Farid bergantian. "Assalamu 'alaikum," sapanya. "Waalaikumussalam," jawabku. Aku menunjukkan foto Polaroid yang kubawa pada pria itu. "Kami men-cari anak ini." Dia melirik sekilas foto itu. "Maaf. Saya tidak pernah melihat anak ini." "Anda belum betul-betul melihat fotonya, Bung," sergah Farid. "Mengapa Anda tidak melihatnya dulu?" "Lotfan," aku menambahkan. Tolong. Pria itu mengambil foto di tanganku dari balik pintu yang setengah tertutup. Dia menatapnya selama beberapa saat. Menyerahkannya kembali padaku. "Tidak, maaf. Saya mengenali semua anak yang meng-huni panti asuhan ini dan saya belum pernah melihat anak itu. Sekarang, bila kalian

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berkenan, saya masih harus menyelesaikan banyak pekerjaan." Dia menutup pintu itu dan menguncinya Aku menggedor pintu itu dengan kedua tanganku. "Agha! Agha, tolong, bukalah pintunya. Kami tidak bermaksud menyusahkanmu." "Saya sudah memberitahu Anda. Anak itu tidak ada di sini," sahutnya dari balik pintu. "Sekarang, saya mohon kalian berdua segera pergi." Farid menghampiri pintu itu dan menempelkan keningnya di sana. "Bung, kami tidak ada hubungannya dengan Taliban," ujamya dengan suara lirih yang menunjukkan kewaspadaan. "Kawan saya ini ingin membawa anak itu ke tempat yang aman." "Saya datang dari Peshawar," aku menambahkan. "Seorang teman baik saya mengenal pasangan dari Amerika yang mengelola rumah penampungan untuk anak-anak." Aku merasakan bahwa di balik pintu yang tertutup itu, pria itu mendengarkan penjelasanku. Dia berdiri di dalam, mendengarkan, tidak tahu harus berkata apa, terperangkap di antara kecurigaan dan harapan. "Dengar, saya mengenal ayah Sohrab," ujarku. "Namanya Hassan. Ibunya bemama Farzana. Anak itu memanggil neneknya dengan sebutan Sasa. Dia bisa membaca dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menulis. Dan dia pintar menggunakan katapel. Ada harapan untuk anak ini, Agha, sebuah jalan keluar. Saya mohon, bukalah pintu ini." Keheningan dari balik pintu menjawabku. "Saya paman tirinya," tambahku. Aku menunggu selama beberapa saat. Lalu aku mendengar bunyi kunci yang diputar. Wajah tirus pria itu pun terlihat. Dia menatapku dan Farid, lalu berkata padaku. "Ada satu hal yang salah dalam penjelasan Anda." "Apa?" "Dia ahli menggunakan katapel." Aku tersenyum. "Dia tidak bisa dipisahkan dari benda itu. Dia menyelipkannya di pinggang dan membawanya ke mana pun dia pergi." Pria itu memperkenalkan dirinya dengan nama Zaman. Dia adalah direktur panti asuhan itu. "Mari berbicara di kantor saya," katanya. Kami mengikutinya melewati koridor yang suram. Anak-anak dalam balutan sweter usang lalu-lalang tanpa alas kaki di sana. Kami melewati kamar-kamar dengan lantai berlapis karpet lusuh dan jendela tertutup lembaran plastik. Ranjang-ranjang baja, kebanyakan tanpa matras, memenuhi kamar-kamar itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Berapa jumlah anak yatim piatu yang tinggal di sini?" tanya Farid. "Jauh lebih banyak dari yang bisa kami tampung. Sekitar 250," Zaman mengangkat bahu. "Tapi tidak semuanya yatim piatu. Kebanyakan dari mereka ke-hi-langan ayah karena perang, dan ibu mereka tidak sanggup lagi menghidupi mereka karena Taliban tidak mengizinkan para wanita bekerja. Jadi para wanita itu membawa anak-anaknya kemari." Dia mengibaskan tangannya dan menambahkan dengan sedih, "Tempat ini lebih baik daripada jalanan, tapi tidak sebaik itu. Bangunan ini tidak layak huni dulunya, bangunan ini digunakan untuk gudang penyimpanan sebuah pabrik karpet. Jadi, tidak ada pemanas ruangan dan sumur yang ada pun dibiarkan mengering." Dia melanjutkan dengan lirih. "Sudah berulang kali saya memohon bantuan dana untuk menggali sumur baru pada Taliban. Mereka hanya mengurut tasbih dan mengatakan pada saya bahwa tidak ada uang yang bisa mereka berikan untuk saya. Tidak ada uang." Dia mencibir. Zaman menunjuk sederet ranjang. "Kami tidak punya cukup ranjang, dan tidak punya cukup matras untuk ranjang yang ada. Yang lebih buruk lagi, kami tidak punya cukup selimut." Dia menunjuk seorang gadis kecil yang sedang bermain lompat tali bersama dua anak lain. "Anda lihat gadis cilik Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

itu? Musim dingin yang lalu, anak-anak harus berbagi selimut. Kakak lakilakinya tewas kedinginan." Dia terus berjalan. "Saat terakhir kali saya memeriksa, persediaan beras yang kami miliki di gudang tidak akan mencukupi ke-butuhan kami selama sebulan, lalu, saat beras itu habis, anak-anak hanya akan mendapatkan roti dan teh untuk sarapan dan makan malam." Dia tidak menyebutkan makan siang. Dia berhenti berjalan dan berpaling menatapku. "Hanya ada sangat sedikit tempat berlindung di sini, hampir tidak ada makanan, tidak ada pakaian, tidak ada air bersih. Yang ada di tempat ini hanyalah anak-anak yang telah kehilangan masa kecil mereka. Tragis-nya, mereka adalah anak-anak yang beruntung. Kami telah menampung jauh lebih banyak anak daripada yang kami mampu dan setiap hari saya harus menolak para ibu yang membawa anak-anak mereka kemari." Dia melangkah mendekatiku. "Anda mengatakan bahwa Sohrab memiliki harapan? Semoga Anda mengatakan kebenaran, Agha. Tapi ... Anda mungkin terlambat." "Maksud Anda?" Zaman mengalihkan pandangan. "Ikuti saya." Yang disebut kantor direktur hanyalah ruangan dengan dinding retakretak, selembar tikar di lantai, sebuah meja, dan dua buah kursi lipat. Saat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Zaman mempersilahkanku duduk, aku melihat seekor tikus abu-abu melongokkan kepalanya dari sebuah lubang di dinding dan berlari melintasi ruangan. Aku berjingkat saat tikus itu mengendus sepatuku, lalu sepatu Zaman, dan berlari menuju pintu yang terbuka. "Apa maksud Anda mengatakan bahwa saya mungkin terlambat?" "Anda mau chail Saya akan menyeduhnya." "Tidak, terima kasih. Lebih baik kita bicara saja." Zaman menyandarkan badannya ke kursi dan menyilangkan lengannya di dada. "Yang akan saya sam-paikan pada Anda tidak akan menyenangkan. Bah-kan mungkin sangat berbahaya." "Untuk siapa?" "Anda. Saya. Dan, tentu saja, untuk Sohrab, jika sekarang belum terlambat." "Saya harus tahu," ujarku. Dia mengangguk. "Kalau itu yang Anda mau. Tapi, sebelumnya, izinkan saya bertanya: Sebesar apa keinginan Anda untuk menemukan keponakan Anda ini?" Aku memikirkan tentang perkelahian di jalanan yang melibatkan kami saat kami masih kecil. Setiap kali, Hassan maju melawan mereka untukku, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dua lawan satu, kadang-kadang bahkan tiga lawan satu. Aku hanya mengemyitkan wajah dan menontonnya, tergoda untuk ikut maju, namun selalu mengurungkannya, selalu mundur karena satu dan lain hal. Aku berpaling ke arah koridor, melihat sekelompok anak menari dalam lingkaran. Seorang gadis kecil, dengan kaki kiri teramputasi, duduk di atas selembar matras usang dan menonton mereka, tersenyum dan bertepuk tangan bersama anak-anak yang lain. Kulihat Farid juga memerhatikan mereka, tangannya yang cacat menggantung di samping tubuhnya. Aku teringat akan anak-anak Wahid dan ... aku menyadari sesuatu: Aku tidak akan meninggalkan Afganistan sebelum aku menemukan Sohrab. "Katakan pada saya di mana dia berada," ujarku. Zaman menatapku selama beberapa saat. Lalu dia mengangguk, mengambil sebatang pensil, dan mem-permainkannya. "Jangan sebut-sebut nama saya." "Anda bisa memegang janji saya." Dia mengetuk-ngetukkan pensilnya ke meja. "Meskipun Anda memegang janji, saya rasa saya akan menyesali hal ini seumur hidup, tapi mungkin saya memang pantas mendapatkannya. Saya memang seorang bajingan. Namun bila ada yang bisa dilakukan untuk Sohrab ... saya memberitahu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Anda karena saya percaya dengan Anda. Penampilan Anda menunjukkan bahwa Anda adalah seorang pria putus asa." Dia terdiam. "Ada seorang petinggi Talib," dia mengguman. "Dia berkunjung ke sini setiap satu atau dua bulan sekali. Dia membawa uang tunai, tak banyak, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali." Matanya menatapku sesaat, lalu menatap lantai. "Biasanya dia mengambil seorang anak perempuan. Tapi tidak selalu." "Dan kau mengizinkannya?" sergah Farid dari belakangku. Dia mengelilingi meja, mendekati Zaman. "Saya punya pilihan apa?" Zaman berteriak. Dia menjauh dari meja. "Kau direktur di sini," sahut Farid. "Tugasmu mengawasi anak-anak itu." "Saya tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya." "Kau menjual anak-anak itu!" bentakan Farid menggelegar. "Farid, duduklah! Biarkan dia bicara!" sergahku. Tapi aku terlambat. Seketika itu Farid melompati meja. Kursi Zaman melayang saat Farid menerjang dan menghimpit pria itu di lantai. Zaman meronta-ronta dan mengeluarkan jeritan tertahan. Kakinya menendang-nendang laci meja, membuatnya terbuka ssehingga kertas-kertas berhamburan di lantai. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku bergegas menghampiri mereka dan mendapati sebab teriakan Zaman tertahan: Farid mencekik leher-nya. Aku mencengkeram pundak Farid dengan kedua tanganku dan menariknya kuat-kuat. Dia membebas-kan dirinya. "Cukup!" bentakku. Namun wajah Farid merah padam dan tegang. "Aku akan membunuhnya! Jangan coba-coba hentikan aku! Aku akan mem-bunuh bajingan ini," ujamya dengan jijik. "Lepaskan dia!" "Aku akan membunuh dia!" Nada yang tersirat dalam suaranya memberitahuku bahwa kalau aku tidak segera menghentikannya, aku akan menyaksikan pembunuhan untuk pertama kalinya. "Anak-anak itu melihatmu, Farid. Mereka menyaksikan," ujarku. Aku merasakan otot-otot bahunya menegang dan, untuk sesaat, kukira dia akan tetap mencekik leher Zaman. Lalu dia membalikkan badan-nya, melihat anak-anak itu. Mereka berdiri terpaku di pintu, berpegangan tangan, beberapa dari mereka menangis. Aku merasakan ketegangan di bahu Farid berkurang. Dia melepaskan cekikannya di leher Zaman dan berdiri, menatap Zaman, yang sedang susah payah mencoba bemapas di lantai, dan meludahinya. Lalu dia berjalan ke pintu dan menutupnya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Zaman berusaha berdiri, mengusap darah yang membasahi bibimya dan ludah yang membasahi pipinya dengan lengan baju. Sambil terbatuk-batuk saat mencoba bemapas, Zaman mengenakan kembali kopiah dan kacamatanya, lalu menyadari bahwa kedua lensa kacamatanya telah retak, dan melepasnya. Dia membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Tidak satu pun dari kami berkata-kata. "Dia membawa Sohrab sebulan yang lalu," akhirnya suara parau Zaman memecah keheningan. Dia masih menutup wajahnya. "Kau menyebut dirimu direktur panti asuhan?" sahut Farid. Zaman menurunkan kedua tangannya. "Sudah lebih dari enam bulan saya tidak dibayar. Saya bangkrut karena menghabiskan seluruh tabungan saya untuk mendanai panti asuhan ini. Semua yang pernah saya miliki atau saya warisi sudah habis terjual untuk men-jalankan tempat mengenaskan ini. Anda pikir saya tidak punya keluarga di Pakistan dan Iran? Saya bisa saja lari seperti semua orang lain. Tapi saya tidak me-lakukannya. Saya tetap tinggal di sini. Saya bertahan karena mereka." Dia menunjuk ke pintu. "Kalau saya menolak permintaannya untuk mendapatkan satu orang anak, dia akan mengambil sepuluh orang anak. Jadi, saya membiarkannya membawa seorang anak dan membiarkan Allah menilai sikap saya. Saya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menelan mentah-mentah kehormatan saya dengan menerima uang kotor ... dari keparat itu. Lalu saya pergi ke pasar dan membeli makanan untuk anak-anak." Farid menundukkan kepala. "Apa yang terjadi pada anak-anak yang dibawanya?" tanyaku. Zaman memijit matanya dengan jari tengah dan ibu jarinya. "Kadangkadang mereka kembali." "Siapa dia? Bagaimana kami bisa menemukannya?" tanyaku. "Besok, pergilah ke Stadion Ghazi. Anda akan melihatnya saat pergantian babak tiba. Pria itu satu-satunya yang mengenakan kacamata hitam." Dia me-mungut kacamatanya yang pecah dan mempermain-kannya. "Sekarang, saya mohon kalian berdua me-ninggalkan tempat ini. Anakanak merasa ketakutan." Dia mengantarkan kami keluar. Saat truk kami meninggalkan tempat itu, aku melihat sosok Zaman dari kaca spion, berdiri di ambang pintu. Sekelompok anak-anak mengelilinginya, memegangi ujung kemeja-longgamya. Kulihat dia mengenakan kembali kacamata pecahnya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dua Puluh Satu Kami melintasi sungai dan melaju ke utara melalui Persimpangan Pashtunistan yang ramai. Baba sering membawaku ke tempat itu untuk menikmati kebab di Restoran Khyber. Rumah makan itu masih berdiri, namun pintunya tersegel, jendelanya luluh lantak, dan huruf R dan K di papan namanya tidak lagi terbaca. Aku melihat sesosok mayat di dekat restoran itu. Telah terjadi penggantungan. Tubuh seorang pria muda tergantung pada seutas tali yang diikatkan pada palang; wajahnya sembap kebiruan dan pakaian yang dia kenakan pada hari terakhir kehidupannya sobek di sana-sini dan bemoda darah. Hampir tak ada seorang pun yang memerhatikannya. Kami melaju perlahan melalui persimpangan itu menuju distrik Wazir Akbar Khan. Ke mana pun pandanganku tertuju, aku melihat gumpalan debu menyelimuti kota dan bangunan-bangunan bata yang kering kerontang. Beberapa blok di sebelah utara Persimpangan Pashtunistan, Farid menunjuk dua orang pria yang sedang bercakap-cakap dengan penuh semangat di sudut jalan yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dipenuhi manusia. Salah satu pria itu terpincang-pincang dengan satu kaki, sementara kakinya yang lain, yang buntung teramputasi dari lutut ke bawah, menggantung begitu saja. Dia mengempit kaki palsunya. "Kau tahu apa yang sedang mereka lakukan? Tawar menawar kaki." "Dia menjual kakinya?" Farid mengangguk. "Harganya mahal di pasar gelap. Cukup untuk memberi makan anak-anaknya selama beberapa minggu." Aku terkejut ketika melihat bahwa sebagian besar rumah di distrik Wazir Akbar Khan masih memiliki atap dan pagar. Bahkan, rumah-rumah itu masih berada dalam kondisi lumayan. Pepohonan masih mengintip dari balik pagar tembok, dan kerusakan pada jalannya tak separah di KartehSeh. Tanda-tanda nama jalan dengan huruf memudar, beberapa terpelintir dan ber-lubang-peluru, masih terbaca. "Ini tidak begitu parah," aku berkomentar. "Jangan kaget.Kebanyakan orang penting tinggal di sini sekarang." "Taliban?" "Mereka juga," jawab Farid. "Siapa lagi?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia mengemudikan truknya di sepanjang jalan lebar yang diapit trotoar bersih dan rumah-rumah berpagar di kedua sisinya. "Orang-orang yang ada di belakang Taliban. Otak sebenamya dari pemerintahan ini, kalau kita boleh menyebutnya begitu: Mereka berasal dari Arab, Chechen, Pakistan," ujar Farid. Dia menunjuk ke arah barat laut. "Jalan 15, di sebelah sana, disebut Sarak-e-Mehmana." Jalan Para Tamu. "Begitulah mereka menyebut diri mereka di sini, tamu. Kupikir, suatu hari nanti, tamu-tamu itu akan mengencingi karpet mereka sendiri." "Sepertinya di sana!" teriakku. "Di sebelah sana!" Aku menunjuk sebuah rumah yang dulu, saat aku masih kanak-kanak, kugunakan sebagai petunjuk. Kalau kau sampai tersesat, Baba sering mengingat-kanku, ingat saja, ada rumah bercat merah jambu di ujung jalan kita. Pada saat itu, rumah merah jambu dengan atap menjulang itu adalah satu-satunya rumah di lingkungan kami yang dicat dengan wama itu. Sekarang pun masih begitu. Farid membelokkan truknya ke jalan itu. Dan aku melihat rumah Baba. Kami menemukan seekor kura-kura mungil di balik rum-pun s wee t brier di halaman. Kami tidak tahu bagai-mana binatang itu bisa ada di sana, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tapi kami terlalu bersemangat untuk memikirkannya. Kami mengecat cangkangnya dengan wama merah menyala. Itu adalah gagasan Hassan, ide yang baik: Dengan begitu, kami tidak perlu bersusah payah mencari kura-kura itu bila ia berkeliaran di antara semak-semak. Kami berpura-pura menjadi dua orang penjelajah gagah berani yang menemukan monster purba raksasa di tengah hutan lebat, lalu menaklukkan monster itu dan memperton-tonkannya ke seluruh dunia. Kami meletakkan kura-kura itu dalam sebuah gerobak kayu, yang dibuat oleh Ali musim dingin sebelumnya untuk hadiah ulang tahun Hassan, menganggapnya sebagai sebuah kerangkeng baja raksasa. Lihatlah monster raksasa penyembur api ini! Kami berbaris di atas hamparan rumput sambil menarik gerobak itu, mengelilingi pohon apel dan ceri, yang kami anggap sebagai gedung-gedung pencakar langit dengan tinggi menjulang hingga ke awan; ribuan kepala melongok dari ribuan jendelanya untuk menikmati tontonan yang kami arak di sepanjang jalan. Kami berjalan melewati jembatan lengkung kecil yang dibangun Baba di dekat serumpun pohon murbei, kami menganggapnya sebagai jembatan besar yang menghubungkan dua kota, dan kolam kecil di bawahnya sebagai laut dengan ombak ber-golak. Kembang api menyala di atas pilar-pilar raksasa Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

jem-batan itu dan prajurit-prajurit bersenjata, yang ber-baris di kedua sisi jalan, memberi hormat pada kami. Untaian kabel-kabel baja pada jembatan itu terbentang hingga ke langit. Kura-kura kecil itu terguncang-guncang saat kami menyeret gerobak itu mengelilingi jalan masuk beralas batamerah di luar gerbang besi-tempa dan membalas penghormatan dari para pemimpin dunia yang berdiri dan bertepuk tangan. Kami, Amir dan Hassan, petualang termasyhur dan penjelajah terhebat di dunia akan menerima medali kehormatan untuk keberanian luar biasa kami .... + Aku berjingkat mendekati jalan masuk rumah itu. Sekarang, rerumputan tumbuh di sela-sela bata merahnya yang memudar karena terbakar matahari. Aku berdiri di hadapan gerbang rumah ayahku, merasa seperti orang asing. Aku meletakkan tanganku di jeruji pagar yang berkarat, mengingat masa kanak-kanakku, saat ribuan kali aku berlarian melewati gerbang itu untuk hal-hal yang sekarang sepertinya sepele, tapi kurasakan sangat penting waktu itu. Aku melongok ke dalam. Jalan masuk yang menuju ke halaman, tempat aku dan Hassan bergiliran jatuh saat belajar mengendarai sepeda pada suatu musim panas, tidak Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

selebar dan sepanjang yang kuingat. Gerumbul rumput tum-buh di selasela retakan aspal. Sebagian besar pohon poplar telah ditebang pohonpohon yang sering kupanjat bersama Hassan untuk memantul-mantulkan cahaya matahari dengan cermin ke rumah-rumah tetangga sementara beberapa yang masih berdiri tidak lagi berdaun. Tembok Jagung Merana tetap tegak berdiri meskipun aku tidak melihat lagi deretan jagung, baik merana ataupun tidak, di sepanjang tembok itu. Cat pada tembok itu telah mengelupas dan, di beberapa bagian, lapisan semennyalah yang mengelupas. Wama hamparan rumput di halaman telah menjadi secokelat gumpalan debu yang menyelimuti kota, diselingi oleh bagian-bagian gundul yang tak ditumbuhi tanaman sama sekali. Sebuah jip yang terparkir di jalan masuk itu menjadi pemandangan yang begitu sulit kuterima: Mustang hitam milik Babalah yang seharusnya terparkir di sana. Selama bertahun-tahun, Baba menyalakan mesin Mustang bersilinder delapan itu setiap pagi, membuatku terbangun dari tidur. Tetesan oli dari jip itu menodai jalan masuk rumah Baba, seperti noda tinta Rorschach. Sebuah gerobak tanpa muatan diletakkan di depan jip itu. Tidak tampak lagi sisa berumpun-rumpun mawar yang ditanam Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

oleh Baba dan Ali di sisi kiri jalan masuk itu. Yang ada hanya aspal yang penuh noda. Dan rumput-rumput liar. Farid membunyikan klaksonnya dua kali. "Kita harus pergi, Agha. Mereka akan melihat kita," panggilnya. "Sebentar, beri aku sedikit waktu lagi." Rumah itu tidak mirip lagi dengan rumah besar bercat putih yang ada dalam kenangan masa kecilku. Rumah itu tampak lebih kecil. Atapnya melesak dan dindingnya penuh retakan. Jendela-jendela ruang tamu, ruang depan, dan kamar mandi lantai atas semuanya pecah, digantikan, tanpa memedulikan keindahan, dengan lembaran plastik atau lempengan papan yang dipaku pada kusen-kusennya. Wama cat yang tadinya putih cerah telah memudar menjadi kelabu suram dan di beberapa bagian, lapisan semen pada dinding rumah itu telah mengelupas, menunjukkan susunan bata di baliknya. Anak tangga di depan rumah telah hancur. Seperti banyak hal lain di Kabul, rumah ayahku menjadi potret runtuhnya sebuah keagungan. Aku menemukan jendela kamar lamaku, di lantai dua, jendela ketiga di sebelah selatan pintu masuk utama rumah itu. Meskipun sudah berjinjit, aku tidak bisa melihat apa pun yang tersembunyi di balik jendela itu. 25 tahun sebelumnya, akulah yang berdiri di balik jendela itu, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tetesan air hujan membasahi kacanya dan uap dari napasku menempel di sana. Aku menyaksi-kan Hassan dan Ali memuat harta mereka ke dalam bagasi mobil ayahku. "Amir agha," Farid kembali memanggilku. "Sebentar lagi," aku menjawabnya. Desakan untuk memasuki rumah itu sungguh meng-gila. Aku ingin menginjakkan kakiku ke tangga depan, tempat Ali selalu meminta aku dan Hassan untuk membuka sepatu bot salju kami. Aku ingin menginjakkan kakiku ke ruang depan, menghirup campuran aroma kulit jeruk dan serbuk gergaji yang dimasukkan Ali ke dalam tungku pemanas. Aku ingin duduk di balik meja dapur, menikmati teh dan se-potong naan, mendengar Hassan menyanyikan lagu-lagu Hazara tua. Amir kembali membunyikan klakson. Aku berjalan kembali menuju Land Cruiser yang diparkir di bahu jalan. Farid duduk di balik kemudinya sambil mengisap rokok. "Ada satu tempat lagi yang harus kulihat," aku memberitahunya. "Bisakah kau melakukannya dengan cepat?" "Beri aku sepuluh menit." "Ya sudah." Lalu, saat aku beranjak pergi, Farid berkata: "Lupakan saja semuanya. Itu lebih mudah." "Untuk apa?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Untuk melanjutkan kehidupanmu," kata Farid. Dia menjentikkan rokoknya ke luar jendela. "Seberapa banyak lagi yang ingin kaulihat? Biarkan aku meringan-kan bebanmu: Tak ada satu pun dalam kenanganmu tentang Kabul yang bertahan. Yang terbaik adalah melupakan semuanya." "Aku tak ingin melupakan lagi," ujarku. "Beri aku sepuluh menit." + Dulu, aku dan Hassan bisa mendaki bukit di sebelah utara rumah Baba tanpa mengucurkan setitik keringat pun. Kami saling mendahului untuk mencapai puncaknya atau duduk di tebingnya untuk menikmati pemandangan bandara di kejauhan yang terlihat begitu indah. Kami menyaksikan pesawat-pesawat tinggal landas dan mendarat. Setelah itu, kami kem-bali ber-larian. Sekarang, saat aku mencapai puncak bukit yang curam dan berbatu itu, setiap tarikan napasku terasa bagaikan api. Keringat membanjiri wajahku. Aku berdiri terengah-engah selama beberapa saat, menunggu rasa nyeri di perutku menghilang. Lalu aku memeriksa kuburan telantar yang ada di sana. Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukannya. Kuburan itu masih ada di sana, begitu juga pohon delima tua itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku bersandar pada gerbang batu kelabu pemakaman itu. Di situlah Hassan menguburkan ibunya. Pagar besi tua yang menggantung pada engselnya telah tiada, dan batu-batu nisan tersembunyi di balik gerumbul tebal rumput liar yang memenuhi tempat itu. Sepasang burung gagak bertengger di pagar tembok pendek yang mengelilingi kuburan itu. Dalam suratnya, Hassan mengatakan bahwa pohon delima yang berdiri di sana sudah bertahun-tahun tak lagi berbuah. Saat melihat pohonnya yang gundul tanpa daun, aku meragukan pohon itu bisa kembali berbuah. Aku berdiri di bawah pohon itu, mengingat saat-saat kami berdua memanjatnya, duduk di cabang-cabangnya, kaki kami terayun-ayun, sinar matahari menerobos dedaunan dan menimpa wajah kami, menghasilkan mozaik cahaya dan bayangan. Aroma delima yang tajam menari dalam mulutku. Aku berlutut dan menyapukan tanganku pada batang pohon itu. Aku menemukannya. Pahatan itu telah menipis, hampir-hampir tak tampak lagi, namun masih di sana: "Amir dan Hassan. Sultan-Sultan Kabul." Aku meraba setiap lekukan huruf dengan jariku lalu mencongkel sepotong kulit kayu dari pahatan itu. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku duduk bersila di bawah pohon itu dan memandang ke arah selatan, menatap kota masa kecilku. Dulu, pucuk-pucuk pohon menyembul dari balik pagar tembok setiap rumah. Langit luas dan biru membentang, dan cucian yang tergantung pada jemuran berkilauan di bawah terpaan sinar matahari. Jika men-dengar-kan dengan saksama, teriakan pedagang buah, yang melewati distrik Wazir Akbar Khan beserta keledainya, akan terdengar: Ceri! Aprikot! Anggur! Menjelang senja, azan dari masjid Share-Nau akan terdengar panggilan shalat dari muazin untuk mereka yang beriman. Aku mendengar bunyi klakson dan melihat Farid melambai padaku. Sudah waktunya pergi. * Kami kembali melaju ke arah selatan, kembali ke Persimpangan Pashtunistan. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan beberapa mobil bak terbuka berwama merah dengan pria-pria muda berjanggut berjejalan di baknya. Setiap kali kami berpapasan dengan mereka, Farid membisikkan umpatan. Aku menyewa kamar di sebuah hotel kecil di dekat Persimpangan Pashtunistan. Tiga orang gadis kecil berpakaian persis sama gaun terusan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

hitam dan kerudung putih yang membalut tubuh kurus kering mereka dan seorang pria berkacamata berdiri di balik meja penerimaan. Pria itu menyebutkan $75 sebagai harga sewa kamar, harga yang luar biasa jika dibandingkan dengan penampilan menyedihkan tempat itu, namun aku tidak keberatan. Menetapkan harga sewa yang mencekik leher untuk sebuah rumah pantai di Hawaii adalah hal lain. Menetapkan harga yang sama tingginya untuk menghidupi anakanakmu adalah hal yang berbeda. Tidak tersedia air panas dan toilet yang retak mampat. Yang tersedia hanyalah sebuah ranjang baja berkasur tipis untuk satu orang, sehelai selimut usang, dan sebuah kursi kayu yang diletakkan di sudut ruangan. Kaca jendela yang menunjukkan peman-dangan di persimpangan telah pecah dan belum di-ganti. Saat aku meletakkan koperku, aku melihat noda darah yang telah kering menempel di tembok di balik ranjang. Aku memberikan sejumlah uang pada Farid dan dia segera keluar untuk membeli makanan. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa empat potong kebab panas, naan segar, dan semangkuk nasi putih. Kami duduk di ranjang dan menyantap habis makanan itu. Masih ada satu hal

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang tidak berubah sama sekali di Kabul: kebabnya masih menggiurkan dan selezat yang kuingat. Malam itu, aku berbaring di ranjang dan Farid berbaring di lantai, membungkus tubuhnya dengan selimut tambahan yang juga disewakan dengan harga selangit. Tak ada cahaya yang menerangi ruangan itu selain cahaya bulan yang masuk melalui kaca jendela yang pecah. Farid mengatakan bahwa kata pemilik penginapan itu, listrik tidak lagi mengaliri Kabul selama dua hari terakhir dan generator miliknya rusak. Kami mengobrol selama beberapa saat. Farid bercerita ten-tang masa kecil yang dijalaninya di Mazar-i-Sharif dan Jalalabad. Dia bercerita padaku tentang masa-masa dia dan ayahnya bergabung dengan pasukan jihad dan melawan Shorawi di Lembah Panjsher. Mereka terkatung-katung tanpa makanan dan untuk bertahan hidup, mereka harus menyantap belalang. Dia bercerita padaku tentang serangan helikopter yang menewaskan ayahnya, tentang ranjau darat yang merenggut nyawa kedua putrinya. Dia bertanya padaku tentang Amerika. Aku mengatakan padanya bahwa di Amerika, kau bisa memasuki toko kelontong dan membeli 15 atau 20 macam sereal. Daging domba yang dijual selalu segar dan susu selalu dingin, buah-buahan yang tersedia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sangat beragam dan air selalu bersih. Setiap rumah memiliki pesawat TV, dan setiap pesawat TV dilengkapi dengan remote control, dan kau bisa membeli antena parabola jika mau. Dengan alat itu, kau bisa menangkap siaran dari 500 saluran lebih. "500?" Farid terkaget-kaget. "500." Keheningan mengisi ruangan selama beberapa saat. Ketika aku berpikir bahwa dia telah tertidur, Farid tertawa. "Agha, tahukah kau apa yang dilakukan Mullah Nasruddin saat anak perempuannya pulang dan mengeluh bahwa suaminya telah memukul dia?" Aku bisa merasakan senyumnya dalam kegelapan dan aku pun tersenyum. Tak ada seorang Afghan pun di dunia yang tidak tahu sedikitnya beberapa lelucon tentang mullah konyol itu. "Apa?" "Dia memukul anaknya, lalu mengirimnya kembali untuk mengatakan pada suaminya bahwa Mullah Nasruddin bukan orang bodoh: Kalau bangsat itu berani memukul putrinya, sang Mullah akan mem-balasnya dengan memukul istrinya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku tertawa. Sebagian karena lelucon itu, sebagian karena mensyukuri bahwa selera humor Afghan tak pernah berubah. Perang terus berlangsung, Intemet ditemukan, dan sebuah robot telah melangkahkan kaki-nya di planet Mars, tapi di Afghanistan, kami masih saling bertukar lelucon Mullah Nasruddin. "Kau pernah dengar cerita saat sang mullah memikul bungkusan berat di pundaknya dan mengendarai keledainya?" tanyaku. "Tidak." "Seseorang di jalan bertanya padanya, mengapa dia tidak meletakkan bungkusan itu pada punggung keledainya? Dan dia berkata, "Itu tindakan yang kejam, aku sudah cukup berat untuk binatang malang ini." Kami bertukar lelucon Mullah Nasruddin hingga kehabisan, lalu keheningan pun kembali. "Amir agha?" ujar Farid, mengagetkanku yang telah jatuh tertidur. "Ya?" "Mengapa kau di sini? Maksudku, mengapa kau benar-benar datang kemari?" "Aku telah mengatakannya padamu." "Untuk anak itu?" "Untuk anak itu." Farid berguling di lantai. "Sulit dipercaya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kadang-kadang aku sendiri sulit memercayai bahwa aku berada di sini." "Tidak .... Yang ingin kutanyakan adalah, meng-apa anak itu? Kau datang sejauh itu dari Amerika untuk ... seorang Syi'ah? Ucapannya membuatku melupakan semua lelucon yang sebelumnya telah membuatku tertawa. Aku tidak lagi merasa mengantuk. "Aku lelah," jawabku. "Ayo kita tidur." Bunyi dengkuran Farid segera menggema dalam kamar kosong itu. Aku tetap terjaga, menyilangkan kedua tanganku di dada, menatap langit tanpa bintang melalui kaca jendela yang pecah, dan berpikir bahwa mungkin perkataan semua orang tentang Afghanistan memang benar. Mungkin Afghanistan memang sebuah tempat di mana harapan tak lagi ada. + Sorak-sorai penonton memenuhi Stadion Ghazi saat kami berjalan melewati lorong masuk. Ribuan orang memadati tribun. Anak-anak bermain di antara jajaran bangku dan saling mengejar naik turun tangga. Aroma kacang garbanzo dengan saus pedas menggantung di udara, berbaur dengan aroma kotoran binatang dan keringat. Aku dan Farid berpapasan dengan para pedagang asongan yang menjual rokok, biji pinus, dan biskuit. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Seorang anak laki-laki kurus yang mengenakan jaket dari bahan tweed menarik lenganku dan berbisik di telingaku. Dia menanyakan padaku kalau aku ingin membeli "foto-foto seksi." "Sangat seksi, Agha," matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan waspada mengingatkanku pada seorang gadis yang, beberapa tahun sebelumnya, mencoba menjual kokain padaku di distrik Tenderloin, San Francisco. Anak itu memperlihatkan bagian dalam jaketnya dan menunjukkan sekilas padaku "foto-foto seksinya": kartu-kartu pos iklan film India yang mem-perlihatkan aktris-aktris berpose sensual, meskipun memakai pakaian lengkap, dalam pelukan aktor-aktor utamanya. "Seksi sekali," ulang anak itu. "Tidak, terima kasih," aku meninggalkannya. "Kalau dia sampai tertangkap, mereka akan mencambuknya hingga ayahnya bangkit dari kubur," gumam Farid. Tidak ada nomor kursi, tentu saja. Tidak ada seorangpun yang dengan sopan menunjukkan pada kami bagian, lorong, baris, atau pun tempat duduk kami. Memang tak pernah ada, bahkan pada masa kejayaan monarki. Kami menemukan tempat duduk yang lumayan di bagian kiri

