Data Loading...

FIQH 4 MADZHAB Flipbook PDF

FIQH 4 MADZHAB


121 Views
42 Downloads
FLIP PDF 4.93MB

DOWNLOAD FLIP

REPORT DMCA

FIQIH 4 MADZHAB Kajian Fiqih – Ushul Fiqh

Oleh : Dr. H. Opik Taupik K., M.Ag Ali Khosim Al-Mansyur, M.Ag

BANDUNG 2014 i|

DAFTAR ISI

Daftar Isi_____________________________________ Kata Pengantar________________________________

iii vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang___________________________ B. Tujuan Pembelajaran______________________ C. Peta Konsep_____________________________ BAB II : FIQIH DAN PERKEMBANGANNYA A. Standar Kompetensi______________________ B. Pengertian Fiqih_________________________ C. Sejarah Perkembangan Fiqih_______________ D. Rangkuman_____________________________ E. Sumber Pustaka__________________________ F. Latihan Soal_____________________________ G. Daftar Istilah____________________________ BAB III : USHUL FIQIH DAN PERKEMBANGANNYA A. Standar Kompetensi_______________________ B. Pengertian Ushul Fiqih____________________ C. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih__________ D. Aliran-Aliran Ushul Fiqih__________________ E. Rangkuman_____________________________ F. Sumber Pustaka__________________________ G. Latihan Soal_____________________________

1 4 6

11 11 13 26 27 27 28

29 29 32 44 48 49 50 ii |

H. Daftar Istilah____________________________ BAB IV : TAHARAH A. Standar Kompetensi_______________________ B. Pengertian Taharah_______________________ C. Macam-macam Air _______________________ D. Macam-macam Najis______________________ E. Benda-Benda Najis _______________________ F. Wudhu_________________________________ G. Mandi Wajib____________________________ H. Tayamum ______________________________ I. Haid __________________________________ J. Nifas___________________________________ K. Istihadahah _____________________________ L. Rangkuman_____________________________ M. Sumber Pustaka__________________________ N. Latihan Soal_____________________________ O. Daftar Istilah____________________________ BAB V : SHALAT A. Standar Kompetensi_______________________ B. Kedudukan Shalat________________________ C. Kiblat__________________________________ D. Anggota Badan yang Wajib Ditutupi Ketika Shalat__________________________________ E. Fardhu-Fardhu Shalat Dan Rukun-Rukunnya___ F. Shalat Jum’at____________________________ G. Shalat ‘Idain_____________________________ H. Shalat Musafir___________________________ I. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat__________

51

53 53 55 57 57 60 68 72 76 79 80

83 83 86 87 88 98 102 104 108 iii |

J. K. L. M.

Rangkuman_____________________________ Sumber Pustaka__________________________ Latihan Soal_____________________________ Daftar Istilah____________________________

BAB VI : PENGURUSAN JENAZAH A. Standar Kompetensi_______________________ B. Menghadapkan Jenazah ___________________ C. Memandikan Jenazah _____________________ D. Menyalatkan Orang Meninggal yang Ghaib____ E. Meratakan Kuburan_______________________ F. Membongkar Kuburan ____________________ G. Rangkuman_____________________________ H. Sumber Pustaka__________________________ I. Latihan Soal_____________________________ J. Daftar Istilah____________________________ BAB VII : ZAKAT A. Standar Kompetensi_______________________ B. Urgensi Zakat___________________________ C. Syarat-Syarat Zakat Harta Benda ____________ D. Harta Benda Yang Wajib Dizakati ___________ E. Mustahik Zakat__________________________ F. Distribusi Zakat Menurut Imam Madzhab_____ G. Zakat Fitrah_____________________________ H. Rangkuman_____________________________ I. Sumber Pustaka__________________________ J. Latihan Soal_____________________________ K. Daftar Istilah____________________________

114 115 116 116

119 119 119 121 121 121 122 122 123 123

125 125 126 128 136 141 145 148 149 150 150 iv |

BAB VIII : SOAL-SOAL UTS BAB IX : PUASA A. Standar Kompetensi______________________ B. Orang-Orang Yang Boleh Tidak Puasa_______ C. Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa _________ D. Rangkuman_____________________________ E. Sumber Pustaka__________________________ F. Latihan Soal_____________________________ G. Daftar Istilah____________________________ BAB X : MUNAKAHAT A. Standar Kompetensi______________________ B. Akad Nikah ____________________________ C. Saksi Akad Nikah _______________________ D. Wali Nikah ____________________________ E. Wanita yang Baligh dan Berakal Sehat ______ F. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi _______ G. Pernikahan Beda Agama __________________ H. Mahar _________________________________ I. Rangkuman_____________________________ J. Sumber Pustaka__________________________ K. Latihan Soal_____________________________ L. Daftar Istilah____________________________ BAB XI : HAJI A. Standar Kompetensi______________________ B. Pentingnya Ibadah Haji____________________ C. Pengertian Haji dan Hukum Meninggalkan Haji

153 153 156 158 159 159 160

161 161 161 162 162 163 167 168 173 173 174 174

175 175 176 v|

D. E. F. G. H. I.

Miqat Haji______________________________ Tata Urutan Pelaksanaan Ibadah Haji_________ Rangkuman_____________________________ Sumber Pustaka__________________________ Latihan Soal_____________________________ Daftar Istilah____________________________

BAB XII : MADZHAB-MADZHAB FIQH A. Standar Kompetensi______________________ B. Historisitas Timbulnya Madzhab____________ C. Pengertian Mazhab dan Macamnya __________ D. Dasar Filosofi dan Perkembangan Madzhab Hukum Islam____________________________ E. Rangkuman_____________________________ F. Sumber Pustaka__________________________ G. Latihan Soal_____________________________ H. Daftar Istilah____________________________ BAB XIII : SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM A. Standar Kompetensi______________________ B. Al-Quran ______________________________ C. As-Sunah______________________________ D. Ijma __________________________________ E. Qiyas __________________________________ F. Rangkuman_____________________________ G. Sumber Pustaka__________________________ H. Latihan Soal_____________________________ I. Daftar Istilah____________________________

182 182 190 191 191 191

193 194 198 205 225 226 226 227

229 229 234 236 251 264 265 265 266

vi |

BAB XIV : SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM A. Standar Kompetensi______________________ B. Istihsan________________________________ C. Maslahah Mursalah ______________________ D. ‘Urf___________________________________ E. Istishab________________________________ F. Syar’u Man Qablana______________________ G. Madzhab Shahabi________________________ H. Sadd Az-Zari’ah_________________________ I. Rangkuman_____________________________ J. Sumber Pustaka__________________________ K. Latihan Soal_____________________________ L. Daftar Istilah____________________________ BAB XV : IJTIHAD, ITTIBA`, TAQLID, TALFIQ DAN INTIQOL AL-MADZHAB A. Standar Kompetensi_______________________ B. Ijtihad__________________________________ C. Ittiba___________________________________ D. Taqlid__________________________________ E. Talfiq__________________________________ F. Intiqalul Madzhab________________________ G. Rangkuman_____________________________ H. Sumber Pustaka__________________________ I. Latihan Soal_____________________________ J. Daftar Istilah____________________________ BAB XVI : SOAL-SOAL UAS

267 267 272 278 282 292 294 297 302 302 303 303

305 305 311 313 315 322 324

325 326 326 327

LAMPIRAN vii |

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Secara umum, fiqih dapat dipahami sebagai sebuah aturan main dalam kehidupan yang berporos pada Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun -sebagai sebuah formulasi hukum- ia merupakan produk ijtihad seorang mujtahid. Ia berisi kewajibankewajiban yang diyakini dari Tuhan untuk umat manusia agar manusia dapat berprilaku positif. Ketundukan manusia terhadap fiqih ini akan menjadi indikasi “kesalehan manusia” baik di hadapan Tuhannya maupun di tengah-tengah kehidupan manusia. Sebagai sebuah aturan, fiqih mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan manusia dengan sesama bahkan dengan alam sekitarnya. Dua fungsi ini menjadikan fiqih terpetakan menjadi dua yaitu pertama fiqih Ibadah yang lebih menekankan pada spek kesalehan individual, kedua fiqih muamalah yang lebih menekankan pada aspek kesalehan sosial. Fiqih ibadah mengantarkan manusia untuk dapat berhubungan baik dengan Sang Maha Pencipta. Sedangkan fiqih mu’amalah mengantarkan manusia untuk menjalin hubungan baik kepada sesamanya. Fiqih muamalah yang mempunyai pengertian seperti ini di kalangan ulama’ fiqih dikenal sebagai fiqih muamalah dalam pengertian luas. Pada dasarnya munculnya berbagai konflik di masyarakat banyak disebabkan karena pemahaman fiqih yang serampangan dan tekstual. Akibatnya hanya karena perbedaan yang sifatnya furu’iyah dalam konteks ibadah, maka masyarakat menjadi terpecah-pecah (berkelompok-kelompok). Antar satu [1]

kelompok dengan lainnya selalu mengedepankan klaim kebenaran (truth claim). Mereka beranggapan bahwa ibadah yang mereka lakukan itu paling benar, sedangkan yang dilakukan oleh kelompok lainnya salah. Hanya disebabkan perbedaan jumlah shalat taraweh, perbedaan pelaksanaan shalat jumat, ritual tahlilan, maulidan dan lain-lain, maka hubungan bertetangga antara masyarakat satu dengan lainnya terpecah. Perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat bagi masyarakat justru malah sebaliknya yakni menjadi laknat. Pemahaman fiqih secara mendalam sangat dibutuhkan terlebih bagi mahasiswa yang diorientasikan akan menjadi agen of change di masyarakat. Sebetulnya syari’ah Islam melalui pendekatan fiqih sangatlah indah apabila berhasil dipahami dengan benar. Keindahan itu antara lain terletak pada elastisitasnya dan keadilannya. Elastisitas syari’ah Islam dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menuntutnya, sehingga akan benar-benar tampak oleh mata betapa tinggi keadilan Islam. Selama ini, kekakuan dan kejumudan dalam memahami syari’ ah antara lain disebabkan oleh pola pikir yang salah. Beberapa kalangan memahami fiqih hanya dengan cara taqlid semata. Mereka secara membabibuta berpegang dengan kuatnya pada salah satu madzhab tanpa pernah meneliti pada situasi dan kondisi seperti apa para imam madzhab tersebut mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Hal ini penting karena para imam tersebut tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi tertentu dalam berfatwa. Karenanya, yang harus kita pegang teguh dari para imam tersebut adalah pola (kerangka) pikir mereka dan bukan hasil pemikiran mereka. Karena hasil pemikiran dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, padahal situasi dan koindisi yang kita alami belum tentu sama dengan yang dialami oleh para imam tersebut. Hal tersebut dengan jelas terbukti pada diri Imam Syafi’i. Pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir tidaklah [2]

sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya (ketika di Irak). Pendapat-pendapatnya selama di Irak kini dikenal dengan qaul qadim sedangkan selama di Mesir dikenal denga qaul jadid. Dengan demikian pola pikir kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut (taqlid al-manhaj} dan bukan berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid al-qaul). Untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui seperti apa pola pikir mereka. Dalam hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-istinbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah) dan kaidah fiqihiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih dan fiqih itu sendiri. Hubungan ilmu Ushul Fiqih dengan Fiqih adalah seperti hubungan ilmu mantiq/logika dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaidah berpikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kekacauan dalam berpikir. Selain itu, fungsi ushul fiqih adalah membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Demikian pula dengan ilmu ushul fiqih, merupakan kaidah yang memelihara fuqaha/ ahli fiqih agar tidak terjadi kesalahan di dalam menggali dan menetapkan hukum. Dengan demikia, pada dasarnya fiqh dan ushul fiqh mempunyai tujuan yang sama, yakni hukum syariah. Hanya saja, ushul fiqh berperan menetapkan metode dan kaidah pencetusan hukum, sedangkan fiqh yang melakukan pencetusan hukum melalui metode dan kaidah yang ditetapkan oleh ushul fiqh. Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh tidak dibutuhkan lagi karena pintu ijtihad sudah ditutup, karena menurut kami pintu ijtihad terbuka sampai hari kiamat kelak, tentu dengan syarat-syarat yang berlaku. Ulama yang berfatwa bahwa pintu ijtihad sudah tertutup adalah dikarenakan dulu mereka melihat fenomena kelancangan orang bodoh [3]

terhadap syariah Allah, mencetuskan hukum berdasarkan nafsu dan menyebarkannya di antara orang yang tidak memahami ushul fiqh. Orang yang tidak memenuhi syarat untuk berijtihad juga tetap membutuhkan ilmu ini. Mereka cukup mempelajari kaidah-kaidah ushul fiqh hingga rujukan yang digunakan mujtahid sebagai landasan pendapat mereka, dasar-dasar madzhab mereka, dan sesekali dapat membandingkan dan mengunggulkan (tarjih) salah satu pendapat dan mengeluarkan hukum sesuai dengan metode yang digunakan para imam mujtahid dalam menetapkan dan mencetuskan hukum. Sebagaimana hukum syariah yang tidak bisa lepas dari ilmu ini, pengacara, hakim, dosen dan sebagainya juga tidak bisa lepas dari ushul fiqh dalam memutuskan suatu hukum. Karena kaidah dan dalil yang ditetapkan ushul fiqh (seperti qiyas dan dalilnya, kaidah ushul untuk menafsirkan nash, cara penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya, segi pengambilan dalil dan kaidah untuk mengunggulkan [tarjih] satu di antara dalil) adalah salah satu hal yang harus dikuasai oleh orang yang berkompeten dalam memutuskan suatu hukum dan untuk mengetahui tafsir dan hukum yang terkandung di dalamnya. Karena itulah mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih merupakan satu mata kuliah yang sangat diperlukan bagi setiap jurusan dalam fakultas apapun.

B. Tujuan Pembelajaran Mata kuliah Fiqih/ Ilmu Fiqih ini merupakan mata kuliah yang termasuk dalam MKDU dan wajib diikuti oleh setiap mahasiswa. Mata kuliah ini disajikan dalam satu semester. Adapun tujuan secara umum mata kuliah ini adalah agar mahasiswa memeroleh pengetahuan yang memadai tentang ketentuan-ketentuan pokok dalam ibadah yang termasuk rukun [4]

Islam. Lebih lanjut, mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam prakteknya. Sehingga kemampuan mahasiswa bukan hanya dari sisi kognitif saja melainkan dalam afektifnya juga bagus. Adapun tujuan secara khusus setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa memiliki kompetensi-sebagai berikut: 1. Mahasiswa mampu memahami Fiqh dan ushul fiqh beserta perkembangan dan ruang lingkupnya. 2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi waktu shalat dengan benar. 3. Mahasiswa mampu memahami materi tentang taharah dan mempraktekannya dengan benar. 4. Mahasiswa mampu mempraktekan bacaan shalat secara lengkap dan benar bacaannya serta sesuai makharijul hurufnya. 5. Mahasiswa mampu memahami materi tentang shalat dan keutamaan berjamaah serta mempraktekannya dengan benar. 6. Mahasiswa mampu memahami syarat sah shalat, rukun dan sunah shalat serta mempraktekannya dengan benar. 7. Mahasiswa mampu memahami hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat dan yang membatalkan shalat serta meninggalkanya. 8. Mahasiswa mampu memahami macam-macam sujud, jama' dan mengqashar shalat. 9. Mahasiswa mampu memahami shalat Jumat beserta khutbahnya dan shalat hari raya. 10. Mahasiswa mampu memahami pengurusan jenazah dan shalat-shalat sunah, khususnya yang sifatnya harian. 11. Mahasiswa mampu memahami tentang hukum dan tata cara zakat dan menghitung harta yang sudah wajib dizakati. [5]

12. Mahasiswa mampu memahami hukum puasa beserta halhal yang berhubungan dengannya. 13. Mahasiswa mampu memahami hukum haji beserta halhal yang berhubungan dengannya. 14. Mahasiswa mampu memahami hukum pernikahan dalam Islam. 15. Mahasiswa mampu memahami perbedaan dalam fiqh dan madzhab-madzhabnya. 16. Mahasiswa mampu memahami dasar hukum atau sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dalam menentukan hukum sesuatu hal. 17. Mahasiswa mampu memahami Ijtihad, Ittiba' Taqlid dan Talfiq.

C. Peta Konsep Dalam buku daras ini, penulis memakai konsep perbandingan madzhab. Dalam hal ini penulis meninjau berbagai masalah, khususnya dalam konteks ibadah dengan perspektif empat madzhab yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hal demikian penulis ambil dengan pertimbangan bahwa selama ini buku fiqih dan ushul fiqih kebanyakan selalu disajikan hanya dari satu perspektif (baca: madzhab), sehingga mahasiswa yang mempelajarinya pun akan terkontruk pada produk pemikiran madzhab tertentu. Akibatnya karena keterbatasan waktu, kesempatan dan berbagai hal lainnya, maka pada akhirnya mereka hanya mengetahui hukumhukum menurut salah satu madzhab saja. Implikasi lanjutnya adalah mereka menganggap bahwa yang mereka pelajari tersebut merupakan satu-satunya pendapat. Sehingga jika dikemudian hari mereka menjumpai pendapat yang berbeda, maka secara reflek mereka akan menyalahkan pendapat yang berbeda dengan yang selama ini dilakukannya. [6]

Melalui buku daras fiqih yang ditulis dengan pendekatan berbagai madzhab ini, diharapkan mahasiswa akan tergiring pada pemahaman islam yang moderat, toleran, serta tidak lagi mengedepankan klaim kebenaran (truth claim) terhadap madzhabnya. Hal demikian sebagaimana tujuan mempelajari fiqih dan ushul fiqih perbandingan yang dikemukakan oleh Yusuf Qaradhawi yaitu niscaya akan tercipta sikap: 1. Dari formalitas menuju hakikat. Aspek lahir syariat: shalat, puasa, zakat haji, ‘hafal’ ayat dan teks hadits, hafal teori-teori teologi: sifat 20, asmaul husna, dan sebagainya, itu semua adalah aspek formal yang penting. Tapi jauh lebih penting adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu: menghambakan diri kepada Allah, tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati. 2. Dari simbol menuju substansi. Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama, amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan, berperasaan dalam etika dan lain sebagainya. 3. Dari pembicaraan menuju amal Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh lebih penting. 4. Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan. Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba [7]

5.

6.

7.

8.

9.

dalam kebaikan amal (fastabiqul khairat) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting. Dari sentimentil menuju ilmiah Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah sikap ilmiah. Dari emosional menuju rasional Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresifofensif menyerang, itu adalah sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan Dari ekstrim menuju moderat Beberapa ciri sikap ekstrim adalah: Tidak mengakui pendapat lain, memaksakan pendapat, keras bukan pada tempatnya (pada masalah furu’ yang ijtihadi), kasar, menyakiti, buruk sangka, memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir, literalis, suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah. Dari menyulitkan menuju kemudahan. Tidak mau mengambil rukhsah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bid’ah dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman Nabi adalah bid’ah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan yang menyulitkan. Dari jumud menuju ijtihad. Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau mempertimbangkan maqashid syari’ah, illat hukum, kondisi sosial dan perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang [8]

mecairkannya demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad. 10. Dari taklid menuju ittiba’. Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittiba’ adalah mengetahui argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik. 11. Dari fanatisme menuju toleransi. Beberapa ciri sikap fanatik di antaranya adalah: menganggap dirinya paling benar, menganggap semua yang lain pasti salah, keras pada masalah furu’ yang ijtihadi, tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas, tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat dan lain sebagainya. 12. Dari eksklusifisme menuju inklusifisme. Sikap tertutup, tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang tidak sama pemahamannya serta merasa kelompoknya lah yang paling benar hanya akan menjadikan diri menjadi kerdil serta pemikiran menjadi picik. 13. Dari keberingasan menuju kasih sayang. Sikap mudah menyalahkan dan lebih mengedepankan otot daripada otak jernih akan berubah menjadi sikap lemah lembut, saling menghargai dan menebar kasih sayang antar sesama. 14. Dari perpecahan menuju persatuan. Perbedaan pemahaman yang menyebabkan perpecahan umat sudah seharusnya dicarikan solusinya sehingga perbedaan tersebut menempati posisinya sebagai rahmat yang akan membawa persatuan umat. 15. Dari perselisihan menuju solidaritas. Perselisihan di masyarakat yang disebabkan perbedaan dalam konteks ibadah sudah seharusnya diminimalisir [9]

sehingga pada akhirnya solidaritas umat yang akan tercipta.

[10]

BAB II FIQIH DAN PERKEMBANGANNYA

Standar Kompetensi Mahasiswa mampu perkembangannya.

memahami

definisi

Fiqih

dan

A. Pengertian Fiqih Dalam membicarakan mengenai hukum Islam, seringkali ditemukan istilah-istilah seperti fiqih, dan ushul fiqih. Untuk mempermudah memahami istilah-istilah di atas, penulis akan kemukakan satu persatu secara rinci. Salah satu definisi fiqih adalah: ‫ العلم بالشيء والفهم له‬:‫الفقه في اللغة‬ Al-fiqih menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu. Maksudnya adalah pengetahuan dan pemahaman secara mendalam, mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘fiqih’ dalam Al Qur’an, di antaranya surat Hud: 91, “Mereka (penduduk Madyan) berkata: hai Syu’aib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu katakan.” Dan surat An Nisa’: 78, “Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?.” ‫ العلم باألحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية‬: ‫الفقه اصطالحا‬ Sedangkan secara istilah fiqih ialah ilmu tentang hukumhukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalildalilnya yang terinci. Dengan kata lain fiqih adalah hukum itu sendiri. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: • Mengetahui adalah Ilmu dan persangkaan. Karena mengetahui hukum-hukum fiqih terkadang bersifat yakin dan terkadang bersifat persangkaan, sebagaimana banyak dalam masalah-masalah fiqih. [11]

• •



Hukum-hukum syari: adalah hukum-hukum yang diambil dari syariat, seperti wajib dan haram, maka tidak termasuk hukum-hukum akal, dan adat Amaliah adalah apa-apa yang tidak berhubungan dengan aqidah, seperti shalat dan zakat. Maka tidak termasuk darinya (amaliah) apa-apa yang berhubungan dengan aqidah; seperti mentauhidkan Allah, dan mengenal namanama dan sifat-Nya; Dalil-dalilnya yang terperinci: adalah dalil-dalil fiqih yang berhubungan dengan masalah-masalah fiqih yang terperinci, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu ushul fiqih karena pembahasan di dalamnya hanyalah mengenai dalil umum.

Pengertian secara luas tentang fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pembahasan fiqih berkisar pada perbuatan mukallaf dari sisi konsekuensi hukumnya secara syar’i, bagaimana cara beribadah, tentang prinsip rukun Islam (shalat, zakat, puasa, jual beli, dan lain sebagainya) serta hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunah.

B. Sejarah Perkembangan Fiqih Pada dasarnya dalam membagi periodisasi perkembangan fiqih, di kalangan ulama terdapat perbedaan. [12]

Muhammad Khudari Bek (ahli fiqih dari Mesir) membagi periodisasi fiqih menjadi enam periode. Lebih lanjut menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Adapun periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut: 1. Periode Risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW. Pengertian fiqih pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqih sebagai periode revolusi sosial dan politik. Tepatnya setelah nabi Muhammad hijrah, barulah ayatayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat al-Mujadilah. Pada periode [13]

Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. 2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqih pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.Pada era ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masingmasing. Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunah Nabi SAW. Namun jika dalam sunah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad. [14]

3. Periode Awal Pertumbuahan Fiqih. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut. Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Pada saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin alKhattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra’yu (akal) (Ahlulhadis dan Ahlurra’yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat [15]

pada Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadis. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadis. Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha’i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa’id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi’in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk madzhab-madzhab fiqih mengikuti nama para thabi’in tersebut, diantaranya fiqih al-Auza’i, fiqih anNakha’i, fiqih Alqamah bin Qais, dan fiqih Sufyan as-Sauri. 4. Periode Keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi [16]

dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqih guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqih misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far alMansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqih yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa’ (Yang Disepakati). Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadis dan ahlurra’yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya madzhab-madzhab fiqih, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqih taqdiri (fiqih hipotetis). [17]

Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah muridmurid kelompok ahlurra’yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadis dapat menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlurra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum. Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing madzhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang merupakan salah satu kitab ahlulhadis. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadis yang dapat mendukung fiqih ahlurra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqih kedua aliran yang didasarkan atas hadis dan ra’yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqih dan usul fiqih. Diantara kitab fiqih yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir arRiwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqih pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i. Teori usul fiqih dalam masing-masing madzhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan almaslahah al-mursalah. 5. Periode Tahrir, Takhrij dan Tarjih dalam Madzhab Fiqih. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masingmasing madzhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai [18]

dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqih. Ulama fiqih lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqih yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip madzhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqih tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-madzhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam madzhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqih yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap atta’assub al-madzhabi (sikap fanatik buta terhadap satu madzhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan madzhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut yaitu: a. Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu madzhab fiqih yang disetujui khalifah saja. b. Munculnya sikap at-taassub al-madzhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam madzhab. c. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat madzhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing madzhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama madzhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab madzhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada madzhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan [19]

lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq. Persaingan antar pengikut madzhab semakin tajam, sehingga subjektivitas madzhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masingmasing imam madzhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam madzhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam madzhab masingmasing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masingmasing madzhab. 6. Periode Kemunduran Fiqih. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqih pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqih yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqih dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama fiqih lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqih yang telah disusun dalam madzhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam madzhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku madzhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam madzhab mereka. Hal ini berakibat pada [20]

semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satusatunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab madzhab. Mustafa Ahmad azZarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqih yang menonjol pada periode ini yaitu: a. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai madzhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqih. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqih ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqih tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab madzhab ulama fiqih tersebut. b. Muncul beberapa produk fiqih sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqih) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqih bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah [21]

sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su ’ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani). c. Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqih) Islam sebagai madzhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqih Madzhab Hanafi. 7. Periode Pengkodifikasian Fiqih. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqih pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam madzhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqih yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqih dari keterikatan madzhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqih pada periode ini yaitu: a. Munculnya upaya pengkodifikasian fiqih sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). [22]

Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam alAdliyyah yang didasarkan Madzhab Hanafi (madzhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Madzhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqih dalam Madzhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu. b. Upaya pengkodifikasian fiqih semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/ perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqih di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta’akhkhirin) serta [23]

terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum. c. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan madzhab fiqih tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqih bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu madzhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada madzhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Madzhab Hanafi, tetapi juga dari madzhab fiqih lainnya, seperti Madzhab Maliki, Syafi ’i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat madzhab yang sudah punah, seperti Madzhab Abi Laila dan Madzhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani. Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqih mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai madzhab fiqih sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut madzhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asySyaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermadzhab merupakan perbuatan bid’ah yang harus dihindari, dan tidak [24]

satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ’i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqih tidak lagi terikat pada salah satu madzhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai madzhab, yang dikenal dengan istilah fiqih muqaran. Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqih al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqih Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqih muqaran dibahas ulama fiqih secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masingmasing madzhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil. Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqih kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqih dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqih Islam dan hukum produk Barat.

RANGKUMAN Pada dasarnya para ulama dalam mendefinisikan fiqih itu tidak jauh berbeda. Perbedaan yang Nampak di antara mereka adalah dalam hal redaksi katanya. Namun semuanya mengarah pada satu pengertian yakni Al-fiqih secara bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu. [25]

Sedangkan secara istilah fiqih ialah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci. Adapun pengertian secara luas tentang fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah. Perkembangan Fiqih terbagi menjadi tujuh periode yaitu: Pertama, Periode Risalah, Kedua, Periode al-Khulafaur Rasyidun, Ketiga, Periode Awal Pertumbuahn Fiqih, Keempat, Periode Keemasan, Kelima, Periode Tahrir, Takhrij dan Tarjih dalam Madzhab Fiqih, Keenam, Periode Kemunduran Fiqih, Ketujuh, Periode Pengkodifikasian Fiqih.

SUMBER PUSTAKA ▪ Abu Zahrah. Muhamad, Usul Fiqih. Terj. Saefullah Ma'sum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Ke-8, 2003. ▪ Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. ▪ Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 ▪ Djazuli Atjep dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. ▪ Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. ▪ Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : alMaktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986 ▪ Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember: GBI Pasuruan, 1991. [26]

▪ ▪

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan secara singkat pengertian fiqih menurut para ulama baik secara etimologi maupun istilah. 2. Jelaskan secara singkat perkembangan fiqih. 3. Pada dasarnya fiqih itu bersifat dinamis, bagaimana kamu menyikapi perbedaan yang ada dalam masalah fiqih sehingga kedinamisan fiqih bisa diaplikasikan untuk masa sekarang. DAFTAR ISTILAH 1. Fiqih : hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah 2. Fiqih taqdiri: Fiqih hipotetis 3. Ahlul hadis: Kelompok yang lebih menekankan pendekatan dalil naqli dalam berijtihad 4. ahlur ra’yi: Kelompok yang lebih menekankan pendekatan dalil aqli dalam berijtihad 5. at-Taassub al-Madzhabi : Fanatisme dalam bermadzhab 6. al-Ahwal asy-Syakhsiyyah : hukum yang mengatur tentang keluarga 7. Mukhtasar: Ringkasan 8. Muktabar: Terpandang 9. Fiqih Muqaran: Fiqih Perbandingan 10. Qadhi : Hakim [27]

[28]

BAB III USHUL FIQIH DAN PERKEMBANGANNYA

Standar Kompetensi Mahasiswa mampu memahami definisi Ushul Fiqih dan perkembangannya. A. Pengertian Ushul Fiqih Secara bahasa ushul fiqih (‫ )أصول الفقه‬tersusun dari dua kata, yaitu ushul (‫ )أصول‬dan fiqih (‫)الفقه‬. Pengertian ushul (‫ )أصول‬secara bahasa merupakan jamak (bentuk plural/majemuk) dari kata ashl (‫ )أصل‬yang berarti dasar, pondasi atau akar. Allah berfirman: َ ٍ‫ش َجرة‬ َ ً‫ّللاُ َمثَالً َك ِل َمة‬ َ ‫ط ِهيبَةً َك‬ ‫ب ه‬ ِ‫س َماء‬ َّ ‫صلُ َها ثَا ِبتٌ َوفَ ْرعُ َها فِي ال‬ ْ َ ‫ط ِهيبَ ٍة أ‬ َ ‫ض َر‬ َ ‫ْف‬ َ ‫أَلَ ْم ت ََر َكي‬ “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim [14]: 24) ‫ أصل هذا الحكم من الكتاب‬: ‫ قيل‬, ‫ الدليل‬: ‫و األصل اصطالحا‬ Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: “Ashlu/ dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an). Pada dasarnya para ulama sangat beragam dalam memberikan definisi tentang ushul fiqh. Salah satunya adalah syeikh Muhammad Al-Kudhari mendefinisikan ushul fiqh: “Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menyampaikan pada istinbath hukum syara’ dari dalil-dalilnya”. Al-Baidhowi mendefinisikannya: ‫معرفة دالئل الفقه إجماال وكيفية االستفادة منها وحال المستفيد‬ “Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh [29]

(bagaimana berijtihad), serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid”. Penjelasan : • Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain. • Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadis yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, mana ayat/ hadis yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan seterusnya. • Kondisi mujtahid : syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunah Rasulullah. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ushul fiqih yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum-hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan Abu Zahrah mendefiniskan ushul fiqh yaitu suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar'i dari nash. Dan berdasar nash pula mereka mengambil 'illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar'i, sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh Al-Qur'an maupun sunah. [30]

Dalam hal ini, ilmu ushul fiqh berati suatu kumpulan kaidah metodologis yang menjelaskan bagi seorang faqih bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalil syara'. Kaidah itu bersifat lafzhiyah, seperti dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengkompromikan lafazh yang secara lahir bertentangan atau berbeda konteksnya; dan bisa bersifat maknawiyah, seperti mengambil dan menggeneralisasian suatu 'illat dari nas serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Begitulah kandungan Ilmu Ushul Fiqh yang menguraikan dasar-dasar serta metode penetapan hukum taklif yang bersifat praktis yang menjadi pedoman bagi para faqih dan mujtahid, sehingga dia akan menempuh jalan yang tepat dalam mengambil hukum. Hubungan antara fiqh dan ushul fiqh dalam hukum islam sejajar dengan hubungan antara nahwu dengan percakapan atau tulisan bahasa arab. Sebagai contoh persoalan mengenai mengapa shalat itu wajib, seorang ahli fiqh akan mengemukakan dalil Al-Quran ‫( اقيموا الصالة‬dirikanlah shalat). Persoalan lainnya adalah mengapa dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa shalat itu wajib, sedangkan kata-kata yang ada secara tekstaual hanya “dirikan lah shalat”. Dalam hal ini ahli ushul fiqh memberikan jawaban dengan kaidah: ‫االصل في األمر للوجوب‬ “Pada dasarnya makna perintah itu menunjukan kepada wajib” Oleh karena itu dalam ushul fiqh terdapat al-qawaid alkulliyah al-ushuliyyah, yang digunakan untuk menggali hukum dari dalil terperinci. Kaidah-kaidah tersebut merupakan ketetapan yang bersifat umum yang bisa diterapkan kepada bagian-bagian lain dalam mengetahui hukumnya. Kaidah di atas merupakan salah satu al-qawaid alkulliyah al-ushuliyyah yang dapat diterapkan kepada setiap perintah yang terdapat di dalam Al-Quran maupun sunah. [31]

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dipahami bahwa pembahasan ushul fiqih berkisar tentang dalil syar’i secara global dan apa yang diambil dari dalil tersebut (ijma’, qiyas, istihsan dan lain sebagainya).

B. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh 1. Masa Rasulullah Pada dasarnya ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih dulu ada, apakah ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan atau fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Dalam hal ini salah satu ulama yakni Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh. Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Al-Quran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Al-Quran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh. Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan [32]

sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari. Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.” Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad untuk memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut. Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah. Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata: ْ َ‫ فَقَال‬.ُ‫ضينَه‬ ِ ‫علَ ْي َها دَي ٌْن أَكُ ْن‬ ِ ‫أ َ َرأ َ ْي‬ ِ‫ضاء‬ ِ َّ ‫ دَي ٌْن‬: ‫ نَعَ ْم فَقَا َل‬: ‫ت‬ َ َ‫ّللا أ َ َح ُّق بِا ْلق‬ ِ ‫ت ت َ ْق‬ َ َ‫ت لَ ْو َكان‬ “Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. [33]

Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i. Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. 2. Masa Sahabat Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Al-Quran, sunah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut: َ َ‫ لَ َّما بَع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللا‬ : ُ‫ث ُمعَاذًا ِإلَى ا ْليَ َم ِن قَا َل لَه‬ ِ َّ ‫ أ َ َّن َرسُو َل‬: ‫ع ْن ُمعَا ٍذ‬ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َِّ ‫ب‬ َ ‫ فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدْهُ فِى‬: ‫ قَا َل‬.‫ّللا‬ ‫َا‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ب‬ ‫ى‬ ‫ض‬ ‫ق‬ ‫أ‬ : ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ .‫؟‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ض‬ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫ض‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫ى‬ ‫ض‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫ْف‬ ‫ي‬ َ َ‫ِ ِ َ َ َ ك‬ ِ ِِ ِ ٌ َ َ ‫َك‬ َ ْ ‫ فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدْهُ فِى‬: ‫ قَا َل‬.-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللا‬ ِ َّ ‫ضى بِسُنَّ ِة َرسُو ِل‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫ِكت َا‬ ِ ‫ أق‬: ‫ّللا؟ قَا َل‬ ْ َ ُ َ َ َ َ َ َّ : ‫صد ِْرى َوقَا َل‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫د‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ض‬ ‫ف‬ : ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ .‫و‬ ‫ل‬ ‫آ‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ي‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ب‬ ُ ‫د‬ ‫ه‬ ‫ت‬ ‫أ‬ : ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ .. ‫ّللا‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ِ ْ‫ج‬ ِ َ َ ُ َِ َ َ َ ِ ِ ُ َ ‫سنَّ ِة‬ َ ِ َِ ِ َّ .‫ّللا‬ ِ َّ ‫ضى َرسُو َل‬ ِ َّ ‫َّلل الَّذِى َوفقَ َرسُو َل َرسُو ِل‬ ِ َّ ُ‫ا ْل َح ْمد‬ ِ ‫ّللا ِل َما ي ُْر‬ “Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah saw ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunah Rasulullah saw. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah menepukan tangannya ke dada saya dan [34]

bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai Rasulullah.” Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat. Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan. Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat [35]

tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya. Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228. َ ‫َوا ْل ُم‬ ٍ‫طلَّقَاتُ َيت ََربَّصْنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالثَةَ قُ ُروء‬ “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘” Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci. Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi). Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi. Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin [36]

adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir. 3. Masa Tabi’in Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing. Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim nonArab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan alBashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir. Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada [37]

faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting: (1),Pemalsuan hadis, (2), Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl alhadis). Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum nonArab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain. 4. Masa Imam Madzhab Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh. Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain: (1),Al-Quran (2),hadis (3),ijma’ ummat (4),ijma’ orang Madinah (5),qiyas, (6),pendapat sahabat (7),maslahah mursalah (8),istishab (9),bara’ah ashliyah (10),adat/‘urf (11),istiqra’ (induksi) (12),sadd al-dzariah (tindakan preventif) (13),istidlal (14),istihsan (15),mengambil yang lebih mudah (16),ishmah [38]

(17),ijma’ orang Kufah (18),Ijma’ sepuluh orang (19),ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun). Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadis Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah. Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadis, meskipun hadis itu ahad. Orang Irak, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya. Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadis. Alquran dan hadis tetap menjadi pilar utama istimbath [39]

hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadis, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab alMuwaththa’ adalah kitab hadis yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadis. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadis. Penolakan terhadap hadis tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadis membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadis yang sahih tentu hadis tersebut yang dijadikan sandaran. Sejalan dengan munculnya pemalsuan hadis tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadis. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadis sehingga menolak keseluruhan hadis, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadis belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadis. Terhadap munculnya aliran ingkar alsunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah [40]

argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm. Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu: (1).Al-Quran (2).Sunah (3).Ijma’ (4). Qiyas Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Al-Quran sebagai sumber pertama, sedangkan hadis sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan hadis ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i. Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti. Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh. Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh. Sejarah memang mencatat bahwa Imam [41]

Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan alSyaybani. Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusanrumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadis untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru. 5. Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karyakarya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain: 1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadhi Abd al-Jabbar alMu‘tazili (w. 415 H/1024 M) 2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri alMu’tazili (w. 436 H 1044 M) 3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458 H/1065 M) 4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm alDzahiri (w. 456H/1062M) 5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467 H /1083 M) [42]

6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478 H /1085 M) 7. Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w.490 H/1096 M). Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5. Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar, al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya alJuwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya. Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain. C. Aliran-Aliran Ushul Fiqh Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang [43]

saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Aliran Mutakallimin Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya alSyirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya alJuwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha alWushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi. Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti: 1) Abu Ya’la (pengarang al-Uddah) 2) Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir), 3) Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah) [44]

4) Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah). Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti: Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay alUshul wa al-Jadal). Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti: Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul alAhkam). Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin alRazi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi. Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain: 1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan. 2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya alSyirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang [45]

sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya alGhazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib. Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab. 2. Aliran Hanafiyah Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi. Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidahkaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidahkaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata. Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain: [46]

1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar alJashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran. 2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi 3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi. 4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi) 3. Aliran Gabungan Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalanpersoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya. Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah alHanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din alTaftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din alSubki al-Syafi’i. Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala alushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud [47]

berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya alIsnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya alZanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid alSyariah. RANGKUMAN Secara bahasa ushul fiqih (‫ )أصول الفقه‬tersusun dari dua kata, yaitu ushul (‫ )أصول‬dan fiqih (‫)الفقه‬. Pengertian ushul (‫ )أصول‬secara bahasa merupakan jamak (bentuk plural/majemuk) dari kata ashl (‫ )أصل‬yang berarti dasar, pondasi atau akar. Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: “Ashlu/ dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an). Muhammad Al-Kudhari mendefinisikan: “Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menyampaikan pada istinbath hukum syara’ dari dalil-dalilnya”. Al-Baidhowi mendefinisikannya: “Memahami dalildalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid”. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ushul fiqih yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum-hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan Abu Zahrah mendefiniskan ushul fiqh yaitu suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar'i dari nash. Dan berdasar nash pula mereka mengambil 'illat [48]

yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar'i. Perkembangan Ushul Fiqih terbagi menjadi tujuh periode yaitu: Pertama, Periode Rasulullah Kedua, Periode sahabat, Ketiga, Periode tabiin, Keempat, Periode Imam Madzhab, Kelima, Periode Kelahiran Karya-karya Besar Ushul Fiqh. Sedangkan aliran-aliran dalam ushul fiqih ada tiga yaitu alairan mutakalimin, aliran hanafiyah dan aliran gabungan. SUMBER PUSTAKA • Abu Zahrah. Muhamad, Usul Fiqih. Terj. Saefullah Ma'sum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Ke-8, 2003. • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • As-Shidiqie, Teungku M.Hasbi Pokok-pokok pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997 • Djazuli Atjep dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. • Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : alMaktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986 • Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakrta: Amzah, 2005 • Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.

• • •

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993. Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993.

[49]

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan secara singkat pengertian ushul menurut para ulama baik secara etimologi maupun istilah. 2. Jelaskan secara singkat perkembangan ushul fiqh. 3. Jelaskan aliran-aliran ushul fiqh yang kamu ketahui 4. Jelaskan isi kandungan hadits Muad bin Jabal berikut: َ َ‫ لَ َّما بَع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللا‬ ‫ث ُمعَاذًا إِلَى ا ْليَ َم ِن قَا َل‬ ِ َّ ‫ أ َ َّن َرسُو َل‬: ‫ع ْن ُمعَا ٍذ‬ َ َ ‫ فَإِ ْن لَ ْم‬: ‫ قَا َل‬.‫ّللا‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫ضى بِ ِكت َا‬ ِ ‫ أ ْق‬: ‫ قَا َل‬.‫ضا ٌء؟‬ َ َ‫ض لَكَ ق‬ َ ‫ضى إِذَا‬ ِ ‫ْف ت َ ْق‬ َ ‫ع َر‬ َ ‫ َكي‬: ُ‫لَه‬ : ‫ قَا َل‬.-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللا‬ ُ ‫سنَّ ِة َر‬ ُ ‫ضى ِب‬ ِ َّ ‫سو ِل‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫ت َِجدْهُ فِى ِكت َا‬ ِ ‫ أ َ ْق‬: ‫ّللا؟ قَا َل‬ ْ َ ُ ‫ب بِيَ ِد ِه‬ ِ َّ ‫فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدْهُ فِى سُنَّ ِة َرسُو ِل‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫ ف‬: ‫ قَا َل‬.‫ أ ْجت َ ِهدُ بِ َرأيِى الَ آلو‬: ‫قَا َل‬.. ‫ّللا‬ َّ َِّ ‫ضى َرسُو َل‬ َّ .‫ّللا‬ ‫ُر‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ّللا‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ َ‫ق‬ ‫ف‬ ‫و‬ ‫ِى‬ ِ َ ْ ُ ُ ِ َّ ُ‫ ا ْل َح ْمد‬: ‫صد ِْرى َوقَا َل‬ ِ َ َ َ ‫فِى‬ َ ِ ِ َ ‫َّلل الَّذ‬

DAFTAR ISTILAH 1. Ushul Fiqih: ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum-hukum syara’ yang praktis 2. Fiqih Taqdiri: Fiqih hipotetis 3. Ahlul hadis: Kelompok yang lebih menekankan pendekatan dalil naqli dalam berijtihad 4. Ahlur ra’yi: Kelompok yang lebih menekankan pendekatan dalil aqli dalam berijtihad 5. at-Taassub al-Madzhabi : Fanatisme dalam bermadzhab 6. al-Ahwal asy-Syakhsiyyah: hukum yang mengatur tentang keluarga 7. Mukhtasar: Ringkasan 8. Muktabar: Terpandang 9. Fiqih Muqaran: Fiqih Perbandingan 10. Qadhi: Hakim [50]

[51]

BAB IV TAHARAH

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami kedudukan taharah dalam Islam serta ruang lingkupnya dalam perspektif empat madzhab. A. Pengertian Taharah Taharah atau bersuci menduduki masalah penting dalam Islam, baik secara hakiki maupun secara hukmi. Secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Sedangkan secara hukmi maksudnya adalah sucinya wudhu’ kita dari hadats atau sucinya diri kita kita dari kondisi janabah. Sebab hal itu merupakan syarat abadi untuk bisa melakukan beragam ritual peribadatan dalam Islam. Adapun pengertian secara bahasa, taharah berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan secara istilah adalah kebersihan dari sesuatu yang khusus yang di dalamnyaterkandung makna ta’abud kepada Allah. Misalnya ibadah shalat yang merupakan bentuk pertemuan antara serang hamba dengan Tuhannya, maka diperlukan adanya kondisi yang bersih dan suci untuk bisa dikatakan syah dalam hal itu. Dan menunaikan shalat dalam kondisi yang suci dan bersih merupakan bagian dari ta’zim dan penghormatan kepada Allah SWT. Begitu juga dengan hadats dan janabah, meski secara pisik tidak berbentuk benda yang najis terlihat, namun secara hukum bisa dianggap sebagai salah satu bentuk ketidaksucian. Karena najis dan janabah termasuk najis maknawi yang wajib disucikan manakala seorang hamba akan menghadap kepada [53]

tuhannya secara formal. Maka kesucian dari hadats dan janabah merupakan kesucian ruhiyah. Masalah kesucian, mendapat perhatian yang prioritas dalam islam. Hal demikian di samping secara medis, terbukti bahwa wudhu’ dan mandi itu secara pisik bisa menyegarkan tubuh, mengembalikan vitalitas dan membersihkan diri dari segala macam kuman penyakit yang setiap sat bisa menyerang kondisi tubuh. Secara ilmu kedokteran modern terbukti juga bahwa upaya yang paling efektif untuk mencegah terjadinya wabah penyakit adalah dengan menjaga kebersihan. Dan seperti yang sudah sering disebutkan bahwa mencegah itu jauh lebih baik dari mengobati. Lebih lanjut, dalam Al-Quran Allah sangat memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian. َ َ ‫ِِ َّن هللاَ يُحِ بُّ الت َّ َّوابِينَ َويُحِ بُّ ا ْل ُمت‬ َ‫ط ِه ِرين‬ “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihan diri”. (QS. Al-Baqarah : 222).