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tribun tengah, meskipun untuk mendapatkannya, Farid harus mendorong dan menyikut penonton lain. Dulu, pada tahun 1970-an saat Baba sering mengajakku menonton pertandingan sepak bola di sana rumput yang tumbuh di lapangan itu sangat hijau. Sekarang, lapangan itu berantakan. Lubang-lubang menganga di mana-mana, yang paling jelas terlihat adalah dua lubang yang cukup dalam di belakang gawang sebelah selatan. Tak ada sejumput rumput pun yang tumbuh di sana, yang ada hanya tanah. Saat kedua tim akhirnya memasuki lapangan semua pemainnya mengenakan celana panjang, meskipun udara sangat panas dan pertandingan dimulai, sangat sulit untuk mengikuti laju bola karena gumpalan debu, yang ditimbulkan oleh tendangan para pemain, memenuhi lapangan. Para Talib muda bersenjata cambuk berpatroli di antara bangku, menyerang siapa pun yang bersorak terlalu keras. Sesaat setelah wasit membunyikan peluit untuk turun minum, pertunjukan tambahan dimulai. Dua truk merah berbak terbuka, sama seperti yang kulihat di setiap penjuru kota sejak kedatanganku, memasuki stadion melalui gerbang. Kerumunan penonton ber-diri. Seorang wanita dengan tubuh terbungkus burqa hijau duduk di bak salah satu truk itu, sementara Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk yang lain. Kedua truk itu berjalan mengelilingi lapangan, perlahan-lahan, seolah-olah membiarkan seluruh penonton di stadion itu memerhatikan mereka. Efek yang timbul sesuai dengan keinginan mereka: Orang-orang menjulurkan leher mereka, menunjuk-nunjuk, berjinjit. Di sebelahku, jakun Farid tampak naik turun saat dia membisikkan sebuah doa. Kedua truk merah itu melaju ke tengah lapangan, terus berjalan menembus gumpalan debu. Cahaya matahari terpantul di baknya yang terbuka. Truk yang ketiga menghampiri kedua truk itu di ujung lapangan. Truk terakhir ini memuat sesuatu yang membuatku tiba-tiba menyadari kegunaan dua buah lubang yang ada di belakang gawang sebelah selatan. Mereka menurunkan muatan itu. Bisikan dan gumaman seketika dilontarkan kerumunan penonton. "Kau ingin tetap tinggal?" Farid bertanya dengan letih. "Tidak," jawabku. Seumur hidupku, aku belum pernah begitu ingin meninggalkan sebuah tempat seperti saat ini. "Tapi kita harus tetap di sini." Dua orang Talib dengan senapan Kalashnikov tersandang di bahu menolong pria yang matanya tertutup kain itu turun dari truk yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

pertama dan dua orang yang lain menolong wanita berburqa. Lutut wanita itu goyah dan dia pun tersungkur ke tanah. Kedua prajurit Talib itu menariknya, namun dia segera ter-sungkur kembali. Saat mereka mencoba menariknya kembali, wanita itu menjerit-jerit dan menendang-nendang. Seumur hidupku, tak akan pernah kulupakan jeritan itu. Lengkingan binatang liar yang mencoba membebaskan kakinya dari jebakan beruang. Dua Talib lain mendekati mereka dan menolong mereka menyeret wanita itu ke dalam salah satu dari kedua lubang sedalam dada itu. Berlawanan dengan sikap wanita itu, pesakitan yang lain, pria dengan mata ter-sekap itu, dengan tenang membiarkan para Talib memasukannya ke lubang yang lain. Sekarang, kedua pesakitan itu hanya tampak dari dada ke atas. Seorang ulama gemuk dan berjanggut putih dengan pakaian abu-abu berdiri di dekat gawang. Bunyi dehamnya terdengar melalui pengeras suara. Di belakangnya, wanita yang setengah tubuhnya telah terkubur itu tetap menjerit-jerit. Sang ulama melafalkan sebuah surat panjang dari AlQuran, suara sengaunya mengisi stadion yang tiba-tiba sunyi senyap. Aku teringat ucapan Baba kepadaku puluhan tahun sebelumnya: Mereka tidak melakukan apa pun kecuali menghitung butiran tasbih dan memamerkan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

hafalan isi kitab yang ditulis dalam bahasa yang tidak mereka pahami. Kuharap Tuhan melindungi kita semua jika suatu saat nanti Afgha-nistan jatuh ke tangan mereka. Setelah selesai membaca doa, ulama itu berdeham. "Saudara-saudaraku!" teriaknya dalam bahasa Farsi. Suaranya membahana di seluruh stadion itu. "Hari ini kita berkumpul di sini untuk menegakkan syariat. Hari ini kita berkumpul untuk menegakkan keadilan. Hari ini kita berkumpul karena kehendak Allah dan sabda Nabi Muhammad, semoga kedamaian selalu menyertainya, dijalankan dengan baik di sini, di Afghanistan tanah air kita tercinta. Kita mendengarkan dan mematuhi perintah Allah karena kita hanyalah makhluk yang tak berarti jika dihadapkan dengan kebesaranNya. Dan bagaimanakah bunyi perintah Tuhan? Saya menanyakannya pada Anda! BAGAI-MANA BUNYI PERINTAHNYA? Allah memerintahkan pada kita untuk menjatuhi setiap pendosa dengan hukuman yang pantas bagi mereka. Itu bukan kata-kata saya, ataupun kata-kata saudara saya. Itu adalah kata-kata dari TUHAN!" Tangannya yang kosong menunjuk ke langit. Kepalaku berdenyut dan panas matahari terasa terlalu menyengat. "Setiap pendosa harus dijatuhi hukuman yang pantas bagi mereka!" ulama itu mengulang perkataannya pada pengeras suara, lalu berbicara dengan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

nada lebih rendah, menekankan setiap kata yang diucapkan-nya dengan perlahan-lahan, dengan dramatis. "Dan hukuman apa, saudara-saudaraku, yang pantas bagi seorang pezina? Bagaimana kita harus menghukum mereka yang menodai kesucian pemikahan? Bagaimana kita harus memperlakukan mereka yang telah meludahi wajah Tuhan? Bagaimana kita harus membalas mereka yang telah melemparkan batu pada jendelajendela rumah Tuhan? KITA HARUS MEMBALAS DENGAN MELEMPARKAN KEMBALI BATU ITU PADA MEREKA!" suaranya menggelegar melalui pengeras suara. Bisikan menyebar pada kerumunan penonton. Di sebelahku, Farid menggelengkan kepalanya. Lalu, seorang pria jangkung dan berdada bidang keluar dari salah satu truk. Saat melihat pria itu, para penonton seketika bersorak. Kali ini, tak seorang pun dipukul karena berteriak terlalu keras. Pakaian putih cemerlang yang dikenakan pria jangkung itu ber-kilauan di bawah sinar matahari. Semilir angin me-main-kan ujung pakaian longgamya. Pria itu membentangkan kedua tangannya, seperti Yesus yang terpaku pada salib. Saat dia menghadap ke bagian kami, aku melihat sebuah kacamata bulat Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berlensa gelap-seperti yang biasa dikenakan John Lennon bertengger di hidungnya. "Dia pasti pria yang kita cari," kata Farid. Talib jangkung berkacamata hitam itu berjalan mendekati tumpukan batu yang mereka turunkan dari truk ketiga. Dia memungut sebongkah dan menunjukkannya pada penonton. Sorak-sorai menyurut, digantikan oleh gumaman dan bisikan yang seketika memenuhi bangunan itu. Aku melihat ke sekelilingku dan mendapati bahwa semua orang terdiam. Talib yang, anehnya, tampak bagai seorang pelempar bola pada pertandingan bisbol, melemparkan batu di tangannya pada pria yang matanya tertutup. Batu itu mengenai bagian samping kepalanya. Rekan wanitanya kembali menjerit. Kerumunan penonton serentak meneriakkan "OH!" Aku menutup mataku dan menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Teriakan "OH!" dari para penonton mengikuti setiap batu yang dilemparkan pada kedua pesakitan itu. Keadaan itu berlangsung cukup lama. Saat teriakan penonton berhenti, aku bertanya kepada Farid, apakah pertunjukan itu telah selesai. Farid menjawab dengan kata tidak. Mungkin tenggorokan para penonton telah letih karena terlalu banyak dipakai berteriak. Aku tak

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tahu berapa lama lagi aku harus duduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Aku tahu bahwa aku baru membuka mataku saat aku mendengar orang-orang di sekelilingku ber-kata, "Mord? Mord? Apa dia sudah mati?" Yang tersisa dari pria dalam lubang itu hanyalah cabikan daging dan genangan darah. Kepalanya menjorok ke depan, dagunya menempel di dadanya. Talib berkacamata John Lennon menunduk menatap pria lain yang berjongkok di dekat lubang, mempermainkan sebongkah batu di tangannya. Pria yang sedang berjongkok itu menggunakan stetoskop untuk memeriksa para pesakitan. Dia menempelkan ujung alat itu pada dada si pria, melepaskannya, dan menggelengkan kepalanya pada Talib berkacamata. Para penonton mengerang. John Lennon berjalan kembali mendekati tumpukan batu. Saat semua itu berakhir, saat mayat-mayat berlumuran darah itu telah dilemparkan dengan sembarangan dan secara terpisah ke bak kedua truk merah, beberapa pria muncul sambil membawa sekop dan dengan cepat menutup kedua lubang itu. Salah satu dari mereka secara sambil lalu mencoba menutup noda darah besar bekas pertunjukan itu dengan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menendangi tanah di sekelilingnya. Beberapa menit kemudian, kedua tim kembali memasuki lapangan. Babak kedua dimulai. Pertemuan kami dijadwalkan pada pukul tiga siang itu. Betapa cepatnya janji temu itu disepakati mengejutkanku. Aku telah memperkirakan penundaan, setidaknya interogasi yang berkepanjangan, mungkin suratsuratku pun akan diperiksa. Namun aku teringat bahwa di Afghanistan, masalah seresmi apa pun akan ditangani dengan tidak resmi. Sekarang pun masih begitu: yang harus dilakukan Farid hanya-lah mengatakan pada seorang Talib bersenjata cambuk bahwa kami harus mendiskusikan masalah pribadi dengan pria yang berbaju putih itu. Mereka berdua bertukar bicara. Talib bersenjata cambuk itu mengangguk dan berteriak dalam bahasa Pashtu pada seorang remaja yang ada di lapangan, yang segera ber-lari menuju ke gawang selatan, di mana Talib berkaca mata itu sedang bercakap-cakap dengan ulama gemuk yang telah memberikan khutbah. Mereka bertiga berbicara. Aku melihat pria berkacamata itu melihat ke arahku. Dia mengangguk, lalu membisikkan sesuatu ke telinga pembawa pesannya. Remaja itu meneruskan pesannya pada kami. Sudah ditetapkan, saat itu juga. Pukul 15.00. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dua Puluh Dua Farid menghentikan Land Cruisemya di depan jalan masuk sebuah rumah besar di distrik Wazir Akbar Khan. Dia memarkir truknya di bawah naungan pohon willow yang mencuat dari balik pagar tembok sebuah rumah mewah yang terletak di Jalan 15, Sarak-eMehmana, Jalan Para Tamu. Dia mematikan mesin dan kami duduk diam selama beberapa saat, mendengarkan dentingan mesin yang sedang mendingin. Tidak satu pun dari kami berkata-kata. Farid menggoyangkan badannya dan memainkan kunci yang masih menggantung pada tempatnya. Aku bisa melihat bahwa dia sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu padaku. "Sepertinya aku akan menunggumu di mobil," akhirnya kerisauannya terucapkan. Nadanya menunjukkan permohonan maaf. "Ini urusanmu sekarang. Aku" Aku menepuk-nepuk lengannya. "Kau telah melakukan jauh lebih banyak daripada yang telah kubayarkan. Aku tidak mengharapkan kau ikut

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

denganku." Tapi aku berharap aku tidak harus memasuki rumah itu sendirian. Dan meskipun aku telah mengetahui keburukan Baba, aku berharap dia berada di sisiku saat ini. Baba akan menghambur melalui pintu depan rumah itu dan menuntut untuk dipertemukan dengan siapa pun yang berwewenang, mengencingi janggut setiap orang yang menghadang jalannya. Tapi Baba telah lama meninggal, terkubur di pemakaman Afghan kecil di lahan pemakaman Hayward. Baru sebulan yang lalu, aku dan Soraya meletakkan buket bunga daisy dan freesia di dekat nisannya. Aku sendirian. Aku keluar dari truk dan berjalan mendekati gerbang kayu di depan rumah itu. Aku mencoba membunyikan bel, namun bel itu mati aliran listrik masih terputus dan aku harus menggedor gerbang itu. Sesaat kemudian, aku mendengar percakapan pendek dari balik gerbang dan dua orang penjaga yang menenteng Kalashnikov membuka gerbang itu. Aku melirik Farid yang duduk di truk dan menggerakkan bibirku, aku akan kembali, meskipun sedikit pun aku tak yakin bahwa aku akan kembali. Kedua pria bersenjata itu memeriksaku dari u-jung kepala hingga ujung kaki, membuka kakiku, meraba selangkanganku. Salah satu dari mereka Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengatakan sesuatu dalam bahasa Pashtu dan mereka berdua tertawa. Kami melewati gerbang. Kedua penjaga itu mengawalku melintasi halaman yang terpangkas rapi, melewati deretan bunga geranium dan semak-semak pendek yang ditanam di sepanjang sisi pagar tembok. Pompa air bertangkai model kuno berdiri di sudut halaman itu. Dulu, pompa air seperti itu ada di rumah Kaka Homayoun di Jalalabad bersama si kembar, Fazila dan Karima, aku seringkah menjatuhkan kerikil ke dalamnya, mendengarkan bunyi "plung" yang dihasilkannya. Kami menaiki beberapa anak tangga dan memasuki rumah besar yang lengang. Kami melewati ruang depan-sehelai bendera Afghan berukuran besar menutupi salah satu sisi ruangan-dan kedua pria itu membawaku ke lantai atas, memasuki sebuah ruangan dengan dua sofa kembar berwama hijau daun mint dan sebuah pesawat TV layar-lebar yang diletakkan di sudut. Selembar sajadah bergambar Kota Makkah dipakukan ke dinding. Pria yang lebih tua menggerakkan moncong senapannya, mengisyaratkan padaku untuk mengambil tempat di sofa. Saat aku duduk, mereka meninggalkan ruangan.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku menyilangkan kakiku. Meluruskannya kembali. Tanganku yang berkeringat menempel di lututku. Apakah aku terlihat gugup? Aku menangkupkan kedua tanganku, memutuskan bahwa penampilan macam ini akan membuat kesan yang kutimbulkan lebih buruk. Pembuluh darah di keningku berdenyut. Aku merasa begitu terasing. Berbagai pikiran melintas di benakku, tapi aku tak ingin berpikir sama sekali, karena bagian dari diriku yang tetap sadar tahu bahwa keber-adaanku di tempat ini disebabkan oleh kegilaan. Aku berada ribuan kilometer dari istriku, duduk dalam ruangan yang terasa bagaikan penjara, menantikan kemunculan seorang pria yang kulihat telah mencabut dua nyawa pada hari yang sama. Kegilaanlah penyebabnya. Lebih buruk lagi, ini sungguh tidak bertanggung jawab. Tidak mustahil tindakanku ini juga akan berarti membiarkan Soraya menjadi seorang biwa, janda, pada umumya yang ke-36. Ini bukan dirimu, Amir, kata sebagian dari diriku. Kau seorang pengecut. Memang itulah sifat dasarmu. Dan itu tidaklah buruk karena kau mengakui bahwa dirimu pengecut; itu sisi baikmu. Kau tidak menipu dirimu sendiri. Tidak ada salahnya menjadi seorang pengecut selama kau tetap berhati-hati. Tapi bila

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

seorang pengecut mulai melupakan siapa dirinya .... Semoga Tuhan melindunginya. Sebuah meja kopi terletak di dekat sofa. Kaki meja itu menyilang, berbentuk X, dengan bola-bola logam seukuran biji kenari terpasang di pertemuan kaki-kakinya. Aku pernah melihat meja seperti itu sebelumnya. Di mana? Lalu aku teringat: di sebuah kedai teh yang ramai di Peshawar, pada malam saat aku berjalan-jalan. Semangkuk buah anggur merah disajikan di atas meja itu. Aku mencabut sebutir dan melemparkannya ke mulutku. Aku harus menyibukkan diriku dengan sesuatu, apa pun, untuk membungkam suara-suara di kepalaku. Anggur itu manis. Aku menyantap sebutir lagi, tanpa menyadari bahwa itu adalah makanan padat terakhir yang akan kumakan dalam jangka waktu lama. Pintu membuka dan dua penjaga bersenjata itu kembali, mengapit Talib jangkung berpakaian putih itu. Kacamata hitam model John Lennon masih bertengger di hidungnya, membuat pria itu terlihat bagaikan seorang guru mistis New Age berdada bidang. Dia duduk di hadapanku dan meletakkan tangannya di dudukan lengan. Selama beberapa saat, dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya duduk di Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sana, menatapku, mengetuk-ngetukkan jari salah satu tangannya ke kursi, sementara tangannya yang lain mengurut butiran-butiran tasbih berwama turkois. Dia telah menambahkan rompi hitam di atas kemeja putihnya, dan sebuah arloji emas terpasang di pergelangan tangannya. Aku melihat setitik noda darah di lengan baju kirinya. Menarik sekali bahwa dia tidak mengganti bajunya setelah melakukan eksekusi siang tadi; sungguh mengerikan. Secara teratur, dia mengangkat tangannya yang kosong dan menggerakkan jari-jarinya yang tebal di udara. Seolah-olah dia sedang memanjakan binatang piaraan yang tak terlihat; membelainya dengan lembut, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan. Salah satu lengan kemejanya terangkat dan aku melihat bekas-bekas luka di bawah sikunya sama seperti yang kulihat dimiliki oleh para tunawisma yang hidup di gang-gang suram San Francisco. Kulit pria itu jauh lebih pucat daripada kedua penjaga tadi, pucat pasi, dan butiran-butiran kecil keringat berkilauan di keningnya, tepat di bawah serbannya. Janggutnya, sepanjang dada seperti yang lain, juga berwama lebih terang. "Assalamu 'alaikum," sapanya. "Waalaikumussalam." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kau bisa melepasnya sekarang, kau tahu," katanya. "Maaf?" Dia memberikan isyarat dengan tangannya pada salah satu penjaga bersenjata itu. Rrrriiiip. Seketika aku merasakan pipiku tersengat dan penjaga itu melempar-lemparkan janggutku sambil terpingkal-pingkal. Talib berbaju putih itu menyeringai. "Salah satu dari yang terbaik yang kulihat akhir-akhir ini. Tapi jauh lebih baik begini, kupikir. Benar bukan?" Dia memutar-mutar dan menjentik-jentikkan jarinya, membuka dan menutup kepalannya. "Jadi, Insya Allah, kau menikmati pertunjukan hari ini?" "Cuma begitu sajakah?" aku mengusap-usap pipiku, berharap suaraku tidak menunjukkan ledakan ketakutan yang kurasakan dalam diriku. "Menegakkan keadilan pada masyarakat adalah pertunjukan terhebat, saudaraku. Drama. Ketegangan. Dan, yang terbaik di antara semuanya, pendidikan massal." Dia menjentikkan jarinya. Penjaga yang lebih muda menyalakan sebatang rokok untuknya. Talib itu tertawa. Menggumam pada dirinya sendiri. Tangannya gemetar dan dia hampir menjatuhkan rokoknya. "Tapi kalau kau ingin melihat pertunjukan yang sebenamya, seharusnya kau bersamaku saat di Mazar. Agustus 1998, tepatnya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Maaf?" "Kami membiarkan mayat-mayat mereka bergelimpangan di luar untuk santapan anjing, kau tahu." Aku tahu maksud yang ingin dia capai. Dia berdiri, mengelilingi sofa sekali, dua kali. Lalu duduk kembali. Dia berbicara dengan cepat. "Dari pintu ke pintu, kami memanggil setiap pria dan anak laki-laki. Kami menembak mereka saat itu juga, di depan keluarga mereka. Biarkan saja mereka melihat. Biarkan mereka ingat siapa diri mereka, di mana tempat mereka." Napasnya mulai terengah-engah. "Kadang-kadang, kami mendobrak pintu-pintu dan mema-suki rumah mereka dengan paksa. Dan ... aku ... aku memberondongkan peluru senapan mesinku ke seluruh ruangan. Aku menembak dan menembak hingga asap membutakan mataku." Dia mencondongkan tubuhnya padaku, seperti seseorang yang ingin membisikkan suatu rahasia. "Kau tidak akan mengerti makna kata "pembebasan" hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan penuh target, membiarkan pelurumu melayang, membebaskan dirimu dari rasa bersalah dan penyesalan, mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik, dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

perpanjangan tangan Tuhan. Itu mengesankan." Dia mencium tasbihnya, lalu mengangkat kepalanya. "Kau ingat itu, Javid?" "Ya, Agha sahib," jawab penjaga yang lebih muda. "Bagaimana mungkin saya melupakannya?" Aku membaca berita di surat kabar tentang pembantaian kaum Hazara di Mazar-i-Sharif. Peristiwa itu terjadi beberapa saat setelah Taliban mengambil alih Mazar, salah satu dari kota-kota terakhir yang jatuh ke tangan mereka. Soraya menunjukkan artikel itu padaku setelah kami menyelesaikan sarapan; wajahnya pucat pasi. "Dari pintu ke pintu. Kami hanya beristirahat untuk makan dan shalat," kata Talib itu. Dia mengatakannya dengan senang, seperti seseorang yang sedang bercerita tentang pesta besar yang dihadirinya. "Kami meninggalkan mayat-mayat itu di jalan, dan kalau keluarga mereka mencoba menyelinap untuk menyeret kembali mayat-mayat itu ke rumah mereka, kami tak akan ragu menembak mereka. Kami membiarkan mayatmayat itu menjadi santapan anjing. Daging anjing hanya cocok untuk anjing." Dia melumat rokoknya. Memijat matanya dengan tangannya yang gemetar. "Kau datang dari Amerika?" "Ya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Bagaimana kabar pelacur itu akhir-akhir ini?" Tiba-tiba aku merasa ingin kencing. Aku berdoa semoga rasa itu segera berlalu. "Aku mencari seorang anak laki-laki." "Tidakkah semua orang begitu?" ujamya. Pria-pria bersenjata Kalashnikov itu tergelak. Gigi mereka bemoda hijau karena naswar. "Aku tahu dia ada di sini, denganmu," jawabku. "Nama anak itu Sohrab." "Aku akan menanyakan sesuatu padamu: Apa yang kaulakukan dengan pelacur itu? Mengapa kau tidak tinggal di sini, dengan saudara-saudara Muslimmu, mengabdi pada negaramu?" "Sudah lama sekali aku meninggalkan negeri ini," hanya itulah jawaban yang bisa kuberikan, kepalaku terasa begitu panas. Aku menempelkan kedua lututku, mati-matian menahan keinginan kencing yang menderaku. Talib itu berpaling pada kedua penjaga yang berdiri di dekat pintu. "Apa dia menjawab pertanyaanku?" tanyanya pada mereka. "Tidak, Agha sahib," mereka menjawab serentak sambil tersenyum. Dia mengembalikan tatapannya padaku. Mengangkat bahunya. "Ada orang-orang dalam lingkaranku yang meyakini bahwa meninggalkan watan saat ia paling membutuhkanmu sama saja dengan pengkhianatan. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bisa membuatmu ditahan karena tuduhan pengkhianatan, bahkan membuatmu di-hukum tembak. Apa ini membuatmu ketakutan?" "Aku kemari hanya untuk anak itu." "Apa ini membuatmu ketakutan?" "Ya." "Memang seharusnya begitu," katanya. Dia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Melumat rokoknya. Aku memikirkan Soraya. Itu membuatku sedikit tenang. Aku memikirkan tanda lahimya yang berbentuk sabit, lekuk anggun lehemya, dan matanya yang bercahaya. Aku memikirkan malam pemikahan kami, saat kami saling menatap bayangan kami dari cermin di bawah kerudung, dan pipinya yang merona saat aku membisikkan kata cinta padanya. Aku mem-bayangkan saat kami berdansa diiring lagu Afghan tua, berputar-putar, semua ?rang memerhatikan kami dan bertepuk tangan, wama-wama dalam bunga, gaun, tuksedo, dan wajah-wajah yang tersenyum, berbaur di sekeliling kami. Talib itu mengatakan sesuatu. "Maaf?" "Kataku, apa kau mau melihatnya? Kau mau melihat anakku itu?" Bibir bagian atasnya membentuk cibiran saat dia mengatakannya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya." Salah satu penjaga meninggalkan ruangan. Aku mendengar bunyi pintu terbuka di kejauhan. Penjaga itu berbicara, dengan keras, dalam bahasa Pashtu. Lalu, seseorang berjalan, gemerincing lonceng meningkahi setiap langkahnya. Aku teringat akan Pria Monyet yang seringkah kucari-cari bersama Hassan di sepanjang Shar-e-Nau. Kami memberinya satu rupia dari uang saku kami, dan dia pun menari untuk kami. Lonceng yang dipasang di leher monyetnya mengeluarkan geme-rincing yang sama dengan yang kudengar saat ini. Lalu pintu terbuka dan penjaga itu masuk sambil membawa sebuah tape stereo. Seorang anak laki-laki berpakaian pirhan-tumban biru safir berjalan di belakangnya. Kemiripannya membuatku terpana. Membuat pikiranku kacau. Foto Polaroid Rahim Khan tidak cukup untuk menunjukkannya. Anak itu memiliki wajah sebundar bulan seperti ayahnya, dagu mungilnya yang mencuat, telinga kecilnya yang mirip cangkang kerang, dan tubuhnya yang kurus. Wajah itu adalah wajah boneka Cina yang kuingat dari masa kecilku, wajah yang mengintip dari balik deretan kartu selama hari-hari musim dingin, wajah yang ada di balik kasa penahan nyamuk saat kami Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tertidur di atap rumah ayahku pada hari-hari musim panas. Rambutnya tercukur bersih, garis matanya dihitamkan dengan celak, dan pipinya berkilau dengan wama merah berlebihan. Saat dia berdiri di tengah ruangan, lonceng yang diikatkan di pergelangan kakinya berhenti berdenting. Dia memandangku. Terus memandangku. Lalu dia mengalihkan tatapannya. Menunduk pada kakinya yang telanjang. Salah satu penjaga menekan tombol pada tape dan musik Pashtu pun segera mengalun dalam ruangan itu. Tabla, harmonium, dan bunyi dilroba yang menyayat. Mungkin musik tidak mengakibatkan dosa selama didengarkan oleh Taliban. Ketiga Talib itu mulai bertepuk tangan. "Wah wah! Mas y a Allah!" mereka bersorak. Sohrab mengangkat lengannya dan berbalik perlahan. Dia berjinjit, berputar dengan luwes, menekuk lututnya, meluruskannya, dan kembali berputar. Dia menggetar-getarkan kedua tangannya yang mungil, menjentik-jentikkan jarinya, dan mengayun-ayunkan kepalanya seperti pendulum. Dia menghentak-hentak-kan kakinya ke lantai sehingga gemerincing loncengnya meningkahi irama tabla dengan harmoni sempuma. Dia tetap menutup matanya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Masya Allah!" mereka terus bersorak. "Shah-bas! Bravo!" Kedua penjaga itu bersiul dan tertawa. Talib berbaju putih itu menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti alunan musik, mulutnya sedikit terbuka. Sohrab terus menari berputar-putar, terus menutup matanya, terus menari hingga musik berhenti. Lon-ceng itu berdenting untuk terakhir kalinya saat dia menghentakkan kakinya bersamaan dengan nada terakhir lagu itu. Tubuhnya terpaku dalam pose setengah berputar. "Bia, bia, anakku," Talib itu memanggil Sohrab. Anak itu menghampirinya, kepalanya tertunduk, dan berdiri di hadapannya. Talib itu melingkarkan lengannya pada Sohrab. "Dia sangat berbakat, ya kan, anak Hazaraku!" ujamya. Tangannya membelai-belai pung-gung Sohrab, menyelip ke ketiaknya. Salah satu penjaga menyikut temannya sambil menyeringai. Talib itu menyuruh mereka untuk meninggalkan kami. "Ya, Agha sahib," mereka berkata serentak sebelum keluar dari ruangan itu. Talib itu memutar tubuh Sohrab sehingga dia meng-hadapku. Dia mengempitkan lengannya di sekeliling perut anak itu, menempelkan dagunya di bahunya. Sohrab terus menunduk, tapi sesekali dia mencuri pandang dengan malu-malu padaku. Tangan Talib itu mengelus-elus perutnya. Naik dan turun, perlahan, lem-but. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku penasaran," kata Talib itu, matanya yang semerah darah menatapku dari balik bahu Sohrab. "Apa yang terjadi pada Babalu tua?" Pertanyaan itu menghantamku, bagaikan sebuah palu menghantam keningku. Kurasakan wajahku memucat. Kakiku membeku. Lumpuh. Tawanya meledak. "Apa yang kaupikirkan? Kau memakai janggut palsu dan aku tak akan mengenalimu? Biar kuberitahu sesuatu tentang diriku yang, aku yakin, kau tak pernah tahu: Aku tidak pernah melupakan wajah seseorang. Tidak pernah." Dia menyapukan bibimya di telinga Sohrab, tatapannya terus ter-tuju padaku. "Kudengar ayahmu telah mati. Ck ck ck, dari dulu aku ingin menaklukkannya. Tapi sepertinya aku cuma bisa berhadapan dengan anaknya yang lemah." Lalu dia melepas kacamatanya dan menatapku tajam dengan mata birunya. Aku ingin bemapas, namun aku tak bisa melakukannya. Aku ingin berkedip, namun aku pun tak bisa melakukannya. Semua ini terasa begitu tak nyata tidak, bukan tak nyata, absurd sehingga aku tak mampu lagi bemapas, sehingga dunia di sekelilingku terasa membeku. Wajahku seperti terbakar. Ini benar-benar tidak ada dalam pikiranku. Seperti kehidupan masa kecilku, semua selalu datang pada saat yang tak pernah kuduga. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Namanya menyeruak dari ke-dalaman benakku dan aku tak ingin mengatakannya, karena seolah-olah, mengatakannya akan memunculkannya. Tetapi dia berada di hadapanku, benar-benar nyata, berjarak kurang dari tiga meter dariku, setelah berpuluh-puluh tahun. Lalu, nama itu mengalir keluar dari bibirku: "Assef." "Amir jan." "Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku. Aku tahu betapa bodohnya pertanyaanku itu, namun aku tidak bisa menemukan ucapan lain yang bisa kukatakan. "Aku?" Segaris alisnya terangkat. "Di sinilah tem-patku. Pertanyaannya, apa yang kaulakukan di sini?" "Aku sudah mengatakannya padamu," jawabku. Suaraku bergetar. Aku tidak ingin menunjukkan kepengecutanku, aku tidak ingin tampak mengerut di hadapannya. "Anak ini?" "Ya." "Mengapa?" "Aku akan menebusnya," jawabku. "Aku akan mengirim uangnya ke sini."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Uang?" tukas Assef. Tawanya melengking. "Kau pernah dengar tentang Rockingham? Australia Barat, secuil surga. Kau harus melihatnya; pantai memben-tang sepanjang bermil-mil. Lautnya hijau, langitnya biru. Orangtuaku tinggal di sana, di rumah pantai. Ada lapangan golf dan danau kecil di belakang rumah mereka. Ayahku main golf tiap hari. Ibuku, dia lebih suka main tenis-kata Ayah, pukulannya dahsyat. Mereka punya satu restoran Afghan dan dua toko perhiasan; semuanya sukses." Dia mencomot sebutir anggur. Menaruhnya, dengan penuh perhatian, di mulut Sohrab. "Jadi, kalau aku butuh uang, aku meminta mereka mengirimkannya untukku." Dia men-cium leher Sohrab. Anak itu berjengit, lalu kembali menutup matanya. "Lagipula, aku bertempur melawan Shorawi bukan karena uang. Aku bergabung dengan Taliban juga bukan karena uang. Kau mau tahu alasanku yang sesungguhnya?" Bibirku terasa begitu kering. Aku menjilatnya, namun lidahku pun kering. "Kau haus?" Assef tersenyum mengejek. "Tidak." "Menurutku kau haus." "Aku tidak haus," tukasku. Nyatanya, ruangan itu tiba-tiba terlalu panas bagiku-butiran-butiran keringat bermunculan dari pori-poriku, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menggelitiki kulitku. Benarkah ini terjadi? Benarkah aku duduk berhadapan dengan Assef? "Terserah," katanya. "Hmm, sampai di mana cerita-ku? Oh ya, mengapa aku bergabung dengan Taliban. Yah, seperti yang kautahu, aku bukan tipe orang yang religius. Tapi pada suatu hari, Tuhan menemuiku. Itu terjadi pada saat aku dipenjara. Kau mendengarkan?" Aku tidak menjawabnya. "Bagus. Akan kuceritakan," katanya. "Aku pernah dipenjara, di PolehCharkhi, beberapa saat setelah Babrak Karmal diangkat menjadi deputi perdana menteri pada 1980. Aku berakhir di tempat itu pada suatu malam, saat sepasukan prajurit Parchami menyerbu rumah kami dan menodongkan senjata padaku dan ayahku, memerintah kami untuk mengikuti mereka. Bajingan-bajingan itu tidak memberikan alasan, dan mereka tidak mau menjawab pertanyaan ibuku. Tapi itu bukan misteri lagi: semua orang tahu bahwa dalam komunisme, semua setara. Para prajurit itu berasal dari keluarga-keluarga miskin tanpa nama. Anjing-anjing yang sama, yang saat Shorawi belum berkuasa tidak pantas menjilati sepatuku, sekarang menodongkan senjata padaku. Bendera Parchami tersemat di kerah baju mereka, memamerkan kejayaan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kecil mereka dalam menundukkan kaum borjuis. Mereka bertingkah seolah-olah mereka punya kelas. Itu sudah biasa terjadi: Mereka mengumpulkan orang-orang kaya, memasukkan mereka ke penjara, memamerkan prestasi mereka pada para kamerad. "Jadi, mereka membagi kami dalam kelompok enam orang dan menempatkan setiap kelompok dalam sebuah sel yang hanya sebesar kulkas. Setiap malam, komandan mereka-pria berdarah setengah Hazara setengah Uzbek yang baunya seperti keledai busuk menyeret seorang tawanan keluar dari sel dan memukulinya hingga keringat membasahi wajahnya yang penuh lemak. Lalu dia menyalakan sebatang rokok, meregangkan badannya, dan pergi begitu saja. Malam berikutnya, dia memilih tawanan yang lain. Suatu malam, dia memilihku. Dia benar-benar menjatuh-kan pilihannya pada saat yang tepat. Sudah tiga hari aku kencing darah. Batu ginjal. Kalau kau belum pernah merasakannya, percaya saja padaku, sakitnya tak terbayangkan. Ibuku juga pernah menderita penyakit ini. Katanya, melahirkan pun tidak sesakit itu. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Mereka menyeretku ke luar dan komandan mereka mulai menendangiku. Dia punya sepatu bot setinggi lutut bermoncong baja yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

khusus dipakainya setiap malam untuk menendangi tawanan, dan malam itu dia menggunakannya padaku. Aku menjerit dan menjerit dan dia terus saja menendangiku. Lalu, tiba-tiba, dia menendang perut bagian kiriku dan keluarlah batu itu. Begitu saja! Ah, lega sekali!" Assef terbahak. "Dan aku pun berteriak 'Allahu Akbar' dan dia menendangku lebih keras lagi. Aku mulai terpingkal-pingkal. Itu membuatnya marah dan memukulku lebih keras, dan semakin keras dia menendangiku, semakin keras aku tertawa. Saat mereka kembali melemparkanku ke dalam sel, aku masih tertawa. Aku terus terbahak-bahak karena tiba-tiba aku menyadari bahwa yang baru terjadi adalah sebuah pesan dari Tuhan: Dia ada di sisiku. Dia menjaga nyawa-ku karena suatu alasan. "Kau tahu, aku berhadapan dengan komandan itu di medan pertempuran beberapa tahun setelannya memang aneh cara kerja Tuhan. Aku menemukan pria itu di luar daerah Meymanah, darah terbuang dari tubuhnya gara-gara pecahan roket yang menancap di dadanya. Dia masih memakai sepatu bot yang sama. Aku bertanya padanya, apakah dia masih mengingatku. Dia bilang tidak. Aku mengatakan padanya hal yang sama dengan yang kukatakan padamu. Aku tak pernah melupakan wajah seseorang. Lalu aku menembak kemaluannya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sejak itu, aku menetapkan sebuah misi yang akan kujalani." "Misi apa?" Aku mendengar diriku mengatakannya. "Merajam pezina? Melecehkan anak-anak? Mencambuki wanita gara-gara memakai sepatu hak tinggi? Membantai kaum Hazara? Semuanya atas nama Islam?" Rentetan kalimat itu mengalir dari mulutku begitu saja dan tanpa kusangka, keluar saat aku belum sempat menarik tali kekangku. Aku berharap bisa menariknya kembali. Menelannya lagi. Tapi kata-kata itu telah keluar. Aku telah melanggar batas, dan secuil harapanku untuk keluar dari tempat ini hidup-hidup telah musnah bersamaan dengan meluncumya kata-kata itu. Keterkejutan melintas di wajah Assef, sekilas, lalu menghilang. "Aku tahu ini akan berakhir me-nyenangkan," katanya mencemooh. "Tapi ada hal-hal yang tak akan bisa dipahami pengkhianat seperti-mu." "Apa itu?" Assef menautkan alisnya. "Seperti kebanggaan pada penduduk negerimu, adat istiadatmu, bahasamu. Afghanistan bagaikan rumah indah yang diceceri sampah, dan seseorang harus membersihkannya." "Itukah yang kaulakukan di Mazar, dari pintu ke pintu? Membersihkan sampah?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tepat." "Di Barat, mereka punya istilah untuk hal itu," ujarku. "Mereka menyebutnya ethnic cleansing pembersihan etnis." "Betulkah?" wajah Assef berseri. "Ethnic cleansing. Aku menyukainya. Aku suka mendengar bunyinya." "Aku hanya menginginkan anak itu," aku mengatakannya lagi. Sohrab melirikku. Tatapannya adalah tatapan domba kurban. Juga celak di seputar matanya aku masih ingat, pada hari Idul Kurban, mullah yang melakukan pekerjaannya di halaman belakang rumah kami memulaskan celak di seputar mata domba dan memasukkan sebongkah gula kubus ke mulut domba itu sebelum dia menyembelihnya. Ku-rasa aku melihat permohonan yang tulus dalam matanya. "Katakan padaku alasannya," tukas Assef. Dia menggigit telinga Sohrab dengan lembut. Melepaskannya. Butiran keringat mengalir dari keningnya. "Itu urusanku." "Apa yang ingin kaulakukan dengannya?" katanya. Lalu dia tersenyum mencemooh. "Atau padanya." "Kau menjijikkan," sahutku. "Memangnya kau tahu? Apa kau pernah mencobanya?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku ingin membawanya ke tempat yang lebih baik." "Katakan padaku alasannya." "Itu urusanku," tukasku. Aku tidak tahu apa yang telah memberiku keberanian untuk bicara begitu ketus, mungkin kenyataan bahwa apa pun yang kulakukan, sudah pasti aku akan mati. "Aku bertanya-tanya," ujar Assef. "Aku bertanya-tanya, mengapa kau jauh-jauh datang kemari, Amir, jauh-jauh ke sini hanya untuk seorang Hazara? Meng-apa kau ada di sini? Apa alasanmu yang sebenamya?" "Aku punya alasanku sendiri," jawabku. "Terserah kalau begitu," Assef memelototiku. Dia mendorong punggung Sohrab, menghempaskan anak itu ke meja. Pinggul Sohrab membentur meja itu, mem-balikkannya, menumpahkan sepiring anggur yang ada di atasnya. Tubuh kecil Sohrab, didahului oleh wajahnya, menimpa butir-butir anggur itu. Bajunya bemoda ungu. Kaki meja itu sekarang menghadap ke langit-langit.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Bawa saja dia," ujar Assef. Aku membantu Sohrab berdiri, membersihkan sisa-sisa anggur yang lumat tertimpa tubuhnya, yang menempel di celananya seperti remis menempeli dermaga. "Sana, bawa dia," Assef menunjuk ke pintu. Aku meraih tangan Sohrab. Tangan itu begitu kecil, kulitnya kering dan berkapal. Dia menggerakkan jarinya, menautkannya ke tanganku. Aku melihat Sohrab yang ada di foto Polaroid itu, yang melingkar-kan lengannya ke kaki ayahnya. Mereka berdua ter-senyum. Lonceng di kaki Sohrab ber-gemerincing saat kami melintasi ruangan itu. Kami hanya berjalan hingga ke pintu. "Tentu saja," kata Assef dari balik punggung kami, "Aku tidak bilang kau bisa membawanya dengan cuma-cuma." Aku berpaling. "Apa maumu?" "Kau harus membelinya." "Apa maumu?" "Kita punya urusan yang belum terselesaikan, kau dan aku," ujamya. "Kau ingat, kan?" Dia tidak perlu khawatir. Aku tidak akan pernah melupakan hari setelah Daoud Khan menggulingkan Sang Raja. Di sepanjang kehidupanku sebagai Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

orang dewasa, setiap kali aku mendengar nama Daoud Khan, yang kulihat adalah Hassan sedang membidikkan ka-tapelnya ke wajah Assef, Hassan sedang mengatakan pada Assef bahwa orang-orang akan menjulukinya Assef Bermata Satu alih-alih Assef Goshkor. Aku ingat betapa aku merasa iri terhadap keberanian Hassan. Assef melarikan diri dari kami, bersumpah bahwa pada akhirnya, dia akan menaklukkan kami berdua. Hassan telah menjadi korban dari sumpahnya. Sekarang giliranku tiba. "Baiklah," ujarku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Aku tidak akan memohon padanya; itu hanya akan membuatnya makin berjaya. Assef memanggil para penjaga kembali. "Dengarkan aku," katanya pada mereka. "Sebentar lagi, aku akan menutup pintu itu. Lalu, aku dan dia akan menyelesaikan sedikit urusan dari masa lalu. Apa pun yang kalian dengar, jangan masuk ke sini! Kalian mengerti? Jangan masuk ke sini!" Mereka mengangguk. Menatap Assef, lalu menatapku. "Ya, Agha sahib." "Setelah kami selesai, hanya salah satu dari kami yang akan keluar dari ruangan ini hidup-hidup," ujar Assef. "Kalau dia yang keluar, berarti dia pantas mendapatkan kebebasannya dan kalian harus membiarkan dia pergi, mengerti?" Penjaga yang lebih tua menggerak-gerakkan kakiknya. "Tapi Agha sahib-" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kalau dia yang keluar, kalian membiarkannya!" Assef membentak mereka. Kedua pria itu berjengit dan langsung menundukkan kepala. Mereka melang-kah menuju pintu. Salah satunya meraih Sohrab. "Biarkan dia di sini," kata Assef. Dia menyeringai. "Biarkan dia menonton. Pelajaran adalah hal yang berharga untuk anak laki-laki." Para penjaga berlalu. Assef meletakkan tasbih-nya. Meraih ke dalam saku rompi hitamnya. Aku tidak terkejut sedikit pun melihat benda yang dikeluarkannya dari sana: pelindung buku-jari baja. Rambutnya tertata dengan gel dan kumis Clark Gable melintang di atas bibimya yang tebal. Gelnya membasahi topi operasi berwama hijau yang dikenakannya, menghasilkan noda gelap berbentuk benua Afrika. Itulah yang kuingat tentangnya. Itu, dan bandul berbentuk kaligrafi Allah yang tergantung pada kalung yang melingkari leher gelapnya. Dia menunduk menatapku, berkata dengan cepat dalam bahasa yang tidak kupahami, Urdu, sepertinya. Tatapanku terus tertuju pada jakunnya yang naik dan turun, naik dan turun, dan aku ingin menanyakan padanya berapa umumya dia tampak sangat muda, wajahnya mirip dengan seorang aktor dalam opera sabun dari luar negeri

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tapi yang terus menerus mengalir dari mulutku adalah, aku telah melawannya, aku telah melawannya. Aku tidak tahu apakah aku telah melawan Assef dengan baik. Sepertinya tidak. Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Saat itulah pertama kalinya aku melawan seseorang. Seumur hidupku, aku belum pernah melayangkan tinjuku pada orang lain. Anehnya, ingatanku akan perkelahian dengan Assef tampak begitu nyata. Aku bisa mengingat saat Assef menyalakan musik sebelum memasang pelindung buku-jarinya. Entah kapan, selembar sajadah yang bergambar kota Makkah jatuh dari dinding dan menimpa kepalaku; debu yang tertimbun di sana mem-buatku bersin. Aku ingat saat Assef melumatkan butiran-butiran anggur ke mukaku, seringainya yang mengerikan, matanya yang semerah darah. Entah kapan, serbannya terlepas, membebaskan rambut pirang ikalnya yang sepanjang bahu. Dan akhirnya, tentu saja. Aku masih bisa mengingatnya dengan sempuma. Aku akan selalu mengingatnya. Terutama, yang kuingat adalah: Pelindung buku jarinya memantulkan cahaya sore hari; rasanya dingin saat dia memukulku pertama kali dan hangat oleh darahku pada pukulan selanjutnya. Saat dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menghempaskanku ke dinding, sebatang paku yang dulunya mungkin digunakan untuk menggantung sesuatu menusuk punggungku. Sohrab menjerit. Tabla, harmonium, dilroba. Aku tersungkur menabrak dinding. Pukulannya menghancurkan rahangku. Aku tersedak oleh gigiku sendiri, menelannya, memikirkan tentang betapa sia-sianya waktu yang kuhabiskan untuk menggosok gigiku dan membersihkannya dengan benang gigi. Kembali terhempas ke dinding. Aku terbaring di karpet, darah mengalir dari bibir atasku yang pecah, menodai wama ungu muda karpet itu. Rasa sakit menusuk perutku, dan aku bertanya-tanya, apakah aku akan bisa terus bemapas. Bunyi tulang rusukku yang patah menyerupai bunyi ranting pohon yang patah, yang kugunakan untuk bermain pedangpedangan dengan Hassan, seperti Sinbad dalam film-film kuno. Sohrab menjerit. Bagian samping wajahku membentur sudut meja televisi. Derakan tulang patah terdengar lagi, kali ini dari bawah mata kiriku. Sohrab menjerit. Jari-jari menjambak rambutku, mengangkat kepalaku, baja berkilauan. Sekaranglah saatnya. Bunyi tulang patah terdengar lagi, kali ini dari hidungku. Aku menggigit bibir untuk menahan rasa sakit, menyadari

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

bahwa tidak ada lagi gigi yang bisa kugunakan untuk menggigit. Dia menendangku. Sohrab menjerit. Entah kapan, aku mulai tertawa. Aku tertawa. Saat tertawa, aku merasa kesakitan, rahangku, rusukku, tenggorokanku. Tapi aku terus terpingkalpingkal. Dan semakin keras aku tertawa, semakin keras dia menendangku, menghantamku, mencakarku. "APA YANG LUCU?" Assef terus mencecarku setiap kali dia melayangkan serangan. Air liumya mendarat di mataku. Sohrab menjerit. "APA YANG LUCU?" Assef menuntut. Satu lagi tulang rusukku berderak, kali ini di sebelah kiri bawah. Yang membuatku tertawa adalah, untuk pertama kalinya sejak musim dingin 1975, aku merasakan kedamaian menyelimutiku. Aku tertawa karena aku tahu bahwa, tersembunyi dalam sebuah ceruk di kedalaman benakku, aku terus menunggu datangnya saat ini. Aku teringat saat aku berada di puncak bukit bersama Hassan, saat aku melemparinya dengan buah delima dan berusaha memancing kemarahannya. Dia hanya berdiri di hadapanku, diam, cairan merah seperti darah membasahi bajunya. Lalu dia mengambil buah delima yang kupegang dan melumatkannya di kening-nya. Kau puas sekarang? Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

desisnya. Kau merasa lebih baik? Aku tidak merasa bahagia dan tidak merasa lebih baik, tidak sama sekali. Tapi sekarang aku merasa-kannya. Tubuhku hancur lebur-seberapa hancur, aku belum tahu tapi aku merasa tersembuhkan. Akhirnya aku sembuh. Dan aku pun tertawa. Lalu akhir dari segalanya tiba. Kesembuhanku akan kubawa ke liang lahat. Aku terbaring di lantai sembari tertawa, Assef menduduki dadaku, wajahnya seperti wajah orang gila, rambut panjangnya terburai di dekat mukaku. Tangan-nya yang kosong mencengkeram leherku. Tangannya yang lain, yang dipasangi pelindung buku jari baja, bersiap meluncur dari atas bahunya. Dia menaikkan kepalannya lebih tinggi, mempersiapkannya untuk serangan selanjutnya. Lalu: "Bas." Suara yang ringan. Kami berdua menatapnya. "Saya mohon, jangan teruskan." Aku teringat akan perkataan direktur panti asuhan saat dia membuka pintu untukku dan Farid. Siapa nama-nya? Zaman? Dia tidak bisa dipisahkan dari benda itu, begitu katanya. Dia menyelipkannya di pinggang dan membawanya ke mana pun dia pergi. "Jangan teruskan." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Airmata membasahi celaknya, melunturkannya, mengalirkan cairan hitam ke pipinya, menodai wama pemerah pipinya. Bibir bawahnya bergetar. Ingus mengintip dari hidungnya. "Bas," ujamya parau. Tangannya terpentang di belakang bahunya, menahan bantalan katapel pada tali elastisnya yang ditarik sepanjang mungkin. Ada sesuatu di bantalan itu, se-suatu yang kuning dan berkilauan. Aku mengedip-kan mataku untuk menyingkirkan darah yang menu-tupi pandanganku dan aku melihatnya. Benda itu adalah bola logam yang tadinya terpasang di meja. Sohrab membidikkan katapelnya ke wajah Assef. "Jangan teruskan, Agha. Saya mohon," katanya. Suaranya parau dan bergetar. "Berhentilah menyakitinya." Assef menggerakkan mulutnya tanpa suara. Dia bersiap mengatakan sesuatu, namun mengurungkannya. "Kaupikir apa yang kaulakukan?" akhirnya dia berkata. "Saya mohon, berhentilah," jawab Sohrab. Air mata membasahi mata hijaunya, melarutkan celaknya. "Turunkan, Hazara," desis Assef. "Turunkan a-tau aku akan menghajarmu sampai kau merasa yang ku-lakukan padanya hanyalah menjewemya dengan lem-but." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Tangisnya pecah. Sohrab menggelengkan kepala-nya. "Saya mohon, Agha," katanya. "Berhentilah." "Turunkan." "Jangan sakiti dia lagi." "Turunkan." "Saya mohon." "TURUNKAN!" "Bas." "TURUNKAN!" Assef melepaskan cengkeramannya di leherku. Menerjang ke arah Sohrab. Bunyi syuuuuut terdengar dari katapel itu saat Sohrab melepaskan bantalannya. Lalu Assef melolong. Dia menangkupkan tangannya ke rongga yang beberapa saat sebelumnya didiami mata kirinya. Darah mengalir melalui sela-sela jarinya. Darah dan sesuatu yang lain, sesuatu yang kental dan berwama putih. Namanya cairan vitreus, aku bisa berpikir dengan jemih. Aku pernah membacanya di suatu tempat. Cairan vitreus. Assef menggelepar di karpet. Berguling-guling, melolong, tangannya masih tertangkup menutupi rongga matanya yang penuh darah. "Ayo pergi!" teriak Sohrab. Dia menarik taKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

nganku. Membantuku berdiri. Setiap bagian dari tubuhku yang luluh lantak meneriakkan rasa sakit. Di belakang kami, Assef terus melolong. "KELUAR! KELUARKAN BENDA INI!" lengkingnya. Aku terseok-seok menuju ke pintu dan membukanya. Mata dua orang penjaga itu melebar saat melihatku dan aku bertanya-tanya, seperti apakah penampilanku. Setiap kali bemapas, perutku serasa ditusuk. Salah satu penjaga itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Pashtu dan mereka berdua pun melesat meninggalkan kami, berlari menuju ruangan tempat Assef masih menjerit-jerit."KELUAR!" "Bia," Sohrab menarik tanganku. "Ayo pergi!" Aku tersaruk-saruk di sepanjang koridor, tanganku menggenggam tangan Sohrab yang mungil. Aku berpaling untuk yang terakhir kalinya. Para penjaga itu mengerumuni Assef, melakukan sesuatu pada wajahnya. Lalu aku memahaminya: Bola logam itu masih tertahan di rongga mata Assef. Seluruh dunia sepertinya bergetar naik dan turun, mengayun ke kiri dan ke kanan, saat aku tertatih-tatih menuruni tangga, bersandar pada Sohrab. Dari atas, lolongan Assef terus terdengar, lolongan binatang yang terluka. Kami berhasil ke luar, menyambut cahaya matahari, lenganku melingkari bahu Sohrab, dan aku melihat Farid berlari menyongsong kami. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Bismillah! Bismillah!" ucapnya, matanya melotot menatapku. Dia merangkulkan lenganku ke pundaknya dan mengangkatku. Kami berlari menuju ke truk. Sepertinya aku menjerit-jerit. Aku memandang sendalnya yang menepuk-nepuk trotoar, menampar tumitnya yang hitam dan berkapal. Bemapas pun terasa menyakitkan. Lalu, aku memandang atap Land Cruiser, terbaring di bangku belakang berwama cokelat muda yang hancur lebur, mendengarkan bunyi ting-ting-ting yang menandakan pintu yang terbuka. Langkah-langkah kaki berlari menuju truk kami. Farid dan Sohrab berdiskusi dengan cepat. Pintu truk terbanting menutup dan mesin pun menyala. Truk itu melesat maju dan aku merasakan tangan kecil menyentuh kening-ku. Aku mendengarkan bunyi-bunyian dari jalan, beberapa teriakan, dan aku melihat pepohonan bergerak samar di balik jendela. Sohrab terisak-isak. Farid terus mengulang, "Bismillah! Bismillah!" Saat itulah kesadaranku melayang. Dua Puluh Tiga Wajah-wajah bermunculan dari balik kabut, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tinggal sesaat, lalu kembali kabur. Mereka menunduk, menanyakan berbagai pertanyaan padaku. Apakah aku tahu siapa diriku? Bagian mana dari tubuhku yang terasa sakit? Aku tahu siapa diriku dan sekujur badanku terasa sakit. Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa berbicara membuatku kesakitan. Aku tahu itu; beberapa saat yang lalu, mungkin setahun yang lalu, mungkin dua, mungkin sepuluh, aku mencoba berbicara pada seorang anak dengan pipi merah karena perona dan mata terpulas celak. Anak itu. Ya, sekarang aku ingat. Sepertinya kami berada di dalam sebuah mobil, aku dan anak itu, dan kupikir bukan Soraya yang menyetir karena Soraya tak pernah mengemudi secepat ini. Aku ingin mengatakan sesuatu pada anak itu sepertinya sangat penting karena aku harus segera mengatakannya. Tapi aku tidak bisa mengingat apa yang ingin kukatakan, atau mengapa itu penting. Mungkin aku ingin mengatakan padanya untuk berhenti menangis, bahwa segalanya akan berangsur membaik. Mungkin bukan itu. Untuk beberapa alasan yang tidak bisa kuingat, aku ingin mengucapkan terima kasih pada anak itu. Raut-raut wajah. Semuanya memakai topi berwama hijau. Mereka datang dan pergi. Mereka berbicara dengan cepat, menggunakan bahasa yang tidak kupahami. Aku mendengar suara-suara lain, bunyi-bunyian lain, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

denyutan dan deringan. Aku tidak mengingat satu pun dari mereka, kecuali seseorang yang ram-butnya bergel dan kumisnya melintang seperti Clark Gable, yang mengenakan topi dengan noda berbentuk benua Afrika. Tuan Bintang Opera Sabun. Sungguh menggelikan. Sekarang aku ingin tertawa. Tapi tertawa juga terasa menyakitkan. Aku kembali pingsan. Katanya, namanya Aisha, "seperti istri Sang Nabi." Rambutnya yang kelabu dibelah tengah dan diikat ke bela-kang, sebuah perhiasan berbentuk matahari terpasang di hidungnya yang bertindik. Dia memakai kaca-mata berlensa ganda yang membuat matanya seolah-olah menonjol keluar. Dia juga memakai pakaian hijau dan tangannya terasa lembut. Dia melihatku menatapnya dan tersenyum. Mengatakan sesuatu dalam bahasa Inggris. Sesuatu terasa menusuk bagian samping dadaku. Aku kembali pingsan. Seorang pria berdiri di sisi ranjangku. Aku mengenalnya. Kulitnya gelap, tubuhnya jangkung, dan janggutnya panjang. Dia memakai topi apa sebutan untuk topi yang dia pakai? Pakol? Dia memakainya dengan miring seperti seseorang yang terkenal, yang namanya begitu sulit kuingat. Aku mengenal pria ini. Beberapa tahun yang lalu dia menyewakan mobilnya

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

padaku. Aku mengenalnya. Rasanya mulutku terasa aneh. Aku mendengar suara menggelegak. Aku kembali pingsan. Lengan kananku seperti terbakar. Wanita dengan kacamata berlensa ganda dan giwang hidung berbentuk matahari membungkuk di hadapan lenganku, menyambungkan sebuah selang plastik bening ke sana. Katanya, ini adalah "Potassium." "Rasanya seperti ter-sengat lebah, no?" katanya. Memang benar. Siapa namanya? Sepertinya ada hubungannya dengan seorang nabi. Aku juga mengenalnya dari beberapa tahun yang lalu. Dia biasa mengikat rambutnya ke belakang. Sekarang dia menyanggulnya. Soraya menata rambutnya seperti itu saat pertama kali kami berbicara. Kapankah itu? Minggu lalu? Aisha! Ya. Sepertinya ada yang salah dengan mulutku. Dan dadaku rasanya seperti ditusuk-tusuk. Aku kembali pingsan. Kami berada di Pegunungan Sulaiman di Balukistan dan Baba sedang bergulat dengan beruang hitam. Dialah Baba dalam masa kecilku, Toophan agha, pria Pashtun gagah perkasa dengan tinggi menjulang, bukan pria layu yang meringkuk di balik selimut, pria berpipi melesak dan bermata Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

cekung. Mereka berguling-guling di hamparan rumput hijau, seorang pria dan seekor binatang. Rambut cokelat ikal Baba melambai-lambai dipermainkan angin. Beruang itu meraung, atau mungkin Baba yang meraung. Air liur dan darah bercipratan; cakar dan tangan melayangkan pukulan. Mereka jatuh ke tanah dengan keras dan Baba menduduki dada beruang itu dan menghajamya. Dia mendongak menatapku dan aku menatapnya. Akulah yang sedang berkelahi dengan beruang. Aku terbangun. Pria jangkung berkulit gelap itu kembali berada di sisi ranjangku. Namanya Farid, sekarang aku mengingatnya. Dan anak yang ada dalam mobil itu berdiri di sampingnya. Wajahnya mengingatkanku pada dentingan lonceng. Aku kehausan. Aku kembali pingsan. Aku terus-menerus siuman dan kembali pingsan. Pria berkumis Clark Gable itu temyata bemama Dr. Faruqi. Dia sama sekali bukan aktor opera sabun, melainkan seorang dokter bedah kepala dan leher, meski-pun aku terus mengira dirinya adalah Armand, seorang tokoh dalam opera sabun terkenal yang berseting sebuah pulau tropis.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Di mana aku? Aku ingin bertanya. Tapi mulutku tidak mau terbuka. Aku mengemyitkan wajah. Meng-geram. Armand tersenyum: giginya putih mengilat. "Jangan sekarang, Amir," katanya, "sebentar lagi. Kalau kawatnya sudah dilepas." Aksen Urdu yang kental mewamai bahasa Inggrisnya. Kawat? Armand menyilangkan lengannya; bagian bawah lengannya berbulu lebat dan di jarinya tersemat sebuah cincin kawin emas. "Anda pasti bertanyatanya di mana diri Anda, apa yang terjadi pada Anda. Itu sangat normal, keadaan pasca-operasi memang selalu mem-bingungkan. Jadi, saya akan menceritakan apa yang saya ketahui." Aku ingin menanyakan padanya tentang kawat itu. Pascaoperasi? Di mana Aisha? Aku menginginkan senyumannya, sentuhan tangannya yang lembut. Armand mengemyitkan wajah, menaikkan salah satu alisnya dengan gaya sedikit sombong. "Anda berada di sebuah rumah sakit di Peshawar. Sudah dua hari Anda berada di sini. Anda menderita luka parah di sekujur tubuh Anda, Amir, saya harus memberitahu Anda. Menurut saya, Anda sangat