َّ ‫ط َّه ُروا َوهللاُ ي ُِحبُّ ْال ُم‬ َ َ‫فِي ِه ِر َجا ٌل ي ُِحبُّونَ أَن يَت‬ َ‫ط ِه ِرين‬

“Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri Dan Allah menyukai orang yang membersihkan diri”. (QS. AnTaubah : 108). Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa menjadi teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun maupun batin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada jamaah dari sahabatnya: “Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji. ” (HR. Ahmad) B. Macam-macam Air [54]

Berkenaan dengan air yang digunakan sebagai media bersuci, para ulama membaginya menjadi tiga macam, yaitu: 1. Air Mutlak Air mutlak ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belerang, dan sebagainya Menutur ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa tayamum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu bertentangan dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya”. 2. Air Musta’mal Apabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air mutlak, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta’mal. Air semacam ini hukumnya najis, karena telah bersentuhan dengan benda najis, meskipun itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadats atau najis. Para ulama madzhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Tetapi jika air itu berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jika tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, [55]

maka dianggap bahwa tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis. Air musta’mal yang telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum’at, hukumnya suci dan menyucikan untuk hadats dan najis; artinya air itu dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis. Adapun air musta’mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiah sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadats dan berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang. Contoh kasus, apabila orang yang berjunub menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang kena najis, dengan niat membersihkan hadats, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta’mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi’i dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta’mal tetapi menyucikan janabah orang tersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi.\ 3. Air Mudhaf Air Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air mutlak (pada asalnya), kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air bunga. Air semacam itu hukumnya suci namun tidak dapat menyucikan najis dan kotoran. Pendapat ini merupakan kesepakatan semua madzhab kecuali Hanafi yang membolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan selain minyak. C. Macam-macam Najis [56]

1. Mukhoffafah (najis kecil), seperti najis (dan ini syaratsyaratnya) kencingnya anak bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu (selain obat) dan umurnya belum genap 2 tahun. Maka cara menyucikannya cukup diperciki air sampai rata. 2. Mutawasithoh (najis sedang), yaitu semua najis selain yang diatas. Dan najis mutawasithoh (sedang) dibagi menjadi 2 bagian: 1) Najis yang ada ainiyahnya (ada bekasnya) yaitu yang mempunyai warna, bau atau rasa, maka cara menyucikannya harus dihilangkan bekasnya (ainiyahnya) lalu baru disiram dengan air secara merata. 2) Najis yang tidak berbekas (hukmiyah) yaitu tidak ada warna, bau atau rasa maka cara menyucikannya cukup disiram dengan air secara merata. 3. Mughaladhoh (najis yang berat), seperti najisnya babi atau anjing atau anak dari salah satu diantaranya, dalam keadaan basah atau kering disalah satunya. Maka cara membasuhnya dengan terlebih dahulu menghilangkan bekasnya lalu dibasuh dengan air 7 kali dan debu (bisa air dulu 5 kali, lalu debu, lalu air lagi 1 kali atau air dicampur dengan debu dan dibasuh 7 kali).

D. Benda-Benda Najis 1. Anjing; najis, kecuali madzhab Maliki yang berkata: Bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali berkata: Bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah. Imamiyah berkata: Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan air. [57]

2. Babi; Semua madzhab, berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali madzhab Imamiyah yang mewajibkan membasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali dengan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar). 3. Bangkai; Semua madzhab sepakat, bahwa bangkai binatang darat – selain manusia – adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan suci. Hanafi berpendapat, bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan mandi. 4. Darah; Keempat madzhab sepakat bahwa adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada diatas jasadnya. Begitu juga halnya dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (titinggi). 5. Mani; Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis. Syafi’i berpendapat, mani anak Adam suci, begitu pula semua binatang selain anjing dan babi. Hambali berpendapat mani anak adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci; tetapi mani binatang yang daging tidak dimakan adalah najis. 6. Nanah; Keempat madzhab sepakat bahwa nanah hukumnya adalah najis. 7. Kencing; Air kencing dan kotoran anak Adam adalah najis menurut semua madzhab. 8. Sisa binatang; Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang. Masing-masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya dimakan dan yang dagingnya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang dagingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang [58]

dagingnya tidak dimakan misalnya serigala dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing madzhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis. Kotoran kuda, bagal, dan lembu semua najis. Hanafi berkata: Sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci; jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis. Hambali dan Syafi’i berkata: Sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa binatang yang darahnya dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak. Dan semua madzhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah najis. 9. Benda cair yang memabukkan; Adalah najis menurut semua madzhab. Tetapi Imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak agar upaya menjadikan benda memabukkan yang cair diubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, padahal hukumnya tetap najis. 10. Muntah; Hukumnya najis menurut empat madzhab. 11. Madzi dan Wadzi; Keduanya najis menurut madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis. Madzi adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing atau dalam kondisi capek.

[59]

E. WUDHU A. Hal-hal yang Mewajibkan dan Membatalkan Wudhu 1. Sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) Para ulama telah sepakat semua bahwa semua yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur), dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu, menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Tetapi menurut Maliki, tidak sampai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh di dalam perut, tapi kalau tidak tumbuh di dalamnya, seperti orang yang sengaja menelat batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari tempat biasa (anus), maka ia dapat membatalkan wudhu. Adapun berkenaan madzi dan wadzi menurut empat madzhab: Ia dapat membatalkan wudhu, tetapi menurut Imamiyah: Tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi. 2. Hilang Akal Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan, atau naik pitam, maka menurut kesepakatan semua ulama, ia dapat membatalkan wudhu. Tapi kalau masalah tidur, Hambali berpendapat bahwa kalau hati, pendengaran dan penglihatannya tidak berfungsi sewaktu ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan orang-orang disekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur tersebut dalam keadaan duduk, terlentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu. Hanafi: Kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadi batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barangsiapa yang tidur pada waktu shalat dan keadaannya tetap dalam posisi [60]

seperti shalat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama. (Mizanul Sya’rani, dalam pembahasan asbahul hadats). Syafi’i: Kalau anusnya tetap dari tempat duduknya, seperti mulut botol yang tertutup, maka tidur yang demikian itu tidak sampai membatalkan wudhu, tapi bila tidak, maka batal wudhunya. Maliki: Membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan wudhu, begitu juga kalau tidur berat dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan wktunya panjang, ia dapat membatalkan wudhu, baik anusnya tertutup maupun terbuka. 3. Mani Mani dapat membatalkan wudhu, menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali, tetapi menurut Syafi’i, ia tidak dapat membatalkan wudhu. 4. Menyentuh Lawan Jenis Syafi’i: Kalau orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalau bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal. Hanafi: Wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan. Atau dengan kata lain menyentuhnya dengan diiringi syahwat. Syafi’i dan Hambali: menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya. Maliki: Ada hadis yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan wudhu, tap[i jika menyentuh dengan belakangnya [61]

tidak membatalkan wudhu. (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, karya Ibnu Rusyd, dalam pembahasan nawaqidul wudhu). 5. Muntah Menurut Hambali: Ia dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tapi menurut Hanafi: Ia dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut. Sedangkan menurut Syafi’i dan Maliki: Ia tidak membatalkan wudhu. 6. Darah dan Nanah Sesuatu yang keluar dari badan bukan dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti darah dan nanah, maka menurut Syafi’i dan Maliki: Ia tidak membatalkan wudhu. Hanafi: Ia dapat membatalkan wudhu, jika mengalir dari tempat keluarnya. Hambali: Ia dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah dan nanah yang keluar itu banyak. 7. Tertawa Tertawa itu dapat membatalkan shalat, menurut kesepakatan semua kaum Muslimin, tetapi tidak dapat membatalkan wudhunya ketika shalat, maupun diluarnya kecuali Hanafi. Hanafi: Dapat membatalkan wudhu kalau ketawanya itu sampai terbahak-bahak di dalam shalat, tetapi diluar shalat tidak membatalkan wudhu. 8. Daging Unta Kalau orang yang mempunyai wudhu itu memakan daging unta, maka wudhunya batal, pendapat ini hanya menurut Hambali saja. 9. Darah Haid Al-Hilli dalam bukunya Al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah seorang ulama besar ahli fiqih dari [62]

kalangan Imamiyah: Darah haid itu kalau sakit, ia wajib berwudhu, begitulah menurut pendapat ulama kami, kecuali Ibnu Abi ‘Uqail. Sedangkan menurut Maliki: Bagi orang yang haid tidak diwajibkan berwudhu.

B. Fardhu-Fardhu Wudhu 1. Niat Niat yaitu tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan motivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah Allah. Para ulama madzhab sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melaksanakan wudhu itu. Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan niat; maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu, lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan final dari wudhu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut telah tercapai, hanya Hanafi mengecualikan sesuatu yang bercampur dengan sisa-sisa keledai atau anggur yang terbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka (Hanafi) menegaskan dengan wajibnya niat. (Ibnu Abidin, Jilid I, halaman 76). 2. Membasuh Muka Yang dimaksud dengan membasuh muka adalah mengalirkan air pada muka. Ia wajib cukup satu kali saja. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu. Syafi’i: Juga wajib membasahi sesuatu yang dibawah dagu. Maliki: Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk. Madzhabmadzhab yang lain: Batas membasuh muka itu dari anak kuping kiri ke anak kuping kanan. Empat madzhab: [63]

Kewajibannya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai dari atas itu adalah lebih utama. 3. Membasuh Dua Tangan Kaum Muslimin sepakat bahwa membasuh dua tangan sampai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib. Empat madzhab sepakat bahwa yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari jemari adalah lebih utama. 4. Mengusap Kepala Hambali: Wajib mengusap semua kepala dan dua telinga. Sedangkan mandi, menurut Hambali adalah cukup sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya diatas kepala. Maliki: Wajib mengusap semua kepala tanpa telinga. Hanafi: Wajib mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air diatas kepalanya. Syafi’i: Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram sebagai pengganti dari mengusap. Empat madzhab: Wajib mengusap dengan air baru. (AlMughni, karya Ibnu Qudamah, Jilid I, dalam bab mashurra’si, dan juga di Tadzkirah, ‘Allamah Al-Hilli). Kalau mengusap surban, maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada dibawah dagu. Hanafi, Syafi’i dan Maliki: Boleh kalau ada udzur, tetapi bila tidak, tidak boleh. 5. Dua Kaki Empat madzhab: Wajib membasuhnya sampai mata kaki satu kali. Imamiyah: Wajib mengusapnya dari ujung jarijemari sampai pada mata kaki. Kesepakatan ulama madzhab: Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan [64]

antara mengusap atau membasuh dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6 surat Al-Maidah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menegakkan shalat, maka basuhlah muka-muka kamu, kedua tangan kamu sampai siku-siku, dan usaplah kepala-kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”. Kata arjul ada yang membaca dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya dengan fathah, yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup mengusap berarti menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru’us sekaligus membacanya kasrah, dan kedudukan nashabnya fi mahalli (berada di tempat), karena setiap yang dikasrahkan lafadznya ia di-nashab-kan (di-fathah-kan) pada mahal (tempat). Dan orang berpendapat dengan membasuh, ia mengatakan bahwa arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan) dengan menjadikannya athaf kembali pada kata aidiya. Silahkan membaca Tafsir Al-Razi. Empat madzhab: Boleh mengusap sepatu dan kaos kaki sebagai pengganti dari membasuh dua kaki. 6. Tertib Tertib ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: Dimulai dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. Ia wajib sekaligus syarat sahnya wudhu, menurut Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki: Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka. 7. Muwalat Yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera. Hambali: Wajib muwalat, sedangkan Hanafi dan Syafi’i: Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan memisahkan [65]

dalam membasuh antar anggota-anggota wudhu itu kalau tidak ada udzur, bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu. Maliki: Muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan sesuatu yang dibangun diatas keyakinannya, sekalipun telah lama. 8. Ad-Dalk Yaitu menggosok-gosok anggota badan yang termasuk anggota wudhu. Semua madzhab berpendapat bahwa itu tidak merupakan fardhu wudhu, selama basuhan-basuhan terhadap setiap anggota wudhu tersebut dapat dipastikan sudah mengenai kulit dan tidak ada yang tertinggal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa ad-dalk merupakan fardhu wudhu.

Dari pendapat Imam madzhab tentang taharah dan fardhu/ rukun wudhu di atas, maka dapat diskema kan sebagai berikut: TAHARAH

Jenis

[66]

Hakiki

Hukmi

Rukun/ fardhu wudhu menurut imam madzhab Rukun Niat Membasuh muka Membasuh tangan

Hanafi  

Maliki  

Syafi’i  

Hambali  









[67]

Mengusap kepala Membasuh kaki Tertib Muwalat Ad-Dalk Jumlah









    4

    7

    6

    7

F. MANDI WAJIB Macam-macam Mandi Wajib yaitu: (1) Junub, (2), Haid, (3), Nifas (4),Orang Islam yang meninggal dunia. Keempat hal ini telah disepakati semua ulama madzhab. Hambali: Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam. Syafi’i: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi karena junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak diwajibkan mandi. Hanafi: Ia tidak diwajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid I, hal. 207). Dari keterangan diatas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu sebanyak empat, menurut Hanafi dan Syafi’i; dan menurut Hambali dan Maliki ada lima. A. Mandi Junub Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu: 1. Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Syafi’i: Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hambali: Tidak diwajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan [68]

mandi. Tap[i kalau mani sudah terpisah dari sulbi lelaki atau dari tulang dada wanita dan mani belum sampai pindah keluar (pada yang lain), maka ia tidak diwajibkan mandi, kecuali menurut Hambali. (Masalah) kalau orang yang tidur telah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani atau madzi. Hanafi: Wajib mandi. Syafi’i dan Imamiyah: Tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadats diragukan. Hambali: Kalau sebelum tidur ia telah memikirkan halhal yang nikmat (berpikir tentang yang porno-pent), maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu. 2. Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan kepala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama madzhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat; apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antar dua kelamin itu, diwajibkan mandi atau tidak? Hanafi: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu: Pertama, baligh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baligh saja, dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak diwajibkan mandi. Kedua, harus tidak ada batas (alingaling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukkan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi. [69]

Syafi’i: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada batas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia. Hambali dan Maliki: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meninggal. Kalau yang telah baligh, Maliki: Bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya sudah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani. Hambali: Mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun, bagi wanita yang disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun. B. Sesuatu Yang Mewajibkan Mandi Junub Semua perbuatan yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti shalat, thawaf dan menyentuh Al-Quran, lebih dari itu yaitu berdiam di masjid. Semua ulama madzhab sepakat bahwa bagi orang junub tidak boleh berdiam di mesjid, hanya berbeda pendapat tentang boleh tidaknya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya. Maliki dan Hanafi: Tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting). Syafi’i dan Hanafi: Boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam. Pendapat ini berdasarkan keterangan ayat 43 surat An-Nisa: [70]

“(Jangan pula) hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja”. Maksud ayat tersebut diatas, dilarang mendekati masjidmasjid yang dijadikan tempat shalat, kecuali kalau ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian). Sedangkan membaca Al-Quran, Maliki: Bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari Al-Quran, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali. Hanafi: Bagi orang yang junub tidak boleh membacanya, kecuali kalau ia jadi guru mengaji Al-Quran yang menyampaikannya (mentalqin; mengajarkannya) kata perkata. Syafi’i: Bahkan satu huruf pun bagi orang yang junub tetap diharamkan, kecuali hanya untuk dzikir (mengingat), seperti menyebutnya pada waktu makan.

C. Hal-hal Yang Wajib Dalam Mandi Junub Dalam mandi junub diwajibkan apa yang diwajibkan dalam wudhu, baik dari segi ke-mutlak-an air sucinya serta badan harus suci terleih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya ke kulit, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab wudhu. Diwajibkan juga berniat, kecuali Hanafi yang menolak niat ini. Alasannya: Hanafi tidak menganggap niat sebagai syarat sahnya mandi. Empat madzhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan. Mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau sebaliknya. [71]

Hanafi: Menambahkan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu dihembuskan. Mereka (Hanafi): Sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, kemudian tubuh sebelah kiri. Syafi’i dan Maliki: Disunnahkan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). Ia (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang lain. Hambali: Disunahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.

G. TAYAMUM Tayamum itu mempunyai sebab-sebab yang membolehkan dan materi yang dipergunakannya, cara-cara khusus, dan hukum-hukum yang berlaku. A. Sebab-Sebab Tayamum Ulama madzhab berbeda pendapat tentang orang yang bukan musafir dan sehat (tidak sakit), tetapi ia tidak mendapatkan air; apakah ia boleh bertayamum? Maksudnya, bila tidak ada air, apakah hanya orang yang berada dalam perjalanan dan sakit sajalah yang dibolehkan bertayamum, atau justru dibolehkan dalam keadaan apapun, sampai pada waktu sehat dan orang yang bukan berada dalam perjalanannya? Hanafi: Orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak pula shalat kalau tidak ada air. Hanafi mengemukakan pendapatnya itu berdasarkan ayat 8 surat Al-Maidah: “..... Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang diantara kamu datang dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air , maka bertayamumlah ...”. Ayat diatas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk boleh bertayamum [72]

selama orang itu buka musafir dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan shalat, karena ia tidak suci. Dan shalat hanya diwajibkan bagi orang yang suci. Madzhab-madzhab yang lain sepakat bahwa orang yang tidak mendapatkan air wajib bertayamum dan shalat, baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan, sakit maupun sehat berdasarkan hadis yang mutawatir: “Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang Islam, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun”. Mereka menjelaskan bahwa dijelaskannya perjalanan (musafir) dalam ayat tersebut karena kebiasaan, sebab biasanya orang-orang musafir tidak mendapatkan air. Kalau betul apa yang dikatakan Hanafi itu, maka tentu orang-orang musafir dan orang yang sakit, yang keduanya tetap diwajibkan shalat, sedangkan orang yang bukan musafir dan sehat tidak diwajibkan shalat; (mengapa mesti terbalik logikanya?). Syafi’i dan Hambali: Kalau mendapatkan air tapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pasa sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayamum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayamuminya. Madzhab-madzhab yang lain: Adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang yang demikian tidak diwajibkan selain bertayamum. Tapi pada masa sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu diperdebatkan secara panjang lebar, karena pada saat sekarang air sudah mencukupi bagi setiap manusia, dimanapun saja,baik bagi orang musafir maupun yang mukim. Para ahli fiqih membahas tentang wajibnya mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya. Kalau ia khawatir pada dirinya, hartanya atau kehormatannya dari [73]

pencuri dan binatang buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya, dan seterusnya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berat untuk mendapatkan air. B. Cara-Cara Bertayamum Semua ulama madzhab sepakat bahwa bertayamum itu tidaklah sah kalau tanpa niat, sampai Hanafi berkata: Niat itu adalah merupakan syarat dalam tayamum, bukan syarat dalam wudhu. Menurut mereka (Hanafi) bahwa tayamum itu dapat menghilangkan hadats, seperti wudhu dan mandi. Dari itu, mereka membolehkan untuk berniat menghilangkan hadats, sebagaimana berniat untuk dibolehkannya melakukan shalat. Madzhab-madzhab lain berpendapat bahwa tayamum itu membolehkan, bukan menghilangkan (hadats). Bagi orang yang bertayamum hendaknya berniat agar dibolehkan melakukan apa-apa yang disyaratkan bersuci dengannya, bukan berniat menghilangkan hadats. Tetapi sebagian Imamiyah mengatakan bahwa boleh berniat menghilangkan, dengan catatan ia mengetahui kalau tayamum itu tidak menghilangkan hadats, karena menurut mereka di dalam niat menghilangkan hadats terdapat kelaziman arti dari niat kebolehannya (istibahah). Sebaik-baiknya cara untuk mengakumulasi (mengumpulkan) semua pendapat-pendapat di atas adalah orang yang bertayamum itu harus berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti perintah-Nya yang berhubungan dengan masalah tayamum ini, baik ketika memulainya, maupun lahir dari perintah shalat dan semacamnya dari beberapa tujuan tayamum. Sebagaimana mereka (ulama madzhab) berbeda pendapat tentang arti sha’id, mereka juga berbeda pendapat tentang maksud mengusap wajah dan kedua tangan yang dijelaskan dalam ayat Al-Quran. [74]

Empat madzhab: Yang dimaksud dengan muka itu adalah mengusap semua wajah, yang di dalamnya termasuk janggut, dan yang dua tangan adalah dua telapak tangan, dan pergelangan sampai pada kedua siku-siku. Itulah batas tayamum sebagaimana batas wudhu. Dan caranya adalah menenpuk dengan dua kali tepukan, yang pertama untuk mengsap wajahg, dan yang kedua untuk mengusap kedua tangan, dengan cara dari ujung jari-jari sampai kedua siku-siku. Maliki dan Hambali: Bahwa mengusap kedua tangan itu hanya sampai pada pergelangan tangan, dan sampai disitulah yang diwajibkannya, sedangkan sampai kedua siku-siku adalah sunnah. Hanafi: Kalau mukanya terkena debu, lalu meletakkan tangannya padanya (wajahnya) dan mengusapkannya, maka itu sudah cukup, serta sebagai pengganti dari memukulkannya. Semua madzhab ulama sepakat bahwa sucinya anggota tayamum itu adalah merupakan syarat sahnya tayamum baik yang diusapnya maupun yang mengusapnya, juga benda yang menjadi bahan tayamum itu harus suci. Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang bertayamum wajib mencopot (menanggalkan) cincinnya ketika bertayamum, dan tidak cukup hanya dengan menggerakkannya, sebagaimana kalau mau berwudhu. Tetapi para ulama madzhab berbeda pendapat tentang wajibnya muwalat (bertur-turut). Maliki: Wajib berturut-turut antar bagian-bagian anggota tayamum itu. Maka kalau dipiahkan (dari jarak) dengan waktu yang mengurangi arti berturut-turut, batallah tayamumnya. Hambali: Wajib berturut-turut kalau bertayamum untuk mengilangkan hadats kecil, tapi kalu untuk menghilangkan hadats besar tidak wajib berturut-turut. Syafi’i: Hanya wajib tertib saja, bukan berturut-turut. Hanafi: Tidak diwajibkan berturut-turut dan tidak diwajibkan pula tertib. [75]

H. HAID Haid secara bahasa berarti: Mengalir, sedangkan secara terminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berarti: Darah yang biasa keluar pada diri seorang wanita pada hari-hari tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan meninggalkan ibadah dan menjadi patokan selesainya ‘iddah bagi wanita yang dicerai. Biasanya darahnya berwarna hitam atau merah kental (tua) dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tetapi kadangkadang ia keluar tidak seperti yang digambarkan diatas, karena sifat-sifat darah haid sesuai dengan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. A. Usia Wanita Haid Semua ulama madzhab sepakat bahwa wanita itu tidak akan haid kalau belum usia sembilan tahun. Maka bila datang sebelum usia tersebut, semua sepakat bahwa itu darah penyakit. Begitu juga darah yang keluar dari wanita berusia lanjut. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas usia lanjut yang haidnya telah berhenti. Hanafi dan Hambali: Lima puluh tahun, Maliki: Tujuh puluh tahun, Syafi’i: Selama masih hidup haid itu masih mungkin, sekalipun biasanya berhenti setelah berusia enam puluh dua tahun. B. Lamanya Waktu Haid Hanafi: Paling sedikitnya haid itu tiga hari, dan paling banyak sepuluh hari. Dan darah itu tidak keluar terus-menerus selama tiga hari, atau darah yang keluar lebih dari sepuluh hari, maka ia bukan darah haid. Hambali dan Syafi’i: Paling sedikitnya selama satu hari satu malam, dan paling banyaknya selama lima belas hari. Maliki: Paling banyaknya lima belas hari bagi wanita yang tidak hamil, sedangkan sedikitnya tidak ada batas. [76]

Semua ulama madzhab sepakat bahwa haid itu tidak ada batas masa sucinya, yang dipisah dengan dua kali haid. Sedangkan paling sedikitnya tiga belas hari, menurut Hanafi, Syafi’i dan Maliki paling sedikitnya 15 hari. Ulama madzhab berbeda pendapat terjadinya haid dengan hamil secara bersamaan. Apakah kalau ia sudah nampak hamil masih bisa haid? Syafi’I dan maliki: Haid dan hamil masih bisa secara bersamaan. Hanafi dan Hambali: Tidak bisa berkumpul secara bersamaan. C. Hukum-hukum Haid Bagi wanita haid diharamkan semua yang diharamkan pada orang yang junub, baik menyentuh Al-Quran dan berdiam di dalam masjid. Pada hari-hari haid diharamkan berpuasa dan shalat, hanya ia wajib menggantinya (mengqadha) hari-hari puasa Ramadhan yang ditinggalkannya, tetapi kalau shalat tidak usah diganti, karena berdasarkan beberapa hadis dan demi menjaga (terhindar) kesukaran karena banyaknya mengulangulang shalat, tapi kalau puasa tidak. Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haid, tapi kalau telah terjadi, maka sah talaknya, hanya menurut empat madzhab orang yang mentalaknya itu bedosa, sedangkan menurut Imamiyah talaknya itu batal kalau suami itu telah menyetubuhinya, atau suaminya masih berada di sisinya, atau istri itu masih belum hamil. Dan sah mentalak istri yang sedang haid, istri yang yang sedang hamil dan belum disetubuhi serta wanita yang sedang ditinggal suaminya. Keterangan lebih rinci, Insya Allah akan dijelaskan nanti dalam bab talak. Semua ulama madzhab sepakat bahwa mandi haid tidak cukup tanpa wudhu, karena wudhunya wanita haid dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadats. Mereka juga sepakat untuk mengharamkan menyetubuhi wanita pada hari-hari haid. Sedangkan kalau menikmatinya di [77]

antara lutut dan pusar, menurut Hambali: Boleh secara mutlak, baik dengan aling-aling maupun tidak. Pendapat Maliki yang terkenal adalah tidak boleh walau ada aling-aling (batas). Hanafi dan Syafi’i: Diharamkan kalau tanpa aling-aling tetapi bila dengan aling-aling adalah boleh. D. Cara-cara Mandi Mandi haid sama seperti mandi junub, baik dari segi airnya, ia wajib air mutlak, dari sucinya, wajib suci badannya, dan tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke badan, niat, memulai dari kepala, kemudian dari bagian tubuh yang kanan, lalu bagian tubuh yang kiri, menurut Imamiyah, dan cukup dengan menceburkan semua badannya sekaligus ke dalam air. Empat madzhab: Meratakan air ke semua badannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang mandi junub, tanpa ada perbedaan.

I. NIFAS Maliki: Darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumnya. Hambali: Darah nifas, adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, dua atau tiga hari dengan tanda-tanda akan melahirkan. Syafi’i: Darah yang keluar setelah melahirkan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan. Hanafi: Darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakan darah nifas. [78]

Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak nampak ada darah yang keluar, ia tetap diwajibkan mandi, menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Hambali tidak wajib mandi. Semua ulama madzhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, menurut Hambali dan Hanafi: Empat puluh hari, sedangkan Syafi’i dan Maliki: Enam puluh hari. Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena disebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalah ‘iddha talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan semua ulama madzhab. Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya shalat, puasa, dan wajib mengqhada’ kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qhada untuk shalat yang ditinggalkan. Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh Al-Quran, berdiam di dalam masjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara madzhab, juga tidak sah kalau ditalak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haid.

J. ISTIHADHAH Istihadahah menurut istilah para ahli fiqih adalah: Darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan bahwa ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darah itu warnanya kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid. Empat madzhab: Istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang dilarang dalam haid, [79]

baik membaca al-Quran, menyentuhnya, masuk masjid, beri’tikaf, berthawaf, bersetubuh, dan lain-lainnya seperti yang dijelaskan dalam masalah-masalah yang dilarang bagi orang yang berhadats besar. RANGKUMAN pengertian taharah secara bahasa, berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan secara istilah adalah kebersihan dari sesuatu yang khusus yang di dalamnyaterkandung makna ta’abud kepada Allah. Para ulama membagi air yang digunakan sebagai media bersuci, menjadi tiga macam, yaitu: Pertama, Air mutlak ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi. Menutur ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Kedua, Air Musta’mal ialah air yang bekas dipakai untuk bersuci. Menurut para ulama hukumnya suci namun tidak menyucikan. Ketiga, Air Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air mutlak (pada asalnya), kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air bunga. Air semacam itu hukumnya suci namun tidak dapat menyucikan najis dan kotoran. Pendapat ini merupakan kesepakatan semua madzhab kecuali Hanafi yang membolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan selain minyak. Adapun macam-macam najis ada tiga yaitu: Pertama, Mukhoffafah (najis yang ringan), seperti kencingnya anak bayi laki-laki yang belum makan selain ASI dan umurnya belum genap 2 tahun. Kedua, Mutawasithoh (najis sedang), yaitu semua najis selain yang diatas. Ketiga, Mughaladhoh (najis yang berat), seperti najisnya babi atau anjing atau anak dari salah satu diantaranya. Fardhu wudhu menurut ulama madzhab bermacammacam yaitu, niat, membasuh muka, membasuh tangan sampai [80]

siku, mengusap kepala, membasuh kaki, tertib, muwalat dan addalk. Sedangkan menurut kesepakatan pendapat para ulama madzhab bahwa hal-hal yang yang menyebabkan mandi wajib yaitu: (1) Junub, (2), Haid, (3), Nifas (4),Orang Islam yang meninggal dunia.

SUMBER PUSTAKA • al-Jaziri, Abdu ar-Rahman. 1988. al-Fiqhu 'alaa Madzahibi al-Arba'ah. Beirut: Darul Kutub. • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • az-Zuhaili, Wahbah, . al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu. Damaskus:Dar al fikr. tt.

• • • •

Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ala Madzhahibul Khomsah, terj. Afif Muhammad dkk, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

Qardhawi, Yusuf, Fiqhul Ikhtilaf, terj. Ainur Rofiq Saleh, Gerakan Islam; Antara Perbedaan Yang diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang, Jakarta: Robani Pres, 2001. Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan urgensi taharah dalam perspektif Islam

[81]

2. Tuliskan Al-Quran surat al-Maidah ayat 6 dan perbedaan pendapat para imam madzhab dalam menentukan rukun dan batal wudhu. 3. Tuliskan niat tayamum dan mandi wajib yang kamu ketahui 4. Jelaskan pendapat para imam madzhab tentang usia awal dan terakhir haid serta lamanya waktu haid DAFTAR ISTILAH 1. Taharah : Bersuci 2. Nazhafah : Kebersihan 3. Ittifaq :Kesepakatan 4. Musta’mal : Air yang sudah dipakai untuk bersuci 5. Muwalat (bertur-turut). 6. Nifas : Melahirkan 7. Mukhafafah : najis yang ringan 8. Mutawasithah : Najis yang pertengahan 9. Mughaladhah : Najis yang berat

[82]

BAB V SHALAT

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami kedudukan shalat dalam Islam serta ruang lingkupnya dalam perspektif empat madzhab. A. Kedudukan Shalat Shalat sebagai salah satu rukun Islam memiliki posisi yang sangat penting dalam struktur keagamaan Islam. Posisi penting itu oleh Rasulullah saw disebutkan sebagai pilar utama agama Islam, maka orang yang menegakkan berarti ia akan dapat membangun agama dan orang yang meninggalkannya maka pasti ia merobohkan bangunan agama. Pemosisian shalat dalam kedudukan ini tidak berlebihan karena shalat merupakan simbol asasi bagi hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Sejak dari takbiratul ikhram hingga sama, aktifitas shalat senantiasa mengajak hamba untuk mengingat Allah. Selain itu bacaan yang ada di dalamnya juga mengingatkan kepada rukun-rukun iman, seperti ingat kepada kiyamat dalam bacaan maliki yaumiddin, ingat kepada para rasul dalam bacaan alladzina an’amta ‘alaihim, ingat kepada kitab dalam bacaan shiratal mustaqim dan seterusnya. Posisi penting shalat ini akan semakin tampak nyata ketika kita membaca firman Allah, “Dan Allah tidak akan menyianyiakan iman kalian” (al-Baqarah:143). Ayat tersebut diturunkan oleh Allah berkenaan dengan peristiwa perpindahan kiblat kaum muslimin dari Baitul Muqaddas di Palestina ke Masjidil Haram di Mekkah. Ketika terjadi perpindahan kiblat, para shahabat bertanya-tanya mengenai nilai shalat orang yang menghadap ke Baitul Muqaddas, lalu mereka wafat sebelum kiblat dipindahkan ke [83]

Masjidil Haram. Mereka merasa khawatir kalau-kalau shalat menghadap ke Baitul Muqaddas tidak diterima oleh Allah swt. Untuk menjawab pertanyaan para shahabat itu Allah menurunkan ayat ini. Istilah iman yang digunakan oleh Allah di dalam ayat tersebut maknanya adalah shalat. Melalui ayat tersebut juga dapat ditarik suatu ibrah, bahwa Allah menempatkan shalat sebagai ukuran iman seseorang. Sejauh mana kadar keimanan seseorang dapat dilihat dari sebagus mana ia melakukan shalat. Orang yang memiliki kadar keimanan baik, maka ia akan bisa istiqamah dalam melakukan shalat. Sebaliknya jika imannya merosot maka akan merosot pula keistiqamahannya dalam menjalankan shalat. Dan jika seseorang menyatakan iman hanya secara lisan, maka ia pun akan merasa malas menjalankan shalat. Firman Allah: َ‫سالَى ي َُرآ ُءون‬ َّ ‫إِ َّن ا ْل ُمنَافِقِينَ يُخَا ِدعُونَ هللاَ َوه َُو خَا ِدعُ ُه ْم َوإِذَاقَا ُموا إِلَى ال‬ َ ُ‫صالَةِ قَا ُموا ك‬ }142{ ً‫هللا ِإالَّ قَلِيال‬ َ َ‫اس َوالَيَذْكُ ُرون‬ َ َّ‫الن‬ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (an-Nisa’:142) Sedemikian penting kedudukan shalat dalam keimanan seseorang, sehingga penolakan terhadap kewajiban menjalankan shalat bisa berakibat pada rusaknya iman seseorang. Apabila keimanan seseorang telah rusak, maka status Islam yang dicantumkan di dalam katu pengenal seseorang hanya berlaku di dunia saja. Sedangkan di hadapan Allah statusnya tidak berbeda dengan Abu Jahal ataupun Abu Lahab, yaitu kafir. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah saw bersabda: “Batas antara kami (orang beriman) dengan kakufuran adalah shalat, barangsiapa meninggalkan shalat maka ia telah [84]

kafir” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Buraidah ra) Mengenai hukum kafir terhadap orang yang menolak kewajiban shalat, seluruh ulama telah sepakat, tidak ada perbedaan pendapat. Tetapi dalam hal meninggalkan shalat secara sengaja karena kemalasan, maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Malik dan Imam Syafi’i, menyebutkan bahwa mereka tidak kafir, tetapi hanya fasiq. Lalu terhadap orang itu harus diingatkan, tetapi jika tetap menolak maka mereka diberikan hukuman mati, bukan karena kekafirannya tetapi karena kefasikannya. Status hukuman itu sama dengan hukuman bagi orang yang melakukan zina mukhshan. Karena itu jika ada orang yang meninggalkan shalat lalu ia dikenai hukuman mati, maka ia masih harus diurus seperti mayat muslim, yaitu dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Pada dasarnya shalat merupakan kewajiban mutlak yang tidak pernah berhenti kewajiban melaksanakannya. Disebabkan pentingnya shakat dalam agama islam, maka penganutpenganutnya disuruh mengerjakannya, baik di waktu mukim maupun didalam perjalanan, diwaktu damai ataupun perang sebagaimana firman Allah Ta'ala menunjukkan: ً‫} فَإِ ْن خِ ْفت ُ ْم فَ ِر َجاال‬238{ َ‫هلل قَانِتِين‬ َ ‫صالَةِ ْال ُو ْس‬ ِ ‫صلَ َوا‬ َّ ‫ت َوال‬ َّ ‫علَى ال‬ ِ ‫طى َوقُو ُموا‬ َ ‫َحافِضُوا‬ َّ َ ْ َ َ ُ ُ ُ ُ َ }239{ َ‫عل َمكم َّمال ْم تَكونُوا ت َ ْعل ُمون‬ َ ‫أ َ ْو ُر ْكبَانًا فَإِذآ أ ِمنت ْم فَاذك ُروا هللاَ َك َما‬ "Peliharalah segala shakat(mu), dan (peliharalah) shakat wustha. Jika kamu dalam keadaan takut (akan bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah) sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui." (QS. AlBaqarah: 238-239). [85]

B. Kiblat Semua ulama madzhab sepakat bahwa Ka’bah itu adalah kiblat bagi orang yang dekat dan dapat melihatnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihatnya. Hanafi, Hambali, Maliki: Kiblatnya orang yang jauh adalah arah dimana letaknya Ka’bah berada, bukan Ka’bah itu sendiri. Syafi’i: Wajib menghadap Ka’bah itu sendiri, baik bagi orang yang dekat maupun bagi orang yang jauh. Kalau dapat mengetahui arah Ka’bah itu sendiri secara pasti (tepat), maka ia harus menghadapnya ke arah tersebut. Tapi bila tidak, maka cukup dengan perkiraan saja. Yang jelas bahwa orang yang jauh pasti tidak dapat membuktikan kebenaran pendapat ini dengan tepat, karena ia merupakan perintah yang mustahil untuk dilakukannya selama bentuk bumi ini bulat. Maka dari itu, kiblat bagi orang yang jauh harus menghadap ke arahnya, bukan kepada ka’bah itu sendiri. Orang yang Tidak Mengetahui Kiblat Orang yang tidak mengetahui kiblat, maka ia wajib menyelidiki, berusaha dan berijtihad sampai ia mengetahuinya atau memperkirakan bahwa kiblat ada di satu arah tertentu. Tapi bila tetap tidak bisa mengetahuinya dan juga tidak dapat memperkirakan, maka menurut kesepakatan ulama empat madzhab: Ia boleh shalat kemana saja yang disukainya dan sah shalatnya. Dan tidak wajib mengulanginya lagi, menurut Syafi’i. Hanafi dan Hambali: Kalau ia berusaha dan berijtihad untuk mencari arah kiblat, tetapi tidak ada satu arahpun dari beberapa arah yang lebih kuat untuk dijadikan patokan arah kiblat, maka ia boleh shalat menghadap kemana saja, bila kemudian mengetahui bahwa ia salah, maka kalau ia masih di pertengahan, ia harus berubah ke arah yang diyakininya atau ke arah yang paling kuat. Tapi bila mengetahui bahwa ia salah [86]

setelah selesai shalat, maka sah shalatnya dan tidak diwajibkan mengulangi shalatnya. Syafi’i: Kalau ia tahu bahwa ia salah dengan cara yang meyakinkan, maka ia wajib mengulanginya lagi. Tapi bila hanya mengetahui dengan cara perkiraan saja, maka sah shalatnya, tidak ada bedanya, baik ketika sedang shalat maupun sesudahnya. Sedangkan bagi orang yang tidak mau berusaha dan tidak mau berijtihad, kemudian nampak bahwa ia telah shalat ke arah kiblat dan benar, maka shalatnya batal, menurut Maliki dan Hambali. Hanafi: Sah shalatnya kalau ia shalat tanpa ada keraguan dan ketika memulai shalat ia yakin bahwa ia menghadap ke arah kiblat, karena pada keadaan seperti itu ia telah melakukan sesuatu (perbuatan) yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka sahlah shalatnya. C. Anggota Badan yang Wajib Ditutupi Ketika Shalat Semua ulama madzhab sepakat bahwa setiap orang lelaki dan wanita wajib menutupi sebagian anggota badannya ketika shalat sebagaimana yang diwajibkannya untuk menutupi bagian anggota badanya di hadapan orang lain (bukan muhrimnya) di luar shalat. Hanya mereka berbeda pendapat bila lebih dari itu. Maksudnya apakah wanita itu diwajibkan menutupi wajah dan dua telapak tangannya, atau hanya sebagian dari keduanya ketika shalat, padahal bagi wanita itu tidak diwajibkan untuk menutupinya di luar shalat? Dan apakah orang lelaki wajib menutupi selainb pusar dan lutut ketika shalat, padahala ketika diluar shalat ia tidak wajib menutupinya? Hanafi: Bagi wanita wajib menutupi belakang dua telapak tangan dan dua telapak kakinya, sedangkan bagi orang lelaki wajib menutupi dari lutut keatas sampai pada pusar. Syafi’i dan Maliki: Bagi wanita boleh membuka wajahnya, dan dua telapak tangannya (baik dalam maupun [87]

luarnya) ketika shalat. Hambali: Tidak boleh dibuka kecuali wajahnya saja. D. Fardhu-Fardhu Shalat Dan Rukun-Rukunnya Sahnya shalat itu meliputi: Harus suci dari hadats dan kotoran, masuk waktu, menghadap kiblat, dan harus memakai pakaian penutup aurat. Hal-hal diatas harus dipenuhi semuanya sebelum melaksanakan shalat, dan hal-hal itu dinamakan syarat, serta pembahasan masalah tersebut telah dijelaskan secara rinci sebelumnya. Shalat itu juga terdiri dari beberapa fardhu dan beberapa rukun yang harus dilaksanakan langsung ketika shalat. Rukun-rukun dan fardhu-fardhu itu sangat banyak, yaitu: 1. Niat Ulama madzhab berbeda pendapat, bahkan para ahli fiqih dalam satu madzhab juga berbeda antara yang satu dengan yang lain, yaitu tentang apakah orang yang shalat itu wajib berniat, apakah ia wajib menyatakan, yang mana ia berniat – misalnya shalat Dzuhur atau shalat Ashar, shalat fardhu atau sunnah, shalat sempurna atau shalat qashar (pendek), dan shalat ada’an atau qadha dan seterusnya. Hakikatnya niat sebagaimana telah dijelaskan dalam bab wudhu, bahwa niat itu adalah tujuan dari suatu perbuatan yang didorong oleh rasa taat dan patuh mengikuti perintah-perintah Allah. Sedangkan apakah niat itu dinyatakan apakah untuk shalat fardhu atau sunnah, apakah untuk shalat ada’an atau qadha, maka orang yang shalat itu sesuai dengan yang diniatkannya. Bila berniat shalat sunnah sejak memulai dan melaksanakannya, maka ia berarti telah melakukan shalat sunnah. Bila berniat shalat fardhu Dzuhur atau Ashar dan ia melaksanakannya, maka berarti ia telah melaksanakannya. Tapi bila tidak berniat apa-apa, maka berarti ia telah melakukannya dengan sia-sia. Namun tidak mungkin, bahkan mustahil ia tidak berniat, karena setiap perbuatan yang dari orang yang berakal, [88]

dalam keadaan apapun tidak terpisah dari niat, baik dinyatakan (diungkapkan) dengan kata-kata tertentu atau tidak. Dari itu semua ulama madzhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. Namun Syafi’i menambahkan bahwa niat shalat boleh di jahr kan (diucapkan dengan mulut), jika hal demikian diperlukan untuk lebih memantapkan niat yang sudah diucapkan dalam hati. 2. Takbiratul Ihram Shalat tidak akan sempurana tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam”. Yang dimaksud diharamkan adalah berbicara dan semua yang tidak berhubungan dengan shalat. Sedangkan yang dimaksud menghalalkannya adalah bahwa orang yang shalat itu diperbolehkan melakukan apa-apa yang diharamkan setelah takbir. Kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh memakai kata-kata lainnya, menurut Maliki dan Hambali. Sedangkan menurut Syafi’i: Boleh mengganti “Allah Akbar” dengan “Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar” Hanafi: Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah AL-A’dzam” dan “Allah Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). Semua ulama madzhab sepakat selain Hanafi bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). Bila ia tidak bisa maka ia wajib mempelajarinya. Bila tidak bisa belajar, ia wajib menerjemahkan ke dalam bahasanya. Hanafi: Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa berbahasa Arab. [89]