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

beruntung karena mampu bertahan hidup, kawan." Dia meng-ayunayunkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan seperti sebuah pendulum saat mengatakannya. "Limpa Anda pecah, mungkin dan untungnya bagimu pecah yang tertunda, karena Anda menunjukkan gejala pendarahan dini dari luka-luka dalam perut Anda. Kolega-kolega saya dari unit bedah umum harus melakukan operasi limpa darurat. Kalau limpa Anda pecah lebih cepat, Anda akan meninggal karena pendarahan hebat." Dia menepuk-nepuk lenganku, yang tersambung dengan infus, dan tersenyum. "Beberapa tulang rusuk Anda juga patah. Salah satunya menyebabkan pneumothorax." Aku mengemyitkan wajah. Mencoba membuka mulutku. Teringat akan kawat itu. "Artinya, tulang itu menghunjam paru-paru Anda," jelas Armand. Dia mengangkat selang plastik bening di sebelah kiriku. Aku merasakan kembali tusukan di dadaku. "Kami mengatasi kebocoran di dada Anda dengan selang ini." Aku memerhatikan bahwa selang itu muncul dari bebatan perban di dadaku, tersambung pada penampung yang setengahnya telah terisi air. Bunyi menggelegak itu muncul dari sana. "Anda juga menderita berbagai macam laserasi. Itu berarti 'luka.'" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku tahu arti kata itu; aku seorang penulis. Aku ingin membuka mulutku. Lagi-lagi melupakan kawat itu. "Laserasi terparah menimpa bibir atas Anda," ujar Armand. "Bibir Anda terpotong, terbagi menjadi dua, dan jaringan di bagian tengahnya hilang. Tapi jangan khawatir, para ahli bedah plastik telah menjahitnya dan menurut mereka hasilnya akan menakjubkan, meskipun bekas luka akan tetap terlihat. Itu tidak bisa dihindari. "Tulang pelipis sebelah kiri Anda juga hancur; tulang dalam rongga mata, dan kami juga harus memperbaikinya. Kawat di rahang Anda akan dilepas setelah enam minggu," ujar Armand. "Hingga saat itu, Anda hanya akan bisa mengonsumsi cairan dan makanan lumat. Berat badan Anda akan banyak berkurang dan untuk sementara, bicara Anda akan mirip Al Pacino dalam film Godfather yang pertama." Dia tergelak. "Tapi Anda harus menyelesaikan suatu pekerjaan hari ini. Anda tahu apa itu?" Aku menggelengkan kepala. "Tugas Anda hari ini adalah mengeluarkan udara. Anda bisa melakukannya dan kami bisa mulai mem-beri Anda minuman. Kalau Anda tidak kentut, Anda tidak makan." Dia kembali tergelak.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Beberapa jam kemudian, setelah Aisha mengganti tabung infusku dan menaikkan sandaran ranjangku berdasarkan permintaanku, aku memikirkan tentang semua hal yang menimpaku. Limpa yang pecah. Gigi yang tanggal. Paru-paru yang berlubang. Tulang pelipis yang hancur. Namun saat aku memerhatikan seekor burung merpati yang sedang mematuki remah roti pada penampang jendela, aku terus teringat akan sesuatu yang dikatakan Armand/Dr. Faruqi: Bibir Anda ter-potong, terbagi menjadi dua, katanya, jaringan di bagian tengah-nya hilang. Jaringan di bagian tengahnya hilang. Seperti bibir sumbing. Keesokan harinya, Farid dan Sohrab menjengukku. "Kau tahu siapa kami hari ini? Kau ingat?" Farid bertanya, setengah bercanda. Aku mengangguk. "Alhamdulillah!" ucapnya. Wajahnya berseri. "Tidak perlu lagi bercerita tak keruan." "Terima kasih, Farid," ucapku melalui rahang yang terikat kuat dengan kawat. Armand benar bicaraku mirip Al Pacino dalam film The Godfather. Dan lidahku membuatku terkejut setiap kali melewati ruang kosong yang ditinggalkan gigi yang telah kutelan. "Mak-sudku, terima kasih. Untuk segalanya."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia mengibaskan tangannya. Wajahnya sedikit merona. "Bas. Aku tidak pantas mendapat ucapan terima kasih," katanya. Aku berpaling pada Sohrab. Dia memakai baju baru, pirhan-tumban cokelat muda yang tampak sedikit terlalu besar untuknya, dan sebuah kopiah hitam. Dia menunduk menatap kakinya, mempermainkan selang infus yang direkatkan ke ranjang. "Kita belum pernah berkenalan dengan pantas," ujarku. Kuulurkan tanganku. "Aku Amir." Dia menatap tanganku, lalu menatap wajahku. "Kau Amir agha yang sering diceritakan Ayah padaku?" tanyanya. "Ya." Aku teringat akan surat Hassan. Aku telah begitu banyak bercerita tentangmu pada Farzana jan dan Sohrab, tentang kita berdua yang tumbuh bersama dan kesukaan kita bermain dan berlarian di jalanan. Mereka selalu tertawa saat aku bercerita tentang kenakalan-kenakalan kita! "Aku juga berutang budi padamu, Sohrab jan," ujarku. "Kau menyelamatkan hidupku." Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku menurunkan tanganku saat dia tak kunjung menyambutnya. "Aku suka baju barumu," gumamku.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Baju itu milik anakku," kata Farid. "Sudah kekecilan untuknya. Tapi baju itu pas dipakai oleh Sohrab, menurutku." Sohrab bisa tinggal dengannya, katanya, hingga kami menemukan tempat untuknya. "Kami tidak punya cukup kamar, tapi aku bisa melakukan apa? Aku tidak bisa meninggalkannya di jalanan. Lagi pula, anak-anakku menyukainya. Ha, Sohrab?" Tapi anak itu terus menunduk, membelitkan selang ke jarinya. "Aku ingin bertanya," Farid tampak sedikit enggan. "Apa yang terjadi di dalam rumah itu? Apa yang terjadi antara dirimu dengan Talib itu?" "Anggap saja kami mendapatkan yang pantas kami dapatkan," jawabku. Farid mengangguk, tidak memaksaku untuk menjelaskan lebih jauh. Baru terpikir olehku, di suatu tem-pat, berawal saat kami meninggalkan Peshawar menuju Afghanistan dan saat ini, kami telah berteman. "Aku juga ingin menanyakan sesuatu padamu." "Apa itu?" Aku tidak ingin menanyakannya. Aku merasa takut mendengar jawabannya. "Rahim Khan," ujarku. "Dia telah pergi." Jantungku terguncang. "Apa dia"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak, dia hanya ... pergi." Dia mengulurkan sepucuk surat yang terlipat dan sebuah kunci kecil pada-ku. "Induk semangnya memberikan ini padaku saat aku mencarinya. Katanya, Rahim Khan pergi sehari setelah kita berangkat." "Ke mana dia pergi?" Farid mengangkat bahu. "Induk semangnya tidak tahu. Katanya, Rahim Khan meninggalkan surat dan kunci itu untukmu dan pergi begitu saja." Dia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku pergi. Bia, Sohrab." "Bisakah kau meninggalkan dia di sini sebentar?" tanyaku. "Kau bisa menjemputnya nanti." Aku menatap Sohrab. "Kau mau menemaniku di sini sebentar?" Dia mengangkat bahu tanpa mengatakan apa-apa. "Tentu saja," ujar Farid. "Aku akan menjemputnya sebelum Magrib." Tiga pasien lain menghuni ruangan itu bersamaku. Dua pria berusia lebih tua dariku; yang satu kakinya terbungkus gips, sementara yang lain napasnya tersengal-sengal karena menderita asma. Satu pasien lagi yang lebih muda dariku, mungkin berumur 15 atau 16 tahun, menderita penyakit usus buntu. Pria tua dengan kaki bergips itu menatap kami tanpa berkedip, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tatapannya berpindah dari aku ke anak lelaki Hazara yang duduk di bangku dekat ranjangku. Para kerabat rekan-rekan sekamarku wanitawanita tua berpakaian gamis berwama cerah, pria-pria berkopiah berjejalan dengan ribut, masuk dan keluar kamar. Mereka mem-bawa pakora, naan, samosa, bir y ani. Kadang-kadang, para pengunjung berkeliaran begitu saja memasuki kamar, misalnya seorang pria jangkung berjanggut yang masuk ke kamarku beberapa saat sebelum Farid dan Sohrab tiba. Sehelai selimut cokelat menyelimuti tubuhnya. Aisha menanyainya dalam bahasa Urdu. Dia mengabaikannya dan memandang ke sekeliling ruang-an. Kurasa dia memandangku sedikit lebih lama. Saat Aisha kembali bertanya padanya, dia hanya membalikkan badan dan pergi. "Bagaimana keadaanmu?" tanyaku pada Sohrab. Dia mengangkat bahu, menatap tangannya. "Kau lapar? Ibu itu memberiku sepiring biryani, tapi aku tak bisa memakannya," ujarku. Aku tak tahu apa lagi yang akan kukatakan padanya. "Kau mau?' Dia menggelengkan kepala. "Kau mau mengobrol?" Dia kembali menggelengkan kepala. Selama beberapa saat kami duduk dalam keheningan, aku terpaku di ranjang, ditopang oleh dua Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

buah bantal, Sohrab di bangku berkaki tiga di sebelah ranjangku. Entah kapan, aku jatuh tertidur, dan, saat aku terbangun, senja telah menjelang, bayangan telah memanjang, dan Sohrab masih duduk di sampingku. Dia masih menunduk memandangi tangannya. Malam itu, setelah Farid menjemput Sohrab, aku membuka surat Rahim Khan. Aku telah menunda selama mungkin untuk membaca surat itu. Inilah yang tertulis di sana: Amir jan, Insya Allah, kau telah menerima surat ini dalam keadaan selamat. Semoga aku tidak menje-rumuskanmu alam bahaya dan Afghanistan tidak bersikap terlalu buruk padamu. Aku terus mendoakanmu sejak hari kepergianmu. Selama bertahun-tahun saat kau curiga bahwa aku tahu, kau benar. Aku memang tahu. Hassan menceritakannya padaku beberapa saat setelah peristiwa itu terjadi. Yang kaulakukan adalah suatu kesalahan, Amir jan, namun jangan lupakan bahwa saat peristiwa itu terjadi, kau hanya-lah seorang bocah. Seorang bocah lelaki kecil yang bermasalah. Kau bersikap terlalu keras terhadap dirimu saat itu, dan sekarang pun masih begitu aku melihatnya Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

di matamu saat kita bertemu di Peshawar. Tapi kuharap kau akan selalu mengingatnya: Seseorang yang tidak memiliki kesadaran, tidak memiliki kebaikan, tidak akan pernah menderita. Kuharap penderitaanmu berakhir dengan perjalananmu ke Afghanistan. Amir jan, segala kebohongan yang kukatakan padamu selama bertahuntahun itu membuatku malu. Aku bisa memahami kemarahanmu saat di Peshawar. Kau berhak untuk tahu. Sama halnya dengan Hassan. Aku tahu bahwa alasan ini tidak akan membenarkan tindakan ayahmu maupun aku, namun Kabul tempat kita tinggal di masa lalu adalah dunia yang aneh, dunia tempat beberapa hal lebih berharga daripada kebenaran. Amir jan, aku tahu betapa kerasnya sikap ayahmu terhadap dirimu saat kau beranjak dewasa. Aku melihatmu merana dan mendamba kasih sayangnya, dan hatiku hancur karenanya. Namun ayahmu adalah seorang pria yang terbagi atas dua belahan jiwanya, Amir jan: kau dan Hassan. Dia mencintai kalian berdua, namun dia tidak bisa mencintai Hassan dengan cara yang diinginkannya, secara terbuka, dan sebagai seorang ayah. Jadi, dia melampiaskannya padamu Amir, belahan jiwa yang sah di mata masyarakat, belahan jiwa yang mewakili kekayaan turun-temurunnya dan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

hak kekebalan akan dosa yang menyertai kekayaannya. Saat dia melihatmu, dia melihat dirinya sendiri. Dan rasa bersalahnya. Kau masih berkubang dalam amarah dan aku menyadari bahwa saat ini masih terlalu dini untuk mengharapkan kau menerima penjelasanku, tetapi mungkin suatu hari nanti kau akan mengerti bahwa saat ayahmu bersikap keras terhadapmu, dia juga bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Ayahmu, seperti dirimu, juga memiliki jiwa yang tersiksa, Amir. Aku tidak bisa menggambarkan padamu betapa dalam dan suramnya kesedihan yang kurasakan kala mendengar bahwa ayahmu telah meninggal. Aku mencintainya, bukan hanya karena dia sahabatku, namun juga karena dia adalah seorang pria yang baik, mungkin juga sangat hebat. Dan inilah yang aku inginkan untuk kaupahami, bahwa kebaikan, kebaikan yang nyata, muncul akibat rasa bersalah ayahmu. Terkadang, aku berpikir bahwa semua yang dilakukannya, menyediakan makanan untuk fakir miskin di jalanan, membangun panti asuhan, memberikan bantuan dana pada teman yang membutuhkan, semua itu dilakukannya untuk menebus kesalahannya. Dan itulah yang kuyakini sebagai penebusan dosa

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sejati, Amir jan, saat rasa bersalah menggerakkan seseorang untuk melakukan kebaikan. Aku tahu bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang akan memberikan pengampunan. Dia akan mengampuni ayahmu, aku, dan juga dirimu. Kuharap, kau juga bisa melakukan hal yang sama. Maafkanlah ayahmu kalau kau bisa memaafkannya. Maafkanlah aku kalau kau ingin memaafkanku. Namun, yang paling utama, maafkanlah dirimu. Aku meninggalkan sejumlah uang untukmu, sebagian besar dari seluruh sisa kekayaanku. Kupikir kau akan bisa memanfaatkannya untuk membayar berbagai macam pengeluaran saat kau kembali ke sini, dan kuharap uang itu dapat mencukupi. Kau bisa mengambilnya di sebuah bank di Peshawar; Farid tahu tempatnya. Uang itu tersimpan dalam kotak penyimpanan. Aku menyerahkan kuncinya padamu. Bagiku, ini adalah waktu yang tepat untuk pergi. Hanya ada sedikit lagi waktu yang tersisa untukku dan aku berharap bisa menikmatinya seorang diri. Kumohon, janganlah kaucari aku. Ini adalah per-mintaan terakhirku padamu. Tangan-tangan Tuhan akan membimbingmu. Sahabatmu selamanya, Pahim

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku mengusapkan lengan pakaian rumah sakitku ke mata, melipat surat itu, dan menyimpannya di bawah matras. Amir, belahan jiwa yang sah di mata masyarakat, belahan jiwa yang mewakili kekayaan turun-temurunnya dan hak kekebalan akan dosa yang menyertai kekayaannya. Aku bertanyatanya, mungkin karena itulah hubunganku dengan Baba membaik saat kami tinggal di AS. Menjual barang rongsokan untuk uang yang tak seberapa, pekerjaan kasar kami, apartemen kami yang muram versi Amerika dari sebuah pondok; mungkin di Amerika, saat Baba memandangku, dia melihat sedikit dari diri Hassan. Ayahmu, seperti dirimu, juga memiliki jiwa yang tersiksa, Amir, itulah yang ditulis Rahim Khan. Mungkin memang benar. Kami berdua pernah melakukan dosa dan pernah berkhianat. Tetapi Baba telah menemukan cara memacu rasa bersalahnya untuk mewujudkan kebaikan. Apa yang sudah kulakukan, selain melampiaskan rasa bersalahku pada orang yang sama yang telah kukhianati, lalu berusaha melupakan semuanya? Apa yang telah kulakukan, selain menjadi pen-derita insomnia? Apa yang telah kulakukan untuk meluruskan ke-adaan?

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat seorang perawat bukan Aisha, melainkan seorang wanita berambut merah yang namanya luput dalam ingatanku masuk sambil membawa alat suntik di tangannya dan menanyakan padaku apakah aku mem-butuhkan suntikan morfin, aku mengiyakan-nya. Mereka melepas selang di dadaku keesokan paginya, dan Armand memperbolehkan para perawat menyedia-kan jus apel untukku. Saat Aisha meletakkan secangkir jus di meja kecil di sebelah ranjangku, aku meminta-nya untuk meminjamkan sebuah cermin. Dia menaikkan kacamata berlensa gandanya ke kening saat membuka tirai dan membiarkan cahaya matahari menyelimuti ruangan. "Ingat, ya," dia berpaling saat mengatakannya, "bekas lukamu akan terlihat lebih baik dalam beberapa hari. Menantu laki-lakiku mengalami kecelakaan motor tahun lalu. Wajahnya yang tampan menggesek aspal dan menjadi seungu terung. Sekarang dia kembali tampan, seperti bintang film Lollywood." Meskipun Aisha telah menenangkanku, menatap wajahku di cermin dan melihat wajah yang tidak lagi mirip dengan wajahku membuat dadaku sesak. Dari yang kulihat, seolah-olah seseorang telah menyelipkan pompa di bawah kulitku dan memompakan udara ke sana. Mataku bengkak kebiruan. Yang paling mengenaskan adalah mulutku; bentuknya tidak jelas Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dan mengerikan, wamanya ungu dan merah, luka-luka dan jahitan memenuhi sekelilingnya. Aku mencoba ter-senyum dan rasa sakit menyengat bibirku. Aku tidak akan bisa tersenyum untuk sementara. Jahitan melintang di pipi kiriku, di bawah daguku, dan di keningku, tepat di bawah garis rambutku. Pria tua dengan kaki bergips mengatakan sesuatu dalam bahasa Urdu. Aku mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Dia menunjuk wajahnya, menepuk-nepuknya, dan menyunggingkan senyuman lebar, memamerkan giginya yang ompong. "Very good," kata-nya. "Insya Allah." "Terima kasih," bisikku. Farid dan Sohrab memasuki ruangan sesaat setelah cermin itu kuturunkan. Sohrab duduk di bangku yang sama, menyandarkan kepalanya pada pinggir ranjang. "Kau tahu, lebih cepat kami bisa membawamu keluar dari sini lebih baik," kata Farid. "Kata Dr. Faruqi-" "Maksudku bukan dari rumah sakit ini. Maksudku dari Peshawar." "Mengapa?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kurasa keselamatanmu tidak akan terjamin kalau kau berada di sini terlalu lama," jawab Farid. Dia me-rendahkan suaranya. "Taliban punya teman di sini. Mereka akan mulai mencarimu." "Kurasa mereka sudah mulai melakukannya," a-ku menggumam. Tiba-tiba aku teringat akan pria berjanggut yang berkeliaran ke kamar dan hanya ber-diri menatapku. Farid mendekatkan tubuhnya. "Segera setelah kau bisa jalan, aku akan membawamu ke Islamabad. Di sana pun kau tidak akan sepenuhnya aman, tidak ada tempat yang aman di Pakistan, tapi keadaan di sana akan lebih baik daripada di sini. Setidaknya, kau bisa bemapas lega selama beberapa saat." "Farid jan, kau juga tidak akan aman. Mungkin sebaiknya kau tidak lagi terlihat bersamaku. Kau punya keluarga yang membutuhkanmu." Farid melambaikan tangannya. "Putra-putraku masih muda, namun mereka sangat tangguh. Mereka tahu cara menjaga ibu-ibu dan saudarasaudara perempuan mereka." Dia tersenyum. "Lagipula, aku tidak bilang akan melakukannya dengan cuma-cuma."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Aku tidak akan membiarkanmu menaikkan tarif," ujarku. Aku lupa bahwa aku tidak bisa tersenyum. Saat aku mencoba melakukannya, setetes darah mengalir ke daguku. "Bisakah aku memohon satu lagi pertolongan darimu?" "Untukmu, keseribu kalinya," jawabnya. Dan, saat mendengamya, seketika aku menangis. Tubuhku terguncangguncang saat aku mengisak, air mata mengaliri pipiku, menyengat luka menganga di bibirku. "Ada apa?" tanya Farid waspada. Aku menutupkan satu tanganku ke wajah dan mengangkat tanganku yang lain. Aku tahu bahwa seisi ruangan itu sedang memandangiku. Setelah puas me-nangis, aku merasa letih, hampa. "Maaf," ucapku. Sohrab menatapku sambil mengerutkan keningnya. Saat aku bisa bersuara kembali, aku mengatakan pada Farid pertolongan yang kuminta dilakukannya. "Kata Rahim Khan mereka tinggal di Peshawar sini." "Mungkin sebaiknya kau menuliskan nama mereka," Farid menatapku dengan cemas, seolah-olah sedang bertanya-tanya apakah yang akan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memicuku untuk menangis lagi. Aku menuliskan nama mereka di atas selembar kertas tisu. "John dan Betty Cald-well." Farid mengantongi kertas yang terlipat itu. "Aku akan mencari mereka secepat yang kumampu," kata-nya. Dia berpaling pada Sohrab. "Untukmu, aku akan menjemputmu nanti malam. Jangan membuat Amir agha kelelahan." Namun Sohrab segera mendekati jendela, di mana beberapa ekor burung merpati hinggap dan lalu lalang, mematuki remah-remah roti di kusen. Dalam laci tengah meja kecil di sebelah ranjangku, aku menemukan sebuah majalah National Geographic tua, sebatang pensil dengan ujung penuh bekas gigitan, sebuah sisir dengan gigi-gigi tanggal, dan yang saat ini sedang kuraih dengan susah payah, menyebabkan keringat membanjiri wajahku: setumpuk kartu. Aku telah menghitungnya dan, yang mengejutkan, kartu itu masih lengkap. Aku menanyakan pada Sohrab kalau-kalau dia ingin bermain kartu. Aku tidak mengharapkan jawabannya, apalagi kesediaannya untuk bermain. Dia tidak banyak bicara sejak kami meninggalkan Kabul. Namun dia berpaling dari jendela dan berkata, "Satu-satunya permainan yang kutahu hanyalah panjpar."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Belum-belum aku sudah mengasihanimu, karena aku adalah grand master dalam permainan panjpar. Seluruh dunia mengetahuinya." Dia duduk di atas bangku di sebelah ranjangku. Aku mengocok kartu dan membagikan lima untuknya. "Saat ayahmu dan aku seumurmu, kami suka memainkan permainan ini. Terutama saat musim dingin, ketika salju turun dan kami tak bisa bermain di luar. Kami biasa memainkannya hingga malam tiba." Dia mengalahkan kartuku dan mengambil sehelai dari tumpukan. Aku mencuri pandang padanya saat dia mempelajari kartu-kartunya. Begitu banyak dari dirinya yang mirip dengan ayahnya: caranya menyusun kartukartunya membentuk kipas dengan kedua tangannya, caranya memicingkan mata saat meng-amati kartu-kartu itu, caranya menghindari kontak mata dengan orang lain. Kami bermain dalam keheningan. Aku menenangkan permainan pertama, membiarkannya menang pada permainan kedua, dan benar-benar kalah dengan adil pada lima permainan selanjutnya. "Kau sehebat ayahmu, mungkin malah lebih baik," ujarku setelah kekalahanku yang terakhir. "Kadang-kadang aku bisa mengalahkannya, tapi kupikir itu karena dia

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

membiar-kanku menang." Aku terdiam sebelum melanjutkan, "Ayahmu dan aku adalah saudara sesusuan." "Aku tahu." "Apa ... apa yang diceritakannya padamu tentang kami?" "Bahwa kau adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya," jawabnya. Aku memainkan kartuku dengan jari, mengibas ngibaskannya. "Aku takut bahwa aku bukanlah sahabat yang sebaik itu," ujarku. "Tapi aku ingin menjadi sahabatmu. Kupikir, aku bisa menjadi sahabat yang baik untukmu. Bisakah? Apa kau mau?" Dengan ragu-ragu, aku meletakkan tanganku di bahunya, namun dia menghindariku. Dia menjatuhkan kartunya dan mendorong bangkunya, lalu kembali mendekati jendela. Langit diwamai oleh semburat merah dan ungu saat matahari terbenam di Peshawar. Dari jalanan di bawah, terdengar lengkingan klakson dan ringkikan keledai, juga peluit polisi lalu lintas. Sohrab berdiri di sana, diterpa cahaya merah, menempelkan keningnya ke kaca, melipat kedua tangannya di dada. Aisha menyuruh seorang perawat pria membantuku belajar berjalan malam itu. Aku hanya berjalan mengitari kamar satu kali, dengan satu tangan berpegangan pada tiang infus yang beroda dan tangan yang lain Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berpegangan pada lengan perawat itu. Membutuhkan sepuluh menit untuk kembali ke ranjang dan, pada saat itu, luka bekas operasi di perutku terasa bedenyut-denyut dan aku pun terkapar dengan keringat membasahi seluruh tubuhku. Aku berbaring di ranjang, terengah-engah, jantungku berdebar-debar, dan berpikir betapa aku merindukan istriku. Keesokan harinya kuhabiskan dengan bermain panjpar bersama Sohrab. Dan hari selanjutnya pun berlalu dengan cara yang sama. Kami jarang bercakap-cakap, yang kami lakukan hanyalah bermain panjpar, aku terpaku di ranjangku, dia di bangku berkaki tiganya. Kegiatan rutin kami hanya diselingi oleh latihan berjalanku mengelilingi kamar atau pergi ke kamar kecil di ujung koridor. Malamnya aku bermimpi. Dalam mimpiku, Assef berdiri di ambang pintu kamar rumah sakitku, bola logam masih tersangkut di rongga matanya. "Kita berdua sama, kau dan aku," katanya. "Kau satu susuan dengannya, tapi kau adalah saudara kembarku." + Paginya, aku mengatakan pada Armand bahwa aku harus segera pergi. "Masih terlalu dini untuk mengeluarkan Anda dari sini," Armand memprotes. Hari itu dia tidak mengenakan baju operasi, melainkan kemeja

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

biru tua dan dasi kuning. Rambutnya kembali ditata dengan gel. "Anda masih harus mendapatkan suntikan antibiotik dan-" "Saya harus pergi," aku bersikeras. "Saya menghargai segala yang telah Anda lakukan untuk saya, yang telah kalian semua lakukan. Sungguh. Namun saya harus pergi." "Anda akan pergi kemana?" Armand mencecarku. "Saya tidak bisa mengatakannya." "Berjalan pun Anda masih kesulitan." "Saya bisa berjalan sampai ujung koridor dan kembali lagi ke sini," sanggahku. "Saya akan baik-baik saja." Inilah rencananya: Mengeluarkan diriku dari rumah sakit. Mengambil uang dari kotak penyim-panan dan membayar biaya pengobatanku. Bermobil ke panti asuhan dan meninggalkan Sohrab bersama John dan Betty Caldwell. Lalu mencari tumpangan ke Islamabad dan mengubah rencana perjalanan. Luangkan beberapa hari untuk memulihkan diri. Mencari pesawat untuk pulang. Itulah rencananya. Hingga Farid dan Sohrab datang pagi itu. "Kawanmu, John dan Betty Caldwell, mereka tidak ada di Peshawar," lapor Farid. Aku membutuhkan waktu sepuluh menit hanya untuk mengenakan pirhantumban. Dadaku-di mana mereka menorehkan lubang untuk memasukkan selang -terasa sakit saat aku mengangkat lengan, dan perutku berdenyut Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

setiap kali aku membungkuk. Napasku ter-putus-putus hanya gara-gara mengemasi barang-barangku ke dalam kantong kertas berwama cokelat. Namun akhirnya aku selesai bersiap-siap dan sedang duduk di pinggir ranjang saat Farid masuk membawa berita itu. Sohrab duduk di sampingku di ranjang. "Ke mana mereka pergi?" tanyaku. Farid menggeleng. "Kau tidak mengerti-" "Karena kata Rahim Khan-" "Aku mendatangi konsulat AS," Farid menjelas kan seraya mengangkat tasku. "Tidak pernah ada orang yang bemama John dan Betty Caldwell di Peshawar. Menurut petugas di konsulat, mereka tidak pernah ada. Setidaknya mereka tidak pernah ada di sini, di Peshawar ini." Di sebelahku, Sohrab sedang membalik-balik halaman demi halaman National Geographic tua. Kami mengambil uang dari bank. Manajer bank itu, pria berperut buncit yang bagian ketiak kemejanya basah oleh keringat, terus-menerus tersenyum dan mengatakan padaku bahwa tidak seorang pun di bank ini pernah menyentuh uang itu. "Tidak seorang pun," dia berkata dengan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

takzim, mengayun ayunkan jari telunjuknya seperti yang sering dilakukan Armand. Berkendaraan di Peshawar sambil membawa begitu banyak uang dalam kantong kertas adalah pengalaman yang menegangkan. Ditambah lagi, aku mencurigai setiap pria berjanggut yang meme-lototiku sebagai pembunuh Talib, mereka yang dikirim oleh Assef. Ada dua hal yang menambah keteganganku: Banyak pria berjanggut di Peshawar dan mata semua orang melotot. "Apa yang akan kita lakukan padanya?" Farid bertanya saat mengiringiku berjalan perlahan kembali ke truk dari bagian pembayaran rumah sakit. Sohrab menunggu di bangku belakang Land Cruiser, memer-hatikan arus lalu lintas dari jendela yang terbuka, me-no-pangkan dagunya ke telapak tangan. "Dia tidak bisa tinggal di Peshawar," jawabku sambil terengah-engah. "Tidak, Amir agha, tidak bisa," kata Farid. Dia menyadari nada bertanya dalam kalimatku. "Maaf. Seandainya aku-" "Tidak apa-apa, Farid," aku menenangkannya. Aku berusaha tersenyum dengan letih. "Sudah cukup banyak yang menjadi tanggunganmu." Seekor anjing berdiri dengan kedua kaki belakangnya di dekat truk itu, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menggaruk-garuk pintu truk dan menggoyang-goyangkan ekomya. Sohrab mengelus-elus binatang itu. "Kurasa dia akan pergi ke Islamabad," ujarku. Aku tertidur pada hampir sepanjang perjalanan empat jam menuju Islamabad. Aku memimpikan banyak hal, dan yang kuingat kebanyakan hanyalah potongan-potongan gambar yang acak, cuplikan berbagai kenangan berkilat di kepalaku seperti kartu Rolodex: Baba membumbui daging domba untuk pesta ulang tahunku yang ke-13. aku dan Soraya bercinta untuk pertama kalinya, matahari terbit di ufuk timur, telingaku masih berdenging akibat musik di pesta pemikahanku, tangan-nya yang dihiasi henna membelai tanganku. Baba mengajak aku dan Hassan mengunjungi kebun stroberi di Jalalabad-pemiliknya memperbolehkan kami menyantap stroberi sebanyak yang kami mau asalkan kami membeli setidaknya empat kilo dan kami berdua pun mengakhiri hari itu dengan perut melilit. Betapa gelapnya, nyaris hitam, darah Hassan yang ada di salju itu, yang menetes dari celananya. Darah sungguhlah penting, bachem. Khala Jamila membelai lutut Soraya dan berkata, Tuhan tahu yang terbaik, mungkin memang belum saatnya. Tertidur di atas atap rumah ayahku. Baba berkata bahwa satu-satunya dosa yang paling berat adalah pencurian. Saat kau mengatakan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kebohongan, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Rahim Khan meneleponku, memberitahuku bahwa ada jalan untuk kembali menuju kebaikan. Jalan untuk kembali menuju kebaikan .... Dua Puluh Empat Kalau Peshawar mengingatkanku pada Kabul di masa lalu, Islamabad adalah cerminan Kabul suatu hari nanti. Jalanjalannya lebih lebar daripada di Peshawar, lebih bersih, dan diapit oleh deretan bunga hibiskus dan pohon api. Pasar-pasamya lebih tertib dan lorong-lorongnya tidak dijejali oleh becak dan pejalan kaki. Arsitektur kota itu juga lebih elegan, lebih modem, dan aku melihat taman-taman di mana bunga mawar dan melati bermekaran di bawah naungan pepohonan. Farid menemukan sebuah hotel kecil di sisi jalan yang terbentang di sepanjang kaki Bukit Margalla. Kami melewati Masjid Shah Faisal yang terkenal sebagai masjid terbesar di dunia, yang tampak agung dengan pilar-pilar beton raksasa dan menara-menaranya yang menjulang tinggi. Sohrab terkesima melihat masjid itu, mencondongkan badannya keluar jendela dan menatap bangunan itu hingga Farid membelok-kan truknya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kamar hotel itu jauh lebih baik daripada kamar yang kutempati bersama Farid di Kabul. Seprainya bersih, karpetnya tanpa debu, dan kamar mandinya tanpa noda. Di dalam kamar mandi itu tersedia sampo, sabun, pisau cukur, bak rendam, dan handuk yang beraroma lemon. Dan tidak ada noda darah di dinding. Satu lagi: sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja di hadapan dua ranjang tunggal. "Lihat!" aku menunjukkannya pada Sohrab. Aku menyalakannya secara manual tidak ada remote control dan memilih salurannya. Aku menemukan acara anak-anak yang dibintangi dua boneka domba berbulu tebal yang pandai menyanyi dalam bahasa Urdu. Sohrab duduk di salah satu ranjang dan melipat kedua kakinya ke dada. Gambar-gambar dari TV itu ter-pantul pada mata hijaunya saat dia menonton acara itu tanpa ekspresi, sambil mengayun-ayunkan badannya ke depan dan ke belakang. Aku ingat saat aku berjanji pada Hassan untuk membelikan keluarganya sebuah pesawat televisi berwama kalau kami telah dewasa. "Aku pergi sekarang, Amir agha," kata Farid. "Menginaplah malam ini," saranku. "Kau harus mengemudi cukup jauh. Pergi besok saja."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tashakor," katanya. "Tapi aku ingin pulang malam ini. Aku merindukan anak-anakku." Sebelum keluar, dia berhenti di ambang pintu. "Selamat tinggal, Sohrab jan," ucapnya. Dia menantikan jawaban, namun Sohrab tidak mengindahkannya. Dia hanya mengayun-ayunkan tubuhnya, sementara cahaya perak yang memancar dari layar televisi menerangi wajahnya. Di luar, aku menyerahkan sebuah amplop kepada Farid. Mulutnya terbuka saat dia menyobek amplop itu. "Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu," jelasku. "Telah begitu banyak yang kaulaku-kan untukku." "Berapa yang ada di sini?" Farid masih belum bisa menyembunyikan kekagetannya. "Lebih dari dua ribu dolar." "Dua ri" dia mencoba berbicara. Bibir bawahnya sedikit bergetar. Beberapa saat kemudian, sambil menjalankan truknya, dia membunyikan klakson dua kali dan melambaikan tangannya. Aku membalas lambaiannya. Itulah terakhir kalinya aku melihat Farid. Aku kembali ke hotel dan menemukan Sohrab meringkuk di ranjang. Meskipun matanya tertutup, aku tidak bisa memastikan apakah dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memang sedang tidur. Dia telah mematikan televisi. Aku duduk di ranjang dan meringis menahan sakit, mengusap keringat dingin yang membasahi keningku. Aku bertanya-tanya, sampai kapankah aku akan merasa kesakitan saat bangkit, duduk, ataupun berguling di ranjang. Kapankah aku bisa kembali menyantap makanan padat. Apakah yang akan kulakukan dengan anak lelaki kecil terluka yang berbaring di ranjang itu, meskipun sebagian dari diriku telah mengetahui jawabannya. Air minum tersedia di meja. Aku menuangkannya ke gelas dan meminumnya bersama dua butir pil penahan rasa sakit yang diberikan Armand. Air itu terasa hangat dan pahit. Aku menutup tirai, menurun-kan tubuhku ke ranjang, dan berbaring. Rasanya dadaku akan terbelah membuka. Saat rasa sakitku menurun dan aku dapat kembali bemapas, aku menarik selimut hingga ke dada dan menunggu pil Armand bekerja. + Saat aku terbangun, kamar itu gelap. Sepotong langit yang mengintip dari celah pada tirai menunjukkan lem-bayung senja saat menginjak malam. Seprai di bawahku basah kuyup dan kepalaku berdenyut. Lagi-lagi aku bermimpi, namun aku tak mampu mengingatnya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Jantungku berdebar kencang saat aku mendapati Sohrab tidak lagi berada di ranjangnya. Aku memanggil namanya. Suaraku membuatku terkejut. Betapa mem-bingungkan, duduk dalam sebuah kamar hotel yang gelap, ribuan mil jauhnya dari rumah, tubuhku hancur lebur, memanggilmanggil nama seorang anak yang baru kujumpai beberapa hari yang lalu. Aku memanggil namanya dan tidak mendapatkan jawaban. Aku ber-juang turun dari ranjang, memeriksa kamar mandi, melongok ke koridor kecil di luar kamar. Dia pergi. Aku mengunci pintu dan tertatih-tatih menuju kantor manajer di lobi, satu tanganku memegang erat susuran di sepanjang koridor. Sebatang pohon palem palsu yang berlapis debu berdiri di sudut lobi dan burung-burung flamingo merah jambu menghiasi kertas dinding. Sang manajer hotel sedang membaca koran di balik meja penerimaan berlapis Formika. Aku menggambarkan penampilan Sohrab padanya, dan menanyakan kalaukalau dia melihatnya. Dia menurunkan korannya dan membuka kacamatabacanya. Rambutnya berminyak dan kumis perseginya bersemburat kelabu. Tubuhnya menguarkan aroma samar buah-buahan tropis yang tidak begitu kukenali.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Anak-anak, mereka suka menjelajah," katanya seraya menghela napas. "Saya punya tiga anak. Sepanjang hari mereka berkeliaran, menyusahkan ibunya." Dia mengipaskan korannya ke wajah, memandangi rahangku. "Saya pikir dia tidak akan menjelajah," sangah-ku. "Dan kami tidak berasal dari sini. Saya takut dia tersesat." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah seharusnya Anda mengawasi anak Anda, mister." "Saya tahu," sahutku. "Tapi saya tertidur dan saat bangun, dia sudah pergi." "Anak-anak harus diawasi, Anda tahu." "Ya," tekanan darahku meningkat. Bagaimana dia bisa tenang-tenang saja sementara aku dicekam kepanikan? Dia memindahkan korannya ke tangan yang lain dan kembali mengipasi wajahnya. "Sekarang mereka menginginkan sepeda." "Siapa?" "Anak-anak saya," katanya. "Mereka bilang, "Ayah, Ayah, ayolah, belikan kami sepeda dan kami tidak akan mengganggumu lagi. Ayolah, Ayah!" Dia mendenguskan tawanya. "Sepeda. Ibu mereka akan membunuhku, saya berani sumpah." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Bayangan Sohrab tergolek di selokan melintas di benakku. Atau dalam bagasi mobil seseorang, ter-ikat dan mulutnya tersumpal. Aku tak mau tanganku temodai oleh darahnya. Jangan sampai darahnya juga. "Tolong ..." ujarku. Aku memicingkan mata, mem-baca nama yang tertempel pada kemeja katun biru berlengan-pendek yang dikenakannya. "Tuan Fayyaz, apakah Anda melihatnya?" "Anak itu?" Aku menahan diri. "Ya, anak itu! Anak yang bersama saya. Apakah kau melihatnya atau tidak, demi Tuhan?" Dia berhenti mengipas. Matanya menyipit. "Jangan macam-macam denganku, Bung. Bukan aku yang kehilangan anak." Meskipun ucapannya ada benamya, darahku sudah terlanjur mendidih. "Anda benar. Saya salah. Ini kesalahan saya. Sekarang, apakah Anda melihatnya?" "Maaf," tegasnya. Dia mengenakan kembali kacamatanya, mengibaskan korannya hingga terbuka. "Saya tidak melihat anak yang Anda gambarkan."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sejenak aku berdiri di hadapannya, berusaha untuk tidak berteriak. Saat aku keluar menuju lobi, dia ber-kata, "Punya gagasan ke mana dia mungkin ingin pergi?" "Tidak," jawabku. Aku merasa letih. Letih dan ketakutan. "Minat pada sesuatu yang khusus, mungkin?" tanyanya. Kulihat dia melipat korannya. "Anak-anak saya, contohnya, mereka akan melakukan apa pun untuk menonton film laga keluaran Amerika, terutama yang dibintangi Amold Whatsanegger-" "Masjid itu!" sahutku. "Masjid besar itu." Aku ingat bagaimana masjid itu telah membuat kebekuan Sohrab mencair saat kami melewatinya, bagaimana dia mencondongkan badannya ke jendela dan me-natapnya lekat-lekat. "Shah Faisal?" "Ya. Bisakah Anda membawa saya ke sana?" "Apa Anda tahu bahwa masjid itu adalah yang terbesar di dunia?" tanyanya. "Tidak, tapi-" "Halamannya saja bisa menampung 40.000 orang." "Anda bisa membawa saya ke sana?" "Jaraknya cuma satu kilometer dari sini," katanya. Tapi dia sudah beranjak dari mejanya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Saya akan membayar ongkosnya," ujarku. Dia menghela napas dan menggelengkan kepala. "Tunggu di sini." Dia menghilang ke ruang belakang, muncul lagi dengan mengenakan kaca mata lain, memegang seikat kunci di tangannya, dan seorang wanita gemuk yang mengenakan sari oranye mengikuti di belakangnya. Dia menggantikan tugas Fayyaz di balik meja. "Saya tidak menginginkan uang Anda," kata-nya, menolak tawaranku. "Saya mau mengantar Anda karena saya juga seorang ayah seperti Anda." + Kupikir kami akan terus berkeliling kota hingga malam tiba. Aku membayangkan diriku memberitahu polisi, menggambarkan ciri-ciri Sohrab kepada mereka di bawah tatapan nista Fayyaz. Aku mendengarkan polisi itu, suaranya menunjukkan kelelahan dan keengganan, melayangkan berbagai pertanyaan umum. Dan di balik pertanyaan-pertanyaan resmi itu, terbersit per-tanyaan yang sesungguhnya: Siapa yang mau-maunya peduli pada satu lagi anak Afghan yang sudah mati? Tapi kami menemukannya sekitar seratus meter dari masjid, duduk di hamparan rumput di sela-sela lahan parkir yang setengah-penuh. Fayyaz

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menghentikan mobilnya dan menungguku keluar. "Saya harus kembali," katanya. "Tidak apa-apa. Kami pulang berjalan kaki saja," ujarku. "Terima kasih, Tuan Fayyaz. Sungguh." Dia mencondongkan badannya padaku saat aku akan keluar. "Saya boleh mengatakan sesuatu pada Anda?" "Tentu." Dalam temaram cahaya senja menjelang malam, yang terlihat dari wajahnya hanyalah sepasang kaca-matanya yang memantulkan cahaya memudar. "Masa-lah kalian orang-orang Afghan adalah ... yah, kalian memang ceroboh." Aku sangat lelah dan tubuhku kesakitan. Rahangku berdenyut-denyut. Dan luka-luka keparat di dada dan perutku terasa seperti kawat berduri yang tersembunyi di bawah kulitku. Tapi aku tetap saja tergelak. "Apa ... apa yang saya ..." ujar Fayyaz, namun saat itu aku telah terbahakbahak, tertawa sepenuh hati melalui mulutku yang berkawat. "Dasar gila," katanya. Ban mobilnya berdecit saat dia memutar mobilnya, lampu belakangnya mengedipkan cahaya merah dalam keremangan senja. "Kau benar-benar membuatku ketakutan," kataku. Aku duduk di sebelahnya, menahan rasa sakit saat menekuk tubuhku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia sedang memandangi masjid itu. Masjid Shah Faisal berbentuk seperti tenda raksasa. Mobil-mobil datang dan pergi; para jamaah berpakaian putih meng-alir masuk dan keluar. Kami duduk dalam keheningan, aku bersandar ke pohon, Sohrab di sebelahku, memeluk lututnya. Kami mendengarkan lantunan azan, menyaksikan saat ratusan lampu dinyalakan ketika malam semakin pekat. Masjid itu berkilauan bagaikan sebongkah permata dalam kegelapan. Pemandangan itu menggugah nyala langit, wajah Sohrab. "Kau pernah pergi ke Mazar-i-Sharif?" Sohrab bertanya, dagunya ditopangkan ke lutut. "Dulu sekali. Aku tidak begitu ingat." "Ayah mengajakku ke sana waktu aku masih kecil. Ibu dan Sasa juga ikut. Ayah membelikan aku monyet dari pasar. Bukan monyet sungguhan, tapi mainan yang harus ditiup. Wamanya cokelat dan ada dasi kupu-kupunya." "Sepertinya aku punya mainan seperti itu waktu masih kecil." "Ayah mengajakku ke Masjid Biru," Sohrab melanjutkan. "Aku masih ingat, ada banyak sekali burung merpati di luar masjid itu, dan mereka tidak takut pada orang. Mereka malah mendatangi kami. Sasa memberiku sepotong naan dan aku membagikannya pada burung-burung itu. Tak Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

lama kemudian, burung-burung merpati itu pun mengerumuni aku. Asyik sekali." "Kau pasti sangat merindukan orangtuamu," ujarku. Aku bertanya-tanya, apakah dia menyaksikan saat Taliban menyeret kedua orangtuanya ke jalanan. Kuharap tidak. "Apa kau merindukan orangtuamu?" dia menempelkan pipinya ke lutut dan menatapku. "Apa aku merindukan orangtuaku? Hmm, aku tak pernah bertemu dengan ibuku. Ayahku mening-gal beberapa tahun yang lalu dan, ya, aku merindukannya. Kadang-kadang aku sangat rindu padanya." "Kau masih ingat seperti apa dia?" Yang terpampang di benakku adalah leher Baba yang tebal, matanya yang hitam, dan rambut cokelatnya yang acak-acakan. Duduk di pangkuannya bagaikan duduk di atas batang pohon. "Aku masih mengingatnya," jawabku. "Aku juga masih ingat aroma tubuh-nya." "Aku mulai melupakan wajah mereka," kata Sohrab. "Burukkah itu?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tidak," jawabku. "Waktulah yang menyebabkannya." Aku teringat akan sesuatu, lalu meraih ke saku depan mantelku. Di sana terdapat foto Polaroid Hassan dan Sohrab. "Ini," kataku. Dia mendekatkan foto itu hingga hampir menempel ke wajahnya, membaliknya supaya cahaya dari masjid meneranginya. Dia memandanginya selama beberapa saat. Kukira dia akan menangis, namun temyata tidak. Dia hanya memegang foto itu dengan kedua tangannya, membelai permukaannya dengan ibu jarinya. Aku memikirkan sebuah kalimat yang pernah kubaca di suatu tempat, atau mungkin kudengar dari seseorang: Ada begitu banyak anak-anak di Afghanistan, tetapi hanya secuil masa kanak-kanak yang ada di sana. Dia mengulurkan tangannya untuk mengembalikan foto itu padaku. "Simpanlah," ujarku. "Itu milikmu." "Terima kasih." Dia kembali menatap foto itu lalu memasukkannya ke saku rompinya. Sebuah kereta kuda berderap melewati lahan parkir itu. Sebuah lonceng kecil terpasang di leher kuda itu dan berdenting mengiringi setiap langkahnya. "Akhir-akhir ini aku sering memikirkan masjid," ujar Sohrab. "Oh, ya? Mengapa begitu?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dia mengangkat bahu. "Cuma berpikir saja." Dia mendongakkan wajahnya, menatap langsung padaku. Sekarang dia menangis, lembut, lirih. "Bolehkan aku menanyakan sesuatu padamu, Amir agha?" "Tentu." "Akankah Tuhan ..." dia mulai, namun sedikit tercekat. "Akankah Tuhan menempatkanku di neraka karena yang kulakukan pada pria itu?" Aku meraihnya namun dia menghindariku. Aku mengurungkan niatku. "Tidak. Tentu saja tidak," ujarku. Aku ingin meraihnya lebih dekat, memeluknya, mengatakan padanya bahwa dunia telah begitu jahat padanya, bukan kebalikannya. Dia mengemyitkan wajahnya dan berusaha untuk tetap terlihat tenang. "Ayah sering bilang, menyakiti seseorang adalah salah, bahkan walau orang itu jahat. Karena mereka tidak tahu jalan yang lebih baik, dan karena orang-orang yang jahat pun bisa menjadi baik." "Tidak selalu, Sohrab." Dia menatapku tak mengerti. "Orang yang menyakitimu, aku mengenalnya sejak bertahun-tahun yang lalu," aku menjelaskan. "Kukira kau bisa menebaknya dari percakapan kami. Dia ... dia pernah mencoba menyakitiku sekali saat aku seumurmu, tapi ayahmu menyelamatkanku. Ayahmu benar-benar pemberani dan dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

selalu meloloskanku dari masalah, membelaku. Jadi, suatu hari, pria jahat itu menyakiti ayahmu. Dia menyakitinya dengan sangat parah dan aku ... aku tidak sanggup menolong ayahmu seperti saat dia menolongku." "Mengapa ada orang yang ingin menyakiti ayahku?" suara Sohrab terdengar kecil dan melengking. "Dia tidak pernah berbuat jahat pada siapa pun." "Kau benar. Ayahmu pria yang baik. Tapi itulah yang ingin kusampaikan padamu, Sohrab jan. Di dunia ini, ada orang yang memang jahat, dan kadang-kadang mereka akan tetap jahat. Kadang-kadang kau harus melawan mereka. Yang kaulakukan pada pria itu adalah yang seharusnya kulakukan padanya bertahun-tahun yang lalu. Kau memberikan padanya balasan yang pantas dia terima, dan dia bahkan pantas menerima yang lebih berat dari itu." "Apa menurutmu Ayah akan kecewa padaku?" "Aku tahu dia tidak akan kecewa," jawabku. "Kau menyelamatkan nyawaku di Kabul. Aku tahu dia sangat bangga padamu karenanya." Dia mengusap wajahnya dengan lengan kemejanya. Tangis yang sudah terbentuk di bibimya pun akhirnya pecah. Dia membenamkan wajahnya ke Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tangan dan terisak lama sebelum kembali bicara. " Aku merindukan Ayah, dan juga Ibu," ujamya parau. "Dan aku merindukan Sasa dan Rahim Khan sahib. Tapi kadang-kadang aku lega karena mereka tidak ... mereka tidak lagi di sini." "Mengapa?" Aku menyentuh lengannya. Dia menepisnya. "Karena.." ucapannya terputus oleh isakan dan sedu sedannya, "karena aku tak mau mereka melihatku seperti ini ... aku sangat kotor." Napasnya tercekat dan dia mengeluarkannya dalam lengkingan tangis yang panjang. "Aku sangat kotor dan penuh dosa." "Kau tidak kotor, Sohrab," ujarku. "Orang-orang itu-" "Kau sama sekali tidak kotor." "...mereka melakukan ... pria jahat itu dan dua temannya ... mereka melakukan sesuatu ... mereka melakukannya padaku." "Kau tidak kotor, dan kau tidak penuh dosa." Aku mencoba lagi menyentuh lengannya dan dia menjauhiku. Aku meraihnya lagi, dengan lembut, menarik tubuhnya padaku. "Aku tidak akan menyakitimu," bisikku. "Aku berjanji." Dia sedikit melawan. Hingga akhirnya, tubuhnya mengendur. Dia

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mem-biarkanku memeluknya dan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Tubuh kecilnya berguncang di lenganku setiap kali dia terisak. Persaudaraan timbul di antara mereka yang menyusu pada payudara yang sama. Sekarang, saat kepedihan anak ini membasahi kemejaku, aku melihat bahwa persaudaraan juga telah menancapkan akamya di antara kami. Peristiwa menghadapi Assef dalam ruangan itu tak diragukan lagi telah mengikat kami. Aku telah menanti saat yang tepat, momen yang tepat, untuk mengucapkan pertanyaan yang telah bermain-main di kepalaku dan membuatku terjaga semalaman. Kuputuskan, momen yang tepat adalah sekarang, di sini, saat ini juga, di bawah cahaya benderang rumah Tuhan yang menyinari kami. "Maukah kau ikut ke Amerika dan tinggal bersamaku dan istriku?" Dia tidak menjawab. Dia tersedu-sedu dalam pelukanku dan aku membiarkannya. Selama seminggu, baik aku maupun Sohrab tidak membicarakan tawaranku padanya, seolah-olah pertanyaan itu tak pernah terucap. Lalu suatu hari, aku dan Sohrab menumpang taksi menuju Pos Peng-amatan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Daman-e-Koh atau "kaki gunung." Terletak di tengah jalur pendakian Bukit Margalla, dari tempat ini peman-dangan kota Islamabad terbentang di hadapan kami; jalan-jalan bersihnya yang diapit pepohonan dan rumahrumahnya yang bercat putih. Kata si sopir, kami bisa melihat istana presiden dari sana. "Saat udara bersih setelah hujan turun, Anda bahkan dapat melihat hingga ke Rawalpindi," katanya. Aku menatap matanya dari kaca spion, mengamati Sohrab dan aku, berulang kali. Aku melihat wajahku sendiri. Tidak lagi sebengkak sebelumnya, namun aku membutuhkan bedak kuning untuk menutupi lebam-lebam yang mulai memudar di wajahku. Kami duduk di bangku di salah satu area piknik, di bawah naungan pohon karet. Hari itu hangat, matahari berada tinggi di langit biru. Di bangku dekat kami, beberapa keluarga mengudap samosa dan pakora. Dari suatu tempat, lagu India yang seingatku terdapat dalam sebuah film, mungkin Pakeeza mengalun dari radio. Anak-anak, banyak di antara mereka yang berusia sebaya dengan Sohrab, mengejarngejar bola sepak, tertawa-tawa, berteriak-teriak. Aku teringat akan panti asuhan di Karteh Seh, teringat akan tikus di kantor Zaman yang berkeliaran di antara kakiku. Dadaku disesaki oleh rasa marah yang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

seketika datang saat memikirkan cara penduduk negeriku menghancurkan tanah air mereka sendiri. "Ada apa?" tanya Sohrab. Aku memaksakan senyuman dan memberitahunya bahwa itu tidak penting. Kami menggelar salah satu handuk hotel di a-tas meja piknik dan bermain panjpar di sana. Rasanya menyenangkan berada di sana, bersama putra adik tiriku, bermain kartu, sementara sinar matahari yang hangat menerpa leherku. Lagu itu berhenti dan dilanjutkan oleh lagu lain yang tidak kukenal. "Lihat," kata Sohrab. Dia menunjuk ke langit dengan kartunya. Aku mendongak, melihat seekor burung elang terbang berputar-putar di langit yang tanpa batas. "Aku tak tahu ada elang di Islamabad," ujarku. "Aku juga," tatapannya mengikuti setiap putaran burung itu. "Apa ada elang di tempatmu tinggal?" "San Francisco? Kurasa ada. Meskipun aku tak bisa bilang sering melihatnya." "Oh," ujamya. Kuharap dia bertanya lebih banyak, namun dia hanya membagikan kartu dan bertanya apakah kami boleh makan. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

membuka kantong kertas dan memberikan sebuah sandwich baso padanya. Makan siangku lagi-lagi terdiri atas secangkir jus pisang dan jeruk aku menyewa blender milik Nyonya Fayyaz selama seminggu. Melalui sedotan, jus buah yang manis memenuhi mulutku. Beberapa tetes membasahi sudut bibirku. Sohrab menyodor-kan lap dan memandangku saat aku membersihkan mulutku. Aku tersenyum dan dia membalasnya. "Aku dan ayahmu bersaudara," ujarku. Kalimat itu keluar begitu saja. Aku ingin mengatakan hal ini padanya malam itu, saat kami duduk di dekat masjid, namun aku mengurungkannya. Tapi dia berhak untuk mengetahuinya; aku tak ingin menyembunyikan apa pun lagi. "Saudara tiri, sebenamya. Kami seayah." Sohrab berhenti mengunyah. Dia menurunkan sandwich-nya. "Ayah tak pernah bilang kalau dia punya saudara." "Itu karena dia tidak tahu." "Mengapa dia tidak tahu?" "Karena tidak ada yang memberitahunya," jelasku. "Tidak ada yang memberitahuku juga. Aku baru saja tahu." Sohrab mengedipkan matanya. Sepertinya dia

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

baru melihatku, benar-benar melihatku, untuk pertama kalinya. "Tapi mengapa orang-orang tidak memberitahumu dan Ayah?" "Kau tahu, aku juga pernah menanyakan hal yang sama. Dan ada satu jawaban, tapi bukan jawaban yang bagus. Katakan saja, mereka tidak memberitahu kami karena aku dan ayahmu ... kami tidak sepan-tasnya bersaudara." "Karena dia Hazara?" Aku menetapkan tatapanku padanya. "Ya." "Apa ayahmu," dia memandangi makanannya, "apa ayahmu sama-sama menyayangi kalian berdua?" Aku memikirkan peristiwa yang terjadi dahulu kala di tepi Danau Gargha, saat Baba membiarkan dirinya menepuk-nepuk punggung Hassan ketika loncatan batunya mengalahkanku. Aku membayangkan Baba dalam kamar rumah sakit, wajahnya berseri-seri saat mereka membuka balutan di bibir Hassan. "Kurasa dia sama-sama menyayangi kami berdua, namun dengan cara yang berbeda." "Apa ayahku membuatnya malu?" "Tidak," jawabku. "Dirinya sendirilah yang membuatnya malu." Dia mengangkat sandwichnya dan menggerogotinya tanpa suara. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kami pulang saat menjelang sore, merasa letih karena kepanasan, namun letih yang menyenangkan. Di sepanjang jalan pulang, aku merasakan Sohrab memandangiku. Aku meminta sopir berhenti di depan sebuah toko yang menjual kartu telepon. Aku memberikan uang dan tip padanya untuk berlari ke dalam dan membelikanku sebuah kartu. Malam itu, kami berbaring di atas ranjang kami masing-masing, menonton acara bincang-bincang di TV. Dua orang ulama berjanggut kelabu panjang dan berserban putih sedang menerima telepon dari orang-orang beriman di seluruh dunia. Salah seorang penelepon, Ayub yang berasal dari Finlandia, menanyakan apakah anak laki-laki remajanya akan masuk neraka karena suka memakai celana baggy berpinggang sangat rendah sehingga sebagian celana dalamnya terlihat. "Aku pernah melihat gambar kota San Francisco," kata Sohrab. "Oh, ya?" "Di sana ada jembatan merah dan gedung beratap lancip." "Kau harus melihat jalan-jalannya," sambutku. "Memangnya kenapa?" Sekarang dia menatapku. Di layar TV, kedua mullah itu sedang berdiskusi. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Jalan-jalan di sana sangat curam, sehingga kalau kau menyetir ke atas, yang kaulihat hanyalah atap mobil dan langit," terangku. "Sepertinya menyeramkan," dia berguling, menghadap padaku, memunggungi TV. "Saat baru beberapa kali melewatinya memang menyeramkan," ujarku. "Tapi lama-lama kau akan terbiasa." "Apa di sana ada salju?" "Tidak, tapi di sana sering berkabut. Kau tahu jembatan merah yang kaulihat gambamya itu?" "Ya." "Kadang-kadang, di pagi hari saat kabut sangat tebal, yang terlihat hanyalah puncak dua menaranya yang menyembul ke atas." Ketakjuban membayangi senyumnya. "Oh." "Sohrab?" "Ya." "Apa kau sudah mempertimbangkan tawaranku?" Senyumnya memudar. Dia kembali berguling memunggungiku. Meletakkan kedua tangannya di bawah kepala. Para mullah telah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memutuskan bahwa putra Ayub akan dimasukkan ke neraka karena caranya bercelana. Mereka mengklaim bahwa hal itu terdapat dalam hadis. "Aku sudah memikirkannya," ujar Sohrab. "Dan?" "Aku merasa takut." "Aku tahu ini memang sedikit menakutkan," aku berusaha menggapai benang harapan yang terkulai itu. "Tapi kau akan dengan cepat mempelajari bahasa Inggris dan kau akan terbiasa dengan-" "Bukan itu maksudku. Itu juga membuatku takut, tapi "Tapi apa?" Dia berguling menghadapiku. Memeluk lututnya. "Bagaimana kalau kau merasa bosan padaku? Bagaimana kalau istrimu tidak menyukaiku?" Aku berjuang menuruni ranjang dan menyeberangi jarak yang terbentang di antara kami. Aku duduk di sampingnya. "Aku tak akan pernah merasa bosan denganmu, Sohrab," ujarku. "Tidak akan pernah. Peganglah janjiku. Kau adalah keponakanku, ingat? Dan Soraya jan, dia wanita yang sangat baik hati. Percayalah padaku, dia akan menyayangimu. Aku juga menjanjikan hal ini padamu." Aku merasa mendapatkan kesempatan. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

meraih tangannya. Tubuhnya sedikit tegang namun dia membiarkanku menggengam tangannya. "Aku tak mau lagi dimasukkan ke panti asuhan," katanya. "Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Aku ber-janji." Aku menggenggam tangannya dengan kedua tanganku. "Pulanglah bersamaku." Airmatanya membasahi bantal. Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Lalu tangannya membalas genggamanku. Dan dia mengangguk. Dia mengangguk. * Sambungan itu terhubung setelah aku mencoba empat kali. Telepon berdering sebanyak tiga kali sebelum dia mengangkatnya. "Halo?" Saat itu pukul 19.30 di Islamabad, kira-kira saat yang sama di pagi hari di California. Artinya, Soraya telah terbangun sejam yang lalu dan sedang bersiap-siap berangkat mengajar ke sekolah. "Ini aku," ujarku. Aku duduk di ranjang, memerhatikan Sohrab yang tertidur lelap. "Amir!" dia hampir menjerit. "Kau baik-baik saja? Di mana kau sekarang?" "Aku di Pakistan."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Mengapa kau tidak pernah menelepon? Aku sakit-sakitan karena tesfrweesfr-khawatir! Ibuku ber-doa dan melaksanakan nazar tiap hari." "Maafkan aku karena tidak meneleponmu. Sekarang aku baik-baik saja." Aku mengatakan padanya bahwa aku hanya akan pergi selama seminggu, paling lama dua minggu. Aku sudah pergi selama hampir sebulan. Aku tersenyum. "Dan sampaikan pada Khala Jamila untuk berhenti menyembelih domba." "Apa maksudmu 'sekarang baik-baik saja'? Dan kenapa suaramu seperti itu?" "Jangan mengkhawatirkan hal itu sekarang. Aku baik-baik saja. Sungguh. Soraya, aku harus menceriakan sesuatu padamu, cerita yang seharusnya kusampaikan sejak dulu, tapi sebelumnya aku harus memberitahukan satu hal padamu." "Apa itu?" tanyanya, dia menurunkan nada bicaranya sekarang, sepertinya dia merasa cemas. "Aku tidak akan pulang sendirian. Aku akan membawa seorang anak lakilaki." Aku terdiam. "Aku ingin kita mengadopsinya." "Apa?" Aku melirik arlojiku. "Masih tersisa 57 menit laKoleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

gi dalam kartu telepon bodoh ini dan ada begitu banyak hal yang harus kuceritakan padamu. Duduklah." Aku mendengar dia buru-buru menyeret sebuah kursi di atas lantai kayu. "Ayo ceritakan," katanya. Lalu aku melakukan apa yang tak kunjung kulakukan sepanjang 15 tahun pemikahan kami: aku menceritakan segalanya pada istriku. Segalanya. Telah begitu sering aku membayangkan saat ini, membiarkan keengganan mengambil alih, namun, saat aku akhirnya bicara, aku merasakan sebuah beban terangkat dari dadaku. Aku membayangkan Soraya mengalami hal yang sama pada malam khastegari kami, saat dia mencurahkan masa lalunya padaku. Saat aku selesai bercerita, dia menangis tersedu-sedu. "Bagaimana menurutmu?" aku bertanya. "Aku tak tahu harus bagaimana, Amir. Kau mengatakan begitu banyak hal sekaligus." "Aku tahu itu." Aku mendengamya membersihkan hidung. "Tapi yang kutahu adalah: Kau harus membawanya pulang. Aku ingin kau melakukannya." "Apa kau yakin?" aku menutup mataku dan tersenyum.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Apa aku yakin?" jawabnya. "Amir, dia adalah qaom-mu, keluargamu, jadi dia adalah qaom-ku juga. Tentu saja aku yakin. Kau tidak bisa meninggalkan dia di jalanan." Dia terdiam sejenak. "Seperti apa dia?" Aku menatap Sohrab yang tertidur di ranjang. "Dia manis, tapi juga sendu." "Siapa yang bisa menyalahkannya?" katanya. "Aku ingin bertemu dengannya, Amir. Sungguh." "Soraya?" "Ya." "Dostet darum. " Aku mencintaimu. "Aku juga mencintaimu," balasnya. Aku bisa mendengar senyuman dalam suaranya. "Dan berhati-hatilah." "Tentu. Dan satu lagi. Jangan dulu katakan pada orangtuamu siapa dia. Kalau mereka ingin tahu, akulah yang harus menceritakannya." "Oke." Kami menutup telepon. Halaman luar kedutaan besar Amerika di Islamabad terpangkas rapi, di sana-sini dihiasi rumpun-rumpun tanaman bunga, dan dibatasi oleh tanaman perdu yang juga terpangkas rapi. Gedungnya sendiri menyerupai Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kebanyakan bangunan di Islamabad: beratap datar dan bercat putih. Kami berjalan melewati beberapa portal untuk mencapainya dan tiga penjaga keamanan yang berbeda memerintahkan penggeledahan padaku karena kawat yang terpasang di rahangku menyalakan detektor logam. Saat akhirnya kami masuk ke dalam gedung dan meninggalkan udara yang panas menyengat, udara berAC menerpa wajahku bagaikan percikan air es. Sekretaris yang bertugas di lobi seorang wanita berwajah tirus, berambut pirang, dan berusia 50-an tersenyum saat aku menyebutkan namaku. Dia mengenakan atasan cokelat muda dan celana panjang hitam wanita pertama yang kulihat selama berminggu-minggu ini yang berpakaian selain burqa atau gamis. Dia mencari namaku dalam daftar janji sambil mengetuk-ngetukkan ujung pensilnya yang berpeng-hapus ke meja. Dia menemukan namaku dan menyuruhku duduk. "Anda mau limun?" dia bertanya. "Tidak perlu, terima kasih," jawabku. "Bagaimana dengan putra Anda?" "Maaf?" "Pria muda yang tampan itu," katanya sambil tersenyum kepada Sohrab. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh. Boleh juga, terima kasih." Aku dan Sohrab duduk di sofa kulit hitam di seberang meja penerimaan, di dekat tiang tinggi berbendera Amerika. Sohrab memungut sebuah majalah dari permukaan kaca meja kopi. Dia membalik-balik halamannya, tidak benar-benar mengamati gambar-gambamya. "Apa?" tanya Sohrab. "Maaf?" "Kau tersenyum." "Aku sedang memikirkanmu," ujarku. Dia memberiku senyuman gugup. Memungut majalah lain dan menyelesaikan seluruh halamannya kurang dari semenit. "Jangan takut," aku menyentuh lengannya. "Orang-orang di sini ramah. Santai saja." Nasihat itu berlaku juga untukku. Aku tidak bisa duduk tenang, membuka dan mengikat kembali tali sepatuku. Sekretaris itu meletakkan sebuah gelas tinggi berisi limun dingin di meja kopi. "Ini dia." Sohrab tersenyum malu-malu. "Thank you very much," dia mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Kedengarannya seperti "Tank you wery match." Hanya itulah bahasa Inggris yang dia tahu, dia pernah berkata padaku, itu dan "Have a nice day." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Wanita itu tertawa. "Terima kasih kembali." Dia berjalan kembali ke mejanya, hak tinggi pada sepatu-nya mengetuk-ngetuk lantai. "Have a nice day, " seru Sohrab. + Raymond Andrews adalah seorang pria pendek bertangan kecil, dengan kuku-kuku yang terawat sempuma, dan cincin kawin tersemat di jari. Dia mengangguk dengan tegas padaku; rasanya seperti meremas burung gereja. Tangan-tangan itulah yang menggenggam nasib kami, pikirku saat kami mengambil tempat duduk di hadapannya. Sebuah poster Les Miserabies menem-pel di tembok di belakangnya, bersebelahan dengan peta topografi AS. Sebuah pot berisi tanaman tomat diletakkan di ambang jendela yang bermandikan cahaya matahari. "Rokok?" tanyanya, suaranya bariton dalam dan terdengar aneh jika disandingkan dengan sosoknya yang kurus. "Tidak, terima kasih," jawabku, tanpa memeduli-kan arah tatapan Andrews yang hampir tak pernah tertuju pada Sohrab, atau sikapnya yang tidak melihatku sama sekali saat kami berbicara. Dia membuka laci mejanya dan menyalakan sebatang rokok yang diambil dari kotak yang tinggal berisi setengah. Dia juga mengeluarkan sebotol lotion dari laci yang sama. Dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menatap tanaman tomatnya seraya mengoleskan lotion itu ke tangan, sementara rokok menggantung di sudut mulutnya. Lalu dia menutup laci itu, meletakkan sikutnya di meja, dan menghela napas. "Jadi," katanya, mengerutkan matanya melawan asap, "ceritakan kisah Anda." Aku merasa bagaikan Jean Valjean yang duduk berhadapan dengan Javert. Kuingatkan diriku bahwa saat ini aku sedang berada di wilayah Amerika, pria ini berada dalam timku, dia dibayar untuk menolong orang-orang sepertiku. "Saya ingin mengadopsi anak ini, membawanya pulang ke Amerika bersama saya," ujarku. "Ceritakan kisah Anda," ulangnya sambil melumatkan secuil abu yang hinggap di atas mejanya yang tertata rapi dengan jari telunjuknya, lalu menjentikannya ke tempat sampah. Aku menceritaka n padanya versi kejadian yang telah kususun di kepalaku sejak aku selesai berbicara dengan Soraya. Aku pergi ke Afghanistan untuk menjemput putra adik tiriku. Aku menemukan anak itu dalam kondisi mengenaskan, terlunta-lunta di panti asuhan. Aku membayarkan sejumlah uang pada direktur panti asuhan dan mengeluarkan anak itu. Lalu aku membawanya ke Pakistan. "Anda paman tiri anak ini?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Ya." Dia melirik arlojinya. Mencondongkan badannya dan memutar pot tomat di ambang jendela. "Ada orang yang bisa menjadi saksi?" "Ya, tapi saya tidak tahu di mana dia sekarang." Dia berpaling menatapku dan mengangguk. Aku mencoba membaca ekspresi wajahnya dan gagal. Aku bertanya-tanya, apakah dia pernah menggunakan tangan kecilnya itu untuk bermain poker. "Saya kira memasang kawat di rahang bukan tren mode terbaru," katanya. Kami mendapat masalah, aku dan Sohrab, dan aku menyadarinya saat itu juga. Aku mengatakan padanya bahwa kami dirampok di Pesshawar. "Tentu saja," katanya. Dia berdeham. "Anda Muslim?" "Ya." "Menjalankannya?" "Ya." Kenyataannya, aku tak ingat lagi kapan terakhir kalinya aku memanjatkan doa sambil menempelkan keningku di lantai. Lalu aku teringat: hari itu, saat Dr. Amani menyampaikan prognosis Baba. Aku bersujud di atas sajadah, berusaha mengingat potongan-potongan ayat yang kupelajari di sekolah. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Bisa membantu dalam kasus Anda, tapi tidak banyak," dia menggaruk kepalanya yang berambut kelabu pasir tanpa cela. "Apa maksud Anda?" tanyaku. Aku meraih tangan Sohrab, menjalinkan jariku dengan jarinya. Sohrab menjatuhkan pandangannya dengan raguragu padaku, lalu pada Andrews. "Ada penjelasan panjang yang saya yakin akhir-nya akan saya sampaikan juga pada Anda. Anda mau mendengar yang pendek lebih dahulu?" "Rasanya ya," jawabku. Andrews melumatkan rokoknya, bibimya berkerut. "Menyerahlah." "Maaf?" "Petisi Anda untuk mengadopsi anak muda ini. Menyerahlah. Itu nasihat saya untuk Anda." "Saya mendengarkan," ujarku. "Sekarang, mungkin Anda mau menjelaskan kepada saya, mengapa saya harus melakukannya." "Artinya, Anda menginginkan penjelasan yang panjang," katanya, suaranya tidak menunjukkan sedikit pun emosi, tidak menunjukkan reaksi atas nada ketusku. Dia menempelkan kedua telapak tangannya, seolaholah dia sedang berlutut di hadapan Bunda Maria. "Katakan saja kisah yang Anda sampaikan pada saya benar-benar terjadi, meskipun saya berani mempertaruhkan dana pensiun saya, banyak bagian dari cerita itu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