Semua ulama madzhab sepakat: Syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat, seperti suci dari hadats, baik hadats kecil maupun besar, menghadap kiblat, menutup aurat dan seterusnya. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus di dengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. Juga harus mendahulukan lafdzul Jalalah “Allah” dari pada kata “Akbar”, dan kalau dibalik menjadi “Akbar Allah” tidak diperbolehkan. 3. Berdiri Saat mengerjakan shalat fardhu Semua ulama madzhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia harus shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia harus shalat miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, mengahadapi kiblat dihadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama madzhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat: Siapa yang tidak bisa duduk, ia harus shalat terlentang menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia harus shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. Hanafi: Bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (mengqadhanya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. Maliki: Bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya, dan tidak diwajibkan mengqadhanya. Syafi’i, dan Hambali: Shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apapun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan [90]

dengan kelopak matnya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. Ringkasnya bahwa shalat itu wajib bagi orang yang mampu dan orang yang tidak mampu serta tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Ia harus dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf dengan kadar kemampuannya. Bila tidak bisa berdiri, harus shalat duduk, bila tidak bisa duduk, ia harus shalat terlentang sambil miring ke kanan. Bila tidak bisa juga, ia harus shalat terlentang saja, atau dengan kedipan matanya, atau bila juga tidak bisa, harus dengan hatinya saja dan ingatannya. Orang yang mampu dan yang lemah (tidak mampu) ia harus berubah dari satu keadaan pada keadaan lainnya asal ia dapat melaksanakannya (shalat). Bila tidak mampu berdiri ketika shalat berdiri, maka ketika itu pula (sedang berdiri itu) ia harus shalat dengan duduk. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang shalat duduk, lalu datang kemampuannya untuk shalat berdiri, maka ia harus shalat berdiri ketika sedang shalat itu juga, dan seterusnya. Kalau shalat pada rakaat pertama ia berdiri lalu pada rakaat selanjutnya ia tidak mampu, maka ia harus meneruskannya dengan duduk. Bila mampu shalat duduk tapi ketika di pertengahan shalat datang halangan yang menyebabkan tidak mampu duduk, ia harus shalat semampunya sampai selesai. Begitu juga sebaliknya, bila shalat duduk, lalu dipertengahan shalat datang kemampuannya untuk berdiri, ia harus shalat berdiri sampai selesai. 4. Membaca Al-Fatihah Hanafi: Membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Al-Muzammil ayat 20: “Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran”. [91]

Membaca Al-Fatihah itu hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama, sedangkan pada rakaat ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat Isya dan Ashar kalau mau bacalah, bila tidak, bacalah tasbih, atau diam. Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih, apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca secara sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangannya adalah sunnah bukan wajib. Bagi orang lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan diatas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. Syafi’i: Membaca Al-Fatihah itu adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat Shubuh dan dua rakaat yang pertama pada shalat Maghrib dan Isya’, selain rakata tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada shalat Shubuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat AlQuran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangannya bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri dibawah dadanya tapi diatas pusar dan agak miring ke kiri. Maliki: Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada [92]

rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pada shalat Shubuh dan dua rakaat pertama shalat Maghrib dan Isya’, serta qunut pada shalat Shubuh saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangannya pada shalat fardhu. Hambali: Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat Shubuh, serta dua rakaat pertama pada shalat Maghrib dan Isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus dengan pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangannya disunnahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan dibawah pusar. Dari keterangan diatas jelaslah bagi kita bahwa menyilangkan dua tangan yang diungkapkan oleh para ahli fiqih Sunni adalah dengan memegang, sedangkan menurut para ahli fiqih Syi’ah adalah dengan melepaskan, dimana dalam empat madzhab tidak diwajibkan untuk melepaskannya. Empat madzhab menyatakan, bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ‘alaihim waladz dzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin”. 5. Ruku’ [93]

Semua ulama madzhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya berthuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. Hanafi: Yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Madzhab-madzhab yang lain: Wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan berthuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. Syafi’i, Hanafi dan Maliki: Tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan: ‫ي ا ْلعَظِ ي ِْم َوبِ َح ْم ِد ِه‬ َ ِ‫سُ ْب َحانَ َرب‬ “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan Segala Puji bagiNya”. Hambali: Membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. Kalimatnya menurut Hambali: ‫ي ا ْل َعظِ ي ِْم‬ َ ‫سُ ْب َحانَ َر ِب‬ “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”. 6. Beridiri setelah ruku’ (I’tidal) Hanafi: Tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Madzhab-madzhab yang lain: Wajib mengangkat kepalanya dan beri’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan: ُ‫س ِم َع هللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه‬ َ “Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya”. Imamiyah mewajibkan thuma’ninah dan tidak bergerak ketika berdiri dari ruku’ itu. 7. Sujud Semua ulama madzhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya, apakah diwajibkan (yang menempel) itu [94]

semua anggota yang tujuh atau hanya sebagian saja? Anggota tujuh itu adalah: Dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki. Maliki, Syafi’i dan Hanafi: Yang wajib (menempel) hanya dahi sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. Imamiyah dan Hambali: Yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh, secara sempurna. Bahkan Hambali menambahkan hidung, sehingga menjadi delapan. Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka madzhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi: Tidak wajib duduk diantara dua sujud itu. Madzhab-madzhab yang lain: Wajib duduk diantara dua sujud itu. 8. Tahiyyat Tahiyyat didalam shalat dibagi menjadi dua bagian: Pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat Maghrib, Isya’, Dzuhur dan Ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga atau empat rakaat. Hambali: Tahiyyat pertama itu wajib. Madzhabmadzhab lain: Hanya sunnah, bukan wajib. Sedangkan pada tahiyyat terakhir adalah wajib, menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki dan Hanafi: Hanya sunnah, bukan wajib. Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi: َّ ‫صلَ َواتُ َوال‬ َّ ‫طيِبَاتُ َوال‬ َّ ‫التَّحِ يَّاتُ ِهللِ َوال‬ ِ‫ي َو َرحْ َمةُ هللا‬ َ ،‫سالَ ُم‬ ُّ ِ‫علَيْكَ أَيُّ َها النَّب‬ َ َ َ ُ‫ َوأ ْش َهد‬،ُ‫ أ ْش َهدُ أ ْن َال ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬، َ‫صالِـحِ يْن‬ َّ ‫ ال‬،ُ‫َوبَ َركَاتُه‬ َّ ‫علَى ِعبَا ِد هللاِ ال‬ َ ‫علَ ْينَا َو‬ َ ‫سالَ ُم‬ ُ .ُ‫ع ْبدُهُ َو َرسُ ْوله‬ َ ‫أ َ َّن ُم َح َّمدًا‬ “Kehormatan itu kepunyaan Allah, Shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera, Kepadamu wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya, Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh, [95]

Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan RasulNya”. Menurut Maliki: َّ ‫الزا ِكيَاتُ ِهللِ ال‬ ُ‫ي َو َرحْ َمة‬ َّ ِ‫التَّحِ يَّاتُ ِهلل‬ َّ ‫ ال‬، ِ‫صلَ َواتُ ِهلل‬ َّ ‫طيِبَاتُ ال‬ َ ‫سالَ ُم‬ ُّ ِ‫علَيْكَ أَيُّ َها النَّب‬ َّ ‫ ال‬،ُ‫هللاِ َوبَ َركَاتُه‬ ُ‫ أ َ ْش َهدُ أ َ ْن َال ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬، َ‫صالِـحِ يْن‬ َّ ‫علَى ِعبَا ِد هللاِ ال‬ َ ‫علَ ْينَا َو‬ َ ‫سالَ ُم‬ َ َ ُ ْ َّ .ُ‫ع ْبدُهُ َو َرسُ ْوله‬ َ ‫ َوأش َهدُ أن ُم َح َّمدًا‬،ُ‫َوحْ دَهُ الَ ش َِريْكَ لَه‬ “Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah, Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakahNya, Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh, Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hambaNya dan utusan-Nya ”. Menurut Syafi’i: َّ ‫صلَ َواتُ ال‬ ُ َّ ‫ ال‬،ِ‫طيِبَاتُ ِهلل‬ َّ ‫التَّحِ يَّاتُ ا ْل ُمبَا َركَاتُ ال‬ ِ‫ي َو َرحْ َمة هللا‬ َ ‫سالَ ُم‬ ُّ ِ‫علَيْكَ أَيُّ َها النَّب‬ َ َ َ ُ‫ َوأ ْش َهد‬،ُ‫ أ ْش َهدُ أ ْن َال ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬، َ‫صالِـحِ يْن‬ َّ ‫ ال‬،ُ‫َوبَ َركَاتُه‬ َّ ‫علَى ِعبَا ِد هللاِ ال‬ َ ‫علَ ْينَا َو‬ َ ‫سالَ ُم‬ .ُ‫س ْولُه‬ ‫ر‬ ‫ًا‬ ‫د‬ ‫م‬ ُ َ َّ ‫س ِيدَنَا ُم َح‬ َ ‫أ َ َّن‬ “Kehormatan, barakah-barakah, shalawat dan kebaikan adalah kepunyaan Allah, Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan barakah-Nya, Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hambahamba Allah yang shaleh, Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Dan aku bersaksi bahwa junjungan kami Muhammad adalah utusan Allah”. Menurut Hambali: َّ ‫صلَ َواتُ َو‬ َ ‫س‬ ‫ال ُم‬ َّ ‫ ال‬،ُ‫ي َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َركَاتُه‬ َّ ‫ال‬، ُ‫الطيِبَات‬ َّ ‫التَّحِ يَّاتُ ِهللِ َوال‬ َ ‫سالَ ُم‬ ُّ ِ‫ع َليْكَ أَيُّ َها النَّب‬ ‫ َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن‬، ُ‫ أ َ ْش َهدُ أ َ ْن َال ِإلَ َه ِإالَّ هللاُ َوحْ دَهُ الَ ش َِريْكَ لَه‬، َ‫صالِـحِ يْن‬ ‫ال‬ ‫هللا‬ َّ ِ ‫علَى ِع َبا ِد‬ َ ‫علَ ْينَا َو‬ َ َّ ُ .ٍ‫ع َل ُم َح َّمد‬ َ ‫ص ِل‬ َ ‫ُم َح َّمدًا‬ َ ‫ الل ُه َّم‬،ُ‫ع ْبدُهُ َو َرسُ ْوله‬ [96]

“Kehormatan itu kepunyaan Allah, Shalawat dan kebaikan, Salam sejahtera kepadamu wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya, Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh, Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad”. 9. Mengucapkan Salam Syafi’i, Maliki dan Hambali: Mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi: Tidak wajib. Menurut empat madzhab, kalimatnya sama yaitu: ‫هللا‬ َّ ‫ال‬ ِ ُ‫علَ ْيكُ ْم َو َر ْح َمة‬ َ ‫سالَ ُم‬ “Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”. Hambali: Wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mengucapkan satu kali saja yang wajib. 10. Tertib Diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’didahulukan dari sujud, begitu seterusnya. 11. Berturut-turut Diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah takbiratul ihram tanpa ada antara (selingan). Dan mulai ruku’ setelah membaca Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-huruf. [97]

E. SHALAT JUM’AT 1. Kewajiban Shalat Jum’at Menurut ijma’ kaum muslimin, shalat jum’at hukumnya wajib berdasarkan firman Allah di dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk shalat (mendengar adzan) pada hari jum’at, maka hendaklah kamu segera mengingat Allah (shalat Jum’at) dan tinggalkanlah jual-beli”. Juga berdasarkan pada hadis-hadis mutawatir, baik dari kalangan Suni maupun Syi’ah. Perbedaan pendapat mereka adalah dalam hal: Apakah syarat kewajiban shalat Jum’at itu berkaitan dengan adanya Sultan atau wakilnya, atau ia wajib dalam segala keadaan? Hanafi: Disyaratkan adanya Sultan atau walinya, dan menjadi gugur dengan ketiadaan salah seorang dari mereka. Selain dari itu, Imamiyah menambahkan syarat lainnya, yaitu keadilan Sultan, kalau tidak adil maka keberadaannya itu sama dengan ketiadaannya. Sedangkan Hanafi hanya mensyaratkan keberadaan Sultan sekalipun tidak adil. Madzhab, Syafi’i, Maliki dan Hambali: Tidak menganggap perlu adanya Sultan. Dan kebanyakan ulama Imamiyah mengatakan, jika Sultan atau wakilnya tidak ada, tetapi ada faqih (ahli fiqih) yang adil, maka boleh dipilih antara mengerjakan shalat Dzuhur dan shalat Jum’at, walaupun lebih dianjurkan mengerjakan shalat Jum’at. 2. Syarat-syarat Shalat Jum’at Seluruh ulama sepakat bahwa syarat-syarat shalat Jum’at itu sama dengan syarat-syarat shalat lainnya, seperti bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat. Dan waktunya dari [98]

mulai tergelincir matahari sampai bayangan segala sesuatu sama panjangnya. Dan ia boleh didirikan di dalam masjid atau di tempat lainnya, kecuali madzhab Maliki mereka menyatakan bahwa shalat Jum’at itu tidak sah kecuali bila dikerjakan di dalam masjid. Dan seluruh ulama telah sepakat bahwa shalat Jum’at itu diwajibkan atas laki-laki saja, sedang wanita tidak. Dan bahwa orang yang sudah mengerjakan shalat Jum’at, maka menjadi gugurlah kewajiban shalat Dzuhur daripada. Dan bahwa shalat Jum’at itu tidak diwajibkan atas orang buta, dan tidak sah kecuali dengan berjama’ah. Dalam hal jumlah jama’ah shalat Jum’at ini terdapat perselisihan pendapat, Maliki: Sekurang-kurangnya 12 orang selain imam. Syafi’i dan Hambali: Sekurang-kurangnya 40 orang selain imam. Hanafi: 5 orang, dan sebagian ulama mereka yang lain mengatakan 7 orang. Mereka sepakat tidak boleh bepergian pada hari Jum’at bagi orang yang wajib mengerjakan shalat Jum’at dan telah cukup syarat-syaratnya, sesudah tergelincirnya matahari, sebelum ia selesai mengerjakan shalat Jum’at tersebut, kecuali madzhab Hanafi, mereka menyatakan boleh. 3. Dua Khutbah Seluruh ulama sepakat bahwa dua khutbah itu termasuk syarat sahnya shalat Jum’at. Pelaksanaannya adalah sebelum shalat, sudah masuk waktunya bukan sebelumnya. Tapi mereka berselisih pendapat dalam hal kewajiban berdiri ketika melakukan dua khutbah itu. Imamiyah, Syafi’i, dan Maliki mengatakan: Wajib. Sedang Hanafi dan Hambali: Tidak wajib. Aapun tatacaranya adalah sebagai berikut: Hanafi: Khutbah itu terwujud dengan sekurangkurangnya dzikir yang memungkinkan, sehingga kalau dikatakan “Alhamdulillah” atau ”Astaghfirullah”, maka sudah mencukupi. Akan tetapi yang demikian itu hukumnya makruh. [99]

Syafi’i: Kedua khutbah itu harus berisikan pujian kepada Allah (hamdalah), shalawat atas Nabi saw, wasiat takwa dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran sekurang-kurangnya pada salah satu dari kedua khutbah itu, namun lebih utama pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran itu pada khutbah yang pertama, serta do’a untuk kaum Mukminin dalam khutbah kedua. Maliki: Semua yang dinamakan khutbah dalam ‘urf (adat istiadat) mencukupi untuk satu hal ini, asal mengandung peringatan kepada ketakwaan. Hambali: Harus ada hamdalah, shalawat atas Nabi saw, pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran dan wasiat kepada ketakwaan. Selanjutnya madzhab Syafi’i menyatakan: Khatib wajib memisahkan antara kedua khutbah itu dengan duduk sejenak. Sedang madzhab Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa hal itu tidak wajib, tetapi mustahab. Madzhab Hanafi mensyaratkan: Khutbah itu harus dikemukakan dengan bahasa Arab kalau mampu. Syafi’i mengatakan: Disyaratkan dengan bahasa Arab kalau pendengar adalah orang-orang yang berbahasa Arab, tetapi kalau para pendengarnya itu orang-orang ajam, maka khatib harus menyampaikan khutbahnya dengan bahasa yang dimengerti mereka, walaupun ia dapat berbahasa Arab dengan baik. Maliki mengatakan: Khatib wajib menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab, sekalipun jama’ahnya orang-orang Ajam yang tidak mengerti bahasa Arab. Jika diantara kaum itu tidak ada yang mampu berbahasa Arab dengan baik, maka gugurlah kewajiban shalat Jum’at dari mereka. Madzhab Hanafi mengemukakan bahwa bahasa Arab tidak disyaratkan dalam penyampaian khutbah Jum’at. 4. Tatacara Shalat Jum’at Shalat Jum’at itu dua rakaat seperti shalat Shubuh. [100]

Madzhab Syafi’i: Disunahkan membaca surat Al-Jumu’ah pada rakaat pertama, dan surat Al-Munafiqun pada rakaat kedua, masing-masing sesudah membaca Al-Fatihah. Madzhab Maliki: Sunnah membaca surat Al-Jumu’ah pada rakaat pertama, dan surat Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Dan madzhab Hanafi menyatakan: Makruh hukumnya menentukan pembacan surat secara khusus. F. SHALAT ‘IDAIN Para ulama berselisih pendapat tentang shalat ‘Idul Fitri dan shalat ‘Idul Adha, apakah hukumnya, wajib atau sunnah? Madzhab Hanafi mengatakan kedua shalat ‘Ied itu hukumnya fardhu ‘ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jum’at. Kalau syarat-syarat tersebut atau sebagian dari padanya tidak terpenuhi, maka menurut kewajiban tersebut menjadi gugur. Madzhab Hambali mengatakan: Hukumnya fardhu kifayah. Madzhab Syafi’i dan Maliki mengatakan: Hukumnya adalah sunnah muakkadah. Waktu shalat ‘Ied tersebut adalah sejak terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari (waktu zawal), demikian menurut madzhab Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Hambali: Waktunya adalah sejak naiknya matahari setombak sampai waktu zawal. Tentang khutbah pada shalat dua hari raya, Imamiyah mengatakan kedua khutbah tersebut harus persis seperti khutbah Jum’at. Sedangkan madzhab-madzhab lainnya mengatakan khutbah itu hanya sunnah. Adapun tentang letak khutbah tersebut, semua sependapat bahwa waktunya adalah sesudah shalat, berbeda dengan khutbah Jum’at yang disampaikan sebelum shalat. Madzhab Syafi’i mengatakan: Shalat pada kedua hari raya itu sah dikerjakan, baik sendiri maupun berjama’ah. Sedangkan [101]

madzhab-madzhab lainnya mewajibkan berjama’ah dalam shalat ‘Ied itu. Tatacara shalat ‘Ied itu, menurut madzhab-madzhab tersebut adalah dua rakaat, dengan ketentuan sebagai berikut: Hanafi: Niat, kemudian mengucapkan takbiratul ihram, kemudian mengucapkan pui takbir tiga kali yang diselingin dengan diam sejenak sekadar bacaan tiga kali takbir atau juga boleh mengucapkan: “Subhanallah wal hamdulillah wala Ilaha َ ‫ش ْي‬ َّ ‫أَع ُْوذُ ِباهللِ ِمنَ ال‬ illallah wallahu akbar”. Kemudian membaca: ‫ان‬ ِ ‫ط‬ ‫الر ِجي ِْم‬ َّ Dan setelah itu membaca Al-Fatihah dan salah satu surat, lalu ruku’ dan sujud. Pada rakaat kedua, mulai dengan membaca Al-Fatihah dan salah satu surat, kemudian mengucapkan takbir tiga kali, kemudian ruku’ dan sujud, lalu menyempurnakan shalat hingga selesai. Syafi’i: Mengucapkan takbiratul ihram, kemudian membaca do’a iftitah, kemudian mengucapkan takbir tujuh kali yang antara tiap-tiap dua takbir itu diselingi dengan ucapan: “Subhanallah wal hamdulillah wala Ilaha illallah wallahu akbar”, secara perlahan. Kemudian mengucapkan: َ ‫ش ْي‬ َّ ‫هلل مِ نَ ال‬ ‫الر ِجي ِْم‬ َّ ‫ان‬ ِ ‫أَع ُْوذُ ِبا‬ ِ ‫ط‬ Yang dilanjutkan dengan membaca Al-Fatihah dan surat Qaf. Kemudian ruku’ dan sujud. Ketika bangkit ke rakaat kedua, mengucapkan takbir yang kemudian ditambah dengan lima kali takbir lagi, yang diantara dua takbir diselingi dengan ucapan: ‫سُ ْب َحانَ هللاِ َوا ْل َح ْمدُ ِهللِ َوالَ إِلَه َإِالَّ هللاُ َوهللاُ أ َ ْكبَ ُر‬ Kemudian membaca Al-Fatihah dan surat Iqtarobat serta menyempurnakan shalat hingga selesai. Hambali: Membaca do’a ifititah, kemudian mengucapkan takbir enam kali, yang antara tiap-tiap dua takbir itu mengucapkan: ‫علَى‬ ُ ‫هلل َك ِثي ًْرا َو‬ ِ َ‫س ْب َحان‬ ِ ِ ُ‫هللاُ أ َ ْك َب ُر َك ِبي ًْرا َوا ْل َح ْمد‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ ِ َ ‫هللا بُ ْك َرة ً َوأ‬ َ ‫ َو‬، ً‫ص ْيال‬ ‫سلَّ َم ت َ ْس ِل ْي ًما‬ َ ‫ُم َح َّم ٍد َوآ ِل ِه َو‬ َ ُ َ َّ Kemudian membaca: ‫الر ِجي ِْم‬ ‫ان‬ ‫ط‬ ‫ي‬ ْ ‫ش‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫هلل‬ ‫ا‬ ‫ب‬ ‫ذ‬ ‫ُو‬ ‫ع‬ ‫أ‬ َ‫ِن‬ َّ ِ ِ ِ ْ [102]

Dan basmalah, lalu diteruskan dengan membaca AlFatihah dan surat Al-A’la (hingga selesai). Kemudian menyempurnakan rakaat pertama hingga selesai dan diteruskan dengan rakaat kedua. Pada rakaat kedua mengucapkan takbir lima kali selain dari ucapan takbir untuk bangkit ke rakaat kedua. Yang antara tiap-tiap dua takbir tersebut diselingi dengan ucapan yang sama dengan apa yang dibaca pada rakaat pertama tadi. Kemudian mengucapkan basmalah diteruskan dengan membaca Al-Fatihah dan surat Al-Ghasyiyah, kemudian ruku’ dan seterusnya hingga selesai shalat. Maliki: Mengucapkan takbiratul ihram, dilanjutkan dengan ucapan takbir enam kali, lalu membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-A’la, lalu ruku’ dan sujud. Kemudian bangkit ke rakaat kedua sambil mengucapkan takbir, ditambah dengan lima takbir sesudahnya, lalu dilanjutkan dengan membaca surat ALFatihah dan surat Al-Syamsi atau yang sepertinya, kemudian menyempurnakan shalat hingga selesai.

G. SHALAT MUSAFIR Para ulama sepakat bahwa qashar shalat itu khusus untuk shalat-shalat ruba’iyah (yang jumlah rakaatnya empat). Jadi shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’ dikerjakan dua rakaat saja seperti shalat Shubuh. Ada perselisihan pendapat tentang, apakah qashar shalat dalam perjalanan itu suatu ‘azimah (keharusan mutlak) yang tidak boleh ditinggalkan, atau hanya merupakan rukhshah (keringanan) yang menjadi pilihan antara mengqashar atau menyempurnakan? Dalam hal ini Hanafi berkata: Ia merupakan ‘azimah (sesuatu yang diharuskan. Jadi qashar adalah ketentuan. Sedangkan madzhab-madzhab lainnya mengatakan: Ia hanya rukhshah (keringanan), jika mau dikerjakan qashar, dan kalau tidak, boleh menyempurnakan shalat. [103]

A. Syarat-syarat Qashar Qashar shalat itu mempunyai beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Menempuh jarak yang tertentu Demikian menurut kesepakatan ulama. Jarak qashar menurut madzhab Hanafi: 24 farsakh pergi saja. Kurang dari jumlah tersebut tidak boleh qashar. Menurut Imamiyah: 8 farsakh pergi, atau jumlah jarak pulang pergi, dengan catatan kembali pada siang atau malamnya, sebab dengan demikian perjalanan itu telah menyibukkan sehari penuh. Sedangkan menurut madzhab Hambali, Maliki dan Syafi’i: Jarak yang dibolehkan mengqashar itu adalah 16 farsakh pergi saja. Dan diperbolehkan kalau jarak itu kurang dua mil dari jumlah yang ditentukan. Bahkan Maliki mengatakan: Diperbolehkan kalau kurang 8 mil dari jumlah jarak yang ditentukan tadi. Hitungan 1 farsakh adalah 5040 meter, demikian menurut Al-Fiqhu ‘al Al-Madzabih Al-Arba’ah, Jilid IV, bab mabhats syurutul qashar. Berdasarkan hitungan ini, maka jarak yang telah ditetapkan oleh madzhab Hanafi dalam syarat qashar ini adalah: 107.5 km ditambah 20 meter. Dan menurut ketiga madzhab lainnya adalah : 80.5 km ditambah 140 meter. Sedangkan menurut Imamiyah: 40 km ditambah 320 meter. 2. Harus berniat menempuh jarak yang telah ditetapkan itu dari mulai berangkatnya Demikian menurut kesepakatan ulama. Orang yang mengikuti, seperti istri, pelayan, budak dan serdadu harus mengikuti niat pemimpin mereka, dengan syarat mengetahui niat pemimpinnya, kalau tidak mengetahui maka mereka wajib tetap melaksanakan shalat secara sempurna.

[104]

3. Tidak boleh mengqashar salat kecuali bila sudah meninggalkan bangunan kota (tugu batas) Demikian pendapat empat madzhab. Sedangkan Imamiyah berpendapat: Hal itu masih cukup, tetapi harus benarbenar jauh dari bangunan kota sehingga tidak nampak oleh pandangan lagi serta sudah tak kedengaran lagi suara adzannya. Batasan yang ditetapkan oleh mereka bagi permulaan safar itu, juga menjadi batasan untuk akhir safar juga. Jika seseorang kembali ke kotanya, ia masih wajib mengqashar shalatnya, hingga tampak bangunan kota atau mendengar suara adzannya. 4. Perjalanan itu haruslah perjalanan yang mubah Kalau perjalanan itu adalah perjalanan haram, misalnya untuk mencuri atau lainnya yang serupa, maka seluruh ulama sepakat tidak boleh qashar, kecuali ulama Hanafi. Mereka mengatakan: Qashar boleh dilakukan dalam segala keadaan, walaupun dalam perjalanan yang haram. Perbuatan itu saja yang tetap dianggap haram. 5. Orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) tidak boleh bermakmum kepada orang yang tidak dalam perjalanan (mukim), atau kepada musafir yang mengerjakan shalat dengan tamam (sempurna). Kalau dilakukannya juga, maka ia harus mengerjakan shalat dengan sempurna, demikian menurut empat madzhab. 6. Hendaklah berniat qashar pada shalat yang dilaksanakannya, kalau tidak, maka harus dilakukan dengan sempurna. Demikian menurut madzhab Hambali dan Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Maliki: Nita qashar itu cukup pada permulaan shalat qashar yang dikerjakan dalam perjalanannya, dan tidak harus membaharuinya pada tiap-tiap shalat. [105]

Hanafi mengatakan: Niat qashar itu bukan merupakan syarat dalam wajib qashar. Kalau seorang tidak berniat qashar, maka ia wajib shalat sempurna. Sebab hukum tidak berubah karena niat, dan karena ia telah berniat safar dari permulaan. 7. Tidak boleh berniat akan menetap Batasan lamanya menetap selama lima belas hari berturutturut, demikian menurut madzhab Hanafi. Atau empat hari menurut Maliki dan Syafi’i, atau masa wajib atasnya lebih dari dua puluh shalat menurut Hambali. 8. Pekerjan musafir itu menuntut untuk tidak sering bepergian. Hal ini seperti sebagian pedagang yang usahanya menuntut selalu bepergian, dan jarang menetap di tempat tinggalnya. Syarat ini hanya terdapat pada madzhab Hambali saja, sedangkan pada madzhab lainnya tidak. 9. Rumah tinggalnya harus berbeda dengan golongan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Ada sebagian suku yang selalu hidupnya selalu berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga hal demikian tidak termasuk dalam kategori musafir. Syarat ini hanya dikemukakan oleh Imamiyah saja. Hanafi, Hambali dan Maliki mengatakan: Jika seorang musafir pulang dari perjalanannya, dan bermaksud kembali ke tempat ia berangkat dari perjalanannya, maka dalam hal ini harus diperhatikan, jika ia melakukan sebelum menempuh jarak qashar, maka batallah perjalanannya, dan wajib atasnya menyempurnakan shalat. Dan jika ia telah menepuh jarak yang telah ditetapkan syara’, maka ia boleh mengqashar hingga kembali ke negerinya. Sedangkan Syafi’i mengatakan: Bilamana terlintas dalam benaknya hendak kembali di tengah-tengah perjalanannya, [106]

maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Artinya adalah, bahwa ia harus menyempurnakan shalatnya, sekalipun ia telah menempuh jarak yang diizinkan mengqashar shalat. Seluruh ulama sepakat bahwa semua syarat yang ditetapkan untuk qashar, menjadi syarat pula bagi bolehnya membatalkan puasa. Dan sebagian madzhab menambahkan syarat lain bagi bolehnya berbuka puasa itu, yang akan dijelaskan pada bab puasa. Sedang Imamiyah tidak menambahkan apa-apa, mereka mengatakan: Orang yang berbuka, wajib qashar, orang yang mengqashar wajib berbuka. B. Jama’ Antara Dua Shalat Boleh menjama’kan antara shalat dzuhur dan ashar, dan antara shalat magrib dan Isya’, taqdiman (didahulukan) dan ta’khiran (diakhirkan), disebabkan oleh halangan safar. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berkata: Tidak boleh sama sekali menjama’ antara dua shalat karena halangan safar.

H. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT Yang termasuk ke dalam hal-hal yang bisa membatalkan shalat adalah: 1. Bercakap-cakap, sekurang-kurangnya terdiri dari dua huruf, walaupun tidak mempunyai arti. Begitu juga satu huruf yang mempunyai arti, seperti “qi”, kata kerja perintah dari “waqa” (menjaga). Tetapi kalau satu huruf tadi tidak mempunyai arti, maka tidak membatalkan. Begitu juga suara yang terdiri dari beberapa huruf tanpa maksud tertentu. Madzhab Hanafi dan Hambali tidak membedakan hukum batal shalat karena berbicara ini, baik pembicaraan itu disengaja atau karena lupa, keduanya dianggap batal. [107]

Sedangkan Syafi’i dan Maliki mengatakan: Shalat tidak batal oleh perkataan yang diucapkan karena lupa, kalau hanya sedikit. Sekiranya bentuk shalat itu tetap terpelihara. Dan shalat tidak batal karena berdehem, baik dengan suatu maksud atau tidak, demikian menurut madzhab Imamiyah dan Maliki, sedangkan menurut madzhab lainnya: Batal kalau tanpa maksud, dan tidak batal kalau karena maksud. Seperti membaguskan suara hingga keluar huruf dari makhrajnya, atau untuk menunjukkan imam kepada yang benar. Mereka semua sepakat bahwa boleh berdo’a ditengahtengah shalat guna memohon kebaikan atau ampunan dari Allah SWT, kecuali pendapat dalam madzhab Hanafi dan Hambali, mereka mengaitkan do’a seperti ini dengan apaapa yang diwartakan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, atau dengan suatu do’a permohonan yang hanya pantas dimohonkan kepada Allah saja, seperti memohon rejeki atau keberkahan. Dan tidak termasuk perkataan yang membatalkan, kalimat tasbih yang dipakai orang untuk memberitahukan bahwa ia sedang shalat, atau untuk menunjukkan kepada imam yang keliru dalam bacaannya. Empat madzhab mengatakan: Termasuk perbuatan yang membatalkan itu adalah membalas ucapan salam seseorang. Kalau, seseorang sedang shalat atau ada orang yang memberi salam kepadanya dan salam orang itu dibalasnya dengan lisannya, maka sahalatnya menjadi batal, dan tidak batal kalau hanya dengan isyarat. 2.

Setiap perbuatan yang menghapuskan bentuk shalat, maka ini hukumnya membatalkan shalat, sekiranya bila dilihat orang seakan-akan bukan dalam shalat. Ini syarat yang disepakati oleh semua madzhab. [108]

3.

Makan dan minum Ini telah disepakati oleh seluruh ulama, hanya mereka berselisih dalam hal kadar yang membatalkan. Hanafi mengatakan bahwa setiap makan makanan dan minum minuman membatalkan shalat, banyak atau sedikit, walaupun yang dimakan itu hanyalah sebiji kismis, dan yang diminum itu seteguk air, dan tidak ada perbedaan, karena sengaja atau lupa. Syafi’i mengatakan: Semua makanan dan minuman yang sampai ke dalam rongga perut orang yang shalat, maka hukumnya membatalkan shalat, baik sedikit maupun banyak. Hal ini bila orang yang shalat itu melakukannya dengan sengaja dan mengetahui akan keharamannya. Kalau ia tidak tahu atau lupa, maka tidak membatalkan kalau hanya sedikit, tetapi membatalkan kalau banyak. Hambali mengatakan: Kalau makanan dan minuman itu banyak, maka hukumnya membatalkan shalat, baik sengaja atau karena lupa. Dan kalau makanan dan minuman itu sedikit, hukumnya membatalkan kalau disengaja, dan tidak membatalkan kalau karena lupa.

4.

Apabila datang sesuatu yang membatalkan wudhu atau mandi, baik dari hadats besar maupun hadats kecil. Hal tersebut membatalkan shalat menurut pendapat seluruh madzhab selain madzhab Hanafi. Mereka mengatakan: Shalat batal jika perkara tersebut terjadi sebelum duduk terakhir sekadar bacaan tasyahud. Kalau terjadi sesudahnya dan sebelum salam, maka shalatnya tidak batal.

5.

Tertawa terbahak-bahak juga membatalkan shalat, demikian menurut kesepakatan ulama, selain madzhab Hanafi. Mereka berkata: Hukumnya sama dengan hukum hadats seperti diuraikan di atas (no. 4) [109]

Karena hal-hal yang membatalkan shalat itu sangat perlu diketahui, sedangkan ia banyak dan tercabang-cabang, setiap madzhab mempunyai pandangan yang terkadang disepakati bersama dan ada pula yang masih diperselisihkan dengan madzhab lainnya, oleh karema itu kami memandang perlu untuk menjelaskan pendapat masing-masing itu sebagai berikut: Madzhab Hanafi Hal-hal yang membatalkan shalat menurut madzhab Hanafi adalah: 1. Berbicara dengan sengaja, lupa, tidak tahu hukumnya, atau karena keliru. 2. Membaca do’a yang mirip dengan ucapan manusia. 3. Banyak bergerak. 4. Memalingkan dada dari kiblat. 5. Makan dan minum. 6. Berdehem tanpa alasan. 7. Menggerutu. 8. Merintih. 9. Mengaduh. 10. Menangis dengan suara keras. 11. Membalas ucapan orang yang bersin. 12. Mengucapkan kalimat “Inna lillah”, ketika mendengar berita buruk. 13. Mengucapkan kalimat “Alhamdulillah” ketika mendengar berita menyenangkan. 14. Mengucapkan kalimat “Subhanallah” atau “La Ilaha Illallah” karena heran. 15. Orang yang shalat dengan tayamum lalu meliha air. 16. Terbit matahari ketika sedang mengerjakan shalat Shubuh. 17. Matahari tergelincir ketika sedang mengerjakan shalat ‘Ied. [110]

18. Berhadats dengan sengaja. Kalau didahulukan oleh hadats (dengan tidak sengaja) maka shalatnya tidak batal, tetapi harus berwudhu, dan kemudian meneruskan shalatnya. Madzhab Maliki Hal-hal yang membatalkan shalat menurut madzhab Maliki adalah: 1. Meninggalkan salah satu rukun dengan sengaja atau lupa jika tidak teringat hingga memberi salam dalam keadaan yakin telah melakukannya dengan sempurna, dan telah lama diketahuimya. 2. Menambah rukun dengan sengaja, seperti ruku’ dan sujud. 3. Menambah tasyahud bukan pada tempatnya, kecuali bila dibaca dalam keadaan duduk. 4. Tertawa terbahak-bahak baik dengan sengaja maupun tidak. 5. Makan minum dengan sengaja. 6. Berbicara dengan sengaja, bukan untuk memperbaiki bacaannya. 7. Meniup dengan mulut dengan sengaja. 8. Muntah dengan sengaja. 9. Terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu seperti keluar angin atau lainnya. 10. Terbuka aurat atau sesuatu darinya. 11. Kena najis. 12. Banyak bergerak. 13. Menambah rakaat melebihi dari empat rakaat pada shalat ruba’iyah dengan yakin atau lupa. 14. Sujud sebelum salam. 15. Meninggalkan tiga sunnah dari sunnah-sunnah shalat karena lupa, dan tidak melakukan sujud sahwi untuknya. Madzhab Syafi’i [111]

Hal-hal yang membatalkan shalat menurut madzhab Syafi’i adalah: 1. Karena hadats yang mewajibkan wudhu atau mandi. 2. Sengaja berbicara. 3. Menangis. 4. Merintih dalam sebagian keadaan. 5. Banyak bergerak. 6. Ragu-ragu dalam niat. 7. Bimbang dalam memutuskan shalat namun meneruskannya, 8. Menukar niat satu shalat fardhu dengan shalat fardhu yang lain. (menukar niat dengan shalat sunnah dibolehkan jika ia bermaksud hendak menunaikan shalat fardhu secara berjama’ah). 9. Terbuka aurat, sedangkan ia mampu menutupnya. 10. Telanjang, sedangkan ia memiliki pakaian untuk menutupi auratnya. 11. Kena najis yang tidak dimaafkan, kalau tidak segera dibuang. 12. Mengulang-ulang takbiratul ihram. 13. Meninggalkan rukun dengan sengaja. 14. Mengikuti imam yang tidak patut diikuti karena kekufurannya atau sebab lain. 15. Menambah rukun dengan sengaja. 16. Masuknya makanan atau minuman ke dalam rongga mulut. 17. Berpaling dari kiblat dengan dadanya. 18. Mendahulukan rukun fi’li dari yang lainnya. Madzhab Hambali Hal-hal yang membatalkan shalat menurut madzhab Hambali adalah: 1. Banyak bergerak. 2. Kena najis yang tidak dimaafkan. [112]

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

Membelakangi kiblat. Terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu, seperti keluar angin atau lainnya. Sengaja membuka aurat. Bersandar dengan kuat tanpa alasan. Kembali ke tasyahud pertama sesudai mulai membaca AlFatihah jika ia mengetahui dan ingat. Menambah rukun dengan sengaja. Mendahulukan sebagian rukun dari rukun lainnya dengan sengaja. Keliru dalam bacaan yang merubah arti bacaan itu, padahal ia mampu memperbaikinya. Berniat memutuskan shalat, atau bimbang dalam hal itu. Ragu-ragu dalam takbiratul ihram. Terbawa terbahak-bahak. Berbicara baik dengan sengaja atau tidak. Makmum memberi salam dengan sengaja sebelum imam. Makan minum karena lupa atau tidak tahu. Berdehem tanpa alasan. Meniup dengan mulut, kalau keluar dua huruf. Menangis bukan karena takut kepada Allah.

RANGKUMAN Shalat sebagai salah satu rukun Islam memiliki posisi yang sangat penting dalam struktur keagamaan Islam. Posisi penting itu oleh Rasulullah saw disebutkan sebagai pilar utama agama Islam, maka orang yang menegakkan berarti ia akan dapat membangun agama dan orang yang meninggalkannya maka pasti ia merobohkan bangunan agama. Secara umum sahnya shalat itu meliputi: Harus suci dari hadats dan kotoran, masuk waktu, menghadap kiblat, dan harus memakai pakaian penutup aurat. Hal-hal diatas harus dipenuhi semuanya sebelum melaksanakan shalat, dan hal-hal itu dinamakan syarat, [113]

Selain syarat sah shalat, juga terdapat rukun shalat yaitu: niat, takbiratul ihram, berdiri bagi yang mampu, Membaca Alfatihah, ruku beserta tuma’ninah, I’tidal beserta tuma’ninah, sujud beserta tuma’ninah, duduk di antara dua sujud, duduk akhir, membaca tasyahud akhir, mengucapkan salam, tertib. Sedangkan hal-hal yang membatalkan shalat secara umum adalah: Karena hadats yang mewajibkan wudhu atau mandi, Sengaja berbicara, Banyak bergerak, Ragu-ragu dalam niat, Bimbang dalam memutuskan shalat namun meneruskannya, Menukar niat satu shalat fardhu dengan shalat fardhu yang lain, Terbuka aurat, sedangkan ia mampu menutupnya, Kena najis yang tidak dimaafkan, Meninggalkan rukun dengan sengaja, menambah rukun dengan sengaja, masuknya makanan atau minuman ke dalam rongga mulut, berpaling dari kiblat. SUMBER PUSTAKA • al-Jaziri, Abdu ar-Rahman. 1988. al-Fiqhu 'alaa Madzahibi al-Arba'ah. Beirut: Darul Kutub. • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • az-Zuhaili, Wahbah, . al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu. • • • •

Damaskus:Dar al fikr. tt.

Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ala Madzhahibul Khomsah, terj. Afif Muhammad dkk, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

Qardhawi, Yusuf, Fiqhul Ikhtilaf, terj. Ainur Rofiq Saleh, Gerakan Islam; Antara Perbedaan Yang diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang, Jakarta: Robani Pres, 2001. Sabiq, Sayid, Fiqhus Sunah, terj. Zenal Mutaqin, Fiqih Shalat, Bandung: Jabal, 2009. [114]



Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Buatlah skema/ tabel yang menjelaskan tentang rukun shalat menurut empat madzhab 2. Buatlah skema/ tabel yang menjelaskan tentang hal-hal yang membatalkan shalat menurut empat madzhab 3. Tuliskan hukum membaca basmalah dan al-fatiha dalam shalat menurut empat madzhab 4. Tuliskan bacaan shalat (yang biasa dilakukan) dari mulai takbiratul ihram sampai salam secara lengkap 5. Buatlah teks khutbah jumat ke-1 dan ke-2 secara lengkap DAFTAR ISTILAH 1. Kiblat : Arah menghadap ketika sedang shalat 2. Aurat : bagian anggota tubuh yang harus ditutupi 3. Jama’ : Mengumpulkan 2 shalat untuk dikerjakan pada 1 waktu 4. Qoshor : Meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat 5. 1 farsakh :5.040 meter

[115]

[116]

BAB VI PENGURUSAN JENAZAH

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tata cara pengurusan jenazah dan hukum-hukumnya dalam perspektif empat madzhab.