yang merupakan hasil karangan dan banyak juga bagian yang dihilangkan. Bukannya saya peduli, maaf. Anda di sini, dia di sini, itulah yang penting. Biarpun begitu, petisi Anda menghadapi rintangan yang signifikan, yang paling berat adalah anak ini bukan yatim piatu." "Dia yatim piatu." "Secara hukum tidak." "Orangtuanya dibantai di jalanan. Para tetangga menyaksikannya," sergahku. Aku merasa lega karena kami berbicara dalam bahasa Inggris. "Anda punya surat kematian?" "Surat kematian? Kita sedang membicarakan Afghanistan. Sebagian besar penduduk negara itu tidak punya surat kelahiran." Matanya yang tanpa ekspresi sepertinya tak pernah berkedip. "Bukan saya yang membuat hukum ini, Sir. Semarah apa pun Anda, Anda masih harus mem-bukti-kan bahwa orangtua anak ini meninggal karena pe-nyakit. Anak ini harus dinyatakan sebagai yatim piatu yang sah secara hukum." "Tapi-" "Anda menginginkan penjelasan yang panjang dan saya sudah memberikannya. Masalah Anda berikut-nya adalah Anda membutuhkan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kerja sama dari negara asal anak ini. Nah, ini masalah yang berat mengingat keadaan saat ini dan, seperti yang Anda bilang, kita sedang membicarakan tentang Afghanistan. Tidak ada kedutaan besar Amerika di Kabul. Itulah yang mem-buat hal ini benar-benar rumit. Hampir-hampir tak mungkin." "Jadi menurut Anda, saya sebaiknya menelantarkan dia kembali ke jalanan?" tanyaku. "Saya tidak berkata begitu." "Dia mengalami pelecehan seksual," aku teringat akan lonceng yang terikat pada pergelangan kaki Sohrab, celak di seputar matanya. "Saya ikut bersedih mendengar hal itu," Andrews bergumam. Tapi, dari caranya menatapku, seolah-olah kami sedang mengobrolkan tentang cuaca. "Tapi hal itu tidak akan membuat INS mengeluarkan visa untuk anak muda ini." "Apa maksud Anda?" "Maksud saya, kalau Anda ingin memberikan bantuan, kirimlah dana ke organisasi sosial yang tepercaya. Jadilah sukarelawan di salah satu kamp pengungsian. Tapi pada saat ini, kami memberikan larangan keras pada warga negara AS yang mencoba mengadopsi anak-anak Afghan." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku berdiri. "Ayo, Sohrab," ajakku dalam bahasa Farsi. Sohrab berdiri di sampingku, menyandarkan kepalanya ke pinggulku. Aku teringat akan foto Pola-roid itu, di mana dia dan Hassan berdiri dalam pose yang sama. "Bisakah saya menanyakan sesuatu, Mr. Andrews?" "Ya." "Anda punya anak?" Untuk pertama kalinya, dia berkedip. "Punyakah Anda? Ini pertanyaan sederhana." Dia tidak berkata-kata. "Sudah saya kira," aku meraih tangan Sohrab. "Seharusnya mereka menempatkan seseorang yang tahu rasanya menginginkan seorang anak di posisi Anda." Aku membalikkan badan dan Sohrab meng-ikutiku. "Bisakah saya menanyakan sesuatu?" Andrews memanggilku. "Silakan." "Apakah Anda sudah menjanjikan pada anak ini bahwa Anda akan mengajaknya?" "Bagaimana kalau begitu?" Dia menggelengkan kepala. "Urusan yang berbahaya, menjanjikan sesuatu pada anak-anak." Dia menghela napas dan membuka lagi laci mejanya. "Anda mau memperjuangkannya?" dia mengaduk-aduk dokumennya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Saya mau memperjuangkannya." Dia mengeluarkan sehelai kartu nama. "Kalau begitu, saya sarankan Anda mencari pengacara imigrasi yang bagus. Omar Faisal bekerja di sini, di Islamabad. Anda bisa mengatakan padanya bahwa saya mengirim Anda menemuinya." Aku mengambil kartu nama itu. "Terima kasih," gumamku. "Semoga beruntung," katanya. Saat kami keluar ruangan, aku berpaling. Andrews duduk di bawah terpaan cahaya, menatap jendela tanpa ekspresi, tangannya memutar pot tomat menuju ke arah cahaya matahari, membelainya dengan penuh kasih sayang. + "Sampai jumpa," ucap sekretaris itu saat kami melewati mejanya. "Bos Anda sebaiknya belajar sopan santun," ujarku. Kupikir dia akan memutar matanya, mungkin mengangguk dengan cara yang mengesankan "aku tahu, semua orang bilang begitu." Tetapi, dia merendahkan suaranya. "Ray yang malang. Dia benar-benar berubah sejak putrinya meninggal." Aku mengangkat alisku. "Bunuh diri," bisiknya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Dalam taksi saat kami kembali ke hotel, Sohrab menyandarkan kepalanya ke jendela, terus memandangi gedung-gedung yang kami lewati, deretan pohon-pohon karet. Uap napasnya menempel di kaca, menghilang, lalu menempel kembali. Aku menanti pertanyaannya tentang hasil pertemuan itu namun dia tidak mengeluarkannya. + Dari balik pintu kamar mandi yang tertutup, terdengar bunyi air mengalir. Sejak hari pertama kami menginap di hotel ini, Sohrab berlama-lama di kamar mandi setiap malam sebelum tidur. Di Kabul, air panas yang mengalir bisa disamakan dengan ayah, komoditi yang langka. Sekarang Sohrab menghabiskan satu jam setiap malam di dalam bak mandi, berendam dalam air yang berbusa, menggosok tubuhnya. Sambil duduk di tepi ranjang, aku menelepon Soraya. Aku melirik pada garis cahaya tipis yang tampak di bawah pintu kamar mandi. Sudahkah kau merasa bersih, Sohrab? Aku mengatakan pada Soraya penjelasan Raymond Andrews. "Jadi, bagaimana menurutmu?" tanyaku. "Kita harus yakin bahwa dia salah." Soraya mengatakan padaku bahwa dia telah menelepon beberapa agen adopsi yang bisa menangani adopsi Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

intemasional. Dia belum mendapatkan agen yang mau mempertimbangkan untuk mengurus adopsi seorang anak Afghan, namun dia belum selesai mencari. "Bagaimana reaksi orangtuamu saat mendengar hal ini?" "Madar merasa bahagia untuk kita. Kau tahu bagaimana perasaannya padamu, Amir, tidak ada tindakanmu yang salah di matanya. Padar ... yah, seperti biasanya, dia sedikit susah dibaca. Dia tidak banyak bicara." "Dan kamu? Kau bahagia?" Aku mendengamya memindahkan gagang telepon ke tangannya yang lain. "Kupikir kita akan memberi-kan kebaikan pada keponakanmu, tapi mungkin bocah kecilmu itu juga akan memberikan kebaikan pada kita." "Aku juga memikirkan hal yang sama." "Aku tahu ini kedengarannya gila, tapi aku mendapati diriku bertanyatanya, apa qurma kesukaannya, atau mata pelajaran favoritnya di sekolah. Aku membayangkan diriku menolongnya mengerjakan PR Dia tertawa. Di kamar mandi, air berhenti mengalir. Aku bisa mendengar yang dilakukan Sohrab di dalam sana, bermain-main dalam bak mandi, menumpahkan air ke lantai. "Kau akan melakukannya dengan baik," sambutku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Oh, aku hampir lupa! Aku menelepon Kaka Sharif." Kaka Sharif membacakan puisi yang ditulis di atas kertas hotel saat nika kami. Putranya memegang Al-Quran di atas kepala kami, sementara aku dan Soraya berjalan menuju panggung, memamerkan senyuman pada kamera-kamera yang berkilatan. "Apa katanya?" "Well, dia akan mengaduk isi panci untuk kita. Dia akan menelepon kawan-kawan INS-nya," katanya. "Itu berita yang sangat bagus," ujarku. "Aku tak sabar lagi melihatmu bertemu dengan Sohrab." "Aku tak sabar lagi melihatmu," katanya. Aku menutup telepon sambil tersenyum. Sohrab keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian. Dia tidak banyak bicara sejak pertemuan dengan Raymond Andrews dan usahaku untuk mengajaknya mengobrol hanya dijawab dengan anggukan atau kata-kata pendek. Dia memanjat ranjangnya, menarik selimutnya hingga ke dagu. Beberapa menit kemudian, dia mendengkur. Aku mengusap selubung uap air yang melapisi cermin dengan gerakan melingkar dan bercukur dengan salah satu pisau cukur model kuno jenis yang harus dibuka terlebih dahulu untuk Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memasukkan silet yang disediakan hotel. Lalu aku masuk ke bak mandi, berbaring di sana hingga air panas yang beruap menjadi dingin dan mengubah kulitku menjadi keriput. Aku berbaring di sana, bermimpi, bertanya-tanya, berkhayal .... Omar Faisal adalah seorang pria berbadan gemuk, berkulit gelap, berlesung pipit, bermata bulat hitam, dan saat dia tersenyum ramah, tampaklah giginya yang renggang. Rambut kelabunya yang mulai menipis diikat ke belakang. Dia mengenakan setelan korduroi cokelat dengan tambalan kulit di sikut dan membawa tas kerja kulit usang yang kepenuhan. Karena pegangan tas itu sudah hilang, dia mengempitnya di dada. Dia termasuk jenis orang yang memulai setiap kalimatnya dengan tawa dan permohonan maaf yang tak di-perlukan, seperti Maaf, saya akan berada di sana pada pukul 17.00. Tertawa. Saat aku menelepon dia, dia bersikeras bahwa dialah yang akan mendatangi kami. "Maaf, taksi di kota ini memang ugal-ugalan," katanya dalam bahasa Inggris sempuma, tidak menyisakan sedikit pun aksen. "Mereka mencium aroma orang asing, mereka menaikkan ongkosnya tiga kali lipat." Dia menghambur melalui pintu, menebarkan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

senyuman dan permintaan maaf, sedikit terengah-engah dan berkeringat. Dia mengusap keningnya dengan saputangan dan membuka tas kerjanya, mengaduk-aduk isinya untuk mencari buku catatan dan meminta maaf karena telah mencecerkan beberapa lembar kertas ke ranjang. Sohrab bersila di atas ranjangnya, menonton acara televisi tanpa suara dengan satu bola matanya, sementara bola mata yang lain terpaku pada pengacara awut-awutan itu. Aku telah memberitahukan padanya pagi itu bahwa Faisal akan datang dan dia mengangguk, nyaris menanyakan sesuatu, dan kembali menonton acara tentang binatang-binatang berbicara. "Nah," ujar Faisal sembari membuka buku catatan hukumnya yang berwama kuning. "Saya harap anak-anak saya menuruni sifat ibunya kalau berkaitan dengan keteraturan. Maaf, mungkin ini bukan hal yang ingin Anda dengar dari pengacara yang Anda harapkan, eh?" Dia tertawa. "Well, Raymond Andrews sangat menghormati Anda." "Mr. Andrews. Ya, ya. Orang yang baik. Sebenamya, dia menelepon saya dan menceritakan tentang Anda." "Benarkah?" "Oh ya."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Jadi Anda sudah memahami situasi saya." Faisal mengusap butir-butir keringat di atas bibimya. "Saya memahami versi cerita yang Anda katakan pada Mr. Andrews," jelasnya. Lesung pipit muncul di pipinya saat dia tersenyum malu. Dia berpaling menatap Sohrab. "Ini pasti anak muda yang menyebabkan seluruh kekacauan ini," katanya dalam bahasa Farsi. "Ini Sohrab," ujarku. "Sohrab, ini Mr. Faisal, pengacara yang tadi kuceritakan padamu." Sohrab turun dari ranjangnya dan menyalami Omar Faisal. "Assalamu 'alaikum," katanya lirih. "Waalaikumussalam, Sohrab," jawab Farid. "Kau tahu kalau namamu sama dengan nama seorang pahlawan besar?" Sohrab mengangguk. Dia memanjat kembali ke ranjangnya dan berbaring miring menonton TV. "Saya tidak tahu Anda lancar berbahasa Farsi," ujarku dalam bahasa Inggris. "Anda tumbuh di Kabul?" "Tidak, saya lahir di Karachi. Tapi saya memang pernah tinggal di Kabul selama beberapa tahun. Shar-e-Nau, di dekat Masjid Haji Yaghoub," Faisal bercerita. "Saya tumbuh di Berkeley, sebenamya. Ayah saya membuka toko Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

musik di sana pada akhir 1960-an. Seks bebas, ikat kepala, kaus celup ikat, sebut saja." Dia mencondongkan badannya. "Saya menonton Wood-stock." "Groovy," sambutku, dan Faisal tertawa terbahak-bahak hingga sekujur tubuhnya berkeringat. "Omong-omong," lanjutku, "yang saya ceritakan pada Mr. Andrews kurang lebih benar, kecuali satu atau dua hal. Atau mungkin tiga. Saya akan mengatakan pada Anda versi tanpa sensomya." Dia menjilat jarinya dan mencari halaman kosong di catatannya, membuka pulpennya. "Saya menghargainya, Amir. Dan tidakkah sebaiknya kita berbicara dengan bahasa Inggris mulai saat ini?" "Baik." Aku menceritakan padanya segala yang terjadi. Tentang pertemuanku dengan Rahim Khan, per-jalanan menuju Kabul, panti asuhan, hukuman rajam di Stadion Ghazi. "Tuhan," bisiknya. "Saya sungguh bersedih, kenangan saya tentang Kabul begitu indah. Sulit dipercaya itu tempat yang sama dengan yang Anda cerita-kan." "Anda pernah ke sana akhir-akhir ini?" "Oh Tuhan, tidak." "Tempat itu bukan Berkeley, kalau saya boleh bilang," ujarku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Lanjutkan." Aku menceritakan padanya segalanya, pertemuan dengan Assef, perkelahian itu, Sohrab dan katapelnya, pelarian kami kembali ke Pakistan. Saat aku selesai bercerita, dia menulis sejenak, mengambil napas dalamdalam, dan menatapku dengan serius. "Well, Amir, Anda sedang menghadapi pertempuran yang berat." "Yang bisa saya menangi?" Dia menutup pulpennya. "Dengan mengambil risiko kedengaran mirip Raymond Andrews, hampir tak mungkin. Bukan tidak mungkin, tapi sangat berat." Hilang sudah senyumnya yang ramah, juga sorot Jenaka di matanya. "Tapi anak-anak seperti Sohrablah yang paling membutuhkan naungan," kataku. "Aturan-aturan dan undang-undang itu menurut saya tidak masuk akal." "Kita sependapat, Amir," katanya. "Tapi faktanya, ambil saja hukum imigrasi, kebijakan agen adopsi, dan situasi politik di Afghanistan, dan Anda akan lihat sendiri, semuanya menentang Anda." "Saya tidak mengerti," ujarku. Aku ingin menghantam sesuatu. "Maksud saya, saya mengerti tapi juga tidak mengerti."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Omar mengangguk, keningnya berkerut. "Well, penjelasannya begini. Pada akhir sebuah bencana, bisa bencana alam atau buatan manusia dan Taliban adalah bencana, Amir, percayalah sangatlah sulit untuk memastikan apakah seorang anak benar-benar yatim piatu. Anak-anak ditampung begitu saja dalam kamp-kamp pengungsian, atau para orangtua sengaja menelantarkan mereka karena tak mampu lagi merawat mereka. Terjadi setiap saat. Jadi, INS tidak akan menge-luarkan visa kecuali anak itu jelas-jelas memenuhi definisi anak yatim piatu yang sah secara hukum. Maaf, saya tahu ini kedengarannya konyol, tapi Anda membutuhkan surat kematian." "Anda pernah tinggal di Afghanistan," ujarku. "Anda tahu betapa tidak mungkinnya hal itu." "Saya tahu," katanya. "Tapi anggap saja anak ini sudah jelas tidak punya orangtua. Meskipun begitu, INS beranggapan bahwa adopsi lebih baik dilakukan oleh seseorang yang tinggal di negara yang sama dengannya sehingga peninggalan budayanya dapat dilestarikan."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Peninggalan budaya apa?" sahutku. "Taliban telah menghancurkan peninggalan budaya yang dimiliki Afghanistan. Anda lihat sendiri yang mereka lakukan pada patung-patung Buddha raksasa di Bamiyan." "Maaf, saya sedang bicara tentang cara INS bekerja, Amir," Omar menyentuh lenganku. Dia menatap Sohrab dan tersenyum. Berpaling kembali menatapku. "Nah, supaya sah secara hukum, seorang anak harus diadopsi berdasarkan hukum dan peraturan negaranya. Tapi jika negara itu sedang berada dalam kekacauan, contohnya di negara seperti Afghanistan, pemerintahannya sedang sibuk memikirkan masalahmasalah darurat, dan mengurus adopsi tidak ada dalam prioritas utama." Aku menghela napas dan mengusap mataku. Bagian pelipisku terasa berdenyut. "Tapi anggap saja, entah bagaimana, Afghanistan kembali damai," kata Omar, bersidekap di atas perut-nya yang buncit. "Pemerintahnya tetap tidak akan mengizinkan adopsi. Faktanya, bahkan negara-negara Muslim yang moderat pun enggan mengizinkan adopsi karena sebagian besar negara itu menggunakan hukum Islam, Syariat, yang tidak mengenal adopsi."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Anda menyarankan pada saya untuk menyerah?" aku menekankan telapak tanganku ke kening. "Saya tumbuh di Amerika, Amir. Kalau ada sesuatu yang saya pelajari dari Amerika, menyerah sama saja dengan mengencingi stoples limun Pramuka Putri. Tapi, sebagai pengacara Anda, saya harus membeberkan pada Anda kenyataannya," katanya. "Yang terakhir, agen adopsi secara rutin mengirimkan anggota staf mereka untuk mengevaluasi lingkungan tempat hidup anak yang bersangkutan, dan tidak akan ada agen yang mau mengirim orang mereka ke Afghanistan." Aku memandangi Sohrab yang duduk di ranjang, menonton TV, menonton kami. Cara duduknya sama seperti ayahnya, dagunya menempel di salah satu lututnya. "Saya paman tirinya, tidak bisakah itu diperhitungkan?" "Tentu saja bisa kalau Anda sanggup membuktikannya. Maaf, Anda punya dokumen atau apa pun yang bisa mendukung Anda?" "Tidak ada dokumen," jawabku dengan letih. "Tidak seorang pun tahu tentang hal ini. Sohrab tidak mengetahuinya hingga saya mengatakan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

padanya, dan saya sendiri baru tahu. Satu-satunya orang yang tahu dengan pasti telah pergi, mungkin sudah meninggal." "Hmm." "Apa pilihan lain untuk saya, Omar?" "Jujur saja. Anda tidak punya banyak pilihan." "Demi Tuhan, apa yang bisa saya perbuat?" Omar menarik napas, menepuk-nepukkan pulpen ke dagunya, menghela napas. "Anda masih bisa mengajukan petisi yatim piatu, lalu mengharapkan yang terbaik. Anda bisa menjalani adopsi independen. Arti-nya, Anda harus tinggal bersama Sohrab di Pakistan sini, setiap hari, hingga dua tahun ke depan. Anda bisa mengusahakan suaka untuknya. Itu proses yang amat panjang dan Anda harus bisa membuktikan bahwa dia mengalami penindasan politis. Anda bisa mengajukan permohonan visa kemanusiaan. Itu adalah wewenang jaksa agung dan tidak mudah diberikan." Dia berhenti. "Ada satu lagi pilihan, mungkin kesempatan terbaik Anda." "Apa?" aku mencondongkan badanku padanya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Anda bisa menelantarkannya di sebuah panti asuhan di sini, lalu ajukan petisi yatim piatu. Persiap-kan formulir 1-600 dan kunjungan rumah Anda se-mentara dia berada di tempat yang aman." "Apa itu?" "Maaf, 1-600 adalah formalitas INS. Kunjungan rumah dilakukan oleh agen yang Anda pilih," Omar menjelaskan. "Gunanya untuk, Anda tahu, untuk meyakinkan mereka bahwa Anda dan istri Anda bukan orang gila kambuhan." "Saya tidak ingin melakukannya," aku kembali memandangi Sohrab. "Saya sudah berjanji padanya untuk tidak akan mengirim dia kembali ke panti asuhan." "Seperti yang saya bilang, ini mungkin kesempatan terbaik Anda." Kami bicara hingga beberapa saat kemudian. Lalu aku mengantar dia ke mobilnya, sebuah VW Bug tua. Saat itu matahari sudah condong di Islamabad, awan merah berarak di sebelah barat. Aku menyaksikan mobil itu tergencet oleh berat tubuh Omar saat entah bagaimana dia menyelipkan badannya ke balik kemudi. Dia menurunkan jendela. "Amir?" "Ya." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Saya ingin mengatakannya saat di dalam, tentang yang Anda coba lakukan? Menurut saya itu sungguh hebat." Dia melambaikan tangannya ketika mobilnya berlalu. Saat berdiri di luar hotel itu, membalas lambaian Omar, aku berharap Soraya ada di sana bersamaku. Sohrab telah mematikan TV saat aku kembali memasuki kamar. Aku duduk di tepi ranjang, memintanya untuk duduk di sampingku. "Menurut Mr. Faisal ada satu cara untuk membawamu ke Amerika bersamaku," ujarku. "Benarkah?" Untuk pertama kalinya senyum tipis tersungging di wajah Sohrab setelah berhari-hari. "Kapan kita bisa pergi?" "Nah, itulah masalahnya. Mungkin kita butuh sedikit waktu. Tapi dia bilang ini bisa dilakukan dan dia akan menolong kita." Aku meletakkan tanganku di belakang lehemya. Dari luar, suara panggilan shalat memenuhi jalanan. "Berapa lama?" Sohrab bertanya. "Aku tak tahu. Beberapa saat."

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sohrab mengangkat bahu dan tersenyum, kali ini lebih lebar. "Aku tak keberatan. Aku bisa menunggu. Sama saja dengan apel masam." "Apel masam?" "Dulu, waktu aku masih sangat kecil, aku memanjat pohon dan memakan apel-apel hijau yang masam. Perutku kembung dan jadi keras seperti genderang, rasanya sakit sekali. Kata Ibu, kalau aku menunggu apel itu masak, aku tidak akan sakit. Jadi sekarang, setiap aku sangat menginginkan sesuatu, aku mencoba mengingat yang dikatakan ibuku tentang apel itu." "Apel masam," ulangku. "Masya Allah, kau mungkin anak kecil terpintar yang pernah kutemui, Sohrab jan." Telinganya merah merona. "Apa kau akan mengajakku ke jembatan merah itu? Yang ada kabutnya?" dia bertanya. "Pasti," jawabku. "Pasti." "Dan kita akan bermobil lewat jalan-jalan itu, yang kauhilang kita hanya akan bisa melihat atap mobil dan langit?" "Semua yang ada di sana," ujarku. Mataku tersengat oleh airmata dan aku berkedip untuk menying-kir-kannya. "Sulitkah belajar bahasa Inggris?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Kataku, dalam setahun, kau akan berbicara sama lancamya dengan bahasa Farsi." "Sungguh?" "Ya." Aku meletakkan ujung jariku ke bawah dagu-nya, mendongakkan wajahnya berhadapan denganku. "Ada satu hal lagi, Sohrab." "Apa?" "Yah, Mr. Faisal beranggapan bahwa akan benar-benar menolong kalau kami bisa ... kalau kami bisa memintamu tinggal di rumah anak-anak untuk sementara." "Rumah anak-anak?" senyumnya memudar. "Mak-sudnya panti asuhan?" "Hanya untuk sementara." "Tidak/ katanya. "Tidak, tolonglah." "Sohrab, ini cuma untuk sementara. Aku berjanji." "Kau berjanji tidak akan pernah memasukkan-ku ke tempat macam itu, Amir agha," katanya. Suaranya pecah, airmatanya terkumpul. Aku merasa bagaikan seorang bajingan. "Ini berbeda. Kau akan di sini, di Islamabad, bukan di Kabul. Dan aku akan mengunjungimu setiap hari hingga kami bisa mengeluarkanmu dan membawa -mu ke Amerika." Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Tolong! Tolong, jangan!" teriaknya parau. "Tempat itu menakutkanku. Mereka akan menyakitiku! Aku tidak mau!" "Tidak akan ada yang menyakitimu. Tidak a-kan pernah ada." "Mereka akan menyakitiku! Mereka selalu bilang tidak akan tapi mereka bohong. Mereka bohong! Kumohon, Tuhan!" Aku menghapus airmata yang mengaliri pipinya dengan ibu jariku. "Apel masam, ingat? Ini sama saja dengan apel masam," kataku dengan lembut. "Tidak, itu beda. Jangan ke tempat itu. Tunan, oh Tuhan. Tolong, jangan!" Tubuhnya gemetar, air mata dan ingus bercampur di wajahnya. "Shhh." Aku menariknya lebih dekat, mendekapkan lenganku pada tubuh kecilnya yang gemetar. "Shhh. Semua akan baik-baik saja. Kita akan pulang bersama. Kau lihat nanti, semua akan baik-baik saja." Suaranya teredam oleh dadaku, namun aku bisa merasakan kepanikannya. "Tolong berjanjilah kau tidak akan melakukannya! Oh Tuhan, Amir agha! Kumohon, berjanjilah untuk tidak melakukannya!" Bagaimana aku bisa berjanji? Aku mendekapnya, terus mendekapnya eraterat, dan mengayun-ayun-kan badan kami. Dia terisak-isak ke bajuku hingga air-matanya kering, hingga getaran tubuhnya berhenti dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

permohonan-permohonannya berubah menjadi cera-cauan yang tak lagi bisa dipahami. Aku menunggu, mengayunnya hingga napasnya teratur dan tubuhnya melemas. Aku teringat akan sesuatu yang kubaca lama sebelumnya: Itulah cara anak-anak mengatasi ketakutan. Mereka tertidur. Aku menggendongnya ke ranjangnya, meletakkan dia di sana. Lalu aku berbaring di ranjangku, menatap ke luar jendela pada langit keunguan yang memayungi Islamabad. Langit gelap gulita ketika deringan telepon mengagetkanku dari tidur. Aku mengucek mataku dan menyalakan lampu tidur. Masih pukul 22:30; aku telah tertidur selama hampir tiga jam. Aku mengangkat gagang telepon. "Halo?" "Telepon dari Amerika." Suara Fayyaz yang bosan. "Terima kasih," ucapku. Lampu kamar mandi menyala. Sohrab sedang menyelesaikan mandi malamnya. Setelah beberapa bunyi klik, terdengarlah suara Soraya: "Assalamu 'alaikum!" Dia terdengar gembira. "Hai." "Bagaimana pertemuanmu dengan pengacara itu?"

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku mengatakan padanya saran Omar Faisal. "Well, kau bisa melupakannya," katanya. "Kita tidak harus melakukannya." Aku menegakkan badanku. "Rawsti? Kenapa, ada apa?" "Kaka Sharif memberitahuku. Katanya, kuncinya adalah membawa Sohrab masuk ke Amerika. Kalau dia sudah di sini, ada berbagai cara untuk mempertahankan dia di sini. Jadi dia menelepon beberapa rekan INS-nya. Malam ini dia meneleponku dan mengatakan bahwa dia hampir yakin bisa mendapatkan visa kemanusiaan untuk Sohrab." "Benarkah?" Ujarku. "Oh terima kasih Tuhan! Sharif jan yang baik hati!" "Aku tahu. Nah, kita akan menjadi sponsomya. Ini harus dijalankan secepat mungkin. Katanya, masa berlaku visa ini adalah setahun, kita masih punya banyak waktu untuk mengajukan petisi adopsi." "Ini benar-benar akan terjadi, Soraya, ha?" "Tampaknya begitu," sambutnya. Dia terdengar bahagia. Aku mengatakan padanya bahwa aku men-cintai-nya dan dia mengatakan padaku bahwa dia men-cintaiku. Aku menutup telepon. "Sohrab!" aku bangkit dari ranjang dan memanggilnya. "Aku punya berita hebat." Aku mengetuk pintu kamar mandi. "Sohrab! Soraya jan baru menelepon dari California. Kami tidak perlu menem-patkanmu di panti Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

asuhan, Sohrab. Kita akan ke Amerika, kita berdua. Kau mendengarku? Kita akan ke Amerika!" Aku mendorong pintu itu hingga terbuka. Memasuki kamar mandi. Saat aku menyadari, aku telah berlutut, menjerit. Menjerit melalui gigiku yang terkatup rapat. Menjerit hingga kupikir tenggorokanku akan terkoyak dan dadaku meledak. Orang-orang berkata, aku masih menjerit ketika ambulans datang. Dua Puluh Lima Mereka tidak memperbolehkanku masuk. Aku melihat mereka men-dorongnya melewati pintu ganda dan aku mengikuti. Aku menghambur melalui pintu itu, bau iodin dan peroksida menerpaku, namun yang sempat kulihat hanyalah dua pria dengan topi operasi dan seorang wanita berpakaian hijau yang mengerumuni sebuah meja beroda. Sehelai seprai putih jatuh ke samping meja itu dan menyentuh ubin kotak-kotak yang suram. Sepasang kaki kecil yang berlumuran darah tersembul dari balik seprei itu dan aku melihat bahwa kuku ibu jari kirinya terbelah. Lalu seorang pria tinggi besar berpakaian biru menekankan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

telapak tangannya ke dadaku dan mendorongku keluar melalui pintu yang sama; cincin kawinnya terasa dingin di kulitku. Aku menerjang dan menyumpahinya, tapi dia mengatakan bahwa aku tidak boleh berada di sana, dia mengatakannya dalam bahasa Inggris, suaranya sopan namun tegas. "Anda harus menunggu," katanya, membimbingku kembali ke ruang tunggu, dan sekarang pintu ganda itu tertutup di belakangnya bersama helaan napasnya dan yang bisa kulihat dari tempatku berada hanyalah ujung topi operasi para pria itu, yang tampak melalui jendela sempit yang terpasang pada pintu. Dia meninggalkanku di koridor luas tanpa jendela yang dipenuhi orangorang yang sebagian duduk di atas kursi lipat metalik yang berderet di sepanjang tembok, sementara yang lain di atas karpet tipis yang usang. Aku ingin kembali menjerit, dan aku teringat saat terakhir kalinya aku merasa seperti ini, ketika bersama Baba aku menumpang di bagian belakang truk tangki bahan bakar, terkubur dalam kegelapan bersama para pengungsi lain. Aku ingin menarik diriku dari tempat ini, dari kenyataan ini, melayang seperti awan dan terbang berlalu, berbaur dengan malam musim panas yang lembap ini dan menghilang di suatu tempat yang jauh, di balik perbukitan. Tapi aku di sini, kakiku terasa seperti Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

terbuat dari beton, paru-paruku hampa udara, tenggorokanku terbakar. Tidak akan ada melayang bersama awan. Tidak akan ada lagi kenyataan lain malam ini. Aku menutup mataku dan lubang hidungku dipenuhi oleh aroma koridor, keringat dan amonia, minyak gosok dan kari. Di langitlangit, beberapa ekor ngengat berputar-putar di dekat lampu neon bercahaya remang-remang yang terpasang di sepanjang koridor dan aku mendengar gemerisik kepakan sayap mereka. Aku mendengar obrolan, tangisan tertahan, isakan, seseorang mengerang, seseorang yang lain menghela napas, pintu lift terbuka dengan bunyi ding, operator menyampaikan panggilan pada sese-orang dengan bahasa Urdu. Aku kembali membuka mataku dan sekarang aku tahu yang harus kulakukan. Aku mengamati sekelilingku, debar jantungku menyesakkan dadaku, pembuluh darah berdenyut-denyut di telingaku. Di sebelah kiriku terdapat ruang perlengkapan kecil. Di dalam-nya, aku menemukan yang kubutuhkan. Ini cukup. Aku mengambil seprai putih dari tumpukan linen yang terlipat dan membawanya kembali ke koridor. Aku melihat seorang perawat berbicara dengan seorang polisi di dekat toilet. Aku menggamit sikut perawat itu dan menariknya, aku ingin tahu di mana arah barat. Dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tidak memahamiku dan garis-garis di wajahnya tampak semakin dalam saat dia menger-nyit. Tenggorokanku sakit dan mataku tersengat oleh keringat, setiap tarikan napas terasa seperti menghirup api, dan kurasa aku menangis tersedu. Aku kembali bertanya. Polisi itulah yang menunjukkan arahnya. Aku menggelar jai-namaz buatanku, sajadahku, ke lantai dan berlutut, menurunkan keningku ke lantai, membiarkan airmataku membasahi kain itu. Aku bersujud ke arah kiblat. Lalu aku teringat bahwa aku tidak pernah melakukan shalat selama lebih dari 15 tahun. Aku telah lama melupakan bacaannya. Tapi itu tidak menjadi masalah, aku akan melafalkan beberapa kata yang masih kuingat: La ilaha Mallah, Muham-madurasutullah. Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya. Sekarang aku tahu bahwa Baba salah, Tuhan itu ada, selalu ada. Aku melihat-Nya di sini, dalam mata orang-orang yang ada di koridor kepu-tusasaan ini. Di sinilah rumah Tuhan yang sebenamya, di tempat inilah orang-orang yang telah kehilangan Tuhan akan menemukan-Nya kembali, bukan di dalam masjid dengan kilau cahaya seterang permata dan menara-menara yang menjulang tinggi. Tuhan itu ada, pasti ada, dan sekarang aku akan berdoa. Aku akan berdoa supaya Dia mengampuniku yang telah bertahun-tahun Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

meninggalkan-Nya, mengampuniku yang telah berkhianat, berbohong, dan melakukan dosa seenaknya hanya untuk berpaling pada-Nya di saat aku membutuhkan-Nya, aku berdoa pada-Nya, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang, seperti yang disebutkan dalam kitab-Nya. Aku bersujud ke arah barat dan menciumi lantai dan berjanji bahwa aku akan membayar zakat, aku akan menunaikan shalat, aku akan berpuasa selama bulan suci Ramadhan dan terus ber-puasa saat bulan Ramadhan berlalu, aku akan berusaha menghapalkan setiap ayat dalam kitab suci-Nya, dan aku juga akan menunaikan ibadah haji ke kota yang panas menyengat di tengah gurun pasir dan bersujud di hadapan Ka'bah. Aku akan melakukan semua ini dan mengingat-Nya setiap hari mulai hari ini kalau saja Dia mau mengabulkan satu-satunya permohonanku: tanganku telah temodai oleh darah Hassan; aku berdoa kepada Tuhan untuk tidak membiarkan darah putra Hassan juga menodai tanganku. Aku mendengar suara bisikan dan menyadari bahwa itu adalah suaraku, mulutku terasa asin karena air mata yang membanjiri wajahku. Aku merasakan tatapan semua orang di koridor itu tertuju padaku dan aku tetap bersujud ke arah barat. Aku berdoa. Aku

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berdoa supaya dosa-dosaku tidak terus membebani diriku seperti yang selalu kutakuti. Malam kelam tanpa bintang menyelimuti Islamabad. Beberapa jam telah berlalu dan sekarang aku duduk di lantai ruang tunggu kecil di dekat koridor yang menuju ke ruang gawat darurat. Di hadapanku terdapat meja kopi kusam yang permukaannya dipenuhi dengan koran-koran dan majalah-majalah usang Time edisi April 1996; koran Pakistan yang menunjukkan wajah seorang remaja laki-laki yang terbunuh karena kecelakaan kereta api seminggu sebelumnya; majalah hiburan yang menampilkan wajah-wajah tersenyum aktor Lollywood di kover-nya yang mengilat. Di depanku, seorang wanita tua yang mengenakan gamis hijau zamrud dan syal rajutan mengangguk-anggukkan kepalanya di kursi roda. Beberapa kali dia terbangun dan menggumamkan doa dalam bahasa Arab. Aku bertanya-tanya dengan letih, doa siapakah yang akan didengar malam ini, doanya atau doaku. Aku membayangkan wajah Sohrab, dagu kecilnya yang mencuat, telinga mungilnya yang mirip cangkang kerang, mata sipitnya yang seperti daun bambu, begitu mirip dengan ayahnya. Kesedihan segelap malam di luar menyergapku, dan aku merasakan tenggorokanku tercekik. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku butuh udara segar. Aku bangkit dan membuka jendela. Udara yang mengalir masuk terasa lembap dan panas baunya seperti kurma busuk dan kotoran hewan. Aku memaksa udara itu masuk ke paru-paruku melalui tarikan napas panjang, namun rasa sesak di dadaku tidak meng-hilang. Aku kembali tersungkur di lantai. Aku memungut majalah Time dan membalik-balik halamannya. Tapi aku tak bisa membaca, tak bisa berkonsentrasi pada apa pun. Jadi aku melemparkan majalah itu ke meja dan kembali mengamati pola zig-zag pada retakan di lantai semen, lamat pada sudut langit-langit, lalat-lalat mati yang bertebaran di ambang jendela. Kebanyakan, aku mengamati jam di dinding. Baru lewat pukul 04.00 dan aku telah dipisahkan dari ruangan berpintu-ayun ganda itu lebih dari lima jam. Aku masih belum mendengar kabar dari sana. Lantai di bawahku mulai terasa seperti bagian dari tubuhku, dan napasku menjadi lebih berat, lebih lambat. Aku ingin tidur, memejamkan mataku dan membaringkan tubuhku di lantai yang dingin dan berdebu. Tidur. Saat aku terbangun, mungkin aku akan mendapati bahwa semua yang kulihat di kamar mandi hotel adalah bagian dari mimpiku: air yang keluar

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dari keran dan menetes dengan bunyi ting ke dalam air mandi berdarah; lengan kirinya menggantung keluar dari tepi bak mandi, pisau cukur bersimbah darah tergeletak di atas penutup toilet pisau cukur yang sama yang kupakai sehari sebelumnya dan matanya, masih setengah terbuka namun tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Itulah yang terberat. Aku ingin melupakan matanya. Tak lama kemudian, aku membiarkan diriku tertidur. Aku memimpikan banyak hal yang tak lagi bisa kuingat. Seseorang menepuk-nepuk bahuku. Kubuka mataku. Seorang pria berlutut di sampingku. Dia mengenakan topi seperti yang dipakai pria-pria di balik pintu ayun ganda dan masker operasi kertas menutupi mulutnya jantungku berdegup kencang saat aku melihat setitik noda darah di maskemya. Foto seorang gadis kecil bermata bulat tertempel di penyerantanya. Dia membuka maskemya dan aku merasa lega karena tidak harus terus menatap darah Sohrab. Kulitnya segelap cokelat Swiss impor yang sering kubeli bersama Hassan di pasar Shar-e-Nau; rambutnya menipis dan mata cokelatnya dipayungi oleh bulu mata lentik. Dalam logat Inggris, dia mengatakan padaku bahwa namanya adalah Dr. Nawaz, dan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

seketika itu aku ingin menjauh dari pria ini, karena aku merasa bahwa aku tidak akan sanggup menerima apa pun yang akan disampaikannya padaku. Dia berkata bahwa anak itu telah menorehkan luka yang dalam dan kehilangan sangat banyak darah dan mulutku kembali mengumamkan doa doa itu : La ilaha Mallah, Muham-madurasulullah. Mereka harus mentransfusikan beberapa unit darah... Bagaimana aku akan mengatakannya pada Soraya? Dua kali, mereka harus mengejutkannya.. Aku akan menunaikan shalat, aku akan membayar zakat. Mereka akan kehilangan dia kalau saja jantungnya tidak semuda dan sekuat-Aku akan berpuasa. Dia hidup. Dr. Nawaz tersenyum. Aku butuh waktu untuk mencema kalimat yang baru saja dikatakannya. Lalu dia menjelaskan lebih banyak untukku namun aku tidak mendengamya. Karena aku meraih tangannya dan membawanya ke wajahku. Aku menangis lega di tangan kecil dan gemuk seorang asing dan sekarang dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya menunggu.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Ruang perawatan intensif berbentuk huruf L dan suram, disesaki oleh layar-layar monitor yang berkedip dan mesin-mesin yang berdesir. Dr. Nawaz membimbingku melewati dua lajur ranjang yang dipisahkan oleh tirai plastik putih. Ranjang Sohrab berada paling ujung di dekat pojok ruangan, yang terdekat dengan pos perawat di mana dua orang perawat yang mengenakan baju operasi berwama hijau mencatat sesuatu dan mengobrol dengan suara rendah. Saat berada dalam keheningan lift menuju tempat ini bersama Dr. Nawaz, kukira aku akan kembali tersedu saat melihat Sohrab. Namun saat aku duduk di bangku di ujung ranjangnya, memandangi wajah pucatnya di balik untaian selang-selang plastik bening dan selang infus, kudapati bahwa mataku kering. Saat mengamati dadanya yang naik dan turun seirama dengan desisan ventilator, suatu sensasi menerpaku, sensasi yang sama yang dirasakan seseorang beberapa detik setelah menghindarkan mobilnya dari kecelakaan yang mematikan. Aku tertidur dan, saat terbangun, aku melihat matahari terbit di langit yang dihiasi gumpalan awan melalui jendela di dekat pos perawat. Cahayanya menembus ke dalam ruangan itu, membuat bayanganku menimpa tubuh Sohrab. Dia belum juga bergerak. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Lebih baik Anda tidur," seorang perawat berkata padaku. Aku tidak mengenalinya mungkin pergantian petugas telah terjadi saat aku tertidur. Dia membawaku menuju ruang tunggu yang lain, yang berada tepat di luar UGD. Dia mengulurkan sebuah bantal dan sehelai selimut rumah sakit. Aku mengucapkan terima kasih padanya dan berbaring di atas sofa vynil di sudut ruang tunggu itu. Hampir seketika itu, aku tertidur. Dalam mimpiku, aku kembali berada di ruang tunggu lantai bawah. Dr. Nawaz menghampiriku dan aku berdiri menyambutnya. Dia membuka masker kertasnya, tangannya tiba-tiba tampak lebih pucat dari yang kuingat, kuku-kukunya terawat rapi, belahan rambutnya tersisir rapi, dan aku melihat bahwa pria itu bukanlah Dr. Nawaz melainkan Raymond Andrews pria bertubuh kecil dengan tanaman tomat dalam pot yang kutemui di kedutaan. Andrews mendongakkan kepalanya. Memicingkan matanya. Pada siang hari, rumah sakit itu menjadi labirin lika-liku lorong yang disesaki manusia, citra kabur yang diakibatkan oleh lampu fluoresens putih cemerlang yang terpasang di langit-langit. Aku mulai menge-nali bangunan itu, mengetahui bahwa tombol lantai IV di lift sayap timur tidak Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menyala, bahwa pintu toilet pria di lantai yang sama macet dan siapa pun yang ingin membuka pintu itu harus membenturkan bahunya ke sana. Aku baru tahu bahwa kehidupan di rumah sakit memiliki irama, begitu banyak hal diselesaikan sebelum pergantian petugas pada pagi hari, tugas-tugas dilakukan dengan tergesa-gesa pada siang hari, sedangkan pada tengah malam keadaan menjadi hening dan tenang, kadang-kadang diselingi oleh para dokter dan perawat yang bergegas mengatasi masa kritis seseorang. Aku terpaku di samping ranjang Sohrab pada siang hari dan berkeliaran melewati lika-liku koridor rumah sakit pada malam hari, mendengarkan ketukan tumit sepatuku di lantai, memikirkan apa yang akan kukatakan pada Sohrab saat dia siuman. Aku meng-akhiri malam dengan kembali ke UGD, duduk di dekat ventilator yang berdesir di samping ranjangnya, dan aku masih belum tahu apa yang akan kukatakan. Setelah tiga hari perawatan, mereka melepas selang pemapasan Sohrab dan mengeluarkannya dari UGD. Aku tidak menyaksikan saat mereka memindahkan-nya. Malam itu aku kembali ke hotel supaya dapat tidur dengan nyenyak dan berakhir dengan berguling-guling di ranjangku sepanjang malam. Paginya, aku berusaha untuk tidak melihat ke bak mandi. Tempat itu tampak bersih sekarang, seseorang telah mengelap Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

darahnya, menggelar keset baru di lantai, dan menggosok dindingnya. Namun aku tidak sanggup menahan diriku untuk duduk di pinggir bak mandi porselen yang terasa dingin itu. Aku membayangkan Sohrab mengisinya dengan air hangat. Membuka bajunya. Memutar pegangan pisau cukur dan membuka kunci pengaman ganda di pangkalnya, menarik siletnya, memegangnya dengan jempol dan telunjuknya. Aku membayangkan dia memasuki bak mandi, berbaring di sana beberapa lama, matanya tertutup. Aku bertanya-tanya, apakah yang terakhir dipikirkannya sebelum dia mengangkat silet itu dan menoreh-kannya. Saat aku keluar menuju lobi, manajer hotel itu, Fayyaz, menanyakan kabarku. "Saya ikut prihatin," katanya, "tapi saya memohon pada Anda untuk sudi meninggalkan hotel ini, tolonglah. Hal ini buruk bagi bisnis saya, sangat buruk." Aku mengatakan padanya bahwa aku mengerti dan aku membayamya. Dia tidak memintaku mem-bayar sewa selama tiga hari yang kuhabiskan di rumah sakit. Saat menunggu taksi di luar lobi hotel, aku memikirkan tentang perkataan yang diucapkan Fayyaz malam itu, saat kami mencari Sohrab. Masalah kalian orang-orang Afghan adalah ... yah, kalian memang Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

ceroboh. Aku tertawa saat mendengamya, namun se-karang aku memikirkannya. Benarkah aku tertidur setelah menyampaikan pada Sohrab kabar yang paling dia takuti? Saat aku berada di dalam taksi, aku menanyakan pada sopimya kalau dia tahu toko buku yang menjual buku-buku Persia. Dia berkata bahwa ada satu toko yang berada dua kilometer di sebelah selatan. Kami berhenti di sana sebelum menuju rumah sakit. Dinding kamar baru Sohrab berwama krem, kusen-kusennya berwama kelabu gelap dengan congkelan di sana-sini, dan ubin yang dulunya mungkin berwama putih tampak mengilap. Di kamar itu juga tinggal seorang remaja Punjabi yang aku mengetahuinya dari perawat-kakinya patah karena terpeleset dari atap bus yang tengah berjalan. Kakinya terbalut gips, terangkat dan ditahan di udara oleh penjepit yang digantungkan pada penahan beban. Ranjang Sohrab terletak di dekat jendela, setengah bagian bawahnya tertimpa cahaya matahari pagi men-jelang siang yang menerobos melalui jendela. Petugas keamanan berseragam berdiri di dekat jendela itu, mengunyah biji-biji kuaci Sohrab berada di bawah pengawasan 24 jam.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kebijakan rumah sakit, itulah yang dikatakan Dr. Nawaz padaku. Saat melihatku, pen-jaga itu menyentuh ujung topinya dan keluar dari ruangan. Sohrab mengenakan piyama rumah sakit berlengan pendek dan berbaring dengan selimut menutupi dadanya, wajahnya menghadap ke arah jendela. Kukira dia masih tidur, namun saat aku menyeret bangku mendekati ranjangnya, kelopak matanya bergetar dan terbuka. Dia memandangku, lalu memalingkan wajahnya. Dia begitu pucat, bahkan setelah mereka memasukkan begitu banyak darah ke tubuhnya, dan lebam besar keunguan terlihat pada lipatan lengan kanannya. "Bagaimana keadaanmu?" tanyaku. Dia tidak menjawab. Dia menatap ke luar jendela, pada petak pasir berpagar dan ayunan di taman rumah sakit. Di dekat arena bermain itu, di bawah naungan deretan pohon hibiskus, terdapat sebuah jeruji melengkung yang dirambati tumbuhan hijau. Beberapa orang anak bermain dengan ember di petak pasir. Hari itu langit biru terbentang tanpa awan, dan aku melihat pesawat yang tampak sangat mungil meninggalkan berkas asap kembar di belakangnya. Aku kem-bali menatap Sohrab. "Aku bicara dengan Dr. Nawaz beberapa menit yang lalu dan menurut dia, kau boleh meninggalkan tempat ini beberapa hari lagi. Itu kabar baik, bukan?" Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sekali lagi pertanyaanku dijawab dengan keheningan. Remaja Punjabi di sisi lain kamar itu bergerak-gerak dalam tidumya dan menggumamkan sesuatu. "Aku suka kamarmu," aku mencoba untuk tidak menatap pergelangan Sohrab yang terbalut. "Di sini terang, dan pemandangannya lumayan." Hening. Beberapa menit kulalui dengan kikuk, dan beberapa titik keringat bermunculan di keningku, juga di atas bibirku. Aku menunjuk semangkuk aush kacang polong yang tidak tersentuh di mejanya, sendok plastik yang belum pernah digunakan. "Kau harus mencoba makan sesuatu. Dapatkan kembali quwatmu, kekuatanmu. Kau mau aku membantumu?" Dia menatap mataku, lalu berpaling, wajahnya sekaku batu. Kulihat matanya masih tanpa binar, kosong, sama seperti saat aku mengeluarkannya dari bak mandi. Aku menggapai kantong kertas yang terapit di antara kakiku dan mengeluarkan buku Shahnamah bekas yang kubeli di toko buku Persia. Aku menunjukkan sampulnya pada Sohrab. "Aku sering membacakan buku ini pada ayahmu saat kami masih kanak-kanak. Kami mendaki bukit di dekat rumah dan duduk di bawah pohon delima suaraku melirih. Sohrab kembali menatap ke luar jendela. Aku memaksakan senyuman. "Yang menjadi kesukaan ayahmu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

adalah kisah ten-tang Rostam dan Sohrab, dan dari kisah itulah kau mendapatkan namamu, aku tahu kau tahu itu." Aku terdiam, merasa sedikit seperti seorang idiot. "Omong-omong, dia mengatakan dalam suratnya bahwa kau juga paling menyukai kisah itu, jadi kupikir aku akan membacakannya untukmu. Kau mau?" Sohrab memejamkan matanya. Menutupinya dengan lengannya yang tidak lebam. Aku membuka halaman yang sudah kutandai di taksi. "Ayo kita mulai," ujarku sambil menerka-nerka apa yang dipikirkan oleh Hassan saat pertama kali dia membaca Shahnamah sendiri dan mendapati bahwa aku telah mengelabuinya sepanjang waktu itu. Aku berdeham dan membaca. '"Dengarlah kisah tentang pertempuran Sohrab melawan Rostam, meskipun kisah ini menguras air mata,'" aku mulai membaca. '"Konon, pada suatu hari Rostam bangkit dari kursinya dan firasat menerpa benaknya. Dia teringat akan dirinya ...."' Aku membacakan hampir seluruh bab I padanya, hingga ke bagian di mana pendekar muda Sohrab mendatangi ibunya, Tahmineh, putri kerajaan Samengan, dan memohon padanya untuk memberitahukan identitas ayahnya. Aku menutup buku

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

itu. "Kau mau aku melanjutkan? Setelah ini ada pertempuran, kau ingat? Sohrab memimpin pasukannya menyerbu Istana Putih di Iran? Kau ingin aku membacanya?" Dia menggelengkan kepalanya lambat-lambat. Aku memasukkan buku itu kembali ke kantong kertas. "Ya sudah," ujarku, tetap mencoba bersemangat meskipun dia tampaknya tidak menang-gapiku sama sekali. "Mungkin kita bisa melanjutkannya besok. Bagaimana keadaanmu?" Mulut Sohrab terbuka dan keluarlah suara erangan. Dr. Nawaz telah memberitahuku bahwa hal ini akan terjadi, disebabkan oleh selang pemapasan yang mereka selipkan melalui pita suaranya. Dia menjilat bibimya dan kembali mencoba berbicara. "Lelah." "Aku tahu. Dr. Nawaz bilang kau pasti kelelahan -" Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ada apa, Sohrab?" Dia mengemyitkan wajah saat kembali bicara dengan suara parau, sedikit lebih keras daripada bisikan. "Lelah dengan semuanya." Aku menghela napas dan terkulai di kursiku. Berkas sinar matahari menengahi aku dan ranjangnya dan, selama sesaat, wajah pucat pasi yang menatapku dari balik berkas sinar itu begitu mirip dengan wajah Hassan, bukan Hassan yang bermain kelereng denganku hingga mullah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mengumandangkan azan Magrib dan Ali memanggil kami pulang, bukan Hassan yang berkejaran denganku saat menuruni bukit kami sementara matahari tenggelam di balik atap-atap tanah liat di ufuk barat, melainkan Hassan yang ter-akhir kali kulihat hiduphidup, menyeret harta bendanya di belakang Ali pada hujan deras musim panas yang hangat, menjejalkan semuanya ke dalam bagasi mobil Baba sementara aku menyaksikan melalui jendela kamarku yang basah oleh air hujan. Dia menggelengkan kepalanya perlahan. "Lelah dengan semuanya," ulangnya. "Apa yang bisa kulakukan Sohrab? Tolong, katakanlah padaku." "Aku ingin.." dia mulai. Dia kembali mengemyitkan wajah dan meletakkan tangannya di lehemya, seolah-olah untuk membersihkan apa pun yang menghalangi suaranya. Tatapanku kembali tertuju pada pergelangan tangannya yang terbalut erat dengan perban putih. "Aku ingin kehidupan lamaku kembali," dia menarik napas. "Oh, Sohrab." "Aku ingin Ayah dan Ibu. Aku ingin Sasa. Aku ingin bermain bersama Rahim Khan sahib di taman. Aku ingin tinggal di rumah kami lagi." Dia Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menarik tangannya untuk menutupi matanya. "Aku ingin kehidupan lamaku kembali." Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan, ke mana aku akan memandang, jadi aku menunduk menatap tanganku. Kehidupan lamamu, pikirku. Aku bermain di halaman yang sama, Sohrab. Aku tinggal di rumah yang sama. Namun rerumputan di sana sudah mati dan jip asing terparkir di jalan masuknya, menodai aspal dengan tetesan oli. Kehidupan lama kita telah tiada, Sohrab, dan semua orang telah meninggal atau sekarat. Sekarang yang ada hanya kau dan aku. Hanya kau dan aku. "Aku tidak bisa memberikannya padamu," ujarku. "Aku berharap kau tidak-" "Kumohon, jangan katakan itu." "...kau tidak ... kuharap kau meninggalkanku di air." "Jangan pernah mengatakan itu, Sohrab," u-jarku seraya mencondongkan badan. "Aku tidak tahan mendengarmu bicara seperti itu." Aku menyentuh bahunya dan dia mengedikkannya. Menjauhiku. Aku menurunkan tanganku, mengingat dengan penuh penyesalan bahwa beberapa hari sebelum aku mengingkari janjiku padanya, dia akhirnya tidak lagi Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

menghindari sentuhanku. "Sohrab, aku tidak bisa memberimu kehidupan lamamu, meskipun begitu aku memohon kepada Tuhan supaya aku bisa. Namun aku bisa membawamu bersamaku. Karena ingin mengatakan hal itulah aku masuk ke kamar mandi. Kau mendapatkan visa untuk masuk ke Amerika, untuk tinggal bersamaku dan istriku. Aku tidak berbohong. Aku berjanji." Dia menghela napas melalui hidungnya dan memejamkan matanya. Aku berharap tidak mengucapkan dua kata terakhir itu. "Kau tahu, aku telah melakukan banyak hal yang kusesali dalam kehidupan ini," ujarku, "dan mungkin tidak ada yang lebih buruk daripada mengingkari janjiku padamu. Tapi itu tidak akan terjadi lagi, dan aku benar-benar menyesal. Aku memohon bakhsheshmu, ampunanmu. Bisakah kau memberikannya? Bisakah kau memaafkanku? Bisakah kau memercayaiku?" Aku merendahkan suaraku. "Maukah kau ikut denganku?" Saat aku menantikan jawabannya, pikiranku melayang pada musim dingin bertahun-tahun yang lalu, saat aku dan Hassan duduk di atas gundukan salju di bawah pohon ceri tak berdaun. Aku telah menjahati Hassan hari itu, mempermainkannya, menanyainya kalau dia mau mengunyah tanah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

untuk membuktikan kesetiaannya padaku. Sekarang akulah yang berada di bawah mikroskop, akulah yang harus membuktikan kesetiaanku. Aku pantas menerimanya. Sohrab menggulingkan tubuhnya, memung-gungiku. Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa waktu. Lalu, saat kupikir dia telah jatuh tertidur, dia berkata dengan suara parau, "Aku merasa sangat khasta." Amat sangat kelelahan. Aku duduk di sebelah ranjangnya hingga dia tertidur. Ada yang hilang di antara aku dan Sohrab. Hingga pertemuanku dengan pengacara itu, Omar Faisal, secercah sinar harapan mulai memasuki mata Sohrab seperti tamu yang malu-malu. Sekarang sinar itu telah tiada, tamu itu telah kabur, dan aku bertanya-tanya kapankah ia berani kembali. Aku bertanya-tanya, berapa lama lagi hingga aku bisa kembali melihat senyum Sohrab. Berapa lama lagi hingga dia kembali memercayaiku. Kalau saat itu akan tiba. Jadi aku meninggalkan kamar itu dan mencari hotel lain, tidak menyadari bahwa aku akan melewatkan hampir setahun sebelum mendengar Sohrab kembali berbicara. Pada akhirnya, Sohrab tidak pernah menerima tawaranku. Dia juga tidak menolaknya. Namun dia tahu bahwa saat balutannya dilepas dan pakaian Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

rumah sakitnya dikembalikan, dia hanyalah salah satu Hazara yatim piatu gelandangan. Pilihan apa yang dimilikinya? Ke mana dia akan pergi? Jadi, yang kuanggap sebagai persetujuan darinya tidak lain hanyalah penyerahan tanpa perlawanan, sikap menerima yang muncul sebagai wujud penyerahan seseorang yang terlalu lelah untuk memutuskan, dan terlalu letih untuk memercayai. Yang dia dambakan adalah kehidupan lamanya. Yang dia dapatkan adalah aku dan Amerika. Ini bukan nasib yang buruk, kalau memperhitungkan segalanya, namun aku tidak sanggup mengatakan hal itu padanya. Sudut pandang adalah kemewahan saat kepalamu terus diterpa dengungan yang mengerikan. Jadi begitulah, sekitar seminggu kemudian, kami melewati lintasan tarmak yang hitam dan hangat dan aku membawa putra Hassan dari Afghanistan ke Amerika, mengangkatnya dari ketidakpastian suatu kekacauan dan menjatuhkannya dalam kekacauan suatu ketidakpastian. Suatu hari, mungkin sekitar tahun 1983 atau 1984, aku berada dalam sebuah toko video di Fremont. Aku berdiri di bagian film Barat saat seorang pria di dekatku, yang menghirup soda dari gelas 7-Eleven, menunjuk video The Magnificent Seven dan menanyakan padaku kalau aku sudah menontonnya. "Ya, tiga belas kali," jawabku. "Di film itu Charles Bronson Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mati, juga James Cobum dan Robert Vaughn." Dia menatapku dengan kecut, seolah-olah aku telah meludahi sodanya. "Thanks a lot, man," katanya, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menggumamkan sesuatu sambil beranjak dariku. Saat itulah aku mempelajari bahwa di Amerika, kau tidak boleh mengatakan akhir sebuah film, dan kalau kau mengatakannya, orang-orang akan merasa kesal dan kau harus meminta maaf sedalam-dalamnya karena telah melakukan dosa Mengatakan Akhir. Di Afghanistan, akhir adalah satu-satunya yang penting. Saat aku dan Hassan pulang dari menonton film India di Cinema Zainab, yang ingin diketahui oleh Ali, Rahim Khan, Baba, atau rombongan teman-teman Baba sepupu lapis kedua dan ketiga yang masuk dan keluar rumah kami adalah: Apakah Gadis dalam film itu menemukan kebahagiaan? Apakah bacheh film, Pria dalam film, menjadi kamyab dan mewujudkan impiannya, atau dia nahkam, ditakdirkan untuk selalu sengsara? Apakah akhirnya bahagia, mereka ingin tahu. Jika seseorang menanyakan padaku hari ini, apakah kisah Hassan, Sohrab, dan aku berakhir dengan bahagia, aku tidak akan tahu apa yang akan kukatakan. Bukankah semua orang begitu? Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Lagi pula, hidup bukanlah film India. Zendagi migzara, itulah yang biasa dikatakan orang Afghan: Kehidupan terus berjalan, akhir, kamyab, nahkam, krisis atau pelampiasan, berjalan maju bagaikan karavan kochis berdebu yang berjalan perlahan. Aku tidak akan tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Meskipun hari Minggu kemarin, sebuah keajaiban kecil telah terjadi. Kami tiba di rumah sekitar tujuh bulan yang lalu, pada hari yang hangat di bulan Agustus 2001. Soraya menjemput kami di bandara. Aku belum pernah berjauhan dari Soraya selama itu, dan saat dia melingkarkan lengannya pada leherku, saat aku menghirup aroma apel di rambutnya, aku menyadari betapa aku merindukannya. "Kau masih matahari pagi yang mengakhiri yeldaku," bisikku. "Apa?" "Tidak apa-apa." Aku mencium telinganya. Setelah itu, dia berlutut hingga wajahnya berhadapan dengan wajah Sohrab. Dia meraih tangannya dan tersenyum padanya. "Assalamu 'alaikum, Sohrab jan, aku Khala Sorayamu. Kami semua telah menantikan kedatanganmu." Melihatnya tersenyum pada Sohrab, dengan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