Mayat dan Hukum-hukumnya A. Ihtidhar Ihtidhar adalah menghadapkan mayat ke kiblat. Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang cara-cara menghadapkan mayat ke kiblat. Syafi’i: Menelantangkan mayat dan menjadikan kedua tapak kakinya menghadap ke kiblat yang sekiranya kalau ia duduk ia langsung menghadap kiblat. Maliki, Hambali dan Hanafi: Meletakkan sisi kanan tubuh mayat dan menghadapkannya ke kiblat, sebagaimana yang dilakukan ketika menguburkan mayat. Mereka (ulama madzhab) juga berbeda pendapat tentang pengertian menghadapkan ke kiblat, dan juga mereka berbeda pendapat tentang wajibnya menghadapkan ke kiblat. Empat madzhab: Ia sunnah saja, bukan wajib. B. Memandikan Jenazah Semua ulama madzhab sepakat bahwa orang yang mati syahid, yaitu orang yang mati karena berperang dengan orangorang kafir, tidak wajib dimandikan. Mereka juga sepakat bahwa orang yang buka muslim tidak diwajibkan mandi, kecuali Syafi’i yang menyatakan boleh dimandikannya. Mereka juga sepakat bahwa keguguran yang tidak sampai empat bulan dalam kandungan ibunya, tidak wajib dimandikan. [119]

Namun para ulama madzhab berbeda pendapat tentang anak yang gugur (miskram) yang telah sampai empat bulan dalam kandungan ibunya. Hambali: Wajib dimandikan. Hanafi: Kalau ia gugur dan hidup, kemudian meninggal, atau ketika keguguran itu anggota tubuhnya sempurna, maka ia wajib dimandikan. Tapi bila tidak, ia tidak wajib dimandikan. Maliki: Bayi yang keguguran itu tidak wajib dimandikan kecuali kalau hidup, yakni jika menurut para ahli bahwa bayi itu sebenarnya dapat hidup terus. Syafi’i: Kalau bayi yang gugur itu lahir setelah berumur enam bulan dalam kandungan ibunya, ia wajib dimandikan, dan kalau belum sampai enam bulan, tapi angota tubuhnya sudah sempurna, ia juga wajib dimandikan, begitu juga kalau anggota badannya tidak sempurna dan diketahui ia hidup, lalu meninggal, maka ia wajib dimandikan, sedangkan kalau tidak sempurna dan tidak hidup, maka tidak wajib dimandikan. Kalau sebagian tubuh mayat hilang, karena sakit, terbakar, dimakan binatang, atau lain-lainnya; apakah sisanya itu wajib dimandikan?? Hanafi: Tidak wajib untuk dimandikan kecuali kalau kebanyakan anggota badannya atau separuhnya beserta kepalanya didapatkan. Maliki: Wajib dimandikan kalau didapatkan sepertiga dari anggota badannya. Hambali dan Syafi’i: Tetap wajib dimandikan walau hanya didapatkan sebagian dari anggota tubuhnya. Imamiyah: Kalau yang didapatkan dari sepotong anggota badan mayat itu adalah dadanya atau sebagian yang lainnya yang mengandung hati, maka hukumnya persis seperti hukum terhadap yang sempurna, yaitu wajib dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Namun, jika tidak ada sepotong saja dari anggota tubuhnya yang mengandung hati, atau sebagiannya, seperti dada, tetapi terdapat tulangnya, maka ia wajib dimandikan dan dibungkus dengan sehelai kain kemudian dikuburkan. Tapi bila tidak terdapat tulang di dalam anggota tubuh yang ditemukannya [120]

itu, maka ia hanya dibungkus dengan sehelai kaindan dikubur, tidak usah dimandikan. C. Menyalatkan Orang Meninggal yang Ghaib Maliki dan Hanafi: Tidak boleh menyalati mayat yang ghaib atau tidak ada ketika dishalati. Pendapat ini berpijak kepada kenyataan yang ada pada sejarah Nabi, dimana bila Nabi Muhammad dan para sahabatnya mengerjakan pasti hal tersebut diketahui dan tersebar. Hambali dan Syafi’i: Boleh shalat ghaib, berdasarkan hadis bahwa Rasulullah shalat pada Najasyi, ketika ada berita duka sampai kepada beliau. D. Meratakan Kuburan Semua ulama madzhab sepakat bahwa kalau mengikuti sunnah maka kuburan itu adalah rata, berdasarkan ketetapan bahwa Rasulullah telah meratakan kuburan putranya Ibrahim. Pendapat Syafi’i seperti di atas. Hanafi, Maliki dan Hambali: Menambahkannya adalah lebih utama, karena meratakan itu dapat menjadi lambang bagi sebagian “kelompok”. E. Membongkar Kuburan Semua ulama madzhab sepakat bahwa membongkar kuburan itu adalah haram, baik yang meninggal itu (mayat) yang sudah dikuburkan itu orang besar maupun anak kecil, gila maupun berakal, kecuali kalau untuk mengetahui ada dan tidaknya, dan telah jadi tanah, atau penggalian lagi untuk kemaslahatan mayat, sebagaimana kalau kuburannya berada di tempat mengalirnya air, atau di tepi sungai, atau dipendam di tempat ghasab, baik di tempat musuh, atau karena tidka tahu maupunkarena lupa, sedangkan orang yang memilikinya tidak mau menerima ganti, atau dikafani dengan kain yang tidak boleh dikafankan, atau dipendam bersama hartanya yang bernilai, baik milik mayat itu sendiri maupun milik orang lain. [121]

Ulama madzhab berbeda pendapat tentang bolehnya menggali lagi kuburan mayat kalau ia telah dipendam tanpa dimandikan, atau sudah dimandikan tapi tidak mengikuti peraturan syara’. Hanafi: Tidak boleh, karena ia telah rusak dan semacamnya. Hambali, Syafi’i, Maliki: Boleh dibongkar lagi, dimandikan dan dishalatkan, kalau tidak khawatir rusak badannya.

RANGKUMAN Ihtidhar adalah menghadapkan mayat ke kiblat. Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang cara-cara menghadapkan mayat ke kiblat. Namun empat madzhab sepakat bahwa hukumnya adalah sunah. Sedangkan dalam hal memandikan mayat yang mati syahid, mereka (Semua ulama madzhab) sepakat bahwa orang yang mati syahid, tidak wajib dimandikan. Mereka juga sepakat bahwa orang yang buka muslim tidak diwajibkan mandi, kecuali Syafi’i yang menyatakan boleh dimandikannya. Mereka juga sepakat bahwa keguguran yang tidak sampai empat bulan dalam kandungan ibunya, tidak wajib dimandikan. . . SUMBER PUSTAKA • al-Jaziri, Abdu ar-Rahman. 1988. al-Fiqhu 'alaa Madzahibi al-Arba'ah. Beirut: Darul Kutub. • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu. Damaskus:Dar al fikr. tt. • Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta: Prenada Media,cet-5 2005. [122]



Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ala Madzhahibul Khomsah, terj. Afif Muhammad dkk, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Tuliskan bacaan shalat jenazah secara lengkap dari mulai takbiratul ihram sampai salam 2. Jelaskan bagaimana hukum menyalatkan orang meninggal yang masih mempunyai hutang 3. Bagaimana hukum berziarah kubur, jelaskan!

DAFTAR ISTILAH 1. Ihtidhar : Menghadapkan mayat ke kiblat 2. Shalat ghaib : Menyolatkan mayat yang jauh

[123]

[124]

BAB VII ZAKAT

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang hukum-hukum zakat beserta ruang lingkupnya dan cara menghitung harta zakat.

A. URGENSI ZAKAT Zakat merupakan pokok agama yang sangat penting dan strategis dalam Islam, karena zakat adalah rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Jika shalat berfungsi untuk membentuk kesalihan dari sisi pribadi seperti mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, maka zakat berfungsi membentuk kesalihan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Mislanya memberantas kemiskinan, menumbuhkan rasa kepedulian dan cinta kasih terhadap golongan yang lebih lemah. Pembentukan kesalihan pribadi dan kesalihan dalam sistem masyarakat inilah salah satu tujuan diturunkannya Risalah Islam sebagai rahmatallil ‘alamin oleh Allah Swt kepada manusia. Melalui zakat, Allah Swt menghendaki kebaikan kehidupan manusia dengan ajaran-Nya agar hidup tolong menolong, gotong royong dan selalu menjalin persaudaraan. Adanya perbedaan harta, kekayaan dan status sosial dalam kehidupan adalah sunatullah yang tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Bahkan adanya perbedaan status sosial itulah manusia membutuhkan antara satu dengan lainnya. Dan zakat (juga infaq dan shadaqah) adalah salah satu instrumen paling efektif untuk menyatukan umat manusia dalam naungan kecintaan dan kedamaian hidupnya di dunia, untuk menggapai kebaikan di akhirat. [125]

Zakat itu dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: Zakat harta benda dan zakat badan. Ulama mazhab sepakat bahwa tidak sah mengeluarkan zakat kecuali dengan niat. Adapun syaratsyarta wajibnya, seperti berikut. B. SYARAT-SYARAT ZAKAT HARTA BENDA 1. Hanafi: Berakal dan baligh merupakan syarat diwajibkannya mengeluarkan zakat. Maka harta orang gila dan harta anak tidak wajib dizakati. Maliki, Hambali dan Syafi’i: Berakal dan baligh tidak menjadi syarat. Maka dari itu, harta orang gila dan harta anak-anak wajib dizakati, walinya harus mengeluarkannya. 2. Hanafi, Syafi’i dan Hambali: Zakat tidak diwajibkan pada non muslim. Imamiyah dan Maliki: Bagi non muslim juga diwajibkan, sebagaimana diwajibkannya kepada orang muslim, tak ada bedanya. 3. Syarat diwajibkannya zakat adalah “milik penuh”. Setiap mazhab membahas secara panjang lebar tentang definisi “milik penuh” itu. Kesimpulan dari semua definisi yang diungkapkan para ulama mazhab adalah: Orang yang mempunyai harta itu menguasai sepenuhnya seluruh harta bendanya, dan dapat mengeluarkannya dengan sekehendaknya. Maka harta yang hilang, tidak wajib dizakati, juga harta yang dirampas (dibajak) dari pemiliknya, sekalipun tetap menjadi miliknya. Kalau hutang yang merupakan hak milik seseorang, tidak wajib dizakati kecuali sudah kembali berada dalam genggamannya, seperti mas kawin seorang istri yang masih belum diserahkan oleh suaminya. Sebab hutang itu tidak bisa dianggap hak milik secara penuh kecuali setelah berada dalam genggamannya. Kalau hutang itu ditanggung seseorang, maka hukumnya akan diterangkan, seperti berikut: [126]

4.

Cukup satu tahun berdasarkan hitungan tahun qomariyah untuk selain biji-bijian, buah-buahan dan barang-barang tambang. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan kemudian. 5. Sampai kepada nisab (ketentuan wajib zakat). Setiap harta yang wajib dizakati jumlah yang harus dikeluarkan berbeda-beda dan keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti. 6. Orang yang mempunyai hutang, dan dia mempunyai harta yang sudah mencukupi nishab, apakah hartanya itu wajib dizakati atau tidak? Dengan ungkapan lain: Apakah hutang itu mencegah untuk mengeluarkan zakat? Imamiyah dan Syafi’i: Hutang tidak menjadi syarat untuk bebas zakat. Maka, barangsiapa yang mempunyai hutang, ia wajib mengeluarkan zakat, walaupun hutang tersebut sekedar cukup sampai jatuhnya nishab bahkan Imamiyah berpendapat: Kalau ada seseorang yang meminjam harta benda yang wajib dizakati dan mencapai nishab, serta berada di tangannya selama satu tahun, maka harta hitungan itu wajib dizakati. Hambali: Hutang itu mencegah zakat. Maka barangsiapa yang mempunyai hutang, dan dia mempunyai harta maka dia harus membayar hutangnya terlebih dahulu. Kalau sisa hartanya mencapai nishab zakat, maka dia harus menzakatinya. Maliki: Hutang itu hanya mencegah zakat bagi emas dan perak, tetapi tidak bagi biji-bijian, binatang ternak, dan barang tambang. Maka, barangsiapa yang mempunyai hutang, dan dia mempunyai harta yang berupa emas dan perak yang sudah mencapai nishab, dia harus membayar hutangnya terlebih dahulu, baru kemudian mengeluarkan zakatnya. Tapi kalau dia mempunyai hutang, dan harta miliknya selain dari emas dan perak serta sudah mencapai nishab, maka dia tetap wajib menzakatinya. Hanafi: Kalau hutang tersebut menjadi hak Allah yang harus dilakukan oleh seseorang, dan tidak ada manusia yang menuntutnya, seperti haji dan kifarat-kifarat, maka ia tidak dapat [127]

mencegah zakat. Tapi kalau hutang tersebut untuk manusia, atau untuk Allah, dan dia mempunyai tuntutan (tanggung jawab) seperti zakat sebelumnya yang dituntut oleh seorang Imam, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat dari semua jenis hartanya, kecuali zakat tanam-tanaman dan buah-buahan. Ulama mazhab sepakat bahwa zakat itu tidak diwajibkan untuk barang-barang hiasan dan permata, juga untuk tempat tinggal (rumah dan sebagainya), pakaian, alat-alat rumah, kendaraan, senjata dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan, seperti alat-alat, buku-buku dan perabot-perabot. Imamiyah juga berpendapat: Harta benda yang sudah dicairkan ke dalam emas dan perak tidak wajib dizakati. Keterangan tentang hal ini akan dijelaskan secara lebih rinci. C. HARTA BENDA YANG WAJIB DIZAKATI Al-Quran Al-Karim mengungkapkan tentang orangorang fakir, bahwa mereka betul-betul suatu kelompok yang mempunyai hak bagi harta-harta benda orang-orang kaya, seperti yang diungkapkan surat Adz-Dzariyat ayat 19: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (maksudnya, orang miskin yang tidak meminta”. Ayat ini tidak membedakan antara harta pertanian, pertukangan (pabrik/buruh), dan perdagangan. Dari itu, ulama mazhab mewajibkan binatang ternak, biji-bijian, buah-buahan, uang dan barang tambang untuk dizakati. Tapi mereka berbeda pendapat tentang definisi (ketentuan) bagian-bagian di atas, baik dari segi jumlah nishabnya antara satu dengan lain maupun pembagian dalam memberikan kepada orang fakir miskin ke dalam kelompok ketiga. Imamiyah: Mewajibkan satu perlima atau dua puluh persen dari laba dalam harta dagangan. Empat mazhab: Mewajibkan dua setengah persen dari harta dangan. Tetapi dalam harta tambang wajib seperlimanya (20%) menurut [128]

Hanafi, Imamiyah dan Hambali, sedang mazhab yang lain tetap mewajibkan 2,5%. Tentang apa yang disepakati dan diperselisihkan oleh mereka akan dijelaskan lebih rinci seperti berikut: a. Zakat Binatang Ternak Ulama mazhab sepakat bahwa yang wajib dizakati itu adalah: Unya, sapi, termasuk kerbau, kambing, biri-biri dan kambing kibas. Mereka sepakat bahwa binatang seperti kuda, keledai dan baghal (hasil kawin silang antara kuda dan keledaipeny) tidak wajib dizakati, kecuali bila termasuk pada harta dagangan. Hanafi: Mewajibkan kuda saja untuk dizakati, kalau kuda tersebut bercampur antara jantan dan betina. Syarat-Syarat Zakat Binatang Ternak Syarat-syarat zakat binatang ternak ada empat perkara yaitu: 1. Mencapai Nishab Nishab Unta a. Kalau jumlahnya 5 ekor, maka wajib mengeluarkan 1 ekor kambing. b. Kalau jumlahnya 10 ekor, maka wajib mengeluarkan 2 ekor kambing. c. Kalau jumlahnya 15 ekor, maka wajib mengeluarkan 3 ekor kambing. d. Kalau jumlahnya 20 ekor, maka wajib mengeluarkan 4 ekor kambing, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Tapi kalau jumlahnya sebanyak 25 ekor, mereka berbeda pendapat. Yaitu empat mazhab: Wajib mengeluarkan 1 ekor unta yang umurnya lebih dari satu tahun. Sedangkan Imamiyah: Wajib mengeluarkan 5 ekor kambing. Lebih lanjut menurut Imamiyah: Kalau jumlahnya 26 ekor, wajib mengeluarkan 1 ekor unta [129]

e.

f.

g.

h. i.

yang berumur satu tahun lebih. Dan bila jumlah unta sudah mencapai bilangan tersebut, ia menjadi satu nishab. Kalau jumlahnya 36 ekor, maka wajib mengeluarkan Bintu Labun secara sepakat. Bintu Labun adalah anak unta yang berumur tiga tahun lebih. Kalau jumlahnya 46, maka wajib mengeluarkan huggah secara sepakat. Huggah ialah anak unta yang berumur empat tahun. Kalau jumlahnya 61, maka wajib mengeluarkan jada’ah secara sepakat. Jada’ah ialah anak unta yang berumur lima tahun. Kalau jumlahnya 76, maka wajib mengeluarkan dua Bintu Labun secara sepakat. Kalau jumlahnya mencapai 91, maka wajib mengeluarkan dua huggah secara sepakat.

Nishab Sapi Bagi pemilik sapi yang jumlahnya mencapai 30 ekor, wajib mengeluarkan satu ekor tabi’ atau tabi’ah. Dan setiap 40 ekor, wajib mengeluarkan satu ekor musannah. Setiap 60 ekor sapi wajib mengeluarkan dua tabi’. Setiap 70 ekor sapi wajib mengeluarkan satu musannah dan satu tabi’. Setiap 90 ekor, wajib mengeluarkan tiga tabi’. Setiap 100 ekor, wajib mengeluarkan satu ekor musannah dan satu ekor tabi’. Setiap 120 ekor, wajib mengeluarkan tiga ekor musannah dan empat ekor tabi’. Begitulah seterusnya. Dan diantara dua jumlah ketentuan tersebut, tidak diwajibkan mengeluarkan zakat. Sampai pada ketentuan tersebut, tidak diwajibkan mengeluarkan zakat. Sampai pada ketentuan nishab ini, semua ulama mazhab sepakat pada ketentuan tersebut di atas. Tabi’ adalah sapi yang berumur satu tahun penuh dan masuk ke tahun kedua. Dan musannah ialah sapi yang berumur dua tahun penuh dan masuk ketiga tahun. Maliki: Tabi’ ialah sapi yang berumur dua tahun [130]

penuh dan masuk ketiga tahun. Dan musannah ialah sapi yang berumur tiga tahun penuh dan masuk keempat tahun. Nishab Kambing Setiap jumlah 40 ekor kambing, wajib mengeluarkan satu ekor kambing. Setiap 121 ekor, wajib mengeluarkan dua ekor kambing. Dan apabila mencapai jumlah 201 ekor, wajib mengeluarkan 3 ekor kambing. Ketentuan ini disepakati semua ulama mazhab. Empat mazhab: 301 ekor wajib mengeluarkan tiga kambing, seperti 201 ekor, sampai pada empat ratus, yaitu wajib mengeluarkan empat kambing. Dan lebih dari itu, setiap seratus wajib mengeluarkan satu kambing. Sedangkan Imamiyah: Bila jumlahnya mencapai 301, maka wajib mengeluarkan empat kambing, sampai pada empat ratus kambing, dan seterusnya. Maka setiap seratus wajib mengeluarkan satu kambing. 2. Binatang ternak yang dipelihara secara bebas. Binatang tersebut sepanjang hari dalam satu tahun mencari makan (rumput) sendiri di tempat-tempat yang dibolehkan dan memang tempat gembala, dan tidak dibebani pemiliknya kecuali hanya sekali-kali. Syarat ini disepakati semua ulama mazhab kecuali Maliki. Maliki berpendapat: Binatang yang diperlihara secara bebas maupun tidak, tetap wajib dizakati.

3. Binatang tersebut sudah satu tahun. Maksudnya pemiliknya memilikinya genap satu tahun setelah mencapai nishab. Maka kalau pada pertengahan tahun kurang satu, tapi kemudian pada akhir tahun genap atau cukup sampai mencapai nishab, maka ia tidak wajib dizakati. Contohnya: Orang yang mempunyai [131]

empat puluh ekor kambing pada awal tahun, tapi setelah beberapa bulan kemudian kurang satu, baik karena mati, dihibahkan maupun dijual, kemudian pada akhir tahun cukup sampai mencapai empat puluh, maka pada akhir tahun tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, tetapi harus dihitung mulai dari awal tahun baru lagi. Syarat ini disepakati oleh Imamiyah, Syafi’i dan Hambali. Tapi menurut Hanafi: Kalau hanya kurang nishabnya pada awal tahun, kemudian genap (cukup) pada akhir tahun, maka wajib dizakati, sebagaimana wajib juga dizakati kalau mulai awal tahun mencapai nishab sampai akhir tahun. Hitungan tahun ini berdasarkan tahun qomariyah. Maksudnya dua belas hilal (bulan). 4. Binatang-binatang itu tidak dipergunakan untuk bekerja Sapi yang dipergunakan untuk membajak, dan unta yang dipergunakan untuk mengangkut barang, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Maliki tidak wajib dizakati. Walaupun sudah mencapai nishab dan sudah genap satu tahun. Maliki: Binatang-binatang yang dipergunakan maupun tidak, wajib dizakati, tak ada bedanya. Semua ulama mazhab sepakat bahwa orang yang memiliki berbagai macam binatang, tapi tidak sampai pada nishab, maka tidak wajib menggabungkan (mengumpulkan) antara satu dengan yang lain. Misalnya: Kalau orang mempunyai sapi tidak sampai tiga puluh, dan juga mempunyai kambing, tapi tidak sampai empat puluh, maka tidak wajib sapi itu disempurnakan (dianggap cukup hitungannya pada nishab) dengan kambing. Begitu juga sebaliknya. Para ulama mazhab berbeda pendapat kalau ada dua orang yang bekerja sama, lalu memakai hitungan satu nishab.

[132]

Imamiyah, Hanafi dan maliki: Keduanya tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, juga tidak pada salah satunya, selama setiap individu belum mencapai nishab sendiri-sendiri. Syafi’i dan Hambali: Harta orang yang bekerja sama wajib dizakati kalau sudah mencapai nishab, sekalipun modal masing-masing kurang dari nishab. b. Zakat Emas dan Perak Ulama fiqih berpendapat emas dan perak wajib dizakati jika cukup nishabnya. Menurut pendapat mereka, nishab emas adalah dua puluh (20) mithqal. Nisab perak adalah dua ratus dirham. Mereka juga memberi syarat yaitu berlalunya waktu satu tahun dalam keadaan nishab, juga jumlah yang wajib dikeluarkan ialah dua setengah persen (2,5%). Imamiyah: Wajib zakat pada emas dan perak jika berada dalam bentuk uang, dan tidak wajib dizakati jika berbentuk batangan dan perhiasan. Empat mazhab: Emas dan perak wajib dizakati jika dalam bentuk batangan, begitu juga dalam bentuk uang. Mereka berbeda pendapat mengenai emas dan perak dalam bentuk perhiasan. Sebagian mewajibkan zakat, sebagian yang lain tidak mewajibkannya. Mengenai uang, Imamiyah mewajibkan satu perlima atau dua puluh persen (20%) dari sisa belanja satu tahun, bagian ini akan diuraikan kemudian. Syafi’i, Maliki dan Hanafi: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali telah dipenuhi semua syarat, antara lain yaitu telah sampai nishabnya dan telah cukup berlalunya waktu satu tahun. Hambali: Uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali jika ditukar dalam bentuk emas atau perak. c. Zakat Tanaman dan Buah-Buahan Semua ulama mazhab sepakat bahwa jumlah (kadar) yang wajib keluarkan dalam zakat tanaman dan buah-buahan [133]

adalah sepersepuluh atau sepuluh persen (10%), kalau tanaman dan buah-buahan tersebut disiram air hujan atau air dari aliran sungai. Tapi jika air yang dipergunakannya dengan air irigasi (dengan membayar) dan sejenisnya, maka cukup mengeluarkan lima persen (5%). Ulama mazhab sepakat, selain Hanafi bahwa nishab tanaman dan buah-buahan adalah lima ausuq. Satu ausuq sama dengan enam puluh gantang, yang jumlahnya kira-kira mencapai sembilan ratus sepuluh gram. Satu kilo sama dengan seribu gram. Maka bila tidak mencapai target tersebut, tidak wajib dizakati. Namun Hanafi berpendapat: Banyak maupun sedikit wajib dizakati secara sama. Ulama mazhab berbeda pendapat tentang tanaman dan buah-buahan yang wajib dizakati. Hanafi: Semua buah-buahan dan tanaman yang keluar dari bumi wajib dizakati, kecuali kayu, rumput dan tebu persi. Maliki dan Syafi’i: Setiap tanaman dan buah-buahan yang disimpan untuk kepentingan belanja wajib dizakati, seperti gandum, beras, kurma dan anggur. Hambali: Semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan yang disimpan wajib dizakati. Imamiyah: Biji-bijian yang wajib dizakati hanya gandum. Dan buah-buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur. Selain yang disebutkan di atas, tidak wajib dizakati, tetapi sunnah untuk dizakatinya.

d. Zakat Harta Dagangan Yang dinamakan harta dagangan adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba, dan harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan harta warisan, maka ulama mazhab secara sepakat tidak menamakannya harta dagangan. Zakat harta dagangan adalah [134]

wajib menurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah adalah sunnah. Zakat yang dikeluarkan itu adalah dari nilai barangbarang yang diperdagangkan. Jumlah yang dikeluarkan sebanyak seperempat puluh persen, artinya satu dari empat puluh. Semua mazhab sepakat bahwa syaratnya harus mencapai satu tahun. Untuk menghitungkannya pertama-tama harta tersebut diniatkan untuk berdagang. Apabila telah mencapai satu tahun penuh dan memperoleh untung, maka ia wajib dizakati. Imamiyah: Disyaratkan adanya modal dari awal tahun sampai akhir tahun. Maka kalau di pertengahan tahun modal tersebut berkurang, maka ia tidak wajib dizakati. Apabila nilai modal tersebut berkurang, maka hitungan tahun mulai dari awal lagi. Syafi’i dan Hambali: Perkiraan untuk dinamakan akhir tahun itu bukan dari awal, pertengahan dan akhir tahun. Maka kalau ia (seseorang) tidak memiliki modal yang mencapai nishab pada awal tahun, juga pada pertengahannya, tetapi pada akhir tahun sudah mencapi nishab, maka ia wajib zakat. Hanafi: Yang dianggap atau yang dihitung dalam satu tahun, bukan hanya di pertengahan saja. Maka barangsiapa memiliki harta dagangan yang telah mencapai nishab pada awal tahun, kemudian pada pertengahan tahun berkurang, tapi pada akhir tahun sempurna atau mencapai nishab maka ia wajib dizakati. Tetapi kalau pada awal ataupun akhir tahun berkurang maka ia tidak wajib dizakati. Disyaratkan juga bahwa harga atau nilai barang-barang dagangan tersebut harus mencapai nishab. Maka nilai harga yang menjadi standar adalah nilai harga emas dan perak. Kalau salah satunya sama atau lebih, maka wajib dizakati. Tapi kalau kurang walaupun sedikit, maka tidak wajib dizakati. Pengarang buku Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah pada tahun 1922 memperkirakan bahwa nishabnya sampai lima ratus dua puluh sembilan (529) ketip Mesir dan sepertiganya. [135]

D. MUSTAHIK ZAKAT Para ulama mazhab sepakat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60, seperti berikut: “Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang mempunyai hutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan”. Namun kalau tentang definisi golongan atau kelompok tersebut, semua ulama mazhab mempunyai pendapat yang berbeda, seperti keterangan berikut: 1. Orang Fakir Hanafi: Orang fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari nishab, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan. Adapun orang yang mempunyai harta sampai nishab apapun bentuknya yang dapat memenuhi kebutuhan primer, berupa tempat tinggal (rumah), alat-alat rumah, dan pakaian, maka orang yang memiliki harta seperti itu atau lebih, tidak boleh diberikan zakat. Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nishab maka ia wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak wajib menerima zakat. Mazhab-mazhab lain: Yang dianggap kebutuhan itu bukan berdasarkan yang dimiliki akan tetapi kebutuhan. Maka barangsiapa yang tidak membutuhkan, diharamkan untuk menerima zakat, walaupun ia tidak mempunyai sesuatu. Dan orang yang membutuhkan tentu dibolehkan untuk menerima zakat, sekalipun dia mempunyai harta sampai nishab, karena yang dinamakan fakir itu artinya yang membutuhkannya. Allah SWT berfirman: [136]

“Wahai manusia, kamu semua adalah orang-orang fakir dihadapan Allah”. Artinya orang-orang yang sangat membutuhkan kepada Allah SWT. Syafi’i dan Hambali: Orang yang mempunyai separuh dari kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan ke dalam golongan orang fakir, dan ia tidak boleh menerima zakat. Imamiyah dan Maliki: Orang fakir menurut syara’ adalah orang yang tidak mempunyai bekal untuk berbelanja selama satu tahun dan juga tidak mempunyai bekal untuk menghidupi keluarganya. Orang yang mempunyai rumah dan peralatannya atau binatang ternak, tapi tidak mencukupi kebutuhan keluarganya selama satu tahun, maka ia boleh diberi zakat. Imamiyah, Syafi’i dan Hambali: Orang yang mampu bekerja tidak boleh menerima zakat. Hanafi dan Maliki: Ia dibolehkan untuk menerimanya, tapi juga boleh untuk menolaknya. Imamiyah: Orang yang mengaku fakir boleh dipercaya sekalipun tidak ada bukti dan tanpa sumpah bahwa ia betul-betul tidak mempunyai harta, serta tidak diketahui bahwa ia berbohong. Karena pada masa Rasulullah saw pernah datang dua orang kepada beliau, dimana ketika itu beliau sedang membagi sedekah, lalu kedua orang tersebut meminta sedekah kepada beliau, maka beliau dapat melihat dengan penglihatan yang tajam dan membenarkan keduanya, serta bersabda: “Kalau kamu berdua mau, maka aku akan memberikannya. Orang yang kaya tidak mempunyai bagian untuk menerima zakat, begitu juga orang yang mampu (kuat) untuk bekerja”. Lalu Rasulullah saw mempercayai keduanya tanpa bukti dan tidak pula dengan sumpah. 2. Orang Miskin Hanafi dan Maliki: Orang miskin adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang fakir. [137]

Hambali dan Syafi’i: Orang fakir adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk daripada orang miskin, karena yang dinamakan fakir adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu, atau orang yang tidak mempunyai separuh dari kebutuhannya, sedangkan orang miskin ialah orang yang memiliki separuh dari kebutuhannya. Maka yang separuh lagi dipenuhi dengan zakat. Walau bagaimanapun penafsiran tentang fakir dan miskin, sebenarnya secara esensial tidak ada perbedaan diantara mazhab-mazhab itu, karena yang dimaksudkan adalah bahwa zakat itu mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak, seperti: Tempat tinggal (papan), pangan, pakaian, kesehatan, pengajaran dan lain-lain yang menjadi keharusan dalam kehidupannya. Para ulama mazhab sepakat selain Maliki, bahwa orang yang wajib mengeluarkan zakat tidak boleh memnerikan zakatnya kepada kedua orang tuanya, kakek neneknya, anakanaknya dan putra-putra mereka (cucu), juga pada istrinya. Maliki justru membolehkan memberikannya kepada kakek dan neneknya, dan juga pada anak keturunannya, karena memberikan nafkah kepada mereka tidak wajib, menurut Maliki. Para ulama mazhab sepakat bahwa zakat itu boleh diberikan kepada saudara-saudaranya, paman dari bapak dan paman dari ibu. Zakat itu hanya tidak boleh diberikan kepada ayah dan anak-anaknya, kalau zakat yang akan diberikan kepada ayah dan anak itu merupakan bagian untuk fakir dan miskin. Tetapi kalau zakat yang diberikan itu bukan termasuk bagian dari yang akan diberikan kepada orang fakir dan miskin, maka bapak dan anaknya boleh menerima zakat atau mengambilnya, misalnya kalau bapak dan anak tersebut menjadi orang yang berjuang (berperang) di jalan Allah, atau termasuk muallaf, atau orang yang banyak hutang untuk menyelesaikan masalah dan memperbaiki serta mendukung pihak yang mempunyai bukti, [138]

atau merupakan amil zakat karena semuanya itu adalah orangorang yang boleh mengambil, baik fakir maupun miskin. Sekalipun begitu, memberikan zakat kepada orang yang dekat (kerabat, famili) yang tidak wajib diberikan nafkah bagi pemberi zakat atas mereka, adalah lebih utama. Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum pemindahan zakat dari sebuah negeri ke negeri yang lain. Hanafi dan Imamiyah: Penduduk negaranya adalah yang lebih utama dan lebih afdhal, kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak yang dianggap lebih utama kalau dipindahkan ke negara lain. Syafi’i dan Maliki: Tidak boleh dipindahkan dari satu negara ke negara lain. Hambali: Zakat itu boleh dipindahkan ke negara lain yang tidak boleh mengqashar shalat (artinya negara yang sangat dekat), tetapi diharamkan memindahkan zakat ke negara lain kalau jaraknya diperbolehkan melakukan qashar. 3. Amil Zakat Semua mazhab berpendapat bahwa orang yang menjadi ‘Amil zakat adalah orang-orang yang bertugas untuk memungut zakat dari masyarakat.

4. Muallaf Orang-orang muallaf yang dibujuk hatinya adalah orangorang yang cenderung menganggap sedekah itu untuk kemaslahatan Islam. Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum mereka itu, apakah masih tetap berlaku atau sudah mansukh (dihapus). Menurut yang mengatakan itu tidak mansukh, apakah yang dibujuk hatinya khusus orang-orang non Islam atau untuk orang-orang Islam yang masih lemah imannya? [139]

Hanafi: Hukum ini berlaku pada permulaan penyebaran Islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalau dalam situasi saat ini dimana Islam sudah kuat, maka hilanglah hukumannya karena sebab-sebabnya sudah tidak ada. Mazhab-mazhab yang lain membahasnya secara panjang lebar tentang terbaginya muallaf itu ke dalam beberapa kelompok, dan alternatif yang dijadikan standar atau rujukan adalah pada satu masalah, yaitu bahwa hukum muallaf tetap tidak dinasakh, sekalipun bagian muallaf tetap diberikan kepada orang Islam dan non Muslim dengan syarat bahwa pemberian itu dapat menjamin dan mendatangkan kemaslahatan, kebaikan kepada Islam dan kaum Muslimin. Rasulullah saw telah memberikan zakat kepada Shafwan bin Umayyah, padahal dia ketika itu masih musyrik, sebagaimana beliau telah memberikan kepada Abu Sufyan dan lain-lainnya, setelah mereka menampakkan diri menganut agama Islam karena mereka sebenarnya takut disiksa, dan mereka sebenarnya menipu kaum Muslimin dan agama Islam. 5. Riqab Menurut Malik, Riqab adalah budak yang akan dimerdekakan oleh penguasa atau tokoh islam yang majikannya muslim. Sedangkan menurut Syafi’i dan hanafi, Riqab adalah budak yang akan menebus diri agar menjadi merdeka. 6. Al-Gharimin Al-Gharimin adalah orang-orang yang mempunyai hutang yang dipergunakan untuk perbuatan yang bukan maksiat. Dan zakat diberikan agar mereka dapat membayar hutang mereka, menurut kesepakatan para ulama mazhab. 7. Sabilillah Orang yang berada di jalan Allah adalah menurut empat mazhab adalah orang-orang yang berpegang secara sukarela untuk membela Islam. Sedangkan menurut Imamiyah yaitu [140]

orang-orang yang berada di jalan Allah secara umum, baik orang yang berperang, orang-orang yang mengurus masjid-masjid, orang-orang yang berdinas di rumah sakit dan sekolah-sekolah, dan semua bentuk kegiatan kemaslahatan umum. 8. Ibnu Sabil Ibnu Sabil adalah orang asing yang menempuh perjalanan ke negeri lain dan sudah tidak punya harta lagi. Zakat boleh diberikan kepadanya sesuai dengan ongkos perjalanan untuk kembali ke negaranya.

E. DISTRIBUSI ZAKAT MENURUT IMAM MADZHAB Pada dasarnya dalam al-Quran, Allah telah menjelaskan tentang sasaran zakat dan mengkhususkannya pada delapan kelompok. Adapun yang menjadi persoalan selanjutnya adalah wajibkah bagi orang yang membagikan zakat, baik si pemilik langsung maupun amil untuk membagikan pada semua sasaran zakat yang delapan dan menyamakan bagian-bagiannya? Imam Nawawi mengatakan bahwanya yakni Imam Syafi'i dan ashabnya telah berpendapat, bahwa apabila yang membagikan zakat itu pemiliknya langsung atau wakilnya, maka hilanglah bagian untuk petugas; dan ia wajib membagikan zakat itu pada tujuh golongan yang lain (apabila semuanya ada) dan apabila tidak, maka wajib diberikan pada semua yang ada saja." Pendapat demikian diiuti pula oleh Ikrimah, Umar bin Abdul Aziz, az-Zuhri dan Daud. Selain itu terdapat pula satu riwayat dari Imam Ahmad yang sesuai dengan pendapat mazhab Syafi'i, bahwa wajib menyamaratakan dan mempersamakan pembagian zakat itu di antara semua golongan. Namun apabila pemilik langsung yang membagikan zakatnya,, maka hilanglah bagian petugas. Inilah pendapat yang dipilih Abu Bakr dari mazhab Hanbali. [141]

Imam Ushbug dari mazhab Maliki setuju dengan pendapat mazhab Syafi'i dalam menyamaratakan semua golongan, sehingga tidak perlu penjelasan lagi dalam memberikan bagian pada mereka. Sedangkan Ibnu Arabi mengatakan bahwasanya para ulama sepakat, dalam hal pendistribusian zakat itu tidak boleh semuanya diberikan kepada petugas, karena hal itu akan merusak tujuan disyariatkannya zakat. Namun jika pemilik harta berwasiat agar zakatnya dibagikan ke golongan tertentu, maka wajib membagikannya pada semua golongan tersebut. Mereka beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari Ziad bin al-Haris as-Suda'i. la berkata: "Saya datang kepada Rasulullah untuk berbaiat, kemudian ada seorang datang dan berkata: "Berilah aku bagian dari sedekah." Rasulullah pun bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak meridhai hukum Nabi dan juga tidak hukum yang lain dalam masalah sedekah. la telah menetapkan hukum-Nya dan membagi ke dalam delapan golongan. Apabila anda termasuk dalam golongan itu, akan kuberi hakmu itu." Berbeda dengan Imam Malik, Abu Hanifah dan golongannya. Mereka tidak mewajibkan pembagian zakat pada semua sasaran. Mereka mengatakan bahwasanya lam (li) pada ayat itu bukan lam tamlik, akan tetapi lamul ajli (lam menunjukkan karena sesuatu), seperti ucapan: pelana ini untuk kuda dan pintu ini untuk rumah. Mereka beralasan dengan firman Allah: ‫عنكُم‬ ِ ‫صدَقَا‬ َّ ‫ِإن ت ُ ْبدُوا ال‬ َ ‫ِي َو ِإن ت ُ ْخفُوهَا َوتُؤْ تُوهَا ْالفُقَ َرآ َء فَ ُه َو َخي ُْرُُ لَّكُ ْم َويُكَف ُِر‬ َ ‫ت فَنِ ِع َّما ه‬ ُ }271{ ُُ‫ير‬ ُ ِ‫سيِئ َاتِكُ ْم َوهللاُ بِ َما ت َ ْع َملونَ َخب‬ َ ‫ِمن‬ “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah [142]

mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS. al-Baqarah [2]: 271 Abu Ubaid telah menerima riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: "Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu, dan sesungguhnya Allah berfirman: "Sesungguhnya sedekahsedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin dan seterusnya," maksudnya agar sedekah itu jangan diberikan kepada yang selain sasaran tersebut. Riwayat seperti itu diterima pula dari Huzaifah. Dari Ibnu Syibah ia berkata: "Yang diberi adalah mereka yang paling berbahagia apabila diberi zakat, paling banyak jumlahnya, dan yang paling menderita." Dari Ibrahim anNakha'i, ia berkata: "Mereka tidak pernah meminta, kecuali dalam keadaan fakir." Imam Sufyan dan ulama Irak (Abu Hanifah dan golongannya) berpendapat, bahwa apabila zakat diberikan kepada salah satu sasaran yang delapan, maka dianggap sah. Ibrahim an-Nakha'i berkata: "Apabila harta zakat itu banyak, bagikanlah pada semua sasaran; tetapi apabila sedikit, berikanlah pada satu sasaran saja." Riwayat seperti itu diterima pula dari Imam Atha. Sedangkan Abu Tsaur mengatakan bahwasanya pada dasarnya masalah pembagian zakat, itu bergantung pada ijtihad penguasa, sehingga sasaran manapun yang menurut penguasa lebih banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya, senantiasa harus didahulukan, di mana pun mereka berada. Rasyid Ridha mengemukakan dalam Taf si r al Manar, Bahwa adanya perbedaan pendapat antara ulama salaf dan ulama-ulama sekarang di beberapa negara dalam masalah ini, menunjukkan bahwa tidak adanya sunah amaliah [143]

di zaman Rasul dalam hal ini yang disepakati, dan tidak pula di zaman Khulafa ar-Rasyidin. Ini menunjukkan pula bahwa mereka memperhatikan kemaslahatan yang harus didahulukan untuk dilakukan, berdasarkan pendapat penguasa, tentang siapa yang lebih berhak menerima, banyak sedikitnya harta sedekah dan harta yang terdapat pada kas negara. Pendapat para ulama yang paling mendekati demi terpeliharanya kemaslahatan adalah pendapat Imam Malik dan Ibrahim an-Nakha'i. Sedangkan yang paling jauh dari kemaslahatan dan juga dari nash adalah pendapat Imam Abu Hanifah,' kecuali apabila harta itu sangat sedikit sekali, sehingga apabila diberikan pada seorang, harta itu akan terasa kemanfaatannya, sedangkan apabila diberikan kepada semua sasaran yang ada, maka harta tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan. Dari paparan pendapat-pendapat ulama madzhaib di atas, dapat penulis tarik benang merah sebagai berikut: 1. Zakat harus dibagikan pada semua mustahik, apabila harta zakat itu banyak dan semua asnaf ada serta mereka sama-sama membutuhkan. 2. Apabila semua mustahik itu ada, maka tidak wajib menyamakan bagian antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain distribusi zakat disesuaikan dengan jumlah masing-masing. 3. Diperbolehkan mendistribusikan semua zakat, tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara` dan tidak tidak merugikan sasaran atau pribadi lain. 4. Hendaknya golongan fakir dan miskin dijadikan sebagai prioritas dalam pendistribusian zakat. Karena memberikan kecukupan kepada mereka, merupakan tujuan utama dari zakat. [144]

5.

6.

Hendaknya dalam menentukan batas tertinggi untuk bagian petugas (amil) adalah 1/8 dari hasil zakat tidak boleh lebih dari itu. Apabila harta zakat itu sedikit, maka pendistribusiannya boleh diberikan pada satu sasaran saja.

F. ZAKAT FITRAH Zakat fitrah juga dinamakan zakat badan. Pembahasan ini akan membicarakan orang yang wajib mengeluarkan zakat, orang yang berhak menerimanya, juga tentang jumlah yang harus dikeluarkan serta waktu pengeluarannya. 1. Orang yang Dibebani Untuk Mengeluarkan Zakat Fitrah Empat mazhab: Zakat fitrah ini diwajibkan kepada setiap orang Islam yang kuat, baik tua maupun muda. Maka bagi wali anak kecil dan orang gila wajib mengeluarkan hartanya serta memberikannya kepada orang fakir. Hanafi: Orang yang mampu adalah orang yang mempunyai harta yang cukup nishab, atau nilainya lebih dari kebutuhannya. Syafi’i, Maliki dan Hambali: Orang yang mampu adalah orang yang mempunyai lebih dalam makanan pokoknya untuk dirinya dan untuk keluarganya pada hari dan malam hari raya, dengan pengecualian kebutuhan tempat tinggal, dan alat-alat yang primer. Maliki menambahkan bahwa orang yang mampu itu adalah orang yang bisa berhutang kalau dia mempunyai harapan untuk membayarnya. Hanafi: Orang mukallaf itu wajib mengeluarkan zakat fitrah, baik untuk dirinya, anaknya yang kecil, maupun anaknya yang sudah besar kalau dia gila. Kalau orang yang berakal, kewajiban zakat fitrah itu tidak bisa dibebankan kepada ayahnya, sebagaimana seorang suami tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk istrinya. [145]

Hambali dan Syafi’i: Orang mukallaf itu wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, dan orang yang harus diberikan nafkahnya, seperti istri, ayah dan anak. Maliki: Seorang mukallaf itu wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, dan untuk orang yang harus diberikan nafkah. Mereka itu adalah dua orang tua yang fakir, dan anakanak lelaki yang tidak mempunyai harta sampai mereka mempunyai kekuatan untuk mencari kerja, juga anak-anak wanita yang fakir sampai mereka bersuami, dan terakhir adalah istri. 2. Jumlah yang Harus Dikeluarkan Para ulama mazhab selain Hanafi sepakat bahwa jumlah yang wajib dikeluarkan untuk setiap orang adalah satu sha’ (satu gantang), baik untuk gandum, kurma, anggur kering, beras, maupun jagung, dan seterusnya yang menjadi kebiasaan makanan pokoknya. Sedangkan Hanafi berpendapat cukup setengah gantang saja untuk satu orang. Adapun ukuran satu gantang diperkirakan 2,5 sampai 3 kg. 3. Waktu Wajibnya Mengeluarkan Zakat Fitrah Hanafi: Waktu yang diwajibkan untuk mengeluarkannya adalah dari terbitnya fajar malam hari raya sampai akhir umur seseorang, karena kewajiban zakat fitrah termasuk kewajiban yang sangat luas waktunya, dan pelaksanaannya juga sah dilakukan dengan mendahulukan ataupun diakhirkan. Hambali: Melaksanakan pemberian zakat fitrah yang terlambat sampai akhir hari raya adalah haram hukumnya. Dan bila dikeluarkan sebelum hari raya atau dua hari sebelumnya dapat pahala, tetapi bila diberikan sebelum hari-hari tersebut tidak mendapat pahala. Syafi’i: Waktu yang diwajibkan untuk mengeluarkannya adalah akhir bulan Ramadhan dan awal bulan syawal, artinya [146]

pada tenggelamnya matahari dan sebelumnya sedikit (dalam jangka waktu dekat) pada akhir bulan Ramadhan. Disunnahkan mengeluarkannya pada awal hari raya, dan diharamkan mengeluarkannya setelah tenggelamnya matahari pada hari pertama (syawal), kecuali kalau ada udzur. Dari Imam Malik ada dua riwayat: Salah satunya mewajibkan mengeluarkan pada tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. 4. Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah Para ulama mazhab sepakat bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah itu adalah orang-orang yang berhak menerima zakat secara umum, yaitu orang-orang yang dijelaskan dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 60, seperti yang dijelaskan di muka. Zakat fitrah itu disunahkan untuk diberikan kepada kerabat (famili) yang dekat dan yang sangat membutuhkannya, kemudian tetangga. Seperti yang dijelaskan hadits berikut: “Tetangga yang berhak menerima zakat adalah lebih berhak untuk menerimanya”. Artinya, tetangga yang termasuk golongan kelompok penerima harus diutamakan untuk diberi. RANGKUMAN Zakat merupakan pokok agama yang sangat penting dan strategis dalam Islam, karena zakat adalah rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Jika shalat berfungsi untuk membentuk kesalihan dari sisi pribadi seperti mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, maka zakat berfungsi membentuk kesalihan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Mislanya memberantas kemiskinan, menumbuhkan rasa kepedulian dan cinta kasih terhadap golongan yang lebih lemah. Para ulama mazhab sepakat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60, seperti berikut: [147]

“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang mempunyai hutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan”. Namun kalau tentang definisi golongan atau kelompok tersebut, semua ulama mazhab mempunyai pendapat yang berbeda. Dalam mendistribusikan harta zakat ulama madzhab berbeda pendapat, namun dapat ditarik benang merah sebagai berikut: 1. Zakat harus dibagikan pada semua mustahik, apabila harta zakat itu banyak dan semua asnaf ada serta mereka sama-sama membutuhkan. 2. Apabila semua mustahik itu ada, maka tidak wajib menyamakan bagian antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain distribusi zakat disesuaikan dengan jumlah masing-masing. 3. Diperbolehkan mendistribusikan semua zakat, tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara` dan tidak tidak merugikan sasaran atau pribadi lain. 4. Hendaknya golongan fakir dan miskin dijadikan sebagai prioritas dalam pendistribusian zakat. Karena memberikan kecukupan kepada mereka, merupakan tujuan utama dari zakat. 5. Hendaknya dalam menentukan batas tertinggi untuk bagian petugas (amil) adalah 1/8 dari hasil zakat tidak boleh lebih dari itu. 6. Apabila harta zakat itu sedikit, maka pendistribusiannya boleh diberikan pada satu sasaran saja.

SUMBER PUSTAKA [148]

• • • • •

al-Jaziri, Abdu ar-Rahman. 1988. al-Fiqhu 'alaa Madzahibi al-Arba'ah. Beirut: Darul Kutub. Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu. Damaskus:Dar al fikr. tt. Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ala Madzhahibul Khomsah, terj. Afif Muhammad dkk, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan urgensi zakat dalam perspektif Islam 2. Jelaskan secara singkat siapa saja yang menjadi mustahik zakat 3. Bagaimana pendapat kamu tentang pola pendistribusian zakat dalam upaya memberdayakan masyarakat miskin? 4. Buatlah contoh ilustrasi penghitungan zakat mal 5. Jelaskan menurut empat madzhab tentang waktu mengeluarkan zakat fitrah dan siapa saja yang mempunyai kewajiban mengeluarkannya? DAFTAR ISTILAH 1. Haul : Satu tahun 2. Nishab : Minimal batasan harta yang sudah harus dizakati 3. Mukalaf : Dewasa 4. Mu’alaf : Orang yang baru masuk islam [149]

5. Gharimin : Orang yang mempunyai banyak hutang 6. Ibnu Sabil : Orang asing yang menempuh perjalanan ke negeri 7. Riqab : Budak

[150]

BAB VIII SOAL-SOAL UJIAN TENGAH SEMSTER

1. 2. 3.

4. 5. 6. 7.

Jelaskan secara singkat pengertian fiqih menurut para ulama baik secara etimologi maupun istilah. Jelaskan secara singkat perkembangan fiqih. Pada dasarnya fiqih itu bersifat dinamis, bagaimana kamu menyikapi perbedaan yang ada dalam masalah fiqih sehingga kedinamisan fiqih bisa diaplikasikan untuk masa sekarang. Jelaskan secara singkat pengertian ushul menurut para ulama baik secara etimologi maupun istilah. Jelaskan secara singkat perkembangan ushul fiqh. Jelaskan aliran-aliran ushul fiqh yang kamu ketahui Jelaskan isi kandungan hadits Muad bin Jabal berikut: َ َ‫ لَ َّما بَع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ‫ث ُمعَاذًا إِلَى ا ْليَ َم ِن‬ ِ َّ ‫ أ َ َّن َرسُو َل‬: ‫ع ْن ُمعَا ٍذ‬ َ َ َ : ‫ قَا َل‬.‫َّللا‬ ‫ي‬ ‫ك‬ : ُ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫قَا‬ َ ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫ضى ِب ِكت َا‬ ِ ‫ أ َ ْق‬: ‫ قَا َل‬.‫ضا ٌء؟‬ َ َ‫ض لَكَ ق‬ َ ‫ضى ِإذَا‬ ِ ‫ْف ت َ ْق‬ َ ‫ع َر‬ َ َ ْ َ َّ َ ْ ْ ‫صلى هللا عليه‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ضى بِسُن ِة َرسُو ِل‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫فَإِن ل ْم ت َِجدهُ فِى ِكت َا‬ ِ ‫ أق‬: ‫َّللا؟ قا َل‬ ْ َ ُ .‫ أجْ ت َ ِهدُ بِ َرأيِى الَ آلو‬: ‫قَا َل‬.. ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدْهُ فِى سُنَّ ِة َرسُو ِل‬: ‫ قَا َل‬.-‫وسلم‬ َّ َّ َِّ ‫سو ِل‬ ‫َّللا‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ َ‫ق‬ ‫ف‬ ‫و‬ ‫ِى‬ ‫ذ‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫َّلل‬ ُ َ َ ُ َ ِ َّ ُ‫ ا ْل َح ْمد‬: ‫صد ِْرى َوقَا َل‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫ ف‬: ‫قَا َل‬ َ ‫ب ِب َي ِد ِه فِى‬ َ .‫َّللا‬ ِ َّ ‫ضى َرسُو َل‬ ِ ‫ِل َما ي ُْر‬

8. 9.

Jelaskan urgensi taharah dalam perspektif Islam Tuliskan Al-Quran surat al-Maidah ayat 6 dan perbedaan pendapat para imam madzhab dalam menentukan rukun dan batal wudhu. 10. Tuliskan niat tayamum dan mandi wajib yang kamu ketahui 11. Jelaskan pendapat para imam madzhab tentang usia awal dan terakhir haid serta lamanya waktu haid 12. Buatlah skema/ tabel yang menjelaskan tentang rukun shalat menurut empat madzhab [151]

13. Buatlah skema/ tabel yang menjelaskan tentang hal-hal yang membatalkan shalat menurut empat madzhab 14. Tuliskan hukum membaca basmalah dan al-fatiha dalam shalat menurut empat madzhab 15. Tuliskan bacaan shalat (yang biasa dilakukan) dari mulai takbiratul ihram sampai salam secara lengkap 16. Buatlah teks khutbah jumat ke-1 dan ke-2 secara lengkap. 17. Tuliskan bacaan shalat jenazah secara lengkap dari mulai takbiratul ihram sampai salam 18. Jelaskan bagaimana hukum menyalatkan orang meninggal yang masih mempunyai hutang 19. Bagaimana hukum berziarah kubur, jelaskan! 20. Jelaskan urgensi zakat dalam perspektif Islam 21. Jelaskan secara singkat siapa saja yang menjadi mustahik zakat 22. Bagaimana pendapat kamu tentang pola pendistribusian zakat dalam upaya memberdayakan masyarakat miskin? 23. Buatlah contoh ilustrasi penghitungan zakat mal 24. Jelaskan menurut empat madzhab tentang waktu mengeluarkan zakat fitrah dan siapa saja yang mempunyai kewajiban mengeluarkannya?

[152]

BAB IX PUASA

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang hukum-hukum puasa beserta ruang lingkupnya dalam perspektif empat madzhab.

A. ORANG-ORANG YANG TIDAK PUASA Berpuasa pada bulan Ramdhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Banyak dalil baik dari Alquran maupun hadis yang menunjukan tentang hal tersebut. Sehingga orang yang mengingkarinya berarti telah keluar dari Islam, karena ia seperti shalat, yaitu ditetapkan dengan keharusan. Dan ketetapan itu diketahui baik oleh yang bodoh maupun orang yang ‘alim dewasa maupun yang anak-anak. Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah. Puasa merupakan fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf, dan tak seorang pun dibolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebabsebab seperti berikut: a. Haid atau nifas Para ulama sepakat, bahwa bila seorang wanita haid atau nifas, maka puasanya tidak sah. b. Sakit Dalam hal ini ulama madzhab berbeda pendapat, yakni Imamiyah: Seorang yang ditimpa suatu penyakit tidak boleh berpuasa, begitu pula jika akan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah, atau akan memperlambat kesembuhan, karena sakit itu berbahaya, dan yang membahayakan diharamkan. Melakukan ibadah itu dilarang bila menimbulkan bahaya bagi dirinya, dan bila terpaksa berpuasa dalam keadaan sakit, maka [153]

puasanya tidak sah. Untuk mengetahui apakah ia (orang yang berpuasa) itu sakit, atau penyakitnya akan bertambah, cukup baginya mempergunakan perkiraan sendiri. Kalau dirinya sangat lemah, bukan menjadi sebab dibolehkannya berbuka, selama kelemahan itu sudah biasa bagi dirinya, karena yang menjadi sebab diharuskannya (kewajibannya) berbuka adalah sakit itu sendiri, bukan kelemahan, keletihan dan kelelahan. Bagaimana beban itu harus ditanggung,sedangkan di dalamnya mengandung kesukaran?. Empat madzhab: Kalau orang yang berpuasa itu sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu akan menambah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, maka bila suka berpuasalah, dan bila tidak, berbukalah, tetapi tidak ada ketentuan (keharusan) berbuka baginya, karena berbuka itu merupakan rukhshah (keringanan), bukan keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi kalau menurut perkiraannya sendiri bahwa dengan berpuasa itu akan menimbulkan bahaya, atau akan membahayakan salah satu anggota inderanya (tubuhnya), maka dia harus berbuka, dan bila terus berpuasa, puasanya tidak sah. c. Wanita hamil yang hampir melahirkan, dan wanita yang sedang menyusui. Empat madzhab; Kalau wanita yang menyusui atau yang hamil, khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka sah puasanya, namun boleh baginya untuk berbuka. Tetapi bila dia berbuka maka dia harus mengqadha (menggantinya). Begitulan ketetapan mereka secara sepakat. Namun, dalam persoalan fidyah (kifarat) mereka berbeda pendapat. Hanafi: Tidak diwajibkan secara mutlak. Maliki: Hanya diwajibkan bagi wanita yang menyusui, bukan yang hamil. Hambali dan Syafi’i: Setiap wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah, bila hanya khawatir bagi anak-anaknya saja, tetapi bila khawatir terhadap dirinya dan [154]

anaknya secara bersamaan, maka dia harus mengqadha (menggantinya), tanpa membayar fidyah. Membayar fidyah adalah mengeluarkan satu mud (sama dengan 800 gram gandum atau sejenisnya) setiap hari, dan setiap mud diberikannya kepada satu orang miskin. d. Perjalanan Jauh Perjalanan yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibolehkan melakukan shalat qashar, seperti yang telah dibicarakan oleh setiap madzhab, tetapi empat madzhab menambahkan satu syarat lagi, yaitu: Perjalanan iru harus berangkat sebelum terbitnya fajar, sampai menempuh jarak dibolehkannya melakukan shalat qashar. Namun bila perjalanan itu berangkat setelah terbitnya fajar, maka diharamkan untuk berbuka. Dan kalau berbuka, maka ia harus mengqadha (menggantinya) tapi tidak perlu membayar kifarat. Syafi’i menambahkan satu syarat lagi, yaitu: Bukan seorang musafir yang sudah biasa melakukan perjalanan, seperti seorang yang mencari penyewa. Kalau bagi orang yang kerjanya memang selalu mengadakan perjalanan, ia tidak mempunyai hak untuk berbuka. Berbuka dalam perjalanan menurut mereka adalah rukhshah (keringanan), bukan keharusan. Maka bagi seorang musafir juga memnuhi syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih. Kalau suka, boleh berpuasa, dan kalau tidak, boleh berbuka. Hanya kita harus mengetahui bahwa Hanafi mempunyai pendapat lain, yaitu: Bahwa shalat qashar dalam perjalanan itu merupakan suatu keharusan bukan merupakan rukhshah. e. Mempunyai penyakit sangat haus Semua ulama madzhab sepakat bahwa bagi orang yang mempunyai penyakit sangat kehausan boleh berbuka, dan kalu ia kuat mengqadhanya (menggantinya) di kemudian hari, maka [155]

ia wajib menggantinya, tetapi tidak perlu membayar fidyah, menurut empat madzhab. Kalau sangat lapar mereka berbeda pendapat, apakah ia termasuk salah satu yang dibolehkan berbuka, seperti rasa haus? Empat madzhab: Lapar dan haus itu sama saja, semuanya sama-sama dapat membolehkan berbuka. f. Orang tua Orang tua renta, baik lelaki maupun wanita, yang mendapatkan kesulitan dan kesukaran, serta tidak kuat lagi berpuasa, dia mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk berbuka, hanya harus membayar fidyah setiap hari dengan memberikan makanan pada orang miskin. Begitu juga orang skit yang tidak ada harapan sembuh sepanjang tahun. Hukum ini disepakati oleh semua ulama madzhab, kecuali Hambali, ia berpendapat, bahwa bagi orang tua renta dan orang sakit tersebut, hanya disunnahkan untuk membayar fidyah, tidak diwajibkan.

B. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA Yang membatalkan puasa adalah beberapa perkara yang wajib ditahannya, dari terbitnya fajar sampai Mghrib, yaitu: 1. Makan dan minum dengan sengaja Makan dan mium dengan sengaja itu dapat membatalkan puasa. Dan bagi pelakunya wajib mengqadhanya, menurut semua ulama madzhab. Tetapi mereka bebeda dalam menetapkan wajibnya membayar kifarat. Hanafi: Mewajibkan membayar kifarat. Syafi’i dan Hambali: Tidak mewajibkan. Tetapi bagi orang yang makan dan minum dengan lupa, maka tidak harus mengqadhanya, dan tidak pula membayar kifarat, hanya Maliki tetap mewajibkan mengqadhanya (menggantinya) saja. (Merokok, yang biasa diisap manusia adalah termasuk dalam pengertian minum). [156]

2.

Bersetubuh dengan sengaja Bersetubuh dengan sengaja termasuk hal yang membatalkan puasa dan bagi yang melakukannya wajib mengqadha dan membayar kifarat, menurut semua ulama madzhab. Membayar kifarat adalah memerdekakan budak, dan bila tidak mendapatkannya, maka ia harus bepuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka dia harus memberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin. Kifarat itu boleh dipilih, menurut Maliki. Maksudnya seorang mukallaf diperbolehkan untuk memilih salah satu dari: Memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan. Tetapi menurut Syafi’i dan Hambali serta Hanafi: Harus secara tertib. Maksudnya, pertama harus memerdekakan budak, bila tidak mampu hendaklah berpuasa, bila tidak mampu juga hendaklah memberi makan. Tetapi kalau melakukan persetubuhan dengan lupa, maka puasanya tidak batal, menurut Hanafi dan Syafi’i. Namun menurut Hambali dan Maliki tetap membatalkan. Istimma’ Yaitu mengeluarkan mani. Ia merusak puasa menurut ulama madzhab secara sepakat, bila dilakukan dengan sengaja, bahkan keluar madzi pun dapat merusak puasa, menurut Hambali. Maksudnya adalah madzi yang keluar karena disebabkan melihat sesuatu yang dapat membangkitkan gairah seks, atau sejenisnya bila dilakukan berulang-ulang. Empat madzhab: Kalau hanya keluar mani wajib mengqadhanya saja, tanpa membayar kifarat. 3.

4.

Muntah dengan sengaja [157]

Ia dapat merusak puasa. Menurut Syafi’i dan Maliki: Wajib mengqadhanya. Tetapi menurut Hanafi: Orang yang muntah tidak membatalkan puasa, kecuali kalau muntahnya itu memenuhi mulut. Hambali ada dua riwayat, mereka sepakat bahwa muntah dengan terpaksa tidak membatalkan puasa. 5.

Berbekam (bercaduk) Hambali berpendapat bahwa bahwa yang mencaduk (membekam) dan yang dicaduk (dibekam) puasanya sama-sama batal. 6.

Disuntik dengan yang cair. Ia dapat membatalkan (merusak) puasa. Dan bagi yang disuntik, wajib mengqadha (menggantinya), begitulah menurut ulama madzhab secara sepakat. 7.

Bercelak Bercelak juga dapat membatalkan puasa, begitu menurut Maliki. Dengan syarat dia melakukannya/ bercelak pada waktu siang, dan dia merasakan rasa celak itu sampai ke kerongkongan. 8.

Memutuskan (membatalkan) niat puasa. Kalau orang yang berpuasa berniat untuk berbuka, kemudian dia berbekam (bercaduk), maka puasanya batal, menurut Hambali, tetapi menurut madzhab-madzhab yang lain, tidak batal.

RANGKUMAN Berpuasa pada bulan Ramdhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Pada dasarnya semua umat islam berkewajiban melakukan puasa di bulan Ramadhan, namun ada beberapa kelompok yang diperbolehkan untuk tidak puasa yaitu: wanita haid atau nifas, orang sakit, Wanita hamil [158]

yang hampir melahirkan, dan wanita yang sedang menyusui, perjalanan jauh, mempunyai penyakit sangat haus, dan orang yang sudah tua renta. Secara umum hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut: Makan dan minum dengan sengaja, Bersetubuh dengan sengaja, Istimma’ (mengeluarkan mani), muntah dengan sengaja. SUMBER PUSTAKA • al-Jaziri, Abdu ar-Rahman. 1988. al-Fiqhu 'alaa Madzahibi al-Arba'ah. Beirut: Darul Kutub. • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu. Damaskus:Dar al fikr. tt. • Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 • Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ala Madzhahibul Khomsah, terj. Afif Muhammad dkk, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996. LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan secara singkat hal-hal yang membatalkan puasa menurut empat madzhab 2. Tuliskan dalil dari Al-Quran dan hadis beserta artinya tentang kewajiban puasa Ramadhan 3. Bagaimana posisi orang yang marah sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, jelaskan. 4. Jelaskan hikmah puasa dalam perspektif kesehatan DAFTAR ISTILAH 1. Rukhshah : Keringanan [159]

2. Mukalaf : Orang yang sudah dewasa 3. Istimma’ : Mengeluarkan mani 4. Kifarat : Tebusan/ denda

[160]

BAB X MUNAKAHAT

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang hukum-hukum munakahat beserta ruang lingkupnya dalam perspektif empat madzhab.

1. Akad Nikah Para ulama madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. Para ulama madzhab juga sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan menggunakan redaksi “ ُ‫(” زَ َّو ْجت‬aku mengawinkan) atau “ ُ‫( ” أ َ ْن َك ْحت‬aku menikahkan) dari pihak yang dilamar atay orang yang mewakilinya dan redaksi qabiltu (aku terima) atau radhitu (aku setuju) dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya. 2. Saksi Akad Nikah Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang lakilaki dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Namun mereka berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah. Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa: Perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki, muslim dan adil. Sedangkan Maliki mengatakan: Saksi hukumnya tidak wajib dalam akad, [161]

tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya (dukhul). Kalau akad dilakukan tanpa seorang saksi pun, akad itu dipandang sah, tetapi bila suami bermaksud mencampuri istri, dia harus mendatangkan dua orang saksi. Apabila dia mencampuri istrinya tanpa ada saksi, akadnya harus dibatalkan secara paksa, dan pembatalan akad ini sama kedudukannya dengan talak ba’in. 3. Wali Nikah Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri. Pembahasan mengenai hal ini meliputi masalah-masalah berikut: 4. Wanita yang Baligh dan Berakal Sehat Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat: Jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuannya. Sementara itu, Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsli. Tetapi bila dia memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, [162]

maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar mitsli, qadhi boleh diminta membatalkan akadnya bila mahar mitsli tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya. 5. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi Untuk sahnya suatu akad nikah, disyaratkan agar tidak ada larangan-larangan pada diri wanita tersebut untuk dinikahi. Artinya, boleh dilakukan akad nikah terhadp wanita tersebut. Larangan-larangan itu ada dua bagian: Karena hubungan nasab dan karena sebab (yang lain). Larangan yang pertama ada tujuh macam, dan itu menyebabkan keharaman untuk selamalamanya. Sedangkan yang kedua ada sepuluh macam, yang sebagian menyebabkan keharaman untuk selamanya, dan sebagian lagi hanya bersifat sementara. a. Larangan karena nasab: Para ulama madzhab sepakat bahwa wanita-wanita tersebut di bawah ini haram dikawini karena hubungan nasabnya: 1. Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu. 2. Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan, hingga keturunan di bawahnya. 3. Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah dan seibu. 4. Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ayah, dan seterusnya. 5. Saudara perempuan ibu, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ibu, dan seterusnya. 6. Anak-anak perempuan saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya. [163]

7. Anak-anak perempuan keturunan di bawahnya

saudara

perempuan

hingga

Dalil yang dijadikan pijakan untuk itu adalah: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anakanakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan ... “ [QS. 4:23] b. Karena ikatan perkawinan (mushaharah) Mushaharah adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dengan itu menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu mencakup hal-hal berikut ini: 1. Istri ayah (mertua), seluruh madzhab sepakat bahwa istri ayah haram dinikahi oleh anak ke bawah, semata-mata karena adanya akad nikah, baik sudah dicampuri atau belum. Dalilnya adalah firman Allah berikut ini: ⬧⧫ ⧫ ❑⬧⬧ ◆ →⧫⧫◆ “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” [QS. 4:22] 2. Istri anak (menantu), seluruh madzhab sependapat bahwa istri anak laki-laki haram dikawini oleh ayah ke atas, semata-mata karena akad nikah. Dalilnya adalah firman Allah di bawah ini: ◼◆ → “(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)” [QS. 4:23] [164]

3. Ibu Istri, seluruh madzhab sepakat bahwa ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas adalah haram dikawini hanya semata-mata adanya akad nikah dengan anak perempuannya, sekalipun belum dicampuri, berdasar firman Allah yang berbunyi: →◆ ... ....   “... (dan diharamkan bagimu) ibu-ibu isterimu (mertua)” [QS. 4:23] 4. Anak tiri, seluruh madzhab sepakat bahwa anak perempuan istri (anak perempuan tiri) haram dinikahi semata-mata karena adanya akad nikah. Dia boleh dinikahi sepanjang ibunya belum dicampuri, dipandang dan disentuh dengan birahi, berdasar firman Allah yang berbunyi:  →⧫◆◆  →❑→    ...   “ ...dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri” [QS. 4:23] Kalimat yang berbunyi, “yang ada dalam pemeliharaanmu,” semata-mata menunjukkan kelaziman (lazimnya anak perempuan tiri itu tinggal bersama-sama ibunya di rumah suami ibunya itu), dan semua madzhab juga sepakat bahwa, seseorang haram mengawini anak perempuan dari wanita yang melakukan akad dengan dan telah pula dicampuri oleh dirinya, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal itu, manakala dia telah melakukan akad dengan wanita tersebut tetapi belum mencampurinya, namun sudah melihat dan menyetubuhinya dengan birahi. Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa keharaman hanya terjadi setelah dicampuri. [165]

Menyentuh, memandang dengan birahi dan sebagainya tidak berpengaruh. Sementara itu Hanafi dan Maliki sependapat bahwa menyentuh dan melihat yang disertai birahi menyebabkan keharaman, persis seperti mencampuri. Semua madzhab juga sepakat bahwa wath’i syubhat (mencampuri karena keliru) mempunyai hukum yang sama dengan perkawinan yang sah dalam kaitannya dengan ketentuan nasab dan larangan kawin karena mushaharah. Yang dimaksud dengan wath’i syubhat adalah manakala seorang laki-laki dan wanita melakukan hubungan seksual karena mereka berdua, karena satu dan lain sebab, mengira sebagai suami istri, kemudian ternyata bahwa mereka berdua bukan suami istri. Hubungan seksual itu terjadi karena kekeliruan semata-mata. Mereka berdua segera harus dipisahkan. Wanita tersebut harus menjalani ‘iddah, dan si laki-laki wajib membayar mahar mitsli. Di samping itu, berlaku pula ketentuan nasab dan larangan kawin karena mushaharah, tidak saling mewarisi, dan tidak pula ada hak nafkah bagi si wanita. c. Menyatukan dua wanita “muhrim” sebagai istri Seluruh madzhab sependapat dalam hal keharaman mengawini dua wanita bersaudara sekaligus berdasar firman Allah yang berbunyi: ✓⧫ ❑➔☺⬧ ◆ ✓⧫ “(dan haram bagimu menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” [QS. 4: 23] Keempat madzhab sepakat tentang ketidakbolehan menyatukan seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah sebagai istri, dan antara seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya. Sebab, dikalangan mereka berlaku hukum kulli (umum), yaitu ketidakbolehan menyatukan dua orang yang kalau [166]

seandainya salah satu diantara kedua orang itu laki-laki, dia haram mengawini yang perempuan. Artinya, kalau kita andaikan bibi si wanita itu adalah pamannya (dari pihak ayah) atau keponakan perempuannya adalah keponakan laki-lakinya (dari saudara laki-laki). Pasti dia tidak boleh mengawininya. Demikian pula halnya bila dianalogikan dengan bibi dari pihak ibu dan anak perempuan dari saudara perempuan. 6. Pernikahan Beda Agama Semua madzhab sepakat bahwa, laki-laki dan perempuan muslim tidak boleh kawin dengan orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci atau yang dekat dengan kitab suci (syibh kitab). Orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah para penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah binatang, dan benda-benda lain yang mereka puja, dan setiap orang zindik yang tidak percaya kepada Allah. Keempat madzhab sepakat bahwa orang-orang yang memiliki kitab yang dekat dengan kitab suic (syibh kitab) seperti orang-orang majusi, tidak boleh dikawini. Yang dimaksud syibh kitab, misalnya anggapan bahwa orang-orang majusi itu mempunyai kitab suci yang kemudian mereka ubah, sehingga mereka menjadi orang-orang seperti yang ada sekarang ini, sedangkan kitab suci mereka yang asli sudah lenyap. Keempat madzhab juga sepakat bahwa seorang lakilaki muslim boleh mengawini wanita ahli kitab, yakni wanitawanita Yahudi dan Nasrani, dan tidak sebaliknya. Seluruh madzhab sepakat (kecuali Maliki), bahwa perkawinan yang dielenggarakan oleh orang-orang non-muslim adalah sah seluruhnya, sepanjang perkawinan itu dilaksanakan sesuai dengan ajaran yang mereka yakini. Kita, kaum muslimin, juga memberlakukan hak-hak yang ditimbulkannya tanpa membedakan apakah mereka itu ahli kitab atau bukan, bahkan mencakup pula orang-orang yang menghalalkan perkawinan sesama muhrimnya. [167]

Maliki mengatakan bahwa, perkawinan yang diselenggarakan oleh orang-orang non-muslim tidak sah. Sebab, menurut madzhab ini, kalau perkawinan mereka itu diterapkan bagi orang-orang muslim pasti tidak sah hukumnya. Maka demikian pula jika terjadi pada mereka. Hal seperti ini rasanya kurang baik, sebab hal itu akan mengakibatkan rasa tidak senang orang-orang non-muslim terhadap orang-orang Islam, yang pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya kekacauan dan centang-perentangnya sistem pergaulan. Dalam hadis Nabi Saw. ditegaskan bahwa: ‫َم ْن دَانَ بِدَي ِْن قَ ْو ٍم لَ ِز َمتْ ُه ْم أَحْ كَا ُم ُه ْم‬ “Barangsiapa yang memeluk suatu agama suatu kaum, maka dia harus dikenai oleh hukum-hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin itu ... berlakukanlah atas mereka hukum-hukum yang mereka berlakukan atas diri mereka”. 7. Mahar Mahar adalah satu di antara hak istri yang didasarkan atas kitabullah, Sunah Rasul dan Ijma’ kaum muslimin. Mahar ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsli a. Mahar Musamma Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. Para ulama madzhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut karena adanya firman Allah yang berbunyi: ◆ ◆  ⚫ ⧫ ⬧◆◆ ⚫ ⬧ ⬧ ◼ ...   ➔⬧ “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah memberikan kepada [168]

seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali” [QS. 4:20] Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham. Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi pencampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau memfaskh akad, lalu membayar separuh mahar musamma. Syarat Mahar Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global semisal sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh madzhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa akadnya tidak sah dan di faskh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsli. [169]

Syarat lain bagi mahar adalah, hendaknya yang dijadikan mahar itu barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam. Jadi, kalau mahar musamma itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak bisa dimiliki secara sah, maka Maliki mengatakan bahwa bila belum terjadi percampuran, akadnya tidak sah. Tetapi bila telah terjadi percampuran, maka akadnya dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar mistli. Sementara itu, Syafi’i, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa, akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar mitsli. Kalau mahar musamma tersebut berupa barang rampasan, misalnya si suami memberi mahar berupa perabot rumah tangga milik ayahnya atau milik orang lain, maka Maliki berpendapat bahwa, kalau perabot itu barang yang dikenal oleh mereka berdua, sedangkan kedua-duanya sudah dewasa, maka akadnay dinyatakan tidak sah dan difaskh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsli. Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa akad tetap sah dan si istri berhak atas mahar mitsli. Sementara itu, Hanafi berpendapat bahwa, bagaimanapun akad tetap sah. Akan halnya mahar, maka kalau si pemiliknya memberikan barangnya tersebut, barang itu pula lah yang menjadi mahar musammanya. Tetapi bila dia tidak memberikannya, maka si istri berhak memperoleh penganti berupa barang yang sama. Sebab, dalam kasus seperti ini, mahar musamma merupakan barang yang bisa (sah) dimiliki, sedangkan ketidaksahannya adalah dari sisi penetapannya. Berbeda dengan kahmr dan babi, kedua barang itu tidak halal dimiliki.

b. Mahar Mitsli [170]

Tentang mahar mitsli ini, ada beberapa situasi yang diberlakukan padanya yaitu: 1) Para ulama madzhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, sebagimana halnya dalam jual beli, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Kerena itu, akad nikah boleh dilakukan tenpa (menyebut) mahar, dan bila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar mitsli. Kalau kemudian si istri ditalak sebelum dicampuri, maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut’ah, yaitu pemberian sukarela dari suami bisa dalm bentu pakaian, cincin, dan sebagainya. Kalau kedua belah pihak setuju dengan pemberian dalam bentuk barang tersebut, maka barang itulah yang menjadi mut’ahnya. Tetapi kalau tidak diperoleh kesepakatan, maka hakimlah yang menentukannya. Akan halnya apakah berduaan dalam kamar itu hukumnya sama dengan mencampuri, di belakang akan saya kemukakan uraian tentang itu. Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa manakala salah satu diantara mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka ditetapkan bahwa si istri berhak atas mahar mitsli secara penuh sebagaimana ketentuan yang berlaku bila suami telah mencampuri istrinya. Sementara itu, Maliki mengatakan bahwa tidak ada keharusan membayar mahar manakala salah seorang diantara kedua pasangan itu meninggal dunia sebelum terjadi percampuran. 2) Apabila akad dilaksanakan dengan mahar yang tidak sah dimiliki, semisal khamr dan babi, seperti telah dijelaskan sebelumnya. 3) Percampuran syubhat, secara sepakat mengharuskan dibayarkannya mahar mitsli. Yang dimaksud dengan mencampuri karena syubhat adalah mencampuri seorang wanita yang sebenarnya tidak berhak dicampuri karena ketidak tahuan pelakunya bahwa pasangannya itu tidak [171]

berhak dicampuri, misalnya ada seorang laki-laki yang mengawini seorang wanita yang tidak dia ketahui bahwa wanita tersebut adalah saudara perempuan sesusuannya, dan baru diketahui kemudian. Atau mencampurinya hanya karena wanita tersebut mewakilkan perkawinannya kepada orang lain dan si laki-laki pun melakukan hal yang sama, karena menganggap bahwa perwakilan semata, dapat menghalalkan percampuran. Dengan kata lain yang disebut syubhat itu adalah terjadinya percampuran diluar pernikahan yang sah, disebabkan oleh sesuatu hal yang dimaafkan oleh syar’i, yang melepaskannya dari hukuman had. Itu sebabnya, maka Imamiyah memasukkan persebadanan orang gila, orang tidur dan orang mabuk, dalam kategori percampuran karena syubhat. 4) Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa barangsiapa yang memperkosa seorang wanita, maka dia harus membayar mahar mitsli, tetapi bila wanita tersebut bersedia melakukannya (dengan rela), maka laki-laki tersebut tidak harus membayar mahar apa pun. 5) Apabila seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan syarat tanpa mahar, maka menurut kesepakatan seluruh madzhab kecuali Maliki, akad tersebut hukumnya sah. Sementara itu Maliki mengatakan bahwa, akad ktersebut harus dibatalkan sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah terjadi percampuran, akad tersebut dinyatakan sah apabila dengan mahar mitsli. Hanafi mengatakan bahwa, apabila terjadi suatu akad yang tidak sah, dan disebutkan bersamanya mahar musamma lalu terjadi percampuran, maka kalau mahar yang disebutkan kurang dari mahal mitsli, maka hak si wanita adalah mahar musamma. Sebaba wanita tersebut telah rela dengan itu. Tetapi kalau mahar yang disebutkan tersebut lebih besar nilainya dibanding mahar mitsli, maka haknya adalah mahar mitsli. Sebab, dia tidak berhak lebih dari itu. [172]

Menurut Hanafi, mahar mitsli ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Maliki, mahar tersebut ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi’i menganalogikannya dengan istri dari anggota keluarga, yaitu istri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan, dan seterusnya. Bagi Hambali, hakim harus menentukan mahar mitsli dengan menganalogikannya pada wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi. RANGKUMAN Para ulama madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali. Untuk sahnya suatu akad nikah, disyaratkan agar tidak ada larangan-larangan pada diri wanita tersebut untuk dinikahi. Artinya, boleh dilakukan akad nikah terhadp wanita tersebut. Larangan-larangan itu ada dua bagian: Karena hubungan nasab dan karena sebab (yang lain). Larangan yang pertama ada tujuh macam, dan itu menyebabkan keharaman untuk selamalamanya. Sedangkan yang kedua ada sepuluh macam, yang sebagian menyebabkan keharaman untuk selamanya, dan sebagian lagi hanya bersifat sementara. SUMBER PUSTAKA • al-Jaziri, Abdu ar-Rahman. 1988. al-Fiqhu 'alaa Madzahibi al-Arba'ah. Beirut: Darul Kutub. • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu. Damaskus:Dar al fikr. tt. [173]

• •

Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ala Madzhahibul Khomsah, terj. Afif Muhammad dkk, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan hukum pernikahan dalam perspektif Islam 2. Jelaskan kedudukan wali dan saksi menurut empat madzhab 3. Jelaskan hukum pernikahan beda agama menurut imam madzhab 4. Tuliskan dalil beserta artinya yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi 5. Tuliskan teks akad nikah beserta artinya secara lengkap DAFTAR ISTILAH 1. Dukhul : Mencampuri istri 2. Mushaharah : hubungan status antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dengan itu menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan. 3. Fasakh : Rusak 4. Nikah mut’ah : Nikah kontrak

[174]

BAB XI HAJI

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang hukum-hukum haji beserta tata cara pelaksanaanya.

A. Pentingnya Ibadah Haji Ibadah dalam agama Islam, yang dijadikan obyek adalah ibadahnya itu sendiri. Tetapi hal ini tidak menjadi penghalang apabila dalam suatu ibadah ada manfaat-manfaat lain yang bertalian dengan masalah keduniaan, terutama dalam ibadah haji ini. Masalah keduniaan dan masalah agama, menurut pandangan Islam saling melengkapi. Oleh karena itu, Allah berfirman: “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka”. (QS. 22 : 28). Selain mengandung makna ruhani ibadah haji juga merupakan muktamar Islam yang diadakan setiap tahun, sebagai pendorong terhadap kaum muslimin agar bersatu, saling tolong menolong dan saling kenal mengenal. Sebagai buktinya ialah semua syiar-syiar ibadah haji dilakukan secara kolektif, mencakup semua kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru dunia. Dan setiap perkumpulan yang didasari dengan takwa dan taat kepada Allah, tentu lebih utama dan lebih berbakti daripada perkumpulan orang-orang lainnya. Keuntungan bersama yang dihasilkan dari ibadah haji ini bermacam-macam dan mencakup segi-segi politik, ekonomi dan sosial. Dengan berkumpulnya ribuan kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia, yang di antara mereka terdapat ahli-ahli pikir, para ilmuwan dan para ahli politik, membuat ibadah haji ini seolah-olah merupakan muktamar yang besar. Mereka bisa [175]

melakukan tukar pikiran demi kebaikan umat Islam, seperti memusyawarahkan penerapan syariat Islam di negaranya masing-masing, pembangunan di sektor pertanian, industri dan lain sebagainya. Dan bagi tiap-tiap negara Islam yang kaya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap negaranegara Islam lain yang miskin. Ibadah haji juga memperkokoh ukhuwah Islamiyah antara bangsa-bangsa Islam; mengajak saling tolong menolong, dan mengingatkan agar yang kuat membantu yang lemah dan yang kaya membantu yang miskin. B. Pengertian Haji dan Hukum Meninggalkan Haji 1. Pengertian Haji Pengertian haji menurut bahasa adalah al-qashdu artinya menyengaja. Sedangkan menurut pengertian haji menurut istilah syara’ ialah suatu amal ibadah yang dilakukan dengan sengaja mengunjungi Baitullah di Makkah dengan maksud beribadah secara ikhlas mengharapkan keridhaan Allah dengan syarat dan rukun tertentu. Menunaikan ibadah haji adalah melakukan rukun Islam yang kelima, oleh sebab itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam sekali dala, seumur hidup bagi yang mampu melaksanakannya. Adapun dalil yang mewajibkan haji dalam firman Allah Swt yang artinya : “Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampumengadakan perjalanan kesan”. (Ali Imran:97) Ibadah haji wajib dikerjakan dengan segera bagi orang yang sudah memenuhi syarat. Jika seseorang telah memenuhi syarat-syaratnya dan tidak segera menunaikan ibadah haji, maka ia berdosa karena melalaikannya. Haji menurut istilah syara’ ialah menuju Baitullah di kota Makkah untuk maksud ibadah dalam waktu yang tertentu; haji [176]

adalah salah satu rukun Islam yang lima. Telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : ‫وان محمدا رسول هللا وإقام الصالة‬, ‫ شهادة ان ال اله اال هللا‬: ‫بني االسالم على خمس‬ ‫وايتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان( رواه البخارى ومسلم‬ “Islam dibangun atas lima pilar; membaca dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa di bulan Ramadhan (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)”. Allah telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan haji satu kali dalam umurnya, dengan syarat sudah akil baligh, dan mampu menunaikannya. Kewajiban haji telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits Rasul. Haji hanya dilakukan sekali sepanjang umur sesuai dengan sabda Rasulullah berikut ini: ‫ اكل عام يا رسول هللا؟‬: ‫فقال رجل‬, ‫يا ايها الناس قد فرض عليكم الحج فحجوا‬ ‫ لو قلت نعم لوجبت‬: ‫فقال النبي صلى هللا عليه وسلم‬, ‫فسكت النبي حتى قالها ثالثا‬ ‫ولما استطعتم‬ “Wahai umat manusia, telah diwajibkan atas kamu sekalian melakukan haji, oleh karena itu berhajilah kamu”. Salah seorang bertanya : “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Nabi SAW diam, sampai ia mengulangi pertanyaannya tiga kali. Kemudian beliau menjawab: “Seandainya saya mengiakan, maka akan menjadi kewajiban, tetapi kalian tidak akan kuat melakukannya”. Bagian pertama ayat tersebut menunjukkan wajib haji bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah di Makkah. Dan pada bagian kedua, merupakan ancaman keras bagi orang yang meninggalkan haji. Karena, firman Allah : “Barangsiapa mengingkari” dihubungkan dengan kata-kata sebelumnya. Jadi, pengertiannya ialah : barangsiapa yang meninggalkan haji sedangkan kuat untuk melakukannya. Atau bisa juga bagi orang yang tidak meyakini kewajibannya. Adapun pengertian bagian ayat yang terakhir yaitu firman Allah : “Maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari alam semesta”, [177]

menunjukkan kemurkaan Allah bagi orang yang tidak melakukan ibadah haji. Berbicara masalah haji ke Baitullah akan melibatkan kita untuk menceritakan asal-usul dibangunnya Baitullah ini, walaupun secara singkat. Berikut ini kami bahas mengenai kisah itu. 2.

Syarat Wajib dan Syarat Sah Haji a. Islam. b. Balig. Anak yang dewasa tidak wajib menunaikan ibadah haji. c. Berakal. d. Merdeka. e. Mampu. Yang dimaksud mampu (istitha’ah) adalah meliputi 5 hal,yaitu: 1) Memiliki ongkos untuk pergi ke Makkah dan kembali. 2) Ada kendaraan, beik melik pribadi maupun pemerintah swasta. Syarat ini bagi orang yang tinggalnya jauh dari Makkah. 3) Aman selama perjalanan, baik pergi maupun pulang. 4) Sehat jasmani dan rohani. 5) Memiliki pengetahuan tentang peraturan dan hukum haji.

3. Rukun Dan Wajib Haji a. Rukun Haji Yang dimaksud rukun haji ialah bagian-bagian dari pelaksanaan ibadah haji yang harus dilaksanakan selama melaksanakan ibadah haji. Dan apabila ada rukun yang tertinggal, maka ibadah hajinya tidak sah dan wajib mengulangi lagi ibadah hajinya pada tahun yang akan datang. Adapun rukun haji terdiri dari lima bagian:

[178]

1) Ihram, yaitu niat mengerjakan haji dengan memakai pakaian pakaian ihram dan meninggalkan semua yang dilarang atau diharamkan dalam ibadah haji. 2) Wuquf di padang Arafah, yaitu berhenti di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah mulai waktu dzuhur sampai terbit fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah. 3) Thawaf Ifadhah, yaitu mengelilingi Ka’bah tujuh kali keliling dimulai dari hajar aswad sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah. 4) Sa'i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah Thawaf Ifadah 5) Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i. 6) Tertib, yaitu mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal. b. Wajib Haji Yang dimaksud dengan wajib haji ialah bagian-bagian di dalam ibadah haji yang harus dilaksanakan selama menunaikan ibadah haji, dan apabila ada yang tertinggal dapat diganti dengan membayar dam (denda), berupa menyambelih hewan, dan ibadah hajinya tetap sah setelah dibayar damnya. Adapun wajib haji terdiri dari 7 bagian yaitu: 1) Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram. 2) Mabit (bermalam) di Muzdalifah, pada tanggal 9 Zulhijah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina). 3) Melontar Jumrah Aqabah, pada tanggal 10 Zulhijah yaitu dengan cara melontarkan tujuh butir kerikil berturut-turut dengan mengangkat tangan pada setiap melempar kerikil sambil berucap, “Allahu Akbar, Allahummaj ‘alhu hajjan mabruran wa zanban magfura(n)”. Setiap kerikil harus mengenai ke dalam jumrah jurang besar tempat jumrah. [179]

4) Mabit di Mina, pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah). 5) Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah, pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah). 6) Thawaf Wada', yaitu melakukan thawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Mekah. 7) Meninggalkan perbuatan yang dilarang saat ihram. 4. Tingkatan Haji Pelaksanaan haji dan umrah dapat dilaksanakan dengan 3 cara yaitu: a. Haji Ifrad Haji Ifrad adalah ibadah haji secara tersendiri. Jika sudah sampai di Makkah, dia bisa melakukan thawaf qudum (thawaf kedatangan ke tanah suci) lalu melakukan sa'i untuk ibadah haji tanpa mencukur rambut atau memotong kuku. Dia juga tidak perlu ber-tahallul (terlepasnya seseorang dari halangan atau pantangan selama ihram) selama ihram karena posisinya tetap atau telah berihram hingga kemudian ber-tahallul setelah melempar jamrah al-aqabah di hari Idul Adha (10 Dzulhijjah). Jika dia mengakhirkan ibadah sa'i sampai waktu thawaf haji, maka tidak masalah. b. Haji Tamattu’ Haji Tamattu' adalah ibadah yang hanya berniat (berihram) untuk umroh saja di bulan-bulan ibadah haji. Bila sudah sampai di Makkah, dia bisa langsung melakukan thawaf dan sa'i untuk berumrah, mencukur rambut, dan memotong kuku. Ketika tiba hari Tarwiyyah (hari ke-8 bulan Dzulhijjah), dia mulai ihram dengan melakukan haji secara tersendiri dengan seluruh aktifitas ibadah hajinya.

[180]

c. Haji Qiran Haji Qiran adalah ibadah haji dimana seseorang berihram untuk ibadah haji dan umrah secara bersamaan, atau berihram untuk umrah terlebih dahulu kemudian masuk pada ihram ibadah haji. Kegiatan ini dilaksanakan sebelum melakukan thawaf. Orang yang melaksanakan haji qiran sama dengan yang dilaksanakan pada haji Ifrad, hanya saja orang yang melaksanakan haji Qiran berkewajiban membayar dam (denda), sementara haji ifrad tidak ada kewajiban. 5. Larangan Dalam Ibadah Haji Dalam ibadah haji ada larangan-larangan dan apabila larangan itu dilanggar, maka terkena denda tertentu. Laranganlarangan itu ada yang khusus untuk laki-laki dan ada yang khusus perempun dan ada yang berlaku bagi keduanya. a. Larangan Khusus Bagi Laki-laki 1) Memakai pakaian berjahit selama ihram. 2) Memakai tutup kepala sewaktu dalam ihram. 3) Memakai sepatu yang menutupi mata kaki sewaktu dalam masa ihram. b. Larangan Khusus Bagi Perempuan Memakai tutup muka dan sarung tangan sewaktu ihram. Sebagaimana dalam sabda rasulallah SAW: ”Seorang wanita yang sedag berihram tidak boleh memakai tutup muka dan tidak boleh memaki kaos tangan”. (HR. AlBukhari). c. Larangan Bagi Keduanya 1) Memotong dan mencabut kuku. 2) Memotong/mencukur bulu maupun rambut. 3) Memakai wangi-wangian pada badan, pakaian maupun rambut kecuali yang telah dipakai sebelum ihram. 4) Memburu atau membunuh binatang ketika ihram. 5) Mengadakan perkawinan. 6) Bercumbu rayu dengan syahwat atau bersenggama. [181]

7) Memotong/menebang pohon atau mencabut segala ma.cam yang tumbuh ti tanah haram. C. Miqat Haji Miqat adalah tempat khusus yang telah ditentukan Rasulullah Saw. bagi orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji dan umrah. Miqat hanya berlaku bagi seseorang yang melaksanakan ibadah haji/umrah. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, " Tempat-tempat miqat adalah khusus untuk orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah saja, bukan untuk semua orang. Bagi jama'ah Indonesia gelombang I, miqat ihramnya di Bi'r Ali atau Dzulhulaifah; terletak sekitar 20 km dari Makkah atau 450 km dari Madinah. Sedang bagi jama'ah haji atau umrah Indonesia gelombang II, miqat ihramnya bisa dilaksanakan di salah satu dari 3 miqat berikut: 1. Asrama Haji Embarkasi di Tanah Air 2. Di atas pesawat udara pada garis sejajar dengan Qarnul Manazil (sebuah bukit berjarak sekitar 95 km sebelah timur Makkah; atau 3. Di Airport King Abdul Aziz Jeddah. D. Tata Urutan Pelaksanaan Ibadah Haji 1. Ihram dari Miqat Rukun pertama haji adalah ihram. Pengertian ihram menurut istilah syara’ ialah memasuki ibadah haji. Ihram mempunyai tempat-tempt tertentu yang tidak boleh dilewati oleh seseorang yang sedang melakukan ibadah haji, kecuali dalam keadaan yang sudah siap melakukan ibadah haji. Tempat-tempat tersebut dikenal dengan nama miqat. Dan miqat terbagi menjadi dua: miqat zamani dan miqat makani. Miqat Zamani dimulai dari bulan Syawal sampai dengan terbitnya fajar Hari Raya Adha. Miqatmakani berbeda-beda menurut arah orang-orang yang melakukan haji. Orang-orang [182]

yang datang dari Mesir, Syiria, Lebanon dan Maghrib (Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania) miqatnya dari Juhfah(Barangsiapa yang memakai pesawat terbang atau kapal laut, hendaknya ia memakai baju Ihram di kala sampai pada tempat yang sejajar dengan tempat-tepat tersebut, atau bisa juga sejak masih berada dalam lapangan terbang). Dan orang-orang yang datang dari Irak dan dari arah Timur, miqatnya dari Dzatu ‘Irq. (Miqat ahli Madinah dari Dzul Hulaifah, Miqat ahli Yaman dari Yulamlam, Miqat ahli Najd dari Qarn Al-Manazil). Seseorang yang menjalankan haji, apabila telah sampai ke tempat-tempat tersebut, ia harus menanggalkan pakaian yang dijahit seperti baju, celana, sorban, jubbah dan lain sebagainya. Kemudian, ia harus memakai pakaian yang tidak ada jahitannya, dan diharamkan memakai khuf (semacam kaus kaki terbuat dari kulit), kecuali apabila ia tidak mempunyai sandal, tetapi setelah membuang bagian bawahnya. Dan diharamkan pula memakai wewangian (parfum) baik pada pakaian atau di badannya. Haram memotong kuku, dan diharamkan melakukan senggama dengan istri, atau bercumbu rayu dengannya, seperti berciuman, berpeluk-pelukan dan lain sebagainya. Dan diharamkan pula melakukan perbuatan tercela seperti bertengkar dengan teman atau dengan pembantu. Juga diharamkan berburu binatang darat dengan cara membunuh, untuk berburu ikan di laut, hal itu diperbolehkan. 2. Melaksanakan Thawaf. Pelaksanaan Thawaf di Sekeliling Ka’bah; Thawaf ini adalah salah satu rukun haji. Dalam pelaksanaannya terkandung makna ikrar menyembah kepada Allah, taat dan ikhlas menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Juga merupakan peringatan bagi kaum muslimin yang menghadap Ka’bah ketika melakukan shalat. Melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah berarti menghormati lambang pemersatu kaum muslimin sedunia. [183]

Thawaf merupakan salah satu ungkapan rasa cinta terhadap Allah dan rasa ketergantungan diri kepada-Nya. Bagi seorang yang dilanda rasa cinta selalu senang pada apa yang ada kaitannya dengan yang dicintainya, dan Ka’bah adalah Baitullah. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan thawaf berarti sedang mengungkapkan rasa cintanya kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai Ka’bah ini. “Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan bagi orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud”. (QS. 22 : 26). Thawaf di sekeliling Baitullah dilakukan sebanyak tujuh kali dengan syarat-syarat tertentu. 3. Melaksanakan Sa'i dalam Haji Sa’i adalah salah satu rukun haji. Pengertiannya ialah jalan cepat, lebih cepat dari jalan biasa dan lebih lambat dari lari. Cara melakukan sa’i ialah berjalan dari bukit Shafa menuju bukit Marwah sebanyak tujuh kali yang diakhiri di bukit Marwah. Orang pertama yang melakukan sa’i antara dua bukit tersebut ialah ibu Nabi Ismail. Waktu itu, Siti Hajar kebingungan karena anaknya, Nabi Ismail menangis kehausan. Ia mencari air ke sana ke mari untuk minum anaknya. Kesudahannya, Allah memancarkan sebuah mat air untuk mereka berdua. Mata air tersebut kemudian diberi nama Zam-Zam. Hampir saja rasa haus itu akan menghabisi riwayat mereka berdua. Dalam ibadah Sa’i antara Shafa dan Marwah mengandung pengertian memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan, dan memohon ampunan dari seluruh perbuatan dosa. Karena, pada tempat itu Allah telah menghilangkan kesusahan yang menimpa Hajar dan anaknya yang bernama Ismail. 4. Tanggal 8 Dzulhijjah Rombongan Jama’ah Haji [184]

diberangkatkan Menuju Padang Arafah. Tanggal 8 Dzulhijjah disebut (Hari Tarwiyah) dengan amalan-amalan; (1) Pada waktu Dhuha, jamaah haji berihram dari tempat tinggalnya dengan niat akan melaksanakan ibadah haji, ini bagi yang berniat haji tamattu’. Sedangkan bagi yang berniat haji ifrad dan qiron, ia tetap berihram dari awal. (2) Setelah berihram, wajib menjauhi segala larangan ihram; (3) Memperbanyak talbiyah; (4) Bertolak menuju Mina sambil bertalbiyah; (5) Melaksanakan shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh di Mina. Shalat-shalat tersebut dikerjakan di waktunya masing-masing (tanpa dijamak) dan shalat empat raka’at (Zhuhur, Ashar dan Maghrib) diqoshor. 5. Wukuf di padang arafah Yang paling utama bagi seorang jama'ah haji agar melakukan ihram pada tanggal 8 Dzulhijjah. Setelah itu keluar menuju Mina untuk menetap disana dan bermalam hingga malam ke-9 Dzulhijjah. Kemudian pagi harinya pergi ke padang Arafah. Sepatutnya seorang jama'ah yang wuquf di Arafah berada di garis bata-batas wuquf. Hal ini penting karena sebagian dari mereka sering wuquf berada di luar batas-batas wuquf karena berbagai alasan: tidak tahu, hanya ikut-ikutan dan sebagainya. Mereka yang tidak berwuquf di dalam batas-batas quwuf karena sengaja, pelaksanaan hajinya tidak sah. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw. "Ibadah haji itu harus wuquf di Arafah" (HR Al-Bukhari, Muslim, dll) Seluruh Padang Arafah bisa dijadikan sebagai tempat wuquf. Adapun batas waktu wuquf di Arafah dimulai ketika waktu zawal (tergelincirnya matahari atau sekitar waktu Zuhur) pada hari ke-9 Dzulhijjah hingga batas akhir wuquf ketika waktu fajar di hari Idul Adha (hari ke-10 Dzulhijjah). Jika seorang jama'ah belum wuquf hingga terbit fajar di hari ke-10 Dzulhijjah, maka ibadah hajinya sia-sia atau tidak sah. [185]

Wuquf juga merupakan salah satu rukun haji, dan pelaksanaan haji tidak sah tanpa wuquf. Kehadiran seseorang di ‘Arafah harus tepat pada waktunya yang dimulai dari waktu Zhuhur di hari kesembilan bulan DzulHijjah sampai dengan terbitnya fajar hari Nahar (Idul Adha). Pada tempat ini, orang-orang yang melakukan haji banyak berdo’a memohon kepada Tuhan dengan penuh khidmat dan memanjatkan puja dan puji kepadanya. Rasulullah SAW telah bersabda menjelaskan do’a di Arafah ini : ‫خير الدعاء دعاء يوم عرفة( رواه الترمذى‬ “Sebaik-baik do’a ialah do’a di hari ‘Arafah (Hadits riwayat Turmudzi)”. Rasulullah juga telah menjelaskan pahala yang akan diterima oleh kaum muslimin ketika melakukan wuquf di tempat ini pada musim haji : : ‫ما من يوم افضل عند هللا من يوم عرفة ينزل هللا تيارك وتعالى الى السماء فيقول‬ ‫انظروا الى عبادى شعثا غيرا ضاحين أي بار زين للشمس – جاءوا من كل عميق‬ ‫رواه‬. (‫يرجون رحمتى ولم يروا عذابى فلم يرا أكثر عتيقا من النار من يوم عرفة‬ ‫ابن حبان‬ “Tak ada suatu hari pun yang memadai keutamaan hari ‘Arafah di sisi Allah. Allah SWT turun ke langit dunia, lalu berfirman : “Kalian (para malaikat) lihatlah kepada hambahamba-Ku, mereka dalam keadaan tidak teratur penuh dengan debu dan tak mempedulikan sengatan matahari. Sengaja mereka datang dari segala penjuru mengharapkan rahmat-Ku dan menghindar dari siksaan-Ku. Tak pernah ada hari yang di dalamnya banyak orang-orang yang dibebaskan dari neraka seperti hari ‘Arafah (Hadits riwayat Ibnu Hibban)”. Di hari ‘Arafah, sejauh mata memandang tak ada yang dilihat kecuali orang-orang yang sedang beribadah; orang-orang yang memohon ampunan, dan semua mata meneteskan air mata sebagai tanda rasa penyesalan terhadap dosa-dosa yang lalu. Pada waktu itu, ‘Arafah bagaikan lautan suci yang membersihkan dosa-dosa dan menghapus kesalahan-kesalahan orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji. [186]

6. Mabit di Mujdalifah dan Mina Yang dimaksud dengan mabit adalah menginap atau bermalam beberapa hari atau berhenti sejenak untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam pelaksanaan melempar jamrah. Ibadah mabit termsuk salah satu wajib haji. Tempat bermalam (mabit) ada di dua tempat Muzdalifah dan Mina. Dengan bermalam di dua tempat ini, diharapkan pelaksanaan melempar jamrah di Mina menjadi lebih mudah karena jaraknya yang lebih dekat, hanya berkisar antara 100 M hingga 190 M di antara ketiga jamrah. Mabit tahap pertama dilaksanakan di Muzdalifah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Idul Adha), yaitu lewat tengah malam setelah pelaksanaan wukuf dari padang Arafah. Mabit tahap pertama ini biasanya dilakukan sebentar saja, sebatas waktu untuk memungut kerikil sebanyak 7 buah. Mabit (bermalam) di Mina dan hukumnya sunnah. Memperbanyak dzikir kala itu seperti dzikir pagi dan petang, juga dzikir lainnya. Mabit tahap kedua, dilaksanakan di Mina selama dua hari (tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah) bagi yang mengambil Nafar Awal, dan selama tiga hari (11,12, dan 13 Dzulhijjah) bagi yang mengambil Nafar Akhir atau Nafar Tsani. Yang dimaksud Nafar Awal adalah apabila jama'ah meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah, dan disebut nafar awal karena jama'ah lebih awal meninggalkan Mina kembali ke Makkah dan hanya melontar tiga hari. Adapun yang dimaksud dengan Nafar Akhir atau Nafar Tsani adalah apabila jama'ah melempar jamrah selama empat hari (tanggal 10, 11, 12. dan 13 Dzulhijjah) dan menginap di Mina selama tiga hari (11,12, dan 13 Dzulhijjah). Mabit di Mina dilakukan karena di tempat inilah tempat pelaksanaan pelemparan atau pelontaran jamrah.

[187]

7. Kembali ke Makah. 8. Pengertian Sa'i sepulang Haji Sa’i adalah salah satu rukun haji. Pengertiannya ialah jalan cepat, lebih cepat dari jalan biasa dan lebih lambat dari lari. Cara melakukan sa’i ialah berjalan dari bukit Shafa menuju bukit Marwah sebanyak tujuh kali yang diakhiri di bukit Marwah. Orang pertama yang melakukan sa’i antara dua bukit tersebut ialah ibu Nabi Ismail. Waktu itu, Siti Hajar kebingungan karena anaknya, Nabi Ismail menangis kehausan. Ia mencari air ke sana ke mari untuk minum anaknya. Kesudahannya, Allah memancarkan sebuah mat air untuk mereka berdua. Mata air tersebut kemudian diberi nama Zam-Zam. Hampir saja rasa haus itu akan menghabisi riwayat mereka berdua. Dalam ibadah Sa’i antara Shafa dan Marwah mengandung pengertian memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan, dan memohon ampunan dari seluruh perbuatan dosa. Karena, pada tempat itu Allah telah menghilangkan kesusahan yang menimpa Hajar dan anaknya yang bernama Ismail. 9. Tahallul. Tahalul, menurut bahasa (Tahallala-YatahallaluTahallulan) artinya: menjadiboleh atau halal. Menurut istilah: Tahallul ialah keadaan seseorang yang telah dihalalkan (dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama berihram. Jadi, yang dimaksud Tahallul adalah keadaan seseorang yang sudah bebas (halal) dari ihramnya karena telah menyelesaikan amalan-amalan hajinya. Jenis Tahallul Tahallul ada 2 macam: a) Tahallul awal: Yang dimaksud Tahallul awal ialah melepaskan diri dari keadilan ihram setelah melakukan dua diantara tiga perbuatan yaitu: o Melontar jamrah Aqabah dan menggunting/ mencukur rambut [188]

o Thawaf Ifadah, Sa’i dan menggunting/ mencukur rambut o Thawaf Ifadah, Sa’i dan melontar jumrah aqobah; b) Tahallul Tsani Tahallul tsani ialah keadaan seseorang setelah melakukan ketiga perbuatan diatas, yaitu: melontar jamrah Aqabah, becukur dan thawaf ifadah beserta sa’i. Cara Memotong Rambut. Bagi pria disunatkan mencukur habis atau memotong/ memendekkan rambut kepala atau sekurang-kurangnya memotong sebelah kanan, tengah dan kiri.b. Bagi wanita afdolnya rambut dikumpulkan jadi satu atau kemudian ujungnya di potong atau memotong sekurangkurangnya 3 (tiga) helai rambut sepanjang jari. Boleh menggunting rambut sendiri atau dengan bantuan orang lain. Pria boleh menggunting rambut wanita atau sebaliknya, apabila ada hubungan mahram, bila tidak ada hukumnya haram. Perbedaan Antara Tahallul Haji danTahallul Umrah Tahallul haji terdiri dari tahallul awal dan tahallul tsani, sedangkan tahallul umrah hanya satu saja. Kapan tahallul awal (memotong rambut) bagi orangsakit (uzur) yang melontar jamrahnya diwakilkan? (a) Tahallul awalnya setelah melakukan dua dari tiga perbuatan. (b) Menggunting rambutnya dilakukan setelah lontar jamrahnya dilaksanakan oleh yang mewakili. 10. Thawaf Wada. Thawaf Wada adalah akhir dari semua rangkaian Ibadah Haji. Maka jika seseorang telah Thawaf Wada’ hendaknya berusaha berhenti di Multazam seraya berdo’a dengan apa yang dapat dilakukan. Dan memohon kepada Allah agar dikaruniai-Nya dapat kembali ke baitullah dan berharap agar ibadah haji yang dilakukannya bukan sebagai akhir kedatangannya di Mekkah.

[189]

Kemudian dia keluar dengan cara yang wajar dan tidak dengan berjalan mundur membelakangi Ka’bah, tapi berjalan bisa dengan menjadikan Ka’bah pada arah belakangnya. Kemudian setelah dia pulang. Jika dia berhenti lama, seperti setengah jam karena tidak ada keperluan penting maka dia harus mengulangi Thawaf Wada’. Jika seseorang melakukan jual beli atau pekerjaan yang menunjukkan dia ingin muqim, maka dia harus mengulangi thawaf wada’. Adapun jika seseorang membeli sesuatu untuk perjalanannya atau untuk kebutuhan keluarganya, maka dia tidak wajib mengulangi Thawaf Wada’.

RANGKUMAN Pengertian haji menurut bahasa adalah al-qashdu artinya menyengaja. Sedangkan menurut pengertian haji menurut istilah syara’ ialah suatu amal ibadah yang dilakukan dengan sengaja mengunjungi Baitullah di Makkah dengan maksud beribadah secara ikhlas mengharapkan keridhaan Allah dengan syarat dan rkun tertentu. Menunaikan ibadah haji adalah melakukan rukun Islam yang kelima, oleh sebab itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam sekali dala, seumur hidup bagi yang mampu melaksanakannya. Pelaksanaan haji dan umrah dapat dilaksanakan dengan 3 cara yaitu: (1) Haji Ifrad adalah ibadah haji secara tersendiri. (2) Haji Tamattu' adalah ibadah yang hanya berniat (berihram) untuk umroh saja di bulan-bulan ibadah haji. (3) Haji Qiran adalah ibadah haji dimana seseorang berihram untuk ibadah haji dan umrah secara bersamaan, atau berihram untuk umrah terlebih dahulu kemudian masuk pada ihram ibadah haji. SUMBER PUSTAKA [190]

• • • • •

al-Jaziri, Abdu ar-Rahman. 1988. al-Fiqhu 'alaa Madzahibi al-Arba'ah. Beirut: Darul Kutub. Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu. Damaskus:Dar al fikr. tt. Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ala Madzhahibul Khomsah, terj. Afif Muhammad dkk, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

LATIHAN 1. Jelaskan pengertian haji baik secara bahasa maupun secara istilah. 2. Sebutkan syarat-syarat dan rukun haji 3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan haji ifrad, tamattu dan qiran? 4. Jelaskan secara singkat tentang tata cara pelaksanaan haji. DAFTAR ISTILAH 1. Thawaf : Mengelilingi Ka’bah 2. Sa’i : Berlari kecil dari bukit Shafa ke Marwah 3. Tahallul : Menggunting rambut

[191]

BAB XII MADZHAB-MADZHAB FIQH

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang madzhab-madzhab fiqih dan perkembangannya.

Secara bahasa madzhab berarti pendapat, kepercayaan, ideologi, doktrin, kepercayaan, ajaran, faham atau aliran. Wujud hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap sesuatu kejadian yang ada. Bermula dari penapat perorangan yang dimulai dari metode itu, kemudian diikuti oleh orang lain atau murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat orang tersebut kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya diikuti oleh orang lain, kemudian menjadi baku. Ketika membicarakan jumlah madzhab fiqih, maka kita akan menjumpai berbagai pendapat yang tidak bisa disatukan. Atau dengan kata lain perbedaannya begitu nampak. Ada yang mengatakan berjumlah 4, 5, 9, 13 dan lain-lain. Semua itu sangat bergantung pada parameter yang dijadikan pedoman untuk melakukan penilaian. Pada dasarnya jika ditelaah dari gaya berpikir madzhabmadzhab, maka secara kecenderungan pemikiran berbagai madzhab tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok yaitu kelompok yang cenderung konservatif, tradisionalis modern dan rasionalis.

[193]

A. Historisitas Timbulnya Madzhab Masa Daulah Abbasiyah merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang. Pada dasarnya periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhabmazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum Dari fragmentasi sejarah terlihat bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Hal ini membuktikan bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan [194]

sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Fenomena perkembangan tasyri' pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum. Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masingmasing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan [195]

kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh. Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya. Ikhtilaf bukan hanya terjadi para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa “tahkim” adalah titik awal lahirnya mazhabmazhab teologi dalam Islam. Masing-masing mazhab teologi tersebut masing-masing memiliki corak dan kecenderungan yang berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih. Menurut Harun Nasution, aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak liberal, ada yang tradisional dan ada pula yang bercorak antara liberal dan tradisional. Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri. Penulis berkeyakinan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah [196]

pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan alSunnah. Munculnya perbedaan madzhab dalam sejarah membuktikan adanya pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhab fiqih pada periode ini. Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut. Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya : 1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya. 2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat studi tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya. 3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya. 4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum Islam.

[197]

B. Pengertian Mazhab dan Macamnya Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahaba (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharξq). Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian: a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis. b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis. Sedangkan menurut Muhammad Husain Abdullah, istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharξq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci. Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharξqah al-istinbβth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. [198]

Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhabmazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada. Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada. Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut : 1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah a. ahl al-Hadis terdiri atas : 1. Mazhab Maliki 2. Mazhab Syafi’I 3. Mazhab Hambali b. ahl al-Ra’yu Kelompok ini dikenal dengan Mazhab Hanafi 2. Syi’ah a. Syi’ah Zaidiyah b. Syi’ah Imamiyah 3. Khawarij 4. Mazhab-mazhab yang telah musnah a. Mazhab al-Auza’i b. Mazhab al-Zhahiry c. Mazhab al-Thabary d. Mazhab al-Laitsi Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. [199]

Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya. Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut: 1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.) 2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.) 3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.) 4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.) 5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.) 6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.) 7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.) 8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.) 9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.) 10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.) 11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.) 12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.) 13. Ibnu Jarir at-Thabari Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhabmazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut. Di bawah ini penulis akan memaparkan beberapa kriteria tentang madzhab fiqih di kalangan sunni yang terkenal dengan sebutan ahli hadis dan ahli ra'yu. 1. Madzhab Ahli Hadis a. Kecenderungan fiqh-nya : Madzhab ini terkait dengan nash-nash syara’ yang ada dalam hadis dan Al-Qur’an, dan tidak menyukai ra’yu yang bersandar pada usaha akal semata. Adapun argumentasi mereka [200]

adalah bahwa syari’ah itu dari Allah SWT. Oleh sebab itu tidak layak menjadi arena percaturan pemikiran hamba-hamba-Nya, pendapat manusia bisa salah dan benar, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah terlepas dari kesalahan. Dalam hal ini, bukan berarti madzhab hadis tidak menggunakan ra’yu, mereka menggunakan dan membangun sebagian bukunya atas dasar ra’yu. Hanya saja terbatas dalam keadaan darurat. Daripada itu ra’yu yang mereka gunakan merupakan interprestasi dari pendapat-pendapat ulama sebelum mereka dan sekali-kali mereka tidak menggunakan ra’yu kecuali bila telah habis langkah-langkah yang mereka letakan sebagai cara/ pengambilan hukum. Adapun langkah-langka yang ditempuh secara general sebagai berikut: (1) Mencari dalam Al-Qur’an. (2) Bila tidak didapatkan mencari dalam As-Sunnah. (3) Bila tidak didapatkan juga, mengambil pendapat yang disepakati ulama Madinah. (4) Bila ulama-ulama tersebut berselisih pendapat maka mengambil yang paling kuat. (5) Bila tidak dijumpai pendapat ulama-ulama Madinah barulah digunakan ra’yu. b. Motivasi kecenderungan tekstual : 1. Motivasi Psikologis; hal ini tampak pada kefanatikan para fuqaha ahli hadis terhadap guru-guru mereka di Makkah dan Madinah serta kepercayaan terhadap jalan yang ditempuh dalam fiqh, seperti: ketergantungannya dengan hadis dan menjauhi ra’yu. Mereka telah melegitimasi kefanatikannya ini dengan alasan bahwa ulama-ulama ahli hadis di Makkah dan di Madinah adalah ulama paling dalam dan mantap dalam fiqh. Dari sini ulama ahli hadis telah menyimpulkan pendapat dan masalah dari guru-guru mereka dan membuat pokok-pokok dasar dari jalan istinbath yang ditempuhnya. [201]

2. Pusat madzhab ahli hadis adalah Madinah. Yaitu pusat berkembangnya sunah dan tempat tinggal sahabat, sehingga para fuqaha Madinah lebih mengetahui dari fuqaha tempat lain. Pada fase pertama pertumbuhan hadis yang ada di negaranya dan dari teman teman mereka saja, setelah mendapat banyak problem mereka terpaksa memperkaya hadis mereka dari tempat lain. Mereka giat berkeliling mengumpulkan hadis ke kota Hijaz, Syam (Syiria), Iraq, Mesir, Yaman, dan sebagainya. Berkat usaha mereka inilah terkumpul sejumlah hadis yang amat banyak. 3. Sahabat yang terpisah-pisah di berbagai tempat kota, jauh lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan sahabatsahabat yang tetap di Hijaz. Oleh karena mayoritas sahabat menjauhi ra’yu kecuali dalam keadaan darurat maka pengikut ahli hadis berkeyakinan bahwa perilaku mereka adalah contoh terbaik dan jalan yang ditempuhnyapun lebih utama. Di sinilah letak rahasia mereka menempuh jalan ahli hadis. 2. Madzhab Ahli Ra’yu a. Kecenderungan fiqhnya : Madzhab ini disebut ahli ra’yu karena cenderung lebih banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum. Mereka memiliki pandangan tersendiri terhadap syari’ah Islam. Mereka memandangnya sebagai syari’at yang maksud-maksud syari’ahnya bisa masuk akal, dan pokok-pokoknya kokoh, bukan syari’ah baku yang tidak diketahui sasarannya. Maksudmaksud syari’ah dan pokok-pokok dasar hukum inilah yang harus dijadikan landasan menetapkan hukum yang tidak ada nashnya. Supaya syari’ah tidak baku dan fiqh pun tidak terhenti. Bertitik-tolak dari pandangan ini, Abu Hanifah senantiasa mencari sasaran-sasaran hadis dan tidak mau menerima hadis yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan mashlahat manusia [202]

yang masih berada dalam kerangka umum syari’ah Islam, dia ber’itikad bahwa syari’ah tidak mungkin bertentangan dengan tabi’at manusia dan tuntutan sosial. Dari sini terkadang mereka menolak riwayat hadis sahih bila bertentangan dengan perilaku kejiwaan manusia.²² Adapun jalan yang ditempuh fuqaha ahli ra’yu dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut: 1. Mencari dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menetapkan hukum dengan apa yang terdapat di dalamnya. 2. Bila tidak dijumpai, mencari pendapat-pendapat syekh mereka. Jika ada, mereka ambil untuk menetapkan hukum. 3. Bila tidak ada pendapat syekh mereka, maka mengkonklusifkan hukum atas dasar mencari hikmah hukum untuk ditetapkan pada masalah baru yang timbul. 4. Bila mereka tidak mendapatkannya juga, maka kembali kepada pendapat yang menenangkan jiwa mereka dan dipandang lebih adil dan lebih sesuai dengan maslahat. b. Motivasi Kecenderungan terhadap wahyu 1. Motivasi psikologis : Fuqaha ahlu ra’yu mendukung syeikhsyeikhnya, dan berkeyakinan bahwa mereka adalah orangorang yang paling mantap dalam fiqh. 2. Kekurangan bekal hadis; motivasi ini khusus bagi fiqh ra’yu di mana mereka memiliki kecerdasan dan kecekatan berpikir yang bisa digunakan untuk mengurangi jawaban soal-soal menurut pandangan syeikh mereka. Dan alasan lain yang lebih khusus adalah pada saat itu kecenderungan untuk berdusta dengan mengatasnamakan Rasul telah melanda Irak. Di Irak telah terjadi berbagai peperangan dan maraknya golongan-golongan, yang setiap golongan tidak sungkan-sungkan membuat hadis palsu. Dari sini para fuqaha amat takut meriwayatkan hadis dan menetapkan syarat-syarat untuk menerima riwayat suatu hadis. Hadis amat sedikit yang selamat dari cacat menurut mereka. [203]

3. Titik temu dan perbedaan antara dua Madzhab fiqh. Agar dapat menentukan persamaan dan perbedaan antara kedua madzhab tersebut, kita perlu membagi pokok-pokok dasar fiqh pada dua macam: Pertama pokok-pokok dasar tekstual yang tercermin dalam ra’yu dengan berbagai bentuknya. Pada setiap periode yang dialami madzhab fiqh, semua ulama fiqh ahli hadis dan ahli ra’yu sepakat bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sebagai hujjah. Mereka mengamalkannya dan menemui tuntutan nash-nashnya. Tidak ada perbedaan antara dua madzhab fiqh tersebut sekitar Al-Qur’an dan AsSunnah kecuali dalam sebagian masalah di luar kerangka penggunaan Al-qur’an dan As-Sunnah adalah sebagai hujjah, seperti dalam cara menafsirkan atau menta’wilkan Al-Qur’an dan mengeluarkan pendapat tentangnya. Sedangkan ahli ra’yu berani menta’wilkan dengan menggunkan pemahaman yang dimilikinya dan setelah sempurna syarat-syaratnya. As-Sunnah juga telah disepakati oleh kedua madzhab fiqh sebagai hujjah baik itu sudah mutawattir, masyur ataupun ahad. Sedangkan perbedaan antara keduanya terletak pada penggunaan ra’yu, madzhab ahli hadis sedikit menggunakannya dan menganggapnya sebagai salah satu dasar menetapkan hukum Islam, berbeda dengan ahli ra’yu.

C. Dasar Filosofi dan perkembangan Madzhab hukum Islam Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisinalisme telah melahirkan madzhab-madzhab fiqih Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum Islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua, yaitu [204]

madzhab sunni dan madzhab syi’i. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab yang masyhur, yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hambali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih, yaitu Zaidiyah dan Ja’fariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Ja’fariah dan Syi’ah Imamiyah. a. Madzhab-Madzhab Fiqih Yang Berkembang 1. Madzhab Hanafi (80-150 H/ 699-769 M) al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi berusia 70 tahun. Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya alNu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zaman kekuasaan Abdul malik ibn Marwan. Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah, di antaranya : • Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’. • Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagaimana sholat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat. [205]

Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan muridmuridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadangkadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya. Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar. Adapun ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An Sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dll. Adapun yang dijadikan pokok pegangan dalil madzhab hanafi adalah: Al-Qur'an, as-Sunah, Aqwalus Sahabat, Ijma', Qiyas, Istisan dan 'Urf. Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

2. Madzhab Maliki (93-179 H/ 712-798 M) Maliki bin Annas bin Malik bin Abu Amr al-Asbahi berusia 86 tahun. Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadis kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadis bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadis dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. [206]

Dia seorang Imam dalam ilmu hadis dan fiqh sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam dua ilmu ini. Dalam fatwa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadis ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat. Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar maslahah mursalah. As-Syafi’i menerima hadis darinya dan belajar ilmu fiqih kepadanya. Penduduk mesir, maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh manfaat besar darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka. Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undangundang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah mesir. Adapun dapat dismpulkan bahwa yang dijadikan pokok pegangan dalil madzhab hanafi adalah: Al-Qur'an, as-Sunah, Ijma' Imam Ulama, Ijma' ulama Madinah, Qiyas, Fatwa sahabat, Maslahah Mursalah, 'Urf, Sadudz dzari'ah, Istishab dan Istihsan. Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait. 3. Madzhab Syafi’i (150-204 H/769-823 M) Imam Muhammad bin Idris al-Abbas berusia 54 tahun. Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris alAbbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul [207]

jadid di mesir. Madzhab Syafi’i terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum. Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Uyainah sampai matang dalam ilmu fiqih. Imam Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqh bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran madinah maupun kufah. Dalam kontek fiqihnya Syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada Al-Quran dan Sunah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataanperkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab. Di antara karya-karya Imam Syafi’i, yaitu : • Ar-Risalah: merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun. • Al-Umm: isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih. Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di: Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Cina, Rusia dan Yaman. 4. Madzhab Hambali (164-241 H/ 783-860 M). Ahmad bin Hanbal bin Hilal asy-Syaibani berusia 77 tahun. Madzhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal bin Hilal asy-Syaibani. Lahir di Baghdad 164 H dan wafat di kota yang sama th 241 H. Dikenal dengan nama imam almuhadditsin karena banyaknya hadis yang dikumpulkan dan dihafalnya, kumpulan hadisnya ini dikenal dengan musnad Imam Ahmad. Adapun prinsip madzhabnya adalah al-Qur’an, as-Sunnah, fatwa sahabat yang tdk diperselisihkan, dan qiyas. Ia tidak [208]

mengakui adanya ijma, karena menurutnya tidak mungkin ada ijma, karena demikian banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah furu. Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Pada masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak. b. Madzhab-Madzhab Fiqih Yang Kurang Berkembang

1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Abil-Hasan Yasar al-Basri (30 H- 110 H.) Hasan al-Basri (642 M – 728 M atau 737M), yang bernama lengkap Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi-l-Hasan Yasar alBasri) ialah ahil teologi Arab terkenal dan cendekiawan Islam. Beliau dilahirkan di Madinah pada 2 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khattab pada tahun 21 Hijrah (642 Masehi). Asal keluarganya sebenarnya dari Sabi Misan, suatu desa yang terletak antara Bashrah dan Wasith. Namun kemudian mereka pindah ke Madinah. Ayah Al-Hasan adalah budak milik Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan ibunya (kahirah) adalah budak milik Ummu Salamah (istri Nabi). Ummu Salamah sering mengutus budaknya tersebut untuk suatu keperluan sehingga beliaulah yang sibuk menyusui Al-Hasan Al-Bashri yang waktu itu masih kecil. Maka masyarakat waktu itupun menduga bahwa ilmu dan hikmah yang diberikan kepada Al-Hasan disebabkan barakah susuan tersebut. Al-Hasan bin Yasar, atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah seorang puteri [209]

Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal –sebelum Islam– sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri Rasulullah. Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kota ini. Di Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang lain. Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Rabb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni. 2. Abu Amru Abdurrahman Al-Auza’i (Wafat 157 H) Nama sebenarnya adalah Abu ‘amr Abdurahman bin amr Asy Syamy ad-Dimasqy. Ia seorang fiqh di Syam di masanya. Dilahirkan pada tahun 88 H. Penduduk Syam dan Maghribi bermadzhabkan beliau sebelum bermadzhab dengan Malik. Beliau seorang Ulama Tabi’it Tabi’in, menerima hadits dari golongan Tabi’in yaitu ‘Atha’ bin Abi Rabah, Qatadah, Nafi’, az Zuhry, Yahya bin Abi Katsir dan yang laiinya. Di antara imam-imam yang meriwayatkan hadits dari padanya yaitu: Sufyan, Malik, Syu’bah, Ibn Mubarak, dan yang lainnya. Para ulama yang semasa dengan beliau mengatakan bahwa beliau adalah seorang imam dalam bidang hadits dan fiqh dan seorang yang berani berterus terang dalam mengemukakan [210]

kebenaran kepada para penguasa. Hal ini sesuai dengan perkataan Abdurahman ibn Mahdy yakni;” tidak ada seorang alim tentang sunnah di Syam melainkan al Auza’i”. Beliau wafat pada tahun 157 di Beirut 3. Sufyan Ats-Tsauri (77-161 H) Abu Abdullah Sufyan bin Sa'id bin Masruq bin Habib bin Rafi' binAbdullah bin Muhibah bin Abi bin Abdullah bin Munakid bin Nasr bin Harist bin Sya'labah bin Amir bin Mulkani bin Tsauri bin Abdu Manat bin Adi bin Thobihah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazaar bin Mu'di bin Adnan. Beliau lahir pada tahun 77 Hijriyah di daerah kuffah pada masa khilafah Sulaiman bin Abdul malik,dan beliau wafat pada 161 H di Bashrah. Ayahnya Sa’id bin Masruq merupakan dan salah seorang guru utama Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Sang ayah juga dikenal sebagai perawi hadits di Kufah yang dianggap mencapai derajat tsiqah (terpercaya) oleh para ahli hadits abad kedua dan ketiga hijriah seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Imam Nasa’i, Ibnu Hibban dan lain-lain. Untuk memperdalam ilmu fiqih, Sufyan belajar kepada Imam Ja’far Shadiq. Sedangkan ilmu hadits ia peroleh dari puluhan ulama kalangan tabi’in yang termasyhur seperti Amr bin Dinar, Salamah bin Kuhail, Abu Sakhrah, Abu Ishak As’Sabi’i, Sulaiman bin Mihran Al-A’masyi, dan Al-Aswad bin Qais. Kehebatan Imam Sufyan Ats-Tsauri dalam bidang hadits dan fiqih melambungkan namanya dalam dunia keilmuan Islam. Bahkan banyak sejarawan dan cendikiawan masa lalu yang menyejajarkan nama Ats-Tsauri dengan Ibnu Abbas di masa sahabat Nabi dan Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi pada generasi tabi’in. Imam Ahmad bin Hanbal menyebut Imam Ats-Tsauri sebagai faqih (ahli fiqih), ketika menyebut dirinya sendiri sebagai muhaddits (ahli hadits). [211]

Sebagaimana Imam Malik yang disebut sebagai “tokohnya” Makkah dan Imam Abdurhman Al-Auza’i disebut sebagai “tokohnya” Syam, maka Imam Sufyan Ats-Tsauri adalah tokohnya Kufah. Bahkan para pecinta ilmu zaman itu, sebagaimana diceritakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, menilai Imam Sufyan lebih mendalam dari pada Imam Abu Hanifah dalam penguasaan ilmu fiqih dan mengetahui lebih banyak hadits dari pada Imam Malik. Jumlah hadits yang diriwayatkan Imam Sufyan tak kurang dari 30.000 hadits. Diceritakan oleh Yahya bin Yaman bahwa ia telah meriwayatkan 20 ribuan hadits yang melalui Sufyan Ats-Tsauri. Fiqh Imam Sufyan Ats-Tsauri Dalam ranah fiqih, Imam Sufyan Ats-Tsauri terkenal dengan kemampuan berijtihadnya yang banyak mengandalkan logika dalam bentuk qiyas (analogi). Sayangnya karya-karya tulis Imam Ats-Tsauri dalam bidang fiqih tidak ada yang sampai ke tangan kita yang hidup di zaman modern ini. Namun demikian, pemikiran-pemikiran fiqhi Imam Sufyan secara terpisah masih bisa dijumpai dalam kitab-kitab fiqih empat madzhab. Sampai abad kelima hijriah madzhab Sufyan Ats-Tsauri sempat berkembang hingga kawasan Asia Tengah. Di antara pengikutnya yang terkenal adalah Imam Abul Qasim Junaid AlBaghdadi (wafat 289 H) dan Abu Shalih Hamdun bin Ahmad Al-Qassar An-Naisaburi. Setelah abad kelima, tak ada lagi pengikutnya yang menjadi orang terkenal, sehingga perlahan madzhab ini pun mengalami penyusutan. Dan pengikut Madzhab Ats-Tsauri semakin habis saat empat madzhab yang muncul belakangan (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mulai memasuki masa kejayaannya karena dukungan pemerintah dan penyebaran besar-besar yang dilakukan oleh ulama terkenalnya.

[212]

4. Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94175H) Mengupas sejarah fiqih memang tidak ada matinya. Sebagaimana madzhab Al-Auza’i dan Ats-Tsauri , Madzhab yang didirikan oleh Imam Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94-175H), ulama besar dari golongan tabi’ut tabi’in itu juga telah lenyap seiring perputaran zaman. Nama sebenarnya adalah Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurahman al-Fahmi yang mendapat julukan Abu al_Harits adalah guru besar di negeri Mesir, ia dilahirkan di Qarqasyand pada tahun 94 H, ia orang kaya dan dermawan. pada masa hidupnya Imam Al-Laits dikenal sebagai salah satu mujtahid besar di bidang fiqih yang pemikirannya sangat cemerlang. Ibnu Hajar Al-Asqalani, faqih dan muhaddits kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya, memberikan penghormatan dan pengakuan atas keilmuan Imam Al-Laits: Ibnu Hajar AlAsqalani mengatakan, “Ilmu para tabi’in yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh Al-Laits, di samping ia juga telah menguasai pemikiran fiqih kaum tabiin dari berbagai kota pada zamannya, Al-Laits menguasai pemikiran fiqih ulama Irak (ahlur ra’yu) yang dipelopori oleh Abu Hanifah, ia juga menguasai pemikiran ulama fiqih Madinah (ahlul hadits) yang dipimpin oleh Imam Malik. Bahkan terkait hubungan keilmuan Imam Al-Laits dengan Imam Malik yang unik itu, Imam Syafi’i menyatakan, “Al-Laits lebih ahli dalam bidang fiqih dari pada Imam Malik, hanya saja pengikutnya tidak banyak dan tidak berusaha mengembangkan pemikirannya. Dibanding Imam Malik, AlLaits justru lebih banyak mendasarkan fiqihnya pada hadits nabi dan perbuatan para sahabat Imam Al-Laits wafat pada tahun 175 H, empat tahun sebelum Imam Malik, sahabatnya wafat. Ada juga yang berpendapat Imam Al-Laits wafat pada 176 H dan ada pula pada 197 H. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Shadaf. [213]

Fiqh Imam Al-Laits Mengutip pendapat Abdullah Syahatham, ahli fiqih kontemporer dari Mesir ada beberapa faktor yang menyebabkan pemikiran Al-Laits bin Sa’ad tidak sampai secara utuh kepada generasi sesudahnya, yaitu: Pertama, Al-Laits semula bermadzhab Maliki, namun belakangan ia berdiri sendiri. Padahal di masa itu mayoritas ulama Mesir adalah pengikut Imam Maliki, sehingga sikap Al-Laits tersebut kurang mendapat simpati. Apa lagi Imam Laits saat itu dianggap terlalu dekat dengan penguasa Abbasiyyah, sehingga banyak ulama yang enggan mendekatinya. Kedua, Faktor lainnya adalah tak ada satu pun murid AlLaits yang berusaha membukukan fatwa-fatwa gurunya, sehingga pemikiran Al-Laits pun tidak terdokumentasi. Tak heran ketika tiba di Mesir pada akhir abad kedua hijriah, belasan tahun setelah Al-Laits bin Sa’ad wafat, Imam Syafi’i sendiri merasa kesulitan menemukan literatur madzhab Al-Laitsi. Ditambah lagi saat itu di Mesir tengah terjadi perselisihan pendapat antara pengikut Imam Laits dan Imam Malik. Sekalipun tidak meninggalkan satu karya tulis pun pemikiran Al-Laits sebenarnya masih bisa dilacak hingga saat ini. Karena banyak ulama fiqih dari generasi sesudahnya yang mencantumkan pendapatnya dalam kitab-kitab mereka. Di antara kitab yang memuat petikan pemikiran Al-Laits adalah AlMughni (kitab fiqih madzhab Hanbali yang disusun oleh Ibnu Qudamah), Al-Muhalla (kitab fiqih madzhab Azh-Zhahiri yang dikarang oleh Ibvnu Hazm) dan Bidayatul Mujtahid (kitab fiqih madzhab Maliki karya Ibnu Rusyd). Al-Laits juga banyak meninggalkan jejak pemikiran dalam ilmu ushul fiqih. Tentang ijma’, misalnya, Imam Al-Laits berpendapat bahwa ijma’ (konsensus) yang bisa diikuti hanyalah ijma’ para sahabat, baik yang bersifat ijma’ sharih maupun ijma’ sukuti. Misalnya fatwa Khalifah Utsman bin Affan yang tak [214]

disangkal oleh sahabat lain bahwa seseorang yang memiliki harta yang telah mencapai nishab zakat, namun juga mempunyai hutang sebesar harta itu maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat. Imam Laits juga tidak setuju menjadikan amaliah penduduk Madinah waktu itu sebagai salah satu dasar hukum, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik. Alasannya, bagaimana mungkin mereka bisa dijadikan dasar jika antar tabiin Madinah saja banyak terjadi perbedaan pendapat yang tajam. Di luar ijma’, pendapat perorangan sahabat, menurut AlLaits juga bisa dijadikan dasar hukum. Dan jika di antara mereka terdapat perbedaan pendapat, maka diambil pendapat yang paling mendekati Al-Quran dan sunah nabi SAW. 5. Sufyan bin Uyainah (107 H - 198 H) Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah bin Maimun al-Hilali al-Kufi. Beliau dilahirkan pada tahun 107 H pada pertengahan bulan Syawwal, dan wafat pada sabtu, 1 Rajab 198 H. Ayahnya adalah seorang pegawai pada masa Khalid bin Abdillah Al Qasri. Tatkala Khalid diberhentikan dari jabatan Gubernur Iraq dan digantikan oleh Yusuf bin Umar ats Tsaqafi, pejabat baru ini mencari-cari para staff pada masa pemerintahan Khalid, sehingga mereka berlarian untuk menyembunyikan diri. ‘Uyainah, Ayah Sufyan kecil, melarikan diri sampai ke Mekkah dan akhirnya memutuskan berdomisili disana. Di antara guru-guru beliau adalah Amru bin dinar, Ziyad ibnu ‘ilaqoh, Al-Aswad ibnu Qois, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, Zaid ibnu Aslam, Ibnu Abi Laila, sedangkan di antara murid-muridnya adalah Al-A’masi, Ibnu Juraij, Syu’bah, Hamam ibnu Yahya, Muhammad ibnu Ashim ats-tsaqofi, Mis’ar bin Kidam, Abdullah bin Mubarak, AsySyafi’i, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, dan Ali bin Madini. [215]

Imam Syafi’I pernah berkata: “Kalau bukan karena Malik dan Sufyan ibnu Uyainah, sungguh akan hilang ilmu negeri Hijaz.” Dalam kesempatan lain imam Syafi’I juga berkata: “Aku mendapatkan seluruh hadits tentang hukum dari Sufyan ibnu Uyainah kecuali 6 hadits, dan kudapatkan pula seluruh hadits tentang hukum dari imam Malik kecuali 30 hadits.” Hal ini menunjukkan akan keluasan ilmu Sufyan ibnu Uyainah, hal ini karena seluruh hadits di wilayah Iraq dan Hijaz telah terkumpul padanya. Beliau banyak mengembara dan banyak mengenal ulama’-ulama’ besar yang tidak dikenal oleh Imam Malik. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata mengenai dirinya: “Dia (sufyan bin Uyainah) seorang yang Tsiqah, Hafidz, dan seorang yang ahli fiqh, boleh jadi dia melakukan Tadlis tetapi dari orang-orang yang terpercaya”. Sufyan meriwayatkan hadits sekitar 7.000 hadits. 6. Daud ibn ‘Ali al-Ashfahani al-Baghdadi (202 H-270 H.) Daud Adz-Dzahiri, nama lengkapnya adalah Abu Sulaiman Daud bin Ali bin Khalaf al-Ashfahaniy. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H dan wafat di Baghdad tahun 270 H. Beliau adalah pendiri madzhab azh-Zhahiri. Madzhab Daud azh-Zhahiri adalah salah satu madzhab fiqh yang menetapkan hukum Islam berdasarkan pada zhahir nash saja tidak memberikan ta’wil dan tafsir terhadap nash, baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Dalam perkembangannya beliau lebih dikenal dengan Imam Daud azh-Zhahiri. Pada dasarnya pertamanya beliau adalah penganut madzhab Syafi’i. Namun, setelah beliau memahami dan mendalami berbagai hadits, ia meninggalkan madzhab yang dianutnya dengan alasan bahwa madzhab Syafi’i terlalu banyak menggunakan qiyas dan ra’yu dalam menetapkan hukum Islam. [216]

Di antara kitab fiqh yang pernah ditulis oleh Imam Daud azh-Zhahiri yaitu: Kitab Ibthal At-Taqlid, Ibthal al-Qiyas, Khabar Ahad, Mujib li al-Islam, al-Hujjah, dan al-Mufassar wa al-Mujmal. Namun semua kitabnya itu tidak lagi sekarang ini. Para pendukung dan pengembang madzhab Zhahiri setelah Imam Daud azh-Zhahiri wafat adalah: Ahmad bin Muhammad al-Qadhiy al-Manshuriy, Abdullah bin Ali alHusain bin Muhammad an-Nakhaiy ad-Daudiy, Abd. Aziz Ahmad al-Jaziriy al-Ashfahaniy, Ibn al-Khalal (Abu Thayyib), Ali bin Hazmin azh-Zhahiriy. Perkembangan madzhab ini hanya melalui muridmuridnya saja dan tidak meluas. Madzhab ini mempunyai pendapat-pendapat yang bertentangan dengan jumhur, karena pendapatnya dihasilkan dengan tidak menggunakan qiyas dan ra’yu, tetapi hanya mengamalkan zhahir nash al-Qur’an dan asSunnah. 7. Ibnu Hazm (384H/994 M-402H/1063 M) Ibnu Hazm lahir di sebuah kawasan yang terletak di sebelah timur kota Qordoba, Spanyol pada tahun 384H (7 November 994M). Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Sholeh bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Syams al-Umawiyah. Ibnu Hazm tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya adalah salah satu menteri kerajaan Cordoba. Walau dikelilingi dengan gemerlap kemewaan, namun tidak menjadikannya lupa akan kedudukan dan kewajiban agama. Ia sangat interest dengan keilmuan islam. Ibnu Hazm belajar kepada para ulama kenamaan seperti Abu Muhamad ibn Dakhun, Abdullah al-Azdi, Abi qasim Abdurahman bin Abi Yazid al-Misri, dan masih banyak lagi sederatan ulama yang kadar keilmuannya diakui oleh rakyat Qordoba. Dari didikan para ulama itulah akhirnya ia menjadi seorang yang pakar dalam bidang agama. Namun Bukan cuma [217]

itu, ia juga menguasai ilmu kenegaraan. Ia pernah menjabat sebagai menteri pada pemerintahan Cordoba. Pada 28 Sya’ban 402H bertepatan pada tahun 1063M beliau memenuhi panggilan Allah Swt. Wafatnya, cukup membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu. Khalifah Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap kepergian Ibn Hazm, seraya berucap: “Setiap manusia adalah keluarga Ibn Hazm” Karya Ibnu Hazm Ibn Hazm diakui sebagai seorang ulama yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia Islam. Tak kurang dari 400 judul kitab telah ditulisnya. Melalui karya-karyanya itu, ia diakui sebagai filusuf, teolog, sejarawan, sastrawan, pakar fikih, negarawan, akademisi dan politisi yang handal. Dua karya monumentalnya al Ihkam fi Ushul al Ahkam (Ushul Fikih) dan kitab al Muhalla (Fikih) menjadi rujukan utama fuqaha mu’ashirin (pakar fikih kontemporer) dalam upaya penyelarasan khazanah fikih Islam. Karyanya yang lain, berjudul Tauqul Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta) menjadi kitab terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisi sebuah kompilasi anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya menarik bagi umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa. Fiqh Ibnu Hazm Di kalangan sarjana Islam, Ibnu Hazm dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki keunikan dalam kajian-kajiannya. Ia memiliki metodologi sendiri dalam memahami agama yang berbeda dengan fuqaha arba`a (ulama empat madzhab). Ia menolak al qiyas (dalil analog) yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) sebagai salah satu landasan hukum syari’at. Alasan Ibnu Hazm menolak qiyas karena menurutnya persoalan agama tidak boleh dipecahkan dengan al Qiyas dan ar Ra’yu, sebab perselisihan pendapat dalam Islam harus dikembalikan pada al Qur’an dan as Sunnah. [218]

Ibnu Hazm juga beranggapan bahwa madzhab yang berpengaruh saat itu, telah mempolitisir hakikat ajaran Islam. Karenanya, ia membuat sebuah metodologi yang berbeda dengan mazhab yang ada. Metodologi yang dipakai yaitu menggunakan jalur tekstual dalam memahami syari’at Islam, dengan menolak analog sebagaimana yang dipakai oleh empat mazhab. Metodologi pemikiran tekstual Ibnu Hazm itu mengambil kandungan kata dan bukan intisari makna sebuah dalil atau ayat. Metode ini bersandar pada dua inti dasar. Pertama; berpegang pada teks-teks Al Quran, Hadits dan Ijma’. Kedua; tidak menerima dalil qiyas, istihsan, sebagaimana yang dipakai oleh empat mazhab. 8. Izzuddin bin Abdis Salam (577 H/1181 M-660 H/1262 M) Nama lengkapnya Izzuddin bin Abdul Aziz bin Abdussalam Bin Abi Alqosim Bin Hasan Bin Muhammad Bin Muhadzdzab.Assulamy Al Maghriby Addimasyqy Al Mishry Al Asy'ary Asysyafi'i.(beliau juga biasa di sebut dgn nama 'Izzuddin Bin abdussalam), beliau adalah salah satu ulama yang menyatakan dengan jelas bahwa bid'ah itu ada dua, bid'ah sayyi'ah dan bid'ah hasanah. 'Izzuddin Bin abdussalam lahir di Damaskus (syria) tahun 577 H/1181 M,wafat pada tahun 660 H/1262 M.Beliau meninggal di qohiroh (kairo) dan di semayamkan di sana. Para ulama memandang beliau sebagai sulthonul ulama, baa'i'ul muluuk, Syaikhul Islam, Ahadul Aimmatil A'laam, Al Qodhi (beliau pernah menjabat qodi di damaskus,syria dan kairo Mesir),,Ahli Fiqih Syafi'i yang sampai tingkat mujtahid, Al Ushuly/ahli ushul, Allughowi/ahli bahasa, Waro',zaahid dan masih banyak lagi pujian para ulama di zamannya. Izzuddin datang dan menetap di Mesir lebih dari 20 tahun sambil menyebarkan ilmu, amar ma'ruf nahi munkar. Selama beberapa tahun juga Izzuddin pernah bermukim di Syria, [219]

meskipun akhirnya kembali lagi ke Mesir. Di Syria ini ia mengalami kejadian politik yang memilukan karena bukan hanya menyangkut harga diri sebagai warga negara atau muslim tapi Islam itu sendiri secara pasti. Di akhir hayatnya beliau tidak mengikuti satu madzhab. Alim besar ini berfatwa berdasarkan ijtihadnya sendiri. Ketika beliau mengundurkan diri dari jabatan sebagai Qadhi, sang raja mengharapkan agar beliau berkenan menduduki jabatan itu lagi. Lalu beliau menerimanya dan meminta dengan sangat untuk dibebaskan dari jabatan sebagai qadhi, lalu beliau diangkat sebagai guru di madrasah yang terkenal dengan nama Madrasah Shalihiyyah. c. Madzhab-Madzhab Fiqh Syiah

1. Ja'far ash-Shadiq (83 H/ 702 M-148 H /765 M) Nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Islam Syi'ah. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pekuburan Baqi', Madinah. Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdullah bin Abu Bakar. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri [220]

Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelahnya menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas Imam. Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah. Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah. Selama masa keimaman Ja'far ash-Shadiq inilah, mazhab Syi'ah Dua Belas Imam atau dikenal juga Imamiyah mengalami kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama. Sampai sekarang pun mazhab Syi'ah Imamiyah juga dikenal dengan mazhab Ja'fari. Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat dari kalangan Syi'ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah. 2. Zaid bin 'Ali Zainal 'Abidin (80 H-122 H) Imam Zaid adalah pendiri Zaidiyah yang merupakan pecahan dari Syi’ah. Nama lengkapnya adalah Zaid bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib dari keturunan Fathimah binti Rasulullah Saw. Jadi Zaid adalah cicit Khalifah ‘Ali ra. dan nasab beliau sangat dekat dengan Rasulullah [221]

Muhammad Saw. Zaid dilahirkan pada tahun 80 H. Para ulama sejarah tak ada yang menyebutkan tanggal kelahirannya. Beliau adalah seorang yang amat luhur budi pekertinya, luas ilmunya, berpengetahuan tinggi, serta sangat dihormati. Pendidikan beliau di mulai sejak kecil, Zaid mula-mula belajar pada ayahnya sendiri, setelah ayahnya wafat, ia belajar seperguruan dengan Ja’far ash-Shadiq (pendiri Madzhab Ja’fari), yaitu perguruan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah saw.) yang pada waktu itu diasuh oleh Muhmammad al-Baqir. Kemudian, beliau berguru ke Washil bin Atha’ (pimpinan kaum Mu’tazilah) di Bashrah. Imam Zaid di kenal oleh para ulama pada zamannya sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu al-Qur’an, tauhid, fiqh, filsafat, dan lain-lain. Juga beliau termasuk orang yang disegani dan dihoramati oleh kalangan umum dan ulama. Adapun murid-murid Imam Zaid di antaranya adalah Isa, Muhammad, Husain, Yahya (anak-anaknya Imam Zaid), Ibnu Abi Laily, Zaid Bin Rabi’, Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit, A’masy, Mansur Bin Muktamar, Al-A’jali, Nasr Bin Khazimah, Muamar Al-Hilaly dan Amru Bin Khalid. Mazhab Zaidiyah ini menyebar kepenjuru dunia terutama dibelahan negeri arab, Maroko (Maghriby), Irak, Mesir, dll. Imam Zaid wafat wafat pada tahun 122 H. Semua ahli sejarah menetapkan bahwa umur Zaid di kala gugur sebagai seorang syahid baru berumur 42 tahun. Zaid mati syahid dalam medan pertikaian politik juga akidah dengan Banu Umayyah. Fiqih Imam Zaid Imam Zaid Bin Ali adalah seorang ahli fiqih pada zamannya, dia melandasi fiqihnya dengan hadits dan ra’yun-bila tidak ditemukan dalilnya dalam Al-Qur’an dan Sunah, yang ia ambil dari sahabat, tabi’in dan dari alul baitnya sendiri. Dalam fiqihnya, Imam Zaid tidak meletakkan dasardasar (ushul) ketika berijtihad menentukan suatu hukum. Yang [222]

perlu diketahui adalah, fiqih Zaidiyah itu lebih umum dan syumul dari fiqihnya Imam Zaid. Karena fiqih Zaidiyah tidak sepenuhnya berasal dari dia, didalamnya terkumpul fiqih-fiqih dari Alul Bait seperti Al-Hadi, An-Nasir, dll. Yang terutama adalah masalah ijtihad, maka dari itu kita tidak bisa mengatakan kalau ushul yang ditulis oleh Zaidiyah itu merupakan ushulnya Imam Zaid sendiri. Ijtihad yang dilakukan Alul Bait adalah ijtihad mutlak, yaitu bukan hanya terbatas pada masalah furu’iyah tapi mencakup ke-ushuliyah juga. Dari sini kita tidak bisa menyimpulkan apakah ijtihad furu’iyah-nya Zaidiyah sama dengan ijtihadnya Imam Abu Hanifah? Adapun dasar-dasar yang digunakan Zaidiyah dalam berijtihad atau menentukan suatu hukum adalah sebagai berikut yaitu: Al-qur’an, As-Sunah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab dan Ijtihad. Tapi mazhab Zaidiyah ini mempunyai urutan khusus ketika akan menentukan suatu hokum yang berdasarkan nashnash, baik dari Al-qur’an maupun dari As-Sunah, yaitu sebagai berikut: (1)Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, (2). Dzahirnya Al-Qur’an dan Sunah, (3) Nash-nash khabar ahad, (4). Dzahir khabar ahad, (5). Pemahaman tentang Al-Qur’an, (6). Pemahaman tentang Hadits, (7). Perbuatan nabi Muhammad SAW dan ketetapannya. Dalam bidang fiqh, fatwa-fatwanya ia tulis sendiri dan fatwa-fatwa yang dikumpulin dan ditulis itu diberi nama alMajmu’ (kitab yang berisi hadits, tafsir, dan fiqh). Meskipun ia dari kalangan Syi’ah, namun fatwa-fatwa beliau itu banyak memiliki persamaan dengan para imam mazdhab sunni yang empat (Hanafi,Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal). Karena sama-sama bersumber pada al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat para sahabat. Sebagai contoh Syi’ah Zaidiyyah mengharamkan nikah mut’ah (kawin kontrak) sama dengan pendapat Sunni. Kitab al-Majmu’ terdiri dari dua buku, yaitu al-Majmu’ dalam bidang hadits dan al-Majmu’ dalam bidang fiqh. Kedua buku ini [223]

dikumpulkan oleh Abu Khalid ‘Amr ibn Khalid al-Wasithiy (w. 150 H) dan kedua buku tersebut menjadi pegangan Syi’ah Zaidiyah. Kemudian kitab al-Majmu’ ini disyarah oleh Syarafuddin al-Husain ibn Ahmad ibn Husen (w. 1221 H). Kitab Syarah al-Majmu’ dinamakan al-Raudhu al-Nadhir Syarkh alMajmu’ al-Kabir.

RANGKUMAN Secara bahasa madzhab berarti pendapat, kepercayaan, ideologi, doktrin, kepercayaan, ajaran, faham atau aliran. Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian: a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis. b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis. Selanjutnya Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut : 1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah a. ahl al-Hadis terdiri atas : [224]

1. Mazhab Maliki 2. Mazhab Syafi’I 3. Mazhab Hambali b. ahl al-Ra’yu Kelompok ini dikenal dengan Mazhab Hanafi 2. Syi’ah a. Syi’ah Zaidiyah b. Syi’ah Imamiyah 3. Khawarij 4. Mazhab-mazhab yang telah musnah a. Mazhab al-Auza’i b. Mazhab al-Zhahiry c. Mazhab al-Thabary d. Mazhab al-Laitsi SUMBER PUSTAKA • Abu Zahrah. Muhamad, Usul Fiqih. Terj. Saefullah Ma'sum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Ke-8, 2003. • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • Djazuli, Atjep, Ilmu Fiqh Jakarta : Prenada Media,cet-5 2005 • Djazuli Atjep dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. • Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. • Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : alMaktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986 • Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember: GBI Pasuruan, 1991. • Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

[225]



Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan pengertian madzhab baik secara bahasa maupun istilah 2. Tuliskan latar belakang munculnya madzhab-madzhab fiqh? 3. Tuliskan riwayat singkat empat madzhab 4. Bagaimana seharusnya sikap kita dalam menyikapi perbedaan madzhab 5. Bolehkah kita tidak bermadzhab,jelaskan! DAFTAR ISTILAH

1. Madzhab : Aliran 2. Istinbath hukum : Menentukan Hukum 3. Ahlul hadis: Kelompok yang lebih menekankan pada dalil naqli 4. Ahli Ra’yu : Kelompok yang lebih menekankan pada dalil aqli

[226]

[227]

BAB XIII SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang sumber hukum Islam dan metode istinbat alahkam.

1. AL-QURAN Para ulama semuanya sepakat bahwasanya sumber hukum yang pertama dan yang paling utama adalah Al-Quran. Hal demikian sesuai dengan hadis Muadz bin jabal: ْ‫ن‬ ْ‫ث ْ ُمعَاذًا ْ هإلَىْ ْاليَ َم ه‬ َْ َ‫ْ ْلَما ْبَع‬-‫صلى ْهللا ْعليه ْوسلم‬-ْ ْ‫ل ّْللاه‬ َْ ‫ ْأَنْ ْ َرسُو‬:ْ ْ‫عنْ ْ ُمعَاذ‬ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُْ‫ فإهنْْلمْْت هَجد ْه‬: ‫ل‬ َْ ‫ْقا‬.ْ‫بّْللاه‬ ْ‫ضىْْبه هكت َا ه‬ َْ ‫ع َر‬ َْ ‫ْكَي‬:ُْ‫لْلَ ْه‬ َْ ‫قَا‬ ‫ْأق ه‬:ْْ‫ْقا َل‬.‫ضا ٌء؟‬ َ ‫ضْلكَْْق‬ َ ْ‫ضىْإهذا‬ ‫فْت َق ه‬ ُْ‫نْلَمْْت هَجدْه‬ ْ ‫ْفَإه‬:ْ‫ل‬ َْ ‫ْقَا‬.-‫هللاْعليهْوسلم‬ ْ ْ‫صلى‬-ْْ‫لّْللاه‬ ْ‫ضىْ هبسُن هْةْ َرسُو ه‬ َْ ‫بّْللاه؟ْقَا‬ ْ‫فهىْ هكت َا ه‬ ‫ْأَق ه‬:ْ‫ل‬ َ ُ َ َ َ َ َ ْ :ْ‫ل‬ َْ ‫صد هرىْْ َوقا‬ َْ ‫ض َر‬ َْ ‫ْقا‬.‫لْآلو‬ ْ ْْ‫ْأجت َ هه ْدُْبه َرأيهى‬:ْ‫ل‬ َْ ‫قا‬..ْْ‫لّْللاه‬ ْ‫فهىْسُن هْةْ َرسُو ه‬ َ ‫ف‬:‫ل‬ َ ْ‫بْبهيَ هد هْهْفهى‬ ْ .‫ّللا‬ ْ‫ضىْ َرسُو َلْْ ه‬ ‫ُر‬ ‫ي‬ ْ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ْ ْ ‫ّللا‬ ْ ْ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ْ ْ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ْ َْ‫ق‬ ‫ف‬ ‫و‬ ْ‫ال َحم ْدُْ ه‬ ‫ه‬ َ ُ ُ ‫ه‬ َ َ َ ‫ه ه‬ َ ْ‫ّللْالذهى‬ “Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah saw ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kamu memutuskan jika dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunah Rasulullah saw. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah menepukan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.” [229]

a. Definisi Al-Quran ‫ املكووب‬,‫كالم هللا تعالى املنزل على حمماصلا ا ا ا ا االى هللا عليا وس ا ا ا ا اال ابللفظ العريب املنقول الينالابلوواتر‬ ‫ املوعبص بوالوت املبصوء ابلفلحتة واملخووم بسورة النلس‬,‫ابملصلحف‬ “Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad saw., dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir yang ditulis dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas”. b. Kedudukan Al-Quran dan kehujjahannya Para ulama sepakat menyatakan bahwa Al-Quran itu merupakan sumber utama hukum Islam dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat AlQuran. Bila hukum permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam Al-Quran, maka barulah mempergunakan dalil lain. Mengapa wajib berhujjah dengan Al-Quran? 1. Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah saw. diketahui secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa alQur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat Jibril, dan Rasul dikenal sebagai orang yang paling dipercaya. 2. Al-Quran mempunyai I’jaz, yakni suatu kekuatan yang dapat menunjukkan dan menetapkan kelemahan pihak lawan. Mu’jizat ini bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi saw. yang membawa risalah Ilahi. Adapun unsur-unsur i’jaz yang tidak mampu ditandingi akal manusia, antara lain: ▪ Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, di antaranya: al-hayah (hidup) dan almaut (mati) dalam bentuk definite sama-sama berjumlah 145 kali; al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) samasama terulang 17 kali. [230]





Dari segi pemberitaan-pemberitaan ghaib. Seperti dalam Surat Yunus (10):92, dikatakan bahwa “badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya”, yang ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa. Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya. Seperti dalam Surat Yunus (10):5, dikatakan, “Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)”.

c. Kandungan Hukum dan Penjelasannya Ulama ushul fiqh menginduksi hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an, terdiri atas: 1. Hukum-hukum I’tikad, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukalaf untuk mempercayai Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan Hari Kiamat. 2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukalaf. 3. Hukum-hukum praktis/’amaliyah (perbuatan–perbuatan manusia), yang meliputi: a. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang disebut dengan istilah “Ibadah”, misalnya ibadah badaniyah, maliyah, atau gabungan keduanya; b. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (mu’amalah), yang meliputi: ▪ Hukum-hukum perorangan (ahwal asy-Syakhshiyyah), seperti kawin, talak, waris, wasiat, wakaf; ▪ Hukum-hukum perdata (mu’amalah madaniyyah), seperti jual beli, perserikatan dagang, dan transaksi harta dan hak lainnya; ▪ Hukum pidana (jinayah wa ‘uqubah); [231]

▪ Peradilan (ahkam al-Murafa’at/Mukhashamat) baik bersifat perdata maupun pidana; ▪ Ketatanegaraan (ahkam asSulthaniyyah/Dusturiyyah); ▪ Hubungan antarnegara (ahkam ad-Duwaliyah); dan ▪ Hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan harta benda (ahkam al-Iqtishadiyah wal-maliyah). d. Penjelasan al-Qur’an terhadap Hukum-hukum Sebagai sumber utama hukum Islam, al-Qur’an menjelaskan hukum dengan cara: 1. Penjelasan rinci (juz’i), seperti yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris, pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum ini disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika. 2. Penjelasan global (kulli), umum, dan mutlak, seperti dalam masalah shalat—yang tidak dirinci–, zakat—tidak dijelaskan secara rinci benda-benda yang wajib dizakati, berapa nishab dan kadarnya. Hikmah terbatasnya hukum-hukum rinci dalam al-Qur’an adalah agar hukum-hukum global dan umum tersebut dapat mengakomodasi perkembangan dan kemajuan umat manusia di tempat dan zaman yang berbeda, sehingga kemaslahatan umat manusia senantiasa terayomi oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, kesempurnaan kandungan al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam tiga hal berikut: 1. Teks-teks rinci (juz’i) yang dikandung al-Qur’an. 2. Teks-teks global (kulli) yang mengandung berbagai kaidah dan kriteria umum ajaran-ajaran al-Qur’an. Dalam hal ini alQur’an menyerahkan sepenuhnya kepada para ulama untuk memahaminya sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’, serta sejalan dengan kemaslahatan umat manusia di segala tempat dan zaman. [232]

3. Memberikan peluang kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya untuk menjawab persoalan ke-kini-an melalui berbagai metode yang dikembangkan para ulama, seperti melalui Sunnah Rasul, Ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah, istishab, urf, dan zari’ah. Semua metode ini telah diisyaratkan al-Qur’an. e. Dalalah al-Qur’an terhadap Hukum-hukum Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi, hukumhukum yang dikandung al-Qur’an adakalanya bersifat qath’i dan adakalanya bersifat zhanni (relatif benar). Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Seperti ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Contoh: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu; bagian seorang anak lelaki sama dengan dua bagian anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta”. (Q.S. an-Nisa’, 4: 11) “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera”.(Q. S. an-Nur, 24: 2) Dalam kaffarah sumpah, Allah berfirman: “…maka berpuasalah selama tiga hari…” (Q.S. al-Maidah, 5: 89) Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain. Adapun ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal [233]

musytarak (mengandung pengertian ganda), yaitu kata quru’ yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 228. Kata quru’ mengandung dua makna, yaitu “suci” dan “haid”. Contoh lain dalam surat al-Ma’idah, 5: 38: َ ‫ارقَةُْفَاق‬ ‫ط ُعواْأَي هد َي ُه َما‬ ‫ْوالس ه‬ ‫َوالس ه‬ َ ُ‫ارق‬ Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan, yang dimaksud tangan kanan atau kiri, sampai pergelangan atau sampai siku. Penjelasan tentang tangan ini ditentukan dalam Hadis. Kekuatan hukum kata-kata ini-quru’ dan tangan, misalnya-bersifat zhanni.

2. AS-SUNNAH a. Pengertian Sunnah Sunah secara etimologis berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Sedangkan secara terminologi, Sunah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu dari ilmu Hadis, ilmu fiqh, dan ushul fiqh. Menurut ahli hadis, Sunnah identik dengan Hadis, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah diangkat menjadi Rasul”. Menurut ahli ushul fiqh, Sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Menurut ahli fiqh; di samping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif, yang berarti “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”. b. Kehujjahan Sunnah [234]

Ulama sepakat bahwa Sunnah merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara’ dan menempati posisi kedua setelah alQur’an. Hal ini sebagaimana dasar-dasar berikut: 1. Ayat-ayat al-Qur’an; a. Q.S Ali Imran (3): 31, ‫قُل إِن ُكنوُ ُِحتبُّون هللا فلتَّبِعُ ِون‬ ِ ‫لَّقص كلن ل ُك ِف رس‬ b. Q.S. al-Ahzab (33): 21, ‫ول هللاِ أُسوة حسنة‬ ُ c. Q.S. al-Hasyr (59): 7, ‫وه وملَنل ُك عن ُ فلنوا ُهوا‬ ُ ‫الر ُس‬ َّ ُ ‫ومآءاَت ُك‬ ُ ‫ول ف‬ ُ ‫خ ُذ‬ d. Q.S. an-Nisa’ (4): 59, ‫الر ُسول‬ َّ ‫َيأياُّهل الَّ ِذين ءامنُوا أ ِطيعُوا هللا وأ ِطيعُوا‬ 2. Hadis Nabi Saw Rasulullah sendiri mengatakan, ‫اال ان اوتيت القران ومثل مع‬ “Sesungguhnya pada saya telah diturunkan al-Qur’an dan yang semisalnya”. (HR.Bukhari & Muslim) 3. Ijma’ sahabat dan dibuktikan pula oleh hadis Muadz bin Jabal yang menjelaskan urutan dasar-dasar hukum. 4. Akal; banyak sekali ayat al-Qur’an yang masih mujmal, oleh karenanya memerlukan tafshil dari Sunnah. c. Fungsi Sunah terhadap Al-Quran Sunnah Rasulullah adakalanya berbentuk mendukung/menguatkan hukum-hukum yang ada dalam alQur’an (ta’kid), menjelaskan (tabyin), dan mensyari’atkan hukum yang didiamkan al-Qur’an.. Penjelasan Rasulullah terhadap al-Qur’an ada beberapa bentuk, yaitu: 1. Memerinci hukum global, seperti kewajiban shalat. Rasulullah-lah yang menjelaskannya. 2. Menjelaskan maksud hukum mutlak, seperti perintah memotong tangan pencuri. Rasul menjelaskan bahwa “tangan yang dipotong itu sampai pergelangan tangan dan nisab barang yang dicuri itu seperempat dinar” (HR. alBukhari dan Muslim). 3. Mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum. Seperti dalam an-Nisa’ (4): 11, ْ‫يوصيييكمْهللاْفاْاولمكم‬, kalimat “anak[235]

anakmu” bersifat umum, yaitu seluruh anak. Akan tetapi, apabila anak itu sengaja membunuh ayahnya agar cepat mendapatkan warisan, Rasul menjelaskan bahwa “Pembunuh tidak mendapat pembagian warisan” (HR. Muslim).

3. IJMA` A. Definisi Pengertian secara bahasa ijma` adalah mashdar dari ajma'a yang memiliki dua makna yaitu: 1) Tekad yang kuat (‫ )العزُم املؤَّك ُص‬seperti: ٍْ‫( أَجع فُالن على س ا ا افر‬si fulan ُ bertekad kuat untuk melakukan perjalanan). 2) Kesepakatan ( ُ ‫ )االتفِاف ا ا ال‬seperti: (‫ )أَجاع املس ا ا ا ا ا الِا ُماون عالاى ك ا ا اذا‬kaum ُ muslimin bersepakat tentang sesuatu. Sedangkan makna Ijma' menurut istilah ada beberapa versi yaitu : ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ‫صوِر على أمر ِمن األ ُُموِر‬ ُ ُ‫اتففل ُ ُُمو ِهصي أ َُّمة ُحم َّمص للَّى هللاُ علي وسلَّ باعص وفلت ِف عص ِر من الع‬ "kesepakatan para mujtahid umat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok ijma' antara lain: َ‫ه‬ 1. Kesepakatan (ْ‫)التييي َقيييا ُق‬ artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap. 2. Para Mujtahid (َْ‫)ال ُمجت َ ههدُون‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mengistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum. 3. Umat Muhammad yang dimaksud adalah umat ijabah (umat yang menerima seruan dakwah Nabi saw). [236]

4. Setelah wafatnya Nabi saw, jadi kesepakatan yang terjadi pada zaman Nabi tidak dianggap sebagai ijma' dari segi keberadaannya sebagai dalil, oleh karena itu jika seorang shahabat berkata : "Dahulu kami melakukan", atau "Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi ", maka hal itu marfu' secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma'. 5. Di dalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja. 6. Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at. Apabila terjadi ijma' pada suatu masalah, maka hukum terhadap masalah ini wajib diikuti dan bukan merupakan lapangan ijtihad lagi. Hal ini disebabkan karena hukum yang ditetapkan dengan ijma' mempunyai nilai qoth'iy yang tidak bisa dihapus atau ditentang. B. Dasar Hukum Ijma` Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran. 1. Al-Qur`an Allah SWT berfirman: ِ ِ ِ ‫ُّوه إِى‬ َّ ‫الل وأ ِطيعُوا‬ ‫َي أياُّهل الَّذين آمنُوا أطيعُوا ف‬ ُ ‫الر ُسا ا ا اول وأُوِل األم ِر من ُك فإِن تانلزعوُ ِف شا ا ا ا ء فا ُرد‬ ِ ِ ‫ول إِن ُكنوُ تاُؤِمنُون ِابللِ والياوِم‬ ِ ‫الرس‬ ‫اآلخ ِر‬ ‫ف‬ ‫ف‬ ُ َّ ‫الل و‬ "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. ". Q.S. an-Nisa’ (4): 59 Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan [237]

dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. Dengan kata lain kesepakatan dari ulil amri termasuk di dalamnya para mujahid wajib diikuti atas dasar al-Quran, karena itu dalam ayat lain dinyatakan: ِ ‫الرس‬ ﴾٨٣﴿... ‫ول وإِى أُوِل األم ِر ِمنا ُه لعلِم ُ الَّ ِذين يسونبِطُون ُ ِمنا ُه‬ ُ ‫ولو رد‬ ُ َّ ‫ُّوه إِى‬ "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)... Q.S. An-Nisa 83 ِ ِ ِ ‫ص ا ا ا ا ا اموا ِِببا ِل‬ ِ ‫اللِ علي ُك إِذ ُكنوُ أعاصاء فاَلَّف بي قُالُوبِ ُك‬ ‫الل َجيعال وال تافَّرقُوا واذ ُك ُروا نعمات ف‬ ‫ف‬ ُ ‫واعو‬ ﴾١٠٣﴿ ...‫فَلبحوُ بِنِعموِ ِ إِخوان‬ "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orangorang yang bersaudara.. ". Q.S. Ali Imran: 103 Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang berceraiberai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. Firman Allah SWT: ِ ِ ِ ِ‫يل المؤِمنِي ناُولفِِ مل تاوَّى ونُص ا ا ال‬ ِ ِ َّ ِ ِ‫ومن يُشا ا الق‬ ُ ِ ‫الر ُس ا ا اول من باعص مل تاب َّي ل ُ اْلُصى وياوَّبع غي سا ا اب‬ ِ ‫جهنَّ وسلءت م‬ ﴾١١٥﴿ ‫صيا‬ [238]

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburukburuk tempat kembali." Q.S. An-Nisa 115 Sesungguhnya ayat ini menjadi dalil bahwa Ijma' umat ini adalah hujjah yang terpelihara dari kesalahan. Dasar pemikiran tersebut adalah dikarenakan Allah Swt mengancam orang yang menyalahi jalan kaum mukminin dengan kehinaan dan api neraka. sabilil mu`minina berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma`, sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma` para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka." ِ ‫وكذلِك جعلنل ُك أ َُّمة وسطل لفِو ُكونُوا ُشهصاء على الن‬ ‫ول علي ُك ش ِهيصا‬ ُ ‫الر ُس‬ َّ ‫َّلس وي ُكون‬ "Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian". QS. Al Baqarah: 143 Apabila mereka bersaksi tentang satu hukum, bahwa Allah Swt telah memerintahkan suatu hal, melarang ataupun membolehkannya, maka persaksian mereka adalah ma'shum (terpelihara dari kekeliruan), karena mereka adalah orang-orang yang alim (berilmu) tentang apa yang mereka persaksikan dan adil dalam persaksian mereka. 2. AI-Hadits Bila para mujtahid telah melakukan ijma` tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma` itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan [239]

kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: ِ ‫ال‬ ِ ‫جتومع أ‬ ‫ُمت على ضاللة‬ "Tidak mungkin umatku akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." HR. Abu Daud dan Tirmidzi ‫إِ َّن هللا ال ُُي ِم ُع أ َُّم ِة على ضاللة وي ُص هللاِ مع اجلملع ِة ومن ش َّذ ش َّذ إِى النَّل ِر‬ "sesungguhnya Alloh tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Alloh bersama jama'ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka". HR. Tirmidzi: 2168 ‫مل يكن هللا ليجمع أمت على الضاللة‬ "Tidak mungkin Allah menghimpun umatku seluruhnya untuk melakukan kesesatan" 3. Akal pikiran Setiap ijma` yang dilakukan atas hukum syara`, hendaknya dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaknya mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. knya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu C. Rukun-Rukun Ijma` Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut: 1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu). 2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu [240]

hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma`. 3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. 4. Kesepakatan itu hendaknya merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum dapat dikatakan sebagai ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah. D. Kehujjahan Ijma’ Apabila rukun ijma’ di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca wafatnya Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Dalam hal ini setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu. Selanjutnya mereka menyepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) sebagai lapangan/ garapan ijtihad lagi, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh). Dengan kata lain, jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) yang wajib diamalkan. Menurut [241]

Al-Maidi, pendapat jumhur ini bertentangan dengan pendapat golongan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah. Adapun Al-Hajib dan Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh Daud yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat. Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenisnya, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri. 1. Kehujjahan ijma’ sharih. Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka itu menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi. 2. Kehujjahan ijma’ sukuti. Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya. Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah. [242]

Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih. Kelompok yang ketiga, mereka berpendapat bahwa ijma' sukuti dapat dijadikan hujah, akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma'. Adapun argumentasi mereka adalah tidak termasuk ijma' karena tidak semua mujtahid mengemukakan pendapatnya. Sedangan ijma' sukuti tersebut bisa dijadikan hujah karena diamnya seorang mujtahid lebih kuat menunjukan arti setuju.

E. Kemungkinan Terjadinya Ijma` Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas dua periode, yaitu: 1. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; 2. Periode sesudahnya. Pada masa Rasulullah Saw, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung [243]

menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah Swt. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan alHadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid. Setelah enam tahun bagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai pejabat dalam jabatan-jabatan penting di pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya. [244]

Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ijma` tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad Saw; 2. Ijma` mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam. Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undangundang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal. Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam [245]

atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisβ' atau sebagai ahlul halli wal `aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka. Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syaratsyarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang per-orang. Sedangkan kelompok Syi’ah dan Nizam dari golongan Mu’tazilah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain: Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria: (a), Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’. (b), Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut. Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka. F. Macam-Macam Ijma` [246]

Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh dijelaskan macam-macam ijma'. Pada dasarnya ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam. ▪ Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas: 1. ljma`sharih, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' bayani, ijma' qauli atau ijma' haqiqi; 2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian dari mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma` `itibari. ▪

Sedangkan ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada: 1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain; 2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain. Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma-ijma` itu ialah: 1. Ijma' umat. Ijma' inilah yang dimaksud dengan definisi pada awal pembahasan ini. [247]

2. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW terhadap suatu masalah; 3. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulamaulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam; 4. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulamaulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam. 5. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ijma' ini oleh sebagian ulama dianggap sebagai hujah. 6. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Ijma' ini oleh sebagian ulama dianggap sebagai hujah. 7. Ijma' al-ithrah, ijma' yang dilakukan ulama-ulama ahli bait. G. Ijma' Kontemporer Konsensus atau ijma‘ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Dengan kata lain konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsiran hukum. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma‘ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma‘ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma‘ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma‘ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. [248]

Gagasan ijma‘ yang agak luas dikemukakan al-Syafi‘i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma‘ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma‘ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma‘ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhabmazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neomodernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma‘ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma‘ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma‘ baru dan [249]

menggantikan ijma‘ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma‘ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma‘. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undangundang atau hukum yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma‘ masyarakat. Menurut analisa penulis, ijma’ dalam konteks hari ini sangat mungkin untuk dilakukan. Hal demikian selain karena sudah canggihnya tekhnologi juga sudah terbentuknya kelompok-kelompok ulama dari berbagai ormas, seperti NU, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Persis dan lain-lain. Jika masing-masing perwakilan, representatif mewakili kelompoknya, maka ijma’pun sangat mungkin untuk dilakukan. Secara tekhnis, yang berkumpul hanya perwakilan-perwakilan dari mereka (yang dianggap representatif). Sedangkan dalam hal memutuskan masalah-maslah kontemporer, selaiknya bukan hanya dari unsur ulama yang hadir (berkumpul), namun pakar-pakar bidang lain pun harus dilibatkan. Seperti psikolog, sosiolog, ahli hukum, medis dan lain-lain. Sekedar contoh adalah dalam hal memutuskan hukum merokok. Jika hal ini ditempuh, niscaya produk hukum yang dihasilkan akan bisa diterima oleh semua pihak. Hal ini disebabkan karena para pakar yang mewakili keilmuan dari masing-masing kelompok merasa dilibatkan. Sehingga tanggung jawab mempublikasikan dan menjalankan hukum dari hasil ijma’ pun akan semakin besar . [250]

4. QIYAS A. Definisi Qiyas Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut: 1. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan [251]

hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (alMβidah: 90) Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr. 2. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda artinya: "Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi) Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah [252]

yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya. 3. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9) Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju'mat. Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua B. Dasar Hukum Qiyas [253]

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu: 1. Al-Qur'an 1) Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.." (an-Nisâ': 59) Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Quran dan hadis. Jika tidak ada dalam al-Quran dan hadis hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Quran dan hadis, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan di antaranya dengan melakukan qiyas. Sebagaimana firman Allah dalam (al-Hasyr: 2): [254]

ِ ‫ُهو الاَّ ِذي أُخرج الاَّ ِذين كفروا ِمن أها ِل الكِوا‬ ‫لب ِمن ِدَي ِرِه أل َّوِل اْلشا ا ا ا ا ا ِر مالَننوُ أن َي ُر ُجوا وَنُّوا‬ ُ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ‫الرعب َُي ِربُون‬ ‫وِب‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫ف‬ ‫ف‬ ‫ذ‬ ‫ق‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫َي‬ ‫مل‬ ‫ث‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫هللا‬ ‫ه‬ ‫َت‬ َ ‫ف‬ ‫هللا‬ ‫ن‬ ‫ص ا ا ا اوَنُ ِفم‬ ُ ُّ ُ ُ ُ ُ ‫أ ََّنُ َّملنعوُا ُه ُح‬ ُ ُ ُُ }2{ ‫باُيُوَتُ ِِبي ِصي ِه وأي ِصي ال ُمؤِمنِي فلعوِِبُوا َيأُوِى األبصل ِر‬ Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orangorang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas. 2. Hadis. a. Setelah Rasulullah melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya, artinya: "Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan RasulNya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi) Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu [255]

peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan alHadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas. b. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya : "Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i) Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi. 3. Perbuatan sahabat [256]

Para sahabat Nabi saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi saw mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan. Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah: "kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran…" 4. Akal Tujuan Allah swt menetapkan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas. [257]

Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasardasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur'an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan. C. Alasan Golongan Yang Tidak Menerima Qiyas Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah: a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan 'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT, artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu…" (al-Isrâ': 36) b. Sebagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab: "Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal haditshadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."

[258]

Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berlawanan dengan isii suratnya kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalahmasalah hukum yang baru. Golongan ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan qiyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa. D. Rukun Qiyas Ada empat rukun qiyas, yaitu: [259]

1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan); 2. Far'u yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan); 3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan 4. 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal. Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut far'u. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT, artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10) Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah samasama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram. [260]

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: ▪ Ashal, ialah memakan harta anak yatim. ▪ Far’u, ialah menjual harta anak yatim. ▪ Hukum ashal, ialah haram. ▪ 'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. E. Pembagian Qiyas Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas 'illat; 2. Qiyas dalalah; dan 3. Qiyas syibih. 1. Qiyas 'Illat Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi: 1. Qiyas jali Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada: a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash. b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan katakata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23) 'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya [261]

hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal. c. Qiyas musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10) Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'. 2. Qiyas khafi Ialah qiyas yang 'ilIatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. "IlIatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'IlIat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk. 2. Qiyas Dalalah Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat [262]

untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat. 3. Qiyas Syibih Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.

RANGKUMAN Para ulama semuanya sepakat bahwasanya sumber hukum yang pertama dan yang paling utama adalah Al-Quran. Selanjutnya sumber hukum yang kedua adalah sunah. Dalam hal sumber hukum yang selanjutnya para ulama berbeda pendapat, sebagian dari mereka menyebutnya sebagi [263]

sumber hukum dan sebagian yang lain menyebutnya sebagai metode istinbat al-ahkam.

SUMBER PUSTAKA • Abu Zahrah. Muhamad, Usul Fiqih. Terj. Saefullah Ma'sum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Ke-8, 2003. • As-Shidiqie, Teungku M.Hasbi Pokok-pokok pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997 • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • Djazuli Atjep dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. • Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : alMaktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986 • Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakrta: Amzah, 2005 • Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.

• • •

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993. Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993.

LATIHAN [264]

Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Tuliskan definisi sumber hukum Islam dan macammacamnya baik secara bahasa maupun istilah 2. Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam menentukan suatu hukum atas persoalan-persoalan kontemporer yang secara spesifik belum dijumpai hukumnya baik dalam Al-Quran maupun hadis? 3. Bagaimana kita menyikapi budaya-budaya atau tradisi yang ada di masyarakat dalam perspektif fiqh? 4. Jelaskan fungsi hadis terhadap Al-Quran dalam konteks hukum Islam 5. Berikan contoh aplikasi istishab dalam menentukan hukum suatu masalah/ persoalan. DAFTAR ISTILAH

1. Kulli : global 2. Tafshilili : terperinci 3. Ashal : Pokok 4. Far’u : Cabang 5. 'IIIat : Suatu sifat yang ada pada ashal

[265]

BAB XIV SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang sumber hukum Islam dan metode istinbat alahkam.

Kalau di bab sebelumnya, telah di bahas beberapa sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas, maka pada bab ini akan dibahas sumber-sumber hukum Islam lainnya. Sumber-sumber hukum Islam yang akan di bahas ini, terkadang menurut sebagian para pakar disebut metode-metode istinbat al-ahkam.

1. ISTIHSAN 1. Pengertian Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat [267]

dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa. 2. Dasar Hukum Istihsan Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali. Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' [268]

berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu." Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya AlMuwafaqat menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum". 3. Macam-Macam Istihsan Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu: a. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. [269]

b.

Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat. Contoh istihsan macam pertama: 1. Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewamenyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan. [270]

2. Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan. Contoh istihsan macam kedua 1. Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada [271]

salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat. 2. Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i). Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli.

2. MASLAHAH MURSALAH a. Pengertian Mashlahah Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin. Secara terminologi, Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuantujuan syara”. Adapun tujuan syara yang harus dipelihara ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tersebut (begitu [272]

juga upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan sengan kelima aspek), maka dinamakan maslahat. Di samping itu yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara, bukan kehendak dan tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya sesuai dengan kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Macam-macam Maslahah: ▪ Dari Segi kualitas: Maslahah ad-Daruriyyah, Maslahah alHajiyah, Maslahahat-Tahsiniyyah ▪ Maslahah dari segi kandungan: Maslahah al-Ammah, Maslahah al-Khassah ▪ Berubah/ tidaknya: Maslahah as-Sabitah, Maslahah alMutagayyirah ▪ Keberadaannya menurut syara’: Maslahah al-Mu’tabarah, Maslahah al-Mulgah, Maslahah al-Mursalah Keterangan: Maslahah Daruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima kemaslahatan ini disebut al-masalih al-khamsah ( ‫)المصااحلالالسم اا‬. Maslahah Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Sedangkan maslahah Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia. Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu [273]

kemaslahatan. Kemaslahatan Daruriyyah harus lebih didahulukan daripada Hajiyah, dan kemaslahatan Hajiyah lebih didahulukan dari kemaslahatan Tahsiniyyah. Maslahah Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak; tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak. Maslahah Khassah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud). Jika terjadi pertentangan antara keduanya, maka kemaslahatan umum harus diprioritaskan dari kemaslahatan pribadi. Maslahah sabitah, kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, dll; Maslahah Mutagayyirah, kemasalahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan. Seperti makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan lainnya. Maslahah Mu’tabarah (yang didukung syara). Maksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya Umar ibn al-Khattab mengqiyaskan hukuman bagi peminum minuman keras kepada orang yang menuduh berbuat zina, dengan 80 dera (padahal hadis Rasul tentang peminum hanya 40 dera dengan alat yang berbeda-beda; sandal dan pelepah kurma). Alasannya, seseorang yang mabuk, bicaranya tidak terkontrol dan diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Inilah yang dimaksud para ulama UF dengan kemaslahatan yang jenisnya didukung oleh syara’. Kemaslahatan yang mendapat dukungan syara—baik [274]

jenis maupun bentuknya—menurut kesepakatan ulama, dapat dijadikan landasan hukum; Maslahah Mulgah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara, karena bertentangan dengan ketentuan syara. Misalnya, syara menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (HR, al-Bukhari dan Muslim). Namun alLaits ibn Sa’ad (ahli fiqh Maliki di Spanyol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa Spanyol yang melakukan hal itu. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadis di atas, karena bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berurutan. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan hukuman puasa. Kemaslahatan seperti ini, tidak bisa dijadikan landasan hukum. Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung dan tidak pula dibatalkan/ ditolak syara melalui dalil yang rinci; 1. al-Garibah, kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara baik secara rinci maupun secara umum (tidak ada contoh pasti; kemaslahatan ini hanya ada dalam teori). 2. al-Mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nas (ayat atau hadis). b. Kehujjahan Maslahah Para ulama UF sepakat menyatakan bahwa maslahah almu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa maslahah al-mulgah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga maslahah al-garibah, karena tidak ditemukan dalam praktek syara. Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam [275]

menetapkan hukum syara, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah menerima maslahah al-mursalah dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nas atau ijma dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nas atau ijma. Penerapan konsep maslahah al-mursalah di kalangan Hanafiyyah terlihat secara luas dalam metode istihsan. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurutnya maslahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nas, bukan dari nas yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif). Misalnya dalam sebuah hadis, Rasululullah—sebagai pihak penguasa– tidak mau ikut campur/ menentukan harga pasar, karena sikap itu termasuk zalim (HR. al-Bukhari dan Muslim). Akan tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya komoditi, tetapi karena ulah para pedagang, maka ulama Malikiyyah dan Hanabilah membolehkan pemerintah campur tangan dalam regulasi harga, dengan pertimbangan “untuk kemaslahatan” para konsumen. Ulama Syafi’iyyah, pada dasarnya juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara. Akan tetapi Imam asySyafi’i memasukkannya ke dalam qiyas. Misalnya mengqiyaskan hukuman peminum khamr dengan hukuman penuduh zina. Al-Gazali bahkan membahas secara luas dalam kitab-kitabnya. Menurut al-Gazali, ada beberapa syarat agar kemaslahatan itu dapat dijadikan hujjah, yaitu: 1. Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara [276]

2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nas syara 3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang daruri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal; berlaku sama untuk semua orang. Jadi, Jumhur Ulama menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum. Alasan mereka: 1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadis menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. “wa ma arsalnaka illa rahmatal-lil’alamin” (QS. Al-Anbiya [21]: 107). Rasulullah tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat dan Sunnah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung maslahah adalah legal. 2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Jika Syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan. 3. Jumhur Ulama juga merujuk kepada perbuatan sahabat. Sedangkan penolakan kehujjahan maslahah datang dari ulama Zahiriyyah dan Syi’ah. Menurut mereka, apabila maslahah dapat diterima, maka akan mengakibatkan hilangnya kekudusan dan kesucian hukum-hukum syara disebabkan unsur subyektif yang akan timbul dalam menetapkan suatu kemaslahatan. Di samping itu, kemaslahatan itu sendiri terletak antara dua kemungkinan, yaitu didukung syara/ ditolak. Sesuatu yang keberadaannya masih dalam “kemungkinan”, tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. [277]

3. ‘URF 1. Pengertian Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya. Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal demikian dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lamakelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat [278]

mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik. 2. Macam-macam 'urf 'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada: a. 'Urf qauli Ialah 'rf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak lakilaki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan). b. 'Urf amali Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas: a. 'Urf shahih Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'. b. 'Urf fasid [279]

Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam. Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada: a. 'Urf 'am Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya. Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW: ‫مـ شفع شخــ ششفــع فأشــدــ هشدششدـ بأشـ ــد ا شـ شبا شــ ـ شفــأ ـ شمـ ش ــ ب ش‬ )‫بدـرـ ش(روبهش حـ شوش ـ شدبود‬ "Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba". Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya. b. 'Urf khash Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam [280]

pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan. 3. Dasar Hukum 'Urf Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah. 4. Kaidah-Kaidah yang Berhubungan dengan 'Urf Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah: a. ‫الـعـادة مـحـكمة‬ "Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum." b. ‫إسـتعتمال الناس حـجة يجـب العمل بهـا‬ Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya." c. ‫ال ينكر تغـير األحـكام بتغـير الزمــان‬ "Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa." 4. ISTISHAB A. Definisi Istishab Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap [281]

berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut. Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.” Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa istishab ialah: 1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. 2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu. Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab. [282]

B. Dasar Hukum Istishab Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram. Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah. C. Macam-Macam Istishab Istishab terbagi dalam beberapa macam diantaranya : 1. Istishab al-baraah al-Ashliyyah (‫)بددرءةبالص أ‬ Menurut Ibn al-Qayyim disebut Bar’at al-Adam alAshliyyah (‫)ـربةبدع ـ ششبالصــــ ــأ‬, yaitu bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu. [283]

Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu. Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini. 2. Istishab al-ibahah al-ashliyah yaitu Istishab yang berdasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang Mubah.Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan ,hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari selama tidak ada dalil yang melarangnya,seperti makanan,minuman,hewan dll. Dalam menetapkan hukum asal suatu barang (missal: jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalilnya baik dalam al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.) itu apakah mubah ataukah haram, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab: a) Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah. Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti: ‫شد بدذيشـ قشم شـيشبالرضش‬ ‫جـ ع‬ [284]

“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29) Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah. Juga firman-Nya: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145) Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubah. b) Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad. Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali. c) Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram. Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits: [285]

‫ضـــــــــــــــربرش‬

‫والش‬

‫ضـــــــــــــــرش‬

‫الش‬

“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).” (HR. Ibnu Majah dan AlDaraquthni dengan sanad yang hasan). 3. Istishab al-hukm yaitu Istishab yang berdasarkan pada tetapnya status hukum yang telah ada selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.Misalnya seseorang yang telah melakukan akad nikah akan selamanya terikat dalam jalinan suami istri sampai ada bukti yang menyatakan bahwa mereka telah bercerai. Contoh lainnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ tantang batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya. Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya? Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali. Sementara Imam as-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondisi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu. 4. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti [286]

Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya dimasa lalu tetaplah dihukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut juga dengan Istishabul Madhi Bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai sekarang. Dasar Istishab ini berdasarkan pada Kaidah Kulliyah Yang berbunyi : “Dasar hukum adalah kekal apa yang telah ada pada huklum yang telah ada Atau apa yang telah diyakini adanya pada suatu masa dihukumi tetap adanya (selama belum ada dalil yang mengubahanya. Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbaliyah menggunakan Istishab ini secara mutlaq. Dalam arti bisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang baru. Tapi untuk Malikiyah hanya menggunakan yang wasaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada. Sedangkan untuk yang baru tidak mau dipakai Istishab, yang dipakai oleh Ulama’ Hanafiyah adalah “Lidaf’i Li Itsbt”. Para Ulama’ yang menyedikitkan Turuqul Istinbat meluaskan penggunaan Istishab ,misal golongan Dhahiri,karena mereka menolak penggunaan Qiyas. Demikian pula Madhabz Syafi’I menggunakan Istishab kerena tidak menggunakan Istihsan beliau menggunakannya sebagai alat untuk menetapkan hukum. d. Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya Kaidah-kaidah istishab antara lain: ‫• االصل بقاء ماكان على ماكان حىت يثبت ما يفريه‬ ”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.” ‫• االصل يف االشياء اال ابحة‬ “pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.” [287]

‫• االصل يف االنسان الرباءة‬ “manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.” ‫• اليقني اليزال اب شك‬ “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (terhapus) oleh hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu”. ‫• االصل براء ةالذ مة‬ (Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan Dari pemaparan di atas, maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu dan kemudian ragu-ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia dihukumi masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpendapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya. e. Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari alQur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al[288]

hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...” f. Perbedaan Pendapat tentang Istishhab Dalam menyikapi apakah istishab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat: Pendapat pertama, bahwa istishab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah. Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah: 1. Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (alAn’am:145) Ayat ini–menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku. 2. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad) Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai [289]

mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu. 3. Ijma’. Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.[7] 4. Dalil ‘aqli. Di antara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah: a) Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishab adalah hujjah pula. b) Di samping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yuzalu bi al-syakk. Pendapat kedua, bahwa istishab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum [290]

ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah. Di antara dalil dan pegangan mereka adalah: 1. Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil. 2. Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula. Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah aldzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah. Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya. Tarjih Dengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya. Istishhab adalah sesuatu yang fithrawi dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama. [291]

Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaidah al-yaqin la yuzalu bi al-syakk –termasuk yang mengingkari istishab-, dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishab ini. Itulah sebabnya, para qadhi pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya. 5. SYAR’U MAN QABLANA a. Definisi Syar’u man qablana Syar’u man qablana berarti syari’at sebelum Islam. Yang dibahas oleh ulama ushul fiqh adalah, apakah hukumhukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam? Para ulama sepakat bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para rasul-Nya telah dibatalkan secara umum—tidak secara menyeluruh dan rinci– oleh syariat Islam. Oleh karena itu, syar’u man qablana bisa diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nas, seperti puasa dalam al-Baqarah (2): 183. 2. Yang hanya berlaku bagi umat terdahulu saja, karena sudah dinaskh oleh al-Qur’an. Seperti dalam al-An’am (6): 146, tentang keharaman bagi Yahudi semua binatang yang berkuku, lemak sapi dan domba, sebagai hukuman atas kedurhakaan mereka. 3. Yang disebutkan oleh nas (al-Qur’an maupun sunah), tetapi tidak secara tegas disebutkan tetap berlakunya dan tidak pula di-naskh, seperti dalam al-Ma’idah (5): 45, “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan [292]

mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya.” Terhadap klasifikasi yang ketiga di atas, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal, umat Islam terikat dengan hukum-hukum itu, alasannya: 1. Syari’at sebelum Islam itu juga syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalannya, karenanya umat Islam terikat. Banyak sekali ayat yang menyuruh umat Islam mengikuti syari’at para Nabi; seperti syari’at Nabi Ibrahim (dalam an-Nahl [16]:123) dan syari’at Nabi Nuh (dalam asy-Syura [42]: 13. 2. Rasulullah bersabda: ‫شوبقمشبد ـــاةش‬: ‫م شن شف شصـــاةشبوشناـ ـ ا شـ ـ ـ ا شبذبذكرد شقربشق دششاع د‬ -‫دذكرهش–بددخ رهشوما مشوبدترمذهشوبدنا ئ شوبـ دود‬ Menurut Jumhur, ayat yang dibacakan Rasulullah tersebut merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa. Sedangkan ulama Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal, syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah dan umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al-Gazali, al-Amidi, Ibn Hazm az-Zahiri, dan Fakhruddin arRazi (ahli fiqh Syafi’i). Alasan mereka adalah: 1. Ketika Rasulullah mengutus Mu’ad Ibn Jabal menjadi qadi di Yaman, terjadi dialog tentang bagaimana memutuskan perkara. Dalam dialog itu, Rasul tidak menganjurkan untuk merujuk ke syari’at sebelum Islam. 2. Firman Allah dalam al-Ma’idah (5): 48: ‫دكلشجع ن شمنكمشفــرفأش‬ ‫ومنا ج‬ “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..” [293]

Maksudnya setiap umat mempunyai syari’at sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syari’at umat lain. 3. Syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Muhammad Abu zahrah, menyatakan apabila syari’at sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum itu hanya berlaku bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, apabila hukum-hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukuman qisas dan puasa yang ada dalam al-Qur’an.

6. MADZHAB SHAHABI a. Definisi Madzhab Shahabi Madzhab Shahabi berarti “pendapat para Sahabat Rasulullah saw”. Yang dimaksud ‘pendapat sahabat’ adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat dan hadis tidak menjelaskan hukum kasus yang dihadapi sahabat itu, di samping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukumnya. b.

Kehujjahan Mazhab Shahabi Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah.

[294]

Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad sematamata, apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya? Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, qaul qadim asySyafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat itu bertentangan dengan qiyas, maka pendapat sahabat yang didahulukan. Alasan mereka: • Ali Imran (3): 110: ْ ‫كُنت ُ ْمشـ ْرش ُ َّمأٍش ُ ْـ ِرج‬ ‫تش ِد نَّ ِسشاـ ْ ُم ُرونشـِ ْدـ ْع ُروفِ شوا ْنا ْشنشف ِ شب ْد ُـنك ِشر‬ • At-Taubah (9): 100: ‫ض ـيش ُش‬ َّ ‫شو‬ ِ ‫بدا ـ ـِ ُ نشبْخ َّودُ نش ِم شب ْد ُـا ِج ِرب شوبْخن ـ ِرشوبدَّذِب شباَّدعُ دُمشـِسِحْ ا ـ ٍنشر‬ ‫ف ْن ُا ْمش‬ • Hadis: ,‫ص ح ـ شك دنج شـ بامشبقت بتمشبدت بتم‬ “Sahabatku ibarat bintang, siapa pun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk. HR. Abu Dawud.” • Hadis: ‫روبهشبـ شدبودشوبحـ شـ شحندل‬-…‫بقت وبشـ دذب شم شـع ي‬ Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa sangat mungkin apa yang dikatakan para sahabat itu, datangnya dari Rasulullah, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah; para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting (ini menunjukkan sifat kehatihatiannya). Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat sahabat tentu akan lebih boleh, karena Rasulullah mengatakan bahwa generasi sahabat adalah generasi terbaik (HR. alBukhari) Sedangkan sebagian Syafi’iyyah, Jumhur Asy’ariyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat tidak dapat dijadikan hujjah, karena ijtihad mereka sama dengan ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Alasannya: [295]

1. Al-Hasyr (59): 2: ‫ـ فتدروبشب بود شبالـ ر‬ Implikasi dari perintah melakukan I’tibar (ijtihad) adalah larangan bertaqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa dalil), karena untuk menentukan suatu hukum diperlukan dalil, sedangkan taqlid dikecam syara’. 2. An-Nisa (4): 59: … ‫ـ نشان زفتمشـ شف ئشـردوهشبد ش شوبدرس ل‬ Rujukan yang diperintahkan—bila terjadi perdebatan– adalah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila seseorang hanya mengambil pendapat sahabat, maka itu berarti meninggalkan kewajiban untuk merujuk kepada alQur’an dan Sunnah. Selanjutnya ulama Syafi’iyyah mengatakan, dari penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan bukan hal yang mustahil, karena tidak ada jaminan mereka pasti benar. Adakalanya mereka juga berbeda pendapat dalam menetapkan hukum suatu kasus, seperti kasus pembagian warisan kakek dengan saudara laki-laki, sehingga sulit diketahui pendapat mana yang benar. Melalui induksi, para pakar UF menetapkan bahwa tidak wajib seorang mujtahid mengikuti hasil ijtihad orang lain. Oleh sebab itu, mengikuti pendapat sahabat pun menjadi tidak wajib. Akan tetapi, Imam Syafi’i, menurut Mustafa Dib alBugha (pakar UF Universitas Damaskus, Syiria), banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma para sahabat. Banyak hukum-hukum parsial (rinci) yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Bila terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat, Imam Syafi’i mengambil pendapat yang lebih dekat kepada kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Ulama Hanafiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat sahabat yang popular (tersebar luas) dan tidak [296]

diketahui ada sahabat lain yang menentangnya, serta pendapat sahabat yang didasarkan pada ijtihad tetapi tidak popular.

7. SADD AZ-ZARI’AH a. Pengertian Sadd az-Zari’ah Secara etimologi, zari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” atau identik dengan wasilah (perantara). Ada juga yang mengkhususkan pengertian zari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Tetapi menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (pakar fiqh Hanbali) zari’ah berarti umum; zari’ah mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut dengan sadd azzari’ah (‫ )س شبدذربعأ‬dan yang dituntut untuk dilaksanakan, disebut fath az-zari’ah (‫)ـتحشبدذربعأ‬. Sadd az-zari’ah yang dimaksud oleh para ahli ushul fiqh, adalah: .‫حامشم دةشوس ئلشبدعا دشدـع دششبوشس شبدطربقشبدت شا صلشبدـرءشبد شبدعا د‬ “Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan/ sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan”. Misalnya dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang, seorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakati, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Perbuatan seperti ini dilarang dengan dasar pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib. Atau contoh lain; shalat jumat itu wajib, maka meninggalkan jual beli pada waktu shalat jumat demi untuk melaksanakan shalat jumat hukumnya adalah wajib. [297]

Tujuan penetapan hukum atas dasar Sadd az-zari’ah, adalah untuk menuju kemaslahatan, karena tujuan umum ditetapkannya hukum adalah untuk kemaslahatan manusia dan menjauhkan kerusakan. Untuk sampai pada tujuan ini, syara memerintahkan sesuatu dan adakalanya melarang sesuatu. Dalam memenuhi perintah dan larangan ada yang dapat dipenuhi dengan langsung dan ada pula yang harus dipenuhi melalui sarana. b. Kehujjahan Sadd Az-Dzari’ah Terdapat perbedaan pendapat’. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa Sadd az-zari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Alasannya: 1. Al-An’am (6): 108: ِ ‫والَتَسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعُو َن ِمن ُد‬ ‫ون للاِ فَيَ ُسبُّوا للاَ َع ْد ًوا بِغَ ِْري عِ ْلم‬ ََ ُ َ Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum musyrik, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan lebih. 2. Hadis: :‫ ايرسول للا كيف يلعن الرجل والديه؟ قال‬:‫ قيل‬,‫ان من اكرب الكبائر ان يلعن الرجل والديه‬ -‫يسب ااب الرجل فيسب اابه ويسب امه –البخارى و مسلم وابو داود‬ Hadis ini, menurut Ibn Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd az-zari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara, karena sabda Rasul tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasul melarangnya. Dalam kasus lain Rasul melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (HR. al-Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin segera mendapat harta warisan. Sedangkan ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima Sadd az-Zari’ah apabila [298]

kemafsadatan yang akan muncul itu dapat dipastikan akan terjadi, atau sekurang-kurangnya diduga keras (gilbah azzan) akan terjadi; Artinya ada zari’ah yang diterima dan ada yang ditolak. Terjadinya perbedaan pendapat antara Malikiyyah dengan Hanabilah di satu pihak serta Hanafiyyah dengan Syafi’iyyah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd azzari’ah, adalah disebabkan perbedaaan pandangan tentang niat dan lafal dalam masalah transaksi. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa dalam suatu transaksi yang dilihat dan diukur adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Jika akad itu telah memenuhi syarat dan rukun, maka sah. Adapun masalah niat yang tersembunyi dalam akad, diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka mengatakan bahwa selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari pelaku, maka berlaku kaidah: ‫املعترب ىف اوامرللا املعىن واملعترب ىف امور العباد االسم واللفظ‬ “Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hakhak hamba (manusia) adalah lafalnya.” Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad itu dapat ditangkap dengan jelas atau diketahui melalui beberapa indikator yang ada, maka ketika itu berlaku kaidah: ‫العربة ابملعاىن ال اباللفاظ واملباىن‬ “Yang menjadi patokan dasar adalah makna/ niat, bukan lafal dan bentuk”. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa untuk mengukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah: niat, tujuan dan akibat dari pekerjaan itu. Ibn Qayyim al-Jauziyyah mengatakan apabila niat sejalan dengan perilaku, maka akad itu sah. Apabila tujuan orang itu tidak sesuai dengan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka dianggap sah, tetapi antara pelaku dengan Allah tetap ada perhitungan. Apabila ada [299]

indikator yang dapat menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara, maka akadnya sah. Namun jika bertentangan, maka perbuatannya itu fasid (rusak) dan tidak ada efek hukumnya. Dengan demikain, menurut Wahbah az-Zuhaili, Ulama Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpegang kepada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukuan. Sedangkan ulama Zahiriyyah tidak menerima sadd azzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan nas secara harfiyyah dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum. FATH ADZ-DZARI’AH Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan Imam alQarafi, yang dimaksud fath adz-Dzari’ah adalah: suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara. Misalnya shalat Jum’at itu wajib, maka berusaha untuk sampai ke mesjid dengan meninggalkan segala aktifitas lain juga diwajibkan. Akan tetapi, menurut Wahbah az-zuhaili, hal itu bukan termasuk dalam az-zari’ah, melainkan termasuk dalam kaidah yang oleh Jumhur ulama disebut sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan; apabila yang dituju adalah suatu yang wajib, maka seluruh upaya untuk menunaikan yang wajib itu, juga diwajibkan, sesuai dengan kaidah yang mengatakan: ‫م الشبتمشبد بجبشبالشـششـا شوبجب‬ “Apabila suatu kewajiban tergantung kepada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini pun wajib dikerjakan”. Contohnya, mengerjakan shalat itu wajib. Sedangkan untuk mengerjakan yang wajib itu harus berwudhu terlebih dahulu. Maka berwudhu itu hukumnya wajib, karena berwudhu [300]

wajib, maka upaya mencari air untuk berwudhu pun wajib. Berwudhu dan mencari air dalam contoh inilah yang disebut hukum pendahuluan kepada yang wajib (muqaddimah alwajibah). Sebaliknya, ‫م دلشف شبدحرب شـا شحرب‬ “Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan”. Misalnya, berzina adalah haram, maka berkhalwat juga haram. Melihat aurat orang lain juga haram, karena bisa membawa kepada perbuatan zina. Hukum haram terhadap berkhalwat dan melihat aurat ini, menurut ulama UF, disebut sebagai hukum pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah). Terhadap hukum muqaddimah seperti itu, para ulama sepakat untuk menerimanya, tetapi tidak sepakat jika hal tersebut dikategorikan dalam kaidah dzari’ah. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah memasukkannya dalam kaidah zari’ah dan mereka sebut dengan fath az-zari’ah. Sedangkan ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai hukum muqaddimah, tidak termasuk ke dalam kaidah zari’ah. Namun, mereka sepakat menyatakan bahwa hal tersebut—baik dengan nama fathul-zari’ah maupun dengan nama muqaddimah—dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

RANGKUMAN Para ulama semuanya sepakat bahwasanya sumber hukum yang pertama dan yang paling utama adalah Al-Quran. Selanjutnya sumber hukum yang kedua adalah sunah. Dalam hal sumber hukum yang selanjutnya para ulama berbeda pendapat, sebagian dari mereka menyebutnya sebagi sumber hukum dan sebagian yang lain menyebutnya sebagai metode istinbat al-ahkam. [301]

SUMBER PUSTAKA • Abu Zahrah. Muhamad, Usul Fiqih. Terj. Saefullah Ma'sum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Ke-8, 2003. • As-Shidiqie, Teungku M.Hasbi Pokok-pokok pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997 • Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. • Djazuli Atjep dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. • Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : alMaktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986 • Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakrta: Amzah, 2005 • Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.

• • •

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993. Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Tuliskan definisi sumber hukum Islam baik yang diwahyukan secara langsung maupun yang tidak diwahyukan, secara bahasa maupun istilah [302]

2. Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam menentukan suatu hukum atas persoalan-persoalan kontemporer yang secara spesifik belum dijumpai hukumnya baik dalam Al-Quran maupun hadis? 3. Bagaimana kita menyikapi budaya-budaya atau tradisi yang ada di masyarakat dalam perspektif fiqh? 4. Jelaskan fungsi hadis terhadap Al-Quran dalam konteks hukum Islam 5. Berikan contoh aplikasi istishab dalam menentukan hukum suatu masalah/ persoalan. DAFTAR ISTILAH 1. Kulli : global 2. Tafshilili : terperinci 3. Ashal : Pokok 4. Far’u : Cabang 5. 'IIIat : Suatu sifat yang ada pada ashal 6. Hujjah : Dalil/ Pedoman

[303]

BAB XV IJTIHAD, ITTIBA`, TAQLID, TALFIQ DAN INTIQAL MADZHAB

Standar Kompetensi Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang Ijtihad, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq serta aplikasinya dalam konteks hukum Islam.

A. IJTIHAD 1. Urgensi Ijtihad Islam mengatur segala aspek kehidupan dari mulai hal yang terkecil sampai pada hal yang diluar jangkauan manusia (gaib dan metafisik). Maka dapat dipastikan, manusia muslim, terutama para ulamanya senantiasa berusaha menjelaskan kepada siapa saja bahwa Islam adalah agama yang tepat untuk dianut. Munculnya permasalahan-permasalahan baru yang menuntut legalitas hukum selalu dicarikan solusinya dalam alQuran dan Sunah. Kalaupun tidak didapatkan di dalamnya, mereka akan berusaha dengan keras mencarikan jalan keluarnya, dan tentu dengan metode-metode sistematis yang telah disepakati (ijma). Inilah yang dimaksud dengan ijtihad, yaitu usaha seorang muslim untuk menentukan hukum pada sebuah realitas dengan mengambil dalil-dalil syar’i atau dengan kata lain (menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah) ijtihad yaitu mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum Islam baik dalam bidang akidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu. Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak hentihentinya dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al[305]

Mustashfa-nya. Demikian juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul sampai pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Jum'ah. Bahkan hampir di setiap bukubuku ushul fikih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad. Adapun sandaran teks-teks keagamaan yang mengatakan bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya adalah Firman-Nya: “Fain tanβza’tum fξ syaiin farudduhu ilalLβh wa al-Rasuli inkuntum tu’minu bilLahi wal-yaumu al-βkhir” (QS:4:59). Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurβ bainahum”, kata “syura” dalam ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk pada dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu (mujaddid) tersebut sudah barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ah dalam ilmu syariah sehingga mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah ijtihad itu sendiri. Dalam hadis lain, Nabi mengatakan bahwa apabila seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, namun bila dia salah maka baginya satu pahala. Begitu juga dengan perizinan Nabi kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya ke Yaman untuk tidak mengapa berijtihad ketika di dalam al-Quran dan Sunah tidak didapati legalitas sebuah obyek.

1. Definisi Ijtihad [306]

Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada, yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguhsungguh. Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at. Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas. 2. Mujtahid dan Syarat-Syaratnya Pada dasarnya jika membicarakan syarat-syarat mujtahid, maka berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad. Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat : 1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib. 2. Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah). Sedangkan menurut Asy-Syatibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat : 1. Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh. 2. Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut. Menurut Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai beberapa syarat, yaitu : 1. Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya, juga mukjizatmukjizat ayat-ayat-Nya. [307]

2. Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan Sunnah yang diperlukan. 3. Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal. 4. Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukankedudukannya, sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` itu. 5. Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci). 6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-uslub. 7. Alim dalam ilmu ushul fiqh. 8. Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini. Melihat syarat-syarat yang berat di atas, timbul pertanyaan apakah pada masa sekarang apabila ditemukan permasalahan yang tidak ditemukan hukumnya, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, karena syarat-syarat diatas sangat sulit [308]

dipenuhi oleh ulama’ pada masa sekarang. Pada akhirnya munculah apa yang disebut dengan ijtihad jama’i, yaitu mengumpulkan para ahli dalam bidangnya untuk mencari hukum suatu masalah yang belum terjawab. Melihat realitas problematika fiqh kontemporer, maka para ulama melihat ijtihad kolektif merupakan terobosan yang paling efektif untuk mengantisipasinya, dimana kelompok ahli hukum Islam di samping penasehat ilmu lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, mereka meninjau masalah tersebut dari segala segi untuk menetapkan solusi hukumnya. Ini tidak menutup pintu ijtihad individual, karena ijtihad fardi merupakan jembatan menuju ijtihad jama’i. Seorang mujtahid menetapkan hukum suatu masalah dengan terlebih dahulu mengkaji seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengan melakukan klarifikasi kepada ahlinya. 3. Tingkatan Mujtahid Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama’ mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh menyebut ada enam tingkatan mujtahid, yaitu : 1. Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan kias, berfatwa dan beristihsan. Atau mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun, disebut juga Mujtahid mutlaq. 2. Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang mempunyai syaratsyarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut. Atau mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang Imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada [309]

3.

4.

5.

6.

akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut. Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam madzhab. Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya. Sebenarnya mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih kuat. Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya. Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.

4. Macam-Macam Ijtihad Ad-Dualibi, sebagaimana dikatakan Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam : 1. Al-Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukumhukum syari`ah dari nash-nash syar`i. 2. Al-Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukumhukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i. 3. Al-Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/ peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan arra`yu yang disandarkan atas isthishlah.

[310]

B. ITTIBA` 1. Definisi Ittiba’ Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (َ‫ )اتَبَ َع‬yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (‫( )اقتفاء‬menelusuri jejak), qudwah (‫)قدوة‬ (bersuri teladan) dan uswah (‫( )أسوة‬berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh. Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti). Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid. 2. Macam-Macam Ittiba` a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan-Nya. b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal [311]

menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi). 3. Tujuan Ittiba` Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusyu’an. Keikhlasan dan kekhusyu’an merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan. 4. Hukum Ittiba’ Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah di antaranya firman Allah: “Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran [3]: 32). Dalam ayat lain Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. alHujurat[49]:1). Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya: “Dan [312]

barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. AnNisa’[4]: 115).

C. TAQLID 1. Definisi Taqlid Kata taqlid, fi`ilnya adalah qallada, yuqallida, taqliidan, artinya mengulangi, meniru, mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudharat hukum itu. 2. Hukum Taqlid 1. Taqlid yang haram. Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam : a) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits. b) Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut. c) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah. [313]

2. Taqlid yang dibolehkan. Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama. Ulama muta’akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan: a) Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab. b) Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulamaulama. 3. Taqlid yang diwajibkan. Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW. 3. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid a. Imam Abu Hanifah (80-150 H). Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu. b. Imam Malik bin Anas (93-179 H). Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan. c. Imam asy Syafi`i (150-204 H). Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan [314]

pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW. d. Imam Hambali (164-241 H). Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orangorang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.

D. TALFIQ 1. Definisi Talfiq Talfiq secara bahasa berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”. Sedangkan menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Selain itu talfiq juga diperbolehkan selama masih dalam satu alur. Contoh: dalam berwudhu kita mengikuti tata cara yang sesuai dengan madzhab Syafi’I, maka dalam hal batalnya pun kita harus mengikuti pendapat madzhab Syafi’I juga. Walaupun setelah itu kita melakukan shalat sebagaimana madzhab Hanafi atau Maliki. Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringanringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakikatnya pada niat. Kebanyakan ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu: 1. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhabmadzhab dalam beberapa masalah yang berbeda. Contoh: [315]

berwudlu ikut Hanafi dan shalat ikut Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti ini dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua masalah yang berbeda. Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad. 2. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhabmadzhab dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ahmad menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki. Talfiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab, misalnya kita di lingkungan madzhab Syafii, maka tak dibenarkan kita memakai madzhab lain karena kita tak mengetahui hukum-hukum madzhab tersebut secara jelas, dan akan membuat fitnah dan bingungngya orang lain, namun jika kita pindah, misalnya ke wilayah yang masyarakatnya bermadzhab Maliki, maka tak layak kita terus berkeras diri untuk bermadzhab syafii, hendaknya kita memakai madzhab Maliki karena masyarakatnya bermadzhab maliki. Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara sharih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apaapa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya. Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib. Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri [316]

fatwa yg ada di imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah halhal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya. Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab Syafiinya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing-masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika Zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd berkata, maka wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab Syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki dan telah batal pula dalam madzhab Syafii. Demikian contoh kecil jika kita talfiq, namun itu dibolehkan jika kita pindah ke wilayah lain, karena kita bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan minta petunjuk pada guru guru di wilayah itu. 2. Pendapat Ulama madzhab Para ulama dalam menanggapi maslah talfiq terbagi kepada beberapa kelompok: a. Al-Ghazali, Asy-Syatibi dan Al-Jalalul Mahalli berpendapat tidak boleh. b. Ada yang mengatakan boleh dengan syarat seperti AlIzzuddin Ibn Abdi Salam. Beliau berkata: manusia sejak dari zaman sahabat hingga lahir mazhab bertanya tentang [317]

apa yang mereka perlukan kepada ulama yang berbeda pendapat tanpa ada teguran dari siapa pun, baik ia mengikuti yang mudah-mudah saja, ataupun ia mengikuti yang berat. c. Ibnu Aththar berkata: kesimpulannya boleh talfiq, boleh mencari-cari yang mudah, cuman jangan mencari-cari yang mudah itu dalam suatu hukum yang diperoleh dari dua Ijtihad. d. Al-Kamal ibn Human dan Ibnu Amiril Haj, berpendapat bahwa talfiq boleh tanpa batasan. Lebih lanjut mereka mengatakan; “kita tidak boleh menghalangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah saja, karena seseorang tersebut boleh mengambil mana yang mudah apabila dia memperoleh jalan untuk itu”. Selain pendapat ulama-ulama di atas, dalam menyikapi tentang talfiq, ulama Hanafiyah lebih cenderung kepada mengharamkan. Lebih lanjut mereka mengklaim adanya ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan adanya talfiq selagi tidak kebablasan. 3. Dalil Kelompok yang Mengharamkan Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga, apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah (‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja. [318]

Argumen di atas, jika ditelaah secara mendalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi: 1) Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan mengusap kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga. 2) Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan mengusap kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma'). Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq. Berkenaan dengan adanya klaim ulama hanafiyah bahwa telah terjadi ijma’ tentang pengharaman talfiq, maka Wahbah Az Zuhaili (ahli fiqh kontemporer) berkata: ”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakalanya dengan i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan bisa juga berdasarkan pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma', pastilah ulama madzhab yang lain juga telah menetapkannya”. [319]

4. Dalil Kelompok yang Membolehkan Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan: Alasan Pertama Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun asSunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain. Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama. Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain. Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya. Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri? Alasan Kedua Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali [320]

mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada. Alasan Ketiga Nabi saw melalui Aisyah disebutkan: “Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “. Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan. Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu memberi kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw: “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya. Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dharurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat. [321]

E.

INTIQAL MADZHAB Apakah setiap muslim di masa sekarang harus mengikat dirinya dengan salah satu madzhab yang ada dan selalu mengambil pendapat madzhabnya saja, atau bolehkah kita berganti-ganti pegangan dan mengambil pendapat yang paling ''ringan'' dari beberapa madzhab pada setiap masalah? Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada satu madzhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan agar kita tidak terlalu mudah bergonta-ganti madzhab. Bahkan ada juga yang sampai melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu umumnya ulama tidak sampai mewajibkannya. Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu madzhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab tiap-tiap madzhab dihasilkan dari suatu logika ijthad yang sistematis, teratur dan runtut. Sehingga menurut pendapat ini, kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil ijtihad yang metologinya saling berbeda. Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk tiap-tiap ijtihad. Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam kelompok in berpendapat tidak bolehnya bergontaganti madzhab. Sedangkan pendapat yang berlawan mengatakan sebenarnya kalau diteliti lebih dalam, tidak ada kewajiban dari nash baik Quran maupun sunnah yang mengharuskan hal itu. Umumnya para ulama mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih mazhab mana yang ingin dipegangnya. Termasuk bila seseorang harus berganti madzhab berkali-kali. Dalilnya adalah bahwa dahulu Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan untuk bertanya kepada satu orang shahabat saja. Tetapi siapa saja dari shahabat yang punya pengetahuan tentang suatu masalah, boleh dijadikan rujukan. Sebagaimana firman [322]

Allah: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl: 43) Ayat ini tidak mewajibkan bila sudah bertanya kepada satu orang, maka tidak boleh lagi bertanya kepada orang lain. Ayat ini hanya mensyaratkan bahwa kita wajib bertanya kalau tidak tahu, agar dapat beribadah dengan benar. Namun tidak boleh bertanya kepada sembarang orang, harus kepada ahluzzikr, yang diterjemahkan sebagai ulama, fuqaha'''' ahli ilmu syariah yang kompeten dan benar-benar menguasai bidangnya. Tapi tidak mengharuskan hanya pada satu orang saja. Di tengah beda pendapat antara dua ''kubu'' ini, kami lebih cenderung kepada pendapat yang memudahkan. Yaitu pendapat yang intinya tidak bikin susah seorang yang ingin menjalankan agamanya. Dan kondisi bisa saja berbeda-beda untuk tiap orang. Di tempat tertentu, ada mungkin seorang 'alim yang sangat menguasai ilmu agama dalam versi madzhab tertentu. Boleh dibilang bahwa dalam semua masalah agama, beliaulah satusatunya rujukan yang ada. Meski ilmunya hanya dengan satu paham madzhab saja. Maka seorang muslim awam boleh bertanya kepada beliau dan menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah agama. Tidak ada kewajiban bagi si awam ini untuk melakukan konsultasi silang kepada ulama lain yang tidak terjangkau baginya. Asalkan si ''''alim itu memang seorang yang menguasai masalah fiqih, cukuplah bagi masyarakat di sekitarnya menjadikan pendapat-pendapat beliau sebagai rujukan. Atau dalam bahasa lainnya, bertaqlid kepadanya. Tetapi bertaqlid di sini bukan kewajiban, melainkan justru memudahkan. Sifatnya bukan keharusan, tetapi kebolehan. Di tempat lain boleh jadi ada surplus ulama, misalnya di situ berkumpul ulama dari beberapa madzhab. Maka buat orangorang awam yang tinggal di tempat itu, boleh saja mereka berguru kepada masing-masing ulama dari beberapa madzhab itu. Tidak ada keharusan untuk ''''selalu setia sepanjang masa'''' [323]

dalam menjalankan pendapat dari ulama tertentu dari mereka. Sebagaimana juga tidak ada larangan untuk tetap setia kepada satu saja dari mereka. Ini yang kami maksud dengan prinsip yang memudahkan. Bila di suatu tempat hanya ada satu ulama, kita boleh bermadzhab satu saja, tidak wajib berpindah-pindah madzhab. Karena pindah-pindah itu justru menyulitkan. Sebaliknya, bila di suatu tempat ada banyak sumber ilmu dari beragam madzhab, boleh-boleh saja untuk membandingkannya dan memilih pendapat yang menurut kita paling kuat dalilnya. Tetapi juga tidak ada larangan untuk tetap berpegang saja pada satu madzhab, meski di sekelilingnya terdapat banyak madzhab lain.

RANGKUMAN Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada, yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Sedangkan secara istilah menurut Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at. Ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, serta tidak didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. SUMBER PUSTAKA [324]

• • • • • • • • • •

Abu Zahrah. Muhamad, Usul Fiqih. Terj. Saefullah Ma'sum dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Ke-8, 2003. As-Shidiqie, Teungku M.Hasbi Pokok-pokok pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997 Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. Djazuli Atjep dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : alMaktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986 Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakrta: Amzah, 2005 Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993. Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'arif, 1993.

LATIHAN Setelah membaca dan mempelajari materi-materi di atas, buatlah resume singkat yang berisi jawaban atas pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Jelaskan definisi ijtihad, ittiba’, taqlid dan talfiq baik secara bahasa maupun istilah. 2. Siapa sajakah yang boleh berijtihad untuk menentukan suatu hukum 3. Bolehkah kita berpindah-pindah madzhab, jelaskan batasan-batasannya 4. Apa urgensi mempelajari madzhab-madzhab fiqh, jelaskan! [325]

5. Sebagai seorang akademisi, dimanakah seharusnya kita memposisikan diri kita?sebagai mujtahid atau mutabi’ atau muqalid?jelaskan! DAFTAR ISTILAH 1. Madzhab: Aliran 2. Ijtihad: bersungguh-sungguh dalam menentukan hukum 3. Ittiba’: Mengikuti pendapat ulama dengan disertai pengetahuan dalil 4. Taqlid: Mengikuti pendapat ulama dengan tidak disertai pengetahuan dalil 5. Talfiq: mengambil hukum dari berbagai madzhab dalam satu ibadah 6. Intiqal al madzhab: berpindah-pindah madzhab

[326]

BAB XVI SOAL-SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Jelaskan secara singkat hal-hal yang membatalkan puasa menurut empat madzhab Tuliskan dalil dari Al-Quran dan hadis beserta artinya tentang kewajiban puasa Ramadhan Bagaimana posisi orang yang marah sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, jelaskan. Jelaskan hikmah puasa dalam perspektif kesehatan Jelaskan hukum pernikahan dalam perspektif Islam Jelaskan kedudukan wali dan saksi menurut empat madzhab Jelaskan hukum pernikahan beda agama menurut imam madzhab Tuliskan dalil beserta artinya yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi Tuliskan teks akad nikah beserta artinya secara lengkap

9. 10. Jelaskan pengertian haji baik secara bahasa maupun secara istilah. 11. Sebutkan syarat-syarat dan rukun haji 12. Jelaskan apa yang dimaksud dengan haji ifrad, tamattu dan qiran? 13. Jelaskan secara singkat tentang tata cara pelaksanaan haji.

14. Jelaskan pengertian madzhab baik secara bahasa maupun istilah 15. Tuliskan latar belakang munculnya madzhab-madzhab fiqh? 16. Tuliskan riwayat singkat empat madzhab 17. Bagaimana seharusnya sikap kita dalam menyikapi perbedaan madzhab 18. Bolehkah kita tidak bermadzhab,jelaskan! [327]

19. Tuliskan definisi sumber hukum Islam baik yang diwahyukan secara langsung maupun yang tidak diwahyukan, secara bahasa maupun istilah 20. Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam menentukan suatu hukum atas persoalan-persoalan kontemporer yang secara spesifik belum dijumpai hukumnya baik dalam Al-Quran maupun hadis? 21. Bagaimana kita menyikapi budaya-budaya atau tradisi yang ada di masyarakat dalam perspektif fiqh? 22. Jelaskan fungsi hadis terhadap Al-Quran dalam konteks hukum Islam 23. Berikan contoh aplikasi istishab dalam menentukan hukum suatu masalah/ persoalan. 24. Jelaskan definisi ijtihad, ittiba’, taqlid dan talfiq baik secara bahasa maupun istilah. 25. Siapa sajakah yang boleh berijtihad untuk menentukan suatu hukum 26. Bolehkah kita berpindah-pindah madzhab, jelaskan batasan-batasannya 27. Apa urgensi mempelajari madzhab-madzhab fiqh, jelaskan! 28. Sebagai seorang akademisi, dimanakah seharusnya kita memposisikan diri kita?sebagai mujtahid atau mutabi’ atau muqalid?jelaskan!

[328]

PENUTUP

Dalam kazanah ilmu-ilmu islam, Fiqih/ Ushul Fiqih merupakan salah satu disiplin ilmuyang senantiasa sarat dengan wacana menarik. Keberadaan fiqih sebagai bagian dari syariat Islam tak pelak menjadi bahasan yang tidak pernah terhenti sepanjang zaman. Wajah fiqih yang identik dengan aturan dan doktrin islam tentang ibadah khususnya sering menimbulkan perbedaan pendapat. Hal demikian wajar tentunya jika disikapi dengan kedewasaan berpikir dan mengedepankan toleransi. Namun tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya, perbedaan pendapat yang seyogiyanya menjadi rahmat bagi umat, malah justru menjadi laknat (embrio perpecahan umat). Fanatisme golongan dan truth claim menjadi dalil dari segala keyakinan. Buku daras ini hadir untuk turut memberikan sumbangsih pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa yang baru mempelajari fiqih/ ushul fiqih. Selain diorientasikan sebagai wahana memelajari fiqih/ ushul fiqih, buku ini juga memaparkan berbagai persoalan fiqhiyah dalam perspektif perbandingan emapat madzhab. Harapan besarnya adalah pengetahuan tentang cara beribadah yang biasa kita lakukan, akan semakin mendalam dan lebih baik dengan mengetahui dalil-dalil yang menjadi landasannya. Di samping itu sikap alergi terhadap perbedaan yang dijumpai di masyarakat, tidak akan menyeruak mendominasi diri kita.

[329]

viii |