mata sedikit berkaca-kaca, terkilas di benakku betapa saat ini mungkin dia telah menjadi seorang ibu, seandainya saja rahimnya tidak mengkhianatinya. Sohrab menggeserkan kakinya dan berpaling. Soraya telah mengubah ruang belajar di lantai atas menjadi kamar tidur untuk Sohrab. Dia menunjukkan ruangan itu padanya dan Sohrab duduk di tepi ranjang. Seprai yang menutupi ranjang itu bergambar layang-layang dalam wama-wami ceria yang melayang di langit biru cerah. Di dinding dekat lemari, dia telah membuat garis pengukur pertambahan tinggi badan anak-anak. Di kaki ranjang, aku melihat keranjang rotan yang dipenuhi oleh buku-buku, sebuah lokomotif mainan, dan satu set cat air. Sohrab mengenakan kaos putih polos dan celana jins baru yang kubelikan di Islamabad sebelum kami berangkat-kaosnya menggantung longgar pada tubuhnya yang kurus dan bahunya yang lemas. Wama belum juga kembali ke wajahnya, kecuali lingkaran hitam di sekeliling matanya. Dia memandangi kami dengan tatapan kosong seperti saat dia memandangi sepiring nasi tim yang diletakkan petugas rumah sakit di hadapannya.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Soraya bertanya padanya, apakah dia menyukai kamamya, dan aku melihat bahwa Soraya berusaha untuk tidak menatap pergelangan tangannya dan bahwa matanya terus kembali tertuju pada bekas luka merah muda bergerigi itu. Sohrab menundukkan kepalanya. Dia menyembunyikan tangannya di bawah pahanya dan tidak mengatakan apa-apa. Lalu, begitu saja, dia meletakkan kepalanya ke bantal. Kurang dari lima menit kemudian, aku dan Soraya menyaksikan dari ambang pintu, dia mendengkur. Kami berbaring di ranjang, dan Soraya tertidur dengan kepala di dadaku. Dalam kegelapan kamar kami, aku berbaring dengan mata terbuka, sekali lagi menderita karena insomnia. Terjaga. Dan sendirian menghadapi iblisiblisku. Kadang-kadang pada tengah malam, aku turun dari ranjang dan memasuki kamar Sohrab. Aku berdiri mengamatinya, menundukkan kepala, dan melihat sesuatu menyembul dari bawah bantalnya. Aku memungutnya. Itu adalah foto Polaroid Rahim Khan, yang kuberikan pada Sohrab pada malam saat kami duduk di halaman Masjid Shah Faisal. Foto yang menampilkan Hassan dan Sohrab berdiri berdampingan, memicingkan mata di bawah terpaan matahari, dan tersenyum seolah-olah Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dunia telah memberikan mereka kebaikan dan keadilan. Aku mengirangira, berapa lama Sohrab berbaring di ranjangnya sambil menatap foto itu, memegangnya di tangannya. Aku menatap foto itu. Ayahmu adalah seorang pria yang terbagi menjadi dua, itulah yang dikatakan Rahim Khan dalam suratnya. Aku adalah belahan dari dirinya yang diakui, disetujui oleh masyarakat, sah, perwujudan nyata rasa bersalah Baba. Aku menatap Hassan, memandangi dua gigi depannya yang tanggal, sinar matahari menerpa wajahnya. Belahan lain dari diri Baba. Yang tidak diakui, tidak memiliki kewenangan apa pun. Setengah dari diri Baba yang mewarisi kemumian dan kebijakan dalam dirinya. Belahan yang, mungkin, dalam relung hatinya yang terdalam, telah diakui Baba sebagai putranya yang sejati. Aku menyelipkan kembali foto itu ke tempat aku menemukannya. Lalu aku menyadari sesuatu: Pikiran yang terakhir menempel di benakku itu tidak menyengatku sama sekali. Sambil menutup pintu kamar Sohrab, aku bertanya-tanya, seperti inikah pengampunan bersemi, bukan dengan terpaan kesadaran, namun dengan kepedihan yang bergiliran muncul, terkumpul, lalu menyelinap pergi begitu saja pada tengah malam. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Malam berikutnya, Sang Jenderal dan Khala Jamila menghadiri makan malam di rumah kami. Khala Jamila, yang rambutnya dipotong pendek dan diwamai dengan wama merah yang lebih gelap dari biasanya, menyerahkan sepiring maghout bertabur kenari untuk pencuci mulut pada Soraya. Saat melihat Sohrab, wajahnya menjadi berseri-seri. "Masya Allah! Soraya jan sudah mengatakan pada kami betapa khosteepnya dirimu, tapi kau tampak lebih tampan saat berada di depanku, Sohrab jan." Dia menyerahkan sehelai sweter turtleneck biru padanya. "Ini kurajut untukmu," ujamya. "Untuk musim dingin mendatang. Insya Allah, akan pas untukmu." Sohrab menerima sweter itu darinya. "Halo, anak muda," hanya itulah yang dikatakan Sang Jenderal, mencondongkan badannya dengan bertumpu pada tongkat, menatap Sohrab dengan cara yang sama dengan yang dilakukan seseorang saat meng-amati hiasan aneh di rumah orang lain. Aku menjawab, dan menjawab lagi, berbagai pertanyaan Khala Jamila tentang luka-lukaku aku meminta Soraya mengatakan pada mereka bahwa aku dirampok meyakinkan dirinya bahwa aku tidak mengalami cacat permanen, bahwa kawat di rahangku akan dilepas dalam beberapa minggu Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sehingga aku akan bisa menikmati masakannya lagi, bahwa, ya, aku akan mencoba menggosokkan jus rhubarb dan gula pada bekas lukaku supaya cepat memudar. Aku dan Sang Jenderal duduk di ruang tamu dan menghirup anggur sementara Soraya dan ibunya menata meja makan. Aku menceritakan padanya tentang Kabul dan Taliban. Dia mendengarkanku dan mengangguk-angguk, sementara tongkatnya terletak di atas pangkuannya, lalu berdecak saat aku mengisahkan padanya tentang seorang pria yang kulihat sedang menjual kaki palsunya. Aku tidak menyebutkan tentang eksekusi di Stadion Ghazi dan Assef. Dia menanyakan tentang Rahim Khan, yang katanya pernah ditemuinya beberapa kali saat di Kabul, dan menggelengkan kepalanya dengan khidmat saat aku menceritakan tentang penyakit yang dia derita. Namun sembari kami berbicara, aku bisa melihat tatapan matanya terus tertuju pada Sohrab yang tertidur di sofa. Seolaholah kami sedang menyisir tepian dari masalah yang sebenamya ingin dikorek olehnya. Penyisiran kami akhirnya berakhir setelah kami menyantap makan malam, saat Sang Jenderal meletakkan garpunya dan berkata, "Jadi, Amir jan, apa

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kau akan mengatakan pada kami mengapa kau membawa anak ini pulang?" "Iqbal jan! Pertanyaan macam apa itu?" sergah Khala Jamila. "Sementara kau sibuk merajut baju hangat, sayangku, aku harus menghadapi anggapan masyarakat tentang keluarga kita. Orang-orang akan bertanya. Mereka akan mencari tahu mengapa ada seorang anak Hazara yang tinggal dengan putri kita. Apa yang akan kubilang pada mereka?" Soraya menjatuhkan sendoknya. Berpaling pada ayahnya. "Padar bisa bilang pada mereka-" "Tidak apa-apa Soraya," aku meraih tangannya. "Tidak apa-apa. Jenderal Sahib ada benamya. Orang-orang akan bertanya." "Amir-" dia mencoba menjelaskan. "Tidak apa-apa." Aku berpaling pada Sang Jenderal. "Begini, Jenderal Sahib, ayah saya meniduri istri pelayannya. Dia memberinya seorang putra yang bemama Hassan. Sekarang Hassan telah tewas. Anak yang tidur di sofa itu adalah putra Hassan. Dia keponakan saya. Itulah yang Anda katakan kalau orang-orang bertanya." Mereka semua menatapku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Dan satu lagi, Jenderal Sahib," lanjutku. "Anda tidak akan pernah lagi menyebut dia 'anak Hazara' di depan saya. Dia punya nama, Sohrab." Tidak ada lagi yang berkata-kata hingga makan malam usai. + Tidaklah tepat jika Sohrab disebut pendiam. Diam mencerminkan kedamaian. Ketenteraman. Diam berarti memutar ke kiri tombol VOLUME kehidupan. Keheningan berarti menekan tombol OFF. Mamatikan semuanya. Keheningan Sohrab tidak sama dengan keheningan yang sengaja diciptakan oleh mereka yang ingin mem-pertahankan keyakinannya, oleh para pemprotes yang memilih untuk mengatakan pendapatnya dengan tidak mengatakan apa pun. Keheningan Sohrab telah meng-ambil alih dirinya dalam kegelapan, menyelimutinya, mencengkeram dan menyembunyikan dirinya dalam-dalam. Dia seakan-akan tidak tinggal bersama kami. Dan kami hampir-hampir tidak merasakan kehadirannya. Kadang-kadang, di pasar, atau di taman, aku memerhatikan betapa orang lain nyaris tidak melihat dia, seolah-olah dia tidak ada sama sekali.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Saat aku men-dongak dari buku yang sedang kubaca, aku baru menyadari bahwa Sohrab telah memasuki ruangan yang sama, duduk di hadapanku, tanpa kuketahui sama sekali. Ketika berjalan, dia seolah-olah takut meninggalkan jejak. Ketika bergerak, dia seolah-olah takut menggerakkan udara di sekelilingnya. Hampir sepanjang waktu dia tidur. Keheningan Sohrab juga membebani Soraya. Melalui sambungan jarak jauh ke Pakistan, Soraya telah bercerita padaku tentang rencana-rencananya untuk Sohrab. Les berenang. Sepak bola. Liga boling. Sekarang saat melewati kamar Sohrab, dia melihat sekilas buku-buku tertutup di keranjang rotan, garis pengukur tinggi badan yang belum pernah ditandai, puzzle jigsaw yang belum disusun; semua itu mengingatkannya tentang mimpi-mimpinya yang telah layu sebelum berkembang. Tapi dia tidak sendiri. Aku pun memiliki mimpi-mimpi untuk Sohrab. Saat Sohrab tenggelam dalam keheningan, dunia terus berjalan. Pada suatu Selasa pagi di bulan September yang lalu, Twin Tower telah runtuh dan, dalam semalam, dunia pun mengalami perubahan. Bendera Amerika tibatiba tampak di mana-mana; pada antena taksi kuning yang lalu-lalang di jalanan, pada kerah baju pejalan kaki yang mengaliri trotoar, bahkan pada topi lusuh para pengemis San Francisco yang duduk di depan galeri-galeri Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kesenian kecil dan etalase-etalase toko. Pada suatu hari aku berpapasan dengan Edith, wanita tuna wisma yang setiap hari memainkan akordeon di persimpangan Sutter dan Stockton, dan melihat stiker bendera Amerika menempel pada kotak akordeon di kakinya. Sesaat setelah serangan itu, Amerika mengebom Afghanistan, Sekutu Utara masuk, dan Taliban menghambur ke gua-gua seperti tikus. Tiba-tiba, orang-orang yang berdiri dalam antrean toko kelontong membicarakan tentang kota-kota dalam masa kecilku; Kandahar, Herat, Mazar-i-Sharif. Saat aku masih sangat kecil, Baba mengajak aku dan Hassan ke Kunduz. Tidak banyak yang kuingat tentang perjalanannya, kecuali saat aku duduk di bawah naungan pohon akasia ber-sama Baba dan Hassan, bergantian menghirup jus semangka segar dari teko tanah liat dan melihat siapa yang bisa meludahkan biji semangka paling jauh. Sekarang Dan Rather, Tom Brokaw, dan orang-orang yang menghirup latte di Starbucks membicarakan tentang pertempuran di Kunduz, basis pertahanan terakhir Taliban di utara. Desember itu, kaum Pashtun, Tajik, Uzbek, dan Hazara berkumpul di Bonn dan, di bawah pengawasan PBB, dimulailah sebuah

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

proses yang kelak akan mengakhiri 20 tahun kesengsaraan di watan mereka. Topi caracul dan chapan hijau Hamid Karzai menjadi terkenal. Sohrab berjalan dalam tidur saat semua itu terjadi. Aku dan Soraya melibatkan diri dalam proyek-proyek Afghan, sebagian karena kami merasa sudah sepantasnya kami terlibat dan sebagian karena kami membutuhkan sesuatu-apa pun-untuk mengisi keheningan di lantai atas, keheningan yang telah mengisap segalanya ke dalam lubang hitam. Sebelumnya aku tidak pernah aktif dalam kegiatan apa pun, namun ketika seorang pria bemama Kabir mantan duta besar Afghanistan untuk Bulgaria meneleponku dan menanyakan kesanggupanku untuk menolongnya mengerjakan sebuah proyek rumah sakit, aku mengiyakan. Rumah sakit kecil itu berdiri di dekat perbatasan Aghanistan dan Pakistan dan memiliki unit operasi kecil untuk menangani pengungsi Afghan yang terkena ledakan ranjau darat. Namun rumah sakit itu ditutup karena kekurangan dana. Aku didaulat menjadi manajer proyek. Soraya membantuku. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di ruang kerja, mengirim e-mail pada banyak orang di seluruh dunia, mengajukan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

permohonan dana, merencanakan acara-acara penggalangan dana. Dan meyakinkan diriku bahwa membawa Sohrab kemari adalah benar. Tahun itu berakhir dengan aku dan Soraya duduk di sofa, selimut terbentang menutupi kaki kami, menonton Dick Clark di TV. Orang-orang bersorak-sorai dan berciuman saat bola perak dijatuhkan, dan confetti memutihkan layar. Di rumah kami, tahun baru dimulai hampir sama dengan akhir tahun sebelumnya. Dalam keheningan. Lalu, empat hari yang lalu, di tengah kesejukan hujan bulan Maret 2002, sebuah keajaiban kecil terjadi. Aku membawa Soraya, Khala Jamila, dan Sohrab dalam pertemuan warga Afghan di Lake Elizabeth Park di Fremont. Sebulan yang lalu, Sang Jenderal akhirnya dipanggil kembali ke Afghanistan untuk menduduki jabatan menteri, dan dua minggu kemudian dia terbang ke sana dia meninggalkan setelan abu-abu dan jam sakunya. Rencananya, Khala Jamila akan menyusulnya beberapa bulan lagi, saat Sang Jenderal telah menetap. Khala Jamila sangat merindukannya dan mengkhawatirkan tentang kesehatannya di sana-dan kami memaksanya untuk sementara tinggal bersama kami.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Kamis itu, hari pertama musim semi, adalah Hari Tahun Baru Afghan Sawl-e-Nau-dan warga Afghan di Bay Area merencanakan perayaan yang meliputi daerah East Bay dan kawasan semenanjung. Kabir, Soraya, dan aku memilik alasan lain untuk perayaan itu: Rumah sakit kecil kami di Rawalpindi telah dibuka seminggu sebelumnya, tidak dengan unit operasinya, hanya klinik perawatan anak-anak. Namun ini adalah awal yang baik, kami semua setuju. Cuaca cerah selama berhari-hari, namun pada Minggu pagi, saat aku mengayunkan kakiku menuruni ranjang, aku mendengar ketukan air hujan di jendelaku. Keberuntungan Afghan, pikirku. Aku terkekeh. Aku menunaikan shalat Subuh saat Soraya masih tertidur aku tidak perlu lagi mencontek pamflet panduan shalat yang kudapat dari masjid; sekarang ucapanucapan itu mengalir dari bibirku dengan alami, tanpa perlu susah payah. Sekitar tengah hari kami tiba dan mendapati banyak orang telah bercakapcakap di bawah naungan lembaran besar plastik yang ditambatkan pada enam pasak yang ditanam di tanah. Seseorang telah menggoreng bolani; uap mengepul dari cangkir-cangkir teh dan sepanci aush kembang kol. Rekaman lagu tua Ahmad Zahir yang bergeme-risik menggelegar. Aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

tersenyum kecil saat kami berempat melintasi lapangan rumput yang basah, aku dan Soraya di depan, Khala Jamila di belakang kami, dan Sohrab di belakangnya, tudung jas hujan kuningnya meloncat-loncat di punggungnya. "Apa yang lucu?" tanya Soraya yang menutupkan lipatan koran di atas kepalanya. "Kau bisa menjauhkan orang Afghan dari Paghman, tapi kau tidak akan bisa menjauhkan Paghman dari orang Afghan," ujarku. Kami membungkukkan badan di bawah tenda darurat itu. Soraya dan Khala Jamila menghampiri seorang wanita gemuk yang sedang menggoreng bolani bayam. Sohrab sejenak tinggal di bawah naungan tenda, lalu melangkah kembali menyongsong hujan. Tangannya tersimpan di saku jas hujannya, rambutnya sekarang cokelat dan lurus seperti rambut Hassan menempel pada kulit kepalanya. Dia berhenti di dekat seekor anjing pudel berwama kopi dan memandanginya. Sepertinya tidak seorang pun memerhatikannya. Tidak seorang pun memanggilnya masuk. Seiring berjalannya waktu, berbagai pertanyaan tentng anak laki-laki yang kami adopsi yang sudah diputuskan merupakan hal yang aneh-berhenti, dan, mengingat betapa keingintahuan Afghan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kadang-kadang begitu menjengkelkan, kami menganggap hal ini melegakan. Orang-orang berhenti menanyakan mengapa dia tak pernah bicara. Mengapa dia tidak bermain dengan anak-anak yang lain. Dan yang terbaik, mereka berhenti menyesakkan kami dengan empati berlebihlebihan mereka, gelengan kepala perlahan mereka, decakan mereka, "Oh gung bichara," mereka. Oh, anak bisu yang malang. Sohrab sudah tidak baru lagi. Bagaikan kertas dinding yang suram, Sohrab menyatu pada latar belakang. Aku berjabatan tangan dengan Kabir, seorang pria kecil berambut kelabu. Dia memperkenalkanku pada sejumlah pria, beberapa di antaranya seorang pensiunan guru, seorang mantan arsitek, dan seorang ahli bedah yang kini mengelola kios hotdog di Hayward. Semua-nya mengatakan bahwa mereka mengenal Baba saat di Kabul, dan mereka berbicara tentang dia dengan penuh rasa hormat. Dengan satu atau lain hal, Baba telah menyentuh kehidupan mereka. Pria-pria itu berkata bahwa aku beruntung memiliki ayah seorang pria yang hebat. Kami mengobrolkan tentang pekerjaan sulit dan mungkin tidak menyenangkan yang harus dihadapi Karzai, tentang Loya jirga yang akan

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

dibentuk, dan Sang Raja yang akan segera kembali ke tanah aimya setelah 28 tahun berada di pengasingan. Aku ingat suatu malam pada tahun 1973, malam saat Raja Zahir Shah dipaksa turun dari singgasananya oleh sepupunya sendiri; aku ingat ledakan senjata dan langit yang diterangi cahaya perak Ali menarik aku dan Hassan ke dalam pelukannya, mengatakan pada kami untuk tidak merasa takut karena mereka hanya sedang ber-buru bebek. Lalu seseorang menceritakan lelucon Mullah Nasruddin dan kami semua tertawa. "Kau tahu, ayahmu juga orang yang lucu," kata Kabir. "Memang begitu, bukan?" aku tersenyum, mengingat bagaimana, saat kami baru saja tiba di AS, Baba mulai menggerutu tentang lalat-lalat Amerika. Dia duduk di meja dapur dengan memegang fty s wattemya, mengamati lalat-lalat yang beterbangan dari dinding ke dinding, mendengung di sini, mendengung di sana, menerjang dan menukik. "Di negara ini, bahkan lalatnya pun diburu waktu," geramnya. Saat itu aku tertawa terbahak-bahak. Saat mengingat kenangan itu, aku tersenyum. Pada pukul 15.00, hujan telah berhenti dan langit menjadi kelabu terang dengan dibebani gumpalan awan di sana-sini. Angin sejuk bertiup di taman itu. Beberapa keluarga bergabung. Warga Afghan saling menyapa, Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

memeluk, mencium, bertukar makanan. Se-se-orang menyalakan batu bara dalam alat barbecue dan aroma bawang putih dan kebab morgh segera menggelitik hidungku. Alunan musik terdengar, dari seorang penyanyi baru yang tidak kukenal, dan anak-anak cekikikan. Aku melihat Sohrab, masih mengenakan jas hujan kuningnya, bersandar pada tong sampah, memandang ke seberang taman pada arena permainan bisbol. Beberapa saat kemudian, saat aku mengobrol dengan si mantan ahli bedah, yang mengatakan padaku bahwa Baba adalah teman sekelasnya saat mereka duduk di kelas delapan, Soraya menarik lengan bajuku. "Amir, lihat!" Dia menunjuk ke langit. Sejumlah layang-layang dalam berbagai wama terbang tinggi; kuning cerah, merah, dan hijau tampak mencolok di langit yang biru. "Lihat ke sana," kali ini Soraya menunjuk seorang pria yang menjual layang-layang di sebuah kios. "Pegang ini," ujarku. Aku memberikan cangkir tehku pada Soraya, meninggalkan obrolanku, dan menghampiri kios layang-layang itu, sementara sepatuku menggerus rerumputan yang basah. Aku menunjuk Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

sebuah sehparcha kuning. "Sawl-e-nau mubarak," ucap si penjual layanglayang, mengambil 20 dolar dari tanganku dan memberikan padaku sebuah layang-layang dan segelondong tar gela-san. Aku mengucapkan terima kasih dan Selamat Tahun Baru padanya. Aku menguji benang itu dengan cara yang biasa aku dan Hassan gunakan, memegangnya di antara jempol dan telunjuk lalu menariknya. Benang itu memerah dengan darah dan penjualnya tersenyum. Aku tersenyum kembali padanya. Aku membawa layang-layang itu ke tempat Sohrab berdiri, masih bersandar pada tong sampah, lengannya bersidekap. Dia sedang menatap ke langit. "Kau suka seh-parcha?" aku memegang ujung layang-layang itu. Tatapannya berpindah dari langit ke diriku, ke layang-layang itu, lalu kembali ke langit. Beberapa tetes air hujan menitik dari rambutnya, membasahi wajahnya. "Aku pernah membaca bahwa, di Malaysia, mereka memakai layang-layang untuk memancing ikan," ujarku. "Aku berani taruhan, kau pasti tidak tahu itu. Mereka mengikatkan tongkat pancing ke layang-layang dan menerbangkannya di atas perairan yang dangkal sehingga bayangbayangnya menarik ikan-ikan itu. Dan di Cina kuno, para jenderal sering Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

meng-gunakan layang-layang untuk mengirimkan pesan me-lintasi medan pertempuran pada pasukan mereka. Ini benar. Aku tidak sedang menipumu." Aku menunjukkan padanya jempolku yang berdarah. "Tidak ada yang salah juga dengan tamya." Dari sudut mataku, aku melihat Soraya memerhatikan kami dari tenda. Tangannya terlipat dengan kaku di dadanya. Tidak seperti aku, dia sedikit demi sedikit mengurangi usahanya untuk menarik perhatian Sohrab. Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, tatapan-tatapan kosong, keheningan, semua itu terlalu menyakitkan. Dia telah mengubah metodenya menjadi "Pola Bertahan," menunggu lampu hijau dari Sohrab. Menunggu. Aku menjilat jari tengahku dan mengangkatnya. "Aku masih ingat, cara ayahmu memeriksa arah angin adalah menendang debu di tanah dengan sandalnya, lalu melihat ke arah mana angin meniupnya. Dia tahu banyak cara seperti itu," ujarku. Kuturunkan kembali jariku. "Barat, kurasa." Sohrab mengusap air hujan yang membasahi daun telinganya dan menggeserkan kakinya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku teringat akan pertanyaan Soraya beberapa bulan yang lalu, seperti apa suaranya. Aku mengatakan padanya bahwa aku tidak lagi meng-ingatnya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

"Pemahkah aku bilang padamu bahwa ayahmu adalah pengejar layanglayang terbaik di Wazir Akbar Khan? Mungkin malah di seluruh penjuru Kabul?" aku mengikatkan untaian tar dari gulungan ke lubang benang yang terletak di tengah persilangan rangka layang-layang. "Anak-anak tetangga iri padanya. Dia mengejar layang-layang tanpa pernah melihat ke langit, dan orang-orang bilang, yang dia kejar adalah bayangan layanglayang itu. Tapi mereka tidak mengenal ayahmu seperti aku mengenalnya. Ayahmu tidak mengejar bayang-bayang. Dia hanya ... tahu." Beberapa layang-layang menambah gerombolan di langit. Orang-orang mulai berkumpul, menggenggam cangkir-cangkir teh, mata mereka terpaku menatap langit. "Kau mau menolongku menerbangkannya?" tanyaku. Tatapan Sohrab beralih dari layang-layang menuju diriku. Kembali lagi ke langit. "Oke," aku mengangkat bahu. "Sepertinya aku harus menerbangkannya tanhaii." Solo. Aku menyeimbangkan gelondong benang itu di tangan kiriku dan mengulurkan tar sekitar satu meter. Layang-layang kuning menggantung di u-jungnya, sedikit di atas rumput yang basah. "Kesempatan terakhir," Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

kataku. Namun Sohrab sedang memandangi sepasang layang-layang yang saling berkait tinggi di atas pepohonan. "Ya sudah. Aku mulai saja." Aku berlari, sepatuku mencipratkan air hujan yang menggenang, tanganku yang memegang ujung layang-layang terangkat tinggi di atas kepala. Sudah sangat lama, bertahun-tahun telah berlalu sejak aku melakukannya, dan aku bertanya-tanya, apakah tingkahku akan membuat diriku terlihat konyol. Aku membiarkan gelondong benang berputar di tangan kiriku sembari berlari, merasakan benang kembali mengiris tangan kananku saat aku mengulumya. Layanglayang itu terangkat di atas bahuku, terangkat, berputar, dan aku makin kencang berlari. Gelondong benang itu berputar makin cepat dan benang gelasan kembali menggores telapak tangan kananku. Aku berhenti dan membalikkan badan. Mendongakkan kepalaku. Tersenyum. Jauh tinggi, layang-layangku berayun ke kiri dan ke kanan bagaikan pendulum, menghasilkan suara kepakan sayap burung kertas yang selalu kuasosiasikan dengan musim dingin di Kabul. Sudah seperempat abad aku tidak pernah me-nerbangkan layang-layang, namun tiba-tiba, umurku kembali 12 dan naluri-naluri lamaku kembali mendatangiku. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Merasakan kehadiran seseorang di dekatku, a-ku menundukkan kepala. Sohrab ada di situ. Tangannya tersimpan dalam-dalam di saku jas hujannya. Dia telah mengikutiku. "Kau mau mencoba?" tanyaku. Dia tidak menjawab. Tapi saat aku menyodorkan benang padanya, dia mengeluarkan tangannya dari saku. Tampak enggan. Mengambil benang itu. Jantungku berdebar saat aku memutar gelondong untuk menarik benang yang terurai. Kami berdiri diam berdampingan. Mendongakkan kepala kami. Di sekeliling kami, anak-anak saling berkejaran, terpeleset di rumput. Seseorang memainkan lagu tema film India tua. Sebaris pria berusia lanjut sedang menunaikan shalat Asar di atas lembaran plastik yang digelar di tanah. Udara digelayuti aroma rumput yang basah, asap, dan daging panggang. Aku berharap waktu berhenti berputar. Lalu aku melihat sebuah layang-layang hijau mendekati kami. Aku menelusuri benangnya dan mendapati seorang anak laki-laki yang berdiri sekitar 30 meter dari kami. Rambutnya cepak dan tulisan THE ROCK RULES dengan huruf-huruf tebal terpampang di kaosnya. Dia melihatku menatapnya dan tersenyum. Melambaikan tangannya. Aku membalas lambaiannya. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Sohrab mengembalikan benangnya padaku. "Kau yakin?" tanyaku seraya menerimanya. Dia mengambil gelondong benangnya dariku. "Oke," ujarku. "Ayo kita beri dia sabagh, beri dia pelajaran, ya?" Aku meliriknya. Ekspresi kosong di mata-nya telah menghilang. Tatapannya beralih dari layang-layang kami ke layang-layang hijau itu. Wajah-nya sedikit merona, matanya tiba-tiba waspada. Ter-bangun. Hidup. Aku bertanya-tanya, kapankah aku melupakan bahwa, meskipun begitu banyak hal telah menimpanya, dia hanyalah seorang anak-anak. Layang-layang hijau itu mulai bertingkah. "Kita tunggu saja," ujarku. "Biarkan dia mendekat sedikit lagi." Layang-layang itu menukik dua kali dan beringsut mendekati kami. "Ayo. Ayo ke sini," kataku. Layang-layang hijau itu terus mendekat, sekarang berada sedikit di atas kami, tidak menyadari jebakan yang telah kupersiapkan untuknya. "Lihat, Sohrab. Aku akan menunjukkan padamu salah satu trik kesukaan ayahmu, angkat dan tukik yang termasyhur." Di sebelahku, Sohrab bemapas dengan cepat melalui hidungnya. Gelondong benang berputar di tangannya, otot-otot di dekat bekas luka pada pergelangan tangannya tampak seperti senar rubah. Lalu aku Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

berkedip dan, untuk sesaat, tangan yang memegang gelondong benang itu adalah tangan berkapal dengan kuku tak rata milik seorang anak laki-laki berbibir sumbing. Aku mendengar burung gagak mengaok di suatu tempat dan mendongak. Salju yang begitu segar berkilauan di taman itu, begitu putih menyilaukan, hingga mataku terasa terbakar. Butirannya berjatuhan tanpa suara dari cabang-cabang pohon yang berselimut lapisan putih. Sekarang aku mencium aroma qurma lobak. Murbei kering. Jeruk masam. Serbuk gergaji dan biji kenari. Keheningan yang memekakkan telinga, keheningan salju, menulikan telingaku. Lalu di kejauhan, jauh dari keheningan itu, sebuah suara memanggil kami untuk pulang, suara seorang pria yang menyeret kaki kanannya. Layang-layang hijau itu terbang tepat di atas kami sekarang. "Dia masuk perangkap kita. Bisa kapan saja sekarang," tatapanku beralih dari Sohrab ke layang-layang kami. Layang-layang hijau itu tampak ragu-ragu. Dia mempertahankan posisinya. Lalu menukik. "Dia datang!" teriakku. Aku melakukannya dengan sempuma. Setelah bertahun-tahun berlalu. Jebakan angkat dan tukik yang termasyhur. Aku melonggarkan Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

peganganku dan membelitkan benangku, mempermainkan layang-layang hijau itu. Serangkaian tarik-menarik kemudian, layang-layang kami terbebas dan berputar setengah lingkaran dengan arah berlawanan jarum jam. Tiba-tiba aku unggul. Layang-layang hijau itu tampak pontangpanting sekarang, dilanda kepanikan. Namun sudah terlambat. Aku telah menyusupkan jebakan Hassan padanya. Aku menarik dengan keras dan layang-layang kami menukik tajam. Aku nyaris bisa merasakan benang kami menggergaji benangnya. Nyaris bisa mendengar bunyinya saat putus. Lalu, begitu saja, layang-layang hijau itu berputar dan meluncur lepas kendali. Di belakang kami, orang-orang bersorak-sorai. Siulan dan tepukan tangan membahana. Aku terengah-engah. Terakhir kalinya aku merasakan gejolak seperti ini adalah pada suatu hari musim dingin 1975, sesaat setelah aku memutuskan benang layang-layang terakhir, saat aku melihat Baba yang berada di atap rumah kami bertepuk tangan, wajahnya berseri-seri. Aku menunduk menatap Sohrab. Satu sudut mulut-nya sedikit terangkat. Sebuah senyuman. Hanya setengah. Tidak begitu terlihat. Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Namun ada. Di belakang kami, anak-anak menghambur, dan segerombolan pengejar layang-layang berteriak-teriak seraya mengejar layang-layang putus yang terbawa angin jauh di atas pepohonan. Saat aku berkedip, senyum itu menghilang. Tapi sesaat sebelumnya senyum itu ada. Dan aku melihatnya. "Kau ingin aku mengejar layang-layang itu untukmu?" Jakunnya naik dan turun saat dia menelan ludah. Angin membelai rambutnya. Kurasa aku melihat anggukkannya. "Untukmu, keseribu kalinya," kudengar aku mengata-kannya. Lalu aku membalikkan badan dan berlari. Hanya sebuah senyuman, tidak lebih. Itu tidak membuat segalanya lebih baik. Tidak membuat apa pun lebih baik. Hanya sebuah senyuman. Satu hal kecil. Sehelai daun di tengah hutan, bergetar saat seekor burung tiba-tiba terbang. Tapi aku akan menerimanya. Dengan tangan terbuka. Karena saat musim semi tiba, salju akan meleleh sekeping demi sekeping, dan mungkin aku baru menyaksikan lelehan keping pertama.

Koleksi ebook inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Aku berlari. Seorang pria dewasa di tengah-tengah gerombolan anak-anak. Namun aku tak peduli. Aku berlari dengan angin menerpa wajahku, dan senyuman selebar Lembah Panjsher tersungging di bibirku. Aku berlari. -TamatEdit & Convert: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia